Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERUMUSAN FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Analisis Kebijakan Pendidikan Pendidikan Agama Islam
Dosen pengampu : Dr. H. Muhlisin, M.Ag.

Disusun oleh:
Istifaroh 5221041
Akhmad Ikhsanudin 5220048
Ajuslan Kerubun 5221015

JURUSAN MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
2023
PENDAHULUAN

Kerusakan moral masa muda kita menjadi perhatian serius. Banyak kasus kejahatan telah
dilaporkan di media, termasuk pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, penggunaan narkoba, dll.
Akibat peristiwa tersebut, lembaga pendidikan harus berusaha mencegah dan memberantas
berbagai kejahatan remaja yang bermunculan. Sekolah harus mampu mempengaruhi siswa untuk
mengubah perilaku negatifnya. Sekolah saat ini harus mampu mengembangkan kemampuan
afektif dan psikomotor siswa, mengajarkan kecakapan hidup dan menanamkan nilai-nilai moral,
selain menitikberatkan pada penguasaan aspek kognitif dan kemampuan menjawab soal-soal
ujian. Oleh karena itu, untuk mengatasinya diperlukan formulasi kebijakan yang tepat.

Kebijakan pendidikan Indonesia telah berubah dari waktu ke waktu. Perubahan kebijakan
tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: perubahan aparatur, perbaikan kurikulum,
perubahan sosial budaya masyarakat, bahkan faktor politik. Perubahan kebijakan ini berdampak
kuat pada proses pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Guru dan siswa harus bisa beradaptasi
dengan kebijakan baru dunia pendidikan.

Selain itu, ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam merumuskan suatu
kebijakan pendidikan dan makalah ini mengkaji secara keseluruhan tentang definsi formulasi
kebijakan pendidikan, pendekatan dalam merumuskan formulasi kebijakan pendidikan,
metodologi dalam merumuskan formulasi kebijakan pendidikan, skenario dalam merumuskan
formulasi kebijakan pendidikan, aktor yang terlibat dalam merumuskan formulasi kebijakan
pendidikan, faktor-faktor yang berpengaruh dalam merumuskan formulasi kebijakan pendidikan
dan problematika dalam merumuskan formulasi kebijakan pendidikan.

PEMBAHASAN

A. DEFINSI FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


Formulasi berarti perumusan, sedangkan kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya),

1
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen
dalam usaha mencapai sasaran.1
Kebijakan berasal dari kata bijak. Menurut kamus Inggris Indonesia/Indonesia Inggris
karangan Prof. Drs.S. Woyowasito & WJS Purwodarminto, kata bijak berarti learned,
prudent, experienced. Kata bijak merupakan kata sifat yang selanjutnya dengan awalan “ke”
dan akhiran “an” menjadi kata benda “kebijakan”. Hal itu berarti bahwa kebijakan itu
menunjukkan adanya kemampuan atau kualitas yang dimiliki seseorang dalam keadaanya
yang learned (terpelajar), prudent (baik), dan experienced (berpengalaman). Dengan
demikian kebijakan berarti kata benda yang tetap menjadi tambahan keterangan terhadap
suatu kata benda lainnya. Kata kebijakan menurut Wojowasito cs yang dikutip oleh Nuryanti
berarti: skill (keterampilan), ability (kemampuan), capability (kecakapan), insight
(kemampuan untuk memahami sesuatu). Sehingga kebijakan pemerintah berarti
“keterampilan pemerintah” atau sifat-sifat cakapnya” pemrintah. Jadi kebijakan adalah kata
benda yang menunjukkan sifat sesuatu atau kualitas yang dimiliki oleh seseorang. Kebijakan,
dilihat dari segi istilahnya menunjukkan pengertian yang sifatnya tetap, serta melekat pada
seseorang yang tidak berubah, kecuali karena adanya sebab untuk perkembangan.Oleh
karena itu kebijakan merupakan pengertian yang statis (static concept).2
Sedangkan kebijakan menurut pendapat Eaulau dan Prewitt dikutip oleh H.M.
Hasbullah yang menjelaskan bahwa Kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh
konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang
mematuhi keputusan tersebut.3 Dan menurut pendapat Duke dan Canady dikutip oleh Mudjia
Rahardjo yang mengelaborasi konsep kebijakan dengan delapan arah pemaknaan kebijakan,
yaitu 1) kebijakan sebagai penegasan maksud dan tujuan, 2) kebijakan sebagai sekumpulan
keputusan lembaga yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan,
melayani, dan lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya, 3) kebijakan sebagai suatu
panduan tindakan diskresional, 4) kebijakan sebagai sutau strategi yang diambil untuk
memecahkan masalah, 5) kebijakan sebagai perilaku yang bersanksi, 6) kebijakan sebagai

