Anda di halaman 1dari 27

TUGAS FINAL

PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI


( Dosen Pengampu : PROF. Dr. H. BAHAKING RAMA, M.S. )

NAMA : WAFIK AZIZAH U


NIM : 105191114120
KELAS : PAI 5E

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2022/2023
A. Langkah – Langkah Pengembangan Kurikulum
Secara umum langkah-langkah pengembangan kurikulum itu terdiri atas
diagnosis kebutuhan, perumusan tujuan, pemilihan dan pengorganisasian materi,
pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, dan pengembangan alat
evaluasi.
a. Analisis dan Diagnosis Kebutuhan

Langkah pertama dalam pengembangan kurikulum adalah menganalisis dan


mendiagnosis kebutuhan. Analisis kebutuhan dapat dilakukan dengan
mempelajari tiga hal, yaitu kebutuhan siswa, tuntutan masyarakat/dunia kerja,
dan harapan-harapan dari pemerintah (kebijakan pendidikan). Kebutuhan siswa
dapat dianalisis dari aspek-aspek perkembangan psikologis siswa, tuntutan
masyarakat dan dunia kerja dapat dianalisis dari berbagai kemajuan yang ada di
masyarakat dan prediksi-prediksi kemajuan masyarakat di masa yang akan
datang, sedangkan harapan pemerintah dapat dianalisis dari kebijakankebijakan,
khususnya kebijakan-kebijakan bidang pendidikan yang dikeluarkan, baik oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hasil analisis dari ketiga aspek
tersebut kemudian didiagnosis untuk disusun menjadi serangkaian kebutuhan
sebagai bahan masukan bagi kegiatan pengembangan tujuan.

Pendekatan yang dapat dilakukan untuk menganalisis kebutuhan ada tiga, yaitu
survei kebutuhan, studi kompetensi, dan analisis tugas. Hasil akhir kegiatan
analisis dan diagnosis kebutuhan ini adalah deskripsi kebutuhan sebagai bahan
yang akan dijadikan masukan bagi langkah selanjutnya dalam pengembangan
kurikulum yaitu perumusan tujuan.

b. Perumusan Tujuan

Setelah kebutuhan ditetapkan, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan.


Tujuan-tujuan dalam kurikulum berhierarki, mulai dari tujuan yang paling umum
(kompleks) sampai pada tujuan-tujuan yang lebih khusus dan operasional.
Hierarki tujuan tersebut meliputi: tujuan pendidikan nasional, tujuan
institusional, tujuan kurikuler, serta tujuan instruksional: tujuan instruksional
umum dan tujuan instruksional khusus. Tujuan juga dapat dibagi ke dalam
beberapa taksonomi tujuan. Benyamin S. Bloom dalam Taxonomy of
Educational Objectives membagi tujuan ini menjadi tiga ranah/domain, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga.domain ini masing-masing terdiri atas
beberapa aspek yang disusun secara hierarkis, Domain kognitif berkenaan dengan
penguasaan kemampuan-kemampuan intelektual atau berpikir, domain afektif
berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan
nilainilai, sedangkan domain psikomotor berkenaan dengan penguasaan dan
pengembangan keterampilan-keterampilan motorik.

c. Pengorganisasian Materi

Secara spesifik, yang dimaksud dengan materi kurikulum adalah segala sesuatu
yang diberikan kepada siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Isi dari kegiatan
pembelajaran tersebut adalah isi dari kurikulum. Isi atau bahan tersebut disusun
dalam berbagai program pendidikan berdasarkan jenis dan jenjang sekolah,
kemudian dikemas dalam berbagai bidang studi yang kemudian dijabarkan dalam
pokok dan subpokok bahasan, yang secara lebih rinci disusun dalam bentuk
bahan pengajaran dalam berbagai bentuknya. Tugas guru adalah mengembangkan
bahan pelajaran tersebut berdasarkan tujuan instruksional yang telah disusun dan
dirumuskan sebelumnya. Ada sejumlah kriteria yang dapat dipertimbangkan
dalam pemilihan materi kurikulum ini, antara lain: (1) Materi kurikulum harus
dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai; Materi kurikulum dipilih karena
dianggap berharga sebagaiwarisan budaya (positif) dari generasi masa lalu; (2)
Materi kurikulum dipilih karena berguna bagi penguasaan suatu disiplin ilmu;(3)
Materi kurikulum dipilih karena dianggap bermanfaat bagi kehidupan umat
manusia, untuk bekal hidup di masa kini dan masa yang akan datang; (4) Materi
kurikulum dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak didik (siswa)
dan kebutuhan masyarakat.

d. Pengorganisasian Pengalaman Belajar


Setelah materi kurikulumdipilih dan diorganisasikan, langkah selanjutnya adalah
memilih dan mengorganisasikan pengalaman belajar. Cara pemilihan dan
pengorganisasian pengalaman belajar dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai pendekatan. Strategi, metode serta teknik yang disesuaikan dengan
tujuan dan sifat materi yangakan diberikan. Pengalaman belajar siswa bisa
bersumber dari pengalaman visual, pengalaman suara, pengalaman perabaan,
pengalaman penciuman, atau variasi dari visual, suara, perabaan, dan penciuman.
Semua pengalaman belajar tersebut dapat diorganisasikan sedemikian rupa
dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti siswa, guru, bahan, tujuan,
waktu, sumber, fasilitas, dan masyarakat. Pengalaman belajar yang dipilih harus
mencakup berbagai kegiatan mentalfisik yang menarik minat siswa, sesuai
dengan tingkat perkembangannya, dan merangsang siswa untuk belajar aktif dan
kreatif.
e. Alat Evaluasi
Pengembangan alat evaluasi dimaksudkan untuk menelaah kembali apakah
kegiatan yang telah dilakukan itu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Mc.
Neil (1977) mengungkapkan ada dua hal yang perlu mendapatkan jawaban dari
penilaian kurikulum, yaitu (1) apakah kegiatan-kegiatan yang dikembangkan dan
diorganisasikan itu memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-
citakan dan (2) apakah kurikulum yang telah dikembangkan itu dapat diperbaiki
dan bagaimana cara memperbaikinya. Setelah informasi/jawaban terhadap kedua
pertanyaan tersebut diperoleh, langkah selanjutnya adalah memutuskan dan
menetapkan bahwa kurikulum itu diberlakukan dan dilaksanakan. Ada orang
yang beranggapan bahwa penilaian sama artinya dengan pengukuran, tes atau
pemberian nilai. Ketiganya memang merupakan bagian dari proses penilaian.
Penilaian pada suatu proses pembuatan pertimbangan terhadap suatu hal.
Evaluasi kurikulum dapat dilakukan terhadap komponen-komponen kurikulum
itu sendiri, evaluasi terhadap implementasi kurikulum, dan evaluasi terhadap
hasil yang dicapai.

