Anda di halaman 1dari 22

1

DESAIN PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam dengan dosen pengampu Dr. Tasman Hamami,
M.A

Disusun Oleh:
Apung Saepuddin

20151010031

Fajrin Nisa Alkhoiroti 20141011009


Moh Hani Saputro

20151010038

JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM MAGISTER STUDI ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sejalan dan searah dengan pendidikan nasional. Maka pendidikan
Islam merupakan salah satu bentuk pengembangan pendidikan yang bisa diterima di
Indonesia dan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan di Indonesia telah diakui
dengan pengukuhan UU terdahulu yaitu UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang telah diperbaharui menjadi UU No. 20 tahun 2003. Bab IV mengenai jalur
jenjang dan jenis pendidikan pasal 15, 17 dan 18 yang menetapkan jenis pendidikan agam
sebagai suatu bentuk lembaga pendidikan di Indonesia. Artinya, pendidikan Islam di
Indonesia telah mendapat pengakuan oleh bangsa dalam upaya mendidik dan mencerdaskan
masyarakat sehingga pendidikan Islam memiliki kesempatan besar untuk mengembangkan
diri dalam rangka menjawab keinginan-keinginan masyarakat. Dengan demikian keberhasilan
pendidikan Islam akan membantu terhadap keberhasilan pendidikan nasional, juga sebaliknya
keberhasilan pendidikan nasional secara makro turut membantu pencapaian tujuan
pendidikkan Islam, sebab itu keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam oleh pemerintah
dijadikan mitra suntuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berkaitan dengan posisi pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional dapat
diidentifikasi sedikitnya dalam 3 pengertian:
a. Pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren, pengajian
dan madrasah diniyah, maksudnya pendidikan Islam hanya sebagai pendidikan
keagamaan di masyarakat, berupa pesantren, pengajian dan majlis taklim yang bersifat
non formal, yang berupa ilmu sosial bagi masyarakat
b. Pendidikan Islam adalah muatan atau materi pendidikan agama Islam dalam
kurikulum pendidikan nasional yaitu pendidikan Islam sebagai salah satu materi
pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik untuk meningkatkan kualitas
pribadinya.
c. Pendidikan Islam merupakan ciri khas lembaga pendidikan sekolah yang
diselenggarakan oleh Departemen Agama dalam bentuk madrasah dan oleh organisasi
serta yayasan keagamaan Islam dalam bentuk Islam; yaitu pendidikan Islam sebagai
suatu lembaga pendidikan yang bercirikan agama Islam seperti madrasah dan
pesantren yang telah bersifat formal dan menggunakan kurikulum yang diadakan oleh

pemerintah untuk sekolah-sekolah umum, dengan demikian pendidikan Islam telah


disetarakan dengan pendidikan sekolah umum.1
B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Istilah pengembangan kurikulum ini berasal dari kata pengembangan dan kurikulum.
Istilah pengembangan dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai usaha sistematis, terencana,
metodologis dan komprehensif dengan tujuan untuk mengkiritisi, memperbaharui, dan
menyempurnakan sesuatu yang telah ada sebelumnya seperti dikatakan oleh Gopper dan
Ross dalam Hamalik2. Sedangkan definisi kurikulum disebutkan oleh Oliva sebagai
Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or
set of ideas. Dari pengertian mengenai pengembangan dan kurikulum, maka yang dimaksud
dengan pengembangan kurikulum, dalam tulisan ini adalah usaha terencana, sistematis,
metodologis, dan komprehensif yang ditujukan untuk mengkritisi, memperbaharui, dan
menyempurnakan kurikulum yang telah ada sebelumnya, yang dalam konteks khusus
difokuskan pada kurikulum pendidikan Islam.
Omar Muhammad al-Tommy al-Syaibani dalam Samsul Nizar mendefinisikan pendidikan
Islam adalah suatu usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau
kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses
kependidikan dan perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam3.
Pengertian yang secara khusus dikemukakan oleh Muhammad Fadhi al-Jamaly dalam
Jalaluddin mendefinisikan pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan, mendorong serta
mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berlandaskan kepada nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia4.
Desain Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam berarti adalah usaha terencana,
sistematis, metodologis, dan komprehensif yang ditujukan untuk mengkritisi, memperbaharui,
dan menyempurnakan kurikulum pendidikan Islam yang telah ada sebelumnya. Yang mana
pendidikan Islam berusaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau

1 Sugiatno. Desain Pendidikan Islam untuk Masyarakat Global Ditinjau dari Filsafat Pendidikan Islam.
2 Agus Salim Mansyur. 2007. Pengembangan Kurikulum Berbasis Karakter: Konsepsi dan
Implementasinya. Jurnal Pendidikan Universitas Garut Vol. 01; No. 01; 2007; hal 3
3 Samsul Nizar. 2002. Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta : Ciputat
Pers, hlm. 31

