Anda di halaman 1dari 150

CITRA PEREMPUAN DALAM NASKAH DRAMA CANNIBALOGY

KARYA BENNY YOHANES DAN IMPLIKASINYA TERHADAP


PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar


Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dosen: Rosida Erowati, M. Hum

oleh:

Dede Zakiyah

NIM: 1112013000069

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018
ABSTRAK

Dede Zakiyah, (1112013000069), “Citra Perempuan dalam Naskah Drama


Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya terhadap
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing:
Rosida Erowati, M. Hum.
Naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes ini merepresentasikan citra
sekaligus kondisi perempuan yang relevan dengan kehidupan realita. Tujuan
penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan citra perempuan dalam naskah drama
Cannibalogy; (2) Mengimplikasikannya ke dalam pengajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Objek penelitian ini adalah naskah drama Cannibalogy karya Benny
Yohanes dan yang dibahas yaitu unsur-unsur naratif meliputi, tema, amanat, toko,
penokohan / perwatakan, alur, latar, gaya bahasa, serta citra perempuan yang
terkandung di dalam naskah drama tersebut. Karya Benny Yohanes. Penelitian ini
menggunakan analisis struktural, yaitu analisis struktur yang membangun karya
sastra tersebut, diantaranya; tema, penokohan, alur, latar, dan dialog yang
mencitrakan perempuan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil
penelitian ini menunjukkan citra perempuan yang terbagi menjadi tiga aspek: (1)
Citra perempuan dalam aspek fisis, dari ke empat tokoh perempuan yang
diceritakan di dalam naskah Cannibalogy, semuanya merupakan perempuan
dewasa sebab mereka sudah menikah, memiliki anak, dan mengerti hal-hal
biologis (tertarik pada lawan jenis), (2) Citra perempuan dalam aspek psikis,
citraan perempuan di aspek ini memiliki beberapa perbedaan, terdapat perempuan
dengan sikap yang maskulin, keibuan, penyabar, emosional, dan penurut, (3) Citra
perempuan dalam aspek sosial di naskah ini, kehadiran perempuan hanya
dimanfaatkan saja untuk kepentingan individu dan sosial, kalau sudah tidak
bermanfaat mereka tidak dianggap keberadaannya dan tidak dipedulikan.

Kata kunci: Citra Perempuan, Representasi, Perbedaan, Perempuan, Naskah


Drama, Canniballogy.

ii
ABSTRACT
Dede Zakiyah, (1112013000069), “Women Image in Cannibalogy by Benny
Yohanes and the Implication to Indonesian Language Teaching in SMA”
Indonesian Language and Literature Major. Faculty of Tarbiah and
Keguruan state of University.
Cannibalogy play scrip by Benny Yohanes represent women image and condition
which relevance with the reality of life. The purpose of this research are (1)
Describe women image in Cannibalogy script; (2) To implicate in Bahasa
Indonesia teaching; (3) To broaden the readers mind and give positif insight in
socialization. The method used in this research is descriptive qualitative. The
research objects is discus the narrative elements such as theme, message,
character, characterization, plot, background, literary style, and women image
within the scrip. This research used structural analysis that is structure analysis
which form the literature, eg. Theme, characterization, plot, background, and
dialog that portrait women. Based on the analysis, this research conclude that the
women image devided into 3 aspect: (1) Woman image in physical aspect: all 4
women character in Cannibalogy are adult women because they are married, have
children and attracted to opposite sex; (2) woman image in physiological aspect:
there are differences in women image in this aspect, such as masculine, motherly,
patient, emotional, and docile; (3) Woman image in social aspect, women are only
being exploited for individual and social needs; after that they‟re being dumped.

Keywodrs: Women Image, Representation, Differences, Woman, Script Play,


Cannibalogy.

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,


Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji bagi Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan umatnya.
Penulis menyadari dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami
kesulitan dan hambatan. Atas seizin Allah serta mendapat masukan, bimbingan,
saran, motivasi, dan semangat dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat
menyusun skripsi ini hingga selesai. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang memudahkan dalam segala proses dalam perkuliahan.
3. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
menemani dan mengayomi penulis dalam mengerjakan bab perbab, serta telah
memberikan waktu dan ilmu yang begitu dibutuhkan penulis sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan dengan proses yang baik;
4. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya dan
dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada umumnya yang telah
memberikan ilmu ketika penulis menempuh pendidikan di kampus tercinta;
5. Teman-teman seperjuangan PBSI B 2012 dan sepebimbingan Bu Ocid yang
telah mendukung, menyemangati serta menjadi tempat berdiskusi dalam proses
penulisan skripsi ini;
6. Ucapan terima kasih kepada teman-teman yang selalu baik dan bersedia
menampung segala keluh kesah dan berdiskusi ketika proses penulisan skripsi
ini berlangsung, yaitu, Om Radhar Panca Dahana, Aa Basir, Bang Ipank
Nawawi, Wa Ucil, Idham Chaled, Edo Pratama, teman-teman di Mizan, Teater

iv
Payung Hitam, geng B5aja, geng Surkem, geng Semeru, D‟IVWAY, dan geng
lainnya yang tidak bisa disebut semua, kalian yg terbaik dan kusayangi;
7. Sahabat seperjuangan yang kusayang Chitra Nur Imaniar, Putri Khoirunnisa,
Fitria Ulfah, Nia Kurniati, dan Septi Budiarsih yang telah bertahan berteman
dan mengisi bagian dari cerita hidup penulis, dengan cara kalian menasihati,
memotivasi, dan mendoakan sehingga insya Allah penulis menjadi pribadi
yang lebih baik;
8. Kusayangi Teater Syahid yang telah menjadi keluarga penulis, di sanalah
penulis mendapat banyak pelajaran, pengalaman berharga, bukan hanya ketika
proses penulisan skripsi ini, melainkan proses hidup mencari jatidiri dan
kesadaran, sehingga penulis menyadari ternyata hidup tidak selebar daun talas,
tak semudah meyisir rambut, dan tak seenak menggaruk bentol, namun
semuanya begitu nikmat;
9. “Keluarga Cemara Teater Syahid 2012”, kalian yang selalu memberikan
pelukan hangat dalam suka maupun duka, yaitu Rahayu Handayani, Henny
Andayani, Firsa Lubis, Nur Ariyani, Malissa Rizki, Nurul Hidayanti, Arsheila,
Muhammad Irfan, dan Jarot Andaru yang selalu memberikan semangat,
dukungan, keceriaan, dan kebahagiaan melewati hari-hari penulis di kerajaan
kita Cordova tercinta;
10. Terima kasih kepada Helmi Fu‟ad, Susilawati, Ida Hamidah, Endah, Huriyudin
yang telah menjadi orang tua terbaik yang selalu mendoakan penulis, telah
merawat, mendidik, membimbing, memotivasi penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa peluk sayang untuk saudaraku tercinta
yaitu Willy, Teh Visi, Aa Dende, Dinda, Ea, Ka Sandy yang telah memberikan
motivasi, keceriaan, kehangatan, dan kasih sayang yang dibutuhkan penulis
sebagai otot untuk mendayung sehingga perahu penulis terus berlayar;
11. Ucapan teristimewa ditujukan kepada Embu tersayang (Almh. Nurdjanah)
Alfatihah… dan Apa tersayang (Alm. Ali Affandi) yang telah merawat,
mengasihi, menyayangi, membiayai, dan terutama memberikan pelajaran
terbaik yang tidak bisa digantikan siapa pun, serta menjadi motivasi penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.

v
Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
proses penyelesaian penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga limpahan rahmat Allah, Tuhan yang maha kuasa terhikmat kepada kita
semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian ini
dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.

Jakarta, 02 Maret 2018

Dede Zakiyah
Penulis

vi
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................... ii
ABSTRACT ................................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL DAN LAMPIRAN ...................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................................ 4
C. Pembatasan Masalah ....................................................................................... 5
D. Rumusan Masalah............................................................................................ 5
E. Tujuan Penulisan ............................................................................................. 5
F. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5
G. Metodologi Penelitian...................................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................. 10
A. Citra Perempuan ............................................................................................ 10
B. Drama dan Naskah Drama ........................................................................... 18
C. Pembelajaran Sastra Indonesia .................................................................... 30
D. Penelitian yang Relevan ................................................................................. 31
BAB III BIOGRAFI PENGARANG ...................................................................... 33
A. Biografi Benny Yohanes ................................................................................ 33
B. Pandangan Benny Yohanes dalam Berkarya .............................................. 35
C. Karya-karya Benny Yohanes ........................................................................ 38
D. Sinopsis Naskah Drama Cannibalogy ........................................................... 38
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................................ 40
A. Unsur Intrinsik Naskah Drama .................................................................... 40
1. Tema dan Amanat ...................................................................................... 40
2. Tokoh/Penokohan dan Perwatakan .......................................................... 46
3. Alur .............................................................................................................. 59

vii
4. Latar ............................................................................................................ 69
5. Gaya Bahasa ............................................................................................... 75
B. Analisis Citra Perempuan ............................................................................. 79
1. Citra Perempuan dalam Aspek Fisis ........................................................ 79
2. Citra Perempuan dalam Aspek Psikis ...................................................... 83
3. Citra Perempuan dalam Aspek Sosial ...................................................... 92
C. Implikasi Citra Perempuan dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya
Benny Yohanes dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ............... 98
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 101
A. Simpulan ....................................................................................................... 101
B. Saran ............................................................................................................. 102
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 104

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Table 3.1 Naskah Drama Karya Benny Yohanes

Lampiran 2: Tabel 3.2 Esai Karya Benny Yohanes

Lampiran 3: Tabel 3.3 Pertunjukkan yang Disutradarai Benny Yohanes

Lampiran 4: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Lampiran 5: Uraian Materi RPP

Lampiran 6: Lembar Kerja Siswa

Lampiran 7: Jawaban Lembar Kerja Siswa

Lampiran 8: Penilaian

ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tokoh, dalam naskah drama, berperan sebagai pembawa nilai atau pesan.
Tokoh pun dibebani oleh tugas untuk menyampaikan keinginan, harapan,
dan pandangan pengarang. Oleh karenanya, penyajian tokoh di dalam
naskah drama perlu dinamika, dengan adanya variasi tokoh, yaitu tokoh
lelaki dan perempuan. Dengan demikian, masing-masing tokoh dapat
mencerminkan pesan atau nilai yang diinginkan oleh pengarang.

Tokoh perempuan dalam drama memegang peranan penting. Berbagai


macam karakter dan aktivitas perempuan hadir dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benny Yohanes. Variasi tersebut hadir dalam lingkup
sosio-kultural, dalam masyarakat dan budaya memiliki variasi peran.
Perempuan modern dengan pandangan bebas, perempuan konvensional
dengan aktivitas rutin, dan perempuan fungsional. Keberadaan dan kondisi
perempuan dalam naskah mengindikasikan bahwa kenyataan perempuan
memiliki fungsi tertentu.

Benny Yohanes, yang akrab dipanggil Benjon, tidak menjadikan tokoh


perempuan sebagai peran utama atau tokoh sentral dalam naskah tersebut,
walaupun di dalam naskah tokoh perempuan tidak memegang peran sentral,
tetapi perempuan pada naskah ini merupakan sosok menentukan dalam
keseluruhan cerita. Pengarang menampilkan sosok perempuan dengan
pertimbangan secara matang untuk keutuhan sebuah naskah. Perempuan-
perempuan tersebut bukan sebatas pelengkap narasi naskah. Sebagaimana
realita, naskah tersebut menampilkan keberadaan lelaki dan perempuan.

Melalui peran dan penggambaran tokoh perempuan dalam naskah


tersebut, citra perempuan akan muncul sebagai konsekuensi. Bagaimana
pandangan pengarang pada sosok perempuan, baik dari segi identitas atau
fungsi di tingkat sosial maupun dalam imajinasi. Begitu juga dengan

1
2

pandangan kritis tentang kondisi perempuan pada naskah dan kondisi


perempuan dalam realita. Bermacam makna terkandung pada naskah
tersebut, terutama tentang citra perempuan.

Perempuan merupakan sosok yang intens dengan aktivitas. Selain


berurusan dengan wilayah domestik rumah tangga, perempuan aktif
melakukan kegiatan fungsional di masyarakat. Kenyataan demikian menjadi
titik balik peranan penting sosok perempuan. Perempuan tidak hanya diam
dan pasif menjalani kehidupan sosial. Sikap perempuan dalam menghadapi
dan merespon kondisi sosial membuka pintu pengetahuan tentang daya dan
potensi tersembunyi kaum perempuan.

Intensitas aktivitas perempuan memupuk perasaan dan kepedulian


(patos) dalam diri perempuan. Perasaan perempuan adalah sesuatu yang
tidak dapat diprediksi orientasi dan polanya. Hal tersebut menjadi sumber
inspirasi banyak karya seni. Oleh karena itu, Franz Kafka, penyair kelahiran
Ceko, memandang perempuan lebih menakutkan ketimbang kematian.1
Kematian dapat diterima secara nalar dan sudah berlaku sepanjang zaman,
tetapi kompleksitas pada diri perempuan sukar dimengerti, misterius.

Kompleksitas karakter, sikap, dan tindakan perempuan membuka banyak


ruang penilaian. Hal tersebut menjadi dasar asumsi yang kurang tepat atas
anggapan bahwa fungsi perempuan di masyarakat minim. Buruh tani
perempuan di pelosok daerah misalnya. Dalam kepadatan tanggung jawab
sebagai ibu rumah tangga, mereka melakoni fungsi sebagaimana kepala
rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perempuan dapat
melakukan banyak hal dalam kesempatan dan waktu yang relatif sama
dengan lelaki.

Kenyataan demikian berbanding terbalik dengan paradigma masyarakat


terhadap perempuan. Paradigma tentang lemah dan selalu butuh

1
Helena Cixous, Pengebirian atau Penggal Kepala, dalam kumpulan esai Hidup Matinya
Sang Pengarang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) hlm. 131-133.
3

perlindungan tidak lepas dari pandangan terhadap perempuan. Padahal jika


diamati secara lebih imbang, pada tataran fungsi individual maupun sosial,
perempuan memiliki kualifikasi menentukan. Perempuan memegang peran
signifikan dalam penyelenggaraan hidup baik dalam berkeluarga maupun
bermasyarakat.

Arus budaya patriarki menuntut perempuan menjadi seperti objek yang


memancarkan citra untuk dinilai. Perempuan dalam budaya patriarki
dipandang sebagai second sex. Artinya perempuan selalu berada di bawah
dominasi dan hegemoni lelaki. Pengarang naskah notabene adalah lelaki.
Jadi, menarik untuk membahas apakah di dalam naskah tersebut Benjon
menggambarkan citra perempuan sebagaimana kenyataan pandangan umum
di masyarakat atau menawarkan pandangan-pandangan berbeda sesuai
kreativitasnya.

Naskah drama ini menyajikan berbagai kemungkinan, yang di dalamnya


sosok perempuan ada bersama citranya. Dalam naskah tersebut tentu banyak
gambaran dan citra perempuan dalam pandangan dan imajinasi pengarang.
Perempuan menurut pandangan pengarang diejawantahkan dalam tokoh-
tokoh. Keseluruhan narasi akan menjadi representasi budaya tempat naskah
lahir sekaligus kondisi dan citra perempuan di dalamnya.

Status profesi Benjon sebagai dosen di STIS Bandung menjadi indikasi


relevansi naskah tersebut dengan kondisi pendidikan. Kualifikasi sebagai
naskah terbaik dari Federasi Teater Indonesia tahun 2009, tentu atas
pertimbangan matang terkait konten naskah tersebut. Kompleksitas makna
yang terkandung di dalamnya, salah satunya adalah kondisi dan citra
perempuan dalam masyarakat Indonesia. Begitu juga pilihan judul
Cannibalogy, yang memiliki dasar pijakan kondisi masyarakat di mana dan
ketika karya itu lahir. Dalam proses belajar mengajar di Sekolah Menengah
Atas, pemahaman dan penguasaan unsur-unsur intrinsik naskah drama
menjadi primer. Melalui penelitian tentang sosok perempuan dalam naskah
4

ini akan didapat pengetahuan bagaimana citra perempuan di dalam karya


sastra. Dari pemahaman tersebut siswa mampu mengambil nilai moral yang
terkandung dalam naskah. Dengan pengetahuan mengenai citra perempuan
dan posisinya dalam lingkup sosio-historis, siswa akan dapat menilai posisi
lelaki dan perempuan secara matang dalam realita. Hal tersebut menjadi
bekal siswa dalam pergaulan hidup sosial.

Dari deskripsi tentang kondisi dan sosok perempuan menunjukkan bahwa


karya sastra memiliki relevansi dengan kenyataan. Pada ranah pendidikan,
pengetahuan dan pemahaman tentang perempuan sangat penting sebagai
bekal siswa hidup bersosial. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti
akan mengangkat tema tentang perempuan dengan judul “Citra
Perempuan dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes
dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
di SMA”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasakan uraian latar belakang masalah di atas, dapat ditarik
identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Perempuan masih dianggap tidak dapat melakukan aktivitas yang


variatif,

2. Kompleksitas sosok perempuan yang menimbulkan prasangka negatif,

3. Kurangnya pembahasan mengenai citra perempuan dalam naskah


drama Cannibalogy karya Benny Yohanes,

4. Siswa kurang menguasai pengetahuan tentang citra perempuan,

5. Rendahnya minat siswa mengapresiasi karya sastra, khususnya naskah


drama.
5

C. Pembatasan Masalah
Agar dapat mempermudah proses penelitian, dari hasil identifikasi
masalah di atas, dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut:

1. Citra perempuan dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny


Yohanes.

2. Implikasi citra perempuan dalam naskah Cannibalogy karya Benny


Yohanes terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penelitian dilakukan dengan
merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana citra perempuan dalam naskah drama Cannibalogy karya


Benny Yohanes?

2. Bagaimana implikasi citra perempuan dalam naskah drama


Cannibalogy karya Benny Yohanes terhadap pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:

1. Mengetahui citra perempuan dalam naskah drama Cannibalogy karya


Benny Yohanes.

2. Mengetahui implikasi citra perempuan dalam naskah drama


Cannibalogy karya Benny Yohanes terhadap pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA.

F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti,
pembaca, serta pendidik dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
baik secara teoretis maupun praktis:
6

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis, penelitian yang dilakukan penulis diharapkan


dapat mengembangkan ilmu sastra di tanah air, khususnya dalam
aspek unsur intrinsik naskah drama, serta citra perempuan dalam
naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi bahan ajar bagi siswa untuk diambil nilai
moral dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Manfaat Praktis
Adapun secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk melihat
citra kehidupan perempuan dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benny Yohanes. Selain itu, dapat membantu pembaca untuk lebih
memahami isi naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes.

G. Metodologi Penelitian
Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi metode
penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data,
dan teknik analisis data.
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-
cara penafsiran dengan menyajikan dalam bentuk deskripsi. Penelitian
ini berupaya memaparkan secara rinci, sistematis, cermat, dan faktual
mengenai citra perempuan dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benny Yohanes.
Metode kualitatif dianggap sama persis dengan metode
pemahaman. Sesuai dengan namanya, metode penelitian kualitatif
memperlihatkan hakikat nilai-nilai, dan sumber datanya merupakan
7

karya, naskah, dan sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan
wacana.2
Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data
untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Dalam
penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat,
dan wacana dari dialog yang diucapkan tokoh perempuan atau pun
laki-laki yang menggambarkan citra perempuan dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benny Yohanes.
2. Objek Penelitian
Setelah mengetahui tujuan penelitian yang sudah dipaparkan, maka
objek dalam penelitian ini adalah naskah drama yang berjudul
Cannibalogy karya Benny Yohanes. ”Citra Perempuan dalam Naskah
Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”.
3. Data dan Sumber Data
a. Data
Data penelitian ini meliputi semua keterangan yang dicari dan
dikumpulkan oleh peneliti untuk memberikan jawaban terhadap
masalah yang diteliti. Data penelitian ini berupa kutipan kata,
kalimat, keterangan dalam naskah, dan wacana dari dialog yang
diucapkan para tokoh.
b. Sumber Data
Sumber data adalah subjek penelitian tempat data menempel.
Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder.
1) Sumber data primer
Sumber data ini merupakan sumber yang diambil secara
langsung tanpa perantara dan berkaitan dengan karya sastra
yang dikaji. Dalam hal ini data primer yang digunakan dalam

2
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 47.
8

penelitian adalah naskah drama Cannibalogy karya Benny


Yohanes yang diterbitkan pada tahun 2008, dengan tebal 70
halaman, dan diterbitkan oleh Teater Re-Publik di Bandung.
2) Sumber data sekunder
Sumber data ini merupakan sumber yang masih berkaitan
dengan objek penelitian dan diambil secara tidak langsung atau
melalui perantara untuk melengkapi data yang ada. Sumber data
sekunder dalam penelitian ini adalah buku, artikel, jurnal, dan
disertasi yang berkaitan dengan penelitian citra perempuan, dan
penelitian pada karya-karya Benny Yohanes.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini, yaitu dengan
membaca cermat naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes
untuk mencari kata, kalimat, dan dialog yang mengandung unsur
sosok perempuan, baik dari dialog tokoh laki-laki mau pun dari dialog
tokoh perempuan itu sendiri. Kemudian, mencatat hal-hal yang
berkaitan dengan citra perempuan yang ada di dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benny Yohanes. Selanjutnya, mengklasifikasi data
mengenai citra perempuan dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benny Yohanes. Terakhir, menganalisis data dan melakukan
pembahasan dengan interpretasi data dalam naskah drama
Cannibalogy karya Benny Yohanes. Hasil dari analisis digunakan
untuk mengimplikasikan refleksi citra perempuan dalam naskah
drama Cannibalogy karya Benny Yohanes pada pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA.
5. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data yaitu:
a. Menganalisis naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes
dengan menggunakan analisis struktural. Analisis dilakukan
dengan membaca serta memahami data kembali.
9

b. Mengklasifikasikan teks-teks yang berkaitan dengan citra


perempuan yang terdapat dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benny Yohanes.
c. Melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi
data dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes.
d. Mengimplikasikan hasil pembahasan naskah drama Cannibalogy
karya Benny Yohanes pada pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMA yang dilakukan dengan cara menghubungkannya
dengan materi pelajaran di sekolah.
e. Menyimpulkan hasil penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI
Bagian ini akan mengutarakan teori dan pendapat para ahli yang berkaitan
dengan penelitian. Teori dan pendapat tersebut menyangkut hal citra
perempuan, naskah drama, dan kaitannya dengan pembelajaran sastra.

A. Citra Perempuan
Hal mengenai perempuan selalu menjadi sorotan. Sering kali kita
menemukan tokoh perempuan dalam karya sastra. Berbagai peran yang
disandangkan kepada perempuan membuat banyak penafsiran kepada
perempuan itu sendiri. Citra perempuan dalam karya sastra menjadi cermin
dalam kehidupan nyata, begitu pula sebaliknya.

Kini, sukar untuk memberikan suatu gambaran perempuan dan


kepribadiannya secara bulat, karena sejak dahulu perempuan telah
menampilkan dirinya dengan berbagai cara. Namun umumnya perempuan
digambarkan memiliki sifat lemah, lembut, pasrah, sabar, setia, berbakti,
kritis, cerdas, dan juga berani menyatakan pendiriannya.

Salah satu cara mengetahui berbagai citra yang dimiliki perempuan,


dapat melihat dalam karya sastra. Citra perempuan dalam karya sastra dapat
menjadi citra umum perempuan, maka dari itu karya sastra erat kaitannya
dengan kehidupan sosial. Citra perempuan merupakan bentuk gambar
pikiran tentang perempuan, baik pikiran dari perempuan itu sendiri, maupun
laki-laki. Di Indonesia, pengarang lebih dominan laki-laki, jadi dapat
dikatakan bahwa citra perempuan juga dibentuk oleh laki-laki dan
perempuan menjadikan dirinya sebagai pembaca tanpa menuntut emosi-
emosi perempuan itu sendiri. Citra perempuan dalam sebuah karya
sepenuhnya menjadi hak pengarang dalam pembentukannya.

Ketika pikiran telah dituangkan menjadi sebuah karya sastra perlu


digarisbawahi, bahwa bahasa perempuan diasumsikan memiliki sejumlah
karakteristik atau ciri khusus yang membedakannya dengan bahasa laki-laki.

10
11

Lakoff dalam Anang Santoso mengatakan, perempuan mempunyai cara


berbicara (way of speaking) yang berbeda dari laki-laki, yakni sebuah cara
berbicara yang merefleksikan dan menghasilkan posisi subordinat dalam
masyarakat. Artinya, bahasa yang dihasilkan perempuan, secara sadar
maupun bawah sadar, cermin dari posisi “yang dikuasai” atau “yang
didominasi”. Dengan demikian, pemberian dan penjelasan karakteristik
bahasa wanita dengan berbagai seluk-beluknya menjadi sebuah tuntutan
untuk mengenal wanita secara lebih baik, sekaligus sebagai pantulan
terhadap bahasa laki-laki.1

Altenbernd dalam Sugihastuti mengatakan bahwa citraan adalah gambar-


gambar angan atau pikiran, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra
atau imaji. Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang
menyerupai, atau gambaran yang dihasilkan oleh pengungkapan objek.2

Citra perempuan diambil dari gambaran-gambaran citraan, yang


ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan, atau
pengecapan tentang perempuan, karena di antara macam-macam citraan itu
citra pemikiran tentang perempuan yang dominan. Citra perempuan dapat
disebut juga sebagai pemikiran tentang perempuan. Citra perempuan ini erat
dengan pemikiran citra diri; citra diri merupakan pengertian yang dapat
dihubungkan dengan dua konsep lain yaitu, self concept dan self image.3

1. Konsep Diri Perempuan Secara Biologis

Panca indera yang melihat suatu objek akan menimbulkan kesan


mental, terlebih jika sampai pada tahap menelaah, sehingga akan
tumbuh beberapa citra pada objek tersebut. Heryanto menjelaskan
bahwa sastra Indonesia diliputi “Estetika Penis” (Phallic Esthetics)
yang menjadikan perempuan sebagai objek. Wanita dipandang hanya
1
Anang Santoso, Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2009), h. 14-15.
2
Sugihastuti, Wanita Di Mata Wanita, Perspektif Sajak-sajak Toeti Herati, (Bandung:
Penerbit Nuansa, 2000), h. 43.
3
Ibid., h. 45.
12

sebagai objek kepuasan penis yang sewaktu-waktu dihadirkan atau


disingkirkan. Wanita sebagai manusia yang dihargai hanya atau
terutama untuk kecantikan dan vaginanya. Seperti juga „sastra‟ dan
„estetika‟, wanita dalam masyarakat sastra adalah obyek atau garapan
kaum lelaki.4 Tidak heran jika perempuan menjadi objek yang
dipikirkan, karena dari segala aspek perempuan memiliki posisi yang
berpengaruh. Wanita dicitrakan sebagai makhluk individu yang
beraspek fisis dan psikis, dan sebagai makhluk sosial yang beraspek
keluarga dan masyarakat.5

Citra wanita dalam aspek fisis dan psikis dikonkretkan dalam


kerangka sistem komunikasi sastra, yaitu menempatkannya dalam
tegangan antara penyair, teks, pembaca, dan semestaan.6 Citra fisis
wanita sebagai tanda dapat dilihat dari dua arah, dari penyair sebagai
pengirim atau dari pembaca sebagai penerima. Kedua-duanya tidak
menimbulkan perbedaan karena ada kesamaan kode dengan realitas
yang dihadapi bahwa fisik wanita itu tercitrakan melalui tanda-tanda
tertentu yang sudah mapan dalam realitas.7 Sehingga tanpa disepakati
antara pembaca dan pengarang, hasil kreatif oleh pengarang
khususnya dalam naskah drama mengenai citra fisis perempuan
memiliki tafsiran yang sama antar keduanya. Sedangkan dalam aspek
psikis, perempuan merupakan makhluk sosial yang memiliki perasaan,
pemikiran, dan aspirasinya sendiri.

Citra wanita dalam aspek sosial disederhanakan ke dalam dua


peran, yaitu peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam
masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap
keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan

4
Tineke Hellwig, In The Shadow of Change: Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia”,
(Depok: Desantara, 2003), h. 7.
5
Ibid., h. 46.
6
Sugihastuti, op. cit., h. 83.
7
Sugihastuti, op. cit., h. 90-91.
13

keadaan. Peran dapat berarti seperangkat tingkat yang diharapkan


dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat.
Peranan wanita artinya bagian tugas utama yang harus dilaksanakan
wanita.8 Di samping citra wanita dalam keluarga, yang tercakup pada
citra wanita dalam aspek sosial, citra wanita dalam masyarakat juga
muncul. Sikap sosial adalah konsistensi individu dalam memberikan
respons terhadap objek-obek sosial termasuk terhadap pria sebagai
pasangan jenis kelaminnya.9

2. Citra Diri Perempuan Secara Gender

Secara empiris perempuan dicitrakan secara stereotip sebagai


makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan,
sementara laki-laki dianggap sebagai makhuk yang kuat, rasional,
jantan dan perkasa.10 Konsep stereotip menempati posisi penting
dalam citra perspektif perempuan. Suatu stereotip terdiri dari reduksi
pribadi menjadi serangkaian ciri-ciri karakter yang dilebih-lebihkan,
dan biasanya negatif. Pen-stereotip-an mereduksi, mengesensialkan,
mengalamiahkan, dan mematri “perbedaan”. Stereotip merupakan
pelabelan negatif terhadap perempuan, kendati lebih bernuansa mitos
daripada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan
dan berbagai media budaya Indonesia.11 Penempatan posisi karena
stereotip ini menimbulkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
di mana akan ada posisi yang lemah dan posisi yang kuat, dan
kebanyakan per empuan mendapat posisi yang lemah.

