Anda di halaman 1dari 255

KONSEP ISLAM DALAM MENGHAPUSKAN

PERBUDAKAN
(Analisis Tematik Terhadap Hadits-Hadits Perbudakan)
DISERTASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Doktor Dalam Ilmu Agama Islam

Disusun Oleh
T A S B I H, M.AG.
NIM: 01.3.00.1.05.01.0058

PROMOTOR:
PROF. DR. H. NASARUDDIN UMAR, MA.
DR. H. SAHABUDDIN, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008 M/1429 H

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama
Nim
Tempat/Tgl. Lahir
Alamat

: T a s b i h, M.Ag.
: 01. 3. 00. 1. 05. 01. 0058
: Ulusalu Kab. Luwu, 08 Mei 1970
: Jln. Gelatik No. 1 (Fakultas Ushuluddin IAIN
Sultan Amai Kota Gorontalo)
Pekerjaan
: Mahasiswa S3 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
menyatakan dengan sebenarnya bahwa Disertasi yang berjudul: Konsep Islam
dalam Menghapuskan Perbudakan (Analisis Tematik Terhadap Hadits-Hadits
Perbudakan) adalah benar-benar karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang
disebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekeliruan yang terdapat di dalamnya
sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya; dan apabila di kemudian hari ternyata
tidak benar, maka saya bersedia menerima sangsi berupa pencabutan gelar.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Jakarta, 29 Mei 2008 M


Yang Membuat Pernyataan,

T a s b i h, M. Ag.
Nim. 01.3.00.1.05.01.0058

SURAT PERSETUJUAN

Disertasi berjudul Konsep Islam dalam Menghapuskan Perbudakan (Analisis


Tematik Terhadap Hadis-Hadis Perbudakan) yang ditulis oleh Tasbih, NIM:
01.3.00.1.05.01.0058, telah diperbaiki berdasarkan saran dan koreksi pembimbing,
maka disetujui untuk dibawa ke sidang ujian promosi.
Demikian untuk dimaklumi.

Jakarta,
Pembimbing I,
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA.

(.)

Pembimbing II,
Dr. H. Sahabuddin, MA.

(.)

SURAT PERSETUJUAN

Disertasi berjudul Konsep Islam dalam Menghapuskan Perbudakan (Analisis


Tematik Terhadap Hadis-Hadis Perbudakan) yang ditulis oleh Tasbih, NIM:
01.3.00.1.05.01.0058, telah diperbaiki berdasarkan permintaan Tim Penguji pada
Ujian Disertasi Pendahuluan tanggal 28 Pebruari 2008, maka disetujui untuk dibawa
ke sidang ujian promosi.
Demikian untuk dimaklumi.

Jakarta,
Tim penguji:
1. Dr. H. Ujang Thalib, MA.
(Ketua/ Penguji)

(....)

2. Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA.


(Anggota)

(...)

3. Prof. Dr. Sutjipto


(Anggota)

(...)

4. Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA.


(Anggota)

(...)

5. Dr. H. Sahabuddin, MA.


(Anggota)

(...)

KATA PENGANTAR



:
Segala puji bagi Allah, dengan anugerahNya penulis mendapatkan
kesehatan dan kekuatan sehingga disertasi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari
bahwa disertasi ini rampung karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sedalmdalamnya kepada mereka yang secara langsung maupun tidak langsung telah
memberikan dukungan dan bantuan bagi penyelesaian penulisan disertasi ini.
Mereka itu antara lain:
1. Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo, Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.
Ag. dan mantan Ketua STAIN/PJS Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo,
Drs. H. Muhammad N. Tuli, M.Ag. atas dukungan dan perhatiannya, baik
moril maupun materil. Dalam setiap kesempatan beliau selalu mengingatkan
penulis agar segera menyelesaikan penulisan disertasi ini.
2. Kedua promotor penulis sekaligus penguji, masing-masing Prof. Dr. H.
Nasaruddin Umar, M.A. dan Dr. H. Sahabuddin, M.A. yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis. Selain
mengoreksi, beliau juga melakukan kritikan yang bersifat mendidik demi
sempurnanya disertasi ini.
3. Tim penguji masing-masing Dr. H. Ujang Thalib, MA. selaku ketua sidang
merangkap penguji, Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA, dan Prof. Dr. Sutjipto

yang telah banyak memberikan arahan dan koreksi terhadap disertasi ini; jasa
beliau-beliau amat berarti bagi diri penulis.
4. Rektor dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian juga seluruh staf dan karyawannya atas pelayanan akademiknya.
Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada Kepala dan karyawan
Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta atas pelayanan tulusnya.
5. Para Guru Besar dan seluruh dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Kehadiran mereka telah membuka wawasan dan
kesadaran intelektual baru dalam memperluas cakrawala ilmu keislaman
penulis.
6. Kepala dan staf Perpustakaan IAIN Sultan Amai Gorontalo dan
Perpustakaan Umum UIN Alauddin Makassar, yang telah memberikan
pelayanan dan fasilitas sehingga literatur yang dibutuhkan untuk penulisan
disertasi ini dengan mudah dapat diperoleh.
7. Kepada kedua orang tua penulis, yang telah bersusah payah mengasuh,
mendidk dan mengarahkan anak-anaknya untuk tidak berhenti belajar. Selain
itu, doa dan harapannya memiliki tempat tersendiri dalam diri penulis.
8. Kepada istri tercinta Andi Saidah Hafid, M.Ag. dan ketiga putra-putri
tersayang, Wika Tazkirah Tasbih, Muhammad Zaky Abdullah Tasbih dan
Syarifah Ummi Kalsum Tasbih. Mereka telah banyak mendorong dan
memberikan motivasi selama penulis kuliah. Khususnya ketiga putra putri
tersayang, waktu bermainnya dan hak mendapatkan perhatian telah banyak
tersita oleh kesibukan penulisan disertasi ini. Doa dan harapan agar mereka
kelak lebih baik daripada ayahnya.

Kepada Allah swt. semata penulis bermohon kiranya seluruh bantuan


mereka itu bernilai ibadah dan mendapatkan balasan di sisiNya. Amin Ya Rabbal

Alamin.
Jakarta, April 2008 M
Penulis,

T a s b i h, M. Ag.

PEDOMAN TRANSLITERASI
( ARAB LATIN )
Konsonan

Vokal Pendek

=a

= dh

=b

= th

=t

= zh

= ts

=j

= gh

=h

=f

= kh

=q

=d

=k

= dz

=l

=r

=m

=z

=n

=s

=w

= sy

=h

= aw

= sh

-y

= ay

=a

=I

=u

Vokal Panjang

Diftong

Hal-hal khusus
1. Ta marbthah ( ) jika terdapat di dalam kalimat ditulis t, dan jika
terdapat di akhir kalimat ditulis h.
2. Alif lm
( ) selalu ditulis dengan (al-) meskipun huruf yang
menyertainya adalah syamsiyyah maupun qamariyyah.

3. Tasydd ( ) seperti , , dan lain-lain, ditulis dengan


mengetik ganda huruf yang di-tasydid-kan (rabb al-masyriq, jayyid alhadts).
4. Kata-kata yang sudah baku ditulis tanpa mengikuti pedoman transliterasi,
seperti : al-Quran, hadis, dan lain-lainnya.
5. Hamzah ( ) ditrulis dengan apostroph () bila berada di tengah atau akhir
kata saja.
6. Kata bila berada di awal nama ditulis Ibn, sedang kalau berada di tengan
ditulis bin
7. Ya al-Nisbah ditranliterasi dengan , seperti al-Asfahn.

SINGKATAN
ed.
H.
h.
hh.
HR
M.
ra.
QS.
saw.
swt.
tth.
ttp.
w.

=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=

Editor
Hijriah
halaman
halaman-halaman
Hadis Riwayat
Masehi
, ,
Quran Surah


tanpa disebutkan tahun terbit
tanpa disebutkan tempat terbit
wafat

ABSTRAK

Disertasi ini membuktikan ketidakbenaran bahwa Islam melegalkan


perbudakan. Philip K. Hitti misalnya, mengatakan bahwa Islam sebenarnya
melanjutkan lembaga perbudakan Arab Kuno, bahkan melegalkannya. Abdullah
Ahmad al-Nam mengatakan bahwa Islam mengakui perbudakan sebagai sebuah
institusi, tetapi mengharuskan pembebasannya dengan berbagai cara; tapi sejauh itu
tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Setelah mengungkap bagaimana
konsep yang diterapkan Rasulullah saw. dalam mengatasi perbudakan, dapat
disimpulkan bahwa Islam tidak melegalkan perbudakan. Bahkan, Rasulullah saw.
telah melakukan reformasi sosial terhadap sistem perbudakan. Misalnya, status
hamba sahaya pada masa Rasulullah saw. tidak lagi sama dengan status mereka
sebelumnya. Mereka telah mengerti hak dan kewajibannya, mereka telah bebas
bergerak, bersuara, bahkan bebas menentukan nasib dirinya.
Beberapa tulisan sebelumnya turut membantah bahwa Islam melegalkan
perbudakan. Antara lain: Syubht Hawla al-Islm (Beirt: 1973) oleh Muhammad
Quthub. Ia mengatakan bahwa ada beberapa ajaran Islam yang dipahami secara
keliru oleh beberapa kalangan sehingga pengertian yang mereka peroleh bertolak
belakang dengan maksud Islam yang sebenarnya. Ajaran yang disalahpahami itu
antara lain masalah perbudakan. The Spirit of Islam, A History of The Evaluation an
Ideals of Islam with a Life of Prophet (New Delhi: 1978) oleh Sayyed Ameer Ali.
Ameer Ali mengatakan, anggapan sebahagian orang bahwa Islam melegalkan
perbudakan muncul karena dipicu oleh ketidakpekaan terhadap substansi ajaran
Islam, sejarah sosial masyarakat Arab sebelum kedatangan Rasulullah saw., dan
kegagalan kaum muslimin menjelaskan masalah perbudakan. Nizhm al-Riqqi f alIslm (Yordania: 1984) oleh Abdullah Nashih Ulwan. Ulwan berkesimpulan bahwa
Rasulullah saw. sebenarnya telah mengeringkan semua sumber perbudakan kecuali
perang syar i; bahkan telah berhasil memerdekakan budak melalui aneka sarana
yang progresif dengan prinsip-prinsip hukum yang cemerlang.
Tulisan-tulisan di atas tidak secara khusus membahas masalah perbudakan
kecuali Ulwan. Tapi Ulwan lebih banyak mengungkap bagaimana cara Islam
membebaskan budak, sehingga dalam beberapa hal terdapat persamaan. Karena
disertasi ini difokuskan untuk mengungkap pesan moral yang terkandung dalam
hadits bahwa sesungguhnya Islam tidak melegalkan perbudakan, maka dengan
sendirinya memiliki banyak perbedaan terutama cara dan pendekatan yang
digunakan.
Sumber utama disertasi ini adalah hadits-hadits tentang perbudakan yang
ditelusuri melalui kutub al-tisah. Hadits-hadits perbudakan tersebut dihimpun
dengan metode tematik. Selanjutnya dianalisis dengan pendekatan histories
berdasarkan prinsip dasar ajaran Islam, yaitu prinsip kemanusiaan, kebebasan,
persamaan dan keadilan.

ABSTRACT

This dissertation discloses the untruth fact that Islam legalizes slavery.
Phillip K. Hitti for example, states that Islam preserves the institution of ancient
Arab slavery, and even legalizes it. Abdullah Ahmad al-Naim, on the other hand
admits that Islam does recognize slavery as institution, and stipulates its disciples
to liberate the slaves in various ways; yet, so far there is no single verse that
definitely forbids the practice. After disclosing the concept applied by the
Prophet in resolving slavery issue, it can be concluded that Islam, as a mater of
fact, does not legalize slavery. The Prophet himself undertook a social reform on
the system during his Prophetic mission. For example, the status of a slave in the
era of the Prophet (pbuh) was no longer the same as before. The slaves were told
about their rights and responsibilities, they were free to move, to speak, and even
to decide their own fate.
Some previous works share arguments that Islam legalizes slavery.
Among others: Syubhat Hawla al-Islam (Beirut: 1973) by Muhammad Quthub.
He declares that there are teachings of Islam which are misunderstood by some
people, so that they get a sort of understanding which is actually in reverse to the
real meaning of Islam. The misunderstood teachings are among others
concerning slavery. Sayyid Ameer Ali in The Spirit of Islam, A History of The
Evaluation an Ideals of Islam with a Life of Prophet (New Delhi: 1978) states
the accusation that Islam legalizes slavery is due to the misinterpretation of
people on the substance of Islamic teachings, socio historical of Arabian
community prior to the Prophet era and the failure of Moslems in countering the
issue of slavery. Nizham al-Riqqi fi al-Islam (Jordan: 1984) by Abdullah Nashih
Ulwan concludes that Prophet Muhammad (pbuh) drained out all sources of
slavery but the war of syar ie; The Prophet even had liberated slaves
progressively in line with brilliant legal principles.
The aforementioned works do not specifically elaborate slavery cases
except the work of Ulwan. Yet, Ulwan discusses more on how Islam deals with
slavery. Since this dissertation focuses on moral themes found in Hadits that
Islam does not legalize slavery, there are consequently some differences
particularly in the methods and approach used.
The primary source of this dissertation is Hadits on slavery searched
through the kutub al-tisah. The mentioned Hadits is compiled by using thematic
method. Furthermore, they are analyzed using historical approach based on the
principles of Islamic teachings namely, humanity, liberty, equality and justice.

ix

. ) (Philip K. Hitti

- - .

) (

. .

The

Spirit of Islam: A History of Evaluation an Ideals of Islam with a Life of

) Prophet :
( ) (

.
) (

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.
SURAT PERNYATAAN ..
PERSETUJUAN PEMBIMBING.
PERSETUJUAN TIM PENGUJI..
PEDOMAN TRANSLITERASI
ABSTRAK.
KATA PENGANTAR... ...
DAFTAR ISI.
BAB I.

BAB II.

i
ii
iii
iv
v
vii
x
xiii
1
1
15
15
16
16

PENDAHULUAN .............
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Permasalahan.............
1. Identifikasi Masalah ..
2. Batasan Masalah.
3. Rumusan Masalah .............
C. Kajian Pustaka .....
D. Kerangka Teori..
E. Tujuan Penelitian ..
F. Signifikansi ...........
G. Metode Penelitian .
H. Sistimatika Penulisan ...

16
19
24
25
25
28

WACANA PERBUDAKAN DALAM PEMIKIRAN


ISLAM ..

31

A. Pengertian..
B. Sejarah Perbudakan...
1. Fenomena-fenomena Perbudakan Secara Umum..
2. Perbudakan Sebelum Islam: Stratifikasi Sosial
Masyarakat Arab....
3. Perbudakan Setelah Datangnya Islam
C. Eksistensi Hadits-Hadits Perbudakan
D. Perbudakan dan Persoalan Kemanusiaan: Sebuah
Problem Syariah.

31
35
35

49
54
63

68

xiv

BAB III.

BAB IV.

BAB V.

LANDASAN PARADIGMATIK MEMAHAMI HADITSHADITS PERBUDAKAN.


A. Prinsip-Prinsip Dasar...
1. Prinsip Kemanusiaan..
1.
2. Prinsip Kebebasan .
2.
3. Prinsip Persamaan .
3.
4. Prinsip Keadilan
B. Optimalisasi Kritik Hadits...
1. Hadits Sebagai Salah Satu Sumber Otoritatif Ajaran
Islam..
2. Keterlambatan Kodifikasi Hadits..
3. Timbulnya Pemalsuan Hadits
4. Proses Tadwn (Penghimpunan) Hadits.
C. Alternatif Pendekatan..
1. Pendekatan Historis....
2. Pendekatan Antropologis...
3. Pendekatan Rasional..
ANALISIS TEMATIK ATAS HADITS-HADITS
PERBUDAKAN
A. Term-Term Perbudakan dalam Hadits.............
B. Upaya-Upaya Rasulullah saw. dalam Mengatasi
Masalah Perbudakan ..
1. Upaya Moral .
2. Upaya Yuridis ...
3. Upaya Politik.
C. Perbudakan Masa Kini: Sebuah Implikasi...
PENUTUP .
A. Kesimpulan .
B. Implikasi .

DAFTAR PUSTAKA ..

83
83
83
87
93
102
109

110
113
117
118
127
129
133
137

140
140
160
160
183
192
205
217
217
221
225

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perbudakan adalah salah satu rintangan serius bagi keinginan manusia
untuk hidup secara bebas. Meskipun hal itu pernah dipratekkan semua peradaban
besar manusia di sepanjang sejarah, perbudakan dalam arti kepemilikan yang
terlembaga dan sah atas manusia sebagai barang dagangan, pada akhirnya dilarang
dan dikutuk secara universal, karena dinilai tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
kemanusiaan.1
Salah satu faktor yang masih menjadi tantangan dalam mendakwahkan
Islam sebagai agama kemanusiaan,2 ialah masalah perbudakan. Islam dinilai oleh
banyak pihak, khususnya oleh kalangan orientalis3 sebagai agama yang tidak

Mc Dougal, Miles S. Harold D. Lasswell, dan Lunchu Chen, Human Rights and World
Public Order (New Haven: Yale University Press, 1980), h. 473
2
QS. al-Rm (30) : 30.


Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
3
Yang dimaksud Orientalis di sini adalah Sarjana Barat non-muslim yang sengaja
mempelajari Islam dan dunia Islam dengan niat yang tidak tulus atau bahkan sengaja mencari
kelemahan Islam. Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar Oksadentalisme:Sikap Kita Terhadap
Barat, karya Hasan Hanafi, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. xiv, menyatakan bahwa kajian yang
mereka fokuskan bisa berkenaan dengan bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu etnografi,
kesusastraan, dan kesenian. Muin Usman, Orientalisme dan Studi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 8. Ia mengatakan bahwa dalam melakukan studi tentang ketimuran khususnya hadits, sering
mengeralkan kesimpulan dengan sikap skeptis mereka sehingga seringkali hasil yang dikeluarkan
adalah penolakan atas hadits karena dianggap sebagai sesuatu yang palsu dan akal-akalan para
muhadditsn semata.

berperikemanusiaan. Sedangkan di Inggris dan Amerika Serikat misalnya, gerakan


sosial memberi pengaruh kuat dalam upaya penghapusan perbudakan.4
Menurut Muhammad Quthub, ada beberapa ajaran Islam yang dipahami
secara keliru oleh non-muslim sehingga pengertian yang mereka peroleh bertolak
belakang dengan maksud Islam yang sebenarnya. Ajaran yang disalahpahami itu
antara lain adalah masalah perbudakan.5 Bahkan, pemikir Islam kontemporer pun
ada yang memperkuat dugaan itu. Abdullah Ahmed al-Nam misalnya, ia
berkesimpulan bahwa Islam tetap mengakui perbudakan sebagai sebuah lembaga
yang dilindungi hukum. Selanjutnya ia mengatakan, penting untuk dikemukakan
kalau perbudakan telah dilarang di dunia muslim melalui hukum sekuler, bukan atas
dasar syariah, dan bahwa syariah tidak menolak pelembagaan kembali perbudakan
berdasarkan kondisi-kondisi yang memungkinkannya, menyangkut sumber-sumber
budak, dan kondisi-kondisi untuk memperlakukan mereka. Walaupun sebagian besar
umat Islam merasa tidak setuju terhadap perbudakan, namun perbudakan tersebut
masih menjadi bagian dari hukum agama.6
Ungkapan senada juga dikemukakan oleh Muhammad Arkoun berkaitan
dengan hak dan kebebasan manusia. Ia mengatakan bahwa meskipun kaum
muslimin kontemporer telah menunjukkan perhatian terhadap hak dan kebebasan
manusia, dengan berusaha menjelaskan bahwa acuan asli budaya yang didasarkan
4

John Markoff, Waves of Demokracy, Social Movements and Political Change, terj. Ari
Setyningrum dengan judul Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan politik
(Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 39.
5
Selain perbudakan, menurut Quthub, hal-hal yang masih disalahpahami adalah persoalan
zakat, hak-hak perempuan, pengharaman riba, pelapisan sosial, dan pengaturan hubungan seksual.
Selanjutnya lihat Muhammad Quthub, Syubht Haula al-Islm, (Beirut: Dr al-Syurq, 1973), h.
105-109.
6
Abdullah Ahmed al-Nam, Syariah dan Isu-Isu HAM, dalam Charles Kurzman, Ed.
Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 381. Bandingkan dengan pernyataan V.S. Naipul. Naipul mengatakan bahwa
kaum muslimin panik oleh keyakinan mereka yang membingungkan. Seperti yang dikutip oleh
Akbar S. Ahmed dalam buku Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Societ,
terjemahan Zulfahmi Andri dengan judul Membedah Islam, (Bandung : Pustaka, 1997), h. 1.

pada hak asasi manusia berasal dari al-Quran dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad
saw., akan tetapi menurutnya, masalah tersebut masih merupakan suatu kesenjangan
dalam Islam.7
Untuk mencari akar dan prinsip dasar hak dan kebebasan dalam Islam,
Arkoun mengatakan bahwa sejak 1400 tahun silam, Islam telah memberikan hak
asasi manusia yang ideal. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kehormatan
dan harga diri kepada manusia dengan menghapuskan segala macam eksploitasi,
penindasan dan ketidakadilan. Hak asasi manusia dalam Islam ditentukan oleh
Tuhan sebagai pembuat hukum. Mengingat sumber Ilahiyah ini, maka tidak ada
pemimpin, pemerintah, majelis atau otoritas lain apa pun yang dapat membatasi,
menghapus atau melanggar hak dan kebebasan yang telah diberikan oleh Tuhan
tersebut.8
Jika diteliti secara cermat, prinsip persamaan merupakan inti dari struktur
sosial Islam. Persamaan itulah yang menjadi corak konstruksi ajarannya. Islam
melindungi hak dan kebebasan manusia; seperti hak hidup, hak milik, hak keamanan
beragama, jiwa, kehormatan diri, harta dan keturunan, yang biasa diistilahkan
dengan al-dharuriyyt al-khamsah,9 atau sesuatu yang dianggap sebagai hal yang
urgen dalam pandangan syariat Islam.
Pembuat syariat telah menetapkan hukuman yang berat ataupun qishash
untuk memberikan perlindungan, agar tidak ada pelanggaran terhadap hak dan

Muhammad Arkoun, Rethingking Islam, terj. Yudian W. Asim (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1996), h. 181. Bandingkan dengan Irene Bloom J. Paul Martin dan Waine L. Proudfood,
Religius Divercity and Human Rights, (New York : Columbia University Press, 1996), h. 225-237.
8
Arkoun, Rethinking, h. 182.
9
Istilah tersebut bermakna lima pilar kebutuhan pokok manusia, yang oleh ulama ushul
fiqih dianggap sebagai tujuan dari semua yang disyariatkan dalam Islam. Kelima kebutuhan pokok
itu oleh al-Sythib dikategorikan menjadi tiga sesuai dengan tingkat urgensinya masing-masing.
Ketiga tingkat dimaksud ialah dharriyyat, hajjiyyat dan tahsiniyyat. Lihat Ab Ishaq Muhammad alSythib, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syarah bi Syarh Abd Allah Darrs. (Mesir : al-Maktaba alTijriyyah al-Kubra, t.th.), juz ii, h. 10.

kebebasan manusia.10 Dalam sejarah, Islam terbukti dapat mengembangkan suatu


masyarakat yang homogen, terpadu, dan tanpa batas.
Pendapat yang mengatakan bahwa agama dalam semua ruang dan waktu
melalaikan manusia dari usaha dan perjuangan demi kebebasan adalah bertentangan
dengan kenyataan sejarah. Justru agamalah dalam berbagai hal menurut Garaudy,
telah melakukan peran positif dan progresif membebaskan manusia dari berbagai
penindasan. Garaudy mengambil contoh dari

sejarah

Islam yang sejak

kemunculannya telah melancarkan serangan melawan kebodohan dan bentuk


kekuasaan absolut.11 Karena itu, gerakan-gerakan reformasi keagamaan tidak
mengarahkan usahanya kepada reformasi pemikiran dan lembaga-lembaga
keagamaan semata, tetapi juga kepada perbaikan dan perubahan kondisi ekonomi
dan politik. Kritik keagamaan yang diarahkan untuk menghapus segala bentuk
penindasan adalah harapan-harapan baru bagi manusia yang ingin bebas dari status
quo. Kalau demikian adanya, lalu mengapa muncul anggapan bahwa Islam adalah
agama yang melegalisir perbudakan?
Anggapan semacam ini muncul karena dipicu oleh ketidak pekaan terhadap
beberapa aspek; misalnya, tentang substansi ajaran Islam, sejarah sosial masyarakat
Arab sebelum kedatangan Islam, dan kegagalan kaum muslimin menjelaskan diri
dan agama mereka, dalam hal ini termasuk masalah perbudakan. Padahal, pada masa
sebelum kelahiran Islam, perbudakan bukan merupakan soal yang menyedihkan,

10

Yusuf al-Qardhw, Min Fiqh al-Dawlah f al-Islm, terjemahan Kathur Suhardi, dengan
Judul Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h.
71. dalam tulisan yang lain, al-Qardhw mengatakan bahwa sejak Islam menetapkan pembolehan
kepemilikan pribadi, sejak itu pula ada fenomena, bukti dan jaminan pertama untuk kebebasan,
eksistensi, dan kelestariannya. Pada saat yang sama, sebenarnya Islam telah memenuhi dorongan
fitrah yang murni pada manusia, yaitu kecintaan untuk bebas memiliki. Tulisan tersebut terdapat
dalam Daurul Qiym wa al-Akhlq f Iqtishd al-Islm, terj. Didin Hafiduddin dkk. Peran Nilai
dan Moral dalam Perekonomian Islam (Jakarta: Rabbani Press, 2001), h. 361.
11
Seperti yang dikemukakan oleh Muhsin al-Mayli dalam bukunya Rujir Gharudi wa alMusykilt al-Dniyyah, terj. Rifyal Kabah dengan judul Pergulatan Mencari Tuhan: Perjalanan
Religius Roger Garaudy (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 132.

dan bukan pula soal yang aneh dan tercela. Bahkan filsafat Yunani dengan
kecemerlangan pikirannya pun meyakini kebaikan sistem perbudakan.12 Demikian
juga ajaran-ajaran agama lain yang didukung dan diasuh oleh tukang-tukang tenung
dan pendeta, tidak pernah mempersoalkan masalah yang satu ini. Di tengah suasana
masyarakat seperti itulah Rasulullah saw. datang untuk pertama kalinya dalam
sejarah umat manusia memperdengarkan bahwa semua manusia adalah saudara,
semuanya mempunyai keturunan yang satu dan sama. Semua manusia mempunyai
hak dan kewajiban yang sama, mereka diciptakan agar saling mengenal serta saling
mengasihi, hanya satu yang bisa membedakan antara satu dan yang lainnya yaitu
taqwa.13
Ketika itu manusia untuk pertama kalinya pula dalam sejarah mendengar
bahwa kaum budak harus dimerdekakan, dan orang-orang yang hidup sengsara
harus dibantu keluar dari kehinaan, kelaparan dan kenistaan. Barang siapa yang
menghendaki keridhaan Ilahi, ia harus mengatasi semua rintangan yang
menghalangi tujuan itu.14 Sayangnya, karya-karya muslim kontemporer yang

12

Lihat Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Malaysia: Thinkers Library, 1996), h. 159.
QS. al-Hujurt (49) : 13.

13

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal,
sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian ialah yang paling takwa.
14
QS. al-Bald (90) : 11-16.

