Anda di halaman 1dari 19

Nama : Wafik Azizah U

Nim : 105191114120
Kelas : 4E PAI
TUGAS MID

RESUME KULIAH

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN

(Dosen Pengampuh : ELLI, S.Pd, M. Pd. I)

Bab I Konsep Dasar Kebijakan

Kebijakan adalah sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar
dari dasar pada masalah yang menjadi rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak, pernyataan citacita, prinsip, atau maksud dalam
memecahkan masalah sebagai garis pedoman untuk manajeman dalam usaha mencapai
sasaran atau tujuan. Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008: 7)
mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat
hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan
usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga
menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan
tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun
kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang
diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah. Lingkup dari studi kebijakan
publik sangat luas karena mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi,
politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkirnya
kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah
daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan
bupati/walikota.

Ruang lingkup kebijakan publik sangat luas. Hal ini karena mencakup berbagai
sektor atau bidang pembangunan (Kurniasih). Contohnya seperti, kebijakan publik
dalam bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang transportasi, bidang pertanian,
bidang pertambangan dan bidang-bidang yang lainnya.

Kebijakan public adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak


dilakukan oleh pemerintah berorientasi pad tujuan tertentu untuk memecahkan
masalah-masalah public atau demi kepentingan public. Adapun ciri-ciri kebijakan
publik adalah sebagai berikut.

1. Kebijakan publik bertujuan pada perilaku atau tindakan yang direncanakan


2. Kebijakan publik terdiri dari tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan mengarah
ke tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah.
3. Kebijakan publik berkaitan yang dilakukan pemerintah di bidang-bidang tertentu,
dan disetiap kebijakan diikuti dengan tindakan-tindakan konkrit.
4. Kebijakan publik berbentuk positif dan negatif, dalam positif kebijakan mencakup
tindakan pemerintah untuk mempengaruhi suatu masalah sedangkan berbentuk
negatif, kebijakan pejabat-pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak
melakukan masalah-masalah apapun yang mana hal tersebut menjadi tugas
pemerintah.

Bab II Konsep kebijakan Pendidikan

Konsep adalah sebuah ide atau gambaran umum tentang suatu hal. Kebijakan
Pendidikan artinya aturan-aturan tertulis yang diputuskan oleh pemerintah yang
berfungsi untuk mengatur dalam bidang Pendidikan atau berkaitan dengan Pendidikan.
Jadi, Konsep bebijakan pendidikan adalah gambaran umum mengenai aturan-aturan
tertulis yang diputuskan oleh pemerintah untuk mengatur jalannya pendidikan agar
tercapai tujuan pendidikan. Contoh kebijakan adalah: Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Keppres, Kepmen, Perda, Keputusan Bupati, dan Keputusan Direktur.

Ada beberapa tingkatan dalam kebijakan Pendidikan diantaranya,


1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level) ,Penentu tingkat kebijaksanaan
nasional ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kebijaksanaan yang berada
pada level nasional ini, disebut juga kebijaksanaan administratif.
2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level). Disebut sebagai kebijaksanaan
eksekutif, oleh karena yang menentukan adalah mereka yang berada pada posisi
eksekutif. Yang termasuk kedalam kebijaksanaan eksekutif ini adalah: Undang-
undang, Peraturan pemerintah,Keputusan dan instruksi presiden,
3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level) , Letak penentunya ada pada tangan
Menteri dan merupakan pembantu presiden selaku eksekutif, maka tingkat
kebijaksanaan khusus ini disebut kebijaksanaan eksekutif.
4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level) Penentuan kebijaksanaan ini
berada pada eselon 2 ke bawah, seperti Direktorat Jenderal atau pimpinan lembaga
non departemental.

Tujuan kebijakan ini dapat dilihat dan ditelusuri dari kesadaran pentingnya
pendidikan sebagai onventasi jangka panjang yang didasarkan pada beberapa alasan,
yaitu pendidikan adalah untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan
ekonomi, inventasi pendidikan memberikan nilai baik yang lebih tinggi daripada
inventasi fisik di bidang lain. Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber
daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta
menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil
pendidikan yang baik. Fungsi kebijakan dalam pendidikan adalah menyediakan
akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintahan perlu ada dalam pendidikan,
melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa dan guru.

