PERBUDAKAN
(Analisis Tematik Terhadap Hadits-Hadits Perbudakan)
DISERTASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Doktor Dalam Ilmu Agama Islam
Disusun Oleh
T A S B I H, M.AG.
NIM: 01.3.00.1.05.01.0058
PROMOTOR:
PROF. DR. H. NASARUDDIN UMAR, MA.
DR. H. SAHABUDDIN, MA.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008 M/1429 H
SURAT PERNYATAAN
: T a s b i h, M.Ag.
: 01. 3. 00. 1. 05. 01. 0058
: Ulusalu Kab. Luwu, 08 Mei 1970
: Jln. Gelatik No. 1 (Fakultas Ushuluddin IAIN
Sultan Amai Kota Gorontalo)
Pekerjaan
: Mahasiswa S3 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
menyatakan dengan sebenarnya bahwa Disertasi yang berjudul: Konsep Islam
dalam Menghapuskan Perbudakan (Analisis Tematik Terhadap Hadits-Hadits
Perbudakan) adalah benar-benar karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang
disebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekeliruan yang terdapat di dalamnya
sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya; dan apabila di kemudian hari ternyata
tidak benar, maka saya bersedia menerima sangsi berupa pencabutan gelar.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
T a s b i h, M. Ag.
Nim. 01.3.00.1.05.01.0058
SURAT PERSETUJUAN
Jakarta,
Pembimbing I,
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA.
(.)
Pembimbing II,
Dr. H. Sahabuddin, MA.
(.)
SURAT PERSETUJUAN
Jakarta,
Tim penguji:
1. Dr. H. Ujang Thalib, MA.
(Ketua/ Penguji)
(....)
(...)
(...)
(...)
(...)
KATA PENGANTAR
:
Segala puji bagi Allah, dengan anugerahNya penulis mendapatkan
kesehatan dan kekuatan sehingga disertasi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari
bahwa disertasi ini rampung karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sedalmdalamnya kepada mereka yang secara langsung maupun tidak langsung telah
memberikan dukungan dan bantuan bagi penyelesaian penulisan disertasi ini.
Mereka itu antara lain:
1. Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo, Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.
Ag. dan mantan Ketua STAIN/PJS Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo,
Drs. H. Muhammad N. Tuli, M.Ag. atas dukungan dan perhatiannya, baik
moril maupun materil. Dalam setiap kesempatan beliau selalu mengingatkan
penulis agar segera menyelesaikan penulisan disertasi ini.
2. Kedua promotor penulis sekaligus penguji, masing-masing Prof. Dr. H.
Nasaruddin Umar, M.A. dan Dr. H. Sahabuddin, M.A. yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis. Selain
mengoreksi, beliau juga melakukan kritikan yang bersifat mendidik demi
sempurnanya disertasi ini.
3. Tim penguji masing-masing Dr. H. Ujang Thalib, MA. selaku ketua sidang
merangkap penguji, Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA, dan Prof. Dr. Sutjipto
yang telah banyak memberikan arahan dan koreksi terhadap disertasi ini; jasa
beliau-beliau amat berarti bagi diri penulis.
4. Rektor dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian juga seluruh staf dan karyawannya atas pelayanan akademiknya.
Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada Kepala dan karyawan
Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta atas pelayanan tulusnya.
5. Para Guru Besar dan seluruh dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Kehadiran mereka telah membuka wawasan dan
kesadaran intelektual baru dalam memperluas cakrawala ilmu keislaman
penulis.
6. Kepala dan staf Perpustakaan IAIN Sultan Amai Gorontalo dan
Perpustakaan Umum UIN Alauddin Makassar, yang telah memberikan
pelayanan dan fasilitas sehingga literatur yang dibutuhkan untuk penulisan
disertasi ini dengan mudah dapat diperoleh.
7. Kepada kedua orang tua penulis, yang telah bersusah payah mengasuh,
mendidk dan mengarahkan anak-anaknya untuk tidak berhenti belajar. Selain
itu, doa dan harapannya memiliki tempat tersendiri dalam diri penulis.
8. Kepada istri tercinta Andi Saidah Hafid, M.Ag. dan ketiga putra-putri
tersayang, Wika Tazkirah Tasbih, Muhammad Zaky Abdullah Tasbih dan
Syarifah Ummi Kalsum Tasbih. Mereka telah banyak mendorong dan
memberikan motivasi selama penulis kuliah. Khususnya ketiga putra putri
tersayang, waktu bermainnya dan hak mendapatkan perhatian telah banyak
tersita oleh kesibukan penulisan disertasi ini. Doa dan harapan agar mereka
kelak lebih baik daripada ayahnya.
Alamin.
Jakarta, April 2008 M
Penulis,
T a s b i h, M. Ag.
PEDOMAN TRANSLITERASI
( ARAB LATIN )
Konsonan
Vokal Pendek
=a
= dh
=b
= th
=t
= zh
= ts
=j
= gh
=h
=f
= kh
=q
=d
=k
= dz
=l
=r
=m
=z
=n
=s
=w
= sy
=h
= aw
= sh
-y
= ay
=a
=I
=u
Vokal Panjang
Diftong
Hal-hal khusus
1. Ta marbthah ( ) jika terdapat di dalam kalimat ditulis t, dan jika
terdapat di akhir kalimat ditulis h.
2. Alif lm
( ) selalu ditulis dengan (al-) meskipun huruf yang
menyertainya adalah syamsiyyah maupun qamariyyah.
SINGKATAN
ed.
H.
h.
hh.
HR
M.
ra.
QS.
saw.
swt.
tth.
ttp.
w.
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Editor
Hijriah
halaman
halaman-halaman
Hadis Riwayat
Masehi
, ,
Quran Surah
tanpa disebutkan tahun terbit
tanpa disebutkan tempat terbit
wafat
ABSTRAK
ABSTRACT
This dissertation discloses the untruth fact that Islam legalizes slavery.
Phillip K. Hitti for example, states that Islam preserves the institution of ancient
Arab slavery, and even legalizes it. Abdullah Ahmad al-Naim, on the other hand
admits that Islam does recognize slavery as institution, and stipulates its disciples
to liberate the slaves in various ways; yet, so far there is no single verse that
definitely forbids the practice. After disclosing the concept applied by the
Prophet in resolving slavery issue, it can be concluded that Islam, as a mater of
fact, does not legalize slavery. The Prophet himself undertook a social reform on
the system during his Prophetic mission. For example, the status of a slave in the
era of the Prophet (pbuh) was no longer the same as before. The slaves were told
about their rights and responsibilities, they were free to move, to speak, and even
to decide their own fate.
Some previous works share arguments that Islam legalizes slavery.
Among others: Syubhat Hawla al-Islam (Beirut: 1973) by Muhammad Quthub.
He declares that there are teachings of Islam which are misunderstood by some
people, so that they get a sort of understanding which is actually in reverse to the
real meaning of Islam. The misunderstood teachings are among others
concerning slavery. Sayyid Ameer Ali in The Spirit of Islam, A History of The
Evaluation an Ideals of Islam with a Life of Prophet (New Delhi: 1978) states
the accusation that Islam legalizes slavery is due to the misinterpretation of
people on the substance of Islamic teachings, socio historical of Arabian
community prior to the Prophet era and the failure of Moslems in countering the
issue of slavery. Nizham al-Riqqi fi al-Islam (Jordan: 1984) by Abdullah Nashih
Ulwan concludes that Prophet Muhammad (pbuh) drained out all sources of
slavery but the war of syar ie; The Prophet even had liberated slaves
progressively in line with brilliant legal principles.
The aforementioned works do not specifically elaborate slavery cases
except the work of Ulwan. Yet, Ulwan discusses more on how Islam deals with
slavery. Since this dissertation focuses on moral themes found in Hadits that
Islam does not legalize slavery, there are consequently some differences
particularly in the methods and approach used.
The primary source of this dissertation is Hadits on slavery searched
through the kutub al-tisah. The mentioned Hadits is compiled by using thematic
method. Furthermore, they are analyzed using historical approach based on the
principles of Islamic teachings namely, humanity, liberty, equality and justice.
ix
. ) (Philip K. Hitti
- - .
) (
. .
The
) Prophet :
( ) (
.
) (
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.
SURAT PERNYATAAN ..
PERSETUJUAN PEMBIMBING.
PERSETUJUAN TIM PENGUJI..
PEDOMAN TRANSLITERASI
ABSTRAK.
KATA PENGANTAR... ...
DAFTAR ISI.
BAB I.
BAB II.
i
ii
iii
iv
v
vii
x
xiii
1
1
15
15
16
16
PENDAHULUAN .............
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Permasalahan.............
1. Identifikasi Masalah ..
2. Batasan Masalah.
3. Rumusan Masalah .............
C. Kajian Pustaka .....
D. Kerangka Teori..
E. Tujuan Penelitian ..
F. Signifikansi ...........
G. Metode Penelitian .
H. Sistimatika Penulisan ...
16
19
24
25
25
28
31
A. Pengertian..
B. Sejarah Perbudakan...
1. Fenomena-fenomena Perbudakan Secara Umum..
2. Perbudakan Sebelum Islam: Stratifikasi Sosial
Masyarakat Arab....
3. Perbudakan Setelah Datangnya Islam
C. Eksistensi Hadits-Hadits Perbudakan
D. Perbudakan dan Persoalan Kemanusiaan: Sebuah
Problem Syariah.
31
35
35
49
54
63
68
xiv
BAB III.
BAB IV.
BAB V.
DAFTAR PUSTAKA ..
83
83
83
87
93
102
109
110
113
117
118
127
129
133
137
140
140
160
160
183
192
205
217
217
221
225
BAB I
PENDAHULUAN
Mc Dougal, Miles S. Harold D. Lasswell, dan Lunchu Chen, Human Rights and World
Public Order (New Haven: Yale University Press, 1980), h. 473
2
QS. al-Rm (30) : 30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
3
Yang dimaksud Orientalis di sini adalah Sarjana Barat non-muslim yang sengaja
mempelajari Islam dan dunia Islam dengan niat yang tidak tulus atau bahkan sengaja mencari
kelemahan Islam. Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar Oksadentalisme:Sikap Kita Terhadap
Barat, karya Hasan Hanafi, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. xiv, menyatakan bahwa kajian yang
mereka fokuskan bisa berkenaan dengan bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu etnografi,
kesusastraan, dan kesenian. Muin Usman, Orientalisme dan Studi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 8. Ia mengatakan bahwa dalam melakukan studi tentang ketimuran khususnya hadits, sering
mengeralkan kesimpulan dengan sikap skeptis mereka sehingga seringkali hasil yang dikeluarkan
adalah penolakan atas hadits karena dianggap sebagai sesuatu yang palsu dan akal-akalan para
muhadditsn semata.
John Markoff, Waves of Demokracy, Social Movements and Political Change, terj. Ari
Setyningrum dengan judul Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan politik
(Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 39.
5
Selain perbudakan, menurut Quthub, hal-hal yang masih disalahpahami adalah persoalan
zakat, hak-hak perempuan, pengharaman riba, pelapisan sosial, dan pengaturan hubungan seksual.
Selanjutnya lihat Muhammad Quthub, Syubht Haula al-Islm, (Beirut: Dr al-Syurq, 1973), h.
105-109.
6
Abdullah Ahmed al-Nam, Syariah dan Isu-Isu HAM, dalam Charles Kurzman, Ed.
Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 381. Bandingkan dengan pernyataan V.S. Naipul. Naipul mengatakan bahwa
kaum muslimin panik oleh keyakinan mereka yang membingungkan. Seperti yang dikutip oleh
Akbar S. Ahmed dalam buku Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Societ,
terjemahan Zulfahmi Andri dengan judul Membedah Islam, (Bandung : Pustaka, 1997), h. 1.
pada hak asasi manusia berasal dari al-Quran dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad
saw., akan tetapi menurutnya, masalah tersebut masih merupakan suatu kesenjangan
dalam Islam.7
Untuk mencari akar dan prinsip dasar hak dan kebebasan dalam Islam,
Arkoun mengatakan bahwa sejak 1400 tahun silam, Islam telah memberikan hak
asasi manusia yang ideal. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kehormatan
dan harga diri kepada manusia dengan menghapuskan segala macam eksploitasi,
penindasan dan ketidakadilan. Hak asasi manusia dalam Islam ditentukan oleh
Tuhan sebagai pembuat hukum. Mengingat sumber Ilahiyah ini, maka tidak ada
pemimpin, pemerintah, majelis atau otoritas lain apa pun yang dapat membatasi,
menghapus atau melanggar hak dan kebebasan yang telah diberikan oleh Tuhan
tersebut.8
Jika diteliti secara cermat, prinsip persamaan merupakan inti dari struktur
sosial Islam. Persamaan itulah yang menjadi corak konstruksi ajarannya. Islam
melindungi hak dan kebebasan manusia; seperti hak hidup, hak milik, hak keamanan
beragama, jiwa, kehormatan diri, harta dan keturunan, yang biasa diistilahkan
dengan al-dharuriyyt al-khamsah,9 atau sesuatu yang dianggap sebagai hal yang
urgen dalam pandangan syariat Islam.
Pembuat syariat telah menetapkan hukuman yang berat ataupun qishash
untuk memberikan perlindungan, agar tidak ada pelanggaran terhadap hak dan
sejarah
10
Yusuf al-Qardhw, Min Fiqh al-Dawlah f al-Islm, terjemahan Kathur Suhardi, dengan
Judul Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h.
71. dalam tulisan yang lain, al-Qardhw mengatakan bahwa sejak Islam menetapkan pembolehan
kepemilikan pribadi, sejak itu pula ada fenomena, bukti dan jaminan pertama untuk kebebasan,
eksistensi, dan kelestariannya. Pada saat yang sama, sebenarnya Islam telah memenuhi dorongan
fitrah yang murni pada manusia, yaitu kecintaan untuk bebas memiliki. Tulisan tersebut terdapat
dalam Daurul Qiym wa al-Akhlq f Iqtishd al-Islm, terj. Didin Hafiduddin dkk. Peran Nilai
dan Moral dalam Perekonomian Islam (Jakarta: Rabbani Press, 2001), h. 361.
11
Seperti yang dikemukakan oleh Muhsin al-Mayli dalam bukunya Rujir Gharudi wa alMusykilt al-Dniyyah, terj. Rifyal Kabah dengan judul Pergulatan Mencari Tuhan: Perjalanan
Religius Roger Garaudy (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 132.
dan bukan pula soal yang aneh dan tercela. Bahkan filsafat Yunani dengan
kecemerlangan pikirannya pun meyakini kebaikan sistem perbudakan.12 Demikian
juga ajaran-ajaran agama lain yang didukung dan diasuh oleh tukang-tukang tenung
dan pendeta, tidak pernah mempersoalkan masalah yang satu ini. Di tengah suasana
masyarakat seperti itulah Rasulullah saw. datang untuk pertama kalinya dalam
sejarah umat manusia memperdengarkan bahwa semua manusia adalah saudara,
semuanya mempunyai keturunan yang satu dan sama. Semua manusia mempunyai
hak dan kewajiban yang sama, mereka diciptakan agar saling mengenal serta saling
mengasihi, hanya satu yang bisa membedakan antara satu dan yang lainnya yaitu
taqwa.13
Ketika itu manusia untuk pertama kalinya pula dalam sejarah mendengar
bahwa kaum budak harus dimerdekakan, dan orang-orang yang hidup sengsara
harus dibantu keluar dari kehinaan, kelaparan dan kenistaan. Barang siapa yang
menghendaki keridhaan Ilahi, ia harus mengatasi semua rintangan yang
menghalangi tujuan itu.14 Sayangnya, karya-karya muslim kontemporer yang
12
Lihat Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Malaysia: Thinkers Library, 1996), h. 159.
QS. al-Hujurt (49) : 13.
13
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal,
sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian ialah yang paling takwa.
14
QS. al-Bald (90) : 11-16.
- - - -
Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari
kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.
berjasa
Lihat misalnya Ali Abdel Wahid al-Wfi, Human Right in Islam dalam Islamic
Quarterly, vol 11, 1967, h. 64. Ismail al-Farqi, Islam and Human Right dalam Islamic Quarterly,
vol. 27, 1983, h. 12.
16
Arkoun Rethinking, h.194.
bapak kalian adalah satu, maka ketahuilah bahwa tidak ada kelebihan antara orang
Arab dan orang yang bukan Arab, antara kulit putih dan kulit hitam kecuali pada
taqwanya.17 Di dalam Islam, barang siapa yang tidur dengan perut kekenyangan
sementara tetangganya dengan perut yang kosong misalnya, dianggap bukan seorang
anggota dari masyarakat muslim. Diriwayatkan dari Anas ra., dari Nabi saw, beliau
bersabda: Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seseorang tidak dianggap
beriman sampai ia mencintai tetangganya, atau terhadap saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.18
Peraturan hukum Islam dalam sebuah negara, tidak akan memperoleh
legitimasi hanya melalui pemeriksaan shalat dan ketaatan formal terhadap hukum,
tetapi pertimbangan yang utama adalah dari stuktur sosial masyarakat. Ajaran yang
disampaikan Rasulullah saw. bukanlah agama yang formal dan ritualistik semata,
tapi lebih dari itu, juga merupakan sebuah struktur soaial politik. Penerapan hukum
oleh Rasulullah saw., tidak dimulai dari hukum pidana untuk menakut-nakuti kaum
miskin dengan hukuman potong tangan, tetapi hal itu baru datang kemudian setelah
17
Dari Abi Nadrah bahwa telah menceritakan kepadaku orang-orang yang mendengarkan khutbah
Rasulullah saw. pada hari tasyri Rasulullah bersabda: Hai sekalian manusia, ketahuilah bahwa
Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian adalah satu, maka ketahuilah bahwa tidak ada kelebihan
antara orang Arab dan orang yang bukan Arab, antara kulit putih dan kulit hitam kecuali pada
taqwanya.(Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz v, nomor hadis 22391), h. 213.
18
Selengkapnya riwayat itu ialah:
Dari Anas ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seseorang
tidak dianggap beriman sampai ia mencintai tetangganya, atau terhadap saudaranya sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, dalam kitab Shahih-nya pada
Kitab Imn, juz 1, nomor urut hadis 65, h. 21.
kaum miskin dan kaum yang tertindas memperoleh haknya melalui pembangunan
keadilan sosial.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa konsep universalisme ajaran
Rasulullah saw. terkadang terbuka pada masalah hubungan antar peradaban.
Misalnya dengan kebudayaan-kebudayaan lokal dari berbagai kawasan yang dalam
arti teknis lambat laun mengalami pengislaman. Kenyataan ini menurut Nurcholish
Madjid tidak dapat dipungkiri karena Islam dilihat dari segi doktrin, adalah bersifat
universal, namun dilihat dari segi peradaban, Islam terkait dan berintegrasi dengan
daerah-daerah yang dimasukinya.19 Islam diturunkan untuk memperbaiki kehidupan
umat manusia agar berjalan sesuai dengan formulasi yang dapat mewujudkan
kebaikan berdasarkan petunjuk yang berasal dari ajaran-ajaran wahyu. Akan tetapi
realitas kehidupan manusia dan perjalanan hidupnya, baik secara individual maupun
sosial, tidak akan berjalan secara mekanis hanya dengan memberikan penjelasan
tentang kebenaran yang terkandung dalam wahyu. Mengapa? Karena kehendak
manusia menempati posisi antara wahyu dan kehidupan nyata, sehingga manusia
harus berperan aktif di dalamnya. Interaksi itu harus mengikuti syarat-syarat yang
berkaitan dengannya. Syarat yang penting untuk itu ialah memahami kehidupan
nyata manusia, mengenali hakikatnya, serta mengetahui sifat dan karakter yang
membentuknya.
Di antara kebiasaan yang berlaku, bahwa obyek apapun yang hendak
diperbaiki, harus memenuhi syarat utama demi kesuksesan perbaikan tersebut, yaitu
harus bertitiktolak dari pengetahuan mengenai hakikat, sifat dan karakteristik
sesuatu. Pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman bagi perencanaan
perbaikan, penetapan metode, dan sarana yang sesuai dengan sifat dan karakteristik
obyek yang hendak diperbaiki. Jika tidak didasari pengetahuan seperti itu, maka
upaya perbaikan akan menjadi semacam uji coba yang banyak mengalami
19
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Bandung: Mizan, 1995), h. 81.
Pada zaman Romawi kuno, budak-budak tidak hanya disuruh bekerja di ladang-ladang
atau lahan produktif lainnya, akan tetapi di samping pekerjaan rutin itu, mereka disuruh menghibur
tuan-tuan mereka dengan bertaruh nyawa. Budak-budak dijadikan tontonan menarik dengan cara
mengadu sesama mereka dalam satu perkelahian hidup-mati. Mereka saling bunuh untuk
mempertahankan hidup mereka masing-masing. Keringat bercucuran, darah mengalir dan mereka
yang terkapar seperti ayam menyambut kematian, adalah hiburan yang sangat menyenangkan bagi
tuan-tuan mereka. Lihat Muhammad Quthub, Syubht, h. 36
10
Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja, maka
kaffarat (melanggar) Sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan
yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak.
24
QS. al-Mujdalah (58) : 3.
Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-istri itu
bercampur.
25
Lebih jelasnya lihat pembahasan bab IV, khususnya pada sub bab C, nomor 2, sub-sub c.
26
Lebih jelasnya lihat pembahasan bab IV, khususnya pada sub bab C, nomor 2, sub-sub b.
11
yang melahirkan anak dari tuannya, ia menjadi merdeka jika tuannya meninggal
dunia; anak-anaknya adalah anak yang sah dan menikmati hak yang sama dengan
hak-hak wanita merdeka. Bahkan ketentuan yang tak kalah pentingnya namun
hampir tidak diketahui secara umum, yaitu si tuan harus bersedia menyetujui
permintaan budak untuk membebaskan dirinya.27
Di belakang fakta-fakta yang disebutkan di atas, tampaknya perbudakan
mula-mula timbul ketika tentara pada zaman dahulu menang dan tidak membunuh
musuh mereka yang sudah kalah itu. Akan tetapi memakai tenaga mereka sebagai
pekerja yang tidak dibayar sebagai suatu ekspresi yang praktis dan material dari hak
pihak yang menang.28 Benih dari sistem yang melindungi nyawa para tahanan
perang berasal dari faktor bahwa Islam telah menjamin keselamatan pribadi budak
dan mendudukkan mereka dalam kedudukan yang sama dengan orang merdeka
sehingga pemilik budak tidak punya hak untuk membunuh budaknya. Sebaliknya, ia
harus memberikan kepada mereka hak-hak dalam hukum bahkan hak menuntut.
Sudah jelas bahwa perlindungan atas jiwa tahanan perang merupakan kontribusi
yang orisinal dan progresif dari konsepsi Islam pada waktu itu.
Mengenai perlakuan yang sesungguhnya, kepercayaan kepada persamaan
alamiah antara manusia telah memberikan kedudukan khusus bagi para budak
muslim. Nabi Muhammad saw melarang untuk menunjuk mereka dengan kata-kata
budak, akan tetapi harus dengan kata-kata saudara atau anak (gulm), karena
27
Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian membuat
perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka.
28
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, alih bahasa H. M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), h. 131. Selain akibat peperangan, kemiskinan dan penculikan juga menjadi faktor
penyebab adanya perbudakan. Penjelasan yang saling melengkapi, lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairi,
Minhajul Muslimin Muamalah alih Bahasa Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, dengan judul
Pola Hidup Muslim, (Bandung: Rosda Karya, 1991), h. 383.
12
manusia menjadi hamba hanya kepada Allah. Dalam beberapa peristiwa Nabi
memperingatkan kepada para sahabatnya bahwa budak-budak itu adalah manusia
yang sama derajatnya dengan kalian, yang Tuhan mempercayakan di bawah
tanggungan kalian.29 Manusia yang beriman tidak membenarkan adanya eksploitasi
manusia terhadap sesamanya. Tidak membenarkan pula adanya penghinaan terhadap
hak dan martabat manusia serta pembedaan manusia berdasarkan kelas, ras, genetik
dan sejenisnya. Pembenaran terhadap tindakan-tindakan ini, apalagi melakukannya,
berarti pelecehan terhadap Tuhan.30
Senada dengan itu, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa manusia
seharusnya melihat ke atas hanya kepada Tuhan sebagai Pencipta dan kepada alam
seharusnya melihat ke bawah. Sedangkan kepada sesama manusia seharusnya
melihat mendatar.31
Pertanyaan yang rumit dan terus membayangi beberapa kalangan ialah
mengapa Rasulullah saw. yang mendukung pembebasan budak dan telah mengambil
langkah radikal untuk mencapai tujuan itu tidak mengambil langkah tegas dalam
menghapuskan perbudakan untuk selamanya?
Untuk mendapatkan jawaban yang memadai, tentu saja memerlukan
penelitian terhadap berbagai aspek; misalnya masalah politik, psikologis dan sosial
budaya dalam praktek perbudakan yang saling bertalian,32 yang dengan alasan
29
13
Bentuk dan corak hadis secara khusus dibahas dalam Ilmu Musthalah al-Hadis. Misalnya
Taisr Mustalah al-Hadts, oleh Mahmud Tahhan (Beirut : Dar Alquran Alkarim, 1972); Nuzhat alNahzar Syarh Nukhba al-Fikr, oleh Syihb al-Dn Ab al-Fdl Ahmad bin Al Ibn Hjar alAsqaln (Semarang : Maktabah al-Munawwar, t.th.); Ulm al-Hadts, oleh Abu Amar Usman bin
Abd al-Rahman ibn Salah (Madinah al-Munawwarah : al-Maktab al-Ilmiyyah, 1972); Ulm alHadts wa Mustalhuhu, oleh Subhi al-Shlih (Beirt: Dr al-Ilmi wa al-Malayain, 1977); dan lainlain.
34
Lihat Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 36.
14
Menurut Muhammad Rasyid Ridha , Nabi Muhammad saw. dalam menjelaskan alQuran memiliki sepuluh fungsi, yaitu: 1) Menjelaskan hakikat agama yang meliputi iman kepada
Tuhan, hari kebangkitan,dan amal-amal saleh; 2) Menjelaskan masalah kenabian dan kerasulan serta
tugas dan fungsi mereka; 3) Menjelaskan Islam sebagai agama fitrah, yang sesuai dengan akal,
intuisi, kata hati, dan ilmu pengetahuan; 4) Membina dan memperbaiki umat manusia dalam satu
kesatuan yang meliputi kemanusiaan, agama, bangsa dan sebagainya; 5) Menjelaskan keistimewaankeistimewaan Islam dalam hal pembebanan kewajiban kepada manusia, seperti hal-hal yang
membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, mudah dikerjakan, gampang dipahami, dan
sebagainya; 6) Menjelaskan prinsip-prinsip dasar berpolitik dan bernegara; 7) Menata kehidupan
material (harta); 8)Memberi pedoman umum mengenai perang dan cara mempertahankan diri dari
agresi musuh; 9) Mengatur dan memberikan kepada perempuan hak-hak di bidang agama, sosial dan
kemanusiaan pada umumnya; dan 10) Memberikan petunjuk dalam hal pembebasan dan
pemerdekaan budak. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahy al-Muhammadiy, (Kairo: al-Maktaba
al-Qhirah, 1960), 126-128.
36
Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma ani Hadis
Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 6.
15
tradisionalis menentang kuat sikap kritis terhadap hadits dan menyamakan sikap
semacam ini dengan mengingkari kerasulan Muhammad saw.37 Meski demikian,
hadits tetaplah merupakan salah satu sumber utama ajaran Islam yang terpenting
setelah al-Quran.
Kritik hadits menjadi salah satu bidang kajian keislaman yang, di samping
menarik, juga signifikan. Hal demikian ditempuh bukan untuk menanamkan sikap
skeptisisme terhadap hadits, tetapi sebaliknya dilaksanakan justru untuk lebih
mendekatkan kepada pemahaman yang benar dan meyakinkan serta dapat
dipertanggung jawabkan, baik dari dimensi keilmuan maupun keagamaan.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan kajian tematik hadits, peneliti akan diperhadapkan kepada
beberapa masalah. Pertama, peneliti diharapkan mengetahui secara pasti apakah
hadits-hadits yang sedang dibahas itu berkualitas shahih atau tidak. Untuk sampai
kepada sebuah kesimpulan bahwa hadis tersebut shahih, diperlukan dua obyek
penelitian yakni aspek sanad dan aspek matan. Kedua, kalau hadits itu hanya
dinyatakan shahih dari aspek sanad saja sementara matannya belum, maka langkah
berikutnya adalah peneliti diharapkan menelusuri faktor-faktor apa yang
menyebabkan matan tersebut tidak sampai kepada derajat shahih. Ketiga, setelah
diketahui status hadits tersebut shahih, langkah selanjutnya adalah peneliti
diharapkan menemukan pesan moral apa yang dikandung oleh hadits yang
bersangkutan. Untuk menemukan pesan moral dimaksud, diperlukan berbagai
metode dan pendekatan.
Muhammad Yusuf al-Qardhwi, Kaifa Nataaml maa al-Sunnah al-Nabawiah,terj.
Muhammad al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi, (Bandung : Kharisma, 1994),
h. 21.
37
16
2. Batasan Masalah
Beberapa permasalahan yang teridentifikasi di atas, tidak semuanya dibahas
dalam disertasi ini.
permasalahan yang ketiga di atas yakni ingin menemukan apa pesan moral yang
dikandung oleh hadits-hadits yang berbicara masalah perbudakan. Sesuai cakupan
judul; disertasi ini akan mengkaji masalah perbudakan dari sudut pandang hadits.
3. Rumusan Masalah
Dengan adanya pembatasan masalah tersebut, maka pokok permasalahan
yang menjadi fokus kajian dalam disertasi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep Islam menghapuskan perbudakan dalam perspektif hadits
Nabi saw.?
2. Bagaimana upaya Rasulullah saw. menghapuskan perbudakan?
3. Bagaimana memahami hadits-hadits perbudakan?
4. Benarkah Islam yang salah satu sumber hukumnya adalah hadits melegalkan
perbudakan?
C. Kajian Pustaka
Berbagai analisa dan pengkajian telah dilakukan dalam melihat persoalan
perbudakan. Akan tetapi sejauh penulis ketahui, studi yang secara komprehensif
khusus membahas perbudakan dalam perspektif hadits, belum ditemukan. Terdapat
beberapa buku yang di dalamnya membahas perbudakan, namun bahasan tersebut
hanya mengutip beberapa hadits yang menyangkut perbudakan dalam rangka
menguatkan tesisnya. Buku-buku yang dimaksud antara lain: Syubht Hawla al-
17
38
18
Kajian Tafsir Tematik,42 oleh Zulheldi. Tulisan tersebut mengungkap bahwa secara
sepintas al-Quran mengakui perbudakan, tapi dalam banyak indikasi sebenarnya alQuran menginginkan penghapusan sistem sosial yang tidak manusiawi tersebut.
Perbudakan dalam Sejarah Islam,43 karya Alfi Jazulin Azwar. Tesis tersebut
mengungkap bahwa dalam perjalanan sejarah Islam, perbudakan yang seharusnya
lenyap dengan mengacu kepada pokok ajaran Islam kembali melembaga. Islam dan
Teologi Pembebasan, 44 karya Ashgar Ali Engineer. Buku ini mengungkap bahwa
misi vital diutusnya Rasulullah saw. ialah menciptakan keadilan sosial kepada
kelompok yang tertindas dan lemah melalui ajaran tauhid. Sebab esensi tauhid ialah
membebaskan manusia dari segala ketertundukan kepada selain Allah, termasuk
menghamba kepada sesama manusia. Jika ingin melanjutkan perjuangan Rasulullah
saw., maka segala sistem kapitalis yang didasarkan pada eksploitasi sesama manusia
harus dihapuskan. al-Hurriyy f al-Islm, dan al-Muswt f al-Islm,45 karya Ali
Abd al-Wahid Wfi. Melalui kedua buku ini Wfi mengemukakan bahwa budak
yang ada dalam Islam tidak lain hanyalah budak warisan. Terhadap budak warisan
ini, Islam pun telah melakukan upaya penghapusannya dengan menetapkan anak si
budak dari tuannya menjadi merdeka, dan nasabnya pun bersambung kepada
tuannya yang merdeka itu. Dengan demikian, terputuslah rantai perbudakan yang
juga mengikat keturunannya. Slave Soldiers and Islam, karya Daniel Pipes. Buku ini
mengungkap perbandingan antara kondisi budak yang ada di dunia Islam dan budak
di luar dunia Islam. Pipes mengemukakan bahwa hanya Islam yang memperlakukan
budak secara manusiawi. Lebih dari itu, di dunia Islam, budak dibolehkan untuk jadi
pegawai bahkan ada yang sampai jadi pejabat pemerintah.
42
Zulheldi, Perbudakan Menurut al-Qur an Suatu Kajian Tafsir Tematik, (Tesis, 1999).
Alfi Jazulin Azwar, Perbudakan dalam Sejarah Islam, (Tesis, 1998).
44
Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
43
1999).
45
19
D. Kerangka Teori
Secara etimologi Perbudakaan berasal dari kata budak, yang dimaknai
sebagai perihal budak (hamba), atau segolongan manusia yang dirampas kebebasan
hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia lain.46 Sedangkan
perbudakan menurut terminologi dimaknai sebagai suatu sistem penguasaan penuh
terhadap hak-hak manusia oleh suatu otoritas dengan cara yang dipandang legal
sehingga lepas dari segala perjanjian dan dapat dijadikan sebagai obyek
perniagaan.47 Martin berpendapat bahwa perbudakan tidak lain adalah penyangkalan
terhadap kemanusiaan orang lain.48 Sementara Hamka menyimpulkan bahwa
perbudakan adalah sistem sosial berupa sangsi dari pelayanan yang terpaksa atau
perampasan nilai-nilai asasi manusia sehingga ia menjadi kekayaan bagi lainnya
secara perorangan atau kelompok.49
46
Budak sendiri diartikan dengan anak, kanak-kanak, abdi, hamba, dan orang gajian. Lihat
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
cet. Ke-7, Edisi ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 149.
47
Lihat Ali Abd al-Wahd Wfi, al-Hurriyy f al-Islm, (Cairo: Dr al-Marif, 1968),
h. 20.
48
Roderick Martin, Sosiologi kekuasaan, terjemahan Joediono Herry, (Jakarta: Rajawali,
1990), h. 117.
49
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), cet. Ke-3, juz ke-7, h. 205;
juga Yunan Nasution, Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 221.
20
bahkan semua
50
21
52
Lihat Marzuki Wahid, Islam Pembebasan dan Keadilan Sosial, dalam Buletin Jumat
An-Nadhar, edisi 28/17 Oktober 2003, h. 1.
53
Marzuki Wahid, Islam Pembebasan, h. 2.
54
QS. al-Lahab (111): 2-3:
Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak Dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak.
55
QS. al-Humazah (104): 1-3:
- -
Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitunghitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.
22
makan fakir miskin bahkan menghardik anak yatim adalah orang yang telah
mendustakan agama.56 Keempat, orang yang bakhil dan merasa dirinya telah cukup,
maka kelak Tuhan akan menyiapkan jalan yang sukar baginya, sementara hartanya
tidak akan bermanfaat baginya.57 Kelima, orang yang bermegah-megahan karena
banyak harta akan lalai sehingga tanpa sadar ia sudah masuk kubur.58 Keenam,
orang yang tidak mau berjuang menempuh jalan yang mendaki lagi sukar, yaitu
melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan
kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat
fakir.59 Oleh sebab itu,
56
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan
tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
57
QS. al-Lail (90): 11:
- - - -
-
Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu Apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi Makan pada hari
kelaparan. Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau kepada orang miskin yang sangat
fakir.
23
60
Lihat Munawir Syazali, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama, (Surabaya: PKSK,
1997), h. 49.
61
Munawir Syazali, Penegakan HAM, h. 50 .
62
Muh. Hanif Dakhiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djambatan, 2000),
h. 89.
24
ada lagi penghayatan agama bila fitrah manusia telah ditindas dan keserakahan
masih merajalela.63
Rasulullah saw. telah memberikan jaminan kebebasan manusia agar
terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama,
politik maupun ideologi. Kebebasan merupakan tiang globalitas tindakan Rasulullah
saw., baik dari segi akidah, asas individu bahkan kehidupan sosial mempunyai
vitalitas yang sehat.64 Dalam sistem perbudakan, kebebasan ini justru terhalang oleh
kepatuhan atau yang lebih tepat karena kerterpaksaan sebagai akibat rasa takut pada
monopoli dan berbagai cara kekerasan para tuan terhadap budak.65 Itulah sebabnya
perbudakan bertentangan dengan kebebasan dan mesti dihapuskan melalui
pengembalian kebebasan secara fisik maupun mental kepada para budak.
Analisa terhadap perbudakan yang dilakukan dalam disertasi ini adalah
berdasarkan pembacaan terhadap hadits-hadits tentang budak dan perbudakan.
Artinya pembicaraan mengenai perbudakan di sini dibingkai oleh hadits-hadits
perbudakan dalam rangka mengungkap konsep Islam dalam menghapuskan
perbudakan. Analisa terhadap hadits dimaksud akan dilakukan dengan menunjukkan
bukti-bukti historis upaya Rasulullah saw. dan para sahabatnya menyikapi sistem
perbudakan.
E. Tujuan Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian terhadap hadits-hadits yang membicarakan
masalah perbudakan, akan memiliki beberapa tujuan antara lain:
Muhammad Al-Gazali, Miah Sual an al-Islam, terj. Muhammad Thohir dan Abu
Laila dengan judul al-Gazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, (Bandung: Mizan, 1992), h. 108.
64
Abdul Kariem Utsman, Persamaan dan Keadilan dalam Perspektif Islam, dalam
Lukman Hakiem (ed.), Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992), h. 15.
65
Martin melihat adanya unsur keterpaksaan ini melekat dalam otoritas yang ada pada
kesepakatan antara dua posisi yang berbeda, yakni antara tuan dan budak. Lihat Roderick Martin,
Sosiologi Kekuasaan, terjemahan Joediono Herry, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 145.
63
25
F. Signifikansi
Mengembangkan pemikiran dalam bidang kajian hadits sudah saatnya
difokuskan kepada upaya pemaknaan. Akan tetapi memahami hadits tidak dapat
dilepaskan dari latar belakang historis atas kemunculan hadits tersebut. Perbudakan
misalnya, ketika Rasulullah saw. menjelang dan ketika menyampaikan risalahnya,
perbudakan sudah mentradisi di lingkungan bangsa Arab. Maka pemaknaan atas
hadits yang berkenaan dengan budak dan atau perbudakan menjadi penting untuk
dilakukan. Kegiatan dimaksud dilakukan melalui perumusan secara historitikal, baik
dari aspek pemaknaan maupun aspek pendekatan.
Pemaknaan dan pendekatan yang tepat meniscayakan kesimpulan yang
tepat pula atas hadits. Dengan kata lain, mendudukkan pemahaman dan pendekatan
hadits secara proporsional dapat memperkecil dugaan sementara orang bahwa Islam
yang berlandaskan al-Quran dan hadits melegalkan perbudakan dapat dijawab.
Tegasnya penelitian ini bermanfaat untuk menjawab tuduhan dan kesalahan
prosedural dalam memahamai hadits. Secara inheren pula, penelitian ini
akan
G. Metode Penelitian
1. Sumber Data
26
27
Demikian
pula
beberapa
buku
terjemahan
Lihat Abd. Hayy al-Farmawy, al-Bidaya f al-Tafsr al-Maudhi, (Mesir: Maktabat alJumhuriyyat, 1977), h. 52. acuan yang ditawarkan oleh al-Farmawy tersebut akan penulis pakai
dalam rangka menganalisis hadis-hadis perbudakan.
68
Lihat Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, (Yokyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi Umum UGM., 1977), h. 4.
67
28
H. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri atas lima bab. Sebuah
69
Lihat R.G. Sukadijo, Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, (Jakarta:
Gramedia, 1983). 13.