1
Abdul Rahman BP, Yusdayanti, Muhammad Nawir, dan Hidayah Quraisy, Formulasi Kebijakan
Pendidikan, JURNAL PILAR Volume 132, No. 1, Juni 2022, hal. 47.
2
Nuryanti Mustari, Pemahaman Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan
Publik, (Yogyakarta: LeutikaPrio, 2015), hal. 19-20.
3
H.M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan (Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif
Pendidikan di Indonesia), (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal. 37.

2
norma perilaku dengan ciri konsistensi, dan keteraturan dalam beberapa bidang tindakan
substansif, 7) kebijakan sebagai keluaran sistem pembuatan kebijakan, 8) kebijakan sebagai
pengaruh pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman khalayak sasaran terhadap
implementasi sistem4
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh
seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan
berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada guna mencapai maksud dan
tujuan tertentu.
Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) disebut juga sebagai tahapan yang turut
menentukan dari kebijakan publik, dalam tahap inilah dirumuskan batas-batas kebijakan itu
sendiri. Untuk itu, harus disadari beberapa hal yang hakiki dari kebijakan publik, adalah:
Pertama, bahwa kebijakan publik ditujukan untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan
dan kepentingan publik dalam kerangka meningkatkan kapasitas publik itu sendiri. Kedua,
keterbatasan kemampuan sumber daya manusia. Tidak sedikit kebijakan publik yang baik
akhirnya tidak dapat dilaksanakan karena tidak didukung oleh ketersediaan SDM yang
memadai. Ketiga, keterbatasan kelembagaan, sejauhmana kualitas praktek manajemen
profesional dan proporsional di dalam lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat, baik
yang bergerak di bidang profit maupun non-profit. Keempat, adalah keterbatasan yang klasik
tetapi tidak kalah penting, yakni keterbatasan dana atau anggaran. Kebijakan tidak dapat
dilakukan jika tidak ada dana. Dan Kelima, adalah keterbatasan yang bersifat teknis, yakni
berkenaan dengan kemampuan teknis menyusun kebijakan itu sendiri.5
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho yang dikutip oleh Aminuddin Bakry yang
mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan hakikat
pendidikan dalam proses memanusiakan anak manusia menjadi manusia merdeka. Manusia
meredeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya. Manusia

4
Mudjia Rahardjo, Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal.
3.
5
Novliwanda Ade Putra, Zaili Rusli, dan Febri Yuliani, Formulasi Kebijakan Pembentukan Peraturan
Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 16, Nomor 1, Juli 2020,
hal. 108.

3
dibesarkan di dalam habitusnya yang membudaya, dia hidup di dalam budayanya dan dia
menciptakan atau merekonstruksi budayanya itu sendiri.6
Oleh karena itu, upaya merumuskan berbagai perangkat konsep dan prinsip yang
menjadi kerangka dan landasan rencana penyelenggaraan kegiatan pendidikan serta pedoman
bagi manajemen atau pengelola pendidikan dalam upaya mencapai tujuan atau sasaran
pendidikan yang diantisipasi adalah definisi dari formulasi kebijakan pendidikan.

B. PENDEKATAN DALAM MERUMUSKAN FORMULASI KEBIJAKAN


PENDIDIKAN
Secara teoritik, pendekatan perumusan kebijakan di bidang pendidikan tidak berbeda
dengan pendekatan perumusan kebijakan publik, karena kebijakan pendidikan dipahami
sebagai kebijakan publik. Berikut ini beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam
kerangka perumusan kebijakan pendidikan7:
1. Pendekatan kelembagaan
Pendekatan ini mengandalkan bahwa tugas membuat kebijakan pendidikan
merupakan kewenangan pemerintah. Pendekatan ini dipandang paling sederhana dan
sempit dalam perumusan kebijakan pendidikan. Pendekatan ini mendasarkan pada fungsi-
fungsi kelembagaan pendidikan dan berbagai tingkatan dalam perumusan kebijakan.
2. Pendekatan proses
Pendekatan ini menformulasikan kebijakan pendidikan melalui tahapan-tahapan
yang runtut, tidak melompat-lompat atau langsung jadi. Menurut pendekatan ini,
kebijakan pendidikan dipandang sebagai proses politik yang menyertakan rangkaian
kegiatan, mulai dari identifikasi permasalahan pendidikan, formulasi proposal kebijakan
pendidikan, legitimasi kebijakan pendidikan, implementasi dan evaluasi kebijakan
pendidikan.
3. Pendekatan teori kelompok
Pendekatan ini kebijakan pendidikan merupakan titik keseimbangan, yang berarti
interaksi dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan terbaik. Berdasarkan

6
Aminuddin Bakry, Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, Jurnal Medtek, Volume 2, Nomor 1,
April 2010, hal. 3.
7
H. M. Hasbullah, Op.Cit., hal. 87-89.