- - - -

Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari
kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.

membahas masalah-masalah hak asasi manusia dalam Islam kurang mempedulikan


masalah perbudakan dan diskriminasi terhadap perempuan.15
Jika demikian adanya, sebenarnya Rasulullah saw. telah

berjasa

meletakkan prinsip-prinsip yang mengarah kepada penghapusan perbudakan. Hal itu


bisa terwujud apabila prinsip-prinsip tersebut dikembangkan menurut garis yang
benar. Muhammad Arkoun mengatakan sebenarnya agama telah melakukan fungsi
edukatif dan terapeutik yang signifikan selama berabad-abad, hanya saja
efektivitasnya selalu dibatasi oleh penyalahgunaan di tangan-tangan pemimpin
umat, atau dibatasi oleh kelemahan-kelemahan inheren dalam sistem-sistem budaya.
Agama seperti halnya bahasa, merupakan suatu kekuatan kolektif yang mengatur
kehidupan masyarakat. Namun demikian, hanya umat manusia dengan kreativitas
dan keberanian inovatifnyalah yang bisa memperbaharui dan meningkatkan
kesempatan bagi pembebasan manusia sendiri. Manusialah yang menjadi subyek
dalam menentukan sikap dan perilakunya terhadap sesamanya manusia. Selanjutnya,
manusia pulalah yang akan menjadi obyek, yang akan merasakan segala akibat dari
hubungan mereka dengan sesama manusia.16
Keadilan sosial dalam Islam adalah sebuah kriteria yang kongkrit dan riil
dari transendensi Tuhan. Persamaan semua manusia di depan prinsip universal,
bukan hanya sebuah persamaan yang ideal, yang normatif, tetapi juga sebuah
persamaan yang nyata dan kongkrit. Karenanya, segala bentuk perbedaan di antara
manusia atas dasar ras, suku dan tingkatan sosial, dianggap bertentangan dengan
prinsip yang Islami. Diriwayatkan dari Abi Nadrah bahwa orang-orang telah
mendengarkan khutbah Rasulullah saw. pada hari tasyri, pada saat itu Rasulullah
saw. bersabda: Hai sekalian manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah satu,
15

Lihat misalnya Ali Abdel Wahid al-Wfi, Human Right in Islam dalam Islamic
Quarterly, vol 11, 1967, h. 64. Ismail al-Farqi, Islam and Human Right dalam Islamic Quarterly,
vol. 27, 1983, h. 12.
16
Arkoun Rethinking, h.194.

bapak kalian adalah satu, maka ketahuilah bahwa tidak ada kelebihan antara orang
Arab dan orang yang bukan Arab, antara kulit putih dan kulit hitam kecuali pada
taqwanya.17 Di dalam Islam, barang siapa yang tidur dengan perut kekenyangan
sementara tetangganya dengan perut yang kosong misalnya, dianggap bukan seorang
anggota dari masyarakat muslim. Diriwayatkan dari Anas ra., dari Nabi saw, beliau
bersabda: Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seseorang tidak dianggap
beriman sampai ia mencintai tetangganya, atau terhadap saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.18
Peraturan hukum Islam dalam sebuah negara, tidak akan memperoleh
legitimasi hanya melalui pemeriksaan shalat dan ketaatan formal terhadap hukum,
tetapi pertimbangan yang utama adalah dari stuktur sosial masyarakat. Ajaran yang
disampaikan Rasulullah saw. bukanlah agama yang formal dan ritualistik semata,
tapi lebih dari itu, juga merupakan sebuah struktur soaial politik. Penerapan hukum
oleh Rasulullah saw., tidak dimulai dari hukum pidana untuk menakut-nakuti kaum
miskin dengan hukuman potong tangan, tetapi hal itu baru datang kemudian setelah
17

Selengkapnya riwayat tersebut adalah:




Dari Abi Nadrah bahwa telah menceritakan kepadaku orang-orang yang mendengarkan khutbah
Rasulullah saw. pada hari tasyri Rasulullah bersabda: Hai sekalian manusia, ketahuilah bahwa
Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian adalah satu, maka ketahuilah bahwa tidak ada kelebihan
antara orang Arab dan orang yang bukan Arab, antara kulit putih dan kulit hitam kecuali pada
taqwanya.(Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz v, nomor hadis 22391), h. 213.
18
Selengkapnya riwayat itu ialah:



Dari Anas ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seseorang
tidak dianggap beriman sampai ia mencintai tetangganya, atau terhadap saudaranya sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, dalam kitab Shahih-nya pada
Kitab Imn, juz 1, nomor urut hadis 65, h. 21.

kaum miskin dan kaum yang tertindas memperoleh haknya melalui pembangunan
keadilan sosial.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa konsep universalisme ajaran
Rasulullah saw. terkadang terbuka pada masalah hubungan antar peradaban.
Misalnya dengan kebudayaan-kebudayaan lokal dari berbagai kawasan yang dalam
arti teknis lambat laun mengalami pengislaman. Kenyataan ini menurut Nurcholish
Madjid tidak dapat dipungkiri karena Islam dilihat dari segi doktrin, adalah bersifat
universal, namun dilihat dari segi peradaban, Islam terkait dan berintegrasi dengan
daerah-daerah yang dimasukinya.19 Islam diturunkan untuk memperbaiki kehidupan
umat manusia agar berjalan sesuai dengan formulasi yang dapat mewujudkan
kebaikan berdasarkan petunjuk yang berasal dari ajaran-ajaran wahyu. Akan tetapi
realitas kehidupan manusia dan perjalanan hidupnya, baik secara individual maupun
sosial, tidak akan berjalan secara mekanis hanya dengan memberikan penjelasan
tentang kebenaran yang terkandung dalam wahyu. Mengapa? Karena kehendak
manusia menempati posisi antara wahyu dan kehidupan nyata, sehingga manusia
harus berperan aktif di dalamnya. Interaksi itu harus mengikuti syarat-syarat yang
berkaitan dengannya. Syarat yang penting untuk itu ialah memahami kehidupan
nyata manusia, mengenali hakikatnya, serta mengetahui sifat dan karakter yang
membentuknya.
Di antara kebiasaan yang berlaku, bahwa obyek apapun yang hendak
diperbaiki, harus memenuhi syarat utama demi kesuksesan perbaikan tersebut, yaitu
harus bertitiktolak dari pengetahuan mengenai hakikat, sifat dan karakteristik
sesuatu. Pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman bagi perencanaan
perbaikan, penetapan metode, dan sarana yang sesuai dengan sifat dan karakteristik
obyek yang hendak diperbaiki. Jika tidak didasari pengetahuan seperti itu, maka
upaya perbaikan akan menjadi semacam uji coba yang banyak mengalami
19

Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Bandung: Mizan, 1995), h. 81.

kegagalan. Prinsip-prinsip yang disebutkan di atas lah yang diterapkan oleh


Rasulullah saw. dalam upaya menghapuskan perbudakan.
Secara sepintas Rasulullah saw. membolehkan perbudakan. Akan tetapi
tujuannya adalah untuk membatasi penyalahgunaan sistem tersebut serta mendorong
untuk hilangnya perbudakan sama sekali dengan keyakinan moral dan keagamaan
tentang persamaan alamiah seluruh manusia di hadapan Tuhan dan hukum Tuhan.
Hal itu terbukti pada terobosan Rasulullah saw. memberikan hak-hak kepada budak
sekaligus menuntut secara ketat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sang
tuan.
Keaslian pemikiran Rasulullah saw. tentang perbudakan timbul dari
konsepsinya tentang manusia dalam masyarakat. Kemerdekaan adalah konsep
yuridis yang tidak menganggap ringan kehormatan dan kelakuan manusia.
Kemerdekaan didasarkan bukan karena watak manusia, tetapi atas dasar perintah
dari Tuhan. Hal ini tidak berarti bahwa perbudakan itu merupakan nasib yang pasti
dan permanen bagi sekelompok manusia yang rendah dalam esensinya. Perbudakan
dalam konsep Rasulullah saw. tidak pernah menjadi benda yang bisa
diperjualbelikan atau dijadikan permainan seperti dalam hukum Romawi.20
Dalam sejarah perjalanan Islam, memang telah terjadi jual beli budak, tetapi
baik al-Quran maupun hadits Nabi saw. tidak pernah menyebutkan masalah tatacara
dan prosedur penjualan budak. Jual beli budak tampaknya tidak pernah terjadi pada
zaman Nabi Muhammad saw. dan Khalifah yang empat sesudahnya. Akan tetapi
perkembangan Islam selanjutnya, jual beli budak terjadi pada zaman Dinasti
20

Pada zaman Romawi kuno, budak-budak tidak hanya disuruh bekerja di ladang-ladang
atau lahan produktif lainnya, akan tetapi di samping pekerjaan rutin itu, mereka disuruh menghibur
tuan-tuan mereka dengan bertaruh nyawa. Budak-budak dijadikan tontonan menarik dengan cara
mengadu sesama mereka dalam satu perkelahian hidup-mati. Mereka saling bunuh untuk
mempertahankan hidup mereka masing-masing. Keringat bercucuran, darah mengalir dan mereka
yang terkapar seperti ayam menyambut kematian, adalah hiburan yang sangat menyenangkan bagi
tuan-tuan mereka. Lihat Muhammad Quthub, Syubht, h. 36

10

Umayyah.21 Segala macam motif perbudakan yang dipraktekkan orang di Arabia


sebelum datangnya Rasulullah saw., serta hukum-hukum lama tentang perbudakan
yang ada pada kebudayaan-kebudayaan lain, pada prinsipnya telah ditolak oleh
beliau. Pembebasan budak misalnya, terdapat ketentuan yang banyak, yang
menguntungkan kepada semua budak dan tidak hanya khusus bagi budak muslim.
Memerdekakan budak adalah wajib kepada orang muslim yang membunuh orang
karena keliru,22 orang yang memberikan sumpah palsu,23 atau orang yang
menceraikan istrinya secara tidak sah.24 Di samping itu hadits Nabi saw.
memerintahkan memerdekakan budak kepada orang yang menggauli istrinya di
siang hari pada bulan Ramadhan.25 Perlakuan yang tidak baik terhadap budak
merupakan sebab yang cukup untuk memerdekakannya.26 Seorang budak wanita
Robert Roberts, The Social Laws of the Qur an, (London: Curson, 1971), h. 54. Memang
terjadi pembelian budak pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya, namun pembelian itu dalam
rangka membebaskannya, bukan untuk diperbudak atau mencari keuntungan dari pembelian tersebut.
22
QS. al-Nis (4) : 92.
21

Dan barang siapa yang membunuh seorang mumin karena


memerdekakan seorang budak yang beriman.
23
Q.S. al-Midah (5) : 89.

keliru, maka hendaklah ia

Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja, maka
kaffarat (melanggar) Sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan
yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak.
24
QS. al-Mujdalah (58) : 3.

Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-istri itu
bercampur.
25
Lebih jelasnya lihat pembahasan bab IV, khususnya pada sub bab C, nomor 2, sub-sub c.
26
Lebih jelasnya lihat pembahasan bab IV, khususnya pada sub bab C, nomor 2, sub-sub b.

11

yang melahirkan anak dari tuannya, ia menjadi merdeka jika tuannya meninggal
dunia; anak-anaknya adalah anak yang sah dan menikmati hak yang sama dengan
hak-hak wanita merdeka. Bahkan ketentuan yang tak kalah pentingnya namun
hampir tidak diketahui secara umum, yaitu si tuan harus bersedia menyetujui
permintaan budak untuk membebaskan dirinya.27
Di belakang fakta-fakta yang disebutkan di atas, tampaknya perbudakan
mula-mula timbul ketika tentara pada zaman dahulu menang dan tidak membunuh
musuh mereka yang sudah kalah itu. Akan tetapi memakai tenaga mereka sebagai
pekerja yang tidak dibayar sebagai suatu ekspresi yang praktis dan material dari hak
pihak yang menang.28 Benih dari sistem yang melindungi nyawa para tahanan
perang berasal dari faktor bahwa Islam telah menjamin keselamatan pribadi budak
dan mendudukkan mereka dalam kedudukan yang sama dengan orang merdeka
sehingga pemilik budak tidak punya hak untuk membunuh budaknya. Sebaliknya, ia
harus memberikan kepada mereka hak-hak dalam hukum bahkan hak menuntut.
Sudah jelas bahwa perlindungan atas jiwa tahanan perang merupakan kontribusi
yang orisinal dan progresif dari konsepsi Islam pada waktu itu.
Mengenai perlakuan yang sesungguhnya, kepercayaan kepada persamaan
alamiah antara manusia telah memberikan kedudukan khusus bagi para budak
muslim. Nabi Muhammad saw melarang untuk menunjuk mereka dengan kata-kata
budak, akan tetapi harus dengan kata-kata saudara atau anak (gulm), karena

27

QS. al-Nr (24) : 33.


Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian membuat
perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka.
28
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, alih bahasa H. M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), h. 131. Selain akibat peperangan, kemiskinan dan penculikan juga menjadi faktor
penyebab adanya perbudakan. Penjelasan yang saling melengkapi, lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairi,
Minhajul Muslimin Muamalah alih Bahasa Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, dengan judul
Pola Hidup Muslim, (Bandung: Rosda Karya, 1991), h. 383.

12

manusia menjadi hamba hanya kepada Allah. Dalam beberapa peristiwa Nabi
memperingatkan kepada para sahabatnya bahwa budak-budak itu adalah manusia
yang sama derajatnya dengan kalian, yang Tuhan mempercayakan di bawah
tanggungan kalian.29 Manusia yang beriman tidak membenarkan adanya eksploitasi
manusia terhadap sesamanya. Tidak membenarkan pula adanya penghinaan terhadap
hak dan martabat manusia serta pembedaan manusia berdasarkan kelas, ras, genetik
dan sejenisnya. Pembenaran terhadap tindakan-tindakan ini, apalagi melakukannya,
berarti pelecehan terhadap Tuhan.30
Senada dengan itu, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa manusia
seharusnya melihat ke atas hanya kepada Tuhan sebagai Pencipta dan kepada alam
seharusnya melihat ke bawah. Sedangkan kepada sesama manusia seharusnya
melihat mendatar.31
Pertanyaan yang rumit dan terus membayangi beberapa kalangan ialah
mengapa Rasulullah saw. yang mendukung pembebasan budak dan telah mengambil
langkah radikal untuk mencapai tujuan itu tidak mengambil langkah tegas dalam
menghapuskan perbudakan untuk selamanya?
Untuk mendapatkan jawaban yang memadai, tentu saja memerlukan
penelitian terhadap berbagai aspek; misalnya masalah politik, psikologis dan sosial
budaya dalam praktek perbudakan yang saling bertalian,32 yang dengan alasan
29

Lebih jelasnya lihat pembahasan bab II, khususnya sub A, nomor 1.


J. Suyuthi Pulungan, Universalisme Islam, Editor Muhammad Tuwah dkk. (Jakarta :
Moyo Segoro Agung, 2002), h. 159. Bandingkan dengan John Stott, Issues Facing Cristians Today,
terj. G.M.A. Nainggolan, Isu-isu Global Menentang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/MF., 1996). H. 277. Dalam buku tersebut Stott mengutip dua buku masingmasing The History of Jamaica, yang ditulis pada tahun 1774 oleh Edward Long, dan The Natural
History of the Negro Race oleh J. H. Guenebault (1837), mengatakan bahwa kedua buku tersebut
memuat argumen-argumen bahwa orang-orang Negro dan Jamaika adalah ciptaan Tuhan di bawah
tingkat manusia yang kita kenal, tapi masih dalam species yang sama. Oleh sebab itu, adalah wajar
kalau dieksploitasi dan diperjualbelikan seperti harta benda.
31
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 1992), h. 97.
32
Aspek-aspek seperti itulah yang akan digunakan dalam mengkaji dan memahami hadishadis yang berkaitan dengan perbudakan, yang menjadi fokus utama dalam Disertasi ini.
30

13

itulah, Rasulullah saw. menunda penghapusannya dengan tegas dan langsung.


Dalam hal ini Rasulullah saw. tidak bermaksud mengubah sifat manusia. Rasulullah
saw. justru berusaha untuk meningkatkan peradaban dengan memberikan
kelonggaran terhadap batasan-batasannya yang tidak bisa dihindari untuk
membantunya mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi yang, tanpa penindasan atau
tekanan.
Semua kebijakan dan perlakuan Rasulullah saw. terhadap budak dan sistem
perbudakan kala itu terekam dalam hadits. Keberadaan hadits Nabi saw. dalam
penerapan ajaran Islam secara keseluruhan tidak dapat dipungkiri. Sementara itu,
hadits Nabi saw. yang sampai kepada kaum muslimin saat ini dengan berbagai
bentuk dan coraknya,33 kadang-kadang secara sepintas bertentangan atau tidak
sesuai dengan konteks zamannya.34 Oleh karena itu diperlukan upaya untuk
mendudukkan hadits Nabi saw. tersebut pada porsi yang semestinya, dengan jalan
mengkaji secara kritis dan akurat. Kajian seperti ini tentunya harus dilakukan
dengan menggunakan syarat-syarat yang tepat dan memadai.
Sebagai penjelas atas al-Quran, hadits Nabi saw. tentunya muncul sesuai
dengan posisinya sebagai pedoman bagi para sahabatnya di zamannya. Sepanjang
kondisi dan latar belakang kehidupan para sahabat tersebut berbeda, maka petunjukpetunjuk yang diberikan oleh Nabi saw. pun berbeda pula. Sementara itu, para
sahabat pun menginterpretasikan hadits Nabi saw. sesuai dengan kapasitas mereka
masing-masing, sehingga kesimpulan yang dicapai pun berbeda pula. Hadits
merupakan interpretasi Nabi saw. yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi
33

Bentuk dan corak hadis secara khusus dibahas dalam Ilmu Musthalah al-Hadis. Misalnya
Taisr Mustalah al-Hadts, oleh Mahmud Tahhan (Beirut : Dar Alquran Alkarim, 1972); Nuzhat alNahzar Syarh Nukhba al-Fikr, oleh Syihb al-Dn Ab al-Fdl Ahmad bin Al Ibn Hjar alAsqaln (Semarang : Maktabah al-Munawwar, t.th.); Ulm al-Hadts, oleh Abu Amar Usman bin
Abd al-Rahman ibn Salah (Madinah al-Munawwarah : al-Maktab al-Ilmiyyah, 1972); Ulm alHadts wa Mustalhuhu, oleh Subhi al-Shlih (Beirt: Dr al-Ilmi wa al-Malayain, 1977); dan lainlain.
34
Lihat Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 36.

14

para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Quran.35 Dengan demikian,


pengkajian terhadap konteks-konteks hadits merupakan aspek yang urgen dalam
upaya menangkap makna suatu hadits, untuk kemudian diamalkan.
Dalam kaitannya dengan upaya pemahaman hadits ini, diperlukan
pengetahuan yang mendalam atas segala segi yang berkaitan dengan pribadi Nabi
saw. dan suasana yang melatari terjadinya hadits. Mungkin saja, suatu hadits lebih
tepat dipahami secara tekstual, sedang hadits lainnya lebih tepat dipahami secara
kontekstual. Pemahaman dan penerapan secara tekstual dilakukan bila hadits yang
bersangkutan telah dihubungkan dengan segala segi yang berkaitan dengannya.
Pemahaman hadits secara kontekstual dilakukan bila di balik teks suatu hadits ada
petunjuk yang kuat mengharuskannya dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana
makna tekstualnya.36
Akhir-akhir ini, muncul dan berkembang sejumlah pendekatan yang
mungkin dipergunakan dalam mengkaji hadits seperti pendekatan sejarah dan
pendekatan antropologi budaya. Namun, persoalan ini sering menjadi kontroversi di
kalangan masyarakat. Mereka yang menganggap penting bersikap kritis terhadap
hadits percaya bahwa betapa pun sahihnya nilai suatu hadits, kapasitasnya sebagai
yang betul-betul diucapkan oleh Nabi saw. tetap dzanni (tidak pasti). Namun, kaum
35

Menurut Muhammad Rasyid Ridha , Nabi Muhammad saw. dalam menjelaskan alQuran memiliki sepuluh fungsi, yaitu: 1) Menjelaskan hakikat agama yang meliputi iman kepada
Tuhan, hari kebangkitan,dan amal-amal saleh; 2) Menjelaskan masalah kenabian dan kerasulan serta
tugas dan fungsi mereka; 3) Menjelaskan Islam sebagai agama fitrah, yang sesuai dengan akal,
intuisi, kata hati, dan ilmu pengetahuan; 4) Membina dan memperbaiki umat manusia dalam satu
kesatuan yang meliputi kemanusiaan, agama, bangsa dan sebagainya; 5) Menjelaskan keistimewaankeistimewaan Islam dalam hal pembebanan kewajiban kepada manusia, seperti hal-hal yang
membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, mudah dikerjakan, gampang dipahami, dan
sebagainya; 6) Menjelaskan prinsip-prinsip dasar berpolitik dan bernegara; 7) Menata kehidupan
material (harta); 8)Memberi pedoman umum mengenai perang dan cara mempertahankan diri dari
agresi musuh; 9) Mengatur dan memberikan kepada perempuan hak-hak di bidang agama, sosial dan
kemanusiaan pada umumnya; dan 10) Memberikan petunjuk dalam hal pembebasan dan
pemerdekaan budak. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahy al-Muhammadiy, (Kairo: al-Maktaba
al-Qhirah, 1960), 126-128.
36
Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma ani Hadis
Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 6.

15

tradisionalis menentang kuat sikap kritis terhadap hadits dan menyamakan sikap
semacam ini dengan mengingkari kerasulan Muhammad saw.37 Meski demikian,
hadits tetaplah merupakan salah satu sumber utama ajaran Islam yang terpenting
setelah al-Quran.
Kritik hadits menjadi salah satu bidang kajian keislaman yang, di samping
menarik, juga signifikan. Hal demikian ditempuh bukan untuk menanamkan sikap
skeptisisme terhadap hadits, tetapi sebaliknya dilaksanakan justru untuk lebih
mendekatkan kepada pemahaman yang benar dan meyakinkan serta dapat
dipertanggung jawabkan, baik dari dimensi keilmuan maupun keagamaan.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan kajian tematik hadits, peneliti akan diperhadapkan kepada
beberapa masalah. Pertama, peneliti diharapkan mengetahui secara pasti apakah
hadits-hadits yang sedang dibahas itu berkualitas shahih atau tidak. Untuk sampai
kepada sebuah kesimpulan bahwa hadis tersebut shahih, diperlukan dua obyek
penelitian yakni aspek sanad dan aspek matan. Kedua, kalau hadits itu hanya
dinyatakan shahih dari aspek sanad saja sementara matannya belum, maka langkah
berikutnya adalah peneliti diharapkan menelusuri faktor-faktor apa yang
menyebabkan matan tersebut tidak sampai kepada derajat shahih. Ketiga, setelah
diketahui status hadits tersebut shahih, langkah selanjutnya adalah peneliti
diharapkan menemukan pesan moral apa yang dikandung oleh hadits yang
bersangkutan. Untuk menemukan pesan moral dimaksud, diperlukan berbagai
metode dan pendekatan.
Muhammad Yusuf al-Qardhwi, Kaifa Nataaml maa al-Sunnah al-Nabawiah,terj.
Muhammad al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi, (Bandung : Kharisma, 1994),
h. 21.
37

16

2. Batasan Masalah
Beberapa permasalahan yang teridentifikasi di atas, tidak semuanya dibahas
dalam disertasi ini.

Disertasi ini akan dibatasi dengan hanya mengangkat

permasalahan yang ketiga di atas yakni ingin menemukan apa pesan moral yang
dikandung oleh hadits-hadits yang berbicara masalah perbudakan. Sesuai cakupan
judul; disertasi ini akan mengkaji masalah perbudakan dari sudut pandang hadits.
3. Rumusan Masalah
Dengan adanya pembatasan masalah tersebut, maka pokok permasalahan
yang menjadi fokus kajian dalam disertasi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep Islam menghapuskan perbudakan dalam perspektif hadits
Nabi saw.?
2. Bagaimana upaya Rasulullah saw. menghapuskan perbudakan?
3. Bagaimana memahami hadits-hadits perbudakan?
4. Benarkah Islam yang salah satu sumber hukumnya adalah hadits melegalkan
perbudakan?

C. Kajian Pustaka
Berbagai analisa dan pengkajian telah dilakukan dalam melihat persoalan
perbudakan. Akan tetapi sejauh penulis ketahui, studi yang secara komprehensif
khusus membahas perbudakan dalam perspektif hadits, belum ditemukan. Terdapat
beberapa buku yang di dalamnya membahas perbudakan, namun bahasan tersebut
hanya mengutip beberapa hadits yang menyangkut perbudakan dalam rangka
menguatkan tesisnya. Buku-buku yang dimaksud antara lain: Syubht Hawla al-

17

Islm,38 karya Muhammad Quthub. Dalam buku tersebut Quthub berkesimpulan


bahwa ada beberapa ajaran Islam yang dipahami secara keliru oleh beberapa
kalangan sehingga pengertian yang mereka peroleh bertolak belakang dengan
maksud Islam yang sebenarnya. Ajaran yang disalahpahami itu antara lain masalah
perbudakan. The Spirit of Islam, A History of The Evaluation an Ideals of Islam with
a Life of Prophet,39 karya Sayyed Ameer Ali. Ameer Ali mengatakan, anggapan
sebahagian orang

bahwa Islam melegalkan bahkan melembagakan perbudakan

muncul karena dipicu oleh ketidakpekaan terhadap beberapa aspek. Aspek-aspek


dimaksud adalah substansi ajaran Islam, sejarah sosial masyarakat Arab sebelum
kedatangan Rasulullah saw., dan yang lebih penting adalah kegagalan kaum
muslimin menjelaskan diri dan agama mereka, dalam hal ini termasuk masalah
perbudakan. Nizhm al-Riqqi f al-Islm,40 karya Abdullah Nashih Ulwan. Ulwan
berkesimpulan bahwa sebenarnya Rasulullah saw. telah mengeringkan semua
sumber perbudakan kecuali satu yaitu melalui perang syar i. Rasulullah saw. telah
berhasil memerdekakan budak dengan aneka sarana yang progresif dengan prinsipprinsip hukum yang cemerlang. Hal itu membuktikan bahwa Rasulullah saw. telah
memerdekakan budak tujuh abad sebelum revolusi prancis, Abraham Lincoln di
Amerika dan deklarasi PBB yang baru saja membicarakan masalah Hak-hak Asasi
Manusia. Islam Berbicara Masalah Perbudakan,41 oleh Fuad Mohd. Fachruddin.
Dalam buku tersebut Fachruddin berkesimpulan bahwa adanya perbudakan yang
dijumpai dalam Islam tidak lain adalah sebuah warisan budaya sebelum datangnya
Islam. Tapi perbudakan dalam Islam berbeda dengan perbudakan di luar Islam baik
sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Perbudakan Menurut al-Qur an Suatu

38

Muhammad Quthub, Syubht Hawla al-Islm, (Beirut: Dr al-Syurq, 1973).


Sayyed Ameer Ali, The Spirit of Islam, A History of The Evaluation an Ideals of Islam
with a Life of Prophet, (Malaysia: Thinkers Library, 1996).
40
Abdullah Nashih Ulwan, Nizhm al-Riqqi f al-Islm, (Yordania: Dr al-Salm, 1984).
41
Fuad Mohd Fachruddin, Islam Berbicara Masalah Perbudakan, (Jakarta: Mutiara,
1981).
39

18

Kajian Tafsir Tematik,42 oleh Zulheldi. Tulisan tersebut mengungkap bahwa secara
sepintas al-Quran mengakui perbudakan, tapi dalam banyak indikasi sebenarnya alQuran menginginkan penghapusan sistem sosial yang tidak manusiawi tersebut.
Perbudakan dalam Sejarah Islam,43 karya Alfi Jazulin Azwar. Tesis tersebut
mengungkap bahwa dalam perjalanan sejarah Islam, perbudakan yang seharusnya
lenyap dengan mengacu kepada pokok ajaran Islam kembali melembaga. Islam dan
Teologi Pembebasan, 44 karya Ashgar Ali Engineer. Buku ini mengungkap bahwa
misi vital diutusnya Rasulullah saw. ialah menciptakan keadilan sosial kepada
kelompok yang tertindas dan lemah melalui ajaran tauhid. Sebab esensi tauhid ialah
membebaskan manusia dari segala ketertundukan kepada selain Allah, termasuk
menghamba kepada sesama manusia. Jika ingin melanjutkan perjuangan Rasulullah
saw., maka segala sistem kapitalis yang didasarkan pada eksploitasi sesama manusia
harus dihapuskan. al-Hurriyy f al-Islm, dan al-Muswt f al-Islm,45 karya Ali
Abd al-Wahid Wfi. Melalui kedua buku ini Wfi mengemukakan bahwa budak
yang ada dalam Islam tidak lain hanyalah budak warisan. Terhadap budak warisan
ini, Islam pun telah melakukan upaya penghapusannya dengan menetapkan anak si
budak dari tuannya menjadi merdeka, dan nasabnya pun bersambung kepada
tuannya yang merdeka itu. Dengan demikian, terputuslah rantai perbudakan yang
juga mengikat keturunannya. Slave Soldiers and Islam, karya Daniel Pipes. Buku ini
mengungkap perbandingan antara kondisi budak yang ada di dunia Islam dan budak
di luar dunia Islam. Pipes mengemukakan bahwa hanya Islam yang memperlakukan
budak secara manusiawi. Lebih dari itu, di dunia Islam, budak dibolehkan untuk jadi
pegawai bahkan ada yang sampai jadi pejabat pemerintah.

42

Zulheldi, Perbudakan Menurut al-Qur an Suatu Kajian Tafsir Tematik, (Tesis, 1999).
Alfi Jazulin Azwar, Perbudakan dalam Sejarah Islam, (Tesis, 1998).
44
Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

43

1999).

45

Ali Abd al-Wahid Wfi, al-Hurriyy f al-Islm,dan al-Muswt f al-Islm (Kairo:


Dr al-Marif, masing-masing tahun 1965 dan 1968).

19

Buku-buku yang disebutkan di atas oleh para penulisnya pada intinya


mengemukakan argumen dan fakta-fakta bahwa Islam pada dasarnya berusaha untuk
menghapuskan perbudakan. Oleh sebab itu, tulisan ini dalam beberapa aspek
terdapat persamaan, namun pada aspek lain tentu banyak perpedaan. Perbedaan itu
antara lain karena fokus bahasannya akan dikhususkan pada tema tertentu yakni
hadits-hadits yang berbicara masalah perbudakan. Selain itu, sumber, metode dan
pendekatannya pun juga berbeda.

D. Kerangka Teori
Secara etimologi Perbudakaan berasal dari kata budak, yang dimaknai
sebagai perihal budak (hamba), atau segolongan manusia yang dirampas kebebasan
hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia lain.46 Sedangkan
perbudakan menurut terminologi dimaknai sebagai suatu sistem penguasaan penuh
terhadap hak-hak manusia oleh suatu otoritas dengan cara yang dipandang legal
sehingga lepas dari segala perjanjian dan dapat dijadikan sebagai obyek
perniagaan.47 Martin berpendapat bahwa perbudakan tidak lain adalah penyangkalan
terhadap kemanusiaan orang lain.48 Sementara Hamka menyimpulkan bahwa
perbudakan adalah sistem sosial berupa sangsi dari pelayanan yang terpaksa atau
perampasan nilai-nilai asasi manusia sehingga ia menjadi kekayaan bagi lainnya
secara perorangan atau kelompok.49

46

Budak sendiri diartikan dengan anak, kanak-kanak, abdi, hamba, dan orang gajian. Lihat
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
cet. Ke-7, Edisi ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 149.
47
Lihat Ali Abd al-Wahd Wfi, al-Hurriyy f al-Islm, (Cairo: Dr al-Marif, 1968),
h. 20.
48
Roderick Martin, Sosiologi kekuasaan, terjemahan Joediono Herry, (Jakarta: Rajawali,
1990), h. 117.
49
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), cet. Ke-3, juz ke-7, h. 205;
juga Yunan Nasution, Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 221.

20

Konsep perbudakan itu sendiri sering kali menghadapkan seseorang pada


suatu perdebatan tanpa akhir. Pada satu segi, budak dianggap sebagai orang yang
berjasa memberikan pelayanan, perlindungan bahkan bisa mempertinggi derajat
sosial tuannya. Di segi lain, budak dianggap sebagai suatu barang atau komoditi
yang dapat diperdagangkan. Kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam pengertian
perbudakan itu menjadi jaminan bahwa tidak ada perbudakan murni atau bebas dari
penyimpangan. Meskipun batas-batasnya sulit ditentukan, konsep teoritis tentang
perbudakan tetap bisa dijelaskan melalui fungsi dan bentuknya.50 Dalam hal ini
Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa saat ini terdapat berbagai jenis perbudakan
(slavery), seperti perbudakan politik, industri dan sosisal.51
Dalam kaitannya dengan politik, perbudakan biasanya mengambil bentuk
hegemoni budaya dan sistem dominasi. Dalam hal industri, perbudakan biasanya
mementingkan perluasan; dan konsentrasi pendapatan hanya kepada segelintir orang
(eksploitasi ekonomi), sementara hak-hak dan upah buruh tidak pernah dipedulikan.
Akibatnya, kesenjangan sosial semakin tak terelakkan. Dalam sistem sosial,
perbudakan melahirkan struktur dan stratifikasi sosial dengan gejala seperti
munculnya dikotomi antara bangsawan-bukan bangsawan, tuan-budak, kulit putihkulit hitam dan sebagainya. Ringkasnya, perbudakan adalah semua sistem yang di
dalamnya mengandung unsur perampasan nilai-nilai asasi orang lain sehingga
pindah kepada yang lainnya, tidak memberikan kemerdekaan dan eksistensi sosial
orang lain, menjadikan orang lain sebagai obyek pemerasan,

bahkan semua

tindakan yang mengandung eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan, baik


dilakukan secara kolektif terorganisir, maupun secara individu.

50

Anwar Thosibo, Historiografi Perbudakan: Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan


Abad XIX, (Magelang: Yayasan Indonesitera, 2002), h. 165.
51
Abdullah Yusuf Ali, The Glorius Kur an Translation and Commentary, (Beirt: Dr alFikr, t.th.), h. 1739.

21

Kehadiran Rasulullah saw. sendiri membawa misi untuk membebaskan


masyarakat dari semua sistem yang melestarikan ketidakadilan seperti itu.
Rasulullah saw. dalam sejarah Makkah adalah orang yang pertama memikirkan
proses perubahan struktural secara serius. Ia menjadi pemimpin terkemuka yang
mampu mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk mengubah
masyarakat dalam relasi yang adil dan setara.52 Meski begitu, visi dan pemikiran
Rasulullah saw. dalam mengembangkan cita-cita sosialnya tidak ditentukan oleh
situasi Makkah semata, tetapi bersifat universal. Bahkan dalam pelaksanaannya,
tidak sedikit ajaran Islam yang menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara
radikal. Dengan inspirasi wahyu, beliau mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial
yang adil dan tidak eksploitatif, serta menentang penumpukan kekayaan di tangan
segelintir orang (oligarki).53
Masalah kekayaan dan ketidakpedulian sosial ternyata menjadi perhatian
utama Islam. Bahkan dari total 12 ayat-ayat pertama yang diturunkan di kota
Makkah, enam di antaranya membicarakan tentang tema tersebut. Pertama, harta
benda dan segala apa yang dikerjakan tidak akan berguna, bahkan kelak akan
menjadi sebab seseorang masuk neraka.54 Kedua, orang yang mengumpulkan harta
dan menghitung-hitungnya, karena dia mengira bahwa hartanya itu akan
mengekalkannya, dianggap celaka oleh Tuhan.55 Ketiga, orang yang tidak memberi

52
Lihat Marzuki Wahid, Islam Pembebasan dan Keadilan Sosial, dalam Buletin Jumat
An-Nadhar, edisi 28/17 Oktober 2003, h. 1.
53
Marzuki Wahid, Islam Pembebasan, h. 2.
54
QS. al-Lahab (111): 2-3:

Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak Dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak.
55
QS. al-Humazah (104): 1-3:

- -

Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitunghitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.