29
penelitian dan teknik penulisan, tujuan dan signifikansi penelitian, serta sitematika
penulisan semua dikemukakan dalam bab pendahuluan.
Hal-hal yang secara umum berkaitan dengan masalah perbudakan, akan
dideskripsikan pada bab kedua. Deskripsi tersebut meliputi pengertian dan asal-usul
budak, fenomena-fenomena perbudakan secara universal, sejarah perbudakan baik
sebelum maupun sesudah datangnya agama Islam, keberadaan hadits-hadits
perbudakan serta reaksi dan komentar para pemikir Islam terhadap permasalahan
perbudakan dalam syariat Islam, yang dikemukakan dalam sub problematika
syariah.
Untuk memahami hadits-hadits perbudakan tersebut, dirasa perlu adanya
beberapa pendekatan sebagai pisau analisis. Beberapa pendekatan itu akan
ditawarkan pada bab ketiga. Pendekatan-pendekatan dimaksud adalah pendekatan
histories, pendekatan antropologis dan pendekatan rasional. Namun sebelum
menggunakan pendekatan tersebut peneliti harus mengacu pada landasan
paradigmatik berupa prinsip-prinsip dasar yang menjadi tujuan utama diutusnya
Rasulullah saw. Prinsip dasar dimaksud meliputi prinsip kemanusiaan, prinsip
kebebasan, prinsip persamaan, dan prinsip keadilan. Selain itu, juga dikemukakan
pentingnya optimalisasi kritik hadits sebagai pengembangan dari kaedah mayor
kritik matan hadits yang sudah ada.
Bab keempat secara khusus akan memuat kajian tematik terhadap haditshadits perbudakan. Melalui kajian ini diharapkan akan tampak dengan jelas
perbedaan antara status budak zaman Rasulullah saw. dan status budak di luar Islam
baik sebelum maupun sesudahnya. Telaah kritis terhadap term-term perbudakan
yang terdapat dalam hadits, akan membuka cakrawala pemikiran yang sedikit
berbeda dengan beberapa pandangan sebelumnya terhadap hadits perbudakan.
Berdasar dari analisis term itu pula, akan terungkap apa sebenarnya hakekat
perbudakan yang ingin diberantas oleh Rasulullah saw. Pembahasan
semakin
30
menukik setelah menelusuri beberapa langkah yang ditempuh oleh Rasulullah saw.
dalam menghadapi permasalahan perbudakan. Selain itu, implikasi perbudakan masa
kini akan melengkapi pembahasan pada bab ini.
Kesimpulan-kesimpulan yang penulis dapatkan dari penelitian ini, sebagai
jawaban terhadap permasalahan pokok yang telah dikemukakan pada bab pertama,
akan ditempatkan pada bab lima. Pada bab yang sama, akan dikemukakan pula
implikasi dari penelitian kemudian dilengkapi dengan gagasan-gagasan penulis
berupa saran-saran.
BAB II
WACANA PERBUDAKAN DALAM PEMIKIRAN ISLAM
A. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terma perbudakaan berasal dari
kata budak,1 yang dimaknai sebagai: 1) perihal budak (hamba), segala hal yang
mengenai budak belian. 2) segolongan manusia yang dirampas kebebasan hidupnya
untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia lain.2
Dalam terminiologi bahasa arab, perbudakan dikenal dengan istilah itibd
(). Itibd berakar kata dari abd. Secara etimologi kata abd menurut Ibn
Manzhr dalam Lisn al-Arab dikalasifikasikan menjadi tiga makna yaitu: abd
bermakana hamba sahaya, abd berarti (manusia merdeka dan hamba sahaya), dan
abd bermakna menyembah, tunduk dan merendahkan diri.3 Dari kata abd inilah
terbentuk kata lain menurut pengembangan konjugasinya yaitu Ibdah (ibadah),
bid (pelayan), ma bad (tempat ibadah), al-ma bd (yang disembah) dan lain-lain.4
Ali Abd al-Wahd Wfi, mengemukakan bahwa perbudakan dimaknai
sebagai suatu sistem penguasaan penuh terhadap hak-hak manusia oleh suatu
otoritas dengan cara yang dipandang legal sehingga lepas dari segala perjanjian dan
Budak sendiri diartikan dengan anak, kanak-kanak, abdi, hamba, dan orang gajian. Lihat
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,(selanjutnya ditulis Tim penyusun, Kamus) cet. Ke-7, Edisi ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka,
1996), h. 149.
2
Tim Penyusun, Kamus, edisi 1998, h. 130.
3
Lihat Ab- al-Fdhl Jaml al-Dn Muhammad bin Makrum ibn Manzhr, Lisn al-Arab,
(Beirt: Dr al-Fikr, 1994), juz ke-3, h. 270.
4
Tim Penyusun, Ensiklopedi al-Qur an: Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 2003), h. 96.
32
Lihat Ali Abd al-Wahd Wfi, al-Hurriyy f al-Islm, (Cairo: Dr al-Marif, 1968), h.
20.
6
33
sistem
perbudakan
yang
tidak
diketahui
pasti
kapan
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), cet. Ke-3, juz ke-7, h. 205;
juga Yunan Nasution, Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 221.
9
Fuad Mohd Fachruddin, Islam Berbicara Masalah Perbudakan, (Jakarta: Mutiara, 1981),
h. 21.
34
melarikan diri, termasuk Zaid bin Haritsah yang ditinggalkan ibunya. Zaid yang
masih kecil tersebut dibawa ke pasar budak, Ukadz, untuk dijual.10
Kedua, mengenai karakteristik mereka, budak merupakan manusia yang
dimatikan segala keinginannya.11 Dia tidak boleh berkeinginan dan bercita-cita di
luar batasan hidup yang telah ditetapkan tuannya. Budak tidak perlu merasa jijik,
letih, penasaran, sedih, enggan dan menolak segala tugas yang diberikan oleh sang
tuan. Baginya, tidak ada alternatif lain kecuali mengikuti keinginan orang yang
memilikinya. Budak juga tidak boleh berpikiran di luar batas tugasnya. Jika sang
tuan menyuruh menggarap sebuah ladang misalnya, dia tidak perlu memikirkan
tentang hasil kerjanya. Tugasnya adalah bekerja, maka segenap pikiran, perasaan
dan tenaganya harus terpusat pada pekerjaannya itu, bukan untuk yang lain.
Dalam hal kepemilikan, hak milik budak lemah. Bahkan budak itu sendiri
dimiliki oleh tuannya. Perlakuan tuan terhadap budaknya sama dengan perlakuan
seseorang terhadap hewan atau barang. Dia bisa dipekerjakan tanpa digaji. Ia hanya
diberi makan, pakaian dan tempat tinggal sekedarnya. Seperti halnya Bill bin
Rabah, sebelum masuk Islam ia hanya mendapatkan dua genggam kurma dari
menggembala unta dan domba.12 Budak juga sering ditelantarkan, dijual, dibuang,
dihadiahkan, dianiaya, bahkan tidak sedikit yang dibunuh. Kalau dia wanita, dan
sang tuan menginginkan, dia bisa digauli tanpa harus dinikahi, disuruh melacur
dengan orang lain dan tuannyalah yang mengambil hasilnya.
Budak hanya bisa mendapatkan kemerdekaannya dengan jalan melarikan
diri, membayar tebusan kepada tuannya dengan harga yang telah ditentukan, atau
dibuang oleh tuannya karena tidak berguna lagi. Melarikan diri adalah jalan yang
Iz al-Dn bin al-Atsr bin al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jazar, Usd al-Ghbah f
Ma rifa al-Shahbah, (Beirt: Dr al-Fikr, tth.), juz ke 2, h. 129. Khalid, Muhammad Khalid, Rijl
Haula al-Rasul, (Qhirah: Dr al-Muqthan, 1415 H/ 1994 M), h. 257.
11
Fachruddin, Islam Berbicara, h. 22.
12
Al-Jazar, Usd al-Ghbah, h. 105.
10
35
paling memungkinkan untuk merdeka kendati berbahaya baginya. Hanya budakbudak yang kuat dan nekat saja yang berani menempuh jalan ini. Sebab, mereka
yang dipekerjakan di ladang, misalnya, diawasi secara ketat oleh para pengawal
yang kejam. Membayar tebusan adalah hal yang kecil kemungkinannya, kalau tidak
bisa dikatakan mustahil bagi para budak. Dia sulit mendapatkan harta untuk
menebus dirinya. Cara ini terlaksana jika ada keluarga, famili atau orang lain yang
bermurah hati menebusnya.
Dalam bahasa yang ringkas dapat dikatakan bahwa seorang budak dalam
pengertian umum, tidak berbeda dengan sebuah barang atau seekor binatang yang
berwujud manusia. Seseorang dapat memiliki dengan jalan menangkap, mencuri
atau membelinya. Setelah dimiliki, dia bisa diperlakukan apa saja sesuai keinginan
orang yang memilikinya. Dan budak tersebut sulit untuk keluar atau dikeluarkan dari
kubangan perbudakannya, bahkan ada yang bersama anak cucunya menjadi budak
buat selamanya.
B. Sejarah Perbudakan
1. Fenomena Perbudakan Secara Umum
Untuk mempertajam analisis mengenai muatan hadis-hadis yang berbicara
masalah perbudakan, informasi mengenai fenomena perbudakan secara umum
dianggap penting. Sebab, sistem perbudakan yang melatari banyaknya hadis yang
berbicara masalah tersebut bukan sesuatu yang baru muncul ketika Rasulullah saw.
mulai menyampaikan ajaran Islam. Perbudakan telah ada bahkan telah membudaya
secara universal jauh sebelum kedatangan dan ketika beliau menyampaikan ajaran
Islam.
Eksistensi perbudakan secara universal sendiri cukup sulit untuk dideteksi
kapan awal munculnya. Akan tetapi fenomena yang memicu timbulnya perbudakan
36
itu dapat ditelusuri. Berikut ini akan dikemukakan beberapa fenomena yang
dianggap
a. Fenomena Politis
Sejak dahulu kala, peperangan yang terjadi akibat persaingan politik
merupakan ajang yang dominan lahirnya otoritas suatu kelompok atas kelompok
lainnya, lalu lahirlah perbudakan.13 Persaingan antara kelompok yang banyak, telah
membuka peluang terjadinya peperangan demi peperangan. Peperangan merupakan
sumber utama perbudakan, karena dari peperanganlah lahir budak-budak; baik
peperangan terhadap bangsa sendiri maupun bangsa lainnya.14
Berdasarkan data pra-sejarah arkeologis, masyarakat primitif berada dalam
kedamaian. Tidak ada peperangan antara suku. Ini menunjukkan bahwa perbudakan
belum mereka kenal. Akan tetapi ketika perang telah menjadi hal yang penting dari
hubungan antar kelompok-kelompok manusia, maka hak-hak dan kekebalankekebalan yang mencegah perbudakan menjadi tidak terlaksana. Sebaliknya, yang
terjadi adalah penawanan-penawanan antar kelompok yang bermusuhan. Para
tawanan itu dapat disiksa, dibunuh, diadopsi, dijual, ditukar dengan barang,
diperbudak atau dibebaskan. Keadaan ini merupakan potensi ancaman praktis antar
suku-suku.15 Para tawanan itu ada juga yang dijadikan pelayan atau menjadi milik
raja-raja, baik laki-laki maupun perempuan.
Bagi bangsa Romawi misalnya, peperangan adalah sumber utama
perbudakan. Para tawanan diperbudak dengan menjadikannya sebagai sapi perahan
13
Ahmad Syalab, Islam dalam Timbangan, terjemahan Abu Laila dan M. Tahir, (Bandung:
al-Maarif, 1982), h. 3.
14
Fachruddin, Islam Berbicara, h. 23., Wfi, al-Hurriyyt, h.25.
15
James Hastings, (ed.), Slavery, in Enciclopedia Religion and Ethics, vol. xi, (New
York: Charles Scribners Sons, t.th.), h. 597.
37
Kemaslahatan yang dimaksudkan adalah hasil yang diperoleh dari para budak yang
dipekerjakan secara paksa tanpa ada perikemanusiaan.
17
Abdullah Nashih Ulwan, Jawaban Tuntas Masalah Perbudakan, Terjemahan Aunur
Rafiq Shaleh, (Jakarta: al-Ishlahy Press, 1988), h. 9.
18
Fachruddin, Islam Berbicara, h. 24.
19
Syalab, Timbangan, h. 298-299.
20
Jurji Zaidan, Trkh al-Tamaddun al-Islm, juz iv, (Cairo: Dr al-Hill, t.th.), h. 26.
21
Syalab, Timbangan, h. 305.
22
Dalam Perjanjian Lama, Ulangan: 20 dikatakan: .......tetap segala orang perempuan dan
anak-anak dan binatang dan segala harta yang di dalam negeri itu, segera jarahannya hendak kamu
rampas akan dirimu dam kamu akan makan barang jarahan dan pada musuhmu yang telah
dikaruniakan Tuhan, Allahmu, kepadamu. Selengkapnya lihat Lembaga al-Kitab Indonesia, al-Kitab,
(Bogor: Percetakan Lembaga al-Kitab Indonesia, 1980), h. 230.
38
tidaklah berbeda. Ia tidak menentang perbudakan, baik dari segi politik maupun
ekonomi.23 Itu berarti dari segi politik, oleh semua kelompok, tak terkecuali
kelompok agama sebelum kedatangan Rasulullah saw., perbudakan dianggap
sebagai salah satu instrumennya. Akibatnya, selama pergolakan politik itu masih
berjalan, perbudakan tidak pernah dianggap sesuatu yang menyalahi prinsip
kemanusiaan. Ini jelas berbeda dengan Islam. Dalam Islam, semua hal yang
berakibat mencederai kemanusiaan seseorang dilarang. Itulah sebabnya peperangan
dalam Islam hanya diperbolehkan dalam rangka membela dan mempertahankan
keyakinan. Peperangan dilarang jika motifnya hanya untuk memperluas daerah
kekuasaan apalagi dengan tujuan memperbudak bangsa lain.
b. Fenomena Ekonomis
Peperangan juga membawa implikasi perdagangan budak. Di zaman
Romawi, kaum pedagang menjadikan peperangan sebagai musim terbaik untuk
kegiatan perbudakan. Mereka ikutserta menjadi pasukan untuk membeli para
tawanan dengan harga serendah-rendahnya. Penjualan ini merupakan keagungan
dalam sejarah imperialisme Romawi. Ini pertanda bahwa perbudakan juga
merupakan fenomena ekonomis.24
Selain peperangan, fenomena ekonomis perbudakan juga disebabkan oleh
faktor kemelaratan, perjudian, hutang-piutang dan penculikan. Di China misalnya,
merajalelanya perbudakan disebabkan antara lain oleh penjualan diri sendiri atau
anggota keluarganya demi menghindari kelaparan dan kesengsaraan.25 Penjualan
anak dan istri karena berdosa juga membudaya pada masyarakat Babilonia.26
23
56.
39
Budaya semacam ini dapat juga lahir dalam lingkungan orang moderat, atau petani
gurem.27 Sebaliknya, perbudakan jarang muncul dalam lingkungan masyarakat yang
bermata pencaharian berburu atau mengumpulkan bahan makanan, serta pada
masyarakat agraris yang wilayahnya tandus.28 Hal demikian tidak hanya disebabkan
oleh faktor ekonomis dan politis saja, tetapi memang tidak tercipta hubungan
otoritas antara yang menguasai dan yang dikuasai.
Para budak yang telah menjadi obyek perdagangan itu dipekerjakan dengan
paksa guna menggarap tanah dan ladang dengan rantai berat yang membelenggu
kakinya agar tidak melarikan diri.29 Keadaan seperti ini banyak terjadi di Mesir
yang merupakan gudang gandum dan sumber mentah lainnya bagi bangsa
Romawi.30 Pada akhirnya, sistem pekerjaan seperti ini melahirkan masyarakat
feodalis yang menyengsarakan para kaum pekerja.
Dalam sistem feodalisme Eropa, para penggarap tanah diperjualbelikan
bersama tanah garapan karena mereka merupakan alat bagi tanah yang dikuasai, dan
dianggap suatu kesatuan yang tak terpisahkan.31
Penjualan yang berupa pertaruhan spekulatif terhadap diri atau keluarga
seperti perjudian, juga menjadi sumber lain perbudakan pada masyarakat Jerman.
Tidak mengherankan jika ekses negatif perjudian adalah hutang-piutang yang dapat
mengorbankan keluarga, bahkan diri sendiri.32 Adapun yang kalah, akan menjadi
budak bagi pemenang atau pemberi piutang, ketika hutang sulit untuk dilunasi. J.J.
27
Muhammad Quthub, Syubht Hawla al-Islm, (Beirt: Dr al-Syurq, 1393 H./ 1973
M.), h. 89.
28
40
Rosseau33 menanggapi penjualan seperti ini sebagai tindakan bodoh, dengan alasan
bahwa si penjual telah menjerumuskan keturunan demi keturunannya ke dalam
jurang perbudakan. Di samping bertentangan dengan tata pola alami, juga
merupakan pelanggaran batas otoritas yang tua, yang hanya sampai baligh saja, dan
selama dalam penjualan itu, tidak dapat ditarik atau dibatalkan dengan syarat
apapun.
Kasus hutang-piutang yang melahirkan perbudakan pada perkebunan, juga
pernah terjadi pada jamaah haji asal Melayu yang kehabisan biaya pulang dari
Makkah di akhir abad 19 M. Dengan biaya yang tinggi, mereka diizinkan seorang
pemilik perkebunan, berbangsa Arab, untuk turut berlayar ke Singapura. Bila
keluarganya tidak mampu membayar, maka delapan sampai sepuluh orang dari
setiap grup wajib membayar hutang dengan bekerja pada suatu perkebunan di pulau
cocob.34
Budak sebagai komoditi, juga lahir dari penculikan bajak-bajak laut
terhadap bangsa-bangsa lain di pesisir-pesisir, yang kemudian dijual di pasar-pasar
Athena atau kota-kota lain.35 Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika di Athena
jumlah budak melebihi perbandingan dengan orang merdeka, yakni 100.000 :
20.000.36
Pada abad 16-19, Afrika menjadi pasar budak bagi orang kulit putih yang
berkomplot dengan para pemimpin suku-suku Afrika dalam penculikan para
penduduk di pemukiman-pemukiman.37 Jejak perbudakan mereka terlihat dari
penyebaran orang-orang hitam Afrika di Amerika maupun di Eropa.
33
Jean Jacgues Rousseu, Kontrak Sosial, terjemahan Sumarjo, (Jakarta: Erlangga, 1986.),
h. 10.
34
41
c. Fenomena Sosiologis
Perbudakan sebagai fenomena sosiologis sulit diusut keberadaannya. Hal
demikian terjadi karena perbudakan telah menyusut ke dalam aturan waris dan
aturan hubungan kemasyarakatan. Kenyataan itu terlihat dari perilaku orang-orang
terdahulu yang masih sederhana. Eksploitasi dan penekanan
antara sesama
42
diri mereka. Terlebih dalam masyarakat yang melegalkan sistem perbudakan, seperti
pada masyarakat Yunani. Salah satu doktrin para Filosof Yunani adalah adanya
dikotomi antara kemanusiaan dan manusia, yang isinya membolehkan penculikan
terhadap manusia-manusia pesisir untuk kelak diperjualbelikan atau dijadikan budak
guna mengabdi kepada orang-orang Yunani.41
Praktek seperti ini juga dijumpai berlaku di kalangan orang-orang Arab
sebelum datangnya Islam.42 Sinyalemen ini menunjukkan kemungkinan adanya
pengaruh budaya Yunani terhadap bangsa Arab,43 atau setidaknya praktek di atas
telah menjadi tradisi yang merata secara universal di kala itu.
Ketika Rasulullah saw. datang, sistem perbudakan sedang merajalela
sebagai fenomena sosial yang tidak bisa dipungkiri. Bahkan telah berurat berakar di
dalam tradisi masyarakat maupun individu. Tidak satu pun yang menentangnya
apalagi berpikir untuk menghapuskannya.44
Pada kasus tawanan perang misalnya, telah menjadi hukum sosial bahwa
tawanan perang dan musuh yang kalah secara otomatis dipandang sebagai budak.45
Dalam perlakuannya, mereka boleh dibebaskan, diperbudak atau dibunuh. Kasus
lain adalah pengkastaan sebagai strata sosial. Diskriminasi sosial ini turut memberi
andil dalam memperlebar pintu terjadinya perbudakan
46
India. Sistem ini telah menempatkan kaum Sudra dan Paria sebagai kasta budak
41
43
bagi kaum Brahmana. Kaum Brahmana bebas menguasai harta dan diri kaum Sudra.
Sedangkan kaum Paria tidak berhak sama sekali terhadap apa pun juga. Pola
diskriminasi seperti ini sengaja dibuat sebagai alat penjerat. Jika ada salah seorang
anggotanya dimiliki oleh kasta lain, justru dianggap sebagai suatu keutamaan yang
akan mengeluarkan dirinya ke tengah-tengah masyarakat yang lebih tinggi
derajatnya.47 Di sini terdapat dilema psiko-teologis yang sulit dihilangkan terutama
pada masyarakat India. Sebab telah dianggap sebagai dekrit Tuhan yang mesti
ditaati. Suatu paham yang tidak berbeda jauh dengan apa yang berlaku di kalangan
bangsa Yunani dengan dekrit budak alamiyahnya.48 Fenomena sosial negatif di atas
direformasi oleh Rasulullah saw. dengan mengantar masyarakat ke arah yang positif.
Rasulullah saw. menentang adanya dikotomi dan sistem kasta, di mana ada
kelompok yang merasa lebih terhormat ketimbang kelompok lainnya. Beliau dengan
tegas menyampaikan bahwa tidak ada perbedaan antara bangsa Arab dengan bangsa
lainnya, antara kulit putih dan kulit hitam, tetapi yang membedakan adalah kadar
ketaqwaannya kepada Allah swt.49
d. Fenomena Psikologis
Fenomena psikologis dianggap turut memberi andil terhadap langgengnya
sistem perbudakan. Sebagaimana telah disinggung terdahulu, para budak yang
menginginkan kebebasan akan berbalik menjadi ancaman serius bagi kehidupannya.
Hal ini akan memberikan dampak psikologis yang terpatri dalam jiwa para budak
sehingga mereka terpaksa memilih bernaung lebih aman di bawah kekuasaan
tuannya.
47
44
50
45
menanggung segala kehinaan. Wasiat inilah yang menyebabkan hati nurani para
tuan tega membunuh, menghukum, membakar atau membebaninya dengan
pekerjaan yang melebihi kapasitas kemampuan mereka.52
Pada dasarnya yang dipraktekkan dalam sistem perbudakan di mana saja
adalah mencakup segi-segi jasmani dan pikiran. Budak harus mengikuti jejak
tuannya dalam hal kepercayaan dan pemikiran. Sama seperti ia harus bekerja untuk
tuannya dengan segenap tenaga dan jasmaninya. Baginya dilarang untuk mengikuti
pemikiran dan saran orang lain yang bukan tuannya.53
Eksploitasi integral terhadap manusia dan kemanusiaan yang terus menerus
inilah yang mengakibatkan semakin kukuhnya cengkraman perbudakan. Di
antaranya melalui keturunan-keturunan manusia yang mendapat perilaku khusus
dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat yang terjerat sistem kasta.
Dari pengamatan yang telah dilakukan oleh para ilmuan sebagaiman uraian
di atas, menunjukkan bahwa pola perilaku kejiwaan akan dipengaruhi pula oleh
faktor keturunan. Apalagi dalam menyikapi strata sosial seperti itu diperkuat oleh
adanya kepatuhan yang bertendensi teologis. Ini berarti, faktor psiko-teologis
sebagai sisi kewajiban lain untuk patuh kepada Tuhan, telah memperkuat tali
ketergantungan budak pada perbudakan. Akibatnya adalah semakin dalamnya jurang
dikotomi masyarakat penganutnya. Melihat fenomena psikologis seperti itu,
Rasulullah saw. melakukan upaya pengembalian rasa kepercayaan dalam diri para
budak. Rasulullah saw. menganjurkan untuk tidak lagi memanggil mereka
sebagaimana panggilan sebelumnya.54 Bahkan dianjurkan untuk memanggil mereka
dengan panggilan saudara yang penuh kasih sayang, sopan santun, dan
kekeluargaan.
52
46
e. Fenomena Teologis
Di samping fenomena-fenomena tersebut di atas, fenomena teologis juga
turut memberi pengaruh terhadap perilaku manusia yang termasuk dalam sistem
perbudakan.
Secara psiko-teologis, pengaruh itu merasuk ke dalam seluruh lapisan strata
sosial. Anehnya, masyarakat menerimanya dan terealisasi melalui bentuk
kepemilikan dan kepatuhan. Tetapi penerimaan ini menjadi wajar apabila ditinjau
dari doktrin teologis sebagai kuasa mutlak Tuhan, baik langsung maupun melalui
wakil-wakilNya di dunia wajib ditaati. Pengingkaran terhadap doktrin ini adalah
kekafiran yang, baik fisik maupun psikologis akan berbahaya bagi kehidupan
mereka di kemudian hari.
Biasanya doktrin teologis ini berupa penciptaan manusia yang bertendensi
strata sosial, seperti yang terjadi pada bangsa Romawi, Yunani, Yahudi dan atau
yang terdapat pada sistem kasta di India.
Dalam agama Hindu, kaum Sudra diangap lahir dari kaki Dewa. Oleh sebab
itu, pembawaan diri mereka adalah rendah dan hina. Ini diakui sebagai nasib yang
mutlak diterima agar mereka beringkarnasi kepada makhluk atau kasta yang lebih
tinggi. Karenanya, para penindas tidak hanya puas dengan sekedar mendesak
mereka kepada keadaan perbudakan jasmaniah yang malang; tetapi melangkah lebih
jauh bahkan merampas kehendak mereka untuk bangkit memberontak terhadap
tatanan masyarakat yang tidak adil yang membawa mereka kepada kesengsaraan dan
kehinaan.55
Kalau pihak yang dieksploitasi sedemikian tekunnya, tidak demikian
pada pihak pengeksploitasi. Pada diri mereka dipandang
ketuhanan yang telah disepakati keyakinannya. Ini terjadi pada raja-raja atau kaum
55
47
bangsawan di Persia. Mereka menganggap diri mereka bukan lagi sebagai manusia
biasa. Sedangkan para rakyat adalah budak mereka. Rahmat bagi rakyat didapat
apabila Raja atau kaum bangsawan itu telah merestui mereka.56
Jika dikotomi ini telah menjadi keyakinan
masyarakat, maka tidak mungkin ada gejolak tuntutan hak atau perubahan terutama
dari para pemuka agama mereka. Sebaliknya, justru bertindak sebagai pengawas
kemapanan dikotomi tersebut. Itulah sebabnya tidak sedikit pendeta dalam sejarah
Yunani yang mengecam perbudakan. Demikian juga yang terjadi pada sikap
Paulus.57 Sebab, pada dasarnya yang mendasari pelegalan perbudakan yang
berkedok agama ini, umumnya dipicu oleh kekeliruan memahami wahyu-wahyu dari
kitab suci yang akhirnya melahirkan fatwa-fatwa para tokoh agama. Ajaran-ajaran
itulah yang kerap melestarikan perbudakan.
Dalam ajaran Yahudi, perdagangan dan peperangan yang melahirkan
perbudakan itu tidak dilarang bahkan ia merupakan jalan terbuka.58 Keterbatasan
memperbudak memang terlihat pada ajaran ini. Namun tidak dapat menghapuskan
perbudakan itu sendiri. Hal demikian terjadi karena adanya perpindahan dari
seseorang kepada orang lain, bahkan terhadap kelompok tertentu lainnya. Karena
agama dianggap telah melegalkannya, maka sistem itu bertambah kuat dinamikanya.
Inilah yang terjadi pada motif peperangan Yahudi. Menurut ajaran mereka,
sebagaimana tercantum dalam sebuah ayat mengatakan bahwa serulah mereka
terlebih dahulu kepada perdamaian. Sekiranya dia menjawab seruan damai itu dan
menerimamu masuk, maka engkau berhak menghina semua penduduknya dan
memperbudak mereka. Sekiranya mereka tidak menerima seruanmu, malah bersedia
56
48
Selengkapnya lihat Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 20:1-20 dikatakan: Ketika engkau
mendekati sebuah negara untuk menaklukkannya, maka serulah mereka terlebih dahulu kepada
perdamaian. Sekiranya dia menjawab seruan damai itu dan menerimamu masuk, maka engkau
berhak menghina semua penduduknya dan memperbudak mereka. Sekiranya mereka tidak menerima
seruanmu, malah bersedia berperang, maka kepunglah, dan apabila Tuhan menyerahkannya
kepadamu, bunuhlah semua kaum laki-laki, tetapi perempuan, anak-anak, binatang-binatang dan
semua yang ada di negeri itu merupakan harta rampasan kepunyaanmu. Lihat Lembaga, al-Kitab, h.
230.
60
Syalab, Perbandingan, h. 233; juga al-Aqqd, Haqiq, h. 286.
61
Lihat Hamka, Tafsir, h. 208.
49
alat
penindas,
atau
setidaknya
untuk
menjustifikasi
kondisi
Ternak mereka umumnya kambing, biri-biri, kuda dan terutama unta. Bagi mereka, unta
dan kuda berfungsi sebagai alat transfortasi. Selanjutnya baca Philip K. Hitti, History of The Arabs,
tenth edition, (New York: Corlear Boy Club Lake Champlain, 1970), h. 23; William Montgomery
Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburg: Edinburg University Press, 1973), h. 20,
Ahmad Amin, Duh al-Islm (Kairo: Maktabah al- Mishriyah, 1973), h. 322-323, Muhammad Ab
Zahrah, Trkh al-Mazhib al-Islmiyyah (tt.: Dr al-Fikr al-Arabiyyah, 1971), h. 68-59.
50
sendirinya,
Ahmad Muhammad Husain Haikal, Hay Muhammad, (al-Qhirah: Matbaa al- Mishra
Syirkat Musham Mishriyyah, 1945), h. 79.
64
Haikal, Hayt, h. 79.
65
Haikal, Hayt, h. 14.
66
Haikal, Hayt, h. 15.
67
Haikal, Hayt, h. 17. Pernyataan Haikal tersebut bukan berarti menafikan peran Yaman
dari kegiatan ekonomi Arab, sebab pelabuhan Makkah pada saat itu berada di Yaman.
63
51
Makkah menjadi kota dagang dunia yang ramai dan makmur. Di saat itulah, Makkah
hampir merupakan pusat perdagangan antara Lautan India dan Lautan Tengah. Di
samping itu, Makkah menjadi sandaran utama dalam impor barang-barang mewah
bagi Kerajaan Roma.68
Ini menandakan telah terjadi hubungan dagang serta diplomatik antara suku
Arab dan pembesar-pembesar Romawi. Dalam kemakmurannya, penduduk Makkah
memiliki keburukan-keburukan yang biasa melekat pada masyarakat niaga yang
kaya. Karena, di satu sisi terdapat kekayaan melimpah dan hanya dinikmati oleh
orang-orang tertentu, tapi di sisi lain terdapat masyarakat yang hidup dalam
kemelaratan. Mereka adalah budak-budak belian dan orang-orang sewaan.
Akibatnya terjadi kesenjangan sosial yang mengancam ketentraman hidup.69
Melalui perdagangan inilah terjadi akulturasi bangsa Arab dengan Romawi
atau Persia. Kebudayaan baru pun masuk meskipun bukan merupakan ilmu yang
teratur sebagaimana pada masa setelah modern.70 Tetapi justru dengan jalan begini,
kemurnian budaya Arab dapat terlihat dengan jelas. Salah satu budaya yang
menggambarkan mentalitas bangsa Arab ialah kemahiran menghias kata secara
spontanitas tanpa melalui renungan dan pikiran yang lama. Ini terlihat dari
peninggalan kesusastraan mereka yang indah dan kefitrahan yang masih utuh dan
murni.71
Namun demikian, kesusastraan mereka tidak mengisyaratkan kepada
kecerdasan kreatif. Bayangan cita yang tinggi tidak tergambar dalam syair-syair
yang berisi
yang
sesungguhnya.72
68
HAR. Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah, terjemahan Abusalah, (Jakarta: Bhatara
Karya Aksara, 1983), h. 18.
69
Gibb, Islam, h. 18.
70
Ahmad Amin, Duh, h. 40.
71
Ahmad Amin, Duh, h. 50.
72
Ahmad Amin, Duh, h. 51
52
Yang dimaksud ashabiyyah ialah keterkaitan subyektif setiap orang terhadap nasab dan
golongannya yang diciptakan oleh Allah di hati hamba-hamba-Nya untuk cinta dan kasih terhadap
keluarga dan kerabatnya. Perasaan cinta dan kasih tersebut menimbulkan perasaan senasib dan
sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, kerjasama dan saling membantu dalam menghadapi musibah
yang menimpa mereka, menghadapi ancaman musuh dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Pertalian yang demikian melahirkan persatuan dan pergaulan (al-ittihd wa al-ittihm). Ashabiyyat
juga bertujuan untuk mewujudkan kekuasaan (al-mulk), guna memberikan perlindungan dan
memelihara pertahanan untuk mencapai tujuan bersama. Perasaan demikian menurut Ibn Khaldun
timbul secara alamiah dalam kehidupan manusia karena adanya pertalian darah atau pertalian
perkauman. Selanjutnya lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah, (t.tp.: Dr al-Fikr, t.th.), h. 10.
74
Khaldun, Muqaddimah, h. 51-52.
75
Sidi Ghazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi Sosiografi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 142.
53
76
Mawl adalah bentuk jamak dari kata mawl, berarti pelindungan. Padanannya dalam
bahasa inggeris ialah client. Lihat David White Biddle, The Development of the Bureacracy of the
Islamic Empire during among the Late of Umayyad and Early Abbasid Period, (Texas: Texas
Univercity, 1972), h. 54.
77
Lihat Fathimah Mernissi, al-Shulthn al-Munsiyt: Nis Ras Daulah f al-Islm,
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abd Hadi Abbas dan Jamil Mualla, (Damsyiq: Dr alHashd wa al-Tawzi, 1994), h. 100.
54
Misalnya setelah Rasulullah saw. bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah, kelompok
pengungsi dari Makkah diberi gelar al-muhjirn (orang-orang yang berpindah tempat tinggal), dan
penduduk asli kota Yatsrib (sekarang Madinah) diberi gelar al-anshr (penolong). Kedua istilah ini
tidak mengisyaratkan perbedaan kelas, sehingga antara kedua kelompok masyarakat tersebut tidak
ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah daripada kelompok lainnya, walaupun pada
kenyataannya, kelompok muhjirn pada mulanya memberikan beban sosial ekonomi kepada
kelompok anshr. Selanjutnya lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif alQur an, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 116-117.
79
Wfi, al-Hurriyyt, h. 26-27; Lewis, Race, h. 7.
80
Wfi, al-Hurriyyt, h. 27.
81
Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 11.
82
Al-Aqqd, Haqiq, h. 289; Abdullah Ahmad Al-Nam, Dekontruksi Syariah: Wacana
Kebebasan Sipil, Hak-Hak Azasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terjemahan
Suaidy dan Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 331.
83
Al-Nam, Dekontruksi, h. 332; Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 12-18. Sedangkan Ali Abdul
Wahid Wafi menyebutkan tiga syarat yang membolehkan perang syari yaitu: 1. Sebagai upaya
defensif, 2. Merusak perjanjian, dan 3. Adanya sebab berbahaya berkenaaan dengan keselamatan
negara dan hukum dari fitnah. Secara substansi, sama saja dengan pendapat Ulwan, hanya saja wafi
55
b.
c.
Islam.
d.
mengecualikan perbudakan bagi tawanan dari kedua kelompok muslim yang berperang. Selanjutnya
baca Wfi, al-Hurriyyt, h. 29.
84
Al-Nam, Dekontruksi, h. 332.
56
tinggi. Dalam sejarah Islam, kemenangan besar dapat dicapai kaum muslimin dari
tahun 2 H/ 624 M. 132 H/ 750 M.85 Meskipun demikian, pembatasan kriteria
perang setidaknya telah mencegah pembengkakan kuantitas budak pada masa
berikutnya.
Di masa Rasulullah saw. sendiri, penanganan tawanan perang tercermin
dalam al-Quran Surah Muhammad (47): 4 yang mengatakan bahwa apabila kamu
telah mengalahkan musuh, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh
membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.86
Keterangan tersebut memberikan indikasi bahwa pada hakikatnya tidak tercantum
perintah untuk memperbudak, dan ayat itu sekaligus sebagai pedoman Rasulullah
saw. dalam menangani para tawanan perang. Oleh sebab itu, pada masa Rasulullah
saw. dan Khulafa al-Rasyidin, baik secara politis, historis maupun syar i, sudah
jarang budak yang lahir karena perang.87
Sepanjang periode Arabia, 13-132 H. / 634-750 M.,88 para khalifah
menerima harta rampasan dalam jumlah besar yang dikirim oleh komandankomandan yang menang dalam pertempuran sebagai khumus, yakni seperlima yang
diperuntukkan bagi penguasa.89 Belakangan bentuk khumus berkembang menjadi
85
86
...
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher
mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu
kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.
87
Keadaan demikian akan semakin jelas setelah kita mengkaji hadis-hadis yang berkaitan
dengan perbudakan sebagai inti kajian dalam Disertasi ini.
88
Pipes membagi Periode Islam Klasik menjadi tiga era; Zaman Muhammad (1-13 H.) /
622-634 M.), Zaman Arabia (13-132 H. / 634-750 M.), dan zaman Abbasiyah I (129-205 H. / 747820 M.). baca Daniel Pipes,Tentara Budak dan Islam, terjemahan Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986), h. 187.
89
Pipes,Tentara, h. 235.
57
para tangkapan perang yang dihadiahkan. Para khumus ini sering datang dari Afrika
Utara. Musa bin Nushair mengirim 60.000 tangkapan kepada Abd. Malik bin
Marwan, 30.000 40.000 tangkapan kepada al-Walid I pada tahun 714 H. dan
100.000 kepada Sulaiman.90 Ini menunjukkan kembalinya perbudakan dengan
bentuk yang baru.
Sumber budak tidak hanya dari kemenangan peperangan saja. Tetapi
sebagai tindak lanjutnya, para khalifah mengatur secara kontinyu agar daerah-daerah
yang ditaklukkan menyerahkan upeti berupa budak-budak kepada penguasapenguasa pusat sebagai jaminan, hingga penaklukan berakhir.91
Praktek upeti ini sebenarnya pernah terjadi pada masa Khulafa al-Rasyidin.
Di masa Umar bin Khattab, Amr bin Ash di tahun 20 H / 641 M telah menetapkan
bahwa kaum Barbar Luwata di Barqa, wajib membayar sebagian dari pajaknya
dengan budak-budak dari rakyat mereka sendiri. Perjanjian-perjanjian pada masa
pemerintahan Usman dengan Merv, Zaranj, Kirman dan penguasa-penguasa yang
tak dikenal di Transoxiana memasukkan perihal pengiriman budak. Itulah sebabnya
di tahun 46 H. / 666 M., Uqba bin Nafi, penakluk Afrika Utara, pernah menetapkan
agar Fezza mengirim 360 budak setiap tahun. Demikian Hajjaj, mengadakan
perjanjian dengan Ruthbil, penguasa Sajistan, agar menyerahkan budak-budak serta
barang-barang lainnya. Hisyam di tahun 114 H. / 732 M., mendapat kiriman budak
dari gubernurnya di Ifriqiyah sebanyak 20.000 budak dan 700 budak wanita serta
700 karim sebagai hadiah sukarela.92 Sebahagian upeti budak ini ada yang
digunakan untuk tujuan militer.93
90
Pipes,Tentara, h. 235-6.
Pipes,Tentara, h. 236.
92
Pipes, Tentara, h. 237.