4 Jalaluddin, 2003. Teologi Pendidikan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hlm. 75

kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses


kependidikan dan perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islami.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Dari kajian sejarah kurikulum, kita mengetahui beberapa hal yang menjadi sumber atau
landasan inti penyusunan kurikulum. Pengembangan kurikulum pertama bertolak dari
kehidupan dan pekerjaan orang dewasa. Karena sekolah mempersiapkan anak bagi kehidupan
orang dewasa, kurikulum terutama isi kurikulum diambil dari kehidupan orang dewasa.
Dalam pengembangan selanjutnya, sumber ini menjadi luas meliputi semua unsur
kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, hidup dalam lingkungan budaya, dan
turut menciptakan budaya. Untuk dapat hidup dalam lingkungan budaya, ia harus mempelajari
budaya, maka budaya menjadi sumber utama isi kurikulum.
Sumber lain penyusunan kurikulum adalah anak. Dalam pendidikan atau pengajaran,
yang belajar adalah anak. Pendidikan atau pengajaran bukan memberikan sesuatu pada anak,
melainkan menumbuhkan potensi- potensi yang telah ada pada anak.
Terakhir yang menjadi sumber penentuan kurikulum adalah kekuasaan sosial-politik. Di
Indonesia, pemegang kekuasaan sosial politik dalam penentuan kurikulum adalah Menteri
Pendidikan Nasional yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah serta Dirjen Pendidikan Tinggi bekerja sama dengan Balitbang Diknas
atau kalau di Departemen Agama dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Direktur
Pendidikan Madrasah dan Ditperta atau Dirjen Pendidikan Islam yang bertanggung jawab
langsung kepada Menteri Agama. Dengan adanya Disentralisasi, maka disinilah masingmasing lembaga atau daerah mempunyai otoritas dalam penyusunan kurikulum.5
Dalam kurikulum pendidikan Islam, pengembangan kurikulum pendidikan Islam harus
bersumber utama dari Al Quran dan hadits kemudian disesuaikan dengan sumber
pengembangan secara umum. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam pendidikan Islam yang
berisikan membekali peserta didik untuk menjadi muslim/ muslimah yang dewasa di masa
mendatang. Tetapi hal ini juga menyesuaikan dengan kondisi budaya masyarakat dan kondisi
anak muslim di tempat itu.
5 Nur Ahid. 2006. Konsep dan Teori Kurikulum dalam Dunia Pendidikan. ISLAMICA, Vol. 1, No. 1,
September 2006 hal 21

B. Pihak pihak yang Terlibat dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam


Dalam mengembangkan kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi. Pihak yang
secara terus menerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum, yaitu administrator, guru
dan orang tua6.
1. Peranan para administrator pendidikan
Administrator tingkat pusat bekerjasama dengan oara ahli pendidikan dan ahli bidang
studi di PT serta meminta persetujuannya terutama dalam penyusunan kurikulum sekolah.
Atas dasar kerangka dasar dan program inti tersebut para administrator daerah (kepala
kantor wilayah) dan administrator lokal (kabupaten, kecamatan dan kepala sekolah)
mengembangkan kurikulum sekolah bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan
daerah. Para kepala sekolah mempunyai wewenang dalam membuat operasionalisasi
sistem pendidikan masing-masing sekolah. Para kepala sekolah sesungguhnya secara
terus menerus terlibat dalam pengembangan dan implementasi kurikulum, memberikan
dorongan dan bimbingan kepada guru-guru. Menyangkut juga administrator pendidikan
Islam termasuk Kementrian Agama atau Dikdasmen Muhammadiyah setempat.
2. Peranan para ahli pendidikan Islam
Partisipasi para ahli pendidikan dan ahli kurikulum terutama sangat dibutuhkan
dalam pengembangan kurikulum pada tingkat pusat. Apabila pengembangan kurikulum
sudah banyak dilakukan pada tingkat daerah atau lokal, maka partisipasi mereka pada
tingkat aaerah, lokal bahkan sekolah juga sangat diperlukan, sebab apa yang telah
digariskan pada tingkat pusat belum tentu dapat dengan mudah dipahami oleh para
pengembang dan pelaksana kurikulum di daerah. Tentunya ahli dalam pendidikan Islam,
baik dari pemerhati, dosen maupun praktisi.
3. Peranan guru
Peranan guru bukan hanya menilai perilaku dan prestasi belajar murid-murid di
kelas, tetapi juga menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih luas. Guru
juga sebagai komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat belajar,
pencoba, penyusunan organisasi, manager sistem pengajaran, pembimbing baik di
sekolah mapun di masyarakat dalam hubungannya dalam pelaksanaan pendidikan seumur
hidup. Guru juga berperan sebagai pelajar dalam masyarakatnya, sebab ia harus selalu