22

makan fakir miskin bahkan menghardik anak yatim adalah orang yang telah
mendustakan agama.56 Keempat, orang yang bakhil dan merasa dirinya telah cukup,
maka kelak Tuhan akan menyiapkan jalan yang sukar baginya, sementara hartanya
tidak akan bermanfaat baginya.57 Kelima, orang yang bermegah-megahan karena
banyak harta akan lalai sehingga tanpa sadar ia sudah masuk kubur.58 Keenam,
orang yang tidak mau berjuang menempuh jalan yang mendaki lagi sukar, yaitu
melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan
kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat
fakir.59 Oleh sebab itu,

misi perjuangan Rasulullah saw. adalah menghapus

eksploitasi, korupsi, penindasan, kezaliman dan ketidakadilan dalam berbagai


bentuknya. Sebab yang dikehendaki Islam adalah terciptanya tatanan masyarakat
yang egaliter (sederajat).

QS. al-M n (107): 1-3:

56

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan
tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
57
QS. al-Lail (90): 11:

Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.


58
QS. al-Taktsur (102):1-2:

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.


59
QS. al-Bald (90): 11-16:

- - - -
-

Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu Apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi Makan pada hari
kelaparan. Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau kepada orang miskin yang sangat
fakir.

23

Islam menempatkan manusia dalam posisi terhormat. Kehormatan dan


martabat yang tinggi itu merupakan fitrah yang tidak bisa dipisahkan dari diri
manusia. Kehormatan ini bersifat universal. Setiap orang yang lahir membawa
kemuliaan dan martabat ini; apa pun bangsa, warna kulit dan agamanya. Perampasan
terhadap kemuliaan dan martabat ini adalah perbudakan. Untuk itu, Rasulullah saw.
membuat berbagai aturan untuk menghilangkannya sekaligus sebagai upaya
pemberian perlindungan terhadap martabat tersebut.60
Tuhan juga memandang manusia dalam kedudukan yang sama, sebagai
makhluk dan hambanya. Perbedaan antara yang satu dan lainnya bukan terletak pada
hak dan kedudukannya sebagai manusia, atau karena jenis kelamin, suku bangsa,
melainkan pada kualitas taqwanya. Sebab perbedaan tingkat ketaqwaan itu tidak
menyebabkan kepada perbedaan kedudukan sosial dan hubungan antar manusia
karena yang menilai adalah Tuhan. Pelanggaran terhadap prinsip persamaan tersebut
adalah perbudakan.61
Bahkan, asal-usul Islam adalah sebuah proses pembebasan manusia.62
Tidak bisa disangkal bahwa keseluruhan sistem dalam Islam berorientasi pada
sebuah masyarakat yang adil dan egaliter. Itulah sebabnya, salah satu sasaran yang
dibidik oleh Rasulullah saw. adalah tradisi Jahiliyah yang secara terang-terangan
melegalkan perbudakan. Perbudakan dengan dikotomi majikan-budak yang
eksploitatif secara bertahap dihilangkan. Jadi yang ditekankan Islam adalah gerakan
anti perbudakan. Orang-orang yang berhati besar ialah mereka yang berjuang
dengan segala daya yang dimilikinya untuk menghilangkan belenggu perbudakan
yang didasari oleh kezaliman manusia sepanjang zaman. Jadi pada hakekatnya tak

60

Lihat Munawir Syazali, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama, (Surabaya: PKSK,
1997), h. 49.
61
Munawir Syazali, Penegakan HAM, h. 50 .
62
Muh. Hanif Dakhiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djambatan, 2000),
h. 89.

24

ada lagi penghayatan agama bila fitrah manusia telah ditindas dan keserakahan
masih merajalela.63
Rasulullah saw. telah memberikan jaminan kebebasan manusia agar
terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama,
politik maupun ideologi. Kebebasan merupakan tiang globalitas tindakan Rasulullah
saw., baik dari segi akidah, asas individu bahkan kehidupan sosial mempunyai
vitalitas yang sehat.64 Dalam sistem perbudakan, kebebasan ini justru terhalang oleh
kepatuhan atau yang lebih tepat karena kerterpaksaan sebagai akibat rasa takut pada
monopoli dan berbagai cara kekerasan para tuan terhadap budak.65 Itulah sebabnya
perbudakan bertentangan dengan kebebasan dan mesti dihapuskan melalui
pengembalian kebebasan secara fisik maupun mental kepada para budak.
Analisa terhadap perbudakan yang dilakukan dalam disertasi ini adalah
berdasarkan pembacaan terhadap hadits-hadits tentang budak dan perbudakan.
Artinya pembicaraan mengenai perbudakan di sini dibingkai oleh hadits-hadits
perbudakan dalam rangka mengungkap konsep Islam dalam menghapuskan
perbudakan. Analisa terhadap hadits dimaksud akan dilakukan dengan menunjukkan
bukti-bukti historis upaya Rasulullah saw. dan para sahabatnya menyikapi sistem
perbudakan.

E. Tujuan Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian terhadap hadits-hadits yang membicarakan
masalah perbudakan, akan memiliki beberapa tujuan antara lain:
Muhammad Al-Gazali, Miah Sual an al-Islam, terj. Muhammad Thohir dan Abu
Laila dengan judul al-Gazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, (Bandung: Mizan, 1992), h. 108.
64
Abdul Kariem Utsman, Persamaan dan Keadilan dalam Perspektif Islam, dalam
Lukman Hakiem (ed.), Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992), h. 15.
65
Martin melihat adanya unsur keterpaksaan ini melekat dalam otoritas yang ada pada
kesepakatan antara dua posisi yang berbeda, yakni antara tuan dan budak. Lihat Roderick Martin,
Sosiologi Kekuasaan, terjemahan Joediono Herry, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 145.
63

25

1. Untuk merumuskan pemaknaan atas hadits-hadits perbudakan secara


metodologis.
2. Untuk mengetahui konsep Islam dalam menghapuskan perbudakan melalui
kajian terhadap hadits Nabi saw.

F. Signifikansi
Mengembangkan pemikiran dalam bidang kajian hadits sudah saatnya
difokuskan kepada upaya pemaknaan. Akan tetapi memahami hadits tidak dapat
dilepaskan dari latar belakang historis atas kemunculan hadits tersebut. Perbudakan
misalnya, ketika Rasulullah saw. menjelang dan ketika menyampaikan risalahnya,
perbudakan sudah mentradisi di lingkungan bangsa Arab. Maka pemaknaan atas
hadits yang berkenaan dengan budak dan atau perbudakan menjadi penting untuk
dilakukan. Kegiatan dimaksud dilakukan melalui perumusan secara historitikal, baik
dari aspek pemaknaan maupun aspek pendekatan.
Pemaknaan dan pendekatan yang tepat meniscayakan kesimpulan yang
tepat pula atas hadits. Dengan kata lain, mendudukkan pemahaman dan pendekatan
hadits secara proporsional dapat memperkecil dugaan sementara orang bahwa Islam
yang berlandaskan al-Quran dan hadits melegalkan perbudakan dapat dijawab.
Tegasnya penelitian ini bermanfaat untuk menjawab tuduhan dan kesalahan
prosedural dalam memahamai hadits. Secara inheren pula, penelitian ini

akan

merumuskan landasan pradigmatik atau prinsip-prinsip dasar dalam memahami


hadits-hadits yang berkaitan dengan perbudakan.

G. Metode Penelitian
1. Sumber Data

26

Penelitian ini bersifat kepustakaan (Library Research). Data yang dihimpun


melalui riset kepustakaan, terdiri dari data pokok dan data sekunder. Data pokok
adalah keseluruhan hadits yang berkenaan dengan masalah penelitian. Hadits yang
dimaksud adalah yang termuat atau terkodifikasi dalam kitub al-tisah. Adapun
hadits yang diluar kutub al-tisah tetapi berkaitan dengan masalah penelitian ini,
akan dijadikan sebagai data sekunder.
2. Analisa Data: Pendekatan Tematik
Data pokok dan data sekunder yang terkumpul akan dianalisa dengan
menggunakan pendekatan tematik. Yaitu pendekatan yang didasarkan atas tema
pokok dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menentukan kata kunci. Di antara kata kunci yang berkenaan dengan tema
penelitian ini adalah abdun, amatun dan raqabah.
b. Takhrij Hadits. Kata kunci di atas menjadi dasar di dalam pencarian hadits
yang tertuang dalam kutub al-tisah. Pencarian atas hadits tersebut dilakukan
dengan bantuan mujam. Yaitu Mujam hadits yang disusun oleh AJ. W.
Sienk (al-Mujam al-Mufahras li Alfzh al-Hadts)66 atau Mujam dalam
bentuk CD. Patut ditegaskan bahwa takhrij hadits dimaksud adalah takhrij
al-fzh al-hadts, dan bukan takrij al-sanad.
c. Klasifikasi Hadits. Hadits-hadits perbudakan yang telah ditakhrij tersebut
akan diklasifikasi berdasarkan tingkat keshahihan sanad yang terdapat pada
suatu kitab. Oleh sebab itu, semua kutipan hadits yang terdapat dalam
Disertasi ini mengutamakan riwayat Bukhari, kemudian Muslim, dan
seterusnya. Data pelengkap yang mengandung keterangan yang diperlukan
untuk menginterpretasi data pokok juga dimuat. Penggunaan data sekunder

AJ. W. Sienk, al-Mujam al-Mufahras li Alfzh al-Hadts, terjemahan Muhammad Fud


Abd. Al-Bqi, (Kairo: Dr al-Hadts, 1988).
66

27

tidak dapat dihindari.

Demikian

pula

beberapa

buku

terjemahan

dipergunakan karena kesulitan teknis yang dihadapi.


Karena obyek penelitian berupa hadits-hadits yang berfokus pada satu tema,
maka penelitian ini menggunakan metode yang dikenal dengan istilah tematik
(maudhi).67 Penelitian ini juga bersifat deskriptif dan diagnostik,68 dan jika dilihat
dari sasarannya, yakni hadits-hadits Nabi saw., maka dapat dikatakan bahwa
penelitian ini termasuk kajian sumber.
Ikhtiar untuk memahami tema per tema dari hadits-hadits yang memiliki
semangat yang sama dalam struktur makna yang lebih universal, agar makna
masing-masing hadits itu tidak dalam posisi berbenturan satu dengan yang lainnya,
adalah kemestian. Sebab, kajian tematik akan mempertautkan kita dengan situasi
dan kondisi kesejarahan suatu hadits.
Untuk kesempurnaan upaya tersebut, penelitian ini akan didukung oleh
fakta-fakta sejarah, terutama yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat Arab
pada masa kedatangan Rasulullah saw. Penulis akan menelusuri bagaimana praktek
pengamalan umat Islam terhadap petunjuk hadits mengenai perbudakan tersebut.
Agar tidak terlalu luas lingkup bahasan historis ini, penulis hanya mengangkat
beberapa fakta sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, yakni tetap dalam koridor
mengupas dan menjelaskan sistem perbudakan melalui perspektif hadits.
Antara teks suatu hadits dengan konteks penerapannya dalam suatu
lingkungan sosial merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Itulah sebabnya, pengetahuan tentang aspek kesejarahan diperlukan untuk

Lihat Abd. Hayy al-Farmawy, al-Bidaya f al-Tafsr al-Maudhi, (Mesir: Maktabat alJumhuriyyat, 1977), h. 52. acuan yang ditawarkan oleh al-Farmawy tersebut akan penulis pakai
dalam rangka menganalisis hadis-hadis perbudakan.
68
Lihat Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, (Yokyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi Umum UGM., 1977), h. 4.
67

28

membantu memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan modern, termasuk


masalah perbudakan.
Selain itu, prinsip-prinsip logika (interpretasi logis) akan ditempuh dalam
rangka menganalisa kandungan proposisi sebuah hadits. Dalam hal ini kesimpulan
diperoleh secara induktif dan deduktif. Pengambilan kesimpulan demikian dikenal
sebagai inferensi.69 Penggunaan interpretasi logis ini berdasarkan kenyataan bahwa
usaha pemahaman terhadap hadits merupakan bagian dari kegiatan ilmiah yang
memerlukan penalaran ilmiah.

H. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri atas lima bab. Sebuah

bab pendahuluan, tiga bab

pembahasan materi, dan sebuah bab penutup.


Permasalahan pokok yang dirinci ke dalam dua sub masalah didahulukan
dengan menguraikan sebelumnya beberapa aspek yang menjadi latar belakang.
Aspek-aspek tersebut memuat beberapa pandangan yang menganggap bahwa
berdasar kepada beberapa riwayat hadits, tidak bisa disangkal kalau Rasulullah saw.
melegalkan dan membudayakan perbudakan. Dengan demikian perlu ada klarifikasi
melalui telaah terhadap hadits-hadits yang membicarakan perbudakan tersebut.
Sebelum masuk pembahasan, terlebih dahulu diberikan identifikasi, rumusan dan
batasan masalah. Selanjutnya disebutkan pula hasil penelitian yang sudah ada dan
relevansinya dengan penelitian ini dalam bentuk kajian pustaka. Sebagai landasan
dan penegasan terhadap titik tekan yang akan dibangun dalam disertasi ini
dipandang perlu untuk mengemukakannya dalam bentuk kerangka teori. Metodologi

69

Lihat R.G. Sukadijo, Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, (Jakarta:
Gramedia, 1983). 13.

29

penelitian dan teknik penulisan, tujuan dan signifikansi penelitian, serta sitematika
penulisan semua dikemukakan dalam bab pendahuluan.
Hal-hal yang secara umum berkaitan dengan masalah perbudakan, akan
dideskripsikan pada bab kedua. Deskripsi tersebut meliputi pengertian dan asal-usul
budak, fenomena-fenomena perbudakan secara universal, sejarah perbudakan baik
sebelum maupun sesudah datangnya agama Islam, keberadaan hadits-hadits
perbudakan serta reaksi dan komentar para pemikir Islam terhadap permasalahan
perbudakan dalam syariat Islam, yang dikemukakan dalam sub problematika
syariah.
Untuk memahami hadits-hadits perbudakan tersebut, dirasa perlu adanya
beberapa pendekatan sebagai pisau analisis. Beberapa pendekatan itu akan
ditawarkan pada bab ketiga. Pendekatan-pendekatan dimaksud adalah pendekatan
histories, pendekatan antropologis dan pendekatan rasional. Namun sebelum
menggunakan pendekatan tersebut peneliti harus mengacu pada landasan
paradigmatik berupa prinsip-prinsip dasar yang menjadi tujuan utama diutusnya
Rasulullah saw. Prinsip dasar dimaksud meliputi prinsip kemanusiaan, prinsip
kebebasan, prinsip persamaan, dan prinsip keadilan. Selain itu, juga dikemukakan
pentingnya optimalisasi kritik hadits sebagai pengembangan dari kaedah mayor
kritik matan hadits yang sudah ada.
Bab keempat secara khusus akan memuat kajian tematik terhadap haditshadits perbudakan. Melalui kajian ini diharapkan akan tampak dengan jelas
perbedaan antara status budak zaman Rasulullah saw. dan status budak di luar Islam
baik sebelum maupun sesudahnya. Telaah kritis terhadap term-term perbudakan
yang terdapat dalam hadits, akan membuka cakrawala pemikiran yang sedikit
berbeda dengan beberapa pandangan sebelumnya terhadap hadits perbudakan.
Berdasar dari analisis term itu pula, akan terungkap apa sebenarnya hakekat
perbudakan yang ingin diberantas oleh Rasulullah saw. Pembahasan

semakin

30

menukik setelah menelusuri beberapa langkah yang ditempuh oleh Rasulullah saw.
dalam menghadapi permasalahan perbudakan. Selain itu, implikasi perbudakan masa
kini akan melengkapi pembahasan pada bab ini.
Kesimpulan-kesimpulan yang penulis dapatkan dari penelitian ini, sebagai
jawaban terhadap permasalahan pokok yang telah dikemukakan pada bab pertama,
akan ditempatkan pada bab lima. Pada bab yang sama, akan dikemukakan pula
implikasi dari penelitian kemudian dilengkapi dengan gagasan-gagasan penulis
berupa saran-saran.

BAB II
WACANA PERBUDAKAN DALAM PEMIKIRAN ISLAM

A. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terma perbudakaan berasal dari
kata budak,1 yang dimaknai sebagai: 1) perihal budak (hamba), segala hal yang
mengenai budak belian. 2) segolongan manusia yang dirampas kebebasan hidupnya
untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia lain.2
Dalam terminiologi bahasa arab, perbudakan dikenal dengan istilah itibd
(). Itibd berakar kata dari abd. Secara etimologi kata abd menurut Ibn
Manzhr dalam Lisn al-Arab dikalasifikasikan menjadi tiga makna yaitu: abd
bermakana hamba sahaya, abd berarti (manusia merdeka dan hamba sahaya), dan

abd bermakna menyembah, tunduk dan merendahkan diri.3 Dari kata abd inilah
terbentuk kata lain menurut pengembangan konjugasinya yaitu Ibdah (ibadah),

bid (pelayan), ma bad (tempat ibadah), al-ma bd (yang disembah) dan lain-lain.4
Ali Abd al-Wahd Wfi, mengemukakan bahwa perbudakan dimaknai
sebagai suatu sistem penguasaan penuh terhadap hak-hak manusia oleh suatu
otoritas dengan cara yang dipandang legal sehingga lepas dari segala perjanjian dan

Budak sendiri diartikan dengan anak, kanak-kanak, abdi, hamba, dan orang gajian. Lihat
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,(selanjutnya ditulis Tim penyusun, Kamus) cet. Ke-7, Edisi ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka,
1996), h. 149.
2
Tim Penyusun, Kamus, edisi 1998, h. 130.
3
Lihat Ab- al-Fdhl Jaml al-Dn Muhammad bin Makrum ibn Manzhr, Lisn al-Arab,
(Beirt: Dr al-Fikr, 1994), juz ke-3, h. 270.
4
Tim Penyusun, Ensiklopedi al-Qur an: Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 2003), h. 96.

32

dapat dijadikan sebagai obyek perniagaan.5 Di sinilah hak asasi kemerdekaan


seseorang hilang dan pindah kepada orang lain.
Pendapat al-Wfi sejalan dengan pandangan Roderick Martin. Dalam
bukunya Sosiologi kekuasaan, Martin menyatakan bahwa pada hakekatnya,
perbudakan adalah kedudukan yang tidak manusiawi bagi para budak. Kedudukan
mereka berubah menjadi obyek yang rendah sehingga menyebabkan seolah-olah
adanya penyangkalan terhadap kemanusiaannya.6
Ab Ala al-Mauddi memberikan sebuah ilustrasi etik tentang ibadah,
penghambaan, dan perbudakan. Perilaku budak terhadap tuanya dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Kewajiban seorang budak adalah memandang tuannya sebagai penguasa dan
merasa berkewajiban untuk setia kepada orang yang menjadi tuannya, yaitu
penunjang hidupnya, pelindung, penjaganya, dan menyakini sepenuhnya
bahwa tidak seorangpun selain tuannya itu layak mendapatkan kesetiaannya.
2. Seorang budak berkewajiban selalu patuh kepada tuannya, melaksanakan
perintah-perintahnya dengan cermat, dan tidak meyalahi kehendak tuannya.
3. Seorang budak juga harus menghormati dan menghargai tuannya.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa manifestasi hamba kepada tuannya
adalah adanya perilaku etika yang harus dipenuhi yaitu: kesetiaan, kepatuhan dan
penghormatan atau penghargaan.7
Dalam Tafsir al-Azhar, oleh Hamka dikemukakan bahwa perbudakan
adalah sistem sosial berupa sangsi dari pelayanan yang terpaksa atau perampasan

Lihat Ali Abd al-Wahd Wfi, al-Hurriyy f al-Islm, (Cairo: Dr al-Marif, 1968), h.

20.
6

Roderick Martin, Sosiologi kekuasaan, terjemahan Joediono Herry, (Jakarta: Rajawali,


1990), h. 117.
7
Penyusun, Ensiklopedi, h. 96.

33

nilai-nilai asasi manusia sehingga ia menjadi kekayaan bagi lainnya secara


perorangan atau kelompok.8
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan
bahwa perbudakan adalah suatu sistem sosial yang di dalamnya mengandung unsurunsur sebagai berikut: 1) perampasan nilai-nilai asasi orang lain sehingga pindah
kepada yang lainnya; 2) menghilangkan kemerdekaan dan eksistensi sosial orang
lain; 3) memandang rendah orang lain sehingga dijadikan sebagai obyek pemerasan;
4) penyangkalan terhadap kemanusiaan orang lain; dan 5) tindakan yang mematikan
keinginan, rasa, pikiran serta cita-cita orang lain; baik dilakukan secara kolektif
terorganisir, maupun secara individu. Maka, tidak mengherankan apabila ada kesan
streotip melekat erat pada kata perbudakan tersebut.
Begitulah

sistem

perbudakan

yang

tidak

diketahui

pasti

kapan

permulaannya. Yang pasti, kekejaman perbudakan dalam sejarah kemanusiaan


sudah dapat dijumpai sejak manusia mengenal dan ditulisnya peradaban.
Mengenai asal-usul dan karakteristik kehidupan budak itu sendiri, dapat
dilihat dari gambaran yang akan dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, budak berasal atau didapatkan dari hasil peperangan, pembelian,
penculikan, penangkapan atau memang keturunan (anak dari seorang budak).9 Kisah
yang dialami oleh Zaid bin Haritsah misalnya, adalah contoh dari sebuah
penangkapan. Zaid ketika masih kecil, dibawa oleh ibunya ke kampung bani Mana.
Tidak lama kemudian, daerah tersebut dirampok oleh sekelompok Badui dan
menangkap para wanita dan anak-anaknya yang tidak sempat dilarikan atau

Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), cet. Ke-3, juz ke-7, h. 205;
juga Yunan Nasution, Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 221.
9
Fuad Mohd Fachruddin, Islam Berbicara Masalah Perbudakan, (Jakarta: Mutiara, 1981),
h. 21.

34

melarikan diri, termasuk Zaid bin Haritsah yang ditinggalkan ibunya. Zaid yang
masih kecil tersebut dibawa ke pasar budak, Ukadz, untuk dijual.10
Kedua, mengenai karakteristik mereka, budak merupakan manusia yang
dimatikan segala keinginannya.11 Dia tidak boleh berkeinginan dan bercita-cita di
luar batasan hidup yang telah ditetapkan tuannya. Budak tidak perlu merasa jijik,
letih, penasaran, sedih, enggan dan menolak segala tugas yang diberikan oleh sang
tuan. Baginya, tidak ada alternatif lain kecuali mengikuti keinginan orang yang
memilikinya. Budak juga tidak boleh berpikiran di luar batas tugasnya. Jika sang
tuan menyuruh menggarap sebuah ladang misalnya, dia tidak perlu memikirkan
tentang hasil kerjanya. Tugasnya adalah bekerja, maka segenap pikiran, perasaan
dan tenaganya harus terpusat pada pekerjaannya itu, bukan untuk yang lain.
Dalam hal kepemilikan, hak milik budak lemah. Bahkan budak itu sendiri
dimiliki oleh tuannya. Perlakuan tuan terhadap budaknya sama dengan perlakuan
seseorang terhadap hewan atau barang. Dia bisa dipekerjakan tanpa digaji. Ia hanya
diberi makan, pakaian dan tempat tinggal sekedarnya. Seperti halnya Bill bin
Rabah, sebelum masuk Islam ia hanya mendapatkan dua genggam kurma dari
menggembala unta dan domba.12 Budak juga sering ditelantarkan, dijual, dibuang,
dihadiahkan, dianiaya, bahkan tidak sedikit yang dibunuh. Kalau dia wanita, dan
sang tuan menginginkan, dia bisa digauli tanpa harus dinikahi, disuruh melacur
dengan orang lain dan tuannyalah yang mengambil hasilnya.
Budak hanya bisa mendapatkan kemerdekaannya dengan jalan melarikan
diri, membayar tebusan kepada tuannya dengan harga yang telah ditentukan, atau
dibuang oleh tuannya karena tidak berguna lagi. Melarikan diri adalah jalan yang
Iz al-Dn bin al-Atsr bin al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jazar, Usd al-Ghbah f
Ma rifa al-Shahbah, (Beirt: Dr al-Fikr, tth.), juz ke 2, h. 129. Khalid, Muhammad Khalid, Rijl
Haula al-Rasul, (Qhirah: Dr al-Muqthan, 1415 H/ 1994 M), h. 257.
11
Fachruddin, Islam Berbicara, h. 22.
12
Al-Jazar, Usd al-Ghbah, h. 105.
10

35

paling memungkinkan untuk merdeka kendati berbahaya baginya. Hanya budakbudak yang kuat dan nekat saja yang berani menempuh jalan ini. Sebab, mereka
yang dipekerjakan di ladang, misalnya, diawasi secara ketat oleh para pengawal
yang kejam. Membayar tebusan adalah hal yang kecil kemungkinannya, kalau tidak
bisa dikatakan mustahil bagi para budak. Dia sulit mendapatkan harta untuk
menebus dirinya. Cara ini terlaksana jika ada keluarga, famili atau orang lain yang
bermurah hati menebusnya.
Dalam bahasa yang ringkas dapat dikatakan bahwa seorang budak dalam
pengertian umum, tidak berbeda dengan sebuah barang atau seekor binatang yang
berwujud manusia. Seseorang dapat memiliki dengan jalan menangkap, mencuri
atau membelinya. Setelah dimiliki, dia bisa diperlakukan apa saja sesuai keinginan
orang yang memilikinya. Dan budak tersebut sulit untuk keluar atau dikeluarkan dari
kubangan perbudakannya, bahkan ada yang bersama anak cucunya menjadi budak
buat selamanya.

B. Sejarah Perbudakan
1. Fenomena Perbudakan Secara Umum
Untuk mempertajam analisis mengenai muatan hadis-hadis yang berbicara
masalah perbudakan, informasi mengenai fenomena perbudakan secara umum
dianggap penting. Sebab, sistem perbudakan yang melatari banyaknya hadis yang
berbicara masalah tersebut bukan sesuatu yang baru muncul ketika Rasulullah saw.
mulai menyampaikan ajaran Islam. Perbudakan telah ada bahkan telah membudaya
secara universal jauh sebelum kedatangan dan ketika beliau menyampaikan ajaran
Islam.
Eksistensi perbudakan secara universal sendiri cukup sulit untuk dideteksi
kapan awal munculnya. Akan tetapi fenomena yang memicu timbulnya perbudakan

36

itu dapat ditelusuri. Berikut ini akan dikemukakan beberapa fenomena yang
dianggap

turut menjustifikasi perbudakan. Fenomena-fenomena dimaksud ialah

fenomena politis, ekonomis, sosiologis, psikologis dan teologis.

a. Fenomena Politis
Sejak dahulu kala, peperangan yang terjadi akibat persaingan politik
merupakan ajang yang dominan lahirnya otoritas suatu kelompok atas kelompok
lainnya, lalu lahirlah perbudakan.13 Persaingan antara kelompok yang banyak, telah
membuka peluang terjadinya peperangan demi peperangan. Peperangan merupakan
sumber utama perbudakan, karena dari peperanganlah lahir budak-budak; baik
peperangan terhadap bangsa sendiri maupun bangsa lainnya.14
Berdasarkan data pra-sejarah arkeologis, masyarakat primitif berada dalam
kedamaian. Tidak ada peperangan antara suku. Ini menunjukkan bahwa perbudakan
belum mereka kenal. Akan tetapi ketika perang telah menjadi hal yang penting dari
hubungan antar kelompok-kelompok manusia, maka hak-hak dan kekebalankekebalan yang mencegah perbudakan menjadi tidak terlaksana. Sebaliknya, yang
terjadi adalah penawanan-penawanan antar kelompok yang bermusuhan. Para
tawanan itu dapat disiksa, dibunuh, diadopsi, dijual, ditukar dengan barang,
diperbudak atau dibebaskan. Keadaan ini merupakan potensi ancaman praktis antar
suku-suku.15 Para tawanan itu ada juga yang dijadikan pelayan atau menjadi milik
raja-raja, baik laki-laki maupun perempuan.
Bagi bangsa Romawi misalnya, peperangan adalah sumber utama
perbudakan. Para tawanan diperbudak dengan menjadikannya sebagai sapi perahan
13

Ahmad Syalab, Islam dalam Timbangan, terjemahan Abu Laila dan M. Tahir, (Bandung:
al-Maarif, 1982), h. 3.
14
Fachruddin, Islam Berbicara, h. 23., Wfi, al-Hurriyyt, h.25.
15
James Hastings, (ed.), Slavery, in Enciclopedia Religion and Ethics, vol. xi, (New
York: Charles Scribners Sons, t.th.), h. 597.

37

demi kemaslahatan Romawi.16 Undang-undang bangsa ini memberikan hak penuh


kepada tuan untuk menyiksa, memeras dan bahkan membunuh budaknya.17
Bangsa Yunani juga menjadikan peperangan sebagai usaha defensip bagi
kekuasaannya atas bangsa-bangsa lain yang dianggap sebagai bangsa budak.
Motifasi peperangan mereka adalah untuk memperbudak bangsa-bangsa lain.18
Sebagai ekses dari peperangan ini adalah terjadinya pasar budak bagi orang-orang
Yunani di negeri-negeri Asia Kecil. Dalam perlakuannya, para budak tawanan
negara itu melaksanakan tugas-tugas Negara. Di Mesir misalnya, para budak juga
difungsikan sebagai dekorator jalan-jalan atau pembangun piramida dan tempattempat peribadatan serta pengukir tugu-tugu Pharao.19 Sedangkan yang perempuan
dipekerjakan di sawah-sawah, pabrik-pabrik atau sebagai penghibur setelah terlebih
dahulu diperkosa.20
Bagi bangsa Arab sebelum Islam, peperangan pun merupakan sumber
utama perbudakan. Penggunaan kekuatan dan kekerasan merupakan salah satu
faktor yang epektif untuk mendapatkan budak-budak. Kafilah-kafilah yang kalah
akan menjadi budak terhadap yang menang.21
Fenomena politis ini tergambar pula dalam prinsip orang-orang Yahudi
sebagai cara termudah untuk mendapatkan budak-budak.22 Dalam hal ini agama
Nashrani menurut Joseph Post sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Syalab,
16

Kemaslahatan yang dimaksudkan adalah hasil yang diperoleh dari para budak yang
dipekerjakan secara paksa tanpa ada perikemanusiaan.
17
Abdullah Nashih Ulwan, Jawaban Tuntas Masalah Perbudakan, Terjemahan Aunur
Rafiq Shaleh, (Jakarta: al-Ishlahy Press, 1988), h. 9.
18
Fachruddin, Islam Berbicara, h. 24.
19
Syalab, Timbangan, h. 298-299.
20
Jurji Zaidan, Trkh al-Tamaddun al-Islm, juz iv, (Cairo: Dr al-Hill, t.th.), h. 26.
21
Syalab, Timbangan, h. 305.
22
Dalam Perjanjian Lama, Ulangan: 20 dikatakan: .......tetap segala orang perempuan dan
anak-anak dan binatang dan segala harta yang di dalam negeri itu, segera jarahannya hendak kamu
rampas akan dirimu dam kamu akan makan barang jarahan dan pada musuhmu yang telah
dikaruniakan Tuhan, Allahmu, kepadamu. Selengkapnya lihat Lembaga al-Kitab Indonesia, al-Kitab,
(Bogor: Percetakan Lembaga al-Kitab Indonesia, 1980), h. 230.