Perempuan lebih lemah daripada laki-laki, ototnya tidak begitu


kuat, sel darah merahnya lebih sedikit, kapasitas paru-parunya lebih
kecil; ia berlari lebih lambat, tidak dapat mengangkat beban yang

8
Sugihastuti, op. cit., h. 121.
9
Sugihastuti, op. cit., h. 131.
10
Save M Dagun, Maskulin dan Feminim: Pria dan Wanita dalam Fisiologi, Psiologi,
Seksual, Karier dan Masa Depan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 3.
11
Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 14.
14

terlalu berat, tidak dapat bersaing dengan laki-laki dalam bidang


olahraga apa pun; ia tidak dapat mengimbanginya dalam suatu
perkelahian. Terhadap semua kelemahan ini harus ditambah pula
ketidakstabilan, kurangnya kontrol, dan kerapuhan yang telah
disebutkan sebelumnya. Genggamannya atas dunia dengan demikian
menjadi lebih terbatas. Dengan kata lain, kehidupan individualnya
tidak begitu beragam dibandingkan dengan laki-laki.12

Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah


semakin diyakini lagi karena adanya budaya patriarki, yaitu sebuah
sistem yang memungkinkan laki-laki dapat mendominasi perempuan
pada semua hubungan sosial. Patriarki meletakkan perempuan sebagai
posisi yang inferior dan pemahaman itu digunakan, baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah
tangga untuk membatasi perempuan.13 Pada dasarnya perempuan
ditempatkan pada posisi yang rendah, dengan kata lain ditindas oleh
laki-laki yang didukung kebudayaannya.14 Dengan demikian,
perempuan bukan inferior karena kenaturalan, melainkan diinferiosasi
karena kultur. Bukan hanya itu, pada saat bentuk patriarki berkuasa,
laki-laki mengambil paksa dari perempuan segala hak perempuan
untuk memiliki dan memperoleh warisan harta.15

Budaya patriarki cenderung menempatkan perempuan sebagai jenis


kelamin kedua dalam tatanan masyarakatnya. Dalam masyarakat
tersebut tubuh dan identitas perempuan tidak dianggap sebagai sesuatu
yang bebas. Budaya patriarki telah menjadikan tubuh perempuan
sebagai penghalang untuk mengaktualisasi, mencipta, dan

12
Simone De Behavoir, Second Sex; Fakta dan Mitos, (Surabaya: Pustaka Promethea,
1999), h. 48.
13
Adib Sofa, Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo, (Yogyakarta: Citra Pustka,
2009), h. 12.
14
Dewi Linggasari, Yang Perkasa Yang Tertindas, (Yogyakarta: Bigraf Publishing,
2004), h. 3.
15
Behavoir, op. cit., h. 120.
15

mentransedensi diri. Dengan begitu rupa, secara konkret budaya


patriarkat membuat perempuan menghidupi tubuhnya bukan sebagai
suatu kekuatan persepsi yang integratif, melainkan sebagai kekuatan
asing yang melawan dirinya, bertentangan dengan dirinya sendiri.16

Tanpa disadari budaya patriarki sudah menjadi potret sifat


perempuan yang wajar bahkan menjadi aturan-aturan yang harus
diemban oleh gender perempuan. The hormone puzzle (teka-teki
hormonal) adalah salah satu istilah yang disebutkan oleh para pakar
jender di dalam menjelaskan hubungan antara anatomi biologi dan
perilaku manusia. Hal ini mengisyaratkan bahwa perbedaan laki-laki
dengan perempuan masih menyimpan beberapa masalah mendasar,
baik dari segi subtansi kejadian maupun peran yang diemban dalam
masyarakat. Perbedaan anatomi biologi antara keduanya cukup jelas.
Akan tetapi, efek yang timbul sebagai akibat dari perbedaan itu
memunculkan perdebatan karena ternyata perbedaan jenis kelamin
secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya.
Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang
disebut jender.17

Gender tersebut merupakan atribut, sehingga dapat nampak


bagaimana citra perempuan dari atribut tersebut. Gender masih identik
dengan perempuan. Oleh karena itu, persoalan gender juga adalah
persoalan perempuan. padahal sebenarnya, persoalan gender adalah
problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut peran,
fungsi, dan relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik kehidupan
ranah domestik maupun publik.18

16
Arriyanti, Citra Perempuan dalam Novel Putri Karya Putu Wijaya Kritik Sastra
Feminis, (Padang, Balai Bahasa Padang, 2007), h. 13.
17
Nasarudin Umar, dkk., Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender,
(Yogyakarta; Gama Media, 2002), h. 3.
18
Sumbullah, op. cit., h. 4.
16

Secara biologis alat kelamin adalah konstruksi biologis karena


menjadi bagian dari anatomi tubuh seseorang yang tidak langsung
berkaitan dengan keadaan sosial budaya masyarakat (genderless).
Akan tetapi secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting
dalam melegitimasi atribut jender seseorang. Begitu atribut jenis
kelamin kelihatan, pada saat itu juga konstruksi budaya mulai
terbentuk. Melalui atribut ini juga senantiasa digunakan untuk
menentukan hubungan relasi jender, seperti pembagian fungsi, peran,
dan status dalam masyarakat.19 Perbedaan jenis kelamin akan
menciptakan perbedaan atribut antara laki-laki dan perempuan, serta
menentukan peran status dan kewajiban dalam masyarakat.

Istilah gender telah digunakan sejak awal 1970-an untuk


menunjukkan feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya
sebagai sesuatu yang berlawanan dengan perbedaan jenis kelamin
secara biologis.20 Gender ialah kelompok atribut dan perilaku yang
dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan.21
Gender mengacu kepada asumsi dan praktik kultural yang mengatur
kontruksi sosial laki-laki, perempuan, dan relasi sosial mereka.
Gender adalah konstruksi kultural, maka ia tidak digambarkan
sebagaimana gambaran biologi. Karl Marx mengatakan, yang juga
mendapat dukungan Friedrich Engels, relasi gender yang terjadi di
dalam masyarakat sepenuhnya merupakan rekayasa masyarakat
(social construction).22

Konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik,

19
Umar, op. cit., h. 5.
20
Stevi Jacson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 225.
21
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007), h.
117.
22
Umar, op. cit., h. 7-8.
17

emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional,


jantan, perkasa. Ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah-lembut,
keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.
Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan
dari tempat ke tempat.23

Gender membangun sifat biologis; dari yang tadinya bersifat alami,


kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya
pada posisi yang sama sekali tidak relevan. Contohnya, sama sekali
tidak ada alasan biologis yang dapat menjelaskan mengapa para laki-
laki harus membusung atau, mengapa perempuan harus memakai
kutek di kakinya, sedangkan laki-laki tidak.24 Hal itulah yang secara
menerus tersirat dan membentuk pola pikir masyarakat terhadap
perbedaan lelaki perempuan. Sedangkan semua itu dapat saja berubah
jika masyarakat tidak memiliki pandangan demikian.

Kate Milet dan Shulamit Firestone menyodorkan pemikiran gender


kontemporer yang lebih radikal. Dalam Dialectic of Sex Firestone
menyatakan bahwa gender membedakan struktur setiap aspek
kehidupan kita dengan kerangka yang tak terbantah. Pembedaan
tersebut adalah bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan
perempuan. Dia menyatakan bahwa perbedaan gender merupakan
sistem yang kompleks yang mempertegas dominasi laki-laki.25

Perbedaan gender ini bukan dari segi biologis saja, melainkan segi
peran, status, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.
Bukan hanya budaya dan masyarakat yang berpengaruh menjadikan

23
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. 8-9.
24
Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
h. 5.
25
Humm, op. cit., h. 178.
18

peran laki-laki dan perempuan sudah melekat seakan alami. Faktor


agama pun secara tidak langsung bersinggungan dengan peran gender.

Ketika pemikiran agama terlanjur memberikan legitimasi terhadap


sistem kekerabatan patriarki dan pola pembagian kerja secara seksual,
dengan sendirinya wacana jender akan bersentuhan dengan masalah
keagamaan. Selama ini agama dijadikan sebagai upaya menolak
konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bahkan, agama dianggap
sebagai salah satu faktor yang menyebabkan langgengnya status quo
perempuan sebagai the second sex.26

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gender merupakan hasil


dari konstruksi sosial. Terbentuk karena adanya pengaruh budaya,
masyarakat, dan agama. Sehingga yang berkaitan dengan gender tidak
sepenuhnya kodrat.

Beberapa teori yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti


menggunakan teori dari Sugihastuti dan Tineke Hellwig untuk
menjabarkan citra perempuan yang ada dalam naskah. Citra
perempuan terbagi menjadi, citra fisis, citra psikis, dan citra sosial.
Dengan begitu beberapa tokoh perempuan yang ada dalam naskah
drama Cannibalogy dapat menyimpulkan bagaimana citra perempuan
di dalamnya.

B. Drama dan Naskah Drama


Drama sebagai karya sastra terdapat dua aspek yang perlu difahami dan
dipisahkan. Yang pertama ialah aspek penulisan naskah dan kedua aspek
pementasan. Meskipun keduanya berbeda, namun terdapat ikatan hubungan
yang sangat erat. Kemudian peneliti pun akan memaparkan unsur intrisik
yang ada dalam naskah drama, namun hanya akan menjadi pengantar saja
dan tidak akan dibahas mendetail di Bab IV karena tidak terlalu berkaitan
pada penelitian kecuali di unsur toko/penokohan dan perwatakan.

26
Umar, op. cit., h. 3.
19

1. Pengertian Drama
Drama berasal dari bahasa Yunani, dran yang berarti berbuat, to
act atau to do. Dari segi etimologisnya, drama mengutamakan
perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakikat setiap karangan yang
bersifat drama.27 Drama merupakan bagian dari perasaan manusia
yang dikeluarkan dengan aksi dan dapat diperlihatkan atau
dipertontonkan. Attar Semi juga mendefinisikan drama adalah cerita
atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan.28
Dari beberapa pemaparan di atas dapat ditarik benang merahnya
bahwa drama dijadikan sebagai alat untuk menuangkan pikiran dan
perasaan yang disalurkan dengan aksi seseorang dalam pertunjukan
agar dapat diketahui pihak lain. Dalam Kamus Istilah Sastra juga
menyatakan hal tersebut bahwa drama adalah ragam sastra dalam
bentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertunjukkan di atas
pentas.29
Beberapa pemahaman mengenai anggapan di atas juga terdapat
dalam pemikiran Hasanuddin seputar drama, bahwa drama merupakan
suatu genre sastra yang ditulis dalam bentuk dialog-dialog dengan
tujuan untuk dipentaskan sebagai suatu seni pertunjukan.30
Penjelasannya mengenai hal tersebut menarik kesimpulan bahwa
drama memiliki dua sisi, di mana drama dalam bentuk tulisan atau
disebut juga dengan naskah drama dan drama dalam seni pertunjukan
yang sekarang lebih populer disebut teater. Diperkuat juga oleh
beberapa pendapat sastrawan lainnya, seperti Jakob Sumardjo yang
mendefinisikan drama sebagai karya sastra yang ditulis dalam bentuk
dialog dengan maksud dipertunjukkan oleh aktor.31 Unsur yang
membangunnya yaitu penokohan, alur, latar, konflik, tema, amanat,

27
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sakstra, Edisi Revisi (Bandung:
Angkasa, 2011), h. 69.
28
Attar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung: Angkasa, 1988), h.156.
29
Abdul Rozak Zaidan, dkk., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 60.
30
Hasanuddin WS, Drama Karya dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa, 1996), h. 7.
31
Jakob Sumarjo, Memahami Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 532.
20

dan gaya bahasa, berbeda dengan drama dari segi pertunjukkan yang
disebut teater. Maka, disebutlah bahwa drama adalah karya dengan
dua dimensi, yakni bergenre sastra (naskah drama) dan bergenre seni
pertunjukan.
2. Pengertian Naskah Drama
Naskah drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon.
Dalam naskah tersebut termuat nama-nama tokoh dalam cerita, dialog
yang diucapkan para tokoh, dan keadaan panggung yang diperlukan.
Bahkan kadang-kadang juga dilengkapi penjelasan tentang tata
bahasa, tata lampu, dan tata suara (musik pengiring).32
Sebuah naskah drama ditulis dengan diawali nama tokoh dan diberi
tanda titik dua untuk menandakan bahwa ada percakapan oleh tokoh
tersebut. Keterangan-keterangan yang terjadi dalam naskah juga
ditulis dengan diberi tanda kurung, misal keterangan mengenai lokasi
kejadian, pukul berapa, dan tokoh siapa saja yang ada di percakapan
tersebut. Naskah juga dapat berfungsi memasok kata-kata yang harus
diucapkan oleh seorang aktor.33
Adjib Hamzah menyebut naskah sebagai scenario, yaitu karya tulis
tentang serangkaian kejadian kehidupan yang menarik untuk
diperagakan di hadapan penonton.34 Serangkaian kejadian tersebut
ditulis dalam bentuk dialog yang dibahasakan oleh tokoh dalam
naskah. Waluyo menambahkan, bahwa dalam menyusun sebuah
dialog, pengarang harus benar-benar memperhatikan pembicaraan
sehari-hari tokohnya.35
Ragam bahasa yang digunakan dalam drama adalah ragam bahasa
lisan bukan ragam bahasa tulisan. Bahasanya yang digunakan tidak

32
Asul Wiyanto, Terampil Bermain Drama, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2002), h.
31-32.
33
Tommy F. Awuy, dkk, Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema, (Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta, 1999), h. 76.
34
A. Adjib Hamzah, Pengantar Bermain Drama, (Bandung: Rosda, 1985), h. 94.
35
Herman J. Waluyo, Drama: Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya, 2001), h. 20.
21

baku seperti menulis puisi dan lebih cair dibandingkan dengan


menulis prosa atau novel. Menurut Luxemburg yang dikutip dalam
Hasanuddin, tindak bahasa yang sering dijumpai di dalam drama
adalah pertanyaan dan perintah.36 Pertanyaan yang diutarakan sebagai
pancingan agar mendapat jawaban dan dijadikan informasi, sedangkan
perintah atau larangan adalah sikap yang akan menimbulkan respon
dengan lawan bicaranya yang membentuk dialog, sehingga terjadilah
interaksi yang harmonis, dan peristiwa yang digambarkan dalam
bentuk bahasa lisan akan lebih hidup. Pembaca bisa merasakan emosi
yang ada dalam percakapan tersebut.
Dialog merupakan pemikiran tokoh yang ditampilkan dalam bentuk
perkataan atau ujaran, sedangkan petunjuk pemanggungan merupakan
tuntunan bagi pengaturan tingkah laku pemain.37 Dialog dalam naskah
diucapkan oleh tokoh secara bergantian yang akan menimbulkan
reaksi tokoh lain untuk merespon. Melalui dialoglah akan diketahui
alur peristiwa dalam cerita.
Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda dengan lakuan
dan dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.38 Unsur-unsur
yang semacam ini yang biasa dikenal dengan istilah fiksionalitas – di
dalam drama ditemukan pula.39 Kandungan unsur fiksi dan fakta ini
menjadikan naskah drama sebagai karya yang mempunyai
fiksionalitas.
Fiksionalitas dalam naskah drama dapat dilihat dari seberapa besar
pengarang menggunakan realitas yang dialami pengarang sendiri dan
seberapa jauh dia menggunakan imajinasinya dalam mengarang
sebuah karya. Oleh sebab itu, kenyataan dan rekaan dalam karya

36
Hasanuddin WS, op. cit., h. 17.
37
Semi, op. cit., h. 161.
38
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia: Puisi, Prosa, Drama, (Jakarta: PT Perca,
2008), h. 81.
39
Hasanuddin WS, op. cit., h. 58.
22

drama sebagai fiksionalitas tidak terpisah secara mutlak karena


keduanya saling membutuhkan dan saling mengisi.40
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa dialog yang
dituangkan di dalam naskah drama merupakan faktor utama sebagai
sumber informasi kejadian apa saja yang terjadi dan dari dialog pula
dapat mengetahui unsur-unsur naskah drama lainnya.
3. Unsur-unsur Naskah Drama
Unsur-unsur yang membangun naskah drama diantaranya yaitu;
penokohan, alur, latar, konflik-konflik, tema dan amanat, serta aspek
gaya bahasa.41 Berikut pemaparan dari unsur intrinsik dalam naskah
drama:
a. Tema dan Amanat
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup yang
42
melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Biasanya yang
melatarbelakangi dalam menulis naskah drama menyangkut
tenntang persoalan kehidupan, berupa ideologi, ekonomi, sosial
budaya, politik, dan keagamaan.
Di dalam tema terkandung tiga unsur pokok; 1) masalah yang
diangkat, 2) gagasan yang ditawarkan, dan 3) pesan yang
disampaikan pengarang.43 Oleh karena itu, tema merupakan
hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan
penokohan dan latar. Terdapat banyak peristiwa yang masing-
masing mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah
tema sebagai intisari dari berbagai permasalahan. Permasalahan
ini dapat juga muncul melalui perilaku para tokoh ceritanya
yang terkait dengan latar dan ruang.44

40
Ibid., h. 69.
41
Ibid., h. 8.
42
Tarigan, op. cit., h. 164.
43
Hasanuddin WS, op. cit., h. 177.
44
Ibid., h. 103.
23

Tema tidak disampaikan langsung oleh pengarang kepada


pembaca, akan tetapi ia hadir secara implisit melalui isi cerita
yang melibatkan unsur lainnya. Seperti yang dikatakan Stanton,
bahwa gagasan pokok yang penyampaiannya sangat didukung
oleh jalinan unsur tokoh, plot, dan latar cerita.45
Melalui cerita yang utuh dengan berbagai unsur yang terlibat
kita dapat menemukan gagasan pokok. Dari cerita itu pula kita
akan menangkap apa yang tersirat dalam benak pembaca, yang
disebut sebagai amanat. Amanat adalah pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang.46
Amanat menggambarkan pendirian, sikap, dan pandangan
pengarang mengenai masalah yang dikemukakan dalam
karyanya.47 Amanat juga merupakan opini, kecenderungan, dan
visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat di
dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal kesemuanya itu
terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik
atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu,
amanat juga merupakan kristalistik dari berbagai peristiwa,
perilaku tokoh, latar dan ruangan cerita.
b. Tokoh/Penokohan dan Perwatakan
Tokoh dalam drama disebut tokoh rekaan yang berfungsi
sebagai pemegang peran watak tokoh. Hal-hal yang melekat
pada tokoh dapat dijadikan sumber data atau informasi guna
membuka selubung makna drama secara keseluruhan. Masih
berkaitan dengan tokoh ini, ada istilah yang lazim digunakan
yakni penokohan dan teknik penokohan. Penokohan merujuk
kepada proses penampilan tokoh yang berfungsi sebagai
pembawa peran watak tokoh cerita dalam drama. Sedangkan
teknik penokohan adalah teknik yang digunakan penulis naskah
45
B. Rahmanto dan S. Indah P, Drama, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 3.25.
46
Ibid., h. 3.27.
47
Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Janah, 2000), h. 50.
24

lakon, sutradara, atau pemain dalam penampilan atau


48
penempatan tokoh-tokoh wataknya dalam drama.
Tokoh-tokoh itu dapat memiliki karakter yang sesuai dengan
kemungkinan watak yang ada pada manusia, seperti jahat, baik,
periang, pemurung, dan lain-lain. Karakter bukan hanya sebagai
pendorong terjadinya suatu peristiwa, akan tetapi dapat juga
menjadikan unsur yang menyebabkan gawatnya suatu persoalan
yang ditimbulkan dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Sama
halnya dengan novel, watak para tokoh dalam lakon
digambarkan berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial.
1) Menggambarkan watak berdasarkan keadaan fisik tokoh
Yang termasuk kedalam keadaan fisik tokoh itu antara
lain umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah,
suku bangsa, raut muka, kesukaan, dan sebagainya. Ciri-
ciri ini dapat dihubungkan dengan perwatakan.
2) Menggambarkan watak berdasarkan keadaan psikis tokoh
Menggambarkan watak berdasarkan keadaan psikis
tokoh, meliputi kegemaran, mentalitas, standar moral,
tempramen, ambisi, keadaan emosi, dan sebagainya.
3) Menggambarkan watak berdasarkan sosiologi tokoh
Menggambarkan watak berdasarkan sosiaologi tokoh,
meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama,
ideologi, dan sebagainya.49
Perwatakan sangat jelas dipaparkan oleh Rahmanto, dan
berikut pemaparan mengenai teknik penokohan oleh Suyadi
San, bahwa teknik penokohan dilakukan dalam rangka
menciptakan citra tokoh cerita yang hidup dan berkarakter.
Watak tokoh cerita dapat diungkapkan melalui salah satu teknik
berikut: 1) Apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dikehendaki
48
Suyadi San, Drama Konsep Teori dan Kajian, (Medan: CV. Pratama Mitra Sari, 2013),
h. 10.
49
Rahmanto, op. cit., h. 3.20.
25

tentang dirinya atau tentang diri orang lain, 2) Lakuan, tindakan,


3) Cakapan, ucapan, ujaran, 4) Kehendak, perasaan, pikiran, 5)
Penampilan fisik.
Terdapat empat pola untuk membangun sistem penokohan.
Pertama, penamaan. Penamaan pada setiap tokoh memiliki
alasan dan latar belakang. Dari penamaan saja akan menjadi
gambaran perwatakan sang tokoh. Nama di dalam drama dapat
menimbulkan persepsi dan resepsi tertentu.50
Kedua, pemeranan. Tokoh yang dihadirkan pengarang, untuk
dapat membangun persoalan dan menciptakan konflik-konflik,
biasanya melalui peran-peran tertentu yang harus mereka
lakukan. Setiap peran umumnya selalu hadir berpasangan
dengan peran lain dalam bentuk suatu permasalahan atau
konflik.51
Ketiga, sistem perwatakan. Tokoh watak atau karakter dalam
drama adalah bahan baku yang paling aktif dan dinamis sebagai
penggerak alur cerita.
Berdasarkan peranannya di dalam alur cerita tokoh dapat
diklasifikasikan menjadi 3 macam yakni: 1) Antagonis, tokoh
utama berprilaku jahat, 2) Protagonis, tokoh utama berprilaku
baik, 3) Tritagonis, tokoh yang berperan sebagai tokoh
pembantu.
Selain itu, berdasarkan fungsinya di dalam alur cerita tokoh
dapat diklasifikasi menjadi 2, yakni: 1) Sentral, tokoh yang
berfungsi sebagai penentu gerakan alur cerita, 2) Tokoh
pembantu, tokoh yang berfungsi sebagai pelengkap penderita
dalam alur cerita.
Keempat, tindakan. Dalam menjalankan peran dan
perwatakannya, tokoh cerita pada drama dapat diwujudkan

50
Hasanuddin WS, op. cit., h. 78.
51
Suyadi San, op. cit., h. 11.
26

dalam bentuk tiga dimensi, meliputi: 1) Dimensi fisiologi, yakni


ciri-ciri fisik yang bersifat badani atau ragawi, seperti usia, jenis
kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya, 2)
Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau rohani, seperti
mentalitas, tempramen, cipta, rasa, krasa, IQ, sikap pribadi, dan
tingkah laku, 3) Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan
sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang
pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup,
perilaku masyarakat, agama, ideologi, sistem kepercayaan,
aktivitas sosial, aksi sosial, hobi pribadi, organisasi sosial, suku
bangsa, garis keturunan, dan asala usul sosial.
c. Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa atau
sekelompok peristiwa yang saling berhubungan secara
kausalitas akan menunjukan kaitan sebab akibat. Tasrif dalam
Nurgiantoro membedakan tahapan alur menjadi lima bagian.
Kelima tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahap Situation: Tahap penyituasian, tahap yang pertama
berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh (-
tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan
cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain yang
terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang
dikisahkan pada tahap berikutnya.
2) Tahap Generating Circumstance: Tahap pemunculan
konflik, masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya
konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan
tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri
akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap selanjutnya.
3) Tahap Rising Action: Tahap peningkatan konflik, konflik
yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin
27

berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.


Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita
semakin mencengangkan dan menegangkan. Konflik-
konflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun
keduanya, pertentangan, benturan antarkepentingan,
masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin
tak dapat dihindari.
4) Tahap Climax: Tahap klimaks, konflik dan atau
pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan
atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik
intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami
oleh tokoh (-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku
dan penderita terjadinya konflik utama.
5) Tahap Denouement: Tahap penyelesaian, konflik yang
telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan
dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-konflik, atau
konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan
keluar, cerita diakhiri. Tahapan ini berkesesuaian dengan
tahap akhir di atas.52
d. Latar
Latar atau setting adalah lingkungan tempat peristiwa
terjadi.53 Latar meliputi tempat, waktu, dan budaya yang
digunakan dalam suatu cerita. Latar di dalam drama
memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan permasalahan
drama.54 Latar juga berguna untuk menghidupkan cerita.55
Sekarningsih juga sependapat dengan Hasanuddin yang
menyatakan bahwa latar merupakan identitas permasalahan

52
Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2013), h. 149.
53
Semi, op. cit., h. 46.
54
Hasanuddin WS, op. cit., h. 94.
55
Sumarjo, op. cit., h. 132.
28

drama sebagai karya fiksionalitas yang secara samar


diperlihatkan penokohan dan alur. Dalam sebuah drama latar
merupakan unsur yang menunjukan tentang tempat, waktu dan
kejadian peristiwa dalam sebuah babak. Berubahnya latar berarti
perubahan babak. Tempat sebagai penunjuk dari unsur di dalam
drama mengandung pengertian menunjuk pada tempat tengah
berlangsungnya kejadian. Kedudukan waktu menjelaskan
tentang terjadinya putaran waktu, yakni siang-malam, gelap
terang, dan lain-lain. Kejadian menerangkan peristiwa yang
tengah dialami tokoh.56
e. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah pemakaian bahasa yang khas dan
istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran
sastra, dan lain-lain.57 Muhardi dan Hasanuddin WS dalam
bukunya Suyadi San mengemukakan, bahwa gaya bahasa (style)
dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu: 1) penegasan terdiri
dari; pleonasme, repetisi, klimaks, anti klimaks, retoris dll. 2)
pertentangan terdiri dari; paradox, antithesis, dll. 3)
perbandingan terdiri dari; metafora, personifikasi, asosiasi,
pararel, dll. 4) sindiran terdiri dari; ironisme, sarkasme, dan
sinisme.
Sama halnya dengan Muhardi, Keraf sebagai ahli bahasa juga
memperjelas mengenai gaya bahasa, yaitu: pleonasme adalah
acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada
yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran satu gagasan.
Berikut penjelasan mengenai gaya bahasa dengan jenis
penegasan. Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata
atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi
tekanan dalm sebuah konteks yang sesuai. Klimaks disebut juga
56
Frahma Sekarningsih dan Heny Rohayani, Pendidikan Tari dan Drama, (Bandung: UPI
Press, 2006), h. 177.
57
Tuloli, op. cit., h. 58.
29

gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan


pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari
gagasan-gagasan sebelumnya. Anti klimaks adalah gaya bahasa
yang merupakan suatu acuan gagasan-gagasannya diurutkan
yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting.
Retoris adalah gaya bahasa yang semata-mata merupakan
penyimpangan dari konstruksi biasa untuk menca[ai efek
tertentu.
Gaya bahasa yang berjenis pertentangan, di antaranya:
Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan
yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Antitesis adalah gaya
bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan
dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang
berlawanan.
Gaya bahasa yang berjenis perbandingan yaitu: Metafora
adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara
langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Personifikasi gaya
bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-
sifat kemanusiaan. Paralel adalah gaya bahasa yang berusaha
mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa
yang menduduki fungsi yang sama.
Gaya bahasa yang berjenis sindiran, di antaranya: Ironisme
adalah gaya bahasa yang ingin mengatakan sesuatu dengan
makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dari
rangkaian kata-katanya. Sarkasme adalah gaya bahasa yang
selalu menyakiti hati dan kurang enak di dengar. Sinisme adalah
gaya bahasa sindiran yang berbentuk kesangsian yang
mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.58

58
Suyadi San, op. cit., h. 17-18.
30

Dari semua gaya bahasa yang telah dipaparkan di atas, dapat


membantu menemukan karakter seorang penulis, karena bahasa
yang baik dalam sebuah karya adalah bahasa yang dapat
berkomunikasi dengan baik terhadap audien atau pembaca.

C. Pembelajaran Sastra Indonesia


Pembelajaran termasuk dalam kelas kata nomina yang berarti proses;
cara; perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.
Pembelajaran lebih diidentikkan sebagai bentuk kegiatan yang dilakukan
di dalam kelas antara guru dengan siswanya. Jadi dapat dikatakan bahwa
pembelajaran merupakan cara yang ditempuh dalam belajar.
Kata sastra memiliki arti yang luas, meliputi kegiatan yang berbeda-
beda. Sastra mengandung kumpulan dan sejumlah bentuk bahasa yang
khusus, yang digunakan dalam berbagai pola yang sistematis untuk
menyampaikaan segala perasaan dan pikiran. Rahmanto juga
berpendapat bahwa pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan
secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan kemampuan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan berbudaya, mengembangkan citra dan rasa,
dan menunjang pembentukan watak.59
Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu: 1) agar peserta
didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, 2) peserta didik
menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Pembelajaran sastra menurut panduan KTSP dan kurikulum 2013
perlu menekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan seni yang
dapat diproduksi dan diapresiasi sehingga pembelajaran hendaknya

59
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta; Kanisius, 1988), h. 16.
31

bersifat produktif-apresiatif. Konsekuensinya, pengembangan materi


pembelajaran, teknik, tujuan, dan arah pembelajaran harus menekankan
pada kegiatan apresiatif.60
Kompetensi apresiasi sastra yang diasah dalam pendidikan ini adalah
kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Melalui pendidikan
semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami,
dan menganalisis karya sastra secara langsung. Mereka diajak berkenalan
dengan sastra, tidak melalui hapalan nama-nama judul karya sastra atau
sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya. 61

D. Penelitian yang Relevan


Sebuah karya ilmiah sangatlah membutuhkan referensi sebagai acuan
penelitian. Referensi tersebut didapatkan melalui tinjauan pustaka, jurnal,
skripsi, artikel, makalah, internet dan sebagainya.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, di jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta di universitas lain,
penelitian dengan objek kajian mengenai “Citra Perempuan dalam
Naskah Drama Cannibalogy dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia” belum pernah dilakukan. Berikut peneltian
yang sudah dilakukan dan masih berkaitan dengan topik penelitian yang
akan dilakukan:
Taufik Darwis mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung,
Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater dengan judul skripsi
“Cannibalogy Karya Benny Yohanes; Konsep Garap Penyutradaraan”.
Skripsi ini memaparkan bahwa menjadi sutradara yang baik yaitu
mempunyai kekuatan pribadi yang baik, teguh dalam memilih naskah,

60
Rahmat, Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah: Antara Harapan dan Realita,
naskah ini disampaikan pada seminar yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Pendidikan Universitas Pakuan, Bogor, 24 Januari 2011,
dalam ”gurupembaharu.com/home/pembelajaran-sastra-indonesia-di-sekolah-membandingkan-
harapan-dan-realita-yang-dapat-diwujudkan/”., diunduh pada 31 Desember 2016 pukul 12:05
WIB.
61
Siswanto, op. cit. h. 168.
32

tenang dan tanggap ketika terjadi kegoyahan di beberapa unsur-unsur


pertunjukan. Misalnya, dalam wilayah keaktoran yang belum menguasai
dasar-dasar keaktoran. Hal ini menyikapi agar sutradara pun harus
melakukan pendekatan lain, yaitu pendekatan psikologis untuk
menemukan hasrat dan kecenderungan mereka, sehingga sutradara
mampu menemukan titik optimal mereka yang bisa dimunculkan ketika
proses pelatihan berlangsung dan bisa membuat standar kualitas
keaktoran untuk permainannya sendiri.
Rahayu Handayani mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di UIN Jakarta, dengan judul skripsi “Kritik Sosial dalam
Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” yang dikaji
dengan metode deskriptif kulitatif. Penelitian ini menggunakan teori
sosiologi sastra, khususnya mengenai kejadian-kejadian bersejarah yang
terangkum dalam naskah Cannibalogy. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya ketidakadilan yang diperbuat oleh seorang pemimpin yang tidak
bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri.
Tesis yang berjudul “Proses Kreatif Penciptaan “Pertja” Karya Benny
Yohanes” yang disusun oleh Akhyar Makaf untuk memenuhi persyaratan
mencapai gelar magister dalam bidang seni, Minat Utama Seni Teater di
Program Penciptaan dan Pengkajian di Pascasarjana Institut Seni
Indonesia Yogyakarta tahun 2014. Adapun pembahasan dalam tesis ini
ialah mengenai proses kreatif Benny Yohanes dalam menciptakan karya
drama dan pertunjukan “Pertja” yang berhubungan dengan pengalaman
masa lalunya dengan menggunakan teori kreativitas dalam perspektif
psikoanalisis Sigmund Freud dan Jacques Lacan. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa Benny Yohanes didorong oleh perasaan
keterasingan yang justru membuatnya menemukan momen kreatif. Ia
mengeksplorasi pengalaman masa lalunya tentang kekerasan dan
erotisme, kisah unik dari orang yang pernah ditemuinya, serta realita
kehidupan masyarakat perkotaan ke dalam karya yang diciptakannya.
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG
A. Biografi Benny Yohanes
Benny Yohanes yang kerap dipanggil dengan sebutan panggungnya yaitu
Benjon, lahir di Bandung Jawa Barat, pada tanggal 15 Februari 1962.
Benjon menyelesaikan pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Surakarta pada tahun 1989. Beliau juga telah menyelesaikan
pendidikan S2 di Universitas Indonesia pada tahun 2000 dan memiliki gelar
M.Hum, dengan tesis berjudul Interpretasi Teks Drama Berdasarkan
Pendekatan Praktis.1 Pendidikan beliau semakin lengkap dengan
mendapatkan gelar DR, setelah menyelesaikan S3 di Universitas
Padjadjaran pada tahun 2013.
Sebelum menyelesaikan pendidikan S1, S2, dan S3, Benjon sudah
menjadi dosen jurusan teater di STSI Bandung sejak tahun 1987 hingga
sekarang, pernah mengajar di Fakultas Filsafat Universitas Parahiyangan
Bandung, 1989-1998, pengajar di Fakultas Desain Universitas PETRA
Surabaya, sejak tahun 2003 dan pengajar di School of Business
Management (SBM) ITB dengan mata kuliah Performance Skill dan Artistic
Recollection sejak 2004 hingga sekarang.2 Ia merupakan Wakil Rektor
Bidang Akademik dan Kemahasiswaan dengan tugas mewakili Rektor
dalam memimpin pengelola kegiatan di bidang akademik, kemahasiswaan,
dan alumni.
Benjon memiliki istri yang bernama Soeko Sri Setiati dan memiliki tiga
orang anak. Selain berprestasi di bidang akademik, beliau juga aktif dan
berprestasi di bidang teater. Benjon adalah pendiri dari teater Re-publik, ia
juga merangkap sebagai penulis naskah, sutradara, aktor, dan turut terjun
langsung melakukan pekerjaan produksi keteateran mulai dari membuat
proposal, mendesain poster, skenario, lampu, tata rias, pakaian,

1
Ulfah Nurhazizah, Biografi Benny Yohanes, 6 Oktober 2015,
(https://m2indonesia.com/tokoh/sastrawan/benny-yohanes.htm). Diunduh pada tanggal 09 Agustus
2016, pukul 10:06 WIB.
2
Ibid., (https://m2indonesia.com/tokoh/sastrawan/benny-yohanes.htm).