Kebijakan pendidikan Indonesia diarahkan untuk meningkatkan akademik dan


sumber daya manusia yang profesional sedini mungkin serta meningkatkan
kesjahteraan bagi tenaga pendidik.Prinsip – prinsip kebijakan pendidikan salah satunya
adalah bahwa pendidikan harus terbebas dari segala bentuk konflik yang akan
mengganggu kebijakan pendidikan itu sendiri sehingga tujuan dari pendidikan tersebut
tidak tercapai.Tingkatan kebijakan pendidikan sendiri ditentukan oleh pemerintah
antara lain MPR, DPR, Presiden, dan Mentri Pendidikan.

Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan telah tercantum di dalam


Undang – Undang yang memuat tentang sistem pendidikan nasional. Di mana dalam
sistem pendidikan nasional tersebut selain menjelaskan tentang kewajiban agar
masyarakat dapat menuntut ilmu sejak dini, sistem pendidikan nasional juga
menjelaskan tentang beberapa standar pendidikan yang ditujukan kepada lembaga
pendidikan. Kemudian dikenal berada dalam aliran kelembagaan atau
institusionalisme. Sebagai jawaban atas ketidakpuasan terhadap aliran
institusionalisme, maka muncullah aliran behavioristik. Penganut aliran ini berasumsi
bahwa untuk mempelajari politik haruslah sekaligus mempelajari interaksi individu-
individu, kelompok-kelompok, individu-kelompok, baik dalam lembaga politik
maupun yang berada di luarnya.

Kebijakan pendidikan Indonesia,diputuskan untuk mendukung cita-cita


mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat pembukaan undang-undang
dasar 1945 dan hak warga negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pasal 31.
Kebijakan yang diambil diantaranya adalah program wajib belajar (PP No 47 Tahun
2008) dan menciptakan standar nasional pendidikan dalam sistem pendidikan Indonesia
yang didalamnya terdapat delapan standar yaitu isi,lulusan,proses,pendidik dan tenaga
kependidikan,sarana dan prasarana,pengelolaan,pembiayaan, dan penilaian.

Bab III Analisis Kebijakan Pendidikan

Analisi kebijakan pendidikan adalah cara memecahkan masalah yang ada dalam
kebijakan-kebijakan tentang pendidikan menggunakan pemahaman yang dimiliki oleh
manusia itu sendiri. Aktor yang melakukan analisis kebijakan Pendidikan adalah
lembaga penelitian dan pengembangan yang berada di bawah departemen Pendidikan
dan kebudayaan serta Lembaga penelitian independent seperti SMERU.

Dalam merumuskan kebijakan Pendidikan, para pembuat kebijakan hendaknya


memperhatikan beberapa karakteritik khusus yaitu,

1. Memiliki tujuan Pendidikan


2. Memiliki akses legal formal
3. Memiliki konsep operasional
4. Dibuat oleh orang yang berwenang
5. Dapat dievaluasi
6. Memiliki sistematika

Pendidikan bermutu menjadi salah satu harapan bangsa Indonesia dalam


penyeimbangan kemampuan skill secara internasional dan relevan dengan sumber daya
alamnya agar mampu mengolah sumber daya alamnya sendiri. Survei membuktikan
bahwa Pendidikan dibeberapa negara termasuk diIndonesia menunjukkan bahwa
persoalan Pendidikan lebih sering dikemas dalam balutan politik secara tidak benar, hal
ini menyebabkan tumbuhnya situasi yang tidak seimbang dan tidak konsisten antara
relasi sesama birokrat, politisi dan masyarakat yang mengakibatkan kesuraman dan
ketidak jelasan kebijakan Pendidikan diIndonesia. Struktur yang bersifat herarkis–
organis sepertinya sangat relevan untuk situasi–situasi implementasi dimana kita
memerlukan suatu organisasi pelaksana yang bertingkat yang mampu melaksanakan
suatu kebijakan yang selalu berubah. Pola ini tentu lebih baik bila dibandingkan dengan
suatu tim kepanitiaan untuk program kebijakan yang sekali selesai atau bersifat adhoc-
krasi dalam menangani kebijakan pendidikan.