6 Nana Syaodih Sukmadinata. 2000. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Remaja
Rosdakarya. Bandung.

belajar struktur sosial masyarakat, nilai-nilai utama masyarakat, pola-pola tingkah laku
dalam masyarakat.
4. Peranan orang tua murid
Orang tua juga mempunyai peranan penting dalam pengembangan kurikulum.
Peranan mereka dapat berkenaan dengan dua hal, pertama dalam penyusunan kurikulum
dan kedua dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam penyusunan kurikulum mungkin tidak
semua orang, hanya terbatas pada beberapa orang saja. Sedangkan dalam pelaksanaan
kurikulum diperlukan kerjasama yang sangat erat antara guru atau sekolah dengan peran
orang tua murid.
Peran orang tua harus dikoordinasikan dengan guru. Guru sudah mengajarkan dan
meneladankan di sekolah, hendaknya orang tua juga melakukan hal yang sama dalam
kehidupan di rumah.
C. Landasan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Nana Sudjana menyebutkan ada 3 landasan dalam pelaksanaan, pembinaan dan
pengembangan kurikulum, yakni:7
1. Landasan Filosofis yaitu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh secara mendalam
kajian filsafat tentang hakekat manusia, apa sebenarnya manusia itu, apa hakekat hidup
manusia, apa tujuan hidupnya dan sebagainya yang mencakup logika, etika dan estetika.
2. Landasan Sosial Budaya, yang mana kurikulum pendidikan harus dan sewajarnya pula
dapat menyesuaikan bahkan dapat mengantisipasi kondisi-kondisi yang bakal terjadi
disamping perlu penyesuaian dengan kondisi masyarakat
3. Landasan Psikologis, yang mana mendidik berarti mengubah tingkah laku anak menuju
kedewasaan. Semua ini dalam proses belajar mengajar selalu dikaitkan dengan teori-teori
perubahan tingkahlaku anak.
Hal hal ini menjadi landasan pengembangan kurikulum secara umum. Semua landasan
ini harus disesuaikan dengan nilai ajaran Islam. Misalknya nilai filsafat yang digunakan juga
harus sesuai dengan ajaran Islam. Landasan sosial budaya tidak boleh bertentangan dengan
ajaran Islam. Psikologi Islam juga harus menjadi pertimbangan dalam pengembangan
kurikulum pendidikan Islam, tidak melulu merujuk kepada psikologi barat yang sering
bertentangan dengan fitrah manusia dalam konsep Islam.

7 Yulianti Hartatik, & Ninik Indawati. Pengembangan Kurikulum PAUD. Jurnal Inspirasi
Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang hal 309 310

D. Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam 8


1. Perguruan tinggi
2. Masyarakat
3. Sistem nilai
E. Prinsip Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman
belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah. Rancangan kurikulum disusun dengan maksud
memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan
perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum9. Pertama, prinsip
relevansi. Ada dua relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu relevan ke luar dan
relevansi di dalam. Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi dan proses belajar yang tercakup
dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan
masyarakat. Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam yaitu ada kesesuaian atau
konsistensi antara komponen-komponen kurikulum.
Prinsip kedua adalah fleksibilitas, kurikulum hendaknya memilih sifat lentur atau
fleksibel. Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang.
Prinsip ketiga adalah kontinuitas yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar
anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau terhenti. Oleh karena
itu pengalaman belajar yang disediakan kurikulum hendaknya berkesinambungan antara satu
tingkat kelas dengan kelas lainnya.
Prinsip keempat adalah praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat sederhana dan
biaya murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisieni. Betapapun bagus dan idealnya
kurikulum kalau menuntut keahlian dan peralatan yang khusus dan sangat mahal, maka
kurikulum tersebut tidak prakstis dan sukar dilaksanakan.
Prinsip kelima adalah efektifitas. Walaupun kurikulum tersebut harus murah dan
sederhana, tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Keberhasilan pelaksanaan
kurikulum ini baik secara kuantitas atau kualitas.

F. Model Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam


8 Nana Syaodih Sukmadinata. 2000. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Remaja
Rosdakarya. Bandung.hal. 158
9 Nana Syaodih Sukmadinata. 2000. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Remaja
Rosdakarya. Bandung hal. 150

Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu
model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kebaikan-kebaikannya serta
kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem
pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep mana yang
digunakan. Sekurang-kurangnya terdapat delapan model pengembangan kurikulum yaitu:10
1. The administrative model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling
banyak dikenal. Diberi nama administratif karena inisiatif dan gagasan pengembangan
datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Tim
kerja pengembang kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang
lebih operasional, dijabarkan dari konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah digariskan
oleh tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional
dari tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun sekuens bahan pelajaran, memilih
strategi pengajaran dan evaluasi, dan menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan
kurikulum tersebut sebagai guru-guru.
Setelah semua tugas dari tim kerja pengembang kurikulum tersebut selesai, hasilnya
dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang
kompeten. Setelah mendapatkan penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik,
administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut serta
memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
2. The grass root model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif
dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah yaitu
guru-guru sekolah. Dalam model pengembangan grass roots seorang guru, sekelompok
guru atau seluruh guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum.
Pengembangan atu penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen
kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh
komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memingkinkan, baik dilihat dari
kemampuan

guru-gur, fasilitas

dan

biaya

maupun

bahan-bahan

kepustakaan,

pengembangan kurikulum model grass root akan lebih baik.