93
Pipes menyatakan bahwa dari sekian data yang ada, hanya satu yang eksplisit
menunjukkan bahwa budak tersebut digunakan untuk tujuan militer, yaitu ketika gubernur Umayyah
di Irak meminta 1000 orang mamluk bersenjata dan berkuda dari gubernur Khurasan, Nashr bin
Yassar, dan ternyata pesanan itu dikirimkan sesuai dengan permintaan. Lihat Pipes, Tentara, h. 238.
91
58
94
59
memerintah.97 Dengan demikian, dua sumber yang ada kemudian di masa pasca
Khalifah Empat dan seterusnya, adalah bersifat politis dan ekonomis.
Kemunculan sumber perbudakan ini lebih tepat dikatakan sebagai
penyimpangan syariat Islam yang dilakukan oleh para penguasa pada masa
tertentu.98
pemerintahan dan Dinasti yang berkuasa. Budak dari upeti muncul di masa Khulafa
al-Rasyidin. Budak dari tawanan perang muncul lebih dominan di masa Dinasti
Umayyah, sedangkan budak belian lebih dominan di masa Abbasiyah.
Khusus terdapatnya dominasi sumber budak dari tawanan pada masa
Dinasti Umayyah, adalah lebih disebabkan oleh banyaknya peperangan akibat
ekspansi wilayah Islam yang mencapai wilayah terluas sepanjang masa Islam. Data
jumlah budak-budak tawanan itu terbukti dari kepemilikan dan pengiriman
rampasan perang sebagai persembahan pasukan kepada penguasa pusat.
Adapun di masa Dinasti Abbasiyah, para budak lebih dominan didapat dari
pembelian besar-besaran. Hal ini terjadi karena peperangan ekspansi sudah jarang
terjadi di bandingkan dengan masa Dinasti Umayyah.
Standarisasi jual-beli itu ditentukan oleh kriteria pendidikan dan
pengetahuannya dalam berbagai bidang. Semakin tinggi tingkat pengetahuannya,
maka semakin tinggi pula harga jualnya.99 Sebahagian mereka ada yang mencapai
popularitas seperti Ishraq al-Suwaida, wanita hitam kecil cantik yang telah
termasyhur pada abad X di Spanyol atas pengetahuannya dalam bidang tata bahasa
97
Sayyed Ameer Ali, The Spirit of Islam, A History of The Evaluation an Ideals of Islam
with a Life of Prophet, (New Delhi: Idarah al-Adabiyah Delhi, 1978), h. 267.
98
Ameer Ali, The Spirit, h. 266; juga Syalab, Perbandingan, h. 249-251.
99
Di Masa Dinasti Umayyah, budak tanpa memiliki keterampilan berharga 200 Dinar, yang
memiliki keterampilan berharga 400 Dinar, dan bila pandai bersyair berharga 600 Dinar. Lihat
Zaidan, Trkh, h. 57-58.
60
dan ilmu persajakan.100 Jadi ada dua popularitas yang terungkap bagi kaum budak
dalam sejarah Islam, yaitu popularitas dalam bidang politik dan bidang seni budaya.
Sebagai upaya meningkatkan nilai komersial budak, maka didirikanlah
sekolah-sekolah misalnya di Bagdad, Madinah, dan Cordova sebagai lembaga
pelatihan bagi para budak dalam bidang tari, musik, sastra, puisi dan tata bahasa.
Karena itu, fungsi budak di samping sebagai pelayan, juga sebagai penyanyi dan
pemusik di istana raja-raja dan para bangsawan.
Konon budak wanita Abd. Rahman III (912-961 M.) di Cordova berjumlah
6300 orang. Ini masih setengah jumlah jika dibandingkan dengan istana Fatimiah di
Kairo yang memiliki 12.000 orang.101
Bentuk lain dari perbudakan yang dijumpai dalam sejarah Islam adalah
perbudakan militer. Di samping berfungsi sebagai bodyguard, pengawal raja-raja
dan para bangsawan, mereka juga diorganisir dalam kelompok-kelompok
pasukan.102 Kelompok tersebut misalnya Corp Mamluk pada abd X di Pustat di
bawah Dinasti Tuluniah di Mesir, terdiri dari 24.000 orang Turki dan 40.000 orang
Negro. Sedangkan sebahagian penguasa Dinasti Umayyah di Spanyol, memiliki
10.000 budak di Cordova. Biasanya mereka dikepalai oleh pejabat resmi dari orang
merdeka dan berperan penting.103
Jadi, ada semacam fluktuasi yuridis formal perbudakan terhadap musuh,
baik di zaman Rasulullah saw., zaman Arabia (Khulafa al-Rasyidin dan Umayyah)
maupun di masa Abbasiyah. Kalau di masa Rasulullah saw. perbudakan yang lahir
akibat perang dianggap sudah tuntas, karena secara yuridis, Islam tidak
menghendaki tawanan menjadi budak.
100
Maurice Lombard, translated by Jhon Spencer, The Golden Age of Islam, (Oxfort: Nort
Holland Publishing Company, 1975), h. 195.
101
Lombard, The Golden, h. 195.
102
Lewis, Race, h. 7.
103
Lombard, The Golden, h. 195.
61
105
62
transisional
dengan
mengizinkan
perbudakan,
menolak
batas-batas
tawanan perang.107 Praktek syariah ini diperkuat dengan perbudakan komersial yang
telah mempengaruhi berkurangnya tendensi perikemanusiaan yang telah dirintis dan
dipraktekkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Praktek kemenangan atas
ekspansi, justru telah memperbanyak populasi budak sebagai hasil utama dari
kemenangan berupa upeti dan tawanan perang. Ini membawa kejatuhan nilai
manusia dan kemanusiaan para budak.
Walaupun demikian, Islam masih
63
64
Dari Aisyah isteri Nabi saw. bahwasanya Barirah mendatanginya sedangkan Barirah seorang budak
Muktab (sedang dalam perjanjian) dengan tuannya sebanyak 9 awaq. Lalu Aisyah berkata
kepadanya: Jika tuanmu mau, aku siap memperhitungkannya dengan mereka tetapi perwalaannya
ada padaku. (Ia berkata): lalu Barirah mendatangi tuannya dan menceritakannya kepada mereka.
Namun tuannya menolak kecuali dengan syarat hak perwalaan itu diserahkan kepada mereka.
Kemudian Aisyah menceritakan hal itu kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw. Bersabda: Bayarkan saja.
Kemudian Nabi saw. Berdiri berpidato kepada manusia, seraya memuji Allah, kemudian beliau
bersabda: Selama seseorang membuat persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah, sedangkan
setiap persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah batal. sekalipun dengan seratus
persyaratan, Kitab Allah itu lebih benar dan lebih kuat. Sebab al-Wal (hak perwaliaan atas budak)
berada ditangan orang yang memerdekakannya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Shalh, Bb Zikri
al-Bii wa al-Syar al al-Mimbari, no. hadis 456, juz 1, h. 188, Kitb al-Zakt, Bb al-Shadaqt
al Mawli Azwj al-Nab, no. hadis 1492, juz 1, h. 426, Kitb al-Buy,Bb al-Baiu wa al-Syiru
min al-Nis no. hadis 2155-2156, juz 2, h. 28, Bb Idz Isytaritha Syurthan f al-Baii l Tahillu,
2168, juz 2, h. 30, Kitb al-Itq, Bb Bai al-Wal wa Hibatih no. hadis 2536, juz 2, h. 109, Bb M
Yajzu min Syurth al-Muktab, no. hadis 2567, juz 2, h. 115, Kitb al-Hibah wa Fadluha, Bb
Qabl al-Hadiyyah, no. hadis 2578, juz 2, h. 119, Kitb al-Syurth, Bb al-Syurth f al-Buy no.
hadis 2717, juz 2, h. 153-154, Bb M Yajzu min Syurth al-Muktab, no. hadis 2726, juz 2, h. 155,
Bb al-Syurth f al-Wal, no. hadis 2729, juz 2, h. 156, Bb al-Muktab wa M L Yahillu min
Syurth, no. hadis 2735, juz 2, h. 161, Kitb al-Nikh, Bb al-Hurrah Tahta al-Abdi, no. hadis 4707,
juz 3, h. 124, Kitb al-Thalq, Bb L Yaknu Bai al-Ama Thalqan, no. Hadis 4871, juz 3, h. 171,
Bb Syaf at al-Nab f Zauji Barrah, no. hadis 4876, juz 3, h. 172, Kitb al-Ath imah, Bb al-Adam,
no. hadis 5010, juz 3, h. 208, Kitb Kaffrt al-Aimn, Bb Iz Ataqa f Kaffrt liman Yakna
Wal, no. hadis 6223, Kitb al-Faridh, Bb al-Wal liman Ataqa wa Mirst al-Laqth, no. hadis
6254, Bb Mirst al-Saibah, no. hadis 6257, Bb Iz aslam Yadaih, no. hadis 6261, Bb M Yaristu
al-Nis min al-Wal, no. hadis 6263; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Innam al-Wal Liman
Ataqa no. hadis 150401505, h. 731; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Faridh, Bb F al-Wal, no.
hadis 2915-2916, juz 2, h. 335; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Buy an Raslillah, Bb M Ja f
Isythirth al-Wal, no. hadis 1256, juz 2, h. 287, Kitb al-Faridh an Raslillah, Bb M Ja f Man
Yaristu al-Wal, no. hadis 2114, juz 3, h. 174, Kitb al-Wal wa al-Hibah an Raslillah, Bb M
Ja Anna al-Wal liman Ataqa, no. hadis 2125, juz 3, h. 182; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Itq, Bb
al-Muktab, no. hadis 2521, juz 2, h.842; Sunan Nasi, Kitb al-Zakt, Bb Iz Tahwala alShadaqh, no. hadis 2567, juz 5, h. 107-108, Kitb al-Buy, Bb al-Baiu Yalna Fhi al-Syurth alFsidu Fayuyashihhu al-Bai wa Yubthlu al-Syurth, no. hadis 4563-4565, juz 7, h. 305, Bb Bai alMuktab, no. hadis 4576, juz 7, h. 305; Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis 22924, 23021, 23057, ,
24123, , 24280, 24294, juz 15; Muwtha Mlik, Kitb Thalq, Bb M Ja f al-Khiyar, no. hadis
65
lain yang berbicara masalah penjualan budak adalah yang bersumber dari Abdullah
Ibn Umar ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: siapa yang
memerdekakan bagiannya pada seorang hamba, lalu dia mempunyai harta yang
mencapai harga hamba itu, maka ditaksir harga hamba itu dengan taksiran yang
pantas, lalu dia berikan kepada orang yang berkongsi dengannya, maka merdekalah
hamba itu atas namanya. Dan jika tidak, maka sudah merdeka hamba itu sebanyak
bagian yang memerdekakannya itu.109
Riwayat-riwayat seperti itu menurut Joseph Schacht mengandung konsep
yang mengacu pada doktrin penjualan budak dalam Islam. Yang lebih menarik dari
keterangan Schacht, bahwa sekalipun hadis itu lemah, para ulama Islam awal tetap
mencantumkannya sebagai sesuatu yang dianggap berasal dari Nabi Muhammad
1028, juz 2, h. 74, Kitb al-Itq wa al-Wal, Bb Mashir al-Wal liman Ataqa, no. hadis 1275-1276,
juz 2, h. 206; Sunan al-Drim, Kitb al-Thalq, Bb F Takhyr al-Amati Takun Tahta al-Abdi
Fatu tiqu, no. hadis 2293, h. 728.
109
Dari Abdullah Ibn Umar ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: siapa yang memerdekakan
bagiannya pada seorang hamba, lalu dia mempunyai harta yang mencapai harga hamba itu, maka
ditaksir harga hamba itu dengan taksiran yang pantas, lalu dia berikan kepada orang yang
berkongsi dengannya, maka merdekalah hamba itu atas namanya. Dan jika tidak, maka sudah
merdeka hamba itu sebanyak bagian yang memerdekakannya itu. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb alSyirkah, Bb Taqwm al-Asyy Baina al-Syurak i Biqmati Adl, no. hadis 2491-2492, juz 2, 99-100,
Kitb al-Muktab, Bb M Yajzu min Syurth al-Muktab wa Man Isytharatha Laisa f Kitb Allah,
no hadis 4713, juz 3, h. 126, Kitb al-Itq Bb Idz Ataqa Abdan Baina Istnain aw Amatun Bain alSyuraki, no. hadis 2522-2524, juz 2. h. 107; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Fadl al-Itq, no.
hadis 1509, h. 734, Kitb al-Aimn, Bb Man Ataqa Syirkan Lahu f Abdin, no. hadis 2249-2252, h.
1098; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F Man Raw Annahu L Yustasa, no. hadis 3937, juz
3, h. 23; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Ahkm an Raslillah, Bb M Ja f al-Abdi Yakna Bain alRajulain Fayutaqu Ahaduhuma Nashbahu, no. hadis 1346, juz 2, 340; Sunan Ibn Mjah, Kitb alItq, Bb Man Ataqa Syirkan Lah f Abdin, no. hadis 2527, juz 2, h. 844; Musnad Ahmad bin
Hambal, no. hadis 374, juz 2, h. 124;; Muwatha Mlik, Kitb al-Itq wa al-Wal, Bb Man Ataqa
Syirkan Lah f Mamlkin, no. hadis 1264, juz 2, h. 201.
66
110
Sayangnya Schacht tidak menunjukkan riwayat mana yang melarang perbudakan dan
telah dipalsukan itu. Selengkapnya lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan
Jurispurudence, (Oxford: Clarendon Press, 1950), h. 173.
111
Philip K. Hitty, History, h. 235.
112
Muhammad Quthb, Syubht, h. 41.
67
fenomena yang harus ada dan natural. Tapi beliau menganggapnya sebagai suatu
fenomena yang dibenci, dan memberikan toleransi hanya untuk sementara waktu.
Eksistensi itu hanya untuk membatasi penyalahgunaan yang terjadi sejak lama. Juga
mendorong untuk membatasi hilangnya keyakinan moral dan keagamaan tentang
persamaan alamiyah seluruh manusia di hadapan hukum Tuhan.113 Karenanya,
Rasulullah saw. memberikan petunjuk-petunjuk teknis yang secara gradual akan
membawa kepada penghapusan perbudakan.
Untuk mengedepankan argumen bahwa Rasulullah saw. telah melakukan
perang terhadap sistem perbudakan, perlu mengenal berbagai keadaan di mana
perbudakan seakan diizinkan. Berkaitan dengan itu, hadits-hadits masalah
113
A. Mukti Ali, Muslim Biladi dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, (Jakarta: CV. Haji
Masagung, t.th.), h. 103.
68
perbudakan, tidak satupun redaksi yang mengarah kepada indikasi bahwa seseorang
yang dilahirkan dalam keadaan bebas bisa berobah status menjadi budak.114
Kalau demikian adanya, pertanyaan yang muncul adalah jika memang
Rasulullah saw. telah mengayunkan langkah pembebasan budak dan mendahului
dunia seluruhnya tanpa paksaan dan tekanan, mengapa Rasulullah saw. tidak
mengumumkan secara tegas bahwa perbudakan telah diharamkan? Harus diakui
bahwa persoalan perbudakan lebih lama tertunda dari waktu yang dikehendaki
Islam. Bahkan, tertunda dari yang mungkin terjadi andaikata Islam menempuh
jalannya secara wajar tanpa mengalami penyelewengan-penyelewengan individual
dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dengan demikian, keliru jika beralasan bahwa adanya hadis-hadis yang
mengatur mekanisme pemberdayaan orang-orang lemah (budak), justru dianggap
sebagai alasan bahwa Rasulullah saw. melegalkan perbudakan.
Ibn Rusyd mengatakan bahwa baik melalui petunjuk al-Quran maupun sunnah, satusatunya jalan bagi seseorang yang dilahirkan bebas dapat menyeretnya menjadi budak adalah
kekalahan dalam peperangan yang dibenarkan oleh syariah. Selanjutnya lihat Ibn Rusyd, Bidya alMujtahd wa Nihya al-Muqtashid , juz I, (Beirt: Dr al-Fikr, t.th.), h. 279.
69
70
perang. Pada masa Rsulullah saw. dan Khulafa al-Rasyidin, baik secara politis,
historis maupun syar i, sudah jarang budak yang lahir karena perang.119
Ironisnya, peperangan kebanyakan terjadi setelah masa Nabi Muhammad
saw. dan
Keadaan demikian akan semakin jelas setelah kita mengkaji hadis-hadis yang berkaitan
dengan perbudakan sebagai inti kajian dalam Disertasi ini.
120
Lewis, Race, h. 9.
121
Nama lengkapnya adalah Abdullah Ahmad Al-Nam. Ia salah seorang pemikir Islam
kontemporer asal Sudan. Banyak belajar di Sudan, Ingris dan Scotlandia. Spesialisasinya masalah
hak-hak sipil. Buah pikirannya banyak terinspirasi dari kenyataan yang ia saksikan di negerinya,
Sudan. Di Sudan, banyak orang yang tertindas dan terampas haknya (diperbudak). Menurut al-Nam,
salah satu penyebabnya adalah adanya dalil-dalil agama sebagai alat legitimasi.
122
Tidak saja para budak yang mendapatkan perlakuan diskriminasi, perempuan merdeka
sekalipun telah pula menjadi korban diskriminasi akibat kekeliruan memaknai pesan Tuhan yang
berupa teks. Pembahasan lengkap masalah ini dapat dilihat dari argumen-argumen yang dikemukakan
oleh Nasaruddin Umar dalam bukunya Argumen Kesetaraan jender Perspektif al-Qur an, (Jakarta:
Paramadina, 2001).
123
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, al-Qurthub al-Andals, Bidya alMujtahd wa Nihyat al-Muqtashd, juz II, (t.tp. Dr al-Fikr, tt.), h. 447.
71
setengah dari pria dalam masalah kesaksian124 dan waris.125 Menurut al-Nam,
bagian-bagian inilah yang perlu diperbaharui, karena hukum modern tidak
menghendaki adanya diskriminasi hukum atas dasar perbedaan jenis kelamin
/gender atau agama. Terhadap hukum diyat, imam mazhab terdahulu menetapkan
bahwa diyat atas pembunuhan non-muslim lebih rendah daripada pembunuhan
seorang muslim.126 Unsur-unsur diskriminatif tersebut tidak dapat diterima oleh
ukuran keadilan dan kelayakan sekarang, bahkan dinilai sebagai pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa syariah tidak dapat dijadikan
hukum positif, dan negara Islam (Islamic state) tidak mungkin dapat diwujudkan
dalam konteks global negara modern sekarang ini.
Dalam masalah perbudakan, al-Nam mengacu kepada deklarasi universal
Hak Asasi Manusia (HAM)127 yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948 yang
124
. ...
.dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada
dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
125
Lihat QS. al-Nis (4) : 11,
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.
126
Misalnya Imam Syafii mengatakan bahwa orang beriman tidak dapat dibunuh karena
membunuh orang kafir, dan bahwa diyat bagi seorang pembunuh zimmi sepertiga dari diyat
pembunuh seorang muslim. Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafiiy, al-Umm. (t.tp. : Nur alSaqfa al-Islmiyyah, t.th.), h. 105-106. dan 7 :290-291.
127
Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri menurut pandangan Barat Sekuler adalah
ekspresi kebebasan manusia yang terlepas dari ketentuan Tuhan, agama, moral atau kewajiban
metafisika. Dalam perspektif ini, manusia ditempatkan dalam suatu setting di mana hubungannya
dengan Tuhan sama sekali tidak disebut. Hak-hak asasi manusia dinilai sebagai perolehan alamiah
sejak kelahirannya. Sebaliknya, dalam Islam, ekspresi kebebasan manusia harus ditempatkan dalam
kerangka keadilan, kasih sayang, dan persamaan kedudukan di mata Tuhan. Selanjutnya lihat Alwi
Syihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), h. 179.
72
berisi consensus paling luas tentang hak asasi manusia,128 yang berisikan bahwa hak
asasi manusia pada dasarnya adalah merupakan hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan yang maha pencipta (bersifat kodrati). Karenanya, tidak ada satu kekuasaan
apa pun yang dapat mencabutnya.
Pasal 2 deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut memuat ketentuan
bahwa setiap orang mempunyai hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi
ini dengan tanpa pengecualian apa pun, seperti perbedaan bangsa, ras, warna kulit,
jenis
kelamin,
bahasa
dan
agama,
politik,
asal-usul
kebangsaan
atau
kemasyarakatan, milik, kelahiran, atau pun kedudukan lain. Pasal 4 berbunyi, tidak
seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba; perbudakan dan perdagangan budak
dalam bentuk apa pun harus dilarang.
Kata al-Nam selanjutnya, ketika pasal-pasal seperti ini diperhadapkan
dengan syariah, akan timbul problem serius.129 Problem itu antara lain tampak pada
aturan syariah yang masih mengakui perbudakan. Syariah mengakui perbudakan
sebagai institusi tetapi mengharuskan pembatasan sumber-sumber yang dapat
menambah perbudakan, memperjuangkan mereka dan mendorong pembebasannya
dengan berbagai cara, tetapi sejauh itu tidak ada ayat atau hadis yang secara tegas
melarangnya.
128
Lihat David P. Forsythe, Human Rights & World Politic, 1993. edisi Indonesia, HakHak Asasi Manusia dan politik Dunia. (Bandung: Angkasa, 1993), h. 1-30. Baharuddin Lopa, HakHak Asasi Manusia Dalam al-Qur an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1996), h. 2-4.
129
Salah satu asumsi yang keliru tentang HAM adalah bahwa sensitivitas hak asasi manusia
adalah suatu ketundukan pada liberalisme yang berkembang pesat. Asumsi semacam ini merupakan
bentuk ketidaktahuan tentang sifat liberalisme sekaligus merupakan bentuk penghinaan terhadap
agama. Asumsi ini memberi kepercayaan lebih banyak pada liberalisme daripada yang sepatutnya
dan kurang terhadap agama; liberalisme bukan sumber utama hak asasi manusia, agama pun bukan
antitesisnya. Selanjutnya lihat Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj.
Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002), h. 192.
73
74
132
75
133
76
Tuntutan pendefenisian dan penjabaran Islam dalam kehidupan negaranegara, belakangan ini memperoleh momentum dan energi baru dengan bergulirnya
semangat kebangkitan Islam.135 Bagaimana pun, pendefenisian konsep syariah
dalam sistem negara-negara merupakan fenomena baru yang belum berkembang
dalam pengalaman sejarah dan kultur masyarakat Islam,136 sehingga dalam proses
assimilasi dan implementasinya ditemukan berbagai kesulitan. Kesulitan itu terjadi
ketika
mereka
harus
menyesuaikan
dengan
tuntutan
standar-standar
The Application of Syariah and the Issue of Human Right in Muslim World, (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 4 Januari 2003).
135
Mengenai fenomena kebangkitan Islam ini dapat dilihat dalam Mohammad Ayyob, ed.,
The Politics of Islamic Reassertion, (New York: St. Martins Press, 1981). h. 29.
136
Sebenarnya dalam sejarah kebudayaan Islam telah dikenal adanya Daulah Islmiyyah
yang, secara teoritik menjadi simbol kesatuan umat Islam dan supremasi universal syariah di seluruh
dunia Islam. Secara teoritis tentang negara Islam dapat dilihat dalam Ab al-Hasan Ali bin
Muhammad bin Habb al-Bashri al-Bagdd al-Mawardi, al-Ahkm al-Sulthniyyah, (Mesir: Syirkah
Maktabah wa Mathbaah Musthafa al-Bbi al-Halabi, 1973) dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu
Kenegaraan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971). Namun demikian, konsep-konsep
kenegaraan yang mereka rancang tidak mendapat respon yang memadai dari generasi Islam
selanjutnya.
77
dikelompokkan menjadi tiga: 1) tetap berpegang teguh pada aturan-aturan yang ada
dalam tradisi syariah dan menolak dengan tegas terhadap otoritas hukum yang
berlawanan dengan itu;138
meninggalkan
aturan
syariah;139
dan
3)
berusaha
mencari
jalan
untuk
mengkompromikannya.140
Menurut kajian John O. Voll, terdapat tiga tema pembaharuan pemikiran
(Tajdd-al-Ishlh) yang muncul pada masa-masa pra-modern maupun masa modern,
yaitu: 1) kembali kepada al-Quran dan Sunnah dengan menerapkannya secara ketat
dan sempurna; 2) penegasan hak untuk lebih menggunakan ijtihad (pemikiran secara
mandiri) daripada taqlid (mengikuti ketentuan dan pandangan-pandangan para imam
terdahulu), dan 3) penegasan kembali ke keaslian (otentisitas) dan keunikankeunikan pengamalan al-Quran dan al-Sunnah.141
Hemat penulis, ketiga tema tersebut harus diramu dengan apik, sehingga
melahirkan cara pandang dan interpretasi yang tepat. Hadis-hadis yang
membicarakan masalah perbudakan misalnya, harus dipahami secara benar.
137
78
non-muslim hanya
dikenakan hukuman ta zir, yaitu suatu hukuman yang kualitas dan kuantitasnya
relative lebih ringan dibanding dengan hukum qishash.
Di sini terlihat bahwa Syaltut telah meletakkan nilai kemusiaan sebagai
prinsip kehidupan yang harus dihargai. Pandangan tersebut sejalan dengan prinsip
al-masil al-khamsah144 yang salah satunya adalah hifz al-Nafs. Di lain pihak,
hakekat dasar kemanuasiaan ialah termasuk di dalamnya menegakkan keadilan
tanpa memandang status sosialnya dan atribut-atribut lainnya.
142
Qishash secara bahasa berarti mengikuti jejak. Digunakan dalam makna sangsi, karena
orang yang melaksanakan hukum kishash itu mengikuti jejak kejahatan pelaku. Misalnya pelaku
melukai dibalas dengan melukai pula, dan seterusnya. Lihat Ahmad Fathi Bahansi, al-Qishsh f alFiqh al-Islm, (Kairo: Dr al-Nasyr, 1964) h. 11-12.
143
Mahmud Syalthut, al-Islm Aqidah wa Syariah, (Kairo : Dr al-Qalm, 1966), h. 374375.
144
Istilah tersebut oleh al-Sythib disebut al-Dharuriyy al-Khamsah. Yang masuk
kategori lima yang dharuriyyat tersebut ialah 1) menjaga agama, 2) menjaga jiwa, 3) menjaga
keturunan, 4) menjaga haraa dan 4) menjaga akal. Lihat al-Sythib, Al-Muwfaqt f Ushl alSyariah bi Syarh Abd Allah Darrs. (Mesir : al-Maktaba al-Tijriyyah al-Kubra, t.th.), juz ii, h. 10.
79
80
musuhku pada hari kiamat kelak, yaitu: 1) orang yang mengatakan sesuatu atas
namaku, tetapi kemudian ia menipu, 2) orang yang menjual manusia merdeka dan
memakan harganya, dan 3) orang yang mempekerjakan buruh tapi setelah buruh
tersebut merampungkan pekerjaannya, ia tidak memberikan upahnya146
Dua perkara yang disebutkan terakhir oleh Rasulullah saw. dalam riwayat
itu yang akan menjadi musuhnya adalah berkenaan dengan perlakuan orang dalam
sistem perbudakan. Selain tidak memperhatikan riwayat semacam itu, al-Nam juga
lupa bahwa tujuan dari anjuran Rasulullah saw. untuk membebaskan budak bisa
dipahami sebagai pelarangan terhadap perbudakan.
Berkaitan dengan itu, Sayyed Hossein Nashr mangatakan bahwa jika kita
mau lebih teliti dan terbuka, untuk menengok landasn pokok ajaran agama, baik alQuran maupun hadis, bahwa hak-hak yang dicantumkan dalam deklarasi (yang
dijadikan senjata oleh al-Nam) di antaranya hak untuk hidup, kebebasan,
persamaan, larangan terhadap diskriminasi, hak untuk mendapatkan keadilan, proses
peradilan yang jujur, perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan, perlindungan
dari penyiksaan, perlindungan terhadap imbalan dan nama baik, dan hak suaka.
Begitu pun hak-hak kaum minoritas termasuk hak berpartisipasi dalam menjalankan
dan mengatur urusan kemasyarakatan, hak untuk percaya, berpikir dan berbicara,
lalu kebebasan beragama, kebebasan berserikat, kebebasan untuk mencari usaha146
Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: Ada tiga golongan orang yang menjadi
musuhku pada hari kiamat kelak, yaitu: 1) orang yang mengatakan sesuatu atas namaku, tetapi
kemudian ia menipu, 2) orang yang menjual manusia merdeka dan memakan harganya, dan 3) orang
yang mempekerjakan buruh tapi setelah buruh tersebut merampungkan pekerjaannya, ia tidak
memberikan upahnya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Buy, Bb Istmu Man Ba a Hurran, no.
hadis 2227, juz 2, h. 40; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Itq, Bb Ajr al-Ajr, no. hadis 2433, juz 2, h.
839; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadis 8338, juz 13, h. 97.
81
bangsa Arab, di mana hak asasi manusia sama sekali diinjak-injak dan tidak
dihargai, maka kehadiran Islam adalah sebagai respon atas problem kemanusiaan
dan keadilan yang satu golongan dengan golongan yang lain tidak menghargai nilainilai kemanusiaan. Sejarah pun telah membuktikan bahwa kehadiran Nabi
Muhammad saw. sebagai pembawa ajaran Islam, merupakan pembebasan manusia
dari pelbagai bentuk penindasan atas hak asasi manusia. Tradisi jahiliyah yang
melegitimasi perbudakan, diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap perempuan atas
nama iman dalam suatu keyakinan yang keliru telah dikikis habis oleh Islam.148
Bahwa di dalam al-Quran dan hadis ada yang menyebutkan budak adalah
tidak dapat dipungkiri. Yang dipungkiri adalah adanya dugaan terhadap sumber
otoritas Islam tersebut melegalkan perbudakan. Sebaliknya syariah justru berupaya
menghapusnya. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa salah satu misi
perjuangan Rasulullah saw. adalah perang terhadap perbudakan yang tengah
merajalela kala itu.
Jadi tantangan yang dihadapi umat Islam dewasa ini tidak hanya untuk
memberikan jawaban tehadap tuduhan yang dialamatkan kepadanya seperti
147
Lebih lengkap, lihat Sayyed Hossein Nashr, The Heart of Islam, Pesan-pesan Universa l
Islam untuk Kemanusiaan, terj. Nuraisah Fakih Sutan Harahap, (Bandung: Mizan, 2003), h. 362.
148
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Abdul Rohim, C.N.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 56.
82
melegalkan perbudakan, tetapi juga harus membuat suatu konsepsi dalam rangka
menyediakan instrument gerak bagi upaya mendobrak semua struktur penindasan.
Agama dalam pengertian filosofis merupakan pendasaran konsepsi atas pertanyaanpertanyaan sekitar hubungan manusia dengan alam semesta, dan bagaimana melalui
hubungan tersebut manusia dapat memenuhi kebutuhan spritualnya di samping
kebutuhan materialnya. Mempelajari agama harus dipandang sebagai kegiatan
intelektual, spiritual, histories dan sosiologis sekaligus, bukannya dipandang sebagai
penipuan spiritual.
BAB III
LANDASAN PARADIGMATIK MEMAHAMI HADITS-HADITS
PERBUDAKAN
A. Prinsip-Prinsip Dasar
Hadits-hadits tentang perbudakan memuat beberapa terobosan Rasulullah
saw. dalam mengatasi problem kemanusiaan tersebut. Untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat, diperlukan acuan dasar sebagai pisau analisis. Acuan dasar
dimaksud adalah prinsip-prinsip universal ajaran Islam. Yaitu prinsip kemanusiaan,
kebebasan, persamaan dan keadilan.
1. Prinsip Kemanusiaan
Sejumlah sejarawan muslim membuktikan bahwa kehadiran Nabi
Muhammad saw. pembawa ajaran Islam adalah respon atas problem masyarakat
yang antara golongan yang satu dan golongan lainnya tidak lagi menghargai nilainilai kemanusiaan.1 Tradisi Jahiliyah melegitimasi perbudakan, diskriminasi rasial,
diskriminasi terhadap perempuan misalnya,
Lihat Syaukat Husain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, terjemahan Abd Rohim, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h. 55.
84
unik dalam kebudayaan manusia.2 Dahulu kala umat manusia saling bermusuhan,
lalu Rasulullah saw. menggalang hati mereka dalam ikatan persaudaraan sebagai
sosialisasi perintah Tuhan.3 Banyak pesan Rasulullah saw. yang menekankan
pentingnya ikatan persaudaraan ini. Ikatan yang mengokohkan mereka untuk saling
menopang, tenggang rasa, tolong-menolong dan hormat-menghormati. Sebaliknya,
Rasulullah saw. melarang untuk saling dengki, bersaing dalam penawaran, saling
membenci, saling bermusuhan, saling menjual atas orang lain, saling menzhalimi,
saling merendahkan, saling mendustakan, dan saling menghinakannya.4
2
M. Aman Hobohm, Islam dan Masalah Rasial, dalam Altaf Gauhar (ed.), Tantangan
Islam, (Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1983), h. 304.
3
Dalam uapaya tersebut Rasulullah saw. juga menyampaikan firman-firman Allah swt.
antara lain yang terdapat pada QS. Ali Imran (3): 103;
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,
dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
4
Salah satu contoh adalah riwayat berikut:
Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu saling dengki, bersaing
dalam penawaran, saling membenci, saling bermusuhan, dan saling menjual atas orang lain, tetapi
jadilah kamu bersaudara, hai hamba-hamba Allah. Seorang muslim adalah saudara yang lainnya,
janganlah menzhaliminya, merendahkannya, berdusta kepadanya, dan menghinakannya. Taqwa itu
ada di sini, Rasul menunjuk dadanya tiga kali. Cukup kejelekan bagi orang yang menghina
saudaranya, sebab setiap muslim atas muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya dan
kehormatannya. Lihat Shahh Muslim, ditahqiq oleh Ab al-Fadhl al-Dimiythy, Kitb al-Bir wa alShilah wa al-Adab, Bb Tahrm Zhulmi al-Muslimi wa Khzlihi wa Ihtiqrihi wa Dmihi wa Irdhihi
wa Mlihi, no. hadits 2565; (t.tp., Dr al-Bayn al-Arab, 2006), h. 1225; oleh Ab al-Husain,
Muslim al-Hajjj, al-Naisabr; al-Jmi al-Shahh al-Bukhr. (Taisr), ditahqiq oleh Musa Syahin
85
Lasin, Kitb al-Nikh, Bb L Yakhthubu Al Khithbati Akhhi Hatt Yankiha aw Yada a, no. hadits
4747, juz 3, h. 136, Kitb al-Adab, Bb Y Ayyuhallazna man- Ijtanib Kastran Min al-Zhanni
Inna Ba dha al-Zhanni Istmun wa L Tajassas, no. hadits 5606; (Kairo: Maktab al-Syurq alDauliyah, 2003), juz 3, h. 379; Muhammad bin Isml bin Ibrhim bin al-Mugrah bin al-Bardizbah
al-Bukhr; Sunan Ab Dwud, ditahqiq Muhammad Abd al-Azz al-Khalidiy, Kitb al-Buy, Bb
F al-Nahy An al-Najsyi, no. hadits 3438, juz 2, h. 476; Kitb al-Adab, Bb F al-Zhanni, no. hadits
4917; (Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), juz 3, h. 285, oleh Ab Dwud Muhammad alAzadiy Al-Sijistn; Sunan al-Tirmiziy, tahqiq Mahmud Muhammad Mahmud Hasan Nashar, Kitb
al-Bir wa al-Shilah an Raslillah, Bb M Ja f Zhanni al-Si, no. hadits 1988, (Beirt: Dr alKutub al-Ilmiyah, 2000), juz 3, h. 106 oleh Ab sa Muhammad bin sa bin Saura al-Tirmiz;
Sunan al-Nasi, Kitb al-Nikh, Bb al-Nahy an Yakhtuba al-Rajulu Al Khithbati Akhhi, no.
hadits 3187, juz 6, h. 72, Kitb al-Buy , Bb al-Najasyu, no. hadits 4420, 4430 dan 4431 juz 7, h.
258-259 oleh Ab Abd al-Rahmn Ahmad bin Syuaib Al-Nas; Sunan Ibn Mjah, Kitb alNikh, Bb L Yakhthub al-Rajulu Al Khithbati Akhhi, no. hadits 1867-1868, juz 1, h. 600, Kitb
al-Tijrt, Bb M Ja f al-Nahyi An al-Najsyi, no. hadits 2175-2176, (Beirt: Dr al-Kutub alIlmiyah, t.th.), juz 2, h. 734 oleh Abi Abdillh Muhammad ibn Yazid Ibn Mjah al-Qazwin;
Musnad Ahmad Ibn Hanbal, ditahqiq oleh Ahmad Sykir, no. hadits 7402, juz 3, 265 oleh Ab
Abdillah Ahmad Ibn Hanbal; al-Muwatha , Kitb Husnu al-Khuluq,, Bb M Ja f al-Muhjirah,
no. hadits 1412. (Kairo: Dr al-Fikr, 1984), h. 283-284 oleh Ab Abdillah Mlik bin Anas.
5
Misalnya sabda Rasulullah saw. berikut ini:
Dari Abu Musa dari Nabi saw. bersabda: orang mukmin dengan orang mukmin lainnya ibarat
sebuah bangunan yang antara bagian yang satu dengan bagian lainnya saling menguatkan.
Kemudian beliau mengibaratkan antara jemarinya. Lihat Shahh al-Bukhri, Kitb al-Adab, Bb
Ta wun al-Mu minina Ba dhuhum Ba dhan, no. hadits 5567, juz 3, h. 78, Kitb al-Shalh, Bb
Tasybk al-Ashabi f al-Masjid wa Gairihi, no. hadits 481, juz 1, h. 195, Kitb al-Mazhlim wa alGadhab, Bb Nashru al-Mazhlm, no. hadits 2266, juz 3, h. 277; Shahh Muslim, Kitb al-Birr wa
al-Shilah wa al-Adab, Bb Tarhum al-Muminin wa Ta thufihim wa Ta dhudihim, no. hadits
2585, h. 1232; Sunan Ab- Dwud, Kitb al-Adab, no. hadits 5372, h. 315; Sunan al-Tirmiziy, Kitb
al-Birr wa al-Shilah an Raslillah, Bb M Ja f Syaf at al-Muslim al al-Muslim, juz 3, no.
hadits 1928, juz 3, h. 76; Sunan al-Nas, Kitb al-Zakt, Bb al-Syaf at f al-Shadaqah, no. hadits
2509 dan 2513, juz 3, h. 214; Musnad Ahmad, no. hadits 18762, juz 4, h. 233.
86
pengikut Rasulullah saw. Itu berarti, penderitaan yang terjadi dalam tubuh suatu
umat, adalah proyeksi ketidakefektifan sistem pelaksanaan hak dan kewajiban asasi
di dalamnya.
Prinsip umum yang dimiliki semua tradisi kebudayaan besar yang
menopang nilai kemanusiaan dan manusia adalah seseorang harus memperlakukan
orang lain sama seperti ia mengharap diperlakukan oleh orang lain. Ini memiliki arti
logis, yaitu apabila si A memperlakukan si B dengan baik, maka si B akan
memperlakukan si A dengan baik pula. Dengan demikian, kewajiban seseorang
terhadap orang lain telah melahirkan hak bagi yang lainnya tanpa harus ada yang
menuntut. Sistem ini sejajar dengan konsep yang diajarkan Rasulullah saw. di atas,
sekaligus menjadi dasar persaudaraan dalam Islam.
Prinsip persaudaraan tersebut juga telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
dengan tidak membedakan suku, ras dan bahkan agama apa pun; misalnya perlakuan
terhadap ahl al-dzimmat6 dan terhadap para budak. Khusus terhadap budak, dalam
banyak sabdanya beliau menekankan kepada para sahabatnya bahwa mereka-mereka
itu adalah saudara kalian, mereka harus diperlakukan sebagaimana memperlakukan
saudara sendiri. Saudara-saudaramu itu
Yang dimaksud dengan ahl al-dzimmat ialah penduduk non-muslim yang hidup di
wilayah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah (sebagai jaminan keamanan).