38

tidaklah berbeda. Ia tidak menentang perbudakan, baik dari segi politik maupun
ekonomi.23 Itu berarti dari segi politik, oleh semua kelompok, tak terkecuali
kelompok agama sebelum kedatangan Rasulullah saw., perbudakan dianggap
sebagai salah satu instrumennya. Akibatnya, selama pergolakan politik itu masih
berjalan, perbudakan tidak pernah dianggap sesuatu yang menyalahi prinsip
kemanusiaan. Ini jelas berbeda dengan Islam. Dalam Islam, semua hal yang
berakibat mencederai kemanusiaan seseorang dilarang. Itulah sebabnya peperangan
dalam Islam hanya diperbolehkan dalam rangka membela dan mempertahankan
keyakinan. Peperangan dilarang jika motifnya hanya untuk memperluas daerah
kekuasaan apalagi dengan tujuan memperbudak bangsa lain.

b. Fenomena Ekonomis
Peperangan juga membawa implikasi perdagangan budak. Di zaman
Romawi, kaum pedagang menjadikan peperangan sebagai musim terbaik untuk
kegiatan perbudakan. Mereka ikutserta menjadi pasukan untuk membeli para
tawanan dengan harga serendah-rendahnya. Penjualan ini merupakan keagungan
dalam sejarah imperialisme Romawi. Ini pertanda bahwa perbudakan juga
merupakan fenomena ekonomis.24
Selain peperangan, fenomena ekonomis perbudakan juga disebabkan oleh
faktor kemelaratan, perjudian, hutang-piutang dan penculikan. Di China misalnya,
merajalelanya perbudakan disebabkan antara lain oleh penjualan diri sendiri atau
anggota keluarganya demi menghindari kelaparan dan kesengsaraan.25 Penjualan
anak dan istri karena berdosa juga membudaya pada masyarakat Babilonia.26
23

Syalab, Timbangan, h. 302.


Syalab, Timbangan, h. 300.
25
Syalab, Timbangan, h. 298.
26
Robert Roberts, The Social Law of the Qoran, (New Delhi: Cusmo Publication, 1977), h.
24

56.

39

Budaya semacam ini dapat juga lahir dalam lingkungan orang moderat, atau petani
gurem.27 Sebaliknya, perbudakan jarang muncul dalam lingkungan masyarakat yang
bermata pencaharian berburu atau mengumpulkan bahan makanan, serta pada
masyarakat agraris yang wilayahnya tandus.28 Hal demikian tidak hanya disebabkan
oleh faktor ekonomis dan politis saja, tetapi memang tidak tercipta hubungan
otoritas antara yang menguasai dan yang dikuasai.
Para budak yang telah menjadi obyek perdagangan itu dipekerjakan dengan
paksa guna menggarap tanah dan ladang dengan rantai berat yang membelenggu
kakinya agar tidak melarikan diri.29 Keadaan seperti ini banyak terjadi di Mesir
yang merupakan gudang gandum dan sumber mentah lainnya bagi bangsa
Romawi.30 Pada akhirnya, sistem pekerjaan seperti ini melahirkan masyarakat
feodalis yang menyengsarakan para kaum pekerja.
Dalam sistem feodalisme Eropa, para penggarap tanah diperjualbelikan
bersama tanah garapan karena mereka merupakan alat bagi tanah yang dikuasai, dan
dianggap suatu kesatuan yang tak terpisahkan.31
Penjualan yang berupa pertaruhan spekulatif terhadap diri atau keluarga
seperti perjudian, juga menjadi sumber lain perbudakan pada masyarakat Jerman.
Tidak mengherankan jika ekses negatif perjudian adalah hutang-piutang yang dapat
mengorbankan keluarga, bahkan diri sendiri.32 Adapun yang kalah, akan menjadi
budak bagi pemenang atau pemberi piutang, ketika hutang sulit untuk dilunasi. J.J.

27

Muhammad Quthub, Syubht Hawla al-Islm, (Beirt: Dr al-Syurq, 1393 H./ 1973

M.), h. 89.
28

Martin, Sosiologi, h. 122.


Tim Penyusun, Ensiklopedi al-Qur an, h. 96.
30
Muhammmad Quthub, Syubht. h. 55.
31
Zaidan, Trkh, h.27 dan 58; Juga Syalab, Timbangan, h.304.
32
Syalab Timbangan, h.304; Juga Lewis, Race and Slavery in Midle East, an Historical
Enquiry, (New York: Oxford Univercity Press, 1990), h. 4.
29

40

Rosseau33 menanggapi penjualan seperti ini sebagai tindakan bodoh, dengan alasan
bahwa si penjual telah menjerumuskan keturunan demi keturunannya ke dalam
jurang perbudakan. Di samping bertentangan dengan tata pola alami, juga
merupakan pelanggaran batas otoritas yang tua, yang hanya sampai baligh saja, dan
selama dalam penjualan itu, tidak dapat ditarik atau dibatalkan dengan syarat
apapun.
Kasus hutang-piutang yang melahirkan perbudakan pada perkebunan, juga
pernah terjadi pada jamaah haji asal Melayu yang kehabisan biaya pulang dari
Makkah di akhir abad 19 M. Dengan biaya yang tinggi, mereka diizinkan seorang
pemilik perkebunan, berbangsa Arab, untuk turut berlayar ke Singapura. Bila
keluarganya tidak mampu membayar, maka delapan sampai sepuluh orang dari
setiap grup wajib membayar hutang dengan bekerja pada suatu perkebunan di pulau
cocob.34
Budak sebagai komoditi, juga lahir dari penculikan bajak-bajak laut
terhadap bangsa-bangsa lain di pesisir-pesisir, yang kemudian dijual di pasar-pasar
Athena atau kota-kota lain.35 Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika di Athena
jumlah budak melebihi perbandingan dengan orang merdeka, yakni 100.000 :
20.000.36
Pada abad 16-19, Afrika menjadi pasar budak bagi orang kulit putih yang
berkomplot dengan para pemimpin suku-suku Afrika dalam penculikan para
penduduk di pemukiman-pemukiman.37 Jejak perbudakan mereka terlihat dari
penyebaran orang-orang hitam Afrika di Amerika maupun di Eropa.
33

Jean Jacgues Rousseu, Kontrak Sosial, terjemahan Sumarjo, (Jakarta: Erlangga, 1986.),

h. 10.
34

Snouck Hourgronje, Perbudakan, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hourgronje,


vol.iv, (Jakarta: INIS, 1997), h. 44.
35
Syalab, Timbangan, h. 298.
36
Wfi, al-Hurriyyt, h. 26.
37
Wfi, al-Hurriyyt, h. 26.

41

Demikian, perbudakan memiliki pengaruh besar terhadap sistem sosial dan


ekonomi. Akibatnya, di zaman itu tak seorang pun yang menganggapnya sebagai
sesuatu hal yang tidak diinginkan.38 Kondisi seperti itulah yang terjadi tatkala
Rasulullah saw. baru datang. Perbudakan telah menjadi bagian dari kegiatan
ekonomi yang sedang berkembang. Bahkan perbudakan telah menjadi tonggak
penting dalam sistem kehidupan yang harus diakui.39 Ini sekaligus memperkuat
adanya warisan perbudakan sebelum datangnya Rasulullah saw. sang pembawa
agama perdamaian, Islam. Rasulullah saw. memanfaatkan peluang bisnis ini dengan
cara yang menyalahi budaya kaumnya. Ia turut serta membeli budak tatapi bukan
untuk meraut keuntungan; melainkan untuk dibebaskan dari belenggu perbudakan.
Ini benar-benar tindakan yang tidak lazim kala itu.

c. Fenomena Sosiologis
Perbudakan sebagai fenomena sosiologis sulit diusut keberadaannya. Hal
demikian terjadi karena perbudakan telah menyusut ke dalam aturan waris dan
aturan hubungan kemasyarakatan. Kenyataan itu terlihat dari perilaku orang-orang
terdahulu yang masih sederhana. Eksploitasi dan penekanan

antara sesama

merupakan suatu budaya hidup. Sementara yang diperbudak hampir tidak


menyadarinya sehingga mereka enggan melepaskan diri dari belenggu sistem
perbudakan tersebut.
Sekalipun kesadaran mereka timbul, lalu menuntut hak, mereka akan segera
berhadapan dengan bahaya yang senantiasa mengancam kehidupannya.40 Ini dapat
menyebabkan terjadinya penculikan, penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap
38

Muhammad Quthub, Syubht, h. 71.


Bakar Musa, Kebebasan dalam Islam, terjemahan Anshari Umar Sitanggal, (Bandung:
al-MAarif, 1988), h. 201; juga Abbas Mahmud al-Aqqd, Haqiq al-Islm wa Abthilu Khusmihi,
(Cairo: Dr al-Qalm, 1966), h. 287; Nashih Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 7.
40
Muhammad Quthub, Syubht, h. 97.
39

42

diri mereka. Terlebih dalam masyarakat yang melegalkan sistem perbudakan, seperti
pada masyarakat Yunani. Salah satu doktrin para Filosof Yunani adalah adanya
dikotomi antara kemanusiaan dan manusia, yang isinya membolehkan penculikan
terhadap manusia-manusia pesisir untuk kelak diperjualbelikan atau dijadikan budak
guna mengabdi kepada orang-orang Yunani.41
Praktek seperti ini juga dijumpai berlaku di kalangan orang-orang Arab
sebelum datangnya Islam.42 Sinyalemen ini menunjukkan kemungkinan adanya
pengaruh budaya Yunani terhadap bangsa Arab,43 atau setidaknya praktek di atas
telah menjadi tradisi yang merata secara universal di kala itu.
Ketika Rasulullah saw. datang, sistem perbudakan sedang merajalela
sebagai fenomena sosial yang tidak bisa dipungkiri. Bahkan telah berurat berakar di
dalam tradisi masyarakat maupun individu. Tidak satu pun yang menentangnya
apalagi berpikir untuk menghapuskannya.44
Pada kasus tawanan perang misalnya, telah menjadi hukum sosial bahwa
tawanan perang dan musuh yang kalah secara otomatis dipandang sebagai budak.45
Dalam perlakuannya, mereka boleh dibebaskan, diperbudak atau dibunuh. Kasus
lain adalah pengkastaan sebagai strata sosial. Diskriminasi sosial ini turut memberi
andil dalam memperlebar pintu terjadinya perbudakan

seperti yang berlaku di

46

India. Sistem ini telah menempatkan kaum Sudra dan Paria sebagai kasta budak
41

Syalab, Timbangan, h. 299.


Syalab, Timbangan, h. 305.
43
Pengaruh tersebut diduga terjadi setelah adanya assimilasi budaya antara bangsa-bangsa
lain termasuk Yunani dengan bangsa Arab melalui tiga jalur, yaitu perdagangan, perwalian serta
masuknya agama Yahudi dan Keristen. Lihat Ahmad Amin, Fajar Islam, terjemahan Zaini Dahlan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 39.
44
Muhammad Quthb, Syubht, h. 70-71., Nashih Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 7.
45
Kenyataan demikian terlihat dalam tradisi Babilonia. Selanjutnya lihat Roberts, The
Social Law, h. 56; juga Syalab, Timbangan, h. 308.
46
Lihat Ab al-Hasan Ali al-Hasani al-Nadwi, Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat
Kemerosotan Kaum Muslimin, terjemahan Abu Laila Muhammad Tahir, (Bandung: al-Maarif,
1983), h. 67. Al-Nadwi mengatakan bahwa pengkastaan adalah struktur sosial masyarakat India,
bahkan telah diatur dalam manusastra.
42

43

bagi kaum Brahmana. Kaum Brahmana bebas menguasai harta dan diri kaum Sudra.
Sedangkan kaum Paria tidak berhak sama sekali terhadap apa pun juga. Pola
diskriminasi seperti ini sengaja dibuat sebagai alat penjerat. Jika ada salah seorang
anggotanya dimiliki oleh kasta lain, justru dianggap sebagai suatu keutamaan yang
akan mengeluarkan dirinya ke tengah-tengah masyarakat yang lebih tinggi
derajatnya.47 Di sini terdapat dilema psiko-teologis yang sulit dihilangkan terutama
pada masyarakat India. Sebab telah dianggap sebagai dekrit Tuhan yang mesti
ditaati. Suatu paham yang tidak berbeda jauh dengan apa yang berlaku di kalangan
bangsa Yunani dengan dekrit budak alamiyahnya.48 Fenomena sosial negatif di atas
direformasi oleh Rasulullah saw. dengan mengantar masyarakat ke arah yang positif.
Rasulullah saw. menentang adanya dikotomi dan sistem kasta, di mana ada
kelompok yang merasa lebih terhormat ketimbang kelompok lainnya. Beliau dengan
tegas menyampaikan bahwa tidak ada perbedaan antara bangsa Arab dengan bangsa
lainnya, antara kulit putih dan kulit hitam, tetapi yang membedakan adalah kadar
ketaqwaannya kepada Allah swt.49

d. Fenomena Psikologis
Fenomena psikologis dianggap turut memberi andil terhadap langgengnya
sistem perbudakan. Sebagaimana telah disinggung terdahulu, para budak yang
menginginkan kebebasan akan berbalik menjadi ancaman serius bagi kehidupannya.
Hal ini akan memberikan dampak psikologis yang terpatri dalam jiwa para budak
sehingga mereka terpaksa memilih bernaung lebih aman di bawah kekuasaan
tuannya.
47

Syalab, Timbangan, h. 298.


Budak alamiyah diistilahkan oleh Aristoteles dengan natur slave . Lihat Lewis, Race
and Slavery, h. 5.
49
Lihat kembali pembahasan bab dua sub A, khususnya masalah prinsip persamaan dalam
Islam.
48

44

Pada dasarnya para budak mendambakan kebebasan dan kemerdekaan,


karena kemerdekaan adalah hak asasi setiap manusia. Tetapi tidak demikian jika
ditinjau dari aspek psikologis. Hidup bagi mereka adalah kebiasaan. Keadaan yang
dibentuk oleh manusia, mempengaruhi perasaan dan psikologisnya. Keadaan
psikologis budak berbeda dengan keadaan psikologis orang merdeka. Bukan karena
perbedaan jenis seperti anggapan orang-orang terdahulu. Kehidupan di bawah
naungan perbudakan itu telah membuat persiapan psikologis para budak sesuai
dengan keadaan yang dihayati, di mana rasa tunduk dan patuh telah tumbuh dengan
subur di dalam jiwanya. Sebaliknya, rasa tanggung jawab semakin lenyap.
Tugas mereka hanyalah taat dan turut terhadap segala perintah tuannya.
Tetapi ia tidak dapat memikul beban tanggung jawab sekalipun sederhana. Mereka
bukan lemah dari segi fisik atau daya intektual untuk mengerjakan sesuatu. Tetapi
jiwa dan mentalnya tidak lagi mampu memikul resiko dan tanggung jawab. Ia
membayangkan bahaya dan kesulitan yang tidak bisa dipecahkan. Maka jalan satusatunya adalah lari untuk mencari perlindungan dari bahaya tersebut.50
Demikian pula yang terjadi pada sistem kasta. Kasta Paria merasa senang
bila mereka dikuasai oleh kasta Brahmana atau kasta lainnya.51 Pada kondisi
psikologis seperti ini, sistem kasta sulit tergoyahkan. Dinamikanya pun hanya
sebatas kebanggaan sosial yang pada akhirnya melahirkan kepatuhan absolut. Tugu
sistem ini hanya bisa tumbang manakala kaum Brahmana sendiri yang
menggugatnya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tugu itu tetap berdiri kokoh
pada tapak budaya India.
Dikotomi manusia dan kemanusiaan ini melahirkan pandangan bahwa
kaum Paria memang diciptakan sebagai pelayan, dan dalam segala hal pantas untuk

50

Muhammad Quthub, Syubht, h. 57-58.


Ahmad Syalab, Perbandingan Agama: Agama Islam, terjemahan M. Arifin, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1990), h. 229.
51

45

menanggung segala kehinaan. Wasiat inilah yang menyebabkan hati nurani para
tuan tega membunuh, menghukum, membakar atau membebaninya dengan
pekerjaan yang melebihi kapasitas kemampuan mereka.52
Pada dasarnya yang dipraktekkan dalam sistem perbudakan di mana saja
adalah mencakup segi-segi jasmani dan pikiran. Budak harus mengikuti jejak
tuannya dalam hal kepercayaan dan pemikiran. Sama seperti ia harus bekerja untuk
tuannya dengan segenap tenaga dan jasmaninya. Baginya dilarang untuk mengikuti
pemikiran dan saran orang lain yang bukan tuannya.53
Eksploitasi integral terhadap manusia dan kemanusiaan yang terus menerus
inilah yang mengakibatkan semakin kukuhnya cengkraman perbudakan. Di
antaranya melalui keturunan-keturunan manusia yang mendapat perilaku khusus
dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat yang terjerat sistem kasta.
Dari pengamatan yang telah dilakukan oleh para ilmuan sebagaiman uraian
di atas, menunjukkan bahwa pola perilaku kejiwaan akan dipengaruhi pula oleh
faktor keturunan. Apalagi dalam menyikapi strata sosial seperti itu diperkuat oleh
adanya kepatuhan yang bertendensi teologis. Ini berarti, faktor psiko-teologis
sebagai sisi kewajiban lain untuk patuh kepada Tuhan, telah memperkuat tali
ketergantungan budak pada perbudakan. Akibatnya adalah semakin dalamnya jurang
dikotomi masyarakat penganutnya. Melihat fenomena psikologis seperti itu,
Rasulullah saw. melakukan upaya pengembalian rasa kepercayaan dalam diri para
budak. Rasulullah saw. menganjurkan untuk tidak lagi memanggil mereka
sebagaimana panggilan sebelumnya.54 Bahkan dianjurkan untuk memanggil mereka
dengan panggilan saudara yang penuh kasih sayang, sopan santun, dan
kekeluargaan.

52

Muhammad Quthub, Syubht, h. 60.


Syalab, Timbangan, h. 305.
54
Lebih jelasnya lihat pembahasan pada bab IV, khususnya pada sub A dan B.
53

46

e. Fenomena Teologis
Di samping fenomena-fenomena tersebut di atas, fenomena teologis juga
turut memberi pengaruh terhadap perilaku manusia yang termasuk dalam sistem
perbudakan.
Secara psiko-teologis, pengaruh itu merasuk ke dalam seluruh lapisan strata
sosial. Anehnya, masyarakat menerimanya dan terealisasi melalui bentuk
kepemilikan dan kepatuhan. Tetapi penerimaan ini menjadi wajar apabila ditinjau
dari doktrin teologis sebagai kuasa mutlak Tuhan, baik langsung maupun melalui
wakil-wakilNya di dunia wajib ditaati. Pengingkaran terhadap doktrin ini adalah
kekafiran yang, baik fisik maupun psikologis akan berbahaya bagi kehidupan
mereka di kemudian hari.
Biasanya doktrin teologis ini berupa penciptaan manusia yang bertendensi
strata sosial, seperti yang terjadi pada bangsa Romawi, Yunani, Yahudi dan atau
yang terdapat pada sistem kasta di India.
Dalam agama Hindu, kaum Sudra diangap lahir dari kaki Dewa. Oleh sebab
itu, pembawaan diri mereka adalah rendah dan hina. Ini diakui sebagai nasib yang
mutlak diterima agar mereka beringkarnasi kepada makhluk atau kasta yang lebih
tinggi. Karenanya, para penindas tidak hanya puas dengan sekedar mendesak
mereka kepada keadaan perbudakan jasmaniah yang malang; tetapi melangkah lebih
jauh bahkan merampas kehendak mereka untuk bangkit memberontak terhadap
tatanan masyarakat yang tidak adil yang membawa mereka kepada kesengsaraan dan
kehinaan.55
Kalau pihak yang dieksploitasi sedemikian tekunnya, tidak demikian
pada pihak pengeksploitasi. Pada diri mereka dipandang

telah mengalir hak

ketuhanan yang telah disepakati keyakinannya. Ini terjadi pada raja-raja atau kaum
55

Muhammad Quthub, Syubht, h. 60-61; juga al-Nadwy, Kerugian Apa, h. 67.

47

bangsawan di Persia. Mereka menganggap diri mereka bukan lagi sebagai manusia
biasa. Sedangkan para rakyat adalah budak mereka. Rahmat bagi rakyat didapat
apabila Raja atau kaum bangsawan itu telah merestui mereka.56
Jika dikotomi ini telah menjadi keyakinan

merata dalam kalangan

masyarakat, maka tidak mungkin ada gejolak tuntutan hak atau perubahan terutama
dari para pemuka agama mereka. Sebaliknya, justru bertindak sebagai pengawas
kemapanan dikotomi tersebut. Itulah sebabnya tidak sedikit pendeta dalam sejarah
Yunani yang mengecam perbudakan. Demikian juga yang terjadi pada sikap
Paulus.57 Sebab, pada dasarnya yang mendasari pelegalan perbudakan yang
berkedok agama ini, umumnya dipicu oleh kekeliruan memahami wahyu-wahyu dari
kitab suci yang akhirnya melahirkan fatwa-fatwa para tokoh agama. Ajaran-ajaran
itulah yang kerap melestarikan perbudakan.
Dalam ajaran Yahudi, perdagangan dan peperangan yang melahirkan
perbudakan itu tidak dilarang bahkan ia merupakan jalan terbuka.58 Keterbatasan
memperbudak memang terlihat pada ajaran ini. Namun tidak dapat menghapuskan
perbudakan itu sendiri. Hal demikian terjadi karena adanya perpindahan dari
seseorang kepada orang lain, bahkan terhadap kelompok tertentu lainnya. Karena
agama dianggap telah melegalkannya, maka sistem itu bertambah kuat dinamikanya.
Inilah yang terjadi pada motif peperangan Yahudi. Menurut ajaran mereka,
sebagaimana tercantum dalam sebuah ayat mengatakan bahwa serulah mereka
terlebih dahulu kepada perdamaian. Sekiranya dia menjawab seruan damai itu dan
menerimamu masuk, maka engkau berhak menghina semua penduduknya dan
memperbudak mereka. Sekiranya mereka tidak menerima seruanmu, malah bersedia
56

Syalab, Perbandingan, h. 229. juga dalam Timbangan, h. 298.


Syalab, Perbandingan, h. 230.
58
Dalam Perjanjian Lama, Keluaran 21:2 disebutkan: Jikalau kamu membeli kaum Ibrani,
hanya enam tahun ia boleh bekerja padamu, tetapi pada tahun ketujuh tak dapat ia harus dilepaskan
menjadi seorang merdeka dengan tidak membayar tebusan apa-apa. Lihat Lembaga, al-Kitab, h. 91.
juga kitab Ulangan: 15, h. 224.
57

48

berperang, maka kepunglah, dan apabila Tuhan menyerahkannya kepadamu,


bunuhlah semua kaum laki-laki, tetapi perempuan, anak-anak, binatang-binatang
dan semua yang ada di negeri itu merupakan harta rampasan kepunyaanmu.59
Jelas bahwa peperangan seperti itu merupakan kolonialisasi murni yang
bersifat ofensif, dan bukan jalan dakwah sebagaimana yang dianjurkan dalam ajaran
Rasulullah saw., yang meletakkan peperangan sebagai alternatif terakhir dalam
rangka defensif, bukan opensif.
Ekses peperangan adalah pembunuhan terhadap kaum laki-laki tanpa
terkecuali. Perbudakan pun terjadi terutama pada kaum perempuan dan anak-anak.
Keadaan seperti inilah yang mengakibatkan pengeksploitasian terhadap martabat
kaum perempuan sebesar-besarnya. Bahkan mereka dapat dijadikan sebagai motif
dan obyek utama dari peperangan itu sendiri.
Perbudakan menjadi semakin melekat pada keyakinan umat tertentu di saat
para pemuka agama memproklamirkan kewajiban bagi budak untuk patuh kepada
tuannya. Ini merupakan upaya penebusan dosa perbudakan yang harus ditunaikan
oleh mereka.60
Kepatuhan ini juga didasari atas dikotomi antara tuan-tuan yang dipandang
sebagai al-Masih dan para budak sebagai para pelayan mereka. Itulah yang pernah
diperintahkan Paulus dalam seruannya kepada penduduk Epsis.61 Begitulah
fenomena teologis turut menjustifikasi perbudakan. Legalisasi agama telah
59

Selengkapnya lihat Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 20:1-20 dikatakan: Ketika engkau
mendekati sebuah negara untuk menaklukkannya, maka serulah mereka terlebih dahulu kepada
perdamaian. Sekiranya dia menjawab seruan damai itu dan menerimamu masuk, maka engkau
berhak menghina semua penduduknya dan memperbudak mereka. Sekiranya mereka tidak menerima
seruanmu, malah bersedia berperang, maka kepunglah, dan apabila Tuhan menyerahkannya
kepadamu, bunuhlah semua kaum laki-laki, tetapi perempuan, anak-anak, binatang-binatang dan
semua yang ada di negeri itu merupakan harta rampasan kepunyaanmu. Lihat Lembaga, al-Kitab, h.
230.
60
Syalab, Perbandingan, h. 233; juga al-Aqqd, Haqiq, h. 286.
61
Lihat Hamka, Tafsir, h. 208.

49

meletakkan suatu sistem yang menjerat masyarakat dalam perbudakan melalui


pengkastaan, keturunan dan aturan peperangan.
Keterkaitan antara memperjuangkan kebebasan dengan agama tidak
terlepas dari watak agama itu sendiri. Agama di satu sisi merupakan kekuatan
pembebasan dari segala bentuk belenggu dan penindasan yang selalu terjadi
sepanjang sejarah hidup manusia. Namun di sisi lain, agama juga sering dijadikan
sebagai

alat

penindas,

atau

setidaknya

untuk

menjustifikasi

kondisi

ketidakberdayaan manusia mnghadapi berbagai bentuk penindasan.

2. Perbudakan Sebelum Islam: Stratifikasi Sosial Masyarakat Arab


Pembicaraan mengenai stratifikasi sosial di sini difokuskan kepada
masyarakat Arab adalah untuk memahami keberadaan dan peran yang dimainkan
Rasulullah saw. dalam menghapuskan perbudakan. Hal itu diperlukan karena
stratifikasi sosial menjelang dan ketika beliau menyampaikan ajarannya turut
memberi andil terhadap lahirnya hadits-hadits perbudakan. jadi misi dakwahnya
hanya dapat dipahami secara tepat setelah memahami kondisi sosial-budaya bangsa
Arab ketika itu.
Menurut data sejarah, bangsa Arab di Jazirah Arabia terbagi menjadi dua
golongan, yakni Arab yang sering berpindah tempat dan Arab yang menetap. Arab
yang sering berpindah-pindah dikenal dengan Arab Badwi. Mereka gemar
mengembara dengan mengandalkan hasil ternaknya.62 Ternak mereka dibawa ikutserta dalam pengembaraan guna mencarai padang rumput dan mengikuti keinginan
62

Ternak mereka umumnya kambing, biri-biri, kuda dan terutama unta. Bagi mereka, unta
dan kuda berfungsi sebagai alat transfortasi. Selanjutnya baca Philip K. Hitti, History of The Arabs,
tenth edition, (New York: Corlear Boy Club Lake Champlain, 1970), h. 23; William Montgomery
Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburg: Edinburg University Press, 1973), h. 20,
Ahmad Amin, Duh al-Islm (Kairo: Maktabah al- Mishriyah, 1973), h. 322-323, Muhammad Ab
Zahrah, Trkh al-Mazhib al-Islmiyyah (tt.: Dr al-Fikr al-Arabiyyah, 1971), h. 68-59.

50

hatinya. Di samping mayoritas, mereka terdiri atas kabilah-kabilah yang tidak


mengenal dan terikat oleh suatu peraturan tertentu seperti tata cara kehidupan orang
di perkotaan. Mereka hanya mengenal kebebasan penuh.63 Bahkan merampok dan
merampas, baik binatang ternak maupun terhadap perempuan dan anak-anak adalah
budaya negatif mereka. Wajar saja, jika di antara suku-suku Arab terdapat potensi
atau ajang peperangan sebagai kesempatan untuk saling membalas, bahkan terhadap
suku-suku yang masih ada ikatan kekerabatan. Potensi permusuhan antar suku itu
pun telah mengakibatkan berlindungnya suku-suku yang lemah kepada yang lebih
kuat, meskipun perserikatan mereka tidak berlangsung lama.
Kehidupan mereka tergantung kepada alam. Mereka tidak memiliki
kecakapan berdagang, kecuali sebagai kusir, petunjuk jalan atau pengawal kafilah
pedagang yang sering rawan dari para penyamun.64 Ini peran positif mereka.
Golongan kedua adalah Arab yang menetap. Mereka menetap di kota-kota
dengan mata pencaharian berdagang atau bercocok tanam.65 Dalam hal ini,
perdagangan telah menjadi salah satu jalur penghubung bangsa Arab dengan bangsabangsa lainnya yang telah maju sejak lama. Ini menunjukkan betapa sebenarnya
perdagangan telah merasuk ke dalam kehidupan sosial mereka. Kondisi ini tidak
terlepas dari letak geografis Jazirah Arab yang strategis. Sehingga, sejak dahulu kala
telah menjadi lalu lintas perdagangan darat yang ramai.66
Semenjak perdagangan Arab beralih dari orang-orang Yaman kepada
orang-orang Hijaz, pusat perdagangan Arab pun beralih ke Makkah dengan sumur
Zam-zamnya yang dibutuhkan oleh para kafilah dagang.67 Dengan

sendirinya,

Ahmad Muhammad Husain Haikal, Hay Muhammad, (al-Qhirah: Matbaa al- Mishra
Syirkat Musham Mishriyyah, 1945), h. 79.
64
Haikal, Hayt, h. 79.
65
Haikal, Hayt, h. 14.
66
Haikal, Hayt, h. 15.
67
Haikal, Hayt, h. 17. Pernyataan Haikal tersebut bukan berarti menafikan peran Yaman
dari kegiatan ekonomi Arab, sebab pelabuhan Makkah pada saat itu berada di Yaman.
63

51

Makkah menjadi kota dagang dunia yang ramai dan makmur. Di saat itulah, Makkah
hampir merupakan pusat perdagangan antara Lautan India dan Lautan Tengah. Di
samping itu, Makkah menjadi sandaran utama dalam impor barang-barang mewah
bagi Kerajaan Roma.68
Ini menandakan telah terjadi hubungan dagang serta diplomatik antara suku
Arab dan pembesar-pembesar Romawi. Dalam kemakmurannya, penduduk Makkah
memiliki keburukan-keburukan yang biasa melekat pada masyarakat niaga yang
kaya. Karena, di satu sisi terdapat kekayaan melimpah dan hanya dinikmati oleh
orang-orang tertentu, tapi di sisi lain terdapat masyarakat yang hidup dalam
kemelaratan. Mereka adalah budak-budak belian dan orang-orang sewaan.
Akibatnya terjadi kesenjangan sosial yang mengancam ketentraman hidup.69
Melalui perdagangan inilah terjadi akulturasi bangsa Arab dengan Romawi
atau Persia. Kebudayaan baru pun masuk meskipun bukan merupakan ilmu yang
teratur sebagaimana pada masa setelah modern.70 Tetapi justru dengan jalan begini,
kemurnian budaya Arab dapat terlihat dengan jelas. Salah satu budaya yang
menggambarkan mentalitas bangsa Arab ialah kemahiran menghias kata secara
spontanitas tanpa melalui renungan dan pikiran yang lama. Ini terlihat dari
peninggalan kesusastraan mereka yang indah dan kefitrahan yang masih utuh dan
murni.71
Namun demikian, kesusastraan mereka tidak mengisyaratkan kepada
kecerdasan kreatif. Bayangan cita yang tinggi tidak tergambar dalam syair-syair
yang berisi

khayalan namun sedikit

lebih indah dari kehidupan

yang

sesungguhnya.72
68

HAR. Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah, terjemahan Abusalah, (Jakarta: Bhatara
Karya Aksara, 1983), h. 18.
69
Gibb, Islam, h. 18.
70
Ahmad Amin, Duh, h. 40.
71
Ahmad Amin, Duh, h. 50.
72
Ahmad Amin, Duh, h. 51

52

Jiwa kesusastraaan ini menggambarkan watak mereka yang menerima


sesuatu apa adanya. Mereka tidak ingin terikat. Tapi sebaliknya, cenderung kepada
kemerdekaan yang tak terbatas dan mengarah kepada kemerdekaan individu.
Akibatnya, mereka tidak mudah tunduk kepada pemimpin atau penguasa. Terhadap
sesama mereka, ada cinta kepada persamaan kesukuan yang oleh para ahli disebut
ashabiyyah.73 Tetapi terhadap bangsa lain, mereka merasa dari keturunan yang
istimewa. Ini terbukti ketika mereka menguasai bangsa Persia dan Romawi.
Pandangan mereka bagaikan pandangan seorang penguasa kepada rakyat yang
dikuasainya.74
Perasaan kesukuan yang ketat ini disebut Ghazalba sebagai khauvinisme
suku, yaitu bela saudaramu sebani, tak pandang apakan dia salah atau benar.
Kesukuan inilah, demikian Ghazalba, yang merupakan sumber perselisihan,
pertentangan bahkan peperangan yang berlangsung terus-menerus.75 Fanatisme
golongan pada bangsa Arab telah menyebabkan watak yang rawan akan sikap
konfrontatif internal dan eksternal. Sikap inilah yang merupakan potensi kekuatan
yang berujung pada terciptanya perbudakan terhadap musuh yang kalah.
Perang antar suku, di samping melahirkan struktur dan stratifikasi sosial
dengan gejala seperti munculnya konsep bangsawan, budak, harem mawl, juga
melahirkan beberapa institusi hukum yang bertujuan mengeliminir kekerasan
73

Yang dimaksud ashabiyyah ialah keterkaitan subyektif setiap orang terhadap nasab dan
golongannya yang diciptakan oleh Allah di hati hamba-hamba-Nya untuk cinta dan kasih terhadap
keluarga dan kerabatnya. Perasaan cinta dan kasih tersebut menimbulkan perasaan senasib dan
sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, kerjasama dan saling membantu dalam menghadapi musibah
yang menimpa mereka, menghadapi ancaman musuh dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Pertalian yang demikian melahirkan persatuan dan pergaulan (al-ittihd wa al-ittihm). Ashabiyyat
juga bertujuan untuk mewujudkan kekuasaan (al-mulk), guna memberikan perlindungan dan
memelihara pertahanan untuk mencapai tujuan bersama. Perasaan demikian menurut Ibn Khaldun
timbul secara alamiah dalam kehidupan manusia karena adanya pertalian darah atau pertalian
perkauman. Selanjutnya lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah, (t.tp.: Dr al-Fikr, t.th.), h. 10.
74
Khaldun, Muqaddimah, h. 51-52.
75
Sidi Ghazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi Sosiografi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 142.