3. Beauchamps system
Model pengembangan ini dikemukakan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum. Ia
mengemukakan lima hal dalam pengembangan kurikulum yaitu:
10 Nana Syaodih Sukmadinata. 2000. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Remaja
Rosdakarya. Bandung.hal. 161

a. Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum
tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi, ataupun seluruh
negara. Petahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh
pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum.
b. Menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut

terlibat

dalam

pengembangan kurikulum. Ada empat kategori yaitu: (a) para ahli pendidikan
atau kurikulumyang ada pada pusat pengembangan kurikulum, (b) para ahli
pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih, (c) para
profesional dalam sistem pendidikan, (d) profesional lain dan tokoh-tokoh
masyarakat.
c. Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Beauchamp membagi
kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu; (a) membentuk tim pengembang
kurikulum, (b) mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang
ada yang sedang digunakan, (c) studi penjajagan tentang kemungkinan
penyusunan kurikulum baru, (d) merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan
kurikulum baru, (e) penyusunan dan penulisan kurikulum baru.
d. Implementasi
kurikulum.
Langkah
ini
merupakan

langkah

mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang


sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh.
e. Langkah terakhir adalah evaluasi kurikulum. Langkah ini minimal mencakup
lima hal, yaitu; (a) evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, (b)
evaluasi desain kurikulum, (c) evaluasi hasil belajar siswa, (d) evaluasi dari hasil
keseluruhan sistem kurikulum.
4. The demonstration model
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat gross roots, datang dari bawah. Model ini
diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerjasama dengan ahli yang
bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini umumnya berskala kecil, hanya
mencakup satu atau beberapa sekolah. Karena sifatnya ingin mengubah atau mengganti
kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum ini sering mendapat tantangan dari pihakpihak tertentu.
Menurut Smith, Stanley dan Shores ada dua variasi model demonstrasi. Pertama,
sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan
suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. Proyek ini bertujuan mengadakan
penelitian dan pengembangan tentang salah satu atau beberapa komponen kurikulum.
Bentuk kedua, kurang bersifat formal. Beberapa orang guru yang merasa kurang puas
denga kurikulum yang ada, mencoba mengadakan penelitian dan pengembangan sendiri.

10

5. Tabas inverted model


Ada lima langkah yang dilakukan Taba. Pertama, mengadakan unit-unit eksperimen
bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini diadakan studi yang seksama tentang
hubungan antara teori dan praktik. Kedua, menguji unit eksperimen. Meskipun unit ini
telah diuji namun tetap harus diuji di kelas-kelas. Ketiga, mengadakan revisi dan
konsolidasi. Dari langkah pengujian dilakukan beberapa data, data tersebut digunakan
untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan. Keempat, pengembangan keseluruhan
kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan penyempurnaan kurikulum dan konsolidasi
telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu masih
harus dikaji oleh para ahli kurikulum dan profesional kurikulum lainnya. Kelima,
implementasi dan diseminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru pada daerah atau
sekolah-sekolah yang lebih luas.
6. Rogers interpersonal relation model
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers.
a. Pemilihan target dari sistem pendidikan.
Dalam penentuan target ini satu-satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah
adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok
yang intensif.
b. Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif.
Sama seperti yang dilakukan para pejabat pendidikan, guru juga turut serta
dalam kegiatan kelompok.
c. Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit
pelajaran.
Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kegiatan kelompok dengan
fasilitator para guru atau administrator.
d. Partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok.
Kegiatan ini dapat dikoordinasi oleh BP3 masing-masing sekolah. Lama
kegiatan kelompok dapat tiga jam setiap sore selama seminggu atau 24 jam secara
terus menerus.
7. The systematic action-research model.
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa pengembangan kurikulum
merupakan perubahan sosial. Langkah-langkah ya adalah sebagai berikut:
a. Mengadakan kajian secara seksama, tentang masalah-masalah kurikulum, berupa
pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor,
kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut.
b. Implementasi dari kurikulum yang diambil dalam tindakan pertama. Kegiatan ini
segera diikuti oleh kegiatan pengumpulan data dan fakta-fakta.
8. Emerging technical model

11

Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi


efektifitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum.
Tumbuh kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, antaranya:
a. The behavioral analysis model
Menekankan penguasaan peilaku atau kemampuan. Suatu perilaku atau
kemampuan yang komplek diuraikan menjadi perilaku-perilaku yang sederhana yang
tersusun secara hirarki.
b. The system analysis model
Langkah pertama model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar
yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua adalah penyusunan instrumen untuk
menilai ketercapaian hasil belajar. Langkah ketiga mengidentifikasi tahap-tahap
ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang dibutuhkan. Langkah keempat
membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
c. The computer based model
Suatu model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer.
Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit kurikulum, tiap
unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang diharapkan.

G. Model

Pendekatan

Pendekatan

dalam

Pengembangan

Kurikulun Pendidikan Islam


Menurut Print, dalam kurikulum, kita mengartikan model sebagai
pemaparan komponen kurikulum dan bagaimana semua komponen
tersebut saling terkait. Dengan demikian model berguna ketika kita
mengembangkan teori11.
Di dalam teori kurikulum setidak-tidaknya terdapat 4 pendekatan
dalam pengembangan kurikulum di antaranya, yaitu: pendekatan subyek
akademik; pendekatan humanistik; pendekatan teknologi; dan pendekatan
rekonstruksi sosial12.