4
pendekatan ini, individu dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun
informal dengan cara langsung maupun melalui media masa menyampaikan tuntutannya
kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang diperlukan.
4. Pendekatan elitis,
Pendekatan ini terdapat dalam sistem politik kebijakan pendidikan dibuat dan
banyak dipengaruhi oleh para elite dari sistem itu. Dengan demikian kebijakan
pendidikan mencerminkan keinginan dan kehendak kaum elit saja, tanpa ada aspirasi
masyarakat.
5. Pendekatan rasional
Pendekatan rasional itu mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik
sebagai maximum social gain, yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus
memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Rasionalitas
yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai serta lebih
menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis.

C. METODOLOGI DALAM MERUMUSKAN FORMULASI KEBIJAKAN


PENDIDIKAN
Dalam usaha perumusan kebijakan pendidikan, H. A. R. Tilaar dan Riant Nugroho
dalam bukunya mengemukakan tiga belas teori perumusan kebijakan yaitu teori
kelembagaan, proses, kelompok, elit, rasional, incremental, permainan, pilihan publik,
sistem, pengamatan terpadu, demokratis, strategis, dan teori deliberatif.8
1. Teori inkrementalis
Teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi atau kelanjutan dari
kebijakan dimasa lalu sehingga perlu mempertahankan kinerja baik yang telah dicapai,
teori ini memiliki sifat pragmatis.
2. Teori demokratis
Teori ini implementasinya pada good governance bagi pemerintahan yang
mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten, dan pemanfaat
(beneficiaries) diakomodasi keberadaan. Apabila teori ini mampu dijalankan maka sangat

8
H.A.R.Tilaar, Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan
Sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 190-208.

5
efektif karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan
kebijakan karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang
dirumuskan.
3. Teori Strategis
Inti dari teori ini adalah perencanaan strategis mensyaratkan pengumpulan
informasi secara luas, eksploratif alternatif dan menekankan implikasi masa depan
dengan keputusan sekarang. Fokusnya lebih kepada pengidentifikasian dan pemecahan
isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di dalam
organisasi dan berorientasi kepada tindakan. Perencanaan strategis dapat membantu
organisasi untuk berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang
efektif, memperjelas arah masa depan, menciptakan prioritas, membuat keputusan
sekarang dengan memperhatikan konsekuensi masa depan.
4. Teori pilihan publik
Teori pilihan publik dapat digunakan untuk mempelajari perilaku aktor politik
maupun sebagai petunjuk bagi pengambilan keputusan dalam penentuan pilihan
kebijakan publik yang paling efektif. Subyek dalam telaah pilihan publik adalah pemilih,
partai politik, politisi, birokrat dan kelompok kepentingan.9 Teori ini sebagai proses
formulasi keputusan kolektif dari setiap individu yang berkepentingan atas keputusan
tersebut. Intinya setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus merupakan pilihan dari
publik yang menjadi pengguna. Dalam menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan
publik melalui kelompok-kelompok kepentingan dan ini secara umum merupakan konsep
formulasi kebijakan yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada
publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil
keputusan.
5. Teori sistem
Formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa kebijakan
merupakan hasil (output) dari sistem politik. Sistem artinya metode, tatacara mengelola
atau manajemen. Politik artinya kekuasaab atau negara. Sistem Politik artinya tata cara
mengatur negara. Sedangkan sistem politik Indonesia adalah tata cara mengatur negara

9
Deliarnov, Ekonomi Politik: Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang Komprehensif, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2006), hal. 139.

