Anda di halaman 1dari 7

RESUME

Nama Wafik Azizah u

Nim 105191114120

Kelompok 4

PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADIS

A. Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits


Pada abad pertama Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa Khulafa’ Al-
Rasyidin dan sebagian besar zaman dinasti Umawiyah, yakni hingga akhir abad pertama
Hijriyah, hadits-hadits itu berpindah dari mulut kemulut. Masing-masing perawi
meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya. Pada masa ini mereka belum
terdorong untuk membukukannya. Ketika kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar bin
Abdul Aziz yanmg dinobatkan pada tahun 99 H sebagai seorang khalifah dari dinasti
Umawiyah yang terkenal adil, sehingga beliau dipandang sebagai Khulafa’ Al-Rasyidin
yang kelima, tergeraklah hati untuk membukukan hadits. Untuk menghasilkan maksud
mulia itu, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada gubernur Madinah, Abu bakar
bin Muhammad bin Amr bin Hazm untuk membukukan hadits Rasul dan hadits-hadits
yang ada pada Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq. Kitab hadits yang
ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis atas
perintah kepala negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan semestinya.
Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas
anjuran Abu Abbas As Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah Abbasiyah.

Para pengumpul pertama hadits yang tercatat dalam sejarah adalah :


1. Di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2. Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (Wafat 150 H).
3. Dikota Basrah, Al-Rabi’ Ibn Shabih (wafat 160 H)
4. Di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (wafat 161 H).
5. Di Syam, Al-Auza’I (wafat 95 H).
6. Di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H).
7. Di Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95-153 H).
8. Di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H).
9. Di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181 H).
10. Di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (wafat 175 H)

Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’
susunan Imam Malik r.a. atas permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji
pada tahun 144 H (143 H).
Kitab al Muwaththa’ dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih
tinggi daripada kitab-kitab sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhary belum
muncul, dari sistematika itu yang paling baik.

 Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits


Mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan
ke dalam bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan
bersama-sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits marfu’, hadits mauquf dan
hadits maqthu’.
1. Hadis marfu’
Marfu’ menurut bahasa “yang di angkat” atau “yang di tinggikan” Sedangkan
menurut istilah sebagian ulama hadits mengatakan, hadits marfu adalah sesuatu
perkataan yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad saw secara khusus, baik
perkataan, perbuatan, taqrir, baik sanadnya itu muttashil (bersambung-sambung
tiada berputus-putus), maupun munqathi’ ataupun mu’dhal. Al-khatib al-bagdadi
juga mengatakan, bahwasanya hadits marfu ialah hadits yang di kabarkan oleh
sahabat tentang perbuatan Nabi SAW ataupu sabdanya.
2. Hadits mauquf
Mauquf menurut bahasa waqaf = berhenti atau stop. Menurut pengertian istilah
ulama hadits adalah[2] : sesuatu yang di sandarkan kepada sahabat, baik dari pekerjaan,
perkataan, persetujuan, baik bersambung sanadnya maupun terputus.
3. Hadits maqthu’
Menurut bahasa kata maqhtu berarti terpotong atau terputus lawan dari mawshul yang
berarti bersambung. Menurut istilah adalah sesuatu yang di sandarkan kepada seorang
tabi’in atau orang setelahnya, baik dari perkataaan dan perbuatan.
 Masa-masa Hadits di Bukukan
a. Masa Pembentukan Hadits
Masa pembentukan hadits tiada lain adalah pada masa kerasulan Nabi Muhammad
SAW itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan
hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. Periode ini disebut al-wahyu
wa al-takwin.
b. Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Seiring dengan perkembangan
dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para
sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
c. Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak
menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan
yang bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. pada
masa pemerintahan khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus sebagai salah
seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad ke-II
H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits marfu’,
mana yang mauquf, dan mana yang maqthu’.