Bab IV Formulasi kebijakan Pendidikan

Formulasi kebijakan Pendidikan ialah usaha perumusan berbagai rangkaian


konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana dalam pelaksanaan
kegiatan Pendidikan sekaligus sebagai garis pedoman untuk manajemen atau pengelola
Pendidikan dalam usaha mencapai sasaran atau tujuan Pendidikan yang diharapkan.

Perumusan kebijakan terdapat empat tahapan yang dilaksanakan secara


sistematis,yakni

a. Perumusan masalah .
b. Agenda Kebijakan.
c. Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah.
d. Penetapan kebijakan.

Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam kerangka perumusan kebijakan


pendidikan:
1. Pendekatan kelembagaan, pendekatan ini mengandalkan bahwa tugas membuat
kebijakan pendidikan merupakan kewenangan pemerintah. Pendekatan ini
mendasarkan pada fungsi-fungsi kelembagaan pendidikan dan berbagai tingkatan
dalam perumusan kebijakan.
2. Pendekatan proses, pendekatan ini menformulasikan kebijakan pendidikan melalui
tahapan-tahapan yang runtut, tidak melompat-lompat atau langsung jadi. Menurut
pendekatan ini, kebijakan pendidikan dipandang sebagai proses politik yang
menyertakan rangkaian kegiatan, mulai dari identifikasi permasalahan pendidikan,
formulasi proposal kebijakan pendidikan, legitimasi kebijakan pendidikan,
implementasi dan evaluasi kebijakan pendidikan.
3. Pendekatan teori kelompok, menurut pendekatan ini kebijakan pendidikan
merupakan titik keseimbangan, yang berarti interaksi dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan terbaik. Berdasarkan pendekatan ini, individu dalam
kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal dengan cara
langsung maupun melalui media masa menyampaikan tuntutannya kepada
pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang diperlukan.
4. Pendekatan elitis, dalam sistem politik kebijakan pendidikan dibuat dan banyak
dipengaruhi oleh para elite dari sistem itu. Dengan demikian kebijakan pendidikan
mencerminkan keinginan dan kehendak kaum elit saja, tanpa ada aspirasi
masyarakat.
5. Pendekatan rasional, mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai
maximum social gain, yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus
memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat.
Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang
dicapai serta lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis.

Dalam usaha perumusan kebijakan pendidikan, Prof. H. A. R. Tilaar dan Riant


Nugroho dalam bukunya mengemukakan tiga belas teori perumusan kebijakan yaitu
teori kelembagaan, proses, kelompok, elit, rasional, incremental, permainan, pilihan
publik, sistem, pengamatan terpadu, demokratis, strategis, dan teori deliberatif.
Beberapa penjelasan teori tersebut diantaranya:
1. Teori inkrementalis, teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi
atau kelanjutan dari kebijakan dimasa lalu sehingga perlu mempertahankan kinerja
baik yang telah dicapai, teori ini memiliki sifat pragmatis.
2. Teori demokratis, teori ini implementasinya pada good governance bagi
pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para
konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries) diakomodasi keberadaan. Apabila teori
ini mampu dijalankan maka sangat efektif karena setiap pihak mempunyai
kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan karena masing-masing
pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.
3. Teori Strategis, Inti dari teori ini adalah perencanaan strategis mensyaratkan
pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif dan menekankan
implikasi masa depan dengan keputusan sekarang. Fokusnya lebih kepada
pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian
terhadap lingkungan di luar dan di dalam organisasi dan berorientasi kepada
tindakan. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi untuk berpikir secara
strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif, memperjelas arah masa
depan, menciptakan prioritas, membuat keputusan sekarang dengan memperhatikan
konsekuensi masa depan.
4. Teori pilihan publik, teori ini sebagai proses formulasi keputusan kolektif dari
setiap individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Intinya setiap
kebijakan yang dibuat pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang
menjadi pengguna. Dalam menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan publik
melalui kelompok-kelompok kepentingan dan ini secara umum merupakan konsep
formulasi kebijakan yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas
kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah
sebelum diambil keputusan.
5. Teori sistem, formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa
kebijakan merupakan hasil (output) dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik,
maka sistem politik terdiri dari input, throughput dan output. Sehingga dapat
dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam sistem politik mengandalkan
masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan dukungan.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah:


1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale
comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian
rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari
dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses
formulasi kebijakan.
2. Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan
waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti,
meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah
sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang
memuaskan.
3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi
oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai
baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
4. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan
sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman
dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada
pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering
membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan
karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada
orang lain akan disalahgunakan.