11 Ansyar, Mohamad. 2015. Kurikulum, Hakikat, fondasi, Desain dan Pengembangan. Kencana.
Jakarta. h. 287
12 Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi. Rajawali Press. Malang. h. 149

12

1. Model

Pengembangan

Kurikulum

melalui

Pendekatan

Subjek

Akademis
Kurikulum akademis ini merupakan model yang pertama dan
tertua, sejak sekolah berdiri kurikulumnya seperti ini, bahkan sampai
sekarang walaupun telah berkembang tipe-tipe lain, umumnya sekolah
tidak dapat melepaskan tipe ini. Karena sangat praktis, mudah disusun
dan mudah digabungkan dengan tipe-tipe lain.
Kurikulum

akademis

bersumber

dari

pendidikan

klasik

(perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu.


Semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para
pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan mewariskan
hasil-hasil

budaya

masa

lalu

tersebut.

Kurikulum

ini

lebih

mengutamakan isi pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai


ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah
orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan
yang diberikan atau disiapkan oleh guru13.
Jerome Bruner dalam The Process of Education sebagaimana di
kutip S.

Nasution menyarankan bahwa desain kurikulum hendaknya

didasarkan atas struktur disiplin ilmu. Selanjutnya, ia menegaskan


bahwa

kurikulum

suatu

mata

pelajaran

harus

didasarkan

atas

pemahaman yang mendasar yang dapat diperoleh dari prinsip-prinsip


yang mendasarinya dan yang memberi struktur kepada suatu disiplin
ilmu14.
Pengembangan kurikulum subyek akademik dilakukan dengan cara
menetapkan lebih dulu mata pelajaran/mata kuliah apa yang harus
dipelajari

peserta

didik,

yang

diperlukan

untuk

(persiapan)

pengembangan disiplin ilmu. Tujuan kurikulum subyek akademis


adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa
menggunakan ide-ide dan proses penelititan.
2. Model Pengembangan Kurikulum Melalui Pendekatan Humanistik
13 Ahid, Nur. 2006. Konsep Dan Teori Kurikulum Dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Islamica. Vol. 1. No. 1.
September 2006. h. 22

14 S. Nasution. 1982. Azas-azas Kurikulum. Jemmars. Bandung. h. 26.

13

Dalam pandangan humanisme, kurikulum adalah sesuatu yang


dapat menunjang perkembangan anak dalam aspek kepribadiannya.
Kurikulum dapat dilihat sebagai suatu proses yang mampu memenuhi
kebutuhan individu untuk mencapai integrasi perkembangan dalam
menuju aktualisasi (perwujudan) diri.
Pengikut dalam aliran ini meliputi pendidikan Konfluen, Kritisi
Radikal, Mistisi Baru. Pendidikan konfluen adalah pendidikan yang
memandang anak sebagai satu keseluruhan diri. Kritisi Radikal adalah
pendidikan yang bersumber dari aliran Naturalisme atau Romantisme,
yang menekankan pendidikannya pada upaya untuk membantu anak
menentukan

dan

mengembangkan

sendiri

segala

potensi

yang

dimilikinya, dan menciptakan situasi yang memungkinkan anak


berkembang secara optimal. Mistikisme Modem adalah aliran yang
menekankan pada latihan dan kepekaan, perasaan, dan keluhuran budi
pekerti,

atau

menemukan

nilai-nilai

dalam

latihan

sensitivitas,

meditasi, atau teknik transpersonal lainnya15.


Kurikulum pada pendekatan ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Partisipasi, kurikulum ini menekankan partisipasi murid dalam
belajar. Kegiatan belajar adalah belajar bersama, melalui berbagai
bentuk aktivitas kelompok. Melalui vartisivasi kegiatan bersama,
murid-murid

dapat

mengadakan

perundingan,

persetujuan,

pertukaran kemampuan, bertanggung jawab bersama, dan lainlain. Ini menunjukkan cirri yang non- otoriter.

15 Nana Syaodih Sukmadinata. 2000. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Remaja
Rosdakarya. Bandung. h. 83-84

14

b. Intergrasi, melalui partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok


terjadi interaksi, interpenetrasi, dan integrasidari pemikiran, dan
juga tindakan.
c. Relevansi, isi pendidikan relevan dengan kebutuhan, minat dan
kebutuhan muridkarena diambil dari dunia murid oleh murid
sendiri.
d. Pribadi anak, pendidikan ini memberikan tempat utama pada
pribadian anak.
e. Tujuan, pendidikan ini bertujuan pengembangan pribadi yang utuh,
yang serasi baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungan
secara menyeluruh.
3. Model Pengembangan Kurikulum Melalui Pendekatan Teknologi
Dalam pandangan teknologi, kurikulum merupakan proses teknologi
untuk menghasilkan tuntutan kebutuhan-kebutuhan tenaga yang
mampu membuat keputusan.
Penerapan

teknologi

dalam

pendidikan,

khususnya

kurikulum

meliputi dua bentuk, yakni; bentuk perangkat lunak (software) dan


perangkat keras (handware). Penerapan teknologi perangkat keras
dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tulls technology),
sedangkan

penerapan

teknologi

perangkat

lunak

disebut

juga

teknologi sistem (system technology).