B. Pendekatan Pengembangan Kurikukum


Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap
suatu proses tertentu. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Dengan demikian, pendekatan
pengembangan kurikulum merujuk pada titik tolak atau sudut pandang secara umum
tentang proses pengembangan kurikulum.
Ada empat pendekatan dalam teori kurikulum yang dapat digunakan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu; pendekatan subjek akademis, pendekatan
humanistis, pendekatan tekhnologis, pendekatan rekonstruksi sosial.
1. Pendekatan Subjek Akademis

Dalam Pendekatan Subjek Akademis, menyusun kurikulum atau program


pendidikan didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing.Setiap
ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi tertentu yang berbeda dengan
sistematisasi ilmu lainnya. Pengembangan kurikulum subjek akademis dilakukan
dengan cara menetapkan lebih dulu mata pelajaran / mata kuliah apa yang harus
dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan
disiplin ilmu. Pendekatan ini memprioritaskan sifat perencanaan program dan
juga mengutamakan penguasaan bahan dan proses dalam disiplin ilmu tertentu.

Dalam Pendekatan subjek akademis menyusun kurikulum PAI dilakukan dengan


berdasarkan sistematisasi disiplin ilmu. Misalnya :
a. Untuk aspek keimanan atau mata pelajaran akidah menggunakan
sistematisasi ilmu tauhid
b. Aspek / mata pelajaran akhlak menggunakan sistematisasi ilmu akhlak
c. Ibadah / syari’ah / mu’amalah menggunaka sistematisasi ilmu Fikih
d. Tarikh / sejarah menggunaka sistematisasi SKI (Sejarah Kebudayaan Islam).
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu kegagalan dalam memberikan
perhatian kepada yang lainnya, dan melihat bagaimana isi dapat membawa
mereka pada permasalahan kehidupan modern yang kompleks, yang tidak dapat
dijawab oleh hanya satu ilmu saja.
2. Pendekatan Humanistis

Dalam pengembangan kurikulum, Pendekatan Humanistis bertolak dari ide


“memanusiakan manusia”. Penciptaan kontek yang akan memberi peluang
manusia untuk menjadi lebih human, mempertinggi harkat manusia merupakan
dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi, dan dasar pengembangan program
pendidikan.

Istilah “memanusiakan manusia” dalam perspektif pendidikan Islam berarti:

a. Usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan


alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar fitrahnya seoptimal mungkin.
b. Menumbuhkan potensi fitrahnya secara terpadu dan diaktualkan dalam
kehdupan sehari-hari baik individual maupun sosialnya.
c. Membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah
dari Allah sebagai Abdullah, khalifah Allah, baik terhadap diri sendiri,
keluarga atau rumah tangga dan masyarakat.
Sedangkan kaitannya dengan menentukan strategi pembelajaran PAI, pendekatan
humanistis lebih menekankan kepada active learning (pembelajaran aktif) yang
dilandasi oleh prinsip-prinsip :
a) Berpusat pada peserta didik
b) Mengembangkan kreatifitas peserta didik
c) Mengembangkan beragam kemampuan dan nilai
d) Menyediakan pengalaman belajar yang beragam serta belajar melalui
berbuat.
Jadi, kurikulum ini berpusat pada siswa atau peserta didik (student centered) dan
mengutamakan perkembangan afektif peserta didik sebagai prasyarat dan sebagai
bagian integral. Dari proses belajar, para pendidik humanistis meyakini bahwa
kesejahteraan mental dan emosional peserta didik harus dipandang sentral dalam
kurikulum, agar proses belajar memberikan hasil yang maksimal.
3. Pendekatan Tekhnologis
Dikatakan menggunakan pendekatan tekhnologis, bila mana pembelajaran itu
menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar,
merencanakan, menge lola, melaksanakan dan menilainya. Di samping itu,
pendekatan tekhnologis ingin mengejar kemanfaatan tertentu, sehingga proses
dan rencana produknya (hasilnya) di prog ram sedemikian rupa, agar pencapaian
hasil pembelajarannya (tujuan) dapat dievaluasi dan diukur dengan jelas dan
terkontrol. Dari rencana proses pembelajaran sampai mencapai hasil tersebut
diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Pendekatan tekhnologis dalam pengembangan kurikulum PAI, hanya bisa
digunakan untuk pembelajaran PAI yang menekankan pada know how cara
menjalankan tugastugas tertentu. Misalnya cara menjalankan sholat, haji, puasa,
zakat, mengkafani mayit, shalat jenazah dan lainnya. Akan tetapi apabila dalam
sebuah pembelajaran PAI harus mengevaluasi tentang keimanan peserta didik
atas materi rukun iman misalnya, mak pendekatan tekhnologis tidak bisa
digunakan, karena evaluasi ini sulit untuk diukur. Dan ini merupakan
keterbatasan pendekatan tekhnologis.
4. Pendekatan Rekonstruksi Sosial
Dalam menyusun kurikulum/program pendidikan, Pendekatan Rekonstruksi
sosial bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat.
Kurikulum rekonstruksi sosial disamping menekankan isi pembelajaran atau
pendidikan juga sekaligus menekankan proses atau pendidikan dan pengalaman
belajar. Pendekatan rekonstruksi sosial berasumsi bahwa manusia adalah
makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia lain,
selalu hidup bersama, berinteraksi dan bekerja sama. Tugas pendidikan terutama
membantu agar peserta didik menjadi cukup dan selanjutnya mampu ikut
bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakat.
Peserta didik terjun ke masyarakat dengan dilandasi oleh internalisasi ajaran dan
nilai-nilai Islam, yang mengandung makna bahwa setiap langkah dan tahap
kegiatan yang hendak dilakukan di masyarakat selalu dilandasi oleh niat yang
suci untuk menjunjung tinggi ajaran dan nilai fundamental Islam sebagaimana
yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, serta berusaha
membangun kembali masyarakat atas dasar komitmen, loyalitas, dan dedikasi
sebagai pelaku (actor) terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam tersebut.