Proses perumusan kebijakan yang efektif memperhatikan keselarasan antara


usulan kebijakan dengan agenda dan strategi besar (grand design) pemerintah. Melalui
konsultasi dan interaksi, tahapan perumusan kebijakan menekankan konsistensi
sehingga kebijakan yang baru tidak bertentangan dengan agenda dan program
pemerintah yang sedang dilaksanakan.

Bab V Implementasi Kebijakan Pendidikan

Implementasi kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan


formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk
menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Ciri-ciri Kebijakan Pendidikan yaitu:

1. Memiliki tujuan Pendidikan


Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus
memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi
pada pendidikan.
2. Memiliki aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan
atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara
sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi
syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah
wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus
mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah
sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin
dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung
pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tidak sampai menimbulkan kerusakan pada
pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan,
pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan
pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya
untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan,
sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya
harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur
olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi yang tinggi agar
kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama
lainnya.

Adpaun fungsi kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak,


mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal


Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah (School Based Management), (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi
komunitas (community based education), (3) Dengan menggunakan paradigma belajar
atau learning paradigma, (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan
berpendekatan Broad Base Education System (BBE) .

Evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas
maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam
melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu aturan-aturan
dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan perlu ditinjau kembali sehingga
menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi
implementasinya.

Bab VI Monitorng dan Evaluasi Kebijakan Pendidikan

Monitoring kebijakan pandidikan berarti mengamati secara seksama suatu


keadaan atau kondisi, termasuk juga perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan
kebijakan pendidikan yang berupa regulasi pendidikan, kurikulum, proses
pembelajaran, maupun segala hal yang dijalankan oleh pemerintah berkaitan dengan
pendidikan sehingga menemukan gambaran yang jelas apa, mengapa, serta bagaimana
sesungguhnya kondisi pendidikan yang ada.

Monitoring merupakan kegiatan untuk mengetahui apakah program yang dibuat


itu berjalan dengan baik sebagaiman mestinya sesuai dengan yang direncanakan,
adakah hambatan yang terjadi dan bagaimana para pelaksana kebijakan itu mengatasi
hambatan tersebut. Monitoring terhadap sebuah hasil perencanaan yang sedang
berlangsung menjadi alat pengendalian yang baik dalam seluruh proses implementasi.

Hal yang paling prinsip dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi adalah
acuan kegiatan monitoring adalah ketentuan-ketentuan yang disepakati dan
diberlakukan, selanjutnya sustainability kegiatannya harus terjaga, dalam
pelaksanaannya objektivitas sangat diperhatikan dan orientasi utamanya adalah pada
tujuan program itu sendiri.
Adapun prinsip-prinsip monitoring sebagai berikut:
a. Monitoring harus dilakukan secara terus-menerus
b. Monitoring harus menjadi umpan terhadap perbaikan kegiatan program
organisasi
c. Monitoring harus memberi manfaat baik terhadap organisasi maupun
terhadap pengguna produk atau layanan.
d. Monitoring harus dapat memotifasi staf dan sumber daya lainnya untuk
berprestasi
e. Monitoring harus berorientasi pada peraturan yang berlaku
f. Monitoring harus obyektif
g. Monitoring harus berorientasi pada tujuan program.

Mengenai prinsip-prinsip evaluasi, dikemukakan ada 4 prinsip, yaitu:


a. Prinsip berkesinambungan, artinya dilakukan secara berlanjut.
b. Prinsip menyeluruh, artinya keseluruhan aspek dan komponen program
harus dievaluasi
c. Prinsip obyektif, artinya pelaksanaannya bebas dari kepentingan pribadi.
d. Prinsip sahih, yaitu mengandung konsistensi yang benar-benar mengukur
yang seharusnya diukur.