7
Misalnya sabda Rasulullah saw. sebagai berikut:
87
2.
Prinsip Kebebasan
Kebebasan adalah kehendak sadar untuk memilih antara meniadakan atau
Dari al-Ma rri ibn Suwaid ia bertutur: Aku pernah bertemu dengan Ab Dzar di Rabadzah sedang
ia memakai pakaian yang indah. Demikian pula pelayannya (khadim). Maka kepadanya kutanyakan
hal itu (seorang pelayan memakai pakaian indah seindah yang dikenakan majikannya). Ab Dzar
menjawab: Dulu aku pernah adu mulut dengan seseorang, lalu aku menjelek-jelekkan ibunya.
Kepadaku Nabi saw. berkata: Wahai Ab Dzar pantaskah engkau menjelekkannya dengan menjelekjelekan ibunya? Sungguh sifat-sifat jahiliyah masih tersisa dalam dirimu. (Ketahuilah) bahwa
pelayanmu itu adalah saudara-saudaramu yang Allah jadikan berada dibawah kekuasaanmu. Siapa
yang memiliki saudaranya berada dibawah kekuasaannya (pelayan), maka hendaklah ia memberinya
makan sebagaimana apa yang dimakannya; memberinya pakaian seperti yang dipakainya; dan,
jangan membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu dilakukannya. Kalau pun harus
membebaninya, maka bantulah ia dalam pekerjaan itu. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Imn, Bb
al-Ma shi min Amri al-Jhiliyya wa L Yukaffaru Shhibuha Ill bi al-Syirki, no. hadits 29, juz 1,
h. 74, Kitb al-Itq, Bb Qawli al-Nabiy al-bidu Ikhwnukum Faathim- Mimm Ta kuln, no.
hadits 2359, juz 2, h. 105; Shahh Muslim, Kitb al-Aimn, Bb Ithm al-Mamlk Mimm Ya kulu
wa Ilbsuhu Mimm Yalbasu wa L Yukallifuhu M Yaglibuhu, no. hadits 1661, h. 817; Sunan Ab
Dwud, Kitb al-Adab, Bb F Haqq al-Mamlk, no. hadits 4490-4491 juz 3, 235; Sunan al-Tirmiz,
Kitb al-Bir wa al-Shilah an Raslillah, Bb M Ja f Ihsn Il al-Khadam, no. hadits 1940, juz 3,
h. 85; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Adab, Bb al-Ihsn Il al-Mamlik, no. hadits 3680, juz 3, h. 224;
Musnad Ahmad, no. hadits 20440 dan 20461, juz 9, h. 150.
8
Lihat Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia, (Yogyakarta:
Pilar, 2005), h. 21.
9
Salah seorang yang secara terang-terangan memproklamirkan teologi pembebasan Islam
adalah Asghar Ali Engineer, alasannya mengacu pada kondisi umat Islam sekarang yang
88
dianggapnya telah meninggalkan beberapa aspek ajaran Islam. Padahal tegas Ali, Nabi Muhammad
pernah menjadikannya sebagai acuan gerakan kala pertama kali menyerukan ajaran tauhid.
Rasulullah saw. menggulirkan tantangan yang mengancam keberadaan para saudagar Makkah yang
tengah mabuk kekuasaan. Mereka menghina fakir miskin, menindas para budak, menghalalkan riba,
monopoli perdagangan, mempertahankan status quo guna melanggengkan kepemilikan kapital.
Namun hanya dalam beberapa dekade, Rasulullah saw. berhasil mewujudkan sebagian besar misinya,
termasuk mengatasi perbudakan. Lihat Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 4-7.
10
Abdul Kariem Utsman, Persamaan dan Keadilan dalam Perspektif Islam, dalam Lukman
Hakiem (ed.), Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992), h. 15.
11
Martin melihat adanya unsur keterpaksaan ini melekat dalam otoritas yang ada pada
kesepakatan antara dua posisi yang berbeda, yakni antara tuan dan budak. Lihat Roderick Martin,
Sosiologi Kekuasaan, terjemahan Joediono Herry, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 145.
89
Kebebasan fisik mempunyai arti bahwa para budak tidak lagi mempunyai
ikatan keterpaksaan yang mengekang diri maupun pikirannya. Ia berdiri sendiri,
bebas untuk menentukan sikap kehidupannya. Kebebasan fisik berarti juga
mengembalikan fungsi kemanusiaan mereka dan memperlakukan mereka secara
terhormat. Sebab asal usul mereka tidak berbeda dengan tuan-tuan mereka. Hanya
karena hal-hal tertentu saja, yang sifatnya tidak tetap, telah membatasi kebebasan
mereka keluar, dalam hubungannya langsung dengan masyarakat. Di luar hal ini,
budak-budak itu mempunyai hak-hak manusiawi.12
Berdasarkan semua itu, Rasulullah saw. membebaskan semua sahaya yang
dikuasainya dengan diikuti oleh para sahabat.13 Abu Bakar mengeluarkan biaya
besar untuk membeli budak-budak untuk kemudian dibebaskan. Demikian juga
Baitu al-Ml telah menyediakan dana untuk membeli budak-budak untuk
dibebaskan. Sejarah Islam pun mencatat ada Khalifah yang melakukan hal serupa
seperti Umar bin Abd Aziz. Dalam ungkapan Yahya bin Said, terlihat bahwa di
zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, rakyat di Afrika dalam keadaan makmur.
Sehingga zakat yang terkumpul dipergunakan untuk membeli budak dan
membebaskannya.14 Ini menunjukkan pelaku pembebasan, yang dapat bersifat
perorangan atau kelembagaan dan diperkenankannya membeli budak hanya untuk
dibebaskan dan tidak untuk dimiliki. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa
Rasulullah saw. dan para sahabatnya membeli budak tapi hanya untuk dibebaskan.
Lebih dari itu, beliau menganjurkan untuk memerdekakan budak dengan harta yang
dimiliki, tanpa menyusahkannya.15
12
90
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Nabi saw. bersabda: siapa yang memerdekakan sebagian atau
sedikit dalam hal perbudakan maka hendaklah ia memerdekakannya dengan hartanya jika ia
memiliki harta, dan bila ditaksirkan (nilai harganya) maka hendaklah ia mengusahakannya tanpa
menyusahkan dirinya. Lihat Shahh al-Bukhri, Kitb al-Itq, Bb Iz Ataqa Nashban f Abdin wa
Laisa Lahu Mlun, no. hadits 2527, juz 2, h. 107; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Zikri Siyat alAbdi, no. hadits 1530, h. 730, Kitb al-Aimn, Bb Man Ataqa Syirkan Lahu f Abdin, no. hadits
1501-1503, h. 819; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb Man Zakara al-Siyata f Hz al-Hadts,
no. hadits 3937, juz 3, h. 23; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Ahkm an Raslillah, Bb M Ja f alAbdi Yakna Bain al-Rajulain Faya tiqu Ahaduhuma Nashbahu, no. hadits 1347-1348, juz 2, h.
340; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Ahkm, Bb Man Ataqa Syirkan Lahu f Abdin, no. hadits 2528, juz
2, h. 844; Musnad Ahmad, no. hadits 7156, juz 4, h. 232.
16
Zaidan, Trkh, h. 49.
91
Rasulullah
saw.
memperbaiki
nasib
para
budak
dan
17
M. Abd. Jabbar Beg, Mobilitas Sosial di dalam Peradaban Islam Periode Klasik,
terjemahan Lukman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 29.
18
Muhammad Quthub, Syubht, h. 50.
92
menahan mereka bak ternak dalam kamp-kamp konsentrasi dan menjadikan mereka
pekerja paksa; atau kalau wanita, disiapkan untuk menjadi pelacur.19
Penyebaran ini telah mengantarkan mereka ke dalam kehidupan yang lebih
manusiawi. Dengan perintah perlakuan baik terhadap mereka, dari para wali,
menghasilkan pemeluk-pemeluk Islam yang baru. Keturunan mereka banyak yang
menjadi ulama-ulama, pemimpin, ahli hukum, mufassir, negerawan dan perwira
hingga kemudian menjadi pemimpin-pemimpin dunia Islam.20
Ada misi yang tersembunyi dibelakang penyebaran para tawanan perang
pada masyarakat muslim. Misi itu adalah pengenalan Islam tentang pola masyarakat
muslim yang manusiawi dan berdasarkan ajaran Ilahi. Inilah da wat bi al-hal.
Dengan demikian, timbul perbandingan dalam diri mereka terhadap kehidupan awal
mereka yang jauh berbeda. Perbedaan itu dapat diprediksi karena sebagian para
tawanan perang itu adalah berasal dari rakyat yang terpaksa perang di bawah
ancaman penguasa-penguasa penakluk daerahnya.21 Tak heran, kalau banyak
diantara mereka enggan untuk kembali atau ditebus dengan pemerintah mereka,
seperti yang terjadi dengan pasukan Yunani yang ditawan Mesir.22
Sejarah telah membuktikan bahwa perlakuan terhadap para budak pada
masa-masa Islam telah mencapai puncak dari kemanusiaan yang belum terjadi pada
bangsa-bangsa lain. Budak-budak yang dibebaskan tidak mau meninggalkan tuantuan mereka, meskipun mereka berhak demikian setelah mereka mampu memikul
dan menentukan tanggung jawab dan telah mandiri secara ekonomis. Penyebabnya
ialah karena mereka menganggap tuan-tuan mereka seperti keluarga sendiri dan
19
93
telah terjalin di antara mereka ikatan yang menyerupai hubungan darah dalam suatu
keluarga.23 Dalam artian, menempatkan mereka dalam posisi anggota keluarganya.
Ini sesuai dengan wasiat Islam pada Q.S. al-Nis (4):35.24 Karenanya, tidak
diperkenankan memisahkan ibu dari anak, antara dua saudara, putra dari ayah, suami
dari istri atau pun secara kolektif kekeluargaan.
Kemanuggalan ini sebagai perlindungan terhadap mantan budak dari segala
ancaman. Perkataan Umar: Andaikan Salim budak Abu Hudzaifah masih ada, akan
kuangkat ia menjadi wali (pemimpin), adalah cermin kemanunggalan Islam atas
dasar kemanusiaan universal. Tidak ada perbedaan antara Arab dan non-Arab,
Quraish dan non-Quraish sehingga sama berhak untuk menjadi Khalifah. Dengan
begitu, Islam tidak hanya memberikan perlakuan baik terhadap budak, tetapi juga
perlindungannya dengan segala tanggungan kebebasan dan kemuliaan yang
berimplikasi kepada persamaan dalam hak dan kewajiban.
3. Prinsip Persamaan
Pembebasan mengandung unsur persamaan (egalitarianisme). Dalam
pembebasan segala perbedaan yang berkenaan dengan kedudukan, hak dan
kewajiban dalam mencapai kehormatan manusia akan terhapuskan. Kondisi yang
23
24
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
94
muncul kemudian adalah persamaan sebagai Bani Adam yang telah dimuliakan dan
dilebihkan secara sempurna atas kebanyakan makhluk yang diciptakan Allah swt.25
Kemuliaan yang sama telah menggambarkan adanya pemberian hak dan
kewajiban yang sama kepada para budak, inilah aturan-aturan ketat yang dilakukan
oleh Rasulullah saw. tentang perbudakan dalam hal persamaan sebagai bani Adam.26
Persamaan itu sendiri adalah persoalan manusia secara universal.27 Solusi yang
diterapkan oleh Rasulullah saw. yang tampak
memecahkan berbagai problema. Misalnya,
bermula dari satu bapak dan satu ibu, jika mereka hidup dalam bersuku-suku,
berbangsa-bangsa adalah suatu realitas yang mengharuskan agar mereka selalu
berdialog secara kolektif, bukan untuk saling menipu atau memperbudak satu sama
lain.28 Inilah yang mengarah pada sikap senasib sepenanggungan sesama umat
25
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
26
Muhammad Mahmod Taha, Syariat Demokratik, terjemahan Nur Rahman, (Surabaya:
Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), h. 200.
27
Prinsip persamaan manusia dalam Islam, yaitu persamaan dari unsur kemanusiaan, hakhak sipil dan hak-hak umum, hak belajar, hak bekerja, persamaan hak antara muslim dan nonmuslim, hak antara laki-laki dan perempuan, persamaan hak di bidang ekonomi dan politik, bahkan
persamaan hak untuk memiliki. Selanjutnya baca Wfi, al-Hurriyt, h. 28.
28
Hal demikian terlihat dalam riwayat berikut:
Dari Uqbah ibn Amr al-Juhaniyy berkata, Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya nasab kalian
ini bukan dikarenakan sebab seseorang. Semua kalian adalah anak adam, bagaikan satu sisi sa ;
kamu tidak dapat menyempurnakannya. Seseorang tidak lebih mulia dari yang lain kecuali dengan
agama atau takwanya. Cukuplah seseorang dinamakan hina, kikir dan keji (kalau ia membanggakan
nasabnya). Lihat Musnad Ahmad, no. hadits 16804, juz 5, h. 209. Tidak didapatkan komentar dari
95
manusia, terutama dalam menghormati hak asasi manusia itu sendiri. Bahkan tidak
ada yang lebih tinggi derajatnya di mata Allah melainkan karena taqwanya.29
Dalam prinsip persamaan antara manusia ini, memang terdapat perbedaan
dari segi seks, ras, sifat pembawaan, bakat kekerasan, agama dan keyakinan,
keterampilan, kekuatan fisik dan kemampuan intelektual, kedudukan sosial, tingkat
ekonomi, tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Namun pada hakekatnya mereka
tetaplah sama.30 Adanya perbedaan-perbedaan nyata itu agar mereka saling
mengenal dengan ketaqwaan sebagai standar derajat mereka di hadapan Tuhan.
Bangsa Arab pra Islam membanggakan golongan (qabilat) dan nasab
mereka. Fanatisme golongan menjadikan mereka merasa lebih mulia dari golongan
dan bangsa lainnya,31 sehingga mereka terjerumus dalam pertentangan, kekacauan
politik dan sosial.32 Mereka tidak mengenal persamaan antar sesama manusia secara
universal.33 Fanatisme golongan ini masih tertoreh di masa kebangkitan Rasulullah
saw. Faktor keturunan dipandang sebagai faktor yang penting dalam menentukan
kemuliaan seseorang, baik di antara sesama golongan Arab apalagi dengan nonArab. Seorang pemimpin tidak boleh dari keturunan orang yang pernah ternoda,
Imam Ahmad mengenai status hadits ini, namun penelusuran terhadap para periwayatnya didapatkan
informasi bahwa semuanya tsiqah. Oleh sebab itu dari segi sanad hadits tersebut adalah shahih.
29
QS. Al-Hujurt (49) : 13.
Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki, dan seorang perempuan,
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah yang paling bertaqwa di
antara kamu.
30
Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur an, (Jakarta: Grafindo Pesada, 1994), h. 153.
31
M. Amin Abdullah, Studi agama : Normativitas atau Historisitas, (Cet. I; Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1996 h. 52; lihat juga Wfi, al-Muswt f al-Islm, (Kairo: Dr al-Marif, 1965) h.
17.
32
Ali Husni al-Khurbuthli, al-Rasl f al-Madnah, (Mesir: Lajnah al-Talf bi al-Islm,
t.t.), h. 54.
33
Ali Husni al-Rasl, h. 215.
96
misalnya ada leluhurnya yang berasal dari kelas-kelas rendahan atau bangsa kulit
hitam. Jabatan mereka tak lebih dari pencerminan kerendahan nasab mereka.34
Dalam segala hal, kaum bangsawan Arab tidak mau disamakan dengan Arab
keseluruhan, sama dengan kaum Arab keseluruhan tidak mau disejajarkan dengan
kaum non-Arab, ini telah menjadi adat yang mengakar pada masa jahiliah mereka.
Ajaran egalitarianisme Rasulullah saw. telah mencabut akar fanatisme
masyarakat jahiliah ini dengan eksplosi tauladan perilaku Rasulullah saw. terhadap
para sahabat-sahabatnya yang berasal dari kedudukan yang berbeda melalui
persaudaraan dan lebih ekstrim lagi, perkawinan.
Rasulullah saw. telah mempersaudarakan dua kelompok khusus, Muhajirin
dan anshar. Juga beberapa orang bekas sahaya dengan beberapa orang bangsawan.
Bilal dipersaudarakan dengan Khalid bin Ruwaihat al-Khatsami, Zaid bin Haritsah
dengan paman Nabi saw., Hamzah, Kharijat bin Zuhair dengan Abu Bakar, Umar
dengan Itban bin Malik al-Khajraz, Abd al-Rahman bin Auf dengan Saad bin
Rabi.35 Tali persaudaraan ini merupakan ikatan hakiki dengan menyerupai
hubungan darah.
Hubungan dekat ini dikongkritkan lagi hingga pewarisan melalui hubungan
perkawinan antara dua kedudukan yang berbeda dalam pandangan adat Arab
Jahiliah. Suatu hubungan yang sulit terjadi bahkan mustahil terjadi sebelum Islam.
Di muka telah dilukiskan sebuah peristiwa peperangan dasyat antara bangsa Arab
dengan Persia yang membuktikan hal ini.
34
Reuben Levy dalam Sosial Strukture of Islam, seperti yang dikutip Aman Hobohm. Lihat
Hobohm, Islam dan Masalah Rasial dalam Altaf Gauhar (ed.), Tantangan Islam, (Bandung:
Pustaka Salman ITB., 1983), h. 307-308.
35
Ibn Hisym, h. 504-507. juga Ibn Kastsr, al-Bidya wa al-Nihyah, juz iii, (Beirt: Dr
al-Fikr, 1978), h. 226-228. juga Syalaby, Mausa al-Trkh al-Islm wa al-Hadhra al-Islmiyyah
(Kairo: al-Maktabat al-Nahdhat al-Arabiyyah, 1978), h. 247.
97
36
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, maka ia
telah sesat, sesat yang nyata. lebih jelasnya, lihat sebab turunnya ayat ini dalam Jala al-Din alSuyuthi, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur an, terjemahan
Qamaruddin Saleh dkk., (Bandung: Diponegoro, 1994), h. 398.
40
Muhammad Quthub, Syubht, h.59.
98
Beg, Mobilitas, h. 2.
Muhammad Quthub, Syubht, h.59; Beg, Mobilitas, h. 27.
43
Muhammad Quthub, Syubht , h. 60.; Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 35.
44
Hal demikian terlihat jelas dalam riwayat berikut:
42
99
100
tidak hanya sebatas perlakuan yang sama antara anak dan budak si tuan tetapi juga
antara tuan dan budak itu sendiri.
Dalam suatu undangan penyerahan Baitul Maqdis oleh Panglima Abu
Ubaidah kepada Umar, Khalifah berangkat dari Madinah didampingi ghulamnya.49
Antara mereka diadakan undian untuk bergiliran mengendarai seekor onta. Umar
tetap konsisten terhadap undian ini meskipun giliran jatuh pada si ghulm saat
memasuki Baitul Maqdis. Sikap konsisten Umar tetap tercermin meskipun yang
dihadapinya adalah ghulmnya.50
Begitulah Rasulullah saw. menghapus kesombongan bangsa Arab atas
keturunan dan nasab mereka. Selama hal ini tidak bertentangan dengan naluri
kemanusiaan, prilaku balance pada status dan kedudukan manusia dalam
persamaan, sampai kapan pun masih menjadi misi Rasulullah saw. untuk dijunjung
tinggi. Namun di saat naluri psikologis telah disentuh oleh usaha egalitarianisme ini,
Rasulullah saw. pun telah mengantisipasi kefitrahannya dengan sikap seimbang.
Sebagai contoh, dalam kasus pernikahan Zainab dengan Zaid. Di satu sisi
Zainab dan Zaid telah dihadapkan kepada suatu ketetapan Rasulullah saw., sebagai
tindak penghapus fanatisme Arab Jahiliah, yang mesti ditaati. Tapi di sisi lain dapat
mengangkat derajat kaum budak yang telah direndahkan oleh sistem ciptaan
manusia. Selain itu, naluri psikologis wanita sebagai fitrah pribadi manusia, bahwa
wanita lebih menerima untuk diperistri oleh orang yang lebih tinggi martabatnya,
juga tetap dilindungi oleh Islam.
Ini merupakan tujuan tersembunyi di balik sebab turunnya perintah Allah
pada surat al-Ahzb (33):37,51 yang kemudian memerintahkan Rasulullah saw.
49
Disini kita membuktikan bahwa gulm (pelayan) tidak lagi sebagaimana yang selama ini
dipahami sebagai budak seperti sebelum kedatangan Rasulullah saw. sebab, gulm yang
mendampingi Khalifah tersebut selevel dengan ajudan presiden.
50
Beg, Mobilitas, h. 25.
51
QS. al-Ahzb (33): 37:
101
untuk mengawini Zainab setelah dicerai oleh suaminya Zaid bin Haritsah. Ada
makna pengangkatan kembali fitrah pribadi seorang Zainab, di samping itu
mengandung makna bahwa mantan istri anak angkat boleh dikawini oleh bapak
angkatnya.52
Akan tetapi tidak berarti bahwa firman Allah itu bertentangan dengan naluri
kemanusiaan. Sehingga harus turun perintah lain sebagai ralat guna menasikhkan
ayat sebelumnya. Hal ini disebabkan bahwa fitrah seorang wanita, Zainab, bukan
fitrah yang mutlak dan lebih bersifat sektarian dibanding fitrah persamaan manusia
secara umum. Rasulullah saw. pun memupus habis kesenjangan sosial manusia yang
berdasarkan fanatisme golongan terlebih dahulu, baru kemudian tetap menghargai
fitrah naluri individual.
Ibarat menarik rambut dalam terigu, tujuan untuk mengangkat persamaan
antara sesama manusia tetap tercapai tanpa harus mengorbankan naluri psikologis
fitrah manusia.
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya
dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah
kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu
takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteriisteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
52
Al-Suyuthi, Asbab, h. 399-400.
102
4.
Prinsip Keadilan
Setelah kebebasan diberikan kepada para budak sebagai pangkal kembali
103
56
Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahy, Asas Pandangan Dunia Islam, terjemahan Persi
ke Arab oleh Muhammad Abdul Munim al-Khaqani, lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
oleh Agus Efendi, (Bandung: Mizan, 1992), h. 56.
104
perkawinan, budak pun memiliki hak untuk berkeluarga, baik dengan sesamanya
atau pun dengan orang merdeka.57 Perusakan dan pelanggaran terhadap hak-hak ini
adalah kezaliman. Inilah yang disebut keadilan sosial, yang harus dihormati di
dalam hukum manusia, dan setiap individu benar-benar diperintahkan untuk
menegakkannya.58
Itulah sebabnya keadilan menjadi penting dan berharga yang diberikan
Rasulullah saw. kepada manusia.59 Ia menjadi hak setiap umat manusia dan menjadi
salah satu asas Islam bagi setiap hubungan individu.60 Karenanya, segala bentuk
penganiayaan dikecam oleh Rasulullah saw., terutama kepada budak, baik berupa
pemukulan atau pun pembunuhan.
57
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Juga QS. al-Nis (4) : 25:
Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budakbudak yang kamu miliki.
58
Muthahhari, Keadilan,, h. 56.
59
Al-Mauddi, Hak-Hak, h. 24.
60
QS. Al-Nahl (16) : 90:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
105
Dalam hal ini, hukum qishash pada surat al-Midah;61 tetap diberlakukan.
Untuk itu para tuan wajib memperhatikan kesehatan budak, perawatan yang cukup,
kehidupan di masa tuanya, tidak memberikan beban di luar kemampuan otot
maupun otaknya.
Keadilan menjadi disiplin mutlak yang harus ditegakkan. Menegakkan dan
memelihara keadilan di tengah-tengah umat manusia, sebagai dasar dan cita-cita
Rasulullah saw., maka kehormatan dan hak asasi mereka akan terpenuhi. Dengan
demikian akan terjamin terwujudnya suatu ketentraman, keamanan dan pengikatan
manusia atas dasar perimbangan yang harmonis dan persaudaraan yang lebih baik.62
Ketentraman atau keadaan yang lebih baik itu akan tercipta karena asas keadilan.
Dengan asas ini, maka para penegak dan pecinta keadilan diharuskan
menempatkan dirinya pada posisi lurus, seimbang, dan jujur, baik perkataan,
tindakan maupun sikap serta pikirannya. Bagi seorang muslim, sikap adil ini bukan
hanya menjadi kewajiban khusus terhadap sesamanya, tetapi juga terhadap musuh.
Islam menuntut keadilan tidak secara sektarian, sebatas warga negara, suku, bangsa,
ras, melainkan secara universal, bagi seluruh umat manusia. Akibatnya, seseorang
atau sekelompok orang tidak khawatir untuk dizalimi oleh Islam,63 karena keadilan
61
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.
62
Utsman, Kebebasan, h. 36-37; Muthahhari, Keadilan, h. 37.
63
Al-Mauddi, Hak-Hak, h. 25.
106
sosial telah diakui oleh hati nurani semua orang sebagaimana mereka mengingkari
kezaliman.64
Pengakuan yang bersifat mendasar dan universal ini mengakibatkan
penegak keadilan bukan lagi menjadi monopoli pihak tertentu, lebih-lebih pemegang
kekuasaan atau penguasa, melainkan suatu kewajiban dari Tuhan yang didelegasikan
kepada
seluruh
manusia.65
Umar
pernah
merekomendasikan
pengakuan
64
107
67
Wahai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu celaka karena jika orang mulia yang mencuri,
maka mereka tidak menghukumnya. Tetapi jika yang mencuri adalah seorang yang lemah, maka
mereka menerapkan hukum had terhadapnya. Demi Allah, kalau saja Fatimah bin Muhammad
mencuri, niscaya akan aku potong tangannya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Hudd, Bb
Karhiya al-Syaf a f al-Hadd Iz Rafa a Il al-Sulthn, no. hadits 6290, juz 3, h. 446, Bb Zikri
Usmah, juz 3, h. 438, Bb Kam Yaqta , juz 3, h. 470; Shahh Muslim, Kitb al-Hudd, Bb Qatu
al-Sriq al-Syarf wa Gairihi wa al-Nahy an al-Syaf at f al-Hudd, no. hadits 1688, h. 835-836;
Sunan Ab Dwud, Kitb al-Hudd, Bb F Shhibi al-Hadd Yajiu Fayaqra, no. hadits 3806, juz 3,
h. 138; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Hudd an Raslillah, Bb M Ja f Karhiya an Yusyaffa f alHudd, no. hadits 1430, juz 2, h. 396; Sunan al-Nsaiy, Kitb Qathu al-Sriq, Bb Zukira Ikhtilf
Alfz al-Naqilain Lihkabar al-Zuhri, no. hadits 4811-4819, juz 8, h. 72; Sunan Ibn Mjah, Kitb alHudd, Bb al-Syaf at f al-Hudd, no. hadits 2547, juz 2, h. 851; Musnad Ahmad, no. hadits 22381,
juz 6, h. 237; Sunan al-Drim, Kitb al-Hudd, Bb F al-Syaf a f al-Hadd dna al-Sulthn, no.
hadits 2306, h. 733-734.
68
Ali Gharisah, Kehormatan dan Hak: Studi Kritis atas Teori Hak-Hak Azasi Manusia,
terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1986), h. 57.
108
individu kepada setiap yang berhak dan berkewajiban dengan segala upaya
peningkatan kadar kesiapannya.69
Pada dasarnya, keadilan individu dan kolektif adalah sama, sebab timbal
balik antara dua sifat itu, dalam operasionalnya, akan jalan secara bersamaan.
Keadilan secara individual mempunyai nilai setara dengan keadilan kolektif manusia
universal, bahkan senilai dengan nilai kosmis seluruh semesta.70 Ini berangkat dari
predikat
individu
diminta
69
70
--
.....Barangsiapa membunuh seorang tanpa dosa pembunuhan atau tindakan perusakan di bumi, maka
bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia, dan barangsiapa menolong kehidupannya, maka
bagaikan ia menolong hidup seluruh umat manusia....
71
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, (1997), h. 68.
72
Madjid, Masyarakat, h. 68-69.
109
73
Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Cet. I; Jakarta : Bulan
Bintang, 1992), h. 7-20.
74
Faktor-faktor yang dikemukakan dalam buku tersebut lebih mengarah kepada syarat
diterima atau ditolaknya suatu hadits. Hal itu disebabkan karena kajian yang dilakukan mencakup
sanad dan matan hadits. Tulisan ini hanya dikhususkan pada kajian matan. Kajian matan yang
dimaksudkan pun lebih mengarah kepada usaha pemahaman terhadap teks hadits dilihat dari berbagai
aspeknya, sehingga suatu teks hadits tetap menampakkan fleksibilitasnya sebagai salah satu sumber
ajaran Islam yang abadi.
110
dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah, .
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansar al-Qurtub, al-Jmi Li Ahkm AlQur n, juz XVIII (Kairo: Dr al-Kitb al-Arab, 1967), h. 17, Ab al-Fdl Syihb al-dn al-Sayid
Mahmud al-Alsi al-Bagdd, Rh al-Ma ni f Tafsr Al-Qur n al-Azm al-Sab al-Masni, juz
XXVII (Beirt: Dr al-Ihy al-Turst al-Arab, t.th.), h. 50, Ab al-Qsim Jrullah Mahmud bin
Umar al-Zamahsyar, al-Kasysyf An Haqiq al-Tanzl wa Uyn al-Aqwil, juz IV (Beirt: Dr alFikr, 1979), h. 82.
79
Pada QS. al-Nis (4) : 80 ditegaskan:
78
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
111
merupakan salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah swt. Hanya saja
perlu dipertegas mengenai indikasi yang terdapat dalam perintah Tuhan itu. Yakni
perintah yang wajib ditaati dan larangan yang wajib dijauhi adalah yang disampikan
oleh beliau dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah saw.
Walaupum demikian, tetap saja ada yang menolak otoritas hadits sebagai
sumber ajaran Islam, baik di kalangan umat Islam maupun orientalis.80 Akan tetapi,
semua argumen yang mereka kedepankan itu ternyata lemah dan tidak memiliki
basis akademis yang memadai.81 Lebih aneh lagi, dalam pengingkaran mereka
terhadap hadits, mereka justru menggunakan dalil dari hadits itu sendiri,82 sesuatu
yang ironis, sebab yang diingkarinya justru kembali mereka jadikan basis argumen.
Aloys Sprenger (1813-1893) adalah orang yang pertama kali mengatakan
bahwa hadits adalah cerita bohong tapi menarik. Gutav Weil (1808-1889) menolak
separoh hadits yang ada dalam Shahh al-Bukhr. William Muir (1819-1905)
mengatakan bahwa nama Muhammad sengaja ditempel dalam berbagai literature
Islam adalah untuk menutupi kebohongan.83 Ignaz Golzhiher (1850-1921)
Lihat misalnya Mustafa al-Sib, al-Sunnat wa Maknatuha f Tasyr al-Islm (Kairo:
Dr al-Quwmiyya li al-Tibat wa al-Nasyr, 1966), h. 55-59; Muhammad Ajjj al-Khathb, Usl alHadst Ulmuhu wa Musthalhuh. (Beirt: Dr al-Fikr, 1989), h. 37-39; Muhammad Ab Zahrah,
Usl al-Fiqh (t.tp., Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 106-107; Khusus tentang pandangan kaum
orientalis atas masalah ini dapat diketahui misalnya dari penjelasan Fazlur Rahman. Lihat Fazlur
Rahman, Islam (Cet. II; Chicago : Universiti of Chicago Press, 1979), h. 5. Penolakan otoritas hadits
Nabi bukan hanya berkembang dalam tradisi kesarjanaan Barat, tetapi juga berkembang dalam
kesarjanaan Islam. Terdapat sejumlah ulama dan intelektual Islam yang hanya menerima otoritas AlQuran seraya menolak otoritas hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Mereka ini lebih dikenal
dengan kelompok yang berpaham inkar al-sunnah. Selanjutnya lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad hadits : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu sejarah (Cet. II;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9.
81
Lihat misalnya pembelaan yang diajukan oleh Muhammad bin Idris al-Syaf, dalam alUmm, juz VII (t.tp.: Nr al-Saqfa al-Islmiyyah, t.th.), h. 250-262; pengarang yang sama, Ikhtilf
al-Hadts (Cet. I; Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 25-29; Muhammad al-Khudar Beik,
Trkh al-Tasyr al-Islm, (Surabaya: al-Hidayah, t.th.), h. 183-186.
82
Lihat Muhammad Muhammad Ab Sahw, al-Hadts wa al-Muhaddistn, (Mesir: Syirkah
Muhammad Misriyyah, t.th.), h21; Fazlur Rahman, Islamic Methodologi in History, (Delhi-India:
Adam publishers & distributors, 1994), h. 51.
83
Lihat Syamsuddin Arif, Gugatan Orientalis Terhadap Hadits dan Gaungnya di Dunia
Islam dalam Al-Insan: Jurnal Kajian Islam, Nomor 2. Vol. I. 2005. h. 10-12.
80
112
mengatakan bahwa hadits yang ada sebahagian besar (untuk tidak mengatakan
semuanya) tidak dijamin keautentikannya. Penyebabnya adalah karena kandungan
hadits terus membengkak sebab sebahagian besar materi hadits tersebut merupakan
hasil perkembangan keagamaan.84 Pernyataan Golzhiher ini sekurang-kurangnya
dapat memberikan keraguan atas otentisitas hadits baik bagi kalangan orientalis
sendiri maupun kaum muslimin.
Selain itu, Joseph Shcacht lebih radikal daripada Golzhiher.
Shcacht
84
Lihat Ignaz Golzhiher, Muslims Studies, vol. II, (London: George Allen, 1971), h. 19.
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press,
1975), h. 163.
86
Shcacht mengatakan: We shell not meet eny legal tradition from the Prophet wich can be
considered authentic. Selengkapnya lihat Schacht, The Origins, h. 149.
87
Muhammad Ab Zahrah, Trkh al-Mazhib al-Islmiyah diterjemahkan oleh Abd
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. (Jakarta :
Logos, 1996)h. 218.
85
113
88
Lihat Ahmad Husnan, Gerakan Inkar al-Sunnah dan Jawabannya, (Jakarta: Media
dakwah, 1980), h. 44-46, 51-115.
89
Subhi al-Shlih, Mabhits f Ulm Al-Qurn (Cet. XVII; Beirt: Dr al-Ilm li alMalyin, 1988), h. 21; Muhammad Bakri Ismail, Dirst f Ulm Al-Qur n, (Kairo: Dr al-Manr,
1991), h. 23; Mann al-Qaththn, Mabhits f Ulm Al-Qur n (t.tp. : Muassas al-Rislah, 1993),
h. 26.
90
Al-Qaththn, Mabhits, h. 119-125.
114
mata rantai transmisi yang secara historis ilmiah diakui keakuratannya, suatu
keunggulan yang tidak pernah tertandingi oleh kitab-kitab manapun.
Berbeda halnya dengan hadits-hadits Nabi saw. hanya sebagian kecil saja
yang periwayatannya berlangsung secara mutawatir, selebihnya diriwayatkan secara
ahad.91 Kondisi seperti itu ditambah dengan adanya kenyataan historis bahwa tidak
seluruh hadits tertulis pada periode Nabi saw.92 bahkan ada riwayat yang
menyebutkan bahwa Nabi melarang penulisan hadits, serta memerintahkan para
sahabat agar menghapus tulisan dan dokumentasi selain al-Quran.93 Namun
demikian, pada kesempatan yang lain Nabi saw. mengizinkan para sahabat menulis
hadits. Sebab semua yang keluar dari lisannya adalah benar.94
Dari Abi Sa d al-Khudr Bahwasanya Rasulullah saw. pernah bersabda: Janganlah kalian
menuliskan sesuatu dariku salain al-Qur an, barangsiapa yang telanjur menulis dariku selain alQur an, maka hendaklah ia menghapusnya. Lihat Shahh Muslim, Kitb al-Zuhd wa al-Raqiq, Bb
al-Tastabbut f al-Hadts wa Hukmu Kitba alIlm, no. hadits 5326.
94
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ab Dwud dari Ibn Umar:
Dari Abdillah bin Amri berkata: saya pernah menulis segala sesuatu yang saya dengan dari
Rasulullah saw., saya ingin menghafalnya, lalu orang-orang Quraish melarangku. Hal itu saya
sampaikan kepada Rasulullah saw. maka beliau bersabda: tulislah, karena sesungguhnya diriku di
tanganNya, tidak ada yang keluar darinya kecuali kebenaran. Lihat Sunan Ab Dwud, Kitb alIlm, Bb f Kitb al-Ilm, no. hadits 3161. Hadits ini tidak diberi komentar oleh Ab Dwud. Itu
berarti hadits ini adalah shahh lizti. Berdasarkan penelusuran penulis, dari tujuh periwayatnya
semuanya berprediket tsiqah.
115
116
Muqaddima Tuhfa al-Ahwaz Syarh Jmi al-Tirmiz, juz I (Beirt: Dr al-Fikr, 1979), h. 39; Ab alFayd Muhammad ibn Muhammad ibn Al al-Fris, Jawhir al-Ushl f Ilm al-Hadts al-Rasl,
(Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 112.
96
Lihat M.M. Azami, Studi in Early Hadith Literature, diterjemahkan oleh Ali Mustafa
Yaqub dengan judul Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), h.
132-140; Al-Ramahurmzi, al-Muhaddits al-Fshil Bayn al-Rwi Wa al-W i, naskah diteliti, diberi
anotasi dan kata pengantar oleh Ajjj al-Khatib. (Beirt: Dr al-Fikr, 1971), h. 116-117.
97
Ajjj al-Khatib, al-Sunnah, h. 349
98
Azami, Studi, h. 366-378.
117
disandarkan kepada Nabi, pada hal beliau sendiri tidak pernah melakukannya.
Ulama berbeda pendapat tentang kapan munculnya pemalsuan hadits.
Ahmad Amin berpendapat bahwa pemalsuan hadits telah berlangsung sejak zaman
Nabi saw. Pendapat ini didasarkan atas pemahamannya terhadap hadits yang
termasuk kategori mutawtir tentang ancaman bagi orang yang secara sadar dan
sengaja membuat berita bohong atas nama Nabi. Analisis terhadap hadits itu
memberi indikasi yang kuat bahwa kemungkinan besar telah terjadi pemalsuan
hadits pada zaman Nabi.100
Berbeda dengan itu, mayoritas ulama hadits berpendapat bahwa pemalsuan
hadits baru terjadi pada masa pemerintahan Al bin Ab Thlib, salah seorang
khalifah dari al-khulaf al-rsyidin,101 yaitu ketika umat Islam telah terpecah ke
dalam beberapa sekte dan sub sekte.
99
118
Dalam hal ini, pemalsuan hadits dilakukan baik oleh orang-orang zindiq
maupun oleh umat Islam sendiri. Pemalsuan hadits yang dilakukan oleh orang-orang
Islam dilatar belakangi oleh beberapa motif baik yang bersifat duniawi maupun yang
bersifat agamawi. Motif tersebut antara lain masalah politik, fanatisme pada ras,
suku bangsa, kepentingan mazhab teologi dan fiqhi, kegiatan para tukang cerita
untuk memikat hati pendengarnya, mencari muka di depan penguasa, dan lain-lain.
Pemalsuan hadits ini ada yang sengaja dan ada juga yang tidak sengaja.102 Jadi
motif dan tujuan pemalsuan hadits sebenarnya ada yang positif dan ada pula yang
negatif. Meskipun demikian pemalsuan hadits adalah suatu hal yang tidak
diperbolehkan.
Munculnya gerakan pemalsuan hadits yang demikian ekstensif ini, telah
membuat kegiatan kajian matan hadits menjadi penting. Kajian ini diarahkan untuk
menguji validitas dan otentisitas matan hadits.
Lihat Jall al-Dn Abd al-Rahmn bin Ab Bakar al-Suythi, al-Laily wa al-Masnah
f Ahdts al-Maudhah, Juz II; (Mesir: al-Maktabah al-Husainiyyah, t.th.), h. 467-472; Ajjj alKhatib Ushl, h. 417-426; M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 95.