53

antarsuku. Kelompok-kelmpok lebih kuat mempunyai pengaruh lebih besar daripada


kelompok yang lebih kecil. Biasanya, kelompok masyarakat lemah yang tidak
terikat dalam satu suku akan meminta perlindungan kepada suku-suku yang lebih
kuat, tentu dengan beberapa konsekuensi. Kelompok-kelompok yang lebih kuat
berfungsi sebagai patron yang memberikan perlindungan terhadap kelompok
masyarakat yang memperoleh perlindungan antara lain dikenal dengan istilah
mawl.76
Orang-orang yang berstatus mawl berbeda dengan budak. Mawl
kedudukan sosialnya lebih tinggi daripada budak. Mereka tetap dianggap sebagai
manusia merdeka. Hanya saja mereka dibebani beberapa kewajiban kepada
pelindungnya. Budak sepenuhnya berada di bawah kekuasaan tuannya, dapat
diperjual-belikan, dan berkewajiban melayani segala macam kebutuhan tuannya,
termasuk untuk dikawini oleh tuannya. Dalam struktur masyarakat Arab, kelompok
mawl hanya berada setingkat di atas budak, tetap dipandang rendah statusnya
dalammasyarakat. Mereka tidak diperkenankan mengawini keluarga pelindungnya.
Di dalam masyarakat Arab terdapat sejumlah gelar yang memberikan
konotasi kelas, seperti anak yang lahir dari perkawinan campuran biasanya disebut
al-ajam, jika ayahnya orang Arab dan ibunya orang asing (non-Arab) maka
anaknya disebut al-hjin, jika ibunya orang Arab dan ayahnya non-Arab maka
anaknya disebut al-muzhri.77 Melihat keadaan sosial-budaya masyarakat seperti itu,

76

Mawl adalah bentuk jamak dari kata mawl, berarti pelindungan. Padanannya dalam
bahasa inggeris ialah client. Lihat David White Biddle, The Development of the Bureacracy of the
Islamic Empire during among the Late of Umayyad and Early Abbasid Period, (Texas: Texas
Univercity, 1972), h. 54.
77
Lihat Fathimah Mernissi, al-Shulthn al-Munsiyt: Nis Ras Daulah f al-Islm,
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abd Hadi Abbas dan Jamil Mualla, (Damsyiq: Dr alHashd wa al-Tawzi, 1994), h. 100.

54

Rasulullah saw. mengambil langkah bijaksana78 dengan tanpa menimbulkan gejolak


sosial.

3. Perbudakan Setelah Datangnya Islam


Pada prinsipnya Rasulullah saw. telah mengeringkan dan menutup semua
sumber perbudakan klasik kecuali dua sumber, yaitu budak warisan dan budak
perang.79 Terhadap budak warisan, Islam pun telah melakukan upaya penghapusan
dengan jalan menetapkan anak si budak dari tuannya menjadi merdeka, dan
nasabnya pun bersambung kepada tuannya yang merdeka tersebut.80 Dengan
demikian terputuslah rantai perbudakan yang juga mengikat keturunannya. Adapun
peperangan adalah sistem internasional dan bahkan masih berlaku sampai saat ini.81
Oleh sebab itu, budak dari tawanan perang masih diperbolehkan oleh Islam. Namun
demikian, seusai perang diperbolehkan menukar tawanan perang.82 Menurut AnNaiim, peperanganlah yang merupakan jalan satu-satunya bagi orang yang lahir
merdeka dapat menjadi budak. Akan tetapi, peperangan itu mesti bertendensi syar i,
yang mempunyai syarat-syarat tertentu.83 Syarat-syarat tersebut antara lain:
78

Misalnya setelah Rasulullah saw. bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah, kelompok
pengungsi dari Makkah diberi gelar al-muhjirn (orang-orang yang berpindah tempat tinggal), dan
penduduk asli kota Yatsrib (sekarang Madinah) diberi gelar al-anshr (penolong). Kedua istilah ini
tidak mengisyaratkan perbedaan kelas, sehingga antara kedua kelompok masyarakat tersebut tidak
ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah daripada kelompok lainnya, walaupun pada
kenyataannya, kelompok muhjirn pada mulanya memberikan beban sosial ekonomi kepada
kelompok anshr. Selanjutnya lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif alQur an, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 116-117.
79
Wfi, al-Hurriyyt, h. 26-27; Lewis, Race, h. 7.
80
Wfi, al-Hurriyyt, h. 27.
81
Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 11.
82
Al-Aqqd, Haqiq, h. 289; Abdullah Ahmad Al-Nam, Dekontruksi Syariah: Wacana
Kebebasan Sipil, Hak-Hak Azasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terjemahan
Suaidy dan Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 331.
83
Al-Nam, Dekontruksi, h. 332; Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 12-18. Sedangkan Ali Abdul
Wahid Wafi menyebutkan tiga syarat yang membolehkan perang syari yaitu: 1. Sebagai upaya
defensif, 2. Merusak perjanjian, dan 3. Adanya sebab berbahaya berkenaaan dengan keselamatan
negara dan hukum dari fitnah. Secara substansi, sama saja dengan pendapat Ulwan, hanya saja wafi

55

Pertama, F Sablillah. perang itu bertendensi menegakkan kalimat Allah,


bukan untuk menjajah dan merampok. Kedua, Upaya diplomatik. Upaya ini
bertujuan untuk menghindari pertumpahan darah sehingga harus didahului oleh tiga
alternatif; pertama, tawaran untuk memeluk Islam, kedua, bersedia membayar jizyat,
bila menolak, ketiga, berperang sebagai alternatif terakhir.
Meskipun ada tiga persyaratan di atas, tetapi Islam tidak mutlak
menjadikan tawanan kafir sebagai budak. Para tawanan perang ini berada di bawah
kebijaksanaan para pemimpin Islam. Mereka dihadapkan kepada empat alternatif:
a.

Mannu, yaitu pembebasan tanpa tebusan.

b.

Fid, yaitu pembebasan dengan tebusan.

c.

Qatl, atau hukum bunuh apabila keberadaannya akan tetap membahayakan

Islam.
d.

Istirqq, yaitu dijadikan budak. 84


Dari sini terlihat bagaimana proses para tawanan perang syar i menjadi

budak kaum muslimin. Empat alternatif yang ditetapkan menandakan bahwa


memperbudak tawanan perang bukanlah satu-satunya dari akibat peperangan.
Bahkan, ketetapan dari kriteria perang itu sendiri pun telah menunjukkan betapa
para tawanan itu tidak absah eksistensinya bila tidak dalam perang syar i dengan ciri
khas tersendiri. Dengan kata lain, Islam menyikapi perbudakan tidak sama dengan
apa yang terjadi pada peperangan bangsa Romawi ataupun Yunani.
Ironisnya, peperangan kebanyakan terjadi setelah masa Nabi Muhammad
saw. dan

masa Khulafa al-Rasyidin. Peperangan yang banyak tersebut adalah

peperangan syar i yang justru berakibat meningkatkan kuantitas budak menjadi

mengecualikan perbudakan bagi tawanan dari kedua kelompok muslim yang berperang. Selanjutnya
baca Wfi, al-Hurriyyt, h. 29.
84
Al-Nam, Dekontruksi, h. 332.

56

tinggi. Dalam sejarah Islam, kemenangan besar dapat dicapai kaum muslimin dari
tahun 2 H/ 624 M. 132 H/ 750 M.85 Meskipun demikian, pembatasan kriteria
perang setidaknya telah mencegah pembengkakan kuantitas budak pada masa
berikutnya.
Di masa Rasulullah saw. sendiri, penanganan tawanan perang tercermin
dalam al-Quran Surah Muhammad (47): 4 yang mengatakan bahwa apabila kamu
telah mengalahkan musuh, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh
membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.86
Keterangan tersebut memberikan indikasi bahwa pada hakikatnya tidak tercantum
perintah untuk memperbudak, dan ayat itu sekaligus sebagai pedoman Rasulullah
saw. dalam menangani para tawanan perang. Oleh sebab itu, pada masa Rasulullah
saw. dan Khulafa al-Rasyidin, baik secara politis, historis maupun syar i, sudah
jarang budak yang lahir karena perang.87
Sepanjang periode Arabia, 13-132 H. / 634-750 M.,88 para khalifah
menerima harta rampasan dalam jumlah besar yang dikirim oleh komandankomandan yang menang dalam pertempuran sebagai khumus, yakni seperlima yang
diperuntukkan bagi penguasa.89 Belakangan bentuk khumus berkembang menjadi
85

Lihat Lewis, Race, h. 7.


QS. Muhammad (47) : 4.

86


...

Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher
mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu
kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.
87
Keadaan demikian akan semakin jelas setelah kita mengkaji hadis-hadis yang berkaitan
dengan perbudakan sebagai inti kajian dalam Disertasi ini.
88
Pipes membagi Periode Islam Klasik menjadi tiga era; Zaman Muhammad (1-13 H.) /
622-634 M.), Zaman Arabia (13-132 H. / 634-750 M.), dan zaman Abbasiyah I (129-205 H. / 747820 M.). baca Daniel Pipes,Tentara Budak dan Islam, terjemahan Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986), h. 187.
89
Pipes,Tentara, h. 235.

57

para tangkapan perang yang dihadiahkan. Para khumus ini sering datang dari Afrika
Utara. Musa bin Nushair mengirim 60.000 tangkapan kepada Abd. Malik bin
Marwan, 30.000 40.000 tangkapan kepada al-Walid I pada tahun 714 H. dan
100.000 kepada Sulaiman.90 Ini menunjukkan kembalinya perbudakan dengan
bentuk yang baru.
Sumber budak tidak hanya dari kemenangan peperangan saja. Tetapi
sebagai tindak lanjutnya, para khalifah mengatur secara kontinyu agar daerah-daerah
yang ditaklukkan menyerahkan upeti berupa budak-budak kepada penguasapenguasa pusat sebagai jaminan, hingga penaklukan berakhir.91
Praktek upeti ini sebenarnya pernah terjadi pada masa Khulafa al-Rasyidin.
Di masa Umar bin Khattab, Amr bin Ash di tahun 20 H / 641 M telah menetapkan
bahwa kaum Barbar Luwata di Barqa, wajib membayar sebagian dari pajaknya
dengan budak-budak dari rakyat mereka sendiri. Perjanjian-perjanjian pada masa
pemerintahan Usman dengan Merv, Zaranj, Kirman dan penguasa-penguasa yang
tak dikenal di Transoxiana memasukkan perihal pengiriman budak. Itulah sebabnya
di tahun 46 H. / 666 M., Uqba bin Nafi, penakluk Afrika Utara, pernah menetapkan
agar Fezza mengirim 360 budak setiap tahun. Demikian Hajjaj, mengadakan
perjanjian dengan Ruthbil, penguasa Sajistan, agar menyerahkan budak-budak serta
barang-barang lainnya. Hisyam di tahun 114 H. / 732 M., mendapat kiriman budak
dari gubernurnya di Ifriqiyah sebanyak 20.000 budak dan 700 budak wanita serta
700 karim sebagai hadiah sukarela.92 Sebahagian upeti budak ini ada yang
digunakan untuk tujuan militer.93

90

Pipes,Tentara, h. 235-6.
Pipes,Tentara, h. 236.
92
Pipes, Tentara, h. 237.
93
Pipes menyatakan bahwa dari sekian data yang ada, hanya satu yang eksplisit
menunjukkan bahwa budak tersebut digunakan untuk tujuan militer, yaitu ketika gubernur Umayyah
di Irak meminta 1000 orang mamluk bersenjata dan berkuda dari gubernur Khurasan, Nashr bin
Yassar, dan ternyata pesanan itu dikirimkan sesuai dengan permintaan. Lihat Pipes, Tentara, h. 238.
91

58

Di zaman Abbasiyah, budak tidak didapat seperti halnya pada masa


Khulafa al-Rasyidin, dan Umayyah. Akan tetapi budak didapatkan dengan cara
membeli hampir semua budak-budaknya. Hal ini terjadi karena Abbasiyah hampir
tidak pernah mempunyai daerah taklukan sendiri. Hanya dalam kesempatan yang
jarang sekali para khalifah tidak membeli budak, yaitu ketika Harun al-Rasyid
menerima pajak 100 dan 1000 orang sebagai kharaj dari Gilan, juga 1000-4000
orang Turki dari Khurasan.94
Al-Mansur mewariskan 40.000 budak belian kepada anaknya, al-Mahdi
sebuah jumlah yang tidak pernah dimiliki khalifah-khalifah sebelumnya. Sementara
al-Amin memiliki 50. 000 bilah pedang milik Shakiris dan ghulam-ghulamnya
(sebagai persenjataan).95 Di samping sebagai pelayan yang patuh, mereka juga
difungsikan dalam resimen militer yang disebut kaum Jaradiah dan pasukan dari
orang-orang Ethiopia, yang disebut kaum Ghurabiyah.96
Eksistensi budak sebagai yang diungkap di atas, telah membuktikan bahwa
perbudakan dalam lintas sejarah Islam kembali eksis. Namun demikian sumber
eksisnya perbudakan itu sendiri berbeda pada masa sebelum datangnya Islam.
Sumber budak yang bersifat politis itu lebih terfokus kepada tawanan perang dan
upeti dari daerah-daerah yang ditaklukkan.
Adapun praktek pembelian budak adalah bentuk kegiatan ekonomis dari
kemunculan budak di masa lalu. Praktek ini telah ada jauh sebelum Dinasti
Abbasiyah mempraktekkannya, yaitu pada masa Muawiyah I. Padahal sampai pada
masa akhir Khalifah Empat pertama, praktek itu tidak dikenal, setidaknya, menurut
Ameer Ali, tidak ada data otentik yang menyatakan hal itu selama mereka

94

Pipes, Tentara, h. 239.


Pipes, Tentara, h. 240.
96
Pipes, Tentara, h. 241
95

59

memerintah.97 Dengan demikian, dua sumber yang ada kemudian di masa pasca
Khalifah Empat dan seterusnya, adalah bersifat politis dan ekonomis.
Kemunculan sumber perbudakan ini lebih tepat dikatakan sebagai
penyimpangan syariat Islam yang dilakukan oleh para penguasa pada masa
tertentu.98

Secara periodik kedua sumber ini saling mendominasi pada setiap

pemerintahan dan Dinasti yang berkuasa. Budak dari upeti muncul di masa Khulafa
al-Rasyidin. Budak dari tawanan perang muncul lebih dominan di masa Dinasti
Umayyah, sedangkan budak belian lebih dominan di masa Abbasiyah.
Khusus terdapatnya dominasi sumber budak dari tawanan pada masa
Dinasti Umayyah, adalah lebih disebabkan oleh banyaknya peperangan akibat
ekspansi wilayah Islam yang mencapai wilayah terluas sepanjang masa Islam. Data
jumlah budak-budak tawanan itu terbukti dari kepemilikan dan pengiriman
rampasan perang sebagai persembahan pasukan kepada penguasa pusat.
Adapun di masa Dinasti Abbasiyah, para budak lebih dominan didapat dari
pembelian besar-besaran. Hal ini terjadi karena peperangan ekspansi sudah jarang
terjadi di bandingkan dengan masa Dinasti Umayyah.
Standarisasi jual-beli itu ditentukan oleh kriteria pendidikan dan
pengetahuannya dalam berbagai bidang. Semakin tinggi tingkat pengetahuannya,
maka semakin tinggi pula harga jualnya.99 Sebahagian mereka ada yang mencapai
popularitas seperti Ishraq al-Suwaida, wanita hitam kecil cantik yang telah
termasyhur pada abad X di Spanyol atas pengetahuannya dalam bidang tata bahasa

97

Sayyed Ameer Ali, The Spirit of Islam, A History of The Evaluation an Ideals of Islam
with a Life of Prophet, (New Delhi: Idarah al-Adabiyah Delhi, 1978), h. 267.
98
Ameer Ali, The Spirit, h. 266; juga Syalab, Perbandingan, h. 249-251.
99
Di Masa Dinasti Umayyah, budak tanpa memiliki keterampilan berharga 200 Dinar, yang
memiliki keterampilan berharga 400 Dinar, dan bila pandai bersyair berharga 600 Dinar. Lihat
Zaidan, Trkh, h. 57-58.

60

dan ilmu persajakan.100 Jadi ada dua popularitas yang terungkap bagi kaum budak
dalam sejarah Islam, yaitu popularitas dalam bidang politik dan bidang seni budaya.
Sebagai upaya meningkatkan nilai komersial budak, maka didirikanlah
sekolah-sekolah misalnya di Bagdad, Madinah, dan Cordova sebagai lembaga
pelatihan bagi para budak dalam bidang tari, musik, sastra, puisi dan tata bahasa.
Karena itu, fungsi budak di samping sebagai pelayan, juga sebagai penyanyi dan
pemusik di istana raja-raja dan para bangsawan.
Konon budak wanita Abd. Rahman III (912-961 M.) di Cordova berjumlah
6300 orang. Ini masih setengah jumlah jika dibandingkan dengan istana Fatimiah di
Kairo yang memiliki 12.000 orang.101
Bentuk lain dari perbudakan yang dijumpai dalam sejarah Islam adalah
perbudakan militer. Di samping berfungsi sebagai bodyguard, pengawal raja-raja
dan para bangsawan, mereka juga diorganisir dalam kelompok-kelompok
pasukan.102 Kelompok tersebut misalnya Corp Mamluk pada abd X di Pustat di
bawah Dinasti Tuluniah di Mesir, terdiri dari 24.000 orang Turki dan 40.000 orang
Negro. Sedangkan sebahagian penguasa Dinasti Umayyah di Spanyol, memiliki
10.000 budak di Cordova. Biasanya mereka dikepalai oleh pejabat resmi dari orang
merdeka dan berperan penting.103
Jadi, ada semacam fluktuasi yuridis formal perbudakan terhadap musuh,
baik di zaman Rasulullah saw., zaman Arabia (Khulafa al-Rasyidin dan Umayyah)
maupun di masa Abbasiyah. Kalau di masa Rasulullah saw. perbudakan yang lahir
akibat perang dianggap sudah tuntas, karena secara yuridis, Islam tidak
menghendaki tawanan menjadi budak.
100

Maurice Lombard, translated by Jhon Spencer, The Golden Age of Islam, (Oxfort: Nort
Holland Publishing Company, 1975), h. 195.
101
Lombard, The Golden, h. 195.
102
Lewis, Race, h. 7.
103
Lombard, The Golden, h. 195.

61

Akan tetapi, di zaman Khulafa al-Rasyidin, upeti berbentuk manusia


muncul dari daerah jajahan. Praktek semacam ini diduga kuat sebagai keputusan
antisipafif terhadap pemahaman larangan al-Quran untuk memiliki tawanan.
Artinya, budak yang bersumber dari tawanan tidak diizinkan, sehingga disimpulkan
bahwa budak dari upeti tidak dipermasalahkan. Praktek ini berkembang menjadi
kembalinya penawanan atas musuh-musuh peperangan, yang terjadi sepanjang masa
Umayyah. Fluktuasi selanjutnya terlihat atas perbudakan tawanan perang menjadi
timbulnya kembali perbudakan dari pembelian secara besar-besaran oleh para
Khalifah Abbasiyah.104
Dalam konteks historisnya ketika itu, umat Islam awal tidak sepenuhnya
dapat disalahkan. Sebab, memang ada peluang yang menggiring penafsiran mereka
terhadap al-Quran seperti itu. Indikasi ini terlihat dalam penafsiran surat
Muhammad (47): 4 yang memberikan pilihan terbuka terhadap para tawanan di
masa Rasulullah saw., dan setelahnya untuk melanjutkan pilihan perbudakan. Ini
pun diperkuat dengan tidak adanya interpretasi baru terhadap ayat itu yang didukung
oleh hadis-hadis sebagai upaya menghapuskan perbudakan.105
Bagaimanapun, panafsiran lama itu tetap merupakan hukum dan fakta
sejarah yang tidak dapat diubah oleh penafsiran baru dengan konteks historis yang
baru pula. Ia merupakan satu mata rantai yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lainnya. walaupun demikian, penafsiran lama dapat memberikan indikasi yang
siknifikan tentang timbulnya keinginan umat Islam kemudian, khususnya untuk
menghapuskan perbudakan, tentunya setelah melihat dalil-dalil secara komprehensif
dan tuntutan zaman.
Stimulus ini sejajar dengan teori pendekatan evolusionernya Mahmoud
Thaha, sebagai yang dikutip oleh al-Nam, bahwa syariah menerapkan legislatif
104

Lombard, The Golden, h. 196.


Al-Nam, The Kontruksi, h. 334-335.

105

62

transisional

dengan

mengizinkan

perbudakan,

menolak

batas-batas

pertanggungjawaban tertentu, maka hukum Islam kemudian menerapkan maksud


legislatif untuk melarang perbudakan sama sekali.106
Garis besar evolusi dan fluktuasi perbudakan dalam sejarah Islam dapat
digambarkan bahwa ketika Rasulullah saw. hadir, perbudakan yang ada adalah
berdasrkan warisan dan peperangan. Di masa Rasulullah saw. dan awal Khulafa alRasyidin, kedua sumber ini dapat dinetralisir dengan memberikan status
kemerdekaan pada anak dan si ibu dengan turunnya surah Muhammad (47) : 4. Akan
tetapi di masa selanjutnya, perbudakan justru kembali muncul dengan dua sumber
utama yang saling mendominasi di tiap-tiap masa kekuasaan antara masa Khulaf
al-Rsyidn, Dinasti Umayyah, dan Abbasiyah. Inilah potret kegagalan umat Islam
dalam menghapuskan tradisi perbudakan secara final.
Kegagalan generasi Islam awal dalam menghapus perbudakan terletak pada
penafsiran pesan alternatif yang ada pada

surah Muhammad (47): 4, tentang

tawanan perang.107 Praktek syariah ini diperkuat dengan perbudakan komersial yang
telah mempengaruhi berkurangnya tendensi perikemanusiaan yang telah dirintis dan
dipraktekkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Praktek kemenangan atas
ekspansi, justru telah memperbanyak populasi budak sebagai hasil utama dari
kemenangan berupa upeti dan tawanan perang. Ini membawa kejatuhan nilai
manusia dan kemanusiaan para budak.
Walaupun demikian, Islam masih

tetap lebih baik dalam menyikapi

warisan itu dibanding dengan agama-agama dan bangsa-bangsa lainnya. Upaya


pembebasan, persamaan dan keadilan sebagai prinsip universal masih tetap
106

Al-Nam, The Kontruksi, h. 335.


Salah satu hal yang luput dari pertimbangan tatkala orang menafsirkan ayat ini adalah
bahwa kebolehan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut memiliki persyaratan yakni adanya batasan
waktu, yaitu hanya dibolehkan sampai perang berakhir. Jadi jika perang sudah selesai, dengan
sendirinya kebolehan itu tidak berlaku lagi.
107

63

dipegang. Humanisme Islam tetap berlaku tanpa dispensasi dan diskriminasi.


Karenanya, terbentang mobilitas bagi para budak yang mempunyai potensi dan
prestasi dalam bidangnya masing-masing untuk merdeka.

C. Eksistensi Hadis-Hadis Perbudakan


Adanya konsep atau aturan norma dan hukum yang terekam dalam hadishadis khususnya mengenai perbudakan, bukan berarti Rasulullah saw. melegalkan
perbudakan. Aturan dan norma hukum tersebut pada hakekatnya adalah proses
penghapusan yang sedang dituju.
Sekalipun banyak hadis yang berbicara masalah budak tetapi tidak berarti
sabda Rasulullah saw. itu lantas dianggap melegitimasi sistem perbudakan. Justru
pembicaraan Rasulullah saw. itu adalah solusi yang diterapkan dalam rangka
mengikis habis kesenjangan yang terjadi akibat perbudakan yang oleh masyarakat
pada saat itu tidak dipermasalahkan.
Dalam kasus Barirah misalnya, bahwasanya Barirah pernah mendatangi
isyah istri Nabi saw. sedangkan Barirah seorang budak Muktab (sedang dalam
perjanjian) dengan tuannya sebanyak 9 awaq. Lalu Aisyah berkata kepadanya: Jika
tuanmu mau, aku siap memperhitungkannya dengan mereka tetapi perwalaannya
ada padaku. Lalu Barirah mendatangi tuannya dan menceritakannya kepada mereka.
Namun tuannya menolak kecuali dengan syarat hak perwalaan itu diserahkan
kepada mereka. Kemudian Aisyah menceritakan hal itu kepada Nabi saw. Lalu
Nabi saw. Bersabda: Bayarkan saja. Kemudian Nabi saw. Berdiri berpidato kepada
manusia, seraya memuji Allah, kemudian beliau bersabda: Selama seseorang
membuat persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah, sedangkan setiap
persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah batal; sekalipun dengan
seratus persyaratan. Kitab Allah itu lebih benar dan lebih kuat. Sebab al-Wal (hak

64

perwaliaan atas budak) berada ditangan orang yang memerdekakannya.108 Riwayat


108

Selengkapnya riwayat tersebut adalah:






Dari Aisyah isteri Nabi saw. bahwasanya Barirah mendatanginya sedangkan Barirah seorang budak
Muktab (sedang dalam perjanjian) dengan tuannya sebanyak 9 awaq. Lalu Aisyah berkata
kepadanya: Jika tuanmu mau, aku siap memperhitungkannya dengan mereka tetapi perwalaannya
ada padaku. (Ia berkata): lalu Barirah mendatangi tuannya dan menceritakannya kepada mereka.
Namun tuannya menolak kecuali dengan syarat hak perwalaan itu diserahkan kepada mereka.
Kemudian Aisyah menceritakan hal itu kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw. Bersabda: Bayarkan saja.
Kemudian Nabi saw. Berdiri berpidato kepada manusia, seraya memuji Allah, kemudian beliau
bersabda: Selama seseorang membuat persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah, sedangkan
setiap persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah batal. sekalipun dengan seratus
persyaratan, Kitab Allah itu lebih benar dan lebih kuat. Sebab al-Wal (hak perwaliaan atas budak)
berada ditangan orang yang memerdekakannya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Shalh, Bb Zikri
al-Bii wa al-Syar al al-Mimbari, no. hadis 456, juz 1, h. 188, Kitb al-Zakt, Bb al-Shadaqt
al Mawli Azwj al-Nab, no. hadis 1492, juz 1, h. 426, Kitb al-Buy,Bb al-Baiu wa al-Syiru
min al-Nis no. hadis 2155-2156, juz 2, h. 28, Bb Idz Isytaritha Syurthan f al-Baii l Tahillu,
2168, juz 2, h. 30, Kitb al-Itq, Bb Bai al-Wal wa Hibatih no. hadis 2536, juz 2, h. 109, Bb M
Yajzu min Syurth al-Muktab, no. hadis 2567, juz 2, h. 115, Kitb al-Hibah wa Fadluha, Bb
Qabl al-Hadiyyah, no. hadis 2578, juz 2, h. 119, Kitb al-Syurth, Bb al-Syurth f al-Buy no.
hadis 2717, juz 2, h. 153-154, Bb M Yajzu min Syurth al-Muktab, no. hadis 2726, juz 2, h. 155,
Bb al-Syurth f al-Wal, no. hadis 2729, juz 2, h. 156, Bb al-Muktab wa M L Yahillu min
Syurth, no. hadis 2735, juz 2, h. 161, Kitb al-Nikh, Bb al-Hurrah Tahta al-Abdi, no. hadis 4707,
juz 3, h. 124, Kitb al-Thalq, Bb L Yaknu Bai al-Ama Thalqan, no. Hadis 4871, juz 3, h. 171,
Bb Syaf at al-Nab f Zauji Barrah, no. hadis 4876, juz 3, h. 172, Kitb al-Ath imah, Bb al-Adam,
no. hadis 5010, juz 3, h. 208, Kitb Kaffrt al-Aimn, Bb Iz Ataqa f Kaffrt liman Yakna
Wal, no. hadis 6223, Kitb al-Faridh, Bb al-Wal liman Ataqa wa Mirst al-Laqth, no. hadis
6254, Bb Mirst al-Saibah, no. hadis 6257, Bb Iz aslam Yadaih, no. hadis 6261, Bb M Yaristu
al-Nis min al-Wal, no. hadis 6263; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Innam al-Wal Liman
Ataqa no. hadis 150401505, h. 731; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Faridh, Bb F al-Wal, no.
hadis 2915-2916, juz 2, h. 335; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Buy an Raslillah, Bb M Ja f
Isythirth al-Wal, no. hadis 1256, juz 2, h. 287, Kitb al-Faridh an Raslillah, Bb M Ja f Man
Yaristu al-Wal, no. hadis 2114, juz 3, h. 174, Kitb al-Wal wa al-Hibah an Raslillah, Bb M
Ja Anna al-Wal liman Ataqa, no. hadis 2125, juz 3, h. 182; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Itq, Bb
al-Muktab, no. hadis 2521, juz 2, h.842; Sunan Nasi, Kitb al-Zakt, Bb Iz Tahwala alShadaqh, no. hadis 2567, juz 5, h. 107-108, Kitb al-Buy, Bb al-Baiu Yalna Fhi al-Syurth alFsidu Fayuyashihhu al-Bai wa Yubthlu al-Syurth, no. hadis 4563-4565, juz 7, h. 305, Bb Bai alMuktab, no. hadis 4576, juz 7, h. 305; Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis 22924, 23021, 23057, ,
24123, , 24280, 24294, juz 15; Muwtha Mlik, Kitb Thalq, Bb M Ja f al-Khiyar, no. hadis

65

lain yang berbicara masalah penjualan budak adalah yang bersumber dari Abdullah
Ibn Umar ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: siapa yang
memerdekakan bagiannya pada seorang hamba, lalu dia mempunyai harta yang
mencapai harga hamba itu, maka ditaksir harga hamba itu dengan taksiran yang
pantas, lalu dia berikan kepada orang yang berkongsi dengannya, maka merdekalah
hamba itu atas namanya. Dan jika tidak, maka sudah merdeka hamba itu sebanyak
bagian yang memerdekakannya itu.109
Riwayat-riwayat seperti itu menurut Joseph Schacht mengandung konsep
yang mengacu pada doktrin penjualan budak dalam Islam. Yang lebih menarik dari
keterangan Schacht, bahwa sekalipun hadis itu lemah, para ulama Islam awal tetap
mencantumkannya sebagai sesuatu yang dianggap berasal dari Nabi Muhammad

1028, juz 2, h. 74, Kitb al-Itq wa al-Wal, Bb Mashir al-Wal liman Ataqa, no. hadis 1275-1276,
juz 2, h. 206; Sunan al-Drim, Kitb al-Thalq, Bb F Takhyr al-Amati Takun Tahta al-Abdi
Fatu tiqu, no. hadis 2293, h. 728.
109

Selengkapnya riwayat tersebut adalah:

Dari Abdullah Ibn Umar ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: siapa yang memerdekakan
bagiannya pada seorang hamba, lalu dia mempunyai harta yang mencapai harga hamba itu, maka
ditaksir harga hamba itu dengan taksiran yang pantas, lalu dia berikan kepada orang yang
berkongsi dengannya, maka merdekalah hamba itu atas namanya. Dan jika tidak, maka sudah
merdeka hamba itu sebanyak bagian yang memerdekakannya itu. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb alSyirkah, Bb Taqwm al-Asyy Baina al-Syurak i Biqmati Adl, no. hadis 2491-2492, juz 2, 99-100,
Kitb al-Muktab, Bb M Yajzu min Syurth al-Muktab wa Man Isytharatha Laisa f Kitb Allah,
no hadis 4713, juz 3, h. 126, Kitb al-Itq Bb Idz Ataqa Abdan Baina Istnain aw Amatun Bain alSyuraki, no. hadis 2522-2524, juz 2. h. 107; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Fadl al-Itq, no.
hadis 1509, h. 734, Kitb al-Aimn, Bb Man Ataqa Syirkan Lahu f Abdin, no. hadis 2249-2252, h.
1098; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F Man Raw Annahu L Yustasa, no. hadis 3937, juz
3, h. 23; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Ahkm an Raslillah, Bb M Ja f al-Abdi Yakna Bain alRajulain Fayutaqu Ahaduhuma Nashbahu, no. hadis 1346, juz 2, 340; Sunan Ibn Mjah, Kitb alItq, Bb Man Ataqa Syirkan Lah f Abdin, no. hadis 2527, juz 2, h. 844; Musnad Ahmad bin
Hambal, no. hadis 374, juz 2, h. 124;; Muwatha Mlik, Kitb al-Itq wa al-Wal, Bb Man Ataqa
Syirkan Lah f Mamlkin, no. hadis 1264, juz 2, h. 201.