Ada sembilan model monitoring yang biasa dilakukan yaitu:


1. Goal-oriented Evaluation Model (Model Evaluasi berorientasi Tujuan)
2. Goal-free Evaluation Model (Model Evaluasi Bebas Tujuan),
3. Formatif-summatif Evaluation Model
4. Countenance Evaluation Model (Model Evaluasi)
5. Responsive Evaluation Model (Model Evaluasi Responsif)
6. CIPP Evaluation Model (Model Evaluation CIPP)
7. CSE-UCLA Evaluation Model (Center for the Study of Evaluation, University
of California at Los Angeles)
8. Discrepancy Evaluation Model (DEM) oleh Provus.

Aktor yang terlibat dalam monitoring dan evaluasi pendidikan terdiri dari aktor
formal yaitu administrator pembuat dan pelaksana kebijakan, serta aktor non formal
yang terdiri dari media masa, partai politik, organisasi massa, interest group, kelompok
perantara, mitra pelaksana kebijakan, dan tokoh perorangan. Problema-problema yang
dihadapi dalam mengevaluasi kebijakan pendidikan, diantaranya :
1. Tujuan kebijakan kurang jelas, Ketidakjelasan tujuan demikian diakibatkan oleh
adanya kompromi dan konsensus yang dipaksakan pada saat formulasi kebijakan.
Kompromi dan konsensus demikian dipaksakan karena memang dimaksudkan
untuk mengakomodasi banyaknya kepentingan yang ada di dalamnya. Tanpa
adanya kompromi-kompromi, bisa mejadi penyebab formulasi kebijakan tersebut
tidak disetujui oleh kebanyakan peserta kebijakan.
2. Perkembangan masyarakat begitu cepatnya yang menjadi sasaran kebijakan
tersebut. Ini menyulitkan evaluasi kebijakan, oleh karena itu masalah-masalah yang
bermaksud dipecahkan oleh kebijakan mungkin juga sudah berubah dan berganti
dengan masalah yang lainnya.
3. Tidak jelas masalah, sumber masalah dan gejala masalahnya. Ketidakjelasan
demikian bisa terjadi karena antara masalah, sumber masalah, dan gejala masalah
sudah tumpang tindih. Hal ini terjadi karena masalah-masalah tersebut golongan
masalah sosial, antara yang satu dengan yang lain kadang-kadang
saling interchange.
4. Terkaitnya antara masalah satu dengan masalah lain. Sebagai contoh: sukar
memisahkan antara masalah kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Sebab
masyarakat yang bodoh dan terbelakang cenderung miskin, dan sebaliknya pada
masyarakat yang miskin juga cenderung bodoh dan terbelakang.

Bab VII Pendekatan Analisis kebijakan Pendidikan

Para analisis kebijakan dalam bidang pendidikan tidak hanya dituntut untuk
menguasai teknik-teknik penelitian dan pengembangan tetapi juga dituntut untuk
menguasai isu-isu pendidikan yang relevan baik isu pendidikan secara internal maupun
isu-isu pendidikan dalam kaitannya secara lintas sektoral.

Salah satu lembaga penelitian yang melakukan analisis kebijakan pendidikan


yakni Smeru. Smeru adalah sebuah lembaga penelitian independen yang melakukan
penelitian dan pengkajian kebijakan publik secara profesional dan proaktif, serta
menyediakan informasi akurat, tepat waktu, dengan analisis yang objektif mengenai
berbagai masalah sosial-ekonomi dan kemiskinan yang dianggap mendesak dan
penting bagi rakyat Indonesia.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Aktualitas fungsi pendidikan memungkinkan berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis sera bertanggungjawab. Guru memegang pranan yang
sangat strategis dalam kerangka menjalankan fungsi dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional sebagaimana disebutkan di atas. Peserta didik sekarang merupakan
manusia masa depan yang diharapkan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, terampil, berwatak dan berkarakter kebangsaan, serta menjadi insan agamis.
Pesan guru nyaris tidak bisa digantikan oleh orang lain, apalagi di dalam masyarakat
yang multikultural dan multidimensional, di mana peran teknologi untuk menggantikan
tugas-tugas guru masih sangat minim. Kalau pun teknologi pembelajaran tersedia
mencukupi, peran guru yang sesungguhnya tidak akan tergantikan. Sejarah pendidikan
di Indonesia telah mencatatkan bahwa profesi guru sebagai profesi yang disadari
pentingnya dan diakui peran strategisnya bagi pembangunan masa depan bangsa.