6
Indonesia dengan dasar konstitusi negara untuk tujuan kemakmuran masyarakatnya.
Sehingga dapat dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam sistem politik
mengandalkan masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan dukungan. Menurut GM
Carter dan J.H. Herz yang dikutip oleh Erman Anom menggunakan dua kriteria untuk
membedakan berbagai sistem politik di dunia modern yaitu siapa yang memerintah dan
ruang lingkup jangkauan kewenangan pemerintah. Oleh sebab itu macammacam sistem
politik dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Apabila pihak yang memerintah terdiri atas beberapa orang atau kelompok kecil
orang maka sistem politik ini disebut oligarki, otoriter atau aristokrasi.
b. Apabila pihak yang memerintah terdiri atas banyak orang maka disebut sistem politik
demokrasi.
c. Kalau kewenangan pemerintah pada prinsipnya mencakup segala sesuatu yang ada
dalam masyarakat, maka rejim ini disebut totaliter.
d. Apabila pemerintah memiliki kewenangan yang terbatas yang membiarkan beberapa
atau sebagian besar kehidupan masyarakat mangatur diri sendiri tanpa campur tangan
dari pemerintah dan kehidupan masyarakat dijamin dengan tata hukum yang
disepakati bersama, maka rejim ini disebut liberal.10

D. SKENARIO DALAM MERUMUSKAN FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


Tahap kedua dari siklus kebijakan pendidikan adalah perumusan kebijakan
pendidikan. Perumusan kebijakan tidak lepas dari agenda setting sendiri sebagai tahap kedua.
Intinya, tahap ini terjadi ketika pemerintah menyadari bahwa ada masalah publik yang perlu
ditangani dan ada tuntutan untuk bertindak. Oleh karena itu, persoalan mendasar dalam
pengembangan kebijakan pendidikan adalah perumusan masalah kebijakan dan solusinya.
Merumuskan masalah-masalah kebijakan berarti memberi arti atau menerjemahkan problema
kebijakan secara benar, sedang merumuskan langkah pemecahan menyangkut perancangan
tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah publik tersebut. Dalam konteks
perumusan masalah kebijakan, William Dunn yang dikutip oleh Abubakar Basyarahil
mengatakan bahwa ada 4 (empat) macam fase proses yang saling bergantung yaitu: pencarian

10
Erman Anom, Sistem Politik dan Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Universitas Esa
Unggul, 2017), hal. 3.

7
masalah, pendefinisian masalah, spesifikasi masalah dan pengendalian masalah.
Adapun skenario dalam merumuskan kebijakan pendidikan sebagai berikut:
1. Pengenalan masalah diawali dengan pengakuan atau dirasakannya keberadaan situasi
masalah. Situasi masalah dapat dilakukan dengan menemukan dan mengenali masalah.
2. Pencarian masalah, biasanya yang didapat adanya setumpuk masalah yang
saling mengkait. Kumpulan masalah yang saling mengkait namun belum terstruktur tadi
disebut meta masalah.
3. Pendefinisian masalah, dari setumpuk masalah tadi, dapat dipecahkan secara serentak,
namun harus didefinisikan terlebih dahulu masalah mana yang menjadi masalah
publik. Hasil pendefinian dari setumpuk masalah yang belum tertstruktur tadi
menghasilkan masalah substantif.
4. Spesifikasi masalah, dari masalah substantif tadi kemudian dilakukan spesifikasi
masalah dan menghasilkan masalah formal sebagai masalah kebijakan.
5. Perancangan tindakan, dengan dihasilkannya masalah formal, maka tahapan berikutnya
adalah perancangan tindakan yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka
memberikan solusi terhadap masalah kebijakan tersebut. Proses ini disebut dengan
“usulan kebijakan” (policy proposal) yang dipahami sebagai kegiatan menyusun dan
mengembangkan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah tertentu.11

E. AKTOR YANG TERLIBAT DALAM MERUMUSKAN FORMULASI KEBIJAKAN


PENDIDIKAN
Aktor adalah Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses merumuskan formulasi
kebijakan yang akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari
kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam tahap
perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian mempunyai
kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan legitimasi terhadap
rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan (policy maker). Sementara itu, aktor
yang mempunyai kualifikasi atau karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai
kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain. Untuk

11
Abubakar Basyarahil, Kebijakan Publik dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan, Jurnal Ilmiah
Administrasi Negara Tahun II, Nomor 2 Juli 2011, hal. 7.