C. Mekanisme Penjenjangan Kurikulum


Sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Instutusi Pendidikan dikelompokkan menjadi tiga
Kelomok, yaitu Pendidikan Islam Formal, Pendidikan Islam Non-Formal, dan
Pendidikan Islam In-Formal.
1. Pendidikan Formal
Di Indonesia yang termasuk kategori lembaga pendidikan formal adalah sebagai
berikut:
a. Raudhatul Athfal (RA) atau Bustanul Athfal
RA ini merupakan salah satu jenis pendidikan islam formal bagi anak usia dini.
Jenjang usia untuk RA ini yaitu 4-6 tahun sama seperti TK. Nah ada beberapa ciri
khas dari RA ini sendiri:
1. Baju seragam anak-anak yang Sekolah di RA juga merupakn baju
seragam yang islami, yaitu bajunya panjang seperti baju muslim.
2. Pelajaran nya juga jika di RA lebih ditekankan kepada pelajaran
keagamaan. Jadi selain belajar tentang pengetahuan umum di RA juga
anak akan banyak mempelajari tentang keagamaannya, Jadi RA ini
berusaha menyeimbangkan antara pelajaran dunia dan akhirat.
3. Guru, guru di RA juga merupakan guru-guru yang basik agamanya kuat.
b. Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar
sekolah yang diharapkan mampu secara menerus memberikan pendidikan agama
Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan
melalui sistem klasikal serta menerapkan jenjang pendidikan yaitu:
• Diniyah Awaliyah
Madrasah Diniyah Awaliyah, dalam menyelenggarakan pendidikan agama islam
tingkat dasar selama 4 tahun dan jumlah belajarnya 18 jam pelajaran dalam
seminggu.
• Diniyah Wustho
Madrasah Diniyah Wustho, dalam menyelenggarakan pendidikan agama islam
tingkat menengah pertama sebagai pengembangan pengetahuan yang diperoleh pada
Madrasah Diniyah Awaliyah, masa belajar selama dua tahun dengan jumlah jam
pelajaran 18 jam dalam seminggu
• Diniyah Ulya
Madrasah Diniyah Ulya, dalam menyelenggarakan pendidikan agama islam tingkat
menengah atas dengan melanjutkan dan mengembangkan pendidikan
Madrasah Diniyah Wustho,
Masa belajarnya 2 tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam per minggu.
c. Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Dasar Islam (SDI)
Madrasah ibtidaiyah (disingkat MI) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan
formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Dasar, yang pengelolaannya dilakukan
oleh Kementerian Agama. Pendidikan madrasah ibtidaiyah ditempuh dalam waktu 6
tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Lulusan dari madrasah dasar dapat
melanjutkan ke madrasah pertama. Kurikulum madrasah ibtidaiyah sama dengan
kurikulum sekolah dasar, hanya saja pada MI terdapat porsi lebih banyak mengenai
pendidikan agama Islam. Selain mengajarkan mata pelajaran sebagaimana sekolah
dasar, juga ditambah dengan mata pelajaran: Alquran dan Hadits, Aqidah dan
Akhlaq, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab.
d. Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), atau
nama lain yang setingkat dengan lembaga ini.
Madrasah tsanawiyah (disingkat MTs) adalah jenjang dasar pada pendidikan formal
di Indonesia, setara dengan sekolah menengah pertama, yang pengelolaannya
dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan madrasah tsanawiyahditempuh
dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9.
e. Madrasah Aliyah (MA) atau Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) atau nama
lain yang setingkat dengan lembaga ini.
Madrasah aliyah (disingkat MA) adalah jenjang pendidikan menengah pada
pendidikan formal di Indonesia, setara dengan sekolah menengah atas, yang
pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Agama. Pendidikan madrasah
aliyahditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 10 sampai kelas 12.
f. Perguruan Tinggi Islam antara lain adalah sekolah Tinggi Agama Islam
(STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Universitas Islam Negeri (UIN)
atau lembaga sejenis milik Yayasan atau organisasi keIslaman.
Institut Agama Islam negeri (IAIN) adalah bentuk perguruan tinggi Islam negeri di
Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam disiplin ilmu
keaagaman Islam. IAIN merupakan salah satu bentuk perguruan tinggi Islam negeri
selain universitas Islam negeri (UIN) dan sekolah tinggi agama Islam negeri
(STAIN).

IAIN dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1960 di kota Yogyakarta dengan nama
IAIN Al Jami’ah al-Islamiah al-Hukumiyah, yang merupakan gabungan dari
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta dan Akademi Dinas
Ilmu Agama (ADIA) Jakarta.

Sejak tahun 1963, berdirilah cabang-cabang IAIN yang terpisah dari pusat. Pada
tahun 1965, nama IAIN di Yogyakarta diubah menjadi IAIN Sunan Kalijaga.

Pada abad ke-21, sejumlah IAIN berubah nama menjadi universitas Islam Negeri
(UIN), karena memiliki fakultas dan jurusan di luar studi keislaman. IAIN Syarif
Hidayatullah di Jakarta misalnya, berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah. Jika pada tahun 2000 tercatat masih terdapat 14 IAIN di
Indonesia, saat ini 11 di antaranya telah berubah menjadi UIN.

2. Pendidikan Non Formal


Sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang. Ramayulis mengartikan pendidikan Non-Formal
adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tidak mengikuti peraturan-peraturan
yang tetap dan ketat. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa penidikan Islam non-
formal adalah pendidikan yang diselengggrakan oleh masyarakat dengan tanpa
mengikuti peraturan yang baku dari pemerintah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 55 tahun 2007
mengatur tentang pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada
jenjang pendidikan formal, nonformal, dan informal. Di dalam PP No. 55 tahun 2007
menyebut majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan Alquran dan diniyah
taklimiyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam.
Beberapa diantara pendidikan Islam yang tidak formal diselenggrakan oleh
masyarakat dan masih tetap eksis hingga sekarang adalah sebagai berikut :
• Masjid, Mushalla, Langgar, Surau dan Rangkang
• Madrasah Diniyah
• Majlis Ta’lim, TPQ, Taman Pendidikan Seni al-
Qur’an, Jama’ah wirid
• Kursus-kursus KeIslaman
• Badan-badan Pembinaan Rohani
• Badan-Badan Konsultasi keagamaan

3. Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Keluarga
sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah sekelompok orang yang memiliki pola-
pola kepentingan masing-masing dalam mendidik anak yang belum ada di
lingkungannya. Pengertian ini berarti menegakkan bahwa yang masuk adalam
ketagori pendidi Islam in formal adalah pendidika Islam yang diberikan oleh orang
tua kepada keluarganya dan juga pendidikan Islam dilingkunangan masyarakat
seperti majlis ta’lim yang ada di masjid-masjid atau mushola.
Praktek pendidikan Islam informal tidak terikat dengan penjenjangan, waktu, atau
muatan kuirkulumnya. Pendidikan berjalan secara alami dan materi pendidikannya
bersiafat kondisonal dan sesuai dengan kebutuhan tanpa ada program waktu dan
evaluasi.