33
34

perlengkapan, memilih dan belanja material pentas, menjahit, bertukang


hingga menulis kritik untuk pentasnya sendiri. Selain kritikus dan pengamat
seni pertunjukan, ia juga menjadi anggota International Federation of
Theatre Research sejak 2005, dan anggota pengawas Federasi Teater
Indonesia sejak 2008.3
Sebagai penulis naskah drama, esai teater, dan sekaligus sutradara,
Benjon memiliki karakteristik dalam tulisannya. Ia banyak menggunakan
pilihan bahasa yang ekspresif, melanggar tabu dan kesantunan; banyak
menyalahi kaidah bahasa konvensional, serta mencampur adukkan gaya
bahasa. Berkat daya kreatif yang dimiliki Benjon dalam menulis, ia
mendapatkan penghargaan dari Direktorat Kesenian tahun 1996, Direktorat
Kesenian-Harian Umum Pikiran Rakyat tahun 1996, dan Dewan Kesenian
Jakarta pada tahun 2005, dalam bidang penulisan kritik teater. Meraih dua
Lomba Menulis Naskah Drama Radio Common Ground Indonesia pada
tahun 2002, dan juara pertama Lomba Naskah Monolog Lembaga Anti
Korupsi pada tahun 2004. Mendapatkan penghargaan The Best Five
Sayembara Penulisan Naskah Drama Federasi Teater Indonesia pada tahun
2009.4
Beberapa karya dramanya yang telah meraih penghargaan, antara lain:
Metropolutan dalam Kompetisi Naskah Drama Radio yang diselenggarakan
oleh Kantor Berita 68H tahun 2002, Makan Hakan dalam Kompetisi Naskah
Drama yang diselenggarakan oleh Goethe Institut-Friedrich Naufman
Stiftung, dan Seribu Watt dalam Kompetisi Naskah Drama yang
diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Esai-esainya, selain telah
dipublikasi di beragam media cetak, juga terangkum dalam buku Teater

3
Benny Yohanes, Profil Benny Yohanes, 2010, dalam Nano Riantiarno (ed.),
(http://www.kelola.or.id/database/theatre/list/&dd_id=67&p=3). Diunduh pada tanggal 05 Januari
2017, puku 16:13 WIB.
4
Bank Naskah teater dan Naskah Drama,
(http://bandarnaskah.blogspot.co.id/2010/04/naskah-pemenang-federasi-teater.html). Diunduh
pada tanggal 05 Januari 2017, pukul 16:41 WIB.
35

untuk Dilakoni, Ideologi Teater Modern Kita, Mencipta Teater dan teater
Indonesia, Konsep, Sejarah, Problema, serta 70 tahun Rendra.5
Sebagai sutradara telah membuat pertunjukan teater dengan beragam
naskah, baik karya sendiri maupun karya pengarang lain, sejak tahun 1983
sampai dengan 2000, di antaranya: Caligula karya Albert Camus tahun
1983, Pelacur Terhormat karya jean Paul Sartre, Pakaian dan Kepalsuan
karya Averchenko 1987, Kisah Perjuangan Suku Naga karya Rendra, Amat
Berontak karya Saini KM 1988, Momok karya Benjon 1990, Architruc
karya Robert Pinget 1991, Ibu Mencari Boedi karya Benjon 1992, End
Game karya Samuel Beckett, Bersama Tengkorak Karya Benjon 1993,
Pinangan karya Anton Chekov, Takoet karya Benjon 1994, Dag Dig Dug
karya Putu Wijaya 1995, Senja dan Dua Kematian karya Kirdjomuljo 1996,
Bius karya Benjon, Dubur karya Benjon 1997, Sodom Kota Binatang karya
Benjon 1998, Makan Hakan karya Benjon, Hikayat Cinta Dalam karya
Benjon, Boen/Cit Aku Ada Karena Aku Mesum dan Ternoda karya Benjon
1999, Telur, Tomat dan Seteguk Darah karya Benjon, Gigolo Galileo Karya
Brecht/Benjon, Tubuh Melayoe karya Benjon 2000.
Selain itu, ia pernah mengikuti Workshop On Sound and Music for
Theatre di Quezon City Manila, Philipina 1995, pertunjukan Sangkuriang
pada Pertemuan Teater Asean di Bangkok, Thailand 1997, dan tahun 1999
melakukan studi komperatif tentang Teater Kontemporer Jerman di
Frankfurt, Mullhem, Mannheim Hamburg, Munchen dan Berlin, dengan
beasiswa dari Goethe Institut. Pernah mengikuti International Conference
atas undangan International Forum for Theatre Research (IFTR) di
Washington DC, USA pada tahun 2005.

B. Pandangan Benny Yohanes dalam Berkarya


Benny Yohanes merupakan seorang penulis drama yang mendapat
pengaruh kuat dari pengalaman masa lalunya. Ia banyak menulis drama
yang berhubungan dengan kejadian yang dialaminya langsung di

5
Nurhazizah, op. cit.
36

lingkungan tempat ia dibesarkan, terutama pengalaman yang membekas


kuat yang sering dihadirkan dalam karya-karyanya.6 Salah satu hubungan
antara karya Benjon dengan pengalamannya adalah kecenderungan yang
dominan untuk menghadirkan hal-hal ganjil yang bersifat metaforik, baik
dalam bentuk lakuan (action) dan bahasa (dialog). Hal ini kemudian
menjadi ciri khas sekaligus kekuatan dari drama-drama Benjon.
Beberapa naskah Benjon mempunyai struktur yang unik. Struktur alur
dalam Aritoteles misalnya, benar-benar dicederai bahkan dimutilasi, tokoh-
tokohnya juga cenderung tidak jelas, bahkan beberapa naskah terkesan
seperti orang gila. Latar tempat, waktu, dan sosialnya pun sengaja
dihancurkan untuk memperkuat keabsurdan tokoh, sehingga naskah-naskah
Benjon terkesan gelap, rumit, dan susah dimengerti. Namun Benjon
menambahkan hal-hal komedi pada naskah, khususnya dalam naskah
monolog sehingga terkesan naskah dramanya berbau black komedi. 7 Black
comedy adalah komedi satir, komedi sinis dengan tema mengenai suatu
situasi atau kondisi yang mestinya serius, tragis, menyangkut hal-hal tabu
dan sesuatu yang tidak menyenangkan seperti pembunuhan, pembantaian,
perang dan lain-lain termasuk di dalamnya hal-hal berbau SARA dan caci
maki sekalipun, namun dibalut sedemikian rupa sehingga menimbulkan
kesan lucu bagi pembaca atau penonton, walaupun bukan lucu dalam arti
akan tertawa terbahak-bahak tapi minimal membuat penikmat karyanya
tersenyum kecut.
Benjon mengungkapkan bahwa kecenderungannya menulis naskah yang
sarat kekerasan dan erotisme, yaitu karena masa kecil hingga dewasa yang
dilaluinya di lingkaran “hitam” wilayah Cicadas, kota Bandung. Cicadas
adalah daerah padat penduduk di tengah kota yang dekat dengan pusat
kegiatan ekonomi. Sekitar tahun 1960-1980-an daerah ini terkenal sebagai

6
Akhyar Makaf, Proses Kreatif Penciptaan Pertja Karya Benny Yohanes, Tesis pada
Pascasarjana ISI Yogyakarta, 2014, h. 1, tidak Dipublikasikan.
7
Ferick Sahid Persi, Arkeologi Beha: Kehidupan Urban yang Rakus, 2015,
(http://www.panggungkita.com/2015/02/arkeologi-beha-kehidupan-urban-yang.html). Diunduh
pada tanggal 05 Januari 2017, pukul 18:08 WIB.
37

daerah rawan karena menjadi tempat aktivitas premanisme dan prostitusi.


Benjon bercerita melalui wawancaranya dengan Munaf, bahwa di masa
kecilnya semenjak Sekolah Dasar (SD) hingga tamat SMA (1968-1981), ia
sudah terbiasa melihat perkelahian antar geng dan preman, kekerasan dan
penganiayaan di depan publik, serta kehidupan malam yang ada di sekitar
lingkungannya. Ketertarikan Benjon pada ilmu pengetahuan, ditambah
dengan semangatnya untuk terus bersekolah, menyelamatkan masa
depannya dari kesuraman lingkungan sekitar. Ia menjatuhkan pilihan untuk
menjadi praktisi sekaligus akademisi seni. Kenangan masa lalu yang
dialaminya sering kali hadir dalam setiap karya-karyanya.
Benjon juga mengatakan bahwa erotisme dan sensualitas adalah “bahasa”
yang bisa dipahami atau dimengerti semua orang, walaupun belum tentu
diterima karena sebab atau alasan tertentu. Benjon memilih menghadirkan
sesuatu yang berhubungan dengan kekerasan dan seksualitas, karena ia
menganggap hal ini merupakan sifat alamiah dari perilaku manusia sebagai
dasar konflik yang kemudian dihadirkan melalui metafora. Hal inilah yang
diutarakan Benjon sebagai alasan kecenderungannya mengeksplorasi dua
hal ini dalam naskahnya.8
Salah satu tulisannya yang berjudul Panggung Besar, Pangung Kecil:
Fenomena Pemuaian dan Penukilan Ruang Publik dalam Panggung,
Benjon menuliskan bahwa realitas ruang-publik dalam kurun reformasi,
ditandai oleh eksplosi wacana kekuasaan, sebagai implikasi mengencernya
kontrol represif negara terhadap masyarakat. Terhadap realitas ruang-publik
tersebut, dunia teater modern telah meresponnya secara aktif. Respons aktif
itu telah mempengaruhi pilihan tematiknya, juga sampai tingkat pengucapan
artistiknya. Pergeseran pertama pada tematik teater menunjukkan fokus
pada masalah-masalah “besar”, seperti problem kompetisi kekuasan,
perlawanan publik terhadap otoritas pemerintah, serta kritisme terhadap
kinerja elite politik atau penguasa. Respon aktif seperti ini bersifat adoptif
terhadap realitas ruang-publiknya. Pengadopsian masalah-masalah “besar”

8
Makaf, op. cit., h. 7.
38

seperti itu telah memungkinkan terjadinya pemuaian ruang-publik dalam


panggung teater.

C. Karya-karya Benny Yohanes


Benny Yohanes bergelut di bidang kesenian yang ia tuangkan dalam dua
dimensi sekaligus, yaitu pertunjukan dan sastra. Selain dari segi
pertunjukan, Benjon juga berprestasi di bidang akademik seperti yang telah
disebutkan di awal pembicaraan mengenai biografi Benjon. Karya-karyanya
akan peneliti paparkan dalam lampiran.

D. Sinopsis Naskah Drama Cannibalogy


Mbok Tirah, sosok ibu penyabar dan selalu mengayomi memberikan
arahan pada anaknya yang sedang dilanda putus asa karena hidupnya masih
saja susah dengan usaha kelentongnya yang tak kunjung berhasil. Mbok
Tirah yang masih percaya pada primbon, memberitahukan kepada Suhar
pekerjaan apa yang pantas denganya. Namun, Suhar mengambil jalan pintas
untuk mengubah hidupnya dan tidak memperdulikan perkataan ibunya.
Tetapi Mbok Tirah terus berdoa untuk keselamatan anaknya.
Kegelisahan Mbok Tirah ternyata benar. Suhar yang memiliki ambisi
menjadi seorang yang kuat, berkuasa, dan kaya raya, pergi ke Kali Solo dan
membuat perjanjian dengan guru spiritual. Apabila ia ingin merubah
nasibnya, maka ia harus memberi makan Kali Solo dengan darah manusia.
“satu kepala baru setiap kali alam mengangkatmu ke derajat yang lebih
tinggi”. Kesuksesannya terus ia dapat, namun ia tidak pernah puas. Kali ini
ia harus menikahi seorang perempuan peranakan yang inangnya lebih bagus
darinya untuk menjadi penguasa divisi Jawa. Ia menculik Sinta Salim.
Sinta Salim, perempuan peranakan cantik, kulitnya yang putih dan
matanya sipit. Ia adalah pecinan dan seorang selir dari orang yang berkuasa
di Mojokuto. Atas saran guru spiritualnya, Suhar harus menikahi Sinta
Salim, dan menculik Sinta Salim. Sinta Salim adalah pemimpin dari
pasukan cantrik dalem di Mojokuto. Ia memimpin pasukan perang yang
terdiri dari perempuan-perempuan Mojokuto. Keahlihannya dalam membuat
39

panah sangat membantu peperangan yang diserahkan oleh suaminya kepada


Suman. Peperangan untuk mempertahankan tanahnya agar tidak dikuasai
oleh pendatang dari Olanda yang ingin menguasai Nusantara. Olanda yang
menjadikan Suhar buta akan kekuasaan, ia juga menjadi tangan besi berhati
baja dan berkepala batu yang kejam. Menebas hak-hak manusia yang hidup
maupun mati.
Olanda yang dipimpin oleh Lendles berhasil mengambil tanah Mojokuto.
Sinta Salim dan Suman tidak berkutik di bawah kendali Lendles. Sinta
Salim harus menikah dengan Suhar, dan Suman dirajam oleh peremuan-
perempuan konco yang bekerja menjadi pemuas para lelaki Olanda.
Perempuan pemuas nafsu ini digambarkan dengan fisik yang sama dengan
PSK pada umumnya. Berpakaian seronok, menawarkan bagian tubuhnya
untuk dicicipi. Suman tidak sampai untuk tujuannya membela tanah dan
melindungi Sinta Salim.
Sinta Salim merasa tidak sudi menikah dengan Suhar, apalagi dengan
mengkhianati tanah airnya sendiri. Ia kemudian meminta syarat untuk
minum air Kali Solo dan membersikan dirinya sebelum menikah dan
menyuruh Suhar memakan daging Suman sebanyak 7 karat. Suhar pun
mengizinkan permintaannya setelah ia berhasil memakan daging Suman.
Tidak lama, mbok-mbok itu berteriak bahwa Sinta Salim tenggelam di Kali
Solo. Suhar mengalami kemarahan sekaligus kehancuran. Sinta Salim lebih
memilih mati di tanah yang ia bela daripada hidup di tangan orang yang
keji.
Suhar marah dan tidak terkontrol, kemudian ia juga membantai mbok-
mbok yang mengantar Sinta Salim, agar tidak ada yang membeberkan kabar
ini kepada atasannya. Ia pun gagal dan Olanda pun rampung di tangan Ki
Ageng yang membawa pasukan tentara peranakan dari Batavia. Suhar
dijatuhkan hukuman dan kembali pada Mbok Tirah, serta mengadukan
nasibnya kembali kepada Mbok Tirah yang selalu sabar dan memberikan
kasih sayangnya kepada suhar.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Naskah Drama
1. Tema dan Amanat
a. Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup yang
melatarbelakangi ciptaan karya sastra.1 Dalam naskah drama, tema
tidak disampaikan langsung oleh pengarang kepada pembaca, akan
tetapi ia hadir secara implisit melalui isi cerita yang melibatkan
unsur-unsur intrinsik. Maka dari itu dalam membaca naskah drama
harus dibaca secara menyeluruh.
Gagasan pokok di dalam naskah, dapat ditemukan bukan hanya
satu gagasan. Setiap babak atau fargmen akan memiliki gagasan
yang berbeda. Biasanya disebut tema minor. Sedangkan seluruh isi
naskah akan memiliki gagasan sebagai pokok pembicaraan dan
menjadi garis besar dari naskah tersebut. Biasanya disebut tema
mayor.
Cannibalogy, berasal dari kata kanibal atau kanibalisme yang
secara harfiah berarti kebiasaan memakan daging atau bagian tubuh
manusia; secara ilmiah juga dikenal pula dengan istilah antropofagi
(Yunani: anthroopos= manusia; fragein= makan).2 Logi berasal
dari bahasa Yunani, yang kemudian diserap oleh bahasa Latin.
Penggunaannya kemudian dipopulerkan lewat bahasa Prancis Logie
dan kemudian bahasa Inggris Logy. Kata Logy biasanya digunakan
di bagian akhir kata sebagai pembentuk nama ilmu atau
pengetahuan, misal, biologi atau psikologi.3 Ilmu secara lebih rinci

1
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sakstra, Edisi Revisi (Bandung: Angkasa,
2011), h. 164.
2
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru- Van Hoeve,
1982), h. 1646.
3
Dictionary.com. "-logy." The American Heritage Dictionary of the English Language,
Fourth Edition. Houghton Mifflin Company, 2004. retrieved 20 Aug. 2008. Diunduh pada tanggal
30 Juli 2017 pukul 20:30 WIB.

40
41

adalah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya berdasarkan


pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai macam
cara seperti observasi, eksperimen, survey, studi kasus, dan
sebagainya.4 Dapat disimpulkan dari pengertian di atas,
Cannibalogy adalah tradisi di mana satu makluk dapat memakan
jenisnya sendiri dengan alasan-alasan tertentu. Tradisi tersebut
maksudnya sudah menjadi ilmu pengetahuan. Semacam: ilmu
memakan jenisnya sendiri.
Benjon menggambarkan perbuatan yang tidak manusiawi
dengan sangat rinci, bagaimana Suman tokoh dalam naskah
Cannibalogy memakan daging manusia seperti memakan daging
sapi yang dipanggang.
Suman: […] Mulutnya masih mengunyah keratan daging
hangus. […]Mau coba ?
Kuro: Lihat sendiri. Dagingnya sudah dibikin sate. Lainnya
sedang direbus. Lihat di lehernya. Itu masih daging korban
juga. Malah dibikin kalung. Orang ini gemblung, Daeng.5

Keterangan tersebut sangat jelas bagaimana manusia memakan


keratan daging mayat yang sejenis. Hal ini dapat menjadi tema
minor, tepatnya pada babak 1-3, bahwa tidak bermoralnya manusia
yang memangsa jenisnya sendiri. Tetapi Cannibalogy bukan hanya
menggambarkan memakan daging manusia yang sudah meninggal.
Naskah ini juga memberikan makna lain, seperti berikut ini.

Ki Butho : […] Setiap kali nasibmu membaik, kau harus kembali


ke Bengawan Solo. Memberi makan sungai besar ini. Bukan
dengan darah ayam, Suhar. Kau harus memberi makan
Bengawan Solo dengan darah segar yang sesungguhnya. Satu
kepala baru untuk setiap kali alam mengangkatmu ke derajat
lebih tinggi.6

4
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Referensi, 2012), h. 63.
5
Benny Yohanes, Cannibalogy, (Bandung: Republik, 2008), h. 3.
6
Ibid., h. 6.
42

Penduduk 1 : Banyak keluarga kami dibunuh, karena


perintahnya.7 […]
Tahanan : […] Tanah-tanah kami kalian rebut. Penduduk Jawa
kalian ajari mabuk dan berzina! Perempuan-perempuannya,
kalian jadikan sundal! Dan lelakinya yang bodoh kalian suap
jadi serdadu boneka! […]8
Penggalan percakapan di atas memberikan gagasan baru, bahwa
Cannibalogy bukan hanya memakan daging mayat manusia, tetapi
juga memakan hak manusia yang hidup. Dialog-dialog di atas
merupakan potret hasil perbuatan Suhar, salah satu tokoh
pemimpin dalam naskah Cannibalogy. Tema minor dalam naskah
Cannibalogy selanjutnya yaitu merampas yang bukan haknya.
dialognya pun digambarkan, bahwa penduduk pribumi dirampas
moralnya dengan perempuannya yang dijadikan sundal dan
lelakinya dijadikan budak.
Pemakan segalanya yang hidup dan mati tanpa melihat jenis,
bentuk, atau rasa sekalipun. Tidak memandang dari kalangan
berada, seorang pemimpin, atau pun rakyat biasa, semua bisa
melakukan praktik kanibalisme untuk alasan tertentu yang pastinya
merugikan orang lain.
Landless : […] Perluas Kramat Tunggak. Bikin sensus untuk
pendatang. Usir semua laki-laki yang bersunat. Kapalkan
sampai Selat Sunda, en karamkan di sana.Tempatkan pedagang
yang berjanggut di daerah malaria. Biarkan tanpa obat. Ijinkan
orang Tionghwa berdagang di luar benteng. Ijinkan mereka
berjudi. Tarik pajak. En...Hoffmann, ganti komisaris itu dalam
dua pekan.9
Dialog Lendless merupakan sikap manusia yang ingin berkuasa.
Menguasai pulau Jawa dengan melakukan cara yang tidak
manusiawi, apalagi ditambah ketidakpeduliannya terhadap nasib
orang pribumi. Manusia yang ingin berada di puncak keagungan,
namun dengan sadar menjadikan orang sekitarnya sebagai pijakan.

7
Ibid., h. 64.
8
Ibid., h. 36.
9
Ibid., h. 18.
43

Dialog berikut menambah contoh sifat manusia yang tamak.


Ketamakan ini juga menjadi tema minor dalam naskah
Cannibalogy.
Dari hal-hal negatif sebagai tema minor naskah ini, terdapat
tokoh-tokoh perempuan yang muncul disetiap ceritanya dan
memiliki pengaruh besar bagi tokoh lainnya. Misalnya tokoh Mbok
Tirah, seorang ibu yang muncul dengan nasihat dan petuahnya.
Mbok Tirah : o…Nang… Wetonmu iku Seloso Kliwon. Kamu itu
cocoknya ya berdagang. Itu sudah garis hidupmu.10

Orang tua sebagai guru utama bagi seorang anak. Nasihat-


nasihat yang diberikan adalah untuk kebaikan. Selain itu terdapat
tokoh yang bernama Sinta Salim, ia pun muncul dalam setiap
klimaks yang terjadi di naskah ini. Kemunculannya memiliki
pengaruh besar, seperti berikut:
Ki Butho: Perempuan ini istimewa. Pamornya lebih bercahaya
dari cahayamu. Perempuan ini akan memberi jalan untuk
mengubah derajatmu.11

Dialog di atas membenarkan pepatah bahwa di balik kesuksesan


seorang laki-laki, terdapat perempuan hebat yang mendampinginya.
Sinta Salim memiliki daya tarik bukan hanya parasnya yang cantik,
melainkan ia pun pandai meracik tuak dan tangguh di medan
perang. Ia menjadi pemimpin perang kaum perempuan. Tanpanya
Suhar tidak akan bisa mengubah derajatnya menjadi (penguasa)
yang lebih baik. Hal ini termasuk ke dalam tema minor, bahwa
siapa pun (laki-laki dan perempuan) memiliki kapasitas yang sama.
Secara keseluruhan yang menjadi unsur pembangun dalam
keseluruhan isi cerita serta menjadi tema utama dari naskah drama
Cannibalogy karya Benjon yaitu “ketamakan”. Manusia yang
memiliki sifat tamak akan mengandalkan segala cara untuk

10
Ibid., h. 2.
11
Ibid., h. 27.
44

memperoleh apa yang diinginkannya, dan tidak akan pernah puas


atas apa yang didapat. Sehingga secara terus menerus memikirkan
cara bagaimana mendapatkan hal yang lebih dan lebih. Cara yang
dilakukan menjadi hal wajar meskipun itu menyikut, menginjak,
merampas hak orang lain.
b. Amanat
Naskah drama memiliki pesan atau amanat dalam keseluruhan
cerita. Amanat yang diberikan pengarang biasanya berupa pesan
moral yang dapat diterapkan oleh pembaca. Amanat merupakan
opini, kecenderungan, dan visi pengarang terhadap tema yang
dikemukakannya. Amanat dalam drama dapat terjadi lebih dari
satu, asal kesemuanya itu terkait dengan tema.12
Benjon dalam naskah ini memberikan beberapa pesan untuk
penikmat karyanya. Di antaranya:

Mbok Tirah : Jangan putus asa. Gusti Allah sing dhuwe


kuasa.[...]13

Sosok ibu yang memotivasi anaknya agar terus berusaha untuk


mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Ibu menjadi tauladan
bagi anak, motivasinya untuk selalu meningkatkan kualitas anak
terutama pada segi psikologis anak yang akan mempengaruhi
dalam membangun pembentukan intelegensi, spiritual, serta
kepribadian ke arah lebih baik.14
Mbok Tirah memotivasi Suhar agar tidak putus asa, dan terus
berusaha, serta memberikan pesan religius supaya terus meminta
dan berdoa kepada Allah. Sebagai manusia harus terus berusaha,
sebagaimana terkandung dalam surat Ar-Ra‟ad ayat 11 yang
berbunyi “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu

12
Hasanuddin, Drama: Karya Dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa, 1996), cet. 1, h.
103.
13
Ibid., h. 2.
14
Fathiyaturrohmah, “Ayat-ayat Tentang Peranan Ibu dalam Pendidikan Anak”, Jurnal
Elementary, Vol. 2, 2014, h. 83.
45

kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada
pada diri mereka”.
Selain itu, terdapat pesan moral yang disampaikan Benjon lewat
dialog tokoh Ageng Rais, seorang pemimpin di Mojokuto.

Mas Ageng : […] Orang ini miskin. Begitu juga pikirannya. Dia
tidak hormat pada jasad orang mati, karena dia merasa harus
bertahan hidup. Tak ada orang lain memberinya jalan keluar.
Dia mencari jalan keluar di dunia orang mati. Pikirannya
menjadi bagian dari kematian itu juga. Tapi orang ini berkeras
hati ingin hidup. Kalau dia mau hidup, dia harus berpikir
seperti orang hidup. Dia harus patuh pada hukum.
[…] Di dunia orang hidup, menghukum bukan menyakiti. Juga
bukan untuk menghabisi. Menghukum itu, menyembuhkan […]15
Seorang pemimpin dapat menggunakan sikap, naluri, dan
kepribadiannya yang mampu menciptakan suatu keadaan lebih baik
dengan keputusannya. Pemimpin seharusnya bersikap adil dalam
memberi keputusan, tidak melihat pada suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).

Pesan moral dari dialog Ageng Rais, bahwa kita harus


menghargai yang hidup dan yang mati. Manusia yang hidup harus
patuh pada norma-norma yang berlaku di tempat ia hidup. Jika ia
melanggar maka harus diberikan hukuman yang sesuai. Mengapa ia
dihukum, karena perbuatannya yang menyimpang, ada kesalahan
yang dilakukan. Dengan demikian, hukuman yang pantas adalah
memperbaiki sikapnya agar tidak menyimpang, agar menjadi orang
lebih baik. Ageng Rais pun digambarkan sebagai pemimpin yang
adil, yang mendengarkan keluh kesah orang yang dipimpinnya.
Keputusan yang ia ambil mampu melerai kericuhan yang sedang
terjadi, menenangkan, dan memusyawarahkannya. Pemimpin
seyogiyanya harus tegas.

15
Benny Yohanes, op. cit., h. 13.
46

Selain bersikap adil kepada penduduknya, Ageng Rais


memberikan pesan humanisme, dengan memberikan ruang dan
kesempatan yang sama kepada kaum perempuan.

Sinta Salim menarik kain panjangnya, lalu ujungnya diselipkan ke


pinggang. Dia memasang busur dan anak panah.

Sinta Salim : (Berteriak nyaring) Cantrik Dalem! Bela Mojokuto!

Dari arah lain masuk belasan perempuan, siap dengan panah dan
busur. Sinta Salim berjalan ke luar pendopo, diikuti belasan
perempuan itu.16

Sinta Salim memimpin pasukan perang yaitu pasukan Cantrik


Dalem. Dapat dilihat adanya kesetaraan dan kesempatan bagi
perempuan menjadi pemimpin perang. Seperti yang dikatakan Mill
dan Taylor, bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan
seksual, atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberikan
perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang
sama yang dinikmati oleh laki-laki.17

Secara menyeluruh, amanah yang didapat dari naskah drama ini


memusatkan pada sosok seorang pemimpin yang harus adil dan
bermoral. Mengingat semua manusia memiliki hak dan kewajiban.
Dan percaya bahwa semua perbuatan baik atau pun buruk, akan
mendapatkan ganjarannya.

2. Tokoh/Penokohan dan Perwatakan


Setiap tokoh memiliki karakter masing-masing. Perbedaan penokohan
dengan perwatakan yaitu, jika penokohan adalah proses menampilkan
tokoh yang menciptakan citra kepada tokoh tersebut lewat dialog-dialog,
sedangkan perwatakan adalah simpulan hasil dari penciptaan tokoh
(penokohan) dan menjadikan tokoh tersebut memiliki sifat batiniah yang
akan mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku menjadi ciri khas
tokoh tersebut dalam cerita.
16
Ibid., h. 16.
17
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, (Yogyakarta: JALASUTRA, 1998), h. 23.
47

Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk membangun sistem


penokohan di antaranya; penamaan, pemeranan, perwatakan, dan
tindakan. Keempat tahapan ini akan dipaparkan penulis secara rinci dan
langsung dikaitkan kepada tokoh yang akan dibahas, yakni Sinta Salim,
Mbok Tirah, Perempuan Kali Solo, dan Perempuan Penduduk.

a. Penamaan

Naskah ini memiliki 25 tokoh, terdiri dari 4 tokoh perempuan dan


21 tokoh laki-laki. Tokoh-tokoh tersebut diberi nama: Sinta Salim,
Mbok Tirah, Perempuan Kali Solo, Perempuan Penduduk, Suhar,
Suman, Ki Butho, Ageng rais, Landless, Kuro, Sentolo, Daeng, Kebo,
Hoffman, Minke, Kerpo, Linggar, Suto, Solih, Amir, Yusuf, Djono,
Kulit Putih, Pasukan Serdadu.

