Nim 105191114120
Kelompok 4
Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’
susunan Imam Malik r.a. atas permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji
pada tahun 144 H (143 H).
Kitab al Muwaththa’ dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih
tinggi daripada kitab-kitab sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhary belum
muncul, dari sistematika itu yang paling baik.
d. Masa Penyusunan
Abad ke-III H merupakan masa pentadwinan (pembukuan) dan penyusunan hadits.
Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai
perilaku Nabi Muhammad SAW, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits
dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ (yang sanadnya sampai
kepada Nabi Muhammad), mana yang mauquf (yang sanadnya hanya sampai kepada
sahabat) dan mana yamg maqthu’ (yang sanadnya hanya sampai kepada tabi’in). ke-
IV H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa
ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadits. Sedangkan abad ke-V H dan
seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun untuk
memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad ke-IV H.
[2]
e. Masa Pembukuan Hadits (dari abad ke-II H sampai abad ke-III H)
Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az
Zuhri pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama hadits pada pertengahan abad
ke-II H. Banyak ulama hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan ulama
dalam bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam, dan
sebagainya. Karena itu masa ini dikenal dengan “Ashr al-Tadwin” (masa
pembukuan). Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits
mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab
yang berisi masalah lain dalam satu karangan.
Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama pada masa ini
mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan
meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang
terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.