Teknologi yang diharapkan adakalanya berupa PPSI atau prosedur
pengembangan sistem intruksional, pelajaran berprogram dan modul.
Pada segala kebijakan yang bersifat teknis-praktis, Islam memberikan
otonomi bagi penyelenggara pendidikan seluas-luanya, termasuk
mengadopsi alat yang lain. Bentuk dan model yang dapat digunakan,
selama memiliki nilai maslahah, maka bentuk dan model itu dapat
digunakan16.
4. Model Pengembangan Kurikulum Melalui pendekatan Rekonstruksi
Sosial
Kurikulum Rekonstruksi Sosial ini lebih menekankan pada problemproblem yang dihadapi murid dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi
16 Abdul Mujid dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media) hal. 147-148.

15

kurikulum ini mengemukakan bahwa pendidikan bukanlah merupakan


upaya sendiri, melainkan merupakan kegiatan bersama, interaksi, dan
kerja sama. Interaksi atan kerja sama dapat terjadi pada siswa dengan
guru, siswa dengan siswa, siswa dengan orang di lingkungannya.
Dengan kerja sama semacam ini, para siswa berusaha memecahkan
problem-problem yang dihadapi dalam masyarakat agar menjadi
masyarakat yang lebih baik. Pendidikan, menurut konsepsi kurikulum
rekonstruksi sosial ini memiliki pengaruh, mengubah, dan memberi
corak baru kepada masyarakat dan kebudayaan17.
Isi pendidikan terdiri atas problem-problem aktual yang dihadapi
dalam kehidupan nyata di masyarakat. Proses pendidikan atau
pengalaman belajar peserta didik berbentuk kegiatan-kegiatan belajar
kelompok yang mengutamakan kerja sama, baik antar peserta didik,
peserta didik dengan guru/dosen dengan sumber-sumber belajar yang
lain. Karena itu, dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan
PAI bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat sebagai isi
PAI, sedang proses atau pengalaman belajar peserta didik adalah
dengan cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja
secara kooparatif dan kolaboratif, berupaya mencari pemecahan
terhadap problem tersebut menuju pembentukan masyarakat yang
lebih baik.
5. Model Pengembangan Kurikulum Melalui Proses Kognitif
Kurikulum ini bertujuan mengembangkan kemampuan mental,
antara lain berfikir dan berkeyakinan bahwa kemampuan tersebut
dapat ditransfer atau diterapkan pada bidang-bidang lain. Model ini
berpijak pada psikologis kognitif, yang konsepnya berpijak pada
kekuatan pikiran18.

17 Nana Syaodih Sukmadinata. 2000. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Remaja
Rosdakarya. Bandung.. h. 25-26.
18 Abdul Mujid dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media.
Jakarta. h. 147-148

16

Selain model tersebut, Zais mengemukakakan ada dua model


kurikulum, yaitu ada model teknikal saintifik dan ada model nonteknikal saintifik19.
a. Model Pendekatan Teknikal-Saintifik
1) Model Bobbit dan charters
Menurut Franklin Bobbit, tugas

pertama

pengembangan

kurikkulum adalah menentukan kegiatan yang berkontribusi pada


pencapaian kehidupan yang baik bagi siswa seperti kemampuan
personal yang berkualitas sehingga ia bisa fungsional di masyarakat.
Bobbit dan Chaters membangun konstruksi kurikulum yang kuat.
Mereka menganggap seleksi tujuan sebagai suatu proses normative,
dan seleksi tujuan dan kegiatan sebagai proses empiris dan ilmiah.
Oelh karena itukegiatan kurikuler bisa dirancang, diteliti dan
dievaluasi secara sistematik.
2) Model Tyler
Model teknikal saintifik Ralph Tyler merupakan suatu model
desain

klasik.

sequential,

Model

rational,

ini

dikenal

behavioral,

sebagai
atau

objektivites

mean-end

model,

model.

Tyler

merumuskan desain kurikulum berdasarkan jawaban atas empat


pertanyaan pokok : (1) Apakah tujuan pendidikan yang harus dicapai
sekolah ?; (2) Pengalaman belajar / Pendidikan apa yang harus
dimiliki siswa agar tujuan itu tercapai ?; (3) Bagaiamana pengalaman
itu disusun agar efektif

?; dan (4) Bagaimana kita mengevaluasi

untuk megetahui efektivitas kurikulum ?


3) Model Taba : Grassroots Rational
Hilda Taba megajukan bahwa ada orde definit dalam mendesain
kurikulum

yang

rasional

dan

dinamis.

Secara

khusus,

dia

menganjurkan dua pertimbangan kurikuler: (1) Konten: organisasi


logis kurikulum, dan (2) individu siswa: organisasi psikologis
kurikulum.
4) Model Backward-Design
Desain ini juga mengambil ide dari bidang studi arsitektur dan
rekayasa.desain ini dimulai dari tahap pertama, yaitu statemen
19 Ansyar, Mohamad. 2015. Kurikulum, Hakikat, fondasi, Desain dan Pengembangan. Kencana.
Jakarta. h. 288