8
dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen
terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh semua
aktor. Pada tataran ini komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi
aturan atau norma bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap norma ini bahkan menjadi
keharusan, karena diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua
actor mematuhi norma bersama. Adapun aktor kebijakan publik di Indonesia12 sebagai
berikut:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), perannya adalah menetapkan UUD,
menetapkan TAP MPR, dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perannya adalah untuk membentuk Undang-undang
bersama dengan Presiden.
3. Presiden, tugasnya untuk membentuk UU dengan persetujuan DPR, dan menetapkan
Peraturan Presiden pengganti Perpu.
4. Pemerintah, seperti:
a. Presiden sebagai kepala pemerintahan (pemerintah pusat).
b. Menteri, menetapkan Peraturan Menteri atau Keputusan menteri sebagai peraturan
pelaksanaan.
c. Lembaga Pemerintah Non-Departemen, menetapkan peraturan-peraturan yang
bersifat teknis, yaitu peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan yang lebih
tinggi derajatnya.
d. Direktorat Jendral, menetapkan/mengeluarkan peraturanperaturan pelaksanaan yang
bersifat teknis dibidangnya masing-masing.
e. Badan-badan Negara lainya (BUMN, Bank Sental, dan lain-lain),
mengeluarkan/menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang bersifat berisi
perincian dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang mengatur di bidang
tugas dan fungsinya masing-masing.
f. Pemerintah Daerah Provinsi, menetapkan Peraturan Daerah Provinsi dengan
persetujuan DPRD Provinsi.

12
Intan Fitri Meutia, Analisis Kebijakan Publik, (Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja, 2017),
hal. 61-62.

9
g. Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten. Menetapkan peraturan dengan persetujuan
DPRD Provinsi/Kota Daerah Kabupaten/Kota.
5. Dewan Perwakilan Daerah Provinsi, menetapkan Peraturan Daerah Provinsi bersama-
sama dengan Pemerintah Daerah Provinsi.
6. Dewan Perwakilan Daerah Kota/Kabupaten, menetapkan Peraturan Daerah
Kota/Kabupaten bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten.
7. Kepala Desa, menetapkan peraturan dari keputusan desa dengan persetujuan Badan
Perwakilan Desa (BPD). Badan Perwakilan Desa (BPD), menetapkan Peraturan Desa
atau Keputusan Desa bersama-sama dengan Kepala Desa.
Di Indonesia, aktor elit memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bagaimana
kebijakan dibuat. Baik lembaga seperti lembaga legislatif dan eksekutif maupun lembaga non
lembaga seperti kelompok kepentingan dan partai politik dapat melahirkan individu-individu
tersebut. Sharing power merupakan sumber dominasi kekuasaan oleh aktor-aktor penting
tersebut, namun hanya terjadi pada tataran kebijakan dasar dan bukan pada tataran empiris.13
Dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan, pihak-pihak yang terlibat sebagai berikut:
1. Legislatif
Legislatif sering dimaksudkan sebagai pembentuk undang-undang dan perumus
kebijakan. Peran mereka sangat menentukan, karena pengesahan suatu tata aturan agar
menjadi kebijakan seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah
ada ditangan mereka. Legislatif disebut sebagai aktor utama dalam merumuskan /
mengesahkan kebijakan, para legislator tersebut berada pada tataran MPR, DPD, DPR,
DPRD I, dan DPRD II.
2. Eksekutif
Eksekutif disini adalah para pelaksana undang-undang sekaligus berperan dalam
merumuskan kebijakan agar kebijakan yang dibuat atau dirumuskan oleh legislatif dapat
dilaksanakan sesuai dengan faktor kondisional dan situasional. Eksekutif biasanya
merumuskan kembali kebijakan yang dibuat legislatif dalam bentuk kebijakan jabaran.
Eksekutif memiliki kekuasaan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kebijakan
yang dibuat oleh legislatif serta merumuskan kembali atau tidak merumuskan dengan

13
Maria Rosarie Harni Triastuti, Rekonsiliasi Nilai Demokrasi dan Birokrasi dalam Proses Formulasi
Kebijakan Publik, JAP, Nomor 2 Volume 2003 Oktober 2003, ISSN 1214-7040, hal. 128.