Penamaan dalam sebuah naskah drama dimaksudkan untuk


memudahkan pembaca dan pelakon ketika membawakan drama ini.
Selain itu, nama yang diberikan pengarang biasanya memiliki pesan
moral terhadap nama tersebut. Bisa juga sebagai sindiran atau kritikan
untuk orang yang namanya digunakan. Nama tokoh dalam suatu karya
sastra kerap kali digunakan untuk memberikan ide atau menumbuhkan
gagasan, memperjelas serta mempertajam perwatakan tokoh.18
Contohnya tokoh dengan nama Sinta Salim dan Suhar.

Suhar: […] Aku bisa kuasai ini nusantara, kalau Sinta Salim
bisa kumiliki. Aku sudah telusuri daripada silsilah keluarganya.
Sinta Salim itu keluarga dari super-taipan. Kelurganya kuasai
hampir delapan puluh prosen jaringan bisnis Asia. […] 19
Dilihat dari namanya terdapat nama Salim di belakngnya dan
biasanya nama belakang adalah identitas keturunannya. Salim, nama
ini menjelaskan sosok Liem Sioe Liong, beliau adalah pengusaha
muda yang berkaprah di Indonesia dan memiliki banyak perusahaan,
18
Albertine Minderop, Metode Karakteristik Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 8.
19
Benny Yohanes, op. cit., h. 46.
48

diantaranya Bank BCA, pabrik sabun, pabrik tekstil di Kudus, PT


Mega sebagai pengimport cengkeh, dan lain-lain.20 Kutipan di atas
menggambarkan kalau Sinta Salim berada pada strata ekonomi
menengah ke atas. Keluarga Salim yang dimaksud yaitu Liem Sioe
Liong.

Dialog tokoh Suhar di atas, memperlihatkan bagaimana ia


menginginkan Sinta Salim sebagai alat dan kunci kejayaannya, karena
dengan kekayaan yang dimiliki Sinta Salim mampu membawa
perubahan baginya. Penamaan tokoh Suhar di dunia fiktif yang dibuat
penulis mempertajam sosok yang memang memiliki kaitan dengan
keluarga Salim di dunia fakta atau real, yaitu menggambarkan sosok
Suharto. Suharto yang memang memiliki kaitan bisnis dengan keluar
Liem pada masa jabatannya memimpin Republik Indonesia pada
tahun 1967-1998.

Tokoh Mbok Tirah, penamaan ini diberikan penulis menggunakan


ciri khas panggilan pada daerah tertentu yaitu berasal dari Jawa.
Sebutan Mbok, memang digunakan untuk panggilan kepada seorang
ibu, baik ibu biologisnya mau pun kepada ibu yang usianya lebih tua.
Tirah sendiri dalam bahasa Jawa berasal dari kata Turah yang artinya
sabar. Penulis sudah memberikan gambaran untuk karakter tokoh
Mbok Tirah yang terlihat dari penamaannya. Sosok ibu yang sabar, ya
memang pada umumnya pun seorang ibu digambarkan dengan sifat
keibuannya: sabar, lembut, dan penuh kasih sayang.

Penamaan untuk tokoh Perempuan-perempuan Kali Solo, sangat


jelas bahwa penulis menggarisbawahi tempat pada penamaannya,
yaitu Kali Solo. Perempuan-perempuan ini memang selalu berada di
tempat tersebut sesuai penamaanya. Tempat ini di dalam naskah
merupakan tempat lokalisasi, tempat mencari uang dan kesenangan.

20
HZW, “Liem Sioe Liong 1916-2012 dari Cengkeh Sampai BCA”, Jurnal Budaya
Tionghoa dan Sejarah Tionghoa, 2012, h. 3.
49

Tokoh perempuan terakhir diberi nama Perempuan Penduduk.


Berisikan perempuan-perempuan yang berperan sebagai budak.
Perempuan penduduk berisikan perempuan-perempuan yang tinggal di
tempat tersebut dan asli dari daerah yang mereka tempati ini.

Sekumpulan perempuan yang dibuat menjadi satu sebutan ini


memiliki watak yang sama dengan peremprempuan sekelompoknya,
sehingga memudahkan penulis dan pembaca mengetahui karakter
yang diciptakan. Pada dasarnya pemberian nama pada tokoh dalam
naskah drama Cannibalogy dapat melukiskan karakteristik yang
membedakannya dengan tokoh lain.

b. Pemeranan

Tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang untuk dapat membangun


persoalan dan menciptakan konflik-konflik, biasanya melalui peran
yang harus mereka lakukan. Setiap tokoh biasanya memiliki beberapa
peran tergantung interaksi yang dijalani. umumnya selalu hadir
berpasangan dengan peran lain dalam bentuk suatu permasalahan atau
konflik. Berikut ini empat tokoh perempuan yang akan dipaparkan
beserta perananya dalam naskah.

1) Sinta Salim

Perannya sebagai seorang selir dari pemimpin Mojokuto yaitu


Ki Ageng Rais.

Mas Ageng muncul. Sosoknya pendek, berkulit hitam,


alisnya setebal kumisnya. Tubuhnya berisi. Di bahunya
menclok seekor iguana, yang selalu dielusnya. Mas Ageng
masih mengunyah sirihnya. Sinta Salim, selir Mas Ageng,
seorang perempuan peranakan, membawakan
21
tempolong.

21
Benny Yohanes, op. cit., h. 8.
50

Dapat dilihat dari kutipan di atas betapa mengabdinya ia sebagai


istri, dengan membawakan tempolong atau kaleng tempat untuk
meludahkan sirih yang dikunyah suaminya. Kutipan berikut pun
memperjelas peran Sinta Salim sebagai istri yang apik mengurus
dapur.

Sinta Salim : Cuma ada air dan sedikit ubi. Silakan.


Semoga nyenyak tidurnya.22
Tokoh Sinta Salim dan Ageng bertemu hanya di awal Babak 1
Fragmen 2. Pada kutipan di atas menjadi dialog yang
mempertemukan Sinta dengan Suman dan menjadi awal
percakapan mereka.

Mas Ageng : […]Maka, kau harus bekerja merawat


seluruh makam di tanah Mojokuto. […]23
Suman ; Akan kujaga seluruh makam. Akan kurawat yang
hidup, dan yang mati.24
Dalam kutipan di atas secara tidak langsung Sinta telah menjadi
tanggung jawab Suman untuk dilindungi. Namun peran Sinta Salim
bukan hanya sebagai istri/selir dengan perananya yang pandai
mengurus dapur, ia pun memiliki peran lain.

Sinta Salim menarik kain panjangnya, lalu ujungnya


diselipkan ke pinggang. Dia memasang busur dan anak
panah.
Sinta Salim : (Berteriak nyaring) Cantrik Dalem! Bela
Mojokuto!25
Kutipan di atas memperjelas perannya sebagai pemimpin perang
untuk pasukan Cantrik Dalem, pasukan yang berisikan sekelompok
perempuan. Peran Sinta Salim bukan hanya sebagai perempuan
yang feminim dengan hal domestic yang dilakukannya sebagai

22
Ibid., h. 22.
23
Ibid., h. 13.
24
Ibid., h. 15.
25
Ibid., h. 16.
51

istri, perannya juga sebagai perempuan maskulin yaitu sebagai


pemimpin perang.

2) Mbok Tirah

Peranannya adalah sebagai ibu yang memiliki seorang anak


bernama Suhar. Dialog Mbok Tirah sebagian menggunakan bahasa
Jawa memperjelas keberadaan mereka yaitu di Jawa.

Mbok Tirah : Jangan putus asa. Gusti Allah sing dhue


kuasa. Pergi ke desa lain, suhar. Coba lagi. Pasti laku
daganganmu […]
Kutipan di atas menujukan peran Ibu sebagai pemberi semangat
dan penasihat yang membawa kebaikan. Peran biologis ini
menjadikan Mbok Tirah layaknya ibu pada umumnya yang
mengasuh dan mendidik, serta di Cannibalogy seorang ibu pun
menjadi pengingat, penasihat, penyemangat, dan tempat pulang
atau berteduh bagi seorang anak.

3) Perempuan Kali Solo

Tokoh ini merupakan kumpulan dari perempuan peranakan yang


berperan menjadi pekerja seks sebutan di naskah yaitu sundal.
Sundal umumnya berpakaian ketat, wajah berpoles riasan agar
lawan jenisnya tertarik ketika melihat mereka.

Perempuan 2 :(Bergerak erotis di hadapan Suman) Ayo


dong mas. Daging-daging kita akan mengobarkan
semangat perjuangan.
Suman : (Tenang. Mata tajam) Aku makan dagin mentah.
Daging seperti dagingmu.
Gerakan gemulai perempuan ini salah satu cara untuk mencuri
perhatian mangsanya. Dari kutipan di atas dapat diketahui mangsa
itu bernama Suman. Para sundal di dalam naskah dipasangkan
hanya dengan tokoh Suman. Pertemuan tokoh Suman dan para
sundal terjadi karena perintah dari Ki Butho, guru spiritual Suhar.
52

Ki Butho : […] Telanjangi Suman. Dia akan mati dengan


sengsara. Setiap pelacur di Mojokuto akan merajamnya.
Seluruh tetelan daging dan jeroannya akan berceceran
dari Bantam hingga Banyuwangi. Itu akan jadi peringatan
untuk siapapun yang menentang kekuasaanmu.
Suhar :[...] Borgol si Suman. Aku mau semua sundal Kali
Solo merajamnya.26
Perintah Suhar pada pasukanya agar memberi hukuman bagi
siapapun yang menentang dan menghalangi geraknya menjadi
penguasa. Sundal dalam naskah ini tidak lagi berperan sebagai
pemuas hasrat, mereka berperan sebagai perempuan-perempuan
bengis yang siap menghukum tersangka sampai mati dengan cara
merajamnya. Seperti halnya seorang algojo.

4) Perempuan Penduduk

Perempuan Penduduk, tokoh ini berisikan perempuan-


perempuan tua yang dialognya terdapat pada babak 4 fragmen 1,
mereka berperan sebagai budak di pasukan Suhar.

Hari yang lain. Malam hari. Tepi Bengawan Solo.


Gamelan dibunyikan. Perempuan-perempuan tua
bersimpuh di tanah.
Sebagai budak, perempuan-perempuan tua ini tidak memiliki
tempat yang layak, duduknya saja dengan posisi yang sangat
rendah, padahal para perempuan budak ini tinggal di tanah
kelahirannya sendiri, tapi mereka malah menjadi budak. Seperti
tokoh sundal, budak perempuan biasanya berasal dari lapisan
masyarakat yang paling miskin. Mereka tidak berada pada posisi
dapat bernegosiasi atau dapat mengajukan tuntutan apa pun.27 Jika
tidak ada perintah untuk mereka bergerak, para budak akan terus
bersimpuh di tanah.

26
Ibid., h. 48.
27
Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan Di Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007), h. 36.
53

Sinta Salim :Berikan padaku, perempuan-perempuan


Mojokuto ini, menemaniku membersihkan diri. Jauhkan
tentara dariku.28
Bahkan ketika Sinta meminta perempuan budak untuk
menemaninya, mereka tidak akan melakukannya kecuali pemimpin
mereka yang memberikan perintah. Mereka seperti ini karena
miskin, tidak menguntungkan, dan tidak memberikan pengaruh
bagi sang penguasa atau pemimpinnya. Jika perempuan penduduk
tidak manut pada pemimpinnya, berarti mereka memilih untuk
mengakhiri hidupnya.

c. Perwatakan/Penokohan
Penokohan dapat ditentukan dari dua segi yaitu perwatakan dan
perkembangan perwatakan. Berdasarkan perwatakan, terdiri dari
tokoh sederhana dan tokoh kompleks. Sedangkan berdasarkan
perkembangan perwatakan tokoh, terdiri dari tokoh statis dan tokoh
berkembang. Penokohan keempat tokoh perempuan di naskah ini
dapat ditentukan dari segi tersebut.
1) Sinta Salim
Sinta Salim adalah seorang perempuan peranakan Tioghoa yang
berpenampilan sederhana, menarik, dan berkepribadian tangguh.
Tokoh Sinta Salim merupakan tokoh yang mendominasi setiap
bagian cerita dan peristiwa.
Muncul Sinta Salim. Perempuan muda berkulit putih,
bermata lancip.
Suman : Ini dik Sinta salim. Selir Mas Ageng. Sejak awal
ikut kami, masuk hutan melintasi sungai, berjuang
bersama membela Mojokuto.29
Sinta Salim sebagai perempuan masa kini, yang memiliki
kebebasan memilih jalan hidupnya sendiri. Ia sosok yang mandiri,
tingkah lakunya mencerminkan kepribadian yang dinamis dan

28
Benny Yohanes, op. cit., h. 56.
29
Ibid., h. 22.
54

cerdas. Pilihan hidup yang dijalaninya merupakan tantangan dan


perjuangan yang harus ia hadapi.
Sinta Salim : Aku akan setia pada tanah ini. Tanah yang
tidak melahirkanku tapi mengikat batinku.30
Tokoh Sinta bukan berasal dari Mojokuto seperti dialog di atas,
tapi berasal dari keluarga taipan peranakan Tionghoa yang kaya
raya. Mojokuto merupakan nama daerah di Pulau Jawa. Meskipun
Mojokuto bukan tempat asalnya, namun ia begitu mencintai tempat
yang memberikan kehidupan baginya. Ia dinikahi oleh
pemimpimnya yaitu Ageng Rais.
Sinta Salim : Suman, Karena gubukmu dipakai untuk
tamu, tidurlah di beranda gubukku. Aku akan tidur lebih
malam. Aku buatkan panah baru untukmu.31
Sinta Salim ; […] Suman, aku menyulam sepasang sapu
tangan. Simpanlah satu di tanganmu.32
Kepandaiannya bukan hanya melulu mengurusi masakan, Sinta
pun pandai menyulam dan membuat anak panah untuk berperang.
Sebagai perempuan ia memberikan contoh bahwa perempuan
berhak untuk bersuara dan bertindak dalam situasi apapun, bahkan
disaat genting sekalipun,
Suhar : (kepada Sinta Salim) Saya akan menkahimu. Ini
bukan pilihan.
[…] Sinta Saim : (membuka kebayanya, tampak seluruh
perutnya dilekati lilitan bom) Syaratku satu: […] kau
harus makan daging Suman di depan mataku. Tujuh kerat
daging mentah yang masih berdarah. Dan satu dentum
meriam untuk kerat yang kau makan. Itu mas kawin yang
kuminta. Kau menolak, segera kutarik pemicu, dagingku
pasti hancur dan kepahitanmu abadi. 33
Sinta Salim dalam naskah ini dihadapkan pada suatu pilihan
yang tidak ia inginkan, yaitu menikah dengan tokoh Suhar. Namun
karena keinginan Sinta Salim tidak mau dinikahi oleh Suhar
diacuhkan bahkan ia tidak memiliki pilihan lain selain

30
Ibid., h. 56
31
Ibid., h. 23.
32
Ibid., h. 24.
33
Ibid., h. 54.
55

menerimanya. Tapi ia tidak menyerah, tetap pada pendiriannya.


Maka ia memilih mengorbankan dirinya. Semua yang ia lakukan
adalah haknya sebagai perempuan.
Sinta Salim merupakan tokoh perempuan yang paing banyak
muncul dibandingkan tokoh perempuan lainnya, ia memiliki 26
dialog dalam naskah dan sering muncul setiap babak. Tokoh Sinta
dibahas dari berbagai sisi yaitu sisi kehidupannya, kepribadian dan
jati dirinya. Ia menampilkan watak dan tingkah laku yang
bermacam-macam. Berdasarkan peristiwa dalam naskah
Cannibalogy, Sinta Salim merupakan tokoh central yang dapat
digolongkan sebagai tokoh kompleks dan tokoh berkembang.
2) Mbok Tirah
Mbok Tirah merupakan sosok ibu yang baik, selalu ada dan
menjadi penyemangat untuk anaknya. Mbok Tirah pun juga
sebagai ibu yang penyabar, pantang menyerah, selalu menjadi
pengingat dan penasihat bagi anaknya jika terjadi kesalahan.
Kemunculan tokoh ini hanya memiliki 17 dialog di dalam naskah
dan tidak banyak muncul, Mbok Tirah hanya ada di babak 1
fragmen 2, babak 3 fragmen 3, dan babak 4 fragmen 4.
Mbok tirah : Jangan putus asa. Gusti Allah sing dhuwe
kuasa. Pergi ke desa lain suhar. Coba lagi. Pasti laku
daganganmu.34
Beberapa saat setelah pasukan Suhar berlalu, muncul
Mbok Tirah, dengan gembolan besar di punggungnya,
barang-barang kelontong yang dulu pernah dibakar
Suhar.35
Mbok Tirah, dengan gembolan barang kelontong hangus
di punggungnya, menemani Suhar.
Suhar : Hampir tujuh ratus hari tanah Jawa saya gali.
Kira-kira sudah sampai mana ya mbok?
Mbok Tirah : Ini baru gunung Wates, nang.
Suhar : Aku harus sampai Bantam Kulon.

34
Ibid., h. 3.
35
Ibid., h. 48.
56

Mbok Tirah : Sudah dekat. Kira-kira dua bukit lagi,


sampai kita di Bantam Kulon.36
Kutipan di atas memberikan gambaran pada penjelasan di awal.
Betapa sabarnya sosok ibu dalam naskah ini. Ia selalu membawa
barang-barang anaknya, tidak pernah berhenti mencarinya untuk
sekadar memberi tahu bahwa anaknya salah jalan. Orang yang
tidak pernah pergi dan selalu menyayangi adalah ibu. Ada pepatah
bahwa orang tua telah merasakan asinnya garam lebih dulu
dibandingkan anaknya, maka Mbok Tirah menjadi orang yang
serba tahu bagi Suhar. Dalam dialog di atas, ibu bagaikan petunjuk
dan tempat berlabu bagi anak-anaknya.
Tokoh Mbok Tirah jika dilihat dari kemunculan dan dialognya,
tidak menunjukkan perkembangan perwatakan dan kehadirannya
ada karena berkaitan dengan tokoh Suhar. Maka Mbok Tirah
trmasuk tokoh yang statis di mana tokoh tersebut tidak mengalami
perubahan atau perkembangan perwatakan. Berdasarkan
perwatakannya, Mbok Tirah hanya memiliki satu kualitas pribadi
tertentu atau satu watak saja yaitu penyabar.
3) Perempuan Kali Solo
Kehadiran Perempuan Kali Solo sebagai penghibur para lelaki
hidung belang yang berkunjung ke Kali Solo. Mereka memilik tarif
seperti yang dikatakan Lendless pada dialog berikut:
Landless : […] Hoffmann, seggera bangun banyak
penginapan sepanjang Kali Solo. Ambil banyak
perempuan muda dari Dermayon dan Surabaya. Bebaskan
pajak untuk para pedagang. Tapi biarkan mereka
membayar perempuan-perempuan melayu itu dengan
harga yang pantas.37
Perempuan-perempuan yang dijadikan PSK diambil dari
perempuan peranakan yang tinggal di Surabaya dan Indramayu
(Dramayon sebutan pada masa kolonial). Memang, dalam sejarah

36
Ibid., h. 67.
37
Ibid., h. 19.
57

pun perempuan yang banyak dijadikan pelacur berasal dari kota


tersebut.
Di latar depan, tampak wanita dan pria berpasangan,
sedang berbincang genit dan cekikikan. Mereka adalah
PSK Kali Solo dan pelanggannya. Dari arah lain, tiga
empat perempuan dengan dandanan dan rias yang
mencolok, dalam balutan kain kebaya ketat […]
Perempuan 1 : Plesir, mas. Cobain kita-kita.
Perempuan 3 : Saestu, mas. Kita ini wong cilik. Rejekinya
kecil. Mbok sekali-sekali dipake. Kasih persen yang gede.
Iya tho mas?! Cobain kita ya. 38
Dialog di atas menggamarkan bagaimana mereka begitu lincah
merayu lelaki yang lewat atau pun memang yang sengaja datang ke
tempat lokalisasi, Kali Solo. Mereka tidak memiliki keinginan
untuk mengubah hidupnya lebih baik, Sebab memang seperti itulah
nasib yang harus dilakoni dan tidak ada pilihan lain.
Sundal Kali Solo berasal dari orang-orang berekonomi sangat
lemah, pada umumnya mereka dianggap sebagai hal yang negatif,
tidak bermoral, dan rendahan. Namun penggambaran sundal di
naskah ini bukan hanya sebagai penjual kenikmatan, Benjon
memberikan kekuatan lebih bagi sundal-sundal ini. Kehadiran
mereka penting sekali sebagai pemberi hukuman bagi yang tidak
patuh pada pemimpinnya.
[…] yang nimbrung 2 : orang ini gembongnya
gerombolan.
Yang nimbrung 3 : Timpuk aja pakai! Lempari batu!
Boleh kok. Begitu kata orang militer.
Seluruhnya mulai melempari Suman dengan batu.39
Penggalan dialog di atas gambaran aksi mereka merajam Suman
dengan batu sebagai reaksi kekesalan mereka untuk pembuat onar.
Suman tidak patuh pada perintah Suhar yang kala itu menjadi
pemimpin di Kali Solo.
Tokoh ini memiliki dua watak yang berkembang, dari seorang
perempuan manis dan lembut menjadi perempuan yang tegas, keras

38
Ibid., h. 49.
39
Ibid., h. 50.
58

hati atau sangar, dan pemberani. Perempuan Kali Solo termasuk


dalam kelompok tokoh yang berkembang. Namun, tokoh ini tokoh
yang tipikal, yakni tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualnya dan lebih banyak ditonjolkan pekerjaan atau sesuatu
yang lain dan bersifat lebih mewakili dirinya.
4) Perempuan Penduduk
Tokoh yang diberi nama Perempuan Penduduk berisikan Mbok-
mbok yang menjadi budak. Perempuan-perempuan ini diambil dari
penduduk asli Mojokuto dari kalangan miskin dan tidak
berpendidikan. Budak perempuan biasanya berasal dari lapisan
masyarakat yang paling miskin. Mereka tidak berada pada posisi
negosiasi atau dapat mengajukan tuntutan apa pun.40
Sinta Salim : Berikan padaku, perempuan-perempuan
Mojokuto ini, menemaniku membersihkan diri. Jauhkan
tentara dariku.
Diiringi bunyi gamelan, delapan perempuan tua bangkit,
mengiringi Sinta Salim menuju tepi Bengawan Solo.41
Sebagai budak seperti dialog di atas, mereka tidak bisa bersikap
sesuka hatinya, perempuan penduduk hanya bisa menurut dan
mematuhi segala perintah pada orang yang memiliki kekuasaan.
Sama halnya seperti perempuan Kali Solo, mereka tidak punya
pilihan lain, daripada mereka mati dan benar-benar tidak berguna.
Pasukan Olanda menjadikan perempuan-perembuan pribumi ini
sebagai pembantu atau budak.

Perempuan 2 :Nyai nyilem kali, badannya tak kembali.


[…] Suhar : Amir, Yusuf. Tak boleh ada yang tahu berita
ini! Kontrol surat kabar!
Amir : Perempuan-perempuan ini bisa kasih informasi.
Kita apakan?
Suhar :Hemmh! Mereka pantas jadi tumbal untuk kesialan
ini. Habisi!
Amir :(Perintah kepada perempuan-perempuan tua) Ayo
mbok, ke kali!

40
Tineke Helwig, op. cit., h. 36.
41
Benny Yohanes, op. cit., h. 56.
59

Bersamaan dengan itu, terdengar rentetan letusan


senapan. Erangan perempuan-perempuan tua, meregang
nyawa.42
Keadaan para budak sangatlah tertekan. Hidupnya mau tidak
mau harus mengabdi pada orang yang tidak mensejahterakan. Jika
mereka melakukan kesalahan, maka nyawa merekalah yang
menjadi taruhannya. Tokoh seperti ini merupakan tokoh sederhana
yang memiliki satu watak dalam cerita, dan watak dari tokoh ini
ialah lemah, pasrah, dan tak berdaya.

3. Alur
Naskah Cannibalogy memiliki 4 babak dan 22 fragmen. Babak
pertama dengan lima fragmen, babak kedua dengan 7 fragmen, babak
ketiga dan keempat masing-masing dengan lima fragmen. Berikut
tahapan alur dalam naskah Cannibalogy:

a. Tahap Situation
Tahap penyituasian, tahap yang pertama berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap
pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lainnya yang
berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap
berikutnya. Tahap penyituasian di naskah ini memiliki dua situasi
yang berbeda namun terjadi di waktu yang bersamaan. Situasi pertama
dalam tahapan penyituasian ini diawali dengan penggambaran situasi
di suatu tempat yang hampir semuanya tahu bahwa tempat ini
menyeramkan, yaitu kuburan.

Lewat tengah malam. Kuburan desa pinggiran Mojokuto.


Sebuah makam sedang digali. Dari tengah kampung, sayup-
sayup terdengar gamelan mengiringi adegan perang pada
pertunjukan wayang. Dari liang makam nampak sosok kepala
plontos sedang menggaruk tanah dengan kedua tangannya.
Dengus nafas dan suara gagak saling menimpal. Angin
kencang.

42
Ibid., h. 58.
60

Seonggok jasad dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos


memanggul jasad ke bahunya. Gerakannya sigap. Keringat
mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam
matanya.43
Dari kutipan di atas menyebutkan tempat kejadiannya yaitu di
Mojokuto. Desa ini memang benar adanya, bertempat di Jawa Timur.
Situasi pertama yang digambarkan yaitu situasi yang menyeramkan
dan mencekam, karena latar waktu terjadinya saja lewat tengah
malam, berarti sekitar jam 00:00-01:00, dan berlokasi di kuburan.
Situasi yang menyeramkan ini lebih kuat lagi karena di kutipan
tersebut diperjelas dengan suara dengus nafas dan suara gagak saling
menimpal. Dari kalimat tersebut kita dapat tahu betapa sunyi dan
menyeramkan situasi yang sedang terjadi. Selain penggambaran
situasi, terdapat pula penggambaran melalui ciri fisik yang
memperkuat keadaan. Contohnya, sosok kepala pelontos, dadanya
bidang, kulitnya coklat keruh, dan hitam matanya.
Alur kedua dalam tahap penyituasian ini menggambarkan situasi
batin seorang tokoh bernama Suhar dan ibunya Mbok Tirah. Suhar
tenggelam dalam keputus asaannya.
Tengah hari. Di tengah pasar yang sudah usai, sebuah tegalan
terbuka, desa Pring. Suhar menumpuk semua barang kelontong
jualannya, mematik api ke jerami kering, lalu membakarnya. Di
depan barang-barang kelontongannya itu, seorang ibu terisak
sambil bersimpuh.44
Situasi pada kutipan di atas dibuka dengan ekspresi rasa putus asa
yang dialami Suhar dan ibunya. Terjadi pada siang hari di pasar yang
biasanya memang sudah mulai sepi. Desa Pring pada kenyataannya
merupakan pasar yang berada di daerah Jawa Tengah. Pring itu sendiri
artinya bambu, di mana pasar Pring itu terletak di sebuah lahan yang
penuh dengan pohon bambu.
Suhar hendak membakar dagangannya sebagai ekspresi rasa
kecewa pada nasib hidup yang menimpanya, dengan mengawali

43
Ibid., h. 1.
44
Ibid., h. 2.
61

membakar jerami yang akan memudahkan menghidupkan bara


menjadi api besar sehingga dagangannya akan cepat hangus terbakar.
Di balik perasaan pilu seorang anak ada seorang ibu merasakan hal
yang sama, karena ikatan batin anak dan ibu memang kuat. Mbok
Tirah mengekspresikannya dengan menangis lantaran sedih melihat
anaknya yang sedang terpuruk.
Perbedaan tahap penyituasian Suman dan Suhar yaitu, Suman
dengan harapan baru karena telah melakukan tahap awal untuk
mengubah nasibnya. Sedangkan Suhar dengan pupusnya harapan dan
mengalami kekecewan atas nasibnya.
Pengarang memperkenalkan kedua tokoh ini dengan penempatan
fragmen, tempat dan kejadian yang berbeda. Namun, keduanya
memiliki visi yang sama yaitu ingin mengubah nasibnya menjadi lebih
baik tetapi dengan misi yang berbeda. Informasi inilah melandasi
cerita pada tahap berikutnya.
b. Tahap Generating Circumstances
Tahap pemunculan konflik, masalah dan peristiwa yang menyulut
terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap
awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan
atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap selanjutnya.
Penyituasian yang dialami Suman berbeda dengan Suhar dan
memunculkan konfilik yang berbeda pula. Pertama kita akan melihat
bagaimana pemunculan konflik tokoh Suman.
Hari yang lain. Dekat hutan. Selewat subuh. Gubuk tua. Suman
sedang memakan daging. Asap mengepul. Belasan orang
bersenjata tajam menendap-endap mendekatinya dari arah
belakang. Segera orang-orang merangseknya.45
Tahap pemunculan konfliknya ketika mayat di tahap awal yang
dicuri Suman sedang dipersiapkan untuk disantap. Belum sampai
selesai memakan daging mayat sebagai syarat yang dapat mengubah
nasib, dia terciduk oleh penduduk setempat karena perbuatan yang

45
Ibid., h. 3.
62

tidak manusiawi dan menyalahi norma. Penduduk terlihat begitu


marah dan mebawa senjata tajam hendak membunuhnya Suman.
Sentolo: Matanya melotot terus. Seperti burung hantu. Nantang
dia. Ada setan di dagingnya. Kamu ini manusia apa binatang?!
(Sentolo menampar Suman. Meludahnya).
Daeng: Cukup! Makamkan kembali tulang-tulang Mbah Sirep.
Bawa orang ini ke pendopo. Mas Ageng akan memutuskan
nasibnya. Malam ini!
Kemarahan penduduk menjadi pemunculan konflik tokoh Suman
yang menyebabkan ia diberi hukuman oleh pemimpin Mojokuto dan
harapan Suman gagal.
Pemunculan konflik tokoh Suhar ketika ia mengambil jalan pintas
untuk memperbaiki nasib dan kemudian berguru dengan Ki Butho.
Namun rupanya tidak semudah yang dibayangkan, Suhar tetap harus
menjalankan syarat yang diberikan Ki Butho. Berikut kutipannya:
Ki Butho : (menempelkan ujung keris ke kepala Suhar) Kau dan
aku akan mengikat sebuah perjanjian. Setiap kali nasibmu
membaik, kau harus kembali ke Bengawan Solo. Memberi
makan sungai besar ini. Bukan dengan darah ayam, Suhar. Kau
harus memberi makan Bengawan Solo dengan darah segar yang
sesungguhnya. Satu kepala baru untuk setiap kali alam
mengangkatmu ke derajat lebih tinggi.46
Dari kutipan di atas dapat kita ketahui syaratnya adalah Suhar harus
memberikan tumbal untuk Bengawan Solo. Setiap keberhasilan Suhar
maka akan ada orang yang sengaja dibunuh untuk memenuhi
perjanjiannya. Sikap seperti ini merupakan perbuatan yang
menyimpang. Hal ini memunculkan konflik karena perbuatannya
dapat merugikan orang lain, dan jika syaratnya tidak dipenuhi hal
buruk yang akan menimpa Suhar.

c. Tahap Rising Action

Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin


berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-
peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengangkan

46
Ibid., h. 6.
63

dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal,


eksternal, ataupun keduanya, pertentangan, benturan
antarkepentingan, dan antar tokoh yang mengarah ke klimaks semakin
tak dapat dihindari.

Ki Butho : Perempuan ini istimewa. Pamornya lebih bercahaya


dari cahayamu. Perempuan ini akan memberi jalan untuk
mengubah derajatmu. Alam sedang membuka gerbang. Kita
akan membawanya sebagai umpan ke Mojokuto, demi
kekayaan.47
Kedua tokoh, Suman dan Suhar, bertemu pada satu situasi, karena
sorang perempuan, yaitu Sinta Salim. Suhar percaya apa yang
dikatakan gurunya bahwa dengan memiliki Sinta maka akan lebih
mudah mengubah nasibnya, sedangkan Suman telah jatuh hati pada
perempuan tersebut terlebih lagi ia harus menjalankan hukumannya
yaitu untuk menjaga seluruh Mojokuto termasuk Sinta.