D. Sistem Pengembangan Kurikulum


1. Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan
kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam
suatu struktur organisasi. Pada saat sekarang ini banyak perusahaan atau
organisasi yang memilih serta menerapkan sistem desentralisasi karena dapat
memperbaiki serta meningkatkan efektifitas dan produktifitas suatu
organisasi.Tidak hanya sektor politik praktis yang tersapu gelombang otonomi.
Dunia pendidikan pun tidak mau ketinggalan “mengadopsi“ desentralisasi dalam
kehidupannya. Akhirnya munculah istilah KTSP atau kurikulum tingkat satuan
pendidikan.
Pemberlakuan KTSP di nilai berbagi pihak cukup membawa angin pada sistem
pendidikan di Indonesia. Secara prinsip, KTSP dikembangkan sesuai dengan
satuan pendidikan, potensi, kerakteristik daerah dan sosial budaya masyarakat
setempat. KTSP dianggap sebagai kurikulum otonom yang berbasis kerakyatan.
Karena didalamnya dijamin adanya muatan kearifan lokal. Dan yang terpenting,
guru diberikan kesempatan untuk memaksimalkan segala potensi yang ada
dimasing-masing daerah.
Itulah yang membuat KTSP dianggap paling cocok untuk Indonesia. Menggingat
keberagaman budaya yang membentang dari ujung Sumatera sampai Papua.
Dengan KTSP segala kekayaan itu dapat diadopsi sebagai material teaching
(bahan pengajaran). Ini tentunya akan membawa nilai tambah dalam khazanah
pendidikan Indonesia.
Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi1 terinci sebagai berikut :
a. Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan
perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai
kualitas pendidikan.
b. Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja
dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
c. Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif
kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
d. Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari
masyarakat
e. Tumbuhnyaan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.

 Kelebihan dan Kekurangan Desentralisasi Pendidikan


Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan disentralisasi di akibatkan
oleh beberapa hal :
a. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan
terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal
pelaksanaan yang tergesa-gesa.
b. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat,
propinsi dan daerah.
c. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
d. Sumber daya manusia yang belum memadai.
e. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
f. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
g. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan
otoritasnya.

Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas


implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk
tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
a. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi
sebagai wahana pemersatu bangsa.
b. Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang
dilakukan secara garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.
c. Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama
dalam pendanaan pendidikan.
d. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat
yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
e. Pemahaman pemerintah daerah maupunDPRD terhadap keunikan dan
keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan
pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
f. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa
pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama
dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.
g. Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas
kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.

2. Sentralisasi Pendidikan
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah
tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
yang telah digariskan menurut UU. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi
adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang
berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak
digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi
adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh
orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan
suatu hal menjadi lebih lama Dalam era reformasi deawasa ini, diberlakukan
kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara
vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk
kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di
bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu
diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip
otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi.

 Kekuatan dan Kelemahan Sentralisasi Pendidikan

Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial


budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada
negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
serba seragam, seba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa
melihat tingkat relevansinya di kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya,posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar
yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai
dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah
melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti :

a. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan.


b. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan,
evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
c. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
d. Melemahnya kebudayaan daerah
e. Kualitas manusia yang robotik, tanpa inisiatif dan kreatifitas.

E. Pihak-Pihak yang terlibat dalam Pengembangan Kurikukum


1) Peranandministrator Pendidikan
Peranan para administrator pada tingkat pusat dalam pengembangan kurikulum
adalah menyusun dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program
inti kurikulum (Sukmadinata, 2004). Dasar dan inti program tersebut akan
menentukan kursus minimum yang dituntut. Di atas dasar kerangka dasar dan inti
program tersebut para administrator daerah dan administrator lokal
mengembangkan kurikulum sekolah bagi daerahnya yang sesuai dengan
kebutuhan daerah.
Administrator pendidikan terdiri dari:
 Administrator Pusat : direktur dan kepala pusat
 Administrator Daerah: Kepala Kantor Wilayah
 Administrator Lokal: Kepala Kantor Kabupaten, Kecamatan dan Kepala
Sekolah.
2) Peranan Para Ahli
Pengembangan kurikulum membutuhkan bantuan pemikiran para ahli, baik ahli
pendidikan, ahli kurikulum, maupun ahli bidang studi/disiplin ilmu. Dengan
mengacu pada keahlian-kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah, baik keahlian
pembangunan secara umum maupun pembangunan pendidikan, perkembangan
tuntutan masyarakat dan masukan dari pelaksanaan pendidikan dan kurikulum
yang sedang berjalan, para ahli pendidikan memberikan konsep pendidikan
alternatif dan kurikulum model yang dipandang paling sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan masyarakat.
3) Peranan Guru
Guru adalah sebagai perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi
kelasnya. Dia tidak mencetuskan sendiri konsep-konsep tentang kurikulum, guru
merupakan penerjemah kurikulum. Dia yang mengolah, meramu kembali
kurikulum dari pusat untuk disajikan dikelasnya. Oleh karena itu guru dapat
dikatakan sebagai barisan pengembangan kurikulum yang terdepan.
Adapun peran guru dalam mengembangkan kurikulum antara lain:
 Guru sebagai perencana pengajaran. Artinya, guru harus membuat
perencanaan pengajaran dan persiapan sebelum melakukan kegiatan belajar
mengajar.
 Guru sebagai pengelola pengajaran harus dapat menciptakan situasi belajar
yang memungkinkan tujuan belajar yang telah ditentukan.
 Guru sebagai penilai. Artinya, guru melakukan pengukuran untuk
mengetahui apakah anak didiknya telah mencapai hasil belajar seperti yang
diharapkan.