d. Masa Penyusunan
Abad ke-III H merupakan masa pentadwinan (pembukuan) dan penyusunan hadits.
Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai
perilaku Nabi Muhammad SAW, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits
dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ (yang sanadnya sampai
kepada Nabi Muhammad), mana yang mauquf (yang sanadnya hanya sampai kepada
sahabat) dan mana yamg maqthu’ (yang sanadnya hanya sampai kepada tabi’in). ke-
IV H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa
ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadits. Sedangkan abad ke-V H dan
seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun untuk
memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad ke-IV H.
[2]
e. Masa Pembukuan Hadits (dari abad ke-II H sampai abad ke-III H)
Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az
Zuhri pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama hadits pada pertengahan abad
ke-II H. Banyak ulama hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan ulama
dalam bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam, dan
sebagainya. Karena itu masa ini dikenal dengan “Ashr al-Tadwin” (masa
pembukuan). Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits
mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab
yang berisi masalah lain dalam satu karangan.

Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu:


1. Golongan politik: permulaan abad ke-II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan
lain-lain yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2. Golongan tukang cerita: mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat
ceritanya dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3. Golongan zindik: mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan
kekacauan di golongan umat Islam.

Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama pada masa ini
mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan
meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang
terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.

f. Kendala Pembukuan Hadits


Terdapat beberapa kendala dalam pembukuan hadits, antara lain :
1. Karena adanya orang-orang yang membuat hadits palsu
2. Ulama tidak/belum memperhatikan dhaif, shahih/hasan, yang penting itu
sumbernya dari Rasulullah SAW
3. Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak.
4. Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah, yang
lain tidak diurus.

 Kedudukan dan Keadaan Kitab-kitab hadits abad ke-II H


Di antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah :
1. Al Muwaththa’, karya Imam Malik.
2. Al Musnad, susunan Imam Asy-Syafi’y. Kitab ini merupakan kumpulan hadits-hadits
yang terdapat dalam kitab beliau yang bernama “Al-Um”.
3. Mukhtaliful Hadits. disusun oleh Imam Syafi’i. Di dalamnya, dibahas tentang cara.-
cara menerima Hadits sebagai hujjah clan cara-cara mengkompromikan Hadits yang
nampak kontradiksi satu sama lain.
4. Al-Siratun Nabawiyah (Al-Maghazi wa Al-Siyar ). Disusun oleh Ibnu Ishaq. Berisi,
antara lain tentang perjalanan hidup Nabi dan peperangan-peperangan jaman Nabi.

 Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah


Di dalam abad yang kedua ini, mulai dipisahkan antara hadits-hadits tafsir dari hadits
umum dan mulai pula dipisahkan hadits-hadits sirah dan maghazinya. Maka yang mula-
mula memisahkan hadits-hadits sirah, ialah Muhammad bin Ishaq bin Yassar al
Muththalaby (151 H). Lalu kitab ini terkenal dengan nama Sirah ibnu Hisyam.

 Hadits dalam Abad Ketiga


Ahli hadits abad ketiga mulai bangkit mengumpulkan hadits, mereka memisahkan
hadits dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits
berdasarkan statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui, ialah
mereka tidak memisah-misahkan hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits shahih
dengan hadits hasan dan dengan hadits dla’if. Segala hadits yang mereka terima,
dibukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya.

A. Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits


a. Latar belakang mulai timbulnya pemalsuan hadits.
Di antara hal yang tumbuh dalam abad ketiga ini ialah muncul orang-orang yang
membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat. Sejak dari timbul
fitnah di akhir masa ‘Usman r.a. umat Islam pecah menjadi beberapa golongan.
1. Golongan Ali bin Thalib, yang kemudian dinamakan golongan “Syiah”.
2. Golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah.
3. Golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu ).
4. Penganut ajaran tasawuf, di antara pengikut ajaran tasawuf, ada yang pengetahuan
agamanya masih sangat terbatas dan bahkan salah.
Terpecahnya umat Islam tersebut, didorong keperluan dan kepentingan golongan,
mereka mendatangkan keterangan hujjah untuk mendukung. Mulai saat itu,
terdapatlah riwayat-riwayat yang shahih, dan riwayat-riwayat yang palsu, dan kian
hari kian bertambah banyaknya. Awal mula yang melakukan pekerjaan sesat ini
adalah golongan syi’ah, sebagaimana yang diakui sendiri oleh Ibn Abdil Hadid,
seorang ulama syi’ah dalam kitabnya Nahlul Balaghah, dia menulis, “Ketahuilah
bahwa asal mula timbul hadits yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi
adalah golongan syi’ah sendiri.”

b. Langkah-langkah yang diambil untuk memelihara hadits


Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat, bergeraklah
para ulama untuk membela syariat dan memelihara agama Islam. Mereka berusaha
menyaring dan menepis hadits-hadits yang diriwayatkannya itu. Hadits-hadits yang
shahih mereka ambil dan hadits-hadits yang diduga palsu (maudhu’) mereka
tinggalkan. Mulai saat itu timbullah ilmu yang dinamakan ilmu jarh wa ta’dil. Para
ulama menerangkan kejelekan-kejelekan pemalsuan hadits dan menyuruh manusia
untuk berhati-hati, serta menerangkan hadits palsu dan motif pembuatan hadits palsu.
beliau-beliau itu memberikan pula kesungguhannya yang mengagumkan untuk
menyusun kaidah-kaidah tahdis, usul-usulnya, syarat menerima riwayat, syarat
menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah yang dipegangi dalam menentukan
hadits maudhu’

c. Pemalsuan Hadits Dan Cara Mengatasinya


Motif-motif pemalsuan hadits:
1. Propagandis propagandis politik
2. Golongan Zindiq
Golongan yang pada lahirnya memeluk Islam , tetapi batinnya memusuhi Islam.
3. Tukang-tukang cerita
4. Penganut ajaran tasawuf
Di antara pengikut ajaran tasawuf, ada yang pengetahuan agamanya masih sangat
terbatas dan bahkan salah
 Cara Mengatasi Pemalsuan Hadits
Para Ulama berusaha dengan gigih menghadapi pemalsuan-pemal¬suan -Hadits.
Caranya, bermacam-macam. Di antaranya:
a. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran Hadits-
hadits yang diterimanya dan meneliti sum¬ber-sumbernya, kemudian hasilnya
mereka siarkan ke masyarakat.
b. Meneliti sanad dan perawi Hadits dengan ketat. Riwayat hidup dan tingkah
laku para perawi dan sanad Hadits diselidiki dengan saksama. Maka lahirlah,
istilah-istilah: tsiqah, kadz¬dzab, fulan la ba’sa bihi, dan sebagainya. Imam
Malik misalnya, telah memberi tuntunan kepada penun¬tut/pencari Hadits,
dengan menyatakan: Janganlah mengambil ilmu (Hadits) dari empat macam
orang, yaitu:
- orang yang kurang akal,
- orang yang mengikuti hawa nafsunya dan mengajak manusia untuk
mengikuti hawa nafsunya,
- orang yang suka berdusta, dan
- seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, kesalihan dan ak¬tif ibadah,
tetapi tidak mengetahui apa yang diriwayatkan¬nya yang berhubungan
dengan Hadits.
Pada sekitar tahun 150 H, Ulama mulai memperbincangkan tentang ta’dil dan
tajrih. Banyak Ulama yang terkenal ahli dalam menilai perawi Hadits pada abad II
periode keempat ini. Ulama yang ferkenal memiliki ilmu yang menda¬lam tentang
kritik rijalil Hadits, ada dua orang. Yaitu:
1. Yahya Ibnu Saad Al-Qatthan (wafat th. 193 H).
2. Abdur Rahman Ibnu Mahdi (wafat th. 198 H).

Anda mungkin juga menyukai