Kini, di antara ayunan Suhar dan Ki Butho, menyembul ayunan


lain. Sosok tubuh perempuan tertelungkap lemah, seperti
tertidur. […] Tubuh perempuan yang berayun, lenyap disapu
kabut.48
Kutipan di atas merupakan keterangan yang ada di dalam naskah
dan menggambarkan bahwa Sinta Salim berhasil diculik oleh Suhar.
Suhar pun berhasil mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Dapat
dilihat dari kutipan beriku:

Lendless : well…Suhar, mulai 11 Maret, kau resmi panglima.


Kamu boleh tumpas habis semua gerombolan pengacau
keamanan zonder pengadilan. […] kerja baik, upahmu baik.
Dalam kutipan di atas Suhar dinaikkan pangkatnya menjadi
seorang panglima, dan Suhar semakin sangar.
Hal ini membuat Suman geram, emosinya memuncak. Ia langsung
membuat strategi merebut kembali Sinta Salim.

47
Ibid., h. 27.
48
Ibid., h. 28.
64

Suman : Kita tembus Solo. Lalu masuk Mojokuto! Sinta Salim


kita selamatkan. Apapun taruhannya!
Perbuatan Suhar telah memunculkan konflik baru. Ia mengundang
kemarahan Suman dan pasukan Mojokuto. Pertemuan kedua tokoh ini
akan menimbukan konflik lebih besar lagi. Suman dan pasukan
pribumi lainnya juga membuat strategi untuk menyelamatkan Sinta
Salim.

Kera putih memimpin menuju kursi Rahwana. Dan dengan


gerakan tusukan yang indah, sangkurnya menembus jantung
Lendless. Lendless meregang nyawa. Penonton gempar,
berhamburan mencari selamat. Tapi pasukan kera segera
menumpas mereka dengan sangkurnya. Seluruh pasukan
Olanda putus nyawanya. Opera Minerva amis baunya.49
Pasukan Suman menyerang pada waktu yang tepat. Kutipan di atas
menggambarkan pertumpahan darah yang terjadi pada tahapan ini,
terlihat bagaimana apiknya pasukan Suman bermain sambil berburu.
Suman berhasil menumpas pemimpin Suhar, Lendless, beserta
pasukan Olanda, dan yang terpenting Sinta Salim terselamatkan oleh
pasukan Suman. Tumbangnya Lendless menjadi masalah besar bagi
Suhar sebab ia kehilangan kekuasaan dan pasukan. Kemarahan Suhar
tidak terbendung yang mengakibatkan konflik bertambah menjadi
klimaks yang akan dipaparkan pada tahap berikutnya.

d. Tahap Climax

Tahap klimaks, konflik dan pertentangan-pertentangan yang terjadi,


yang dilakukan dan ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai
titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh
(-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya
konflik utama.

Tokoh Suhar mengalami emosi yang bergejolak karena kunci


kekuasaan yang dimiliki sudah tidak ada lagi. Lendless dan Sinta
49
Ibid., h. 44.
65

Salim telah jatuh ke tangan Suman. Hal itu membuat Suhar tidak bisa
tinggal diam dan memuncaklah kemarahannya yang menjadi tahap
klimaks di bagian berikut ini.

Ki Butho : (Mendekap bahu Suhar dari belakang. Serius.


Kejam) Rebut kembali Sinta. Bumi hanguskan Alas Puputan.
Telanjangi Suman. Dia akan mati dengan sengsara.50
Perintah sekaligus petunjuk dari guru spiritual pasti akan dijalankan
Suhar. Terlihat pada kutipan di atas, rencana Suhar untuk merebut
kembali Sinta Salim karena hanya perempuan inilah yang akan
mengubah nasibnya dan hanya Sinta harapan Suhar karena
pemimpinnya telah tumbang oleh serangan Suman. Pasukan Suhar
juga membuat strategi untuk merebut lagi Sinta Salim. Ia akan
menyerang Pasukan Suman, kemarahannya menjadi senjata bagi
Suhar.

Tahap klimaks terjadi pada babak 3 fragmen 4. Demi kekuasaan


Suhar tidak bisa berpikir jernih dan mengandalkan segala cara. Sinta
harus didapatkan dan perebut Sinta harus disingkirkan.

Suhar : Wanita itu urusanku. Borgol si Suman. Aku mau semua


sundal Kali Solo Merajamnya.51
Kutipan di atas adalah salah satu cara Suhar menyingkirkan Suman.
Perempuan-perempuan Kali Solo yang diberi mandat untuk
menghukum Suman.

Suhar : Hiiaaah!!! Marah. Geram. Gugup. Suhar menebas leher


Suman dengan kapak besarnya.52
Sampai pada puncak kemarahan Suhar, ia benar-benar mengakhiri
hidup Suman dengan cara yang kejam. Gambaran keganasan seorang
pemimpin yang tidak berprikemanusiaan dan menghalalkan segala
cara demi kekayaan dan kekuasaan terjadi di tahapan ini. Dan
50
Ibid., h. 47.
51
Ibid., h. 48.
52
Ibid., h. 52.
66

perbuatan Suhar yang biadab ini membuat Sinta Salim semakin marah
dan semakin enggan menikah dengan Suhar apalagi sampai
mewujudkan keinginannya untuk berkuasa.

Nasib Suhar kini ada di tangan Sinta Salim, karena dengan ia


mempersunting Sinta yang memiliki tahta dan kekayaan, maka ia akan
berhasil mewujudkan ambisinya. Sedangkan Sinta tidak akan mudah
begitu saja, meskipun ia tidak punya pilihan untuk tidak menikah
dengan Suhar. Namun, Sinta memiliki peran penting bagi Suhar dan
mau tidak mau Suhar harus menuruti keinginannya. Sinta sangat
memiliki peran bagi nasib Suhar selanjutnya yang akan dibahas pada
tahap terakhir yaitu tahap penyelesaian.

e. Tahap Denouement

Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi


penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain,
sub-konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan
keluar, cerita diakhiri. Tahapan ini berkesesuaian dengan tahap akhir
di atas.

Perlakuan Suhar sebagai pemimpin pasukan sangat tidak bermoral,


ia telah mengorbankan banyak nyawa termasuk Suman demi
mewujudkan ambisinya. Berikut ketegasan Suhar kepada Sinta Salim
untuk mematuhi perintahnya.

Suhar : (Kepada Sinta Salim) Saya akan menikahimu. Ini bukan


pilihan.
Sinta Salim : Kamu lemah. Pengecut. Aku berhak mendapatkan
yang lebih baik.
Suhar : Ini bukan pilihan. Sama sekali tak ada pilihan. 53
Sinta Salim terhimpit, terampas haknya. Dia terjebak dalam hal
yang tidak ingin dilakukan. Sinta tidak kehabisan cara menolak Suhar,
53
Ibid., h. 51.
67

ia mencoba menolaknya dengan memberikan persyaratan dan


ancaman pada Suhar jika ingin menikahinya.

Sinta Salim : (Membuka kebayanya, tampak seluruh perutnya


dilekati lilitan bom) Syaratnya satu: Apa yang telah kau
hinakan, itulah yang akan kau telan. Maka, kau harus makan
daging Suman di depan mataku. Tujuh kerat daging mentah,
yang masih berdarah. Dan satu dentum meriam untuk setiap
kerat yang kau makan. Itu mas kawin yang kuminta! Kau
menolak segera kutarik pemicu. Dagingku pasti hancur dan
kepahitanmu abadi!
Ancaman dan syarat yang memberatkan Suhar sengaja diberikan
oleh Sinta agar Suhar tidak bisa menikahinya. Meskipun sikap Sinta
membahayakan dirinya sendiri. Ia merelakan dirinya mati dari pada
hidup dengan orang yang tidak diinginkannya. Suhar bergeming
sejenak dan mantap memenuhi syaratnya.

Mayat Suman terbujur di atas meja beralas daun pisang, tepat


di depan perapian. Bagian kepala dan pinggang ke bawah
tertutup kain hijau tua. Di depan meja itu, sebuah kursi
bernuansa emas. Di tengah depan, sepasang kursi pengantin. Di
kursi sebelah kiri, Sinta Salim duduk tertunduk, berbusana
hitam keemasan. Suhar muncul dengan pakaian raja Jawa,
diiringi Ki Butho, berpakaian serba merah tua. […] Suhar
mulai mengerat mas kawinnya. Mantap dan tenang.54
Terlihat Sinta dalam keadaan murung dan terpuruk, terlihat dari
posisinya yang menunduk. Sedangkan Suhar dan Ki Butho sedang
merayakan hari kemenangannya, baju yang berwarna mencolok,
berlagak seperti raja sungguhan. Tekad Suhar sangat besar untuk
menguasai pulau Jawa, dia pun memenuhi persyaratan yang diberikan
Sinta. Bukan hanya keras kepala dan kejam, ia juga telah mati rasa
dan hilang akal sehatnya. Ia benar-benar memakan mentah daging
Suman yang masih berlumuran darah segar. Suhar benar-benar
dibutakan oleh ambisinya, dan sikapnya malah membuat Sinta

54
Ibid., h. 55.
68

pantang menyerah mempertahankan keputusannya untuk tidak


memenuhi keinginan Suhar.

Dari arah tepi kali, tiba-tiba terdengat jeritan. Perempuan-


perempuan tua merangkak sambil menangis mendekati
perapian.
Perempuan 1 : Gusti…ketiwasan…ketiwasan.
Perempuan 2 : Nyai nyelem kali, badannya tak kembali.55
Dari kutipan di atas sangat jelas apa yang dilakukan Sinta agar
tidak menikah dengan Suhar. Ia memilih caranya sendiri untuk
membebaskan diri. Sinta mengelabuhi Suhar. Ia pun bebas dengan
cara mengorbankan dirinya pada tanah yang ia bela. Sebab jika ia mati
maka harapan Suhar pun ikut mati. Maka hanya cara inilah yang ia
bisa lakukan untuk menghancurkan ambisi Suhar.

Hal itulah yang menjadi tahapan terakhir pada alur cerita


Cannibalogy. Nasib lelaki bukan hanya karena keinginan dan
usahanya, melainkan tim pendukung dan sikapnya pun ikut
menentukan keberhasilan tersebut. Sinta Salim memiliki peran penting
pada tahap penyelesaian ini.

Suhar : (Lemah) O, ancur tenan. Ucul kabeh...Ki, saya tak bisa


berdiri tanpa kakimu. Alam menutup gerbangnya untukku.
Pernikahanku tanpa restu. Alam sedang melawanku. Sekarang
saya sendiri. Lemah kakiku. Ah, harus kurebut lagi! Kekuasaan
itu semua, atau tidak sama sekali!56
Terlihat pada kutipan di atas bagaimana Suhar mengalami
kehancuran atas perbuatannya sendiri. Bahkan dalam keadaan lemah,
Suhar masih saja tidak memiliki moral yang baik. Ia menyuruh
membunuh semua perempuan penduduk atau Mbok-mbok sebagai
budak pasukan Suhar yang bersama Sinta Salim ketika
menghanyutkan nyawanya.

55
Ibid., h. 57.
56
Ibid., h. 59.
69

Amir : Perempuan-perempuan ini bisa kasih informasi. Kita


apakan ?
Suhar : Hemmh! Mereka pantas jadi tumbal untuk kesialan ini.
Habisi!57
Situasi ini menjadi kerumitan Suhar. Ia lemah dan tidak punya
pilihan yang menguntungkan baginya. Harapannya pupus, karena
orang-orang yang dapat memberikan perubahan malah
meninggalkannya. Suhar selalu melihat dan mencari penolong dari
luar dirinya, bukan dari kekuatan atau motivasi intrinsik yang ideal
dari dalam. Sampai akhir, alur memperlihatkan susunan peristiwa
yang kronologis dengan fokus pada konflik-konflik internal tokoh
yang diperburuk oleh konflik-konflik eksternal antar tokoh, antar
kepentingan.

4. Latar
Latar merupakan unsur yang menunjukan tentang tempat, waktu dan
kejadian peristiwa dalam sebuah babak. Berubahnya latar berarti
perubahan babak. Tempat sebagai penunjuk dari unsur di dalam drama
mengandung pengertian menunjuk pada tempat tengah berlangsungnya
kejadian. Kedudukan waktu menjelaskan tentang terjadinya putaran
waktu, yakni siang-malam, gelap terang, dan lain-lain. Kejadian
menerangkan peristiwa yang tengah dialami tokoh. Latar waktu dan
suasana akan dipaparkan berdasarkan latar tempat yang ada dalam
naskah.

a. Mojokuto

Beberapa dialog naskah Cannibalogy menggunakan bahasa Jawa,


yang secara langsung merupakan identitas keberadaan tokoh-tokoh
tersebut. Secara keseluruhan, naskah ini menggunakan latar di Pulau
Jawa. Lokasi tempat yang menjadi sorotan pertama yaitu di Mojokuto.

57
Ibid., h. 58.
70

Banyak terjadi konflik di sini oleh tokoh-tokoh berikut, Suman, Suhar,


Lendless, dan Ki Ageng dipertemukan di tempat ini.

Lewat tengah malam. Kuburan desa pinggiran Mojokuto.


Sebuah makam sedang digali. Dari tengah kampung, sayup-
sayup terdengar gamelan mengiringi adegan perang pada
pertunjukan wayang. Dari liang makam nampak sosok kepala
plontos sedang menggaruk tanah dengan kedua tangannya.
Dengus nafas dan suara gagak saling menimpal. Angin
kencang..58
Kejadian dalam kutipan di atas menimbukan latar suasana yang
mencekam, menyeramka. Diilustrasikan dengan suara dari gagak yang
biasanya berbunyi ketika ada yang meninggal dunia, dan begitu
terdengar karena suasana yang begitu sepi. Latar waktu terjadi pada
malam hari sekitar pukul 01:00 WIB. Di awal sudah dijelaskan bahwa
desa Mojokuto memang berada di Pulau Jawa tepatnya Jawa Timur.

Hari yang lain. Siang hari. Lapangan terbuka sebelum pendopo


Mojokuto.Tiga pemain jathilan, dengan pakaian sorban dan
jubah putih menunggang kuda gebyok. […] Arak-arakan itu
sampai ke depan pendopo. Daeng naik ke lantai pendopo,
memasuki pintu, lalu sesaat ke luar lagi, mendatangi massa.59
Masih di bagian Mojokuto. Kutipan di atas memunculkan latar
suasana yang menegangkan, sebab Suman dipergoki warga dan akan
dihakimi oleh kepala desa Mojokuto. Latar waktu pada kutipan di atas
yaitu siang hari.

Hari yang lain. Malam hari. Bekas pendopo Mojokuto, yang


telah berubah menjadi gedung opera. Acara peresmian gedung
sedang berlangsung. Lampion warna merah, putih dan biru
meramaikan suasana. Landless dan pasukannya dalam balutan
tuxedo hitam, berbaur bersama anggota societet di serambi
gedung, menikmati nomor pertunjukan. Seorang soprano
hampir menyelesaikan aria yang dibawakannya. Lalu tepuk

58
Ibid., h. 1.
59
Ibid., h. 7.
71

tangan yang meriah dan panjang menyudahinya. Landless


tampil ke mimbar.60
Mojokuto telah direbut oleh pasukan Olanda yang dipimpin
Lendless. Latar suasana Mojokuto kali ini bergembira dilihat dari sisi
pasukan Lendless, sedangkan pasukan Suman sebaliknya.
Kekuasaanya Lendless yang berhasil menjajah wilayah ini dan
merubahnya menjadi gedung opera. Tapi bagi penduduk Mojokuto,
suasana mereka yaitu terancam dan menyedihkan. Latar waktu kutipan
di atas yaitu pagi hari satu hari setelah dihakiminya Suman dan hari
lainnya dengan latar waktu malam hari, ketika peresmian gedung
opera yang dibangun oleh Lendless.

Hari yang lain. Malam hari. Pertunjukan sedang berlangsung di


gedung Opera Minerva. […] Kera-kera berkelojot, meminta
ampun di kaki Rahwana. Pada saat itu, gending sontak berubah
menjadi gending perang. Dan sosok kera putih yang perkasa
mencelat dari ketinggian. […]
Kera putih memimpin menuju kursi Rahwana. Dan dengan
gerakan tusukan yang indah, sangkurnya menembus jantung
Landless. […] Kera putih membuka kedoknya. Demikian juga
kera-kera lainnya. Mereka adalah Suman dan pasukan yang
menyamar.61
Pada kutipan di atas terjadi pembantaian. Pasukan Suman yang
hendak merebut kembali Sinta Salim dan membalas perbuatan
pasukan Lendless yang tempo lalu telah membantai penduduk
Mojokuto. Latar suasana kali ini di awali dengan kegembiraan
pasukan Lendless yang sedang merayakan peresmian makan malam.
Namun tak lama kemudian berubah menjadi tegang dan mencekam,
setelah pasukan Suman datang. Latar waktu kutipan di atas yaitu pada
malam hari.

Hari yang lain. Siang hari. Di depan pendopo Mojokuto.


Penduduk berkumpul. Sebuah pemakaman sudah dilakukan.

60
Ibid., h. 29.
61
Ibid., h. 44.
72

Nampak Ageng Rais menancapkan nisan kayu, bertuliskan


nama Suman, di atas gundukan tanah merah.62
Cerita naskah ini berakhir di Mojokuto. Di fragmen terakhir,
Mojokuto berlatarkan suasana yang haru, atas meninggalnya Suman
seiring dengan pemakamannya dan kenyataan bahwa Sinta Salim pun
meninggal. Ageng Rais yang masih menjadi kepala desa, memberikan
hukuman pada Suhar.

b. Pasar di Desa Pring

Tempat ini memperkenalkan Suhar dengan Mbok Tirah. Tempat ini


hanya dimunculkan sekali dalam keseluruhan naskah Cannibalogy.

Tengah hari. Di tengah pasar yang sudah usai, sebuah tegalan


terbuka, desa Pring. Suhar menumpuk semua barang kelontong
jualannya, memantik api ke jerami kering, lalu membakarnya.
Di depan barang-barang kelontong yang terbakar itu, seorang
ibu terisak sambil bersimpuh.63
Latar suasana pada kutipan di atas yaitu melelahkan dan keputus
asaan Suhar yang tak kunjung kaya dan nasibnya tidak berubah
menjadi lebih baik. Latar waktunya yaitu tengah hari sekitar lewat dari
pukul 13:00. Sudah dijelaskan di awal bagian alur, desa Pring
memang teletak di Jawa Tengah, sebuah pasar yang berada di lahan
bambu tempat masyarakat sekitar berdagang.

c. Bengawan Solo atau Kali Solo

Tempat selanjutnya yang sering dimunculkan dalam naskah yaitu


Bengawan Solo atau disebut juga Kali Solo. Beberapa peristiwa,
konflik dan semacamnya terjadi juga di tempat ini. Tempat ini
menjadi tempat keramat, tempat tujuan untuk menenangkan diri
dengan berbagai kontes.

62
Ibid., h. 45.
63
Ibid., h. 2.
73

Hari yang lain. Malam belum tua. Sebuah kelokan di tepi


Bengawan Solo. Cahaya bulan meronai wajah pepohonan.
Rumput tinggi. Suara serangga malam.64
Kutipan di atas menunjukan suasana yang hening dengan
ketenangan, Suhar melakukan pertapaan atas putus asanya. Latar
waktu diperkirakan pukul 22:00.

Hari yang lain. Malam hari. Kali Solo. Markas Suhar dan
sekaligus areal lokalisasi. Di sebuah tiang, di tanah yang agak
tinggi, Suman terikat. Sendiri dalam remang. Suman berpakaian
kera putih, dengan rias wajah yang belepotan. Di latar depan,
tampak wanita dan pria berpasangan, sedang berbincang genit
dan cekikikan. Mereka adalah PSK Kali Solo dan
pelanggannya. Dari arah lain, tiga empat perempuan dengan
dandanan dan rias yang mencolok, dalam balutan kain kebaya
ketat, mendekati Suman yang terikat, mencoba menggoda dan
mengejeknya.65
Latar suasana Kali Solo ini berbeda dengan sebeumnya. Suasana
begitu santai terlihat beberapa perempuan yang tertawa sambil
mengejek, pada latar depan terdapat beberapa pasang perempuan
dengan laki-laki menggambarkan bahwa tempat itu merupakan tempat
bersantai mereka, tempat pelesiran, dan terdapat perempuan lainnya
yang berpakaian ketak dan wajah yang dirias agar terihat menarik.
Latar waktu terjadi pada malam hari seperti para PSK pada umumnya.
Waktu luang para pelesir bisanya di malam hari, kalau siang mereka
sibuk dengan pekerjaannya, selain itu malam hari lebih sunyi dan
waktu yang pas untuk istirahat.

Hari yang lain. Malam hari. Tepi Bengawan Solo. Gamelan


dibunyikan. Perempuan-perempuan tua bersimpuh di
tanah.Tentara berseragam menjaga seluruh penjuru. Di bagian
belakang, perapian besar telah disiapkan. Mayat Suman
terbujur di atas meja beralas daun pisang, tepat di depan
perapian. Bagian kepala dan pinggang ke bawah tertutup kain
hijau tua. Di depan meja itu, sebuah kursi bernuansa emas. Di
tengah depan, sepasang kursi pengantin. Di kursi sebelah kiri,

64
Ibid., h. 4.
65
Ibid., h. 48.
74

Sinta Salim duduk tertunduk, berbusana hitam keemasan. Suhar


muncul dalam pakaian raja Jawa, diiringi Ki Butho, berpakaian
serba merah tua. Djono, Amir dan Yusuf, berseragam militer
lengkap, menjaga di belakang.66
Kali Solo berubah menjadi lebih formal dan serius karena akan
diadakan pernikahan Suhar dengan Sinta Salim. Suasana pun
menegangkan, menjijikan, dan mengharukan. Sebab Suman dibunuh
secara sadis dan tidak manusiawi karena Suhar akan memakan daging
mayat yang darahnya masih segar sebagai maskawin. Di sini juga
terjadi pembunuhan Suhar kepada Mbok-mbok atau perempuan
penduduk yang menjadi budak. Latar waktunya yaitu pada malam
hari.

d. Hutan Jati

Sama dengan Desa Pring. Tempat ini juga hanya muncul satu kali
dalam naskah ini.

Malam hari. Hutan Jati, persembunyian pasukan Suman.


Kepulan asap hijau kini bercampur dengan bias sinar bulan
yang kebiruan. Angin kencang. Dari tabir asap, Suhar dan Ki
Butho nampak berayun-ayun di gantungan akar pohon, mirip
sepasang pemain trapeze yang sedang berakrobat. Sebagian
wajah keduanya ditutupi kedok. Pakaiannya berkamuflase
ranting dan dedaunan. Keduanya nampak sedang
merencanakan sesuatu. Suara keduanya terdengar bergema.67
Tempat ini menjadi tempat persembunyian sekaligus pengungsian
pasukan Suman, setelah Mojokuto tempat para pribumi dirampas oleh
Lendless pasukan Olanda. Suasana di sini mencekam, dan
menyeramkan, karena Suhar dan Ki Butho yang berusaha menculik
Sinta Salim dengan mengeabuhi menggunakan cara mistis. Latar
waktu terjadi pada malam hari ketika semua orang tertidur, dan tidak
butuh waktu lama bagi Ki Butho dan Suhar melakukan akal bulus ini.

66
Ibid., h. 55.
67
Ibid., h. 26.
75

e. Gua Semar

Tempat ini juga hanya muncul satu kali. Tempat yang menjadi
pelarian Suhar atas kekalahannya. Ia besemedi sekaligus bersembunyi
di gua ini.

Hari yang lain. Di sebuah gua, bernama gua Semar, di daerah


dataran tinggi. Suhar sedang bersemedi di atas batu. Djono
menyalakan dupa. Bersamaan dengan itu, bias cahaya merah
dan kepul asap kekuningan menguasai seluruh kawasan gua.
Terdengar suara senjata-senjata diletuskan, pertempuran
menuju akhirnya, dan dari arah Barat gelora kemenangan
terdengar. Amir dan Yusuf berlari tanpa senjata dan seragam
berlumpur, bersimpuh di depan Suhar.68
Latar suasana di Gua Semar ini awalnya hening dan menjadi
tempat mencari ide atau solusi dengan adanya bebauan yang muncul
dari hasil pembakaran dupa menjadikan tempat ini lebih nyaman dan
menenangkan sehingga yang menghirupnya menjadi lebih fokus. Bias
cahaya merah menggambarkan suasana yang berubah menjadi tegang
setelah beberpa saat kemudian serangan dari Barat yang hendak
menangkap Suhar mulai terdengar.

5. Gaya Bahasa
Terkait gaya bahasa apa saja yang biasa digunakan dalam karya sastra
khususnya drama sudah saya jelaskan di bab sebelum ini. Berikut
langsung pemaparan dengan jelas gaya bahasa seperti apa yang
digunakan Benjon, beserta kutipan yang ada di naskah Cannibalogy.

a. Repetisi

Adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang
dianggap penting untuk memberi tekanan dalm sebuah konteks yang
sesuai.

68
Ibid., h. 59.
76

Suhar: Harus kumiliki! Harus kumiliki!69

Pengulangan kata yang menyatakan ketegasan Suhar tentang hal


yang penting dan harus ditindak lanjuti segera, dan untuk menguatkan
karakterisasi tokoh Suhar yang determinasinya untuk memiliki Sinta
Salim.

b. Klimaks

Disebut juga gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-


urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya
dari gagasan-gagasan sebelumnya.

Tahanan : (Berusaha berontak, dan bicara dengan cepat)


Kafir!! Kalian semua orang kafir!! Ingatlah siksa Tuhan
untukmu, hei kafir! Neraka panas dan pedih!! Tanah-tanah kami
kalian rebut. Penduduk Jawa kalian ajari mabuk dan berzina!
Perempuan-perempuannya, kalian jadikan sundal! Dan
lelakinya yang bodoh kalian suap jadi serdadu boneka!
Jatuhlah azab Tuhan untuk kalian! Di lahar paling panas,
daging-daging kalian yang haram, akan dipanggang!
Selamanya!!!70
Dialog yang diucapkan seorang tahanan merupakan hasil dari
pikirannya yang terus menerus meresahkannya, dan ketika dibeberkan
secara berurut mengenai bobroknya kepemimpinan Suhar di bawah
kendali Lendless. Semakin diucapkan dari hal yang kecil sampai pada
puncaknya yang menimbulkan ketegasan emosi. Tujuannya
mengunakan gaya bahasa klimaks seperti ini agar semakin kuat
penggambaran sosok Suhar yang kejam.

c. Paradoks

Adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata


dengan fakta-fakta yang ada.

69
Ibid., h. 26.
70
Ibid., h. 36.
77

Suhar : Saya bukan penjahat. Saya penyelamat Jawa. Maka


sekarang, saya umumkan: Saya menyatakan berhenti sebagai
pembangun Mojokuto. Saya menyatakan berhenti, dan
melepaskan seluruh mandat. Dari dulu, saya tak pernah
kepingin pekerjaan ini. Saya ini jiwa petani!71
Suhar mengungkapkan bahwa dirinya bukan penjahat, ia bahkan
megaku ingin menyelamatkan dan memakmurkan Jawa. Ia juga bilang
kalau ia dari dahulu ingin menjadi petani, bukan seorang pemimpin
seperti ini. Padahal dialog sebelumnya dalam naskah, Suhar
menginginkan menjadi seorang pemimpin yang berkuasa diseluruh
Jawa. Ia juga telah banyak menumpahkan darah sebagai tumbal dari
kekuasaannya.

d. Antitesis

Adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang


bertentangan dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang
berlawanan.

Dik Sinta Salim, bicara adik panjang dan rumit. Suman tidak
sekolah. Tidak bis bergaya bahasa. Agak mumet jadinya. Tapi
wajah adik, suara adik, tatapan adik, lebih sampai dari bahasa
adik.72
Bentuk pertentangan yang digambarkan pengarang melalui tokoh
Suman berfungsi untuk menguatkan dimensi sosial tokoh Suman
dalam naskah bahwa ia merupan seorang yang tidak bersekolah maka
ia tidak cerdas dalam menyimak pembicaraan orang lain.

e. Metafora

Adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung,


tetapi dalam bentuk yang singkat.

71
Ibid., h. 62.
72
Ibid., h. 25.
78

Sinta Salim: Mas Ageng dan kamu itu mirip, alis kalian
serupa.73
Sinta Salim membandingkan Mas Ageng suaminya dengan Suman
yang menjaga dan menyelamatkannya dari peperangan. Ia secara
singkat membandingkan keduanya dengan hal yang nampak fisik.

f. Personifikasi

Adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda


mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki
sifat-sifat kemanusiaan.

Ki Butho: Bengawan Solo belum memberiku tanda.74

Ki Butho menunggu pertanda dari Bengawan Solo apa yang harus


dilakukan selanjutnya untuk menjadikan Suhar penguasa Nusantara.
Kutipan di atas seolah menjadikan Bengawan Solo bukan hanya
sekadar tempat air mengalir, melainkan sebuah benda yang memiliki
sifat-sifat manusia sehingga dapat memberi pertanda akan sesuatu.

g. Sinisme

Adalah gaya bahasa sindiran yang berbentuk kesangsian yang


mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.

Mas Ageng: (mengambil golokdaro tangan Sentolo. Dengan


isyarat tangan meminta Sentolo mundur. Meminta pada Daeng)
Daeng baringkan.
(Daeng menelentangkan tubuh Suman di atas sebatang gebok
pisang. Mas Ageng menempelkan ujung golok ke dada Suman)
Orang-orang Mojouto dengarkan keputusanku. Orang ini
miskin. Begitu juga pikirannya. Dia tidak hormat pada jasad
orang mati, karena dia harus bertahan hidup. Tak ada orang
lain memberinya jalan keluar. Dia mencari jalan keluar di
dunia orang mati. Pikirannya menjadi bagian dari kematian itu
juga. Tapi orang ini berkeras hati ingin hidup. Kalau dia mau
73
Ibid., h. 24.
74
Ibid., h. 46.
79

hidup, dia harus berpikir seperti orang hidup. Dia harus patuh
pada hukum.75
Kutipan di atas digunakan Mas Ageng sebagai sindiran terhadap
ketidakpedulian masyarakat atas potret kemiskinan yang ada di
sekitarnya, yang digambarkan oleh tokoh Suman. Kemiskinan serta
ketidakberdayaan yang membuatnya mencari jalan keluar yang salah.
Suman gelap mata dan tidak ada yang peduli tapi ia harus tetap
bertahan hidup, akibatnya Suman melakukan tindakan yang
menyimpang dari norma.