Keberhasilan belajar mengajar antar lain ditentukan oleh kemampuan


kepribadiannya. Guru harus mempermasalahkan keterbukaan dan menyentuh
kepribadian siswa. Guru perlu mengembangkan gagasan secaa kreatif, memiliki
hasrat dan keinginan serta wawasan intelektual yang luas. Guru harus yakin
terhadap potensi belajar yang dimiliki oleh siswa.
Kemampuan yang harus dimiliki seorang guru, yaitu :
a. Kemampuan Profesional, yang mencakup : Penguasaan materi pelajaran,
Penguasaan landasan dan wawasan pendidikan, Penguasaan proses
kependidikan, keguruan dan pembelajaran.
b. Kemampuan Sosial
c. Kemampuan Pribadi diantaranya: Penampilan sikap, Pemahaman,
penghayatan dan nilai penampilan yang seyogyanya dimiliki guru dan
Penampilan upaya menjadikan dirinya sebagai contoh bagi siswanya.
4) Peranaan Orang Tua Murid
Peranan mereka dapat ditinjau dengan dua hal, pertama dalam penyusunan
kurikulum. Dalam menyusun kurikulum mungkin tidak semua orang tua dapat
ikut serta hanya terbatas pada beberapa orang saja yang cukup waktu dan
memiliki latar belakang yang memadai. Kedua, dalam pelaksanaan kurikulum
diperlukan kerja sama yang sangat erat antara guru dengan para tua murid.
Sebagian kegiatan belajar yang menuntut kurikulum dilaksanakan dirumah. Dan
orang tua mengikuti atau mengamati kegiatan belajar anakanya dirumah.
5) Peran Komite Sekolah
Komite Sekolah merupakan nama baru pengganti Badan Pembantu
Penyelenggara Pendidikan (BP3). Secara substansial kedua istilah tersebut tidak
begitu mengalami perbedaan. Yang membedakan hanya terletak pada
pengoptimalan peran serta masyarakat dalam mendukung dan mewujudkan mutu
pendidikan. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah,
jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah.
Tujuan pembentukan Komite Sekolah adalah:
 Mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam
melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan
pendidikan.
 Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
 Menciptakan suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel, dan demokrasi
dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan
pendidikan.
Secara kontekstual, peran Komite Sekolah sebagai:
 Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam pembelian dan pelaksanan
kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
 Pendukung, baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
 Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
 Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan
pendidikan.
6) Peran Pengusaha
Berkaitan dengan peran masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005
Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan
menyebutkan : (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
hasil pengguna pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Sebagai contoh, sebagaimana persyaratan oleh Kadisdik Jabar, Dadang Dally
bahwa dunia usaha dan industri dunia merupakan bagian dari masyarakat yang
memiliki peran penting dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
Perihal kegiatan kerjasama dengan dunia usaha sinergitas telah mulai dilakukan.
Prosesnya telah memasuki tahap inventarisasi. Implementasinya, dunia usaha
didorong untuk membangun sekolah, bukan menggalang dana dari dunia usaha

F. Tingkat Pengembangan Kurikulum


Umumnya para ahli pendidikan, diantaranya Soetopo & Soemanto (1982),
Nurgiantoro (1988), Subandijah (1993), dan Abdullah Idi (1999) mengemukan tiga
tingkatan (tahap) pengembangan kurikulum. Namun Sudirman dkk (1990)
mengemukakan empat tingkat pengembangan kurikulum, yaitu: Pengembangan
kurikulum secara makro (nasional), Pengembangan kurikulum pada tingkat lembaga,
Pengembangan kurikulum pada tingkat bidang studi (kurikuler) , Pengembangan
kurikulum pada tingkat operasional di kelas.

1. Pengembangan Kurikulum Secara Makro (Nasional)


Pada tingkat ini, pengembangan kurikulum didiskusikan dalam ruang lingkup
(scope) nasional, yang meliputi Tri-Pusat Pendidikan (pendidikan informal,
formal, dan nonformal), baik secara vertikal maupun horizontal dalam rangka
pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional (Sudirman dkk, 1990). Sementara
berdasarkan Undang-Undang No.2 tahun 1989, bahwa penyelenggaraan
pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur pendidikan, yaitu: jalur pendidikan
sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Keduaduanya secara vertikal dan
horizotal ber-orientasi pada tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional.

Pengembangan kurikulum sekolah di Indonesia, khususnya yang berorientasi pada


tujuan, akan melalui tingkat-tingkat pengembangan program pada tingkat
lembaga, setiap bidang studi (mata pelajaran), dan pengembangan program
pengajaran di kelas. Pada umumnya pengembangan program pada tingkat
lembaga atau tingkat pertama dan kedua (tahap bidang studi) ditentukan oleh tem
ahli yang bersifat nasional, sedangkan pengembangan pada tingkat ketiga (di
kelas) dilakukan oleh masing-masing sekolah atau guru (Winarno Surahmat,
1977). Sementara pengembangan kurikulum muatan lokal sejak tingkat lembaga
sampai pada pengembangan program pada bidang studi dilakukan oleh tem ahli
dan sekolah secara lokal atau daerah, baru pada pengembangan program di kelas
dilakukan oleh guru-guru.

2. Pengembangan Kurikulum pada Tingkat Lembaga


Menurut Nurgiantoro (1988) bahwa pengembangan program pada tingkat lembaga
meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu perumusan tujuan institusional, penetapan isi
dan struktur program, serta penyusunan startegi pelaksanaan kurikulum secara
keseluruhan.
Sementara itu Skillback (1979) mengajukan beberapa langkah dalam
pengembangan kurikulum pada tingkat lembaga pendidikan (satuan sekolah),
yaitu sebagai berikut: (1) Analisis situasional, (2) Perumusan tujuan, (3)
Penyusunan program, (4) Interpretasi dan implementasi, dan (5) Monitoring,
umpan balik (feed-back), penilaian dan rekonstruksi.
Meskipun demikian, penyusuanan rasional program sekolah dan penetapan hasil
belajar tidaklah semata-mata berorientasi pada tujuan, tetapi juga perlu
berorientasi pada perkiraan kebutuhan ditinjau dari tingkat institusional, yaitu:
a. Identifikasi kebutuhan individu dan sosial peserta didik.
b. Hasil pengkajian mengenai apa yang sedang dan sudah dilaksanakan
sekolah.
c. Keberhasilan yang dicapai oleh sekolah lain yang sejenjang dan
sejenis.
d. Perkembangan peserta didik, karakteristik peserta didik, dan prinsip-
prinsip belajar.
e. Petunjuk-petunjuk instansi atasan (termasuk didalamnya inovasi
yang perlu diselenggarakan.