17

tentang hasil yang diinginkan. Apakah yag ingin dicapai? Apa yang
harus diketahui dan dapat dilakukan siswa? Nilai-nilai dan sika apa
yang harus dianut siswa ? Keterampilan apa dan kemampuan apa
yang harus dikuasai dan dilakukan siswa?20
b. Pendekatan Nonteknikal-Nonsaintifik
Pada pendekatan ini berbeda dengan the scientific approach, karena
pendekatan ini mengutamakan siswa daripada tujuan kurikulum itu
sendiri. Karena siswa selalu berkembang dan dia harus dipandang
sebagai

subjek

penddikan

yang

aktif,

bukan

penerima

pasif

pengetahuan.
1) Model Deliberasi
Dalam model ini, pendidik mendiskusikan pandangan masingmasing kepada kolega mereka, dan kadang-kadang kepada siswa,
tentang tujuan pendidikan yang akan dicapai dana pa yang harus
dipelajari. Yang penting adalah kurikulum harus bersifat nonlinier.
Pendekatan ini mengandalkan berfikir system dan pada umpan balik
serta penyesuaian, tetapi juga mempertimbangkanbahwa realita
adalah suatu hal yang subjektif.
2) Desain Unenkapsulasi
Enkapsulisasi merupakan kondisi umum manusia yang sangat yakin
dengan akurasi persepsi dan pemahamannya tentang realita.
Padahal, disebabkan enkapsulisasi fisiologis, dan psikologis dan
kultural dirinya, ia hanya memiliki imeg parsial dan distorsi tentang
realita yang sesungguhnya. Berdasarkan itu, tujuan desain ini adalah
menghasilkan, secara hipotesis, seorang yang lebih baik tingkah
lakunya

ditentukan

pengetahuan

yang

benar

dan

seimbang,

daripada seseorang memiliki distorsi persepsi dan prajudis yang tak


disadarinya.21
H. Langkah dan Tahapan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Pengembangan kurikulum meliputi empat langkah, yaitu merumuskan tujuan
pembelajaran

(instructional

objective),

menyeleksi

pengalaman-pengalaman

20 Ansyar, Mohamad. 2015. Kurikulum, Hakikat, fondasi, Desain dan


Pengembangan. Kencana. Jakarta. h. 288-292
21 Ansyar, Mohamad. 2015. Kurikulum, Hakikat, fondasi, Desain dan
Pengembangan. Kencana. Jakarta. h. 293 295

belajar

18

( selection of learning experiences), mengorganisasi pengalaman-pegalaman belajar


(organization of learning experiences), dan mengevaluasi (evaluating).22
1. Merumuskan Tujuan Pembelajaran (Instructional Objective)
Tahap yang pertama yang harus diperhatikan dalam merumuskan tujuan adalah
memahami tiga sumber, yaitu siswa (source of student), masyarakat (source of society),
dan konten (source of content). Tahap kedua adalah merumuskan tentative general
objective atau standar kompetensi (SK) dengan memperhatikan landasan sosiologi
(sociology), kemudian di-screen melalui dua landasan lain dalam pengembangan
kurikulum yaitu landasan filsofi pendidikan (philosophy of learning) dan psikologi
belajar (psychology of learning), dan tahap terakhir adalah merumuskan precise
education atau kompetensi dasar (KD).
2. Merumuskan dan Menyeleksi Pengalaman-Pengalaman Belajar (selection of
learning experiences)
Dalam merumuskan dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar dalam
pengembangan kurikulum harus memahami definisi pengalaman belajar dan landasan
psikologi belajar (psychology of learning). Pengalaman belajar merupakan bentuk
interaksi yang dialami atau dilakukan oleh siswa yang dirancang oleh guru untuk
memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Pengalaman belajar yang harus dialami siswa
sebagai learning activity menggambarkan interaksi
3. Mengorganisasi Pengalaman Pengalaman Belajar (organization of learning
experiences)
Pengorganisasi atau disain kurikulum diperlukan untuk memudahkan anak didik
untuk belajar. Dalam pengorganisasian kurikulum tidak lepas dari beberapa hal penting
yang mendukung, yakni: tentang teori, konsep, pandangan tentang pendidikan,
perkembangan anak didik, dan kebutuhan masyarakat. Pengorganisasian kurikulum
bertalian erat dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Oleh karena itu kurikulum
menentukan apa yang akan dipelajari, kapan waktu yang tepat untuk mempelajari,
keseimbangan bahan pelajaran, dan keseimbangan antara aspek-aspek pendidikan.
4. Evaluasi Kurikulum
Langkah terakhir dalam pengembangan kurikulum adalah evaluasi. Evaluasi adalah
proses yang berkelanjutan di mana data yang terkumpul dan dibuat pertimbangan untuk
tujuan memperbaiki sistem. Evaluasi yang seksama adalah sangat esensial dalam
22 Sukaya, Pengembangan Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi, Jurnal Teknologi Informasi &
Pendidikan Vol. 1 No. 1 Maret 2010 Hal 104