B. Analisis Citra Perempuan


Citra atau gambaran perempuan yang ada dalam naskah Cannibaogy ini
terekspresikan dari sisi mental dan tingkah laku para tokoh, baik perempuan
atau pun laki-laki. Dialog, penjelasan situasi di dalam naskah, dan
pernyataan oleh tokoh itu sendiri akan membantu menemukan citraan
perempuan pada naskah ini. Sugihastuti dalam bukunya mengatakan bahwa
citraan perempuan dapat dilihat dari tiga aspek berikut:

1. Citra Perempuan dalam Aspek Fisis


Citra fisis perempuan sebagai tanda dapat dilihat dari dua arah, dari
pengarang sebagai pengirim atau dari pembaca sebagai penerima. Kedua
duanya tidak menimbulkan perbedaan karena ada kesamaan kode dengan
realitas yang dihadapi bahwa fisik perempuan itu tercitrakan melalui
tanda-tanda tertentu yang sudah mapan dalam realitas.76 Kita dapat
melihat empat perempuan dalam naskah Cannibalogy, bagaimana
pengarang mencitrakan fisik perempuan dan saya sebagai pembaca yang
menerima citraan tersebut.
Secara menyeluruh, perempuan yang dicitrakan di naskah
Cannibalogy adalah perempuan dewasa. Keempat sosok perempuan
menunjukkan ciri fisik yang mengkategorikan mereka semua adalah

75
Ibid., h. 12.
76
Sugihastuti, Wanita Di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, h. 90-91.
80

perempuan dewasa. Sinta Salim dan Mbok Tirah disebut perempuan


dewasa karena mereka sudah menikah bahkan Mbok Tirah sudah
memiliki anak. Sedangan perempuan kali Solo dari cara berpikirnya yang
komersil menunjukkan bahwa mereka adalah perempuan yang sudah
dewasa. Dan perempuan penduduk dikategorikan sebagai perempuan
dewasa karena mereka dipanggil Mbok, sejatinya panggilan tersebut
diutarakan untuk perempuan yang sudah tidak muda lagi. Selebihnya
akan lebih diperjelas penulis melalui paparan berikut yang lebih rinci
terhadap citra fisis perempuan di naskah karya Benjon ini.
Pertama, Sinta Salim adalah sosok perempuan peranakan yang cantik
berdarah Tionghoa. Digambarkan dalam bentuk fisiknya yang memiliki
mata sipit, berkulit putih dan menawan. Selir Ki Ageng ini memiliki daya
tarik, sehingga Ki Butho, Suhar, dan Suman pun lawan dialognya dalam
naskah Cannibalogy tertarik dengan Sinta Salim.

Muncul Sinta Salim. Perempuan muda, berkulit putih, bermata


lancip. Suhar terpesona. Ki Butho tercengang. Hening beberapa
saat.77 sinta Salim, selir Mas Ageng, seorang perempuan
peranakan, membawakan tempolong.78
Selir adalah istri simpanan atau perempuan yang dinikahi tetapi bukan
yang pertama bagi si lelaki. Biasanya disebut Nyai.

Kerpo: (membuka tutup kepalanya. Berbisik) Nyai…


Sinta Salim: (Terkejut dan senang, dengan suara tertahan)
Kerpo….
Kerpo: (Memberi isyarat, menempelkan teunjuk ke bibirnya,
lalu mulai mengurut kaki Sinta Salim. Dalam suara rendah).
Saya akan bantu Nyai…79
Dari panggilan itulah dapat diketahui bahwa Sinta Salim adalah
perempuan yang sudah dewasa. Kata „Nyai‟ didapati dalam bahasa Bali,

77
Benny Yohanes, op. cit., h. 22.
78
Ibid., h. 8.
79
Ibid., h. 39.
81

bahasa Sunda, dan bahasa Jawa dengan pengertian „perempuan muda,


adik perempuan‟.80

Sinta bukan hanya pandai menyiapkan makanan, pengarang


menggambarkan Sinta Salim juga sebagai sosok perempuan tangguh, dan
mengemban peran bukan hanya sebagai istri, melayani suami. Tapi juga
perempuan memiliki peran dalam hal lain. Misalnya sebagai pemimpin
perang.

Sinta Salim menarik kain panjangnya, lalu ujungnya diselipkan ke


pinggang. Dia memasang busur dan anak panah.
Sinta Salim : (Berteriak nyaring) Cantrik Dalem! Bela Mojokuto!
Dari arah lain masuk belasan perempuan, siap dengan panah dan
busur. Sinta Salim berjalan ke luar pendopo, diikuti belasan
perempuan itu.81
Kutipan di atas menunjukan bahwa Sinta Salim ambil peran dalam
memperjuangkan tanah yang ia pijak. Sosok penampilannya berubah
menjadi lebih maskulin yang sangat siap maju bertempur, dengan cara
menarik kain dan menyelipkan serta memegang senjatanya. Ia memimpin
pasukan cantrik dalem, pasukan perang beranggotakan perempuan.
pasukan ini menggunakan keahlian memanah untuk melakukan
perlawanan. Sinta Salim sosok perempuan dengan segala keahliannya.
Cantik, dewasa, berkulit putih, bermata sipit, dan sigap. Tidak kemayu.

Kalau sebelumnya Sinta Salim adalah sosok perempuan dewasa yang


menjalankan perannya sebagai selir sekaligus pemimpin perang yang
berpengaruh bagi penduduknya. Selanjutnya Mbok Tirah, sosok
perempuan digambarkan berbeda dengan Sinta Salim. Mbok Tirah
Perempuan dengan sifat keibuan yang berasal dari Jawa terlihat dari
beberapa dialognya menggunakan bahasa daerah.

80
Tineke Hellwig, op. cit., h. 36.
81
Ibid., h. 16.
82

Mbok Tirah: o…Nang… Wetonmu iku Seloso Kliwon. Kamu


cocoknya ya berdagang. Itu sudah garis hidupmu. O… alah, kok
sekarang semuanya malah kamu obong. Sing eling tho
Nang…Nang…82
Terlihat dari kutipan di atas, bahasa yang digunakan Mbok Tirah
adalah bahasa Jawa dan menggambarkan Mbok Tirah adalah seorang ibu
yang berasal dari Jawa.

[…] Muncuk Mbok Tirah, dengan gembolan besar di


punggungnya, barang-barang keontong yang dulu pernah
dibakar Suhar. Mbok Tirah membaui tanah dan pohon yang
terbakar.83
Usia Mbok Tirah jauh lebih tua dibandingkan Sinta Salim. Postur
tubuhnya pun lebih renta, dan raut wajah yang sudah dipenuhi garis
kerut. Perempuan sebagai orang tua tunggal sama tegarnya dengan
pemimpin perang, bedanya hanya di status sosial saja. Mbok Tirah sosok
perempuan yang mencitrakan fisik perempuan tradisi, yang mempercayai
bahwa mitos berupa kenyataan.

Perempuan selanjutnya yaitu sekumpulan perempuan yang bekerja


sebagai pelacur di Kali Solo yang biasa disebut sundal. Dalam naskah
penggambaran fisik para sundal ini sama pada umumnya. Mangkal di
sepanjang kali solo, dengan balutan busana ketat agar telihat lekuk tubuh
yang dapat merangsang hasrat lelaki. Ditambah polesan bedak, gincu,
dan lainnya untuk menambah daya tarik.

Di latar depan, tampak wanita dan pria berpasangan, sedang


berbincang genit dan cekikikan. Mereka adalah PSK Kali Solo dan
pelanggannya. Dari arah lain, tiga empat perempuan dengan
dandanan dan rias yang mencolok, dalam balutan kain kebaya
ketat…84
PSK pada umumnya memang berpenampilan demikian, merayu lelaki
untuk memenuhi kebutuhannya. Kebanyakan perempuan melakukan

82
Ibid., h. 2.
83
Ibid., h. 48.
84
Ibid., h. 49.
83

pekerjaan ini karena kemiskinan atau kebodohan sehingga tidak ada


pilihan lahin selain menjajaki tubuhnya. Perempuan yang menjadi sundal
pun beragam. Bukan hanya dari kalangan perempuan dewasa saja, remaja
bahkan lanjut usia juga ada.

Perempuan di naskah ini bukan hanya bekerja sebagai sundal saja.


Perempuan pribumi dalam naskah Cannibalogy ada juga yang dijadikan
budak penurut atau bisa disebut babu. Budak perempuan di naskah ini
disebut perempuan penduduk, biasa disebut mbok. Mbok dalam bahasa
Jawa panggilan untuk perempuan tua.

Hari yang lain. Malam hari. Tepi Bengawan Solo. Gamelan


dibunyikan. Perempuan-perempuan tua bersimpuh di tanah.85
Kutipan di atas adalah keterangan yang ada di naskah menunjukan
bahwa perempuan-perempuan penduduk yang sudah tua dijadikan budak.
Dilihat dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa citra fisis
perempuan yang digambarkan dalam Cannibalogy yaitu perempuan
dewasa, Kemudian perempuan tradisional yang keibuan dan tubuhnya
sudah tidak tegap lagi seperti Sinta Salim, ia sedikit bungkuk karena
telah banyak pengalaman yang ia pikul selama hidupnya, dan ditambah
lagi Mbok Tirah sealu memanggul barang-barangnya menggunakan
pundaknya sendiri. Selanjutnya perempuan Kali Solo sebagai sundal,
berpenampilan erotis dengan busana dan makeup yang terpoles pada
tubuh perempuan dewasa. Terakhir perempuan penduduk, perempuan tua
yang tidak punya keahlian berperang, tidak berpendidikan, tidak kaya
raya, dengan usia yang sudah tidak lagi muda, menjadikan nasibnya
hanya sebagai budak.

2. Citra Perempuan dalam Aspek Psikis


Ditinjau dari aspek psikisnya, perempuan juga makhluk psikologis,
makhluk yang berpikir, berperasaan, dan beraspirasi. Aspek psikis

85
Ibid., h. 54.
84

perempuan tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai


feminitas. Prinsip-prinsip feminitas ini dijelaskan oleh Yung sebagai
sesuatu yang merupakan kecenderungan yang ada dalam diri perempuan;
prinsip-prinsip itu antara lain menyangkut ciri relatedness, receptivity,
cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup, orientasinya komunal, dan
memelihara hubungan interpersonal.86
Sebagai selir, Sinta Salim harus rela jika suatu saat tidak menjadi yang
utama di hati suaminya, Ki Ageng. Ia tahu bahwa selir bukanlah satu-
satunya istri dari seorang lelaki. Namun, secara lahiriah selir
diperlakukan sama terhormatnya dengan istri sah.87
Keadaan yang dihadapi Sinta mengharuskan ia menjadi perempuan
yang mampu melindungi dirinya sendiri. Salah satunya dengan menjadi
selir seorang yang berkedudukan tingi dilingkungannya.

Sinta Salim:[…] Sejak Mas ageng harus lari, aku hanya


seorang perempuan, terlunta tanpa perlindungan, di tengah
kecamuk perang. Kulitku putih, mataku sipit. Tanpa Mas Ageng,
aku tak bisa lagi berlindung di balik keningratannya. Aku
kembali seorang perempuan peranakan. Sama seperti
perempuan-perempuan lain di gubuk-gubuk kotor Batavia. Dan
komplotas setan putih itu tentu akan menganggap aku tak lebih
sebagai daging mainan…88
Sebagai selir atau sebagai sundal, sebenarnya sama saja, berada tanpa
ikatan pernikahan yang tidak menuruti hukum. Pada dasarnya perempuan
kehilangan atas dirinya sendiri. Kekhawatiran Sinta Salim dalam dialog
di atas menjadi alasan ia mau dijadikan selir. Seorang perempuan
menjadi „Nyai‟ atas dasar pertimbangan materialis, kemiskinan, dan
suatu hal yang menjadikan mereka korban.89

Mengapa dikatakan korban, karena seorang „nyai‟ boleh dikatakan


tidak punya hak apa pun, tidak punya hak atas anaknya, pun atas

86
Sugihastuti, op. cit., h. 96.
87
Tineke Hellwig, op. cit., h. 38.
88
Benny Yohanes, op. cit., h. 24.
89
Tineke Hellwig, op. cit., h. 47.
85

posisinya sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan oleh majikannya tanpa


bantuan dalam bentuk apa pun.90 Dalam dialog di atas terdapat Sinta
Salim yang di tinggalkan oleh Ki Ageng.

Sikapnya kepada Suman menunjukan bahwa Sinta Salim memelihara


hubungan interpersonal. Bahkan Suman tidak dapat membedakan sikap
Sinta yang memelihara hubungan interpersonal dengan soal asmara.
Kadang, memang perempuan menggunakan cinta kasih dengan jalan
pikirannya sendiri, dan lelaki biasanya langsung menginterpretasikan hal
tersebut dengan hubungan perasaan asmara perempuan dan lelaki.

Sinta Salim : (mengeluarkan sapu tangannya) Suman, aku


menyulam sepasang sapu tangan. Simpanlah satu di tanganmu.
Suman: kenapa, dik? Aku…aku todak bisa romantis.
Sinta Salim: jangan ge-er. Ini bukan soal asmara.
Suman: kalau ini bukan soal asmara, lalu ini soal apa, dik
Sinta?
Sinta Salim: ini soal tekad untuk tidak menyerah untuk saling
memperkuat kepercayaan. Untuk saling menambatkan
pegangan. Semua ini lebih besar dari asmara. Karena aku tidak
jatuh demi tubuhmu, aku tertarik daya hatimu. Simpan sapu
tangan ini, Suman. Janji ini akan kuat, untukmu dan untukku.91
Sinta Salim dan Suman bertemu ketika Suman akan diadili oleh Ki
Ageng karena ia berbuat kesalahan yaitu memakan daging manusia.
Namun Ki ageng meninggalkan Sinta pada saat Mojokuto tempat yang
mereka tinggali di serang oleh pasukan Lendess. Ki Ageng pergi
mengatur strategi, sehingga Sinta harus tetap berjuang bersama penduduk
lainnya termasuk Suman. Ia pun harus menjalin hubungan yang baik
terhadap Suman. Karena ia yang memimpin perang ketika Ki Ageng
pergi.

90
Ibid., h. 38.
91
Ibid., h. 24.
86

Sebagai minoritas, Sinta merasakan diskriminasi. Terlebih oleh


pasukan berkulit putih. Ia pun semakin tertekan ketika dalam
minoritasnya ini menjadi jalan buntu. Tidak dapat memilih ketika
dipaksa menikah dengan Suhar. Sikap terhadap orang Tionghoa dan
peranakan adalah sikap acuh tak acuh.92 Sikap itulah yang dilakukan
Suhar kepada Sinta Salim.

Suhar: (kepada Sinta Salim) saya akan menikahimu. Ini bukan


pilihan.
Sinta Salim: Bebaskan Suman.
Suhar: (memandang kepada Solih, Amir, Yusuf, ketiganya
menggeleng) tidak bisa kupenuhi. Dia akan kembali masuk
hutan, memberontak lagi.
Sinta Salim: kamu lemah. Pengecut. Aku berhak mendapatkan
yang lebih baik.
Suhar: ini bukan pilihan, Sinta Salim. Sama sekali tak ada
pilihan.93
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Sinta Salim tidak diberi hak
memilih selayaknya manusia. Dari keterpojokan itulah akhirnya nasib
Sinta Salim nahas. Ia hanya punya pilihan dua, hidup dengan
keterpurukan karena melakukan hal yang sama sekali tidak ia inginkan,
dan pilihan lainnya yaitu mati. Pergulatan hati dan pikirannya semakin
membuatnya bingung, dan ia memilih jalan yang kedua, sebab
menurutnya lebih baik mati daripada hidup tapi sebagai robot. Sinta
Salim membuat keputusan tersebut, ia merelakan dirinya di Kali Solo.

Djono: Bom meledak dari tengah kali, banyak nelayan jadi


korban. Penduduk menemukan pakaian Sinta Salim dan
serpihan daging.94
Aspek psikis citra perempuan pada tokoh Sinta Salim merupakan
sosok individu yang mampu menyampaikan aspirasinya sebagai

92
Tineke Hellwig, op. cit., h. 33.
93
Ibid., h. 51.
94
Ibid., h. 58.
87

perempuan, dan pemberani. Ia tidak takut mati demi kebebasannya.


Terlihat bahwa jika perempuan membuat keputusan tidak hanya
memikirkan saja akan tetapi mereka merasakan juga.

Suhar: Hiaaaah!!! (marah! Geram. Gugup, Suhar menebas leher


Suman dengan kapak besarnya, dari tempat yang lebih rendah,
sehingga penonton hanya melihat ayunan kapak besar itu dari sisi
panggung Suhar. Sinta Salim terkulai. Beberapa detik tanpa gerak,
tanpa suara)95
[…] Ki Butho : Dia tidak tenggelam. Sinta mau mengorbankan
dirinya.96
Perempuan memiliki rasa cemas yang berlebih ketimbang laki-laki.
Kejadian pada kutipan di atas membuat Sinta merasa cemas, namun
pendirian dan tekadnya lebih keras daripada perasaannya, ia semakin
bulat untuk tidak menyerah pada keadaan. Sampai akhirnya bukan hanya
faktor tidak memiliki pilihan lain, tapi keadaan tertekan memunculkan
pilihan baru untuk Sinta. Tekanan dapat membuat manusia harus
menentukan pilihan secara cepat, hal itulah membuat Sinta untuk
memilih hidup dengan segala keadaan yang tidak diinginnkannya atau
memilih menyerahkan diri pada alam yang memikat batinnya (mati)
adalah jalan yang paling baik.

Sama dengan halnya Mbok Tirah. Menjadi single parent membuat


Mbok Tirah bertambah kuat untuk merawat anaknya semata wayang. Di
dalam naskha Cannibalogy Mbok Tirah digambarkan lebih pada
psikisnya, yakni ia merasakan kecemasan terhadap anaknya yang putus
asa. Cemas akan nasib anaknya, yang dipikirkan Mbok Tirah hanya
Suhar.

Di depan barang-barang kelontong yang terbakar itu, seorang


ibu terisak sambil bersimpuh.
Mbok Tirah: o…Nang… wetonmu iku selasa kliwon. Kamu
cocoknya ya berdagang. Itu sudah garis hidupmu. O…alah, kok
95
Ibid., h. 53.
96
Ibid., h. 57.
88

sekarang semuanya malah kamu obong. Sing eing tho


Nang…nang…
Mbok Tirah: bertapa? Siapa yang menyuruhmu, nang?
[…] Mbok Tirah: Suhar, kamu sudah memanggil api. Api itu
menular. Jangan memanggil api, Suhar. (menyiram air
ketumpukan barang yang hangus).97
Isakan tangis Mbok Tirah mewakilkan seluruh perasaannya yang
khawatir akan Suhar. Selain perasaan cemas seorang ibu terhadap
anaknya, ia juga sosok ibu yang menyayangi anaknya. Meskipun Suhar
tidak mendengarkan perkataan ibunya. Tetapi Mbok Tirah tetap saja
mengkhawatikan dan menyayanginya. Ia mengumpulkan barang
dagangan Suhar yang sudah dibakar, membawa-bawanya sambil
menyusul Suhar. Mencari anaknya yang pergi meninggalkan Mbok
Tirah.

Beberapa saat setelah pasukan Suhar berlalu, muncul Mbok


Tirah, dengan gembolan besar di punggungnya, barang-barang
kelontong yang dulu pernah dibakar Suhar. Mbok Tirah
membaui tana dan pohon yang terbakar.
Mbok Tirah: api lagi. Ini lebih besar. Lebih menular. Suhar,
pernah kamu ke sini? Aku mau kembalikan barang-barangmu,
nang. Suhar, pernah kamu ke sini? Tapi dimana kamu?
Mbok Tirah berjalan lagi menyusur sepanjang tanah Alas
Puputan yang terbakar itu.98
Dari kutipan di atas juga terlihat Mbok Tirah sosok ibu yang
penyabar. Ia terus berjalan mencari anaknya, seolah Mbok Tirah adalah
pengingat untuk anaknya yang lupa bahwa hidup di dunia itu hanya
sementara, yang kekal adalah akhirat. Mbok Tirah menggambarkan pula
sosok ibu pada umumnya yang selalu menjadi tempat pulang atau
kembali bagi anaknya selama masih hidup.

Mbok Tirah dengan gembolan barang kelontong hangus di


punggungnya, menemani Suhar.
97
Ibid., h. 3.
98
Ibid., h. 48.
89

[…] Suhar: (hampir tertidur) bulan apa kita sampai di barat?


Mbok Tirah: yo, kira-kira…bulan Mei, nang
Suhar: (terlentang badannya menatap ke langit) bulan Mei…
Mbok Tirah: he..eh (bicara sendir) May be yes, may be no..99
Mbok Tirah juga sosok ibu yang santai dan humoris, ia tidak tergesa-
gesa dalam perkataan maupun perbuatan, karena faktor usia dan memang
pembawaan Mbok Tirah yaitu ciri orang yang perlahan namun pasti.
Secara umun sifat seorang ibu ingin melindungi anaknya, ingin anaknya
berhasil dan tidak ingin mengalami kegagalan yang sama dengan orang
tuanya. Sehingga Mbok Tirah selalu menjadi pengingat untuk Suhar dan
selalu mencemaskannya.

Begitupun dengan perempuan selanjutnya, Sundal. Seperti yang kita


tahu pada aspek fisis seorang sundal, yang gemar merayu dengan
genitnya agar lelaki tersebut tertarik padanya. Hal itu menimbulkan
kesan negatif terhadap perempuan seperti sundal. Namun di naskah ini,
terlihat aspek psikis seorang sundal yang apabila dari fisis ia terlihat genit
dan bergairah, tapi dilihat dari psikisnya mereka adalah perempuan yang
mengalami tekanan.

Perempuan 1: pelesir, mas, cobain kita kita.


Perempuan 2: ho..oh, jangan perang melulu, (sambil
membusungkan dadanya) Nih, di sini ada perang yang lain lho.
(yang lain mengikik)
Perempuan 3: saestu, mas. Kita ini wong cilik. Rejekinya kecil.
Mbok sekali-kali dipake. Kasih persen yang gede. Iyo tho mas?!
Cobain kita ya.100
Perempuan-perempuan yang menjadi sundal berasal dari kalangan
orang-orang miskin dan tapi tidak punya keahlian lain selain
mengandakan tubuh sebagai objek mereka. Keadaan lah yang membuat

99
Ibid., h. 68.
100
Ibid., h. 49.
90

perempuan kali Solo harus melakukan hal ini. Di mana Lendless yang
berkuasa dan meminta Suhar mengambil perempuan-perempuan untuk
dijadikan ladang penghasil uang, daripada mereka harus dibunuh.

Lendless: …segera bangun banyak penginapan sepanjang Kali


Solo. Ambil banyak perempuan muda dari Dermayon en
Surabaya. Bebaskan pajak untuk pedagang. Tapi biarkan
mereka membayar perempuan-perempuan melayu itu dengan
harga pantas.101
Mereka bersikap demikian bukan semata karena keinginannya, tapi
memang tidak ada pilihan lain selain menjadi sundal yang harus
memuaskan hasrat lelaki. Dermayon pada kutipan di atas maksudnya
adalah daerah Indramayu dan Surabaya, dalam sejarah memang benar
adanya jika daerah Indramayu dan Surabaya yang pada masa penjajahan
Belanda adalah ladang berisi perempuan-perempuan yang cantik dan
kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pekerja seks komersil maupun
non-komersil. Tertekan yang menimbulkan perempuan-perempuan
cemas dan pada akhirnya mau tidak mau mereka harus menjalani dan
menikmati profesinya sebagai sundal.

Sama seperti halnya sundal, perempuan penduduk juga dari kalangan


orang-orang miskin. Sama-sama menjadi budak dari pasukan Lendless.
Perempuan penduduk yang dijadikan budak berasal dari kalangan
perempuan tua. Ia menjadi pembantu atau budak di markas Suhar.

Aspek psikis yang dialami oleh mbok-mbok ini, tertekan dan tidak
memiliki kebebasan dalam berucap apalagi bertindak. Bahkan lebih
parah daripada sundal, gerak-gerik mbok-mbok ini lebih terbatas, mereka
bergerak atau beranjak hanya atas perintah majikannya.

Sinta Salim: berikan padaku, perempuan-perempuan Mojokuto


ini, menemaniku membersihkan diri. Jauhkan tentara dariku.
Suhar: (mengganggung pada Girsang, tanda setuju).

101
Ibid., h. 19.
91

Diiringi bunyi gamelan, delapan perempuan tua bangkit,


mengiringi Sinta Salim menuju tepi Bengawn Solo.102
Selain tidak memiliki hak bicara dan bertindak, perempuan penduduk
juga menjadi objek kemarahan majikan meskipun kesalahan yang terjadi
bukan hasil perbuatan mereka.

Dari arah tepi kali, tiba-tiba terdengar jeritan. Perempuan-


perempuan tua merangkaksambil menangis mendekati perapian.
Perempuan 1: gusti..ketiwasan..ketiwasan.
Perempuan 2: Nyai nyilem kali, badannya tak kembali.
[…]Amir: perempuan-perempuan ini bisa kasih informasi. Kita
apakan?
Suhar: hemmh! Mereka pantas jadi tumbal untuk kesalahan ini.
Habisi!103
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan. Bahwa aspek psikis yang
dialami perempuan di naskah ini bermacam-macam. Sinta Salim, dengan
tampilan yang terlihat kokoh dan tangguh, pandai berperang. Tidak dapat
memungkiri kalau dirinya butuh berlindungan dari seorang lelaki. Ketika
sudah tidak ada yang melindunginya lagi, ia berubah menjadi lemah.
Mbok Tirah, sosok yang terlihat lusuh dan lemah, tapi dalam dirinya
terdapat kekuatan yang tidak terlihat. Sikap sabar dan penyayang
membuatnya tetap terus mengarungi hidup yang penuh dengan liku.
Terakhir yaitu perempuan sundal dan perempuan budak yang sama-sama
tertekan karena keadaan dan tidak memiliki hak atas tubuhnya.

Jika dilihat dari aspek psikis, perempuan-perempuan di naskah


Cannibalogi karya Benjon merupakan perempuan yang tertetekan dengan
keadaannya yang berbeda-beda. Dari tekanan itulah tingkat kecemasan
mereka berlebih dan pada akhirnya menjadi faktor yang mempengaruhi
tindakan mereka, dan cara membebaskan diri dari tekanan itu berbeda-
beda tergantung pada situasi yang mereka hadapi.
102
Ibid., h. 56.
103
Ibid., h. 58.
92

3. Citra Perempuan dalam Aspek Sosial


Citra perempuan dalam aspek sosial dibagi dalam dua peran yaitu
peran perempuan dalam keluarga dan peran perempuan dalam
masyarakat. Peran adalah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap
keadaan dan cara bertingkah-laku untuk menyelaraskan diri dengan
keadaan. Peranan perempuan artinya bagian tugas utama yang harus
dilakukan perempuan. Terdapat beberpa peranan perempuan yang
dimiliki sejak lahir sampai pada usia selanjutnya dan peran itu sudah
menjadi bagian dari hidupnya. Ada 7 peran yang dapat dilakukan
perempuan, sebagian lebih berorientasi pada keluarga dan sebagian lebih
berorientasi pada masyarakat, yaitu sebagai orang tua, sebagai istri,
dalam rumah tangga, dalam kekerabatan, pribadi, dalam komunitas, dan
dalam pekerjaan.

Peran-peran tersebut menyangkut peran perempuan sebagai makhluk


individu dan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Peranan
tersebut disederhanakan lagi secara garis besar yaitu dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Berikut peranan perempuan yang dialami oleh tokoh-
tokoh perempuan yang ada di naskah Cannibalogy.

a. Sinta Salim

Seorang istri umumnya mampu melakukan hal domestik. Seperti


memasak, merapihkan barang-barang yang ada di rumah, dan
menyulam atau menjahit. Semua hal tersebut dikerjakan Sinta
Salim dengan apik.

Sinta Salim: (menyodorkan buntalan pada Suman) Makanan


untukmu. Bawalah!
Sinta Salim: Cuma ada air dan sedikit ubi. Silahkan. Semoga
nyenyak tidurnya.104
Sinta Salim muncul membawa sekendi air. Tersenyum. Sepasang
sapu tangan bersulam terselip di ikat pinggangnya.
104
Benny Yohanes, op. cit., h. 22.
93

Sinta Salim: (mengeluarkan sapu tangannya) Suman. Aku


menyulam sepasang sapu tangan. Simpanlah satu di
tanganmu.105
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sinta Salim adalah sosok
istri yang ideal, mampu menjalankan perannya. Berkat keahliannya
yang mampu melakukan beberapa tugas sebagai istri dan sebagai
pemimpin perang untuk pasukan perempuan, kedudukannya dalam
masyarakat dihormati oleh penduduk sekitar dan menjadi
perempuan yang disegani. Bukan hanya itu, Sinta Salim semakin
dipandang karena statusnya juga sebagai istri dari orang yang
memiliki kedudukan tinggi di desanya yaitu Ageng Rais. Suami
Sinta Salim menjabat sebagi kepala desa.

Suman: kita tembus Solo, lalu masuk Mojokuto! Sinta Salim kita
selamatkan. Apapun taruhannya!106
Ki Butho: dia selirnya mas Ageng, meneer. Bersembunyi di
pedalaman Mojokuto. Untuk mendapatkannya, Ki Butho dan
Suhar sudah bertempur dengan gerombolan pribumi yang
melindunginya. Dia masih terbius ramuanku.
Lendless: (pada Hoffmann) bawa dia. Beri kamar dan
pelayanan. Tempatkan penjaga di depan pintu.107
Beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa Sinta Salim
memiliki peran penting, Sinta begitu terpandang dan dihargai.
Kutipan pertama, seluruh pasukan dikerahkan untuk mencari Sinta
Salim yang diculik Ki Butho dan Suhar. Dan kutipan selanjutnya
yaitu Shinta diserahkan pada pimpinan Olanda oleh Suhar sebagai
umpan. Citra dalam aspek sosial masyarakat sosok perempuan
seperti Sinta Salim memiliki pengaruh bagi sekitarnya. Di
antaranya, ia mewakilkan aspirasi warga terutama bagi perempuan
sebagai pasukan yang bisa ikut membela dan memperjuangkan
yang seharusnya menjadi hak mereka untuk hidup, dengan cara

105
Ibid., h. 25.
106
Ibid., h. 28.
107
Ibid., h. 31.
94

turun langsung ke medan perang secara fisik dan domestik.


Perempuan dapat memberikan perubahan besar bagi lelaki.

Suhar: perempuan itu takdirku.


Ki Butho: perempuan ini istimewa. Pamornya lebih bercahaya
dari cahayamu. Perempuan ini akan memberi jalan untuk
mengubah derajatmu. Alam sedang membuka gerbang. Kita
akan membawanya sebagai umpan ke Mojokuto, demi
kekayaan…108
Sinta Salim sebagai perempuan yang akan membawa
keberuntungan untuk Suhar. Dilihat dari citranya di aspek sosial
dalam keluarga, ia merupakan perempuan yang berasal dari
keluarga kaya raya, dari situlah Suhar akan lebih beruntung
mendapatkan Sinta Salim. Seperti pepatah mengatakan di samping
lelaki hebat ada perempuan yang hebat pula.

Suhar: (terkekeh) Ki, itu cara daripada berpikir lama. Kita


harus pakai cara hitung yang lebih realistis. Aku bisa kuasai ini
nusantara, kalau Sinta Salim bisa kumiliki. Aku sudah telusuri
daripada sisilah keluarganya. Sinta Salim itu keluarga dari
super-taipan. Keluarganya kuasai hampir delapan puluh
prosenjaringan bisnis Asia. Bayangken, Ki. Kalau Snta Salim di
tanganku, kita bahkan bisa bangun Bengawan Solo menjadi kali
bertingkat. Pasar modern di tingkat atas, makam pahlawan di
bawahnya. Atau seluruh Mojokuto bisa kita ubah jadi Kramat
tunggaknya Asia. Itu cepat sekali menaikkan devisa daripada
Negara. Atau Batavia kita penuhi dengan kuli-kuli peranakan,
untuk bangun tiruan great wall atau taman mini nusantara,
dengan upah paksa.109
Kutipan di atas mewakilkan asal usul Sinta Salim. Ki Ageng
tidak sembarang memilih perempuan sebagai selir. Perempuan
yang dijadikan selir lebih beruntung daripada perempuan biasa
yang dijadikan budak. Selain ia diperlakukan baik, seorang selir
juga dapat hidup dengan layak tanpa takut dijadikan objek amarah
jika ada kesalahan.