Dalam literatur analisis kebijakan, pendekatan dalam analisis kebijakan pada


dasarnya meliputi dua bagian besar, yaitu pendekatan deskriptif dan pendekatan
normatif.
1. Pendekatan Deskriptif. Pedekatan deskriptif adalah suatu prosedur atau cara yang
digunakan dalam penelitian pengembangan ilmu pengetahuan baik ilmu
pengetahuan murni maupun terapan, untuk menerangkan suatu gejala yang terjadi
di dalam masyarakat. Tujuan pendekatan deskriptif dalam analisis kebijakan ialah
agar para pengambil keputusan memahami permasalahan yang sedang disoroti dari
suatu kebijkan.
2. Pendekatan Normatif. Pendekatan normatif yang sering juga disebut pendekatan
preskriptif merupakan upaya dalam ilmu pengetahuan untuk menawarkan suatu
norma, kaidah atau “resep” yang dapat digunakan oleh pemakai dalam rangka
memecahkan masalah. Tujuan pendekatan ini adalah membantu mempermudah
para pemakai hasil penelitian dalam menentukan atau memilih salah satu dari
beberapa pilihan cara atau prosedur yang paling efisien dalam menangani atau
memecahkan suatu masalah. Dengan norma tersebut diharapkan para pemakai hasil
penelitian memperoleh manfaat yang lebih besar dari kegiatan penelitian dalam
ilmu pengetahuan, khususnya dalam memecahkan masalah-masalah sosial atau
kemasyarakatan.

Bab VII Proses analisis Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak,


mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan
masyarakat dan pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata
lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan
pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.

Aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan meliputi:

a) Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan,


b) Keterbukaan (openness),
c) Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan,
d) Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis,
e) Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam
pencapaian tujuan-tujuan tertentu,
f) Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada
kebutuhan peserta didik.

Proses perumusan kebijakan yang efektif memperhatikan keselarasan antara


usulan kebijakan dengan agenda dan strategi besar (grand design) pemerintah. Melalui
konsultasi dan interaksi, tahapan perumusan kebijakan menekankan konsistensi
sehingga kebijakan yang baru tidak bertentangan dengan agenda dan program
pemerintah yang sedang dilaksanakan. Dan dalam merumuskan suatu kebijakan,
pemerintah harus bijaksana sehingga apapun kebijakan yang dibuat tidak menimbulkan
permasalahan di kemudian hari.

Menurut Islamy dalam buku Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara


mengemukakan pendapatnya bahwa ada empat langkah dalam proses pengambilan
kebijakan publik, yaitu:

1. Perumusan Masalah (defining problem).


Perumusan masalah merupakan sumber dari kebijakan publik, dengan pemahaman
dan identifikasi masalah yang baik maka perencanaan kebijakan dapat di susun,
perumusan masalah dilakukan oleh mereka yang terkena masalah atau orang lain
yang mempunyai tanggung jawab dan pembuat kebijakan harus mempunyai
kapasitas untuk itu. Proses kebijakan publik di mulai dengan kegiatan merumuskan
masalah secara benar, karena keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan
perumusan kebijakan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kegiatan
ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kebijaksanaan seterusnya.
2. Agenda Kebijakan
Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit yang
mendapat perhatian dari pembuat kebijakan publik. Pilihan dan kecondongan
perhatian pemuat kebijakan menyebabkan timbulnya agenda kebijakan. Sebelum
masalah-masalah berkompotensi untuk masuk dalam agenda kebijakan, masalah
tersebut akan berkompetisi dengan masalah yang lain yang pada akhirnya akan
masuk dalam agenda kebijakan.
3. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk memecahkan Masalah
Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus
kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan,
maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Dalam tahap ini
para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan
kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut.
4. Tahap Penetapan Kebijakan
Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan, untuk di ambil
sebagai cara memercahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam
pembuat kebijakan adalah penetapan kebijakan, sehingga mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Proses pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan
proses penetapan atau pengesahan kebijakan.