103
Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 98 dan 100.
102
119
dan ide tersebut disetujui oleh mereka. Namun setelah memohon petunjuk kepada
Allah melalui shalat istikharah selama satu bulan, Umar lalu membatalkan rencana
tersebut karena adanya kekhawatiran akan memalingkan perhatian umat dari alQuran.104
Sebelum Umar bin Abd al-Azz wafat, ulama hadits yang telah berhasil
melaksanakan perintah khalifah adalah Muhammad bin Muslim bin Syihb al-Zuhri
(wafat 124 H/ 742 M), seorang ulama terkenal di negeri Hijaz dan Syam. Bagianbagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan
penghimpunan hadits selanjutnya.105 Hal ini menandakan bahwa koleksi al-zuhri
tersebut memiliki kelebihan-kelebihan ketimbang yang lainnya. Ibn Hazm juga
menghimpun sejumlah hadits namun oleh para ulama dinilainya belum lengkap,106
namun disayangkan kedua karya ulama ini lenyap dan tidak sampai kepada generasi
kita sekarang.
Setelah al-Zuhri, gema kegiatan pengumpulan dan penulisan
hadits
Lihat Ab Amr Ysuf bin Abd al-Brr, Jmi al-Bayn al-Ilm wa Fadih, juz I, (Mesir:
Irdat al-Matbaah al-Munrah, t.th.), h. 121.
105
Lihat Syihbuddn Ahmad bin Al bin Hajar al-Asqaln, Fath al-Bri juz I, (t.tp.: Dr
al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyyah, t.th.), h. 194-195
106
Lihat Musthfa al-Sibi, al-Sunnah,, h. 102.
107
Kota-kota yang menjadi pusat peyebaran hadits pada abad I-III Hijriyah adalah Makkah
al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Yaman, Jurjan, Quzwayn,
dan Khurasan. Lihat Ajjj al-Khatib, Ushl, h. 116-128.
104
120
(w. 197 H) di Mesir, Ibn al-Mubrak (w. 181 H) di Khurasan, dan Jarr bin Abd alHamd (w. 188 H) di Ray.108
Pada masa selanjutnya, kodifikasi hadits terus berjalan. Akan tetapi
himpunan hadits pada masa ini masih bercampur dengan fatwa sahabat dan
tabiin.109 Walaupun demikian, ada juga ulama yang memperhatikan penghimpunan
hadits yang terbatas dari fatwa sahabat dan tabiin. di antaranya adalah Ab Dwud
al-Taylsi (w. 202 H).110
Pada abad ketiga Hijriyah, kegiatan pembukuan hadits mencapai
puncaknya. Hal ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab hadits yang menjadi
kitab hadits standar hingga saat ini. Kitab-kitab hadits tersebut ada yang khusus
memuat hadits-hadits yang menurut pengakuan pengarangnya, semua sanadnya
sahih. Koleksi khusus hadits sahih ini dimulai oleh Imam al-Bukhr (w. 256 H/ 875
M) dan muridnya Imam Muslim al-Qusyair (w. 261 H/ 875 M).111 Usaha kedua
ulama ini dilanjutkan oleh antara lain Ab Dwud bin al-asyas bin Ishq al-Sijistn
(w. 275 H), Ab sa Muhammad bin sa bin Tsawrah al-Tirmiz (w. 279 H), Ab
Abd al-Rahmn bin Syuaib bin Bahr al-Nas (w. 302 H) dan Ab Abdillah bin
Yazd bin Mjah al-Qazwain (w. 273 H). Hasil karya keempat ulama ini dikenal
dengan sunan yang oleh para ulama dinilai derajatnya berada di bawah Shahh alBukhr dan Shahh Muslim.112
108
121
113
Lihat T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 120-122.
114
Lihat Maurice Bucaille, La Bible La Coran et La Science diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggeris oleh Alastair dengan judul The Bible, The Quran and Science, (Ist.; Kuala Lumpur :
AS Noorden 1989), h. 126-127.
115
Bentuk-bentuk dan corak Hadits secara khusus dibahas dalam ilmu Mustalah al-Hadits.
Misalnya Taisr Musthalah al-Hadts, oleh Mahmud Thahhn (Beirt: Dr Al-Qurn al-Karm,
1972); Nuzhat al-Nazhar Syarh Nukhbat al-Fikr, oleh Syihb al-Dn Ab al-Fadl Ahmad bin Ali ibn
Hajar al-Asqaln (Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th.); Ulm al-Hadts, oleh Ab Amar
Usman bin Abd al-Rahmn Ibn Shalh (Madinah al-Munawwarah: al-Maktab al-Ilmiyyah,
1972);Ulm al-Hadts wa Musthalhuhu oleh Shubhi al-Shlih (Beirt: Dr al-Ilm Li al-Malyin,
1977); dan lain-lain.
116
Lihat Muhibbin, Hadits-Hadits Politik (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 63.
122
upaya untuk mendudukkan hadits Nabi saw. tersebut pada porsi yang semestinya,
dengan jalan mengkaji secara kritis dan akurat. Kajian seperti ini tentunya harus
dilakukan dengan menggunakan syarat-syarat yang tepat dan memadai.
Sebagai penjelas atas al-Quran, hadits Nabi saw. tentunya muncul sesuai
dengan posisinya sebagai pedoman bagi para sahabatnya, di zamannya. Sepanjang
kondisi dan latar belakang kehidupan para sahabat tersebut berbeda, maka petunjukpetunjuk yang diberikan oleh Nabi saw. pun berbeda pula. Sementara itu, para
sahabat pun menginterpretasikan hadits Nabi saw. sesuai dengan kapasitas mereka
masing-masing. Akibatnya, kesimpulan yang dicapai pun berbeda pula. Bila
pemahaman ini diterima, maka konsekuensinya adalah sebagian hadits Nabi saw. itu
ada yang bersifat temporal dan ada pula yang bersifat kontekstual. Hadits
merupakan interpretasi Nabi saw. yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi
para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian,
pengkajian terhadap konteks-konteks hadits merupakan aspek yang urgen dalam
upaya menangkap makna suatu hadits, untuk kemudian diamalkan.
Dalam kaitannya dengan upaya pemahaman hadits ini, diperlukan
pengetahuan yang mendalam atas segala segi yang berkaitan dengan pribadi Nabi
saw. dan suasana yang melatari terjadinya hadits. Mungkin saja, suatu hadits lebih
tepat dipahami secara tekstual, sedang hadits lainnya lebih tepat dipahami secara
kontekstual. Pemahaman dan penerapan secara tekstual dilakukan bila hadits yang
bersangkutan telah dihubungkan dengan segala segi yang berkaitan dengannya.
Dalam pada itu, pemahaman hadits secara kontekstual dilakukan bila di balik teks
suatu hadits itu ada petunjuk yang kuat mengharuskan hadits yang bersangkutan
dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana makna tekstualnya.117
117
Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), h. 6.
123
124
sistematis dan rinci.122 Dalam berbagai literatur hadits, belum ditemukan penjelasan
tentang unsur-unsur kaidah minor kajian matan hadits yang berdasarkan kaidah
mayor. Namun di sana, terdapat penjelasan tentang beberapa tolak ukur kajian
matan, yang selain mencakup analisis tekstual, juga mencakup analisias filosofis,
linguistik, historis maupaun sains dalam berbagai klasifikasinya.123 Dari sini, tampak
bahwa ulama hadits telah mengusulkan suatu bentuk pendekatan multidisipliner
dalam kajian hadits. Validitas internal suatu hadits dalam pandangan mereka tidak
cukup hanya diukur kesesuaiannya dengan nash-nash al-Quran saja, tetapi juga
diukur dengan parameter lainnya. Jadi, selain melibatkan kaidah konvensional yang
sudah berlaku dalam ilmu hadits, juga kajian telah menggunakan seperangkat teori
yang berlaku dalam berbagai disiplin ilmu.
Jenis ilmu pengetahuan menurut obyeknya dapat diklasifikasikan kepada
empat jenis yaitu :
1. Ilmu pengetahuan humaniora
2. Ilmu pengetahuan sosial
3. Ilmu pengetahuan alam dan
4. Ilmu pengetahuan agama.
Dari perbedaan obyek materi, dan jika dipikirkan secara cermat, ilmu
mengandung identitas yang saling berdekatan atau identik antara satu dan yang
122
125
lainnya. Obyek itu berada dalam hubungan yang sistematis dan tidak terpisahkan.
Sebagai akibatnya, pemahaman mengenai satu hal, misalnya terhadap kandungan
matan hadits, mengharuskan pertimbangan-pertimbangan dengan berbagai disiplin
pengetahuan yang lain.124
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, baik sosial science
maupun natural science, teori yang berlaku dalam disiplin ilmu tersebut juga
dimungkinkan untuk dipergunakan dalam khasanah pemikiran di bidang kajian
hadits. Apalagi sejauh ini belum ditemukan literatur yang secara komprehensip dan
sistematis menjelaskan langkah-langkah metodologis holistik bagi kajian matan
hadits.
Tajrh dan ta dl, rasanya sudah selesai dilakukan, dalam pengertian bahwa
kredibilitas para rawi telah dibukukan secara baik oleh para ahli hadits. Kita
sungguh berutang budi kepada para ulama penyusun kitab-kitab semacam Mizn alItidl dan Tahzb al-Tahzb, karena melalui kitab-kitab semacam itu kita dapat
melacak kredibilitas para periwayat hadits. Akan tetapi, hal yang berkaitan dengan
matan, sungguh pun telah dirintis oleh para sahabat generasi pertama, tampaknya
belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya hadits
masih ditentukan oleh kesahihan sanadnya. Al-Bukhari sendiri memaksudkan sahih
di situ adalah sahih sanadnya. Ini terlihat dengan jelas bila diperhatikan keseluruhan
pada kitab sahihnya yakni al-Jmi al-Shahh al-Musnad al-Mukhtashar Min Umr
Raslullah saw wa Zamnih Wa Ayymih.125 Dalam judul tersebut tertera secara
jelas kata al-Jmi al-Shahh al-Musnad (himpunan hadits yang sahih sanadnya).
Sayangnya dewasa ini sepertinya ada anggapan bahwa penyelesaian yang dilakukan
oleh al-Bukhr atas hadits-hadits yang dimuat dalam kitabnya, sudah mencakup
sanad dan matan-nya. Karena itu, melakukan kajian atas hadits, khususnya yang
124
126
terdapat dalam al-Bukhr saja masih dianggap hal yang tabu; apalagi terhadap
kiatab-kitab sunan atau musnad.126
Dalam kaitannya dengan metode pemahaman hadits, selama ini dirasakan
adanya generalisasi pemahaman. Artinya semua hadits dipahami secara sama tanpa
membedakan struktur riwayat bi al-lafz atau riwayat bi al-ma na, materi hadits yang
menyangkut persoalan dunia atau akhirat, dan sebagainya. Selain itu, masih banyak
kalangan yang memahami hadits secara tekstual dan baru sedikit yang mendekatinya
secara kontekstual, baik konteks historis, sosial, ekonomi, politik, antropologis
maupun konteks lainnya.127
Hadits yang merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi saw. mengandung
petunjuk yang pemahamannya perlu dikaitkan dengan peran Nabi saw. tatkala hadits
itu diucapkan,128 yaitu suasana dan kejadian yang dihadapi oleh dan terjadi pada
masa Nabi dan sahabat-sahabatnya. Suasana pada masa Nabi saw. hidup
kemungkinan berbeda dengan suasana yang dihadapi umat Islam setelah beliau
wafat. Demikian juga kondisi yang dihadapi oleh masyarakat Arab pada masa Nabi
akan berbeda dengan kondisi masyarakat Arab setelah beliau wafat, apalagi bagi
kondisi masyarakat yang non-Arab.
Seiring perkembangan dan aplikasi berbagai jenis pendekatan dalam kajian
Islam, seyogianya kajian terhadap hadits-hadits Nabi saw. khususnya matan, harus
126
Problematika Shahih al-Bukhr dan Shahih Muslim, antara lain telah ditulis secara
mendalam dalam al-Hikmah, edisi ke-4 Uraian lebih detail tentu saja, dapat diikuti dalam buku-buku
yang digunakan penulisnya. Supaya lebih seimbang, dianjurkan agar juga dilakukan telaah atas bukubuku yang berupa pembelaan yang ditulis misalnya, oleh al-Sibi, Ajjj al-Khatib dan lain-lain.
127
Lihat Muhammad Quraish Shihab, dalam Muhammad al-Gazali, al-Sunnah alNabawiyyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis Atas Hadits Nabi Antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual (Bandung : Mizan, 1993), h. 8-9 (bagian pengantar).
128
Penjelasan yang saling melengkapi, lihat Abbs Mahmd al-Aqqd, Abqariyya
Muhammad, (t.tp.: Dr al-Hill, 1969), 90-151; Said Ramadhan al-Bthi, Fiqh al-Sirah (Beirt: Dr
al-Fikr, 1980), h. 18, Philip K. Hitty, Histori of The Arabs (London : The MacMillan Press, 1974), h.
139; Syuhudi Ismail, Hadits Nabi, h.4. Mahmud Syalthut, Islm Aqdah wa Syarah, (Kairo: Dr alQalm, 1966), h.510.
127
C. Alternatif Pendekatan
Pendekatan yang dimaksudkan di sini adalah kajian latar belakang yang
bersifat filosofis terhadap teks-teks hadits Nabi saw. khususnya hadits-hadits
masalah perbudakan; dan hadits Nabi pada umumnya. Dalam penelitian hadits
dikenal berbagai pendekatan. Pendekatan ini tetap mengacu pada kaidah mayor
kesahihan matan hadits yang dikemukakan oleh ulama hadits.
Kaedah mayor yang telah ditetapkan oleh ulama hadits ada dua, yaitu
terhindar dari syuz-z dan terhindar pula dari illat.129 Itu berarti untuk meneliti
sebuah hadits, kedua unsur tersebut harus menjadi acuan utama.
M. Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa, para ulama dalam menetapkan
kriteria hadits yang diterima tampak bervariasi, namun dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Susunan redaksinya tidak rancu
2. Kandungan tidak bertentangan dengan akal sehat dan rational interpretable
(dapat diinterpretasi secara rasional).
3. Tidak bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam.130
129
128
semakin meningkat
ketergantungan dan eksploitasi terhadap hak orang lain, seperti perbudakan dan lain
sebagainya.
Metode, proses dan sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dan
untuk memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat muslim kontemporer harus
menjadi perwujudan kebudayaan dan nilai-nilai Islam.
131
129
Dari berbagai macam tolok ukur yang dikemukakan oleh ulama, salah satu
di antaranya adalah hadits itu tidak bertentangan dengan fakta sejarah atau persepsi
indera. Item yang pertama sudah jelas sasarannya karena hanya berusaha melacak
kembali fakta-fakta yang autentik, sedangkan item yang kedua berkonotasi lebih
luas, karena mencakup penggunaan teori-teori ilmiah, baik natural science maupun
sosial science, yang diperoleh secara empirik.
Dalam kajian hadits ini, penulis akan mencoba menawarkan beberapa
model pendekatan sebagai kerangka acuan dalam memahami hadits, khususnya
masalah perbudakan. Pendekatan-pendekatan dimaksud adalah:
1. Pendekatan Historis
Sejarah periode awal Islam merupakan rentang waktu yang penting, karena
pada periode itu ajaran Islam yang komprehensip diimplementasikan. Dengan kata
lain, periode awal Islam itu merupakan prototipe dan ideal yang harus ditiru oleh
masyarakat kita sekarang.
Bapak sosiologi Ibn Khaldun mengatakan bahwa sejarah bukan sekedar
rangkaian cerita, tetapi sejarah adalah upaya merekonstruksi masa lalu, yang
melibatkan spekulasi dan upaya menemukan kebenaran, berupa ekplanasi kritis
sebab dan akibat terjadinya suatu perbuatan, dengan mengetengahkan pengetahuan
tentang bagaimana dan mengapa.133
Sejarah dipergunakan sebagai cerminan sekaligus proyeksi ke depan. Untuk
itu, ada dua pilar yang menjadi tumpuan sejarah, yaitu eksistensi fakta dan metode
Lihat Abd al-Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah (Cet. IV; Beirt: Dr al-Kutub alIlmiyyah, 1979), h. 3.
133
130
dari
lebih
134
Lihat Nouruzzaman Shiddiqi, Sejarah Pisau Bedah Ilmu Keislaman dalam Taufik
Abdullah dan Rusli Karim, (Ed), Metodologi Penelitian Agama : Suatu Pengantar (Cet. III;
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 70.
135
Lihat Wilfred Cantwel Smit, Islam in Modern History (4 th, New York : The New
American Library, Inc., 1959), h. 14.
131
Sejarah memiliki nilai yang demikian tinggi bagi umat Islam, setidaknya
disebabkan oleh empat faktor, yaitu; pertama, kewajiban untuk mentaati Rasul.
Karena itu, rekaman tentang perilaku kearifan dan kebijaksanaan Rasulullah saw.
adalah perlu; kedua, sejarah adalah alat menafsirkan dan memahami Al-Quran dan
hadits Nabi, ketiga, sejarah adalah tolok ukur dalam penelitian sanad hadits; dan
keempat, untuk merekam peristiwa-peristiwa penting baik sebelum maupun sesudah
datangnya Islam.136 Jadi, selain sebagai ibarat, sejarah juga berguna untuk
mengetahui apa yang harus diperbuat oleh Islam dan kaum muslimin sebagai
katalisator proses perubahan dan perkembangan budaya umat.
Secara timbal balik metode hadits dan metode sejarah saling membutuhkan.
Fakta sejarah dipergunakan sebagai salah satu basis kaedah minor penelitian hadits,
sedangkan penelitian itu sendiri juga relevan untuk diperguanakan dalam kritik
narasi historis.137 Penggunaan sejarah sebagai salah satu kaedah minor kajian hadits
tidak terlepas dari kandungan suatu hadits, khususnya hadits yang merupakan
riwayat kehidupan awal Islam. Fakta sejarah yang dipergunakan sebagai basis
pengujian matan dapat berupa sirah al-Nabaw atau pun fakta-fakta lain yang
diketahui terjadi pada zaman Nabi. Namun demikian fakta sejarah yang dimaksud
adalah fakta sejarah yang sudah merupakan realitas sejarah yang bersifat pasti.
Sementara itu, hadits yang bertentangan dengan fakta sejarah tersebut adalah hadits
yang ahad, sebab hadits ahad berkedudukan sebagai zanni al-tsubt sehingga tidak
boleh bertentangan dengan sesuatu yang sudah pasti. Dengan menerapkan kaedah
ini, maka hadits yang tidak bertentangan dengan fakta sejarah dapat diterima,
sedangkan matan hadits yang bertentangan dengan fakta sejarah harus ditolak.138
136
132
Penerapan pendekatan sejarah sebagai salah satu tolok ukur kajian hadits
diterapkan secara mutlak baik terhadap hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab
hadits yang mutabar, atau pun sebagai sanggahan terhadap kritik yang keliru
terhadap sumber ajaran (hadits) tersebut. 139
Pendekatan sejarah sebagai salah satu kaedah minor kajian hadits
menempati posisi yang urgen, dan kejelian melacak fakta sejarah khususnya yang
berkaitan dengan asbb al-wurd hadits-hadits yang berbicara masalah perbudakan
misalnya, dibutuhkan.
Secara prinsip dapat dijelaskan bahwa pemahaman agama tidak mungkin
dapat dilakukan secara sempurna dan murni jika terpisah dari kenyataan hidup
manusia. Pemahaman sempurna dapat dilakukan apabila berpusat pada tiga unsur
yang saling berkait; nash, agama, akal, dan tradisi hidup berikut kasus-kasus yang
terjadi di dalamnya.140 Maka, diperlukan munculnya pemikiran-pemikiran Islam
yang mendasar dan kreatif, jujur dan berwawasan universal, sesuai dengan watak
ajaran Rasulullah saw. itu sendiri.141
139
Misalnya yang dilontarkan antara lain oleh Ignaz Golziher, Muslim studies, terjemahan
C.R. Barber dan S.M.Stern (London : George Allenand Unwin, 1971), h. 18-19; Joseph Schacht, An
Introduction to Islamic Law, terjemahan Moh. Said (dkk) dengan judul Pengantar Hukum Islam
(Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1985), h. 40-49.
Dalam buku tersebut Schacht mengatakan bahwa apa yang dikenal belakangan sebagai hadits tidak
lebih dari pernyataan para ulama yang mengambil legitimasi dari tokoh yeng terkenal sebelumnya,
yang kemudian selanjutnya secara berantai legitimasi itu dinisbahkan sampai kepada Rasulullah saw..
Teori tersebut dikenal dengan istilah Projecting Back.
140
Abd Majid al-Najjr, F al-Fiqh al-Tadyun: Pahman wa Tanzlan, diterj. oleh
Bakhruddin Fannani dengan judul: Pemahaman Islam: Antara Wahyu dan Rakyu (cet. I; Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1997), h. 69.
141
Bandingkan dengan apa yang dikemukakan oleh A. Syafii Maarif dalam Peta Bumi
Intelektualisme Islam di Indonesia (Cet. II; Bandung: Mizan, 1994), h. 40.
133
2. Pendekatan Antropologis
Selain pendekatan histories di atas,
memungkinkan dalam rangka kajian hadits. Hal ini disebabkan oleh adanya
kecenderungan di kalangan cendikiawan muslim dewasa ini yang meneliti berbagai
aspek agama dan
keberagamaan
dengan
142
134
Michael C. Howard, Contemporary Cultural Antropology (2 nd: USA: Little Brown and
Company, t.th.), h. 15.
148
Koentjaraningrat, Pengantar, h. 18-dst.
149
Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak
dari buddhu, yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan
dengan budi atau akal. Dalam bahasa Inggeris, disebut culture, yang diturunkan dari bahasa Latin
colere, artinya mengolah atau mengerjakan. Dari asal tersebut, colere kemudian culture diartikan
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Lihat
Koentjaraningrat, Pengantar, 77-78. Bandingkan: Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, (ed.),
Bunga Rampai Sosiologi (Jakarta: UI Press, 1974), h. 113. E. B. Taylor mendefinisikan kebudayaan
sebagai: the complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other
capabilities and habits acquired by man as a member of society. Lihat Edward Burnett Taylor,
Primitive Culture, Vo;. I, (New York: Bretanos, 1924), h. 1, Melville J. Herskovits, Cultural
Anthropolgy (New York: Alfred A Knoft, 1955), h. 305, A. L. Kroeber Kluckhohn, Antropology
Today (Chicago: Chicago University Press, 1953).
135
bangsa yang lebih besar. Hal demikian berpengaruh terhadap berbagai ekspresi
manusia, termasuk ungkapan dan ekspresi keagamaan. Dengan kata lain, lingkungan
membentuk watak dan budaya. Penggunaan pendekatan antropologi dalam
menelaah hadits perbudakan, didasarkan pada asumsi dasar bahwa sistim
kemasyarakatan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mendapat penekanan
dalam kajian antropologi.150
Akan halnya dengan masyarakat Arab, yang secara geografis hidup di
lingkungan alam yang menantang,151 akan
kehidupan sosialnya, maupun pola hidupnya yang menjadi khas dunia Arab. Oleh
karena kehadiran Nabi Muhammad saw. di belahan dunia Arab yang masih kental
dengan kebudayaan sebagai ciri khasnya, maka beberapa aspek dari pola hidup
beliau selama hidup di tengah-tengah sahabatnya harus dikaji secara antropologis.
Hal ini logis karena manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungan di mana dia
hidup.
Lalu bagaimana kaitannya dengan hadits perbudakan? Hadits yang berisi
ajaran berupa perkataan dan perilaku hidup Nabi saw. tidak bisa dilepaskan dengan
kulturnya. Dengan demikian, salah satu media untuk memahami hadits perbudakan
ialah dengan pendekatan antropologi.
Pemahaman hadits dengan pendekatan antropologis adalah suatu hal yang
penting. Bahkan pada zaman Nabi pun pemahaman yang bersifat antropologik telah
150
Para antropolog tidak sependapat tentang unsur-unsur pokok kebudayaan. Namun dalam
hal ini mereka secara tegas memasukkan sistim kemasyarakatn sebagai salah satu bagian dari unsurunsur kebudayaan. Penjelasan yang saling melengkapi, Lihat Brainslaw Mallinowski, The Dynamics
of Culture Change (New Haven: Yale University Press, 1961), h. 146, Selo Soemardjan, Bunga, h.
115, Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 192193.
151
Alam sebagai tempat manusia hidup dan mempertahankan hidupnya sangat berpengaruh
terhadap corak kehidupan manusia. Kebudayaan manusia dibentuk oleh alam di mana dia hidup.
Penjelasan lebih detail, Lihat Raymond Firth B. Mochan, Human Types diterjemahkan oleh S.
Puspanegara dengan judul Tjiri-Tjiri Alam Hidup Manusia (Bandung: Sumur, 1966), h. 43-45.
136
dicontohkan oleh Nabi saw. Suatu hari, seorang Arab Badwi datang mengadu
kepada Nabi saw. perihal istrinya yang melahirkan anak yang berkulit berbeda
dengan dirinya, dan sang pengadu curiga bahwa istrinya tidak jujur karena kulitnya
kekuning-kuningan, sedangkan kulit anaknya hitam. Menanggapi pengaduan
tersebut, Nabi Muhammad saw. menggunakan logika. Beliau bertanya apakah orang
tersebut mempunyai unta. Dijawab bahwa ia mempunyai unta yang warna kulitnya
kecoklat-coklatan. Nabi bertanya: Kira-kira apakah untamu itu mempunyai nenek
moyang yang warnanya hitam? Arab Badui tersebut menjawab: Saya kira punya.
Maka Nabi saw. berkata: jangan-jangan nenek moyang anakmu juga ada yang
kulitnya berwarna hitam, tidak kuning seperti kamu. Arab Badui berkata: Benar
juga.152 Di sini tampak bagaimana Nabi berusaha menggunakan pendekatan
antropologi yang dikemas dalam bahasa logika sederhana.
Oleh karena Nabi Muhammad saw. sendiri menggunakan pendekatan
antropologi dalam memahami masalah dan oleh karena kehadiran beliau terikat oleh
waktu dan tempat, maka tentunya kita sebagai umatnyapun harus mengkaji haditshaditsnya dengan pendekatan antropologi, sepanjang pendekatan tersebut relevan.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya ialah adanya keharusan melihat
bagaimana sejarah penggunaan bahasa Arab. Bahasa Arab adalah salah satu bahasa
Semit, tumbuh dan berkembang jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw.
Wilayah pemakainya meliputi Hijaz dan Nejed di Semenanjung Arabiyah. 153
Di sini tampak bahwa pendekatan antropologi mengantar kita untuk
mengenal lebih jauh budaya yang berkembang di Arab ketika Rasulullah saw.
menjelang datang. Demikian pula sikap akomodatif yang ditampakkan oleh beliau
152
Kutipan hadits tentang peristiwa ini bisa dilihat dalam: Shahh al-Bukhr, juz IV, h.
246, Shahh Muslim, juz II, h. 1137-1138, Sunan Ab Dwud, juz II, 278-279, Sunan Ibn mjah, Juz
I, h. 654-646, Musnad Ahmad, jilid II, h. 234, 239.
153
Team Penyusun Buku Pedoman Bahasa Arab, Pedoman Bahasa Arab pada Perguruan
Tinggi Islam dan IAIN (Jakarta: Proyek Departemen Agama RI, 1976), h. 31.
137
terhadap budaya setempat. Keadaan demikian tampak dalam sikap Rasulullah saw.
dalam mengatasi sistem perbudakan yang telah membudaya jauh sebelum
kedantangannya. Itulah sebabnya, masalah perbudakan tidak secara tegas dilarang,
melainkan dengan melalui berbagai macam pendekatan.
3. Pendekatan Rasional
Menurut telaah filsafat ilmu, hampir semua jenis kegiatan ilmu
pengetahuan, baik natural sciences maupun sosial sciences, bahkan religius
sciences, selalu mengalami apa yang disebut dengan shifting paradigm (pergeseran
gugusan pemikiran keilmuan).154 Kegiatan ilmu pengetahuan selamanya bersifat
historis, lantaran dibangun, dirancang dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang
juga bersifat historis.155
138
dan kekhususan itu disebabkan oleh perbedaan waktu dan atau disebabkan oleh
perbedaan tempat.
Kalau ajaran Islam yang sesuai dengan segala waktu dan tempat itu
dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat
tersebut, maka dalam Islam ada ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan
tempat, di samping ada juga yang terikat dengan waktu dan tempat tertentu. Jadi,
dalam Islam ada ajaran yang bersifat universal, ada yang temporal, dan ada yang
lokal.156 Kalau demikian halnya, maka pendekatan rasional terhadap sumber ajaran
dibutuhkan dalam arti harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat Islam itu
berada.
Senada dengan itu, Harun Nasution telah menulis buku yang berjudul
Islam Rasional. Dalam karya monumentalnya tersebut, Harun menganjurkan agar
umat Islam memahami ajaran agamanya, terutama kedua sumbernya (Al-Quran dan
Hadits) secara rasional. 157
Syekh Mahmud Syalthut, seorang ulama besar dan pernah menjadi Syekh
Jamiah al-Azhar, juga menyatakan bahwa Islam terdiri atas dua elemen, yaitu
aqidah dan syariah. Lalu cara mendekatinya adalah filosofis-doktriner.158
Dalam hal ini, hadits-hadits perbudakan itu termasuk hadits yang bersifat
situasional,
dan
tidak
mengikat,
sehingga
memungkinkan
untuk
tidak
156
139
BAB IV
ANALISIS TERHADAP HADITS-HADITS PERBUDAKAN
Ab al-Fdhl Jaml al-Dn Muhammad bin Makrum ibn Manzhr, Lisn al-Arab, (Beirt:
Dr al-Fikr, 1994), juz ke-3, h.270.
2
Al-Raghib al-Asfahn, Mujam Mufradt Alfzh Al-Qur an, (Beirt: Dr al-Fikr, tth.) h.
330; Ahmad Wirson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), h. 252; Muhammad Dawan Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur an, Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 174.
141
142
pemuda (i)ku atau pelayanku.4 Karena kata abd tersebut hanya pantas disebutkan
untuk menggambarkan keberadaan manusia terhadap Allah swt. saja.
Jadi, Rasulullah saw. seakan-akan tetap mengakui (sebagai salah satu
strategi dakwahnya), bahwa budak merupakan milik tuannya. Namun dalam banyak
hal, beliau memberikan indikasi sebagai catatan tersendiri bahwa kepemilikan itu
tidak mutlak seperti zaman sebelumnya. Budak harus mendapatkan pengakuan
terhadap kemanusiaannya, dan karena itu mereka juga berhak terhadap perlakuanperlakuan baik sebagaimana manusia lainnya yang merdeka. Seseorang tidak boleh
memanggil, apalagi menganggap, bahwa budak yang dimilikinya itu sama dengan
seseorang memiliki barang atau binatang. Seiring dengan hak tuan terhadap
budaknya, dia juga mempunyai kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan.5
Al-Quran sendiri mengilustrasikan nasib mereka secara jelas sebagai
kelompok yang tidak berdaya. Allah memberikan perumpamaan dengan seorang
hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun dan
4
Dari Hammam ibn Munabbih bahwa Ia mendengar Abu Hurairah ra. memberitakan bahwa Nabi
saw. telah bersabda: Jangan salah seorang kamu berkata (kepada pelayannya): Sediakan makanan
Tuhanmu, terangi dan sediakan minuman Tuhanmu. Akan tetapi katakan: Tuanku, penolongku.
Jangan pula panggil pelayanmu dengan panggilan: Hambaku, budakku, akan tetapi panggilah
dengan panggilan pemuda (i)ku atau pelayanku. Lihat Muhammad bin Isml bin Ibrhm bin alMugrah bin al-Bardizbah al-Bukhr, al-Jmi al-Shahh al-Bukhr. ditahqiq oleh Musa Syahin
Lasin, Kitb al-Itq, Bb Karhiyt al-Tathwulu al al-Raqq, no. hadits 2552, (Kairo: Maktab alSyur-q al-Dawliyyah, 2003), juz 2, h. 112; Ab al-Husain, Muslim al-Hajjj, al-Naisabr, Shahh
Muslim, ditahqiq oleh Ab al-Fadhl al-Dimiythi, Kitb al-Fz min al-Adab wa gairihi, Bb Hukmu
Ithlqu Lafzhat al-Abd wa al-Amat wa al-Maul wa al-Sayyid, no. hadits 2249-2252, (t.tp., Dr alBayn al-Arab, 2006), h. 1098; Ab Dwud Muhammad al-Azad Al-Sijistn, Sunan Ab Dwud,
tahqiq Muhammad Abd al-Azz al-Khlid, Kitb al-Adb, Bb L Yaqul al-Mamlk Rabb wa
Rabbat, no. hadits 4975, (Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), juz 3, h. 299; Ab Abdillah
Ahmad Ibn Hanbal. Musnad Ahmad Ibn Hanbal. Tahqiq Ahmad Sykir, no. hadits 7850, (Kairo:
Maktab al-Turst al-Ilmiyyah, t.th.), juz 12, h. 78.
5
Lebih jelasnya, lihat pada pembahasan berikutnya khususnya pada sub C nomor 1, yang
berbicara masalah hak-hak budak.
143
seorang yang diberi rezki yang baik dari Allah, lalu mereka menafkahkan sebagian
dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan.6 Allah mengibaratkan
mereka sebagai orang yang tidak bisa berbuat apa-apa, sekalipun untuk dirinya
sendiri.7 Dalam hal ini al-Quran menggambarkan nasib budak pada masa sebelum
kedatangan Rasulullah saw. Tuan bisa memerintah dan berlaku apa saja terhadap
budaknya, termasuk menganiaya, melacurkan, dan bahkan membunuhnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua ragam kata Abd
mengandung konotasi makna yang hampir sama yaitu penghambaan atau
penyerahan diri, baik ditujukan kepada manusia maupun penghambaan yang
ditujukan kepada Allah yang disebut hamba Allah. Ibadah pun merupakan
manipestasi penghambaan manusia kepada Allah, dan penghambaan atau
penyerahan diri manusia kepada sesuatu yang dianggap Tuhan, seperti hamba
Taghut, hamba setan, dan lain-lain. Seorang budak disebut abd karena dia berada
dalam posisi rendah martabatnya di depan tuannya atau sesuatu yang diagungkan.
2. Raqabah
Raqaba, yarqubu, raqabatan, berarti mengintip, melihat, atau menjaga.
Raqabah (jamaknya riqb) berarti leher, budak atau hamba. Raqabah-murqabatan
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatu pun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia
menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka
itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.
7
Muhammad bin Yusuf al-Syuhair Ab Hayyn al-Andalsi, Tafsir al-Bahr al-Muhth,
(Beirt: Dr al-Fikr, 1983), cet. Ke-2, jilid ke-5, h. 518
144
itu
memerdekakan seorang budak muslim, maka ia akan dibebaskan dari api neraka.10
Al-Asfahn, Mujam h. 206; Ibn Manzhr, Lisn, juz ke-3, h. 427-428; Mahmud Yunus,
Kamus, h. 145; dalam al-Quran juga dipakai kata raqabat (riqb) dengan pengertian asalnya leher.
Lihat misalnya QS. Muhammad (47) : 4.
9
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir Atas Surat-Surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), cet. Ke-2, h. 809-810;
isyah Abdurrahman, Tafsir Bintusy-Sythi, terjemahan Mudzakkir Abdul Salam dari al-Tafsr alBayni li al-Qur an al-Karm, juz 1, (Bandung: Mizan, 1996), h. 308.
10
Selengkapnya riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
8
145
Dari Syurahbil ibn al-Samthi bahwa ia berkata kepada Amri ibn Abasah: Ceritakan kepada kami
satu hadits yang kau dengar dari Rasulullah saw. Ia menjawab: Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: siapa yang memerdekakan seorang budak muslim, maka ia dibebaskan dari api neraka.
Lihat Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb Ayyu al-Riqb Afdhal, no. hadits 2966; Abd al-Rahman
Syuaib Al-Nasi, Sunan al-Nasi al-Mujtaba , Kitb al-Jihd, Bb Stawb Man Ram Bisahmin f
Sabl Allah Azza wa Jalla, no. hadits 3091 dan 3094, (Mesir: Mustafa al-Bbi al-Halab wa
Awlduhu, t.th.), juz 5, h. 26; Ab Abdillah Muhammad ibn Yazd Ibn Mjah al-Qazwin, , Sunan
Ibn Mjah, Kitb al-Ahkm, Bb al-Itq, no. hadits 2513, (Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.)
juz 2, h. 843; Musnad Ahmad Bin Hanbal, no. hadits 16406, juz 3, h. 56. Ketiga mukharrij di atas
tidak ada yang memberi komentar tentang status hadits tersebut. Perlu diketahui bahwa jika Ab
Dwud tidak memberi komentar apa-apa terhadap hadits yang diriwayatkan, maka status hadits
tersebut adalah shahh liztih.
11
Pelanggaran itu boleh jadi berbentuk pembunuhan terhadap seorang mukmin atau orang
kafir yang terikat perjanjian damai karena tidak sengaja atau tersalah, QS. al-Nisa (4) : 92,
Dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.
Atau mencabut kembali sumpah yang telah diikrarkan, QS. al-Midah (5) : 89,
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak.
Atau sebelum seseorang bergaul kembali dengan istrinya yang telah dizihar, QS. al-Mujdilah (58):
3,
146
dapat dijadikan sebagai alasan. Firas mengatakan bahwa sungguh saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang memukul seorang hamba, padahal hamba
tersebut tidak melakukan kesalahan, atau menamparnya, maka sungguh kafaratnya
adalah dengan memerdekakannya.12
Penjelasan mengenai kata raqabah di atas, ditemukan setidaknya tiga
langkah Rasulullah saw. dalam menghapuskan perbudakan. Langkah pertama adalah
Rasulullah saw. mulai melarang para sahabatnya memanggil pelayannya
sebagaimana panggilan sebelumnya yang bermakna buruk. Langkah kedua adalah
Rasulullah saw. memberi motifasi kepada para sahabatnya bahwa siapa yang
memerdekakan budaknya ia akan terhindar dari siksaan api neraka. Sedangkan
langkah ketiga adalah menetapkan sangsi bagi siapa saja yang memukul budaknya
dengan tanpa alasan, yakni ia harus membebaskannya.
3. Amah
Amah (yang berarti budak perempuan) jamaknya im. Kata amat, bentuk
asalnya adalah amuwat, yang kemudian dihilangkan waw-nya.13 Al-Amah berarti
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur.
12
Selengkapnya perhatikan riwayat berikut:
Dari Firas berkata: Sungguh saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang memukul
seorang hamba, padahal hamba tersebut tidak melakukan kesalahan, atau menamparnya, maka
sungguh kafaratnya adalah dengan memerdekakannya. Lihat Shahh Muslim, Kitb al-Aimn, Bb
Shuhbat al-Mamlik wa Kaffrat man Lathama Abdahu, no. hadits 1657, h. 814; Sunan Ab Dwud,
Kitb al-Adab, Bb F Haqq al-Mamlk, no. hadits 4500, juz 3. 346; Musnad Ahmad bin Hanbal, no.
hadits 4553, juz 2, h. 76.
13
Ibn Manzhr, Lisn, jilid ke-14, h. 44-45; Ab Hayyn, Tafsr, h. 450.