108
Ibid., h. 27.
109
Ibid., h. 46.
95

Sinta Salim dengan baik memanfaatkan perannya, sehingga


keberadaannya diakui. Dilihat dari aspek sosial dalam keluarga
maupun masyarakat, ia menjadi wanita yang berfungsi bagi kedua
aspek tersebut.

b. Mbok Tirah

Dilihat dari aspek sosial dalam keluarga, Mbok Tirah adalah


sebagai orang tua tunggal dari anak laki-lakinya. Mbok Tirah
dalam naskah Cannibalogy dicitrakan sebagai perempuan yang
sabar, mengayomi, dan menjadi simbol sebagai tempat kembali.
Nyatanya seorang anak yang tumbuh besar akan mencari jati
dirinya masing-masing, mencari kesuksesan, dan memiliki
kehidupan yang baru. Namun sejauh apapun anak itu berkelana, ia
memiliki titik kembali, dan salah satunya yaitu orang tua.

Suhar: Suha mau cari wangsit. Suhar mau berjuang. Pamit


Mbok. (mencium tangan Mbok Tirah. Berangkat dengan
gembolannya)110
Mbok Tirah, dengan gembolan barang kelontongan hangus di
punggungnya, menemani Suhar. Jalanan sepi dan gelap, belatar
belakang hutan. Mbok Tirah menerangi parit yang digali Suhar
dengan lampu senthir di tangan.111
Penggalan dialog di atas menunjukkan perjalanan Suhar. Ketika
ia telah berpamitan kepada Mobok Tirah. Setengah hati Mbok
Tirah merelakan anaknya pergi. Suhar tetap pergi, dan Mbok Tirah
terus mencari anaknya. Mereka dipertemukan kembali ketika di
akhir cerita. Suhar sudah bangkrut dan terpuruk, dititik ini akan ada
orang yang selalu mendukung dan menyayanginya. Mbok Tirah
hadir untuk menemani Suhar dan memberikan arahan kembali
seperti di awal cerita.

110
Ibid., h. 2.
111
Ibid., h. 66.
96

Ridho tuhan ada pada ridho orang tua. Di awal kepergian Suhar
untuk bertapa memang sudah dilarang oleh Mbok Tirah. Seolah
seorang ibu tau yang terbaik untuk anaknya. Suhar pun mengalami
keterpurukan lebih parah dari sebelumnya.

Dilihat dari aspek sosial masyarakat, sosok ibu yang


digambarkan dalam naskah Cannibalogy tidak berpengaruh
terhadap lingkungan. Berbeda jika dilihat dari aspek sosial
keluarga. Meskipun seorang perempuan, namun Mbok Tirah
menjadi kepala keluarga. Seperti yang sudah dijabarkan di awal
tadi, Mbok Tirah sebagai penerang dalam kegelapan yang dilewati
Suhar. Layaknya seorang ibu pada umumnya.

c. Perempuan Kali Solo

Sundal Kali Solo termasuk orang-orang termarjinalkan. Jika


dilihat dari aspek sosial masyarakat pada umumnya, seorang sundal
adalah perempuan dengan pekerjaan hina. Menjual tubuhnya. Tapi
di naskah ini Benjon membalut sosok sundal bukan hanya
menjajahkan tubuhnya, melainkan sebagai algojo. Mengapa disebut
demikian, sebab tindakan yang dilakukan perempuan-perempuan
Kali Solo dengan perintah Suhar, yaitu merajam Suman sampai
mati.

Secara tidak langsung perempuan-perempuan yang bekerja


sebagai PSK memiliki kedudukan yang lumayan dibandingkan
perempuan yang hanya bekerja sebagai pembantu atau budak.
Perempuan dalam naskah Cannibalogy hanya memiliki dua pilihan,
pertama menjadi budak dan kedua menjadi mayat, kecuali ia
menikah atau dinikahi oleh lelaki yang memiliki kuasa dan harta
barulah ia untuk sementara secara fisik akan aman.
97

d. Perempuan Penduduk

Terakhir adalah posisi perempuan penduduk dalam masyarakat,


mereka biasa disebut Mbok. Mbok merupakan sebutan untuk
perempuan tua yang sudah lanjut usia, berkisar 50 tahun ke atas.
Mbok-mbok ini tugasnya melayani majikan, mereka bergerak
karena ada perintah, tidak ada negosiasi dan mereka tidak memiliki
hak suara sama sekali. Bahkan mereka sering menjadi pelampiasan
atas kemarahan majikan.

Sinta Salim : Berikan padaku, perempuan-perempuan Mojokuto


ini, menemaniku membersihkan diri.
Diiringi bunyi gamelan, delapan perempuan tua bangkit,
mengiringi Sinta Salim menuju tepi Bengawan Solo.112
Kutipan di atas merupakan gambaran perempuan penduduk atau
Mbok-mbok hanya menurut saja apa yang diperintahkan, karena
kedudukannya yang rendah dan tidak menguntungkan bagi
majikan, hidup mereka bagaikan robot yang sudah di atur. Berikut
kejadian yang menjadikan Mbok-mbok ini benar-benar tak berdaya
dan tak berarti.

Perempuan 1: Gusti… Ketiwasan…Ketiwasan.


Perempuan 2 : Nyai nyilem kali, Badannya tak kembali.
[…] Solih : Perempuan-perempuan ini bisa kasih informasi.
Kita apakan?
Suhar : Hmmm! Mereka pantas jadi tumbal untuk kesialan ini.
Habisi!113
Si Mbok-mbok yang hanya bisa menurut seringkali menjadi
sasaran dari kemarahan Suhar sebagai majikannya, contohnya pada
kutipan di atas. Padahal mereka sudah menuruti apa yang telah
diperintahkan majikannya, namun mereka harus membayar semua

112
Ibid., h. 57.
113
Ibid., h. 58.
98

kesialan yang menimpa majikannya meskipun hal tersebut bukan


mereka yang melakukan. Sebab kehadiran mereka tidak membawa
pengaruh apa-apa dan tidak dianggap oleh majikannya. Mereka
dari kalangan orang miskin, tidak memiliki pangkat, dan tidak
berpendidikan, hidupnya tidak berarti apa-apa.

Secara menyeluruh, perempuan yang diceritakan pada naskah


Cannibalogy memiliki peranan yang berbeda-beda, dan peran yang
diemban bukanlah hanya satu peran melainkan lebih. Sejatinya
perempuan dapat menjalankan peran tersebut dengan baik. Dalam
keluarga perempuan berikut menjalankan perannya dengan baik, Sinta
Salim sebagai istri yang menjalankan tugas domestiknya dengan baik.
Mbok Tirah pun sama, sebagai ibu ia mampu merawat anaknya hingga
dewasa dan memberikan pengetahuan yang dapat ia bagi kepada
anaknya. Dalam masyarakat, perempuan-perempuan mampu
menjalankan peranannya, Sinta Salim yang memerankan sebagai
pemimpin perang, Perempuan Kali Solo berperan sebagai sundal yang
memiliki tugas sebagai algojo meskipun dalam situasinya sebagai sundal
yang dinilai buruk bagi masyarakat, serta Mbok-mbok yang bertanggung
jawab menjalankan perannya sebagai budak atau pelayan, meskipun ia
harus menanggung dampak yang tidak disebabkan oleh mereka sendiri.

C. Implikasi Citra Perempuan dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya


Benny Yohanes dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Pendidik mempunyai kewajiban untuk mendidik siswanya menjadi lebih
baik dan lebih tahu. Pendidik pun harus kompeten dalam bidang sastra,
bukan hanya bahasa saja. Dalam bidang sastra terutama naskah drama,
pendidik dapat memberikan pemahaman mengenai nilai moral yang
terkandung dalam naskah tersebut untuk membentuk sikap dan moral
peserta didik menjadi lebih baik. Melalui pendidikan seperti ini, peserta
didik diajak untuk langsung membaca, memahami, dan menganalisis karya
sastra secara langsung. Mereka diajak berkenalan dengan sastra, tidak
99

melalui hafalan nama-nama judul karya sastra atau sinopsinya saja, tetapi
berhadapan langsung dengan karya sastranya.114
Naskah drama Cannibalogy karya Benny Yoanes dapat menjadi bahan
bacaan yang memberikan peserta didik pemahaman tentang keadlian dan
moral. Pendidik juga dapat memberikan pemahaman bagaimana keadaan
perempuan di lingkungan masyarakat yang terjadi dalam naskah
Cannibalogy dengan kehidupan realita. Peserta didik dapat mempelajarinya
melalui pembahasan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dari pembelajaran
tersebut diharapkan peserta didik dapat menghargai posisi apapun yang
diberkan kepada laki-laki atau perempuan, memperlakukan dengan adil
dengan memberikan hak-haknya, dan hal tersebut akan menjadi bekal untuk
peserta didik dalam hidup bersosial. Hasil analisis mengenai citra
perempuan ini juga dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di sekolah, Siswa mampu menemukan citraan perempuan
dengan menganalisis pada unsur intrinsik bagian penokohan atau
perwatakan. Dari dialog dan keterangan yang ada di dalam naskah akan
terlihat gambaran tokoh tersebut, sehingga dapat menggolongkan tokoh
seperti apa yang diperankan.
Dalam silabus pembelajaran SMA/MA kelas XI semester 1 terdapat
aspek pembelajaran mendengarkan, standar kompetensi mampu mengkritisi
teks drama, dengan kompetensi dasar yaitu siswa dapat memahami struktur
dan kaidah teks film / drama baik melalui lisan maupun tulisan serta mampu
mengungkapkan kembali kaidah teks film / drama dan menginterpretasi
makna teks film / drama dengan baik secara lisan maupun tulisan, dengan
menggunakan strategi pembelajaran aktif dan interaktif, contohnya diskusi
dan saling menanggapi. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengai
baik, strategi demikian bisa menggunakan metode pembelajaran dengan
cara tanya jawab, ceramah, diskusi, kerja kelompok, dan presentasi.
Tahapan ketika diimplikasikan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.
Pertama, peserta didik diberikan naskah drama Cannibalogy agar dibaca

114
Wahyud Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 168.
100

lebih dahulu sebelum dibahas, kemudian dibuat kelompok. Kedua, ketika


tiba waktunya guru membahas materi ini dan menjelaskan langkah-langkah
menganalisis unsur intrinsik khususnya penokohan / perwatakan, guru dapat
meminta peserta didik untuk menyimak dan bertanya. Ketiga, setiap
kelompok diminta untuk mengidentifiasi dan menganalisis unsur intrinsik
yang ada di naskah Cannobalogy. Keempat, setiap kelompok mengerjakan
tugas yang sudah disiapkan di buku paket. Kelima, setelah selesai
mengerjakan tugas, setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya
kemudian ditanggapi oleh kelompok lain sehingga mereka dapat
menyimpulkan hasil diskusi akhir dengan seluruh kelompok. Guru dapat
menanyakan secara lisan untuk menilai pemahaman yang didapat peserta
didik.
Setelah mempelajari materi mengenai naskah drama, peserta diharapkan
dapat bertambah wawasannya, berpikir kritis, dan dapat mengetahui
berbagai citra atau gambaran sosok perempuan di lingkungan masyarakat.
Serta dapat memahami bagaimana memposisikan perempuan dan laki-laki
dengan baik dan adil. M. Atar Semi mengatakan bahwa pelajar sastra di
sekolah bertujuan agar siswa memiliki kepekaan terhadap karya sastra
sehingga merasa termotivasi dan tertarik untuk membacanya. Dengan
membaca karya sastra diharapkan peserta didik memperoleh pengertian
yang baik tentang manuusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai dan
mendapatkan ide-ide baru.115

115
Atar Semi, Rancangan dan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1990), h. 152-153.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan data yang telah ditemukan, dikumpulkan, diklasifikasikan,
dan dianalisis, dari naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Citra perempuan dalam naskah Cannibalogy karya Benny Yohanes,
terbagi menjadi: a) Citra perempuan dalam aspek fisis, yang
dimunculkan yaitu sosok perempuan dewasa. Ciri fisis yang
digambarkan yaitu perempuan telah menikah namun belum memiliki
anak, tokoh perempuan yang sudah memiliki anak, dan perempuan
dewasa yang belum menikah. Selain itu, citra fisis yang terlihat yaitu
sosok perempuan kuat karena mereka digambarkan sebagai
perempuan yang independen, perempuan dapat melakukan hal
domestik dan umum lainny, contoh menjadi pemimpin perang,
menjadi algojo sebagai pemberi hukuman, dan mejadi motivasi bagi
sekitarnya. b) Citra perempuan dalam aspek psikis, yaitu perempuan
merupakan makhluk yang mampu beraspirasi dan berperasaan,
feminim, dan maskulin. Seperti perempuan yang berani
mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan. Sisi feminimnya
digambarkan dengan adanya ikatan batin seorang ibu terhadap
anaknya, dengan mengandalkan perasaan maka perempuan itu dapat
tahu mana yang buruk dan mana yang baik untuk anaknya. c) Citra
perempuan dalam aspek sosial, digambarkan sebagai makhluk sosial
yang mempunyai hubungan antar manusia baik perempuan atau pun
laki-laki. Perempuan yang masih hidup dalam superioritas laki-laki.
Perempuan yang masih berpikiran dinamisme dan percaya pada mitos.
Terdapat juga tokoh perempuan yang dapat mempengaruhi
kedudukannya dan hal itu dilihat dari segi ekonomi.
2. Citra perempuan dalam naskah Cannibalogy karya Benny Yohanes
dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

101
102

di tingkat SMA kelas XI (sebelas) semester 1, dalam aspek


mendengarkan. Standar Kompetensi yang ingin dicapai adalah agar
mampu mengkritisi teks drama. Kompetensi Dasar peserta didik
mampu memahami struktur dan kaidah teks drama baik melalui lisan
maupun tulisan, mampu mengungkapkan kembali kaidah teks drama,
dan dapat menginterpretasi makna teks drama, serta mampu
menemukan gambaran perempuan dalam naskah yang sudah
dibacakan. Pembelajaran sastra khususnya naskah drama ini
diharapkan mampu membantu siswa dalam keterampilan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan sejarah, mengembangkan kepekaan rasa
dan kreativitas, serta membentuk karakter peserta didik dengan nilai-
nilai positif. Nilai-nilai positif yang terkandung pada naskah karya
Benjon tersebut ialah tangguh dan pantang menyerah, mencontohkan
menjadi pemimpin yang baik dan adil, menghargai makhluk yang
hidup dan mati, memunculkan rasa empati dan simpati, dan terdapat
juga nilai positif mengenai persamaan hak dan peran antara laki-laki
dan perempuan. Oleh karena itu, setelah peserta didik mendapatkan
pembelajaran sastra, diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai positif
ke dalam kehidupan yang realita dan dapat membentuk karakter yang
lebih baik bagi peserta didik.

B. Saran
Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, ada beberapa
saran yang diajukan penulis, yaitu:
1. Pendidik memberikan bahan bacaan yang memiliki nilai positif dan
dapat diaplikasikan di kehidupan peserta didik dalam lingkungan
sekolah maupun di luar sekolah.
2. Pendidik dapat meningkatkan kreativitas dan menumbuhkan minat
dabelajar peserta didik terutama dalam pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia. Dan pendidik memberikan fasilitas untuk hal
tersebut dengan memberikan referensi yang beragam (karya-karya
sastra) agar tidak monoton.
103

3. Peserta didik dapat memperhatikan dan mengambil nilai-nilai positif


mengenai persamaan hak serta peran antara perempuan dan laki-laki.
4. Karya-karya sastra yang akan diberikan kepada peserta didik harus
dipilih lebih dulu, sesuaikan dengan yang ingin dipelajari.
Daftar Pustaka

Abrams, M.H. A Glossary of Literary Terms. Edisi ketiga. USA: Holt, Rinehart
and Wiston Inc, 1971.
Arriyanti. Citra Perempuan dalam Novel Putri Karya Putu Wijaya Kritik Sastra
Feminis. Padang: Balai Bahasa Padang, 2007.
Awuy, Tommy F., dkk. Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta, 1999.
Beauvoir, Simone De. Second Sex: Fakta dan Mitos. Surabaya: Pustaka
Promethea, 1999.
Cixous, Helena. Pengebirian atau Penggal Kepala, dalam Kumpulan Esai Hidup
Matinya Sang Pengarang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.
Dagun, Save M. Maskulin dan Feminim: Pria dan Wanita dalam Fisiologi,
Psiologi, Seksual, Karier dan Masa Depan. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Fautanu, Idzam. Filsafat Ilmu. Jakarta: Referensi, 2012.
Hamzah, A. Adjib. Pengantar Bermain Drama. Bandung: Rosda, 1985.
Hellwig, Tineke. In The Shadow of Change: Citra Perempuan dalam Sastra
Indonesia. Depok: Desantara, 2003.
--------------------. Citra Kaum Perempuan Di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007.
Humm, Maggie. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007.
Jacson, Stevi dan Jackie Jones. Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer.
Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indonesia: Puisi, Prosa, Drama. Jakarta: PT Perca,
2008.
Linggasari, Dewi. Yang Perkasa Yang Tertindas. Yogyakarta: Bigraf Publishing,
2004.
Miderop, Albertine. Metode Karakteristik Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005.
Nugiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2013.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Rahmanto, B dan S. Indah Paniadji. Drama. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
San, Suyadi. Drama Konsep Teori dan Kajian. Medan: CV. Pratama Mitra Sari,
2013.
Santoso, Anang. Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan.
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Sekarningsih, Frahma dan Heny Rohayani. Pendidikan Tari dan Drama.
Bandung: UPI Press, 2006.
Semi, Attar. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa, 1988.
Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jilid III. Jakarta: Ichtiar Baru- Van
Hoeve, 1982.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo, 2008.
Sugihastuti. Wanita Di Mata Wanita, Perspektif Sajak-sajak Toeti Herati.
Bandung: Penerbit Nuansa, 2000.
-------------. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Sumarjo, Jakob. Memahami Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu, 2004.
Sumarjo, Jakob dan Saini KM. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 1994.
Sumbullah, Umi. Spektrum Gender. Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Sofia, Adib. Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo. Yogyakarta: Citra
Pustka, 2009.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sakstra. Edisi Revisi. Bandung:
Angkasa, 2011.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought. Yogyakarta: JALASUTRA, 1998.
Tuloli, Nani. Teori Fiksi. Gorontalo: Nurul Janah, 2000.
Umar, Nasarudin., dkk. Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender.
Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Waluyo, Herman J. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita
Graha Widya, 2001.
Wiyanto, Asul. Terampil Bermain Drama. Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2002.
WS, Hasanuddin. Drama Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa, 1996.
Zaidan, Abdul Rozak., dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Dictionary.com. logy: The American Heritage Dictionary of the English
Language. Fourth Edition. Houghton Mifflin Company 2004. 20, 2008.
Fathiyaturrohmah. Ayat-ayat Tentang Peranan Ibu dalam Pendidikan Anak.
Jurnal Elementary. Vol. 2, 2014.
HZW. Liem Sioe Liong 1916-2012 dari Cengkeh Sampai BCA. Jurnal Budaya
Tionghoa dan Sejarah Tionghoa. 3, 2012.
Makaf, Akhyar., “Proses Kreatif Penciptaan Pertja Karya Benny Yohanes”, Tesis
pada Pascasarjana ISI Yogyakarta: 2014. tidak dipublikasikan.
Nurhazizah, Ulfah. “Biografi Tokoh Sastrawan Benny Yohanes”,
m2indonesia.com, 09 Agustus 2016.
Persi, Ferick Sahid. “Arkeologi Beha: Kehidupan Urban yang Rakus”,
www.panggungkita.com, 05 Januari 2017.
Riantiarno, Nano. “Profil Benny Yohanes”, www.kelola.or.id, 05 Januari 2017.
Yohanes, Benny. “Bank Naskah teater dan Naskah Drama: Naskah Pemenang
Federasi Teater”, www.bandarnaskah.blogspot.co.id, 05 Januari 2017.
Berikut ini akan dipaparkan berbagai karya Benjon berupa naskah drama
dan seni pertunjukannya:
Lampiran 1
Tabel 3.1
Naskah Drama Karya Benny Yohanes
No Judul Naskah Drama Tahun Terbit

1 Sangkuriang 1988
2 Momok 1989
3 Yang Berwajib 1989
4 Ibunda Elektronika 1990
5 Dobol 1992
6 Ibu Mencari Boedi 1992
7 Bersma Tengkorak 1993
8 Takoet 1994
9 1000 Watt 1997
10 BIUS 1997
11 Dubur 1997
12 Momok Zaman 1998
13 Sodom Kota Binatang 1998
14 Sumbi dan Gigi Imitasi 1998
15 Makan Hakan 1999
16 Telur, Tomat dan Seteguk Darah: 1999
Demokrasi Belum Nyali
17 Boen/ Cit Aku Ada karena Aku 1999
Mesum dan Ternoda
18 Gigolo Galileo 2000
19 Bendera Untuk Dewa 2000
20 Tubuh Melayoe 2000
21 Pipis 2000
22 EGG 2001
23 Metropolutan 2002
24 Aku Ke luar Menjemput Badai 2003
25 Hamlet Inside 2004
26 Sphinx Tripel-X 2004
27 ARKEOLOGI Beha 2004
28 Black Jack 2006
29 BIN 2008
30 Cannibalogy 2008
31 Shakespeare CARNIVORA 2009
32 Interupsi Jambal Roti 2009
33 Pertja 2010
34 Urban Corpus 2010
35 Manifest Urbanis 2010
Lampiran 2
Tabel 3.2
Esai Karya Benny Yohanes
No Esai Tahun Terbit

1 Antara Craft dan Teater Panggung 2002


Kecil
2 Pertumbuhan Pemodernan Teater 2002
Indonesia
3 Aktor, Transendensi, Putu dan Taksu 2004
4 Teks Leteral dan Antagonis 2004
Kontemporer dalam Teater
5 Kritik Teater: Tulisan Diskursif, 2005
Tulisan Alkemis
6 Aku, Teror dan Refleksi Psiko Budaya 2005
7 Teater Sebagai Teks Bersuspensi 2007
8 Intertekstualitas Sastra Naskah 2010
Legenda Sangkuriang dalam Naskah
Sumbi dan Gigi Imitasi
Lampiran 3
Tabel 3.3
Pertunjukan yang Disutradarai Benny Yohanes
No Judul Pertunjukan Karya Tahun

1 Caligula Albert Camus 1983


2 Pelacur Terhormat Jean Paul Sartre 1987
3 Pakaian dan Kepalsuan Averchenko 1987
4 Kisah Perjuangan Suku Naga Rendra 1988
5 Amat Berontak Saini KM 1988
6 Momok Benjon 1989
7 Yang Berwajib Benjon 1989
8 Ibunda Elektronika Benjon 1990
9 Architrue Robert Pinget 1991
10 Ibu Mencari Boedi Benjon 1992
11 End Game Samuel Beckett 1993
12 Bersama Tengkorak Benjon 1993
13 Pinangan Anton Chekhov 1994
14 Takoet Benjon 1994
15 Dag Dig Dug Putu Wijaya 1995
16 Senja dan Dua Kematian Kirdjomulyo 1996
17 Bius Benjon 1997
18 Dubur Benjon 1997
19 Sodom Kota Binatang Benjon 1998
20 Makan Hakan Benjon 1999
21 Hikayat Celana Dalam Benjon 1999
22 Boen/ Cit Aku Ada Karena Aku Benjon 1999
Mesum dan Ternoda
23 Telur, Tomat dan Seteguk Darah Benjon 2000
24 Gigolo Galileo Benjon 2000
25 Tubuh Melayoe Benjon 2000
26 Jas Panjang Pesanan Wolf Mankowich 2001
27 ARKEOLOGI Beha Benjon 2003
28 Monolog Aku Ke Luar Benjon 2004
Menjemput Badai
29 Monolog Hamlet Inside Benjon 2004
30 Monolog Black Jack Benjon 2006
31 Shakespeare CARNIVORA Benjon 2009
32 Interupsi Jambal Roti Benjon 2009
Lampiran 4
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA SEKOLAH SMAN 4 Tangerang Selatan


MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS /SEMESTER XI (sebelas) / 1 (Satu)
PROGRAM IPS
ASPEK Membaca
PEMBELAJARAN
STANDAR 5.0 Memahami naskah drama
KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR 5.1 Mengidentifikasi peristiwa, pelaku, dan perwatakannya,
dialog dan konflik pada pementasan drama

INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI :


No Indikator Pencapaian Kompet ensi Nilai Budaya Dan Kewirausahaan/
Karakter Bangsa Ekonomi Kreatif
1 Menentukan tokoh, peran, dan wataknya  Bersahabat/  Kepemimpinan
2 Menentukan konflik dengan menunjukkan komunikatif  Keorisinilan
data yang mendukung  Kreatif
 Percya diri
3 Menentukan tema dengan alasan

4 Menentukan pesan dengan data yang


mendukung

5 Merangkum isi drama berdasarkan dialog


yang dibaca

6 Mengaitkan isi drama dengan kehidupan


sehari-hari
ALOKASI WAKTU 2 x 45 menit ( 2 pertemuan)
TUJUAN PEMBELAJARAN
TUJUAN  Mampu menentukan tokoh, peran, dan wataknya
 Mampu menentukan konflik dengan data yang
mendukung
 Mampu menentukan tema dengan alasan
 Mampu menentukan pesan dengan data yang mendukung
 Mampu merangkum isi drama berdasarkan dialoh yang
dibaca
 Mampu mengaitkan isi drama dengan kehidupan sehari-hari
MATERI POKOK Teks drama/ video rekaman pementasan drama
PEMBELAJARAN Unsur intrinsik (tokoh, penokohan, alur, tema, amanat) teks
drama
Menginterpretasi makna pada teks drama

METODE PEMBELAJARAN
v Presentasi
v penugasan
v Diskusi Kelompok
v Tanya Jawab
v Menyimpulkan

STRATEGI PEMBELAJARAN
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
 Memahami teks film/  Menganalisis teks film/  Siswa dapat
drama drama berdasarkan unsur memahami unsur
intrinsik yang intrinsik teks
terkandung film/drama serta
 Masing-masing mengkritisi teks yang
kelompok dapat telah dipelajari
mengungkapkan
pendapat dari hasil
diskusi
KEGIATAN PEMBELAJARAN

ALOKASI
KEGGIATAN KEGIATAN PEMBELAJARAN
WAKTU
PEMBUKA  Guru memberi salam dan memberi pertanyaan 20 Menit
(Apersepsi) yang berhubungan dengan pembelajaran
sebelumnya tentang teks film/ drama serta
bertanya kepada siswa mengenai karakter atau
sifat teman sebangku.
 Guru memutarkan rekaman beberapa cuplikan
adegan pementasan drama. Video yang
ditayangkan terdapat tokoh-tokoh perempuan.
 Eksplorasi 70 Menit
 Guru menjelaskan beberapa teknik yang sangat
Kegiatan Inti : penting dalam mengkritisi teks drama. Setiap
penjelasan langsung disertai contoh yang
terdapat dalam teks drama
 Guru membagi siswa menjadi lima kelompok
 Elaborasi
 Siswa membaca teks drama secara utuh. Dengan
berdiskusi dengan teman kelompoknya, siswa
menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik di
dalamnya.
 Siswa berdiskusi untuk merumuskan mengkritisi
teks drama.