10
alasan tertentu. Aktor eksekutif disini antara lain Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati,
Walikota, dan Kepala Dinas. Sedangkan aktor eksekutif dalam bidang pendidikan adalah
Mendiknas, Menag, Dirjen, Kepala Dinas, dan Rektor.
3. Administrator
Sebagai pembuat kebijakan, administrator sangat penting untuk mencapai tujuan
negara, yang akan tercermin dalam setiap program nyata yang akan dialami masyarakat,
dengan tujuan akhir masyarakat yang makmur. Langkah pertama, formulasi, memberikan
panduan kepada administrator untuk mengelola setiap program dan aktivitas. Sebagai
penyelenggara pemerintah, administrator berperan dalam menentukan apakah suatu
kebijakan berhasil atau tidak berhasil. Ketika datang ke penciptaan, implementasi, dan
evaluasi kebijakan publik, administrasi publik memainkan peran yang lebih besar dan
lebih terlibat.
Dengan berbagai keahlian yang dimiliki oleh administrator, peran aktor
administrator dalam proses kebijakan akan ditentukan oleh keakuratan dan keahlian
dalam memahami dan melaksanakan tahapan proses kebijakan. Peran penerimaan sebagai
aktor dalam kebijakan publik sangat menentukan bahwa suatu kebijakan akan
dihancurkan untuk pencapaian suatu tujuan. Gerakan ini adalah pengawalan sehingga
pendekatan yang ditetapkan sesuai asumsi.14
4. Partai Politik (Parpol)
Partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk
mengendalikan pemerintahan agar dapat melaksanakan program-programnya dan
menempatkan anggota-anggotanya dalam jajaran pemerintahan. Di Indonesia peran
Parpol sangat besar sehingga hampir semua aspek kebijakan termasuk dalam bidang
pendidikan akan melibatkan Parpol. Peran parpol disini dengan menempatkan
anggotanya di legislatif dan pimpinan Negara maupun daerah.
5. Interest Group (kelompok berkepentingan)
Interest Group ialah suatu kelompok yang beranggotakan orang-orang yang
memiliki kepentingan sama, seperti kelompok buruh, nelayan, petani, guru, dan
kelompok professional lainnya. Kelompok ini berusaha mempengaruhi perumus

14
Sofjan Aripin, Muhammad Daud, Peran Administrator Publik dalam Formulasi dan Implementasi
kebijakan, Jurnal Academica Fisip Untad, Vol.06 No. 01 Februari 2014, hal. 1158-1161.

11
kebijakan formal agar kepentingan kelompoknya dapat terakomodasi dalam kebijakan
yang dirumuskan. Kelompok ini biasanya memiliki tuntutan yang bersifat khusus, sempit,
dan spesifik.
6. Organisasi Masyarakat (Ormas)
Ormas merupakan kumpulan orang yang mempunyai cita-cita dan keinginan
sama, bersifat nonpolitis meskipun dalam kiprahnya sering bersentuhan dengan
kepentingan politik. Ormas dapat berdiri sendiri (independen) atau berafiliasi dengan
organisasi politik tertentu. Dalam perumusan kebijakan pendidikan ormas memiliki
harapan dan aspirasi yang kemudian disampaikan kepada para perumus kebijakan formal.
Di Indonesia ada beberapa ormas yang memiliki pengaruh besar dalam perumusan
kebijakan pendidikan oleh pemerintah seperti NU, Muhammadiyah, ICMI, HMI, PMII,
dan KAHMI.
7. Perguruan tinggi
Perguruan tinggi adalah suatu lembaga dimana para elite akademisi berada,
perguruan tinggi sering dijadikan ujung tombak dalam memperjuangkan aspirasi
masyarakat yang akan dimasukkan dalam rumusan kebijakan. Peran perguruan tinggi
menjadi sangat penting karena disinilah nilai-nilai idealisme masih dipertahankan, dan
dalam mengupayakan berbagai kebijakan tidak akan lepas dari muatan-muatan
intelektual. Perumusan kebijakan yang baik seharusnya memuat naskah akademik yang
dibahas bersama para akademisi di perguruan tinggi.
8. Tokoh perorangan
Dalam berbagai konstelasi, tokoh perorangan memegang peran cukup vital dan
terkadang sangat menentukan, dia juga dapat menjadi tokoh sentral. Tokoh perorangan
dapat berasal dari berbagai bidang seperti keagamaan, politik, ekonomi, pendidikan,
budaya, seni, dan sebagainya.

9. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM MERUMUSKAN


FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah:
1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar

12
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale
comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional
semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata,
sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan.
2. Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan
waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti, meskipun
keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu
dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau
pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan
berperan besar sekali.
4. Adanya pengaruh dari kelompok luar15
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan
sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari
orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada
pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering
membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan
karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada
orang lain akan disalahgunakan.
Dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh Ayuba A. Aminu, Charas Madu
Tella, dan Paul Y. Mbaya menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi formulasi
kebijakan antara lain :

15
Jumira Warlizasusi, Sumarto, dkk., Analisis Kebijakan Pendidikan Islam, (Bengkulu: Penerbit Buku
Literasiologi, 2022), hal. 64.