66

saw. Selanjutnya ia mengatakan bahwa semua riwayat yang melarang penjualan


budak telah dianggap palsu atau dipalsukan.110 Pernyataan Schacht tersebut terlalu
terburu-buru. Sebab, ia tidak lagi mempertimbangkan apa motif dibalik pembelian
budak di zaman Rasulullah saw. Pembelian budak di zaman Rasulullah saw. tidak
lain bertujuan untuk memerdekakan mereka dan bukan untuk meraup keuntungan
dari hasil pembelian itu.
Jika disimak secara seksama hadis-hadis tentang perbudakan, pada
dasarnya tidak ada yang mengarah kepada pelegalisasian perbudakan. justru
menunjukkan bahwa budak adalah obyek positif dalam syariat Islam, dan memang
telah menunjukkan eksistensinya. Hitti mendukung pendapat ini.111 Akan tetapi
menurut Muhammad Quthub, eksistensinya itu sekaligus memberikan kesan yang
negatif terhadap Islam sendiri akibat bias perbudakan di masa-masa sebelumnya.112
Kesan negatif

itu tegas Quthub, tampak dominan dari segi diragukannya

konsekuensi penentangan Rasulullah saw. terhadap perbudakan. Inilah yang menjadi


dilema yang harus dipecahkan oleh umat Islam masa kini.
Pernyataan Quthub di atas tidak dapat diperpegangi. Sebab, strategi
Rasulullah saw. itu merupakan jawaban normatif atas sulitnya memerdekakan
budak. Apalagi hendak mencabut akar perbudakan yang telah menjadi suatu sistem
dalam berbagai sektor kehidupan sosial sejak lama. Namun demikian, sesuatu yang
sulit bukan berarti mustahil untuk dicapai. Upaya yang sulit ini dipacu oleh syariat
Islam dalam bentuknya berupa pengharapan akan ridhoNya Allah swt., bentuk
kaffart atau bentuk pra-pembebasan berupa perlakuan baik terhadap para budak.

110

Sayangnya Schacht tidak menunjukkan riwayat mana yang melarang perbudakan dan
telah dipalsukan itu. Selengkapnya lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan
Jurispurudence, (Oxford: Clarendon Press, 1950), h. 173.
111
Philip K. Hitty, History, h. 235.
112
Muhammad Quthb, Syubht, h. 41.

67

Semua langkah yang ditempuh Rasulullah saw. adalah bukti adanya


pembelaan terhadap budak dari tradisi kekejaman dan kezaliman yang senantiasa
menimpanya sepanjang masa. Juga berarti sebagai sebuah gerakan antisipatip
terhadap kemungkinan timbulnya penzaliman di masa mendatang, baik yang bersifat
individual maupun kolektif. Itulah sebabnya, Rasulullah saw. melakukan antisipasi
dengan mewajibkan melindungi hak-hak tuan maupun budak. Dalam perspektif
Islam, hukum-hukum mengenai budak adalah bersifat yuridis semata. Ia tidak
mengurangi hakekat nilai manusia dan kemanusiaan budak itu sendiri.
Gerakan pembelaaan yang antisipatip, juga merupakan konsekuensi syariat
Islam terhadap pencapaian penghapusan perbudakan secara tuntas. Diharapkan
gerakan ini dapat terus mengikis habis sistem perbudakan seiring dengan proses
penghapusan yang memerlukan waktu panjang.
Rasulullah saw.

tidak menganggap institusi perbudakan sebagai suatu

fenomena yang harus ada dan natural. Tapi beliau menganggapnya sebagai suatu
fenomena yang dibenci, dan memberikan toleransi hanya untuk sementara waktu.
Eksistensi itu hanya untuk membatasi penyalahgunaan yang terjadi sejak lama. Juga
mendorong untuk membatasi hilangnya keyakinan moral dan keagamaan tentang
persamaan alamiyah seluruh manusia di hadapan hukum Tuhan.113 Karenanya,
Rasulullah saw. memberikan petunjuk-petunjuk teknis yang secara gradual akan
membawa kepada penghapusan perbudakan.
Untuk mengedepankan argumen bahwa Rasulullah saw. telah melakukan
perang terhadap sistem perbudakan, perlu mengenal berbagai keadaan di mana
perbudakan seakan diizinkan. Berkaitan dengan itu, hadits-hadits masalah

113

A. Mukti Ali, Muslim Biladi dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, (Jakarta: CV. Haji
Masagung, t.th.), h. 103.

68

perbudakan, tidak satupun redaksi yang mengarah kepada indikasi bahwa seseorang
yang dilahirkan dalam keadaan bebas bisa berobah status menjadi budak.114
Kalau demikian adanya, pertanyaan yang muncul adalah jika memang
Rasulullah saw. telah mengayunkan langkah pembebasan budak dan mendahului
dunia seluruhnya tanpa paksaan dan tekanan, mengapa Rasulullah saw. tidak
mengumumkan secara tegas bahwa perbudakan telah diharamkan? Harus diakui
bahwa persoalan perbudakan lebih lama tertunda dari waktu yang dikehendaki
Islam. Bahkan, tertunda dari yang mungkin terjadi andaikata Islam menempuh
jalannya secara wajar tanpa mengalami penyelewengan-penyelewengan individual
dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dengan demikian, keliru jika beralasan bahwa adanya hadis-hadis yang
mengatur mekanisme pemberdayaan orang-orang lemah (budak), justru dianggap
sebagai alasan bahwa Rasulullah saw. melegalkan perbudakan.

D. Perbudakan dan Persoalan Kemanusiaan: Sebuah Problem Syariah


Dimaklumi bahwa di antara tuntutan pokok manusia adalah hidup merdeka
dan bebas. Atas dasar itu, maka perbudakan dipandang sebagai tantangan yang
serius dalam memperoleh kedua tuntutan tersebut. Walaupun perbudakan telah
dipraktekkan oleh setiap peradaban besar manusia sepanjang sejarah, dalam arti
dilembagakan dan dianggap sebagai pemilikan yang legal terhadap manusia sebagai
mana pemilikan terhadap barang bergerak, tetapi pada akhirnya perbudakan secara
universal dikutuk dan dilarang, baik oleh hukum internasional maupun hukum
114

Ibn Rusyd mengatakan bahwa baik melalui petunjuk al-Quran maupun sunnah, satusatunya jalan bagi seseorang yang dilahirkan bebas dapat menyeretnya menjadi budak adalah
kekalahan dalam peperangan yang dibenarkan oleh syariah. Selanjutnya lihat Ibn Rusyd, Bidya alMujtahd wa Nihya al-Muqtashid , juz I, (Beirt: Dr al-Fikr, t.th.), h. 279.

69

domestik. Penghapusan perbudakan dalam segala bentuknya merupakan tuntutan


universal saat ini. Serangkaian kesepakatan internasional telah dihasilkan dalam
upaya tersebut. Puncaknya ialah lahirnya suatu konvensi internasional yang
diratifikasi secara luas yang mengutuk dan melarang perbudakan.115
Menurut Fazlur Rahman, Tuntutan yang tegas untuk memghapus
perbudakan, yang belakangan ini semakin menguat, tidak berbanding lurus dengan
ketentuan syariah. Hal demikian terjadi karena sejauh ini sistem syariah tidak
mengeluarkan larangan tegas terhadap perbudakan. Bahkan secara legal, syariah
masih mengakui perbudakan, walaupun berupaya mendorong pembebasan mereka
dengan berbagai cara.116
Di atas telah disinggung bahwa kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh
Rasulullah saw. dan para sahabatnya terhadap masalah perbudakan sebenarnya telah
mengeringkan dan menutup semua sumber perbudakan klasik kecuali dua sumber,
yaitu budak warisan dan budak perang.117 Terhadap budak warisan, Rasulullah saw.
pun telah melakukan upaya penghapusan dengan jalan menetapkan anak si budak
dari tuannya menjadi merdeka, dan nasabnya bersambung kepada tuannya yang
merdeka tersebut.118 Dengan demikian terputuslah rantai perbudakan yang juga
mengikat keturunannya.
Di masa Rasulullah saw. sendiri, penanganan tawanan perang tercermin
dalam al-Quran Surah Muhammad (47): 4. Keterangan tersebut memberikan
indikasi bahwa pada hakikatnya tidak tercantum perintah untuk memperbudak, dan
ayat itu sekaligus sebagai pedoman Rasulullah saw. dalam menangani para tawanan
115

Konvensi perbudakan utama ditandatangani pada 25 september 1926, dan diberlakukan


pada 9 Maret 1927. kemudian konvensi tambahan tentang penghapusan perbudakan, perdagangan
budak, dan institusi-institusi serta praktek-praktek sejenis terhadap perbudakan ditandatangani pada
7 September 1956 dan diberlakukan pada 30 April 1957.
116
Fazlur Rahman, Islam, h. 38.
117
Wfi, al-Hurriyyt, h. 26-27; Lewis, Race, h. 7.
118
Wfi, al-Hurriyyt, h. 27.

70

perang. Pada masa Rsulullah saw. dan Khulafa al-Rasyidin, baik secara politis,
historis maupun syar i, sudah jarang budak yang lahir karena perang.119
Ironisnya, peperangan kebanyakan terjadi setelah masa Nabi Muhammad
saw. dan

masa Khulafa al-Rasyidin. Peperangan yang banyak tersebut adalah

peperangan syar i yang justru berakibat meningkatkan kuantitas budak menjadi


tinggi.120 Akibatnya, syariat Islam digeneralisasi sebagai hukum yang tidak
manusiawi, baik oleh sebahagian umat Islam lebih-lebih para orientalis.
Al-Nam121 misalnya, ia mengatakan bahwa yang menjadi problem
syariah kontemporer adalah masalah: syariah dan hukum internasional, syariah
dan konstitusionalisme, syariah dan hukum pidana, serta syariah dan hak asasi
manusia. Ia berkesimpulan bahwa formulasi syariah yang dibangun atas dasar ayatayat dan hadis-hadis, ada yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan122 dan
non-muslim. Betapapun ayat menetapkan bahwa wanita harus dibunuh untuk diyat
(kompensasi benda/uang) terhadap pembunuhan seorang perempuan, tetapi para ahli
hukum Islam awal menetapkan bahwa diyat

karena pembunuhan seorang

perempuan tersebut adalah setengah dari jumlah kompensasi atas pembunuhan


terhadap seorang pria.123 Rumusan demikian disebabkan oleh prinsip umum syariah
yang didasarkan pada ayat-ayat lain, yang menyatakan bahwa perempuan bernilai
119

Keadaan demikian akan semakin jelas setelah kita mengkaji hadis-hadis yang berkaitan
dengan perbudakan sebagai inti kajian dalam Disertasi ini.
120
Lewis, Race, h. 9.
121
Nama lengkapnya adalah Abdullah Ahmad Al-Nam. Ia salah seorang pemikir Islam
kontemporer asal Sudan. Banyak belajar di Sudan, Ingris dan Scotlandia. Spesialisasinya masalah
hak-hak sipil. Buah pikirannya banyak terinspirasi dari kenyataan yang ia saksikan di negerinya,
Sudan. Di Sudan, banyak orang yang tertindas dan terampas haknya (diperbudak). Menurut al-Nam,
salah satu penyebabnya adalah adanya dalil-dalil agama sebagai alat legitimasi.
122
Tidak saja para budak yang mendapatkan perlakuan diskriminasi, perempuan merdeka
sekalipun telah pula menjadi korban diskriminasi akibat kekeliruan memaknai pesan Tuhan yang
berupa teks. Pembahasan lengkap masalah ini dapat dilihat dari argumen-argumen yang dikemukakan
oleh Nasaruddin Umar dalam bukunya Argumen Kesetaraan jender Perspektif al-Qur an, (Jakarta:
Paramadina, 2001).
123
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, al-Qurthub al-Andals, Bidya alMujtahd wa Nihyat al-Muqtashd, juz II, (t.tp. Dr al-Fikr, tt.), h. 447.

71

setengah dari pria dalam masalah kesaksian124 dan waris.125 Menurut al-Nam,
bagian-bagian inilah yang perlu diperbaharui, karena hukum modern tidak
menghendaki adanya diskriminasi hukum atas dasar perbedaan jenis kelamin
/gender atau agama. Terhadap hukum diyat, imam mazhab terdahulu menetapkan
bahwa diyat atas pembunuhan non-muslim lebih rendah daripada pembunuhan
seorang muslim.126 Unsur-unsur diskriminatif tersebut tidak dapat diterima oleh
ukuran keadilan dan kelayakan sekarang, bahkan dinilai sebagai pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa syariah tidak dapat dijadikan
hukum positif, dan negara Islam (Islamic state) tidak mungkin dapat diwujudkan
dalam konteks global negara modern sekarang ini.
Dalam masalah perbudakan, al-Nam mengacu kepada deklarasi universal
Hak Asasi Manusia (HAM)127 yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948 yang

124

Lihat QS. al-Baqarah (2):282,

. ...
.dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada
dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
125
Lihat QS. al-Nis (4) : 11,

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.
126
Misalnya Imam Syafii mengatakan bahwa orang beriman tidak dapat dibunuh karena
membunuh orang kafir, dan bahwa diyat bagi seorang pembunuh zimmi sepertiga dari diyat
pembunuh seorang muslim. Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafiiy, al-Umm. (t.tp. : Nur alSaqfa al-Islmiyyah, t.th.), h. 105-106. dan 7 :290-291.
127
Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri menurut pandangan Barat Sekuler adalah
ekspresi kebebasan manusia yang terlepas dari ketentuan Tuhan, agama, moral atau kewajiban
metafisika. Dalam perspektif ini, manusia ditempatkan dalam suatu setting di mana hubungannya
dengan Tuhan sama sekali tidak disebut. Hak-hak asasi manusia dinilai sebagai perolehan alamiah
sejak kelahirannya. Sebaliknya, dalam Islam, ekspresi kebebasan manusia harus ditempatkan dalam
kerangka keadilan, kasih sayang, dan persamaan kedudukan di mata Tuhan. Selanjutnya lihat Alwi
Syihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), h. 179.

72

berisi consensus paling luas tentang hak asasi manusia,128 yang berisikan bahwa hak
asasi manusia pada dasarnya adalah merupakan hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan yang maha pencipta (bersifat kodrati). Karenanya, tidak ada satu kekuasaan
apa pun yang dapat mencabutnya.
Pasal 2 deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut memuat ketentuan
bahwa setiap orang mempunyai hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi
ini dengan tanpa pengecualian apa pun, seperti perbedaan bangsa, ras, warna kulit,
jenis

kelamin,

bahasa

dan

agama,

politik,

asal-usul

kebangsaan

atau

kemasyarakatan, milik, kelahiran, atau pun kedudukan lain. Pasal 4 berbunyi, tidak
seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba; perbudakan dan perdagangan budak
dalam bentuk apa pun harus dilarang.
Kata al-Nam selanjutnya, ketika pasal-pasal seperti ini diperhadapkan
dengan syariah, akan timbul problem serius.129 Problem itu antara lain tampak pada
aturan syariah yang masih mengakui perbudakan. Syariah mengakui perbudakan
sebagai institusi tetapi mengharuskan pembatasan sumber-sumber yang dapat
menambah perbudakan, memperjuangkan mereka dan mendorong pembebasannya
dengan berbagai cara, tetapi sejauh itu tidak ada ayat atau hadis yang secara tegas
melarangnya.

128

Lihat David P. Forsythe, Human Rights & World Politic, 1993. edisi Indonesia, HakHak Asasi Manusia dan politik Dunia. (Bandung: Angkasa, 1993), h. 1-30. Baharuddin Lopa, HakHak Asasi Manusia Dalam al-Qur an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1996), h. 2-4.
129
Salah satu asumsi yang keliru tentang HAM adalah bahwa sensitivitas hak asasi manusia
adalah suatu ketundukan pada liberalisme yang berkembang pesat. Asumsi semacam ini merupakan
bentuk ketidaktahuan tentang sifat liberalisme sekaligus merupakan bentuk penghinaan terhadap
agama. Asumsi ini memberi kepercayaan lebih banyak pada liberalisme daripada yang sepatutnya
dan kurang terhadap agama; liberalisme bukan sumber utama hak asasi manusia, agama pun bukan
antitesisnya. Selanjutnya lihat Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj.
Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002), h. 192.

73

Problem semacam ini tegas al-Nam, menghendaki reformasi dengan tetap


memakai sudut pandang Islam, bukan atas landasan sekuler.130 Namun cita-cita
seperti ini akan mengalami hambatan karena masih banyak kaum muslim yang
berpandangan bahwa keseluruhan syariah bersifat sakral dan mutlak benar.
Karenanya, syariah bersifat abadi dan tertutup kemungkinan memperbaharuinya,
bagaimanapun keadaannya. Syariah dipahami sebagai konsep final yang harus
diberlakukan apa adanya dan dalam keadaan apa pun. Sebaliknya, bagi orang yang
meyakini adanya aspek syariah kalaupun tidak keseluruhannya, yang merupakan
produk penafsiran (ijtihd), maka syariah dipandang bersifat nisbi (relatif), dan
karenanya terbuka untuk menerima penafsiran baru yang kontekstual dengan
perkembangan zaman. Dalam hal ini, reformasi syariah merupakan hal yang
niscaya, karena bila tidak, umat Islam hanya mempunyai dua pilihan: yaitu, tetap
menerapkan syariah meskipun tidak memadai, atau meninggalkannya untuk
mendukung hukum sekuler.131
Bagi al-Nam, kedua pilihan tersebut tidak ada yang memuaskan. Sebab,
pilihan pertama secara moral tidak dapat diterima dan secara politik tidak dapat
dipertahankan. Secara moral tidak dapat diterima karena syariah mengandung
ajaran yang merendahkan martabat manusia, dan secara politik kelompok nonmuslim tidak mau memahami akan keharusan melaksanakan hukum syariah
tersebut. Sedangkan pilihan kedua secara prinsip tidak dapat disetujui karena
melanggar kewajiban fundamental agama yang menuntut untuk menjalankan
syariah dalam segenap aspek kehidupan.
Salah satu pilihan yang memungkinkan adalah memperbaharui aspek-aspek
tertentu dari syariah yang relevan dengan kehidupan kontemporer. Persoalan
130

Abdullah Ahmad Al-Nam, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human


Rights and International Law, (Syracuse: Syracuse Univercity Press, 1990), Translated and Published
in Indonesian 1995), h. 10.
131
Al-Nam, Toward, h. 10.

74

berikutnya adalah bagaimana membedakan atau memisahkan antara syariah yang


sakral dan tidak dapat diperbaharui dengan aspek lainnya yang tidak sakral dan
dapat diperbaharui.
Dalam hal ini perlu dipertimbangkan apa yang dikemukakan oleh Harun
Nasution. Menurut Harun, ajaran dasar yang bersifat absolut, kekal dan tidak dapat
berubah adalah yang terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Sedangkan yang
bersifat nisbi dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan
tempat, adalah hasil ijtihad atau pemikiran ulama atas ajaran dasar tersebut. Hasil
ijtihad ini dapat ditemukan dalam buku-buku tafsir, syarah hadis, fiqhi atau hukum
Islam, ilmu tauhid, atau teologi Islam, ilmu tasawuf atau mistisisme Islam dan lainlain.132
Para pembaharu seperti Muhammad Abduh, atau muridnya seperti Qasim
Amin dan Taha Husein, berpendapat bahwa yang sakral dan abadi adalah ajaran
dasar yang dibangun oleh nash yang qati. Sedang yang tidak sakral dan dapat
diperbaharui adalah ajaran yang bukan dasar, yakni yang diperoleh dari nash yang
zanni. Berbeda dengan itu, Rasyid Ridha, murid Abduh lainnya, berpendapat bahwa
semua ajaran yang didasarkan atas firman Allah bersifat sakral, dan tidak dapat
diperbaharui.
Dalam persoalan ini, al-Nam mendasarkan pemikirannya bahwa yang
penting dipelihara adalah selain yeng berkenaan dengan ibadah ritual, juga nilai
yang terkandung di dalam nash itu, semacam nilai keadilan, persamaan, dan
kemerdekaan. Sedangkan yang tetap abadi adalah komitmen dalam memegang
sumber-sumber Islam, al-Quran dan hadis akan tetapi dengan interpretasi yang
sesuai dengan isi dan misinya tersebut. Bagi pemikir Islam lainnya, berpandangan
bahwa norma-norma hukum modern harus direvisi sehingga tidak mengganggu

132

Harun Nsution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), h. 122.

75

syariah, sedangkan al-Nam menyarankan justru syariah yang harus direvisi


(reintrpretasi) dari sudut pandang Islam.
Potensi ketegangan antara penerapan syariah dan tuntutan modernitas
secara historis tumbuh dan berkembang dalam rentang sejarah yang panjang. Hal itu
terjadi setidaknya berbarengan dengan hadirnya ulama Islam sebagai entitas sosio
politik dalam pentas sejarah bangsa-bangsa di dunia. Pada pertengahan abad 20,
sebagian besar dunia Islam telah memperoleh kemerdekaan politik, dan berupaya
membangun suatu negara-bangsa (nation state) yang merdeka, berdaulat, dan
modern.133
Persoalan mendasar yang dihadapi segera setelah itu adalah bagaimana
mempertemukan Islam dan negara. Yakni, bagaimana memposisikan dan
menjabarkan Islam dalam operasionalisasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, yang diharapkan secara aktual dan propesional. Propesional dalam arti
mampu mengayomi seluruh warga negara dengan latar belakang suku, ras dan
agama yang beragam, sekaligus mampu menyahuti perkembangan dan kemajuan
zaman dengan segala implikasinya. Persoalan ini menjadi problem serius bagi
negara-negara Islam dan kaum muslimin pada masa awal-awal mereka
mendefinisikan format kenegaraannya; bahkan di beberapa tempat masih terus
berlangsung hingga kini.134

133

Fazlur Rahman, Islam, h. 38.


Formulasi Islam di beberapa negara seperti Turki, Mesir, Suriah, Sudan, Pakistan dan
Aljazair diwarnai oleh konflik-konflik internal yang berkepanjangan. Contoh, di Suriah pada tahun
1973. lihat John J. Donohue, The New Konstitution and the Religius Opposition: A Cronology of
Events January-April 1973 dalam CEMAH Report. (Beirt Dr El-Mashreq, 1976), jilid I, no. 1, h.
81-96; di Mesir, lihat C.F. Shereen Khairallah, The Islamic Liberation Party, Search for The Lost
Ideal dalam CEMAH Report. (Beirut Dar El-Mashreq, 1975), jilid II, h. 87-95; keadaan yang sama
terjadi di Turki, Saudi Arabia, Pakistan, Iran, dan lain-lain. Lihat John L.Esposito dalam Islam and
politics 1985. edisi Indonesia Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990); dan The Islamic
Treat: Mity or Reality? (Bandung: Mizan 1994), termasuk di Indonesia. Lihat misalnya Kurniawan
Zein (ed.), Syariat Islam Yes, Syariat Islam No, (Jakarta: Paramadina, 2001); Azyumardi Azra dan
Arskal Salim, The State and Saria in the Perspective of Indonesian Legal Politics, Public Lecture,
134

76

Tuntutan pendefenisian dan penjabaran Islam dalam kehidupan negaranegara, belakangan ini memperoleh momentum dan energi baru dengan bergulirnya
semangat kebangkitan Islam.135 Bagaimana pun, pendefenisian konsep syariah
dalam sistem negara-negara merupakan fenomena baru yang belum berkembang
dalam pengalaman sejarah dan kultur masyarakat Islam,136 sehingga dalam proses
assimilasi dan implementasinya ditemukan berbagai kesulitan. Kesulitan itu terjadi
ketika

mereka

harus

menyesuaikan

dengan

tuntutan

standar-standar

konstitusionalisme modern, yang berkeharusan menjamin persamaan hak bagi


seluruh penduduknya di depan hukum, maupun dalam memperoleh hak sosialpolitiknya.
Melihat kesulitan tersebut, tidak mengherankan jika Fran Magnis Suseno
mengatakan bahwa agama yang awalnya bertujuan sebagai pembuka wawasan
martabat manusia sebagai manusia, dan bukan hanya sebagai warga suku, atau kelas
sosial tertentu belum tercapai. Akan tetapi, kesadaran itu semula hanya sebatas
potensi. Sebab, kenyataannya struktur-struktur sosial pra-universal bertahan terus.
Potensi agama yang mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai manusia
belum efektif dalam menentukan struktur-struktur hukum, sosial dan moral
masyarakat. Paradigma dasarnya masih menentukan manusia berdasarkan kelas atau

The Application of Syariah and the Issue of Human Right in Muslim World, (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 4 Januari 2003).
135
Mengenai fenomena kebangkitan Islam ini dapat dilihat dalam Mohammad Ayyob, ed.,
The Politics of Islamic Reassertion, (New York: St. Martins Press, 1981). h. 29.
136
Sebenarnya dalam sejarah kebudayaan Islam telah dikenal adanya Daulah Islmiyyah
yang, secara teoritik menjadi simbol kesatuan umat Islam dan supremasi universal syariah di seluruh
dunia Islam. Secara teoritis tentang negara Islam dapat dilihat dalam Ab al-Hasan Ali bin
Muhammad bin Habb al-Bashri al-Bagdd al-Mawardi, al-Ahkm al-Sulthniyyah, (Mesir: Syirkah
Maktabah wa Mathbaah Musthafa al-Bbi al-Halabi, 1973) dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu
Kenegaraan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971). Namun demikian, konsep-konsep
kenegaraan yang mereka rancang tidak mendapat respon yang memadai dari generasi Islam
selanjutnya.

77

kasta sosialnya. Perbudakan sebagai sebuah lembaga masih bertahan di beberapa


masyarakat bahkan sampai permulaan abad ini.137
Muslim kontemporer

menyikapi persoalan syariah di atas dapat

dikelompokkan menjadi tiga: 1) tetap berpegang teguh pada aturan-aturan yang ada
dalam tradisi syariah dan menolak dengan tegas terhadap otoritas hukum yang
berlawanan dengan itu;138
meninggalkan

aturan

2) berpegang pada prinsip-prinsip modern dengan

syariah;139

dan

3)

berusaha

mencari

jalan

untuk

mengkompromikannya.140
Menurut kajian John O. Voll, terdapat tiga tema pembaharuan pemikiran
(Tajdd-al-Ishlh) yang muncul pada masa-masa pra-modern maupun masa modern,
yaitu: 1) kembali kepada al-Quran dan Sunnah dengan menerapkannya secara ketat
dan sempurna; 2) penegasan hak untuk lebih menggunakan ijtihad (pemikiran secara
mandiri) daripada taqlid (mengikuti ketentuan dan pandangan-pandangan para imam
terdahulu), dan 3) penegasan kembali ke keaslian (otentisitas) dan keunikankeunikan pengamalan al-Quran dan al-Sunnah.141
Hemat penulis, ketiga tema tersebut harus diramu dengan apik, sehingga
melahirkan cara pandang dan interpretasi yang tepat. Hadis-hadis yang
membicarakan masalah perbudakan misalnya, harus dipahami secara benar.
137

Fran Magnis Suseno, Tantangan Kemanusiaan Universal: Ontologi Filsafat, Budaya,


Sejarah, Politik dan Sastra, dalam Kenangan 70 Tahun Dikhartoko, (Yogyakarta: Kanisus, 1994), h.
101.
138
Alasannya adalah bahwa syariah adalah aturan Tuhan yang harus diikuti dan
dilaksanakan. Penolakan dan penyimpangan terhadap syariah merupakan pembangkangan terhadap
Tuhan. Mereka dikategorikan sebagai kafir, zalim, dan munafiq.
139
Alasannya adalah bahwa syariah ternyata tidak bisa memberikan persamaan
konstitusional dan hukum kepada warga negaranya. Orang-orang yang tertindas di bawah hukum
publik sekuler lebih terayomi ketimbang di bawah hukum syariah.
140
Artinya mencari solusi dengan melakukan reinterpretasi terhadap syariah yang kondusif
dengan hukum modern tanpa harus melanggar sumber dan esensi syariah itu sendiri.
141
John O. Voll, Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdd dan Ishlh
dalam John L Esposito, (ed.) Voices of Resurgent Ishlah., Edisi Indonesia, Dinamika Kebangkitan
Islam, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 21-42.