Menurut Anderson dalam bukunya abdul wahab, ada 4 aspek yang perlu dikaji
dalam implementasi kebijakan yaitu:

a. Siapa yang mengimplementasikan


b. Hakekat dari proses administrasi
c. Kepatuhan, dan
d. Dampak dari pelaksanaan kebijakan.
Guna melihat keberhasilan implementasi, dikenal beberapa model
implementasi, antara lain model yang dikembangkan Mazmanian dan Sabatier yang
menyatakan bahwa Implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu
1) Karakteristik masalah, 2) Struktur manajemen program yang tercermin dalam
berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, 3) Faktor-faktor di
luar peraturan.

Menurut pandangan ahli-ahli dalam ilmu sosial, proses implementasi suatu


kebijakan pendidikan berlangsung lebih rumit dan komplek dibandingkan dengan
proses perumusannya. Proses implementasi pendidikan melibatkan perangkat politik,
sosial, hukum, maupun organisasi dalam rangka mencapai suksesnya implementasi
kebijakan pendidikan tersebut.
Ayat yang berkaitan dengan Pendidikan:

Surat Al-Mujadalah ayat 11

ِ‫ين أهوتهواِ ٱ ۡلع ۡل َِم د ََر َٰ َجت‬


َِ ‫ين َءا َمنهواِ منكهمِۡ َِوٱلَذ‬ َِ ‫يَ ۡرفَعِ ٱ‬
َِ ‫ّلله ٱلَذ‬

Artinya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

Allah berjanji kepada manusia bahwa jika mereka beriman dan berilmu maka, Allah
akan mengangkat derajat mereka lebih tinggi diantara manusia lainnya. Sehingga memiliki
ilmu merupakan bagian terpenting dalam diri seorang muslim agar terhindar dari kejahilan.
Mereka yang tidak memiliki iman dan ilmu derajatnya akan rendah, hal ini dapat dilihat dalam
kehidupan kita kesehari-hari. Dengan iman dan ilmu seseorang dengan mudah akan mengelola
bisnisnya sehingga bisnisnya bisa berkembangan dengan baik, dengan menjaga nilai-nilai
kejujuran, dengan iman dan ilmu seseorang bisa menjadi pejabat yang jujur, pejabat yang
terhindar dari korupsi, dan sebagainya.

Dalam ayat ini Allah menggabungkan antara iman dan ilmu, Allah tidak memisahkan
keduanya, dengan maksud bahwa antara iman dan ilmu tidak bisa terpisahkan. Seseorang tidak
mungkin beriman kalau dia tidak berilmu, dan seseorang yang berilmu harus memiliki iman
agar ilmunya dapat dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan Allah yang termaktub di dalam al-
Quran dan hadis Rasulullah saw.

Kedudukan ilmu dalam pandangan Islam menurut ulama berdasarkan Al Quran dan
hadits adalah wajib.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, Rasulullah bersabda:

ِ‫علَى كهلِ همسلم‬ َ ‫ب العلمِ فَرث‬


َ ِ‫ضة‬ ِ‫َطلَ ه‬

"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim."

Keutamaan orang berilmu dan penuntut ilmu yaitu:

1. Dimuliakan dan diangkat derajatnya oleh Allah sesuai surat Al Mujadalah ayat 11.
2. Ilmu dapat sebagai sarana untuk mendekatkan diri dan takut kepada Allah. Hal ini
sesuai dengan Surat Al Fatir ayat 28:

ِ‫ّللاَ منِ عبَادهِ العهلَ َٰۤمؤها‬


ِٰ ‫ن النَاسِ َوالد ََو ۤابِ َواْلَنعَامِ همختَلفِ اَل َوانههِ ك ََٰذلكَِ انَ َما يَخشَى‬
َِ ‫َوم‬
َ ِ‫ّللاَ عَزيز‬
٢٨ - ِ‫غفهور‬ ِٰ ‫ن‬ َِ ‫ا‬

"Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan
hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara
hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah
Mahaperkasa, Maha Pengampun."

3. Pahalanya sama dengan jihad fisabilillah


4. Dimudahkan baginya jalan menuju surge
5. Lebih mulia dari ahli ibadah.
Orang yang beribadah dengan dasar ilmu yang benar, lebih dimuliakan oleh Allah
daripada ahli ibadah tanpa ilmu. Hal ini sesuai dengan HR Muslim:
"Apabila kalian bergegas berangkat menuntut ilmu (mempelajari ayat-ayat Allah) itu
lebih tinggi nilainya daripada sholat sunnah seratus rakaat,"
6. Dimohon ampunan oleh penduduk langit dan bumi.