13
1. Kebutuhan Rakyat: Dalam merumuskan suatu kebijakan, perumus kebijakan
memerlukan pemahaman yang baik dan menyeluruh tentang kebutuhan dan
permasalahan rakyat setempat. Penekanan harus diberikan pada kebutuhan
masyarakat, kapasitas mereka dan komitmen total para pelaku lokal di Masyarakat
dalam mendukung program pemerintah.
2. Pemangku Kepentingan: Dalam perumusan kebijakan, pemangku kepentingan harus
diidentifikasi terlebih dahulu dengan memperhatikan kepentingan pemangku
kepentingan. Kebijakan Pemerintah bergantung pada lembaga pemerintah untuk
mendapatkan dukungan dan pemerintah harus menunjukkan sikap positif terhadap
kebijakan tersebut dengan memastikan tindakan yang memadai untuk
memberdayakan para pemangku kepentingan, masyarakat sipil dan pihak
berkepentingan lainnya dengan informasi prasyarat yang diperlukan tentang
kebijakan untuk keuntungan mereka.
3. Kemauan Politik: Kemauan Politik harus menjadi faktor kunci strategi perumusan
kebijakan pemerintah. Kemauan politik berarti dukungan politik total untuk suatu
kebijakan oleh pejabat tinggi pemerintah. Ini karena pemerintah terkadang
merumuskan kebijakan tetapi tidak memiliki kemauan politik, sosial dan ekonomi
untuk mengimplementasikannya.16

4. PROBLEMATIKA DALAM MERUMUSKAN FORMULASI KEBIJAKAN


PENDIDIKAN
Meskipun sebuah kebijakan telah disahkan, bukan berarti rumusan kebijakan telah bebas
dari berbagai permasalahan. Banyak problem yang muncul disekitar rumusan atau
statemennya yang kurang atau tidak jelas. Problematika tersebut bersumber dari beberapa hal
berikut ini:
1. Pembuat kebijakan pendidikan kurang menguasai pengetahuan, informasi, keterangan,
dan persoalan-persoalan pendidikan baik yang bersifat konseptual maupun substansial.
2. Sumber acuan para pembuat kebijakan pendidikan, baik formal maupun tidak formal
berbeda-beda, oleh karena itu sikap kompromi / jalan tengah sering diambil sebagai

16
Ayuba A. Aminu, Charas Madu Tella, dan Paul Y. Mbaya, Public Policy Formulation and
Implementation in Nigeria, Public Policy and Administration Research, Vol. 2, No. 5, 2012 , hal. 59-61.

14
alternatif untuk mengakomodasikannya. Kenyataan ini yang membuat rumusan kebijakan
pendidikan sering mengambang dan tidak fokus.
3. Terlalu banyak maupun kurangnya informasi bisa berakibat tidak jelasnya statemen
kebijakan pendidikan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi menyebabkan persoalan-
persoalan dan alternatif-alternatif yang dipilih menjadi terlalu sederhana. Informasi yang
terlalu banyak menyebabkan para perumus kebijakan pendidikan dihadapkan pada
kesulitan ketika bermaksud mensintesakan persoalan dan alternatif yang akan dipilih.17

PENUTUP
Simpulan dan saran dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Formulasi kebijakan pendidikan adalah upaya merumuskan berbagai perangkat konsep


dan prinsip yang menjadi kerangka dan landasan rencana penyelenggaraan kegiatan
pendidikan serta pedoman bagi manajemen atau pengelola pendidikan dalam upaya
mencapai tujuan atau sasaran pendidikan yang diantisipasi.
2. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam kerangka perumusan kebijakan pendidikan
adalah a) Pendekatan kelembagaan, b) Pendekatan proses, c) Pendekatan teori
kelompok, d) Pendekatan elitis, e) Pendekatan rasional.
3. Ada beberapa teori dalam memformulasikan sebuah kebijakan: a) Teori inkrementalis, b)
Teori demokratis, c) Teori Strategis, d) Teori pilihan publik, e) Teori sistem.
4. Aktor dalam perumusan formulasi kebijakan pendidikan adalah: Legislatif, Eksekutif,
Partai Politik (Parpol), Interest, Organisasi Masyarakat (Ormas), Perguruan tinggi, dan
Tokoh perorangan.
5. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi terhadap proses formulasi kebijakan adalah:
a) adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar.
b) Adanya pengaruh kebiasaan lama.
c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi.
d) Adanya pengaruh dari kelompok luar
e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu

17
Syaif, Formulasi Kebijakan Pendidikan, http://syaifworld.blogspot.com/2017/07/formulasi-kebijakan-
pendidikan.html, Minggu, 09 Juli 2017, Diakses Tanggal 22 Maret 2023.