147
kebalikan dari seorang perempuan merdeka, yaitu seorang budak atau perempuan
yang dikuasai (al-mamlkt).14
Istilah amah, seperti halnya abd, dalam terminilogi Arab jahiliyyah
berkonotasi negatif dan terkesan menghinakan orang yang dikenakan dengan
sebutan itu. Dia menjadi milik mutlak tuannya. Dia bisa diperlakukan dan disuruh
apa saja, termasuk menjual kehormatan diri untuk tuannya. Itulah sebabnya
Rasulullah saw. melarang para sahabatnya untuk menyebut budak perempuan itu
dengan amatun. Beliau menyuruh orang mengganti istilah itu dengan fatt
(pemudi).15
Begitu buruknya perlakuan yang diterima oleh seorang amah, hingga
kehormatannya tidak lagi dihargai sedikitpun, maka Rasulullah saw. menyebutkan
hak-hak khususnya yang harus dilindungi. Amah harus dilindungi kehormatannya.
Seorang amah yang beriman dan menjaga kehormatannya bisa lebih baik dari
perempuan merdeka tetapi musyrik, sekalipun perempuan musyrik itu menakjubkan.
Selain mengganti panggilan amah yang berkonotasi buruk dengan fat,
Rasulullah saw. juga mulai memerintahkan akan keharusan adanya perlindungan
terhadap pelayan perempuan terutama perlindungan terhadap kehormatannya. Lebih
dari itu, Rasulullah saw. menegaskan bahwa perempuan yang beriman dan
14
Al-Hayt al-Mishriyya al-Umma li al-Talf wa al-Nasyar, Mujam Alfz al-Qur an alKarim, (Mesir: al-Hayt al-Mishriyyah, 1970), juz ke-1, h. 61.
15
Rasulullah saw. bersabda:
Dari Abi Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Jangan sekali-kali salah seorang kalian
memanggil dengan panggilan: hambaku, budakku. (Karena) semua kalian dan para isteri kalian
adalah hamba Allah. Akan tetapi panggillah dengan panggilan: pelayanku, penolongku dan atau
pemuda [i] ku. Lihat Shahh Muslim, Kitb al-Alfz min al-Adab wa gairiha, Bb Hukmu Ithlqu
Lafzhat al-Abd wa al-Amat wa al-Mawl wa al-Sayyid, no. hadits 2249-2252, h. 1098.
148
Sedangkan yamn (jamaknya aimn atau aymn) berarti sebelah kanan atau tangan
kanan.17
Ungkapan m malakat aymn (apa yang dimiliki tangan kanan) berarti alraqq atau budak.18 Budak yang dimaksud adalah budak yang pada mulanya
didapatkan dari tawanan perang atau jihad dalam rangka menegakkan agama Islam.
Budak tersebut tidak berasal dari penculikan, perampokan, dan perang karena
keserakahan.
Hadits-hadits yang memuat ungkapan m malakat aymn pada umumnya
adalah kutipan atau penggalan dari ayat-ayat al-Quran yang berbicara masalah
budak. Oleh karena ayat-ayat tersebut umumnya membicarakana persoalan rumah
tangga bagi seseorang yang memiliki budak, maka istilah m malakat aymn lebih
banyak berbicara tentang bagaimana posisi budak dalam rumah tangga tuannya.
Aturan-aturan tersebut berbicara mulai dari persoalan besar sampai pada masalah
sekecil-kecilnya. Adanya aturan tersebut dianggap penting karena kehidupan budak
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan tuannya.
Selain itu, juga dibicarakan bahwa dalam rezki yang telah diberikan Allah,
terdapat hak-hak budak yang harus diberikan kepadanya.19 Seorang tuan harus
Ab Husain Ahmad bin Fris, Mujam Maqyis al-Lugah, (Beirt: Dr Ihy al-Turts alArabiyyah, 2001), h. 960, Mahmud Yunus, Kamus, h. 428.
17
Ibn Fris, Mujam, h. 960, Mahmud Yunus, Kamus, h. 510.
18
Al-Hayt al-Mishriyyat, Mu jam, juz ke-2, h. 912; Abdullah Yusuf Ali, The Glorious
Kur an Tranlation and Commentary (Beirt: Dr al-Fikr, tth.), h. 187; Hamka, Tafsir al-Azhar,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), juz ke-7, h. 8.
19
Lihat QS. al-Nahl (16) : 71; al-Rm (30) : 28.
16
149
memberikan peluang kepada budaknya untuk membuat perjanjian merdeka dan sang
tuan harus membantunya untuk mencari tebusan yang disepakati. Juga diperintahkan
berbuat ihsn kepada budak sebagaimana kepada keluarga sendiri.20
Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa ungkapan m malakat
aymn itu digunakan, salah satunya, untuk menunjukkan betapa kedekatan
kehidupan fisik, perasaan, dan hubungan antara budak dan tuannya. Budak telah
menjadi keluarga sendiri sampai-sampai batas-batas aurat tidak lagi seperti kepada
orang umumnya.
Dalam hal ini, menarik untuk dikemukakan pendapat Maulana Muhammad
Ali. Ia mengatakan bahwa orang yang memaknai kalimat lifurjihim yuhfizn
dalam QS. Al-muminn ayat 5 misalnya, sebagai jimak adalah keliru. Menurutnya,
kalimat itu berbicara masalah aurat yang harus dijaga agar tidak kelihatan. Pendapat
Maulana tersebut diperkuat dengan riwayat yang berasal dar Bahz ibn Hakim dari
Ayahnya dari kakeknya ia berkata: Aku pernah berkata: Ya Rasulullah: Aurat kami
terbuka sebagiannya sedangkan orang lain tidak ada yang melihatnya. Nabi saw.
berkata: Jaga auratmu kecuali kepada istri dan budakmu. Aku berkata: ya
Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya
yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan
kepadamu; Maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut
kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayatayat bagi kaum yang berakal.
20
Lihat QS. al-Nr (24) : 33:
....
dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang
memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
150
Rasulullah, jika satu kaum sebagian mereka berada di suatu tempat? Kata Nabi saw.:
Jika kamu mampu menjaganya, maka tidak boleh seseorang melihat aurat orang
lain. Aku berkata lagi: ya Rasulullah, kalau ia hanya sendirian? Jawab Nabi saw.
hendaklah ia lebih malu kepada Allah daripada malu kepada manusia.21
Karena seorang budak itu telah dianggap sebagai keluarga sendiri, demikian
tegas Maulana, maka Allah memberikan toleransi seperti itu. Itulah sebabnya,
Maulana menyimpulkan bahwa baik al-Quran maupun hadits, tak satupun yang
menerangkan kalau majikan mempunyai hak untuk mengadakan hubungan seksual
di luar nikah dengan budak perempuannya. Sebab satu-satunya yang membolehkan
hubungan seks antara tuan dan budak adalah pernikahan yang disaksikan oleh
beberapa saksi; dan hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. yang
memerdekakan dan mengawini tiga tawanan perang.22
Ungkapan m malakat aymn juga mengandung makna bahwa tuan
memilki tanggung jawab yang tidak ringan terhadap budaknya. Tuan bertanggung
21
Pendapat Maulana tersebut diperkuat oleh hadits Rasulullah saw. sebagai berikut:
Dari Bahz ibn Hakim dari Ayahnya dari kakeknya ia berkata: Aku pernah berkata: Ya Rasulullah:
Aurat kami terbuka sebagiannya sedangkan orang lain tidak ada yang melihatnya. Nabi saw.
berkata: Jaga aurtamu kecuali kepada istri dan budakmu. Aku berkata: ya Rasulullah, Jika satu
kaum sebagian mereka berada di suatu tempat? Kata Nabi saw.: Jika kamu mampu menjaganya,
maka tidak boleh seorang melihat aurat orang lain. Aku berkata lagi: ya Rasulullah, kalau ia hanya
sendirian? Jawab Nabi saw. hendaklah ia lebih malu kepada Allah daripada malu kepada manusia.
Lihat Sunan Ab Dwud, Kitb Hammm, Bb M Ja f al-Tu ra, no. hadits 3501, juz 5, 73; Ab
sa Muhammad bin sa bin Sawrt al-Tirmiz, Sunan al-Tirmiz, ditahqiq Mahmud Muhammad
Mahmud Hasan Nashar, Kitb al-Adab, Bb M Ja f Hifzi al-Aurt, no. hadits 2718, (Beirt: Dr
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 4, 108; Ab Abdillah Muhammad ibn Yazd Ibn Mjah al-Qazwin,
Sunan Ibn Mjah. Kitb al-Nikh, Bb al-Tustaru Inda al-Jim , no. hadits 1910. (Beirt: Dr alKutub al-Ilmiyyah, t.th.),juz 1, h. 612.Ketiga mukharrij di atas tidak mengomentari status hadits
tersebut. Jadi, dalam perspektif Ab Dwud, hadits tersebut adalah shahh liztih.
22
Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), terjemahan M. Bahrum, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, tth.), h. 774.
151
jawab terhadap kebutuhan hidupnya, karena dalam harta tuan juga terdapat hak
budak. Tuan tidak boleh menghalangi budaknya untuk mencapai kesempurnaan
hidup. Maka, jika budak ingin merdeka dengan satu perjanjian, tuan harus
memenuhinya. Bahkan, tuan harus membantu secara materil agar budak bisa
membayar kemerdekaannya sesuai dengan kesepakatan. Riwayat dari Abdulah ibn
Umar mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberi petunjuk mengenai orang
yang ingin memerdekakan budak kongsiannya. Beliau mengatakan, siapa yang
memerdekakan bagiannya pada seorang hamba, lalu dia mempunyai harta yang
mencapai harga hamba itu, maka ditaksir harga hamba itu dengan taksiran yang
pantas, lalu dia berikan kepada orang yang berkongsi dengannya, maka merdekalah
hamba itu atas namanya. Dan jika tidak, maka sudah merdeka hamba itu sebanyak
bagian yang memerdekakannya itu.23 Seperti itulah yang diajarkan oleh Rasulullah
saw. dan diikuti oleh para sahabatnya sebagaimana terekam dalam banyak hadits.
23
Dari Abdullah Ibn Umar ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: siapa yang memerdekakan
bagiannya pada seorang hamba, lalu dia mempunyai harta yang mencapai harga hamba itu, maka
ditaksir harga hamba itu dengan taksiran yang pantas, lalu dia berikan kepada orang yang
berkongsi dengannya, maka merdekalah hamba itu atas namanya. Dan jika tidak, maka sudah
merdeka hamba itu sebanyak bagian yang memerdekakannya itu. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb alSyirkah, Bb Taqwm al-Asyy Baina al-Syurak i Biqmati Adl, no. hadits 2491-2492, juz 2, 99100, Kitb al-Muktab, Bb M Yajzu min Syurth al-Muktab wa Man Isytharatha Laisa f Kitb
Allah, no hadits 4713, juz 3, h. 126, Kitb al-Itq Bb Iz Ataqa Abdan Baina Istnain aw Amatun
Bain al-Syuraki, no. hadits 2522-2524, juz 2. h. 107; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Fadl al-Itq,
no. hadits 1509, h. 734, Kitb al-Aimn, Bb Man Ataqa Syirkan Lahu f Abdin, no. hadits 22492252, h. 1098; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F Man Raw Annahu L Yustasa, no. hadits
3937, juz 3, h. 23; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Ahkm an Raslillah, Bb M Ja f al-Abdi Yakna
Bain al-Rajulain Fayutaqu Ahaduhuma Nashbahu, no. hadits 1346, juz 2, 340; Sunan Ibn Mjah,
Kitb al-Itq, Bb Man Ataqa Syirkan Lah f Abdin, no. hadits 2527, juz 2, h. 844; Musnad Ahmad
bin Hambal, no. hadits 374, juz 2, h. 124;; Muwatha Mlik, Kitb al-Itq wa al-Wal, Bb Man
Ataqa Syirkan Lah f Mamlkin, no. hadits 1264, juz 2, h. 201.
152
Anjuran tersebut adalah sebahagian langkah yang ditempuh Rasulullah saw. dalam
mengurangi populasi budak ketika itu.
5. Mamlk
Mamlk yang asal katanya dari malaka (jamak mulk), berarti orang yang
24
dimiliki. Kata maluk sendiri berarti pemilik atau raja. Seperti lazimnya, raja adalah
penguasa yang menguasai dan menangani persoalan aturan serta wewenang lainnya.
Pemilik adalah orang yang menguasai dan mengendalikan sesuatu di atas
otoritasnya. Namun demikian, meskipun seorang pemilik belum tentu raja dalam
pengertian normatifnya. Namun pemilik adalah seorang yang memiliki wewenang
atas sesuatu yang dimilikinya. Jadi seorang pemilik adalah orang yang tidak dikuasai
oleh orang atau kekuatan lain, sebagaimana raja yang menguasai lainnya. Kebalikan
dari itu, orang yang berada dalam penguasaan dan tunduk kepada yang
menguasainya adalah mamlk, yakni orang yang dimiliki.25
Orang yang memiliki sifat seperti raja, di antaranya independent, bebas, dan
tidak terikat oleh orang atau institusi lain adalah orang yang merdeka. Orang yang
merdeka juga berarti orang yang bisa menjamin hidupnya secara layak. Lawan kata
dari orang yang merdeka adalah budak. Yaitu mereka yang dikuasai dan terikat oleh
dan kepada kekuatan di luar dirinya serta memiliki garansi untuk menjamin
kelangsungan hidupnya.
Watak dan karakternya pun berbeda. Orang yang tidak merdeka memiliki
kesadaran rendah. Karena kesadaran yang rendah, mereka akan taat kepada aturan
jika ada yang mengawasi, dan inilah salah satu dari ciri khas perilaku budak.
Karenanya, siapa pun yang memiliki sifat seperti ini, bisa dikategorikan sebagai
25
153
orang yang tidak merdeka. Sebab, ciri orang yang merdeka adalah taat pada aturan,
meskipun tidak diawasi secara langsung dan lahiriah.
Kesadaran dan kemerdekaan seperti itulah yang diperjuangkan oleh
Rasulullah saw. Penekanannya adalah bagaimana supaya para pengikutnya itu
memilki kemerdekaan individual. Dari kemerdekaan individu itu akan tercipta
kemerdekaan kolektif. Sedangkan musuhnya, tidak mesti dari luar tetapi dari dalam
diri sendiri. Itulah sebabnya ada ungkapan bahwa orang yang bisa mengatasi dirinya
sendiri adalah orang yang merdeka. Ide kemerdekaan yang di sampaikan oleh
Rasulullah saw. selalu dikaitkan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah swt.
Dengan kata lain, kemerdekaan seseorang terletak pada penghambaan dirinya
Kepada Allah sebagai manifestasi ajaran tauhid.
26
27
154
28
dari Ayahnya dari kakeknya menceritakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Seorang mukatab adalah hamba (budak), sekalipun yang tersisa darinya hanya
beberapa dirham. 29
Dari Jabir bin Abdullah ra. Bahwa seorang laki-laki dari Anshar memerdekakan hambanya secara
mudabbar, sedangkan dia tidak memiliki harta selain hamba itu, lalu disampaikan kepada Nabi saw.
maka beliau bersabda: adakah yang mau membelinya dari saya? Maka Nuaim bin Abdillah
membelinya dengan harga sekian, lalu Nabi saw. menyerahkan kepadanya. Lihat Shahh al-Bukhr,
Kitb al-Buy, Bb Bai al-Mazyadat, no. hadits 2141, juz 2, h. 25, Kitb Istiqrdhi wa Adi alDuyni wa al-Hajari wa al-Taflisi, Bb B a Mal al-Muflisi aw Mudimi Faqasamahu, no. hadits
2403, juz 2, h. 79; Shahh Muslim, Kitb al-Zakt, Bb al-Ibtid f al-Nafaqah, no. hadits 997, h.
461, Kitb al-Aimn, no. hadits 3155-3166; ; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F Bai alMudabbar, no. hadits 3955, juz 3, h. 27; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Buy an Raslillah, Bb M
Ja f Baii al-Mudabbar, no. hadits 1219, juz 2, h. 264; Sunan al-Nasi, Kitb al-Buy , Bb Bai
al-Mudabbar, no. hadits 4573-4575, juz 3, h. 85; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Itq, Bb al-Mudabbar,
no. hadits 2513, juz 2, h. 841; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 13619, juz 4, h. 79; Ab- Abd
al-Rahmn Fadl bin Abdullah bin Abd al-Samad Fadl bin Abdullah bin Bahram Al-Drim, Sunan
al-Drim. Kitb al-Buy, Bb F Bai Ummaht al-Awld, no. hadits 2577, (Beirt: Dr alMarifah, 2000), h. 840.
28
Ibn Faris, Mujam, h. 885, Tim Penyusun Ensiklopedi al-Qur an: Dunia Islam Modern
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), h. 96.
29
Selengkapnya lihat riwayat berikut ini:
155
Jadi budak muktab adalah budak yang berada dalam proses pemerdekaaan
tuannya dengan perjanjian penggantian yang akan diberikan budak tersebut kepada
tuannya sebagai kompensasi atas kemerdekaannya itu. Dinamai muktab karena
budak membuat perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan membayar harga belinya
sebagai tebusan bagi kemerdekaan dirinya atau tuan membuat perjanjian
pemerdekaan budaknya dengan kompensasi pembayaran harga belinya.
Dalam Islam, seorang budak dapat membebaskan dirinya. Ia dapat
menuntut kemerdekaan atas dirinya sendiri kepada tuannya. Caranya adalah dengan
memberikan sejumlah uang kepada tuannya. Pemberian uang tersebut bisa tunai dan
dapat pula diangsur, sesuai dengan kesepakatan bersama.
Al-muktab juga berarti yang ditetapkan atau yang ditentukan. Dengan kata
lain, kebebasan budak ditetapkan dan ditentukan atas dasar pembayaran yang
disepakati, baik jumlah maupun waktu pelunasannya. Bila ia telah menunaikannya,
maka ia menjadi merdeka.30 Riwayat dari Ummi Salamah menuturkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda: apabila ada salah seorang di antara kalian seorang hamba
muktab, sedangkan hamba itu mampu membayar kesepakatan itu, maka hendaklah
dia berhijab dari dia.31
Dari Amru ibn Syuaib dari Ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw. beliau bersabda: Seorang
mukatab adalah hamba (budak), sekalipun yang tersisa darinya hanya beberapa dirham. Lihat
Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F al-Muktab Yu addi Ba dha Kitbatihi, no. hadits 3425, juz
3, h. 27; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Buy, Bb M Ja f al-Muktab Iz Kna Indahu M Yuaddi,
no. hadits 1181, juz 2, h. 289; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 6378, juz 11, 130. Ab Dwud
tidak memberi komentar atas hadits tersebut, sementara al-Tirmiz menghukumnya sebagai hasan
gharb.
30
Lihat Muhammad Quthub, Syubht, h. 69; juga Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 49. ada juga
yang berpendapat bahwa setelah muktab disetujui, maka budak tersebut langsung merdeka agar ia
bebas untuk memenuhi perjanjiannya. Lihat Fuad Mohd Fachruddin, Islam Berbicara Masalah
Perbudakan, (Jakarta: Mutiara, 1981), h. 92.
31
Selengkapnya lihat riwayat dari Ummu Salamah berikut:
Dari Ummi Salamah menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: apabila ada salah seorang di
antara kalian seorang hamba muktab, sedangkan hamba itu mampu membayar kesepakatan itu,
maka hendaklah dia berhijab dari dia. Lihat Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F al-Muktab
156
Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian
dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka
sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.
33
Al-Suyuthi, Asbabun, h. 356; juga Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 51.
157
158
Karenanya, ia meminta perjanjian. Ini akan berbeda apabila majikan yang memaksa
sahayanya untuk membuat perjanjian, apalagi si sahaya belum mampu atau tidak
menginginkannya.
Muktab bukan hanya sebagai bentuk atau gerbang bagi kemerdekaan jiwa
seorang budak. Muktab, juga sebagai proses dan metode penghapusan sistem
perbudakan secara final. Upaya tersebut dapat dilakukan sang budak dengan
dukungan tuannya, dan tidak hanya menunggu tuannya menghadiahkan kebebasan
secara sukarela kepadanya pada kesempatan mendatang yang belum pasti. Peluang
untuk mengakhiri perbudakan dari dalam dirinya sendiri merupakan suatu isyarat
sudah adanya kebebasan yang diberikan Rasulullah saw. sejak statusnya masih
budak.
36
1015.
159
39
Dari Hammm ibn Munabbih bahwa Ia mendengar Ab Hurairah ra meriwayatkan hadits dari Nabi
saw. bahwa beliau bersabda: Jangan salah seorang kamu berkata (kepada pelayannya): Sediakan
makanan Tuhanmu, terangi cahayanya dan sediakan minuman Tuhanmu. Akan tetapi katakan:
Tuanku, penolongku. Jangan pula panggil pelayanmu dengan panggilan: Hambaku, budakku, akan
tetapi panggilah dengan panggilan pemuda (i)ku atau pelayanku. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb alItq, Bb Karhiyat al-Tathwulu Al al-Raqq, no. hadits 2552, juz 2, h. 112; Shahh Muslim, Kitb
al-Alfz min al-Adab, Bb Hukmu Ithlqu Lafzhatu al-Abd wa al-Amat wa al-Mawl wa al-Sayyid,
no. hadits 2249-2252, h. 1098; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Adab, Bb L Yaq-l al-Mamlk Rabb wa
Rabbat, no. hadits 4975, juz 3, h. 299; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 8750, juz 13, h. 150.
160
1. Upaya Moral
a. Memberikan Hak dan Kewajiban Kepada Budak
Pada masa sebelum kedatangan Rasulullah saw., pembicaraan mengenai
hak dan kewajiban budak tidak pernah terdengar. Sebab, semua yang dibebankan
kepada budak adalah kewajiban semata. Kewajiban itu pun terletak pada kemauan
tuannya. Apa yang diinginkan oleh sang tuan itulah yang wajib dilakukan.
Kehendak tuannya pun tidak dibatasi oleh nilai-nilai perikemanusiaan. Berbeda
dengan itu, Rasulullah saw. datang justru tidak selalu menekankan kewajiban budak.
Perlakuan Rasulullah saw. tersebut bertolak belakang dengan aturan sebelumnya.
Rasulullah saw. justru banyak memberikan hak-hak kepada budak bahkan semakin
memperkecil volume kewajibannya, sehingga keduanya seimbang. Kewajiban
budak yang diberikan itu pun merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya.
Rasulullah saw. banyak menguranginya, memodifikasi menjadi lebih manusiawi,
menekan sekecil mungkin beban-beban yang negatif dan menggantinya dengan
tugas-tugas yang mulia.40
40
161
tertentu dengan
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1980), h. 107.
162
bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan
di permukaan bumi.42 Itulah sebabnya, salah satu sendi yang ditekankan Rasulullah
saw. dalam kehidupan bermasyarakat adalah keadilan. Keadilan ini tidak boleh
ditawar-tawar jika menginginkan ketentraman hidup. Perbuatan menghukum orang
tak bersalah, dan perbuatan tidak adil lainnya akan menjadi penyebab goyahnya
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Rasulullah saw. memerintahkan untuk berbuat adil kepada budak.
Perlakuan adil yang diberikan Rasulullah saw. terhadap budak dapat dikatakan
sempurna. Baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai anggota masyarakat. Sebagai
hamba Allah, budak tidak diperlakukan diskriminatif. Orang merdeka dan budak
sama-sama berpeluang mendapat tempat tertinggi di sisi Allah swt. Derajat
seseorang di sisi Allah hanya ditentukan oleh kadar ketaqwaannya.43
Dalam beberapa riwayat, juga ditemukan keterangan bahwa barang siapa
yang berhasil membina budak menjadi baik, kemudian memerdekakan serta
menikahkannya maka dia akan mendapatkan dua pahala.44
42
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata,
dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan .....
43
QS. al-Hujrt (49) : 13.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
44
Rasulullah saw. bersabda:
163
Dari Abi Musa ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang memiliki seorang budak, lalu dia
berbuat baik kepadanya, kemudian memerdekakannya serta menikahkannnya, maka ia mendapatkan
dua ganjaran (pahala).Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Itq, Bb Fadhlu Man Addaba Jriyatahu
wa Allamaha, no. hadits 2544, juz 2, h. 111; Shahh Muslim, Kitb al-Imn, Bb Wujb al-Imn
Birislati Nabiyyin Muhammad, no. hadits 154, h. 110; Kitb al-Nikh, Bb Fadhla al-Itaq
Amatahu Stumma Yatazawwajuha, no. hadits 135, h. 673; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Nikh, Bb
F al-Rajuli Ya tiqu Amatahu Stumma Yatazawwajuha, no. hadits 2053, juz 2, h. 87; Sunan alTirmiz, Kitb al-Nikh, Bb M Ja f Fadhli Zlik, no. hadits 1116, juz 2, h. 194; Sunan Nasi,
Kitb al-Nikh, Bb Itq al-Rijl Jriyatahu Stumma Yatazawwajuha, no. hadits 3292-3293, juz 5, h.
109; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Nikh, Bb al-Rajulu Ya tiqu Amatahu Stumma Yatazawwajuha, no.
hadits 1956-1958, juz 1, h. 629; Sunan al-Drimiy, Kitb al-Nikh, Bb Fadlu Man Ataqa Amatun
Stumma Tazawwajuha, no. hadits 2248, h. 709; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 18711, juz 4,
h. 38.
45
Lihat QS. al-Baqarah (2) : 178.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Penjelasan lebih lanjut mengenai ayat ini lihat Ab al-Fid al-Hfiz Ibn Kastr, al-Dimasyqi,
Tafsr al-Qur n al-Azdm, (Beirt: Dr al-Fikr, 1412 H./ 1992 M.), juz ke-1, h. 259; A. Mudjab
Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Qur an, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 60-61.
46
Taqi al-Dn Ibn Taimiyah, al-Tafsr al-Kabr, ditahkiq oleh Abd al-Rahmn Amirat,
(Beirt: Dr al-Fikr, tth.), juz ke-3, h. 40.
47
Para ulama berbeda pendapat tentang orang merdeka yang membunuh budak. Abu
Hanifah, al-Staur, Ibn Abi Lail, dan Dwud, berpendapat bahwa pembunuh harus diqishash. Tetapi
menurut jumhur ulama, seorang merdeka yang membunuh budak, tidak bisa diqishash, dia hanya
membayar harganya saja. Jumhur mengatakan bahwa ayat 45 dari surah al-Maidah (5), yang
dijadikan dalil oleh kelompok yang membolehkan, telah ditakhshish oleh surah al-Baqarah (2) ayat
178. selanjutnya lihat misalnya Ab Bkar Ahmad al-Rzi al-Jashshsh, Ahkm al-Qur n, (Beirt:
164
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.penjelasan selanjutnya lihat al-Khzin, Tafsr al-Khzin/
Lubb al-Ta wl f Ma ni al-Tanzl, (Beirt: Dr al-Almarif, tth.), juz ke-3, 328.
49
Perhatikan riwayat berikut:
Dari Anas bin Mlik bahwasanya Rasulullah saw. pernah memerdekakan seorang budak bernama
Shafiyah dan menikahinya, dan dengan kemerdekaan tersebut dijadikan sebagai maharnya. Lihat
Shahh al-Bukhr, Kitb al-Nikh, Bb Man Ja ala Itq al-Amat Shadqaha, no. hadits 4696, 4697,
4762, 4771, juz 3, h. 121-122, Kitb al-Shalh, Bb M Yazkuru f al-Fkhizah, no. hadits 358, juz 1,
h. 174, Kitb al-Jumah, Bb al-Takbr wa al-Gulsu bi al-Shubhi, no. hadits 895, 1, h 273, Kitb alMagzi, Bb Gazwatu Khaibar, no. hadits 4213, juz 2, h. 439; Shahh Muslim, Kitb al-Nikh, Bb
Fadhla Itaq Amatahu Stumma Yatazawwajuha, no hadits 1365, h. 673; Sunan Ab Dwud, Kitb
al-Kharaj wa al-Imra wa al-Fi, Bb M Ja f Sahmi al-Shaf, no. hadits 2601-2604, juz 7, 59;
Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Nikh, Bb M Ja f al-Walmah, no. hadits 1094, juz 2, h. 178; Sunan
al-Nasi, Kitb al-Nikh, Bb al-Tazawwaju Al al-Itq, no. hadits 3390, 3391, Bb al-Bin f alSafari, no. hadits 3328, 3329; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Nikh, Bb al-Rajulu Ya tiqu Amatahu
Stumma Yatazawwajuha, no. hadits 1958, juz 1, h. 629; Musnad Ahmad bin Hambal, no. hadits
13589, juz 3, 231; Sunan al-Drimiy, Kitb al-Nikh, Bb F al-Amati Yajalu Itquha Shadqaha,
no. hadits 2246-2247, h. 708-709.
165
terhormat.50 Karena itu, menilai manusia harus berdasarkan penilaian Allah, bukan
berdasarkan penilaian dan pandangan manusia kepadanya.51
Pertanyaan yang muncul ialah apakah jika budak dijadikan sebagai
alternatif kedua bagi seseorang yang belum mampu tapi berhasrat menikah52 berarti
budak diperlakukan diskriminatif? Budak tidak bisa mendapatkan hak yang persis
sama dengan orang merdeka. Hal demikian dianggap justru tidak adil karena
keduanya tidak bisa mengerjakan kewajiban yang sama. Budak berada di bawah
kekuasaan tuannya sehingga aktifitasnya relatif terbatas, berbeda dengan orang
merdeka. Kepada budak diberikan mahar dan belanja harian yang tidak sama
besarnya dengan orang merdeka.53 Untuk mengimbangi ketentuan demikian, maka
jika budak berbuat zina, hukumnya hanya separoh orang merdeka. Hal itu untuk
mengobati hati budak yang sering kali dipandang rendah. Jiwanya akan semakin
terpukul jika menerima hukuman yang sama dengan orang yang merdeka.54
Dengan demikian bukan keliru jika dikatakan bahwa Rasulullah saw. telah
memberikan sumbangsih besar dalam mengangkat harga diri dan derajat para budak.
50
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu.
51
Sayyid Quthub, F Zhill, juz ke-1, 240.
52
QS. al-Nis (4) : 25.
Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budakbudak yang kamu miliki.
53
Sayyid Quthub, F Zhill, juz ke-2, h. 628; Hamka, Tafsir, juz ke-7, h. 17.
54
Hamka, Tafsir, juz ke-7, h. 17.
166
Beliau telah mengangkat mereka ke posisi yang sama dengan orang merdeka.
Rasulullah saw. tidak pernah manilai seseorang berdasarkan status sosialnya. Tetapi
berdasarkan kecakapan dan prestasi yang dimilikinya. Seorang budak yang memiliki
keahlian melebihi orang merdeka, akan mendapatkan tempat yang juga lebih tinggi
dari orang yang merdeka sekaligus memiliki peluang besar untuk merdeka.
b). Memperjuangkan Kemerdekaan
Dalam
ajaran
Rasulullah
saw.,
budak
berhak
memperjuangkan
Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian (muktab), hendaklah kamu buat
perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.
56
Sayyid Quthub, F Zhill, , juz ke-4, h. 2516.
167
Dari Aisyah isteri Nabi saw. bahwasanya Bariah mendatanginya sedangkan Barirah seorang budak
Muktab (sedang dalam perjanjian) dengan tuannya sebanyak 9 awaq. Lalu Aisyah berkata
kepadanya: Jika tuanmu mau, aku siap memperhitungkannya dengan mereka tetapi perwalaannya
ada padaku. (Ia berkata): lalu Barirah mendatangi tuannya dan menceritakannya kepada mereka.
Namun tuannya menolak kecuali dengan syarat hak perwalaan itu diserahkan kepada mereka.
Kemudian Aisyah menceritakan hal itu kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw. Bersabda: Bayarkan saja.
Kemudian Nabi saw. Berdiri berpidato kepada manusia, seraya memuji Allah, kemudian beliau
bersabda: Selama seseorang membuat persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah, sedangkan
setiap persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah batal. sekalipun dengan seratus
persyaratan, Kitab Allah itu lebih benar dan lebih kuat. Sebab al-Wal (hak perwaliaan atas budak)
berada ditangan orang yang memerdekakannya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Shalh, Bb Zikri
al-Bii wa al-Syar al al-Mimbari, no. hadits 456, juz 1, h. 188, Kitb al-Zakt, Bb al-Shadaqt
al Mawli Azwj al-Nab, no. hadits 1492, juz 1, h. 426, Kitb al-Buy,Bb al-Baiu wa al-Syiru
min al-Nis no. hadits 2155-2156, juz 2, h. 28, Bb Iz Isytaritha Syurthan f al-Baii l Tahillu,
2168, juz 2, h. 30, Kitb al-Itq, Bb Bai al-Wal wa Hibatih no. hadits 2536, juz 2, h. 109, Bb M
Yajzu min Syurth al-Muktab, no. hadits 2567, juz 2, h. 115, Kitb al-Hibah wa Fadluha, Bb
Qabl al-Hadiyyah, no. hadits 2578, juz 2, h. 119, Kitb al-Syurth, Bb al-Syurth f al-Buy no.
hadits 2717, juz 2, h. 153-154, Bb M Yajzu min Syurth al-Muktab, no. hadits 2726, juz 2, h.
155, Bb al-Syurth f al-Wal, no. hadits 2729, juz 2, h. 156, Bb al-Muktab wa M L Yahillu min
Syurth, no. hadits 2735, juz 2, h. 161, Kitb al-Nikh, Bb al-Hurrah Tahta al-Abdi, no. hadits
4707, juz 3, h. 124, Kitb al-Thalq, Bb L Yaknu Bai al-Ama Thalqan, no. Hadits 4871, juz 3,
168
merupakan syarat utama untuk bisa dijadikan istri oleh seorang mukmin. Setelah dia
dinikahi, maka jalan menuju kemerdekaan akan semakin terbuka baginya. Tentu
saja, tidak dibenarkan seorang budak masuk Islam hanya karena ingin dimerdekakan
atau dinikahi. Penyebabnya adalah karena keislamannya akan tidak bermakna jika
tidak didasari dengan niat yang tulus.
Di sinilah perbedaan mendasar antara perbudakan dalam Islam dengan
perbudakan lainnya. Rasulullah saw. memberikan hak kepada budak untuk berusaha
lepas dari kungkungan perbudakan. Sementara itu, perbudakan di luar Islam bisa
dikatakan peluang seperti ini telah tertutup. Dengan tidak diberikan kesempatan
h. 171, Bb Syaf at al-Nab f Zauji Barrah, no. hadits 4876, juz 3, h. 172, Kitb al-Athimah, Bb
al-Adam, no. hadits 5010, juz 3, h. 208, Kitb Kaffrt al-Aimn, Bb Iz Ataqa f Kaffrt liman
Yakna Wal, no. hadits 6223, Kitb al-Faridh, Bb al-Wal liman Ataqa wa Mirst al-Laqth, no.
hadits 6254, Bb Mirst al-Saibah, no. hadits 6257, Bb Iz aslam Yadaih, no. hadits 6261, Bb M
Yaristu al-Nis min al-Wal, no. hadits 6263; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Innam al-Wal
Liman Ataqa no. hadits 150401505, h. 731; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Faridh, Bb F al-Wal,
no. hadits 2915-2916, juz 2, h. 335; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Buy an Raslillah, Bb M Ja f
Isythirth al-Wal, no. hadits 1256, juz 2, h. 287, Kitb al-Faridh an Raslillah, Bb M Ja f
Man Yaristu al-Wal, no. hadits 2114, juz 3, h. 174, Kitb al-Wal wa al-Hibah an Raslillah, Bb
M Ja Anna al-Wal liman Ataqa, no. hadits 2125, juz 3, h. 182; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Itq,
Bb al-Muktab, no. hadits 2521, juz 2, h.842; Sunan Nasi, Kitb al-Zakt, Bb Iz Tahwala alShadaqh, no. hadits 2567, juz 5, h. 107-108, Kitb al-Buy, Bb al-Baiu Yalna Fhi al-Syurth alFsidu Fayuyashihhu al-Bai wa Yubthlu al-Syurth, no. hadits 4563-4565, juz 7, h. 305, Bb Bai alMuktab, no. hadits 4576, juz 7, h. 305; Musnad Ahmad bin Hanbal, hadits 22924, 23021, 23057, ,
24123, , 24280, 24294, juz 15; Muwtha Mlik, Kitb Thalq, Bb M Ja f al-Khiyar, no. hadits
1028, juz 2, h. 74, Kitb al-Itq wa al-Wal, Bb Mashir al-Wal liman Ataqa, no. hadits 12751276, juz 2, h. 206; Sunan al-Drim, Kitb al-Thalq, Bb F Takhyr al-Amati Takun Tahta alAbdi Fatu tiqu, no. hadits 2293, h. 728.
169
seperti itu tentu budak tidak akan bisa merdeka dengan cara wajar karena mereka
tidak diberi peluang untuk berusaha sendiri, apalagi untuk merdeka. Maka wajar jika
budak-budak di luar sistem yang dibangun oleh Rasulullah saw. yang membawa
perubahan besar bagi nasib budak, menjadi terbelenggu.
c). Mendapatkan Perlakuan Baik
Sikap Rasulullah saw. yang sebenarnya menghendaki penghapusan
perbudakan akan tampak jelas apabila telah diketahui bagaimana beliau
memperlakukan budak dalam kehidupan sebagai manusia dan berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan.
Rasulullah saw. memperlakukan budak sebagai wujud manusia yang
memiliki hak dan kehormatan, kehidupan dan persamaan dalam hak dan kewajiban.
Demikian yang diajarkan kepada para sahabatnya agar si tuan wajib tetap
menyayangi budaknya, bersikap lemah lembut kepadanya, dan menghormati
kemanusiaannya. Selain itu, budak juga harus diberikan hak sosialnya, mendapatkan
perlindungan dari penganiayaan orang lain, bahkan kemerdekaan dan segala
tanggung jawab sebagai manusia yang harus diperlakukan mulia seperti manusia
pada umumnya.58 Perlakuan ini lebih berpola top-down, yaitu dari yang kuat kepada
yang lemah di dalam hal kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan. Ini lebih
merupakan manuver dari prinsip keadilan, setelah kewajiban-kewajiban budak
tereksploitasi dalam peradaban dunia sebelum Islam. Sehingga terciptalah hak dan
kewajiban yang balance antara sesama manusia yang bebas.
58
Sayyed Ameer Ali mengatakan bahwa kebijakan Rasulullah saw. yang lebih menekankan
kewajiban-kewajiban si tuan kepada para budaknya adalah tanda keluasan wawasan beliau dalam
memberantas sistem perbudakan. Lihat Ameer Ali, Spirit, h. 264. kebalikan dari itu, Roberts justru
menilai bahwa perlakuan baik itu merupakan jalan keluar dari kegagalan Rasulullah saw dalam
menghapuskan perbudakan. Lihat Robert Roberts, The Social Law of the Qoran, (New Delhi: Cusmo
Publication, 1977), h. 57.
170
59
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, Ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu.
60
Syalabiy, Perbandingan, h. 274.
171
makanan yang istimewa dibanding korma yang populer di tanah Arab. Wajar jika
sikap demikian itu sebagai kemuliaan yang dapat menimbulkan simpatik. Potensi ini
dapat menjadi hidayah seseorang untuk masuk ke agama Islam melalui interaksi
sosial, sekaligus menghindarkannya dari bahaya perbudakan.
Dari hadits-hadits yang ditelusuri, ditemukan informasi yang menjelaskan
bahwa Rasulullah saw. memberi perhatian yang besar terhadap permasalahan
perbudakan. Menurut hadits yang diberitakan Ummu Salamah, sewaktu Rasulullah
saw. menjelang wafat, beliau masih berpesan agar umatnya senantiasa
memperhatikan shalat dan berlaku baik terhadap budak. Bahkan Beliau selalu
mengucapkan (dua pesan)nya itu hingga hilang dari ucapannya.61
Di samping itu, Rasulullah saw. juga melarang seorang tuan memukul
muka budak jika marah kepadanya, tidak boleh mencaci maki mereka, sekalipun
melakukan zina. Jika seorang budak melakukan perbuatan keji ini, maka hukumlah
mereka sesuai dengan ketentuan yang ada, tetapi jangan menghinanya. Jika tidak
mau bertobat dan terus berzina sampai tiga kali, maka budak itu sebaiknya dijual
walaupun seharga seikat rambut.62
61
Dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah saw. berpesan disaat sakit menjelang wafat: shalat
dan budak kalian. Beliau selalu mengucapkan (dua pesan)nya itu hingga hilang dari ucapannya. Di
antara sembilan kitab hadits yang mu tabarah, hadits ini hanya dijumpai dalam Sunan Ibn Mjah,
Kitb al-Janiz, Bb M Ja f Zikri Maradhi Raslillah, no. hadits 1625, juz 1, h. 519. Ibn Mjah
sendiri tidak mengomentari status hadits ini. Diriwayatkan melalui jalur sanad, Ab Bkar bin Ab
Syaibah (tsiqah-shadq), Yazd bin Hrun (tsiqah-shahh al-hadts), Hammm (tsiqah-qaw f alhadts), Qatdah (tsiqah-ahfaz al-ns), Shalih bin Khall (tsiqah), Shafnah dan Ummi Salamah
adalah shahabat Nabi saw. Oleh sebab itu status hadits tersebut adalah shahih.