 Siswa mempresentasikan hasil diskusinya di 70 menit


muka kelas dan ditanggapi secara kritis oleh
anggota kelompok lain.
 Guru mengobservasi kinerja dan keterlibatan
setiap siswa dalam berdiskusi maupun
presentasi
 Guru mengamati bagian yang belum dipahami
dan dapat didiskusikan kembali
 Guru mengulas hasil presentasi setiap kelompok
 Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
 Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum
diketahui
 Menjelaskan tentang hal-hal yang belum
diketahui
 Memberikan kata kunci kepada siswa terkait
hasil diskusi akhir agar mudah diingat
PENUTUP  Guru mengakhiri kegiatan pembelajaran dengan 20 Menit
(Internalisasi memberikan pesan agar peserta didik selalu
dan refleksi) belajar agar dapat menjawab soal-soal Kuis Uji
Teori untuk mereview konsep-konsep penting
tentang mengkritisi teks film/ drama yang telah
dipelajari
 Guru memberikan kuis berkenaan dengan aspek
pengetahuan dan keterampilan.
 Guru memberikan arahan kegiatan berikutnya
dan tugas pengayaan
 Siswa diajak merefleksikan nilai-nilai serta
kecakapan hidup (live skill) yang bisa dipetik
dari pembelajaran
 Guru menyampaikan tugas mandiri (dikerjakan
di rumah): mencermati teks. Pengamatan
difokuskan pada karakter tokoh terutama tokoh
perempuan
SUMBER BELAJAR
V Pustaka rujukan Buku Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik
kelas XI SMA/SMK/MA/MAK semester 1
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013

Drama Karya dalam dua dimensi karya Hasanuddin


W.S

Material: Naskah drama Cannibalogy


V Mediacetak dan Naskah / video pertunjukan drama
elektronik
Website internet
Lingkungan Lingkungan masyarakat sekitar siswa

PENILAIAN
V Tes Lisan
V Tes Tertulis
V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio
TEKNIK DAN BENTUK V Pengukuran Sikap
V Penilaian diri
V Penilaian kelompok
Tugas untuk menganalisis teks drama
INSTRUMEN /SOAL Tugas untuk mendiskusikan dan mempresentasikan hasil
analisis teks drama
Daftar pertanyaan Kuis uji teori untuk mengukur
pemahaman siswa atau konsep-konsep yang telah
dipelajari
RUBRIK/KRITERIA Blangko observasi dan penilaian kinerja siswa dalam
PENILAIAN/BLANGKO mengikuti diskusi dan presentasi (terlampir di bawah)
OBSERVASI

Mengetahui Tangerang,
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

NIP. NIP.
Lampiran 5
URAIAN MATERI

A. Pengertian Drama
Pementasan yang memerankan beberapa karakter tokoh dalam sebuah
naskah itulah disebut pementasan drama, Pernah dapat sebuah materi bahasa
indonesia yang berjudul drama? Saya yakin pasti jawabannya sudah.
Kebanyakan orang senang menyaksikan sinetron yang ada di televisi, itulah
salah stu contoh sebuah drama.
Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan
kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan
dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda dengan lakuan
dan dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.1 Dialog adalah
percakapan di dalam karya sastra antara dua tokoh atau lebih. Di dalam
dialog tercermin pertukaran pikiran atau pendapat; dipakai di dalam drama,
novel, cerita pendek, dan puisi naratif untuk mengungkapkan watak tokoh.
Dialog dalam drama berfungsi untuk mengemukakan persoalan secara
langsung, menjelaskan tentang tokoh atau perannya, menggerakkan plot
maju; dan membuka fakta.
Berbicara tentang drama, terdapat dua aspek yang perlu di pahami dan
dipisahkan. Yang pertama ialah aspek penulisan naskah dan kedua aspek
pementasan. Meskipun keduanya berbeda, namun terdapat ikatan hubungan
yang sangat erat. Sebagai sebuah bentuk karya sastra, penyajian drama
berbeda dengan bentuk kesusastraan lainnya, cerpen dan novel misalnya.
Pada novel dan cerpen masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan
tokoh-tokoh melalui kombinasi antara narasi dan sedikit dialog, sedangkan
sebuah drama pada hakikatnya terdiri atas dialog dan sedikit prolog.
Pementasan sebuah drama akan memudahkan penikmat sastra untuk
memahami drama, karena penikmat akan lebih mudah mengerti dan
memahami dialog yang diucapkan dengan intonasi dan artikulasi yang

1
E.Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia: Puisi, Prosa, Drama, (Jakarta: PT Perca, 2008), h. 81.
sesuai jika dibandingkan dengan membaca dialog-dialog pada naskah drama
secara langsung. Dengan dialog, akan terlihat penokohan, permasalahan dan
peristiwa yang hendak dikemukakan oleh pengarangnya. Akan tetapi, jika
pemahaman tersebut terus dipaksakan dan berorientasi dengan pengertian
seperti di atas, drama akan kehilangan dimensi sastranya, dan hanya akan
menonjol dari seni pertunjukannya saja.
Menurut jenisnya, pementasan drama dapat digolongkan menjadi empat
macam yaitu drama tragedi, drama komedi, melodrama, dan dagelan.
1. Drama tragedi adalah drama yang melukiskan kisah sedih. Tokoh-
tokohnya menggambarkan kesedihan. Tokoh dalam drama tragedi ini
disebut tragic hero artinya pahlawa yang mengalami nasib tragis.
2. Drama komedi adalah drama yang bersifat menghibur, di dalamnya
terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir , dan biasanya berakhir
dengan kebahagiaan. Tokoh-tokoh dalam drama jenis ini biasanya tolol,
konyol, atau bijaksana tetapi lucu.
3. Melodrama adalah cerita yang sentimental. Artinya tokoh dan cerita yang
disuguhkan mendebarkan dan mengharukan. Tokoh dalam jenis drama
ini biasanya digambarkan hitam-putih. Tokoh jahat digambarkan serba
jahat, sebaliknya tokoh baik digambarkan sangat sempurna baiknya
hingga tidak memiliki kesalahan dan kekurangan sedikit pun.
4. Dagelan (farce) adalah drama kocak dan ringan. Alurnya disusun
berdasarkan perkembangan situasi tokoh. Isi cerita biasanya kasar dan
fulgar. Drama jenis ini juga disebut komedi murahan atau komedi
picisan.
B. Unsur-unsur Drama
Adapun unsur-unsur drama adalah:
 Penokohan atau Perwatakan
 Setting atau Latar
 Alur atau Plot
 Tema
 Amanat
Dalam Kurikulum 2013, analisis drama banyak diarahkan pada analisis
tentang penokohan.
1. Tokoh
Tokoh dalam drama disebut tokoh rekaan yang berfungsi sebagai
pemegang peran watak tokoh. Hal-hal yang melekat pada tokoh dapat
dijadikan sumber data atau informasi guna membuka selubung makna
drama secara keseluruhan. Tokoh dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa kelompok, yaitu:
Berdasarkan peran terhadap jalan cerita, ada tokoh protagonis, tokoh
antagonis, dan tokoh tritagonis.
a. Tokoh protagonis adalah tokoh utama cerita yang pertama-tama
menghadapi masalah. Tokoh ini biasanya didudukkan penulis sebagai
tokoh yang memperoleh simpati pembaca/penonton karena memiliki
sifat yang baik.
b. Tokoh antagonis adalah tokoh penentang tokoh protagonis.
c. Tokoh tritagonis disebut juga tokoh pembantu, baik membantu tokoh
protagonis maupun antagonis.
Berdasarkan peran dalam lakon serta fungsinya, ada tokoh sentral, tokoh
utama, dan tokoh pembantu.
a. Tokoh sentral adalah tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak
lakon. Tokoh sentral merupakan biang keladi pertikaian. Dalam hal ini
tokoh sentral adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
b. Tokoh utama adalah pendukung atau penentang tokoh sentral. Mereka
dapat berperan sebagai perantara tokoh sentral. Dalam hal ini, yang
berperan sebagai tokoh utama ialah tokoh tritagonis.
c. Tokoh pembantu yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap
atau tambahan dalam mata rantai cerita. Kehadiran tokoh pembantu
ini hanya menurut kebutuhan cerita. Tidak semua lakon drama
menghadirkan tokoh pembantu.
Mengenal dan memahami tokoh mutlak dilakukan oleh calon pemeran,
sebab akan memungkinkannya mengenal benar hubungan tokoh yang
akan diperankannya dengan tokoh-tokoh lainnya. Dengan demikian, akan
memperjelas sifat dan perilaku tokoh yang harus diperankannya.
2. Latar
Latar atau setting adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Latar
meliputi tempat, waktu, dan budaya yang digunakan dalam suatu cerita.
Latar di dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan
permasalahan drama. Latar juga berguna untuk menghidupkan cerita.
Setting atau latar mengacu pada waktu, suasana, dan tempat terjadinya
cerita tersebut. Latar akan memberikan persepsi konkret pada sebuah
cerita pendek. Ada 3 jenis latar dalam sebuah cerpen yakni latar tempat,
waktu dan suasana.
3. Alur
Alur adalah urutan jalan cerita dalam cerpen yang disampaikan oleh
penulis. Dalam menyampaikan cerita, ada tahapan-tahapan alur yang
disampaikan oleh sang penulis. Diantaranya:
a. Tahap penyituasian
b. Tahap pemunculan masalah / konflik
c. Peningkatan masalah / konfik
d. Tahap klimaks
e. Tahap penyelesaian
Tahap-tahap alur tersebut harus ada di dalam sebuah cerita. Hal ini
bertujuan agar cerita tidak membingungkan orang yang membacanya.
Konflik adalah ketegangan di dalam cerita rekaan atau drama;
pertentangan antara dua kekuatan. Pertentangan ini dapat terjadi dalam
diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat
lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan.
Istilah lain: tikaian.
Ada 2 macam alur yang kerapkali digunakan oleh para penulis, yakni:

a. Alur maju. Alur ini menggambarkan jalan cerita yang urut dari awal
perkenalan tokoh, situasi lalu menimbulkan konflik hingga puncak
konflik dan terakhir penyelesaian konflik. Intinya adalah, pada alur
maju ditemukan jalan cerita yang runtut sesuai dengan tahapan-
tahapannya.

b. Alur mundur. Di alur ini, penulis menggambarkan jalan cerita secara


tidak urut. Bisa saja penulis menceritakan konflik terlebih dahulu,
setelah itu menengok kembali peristiwa yang menjadi sebab konflik
itu terjadi.

4. Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup yang melatarbelakangi
ciptaan karya sastra. Biasanya yang melatarbelakang dalam menulis
naskah drama menyangkut tenntang persoalan kehidupan, berupa
ideologi, ekonomi, sosial budaya, politik, dan keagamaan.
5. Amanat
Amanat (Moral value) adalah pesan moral atau pelajaran yang dapat kita
petik dari cerita pendek tersebut. Di dalam suatu cerpen, moral biasanya
tidak ditulis secara langsung, melainkan tersirat dan akan bergantung
sesuai pemahaman pembaca akan cerita pendek tersebut.

B. Contoh Naskah Drama Contoh teks drama

Cannibalogy
Naskah drama ini menceritakan tentang seorang penguasa diktator yang
menguasai suatu daerah . ia merupakan seorang penguasa yang semena-
mena. Karena sifatnya yang tidak baik, maka akhirnya penguasa tersebut
jatuh dan diberikan hukuman seumur hidupnya.
BABAK I
Fragmen 1
Lewat tengah malam. Kuburan desa pinggiran Mojokuto. Sebuah makam sedang
digali. Dari tengah kampung, sayup-sayup terdengar gamelan mengiringi adegan
perang pada pertunjukan wayang. Dari liang makam nampak sosok kepala
plontos sedang menggaruk tanah dengan kedua tangannya. Dengus nafas dan
suara gagak saling menimpal. Angin kencang.
Seonggok jasad dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos memanggul jasad ke
bahunya. Gerakannya sigap. Keringat mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya
coklat keruh. Hitam matanya.
Suman : Guru, syaratnya sudah dapat. Ini baru yang kelima. Ya,.....harus tambah
dua lagi. Ilmuku hampir sampai. Semua syarat akan kupenuhi, guru. Hah, aku
lapar. Aku bosan melarat. Aku minta kaya! Aku ingin kebal dari senjata. Gusti,
paringono kuat slamet!
Suara gamelan perang meninggi. Suman berjalan tergesa ke timur, menembus
gelap. Kuburan sesaat senyap. Bias api obor menyorot ke areal makam. Muncul
dua orang tentara desa, Kuro dan Sentolo.
***
Mbok Tirah : O...Nang... Wetonmu iku Seloso Kliwon. Kamu cocoknya ya
berdagang. Itu sudah garis hidupmu. O...alah, kok sekarang semuanya malah
kamu obong. Sing eling tho Nang...nang...
Suhar : (Wajahnya mengeras, tapi sikapnya mantap)
Mbok Tirah, aku sudah bangkrut. Nasibku sempit di sini. Kampung ini sepertinya
menolakku.
Mbok Tirah : Jangan putus asa. Gusti Allah sing dhuwe kuasa. Pergi ke desa
lain,Suhar. Coba lagi. Pasti laku daganganmu. Bapakmu dulu juga begini. Tapi
ndak pernah sampai ngobong. Rejeki harus disyukuri. Gusti Allah ora sare.
Suhar : Mbok, aku memang mau pergi. Ke Solo. Aku mau bertapa di Bengawan
Solo.
Mbok Tirah : Bertapa ? Siapa yang menyuruhmu, nang ?
Suhar : Suhar mau cari wangsit. Suhar mau berjuang. Pamit,mbok.
(Mencium tangan Mbok Tirah. Berangkat dengan gembolannya)
Fragmen 3
Hari yang lain. Dekat hutan. Selewat subuh. Gubuk tua. Suman sedang membakar
daging. Asap mengepul. Belasan orang bersenjata tajam mengendap-endap
mendekatinya dari arah belakang. Segera orang-orang merangseknya.
Suman : (Membalik, sorot matanya menantang. Mulutnya masih mengunyah
keratan daging hangus. Suaranya tenang, berjalan mendekati orang-orang) Mau
coba ?
Massa : Bunuh! Bunuh!!
(Dari arah belakang, Kuro menerjang dan meringkus Suman. Sentolo
menyudahinya dengan pukulan keras batang kayu ke kepala Suman. Suman
rubuh. Massa bersorak. Pukulan bertubi ke tubuh Suman. Muncul Daeng, dalam
seragam hitam prajurit)
Kuro : Lihat sendiri. Dagingnya sudah dibikin sate. Lainnya sedang direbus.
Lihat di lehernya. Itu masih daging korban juga. Malah dibikin kalung. Orang ini
gemblung, Daeng.
Sentolo : Matanya melotot terus. Seperti burung hantu. Nantang dia. Ada setan di
dagingnya. Kamu ini manusia apa binatang ?!
Fragmen 4
Hari yang lain. Malam belum tua. Sebuah kelokan di tepi Bengawan Solo.
Cahaya bulan meronai wajah pepohonan. Rumput tinggi. Suara serangga malam.
Suhar : Ini tempatnya. Mirip seperti mimpiku. Alam akan memberi tanda-
tanda.Takdir baruku mulai dari sini. (Memungut sesuatu dari hampar batu) Apa
ini? (Membaca judul majalah) Playboy. (Membuka halaman, nafasnya mendadak
terengah)
Cahaya tajam seperti kilat menyambar jidat Suhar. Tubuhnya tersungkur ke
hampar batu. Muncul sosok kurus kecil, kepalanya berkuluk hijau tua,
mengenakan baju batik berlapis-lapis. Di tangannya terhunus keris yang masih
mengepulkan asap.
Ki Butho : Aku penunggu Bengawan Solo.
Suhar : Saya datang Ki Butho. Saya minta ijin eyang, saya mau...
Ki Butho : Sudah kubaca maksudmu. Romanmu bagus,cah. Tapi jiwamu belum
bersih, Suhar.
Suhar : Mohon saya dibersihkan, Ki.
Ki Butho : Kamu sedia syaratnya ?
Suhar : Ada, Ki. Kemenyan, cerutu, beras hitam, air kembang, daun kelor, darah
ayam cemani.
Ki Butho : Masih kurang.
Suhar : Bisa saya penuhi, Ki.
Ki Butho : Satu kerbau betina yang masih perawan. Dan edisi terbaru majalah
yang kau pegang itu.
Suhar : Yang dua itu, saya belum sedia, Ki. Saya juga belum paham kaitannya
dengan maksud saya.
Ki Butho : Suhar, Suhar. Kamu ini mau tapa brata, minta berkah kekayaan dan
kemulyaan. Tapi apa yang kamu bawa?! Cuma kemenyan dan sebotol darah
ayam. Lainnya cuma tetek bengek murahan. Penuhi semua syaratnya. Baru aku
bisa membimbingmu membaca rencana alam untuk kamu.
Suhar : Apa yang mesti saya perbuat, Ki ?
Ki Butho : (Menempelkan ujung keris ke kepala Suhar) Kau dan aku akan
mengikat sebuah perjanjian. Setiap kali nasibmu membaik, kau harus kembali ke
Bengawan Solo. Memberi makan sungai besar ini. Bukan dengan darah ayam,
Suhar. Kau harus memberi makan Bengawan Solo dengan darah segar yang
sesungguhnya. Satu kepala baru untuk setiap kali alam mengangkatmu ke derajat
lebih tinggi. (Nada suaranya berubah, tekanan dan ancaman ) Sanggup ?
Suhar : Saya belum paham...
Ki Butho : Pada waktunya kau akan paham. Darah !( Dengan ujung kerisnya Ki
Butho mengoleskan darah ayam cemani ke kening Suhar. Sisanya dikucurkan
melingkar di sekeliling mezbah batu, dimana Suhar bersimpuh ) Cerutu ! (Suhar
menyodorkan cerutu.Ki Butho ambil cerutu, lalu menyalakannya. Terbatuk) Ah,
cerutu murah. Kau boleh mulai semedi malam ini. Tempat ini sudah aku lindungi.
Fragmen I. 5
Hari yang lain. Siang hari. Lapangan terbuka sebelum pendopo Mojokuto.Tiga
pemain jathilan, dengan pakaian sorban dan jubah putih menunggang kuda
gebyok. Kepala kuda berbentuk kepala plontos, serupa kepala Suman, tapi
dengan mulut menganga dan bergigi serigala. Pemain jathilan memecut kepala
plontos itu. Semakin kuat pecutan, semakin atraktif gerakan pemainnya. Di
belakangnya nampak tubuh Suman, yang digotong serupa babi buruan. Tinggal
cawat menutupi tubuh Suman. Penduduk Mojokuto memainkan musik dari
pukulan bambu dan besi. Arak-arakan itu sampai ke depan pendopo. Daeng naik
ke lantai pendopo, memasuki pintu, lalu sesaat ke luar lagi, mendatangi massa.
Daeng : Mas Ageng, pemimpin Mojokuto, sedia menerima kalian.
Mas Ageng muncul. Sosoknya pendek, berkulit hitam, alisnya setebal kumisnya.
Tubuhnya berisi. Di bahunya menclok seekor iguana, yang selalu dielusnya. Mas
Ageng masih mengunyah sirihnya. Sinta Salim,selir Mas Ageng, seorang
perempuan peranakan, membawakan tempolong.
Mas Ageng : Mana orangnya ?
Daeng : ( Kepada Kuro dan Sentolo) Lepaskan talinya!
Suman digelandang ke depan Mas Ageng. Didudukkan di atas tanah. Mas Ageng
memandanginya sesaat. Alis Suman setebal rambut alis dirinya.
Mas Ageng : Kamu senang daging ?
Suman : Tidak suka.
Mas Ageng : (Suaranya berubah meninggi dan tegas) Suman, kenapa mayat
mbah Sirep kamu makan ?!
Suman : (Berlutut di depan kaki Mas Ageng)Saya ingin kaya, tuan. Dan saya ingin
kebal dari senjata. Saya ingin jadi prajurit. Maju perang. Membela tanah yang
kupijak.
Sentolo : (Merenggut kepala Suman. Menempelkan golok ke leher Suman)
Bohong!! Ngawur!! Gemblung!! Hukum dia, den Mas. Penclas lehernya! Biar dia
nyahok! Beri aku perintah, den Mas.
Suman : Jika sekarang tuan ijinkan golok ini menebas leherku, teruskan, tuan.
Aku tidak melayani rasa sakit. Kalau hari ini harus menjadi hari kematianku,
Suman hanya menyesal, sedikit sekali baktiku untuk tanah Mojokuto.
Sentolo : (Mendesak Mas Ageng) Den Mas,.....
Mas Ageng : (Mengambil golok dari tangan Sentolo. Dengan isyarat tangan
meminta Sentolo mundur. Meminta pada Daeng). Daeng, baringkan.
(Daeng menelentangkan tubuh Suman di atas sebatang gebok pisang. Mas Ageng
menempelkan ujung golok ke dada Suman)
Orang-orang Mojokuto, dengarkan keputusanku. Orang ini miskin. Begitu juga
pikirannya. Dia tidak hormat pada jasad orang mati, karena dia merasa harus
bertahan hidup. Tak ada orang lain memberinya jalan keluar. Dia mencari jalan
keluar di dunia orang mati. Pikirannya menjadi bagian dari kematian itu juga.
Tapi orang ini berkeras hati ingin hidup. Kalau dia mau hidup, dia harus berpikir
seperti orang hidup. Dia harus patuh pada hukum.
Mas Ageng : (Mas Ageng menekankan ujung golok lebih keras ke dada Suman.
Suman menahan nafas. Penduduk bersorak )
Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang-orang Mojokuto, dengarkan
keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum bukan menyakiti. Juga bukan
untuk menghabisi. Menghukum itu, menyembuhkan.
Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di dunia orang
hidup,dan hormat di dunia orang mati. Kau dihukum untuk hidup. Maka, kau
harus bekerja merawat seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti
kau menjaga kehidupanmu sendiri, Itulah baktimu untuk tanah Mojokuto. Sekali
saja kau langgar ini, berarti kau gagal untuk sembuh. Dan kalau kau gagal
sembuh, maka tanganku sendirilah yang akan menjadi hukum untuk hidupmu!
(Dengan sepenuh tenaga, Mas Ageng menancapkan golok ke batang gebok
pisang. Golok tegak terpasak. Cairan semerah darah meleleh dari lapisan gebok.
Orang-orang takjub. Suman bersimpuh di kaki Mas Ageng)
Setelah itu terdengar letusan meriam. Suara kepanikan awalnya sayup lalu makin
menegas. Perintah untuk mengungsi dan embikan hewan ternak berbaur, dengan
suara letusan senjata yang terdengar makin kerap. Sejumlah penduduk tergopoh,
berduyun mencari perlindungan di sekitar pendopo. Suasana serentak kalut.
Daeng melindungi Mas Ageng.
Kebo muncul, terluka tembak di bahunya.
Daeng : Kebo, apa terjadi ?
Kebo : Mojokuto diserang. Rumah-rumah dibakar.
Mas Ageng : Siapa mereka ?
Kebo : Dari laut utara datangnya. Lusinan kapal besi, dengan bendera merah biru
merapat ke pantai. Syahbandar melaporkan, mereka cuma kapal dagang pembeli
rempah. Tapi mereka tidak seperti pedagang.
Mas Ageng : Kapal besi ?
Kebo : Dengan senjata meriam, dan pasukan berseragam. Badan mereka tinggi,
berkulit putih, dengan topi lancip bersurai. Mereka menyisir gudang rempah, dan
membongkar paksa pintu-pintunya. Rempah-rempah dijarah. Pasukanku yang
melawan, mereka tembak. Penduduk ditawan. Mereka bersiap menuju kemari,
dengan kuda, dan meriam.
Mas Ageng : Siapa pemimpinnya ?!
Kebo : Landless. Panglima Landless. Pasukannya menyebut nyebut nama itu
sambil bernyanyi, menendang penduduk dan membakar gudang gudang yang
sudah mereka kuras isinya.
Terdengar lagi dentuman meriam. Lalu suara pasukan berkuda, makin menegas.
Mars yang bergelora.
Daeng : Kita akan melawan!
Mas Ageng : Daeng, siapkan seluruh pasukanmu, dan siaga di gerbang timur.
Kebo, kau akan menahan setan putih itu bersama pasukan Murod, di gerbang
barat. Perintahkan penduduk mengungsi ke tepi hutan. Aku sendiri yang akan
menjaga pendopo. Laksanakan segera!
Daeng : Segera! Kebo, kita akan melawan. (Berlari ke timur)
Kebo : Sampai darah terakhir! (Berlari ke Barat)
(Letusan senjata makin kerap. Gerombolan penduduk berlarian. Sesaat sepi,
tanpa suara. Suman masih bersimpuh.)
Sinta Salim menarik kain panjangnya, lalu ujungnya diselipkan ke pinggang. Dia
memasang busur dan anak panah.
Sinta Salim : (Berteriak nyaring) Cantrik Dalem! Bela Mojokuto!
Dari arah lain masuk belasan perempuan, siap dengan panah dan busur. Sinta
Salim berjalan ke luar pendopo, diikuti belasan perempuan itu.
Lampiran 6
Lembar Kerja Siswa
(LKS)
Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Analisislah unsur intrinsik dari naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes:

Unsur
No. Jawaban Bukti
Intrinsik
1. Tokoh /
penokohan

Alur
2.
a) Penyituasian
b) Pemunculan
konflik
c) Peningkatan
konflik
d) Klimaks
e) Penyelesaian

3. Latar
a) Waktu
b) Tempat

4. Teman

5. Amanat
Lampiran 7

Jawaban Lembar Kerja Siswa (LKS)

No
Unsur Intrinsik Jawaban Bukti
.
1. Tokoh/Penokoh Naskah drama Cannibalogy
an karya Benjon memiliki 25
tokoh, terdiri dari 4 tokoh
perempuan dan 21 tokoh
laki-laki. Tokoh-tokoh
tersebut diberi nama: Sinta
Salim, Mbok Tirah,
Perempuan Kali Solo,
Perempuan Penduduk,
Suhar, Suman, Ki Butho,
Ageng rais, Landless, Kuro,
Sentolo, Daeng, Kebo,
Hoffman, Minke, Kerpo,
Linggar, Suto, Solih, Amir,
Yusuf, Djono, Kulit Putih,
Pasukan Serdadu.
a. Antagonis, yaitu Ki Butho : kamu ini kejam
Suhar. Dia kejam suhar, tapi lucu.. (Benny
dan tidak peduli Yohanes, hlm. 46)
terhadap sesama.
b. Protagonis, yaitu Shinta Salim: Tipu daya!
Suman. Dia seorang Jangan bunuh Suman! Aku
yang bertanggung akan mati bersamanya..(hlm.
jawan. 52)
Suman: Gusti.. ampuni mereka.
mereka tidak tahu. Gelap
hatinya. Nyai.. bela Mojokuto!
Tanganku tak sampai (hlm. 53)
kejdian ini berlangsung ketika
Suman rela mengorbankan
nyawanya demi menyelamatkan
tanak kelahiran dan Shinta
Salim. Karena Suman sudah
diberi amanat untuk menjaga
Mojokuto dan seluruh isinya.
c. Tritagonis. Yaitu Ketika suman di Babak 1
Agng Rais. Ia tidak melakukan kesalahan, Ageng
membantu siapa Rais memberikan hukuman
pun, ia hanya yang setimpal dan tidak dengan
penggambaran tokoh kekerasan. Begitu juga kepada
yang berpegang suhar, gi Babak 4 Suhar juga
teguh pada keadilan. berikan hukuman yang setimpa
tanpa kekerasan.

2. Alur Tahap Situation dalam …Sosok kepala plontos


a) Penyituasian naskah drama Cannibalogy memanggul jasad ke bahunya.
karya Benjon dimulai dari Gerakannya sigap. Keringat
fragmen pertama dan kedua mengkilat dari bidang dadanya.
yakni dengan menceritakan Kulitnya coklat keruh. Hitam
sejarah hidup tokoh-tokoh matanya (Benny Yohanes, hlm.
utama dalam naskah ini, 1)
yakni Suman dan Suhar. Jangan putus asa. Gusti Allah
sing dhuwe kuasa. Pergi ke desa
lain,Suhar. Coba lagi. Pasti laku
daganganmu. Bapakmu dulu
juga begini. Tapi ndak pernah
sampai ngobong. Rejeki harus
disyukuri. Gusti Allah ora sare.
(Benny Yohanes, hlm. 2)

b) Pemunculan Tahap pemunculan konflik Suman...gubuk Nyi Mas


konflik yang terjadi dalam naskah kosong. Pintu terkunci, tapi
drama Cannibalogy karya jendelanya terbuka. Tak
Benjon terletak pada mungkin Nyi Mas bersekongkol
fragmen II. 4, pada fragmen melarikan diri. (Benny
ini digambarkan penculikan Yohanes, hlm. 28)
Sinta Salim oleh Suhar.

c) Peningkatan Peningkatan konflik dalam Suhar :


konflik naskah Cannibaligy karya (Bicara sambil menginjak
Benjon dapat terlihat pada gundukan tubuh) Alas Puputan
fragmen III.3. Pada fragmen obong! Tumpas sudah semua
ini menceritakan gerombolan. Kita kembali ke
penyerangan Alas Puputan Kali Solo. Rayakan
oleh pasukan Suhar untuk kemenangan!
menangkap Suman dan Pasukan Suhar :
Sinta Salim. Jayalah Suhar!
Solih :
Suman kita tangkap.
Perempuannya juga.
Suhar :
Wanita itu urusanku. Borgol si
Suman. Aku mau semua sundal
Kali Solo merajamnya. (Benny
Yohanes, hlm. 48)

d) Klimaks tahap klimaks disampaikan Suhar :


pada fragmen III. 5. Dalam(Lemah) O, ancur tenan. Ucul
fragmen ini, kehancuran kabeh...Ki, saya tak bisa berdiri
Suhar dimunculkan. Suhar tanpa kakimu. Alam menutup
yang menjadi tokoh utama gerbangnya untukku.
mengalami konflik batin Pernikahanku tanpa restu. Alam
dengan keadaan yang harus sedang melawanku. Sekarang
ia hadapi. Semua yang saya sendiri. Lemah kakiku. Ah,
diinginkannya hancur. harus kurebut lagi! Kekuasaan
itu semua, atau tidak sama
sekali! (Benny Yohanes, hlm.
59)
e) Penyelesaian Tahap penyelesaian Pasukan yang dipimpin Daeng,
disampaikan dalam fragmen tiba-tiba masuk menyerbu gua.
IV. Pada fragmen ini Moncong-moncong senjata
menggambarkan peristiwa diarahkan pada Suhar dan
penyergapan Suhar oleh kelompoknya.
pasukan Mas Ageng di Daeng :
dalam Gua Semar. Ageng Rais, pemimpin
Mojokuto, menahan anda.
(Benny Yohanes, hlm. 61)
3. Latar Jika dilihat secara … Kuburan desa pinggiran
a) Tempat keseluruhan latar tempat Mojokuto. Sebuah makam
yang digunakan dalam sedang digali. Dari tengah
naskah drama Cannibalogy kampung, sayup-sayup
adalah pulau Jawa, karena terdengar gamelan mengiringi
terdapat beberapa fragmen adegan perang pada pertunjukan
yang menyebutkan beberapa wayang. (Benny Yohanes, hlm.
daerah di pulau. Selain itu 1)
terdapat pula sebuah desa
yang sering kali digunakan
sebagai latar tempat dalam
naskah Cannibalogy, yaitu
desa Mojokuto. Desa
Mojokuto merupakan Latar
tempat yang mendominasi
peristiwa penting dalam
naskah drama Cannibalogy.

b) Waktu Latar waktu dalam naskah Solih :


Cannibalogy tidak Mayat-mayat sudah diangkat
digambarkan secara dari lubang. Tujuh orang.
gamblang. Meskipun Korban diiris-iris. Mereka
demikian, petunjuk waktu masih hidup waktu dikubur
dapat dianalisis melalui paksa di sumur kering. Orang-
peristiwa-peristiwa yang orang terbaik yang kita punya.
secara faktual terdapat Suhar :
dalam sejarah.melaului Ya..ya. Itu kerjaan BTI.
peristiwa-peristiwa yang di Pengacau! Mereka komplotan si
gambarkan dalam naskah, Suman juga. Makamkan
dapat diperkirakan latar semuanya dengan baik. Kasih
waktu yang digunakan gelar sebagai pahlawan
pengarang adalah sekitar revolusi. Biar rakyat seneng.
tahun 1965-1998 atau Solih :
diketahui sebagai masa Harus kita tangkap
Orde Baru. gembongnya.
Suhar :
Pasti. Aidil dan Untung. Kejar
mereka sampai Madiun. (Benny
Yohanes, hlm. 36)
Suman: (Berlutut di depan kaki
Ki Ageng) saya ingin kaya,
tuan. Dan saya ingin kebal dari
senjata. Saya ingin menjadi
prajurit. Maju perang. Membela
tanah yang kupijak. (Benny
4. Tema Secara keseluruhan yang Yohanes, hlm. 11)
menjadi unsur pembangun
dalam keseluruhan isi cerita
serta mampu menjadi ide
dasar dari naskah drama
Cannibalogy karya Benjon
yaitu “ketamakan”. Manusia
yang memiliki sifat tamak
akan mengandalkan segala
cara untuk memperoleh apa
yang diinginkannya, dan
tidak akan pernah puas atas
apa yang didapat.

5. Amanat Secara menyeuruh, amanah


yang di dapat dari naskah
drama ini memusatkan pada
sosok seorang peminpin
yang harus adil. Bukan
hanya diperuntukkan
kepada laki-laki, perempuan
pun sama.
Lampiran 8
Penilaian Kelompok

Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Kelas :
Tanggal penilaian :

No. Aspek-aspek yang dinilai Nilai


A B C D
1. Antusiasme peserta kelompok dalam
penyusunan tugas.
2. Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.
3. Ketuntasan menyelesaikan tugas.
4. Keberanian dalam mengemukakan
pendapat.
5. Tingkat perhatian pada kelompok lain
yang sedang mempresentasikan hasil
diskusi.

Petunjuk:
Lembar ini diisi oleh guru untuk menilai kelompok dalam menyelesaikan tugas
dan mengemukakan pendapat. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai
dengan sikap sosial yang ditunjukkan oleh peserta didik dalam kelompok dengan
kriteria sebagai berikut:
Baik sekali (A) : skor 81-90
Baik (B) : skor 71-80
Cukup (C) : skor 61-70
Kurang (D) : skor 51-60
Biografi Penulis

Dede Zakiyah, lahir di Tangerang bertepatan dengan hari Sumpah


Pemuda, 28 Oktober 1994. Anak yang lahir dari sepasang kekasih makhluk Tuhan
yang bernama Helmi Fu’ad dan Susilawati, telah menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar di SDN 01 Gintung pada tahun 2006, SMP Mat’laul Anwar pada
tahun 2009, dan SMAN 11 Kab. Tangerang pada tahun 2012, dan langsung
melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Perempuan yang akrab disapa Deza, memiliki kegemaran bernyanyi dan
mendengarkan cerita sejak balita. Ia memiliki imajinasi yang tinggi, semakin
bertumbuh dewasa semakin bertambah pula kreativitas pada otak kanannya.
Kuliah pada bidang yang sejalan dengan hobbynya pun menambah pengetahuan
yang menjadikan ia semakin professional. Tidak hanya praktik yang ia kuasai,
teori pun ia mampu memahami.

Bergelut di dunia seni, membuatnya semakin gesit dan lebih sadar dengan
apa yang harus dilakukan. Ia mampu mengolah rasa dan raga dengan apik,
sehingga memaknai betul proses hidup yang telah diberikan Tuhan.. Hobby yang
ditekuni mendatangkan berbagai prestasi, ia meraih Juara Tingkat Nasional
sebagai pendongen termuda pada tahun 2013, menjuarai Stylist Competition di
tingkat Nasional pada tahun yang sama, menjadi pelatih, juri, dan pembimbing
teater diberbagai teater dan pertunjukkan. Menyutradarai pertunjukan dan
menghasilkan karya-karya prosa lainnya. Dapat dilihat di IG (@dezakiy). ^_^

Anda mungkin juga menyukai