15
6. Beberapa problematika yang terjadi dalam memformulasi kebijakan pendidikan,
diantaranya:
a) Pembuat kebijakan pendidikan kurang menguasai pengetahuan, informasi,
keterangan, dan persoalan-persoalan pendidikan baik yang bersifat konseptual
maupun substansial.
b) Sumber acuan para pembuat kebijakan pendidikan, baik formal maupun tidak formal
berbeda-beda, oleh karena itu sikap kompromi / jalan tengah sering diambil sebagai
alternatif untuk mengakomodasikannya. Kenyataan ini yang membuat rumusan
kebijakan pendidikan sering mengambang dan tidak fokus.
c) Terlalu banyak maupun kurangnya informasi bisa berakibat tidak jelasnya statemen
kebijakan pendidikan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi menyebabkan
persoalan-persoalan dan alternatif-alternatif yang dipilih menjadi terlalu sederhana.
Sedangkan banyaknya informasi menyebabkan para perumus kebijakan pendidikan
dihadapkan pada kesulitan ketika bermaksud mensintesakan persoalan dan alternatif
yang akan dipilih.

Dalam perumusan kebijakan pendidikan harus memperhatikan berbagai aspek


kehidupan yang nantinya akan menentukan arah dan tujuan pendidikan baik di tingkat
nasional dan daerah. Kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-
tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi.

DAFTAR PUSTAKA

Syaif, Formulasi Kebijakan Pendidikan, http://syaifworld.blogspot.com/2017/07/formulasi-kebijakan


pendidikan.html, Minggu, 09 Juli 2017, Diakses Tanggal 22 Maret 2023.

Aminu, Ayuba A., Charas Madu Tella, dan Paul Y. Mbaya. 2012. Public Policy Formulation and
Implementation in Nigeria, Public Policy and Administration Research, Vol. 2, No. 5.

Warlizasusi, Jumira., Sumarto, dkk., 2022. Analisis Kebijakan Pendidikan Islam. Bengkulu: Penerbit
Buku Literasiologi.

Aripin, Sofjan., Muhammad Daud. 2014. Peran Administrator Publik dalam Formulasi dan
Implementasi kebijakan, Jurnal Academica Fisip Untad, Vol.06 No. 01 Februari 2014.

16
Triastuti, Maria Rosarie Harni., 2023. Rekonsiliasi Nilai Demokrasi dan Birokrasi dalam Proses Formulasi
Kebijakan Publik, JAP, Nomor 2 Volume 2003 Oktober 2003, ISSN 1214-7040.

Meutia, Intan Fitri. 2017. Analisis Kebijakan Publik. Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja.

Basyarahil, Abubakar., 2011. Kebijakan Publik dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan, Jurnal Ilmiah
Administrasi Negara Tahun II, Nomor 2 Juli 2011.

Anom. Erman., 2017. Sistem Politik dan Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar. Jakarta: Universitas Esa
Unggul.

Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik: Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang Komprehensif. Jakarta:
Penerbit Erlangga.

H.A.R.Tilaar, dan Riant Nugroho, 2012. Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan
Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

BP, Abdul Rahman., Yusdayanti, Muhammad Nawir, dan Hidayah Quraisy, 2022. Formulasi Kebijakan Pendidikan,
JURNAL PILAR Volume 132, No. 1, Juni 2022.

Mustari, Nuryanti. 2015. Pemahaman Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik.
Yogyakarta: LeutikaPrio.

H.M. Hasbullah. 2015.Kebijakan Pendidikan (Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di
Indonesia). Jakarta: Rajawali Pers,

Rahardjo, Mudjia., 2010. Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer. Malang: UIN Maliki Press.

Putra, Novliwanda Ade., Zaili Rusli, dan Febri Yuliani, 2020. Formulasi Kebijakan Pembentukan
Peraturan Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Jurnal Ilmu Administrasi
Negara, Volume 16, Nomor 1, Juli 2020.

Bakry, Aminuddin., 2010. Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, Jurnal Medtek, Volume 2, Nomor 1,
April 2010.

17

Anda mungkin juga menyukai