78

Misalnya memberikan interpretasi bahwa hadis-hadis perbudakan itu hanya bersifat


transisional sebagai konsekuensi dari tuntutan sosio-historis yang terjadi saat itu.
Dalam hal ini, yang harus dikedepankan adalah ajaran dasar yang disampaikan oleh
Rasulullah saw. yang sepenuhnya menjunjung tinggi derajat dan martabat manusia
yang mulia, serta memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan, memperoleh
kemerdekaan sejak kelahirannya, serta memperoleh persamaan di depan hukum.
Berpijak atas rasa keadilan dan persamaan di depan hukum, Mahmud
Syaltut berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan pembunuhan terhadap
siapa pun, termasuk kepada non-muslim dan hamba sahaya dengan sengaja, harus
dikenakan hukum qishash,142 bila keluarga korban tidak memaafkan.143 Pendapat
tersebut berbeda dengan pendapat yang berkembang di kalangan jumhur ulama yang
menyatakan bahwa orang muslim yang membunuh orang

non-muslim hanya

dikenakan hukuman ta zir, yaitu suatu hukuman yang kualitas dan kuantitasnya
relative lebih ringan dibanding dengan hukum qishash.
Di sini terlihat bahwa Syaltut telah meletakkan nilai kemusiaan sebagai
prinsip kehidupan yang harus dihargai. Pandangan tersebut sejalan dengan prinsip
al-masil al-khamsah144 yang salah satunya adalah hifz al-Nafs. Di lain pihak,
hakekat dasar kemanuasiaan ialah termasuk di dalamnya menegakkan keadilan
tanpa memandang status sosialnya dan atribut-atribut lainnya.

142

Qishash secara bahasa berarti mengikuti jejak. Digunakan dalam makna sangsi, karena
orang yang melaksanakan hukum kishash itu mengikuti jejak kejahatan pelaku. Misalnya pelaku
melukai dibalas dengan melukai pula, dan seterusnya. Lihat Ahmad Fathi Bahansi, al-Qishsh f alFiqh al-Islm, (Kairo: Dr al-Nasyr, 1964) h. 11-12.
143
Mahmud Syalthut, al-Islm Aqidah wa Syariah, (Kairo : Dr al-Qalm, 1966), h. 374375.
144
Istilah tersebut oleh al-Sythib disebut al-Dharuriyy al-Khamsah. Yang masuk
kategori lima yang dharuriyyat tersebut ialah 1) menjaga agama, 2) menjaga jiwa, 3) menjaga
keturunan, 4) menjaga haraa dan 4) menjaga akal. Lihat al-Sythib, Al-Muwfaqt f Ushl alSyariah bi Syarh Abd Allah Darrs. (Mesir : al-Maktaba al-Tijriyyah al-Kubra, t.th.), juz ii, h. 10.

79

Pendapat yang dikemukakan Syalthut tersebut menunjukkan konsistensinya


mengenai persamaan hak seseorang di depan hukum berdasarkan nilai keadilan
dalam Islam. Dalam salah satu statemennya, secara tegas ia menyatakan bahwa
orang tua yang tidak diqishash karena membunuh anaknya, seorang tuan tidak
diqishash karena membunuh budaknya, seorang merdeka yang tidak diqishash
karena membunuh seorang budak, dan orang Islam yang tidak diqishash karena
membunuh non-muslim, sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang
dibawa oleh Rasulullah saw. Maka berdasarkan materi hukum dan semangat
perundang-undangan, qishash harus diberlakukan terhadap semua orang tanpa
adanya diskriminasi.145
Syalthut mendasarkan pemikirannya atas dasar, pertama keadilan itu
bersifat universal, kedua, kemanusiaan yang luhur, ketiga, persamaan hak di depan
hukum. Dengan demikian Syalthut menolak adanya diskriminasi dalam penerapan
hukum. Menurutnya, tidak ada perbedaan perlakuan di depan hukum antara orang
Islam dan non- Islam, antara laki-laki dan perempuan, antara orang merdeka dan
hamba sahaya, bahkan antara orang tua dan anaknya sekalipun. Dalam hal ini
Syalthut telah memberikan kontribusi ke arah positif dalam rangka mencairkan
sekat-sekat sosial kemasyarakatan, sosial keagamaan dan atribut-atribut lain yang
selama ini masih kokoh dipegangi oleh jumhur ulama.
Sebenarnya, perbudakan tidak saja bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM), namun bertentangan dengan nilai dasar tauhid dan misi kenabian.
Al-Quran boleh jadi tidak menegaskan pelarangan, namun upaya penghapusan.
Pelarangan ditegaskan dalam banyak hadis sebagai penjelasan dan penjabaran alQuran. Karena itu, dugaan al-Nam misalnya, bahwa tidak ada ayat atau hadis
yang secara tegas melarangnya adalah tidak tepat. Sebab, dalam salah satu riwayat
Rasulullah saw. menegaskan bahwa ada tiga golongan orang yang akan menjadi
145

Syalthut, Islm, h. 314.

80

musuhku pada hari kiamat kelak, yaitu: 1) orang yang mengatakan sesuatu atas
namaku, tetapi kemudian ia menipu, 2) orang yang menjual manusia merdeka dan
memakan harganya, dan 3) orang yang mempekerjakan buruh tapi setelah buruh
tersebut merampungkan pekerjaannya, ia tidak memberikan upahnya146
Dua perkara yang disebutkan terakhir oleh Rasulullah saw. dalam riwayat
itu yang akan menjadi musuhnya adalah berkenaan dengan perlakuan orang dalam
sistem perbudakan. Selain tidak memperhatikan riwayat semacam itu, al-Nam juga
lupa bahwa tujuan dari anjuran Rasulullah saw. untuk membebaskan budak bisa
dipahami sebagai pelarangan terhadap perbudakan.
Berkaitan dengan itu, Sayyed Hossein Nashr mangatakan bahwa jika kita
mau lebih teliti dan terbuka, untuk menengok landasn pokok ajaran agama, baik alQuran maupun hadis, bahwa hak-hak yang dicantumkan dalam deklarasi (yang
dijadikan senjata oleh al-Nam) di antaranya hak untuk hidup, kebebasan,
persamaan, larangan terhadap diskriminasi, hak untuk mendapatkan keadilan, proses
peradilan yang jujur, perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan, perlindungan
dari penyiksaan, perlindungan terhadap imbalan dan nama baik, dan hak suaka.
Begitu pun hak-hak kaum minoritas termasuk hak berpartisipasi dalam menjalankan
dan mengatur urusan kemasyarakatan, hak untuk percaya, berpikir dan berbicara,
lalu kebebasan beragama, kebebasan berserikat, kebebasan untuk mencari usaha146

Selengkapnya riwayat tersebut adalah sebagai berikut:



Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: Ada tiga golongan orang yang menjadi
musuhku pada hari kiamat kelak, yaitu: 1) orang yang mengatakan sesuatu atas namaku, tetapi
kemudian ia menipu, 2) orang yang menjual manusia merdeka dan memakan harganya, dan 3) orang
yang mempekerjakan buruh tapi setelah buruh tersebut merampungkan pekerjaannya, ia tidak
memberikan upahnya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Buy, Bb Istmu Man Ba a Hurran, no.
hadis 2227, juz 2, h. 40; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Itq, Bb Ajr al-Ajr, no. hadis 2433, juz 2, h.
839; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadis 8338, juz 13, h. 97.

81

usaha perekonomian, perlindungan harta kekayaan, jaminan keamanan sosial, dan


membangun keluarga serta hal-hal yang terkait. Selanjutnya, adalah hak-hak istri,
hak-hak pendidikan, hak privasi dan kebebasan untuk berpindah dan bertempat
tinggal. Berdasarkan uraian tersebut, bahwa ide atau visi konsep hak asasi manusia
bukanlah hasil pemikiran modern secara khusus, tetapi hal itu telah ditemukan
dalam berbagai bentuknya dalam ajran-ajaran spiritual dan moral agama-agama
serta dalam tulisan-tulisan para filosof dari berbagai belahan dunia.147
Misalnya, kemunculan Islam sebagai agama

yang diwahyukan kepada

bangsa Arab, di mana hak asasi manusia sama sekali diinjak-injak dan tidak
dihargai, maka kehadiran Islam adalah sebagai respon atas problem kemanusiaan
dan keadilan yang satu golongan dengan golongan yang lain tidak menghargai nilainilai kemanusiaan. Sejarah pun telah membuktikan bahwa kehadiran Nabi
Muhammad saw. sebagai pembawa ajaran Islam, merupakan pembebasan manusia
dari pelbagai bentuk penindasan atas hak asasi manusia. Tradisi jahiliyah yang
melegitimasi perbudakan, diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap perempuan atas
nama iman dalam suatu keyakinan yang keliru telah dikikis habis oleh Islam.148
Bahwa di dalam al-Quran dan hadis ada yang menyebutkan budak adalah
tidak dapat dipungkiri. Yang dipungkiri adalah adanya dugaan terhadap sumber
otoritas Islam tersebut melegalkan perbudakan. Sebaliknya syariah justru berupaya
menghapusnya. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa salah satu misi
perjuangan Rasulullah saw. adalah perang terhadap perbudakan yang tengah
merajalela kala itu.
Jadi tantangan yang dihadapi umat Islam dewasa ini tidak hanya untuk
memberikan jawaban tehadap tuduhan yang dialamatkan kepadanya seperti
147

Lebih lengkap, lihat Sayyed Hossein Nashr, The Heart of Islam, Pesan-pesan Universa l
Islam untuk Kemanusiaan, terj. Nuraisah Fakih Sutan Harahap, (Bandung: Mizan, 2003), h. 362.
148
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Abdul Rohim, C.N.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 56.

82

melegalkan perbudakan, tetapi juga harus membuat suatu konsepsi dalam rangka
menyediakan instrument gerak bagi upaya mendobrak semua struktur penindasan.
Agama dalam pengertian filosofis merupakan pendasaran konsepsi atas pertanyaanpertanyaan sekitar hubungan manusia dengan alam semesta, dan bagaimana melalui
hubungan tersebut manusia dapat memenuhi kebutuhan spritualnya di samping
kebutuhan materialnya. Mempelajari agama harus dipandang sebagai kegiatan
intelektual, spiritual, histories dan sosiologis sekaligus, bukannya dipandang sebagai
penipuan spiritual.

BAB III
LANDASAN PARADIGMATIK MEMAHAMI HADITS-HADITS
PERBUDAKAN

A. Prinsip-Prinsip Dasar
Hadits-hadits tentang perbudakan memuat beberapa terobosan Rasulullah
saw. dalam mengatasi problem kemanusiaan tersebut. Untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat, diperlukan acuan dasar sebagai pisau analisis. Acuan dasar
dimaksud adalah prinsip-prinsip universal ajaran Islam. Yaitu prinsip kemanusiaan,
kebebasan, persamaan dan keadilan.

1. Prinsip Kemanusiaan
Sejumlah sejarawan muslim membuktikan bahwa kehadiran Nabi
Muhammad saw. pembawa ajaran Islam adalah respon atas problem masyarakat
yang antara golongan yang satu dan golongan lainnya tidak lagi menghargai nilainilai kemanusiaan.1 Tradisi Jahiliyah melegitimasi perbudakan, diskriminasi rasial,
diskriminasi terhadap perempuan misalnya,

telah dipelopori penghapusannya.

Perbudakan yang dikotomi majikan-budak yang eksploitatif secara bertahap


dihilangkan. Itu berarti Islam menekankan anti terhadap sistem perbudakan.
Esensi ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah saw. adalah ajaran tauhid.
Dari ajaran tauhid inilah timbul konsep kesatuan manusia yang menjadi sumbangan
1

Lihat Syaukat Husain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, terjemahan Abd Rohim, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h. 55.

84

unik dalam kebudayaan manusia.2 Dahulu kala umat manusia saling bermusuhan,
lalu Rasulullah saw. menggalang hati mereka dalam ikatan persaudaraan sebagai
sosialisasi perintah Tuhan.3 Banyak pesan Rasulullah saw. yang menekankan
pentingnya ikatan persaudaraan ini. Ikatan yang mengokohkan mereka untuk saling
menopang, tenggang rasa, tolong-menolong dan hormat-menghormati. Sebaliknya,
Rasulullah saw. melarang untuk saling dengki, bersaing dalam penawaran, saling
membenci, saling bermusuhan, saling menjual atas orang lain, saling menzhalimi,
saling merendahkan, saling mendustakan, dan saling menghinakannya.4
2
M. Aman Hobohm, Islam dan Masalah Rasial, dalam Altaf Gauhar (ed.), Tantangan
Islam, (Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1983), h. 304.
3
Dalam uapaya tersebut Rasulullah saw. juga menyampaikan firman-firman Allah swt.
antara lain yang terdapat pada QS. Ali Imran (3): 103;

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,
dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
4
Salah satu contoh adalah riwayat berikut:






Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu saling dengki, bersaing
dalam penawaran, saling membenci, saling bermusuhan, dan saling menjual atas orang lain, tetapi
jadilah kamu bersaudara, hai hamba-hamba Allah. Seorang muslim adalah saudara yang lainnya,
janganlah menzhaliminya, merendahkannya, berdusta kepadanya, dan menghinakannya. Taqwa itu
ada di sini, Rasul menunjuk dadanya tiga kali. Cukup kejelekan bagi orang yang menghina
saudaranya, sebab setiap muslim atas muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya dan
kehormatannya. Lihat Shahh Muslim, ditahqiq oleh Ab al-Fadhl al-Dimiythy, Kitb al-Bir wa alShilah wa al-Adab, Bb Tahrm Zhulmi al-Muslimi wa Khzlihi wa Ihtiqrihi wa Dmihi wa Irdhihi
wa Mlihi, no. hadits 2565; (t.tp., Dr al-Bayn al-Arab, 2006), h. 1225; oleh Ab al-Husain,
Muslim al-Hajjj, al-Naisabr; al-Jmi al-Shahh al-Bukhr. (Taisr), ditahqiq oleh Musa Syahin

85

Ikatan persaudaraan yang kuat tersebut diibaratkan oleh Rasulullah saw.


sebagai sebuah bangunan kokoh yang antara komponen yang satu dan komponen
lainnya saling menguatkan. Atau satu tubuh yang apabila sebahagian anggotanya
menderita, maka seluruh tubuh itu akan merasakannya.5
Prinsip sama rasa, suka dan cita ini tidak terlepas dari hak-hak dan
kewajiban asasi manusia yang mesti diterima dan dilaksanakan oleh setiap individu

Lasin, Kitb al-Nikh, Bb L Yakhthubu Al Khithbati Akhhi Hatt Yankiha aw Yada a, no. hadits
4747, juz 3, h. 136, Kitb al-Adab, Bb Y Ayyuhallazna man- Ijtanib Kastran Min al-Zhanni
Inna Ba dha al-Zhanni Istmun wa L Tajassas, no. hadits 5606; (Kairo: Maktab al-Syurq alDauliyah, 2003), juz 3, h. 379; Muhammad bin Isml bin Ibrhim bin al-Mugrah bin al-Bardizbah
al-Bukhr; Sunan Ab Dwud, ditahqiq Muhammad Abd al-Azz al-Khalidiy, Kitb al-Buy, Bb
F al-Nahy An al-Najsyi, no. hadits 3438, juz 2, h. 476; Kitb al-Adab, Bb F al-Zhanni, no. hadits
4917; (Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), juz 3, h. 285, oleh Ab Dwud Muhammad alAzadiy Al-Sijistn; Sunan al-Tirmiziy, tahqiq Mahmud Muhammad Mahmud Hasan Nashar, Kitb
al-Bir wa al-Shilah an Raslillah, Bb M Ja f Zhanni al-Si, no. hadits 1988, (Beirt: Dr alKutub al-Ilmiyah, 2000), juz 3, h. 106 oleh Ab sa Muhammad bin sa bin Saura al-Tirmiz;
Sunan al-Nasi, Kitb al-Nikh, Bb al-Nahy an Yakhtuba al-Rajulu Al Khithbati Akhhi, no.
hadits 3187, juz 6, h. 72, Kitb al-Buy , Bb al-Najasyu, no. hadits 4420, 4430 dan 4431 juz 7, h.
258-259 oleh Ab Abd al-Rahmn Ahmad bin Syuaib Al-Nas; Sunan Ibn Mjah, Kitb alNikh, Bb L Yakhthub al-Rajulu Al Khithbati Akhhi, no. hadits 1867-1868, juz 1, h. 600, Kitb
al-Tijrt, Bb M Ja f al-Nahyi An al-Najsyi, no. hadits 2175-2176, (Beirt: Dr al-Kutub alIlmiyah, t.th.), juz 2, h. 734 oleh Abi Abdillh Muhammad ibn Yazid Ibn Mjah al-Qazwin;
Musnad Ahmad Ibn Hanbal, ditahqiq oleh Ahmad Sykir, no. hadits 7402, juz 3, 265 oleh Ab
Abdillah Ahmad Ibn Hanbal; al-Muwatha , Kitb Husnu al-Khuluq,, Bb M Ja f al-Muhjirah,
no. hadits 1412. (Kairo: Dr al-Fikr, 1984), h. 283-284 oleh Ab Abdillah Mlik bin Anas.
5
Misalnya sabda Rasulullah saw. berikut ini:

Dari Abu Musa dari Nabi saw. bersabda: orang mukmin dengan orang mukmin lainnya ibarat
sebuah bangunan yang antara bagian yang satu dengan bagian lainnya saling menguatkan.
Kemudian beliau mengibaratkan antara jemarinya. Lihat Shahh al-Bukhri, Kitb al-Adab, Bb
Ta wun al-Mu minina Ba dhuhum Ba dhan, no. hadits 5567, juz 3, h. 78, Kitb al-Shalh, Bb
Tasybk al-Ashabi f al-Masjid wa Gairihi, no. hadits 481, juz 1, h. 195, Kitb al-Mazhlim wa alGadhab, Bb Nashru al-Mazhlm, no. hadits 2266, juz 3, h. 277; Shahh Muslim, Kitb al-Birr wa
al-Shilah wa al-Adab, Bb Tarhum al-Muminin wa Ta thufihim wa Ta dhudihim, no. hadits
2585, h. 1232; Sunan Ab- Dwud, Kitb al-Adab, no. hadits 5372, h. 315; Sunan al-Tirmiziy, Kitb
al-Birr wa al-Shilah an Raslillah, Bb M Ja f Syaf at al-Muslim al al-Muslim, juz 3, no.
hadits 1928, juz 3, h. 76; Sunan al-Nas, Kitb al-Zakt, Bb al-Syaf at f al-Shadaqah, no. hadits
2509 dan 2513, juz 3, h. 214; Musnad Ahmad, no. hadits 18762, juz 4, h. 233.

86

pengikut Rasulullah saw. Itu berarti, penderitaan yang terjadi dalam tubuh suatu
umat, adalah proyeksi ketidakefektifan sistem pelaksanaan hak dan kewajiban asasi
di dalamnya.
Prinsip umum yang dimiliki semua tradisi kebudayaan besar yang
menopang nilai kemanusiaan dan manusia adalah seseorang harus memperlakukan
orang lain sama seperti ia mengharap diperlakukan oleh orang lain. Ini memiliki arti
logis, yaitu apabila si A memperlakukan si B dengan baik, maka si B akan
memperlakukan si A dengan baik pula. Dengan demikian, kewajiban seseorang
terhadap orang lain telah melahirkan hak bagi yang lainnya tanpa harus ada yang
menuntut. Sistem ini sejajar dengan konsep yang diajarkan Rasulullah saw. di atas,
sekaligus menjadi dasar persaudaraan dalam Islam.
Prinsip persaudaraan tersebut juga telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
dengan tidak membedakan suku, ras dan bahkan agama apa pun; misalnya perlakuan
terhadap ahl al-dzimmat6 dan terhadap para budak. Khusus terhadap budak, dalam
banyak sabdanya beliau menekankan kepada para sahabatnya bahwa mereka-mereka
itu adalah saudara kalian, mereka harus diperlakukan sebagaimana memperlakukan
saudara sendiri. Saudara-saudaramu itu

telah dijadikan Allah berada dibawah

kekuasaanmu. Siapa yang memiliki saudaranya berada dibawah kekuasaannya


(pelayan), maka hendaklah ia memberinya makan sebagaimana apa yang
dimakannya; memberinya pakaian seperti yang dipakainya; dan, jangan
membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu dilakukannya. Kalau pun harus
membebaninya, maka bantulah ia dalam pekerjaan itu .7
6

Yang dimaksud dengan ahl al-dzimmat ialah penduduk non-muslim yang hidup di
wilayah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah (sebagai jaminan keamanan).
7
Misalnya sabda Rasulullah saw. sebagai berikut:

87

Sikap ini dapat dibandingkan dengan perbudakan yang dipraktekkan


bangsa-bangsa lain di dunia, baik sebelum maupun setelah kedatangan Rasulullah
saw. membawa risalah dari Tuhan untuk seluruh umat manusia.

2.

Prinsip Kebebasan
Kebebasan adalah kehendak sadar untuk memilih antara meniadakan atau

mengakui sesuatu dalam eksistensi. Kebebasan manusia harus diwujudkan berupa


pilihan ya atau tidak, yang tidak bisa diganggu kecuali oleh otoritas undang-undang
yang disepakati.8
Kebebasan merupakan elemen penting dari ajaran Rasulullah saw.9
Kebebasan adalah fitrah yang diberikan Allah kepada manusia sebagai watak yang



Dari al-Ma rri ibn Suwaid ia bertutur: Aku pernah bertemu dengan Ab Dzar di Rabadzah sedang
ia memakai pakaian yang indah. Demikian pula pelayannya (khadim). Maka kepadanya kutanyakan
hal itu (seorang pelayan memakai pakaian indah seindah yang dikenakan majikannya). Ab Dzar
menjawab: Dulu aku pernah adu mulut dengan seseorang, lalu aku menjelek-jelekkan ibunya.
Kepadaku Nabi saw. berkata: Wahai Ab Dzar pantaskah engkau menjelekkannya dengan menjelekjelekan ibunya? Sungguh sifat-sifat jahiliyah masih tersisa dalam dirimu. (Ketahuilah) bahwa
pelayanmu itu adalah saudara-saudaramu yang Allah jadikan berada dibawah kekuasaanmu. Siapa
yang memiliki saudaranya berada dibawah kekuasaannya (pelayan), maka hendaklah ia memberinya
makan sebagaimana apa yang dimakannya; memberinya pakaian seperti yang dipakainya; dan,
jangan membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu dilakukannya. Kalau pun harus
membebaninya, maka bantulah ia dalam pekerjaan itu. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Imn, Bb
al-Ma shi min Amri al-Jhiliyya wa L Yukaffaru Shhibuha Ill bi al-Syirki, no. hadits 29, juz 1,
h. 74, Kitb al-Itq, Bb Qawli al-Nabiy al-bidu Ikhwnukum Faathim- Mimm Ta kuln, no.
hadits 2359, juz 2, h. 105; Shahh Muslim, Kitb al-Aimn, Bb Ithm al-Mamlk Mimm Ya kulu
wa Ilbsuhu Mimm Yalbasu wa L Yukallifuhu M Yaglibuhu, no. hadits 1661, h. 817; Sunan Ab
Dwud, Kitb al-Adab, Bb F Haqq al-Mamlk, no. hadits 4490-4491 juz 3, 235; Sunan al-Tirmiz,
Kitb al-Bir wa al-Shilah an Raslillah, Bb M Ja f Ihsn Il al-Khadam, no. hadits 1940, juz 3,
h. 85; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Adab, Bb al-Ihsn Il al-Mamlik, no. hadits 3680, juz 3, h. 224;
Musnad Ahmad, no. hadits 20440 dan 20461, juz 9, h. 150.
8
Lihat Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia, (Yogyakarta:
Pilar, 2005), h. 21.
9
Salah seorang yang secara terang-terangan memproklamirkan teologi pembebasan Islam
adalah Asghar Ali Engineer, alasannya mengacu pada kondisi umat Islam sekarang yang

88

lazim. Kebebasan memberikan kebahagiaan dan dorongan untuk dapat mewujudkan


cita-cita manusia yang disertai dengan semangat penuh, yaitu kebebasan yang tidak
melukai prinsip-prinsip sosial umum dan tidak membahayakan pihak-pihak lain.
Konsep kebebasan yang diajarkan oleh Rasulullah saw. mencakup seluruh
bidang kehidupan manusia karena pada dasarnya setiap manusia adalah bebas. Ini
berarti bahwa manusia dilahirkan bebas dari perbudakan, dosa, kesalahan
pembawaan, dan warisan leluhurnya. Salah satu ketentuan dasar ajaran Rasulullah
saw. adalah pembebasan pikiran dari takhayul dan keragu-raguan, pembebasan jiwa
dari dosa dan khianat, pembebasan diri dari penindasan dan rasa takut, dan
pembebasan dari segala yang membelenggu kehidupan manusia.
Kehadiran Rasulullah saw. telah memberikan jaminan kebebasan manusia
agar terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah
agama, politik maupun ideologi. Kebebasan merupakan tiang globalitas tindakan
Rasulullah saw., baik dari segi akidah, asas individu bahkan kehidupan sosial
mempunyai vitalitas yang sehat.10 Dalam sistem perbudakan, kebebasan ini justru
terhalang oleh kepatuhan atau yang lebih tepat karena keterpaksaan sebagai akibat
rasa takut pada monopoli dan berbagai cara kekerasan para tuan terhadap budak.11
Itulah sebabnya perbudakan bertentangan dengan kebebasan dan mesti dihapuskan
melalui pengembalian kebebasan secara fisik maupun mental kepada para budak.

dianggapnya telah meninggalkan beberapa aspek ajaran Islam. Padahal tegas Ali, Nabi Muhammad
pernah menjadikannya sebagai acuan gerakan kala pertama kali menyerukan ajaran tauhid.
Rasulullah saw. menggulirkan tantangan yang mengancam keberadaan para saudagar Makkah yang
tengah mabuk kekuasaan. Mereka menghina fakir miskin, menindas para budak, menghalalkan riba,
monopoli perdagangan, mempertahankan status quo guna melanggengkan kepemilikan kapital.
Namun hanya dalam beberapa dekade, Rasulullah saw. berhasil mewujudkan sebagian besar misinya,
termasuk mengatasi perbudakan. Lihat Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 4-7.
10
Abdul Kariem Utsman, Persamaan dan Keadilan dalam Perspektif Islam, dalam Lukman
Hakiem (ed.), Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992), h. 15.
11
Martin melihat adanya unsur keterpaksaan ini melekat dalam otoritas yang ada pada
kesepakatan antara dua posisi yang berbeda, yakni antara tuan dan budak. Lihat Roderick Martin,
Sosiologi Kekuasaan, terjemahan Joediono Herry, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 145.

89

Kebebasan fisik mempunyai arti bahwa para budak tidak lagi mempunyai
ikatan keterpaksaan yang mengekang diri maupun pikirannya. Ia berdiri sendiri,
bebas untuk menentukan sikap kehidupannya. Kebebasan fisik berarti juga
mengembalikan fungsi kemanusiaan mereka dan memperlakukan mereka secara
terhormat. Sebab asal usul mereka tidak berbeda dengan tuan-tuan mereka. Hanya
karena hal-hal tertentu saja, yang sifatnya tidak tetap, telah membatasi kebebasan
mereka keluar, dalam hubungannya langsung dengan masyarakat. Di luar hal ini,
budak-budak itu mempunyai hak-hak manusiawi.12
Berdasarkan semua itu, Rasulullah saw. membebaskan semua sahaya yang
dikuasainya dengan diikuti oleh para sahabat.13 Abu Bakar mengeluarkan biaya
besar untuk membeli budak-budak untuk kemudian dibebaskan. Demikian juga
Baitu al-Ml telah menyediakan dana untuk membeli budak-budak untuk
dibebaskan. Sejarah Islam pun mencatat ada Khalifah yang melakukan hal serupa
seperti Umar bin Abd Aziz. Dalam ungkapan Yahya bin Said, terlihat bahwa di
zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, rakyat di Afrika dalam keadaan makmur.
Sehingga zakat yang terkumpul dipergunakan untuk membeli budak dan
membebaskannya.14 Ini menunjukkan pelaku pembebasan, yang dapat bersifat
perorangan atau kelembagaan dan diperkenankannya membeli budak hanya untuk
dibebaskan dan tidak untuk dimiliki. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa
Rasulullah saw. dan para sahabatnya membeli budak tapi hanya untuk dibebaskan.
Lebih dari itu, beliau menganjurkan untuk memerdekakan budak dengan harta yang
dimiliki, tanpa menyusahkannya.15

12

Muhammad Quthub, Sybht Hawla al-Islm, (Beirt: Dr al-Syurq, 1973 ), h. 50.


Pada tahun 6 H, Rasulullah saw. memimpin pengepungan kota Thaif dan mengadakan
pembebasan budak besar-besaran dengan jaminan bagi yang keluar dari benteng. Lihat Jurji Zaidan,
Trkh al-Tamaddun al-Islm, (Cairo: Dr al-Hill, t.th.), juz iv, h. 29.
14
Zaidan, Trkh, h. 51.
15
Misalnya riwayat dari Ab Hurairah berikut:
13

90

Adapun pembebasan mental mempunyai makna yang tidak kalah


pentingnya dengan pembebasan fisik. Berdasarkan pertimbangan terdahulu,
pembebasan inilah yang berperan penting dalam pembebasan budak secara
paripurna. Pembebasan mental merupakan pengembalian jiwa budak kepada
statusnya sebagai seorang manusia yang mempunyai kehormatan yang dilindungi
undang-undang dan hak-hak yang tidak boleh dilanggar, baik dengan ucapan
maupun dengan perbuatan.
Untuk menghapus perbudakan secara mental, Rasulullah saw. melarang
untuk memanggil mereka dengan sebutan budak, tapi mesti diseru dengan kasih
sayang dan kekeluargaan. Di sini, Rasulullah saw. hendak mendudukkan posisi
budak dan tuannya pada posisi yang seimbang. Pemilikan dipandang hanya
berdasarkan waktu, yang suatu saat dapat berbalik.16 Di satu sisi akan terkendali
kesombongan para tuan, sedang di sisi lain mengembalikan para budak pada tali
kemanusiaan yang mengikat mereka dengan kasih sayang.
Upaya pembebasan secara mental dan fisik, di antaranya dapat melalui
pemberian aktifitas komersial kepada para budak. Misalnya Zubair bin Awam yang



Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Nabi saw. bersabda: siapa yang memerdekakan sebagian atau
sedikit dalam hal perbudakan maka hendaklah ia memerdekakannya dengan hartanya jika ia
memiliki harta, dan bila ditaksirkan (nilai harganya) maka hendaklah ia mengusahakannya tanpa
menyusahkan dirinya. Lihat Shahh al-Bukhri, Kitb al-Itq, Bb Iz Ataqa Nashban f Abdin wa
Laisa Lahu Mlun, no. hadits 2527, juz 2, h. 107; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Zikri Siyat alAbdi, no. hadits 1530, h. 730, Kitb al-Aimn, Bb Man Ataqa Syirkan Lahu f Abdin, no. hadits
1501-1503, h. 819; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb Man Zakara al-Siyata f Hz al-Hadts,
no. hadits 3937, juz 3, h. 23; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Ahkm an Raslillah, Bb M Ja f alAbdi Yakna Bain al-Rajulain Faya tiqu Ahaduhuma Nashbahu, no. hadits 1347-1348, juz 2, h.
340; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Ahkm, Bb Man Ataqa Syirkan Lahu f Abdin, no. hadits 2528, juz
2, h. 844; Musnad Ahmad, no. hadits 7156, juz 4, h. 232.
16
Zaidan, Trkh, h. 49.