3. Pengembangan Program pada Setiap Mata Pelajaran


Pengembang program pada setiap mata pelajaran dimaksudkan untuk mencapai
tujuan kurikuler, yakni tujuan mata pelajaran yang akan dicapai selama program
tersebut diajarkan. Subandijah (1993) mengajukan beberapa kegiatan dalam
pengembangan program pada setiap bidang studi mencakup.
 Menyusun tujuan kurikuler (SKKD)
 Merumuskan tujuan instruksional umum,
 Menetapkan pokok bahasan kemuadian menyusun GBPP)Silabus

Sementara itu Abdullah Idi (1999) mengemukakan beberapa hal yang harus
dilakukan dalam kegiatan pengembangan program pada tiap bidang studi,
yakni:

 Penetapan pokok-pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang didasarkan


atas tujuan kelembagaan (institusional)
 Penyusunan garis-garis besar program pengajaran (GBPP)
 Penyusunan program khusus pelaksanaan program pengajaran masing-
masing bidang studi.

Disamping itu, Muhammad Idi (1999) sependapat dengan apa yang telah
dikemukakan oleh Subandijah mengenai kegiatan pengembangan program
pada setiap mata pelajaran, hanya beliau ingin mempertegas bahwa perlua
adanya pedoman khusus pada setiap bidang mata pelajaran, karena setiap
mata pelajaran punya karakteristik tertentu yang sudah tentu memiliki
perbedaan dalam metode dan media penyampaiannya.

4. Pengembangan Program Operasional di Kelas


Pengembangan kurikulum pada di tingkat kelas yang masih berlaku sekarang ini
adalah menyusun atau membuat RPP yang komponen-komponennya terdiri dari:
1) Materi Pokok/Sub Materi Pokok, 2) tujuan pembelajaran, 3) Uraian Materi
bahan, 4) KBM), 5) Alat dan sumber, 6) Evaluasi, dan 6) Waktu.
Tahap ini merupakan tahap kewenangan guru untuk mengembangkan program
pengajaran di kelas. Untuk mengembangkan program pengajaran di kelas maka
guru perlu memperoleh lebih lanjut dalam bentuk satuan pelajaran (SP). SP
merupakan suatu sistem, yang menurut Subandijah (1993) memiliki komponen-
kompenen sebagai berikut:
a) Tujuan pembelajaran umum (TPU) yang diambil dari GBPP.
b) Tujuan pembelajaran khusus (TPK) dijabarkan oleh guru dari TPU.
c) Materi pelajaran
d) Kegiatan belajar-mengajar (KBM)
e) Alat dan sumber belajar, dan
f) Evaluasi
Komponen-komponen SP di atas tersebut ada apabila seorang guru menggunakan
SP pola 6 (enam), namun apabila ia menggunakan SP pola 3 (tiga) maka yang ada
hanya; (1) Tujuan pembelajaran khusus (TPK), (2) Kegiatan belajar-mengajar
(KBM), dan (3) evaluasi. Dan pola ini dirasakan lebih simpel dan lebih
operasional dengan kata lain lebih aplikatif dalam proses belajarmengajar (PBM).
Kelompok STEP (Sceince Teacher Educational Project) dari Inggeris melihat
pengembangan kurikulum ditingkat opersaional di kelas sebagai pelaksanaan
tugas yang dilakukan oleh guru. Untuk melihat tugas guru di muka kelas dalam
rangka pengembangan kurikulum kiranya bermanfaat pula untuk melihat peta
tugas-tugas guru menurut pendapat STEP yang dirumuskan berupa empat
pertanyaan dasar, yaitu:
 Apa yang harus saya coba kerjakan sebagai guru?
 Apa yang harus saya ketahui tentang peserta didik saya?
 Metode apa yang dapat saya gunakan untuk mencapai tujuan saya?
 Metode apa yang dapat saya pergunakan secara tepat untuk peserta didik
saya?
Langkah yang mendahului perumusan tujuan instruksional khusus dalam
penyusunan satuan pelajaran adalah meninjau tentang tujuan instruksional umum
dan analisis situasional kelas yang berkenaan dengan problem, kondisi, kesulitan-
kesulitan dan sumber belajar yang tersedia, serta sitausi peserta didik pada
umumnya yaitu yang menyangkut tentang karakteristik, kebutuhan dan minat
(need and interest) peserta didik.

G. Pemantauan/ Monitoring dan Evaluasi Kurikulum


 Pemantauan atau Monitoring
Menurut Websterns monitoring atau pemantauan yaitu kegiatan yang dilakukan
untuk mengecek penampilan dan aktifitas yang dikerjakan. Kegiatan monitoring
terhadap pelaksanaan kurikulum pada dasarnya dimaksudkan untuk mengetahui
sampai di mana kurikulum baru itu telah dilaksanakan di sekolah-sekolah dan
persoalan-persoalan apa ang dirasakan di dalam melaksanakan kurikulum
tersebut. Dengan kata lain, kegiatan monitoring ini sebenarnya merupakan
kegiatan mengikuti jalannya pelaksanaan kurikulum di sekolah pada tahun-tahun
permulaan ditetapkannya kurikulum tersebut.
Sasaran di dalam kegiatan monitoring ini lebih dipusatkan pada pemantauan
terhadap kelancaran proses pelaksanaan kurikulum serta sarana yang diperlukan
di dalam kegiatan pelaksanaan tersebut. Segi hasil belajar murid tidak menjaadi
sasaran utama di dalam kegiatan monitoring ini.Untuk mengumpulkan
keterangan di dalam pelaksanaan monitoring tersebut dapat digunakan
wawancara, observasi maupun angket untuk para pelaksana.
Monitoring dilakukan pada tahun-tahun permulaan dilaksanakanna kurikulum
baru di sekolah-sekolah, dimana kegiatan ini dilakukan oleh pihak pengembang
kurikulum untuk mengambil tindakan guna memperlancar penyebaran dan
pelaksanaan kurikulum di sekolah-sekola

Pelaksanaan pemantauan (monitoring) terhadap kurikulum dapat dilakukan


melalui dua cara yaitu cara langsung dan tidak langsung. Kedua cara tersebut
dilakukan dengan seperangkat kegiatan monitoring yang sama yaitu kegiatan
yang berkaitan dengan mengumpulkan, mencatat, mengolah informasi dan
pelaksanaan suatu proyek; kemudian dituangkan dalam suatu laporan monitoring.

a) Pemantaun Langsung
Pemantauan langsung adalah pemantauan yang dilakukan dengan cara
mengunjungi lokasi proyek. Dengan cara demikian petugas monitoring dapat
secara bebas mengumpulkan informasi yang diperlukan.Agar pengumpulan
informasi dapat berjalan secara efesien maka diperlukan strategi
pengumpulan data yaitu;

 Mempersiapkan instrument pengumpulan data ; misalnya dengan


menyiapkan daftar isi.
 Menggali informasi pada orang-orang penting yang memegang posisi
dalam pelaksanaan kurikulum tersebut.
 Melakukan pemantauan langsung ke lapangan dan petugas monitoring
dapat mencatat informasi yang diperlukan sesuai dengan kehendaknya
(sesuai dengan tujuan monitoring).