19

pengembangan kurikulum. Evaluasi dirasa sebagai suatu proses membuat keputusan ,


sedangkan riset sebagai proses pengumpulan data sebagai dasar pengambilan keputusan.
Ornstein dan Hunkins menyatakan pengembangan kurikulum terdiri atas tiga yaitu (a)
mendesain kurikulum, (b) mengimplementasikan kurikulum dan, (c) mengevaluasi kurikulum.
Brady (1992) menyebutkan bahwa pengembangan kurikulum terdiri atas : (a) penyusunan
konteks kurikulum (curriculum contex), (b) proses kurikulum (curriculum process), (c)
manajemen kurikulum (curriculum management), (d) curriculum translation, (e) melakukan
evaluasi (curriculum evaluation). Print (1989) mengidentifikasi pengembangan kurikulum
terdiri atas: (a) tahap pengorganisasian, (b) tahap pengembangan terdiri atas analisis situasi,
penetapan

tujuan,

penetapan

isi

pelajaran,

penetapan

akitivitas

belajar, evaluasi

instruksional,dan (c) tahap aplikasi terdiri atas monitoring, feedback dan implementasi serta
modifikasi. Dari siklus pengembangan kurikulum yang ditawarkan oleh beberapa ahli pada
hakikatnya tidaklah berbeda, walapun jumlah siklus dan tata urutannya berbeda namun
pengembangan kurikulum akan selalu berangkat dari siklus perencanaan (desain),
pelaksanaan (implementasi) dan evaluasi23.
I. Artikulasi dan Hambatan
Artikulasi pendidikan berarti kesatupaduan dan koordinasi segala pengalaman belajar 24.
Untuk merealisasikan kurikulum, perlu meneliti kurikulum secara menyeluruh, membuang
hal-hal yang tidak diperlukan, menghilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran,
mengusahakan perluasan dan kesinambungan kurikulum. Untuk menyusun artikulasi
kurikulum diperlukan kerjasama dari berbagai pihak: para administrator, kepala sekolah, TK
sampai rektor universitas, guru-guru dari setiap jenjang pendidikan, orang tua murid dan
tokoh-tokoh masyarakat.
Dalam pengembangan kurikulum terdapat hambatan-hambatan. Hambatan pertama
terletak pada guru, guru kurang berpartisipsi dalam pengembangan kurikulum. Hambatan lain
datang

dari

masyarakat.

Untuk

pengembangan

kurikulum

dibutuhkan

dukungan

masyarakat.baik pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap sistem


pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Hambatan lain yang dihadapi
23 Dawmawati dkk, Analisis Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi,
FENOMENA, Volume V, No. 2, 2013 hal 204
24 Nana Syaodih Sukmadinata. 2000. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Remaja
Rosdakarya. Bandung.

20

pengembangan kurikulum adalah masalah biaya. Untuk kegiatan kurikulum, apalagi


ekseprimen baik metode, isi atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering
tidak sedikit.

BAB II
PENUTUP
Pengembangan kurikulum adalah sesuatu yang niscaya selalu perlu dilakukan. Maka
pengembangan kurikulum pendidikan Islam harus selalu dilakukan dengan prosedur yang
telah ada dan telah dirancang. Semua hal itu bertujuan agar pendidikan Islam menjadi lebih
baik dan memberi hasil yang lebih baik sesuai dengan harapan.

21

Kurikulum pendidikan Islam yang lebih baik menjadi harapan setiap pelaku pendidikan
Islam yang ada di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari perencanaan yang matang, konsep yang
jelas dan mantap, pelaksanaan yang sesuai dengan prosedur. Dan tidak boleh dilupakan yaitu
dukungan dari semua pihak. Semua hal itu tidak bisa dilakukan dengan cepat. Semua itu
adalah proses yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Halangan dan hambatan akan terus ada, semua itu menjadi sebuah siklus pengembangan
kurikulum. Setelah direncanakan, dikerjakan kemudian dilihat hasilnya. Semua tahap itu
dievaluasi. Kemudian disempurnakan kembali. Proses ini akan selalu terjadi secara berulang
ulang.
Dengan proses yang berjalan sesuai dengan prosedur dan tahap yang direncanakan,
semua pihak tentunya berharap hasil yang sesuai dengan target yang telah direncanakan.
Harapan akan peserta didik yang bukan hanya berilmu tinggi tetapi juga berakhlak mulia
tentunya dapat diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujid dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media.
Agus Salim Mansyur. 2007. Pengembangan Kurikulum Berbasis Karakter: Konsepsi dan
Implementasinya. Jurnal Pendidikan Universitas Garut Vol. 01 No. 01. 2007

22

Dawmawati dkk, Analisis Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, FENOMENA,


Volume V, No. 2, 2013
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Mohamad Ansyar. 2015. Kurikulum, Hakikat, fondasi, Desain dan Pengembangan. Jakarta:
Kencana
Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah,
dan Perguruan Tinggi. Malang: Rajawali Press
Nana Syaodih Sukmadinata. 2000. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Nur Ahid. 2006. Konsep Dan Teori Kurikulum Dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Islamica. Vol.
1. No. 1. September 2006
Samsul Nizar. 2002. Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
Jakarta : Ciputat Pers
Sugiatno. Desain Pendidikan Islam untuk Masyarakat Global Ditinjau dari Filsafat
Pendidikan Islam.
Sukaya. Pengembangan Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi, Jurnal Teknologi Informasi
& Pendidikan Vol. 1 No. 1 Maret 2010
S. Nasution. 1982. Azas-azas Kurikulum. Bandung: Jemmars.
Yulianti Hartatik, & Ninik Indawati. Pengembangan Kurikulum PAUD. Jurnal Inspirasi
Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang

Anda mungkin juga menyukai