62
Rasulullah saw. bersabda:
172
Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jika budak kalian berzina maka deralah 3
kali dengan Kitab Allah. Jika ia mengulanginya lagi, maka juallah meskipun dengan harga seutas
rambut. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Buy, Bb Bai al-Abd al-Zni, no. hadits 2152, juz 2, h.
27, Bb Bai al-Mudabbar, no. hadits 2233, juz 2, h. 41, Kitb al-Itq, Bb Karhiyat al-Tathwulu
Al al-Raqq wa Qawlihi Abd aw Amat, no. hadits 2555-2556, juz 2, h. 112, Kitb al-Hudd, Bb
Iz Zanat al-Amah, no. hadits 6333, juz 1, h. 375 , Bb L Yastribu Al al-Ama Iz Zanat wa L
Tanf, no. hadits 6334, juz 1, h. 376; Shahh Muslim, Kitb al-Hudd, Bb Rajama al-Yahdu Ahla
al-Zimmati f al-Zin, no. hadits 1703-1705, h. 843; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Hudd, Bb F alAmat Tazn wa Lam Tahshan, no. hadits 4469, juz 3, h. 163-164; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Hudd,
Bb M Ja f al-Rajm Al al-Stayyib, no. hadits 1433, juz 2, h. 398 dan Bb M Ja f Iqma alHadd Al al-Imi, no. hadits 1440, juz 2, h. 404; Sunan Ibn Mjah. Kitb al-Hudd, Bb Iqma alHudd Al al-Imi, no. hadits 2565, juz 2, h. 857; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 7088, juz
2, 253; Muwatha Mlik, Kitb al-Hudd, Bb Jmi M Ja f Hadd al-Zin, no. hadits 1301, juz 2,
h. 235; Sunan al-Drim, Kitb al-Hudd, Bb F al-Mamlik Iz Zan Yuqmu Alaihim Sadatahum
al-Hadd Dna al-Sulthn, no. hadits 2223, h. 743-744.
63
QS. al-Nr (24) : 33.
dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka
sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa
yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
64
Dari Abi Dzar berkata: Rasulullah saw. bersabda: Saudaramu yang Allah telah menjadikannya
dibawah kekuasaanmu sebagai budak, maka siapa yang saudaranya dibawah kekuasaannya,
hendaklah memberinya makan sebagaimana apa yang ia makan; memberi pakaian sebagaimana
yang ia pakai dan jangan membebaninya dengan pekerjaan yang tidak ia sanggupi. Kalaupun ia
membebaninya, maka hendaklah ia membantunya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Imn, Bb alMa shi Min Amri al-Jhiliyyat wa L Yakfur Shhibuha, no. hadits 20, juz 1, h. 33, Kitb al-Itq,
Bb Qawlu al-Nabiyu al-bid Ikhwnukum Faatimuhum Mimma Ta kulun, no. hadits 2545, juz 2,
h. 111; Shahh Muslim, Kitb al-Aimn, Bb Itm al-Mamlk Mimm Ya kulu wa Ilbsuhu Mimm
Yalbisu wa L Yukallifuhu, no. hadits 1661, h. 817; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Adab, Bb F Haqq
al-Mamlk, no. hadits 4490-4491, juz 3, h. 294; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Bir wa al-Shilah an
173
67
adalah mengurus kekejaman tuan terhadap binatang yang dimilikinya, seperti tidak
memberi makan kepada binatang piaraannya itu, atau memberinya beban yang
terlalu berat.
Raslillah, Bb M Ja f al-Ihsn Il al-Khadam, no. hadits 1868, juz 5, h. 31; Sunan Ibn Mjah,
Kitb al-Adab, Bb al-Ihsn Il al-Mamlik, no. hadits 3680, juz 3, h. 115; Musnad Ahmad bin
Hanbal, no. hadits 20440 dan 20461, juz 7, h. 83.
65
Lihat misalnya QS. al-Ahzb (33) : 52.
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti
mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu, kecuali perempuanperempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan Allah maha mengawasi segala sesuatu.
66
Muhammad al-Gazli, Khulq al-Islm, (Kuwait: Dr al-Bayn, 1970), h. 362.
67
Sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution dan Bahtiar Effendy (Ed.), dari R. Levy,
The Sosial Strukture of Islam (Cambridge: 1962), h. 337. dalam Hak Asasi Manusia Dalam Islam,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Pustaka Firdaus, 1995), h. Viii.
174
68
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu.
175
baik daripada seorang musyrik, sekalipun orang musyrik tersebut menakjubkan dan
mulia menurut pandangan manusia kabanyakan.
Keimanan juga dapat mengantar seorang budak dengan cepat mendapatkan
kemerdekaan. Bagi seseorang yang membunuh muslim lainnya secara tidak sengaja,
dia harus membayar denda (kaffrat) berupa memerdekakan seorang budak yang
beriman.69 Begitu juga jika seseorang terlanjur men-zihar istrinya. Maka untuk
mencabut zihar tersebut, dia juga harus membayar denda yang alternatif pertamanya
adalah, memerdekakan budak.70 Hal sama juga berlaku bagi seseorang yang ingin
mencabut kembali sumpah yang telah dia ikrarkan. Bagi orang yang melanggar
sumpah tersebut diwajibkan membayar denda yang salah satu alternatifnya adalah
juga memerdekakan budak.71
Jadi salah satu tugas pokok seorang budak adalah memelihara diri dan
meningkatkan keimanan. Keimanan adalah salah satu kendaraan yang akan
membawanya keluar dari belenggu perbudakan. Dengan iman, seorang budak
69
... ...
...
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur.
71
QS. al-Midah (5) : 89,
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak.
176
berkulit hitam sekalipun akan mendapat tempat yang tinggi di sisi Allah dan lebih
berhak mendampingi hambaNya yang shaleh dibandingkan dengan wanita cantik,
merdeka, tetapi musyrik. Dan dengan iman juga seorang budak akan menjadi
prioritas utama untuk dimerdekakan. Dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa
Rasulullah saw. menanyakan keberadaan Allah swt dan dirinya kepada salah
seorang dalam rangka menguji apakah ia seorang beriman atau tidak. Setelah budak
itu mengakui kerasulan beliau sebagai pertanda ia beriman, maka Rasulullah saw.
menganjurkan agar budak itu segera dibebaskan.72
Dalam hadits tersebut tampak dengan jelas bahwa faktor keimanan
seseorang akan membawanya kepada derajat yang lebih tinggi. Bagi budak yang
beriman, ia akan mudah keluar dari lembah perbudakan menuju puncak kebebasan
sebagaimana manusia merdeka lainnya.
b). Taat Kepada Tuan
Ketaatan budak kepada tuannya bukanlah ketaatan total sebagaimana aturan
sebelumnya. Seorang budak tidak dituntut lagi taat kepada tuannya seperti seekor
72
Dari Muawiyah ibn al-Hakam al-Salm berkata: Ya Rasulullah aku telah memukul budakku dengan
satu pukulan, hal itu ditanggapi serius oleh Rasulullah saw. Maka aku pun berkata: Apa tidak aku
bebaskan saja? Jawab beliau: hadirkan ia kepadaku. Maka aku pun menghadirkannya. Lalu Nabi
berkata: dimana Allah?. Budak tersebut menjawab: Di langit. Nabi bertanya lagi: Lalu siapa aku?
Ia menjawab: Anda adalah utusan Allah. Nabi saw. bersabda: bebaskan ia, karena sesunguhnya ia
seorang mukmin. Lihat Shahh Muslim, Kitb al-Masjid wa Mawdi al-Shalh, Bb Tahrm alKalm f al-Shalt wa Nasakha M Kna min Ibhatih, no. hadits 537, h. 266-267; Sunan Ab
Dwud, Kitb al-Shalh, Bb Tastmiya al-Athsy f al-Shalh, no. hadits 795-796, juz 1, h. 232,
Kitb al-Aimn wa al-Nuzr, Bb F al-Ruqya al-Mu minah no. hadits 2856,juz 4, h. 278; Sunan
Nasi, Kitb al-Sahw, Bb al-Kalm f al-Shalh, no. hadits 1203, juz 2, h. 135; Musnad Ahmad, no.
hadits 15108, juz 5, h. 96; Sunan al-Drim, Kitb al-Shalh, Bb al-Nahy an al-Kalm f al-Shalh,
no. hadits 1464, h. 372.
177
binatang ternak patuh pada tuannya. Dia tidak lagi semata-mata dituntut untuk
bekerja. Menurut ajaran Rasulullah saw., budak tidak mesti pasrah jika ditelantarkan
tuannya, dijual seenaknya, dibuang, apalagi dianiaya tanpa perikemanusiaan.
Jadi, Rasulullah saw. telah memberi batasan-batasan tertentu hak-hak tuan
terhadap budak dan kewajiban-kewajiban budak terhadap tuannya. Kalau di zaman
jahiliyah atau di luar Islam, seorang budak benar-benar dimiliki oleh tuannya,
sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa di luar keinginan sang tuan. Dalam Islam,
memang ketaatan seorang budak tetap dituntut, tapi tidak secara mutlak seperti
keadaan sebelumnya. Rasulullah saw. telah memberi kepada seoarang budak berupa
hak suara, mengeluarkan usulan atau pendapat, bahkan hak untuk mengatakan
ketidak setujuannya.
Dalam kasus Ab Dzr73 misalnya, karena mendapatkan perlakuan yang
tidak sesuai dengan keinginannya, budak Ab Dzr mengadukan tuannya kepada
Nabi saw. Perbuatan budak yang tampak tidak patuh seperti ini tidak langsung
disalahkan oleh Rasulullah saw. Bahkan, tindakan itu dianggap sebagai salah satu
kritik membangun dan harus dipertimbangkan. Dengan menolak perlakuan itu, dan
melaporkannya kepada Nabi, akhirnya budak Ab Dzr tersebut (dan budak-budak
lainnya) mendapatkan perbaikan nasib dan kesejahteraan. Sejak saat itu seorang tuan
harus memperlakukan budaknya seperti saudaranya sendiri.
Lebih dari itu, budak bukan hanya diberi hak suara yang bersifat pasif,
kepadanya juga dibukakan peluang berbicara yang sifatnya aktif. Budak bukan
hanya dibolehkan mengusul dan mengatakan pendapat, melainkan juga dibolehkan
menegur dan menasehati tuannya jika sang tuan berbuat kesalahan dalam pandangan
agama.74 Dalam salah satu riwayat dikemukakan bahwa jika seorang budak
Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Itq, Bb al-Abd Ikhwnukum, hadits no. 2545.
Yang dimaksudkan tentu antara budak dan tuannya sama-sama seiman. Nasehat yang
diberikannya pun tidak sembarang dan cenderung subyaktif. Apa yang diusulkan kepada tuannya
73
74
178
menasehati tuannya dan beribadah dengan baik kepada Allah, maka dia akan
mendapatkan pahala dua kali lipat.75
Namun demikian, budak tidak dibenarkan menyangkal, membantah, dan
tidak menerima perintah tuannya jika masih dalam batas-batas kebenaran. Budak
mesti selalu berada pada posisi dasarnya, yaitu sebagai seorang yang berada dalam
kekuasaan sang tuan. Jika keinginan berbeda dengan yang dikehendaki tuannya,
sedang keduanya sama-sama dalam kebenaran, maka budak harus mendahulukan
kehendak tuannya. Namun jika tuannya berada di jalan yang salah sedangkan dia
benar, maka budak tersebut dibolehkan buka suara, bahkan boleh menasehati
tuannya.
Sudah seharusnya budak menjunjung tinggi perintah, garis kebijaksanaan,
serta amanat yang telah ditetapkan sang tuan bagi dirinya. Budak harus mengerjakan
dengan penuh rasa tanggung jawab atas tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Menurut ajaran Rasulullah saw., bukan hanya tuan yang akan mengevaluasi hasil
pekerjaan seorang budak terhadap amanah yang dibebankan kepadanya, tetapi Allah
juga akan meminta tanggung jawabnya. Rasulullah saw. mengingatkan bahwa budak
adalah pemimpin terhadap harta tuannya yang diamanahkan kepadanya, dan dia
akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepercayaan yang diberikan itu. Dalam
tidak hanya dalam konteks perbaikan nasibnya, melainkan harus dalam koridor kebenaran (amar
ma ruf nahy mungkar).
75
Riwayat Ibn Umar berikut menceritakan hal itu:
Dari Abdillah ibn Umar bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya jika seorang budak
menasehati tuannya dan beribadah kepada Allah dengan baik, maka ia mendapatkan pahala dua kali
lipat. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Itq, Bb al-Abd Iz Ahsana Ibdata Rabbahu wa Nasaha
Sayyidahu, no. hadits 2546, juz 2, h. 111; Shahh Muslim, Kitb al-Aimn, Bb Stawb al-Abd wa
Ajruhu Iz Nashaha Li Sayyidihi wa Ahsana Ibda Allah, no. hadits 1664, h. 818; Sunan Ab
Dwud, Kitb al-Adab, Bb M Ja f al-Mamlk Iz Nashaha, no. hadits 4501, juz 3, h. 2911;
Musnad Ahmad, no. hadits 5991, juz 3, h. 256; Muwatha Mlik, Kitb al-Jmi, Bb M Ja f alMamlk wa Hibatihi, no. hadits 1554, juz 2, h. 325.
179
salah satu riwayat Rasulullah saw. menegaskan bahwa kalian semua adalah
pemimpin dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya; Seorang
yang memimpin manusia ia adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas
kepemimpinanny;
Seorang
suami
adalah
pemimpin
keluarganya
dan
ia
76
Dari Abdillah ibn Umar bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Ketahuilah bahwa kalian semua
adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya; Seorang yang
memimpin manusia ia adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya; Seorang
suami adalah pemimpin keluarganya dan ia bertanggungjawab atas kelapemimpnannnya; Seorang
isteri adalah pemimpin dalam rumah tangga dan anak-anaknya dan ia bertanggungjawab atas
kepemimpinannya; dan budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan iapun bertanggung jawab,
semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Lihat
Shahh al-Bukhri, Kitb al-Ahkm, Bb Qawlu Allah Ta l wa Atu Allah wa Atu al-Rasl wa
Uli al-Amri, no. hadits 6605, juz 3, h. 231, Kitb al-Jumah, Bb al-Jumat f al-Qur wa al-Mudni,
no. hadits 844, juz 3, 187; Shahh Muslim, Kitb al-Imrah, Bb Fadhlat al-Imm al-Adl wa
Uqbat al-Jira wa al-Haststu Al al-Rafaq, no. hadits 1829, h. 911; Sunan Ab Dwud, Kitb alKharaj wa al-Imrah, Bb M Ja f Sahmi al-Shaf, no. hadits 2539, juz 4, 239; Sunan al-Tirmiz,
Kitb al-Jihd an Raslillah, Bb M Ja f Th at al-Imm, no. hadits 1628, juz 4, h. 234; Musnad
Ahmad, no. hadits 4266, juz 2, 203.
180
Dari Muhammad ibn Juhadah berkata: Aku pernah mendengar Abu Hazim bahwa ia mendengar Abu
Hurairah berkata bahwasanya Rasulullah saw. melarang mempekerjakan (melacurkan) budak
perempuan. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Ijrah, Bb Kasb al-Bag wa al-Im, no. hadits 2283,
juz 2, h. 52; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Buy , Bb F Kasb al-Im, no. hadits 3425-3427, juz 2, h.
273; Musnad Ahmad, no. hadits 7514, juz 3, h. 278; Sunan al-Drim, Kitb al-Buy, Bb F alNahy an Kasb al-Im, no hadits 2575, h. 857-858.
78
QS. al-Nr (24) : 58.
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah meminta izin kepada kamu budak (laki-laki dan
perempuan) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu pada tiga waktu
(dalam satu hari) yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaianmu di tengah hari,
dan sesudah shalat isya. Itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak pula bagi
mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani kamu, sebagian mereka ada keperluan terhadap
sebagian lainnya. demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu. Dan Allah maha
mengetahui lagi maha bijaksana.
181
79
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung
182
Selain itu, pada surah al-Nis (4): 25 dikatakan bahwa perempuan budak
yang beriman dapat dijadikan sebagai alternatif bagi seseorang yang sudah ada
hasrat untuk menikah dan memelihara kehormatannya, tetapi belum mampu
membiayai hidup keluarganya jika dengan seorang perempuan merdeka. Dalam ayat
itu juga disebutkan bahwa pilihan dijatuhkan kepada budak perempuan beriman
karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara kehormatan, bukan
pezina.80
Dijatuhkannya pilihan kepada perempuan budak itu adalah dalam rangka
menjaga kesucian diri laki-laki tadi. Saat itu, laki-laki tersebut telah didesak oleh
kebutuhan biologis. Dalam hal ini, perempuan budak adalah penyelamat kehormatan
laki-laki. Jika posisinya sebagai penyelamat kehormatan, maka dia juga harus
seorang perempuan terhormat. Dengan kehormatan yang dimilikinya, dia bisa
menjadi pendamping hidup laki-laki terhormat dari kalangan merdeka. Karenanya,
80
Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budakbudak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka
menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan
mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
183
dengan menjaga kehormatan dapat mengangkat derajat seorang budak pada posisi
yang seharusnya diisi oleh perempuan merdeka yang beriman.
Begitu pentingnya menjaga kehormatan, sedangkan perempuan dari segi
fisik adalah lemah, apalagi hidup sebagai budak yang banyak tergantung kepada
kebijakan tuannya, maka Rasulullah saw. menganjurkan peran serta sang tuan untuk
menjaga dan melindungi kehormatannya. Jadi, sebagaimana orang-orang merdeka,
budak juga diwajibkan menjaga kehormatan mereka. Nilai kehormatan seorang
budak tidaklah lebih rendah dibandingkan orang merdeka. Budak juga harus
menjaga kesucian dirinya. Dalam Islam, tuan bukan hanya dilarang melecehkan
kehormatan budaknya, tapi juga diperintah untuk ikut serta menjaga dan
membelanya.
2. Upaya Yuridis
Di antara upaya yuridis yang dilakukan Rasulullah saw. adalah sebagai
berikut:
a. Memberikan Motifasi
Rasulullah saw. sering menyatakan di hadapan sahabat tentang ganjaran
terhadap mereka yang membebaskan budak. Diriwayatkan dari Ab Hurairah ra.
bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memerdekakan
seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya
dari neraka, hingga kemaluannya.81 Pernyataan Rasulullah saw. itu adalah jaminan
81
Dari Ab Hurairah ra. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa
memerdekakan seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya
dari neraka, hingga kemaluannya. Lihat Shahh al-Mukhr, Kitb al-Itq, Bb F al-Itq wa
184
eskatalogis atas mereka yang membebaskan budak. Rasulullah saw. sendiri telah
membebaskan budak sebanyak 63 orang, beliau menjelaskan umurnya dan
menyebutkan namanya masiang-masing. Tindakan tersebut kemudian diikuti oleh
para sahabat beliau. Ab Bkar memerdekakan budak lebih banyak lagi; al-Abbs
memerdekakan 70 orang budak laki-laki; Hkim bin Hizm memerdekakan 100
orang yang dikalungi perak; Abdullah bin Umar memerdekakan 1000 hamba; Dzul
Khalil Humari memerdekakan hamba dalam sehari sebanyak 8000 orang budak;
dan Abd Rahman bin Auf memerdekakan 30.000 hamba sahaya.82
Stimulus Rasulullah saw. tersebut dapat diartikan sebagai gerbang pahala
sekaligus ampunan bagi masyarakat muslim secara individu maupun kolektif yang
dikategorikan berdosa karena mengabaikan hak-hak para budak, dan hanya
menjejali mereka dengan kewajiban-kewajiban. Secara tidak langsung, stimulus di
atas adalah sebagai upaya pengembalian citra budak sebagai manusia yang
mempunyai hak-hak dan kewajiban yang sama dengan manusia merdeka lainnya.
Di bawah hukum, budak tetap memiliki kebebasan oleh bentuk
manumission, bila dikemudian hari terdapat kendala yang mengancam status
barunya. Mengantisipasi bentuk kendala ini adalah pada sikap, situasi dan kondisi
apa pun dalam makna yang terkandung pada ikrar si tuan. Bahwa perkataan ikrar
tuan, baik sengaja atau pun tidak, sungguh-sungguh atau pun main-main, terpaksa
atau kesadaran, sadar atau mabuk, adalah tetap melegitimasi kebebasan budak.83
Beberapa perintah Allah menyatakan bahwa memerdekakan budak adalah
merupakan usaha yang berat, kecuali orang-orang yang mengharap ridla Allah swt.
Fadhlihi, no. hadits 2517, juz 2, h. 106; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Fadhl al-Itq, no. hadits
1509-1512, h. 734; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Nuzr wa al-Aimn an Raslillah, Bb M Ja f
Stawab Man Atqa Raqabatan, nomor hadits 1541, juz 2, h. 472. Musnad Ahmad, no. hadits 10382,
juz 5, h. 232.
82
Muhammad bin Ismal al-Sanni, Subl al-Salm Syarh Bulgh al-Marm, (Mesir :
Musthafa al-Bbi al-Halab wa Aulduh, 1960), juz ke 4, h. 427.
83
Wfi, al-Hurriyyt, h. 32.
185
84
Tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan.
85
Selanjutnya lihat QS. al-Baqarah (2) : 177.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
Itulah orang-orang yang bertakwa.
186
Hal demikian tergambar dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Ibn Umar
berikut ini:
Dari Zadan berkata: Aku pernah mendatangi Ibn Umar sedangkan ia telah membebaskan budaknya,
lalu ia mencabut sebatang kayu atau sesuatu dari tanah sambil berkata: Aku tidak punya ganjaran
yang setara dengan ini. Sebab aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang
menampar atau memukul budaknya, maka kaffaratnya adalah membebaskannya. Lihat Shahh
Muslim, Kitb al-Aimn, Bb Shuhbat al-Mamlik wa Kaffrat Man Lathama Abdahu, no. hadits
1657, h. 714-715; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Adab, Bb F Haqq al-Mamlk, nomor hadits 4500,
juz 3, 116; Musnad Ahmad, no. hadits 3553, juz 2, h. 73.
187
negatif yang serius secara fisik. Tamparan seorang tuan yang penuh dengan emosi
tanpa elakan apalagi perlawanan dari budaknya, akan mengakibatkan kondisi yang
parah, dalam arti kata melewati batas. Peristiwa pemukulan Amir dari Ghassan
terhadap seseorang dari bani Fazarah87 yang mengakibatkan tulang hidungnya retak
contoh historis mengapa standar minimal di atas diberlakukan.
Selain menjadi batas minimal, pukulan atau tamparan juga menjadi standar
minimal atas tindakan preventif terhadap potensi tindak lanjut atas emosi yang
berlebihan. Mengingat bahwa tamparan akan diiringi dengan tendangan dan
kekejaman fisik secara spontanitas tanpa kontrol.
Di masa awal kedatangan Rasulullah saw., penyiksaan oleh orang Arab
Jahiliah terhadap budak telah menjadi catatan hitam dalam sejarah. Bilal dan
keluarga Yasir adalah contoh kongkrit penyiksaan yang dapat berakibat kepada
kematian.88 Kekejaman ini besar kemungkinan masih akan terus terjadi pada masamasa selanjutnya jika seandainya Rasulullah saw. tidak mengambil langkah tegas
untuk mencegahnya.
Bagaimana pun, Rasulullah saw. telah berusaha mencegah kesewenangwenangan tuan terhadap budaknya, apalagi tanpa pertimbangan logis atas
kesalahannya.
Dalam
artian,
Rasulullah
saw.
mencoba
mengekang
dan
mengendalikan emosi para pemilik budak dengan tetap membuka peluang merdeka
bagi budak yang terkena pemukulan. Demikian gambaran singkat yang dapat
dipahami dari hadits yang dikemukakan di atas.
87
88
188
Dari Abi Hurairah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah, seraya berkata: Ya
Rasulullah, celaka daku. Apa yang membuatmu celaka? Ia menjawab: Aku telah menggauli istriku di
bulan Ramadhan. Lalu Nabi bertanya, mampukah kamu memerdekakan budak? Tidak, jawab lakilaki itu. Nabi berkata: mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut? Tidak, jawab laki-laki
itu, Nabi bertanya lagi: mampukah kamu memberi makan kepada 60 orang miskin? Tidak, jawab
laki-laki itu. duduklah, kata Nabi kepadanya. Laki-laki itu duduk. Tidak lama kemudian Nabi datang
189
membawa sekeranjang kurma matang, dan diberikan kepadanya, seraya berkata: Sedekahkan kurma
ini kepada orang miskin di tempatmu. Laki-laki itu menjawab, Ya Rasulullah, tidak seorang yang
paling miskin, kecuali saya. Mendengar jawaban itu Nabi tertawa hingga kelihatan giginya, seraya
berkata: Ambillah dan sedekahkan untuk keluargamu. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Sham, Bab
Iz Jma f Ramadhn wa Lam Yakun Lah Syaiun, no hadits 193-194, juz 4, h. 193; Shahh
Muslim, Kitb al-Shiym, Bb Taglzh Tahrm al-Jim f Nahri Ramadhn al al-Shimi wa
Wujb al-Kaffrt, no. hadits 1110, h. 515; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Sam, Bb Kaffrt Man
At Ahlahu f Ramadhn, no. hadits 2390, juz 2, h. 182; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Sam an
Raslillah, Bb M J a f Kaffrt al-Fithri f Ramadhn, no. hadits 724, juz 1, h. 515; Sunan Ibn
Mjah. Kitb al-Siym, Bb M J a f Kaffrt man Afthara Yauman min Ramadhn, no. hadits
1671, juz 1, h. 534; Musnad Ahmad Ibn Hanbal, no. hadits 6944, juz 11, h. 147; Muwaththa Mlik,
Kitb al-Shiym Bb Kaffrt man Afthara f Ramadhn, no. hadits 582-583, juz 1, h. 192; dan
Sunan al-Drim. Kitb al-Sham, Bb F Allaz Yaqa u al Imraatihi f Syahri Ramadhn Nahran,
no. hadits 1722, h. 508-509.
90
Hal tersebut ditegaskan dalam surat al-Nis (4) : 92:
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya.
91
Muhammad Quthub, Syubht, h.. 52.
190
Di zaman Rasulullah saw., peristiwa seperti itu pernah terjadi. Kasus itu
berkenaan dengan al-Harist bin Yazid dari suku Bani Amr bin Luai bersama Abu
Jahal menyiksa Iyasy bin Abi Rabiah. Ketika al-Harits hijrah bersama Nabi saw.
dan bertemu Iyasy di kampung al-Harrah, Iyasy seketika membunuhnya karenanya
disangkanya ia masih bermusuhan (kafir). Setelah Iyasy menceritakan ini kepada
Rasulullah, maka turunlah ayat ini.92
Pembebasan budak sebagai kaffrat juga terjadi atas pembunuhan dengan
sengaja terhadap kaum kafir yang sedang dalam perjanjian damai dengan kaum
muslimin.93 Selain itu, melanggar sumpah, juga kaffratnya memerdekakan budak.94
Keterangan lain yang dijumpai adalah orang yang men-zihar istrinya kemudian
bertaubat, maka kaffratnya, sebelum rujuk, adalah memerdekakan budak.95
92
93
Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
94
Sebagaimana firman Allah pada surah al-Midah (5): 89 berikut ini:
Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak.
95
Sebagaimana firman Allah pada surah al-Mujdilah (58): 3 sebagai berikut:
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur.
191
merupakan kebiasaan yang populer hingga masa awal Islam. Ini membawa efek
negatif bagi moralitas suku-suku Arab ketimbang tradisi-tradisi lainnya.
Kepopuleran ini menunjukkan bahwa zhihar telah menjadi tradisi yang tersebar di
kalangan bangsa Arab sebagai salah satu warisan di antara warisan negatif lainnya.
Dikatakan negatif karena motif adanya zhihar tersebut adalah adanya niat seorang
suami untuk menceraikan istrinya. Akan tetapi, Islam datang justru memanfaatkan
tradisi ini untuk membebaskan budak. Dengan begitu, volume pembebasan pun akan
sekerap pelanggaran zhihar itu sendiri. Di balik itu ada dua keuntungan yang dapat
diraih sekaligus, yaitu pembebasan budak dan penghapusan tradisi zihar sebagai
suatu perbuatan yang dilarang.
Dari beberapa macam bentuk kaffrat di atas, terlahir dari pelbagai
pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syariat Islam yang tidak hanya terhitung
berat, tapi juga cenderung umum terjadi pada masyarakat luas menjelang
kedatangan Rasulullah saw. Keadaan ini mengakibatkan Rasulullah saw. semakin
bersikap agresif dalam menghapus sistem perbudakan. Dampak dari kebijakan Islam
yang menjadikan pembebasan budak sebagai sangsi kejahatan ialah jika dalam suatu
wilayah kekuasaan Islam budak telah habis dimerdekakan akibat adanya sangsi
tindak pidana, sementara kejahatan pidana itu sendiri belum tentu berakhir, maka
wilayah pembebasan budak akan meluas. Seandainya, pembebasan budak melalui
bentuk sangsi ini diberlakukan dalam rentang perjalanan sejarah Islam, tidak
menutup kemungkinan dunia Islam akan mengimpor budak untuk dimerdekakan
sebagai sangsi terhadap tindak pidana. Sayangnya hal itu belum pernah terjadi.
192
3. Upaya Politik
a. Menukar Tawanan
Tawanan adalah bentuk kongkrit dari akibat peperangan. Selama
peperangan masih belum dapat dihentikan, dan masyarakat dunia belum menjadi
satu umat yang tak terpilah-pilah, maka tawanan tidak akan pernah habis. Ini berarti
potensi dan eksistensi perbudakan melalui jalur ini akan tetap lestari hingga masa
mendatang. Di samping bentuk-bentuk terdahulu, penanganan perbudakan tawanan
perang merupakan tantangan Islam yang harus ditawarkan kepada masyarakat dunia
yang bersengketa.
Ada dua etika yang menjadi acuan pintu pemecahan Rasulullah saw.
terhadap masalah ini yang dapat dijadikan perbandingan atau pemecahan relatif bagi
masyarakat dunia. Pertama, etika peperangan itu sendiri. Kedua, etika penyelesaian
tawanan sebagai bentuk atau metode Islam menghapus sistem perbudakan.
Peperangan di luar Islam hanya bertujuan untuk menyerang, membunuh,
memperbudak atas dasar keinginan suatu bangsa untuk mengalahkan bangsa lain
serta memperluas kekuasaannya, mengeksploir sumber-sumber kekayaan untuk
kepentingan mereka. Atau, untuk mencapai ambisi pribadi yang bergejolak dalam
hati seorang raja atau panglima. Atau, dengan maksud menuntut balas dan tujuan
meterialistis lainnya yang rendah, tanpa motif ingin membebaskan manusia dari
syirik, rendahnya jiwa, akhlak dan mental buruk. Peperangan mereka tidak dibatasi
oleh suatu norma, sehingga seringkali menjadi jalan pemuasan kehormatan dan
perkosaan anak-anak dan orang tua. Ini logis, sebab dasar peperangan di luar Islam
bukan untuk menegakkan keyakinan, ideologi atau tujuan-tujuan lain yang luhur.96
96
Sebagai ilustrasi, peperangan di luar Islam tercermin dari motivasi penyerangan tentara
Mongol ketika menghancurkan Bagdad di tahun 1258 M. Lihat Muhammad Quthub, Syubht, h. 63.
Bandingkan dengan Muhammad al-Khudhariy Beik, al-Muhdirat Trkh al-Umm al-Islmiyya alAbbsiyyah, (Kairo: al-Mathbaat al-Istiqmah, 1945), h. 442-443.
193
97
98
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Beberapa riwayat juga menginformasikan bahwa Rasulullah saw sering kali mewasiatkan kepada
pasukan Islam yang akan membela agama Allah supaya mereka tidak melampaui batas seperti
membunuh anak-anak, merusak fasilitas umum dan lain-lain. Misalnya sabda Rasulullah saw sebagai
berikut:
.... ...
....majulah atas nama Allah, perangilah mereka yang menantang Allah, tapi jangan menghianati,
jangan merusak, dan jangan membunuh anak-anak. Selengkapnya lihat Shahh Muslim, kitb alJihd, no. hadits 3261.
194
99
Lamis atau Lamas Sauw terletak di daerah Galicia atau dekat Tarsus. Lihat Syalabiy,
Timbangan, h. 310; Jurji Zaidn, Trkh al-Tamaddun al-Islm, juz iv, (Cairo: Dr al-Hill, t.th.), h
216.
100
Syalab, Timbangan, h. 238.
195
b. Menebus Tawanan
Pembebasan budak di atas bersifat eksteren. Bahwa seorang budak tidak
dapat membebaskan dirinya kecuali orang lain yang membebaskannya. Selain
bersifat eksteren, dikenal pula pembebasan secara interen, yaitu dengan menebus
tawanan.
Menerima pambayaran materi sebagai tebusan tawanan perang kaum
muslimin adalah bentuk alternatif lain dari pertukaran tawanan dan pemberian jasa
tawanan terhadap kaum muslimin yang juga masuk kategori tebusan.102 Metode ini
merupakan rangkaian etika penyelesaian perang.
Ketika perang Badar usai, Rasulullah saw. memberi jalan pembebasan yang
salah satunya dengan tebusan uang antara 1000-4000 dirham.103 Suhail bin Amr
ditebus oleh Mikraz bin Hafiz dan Abu Ash bin Rabi, suami Zainab binti
Muhammad saw., ditebus oleh istrinya dengan sebentuk kalung pemberian
Khadijah. Tidak berapa lama kemudian, Abu Ash masuk Islam.104 Rasulullah saw.
juga menerima pembayaran penduduk Najran untuk membebaskan tawanan dari
pihak mereka.105
Di atas telah disinggung bahwa penebusan juga merupakan jalan keluar
apabila masih terdapat sisa tawanan perang setelah pertukaran dilakukan. Melepas
101
196
tawanan dengan tebusan telah menjadi keputusan dalam suatu musyawarah tertutup
antara Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar terhadap para tawanan perang
Badar,106 meskipun keputusan ini ditegur oleh Allah swt.107
Ayat di atas sebenarnya adalah dekrit implisit penghapusan perbudakan.
bagaimanapun, larangan untuk menawan musuh yang kalah adalah larangan untuk
membuka perbudakan melalui jalur peperangan. Sekalipun kebijakan Rasulullah
saw. dan para sahabatnya untuk mengambil tebusan ditegur Tuhan, tetapi menarik
untuk dikemukakan bahwa kenapa menebus pasukan muslim yang tertawan tidak
dilarang? Ini menunjukkkan keagungan ajaran Rasulullah saw. yang tidak
mementingkan kehidupan dunia ketimbang terjebaknya seseorang ke dalam sistem
perbudakan.
c. Membebaskan Tawanan
1). Bebas atas Tanggungan Negara
Pembebasan dengan tanggungan negara adalah metode tersendiri dalam
upaya penghapusan perbudakan secara kontitusional dalam sejarah dan hukum
Islam. Biaya tanggungan ini sebagian diambil dari dana zakat, infak, shadaqat yang
berhasil direkrut oleh sistem lembaga108 keuangan negara yang disebut Bait al-Ml.
Dari berbagai sumber zakat yang wajib sampai kepada infaq dan shadaqah yang
106
107
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di
muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
108
Lembaga adalah suatu badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha. Lihat Tim Penyusun, Kamus, h.580.
197
sunnah, menjadikan devisa negara melimpah ruah pada lembaga ini. Tak heran bila
peran Bait al-Ml dalam masyarakat Islam begitu besarnya.
Para buruh dijamin kebutuhan sandang-pangannya, perkawinan dan
transportasinya. Demikian juga orang-orang yang sakit, lumpuh, buta, terlantar,
dipenjara, anak yatim-piatu dan rumah sakit-rumah sakit dengan segala
perlengkapan dan psycho-terapinya.
Seperti ashnaf-ashnaf yang lain, pembiayaan pembebasan budak juga
masuk dalam kalkulasi pendanaan Bait al-Ml sebagai kewajiban atas perintah Allah
swt. yang telah digariskan dalam ketentuan pendistribusian zakat, infak dan
shadaqah. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.109
Delapan ashnaf yang berhak atas zakat. Seperdelapan adalah dana
pembiayaan untuk memerdekakan budak. Bait al-Ml wajib membiayai pembebasan
budak atau mereka yang terlibat dalam proses muktabah.
Di masa Khalifah Umar bin Abd. Aziz pernah terjadi peristiwa pembebasan
budak secara besar-besaran di Afrika. Ketika Yahya bin Said diperintahkan untuk
mengumpulkan zakat, ia tidak menemukan kemiskinan pun di sana karena
kemakmuran pemerintahan Umar. Kemudian dana itu dibelikan sejumlah budak
109
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
198
110
199
111
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah
(merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak,
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah,
Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
115
Menurut al-Suyuthi, Rasulullah saw. pernah menegur Abdullah bin Ubay yang telah
menyuruh kedua jariatnya, Masikat dan Aminah, untuk melacur, yang kemudian hasilnya akan dibagi
200
.... ...
...dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka
sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi....
116
Menurut Fachruddin, izin menggauli sahaya sebenarnya adalah suatu upaya
pembentukan manusia masyarakat, sedang manusia keluarga dibentuk melalui perkawinan yang
formal. Adapun anak yang lahir tetap mendapat hak yang sama dengan yang lainnya. Ini sebagai
upaya perlindungan terhadap hamba sahaya guna perkembangan masyarakat Islam. Selanjutnya Lihat
Fachruddin, Islam Bicara, h. 80.
117
Teknis pemerdekaan seperti ini adalah dengan pengakuan Syaddad terhadap Antarat
sebagai anaknya yang sah. Lihat Syalab, Perbandingan, h. 242.
201
untuk membebaskan budak dan keturunannya dari perbudakan. Hikmah yang lahir
kemudian adalah pemerdekaan bebarapa budak dalam waktu yang singkat. Di sisi
lain, timbul perlindungan atas kesucian dan keamanan budak perempuan dan
keturunannya. Kembalilah harakat dan martabat kemanusiaannya di tengah-tengah
masyarakat.
202
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher
mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu
kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah
apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji
sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah,
Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.
203
Lebih dari itu, penafsiran mutakhir telah menyimpulkan bahwa ayat ini
sudah merupakan kunci penutup terhadap pintu perbudakan. Perintah melepas
tawanan perang dengan atau tanpa syarat merupakan indikasi telah berakhirnya
perbudakan. Sebab peperangan adalah satu-satunya pintu perbudakan yang masih
memungkinkan.
Lihat Taufiq Ali Wahbah, al-Jihd f al-Islm, terj, Abu Ridha, Jihad dalam Islam,
(Jakarta: Media Dakwah, 1985), h. 169.
204
yang telah mapan berjalan. Apalagi gandum sebagai bahan makanan pokok
kebanyakan bangsa Arab. Sedangkan merampas hartanya berarti telah menanamkan
kebencian dalam diri orang yang berpotensi menjadi pembela Islam itu.