Dalam pelaksanaan monitoring secara langsung ini terdaapat kelebihan dan


kelemahannya, kelebihan cara ini diantaranya sebagai berikut;
a. Didapatkan data yang sesuai dengan yang dimaksudkan.
b. Data yang dikumpulakan adalah data yang relative lebih akurat karena
data dikumpulkan sendiri oleh petugas monitoring dan merupakan data
primer.
c. Dengan cara langsung ini petugas bukan saja mengumpulan data tetapi
juga dapat memberikan saran-saran bila tidak sesuai dengan apa yang
direncanakan.

Sedangkan kelemahan dari cara monitoring langsung ini antara kain dapat
disebutkan:
 Memerlukan biaya yang relatif besar karena bukan saja factor jarak
(tranformasi) tetapi juga untuk mengirim petugas monitoring ke
lokasi.
 Memerlukan ketelitian yang lebih, sebab dengan wawancara
langsung, seringkali hasilnya tidak sesuai bila petugas monitoring
tidak pandai-pandai mengali data yang baikdan benar.
b) PemantauanTidak Langsung

Cara ini menghendaki petugas monitoring tidak perlu terjun langsung ke


lokasi; tetapi penggalian data dilakukan dengan cara mengirim seperangkat
daftar isian untuk diisi oleh orang lain di lokasi penelitian. Cara tidak
langsung ini juga dapat dilakukan dengan mengumpulkan data melalui
laporan-laporan yang dibuat pimpinan pemantau.

Dalam pengembangan kurikulum, hal yang dimonitoring adalah pelaksanaan


dan hasil pengembangan kurikulum tersebut, yang disertai dengan pelaporan
kemajuan dan kendala dalam pengembangannya atau pelaksanaannya.
Rencana Monitoring sebaiknya mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1:
Tentukan kegiatan dan keluaran utama yang harus dimonitor, dalam hal ini
monitoring dapat difokuskan pada hal-hal seperti metode atau bahan ajar yang
telah dikembangkan, sudahkan sekolah atau guru mengembangkan metode
dan bahan ajar seperti yang telah ditetapkan, apakah dalam pengembangan
tersebut menghasilkan metode dan bahan ajar yang sesuai.Hal yang perlu
diingat adalah jangan berusaha untuk memonitor segala aspek, yang penting
memonitor apa yang telah dilakukan, keluaran apa yang dihasilkan, di mana,
kapan, oleh siapa, dan untuk siapa. Kemudian, hasil monitoring itu
dibandingkan dengan rencana semula, selisih antara rencana dan hasil
monitoring dibuat laporannya, dan kemudian sejauh mungkin faktor-faktor
penyebab perbedaan itu diidentifikasi. Tata cara penyimpanan data juga
penting untuk mempermudah penyusunan laporan yang akurat dan tepat
waktu. Sedapat mungkin sumber data yang telah dikumpulkan secara rutin
dimanfaatkan.Ciptakan format pelaporan yang tidak terlalu rumit, dengan
sebagian hasilnya disajikan secara visual/grafik.
Langkah 2:
Tentukan pihak mana yang akan melakukan monitoring dan kapan dilakukan.
Sebaiknya pihak yang melakukan monitoring yang dimaksud di sini bukan
pihak pengelola program langsung, untuk menjaga independensi. Dengan
menganut asas partisipatif, wakil-wakil penerima manfaat program/kegiatan
sedapat mungkin bersama-sama melakukan monitoring. Mengenai frekuensi,
hal ini sebaiknya dilakukan paling tidak setiap enam bulan sekali untuk
sebuah program jangka menengah atau jangka panjang.
Langkah 3:
Tentukan siapa saja yang akan menerima laporan hasil monitoring. Sebaiknya
laporan hasil monitoring disebarkan tidak hanya pada pihak-pihak pemerintah
(eksekutif dan legislatif), tetapi juga pada pihak pelaksana (misalnya: dinas
pendidikan, depag, sekolah, guru), instansi pemerintah pusat serta wakil-wakil
kelompok penerima manfaat untuk meminta umpan balik. Buatlah pertemuan
berkala untuk meninjau kembali tingkat kemajuan serta memutuskan apakah
rencana implementasi perlu disesuaikan.

 Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum adalah penelitian yang sistematik tentang manfaat,
kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan. Atau evaluasi
kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data
yang valid dan reliable untuk membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang
berjalan atau telah dijalankan.

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan


kebijaksanaan pendidikan maupun pada pengambilan keputusan dalam
kurikulum.Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang
kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan
menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan
model kurikulum yang digunakan.Komponen kurikulum yang dievaluasi juga
sangat luas. Program evaluasi kurikulum bukan hanya mengevaluasi hasil belajar
siswa dan proses pembelajarannya, tetapi juga desain dan implementasi
kurikulum, kemampuan dan unjuk kerja guru, kemampuan dan kemajuan siswa,
sarana, fasilitas, dan sumber-sumber belajar, dan lain-lain.

a. Tujuan Evaluasi Kurikulum


Evaluasi untuk program pelaksanaan pengembangan kurikulum di daerah
memerlukan indikator keberhasilan sebagai tolak ukur pencapaian pelaksanaan
kurikulum. Indikator keberhasilan kurikulum mencakup:
a. Indikator keberhasilan sosialisasi kurikulum
b. Indikator keberhasilan penyusunan silabus
c. Indikator keberhasilan penyusunan program tahunan dan semester
d. Indikator keberhasilan penyusunan rencana pembelajaran
e. Indikator keberhasilan penyusunan bahan ajar
f. Indikator keberhasilan pelaksanaan kegiatan .