Surah Al-A’laq ayat 1-5

َ ‫ ٱلَّذِي‬٣ ‫ ۡٱق َر ۡأ َو َربُّكَ ۡٱۡل َ ۡك َر ُم‬٢ ‫ق‬


‫علَّ َم ِب ۡٱلقَلَ ِم‬ َ ‫سنَ ِم ۡن‬
ٍ َ ‫عل‬ ِ ۡ َ‫ َخلَق‬١ َ‫ٱس ِم َر ِبكَ ٱلَّذِي َخلَق‬
َ َٰ ‫ٱۡلن‬ ۡ ‫ۡٱق َر ۡأ ِب‬
٥ ‫سنَ َما لَ ۡم يَعۡ لَ ۡم‬ ِ ۡ ‫علَّ َم‬
َ َٰ ‫ٱۡلن‬ َ ٤
Artinya: 1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan 2) Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah 3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah 4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5) Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Kata iqro (bacalah) pada ayat di atas merupakan ‘fiil amar’ yaitu kata kerja
perintah, artinya bahwa kata ini mengisyaratkan kepada kita sebagai umat Islam untuk
melaksanakan suatu kegiatan pembelajaran. Membaca dalam ayat ini bermakna umum,
sehingga dalam belajar kita diperbolehkan belajar semua ilmu pengetahuan yang dapat
bermanfaat bagi kehidupan.

Surat Al-A’laq ayat 1-5 merupakan wahyu pertama yang diterima nabi
Muhammad saw. Di gua hira. Dari sini dapat kita pahami bahwa, belajar merupakan
hal yang utama dan paling pertama yang harus dilaksanakan oleh manusia, setelah itu
barulah ketauhidan (keyakinan akan keesaan Allah) dan ibadah baik itu ibadah mahdah
maupun gairu mahdah.

Ayat ini menyeru kepada kita agar belajar dengan melihat segala ciptaan Allah
sebagai tanda-tanda kekuasaanNya dalam menciptakan segala sesuatu di alam semesta
ini. Bagaimana manusia diciptakan dari tanah, dibentuk kemudian diberikan roh
kemudian hidup. Kemudian manusia setelah nabi Adam as. Dan Siti Hawa as,
diciptakan dengan tanah pula namun dalam bentuk saripatih yang diolah dari makanan
yang manusia makan, kemudian melalui proses hubungan suami istri maka jadilah
manusia sempurna yang lahir dari bayi hingga tua dan kembali lagi ke asalnya yaitu
tanah.

Ayat ini memberikan perintah juga agar belajar seharusnya sudah sejak kecil
yaitu dari ketidak tahuan. Saat ayat ini turun, Rasulullah merupakan salah satu orang
yang berada di mekkah yang tidak dapat membaca maupun menulis. Melalui ayat ini
yaitu perintah membaca sebanyak tiga kali dari malaikat Jibril kepada Nabi saw, maka
dengan kuasa Allah swt. Rasulullah menjadi orang yang bisa membaca dan menulis.
Rasulullah kemudian dididik secara langsung oleh Allah swt. Melalui perantara
malaikat Jibril dengan wahyu-wahyu yang disampaikan kepadanya, sehingga beliau
menjadi manusia luar biasa dengan memiliki ilmu dan pengetahuan yang sangat luas.

Rasulullah saw. Kemudian mendidik sahabat-sahabatnya dengan sebaik-


baiknya, sehingga mereka memiliki kemampuan dalam berbagai hal, baik itu dari segi
agama, politik, militer, ekonomi, sosial, budaya dan pemerintahan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan kehadiran para sahabat sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah
saw. Mereka bisa mengelola negara yang di dalamnya terdapat berbagai suku, bangsa,
dan agama, dengan perkembangan yang sangat signifikan. Setelah nabi Muhammad
saw., kekuasaan Islam bisa mencapai hingga ke Eropa dan seluruh dunia, semua ini
dilaksanakan dengan ilmu pengetahuan

Anda mungkin juga menyukai