Dengan
syarat. Pertimbangan inilah di antara sebab simpatik Tsumamah untuk masuk Islam
dan teguh membelanya. Larangan untuk balas dendam dengan embargo gandum,
adalah poin berharga untuk bertambahnya rasa simpatik. Namun, tidak berarti hanya
kepada yang kaya Islam berperilaku demikian. Mereka yang tak berharta pun tetap
dapat diperlakukan sama.
Adalah Abu Azza Amr bin Abdullah bin Umair al-Jumahi, seorang
penyair yang tertawan dalam perang Badar. Ia satu-satunya orang yang dibebaskan
atas permintaan dan janjinya untuk tidak memerangi dan mencaci Islam dengan
syairnya. Walau kemudian janjinya dilanggar dengan ikut berperang di Uhud. Ia
tertawan dan dibunuh.123 Sementara yang tidak memiliki apa-apa dibebaskan dengan
kemurahan hati Rasulullah saw.124 Dengan demikian, tidak ada tawanan yang tersisa
karena dengan alasan apa pun mereka dibebaskan selama tidak membahayakan.125
Etika seorang pemimpin yang adil akan tetap menghargai orang yang
dikalahkannya dan milik pribadi mereka, berarti si pemimpin menghargai hak
miliknya sendiri. Setelah musuh meletakkan senjata dan menyerahkan diri, sudah
tidak dianggap lagi sebagai musuh. Mereka telah menjadi manusia biasa dan si
pemenang tidak lagi mempunyai hak atas nyawa mereka (musuhnya). Perang tidak
memberikan suatu hak untuk melakukan tindakan di luar sasaran pokoknya.126
Surat al-Anfl (8): 67, Allah swt. menjelaskan bahwa tidak patut, bagi
seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di
123
124
205
muka bumi, karena kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah
menghendaki pahala akhirat.127 Keterangan ini menegaskan bahwa Rasulullah saw.
dilarang untuk menawan. Dalam pengertian, bahwa penawanan itu tidak sampai
kepada memperbudak karena telah terbukanya jalan untuk membebaskan dengan
atau tanpa tebusan. Jadi, solusi Islam terhadap para tawanan perang adalah
pembebasan dengan tebusan berupa pertukaran, tebusan materi atau pemberian jasa
maupun tanpa tebusan apa pun sebagai ampunan. Itulah sebabnya, tidak terdapat
desposisi dari hadits-hadits Rasulullah saw. yang merekomendasikan keabadian
tawanan, apalagi sampai memperbudak tawanan.
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di
muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
206
dan ancaman-ancaman terhadap kebebasan dan martabat manusia justru muncul dari
masyarakat modern.
Memang benar bahwa secara resmi perbudakan di Eropa telah dihapus oleh
Revolusi Perancis, di Amerika dengan dekrit Abraham Lincoln, dan di dunia dengan
kesepakatan bangsa-bangsa. Tetapi, apakah sejak itu tidak ada lagi praktek
perbudakan? Atau perbuatan yang bentuknya lain tapi substansinya tidak berbeda
dengan perbudakan di zaman klasik? Ini pertanyaan mendasar yang mesti dijawab
dengan penuh kejujuran.
Banyak terdengar kisah yang memilukan tentang perbudakan di zaman
romawi kuno, tapi cerita yang sama juga masih didendangkan oleh manusia abad ini.
Para tawanan perang atau agresi militer ditanam setengah badan ke tanah tanpa
diberi makan dan minum, wanita-wanita diperkosa, perut-perut hamil dirobek hanya
untuk sebuah permainan tebakan apakah anak yang ada di dalamnya laki-laki atau
wanita. Barat yang katanya paling beradab di abad ini bertindak sewenang-wenang
terhadap umat Islam yang ada di Afganistan, Palestina, Bosnia dan lain-lainnya.
Jutaan umat Islam dibantai, ratusan wanita diperkosa dan dipaksa melahirkan anak
haram mereka, wanita hamil dibedah perutnya dengan kejam tanpa alasan, sumbersumber kehidupan mereka ditutup, tempat tinggal mereka diratakan dengan tanah,
mereka dipaksa melakukan pekerjaan berat dan sebagainya. Ini semua adalah
perbudakan, yang bahkan lebih telanjang dan kasar.
Berkaitan dengan itu, Mahmud Syalthut mengemukakan dalam bukunya alIslm: Aqdah wa Syarah128
tempatnya oleh perbudakan masa kini yang lebih berbahaya terhadap kemanusiaan,
yakni perbudakan terhadap bangsa-bangsa dalam pikiran-pikiran mereka, harta
mereka, kekuasaan, dan kemerdekaan negara mereka. Dahulu, perbudakan
Lihat Mahmud Syalthut, al-Islm: Aqdah wa Syarah, (Kairo: Dr al-Qalm, 1966), h.
128
377.
207
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir Atas Surat-Surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 814.
129
208
mereka merupakan salah satu bentuk al-aqabah, atau jalan mendaki yang
membutuhkan perjuangan.
Senada dengan pendapat di atas, Ali Shariati, seorang sosiolog muslim
syiah yang gigih menentang Syah Iran, mengatakan, saya menyaksikan jenis
perbudakan lain yang sedang dipraktekkan di pusat-pusat intelektual Eropa,
Cambridge dan Sorbonne. Budak-budak yang diperdagangkan di sana bukannya
manusia-manusia primitif dari rimba raya Afrika, akan tetapi adalah kaum
intelektual yang pintar di muka bumi. Mereka diletakkan dalam suatu pelelangan
untuk suatu harga yang tinggi. Sebenarnya mereka sendirilah yang menawarkan diri
untuk dilelang di hadapan barisan kapitalis, agen-agen korporasi, dan perusahaanperusahaan raksasa dari Amerika Serikat, Eropa, Cina, Rusia dan bagian lain di
dunia industrial. Seseorang mengatakan bahwa dia sanggup membayar sarjana yang
baru lulus, calon doktor, ahli kimia, insinyur, atau sosiolog dengan 15.000 toman
perbulan. Calon tuan lain mengatakan bahwa dia sanggup menyediakan kendaraan
pribadi. Sedangkan yang lainnya menjanjikan sejumlah uang di atas itu, kendaraan
dan sopir pribadi. Budak modern yang dijadikan sasaran tawar-menawar akan
melihat calon tuannya terlebih dahulu, termangu-mangu sebentar, dan kemudian
akan mengikuti tuannya yang memberikan bayaran tertinggi.130
Dalam komentarnya, Abdullah Yusuf Ali juga mengatakan bahwa
perbudakan itu bukan hanya seperti yang terlihat pada zaman dahulu. Pada masa
sekarang terdapat berbagai macam jenis perbudakan (slavery), seperti perbudakan
politik, industri dan sosial.131 Dengan ungkapan berbeda, Muhammad Quthub
mengakui bahwa perbudakan belum berakhir, tapi hanya berganti nama saja. Jika
masa lalu manusia masih jujur berbahasa, dengan mengatakan bahwa realitas
130
Ali Syariati, Man and Islam, terjemahan M. Amin Rais dengan judul Tugas
Cedekiawan Muslim, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 96-97.
131
Abdullah Yusuf Ali, The Glorius Kur an Translation and Commentary, (Beirt: Dr alFikr, t.th.), h. 1739.
209
Muhammad Quthub, Syubht Hawla al-Islm, (Beirt: Dr al-Syurq, 1393 H./ 1973
M.), h. 52.
210
tidak bisa pulang karena seluruh perbekalan keuangan telah disikat habis oleh sang
tuan yang telah raib entah kemana.133
Gadis-gadis ditangkap di desanya, layaknya seorang pemburu menangkap
buruannya di tengah hutan, kemudian dijual kepada seorang germo. Mereka
dipekerjakan sebagai pelacur, disekap seperti tawanan yang diawasi para tukang
pukul, dan diberi gaji yang tidak lebih dari pembeli alat-alat kosmetik. Ada juga
sebagian oknum yang menangkap bocah-bocah yang lepas dari pengawasan orang
tuanya. Bocah itu dijual kepada kelompok penadah dan diteruskan kepada orangorang yang ingin membeli anak.
Berkaitan dengan itu, M. Amin Rais mengatakan bahwa sesungguhnya
kalau kita mau jujur, kita menyaksikan perbudakan yang lebih canggih, tidak kasat
mata tapi intinya perbudakan. Pada umumnya di Negara berkembang terjadi
eksploitasi yang tidak tampak tapi tajam, yaitu eksploitasi manusia atas manusia.
Tenaga Kerja Wanita (TKW) itu jelas perbudakan; demikian Amin menegaskan.134
Kaum wanita dikirim ke luar negeri dan masuk ke sebuah rumah seorang majikan
tanpa ada perlindungan apa-apa, sehingga yang terjadi adalah perbudakan modern.
Kalau budak dulunya diangkut dengan gerobak, tapi sekarang diangkut dengan
Boing 747, sistem pembayarannya pun melalui cek dan lain-lain yang dulunya tidak
ada tapi intinya perbudakan.
Di dalam ILO, organisasi buruh internasional tidak ada pasal dan undangundang perburuhan internasional yang melindungi pembantu rumah tangga (PRT),
jadi mereka tanpa proteksi. Sehingga kalau majikannya mencambuki, bahkan
133
Praktek ini memiliki banyak kemiripan dengan cara yang digunakan di masa jahiliyah.
Mulai dari penangkapan, penjualan, dan perlakuan dari sang tuan.
134
M. Amin Rais, Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan, (Bandung: Mizan,
1998), h. 121.
211
dapatkan dari perusahaan yang meraup untung besar tempat mereka bekerja?
Banyak dari mereka yang gajinya tidak lebih untuk biaya makan seadanya, rokok,
transportasi, dan menyewa tempat tinggal sederhana. Tulang iga pekerjanya itu
mencuat karena kurang makan dan wajahnya pucat karena kurang gizi. Bahkan ada
yang tidak betah melanjutkan pekerjaan karena tidak sanggup menutupi kekurangan
pendapatan setiap bulannya.
Dalam banyak kasus komplik sosial, tragedi kemanusiaan tetap saja
muncul. Hak hidup ratusan orang tak berdosa telah terampas begitu mengerikan.
Nilai-nilai kemanusiaan sudah tidak lagi memiliki ruang dalam berbagai kasus.
Terhadap perempuan misalnya, selalu saja menjadi korban yang memprihatinkan,
baik dalam bentuk pelecehan, kekerasan, maupun pemerkosaan. Sebagai contoh,
pada peristiwa Mei 1998 perempuan minoritas mengalami multiple discrimination
yang berujung pada pelecehan dan kekerasan seksual.136 Perempuan semakin banyak
menempati posisi termiskinkan (feminization of poverty) di kantong-kantong
kemiskinan. Akibatnya, banyak perempuan pencari nafkah utama bagi keluarganya,
seperti yang menimpa Tenaga kerja Wanita (TKW).137 Bahkan banyak yang
meninggal secara misterius tidak diketahui penyebabnya.138
135
212
bekerja di tempat-tempat marginal, sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak dan tukang
masak. Namun keberadaan mereka di luar negeri itu tidak mendapatkan perlindungan hukum yang
memadai. Lihat A. Made Tony Supriatna, 1996: Tahun Kekerasan, potret Pelanggaran HAM di
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997), h. 248-249.
138
Menurut catatan sebuah LSM di Jakarta, Solidaritas Perempuan, sepanjang tahun 19931996, tercatat 10 (sepuluh) orang TKW Indonesia yang mengalami kematian misterius di luar negeri.
Mereka adalah Neneng Wardiati asal Yogyakarta di Singapura tahun 1993, Ecin Nuraesih asal
Sukabumi di Arab Saudi tahun 1993, Daroyah asal Yogyakarta di Singapura tahun 1994, Neneng asal
Karawang di Arab Saudi tahun 1993, Tri Hastuti asal Banyumas di Singapura tahun 1995,
Munadhirah asal Kendal di Malaysia tahun 1995, Darhayati asal Banyumas di Singapura tahun 1996,
Boniwati asal Banjarnegara di Malaysia tahun 1996, Enti Binti A. Yadi asal Karawang di Arab Saudi
tahun 1996, Murtini Binti Murdin asal Cianjur di Arab Saudi tahun 1996. Lihat Tony Supriatna,
1996: Tahun Kekerasan, h. 249.
139
Muhammad Quthub, Syubht, h. 54.
140
Sayyid Quthub, al-Mustaqbal li Hdz al-Dn, (ttp, Maktabah Wahdah, 1965), h. 14-15.
213
142
4004.
144
214
membangun kembali sebuah tatanan masyarakat baru yang tidak mengenal kelaskelas sosial sebagai pengejewantahan seruan bahwa sesungguhnya manusia itu sama
seumpama gigi sisir, sebagai yang diibaratkan Rasulullah saw. Sebab, dalam sebuah
proyeksi pembebasan yang dibangun oleh Rasulullah saw. faktor manusia dan
struktur sosial adalah dua komponen yang harus dirubah. Perubahan sebagai sebuah
proses, yang pertama kali dilakukan adalah menyentuh pribadi-pribadi sebagai
subyek sekaligus obyek, kemudian dilanjutkan pada upaya perubahan sosial yang
opresif. Sinergi yang terjalin antara manusia dan pranata sosial adalah perubahan
mentalitas, budaya dan pemikiran manusia. Sedangkan perubahan tatanan sosial
lebih diorientasikan bagi perubahan sistem dan tata laksana yang melandasi fungsifungsi pranata sosial yang telah ada ataupun yang akan dibangun. Dengan demikian,
seorang muslim yang telah bersyahadat seharusnya telah mempu mewujudkan
kebebasan akal dan kehendaknya, mampu mewujudkan sebuah tatanan sosial yang
adil, dan kesaksiannya bahwa Muhammad Rasulullah saw. telah berhasil
mewujudkan tatanan sosial yang adil itu.145
Bahkan menurut Asghar Ali Engineer, ajaran tauhid tersebut menjadi acuan
Rasulullah saw. dalam gerakan dakwahnya. Karena itu penolakan kafir Quraisy
terhadap Islam, bukan ketidakpercayaan kepada kebenaran Islam, akan tetapi misi
pembebasan yang dikandungnya. Sebab misi revolusioner tersebut akan mengancam
eksistensi mereka yang menghina fakir miskin, menindas para budak, menghalalkan
riba, menopoli perdagangan, dan mempertahankan status quo guna melanggengkan
kepemilikan kapital.146
Jadi, esensi dakwah Rasulullah saw. adalah membebaskan manusia dari
penghambaan kepada selain Allah swt. Karena bertuhan kepada selain Allah akan
145
215
147
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
148
Ashgar, Islam dan, h. 8.
216
149
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disertasi ini membuktikan ketidakbenaran kesimpulan yang mengatakan
bahwa Islam melegalkan perbudakan. Setelah mengungkap bagaimana konsep yang
diterapkan Rasulullah saw. dalam menghadapi sistem perbudakan, dapat
disimpulkan bahwa Islam tidak melegalkan perbudakan. Bahkan, Rasulullah saw.
telah melakukan reformasi sosial terhadap sistem perbudakan. Status hamba sahaya
pada masa Rasulullah saw. tidak lagi sama dengan status mereka sebelumnya.
Mereka telah mengerti hak dan kewajibannya, mereka telah bebas bergerak,
bersuara, bahkan bebas menentukan nasib dirinya.
Kesimpulan yang hampir sama juga pernah dikemukakan antara lain oleh
Muhammad Quthub.
dipahami secara keliru oleh beberapa kalangan sehingga pengertian yang mereka
peroleh bertolak belakang dengan maksud Islam yang sebenarnya. Ajaran yang
disalahpahami itu antara lain masalah perbudakan; Sayyid Ameer Ali mengatakan,
anggapan sebahagian orang bahwa Islam melegalkan perbudakan muncul karena
dipicu oleh ketidakpekaan terhadap substansi ajaran Islam, sejarah sosial masyarakat
Arab sebelum kedatangan Rasulullah saw., dan kegagalan kaum muslimin
menjelaskan masalah perbudakan; Abdullah Nashih Ulwan berkesimpulan bahwa
Rasulullah saw. sebenarnya telah mengeringkan semua sumber perbudakan kecuali
218
perang syar i; bahkan telah berhasil memerdekakan budak melalui aneka sarana
yang progresif dengan prinsip-prinsip hukum yang cemerlang.
Jika diteliti secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa salah satu misi
Rasulullah saw. adalah pembebasan. Yaitu pembebasan manusia dari segala macam
tirani dan sistem yang diskriminatif, termasuk perbudakan; karena tidak sesuai
dengan fitrah manusia. Gerakan pembebasan Rasulullah saw. tersebut memiliki
basis teologis, pembebasan teologis tujuannya adalah terbebasnya manusia dari
ketundukan kepada sesama hamba dan terbebasnya manusia dari ketundukan kepada
hawa nafsu. Yang disebut pertama adalah pembebasan masyarakat dari aturanaturan tidak manusiawi, kepada aturan yang sesuai dengan kodrat kemanusiaan.
Sementara pembebasan yang kedua adalah pembebasan diri. Yakni pembebasan
manusia dari dominasi dan kecenderungan kebinatangan yang ada dalam diri mereka
sekaligus membuka katup kebebasan dan potensi Ilahiyah. Karena itu konsep
pembebasan Rasulullah saw., tidak dapat dilepaskan dari konsep tauhid. Sebab,
tauhid tidak sebatas pengakuan atas keesaan Allah, namun tauhid adalah
pembebasan manusia dari semua belenggu dalam bentuk apa pun.
Perilaku
perbudakan, telah
memperbudak
dan
segala
usaha
untuk
melanggengkan
219
220
Misalnya,
membebaskan
tawanan
dengan
tanggungan
negara,
membebaskan melalui jalur nasab, membebaskan karena jasa, atau dengan menukar,
menebus tawanan perang, bahkan banyak yang dibebaskan tanpa syarat.
Setelah para hamba sahaya mendapatkan hak dan kewajibannya, dengan
sendirinya status mereka tidak lagi sama dengan yang mereka terima sebelumnya.
Kalau sebelumnya mereka bekerja dengan penuh tekanan dan penyiksaan serta tidak
mendapatkan upah dari hasil kerjanya, sekarang ia bekerja dalam keadaan aman dan
diberi upah sesuai hasil kerjanya. Kalau dulunya mereka dipanggil dengan panggilan
yang tidak manusiawi, sekarang mereka dipanggil dengan panggilan penuh kasih
sayang. Kalau dulunya mereka diberi makan dari makanan tidak layak saji, sekarang
mereka diberi makan bahkan diberi pakaian sama dengan yang dimakan dan dipakai
tuannya. Karena itu hamba sahaya pada zaman Rasulullah saw. tidak ada bedanya
dengan orang upahan zaman sekarang. Mereka bebas bergerak, bersuara, bahkan
bebas menentukan nasib dirinya. Tegasnya, hak-hak budak pada zaman Rasulullah
221
saw. tidak berbeda dengan hak-hak para buruh, karyawan, pelayan (khdim) dan
sejenisnya. Hal demikian terjadi karena relasi antara tuan dan budaknya sudah
merupakan proses timbal balik, take and give. Keduanya saling memiliki hak dan
kewajiban. Budak berkewajiban menjalankan pekerjaan yang diharapkan tuannya,
sedang tuan berkewajiban memberikan imbalan dan upah kepada sang hamba.
Sekalipun demikian, di zaman kontemporer ini perbudakan masih memiliki
implikasi dalam kehidupan masyarakat. Perbudakan masa lampau berbeda dengan
perbudakan masa kini. Kalau masa lampau perbudakan secara jujur diakui
keberadaannya, tapi di zaman sekarang perbudakan dianggap sudah tidak ada,
namun kenyataan menunjukkan bahwa perbudakan justru muncul di tengah-tengah
orang yang mengklaim perang terhadap perbudakan. Ini berarti, secara sistemik
perbudakan sudah tidak diakui, tetapi secara subtantif perbudakan masih langgeng.
B. Implikasi
Ada sejumlah implikasi penelitian yang bisa diajukan dalam tulisan ini.
Implikasi-implikasi itu antara lain:
1. Berdasarkan hasil penelitian terhadap hadits-hadits perbudakan di atas, yang
menjadi tuntutan masa kini adalah adanya perumusan dan definisi yang menjadi
kesepakatan mengenai istilah perbudakan. Kekeliruan memaknai perbudakan
akan membawa dampak negatif terhadap Islam. Sebab, sasaran pembebasan
Rasulullah saw. tersebut tidak terbatas hanya pada aspek syariatnya saja. Kalau
hanya itu yang dimaksudkan, maka langkah yang ditempuh Rasulullah saw.
telah menutup semua pintu ke arah itu. Namun lebih dari itu yang menentukan
adalah arah pembebasan Rasulullah saw. terhadap aspek batiniah seseorang.
222
Aspek batiniah ini yang berlangsung sepanjang sejarah kemanusiaan kapan dan
di mana manusia itu berada.
2. Untuk menghilangkan anggapan yang keliru bahwa agama yang dibawa oleh
Rasulullah saw. itu melegalkan bahkan melembagakan perbudakan, diperlukan
jawaban yang memadai. Salah satu cara adalah dengan kembali mengkaji
sumber rujukan agama tersebut. Dalam hal ini salah satu rujukannya adalah
hadits. Sebab hadits adalah rekaman ucapan dan pengamalan praktis Rasulullah
saw. dalam berbagai hal; termasuk masalah perbudakan. Dengan berbagai sebab,
pengkajian terhadap hadits (khususnya matan), memerlukan beberapa disiplin
ilmu. Disiplin ilmu dimaksud adalah yang berkaitan dengan pengembangan
kaedah minor dalam kajian matan hadits. Misalnya, telaah historis, antropologis
dan rasionalis. Khususnya terhadap hadits-hadits perbudakan, prinsip-prinsip
dasar ajaran Rasulullah saw. tidak boleh diabaikan. Prinsip-prinsip dasar itu
adalah prinsip kemanusiaan, prinsip kebebasan, prinsip persamaan dan prinsip
keadilan. Semua itu dilakukan demi mengoptimalkan kajian terhadap haditshadits perbudakan.
3. Di zaman sekarang, banyak tema hadits yang memerlukan penjelasan-penjelasan
(syarah-syarah) baru dengan menggunakan bahasa yang populer dan sejalan
dengan logika masa kini, agar lebih mudah mencapai tujuan. Yakni mampu
menyingkap dan meluruskan kepahaman yang bertentangan dengan konsep
dasar ajaran Islam. Karena itu, diperlukan sebuah rekonstruksi pemikiran yang
memiliki basis argumentasi yang berlandaskan al-Quran dan hadits Rasulullah
saw. Namun karena penelitian ini sifatnya masih dasar, diharapkan adanya
kajian lanjutan yang semakin memperkaya dan menguatkan ataukah mungkin
membantah argument yang telah dikemukakan dalam disertasi ini.
4. Jika di masa sekarang al-Quran ditafsirkan dengan memakai sejumlah disiplin
ilmu sehingga terasa mampu berbicara langsung kepada rasionalitas masa kini,
223
pekerjaan
untuk
membangun
kembali
peradaban
muslim
224
tidak elastis, penulis menilainya bahwa semua itu adalah kesalahpahaman atau
ketidak mampuan kita dalam menyelami maksud dari pesan agama tersebut.
Wallhu Alam bi al-Shawb.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur n al-Karm
Ali, Abdullah Ysuf, The Glorious Kur an Tranlation and Commentary Beirt:
Dr al-Fikr, tth.
Azami, M.M., Studi in Early Hadith Literature, diterjemahkan oleh Ali Mustafa
Yaqub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1994.
Abdullah, M. Amin, Studi agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Abdurrahman, Aisyah, Tafsir Bintusy-Syathi, terjemahan Mudzakkir Abdul Salam
dari al-Tafsr al-Bayn li al-Qur n al-Karm, Bandung: Mizan, 1996.
Ab Dwud, Muhammad al-Azad Al-Sijistn, Sunan Ab Dwud, Beirt: Dr alFikr, t.th.
Ab Hayyn, Muhammad bin Ysuf al-Syuhair, al-Andals, Tafsr al-Bahr alMuhth, Beirt: Dr al-Fikr, 1983.
Ahmed, Akbar S. Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Societ,
terjemahan Zulfahmi Andri dengan judul Membedah Islam, Bandung:
Pustaka, 1997.
Ali, A. Mukti, Muslim Biladi dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, Jakarta: CV.
Haji Masagung, t.th.
Ali, Maulana Muhammad, Islamologi (Dinul Islam), terjemahan M. Bahrum,
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, tth.1
Ali, Syed Ameer, The Spirit of Islam, A History of The Evaluation an Ideals of Islam
with a Life of Prophet, New Delhi: Idrah al-Adabiyyah Delhi, 1978.
Al-Suythi, Jall al-Dn Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayatayat al-Qur an, terjemahan Qamaruddin Saleh dkk., Bandung:
Diponegoro, 1994.
Amin, Ahmad, Dhuh al-Islm, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1973.
226
227
Engineer, Ashgar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Esposito, John L. The Islamic Treat: Mity or Reality? Bandung: Mizan 1994.
--------, dalam Islam and politics 1985. edisi Indonesia Islam dan Politik, Jakarta:
Bulan Bintang, 1990.
Fachruddin, Fuad Mohd, Islam Berbicara Masalah Perbudakan, Jakarta: Mutiara,
1981.
Fris, Ab al-Fayd Muhammad Ibn Muhammad Ibn Al, al, Jawhir al-Usl f Ilm
al-Hadts al-Rasl, Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
Farmwi, Abd. Hayy. al, al-Bidya f al-Tafsr al-Maudh, Mesir: Maktaba alJumhriyyah, 1977.
Farqi, Isml, al, Islam and Human Right. Islamic Quarterly, vol. 27, 1983.
228
Forsythe, David P., Human Rights & World Politic, 1993. edisi Indonesia, HakHak Asasi Manusia dan politik Dunia. Bandung: Angkasa, 1993.
Ghafur, Maryono Abdul, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks,
Yogyakarta: el SAQ, Press, 2005.
Gharisah, Ali, Kehormatan dan Hak: Studi Kritis atas Teori Hak-Hak Azasi
Manusia, terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, Yogyakarta: Pustaka AlKautsar, 1986.
Ghazalba, Sidi, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi Sosiografi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1976
Gibb, HAR, Islam dalam Lintasan Sejarah, terjemahan Abusalah, Jakarta: Bhatara
Karya Aksara, 1983.
Golziher, Ignaz, Muslim studies, terjemahan C.R. Barber dan S.M.Stern London:
George Allenand Unwin, 1971.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Riset, Yokyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi Umum UGM., 1977.
Hafid, M. Radhi, al, Metode-metode Penelitian Agama, Makassar: Berkah, 1991.
Haikal, Ahmad Muhammad Husain, Hayt Muhammad, al-Qhirah: Matbaat alMisra Syirkat Musahamat Mishriyyah, 1945.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994.
--------, Tasawuf Modern, Jakarta: Panjimas, 2003.
Hanafi, Hasan, Dirsa al-Islmiyyah, Kairo: Maktabat al-Mishriyah, tt.1
Harsojo, Pengantar Antropologi, Jakarta: Bina Cipta, 1984.
Hayt al-Mishriyyat al-Ummat li al-Talf wa al-Nasyar, al, Mu jam Alfz alQur n al-Karm, Mesir: al-Hayt al-Mishriyyah, 1970.
Herskovits, Melville J., Cultural Anthropolgy, New York: Alfred A Knoft, 1955.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, tenth edition, New York: Corlear Boy Club
Lake Champlain, 1970.
Hobohm, M. Aman, Islam dan Masalah Rasial, dalam Altaf Gauhar (ed.),
Tantangan Islam, Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1983.
Hourgronje, Snouck, Perbudakan, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hourgronje,
Jakarta: INIS, 1997
229
Howard, Michael C., Contemporary Cultural Antropology, USA: Little Brown and
Company, t.th.
Husain, Thaha, Janji Allah, terjemahan A.Mukti Ali, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Husnan, Ahmad, Gerakan Inkar al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta: Media
Dakwah, 1980.
Ibn al-Astr, al-Jurzi, Imam al-Mubarak bin Muhammad, Jmi al-Ushl f Ahdts
al-Rasl, Beirt: Dr al-Fikr, 1983
Ibn Hajar, al-Asqaln, Syihb al-Dn Ab al-Fdl Ahmad bin Al Nuzha alNazhar Syarh Nukhba al-Fikr. Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th.
--------, Fath al-Bri, t.tp.: Dr al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyyah, t.th.
Ibn Hanbal. Ab Abdillah Ahmad, Musnad Ahmad Ibn Hanbal. Beirt: Dr alFikr,1976.
Ibn Katsr, Ab al-Fid al-Hfiz, al-Dimasyq, Tafsr al-Qur n al-Azhm, Beirt:
Dr al-Fikr, 1412 H./ 1992 M.
--------, al-Bidya wa al-Nihyah, Beirt: Dr al-Fikr, 1978
Ibn Khaldun, Abd al-Rahman, Muqaddimah, Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1979.
Ibn Mjah, Ab Abdillah Muhammad ibn Yazd, al-Qazwin, , Sunan Ibn Mjah.
Beirt: Dr al-Fikr, t.th.
Ibn Manzhr, Ab al-Fdhl Jaml al-Dn Muhammad bin Makrum, Lisn al-Arab,
Beirt: Dr al-Fikr, 1994.
Ibn Rusyd, Ab al-Wald Muhammad bin Ahmad, Andals, Bidya al-Mujtahd
wa Nihya al-Muqtashid, t.tp. Dr al-Fikr, tt.
---------, al-Jmi Li Ahkm Al-Qur n, Kairo: Dr al-Kitb al-Arab, 1967.
Ibn Shalh, Ab Amar Utsmn bin Abd al-Rahmn. Ulm al-Hadts, Madinah alMunawwarah: al-Maktab al-Ilmiyyah, 1972.
Ibn Taimiyah, Taqi al-Dn, al-Tafsr al-Kabr, ditahkiq oleh Abd al-Rahman
Amirat, Beirt: Dr al-Fikr, tth.
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma ani alHadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta
: Bulan Bintang, 1994.
230
--------, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema
Insani Press, 1995.
--------, Kaedah Kesahihan Sanad hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu sejarah, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
--------, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Ismail, Muhammad Bakri, Dirsat f Ulm Al-Qur n, Kairo: Dr al-Manr, 1991.
Jameelah, Maryam, Islam dan Orientalisme: Suatu Kajian Analitik, terjemahan.
Machnun Husain, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
James, Hastings, (ed.), Slavery, in Enciclopedia Religion and Ethics, vol. xi, New
York: Charles Scribners Sons, t.th.
Jawbi, Muhammad Thhir, al, Juhd al-Muhaddisn f Naqd al-Matn al-Hadts alNabaw al-Syarf, t.tp. : Muassasat Abd al-Karm ibn Abdillah, t.th.
Jazir, Abu Bakar Jabir, al, Minhjul Muslimn Muamalah alih Bahasa Rachmat
Djatnika dan Ahmad Sumpeno, Pola Hidup Muslim. Bandung: Rosda
Karya, 1991.
Jazar, Iz al-Dn bin al-Atsr bin al-Hasn Ali bin Muhammad, al, Usd alGhbah f Ma rifat al-Shahbah, Beirt: Dr al-Fikr, tth.
Kelly, Gail M., Antropologi dalam Bertz F. Hoselitz, A Readers Guide to the
Social Sciences, terjemahan Ahmad Fedyani dengan judul Panduan
Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali, 1988.
Khairallah, C.F. Shereen, The Islamic Liberation Party, Search for The Lost Ideal
dalam CEMAH Report. Beirut Dar El-Mashreq, 1975.
Khlid, Khlid, Muhammad, Rijl Haula al-Rasl, Qhirah: Dr al-Muqthan, 1415
H/ 1994 M.
Khatb, Muhammad Ajjj, al, Ushl al-Hadts Ulmuhu wa Mushthalhuh. Beirt:
Dr al-Fikr, 1989.
Khzin, Alauddin Ali Ibn Muhammad, al, Tafsr al-Khzin / Lubb al-Ta wl F
Ma ni al-Tanzl, Beirt: Dr al-Marif, tth.
Khurbuthli, Ali Husni, al, al-Rasl f al-Madnah, Mesir: Lajnah al-Talf bi alIslm, t.t.
Kluckhohn, A. L., Kroeber, Antropology Today, Chicago: Chicago University Press,
1953.
231
232
233
Nam, Abdullah Ahmed, al, Syariah dan Isu-Isu HAM, dalam Charles Kurzman,
Ed. Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer Tentang IsuIsu Global. Jakarta: Paramadina, 2001.
--------, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and
International Law, Syracuse: Syracuse Univercity Press, 1990.
Nadwi, Ab al-Hasan Ali al-Hasani, al, Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat
Kemerosotan Kaum Muslimin, terjemahan Abu Laila Muhammad Tahir,
Bandung: al-Maarif, 1983.
Naisabri, Ab Abdullah al-Hkim, al, Ma rifat Ulm al-Hadts, Haydrabat: Dr
al-Marifat al-Utsmniyyah al-Kinah, t.th.
Najjr, Abd Majid, al, F al-Fiqh al-Tadayyun: Pahman wa Tanzilan, terjemahan
Bakhruddin Fannani dengan judul: Pemahaman Islam: Antara Wahyu dan
Rakyu, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.
Nasution, Harun, dan Bahtiar Effendy (Ed.), dari R. Levy, The Sosial Strukture of
Islam, Cambridge: 1962.
---------, Islam Rasional, Bandung : Mizan, 1995.
Nasution,Yunan, Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1988.
Nata, Abuddin, dalam Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998
Pipes, Daniel, Tentara Budak dan Islam, terjemahan Sori Siregar, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986.
Pulungan, J. Suyuthi. Universalisme Islam, Editor Muhammad Tuwah dkk. Jakarta :
Moyo Segoro Agung, 2002.
--------, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur an, Jakarta: Grafindo Persada, 1994.
Qardhw, Yusuf, al, Daurul Qiym wa al-Akhlk f Iqtishdi al-Islm, terj. Didin
Hafiduddin dkk. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam
Jakarta: Rabbani Press, 2001.
---------, al-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban terjemahan Setiawan
Budi Utomo, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.
---------, Kaifa Nata ml ma a al-Sunnah al-Nabawiah, terj. Muhammad al-Baqir
dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi Bandung : Kharisma,
1994.
234
---------, Min Fiqh al-Dawlah f al-Islm, terjemahan Kathur Suhardi, dengan Judul
Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2000.
Qaththn, Mann, al, Mabhits f Ulm Al-Qur n, t.tp.: Muassasat al-Rislah,
1993.
Quthub, Muhammad, Syubht Haula al-Islm, Beirt: Dr al-Syurq, 1393 H./ 1973
M.
Quthub, Sayyid, F Zhill al-Qur n, Qhirah: Dr al-Syurq, 1992.
--------, al-Mustaqbal li Hz al-Dn, ttp,: Maktabah Wahdah, 1965
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: Universiti of Chicago Press, 1979.
--------, Islamic Methodologi in History, Delhi-India: Adam publishers &
distributors, 1994.
--------, Islamic Methodology in History. Karachi: Central Institut of Islamic
Research, 1965.
Rahman,
Pemikiran
Kontemporer,
235
236
Stott, John. Issues Facing Cristians Today, terj. G.M.A. Nainggolan, Isu-isu Global
Menentang Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/MF., 1996.
Sukadijo, R.G. Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta:
Gramedia, 1983.
Suseno, Fran Magnis, Tantangan Kemanusiaan Universal: Ontologi Filsafat,
Budaya, Sejarah, Politik dan Sastra, dalam Kenangan 70 Tahun
Dikhartoko, Yogyakarta: Kanisus, 1994.
Suythi, Jall al-Dn Abd al-Rahman bin Ab Bakar, al, al-Laili wa al-Masnah f
Ahdts al-Maudah, Mesir: al-Maktabah al-Husainiyyah, t.th.
----------, Tadrb al-Rwi f Syarh Taqrb al-Naww, ditahqiq oleh Abd al-Wahab
al-Latif, Madinah: al-Maktabat al-Ilmiyyah, 1972.
Syafi, Muhammad bin Idris, al, Ikhtilf al-Hadts, Beirt: Dr al-Kutub alIlmiyyah, 1986.
----------, al-Umm. t.tp. : Nr al-Saqfa al-Islmiyyah, t.th.
Syahrur, Muhammad, Dirsat Islmiyah Mushirah f Daulah wa al-Mujtama,
diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri Qudsy dan Darus Syamsul fatta
dengan judul : Tirani Islam, Geneologi Masyarakat dan Negara,
Yogyakarta: LKiS, 2003.
Sykir, Ahmad Muhammad, Syarh Alfiyya al-Suythi f Ilm al-Hadts, Beirt: Dr
al-Marifah, t.th.
Syalab, Ahmad, Islam dalam Timbangan, terjemahan Abu Laila dan M. Tahir,
Bandung: al-Maarif, 1982.
--------, Maus a al-Trkh al-Islmi wa al-Hadhra al-Islmiyyah, Kairo: alMaktabat al-Nahdhat al-Arabiyyah, 1978.
--------, Perbandingan Agama: Agama Islam, terjemahan M. Arifin, Jakarta: Rineka
Cipta, 1990.
Syalthut, Mahmud, al-Islm Aqdah wa Syarah, Kairo: Dr al-Qalm, 1966.
Syariati, Ali, Man and Islam, terjemahan M. Amin Rais dengan judul Tugas
Cedekiawan Muslim, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Sythib, Ab Ishq, Ibrhm, al, Al-Muwfaqa f Ushl al-Syarah bi Syarh Abd
Allah al-Darrs. Mesir: al-Maktaba al-Tijriyya al-Kubr, t.th.
Syuhbah, Muhammad Muhammad Ab, F Rihb al-Sunna al-Kutub al-Sittah,
Kairo: Majma al-Buhts al-Islmiyyah, 1969.
237
238
Wahbah, Taufiq Ali, al-Jihd f al-Islm, terj, Abu Ridha, Jihad dalam Islam,
Jakarta: Media Dakwah, 1985.
Watt, William Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought Edinburg:
Edinburg University Press, 1973.
Zahrah, Muhammad Ab, Trkh al-Mazhhib al-Islmiyyah, tt.: Dr al-Fikr alArabiyyah, 1971.
--------, Ushl al-Fiqh, t.tp.: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.
Zaidan, Jurji, Trkh al-Tamaddun al-Islm, Cairo: Dr al-Hill, t.th.
Zamahsyar, Ab al-Qsim Jrullah Mahmd bin Umar, al, al-Kasysyf An Haqiq
al-Tanzl wa Uyn al-Aqwil, Beirt: Dr al-Fikr, 1979.
Zein, Kurniawan, (ed.), Syariat Islam Yes, Syariat Islam No, Jakarta: Paramadina,
2001.
RIWAYAT HIDUP
Identitas pribadi
Nama
Tempat / tanggal lahir
Pangkat/Gol/ruang
Jabatan Fungsional
Orang tua:
- Ayah
- Ibu
Keluarga:
- Istri
- Putra/putri
Alamat:
- Kantor
- Rumah
: T a s b i h, M. Ag.
: Ulusalu Kab. Luwu, 08 Mei 1970
: Penata (III/c)
: Lektor, dalam mata kuliah Hadits/ Ulumul
Hadits
: M. Ladu Sira
: Sitti Pawadja Ladu
: Andi Saidah Hafid, M. Ag.
: 1. Wika Tazkirah Tasbih,
2. Muhammad Zaky Abdullah Tasbih, dan
3. Syarifah Ummi Kalsum Tasbih.
: Kampus IAIN Sultan Amai Gorontalo
Telp. 0435 882398
:Komlpek Pulubala, Blok D No.
Gorontalo
Telp. 0435 825039.
Jl. Tidung 5 Stp 3 No. 62 Kota Makassar
Telp. 0411 5080887
HP. 081342596929
Kota
Riwayat Pendidikan:
1.
2.
3.
4.
240
Karya Tulis:
1.
2.
3.
4.