Tujuan evaluasi kurikulum untuk mengetahui apakah sasaran yang telah ditetapkan
tercapai atau tidak setelah kurikulum itu diimplementasikan, Selain itu, evaluasi
kurikulum dimaksud juga untuk mengetahui validitas tujuan atau sasaran kurikulum
itu sendiri, termasuk penilaian apakah kurikulum itu sesuai dengan tingkat
kecerdasan pelajar atau anak didik tertentu, apakah mode intruksional yang dipakai
yang terbaik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, apakah materi yang
direkomendasikan terbaik untuk mencapai tujuan kurikulum atau tujuan intruksional
yang diinginkan.

b. Langkah-langkah Evaluasi Kurikulum

Pada dasarnya langkah-langkah dalam mengevaluasi kurikulum ada 2 langkah yaitu;


a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan pada dasarnya menentukan apa dan bagaimana penilaian harus
dilakukan. Artinya, perlu rencana yang jelas mengenai kegiatan penilaian
termasuk alat dan sarana yang diperlukan. Ada beberapa langkah yang harus
dikerjakan dalam tahap persiapan ini, yakni;
 Menyusun Term of reference (TOR) penilaian, sebagai rujukan pelaksanaan
penilaian. Dalam TOR ini dijelaskan target dan sasaran penilaian, lingkup atau
objek yang dinilai, organisasi yang menangani penilaian serta biaya pelaksanaan
penilaian.
 Klasifikasi, artinya mengadakan penelaahan perangkat evaluasi seperti tujuan
yang ingin dicapai, isi penilaian, strategi yang digunakan, sumber data,
instrument dan jadwal penilaian.
 Ujicoba penilaian ( Try-out), yakni melaksanakan teknik dan prosedur penilaian
di luar sample penilaian. Tujuan utama adalah untuk melihat keterandalan alat-
alat penilaian dan melatih tenaga penilai termasuk logistiknya, agar kualitas data
yang kelak diperoleh lebih meyakinkan

b. Tahap Pelaksanaan
Setelah uji coba dilaksanakan dan perbaikan / penyempurnaan prosedur, teknik
serta instrumen penelitian, langkah berikutnya adalah melaksanakan penilaian.
Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam tahap pelaksanaan ini antara lain;
 Pengumpulan data di lapangan artinya melaksanakan penilaian melalui instrumen
yang telah dipersiapkan terhadap sumber data sesuai dengan program yang telah
direncanakan.
 Menyusun dan mengolah data hasil penilaian baik data yang dihasilkan
berdasarkan persepsi pelaksana kurikulum dan kelompok sasaran kurikulum
maupun data berdasarkan hasil amatan dan monitoring penilai.
 Menyusun deskripsi kurikulum tersebut, berdasarkan data informasi yang
diperoleh dari hasil penilaian.
 Menentukan judgment terhadap deskripsi kurikulum berdasarkan criteria tertentu
yang telah ditentukan. Judgment dapat menggunakan dua macam logika yakni
logika vertikal dan horizontal.
 Pembahasan dan pengukuhan hasil- hasil penilaian dalam satu pertemuan khusus
yang melibatkan tim penilai dengan pelaksana kurikulum, pengambilan keputusan
dan mungkin dari unsur lain yang relevan, sangat diperlukan, sebelum hasil –hasil
tersebut dimanfaatkan.

c. Peranan Evaluasi Kurikulum


Peranan evaluasi kebijaksanaan dalam kurikulum khususnya pendidikan
umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
a. Evaluasi sebagai moral judgement
Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari suatu evaluasi
berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya. Evaluasi
bukan merupakan suatu proses tunggal, minimal meliputi 2 kegiatan, pertama
mengumpulkan informasi dan kedua menentukan suatu keputusan.
b. Evaluasi dan penentuan keputusan
Pengambil keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum banyak,
yaitu: guru, murid, orangtua, kepala sekolah, para inspektur, pengembang
kurikulum dan sebagainya.
c. Konsensus nilai
Dalam bagian yang terdahulu sudah dikemukakan bahwa penelitian pendidikan
dan evaluasi kurikulum sebagai perilaku sosial berisi nilai-nilai.Dalam berbagai
situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum sejumlah nilai-
nilai dibawakan oleh orang-orang yang turut terlibat (berpartisipasi) dalam
kegiatan penilaian atau evaluasi.

i. Model-model Evaluasi Kurikulum


Model evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah merupakan suatu elemen dalam
proses sosial yang dihubungkan dengan perkembangan pendidikan. Model – model
evaluasi kurikulum diantaranya yaitu.

a. Evaluasi Model Penelitian

Model evaluasi kurikulum yang menggunakan model penelitian didasarkan atas teori
dan metode tes psikologis serta eksperimen lapangan.
Salah satu pendekatan dalam evaluasi yang menggunakan eksperimen lapangan
adalah mengadakan pembandingan antara dua macam kelompok anak, umpamanya
yang menggunakan dua metode belajar yang berbeda. Kelompok pertama belajar
membaca dengan menggunakan metode global dan kelompok lain menggunakan
metode unsur. Rancangan penelitian lapangan ini membutuhkan persiapan yang
sangat teliti dan rinci, seperti sampel, variabel yang terkontrol, hipotesis, treatment,
tes hasil belajar dan sebagainya, perlu dirumuskan secara tepat dan rinci.

b. Evaluasi Model Objektif

Evaluasi model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika Serika., Perbedaan
model objektif dengan model komparatif ada dalam dua hal :

1) Dalam model objektif evaluasi merupakan bagian yang sangat penting


dari proses pengembangan kurikulum.
2) Kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur
dengan seperangkat objektif (tujuan khusus).
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model objektif,
yaitu:
1. Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum.
2. Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan
siswa.
3. Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan
tersebut.
4. Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil
yang diinginkan.
c. Evaluasi Model Campuran Multivariasi
Langkah-langkah model multivariasi adalah sebagai berikut:
1) Mencari sekolah yang berminat untuk dievaluasi/ diteliti.
2) Melaksanakan program.
3) Sementara tim penyusun, menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan
dari pengajaran
4) Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah
pekerjaan komputer.
5) Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh dari
beberapa variabel yang berbeda.

Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam model multivariasi, yaitu


1) Diharapkan memberikan tes statistik yang signifikan.
2) Terlalu banyaknya variabel yang perlu dihitung.
3) Model multivariasi telah mengurangi masalah control berkenaan dengan
eksperimen lapangan tetapi menghadapi masalah-masalah
pembandingan.

Referensi

Anda mungkin juga menyukai