91

mempekerjakan 1.000 budak dalam operasi dagangnya. Abbas 20 budak, yang


masing-masing diberi modal 10.000 dirham untuk berniaga.17
Melalui cara ini, mental budak telah mulai dibebaskan dari kekangan
perintah. Ada proses pengembalian hak kebebasan untuk berinisiatif dan
berkreatifitas serta menentukan pilihan dalam berusaha meskipun masih dalam
pengawasan majikan sebagai bimbingan menuju kemandirian yang murni.
Keuntungan dari usahanya menandakan bahwa seorang budak telah siap untuk
merdeka. Dengan perlakuan yang baik dan pemberian peluang kepada merdeka, para
budak tersebut telah benar-benar siap untuk hidup menyatu dengan masyarakat.
Begitulah

Rasulullah

saw.

memperbaiki

nasib

para

budak

dan

menganjurkan pembebasan mereka sebagai tindak kebajikan spiritual. Maka tak


heran bahwa begitu banyak budak dimerdekakan dalam masyarakat Islam masa
awal. Dalam masa 30-40 tahun praktek perbudakan telah dapat dituntaskan oleh
Islam. Selanjutnya, mereka menemukan relung-relung baru dalam kehidupan
sebagai anggota masyarakat yang berguna.
Satu sumber perbudakan masih tersisa adalah tawanan perang. Upaya
pembebasan tawanan perang ini, dengan atau tanpa tebusan, telah ditauladani oleh
Rasulullah saw. dengan bijaksana tanpa harus menekan sifat kemanusiaannya.
Rasulullah saw. telah membebaskan tawanan perang yang dapat mengajar sepuluh
orang Islam membaca dan menulis, atau memberikan jasa lain yang berguna bagi
umat Islam.18 Pertukaran tawanan perang musuh dan tawanan perang muslim juga
terjadi. Apabila cara ini dan cara penebusan buntu, maka disebarkan para tawanan
itu pada pasukan yang menawan mereka. Sikap ini lebih manusiawi dibanding

17

M. Abd. Jabbar Beg, Mobilitas Sosial di dalam Peradaban Islam Periode Klasik,
terjemahan Lukman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 29.
18
Muhammad Quthub, Syubht, h. 50.

92

menahan mereka bak ternak dalam kamp-kamp konsentrasi dan menjadikan mereka
pekerja paksa; atau kalau wanita, disiapkan untuk menjadi pelacur.19
Penyebaran ini telah mengantarkan mereka ke dalam kehidupan yang lebih
manusiawi. Dengan perintah perlakuan baik terhadap mereka, dari para wali,
menghasilkan pemeluk-pemeluk Islam yang baru. Keturunan mereka banyak yang
menjadi ulama-ulama, pemimpin, ahli hukum, mufassir, negerawan dan perwira
hingga kemudian menjadi pemimpin-pemimpin dunia Islam.20
Ada misi yang tersembunyi dibelakang penyebaran para tawanan perang
pada masyarakat muslim. Misi itu adalah pengenalan Islam tentang pola masyarakat
muslim yang manusiawi dan berdasarkan ajaran Ilahi. Inilah da wat bi al-hal.
Dengan demikian, timbul perbandingan dalam diri mereka terhadap kehidupan awal
mereka yang jauh berbeda. Perbedaan itu dapat diprediksi karena sebagian para
tawanan perang itu adalah berasal dari rakyat yang terpaksa perang di bawah
ancaman penguasa-penguasa penakluk daerahnya.21 Tak heran, kalau banyak
diantara mereka enggan untuk kembali atau ditebus dengan pemerintah mereka,
seperti yang terjadi dengan pasukan Yunani yang ditawan Mesir.22
Sejarah telah membuktikan bahwa perlakuan terhadap para budak pada
masa-masa Islam telah mencapai puncak dari kemanusiaan yang belum terjadi pada
bangsa-bangsa lain. Budak-budak yang dibebaskan tidak mau meninggalkan tuantuan mereka, meskipun mereka berhak demikian setelah mereka mampu memikul
dan menentukan tanggung jawab dan telah mandiri secara ekonomis. Penyebabnya
ialah karena mereka menganggap tuan-tuan mereka seperti keluarga sendiri dan
19

Ab Ala al-Mauddi, Hak-Hak Manusia dalam Islam, terjemahan Ummu Hasanain,


(Jakarta: YAPI, 1988), h. 22-23.
20
al-Mauddi, Hak-Hak, h. 23.
21
Muhammad Quthub, Syubht, h. 68.
22
Setelah terjadi kesepakatan pertukaran tawanan antara Mesir dan Yunani, dari 550.000
orang tawanan Yunani di Mesir, hanya 400 orang saja yang bersedia kembali ke Yunani. Selebihnya
lebih senang tinggal di Mesir bersama saudara-saudara mereka, meskipun berstatus sebagai budak.
Lihat al-Aqqd, Bill, h. 82.

93

telah terjalin di antara mereka ikatan yang menyerupai hubungan darah dalam suatu
keluarga.23 Dalam artian, menempatkan mereka dalam posisi anggota keluarganya.
Ini sesuai dengan wasiat Islam pada Q.S. al-Nis (4):35.24 Karenanya, tidak
diperkenankan memisahkan ibu dari anak, antara dua saudara, putra dari ayah, suami
dari istri atau pun secara kolektif kekeluargaan.
Kemanuggalan ini sebagai perlindungan terhadap mantan budak dari segala
ancaman. Perkataan Umar: Andaikan Salim budak Abu Hudzaifah masih ada, akan
kuangkat ia menjadi wali (pemimpin), adalah cermin kemanunggalan Islam atas
dasar kemanusiaan universal. Tidak ada perbedaan antara Arab dan non-Arab,
Quraish dan non-Quraish sehingga sama berhak untuk menjadi Khalifah. Dengan
begitu, Islam tidak hanya memberikan perlakuan baik terhadap budak, tetapi juga
perlindungannya dengan segala tanggungan kebebasan dan kemuliaan yang
berimplikasi kepada persamaan dalam hak dan kewajiban.

3. Prinsip Persamaan
Pembebasan mengandung unsur persamaan (egalitarianisme). Dalam
pembebasan segala perbedaan yang berkenaan dengan kedudukan, hak dan
kewajiban dalam mencapai kehormatan manusia akan terhapuskan. Kondisi yang

23

Wfi, al-Hurriyyt, h. 50.


QS. al-Nis (4): 35,

24

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

94

muncul kemudian adalah persamaan sebagai Bani Adam yang telah dimuliakan dan
dilebihkan secara sempurna atas kebanyakan makhluk yang diciptakan Allah swt.25
Kemuliaan yang sama telah menggambarkan adanya pemberian hak dan
kewajiban yang sama kepada para budak, inilah aturan-aturan ketat yang dilakukan
oleh Rasulullah saw. tentang perbudakan dalam hal persamaan sebagai bani Adam.26
Persamaan itu sendiri adalah persoalan manusia secara universal.27 Solusi yang
diterapkan oleh Rasulullah saw. yang tampak
memecahkan berbagai problema. Misalnya,

sederhana itu telah mampu

secara antropologis, manusia itu

bermula dari satu bapak dan satu ibu, jika mereka hidup dalam bersuku-suku,
berbangsa-bangsa adalah suatu realitas yang mengharuskan agar mereka selalu
berdialog secara kolektif, bukan untuk saling menipu atau memperbudak satu sama
lain.28 Inilah yang mengarah pada sikap senasib sepenanggungan sesama umat
25

QS. Al-Isra (17) : 70.

Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
26
Muhammad Mahmod Taha, Syariat Demokratik, terjemahan Nur Rahman, (Surabaya:
Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), h. 200.
27
Prinsip persamaan manusia dalam Islam, yaitu persamaan dari unsur kemanusiaan, hakhak sipil dan hak-hak umum, hak belajar, hak bekerja, persamaan hak antara muslim dan nonmuslim, hak antara laki-laki dan perempuan, persamaan hak di bidang ekonomi dan politik, bahkan
persamaan hak untuk memiliki. Selanjutnya baca Wfi, al-Hurriyt, h. 28.
28
Hal demikian terlihat dalam riwayat berikut:

Dari Uqbah ibn Amr al-Juhaniyy berkata, Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya nasab kalian
ini bukan dikarenakan sebab seseorang. Semua kalian adalah anak adam, bagaikan satu sisi sa ;
kamu tidak dapat menyempurnakannya. Seseorang tidak lebih mulia dari yang lain kecuali dengan
agama atau takwanya. Cukuplah seseorang dinamakan hina, kikir dan keji (kalau ia membanggakan
nasabnya). Lihat Musnad Ahmad, no. hadits 16804, juz 5, h. 209. Tidak didapatkan komentar dari

95

manusia, terutama dalam menghormati hak asasi manusia itu sendiri. Bahkan tidak
ada yang lebih tinggi derajatnya di mata Allah melainkan karena taqwanya.29
Dalam prinsip persamaan antara manusia ini, memang terdapat perbedaan
dari segi seks, ras, sifat pembawaan, bakat kekerasan, agama dan keyakinan,
keterampilan, kekuatan fisik dan kemampuan intelektual, kedudukan sosial, tingkat
ekonomi, tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Namun pada hakekatnya mereka
tetaplah sama.30 Adanya perbedaan-perbedaan nyata itu agar mereka saling
mengenal dengan ketaqwaan sebagai standar derajat mereka di hadapan Tuhan.
Bangsa Arab pra Islam membanggakan golongan (qabilat) dan nasab
mereka. Fanatisme golongan menjadikan mereka merasa lebih mulia dari golongan
dan bangsa lainnya,31 sehingga mereka terjerumus dalam pertentangan, kekacauan
politik dan sosial.32 Mereka tidak mengenal persamaan antar sesama manusia secara
universal.33 Fanatisme golongan ini masih tertoreh di masa kebangkitan Rasulullah
saw. Faktor keturunan dipandang sebagai faktor yang penting dalam menentukan
kemuliaan seseorang, baik di antara sesama golongan Arab apalagi dengan nonArab. Seorang pemimpin tidak boleh dari keturunan orang yang pernah ternoda,
Imam Ahmad mengenai status hadits ini, namun penelusuran terhadap para periwayatnya didapatkan
informasi bahwa semuanya tsiqah. Oleh sebab itu dari segi sanad hadits tersebut adalah shahih.
29
QS. Al-Hujurt (49) : 13.

Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki, dan seorang perempuan,
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah yang paling bertaqwa di
antara kamu.
30
Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur an, (Jakarta: Grafindo Pesada, 1994), h. 153.
31
M. Amin Abdullah, Studi agama : Normativitas atau Historisitas, (Cet. I; Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1996 h. 52; lihat juga Wfi, al-Muswt f al-Islm, (Kairo: Dr al-Marif, 1965) h.
17.
32
Ali Husni al-Khurbuthli, al-Rasl f al-Madnah, (Mesir: Lajnah al-Talf bi al-Islm,
t.t.), h. 54.
33
Ali Husni al-Rasl, h. 215.

96

misalnya ada leluhurnya yang berasal dari kelas-kelas rendahan atau bangsa kulit
hitam. Jabatan mereka tak lebih dari pencerminan kerendahan nasab mereka.34
Dalam segala hal, kaum bangsawan Arab tidak mau disamakan dengan Arab
keseluruhan, sama dengan kaum Arab keseluruhan tidak mau disejajarkan dengan
kaum non-Arab, ini telah menjadi adat yang mengakar pada masa jahiliah mereka.
Ajaran egalitarianisme Rasulullah saw. telah mencabut akar fanatisme
masyarakat jahiliah ini dengan eksplosi tauladan perilaku Rasulullah saw. terhadap
para sahabat-sahabatnya yang berasal dari kedudukan yang berbeda melalui
persaudaraan dan lebih ekstrim lagi, perkawinan.
Rasulullah saw. telah mempersaudarakan dua kelompok khusus, Muhajirin
dan anshar. Juga beberapa orang bekas sahaya dengan beberapa orang bangsawan.
Bilal dipersaudarakan dengan Khalid bin Ruwaihat al-Khatsami, Zaid bin Haritsah
dengan paman Nabi saw., Hamzah, Kharijat bin Zuhair dengan Abu Bakar, Umar
dengan Itban bin Malik al-Khajraz, Abd al-Rahman bin Auf dengan Saad bin
Rabi.35 Tali persaudaraan ini merupakan ikatan hakiki dengan menyerupai
hubungan darah.
Hubungan dekat ini dikongkritkan lagi hingga pewarisan melalui hubungan
perkawinan antara dua kedudukan yang berbeda dalam pandangan adat Arab
Jahiliah. Suatu hubungan yang sulit terjadi bahkan mustahil terjadi sebelum Islam.
Di muka telah dilukiskan sebuah peristiwa peperangan dasyat antara bangsa Arab
dengan Persia yang membuktikan hal ini.

34

Reuben Levy dalam Sosial Strukture of Islam, seperti yang dikutip Aman Hobohm. Lihat
Hobohm, Islam dan Masalah Rasial dalam Altaf Gauhar (ed.), Tantangan Islam, (Bandung:
Pustaka Salman ITB., 1983), h. 307-308.
35
Ibn Hisym, h. 504-507. juga Ibn Kastsr, al-Bidya wa al-Nihyah, juz iii, (Beirt: Dr
al-Fikr, 1978), h. 226-228. juga Syalaby, Mausa al-Trkh al-Islm wa al-Hadhra al-Islmiyyah
(Kairo: al-Maktabat al-Nahdhat al-Arabiyyah, 1978), h. 247.

97

Kemustahilan ini didobrak oleh Rasulullah saw. dengan menikahkan


mantan budaknya Zaid bin Haritsah dengan anak bibinya, Zainab binti Jahsy.36 Bilal
dinikahkan dengan wanita Quraish dari Bani Zuhrat.37 Suatu upaya persamaan nilai
kemanusiaan antara golongan awam dan ningrat.
Bagi wanita Arab terutama, perkawinan adalah soal yang sensitif. Biasanya
seorang wanita Arab hanya akan menerima pernikahan dengan seorang pria yang
lebih tinggi martabat, nasab dan status sosialnya. Sebaliknya, akan menolak
dipersuamikan oleh seorang yang lebih rendah martabat, silsilah nasab dan
kekayaannya.38 Berat bagi Zainab untuk menerima lamaran Rasulullah saw. untuk
Zaid bin Haritsah, bahkan ditolak dengan sombongnya dia berkata, keturunanku
lebih mulia dari padanya.39
Dalam hal ini Muhammad Quthub mengemukakan bahwa ada tujuan luhur
dari perilaku Rasulullah saw. yang dilegalisir oleh Allah swt. tersebut. Yakni
Rasulullah saw. ingin mengangkat derajat budak dari jurang kerendahan, akibat dari
kezaliman segolongan umat manusia, kepada martabat bangsawan Arab yang
tertinggi, suku Quraish.40

36

Muhammad Quthub, Syubht, h. 68; juga Ulwan, Jawaban Tuntas, h 34.


Syalaby, Mausah, h. 255-256.
38
Muhammad Quthub, Syubht, h. 68;M. Abd Jabbar Beg, Mobilitas Sosial Dalam
Peradaban Islam Periode Klasik, terj. Lukman Hakim, (Bandung Pustaka Hidayah, 1988), h. 15.
39
Atas dasar inilah Allah menurunkan teguran sebagai yang terdapat dalam QS. al-Ahzb
(33) : 36.
37

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, maka ia
telah sesat, sesat yang nyata. lebih jelasnya, lihat sebab turunnya ayat ini dalam Jala al-Din alSuyuthi, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur an, terjemahan
Qamaruddin Saleh dkk., (Bandung: Diponegoro, 1994), h. 398.
40
Muhammad Quthub, Syubht, h.59.

98

Peningkatan derajat inilah yang dimaksud dengan mobilitas sosial.41


Perkawinan sebagai mobilitas sosial, mengandung makna manakala seseorang lelaki
berkedudukan rendah menikah dengan seorang wanita dari kelurga ningrat, maka
dia akan naik ke tingkat kedudukan yang lebih tinggi. Dalam masyarakat,
pernikahan yang demikian, membantu individu-individu untuk melakukan gerak
sosial ke atas.
Sebagai upaya mobilitas sosial di masa Islam klasik, tidak hanya terbatas
kesejajaran martabat yang diangkat Rasulullah saw., akan tetapi lebih tinggi dari
derajat para bangsawan Quraish. Hal ini dapat diketahui ketika Rasulullah saw.
memerintahkan Zaid bin Haritsah untuk menjadi panglima dalam perang Mutah
melawan Romawi yang membawahi tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar.42 Akar
fanatisme Arab Jahiliah terasa semakin jelas dicabut, ketika Rasulullah saw.
mengangkat Usama bin Zaid menjadi komandan ekspedisi ke Syiria yang
membawahi Abu Bakar dan Umar, pembantu-pembantu utamanya yang kemudian
hari menjadi khalifah Rasulullah saw., setelah Zaid bin Haritsah gugur.43
Mantan budak dan keturunannya itu bukan hanya diberi persamaan derajat
manusiawi, tetapi telah diberi hak untuk duduk memimpin orang-orang merdeka
dari suku yang menganggap dirinya lebih tinggi, Quraish. Kalau orang Quraish
dapat memimpin orang non-Quraish, lalu mengapa tidak dapat sebaliknya? Itulah
sebabnya, Rasulullah saw. menganjurkan untuk taat kepada pemimpin sekalipun
seorang budak berkulit hitam. 44 Disinilah puncak egalitarianisme ajaran Rasulullah
saw.
41

Beg, Mobilitas, h. 2.
Muhammad Quthub, Syubht, h.59; Beg, Mobilitas, h. 27.
43
Muhammad Quthub, Syubht , h. 60.; Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 35.
44
Hal demikian terlihat jelas dalam riwayat berikut:
42

99

Di saat lain Rasulullah bersabda: Salman45 adalah golongan kita, sebagai


ahlul bait. Mengikuti jejak Rasulullah saw., Umar bin Khattab berkata: Abu Bakar
adalah pemimpin kita, dialah yang memerdekakan tuan kita (yaitu Bilal). Ia juga
berkata: Seandainya Salim,46 mantan budak Abu Hudzaifah, masih hidup, niscaya
aku angkat menjadi wali (pemimpin).47
Umar telah mengangkat Amr bin Yasir, seorang mantan budak yang disiksa
oleh majikannya lantaran masuk Islam, menjadi Gubernur Kufah untuk masa jabatan
satu tahun lebih.48
Mobilisasi Umar ini dapat dipahami dengan beberapa peristiwa
ketauladannya terhadap budak. Ibnu Abbas meriwayatkan ketika suatu saat Umar
mampir di rumah Shafwan bin Umayyah selepas berhaji lalu ia pun dijamu oleh tuan
rumah. Umar murka ketika melihat para budak Shafwan hanya berdiri dengan
khidmatnya. Serta merta ia panggil mereka untuk makan bersama si tuan. Kisah ini
mencerminkan prinsip persamaan antara tuan dan budak dalam suatu martabat dan
segala kebutuhan sandang-pangannya. Kewajiban sosial ini mutlak dilaksanakan,
Dari Anas bin Mlik ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Dengar dan taatilah, meskipun yang
diangkat di antara kalian (sebagai pemimpin) adalah seorang budak hitam yang berambut
keriting.Lihat Shahh al-Bukhri, Kitb al-Ahkm, Bb al-Samu wa al-Th a li al-Imm M Lam
Takun Ma shiyatun, no. hadits 6609, juz 3, 426, Kitb al-Azn, Bb Imma al-Abd wa al-Mawl,
no. hadits 693, juz 1, h. 247; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Jihd An Ras-lullah, Bb M Ja f Th a
al-Imm, no. hadits 1628, juz 4, h. 224; Sunan al-Nas, Kitb al-Baiah, Bb al-Hadhdhu Al
Th a al-Imm, no. hadits 4121, juz 7, h. 154; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Jihd, Bb Th a alImm, no. hadits 2860-2862, juz 2, h. 955; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 11683, juz 7, h.
36.
45
Adalah anak seorang tuan tanah (dihgan) dari Isfahn. Dia ditipu oleh beberapa saudagar
dan dijual sebagai budak. Ia datang ke Arabia sebagai budak dan mamlk Islam. Dia pernah
memperoleh kedudukan tinggi di masa Khalifah Umar, yakni sebagai gubernur Madain (Ctesiphon)
bekas ibu kota Sassania. Lihat Beg, Mobilitas, h. 23-24.
46
Salim adalah anak bangsawan Persia yang mempunyai ladang gandum dan berdagang di
sekitar Irak. Ia diculik sejak kecil dan menjadi budak Ab Huzaifah. Ia seorang yang cerdas, pandai
bicara, tajam panca indera. Ikut dalam peperangan Badar, Uhud dan peperangan lain bersama
Rasulullah saw. ia gugur bersama bapak angkatnya, Ab Huzaifah, dan saudara ibu angkatnya,
Abdullah bin Suhail bin Amr, dalam perang Yamamah melawan Muzailamah al-Kazzb. Lihat Thaha
Husain, Janji Allah, terjemahan A.Mukti Ali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 70-72 dan 109.
47
Lihat Muhammad Quthub, Syubht, 59; Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 37.
48
Beg,Mobilitas, h. 24.

100

tidak hanya sebatas perlakuan yang sama antara anak dan budak si tuan tetapi juga
antara tuan dan budak itu sendiri.
Dalam suatu undangan penyerahan Baitul Maqdis oleh Panglima Abu
Ubaidah kepada Umar, Khalifah berangkat dari Madinah didampingi ghulamnya.49
Antara mereka diadakan undian untuk bergiliran mengendarai seekor onta. Umar
tetap konsisten terhadap undian ini meskipun giliran jatuh pada si ghulm saat
memasuki Baitul Maqdis. Sikap konsisten Umar tetap tercermin meskipun yang
dihadapinya adalah ghulmnya.50
Begitulah Rasulullah saw. menghapus kesombongan bangsa Arab atas
keturunan dan nasab mereka. Selama hal ini tidak bertentangan dengan naluri
kemanusiaan, prilaku balance pada status dan kedudukan manusia dalam
persamaan, sampai kapan pun masih menjadi misi Rasulullah saw. untuk dijunjung
tinggi. Namun di saat naluri psikologis telah disentuh oleh usaha egalitarianisme ini,
Rasulullah saw. pun telah mengantisipasi kefitrahannya dengan sikap seimbang.
Sebagai contoh, dalam kasus pernikahan Zainab dengan Zaid. Di satu sisi
Zainab dan Zaid telah dihadapkan kepada suatu ketetapan Rasulullah saw., sebagai
tindak penghapus fanatisme Arab Jahiliah, yang mesti ditaati. Tapi di sisi lain dapat
mengangkat derajat kaum budak yang telah direndahkan oleh sistem ciptaan
manusia. Selain itu, naluri psikologis wanita sebagai fitrah pribadi manusia, bahwa
wanita lebih menerima untuk diperistri oleh orang yang lebih tinggi martabatnya,
juga tetap dilindungi oleh Islam.
Ini merupakan tujuan tersembunyi di balik sebab turunnya perintah Allah
pada surat al-Ahzb (33):37,51 yang kemudian memerintahkan Rasulullah saw.
49

Disini kita membuktikan bahwa gulm (pelayan) tidak lagi sebagaimana yang selama ini
dipahami sebagai budak seperti sebelum kedatangan Rasulullah saw. sebab, gulm yang
mendampingi Khalifah tersebut selevel dengan ajudan presiden.
50
Beg, Mobilitas, h. 25.
51
QS. al-Ahzb (33): 37:

101

untuk mengawini Zainab setelah dicerai oleh suaminya Zaid bin Haritsah. Ada
makna pengangkatan kembali fitrah pribadi seorang Zainab, di samping itu
mengandung makna bahwa mantan istri anak angkat boleh dikawini oleh bapak
angkatnya.52
Akan tetapi tidak berarti bahwa firman Allah itu bertentangan dengan naluri
kemanusiaan. Sehingga harus turun perintah lain sebagai ralat guna menasikhkan
ayat sebelumnya. Hal ini disebabkan bahwa fitrah seorang wanita, Zainab, bukan
fitrah yang mutlak dan lebih bersifat sektarian dibanding fitrah persamaan manusia
secara umum. Rasulullah saw. pun memupus habis kesenjangan sosial manusia yang
berdasarkan fanatisme golongan terlebih dahulu, baru kemudian tetap menghargai
fitrah naluri individual.
Ibarat menarik rambut dalam terigu, tujuan untuk mengangkat persamaan
antara sesama manusia tetap tercapai tanpa harus mengorbankan naluri psikologis
fitrah manusia.

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya
dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah
kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu
takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteriisteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
52
Al-Suyuthi, Asbab, h. 399-400.

102

4.

Prinsip Keadilan
Setelah kebebasan diberikan kepada para budak sebagai pangkal kembali

eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat, maka secara antropologis, persamaan


kedudukan sebagai anak Adam yang sama derajatnya telah menjadikan mereka
dapat lebih berguna. Ia pun dapat ikut serta berkutat dalam sistem dan dinamika
kehidupan sosial dengan kemampuan mereka untuk berperan aktif. Itulah sebabnya
prinsip persamaan seluruh manusia menjadi dasar penghormatan hak-hak asasi. Juga
menjadi fondasi untuk memperoleh keadilan yang menyeluruh.53
Jadi keadilan merupakan kepentingan utama pembebasan dalam Islam.
Titik perhatian Islam yang esensial adalah keadilan sosial dengan prioritas utama
membebaskan kelompok-kelompok lemah dan tertindas. Selanjutnya, arah
perjuangan Islam adalah pembentukan kembali masyarakat yang bebas dari
kepentingan-kepentingan primordialistik; tanpa ada kelas sosial.
Keadilan merupakan ruh dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan keadilan
dianggap oleh ahli ushul fiqhi sebagai tujuan syariat; sebab semua ajaran Islam pada
dasarnya bermuara pada terwujudnya suatu kondisi kehidupan yang adil.54 Lebih
dari itu, kehadiran Rasulullah saw. sendiri membawa misi untuk membebaskan
manusia dari berbagai sistem dan struktur yang melestarikan ketidakadilan seperti
halnya perbudakan. Dapat dilihat, bahwa citra kehormatan terletak kepada
kemanunggalan manusia, dan ketunggalan kemanusiaan, bukan pada superioritas
individual dan ras kesukuan. Kehormatan hanya akan dapat diterapkan secara global
melalui solidaritas kemanusiaan yang adil secara mutlak.55
53

Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari


Pandangan Al-Qur an, (Jakarta: Grafindo Pesada, 1994), h. 231.
54
Lihat Marzuki Wahid, Islam, Pembebasan dan Keadilan Sosial dalam Buletin Jumat
an-Nadhar, edisi 28/17 oktober 2003, h. 1.
55
Abdul Kariem Ustman, Kebebasan Persamaan dan Keadilan dalam Perspektif Islam ,
dalam M. Lukman Hakiem (ed.), Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992),
h. 36.

103

Namun kehormatan yang didapat melalui kebebasan dan persamaan hingga


mengangkat mereka dari keterpurukan itu, belum cukup untuk menciptakan
mobilitas sosial, yang merupakan hak setiap individu yang berprestise, tanpa adanya
keadilan. Ketika harkat dan martabat seseorang patut diangkat, lalu tidak
dilaksanakan, maka adalah pelanggaran garis keadilan dan memasuki wilayah
kezaliman. Di sini letak keadilan dan kezaliman yang saling berhadapan.
Perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian keadilan dan kezaliman sebagai
kewajiban dan larangan dalam memperlakukan para budak khususnya dan umat
manusia umumnya.
Keadilan mempunyai arti persamaan (al-muswah) dan menafikan segala
perbedaan apa pun; dalam pengertian memelihara persamaan ketika hak
memilikinya sama. Tetapi bila yang dimaksud adalah keadilan mengharuskan tidak
terjaganya bentuk yang ragam untuk dimiliki, dan mengharuskan untuk memandang
setiap sesuatu dan setiap orang dengan pandangan yang sama, maka keadilan seperti
itu adalah justru kezaliman. Apabila suatu pemberian yang sama dipandang adil,
maka tidak memberikan sesuatu kepada semuanya berarti adil juga. Anggapan
umum yang biasa berlaku adalah bahwa kezaliman yang dilakukan kepada semua
orang secara sama adalah keadilan, jika mengacu pada pola pemikiran semacam
ini.56 Jadi, memandang keadilan ini lebih harus dilihat secara filosofis, di mana
prinsip keadilan tidak selalu identik dengan posisi persamaan. Ini berbeda dalam
pandangan hukum yang meletakkan keadilan pada posisi persamaan di depan setiap
individu tanpa terkecuali.
Dalam persepsi terakhir ini, keadilan adalah memelihara hak-hak individu
dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Seperti dalam

56

Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahy, Asas Pandangan Dunia Islam, terjemahan Persi
ke Arab oleh Muhammad Abdul Munim al-Khaqani, lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
oleh Agus Efendi, (Bandung: Mizan, 1992), h. 56.

104

perkawinan, budak pun memiliki hak untuk berkeluarga, baik dengan sesamanya
atau pun dengan orang merdeka.57 Perusakan dan pelanggaran terhadap hak-hak ini
adalah kezaliman. Inilah yang disebut keadilan sosial, yang harus dihormati di
dalam hukum manusia, dan setiap individu benar-benar diperintahkan untuk
menegakkannya.58
Itulah sebabnya keadilan menjadi penting dan berharga yang diberikan
Rasulullah saw. kepada manusia.59 Ia menjadi hak setiap umat manusia dan menjadi
salah satu asas Islam bagi setiap hubungan individu.60 Karenanya, segala bentuk
penganiayaan dikecam oleh Rasulullah saw., terutama kepada budak, baik berupa
pemukulan atau pun pembunuhan.

57

QS. al-Nr (24) : 32:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Juga QS. al-Nis (4) : 25:

Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budakbudak yang kamu miliki.
58
Muthahhari, Keadilan,, h. 56.
59
Al-Mauddi, Hak-Hak, h. 24.
60
QS. Al-Nahl (16) : 90:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

105

Dalam hal ini, hukum qishash pada surat al-Midah;61 tetap diberlakukan.
Untuk itu para tuan wajib memperhatikan kesehatan budak, perawatan yang cukup,
kehidupan di masa tuanya, tidak memberikan beban di luar kemampuan otot
maupun otaknya.
Keadilan menjadi disiplin mutlak yang harus ditegakkan. Menegakkan dan
memelihara keadilan di tengah-tengah umat manusia, sebagai dasar dan cita-cita
Rasulullah saw., maka kehormatan dan hak asasi mereka akan terpenuhi. Dengan
demikian akan terjamin terwujudnya suatu ketentraman, keamanan dan pengikatan
manusia atas dasar perimbangan yang harmonis dan persaudaraan yang lebih baik.62
Ketentraman atau keadaan yang lebih baik itu akan tercipta karena asas keadilan.
Dengan asas ini, maka para penegak dan pecinta keadilan diharuskan
menempatkan dirinya pada posisi lurus, seimbang, dan jujur, baik perkataan,
tindakan maupun sikap serta pikirannya. Bagi seorang muslim, sikap adil ini bukan
hanya menjadi kewajiban khusus terhadap sesamanya, tetapi juga terhadap musuh.
Islam menuntut keadilan tidak secara sektarian, sebatas warga negara, suku, bangsa,
ras, melainkan secara universal, bagi seluruh umat manusia. Akibatnya, seseorang
atau sekelompok orang tidak khawatir untuk dizalimi oleh Islam,63 karena keadilan

61

QS. al-Midah (5) : 45:

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.
62
Utsman, Kebebasan, h. 36-37; Muthahhari, Keadilan, h. 37.
63
Al-Mauddi, Hak-Hak, h. 25.

106

sosial telah diakui oleh hati nurani semua orang sebagaimana mereka mengingkari
kezaliman.64
Pengakuan yang bersifat mendasar dan universal ini mengakibatkan
penegak keadilan bukan lagi menjadi monopoli pihak tertentu, lebih-lebih pemegang
kekuasaan atau penguasa, melainkan suatu kewajiban dari Tuhan yang didelegasikan
kepada

seluruh

manusia.65

Umar

pernah

merekomendasikan

pengakuan

perlindungan seorang budak muslim terhadap segolongan orang asing.66 Dengan


melihat persamaan antara budak dan orang merdeka, Umar telah secara langsung
menegakkan keadilan yang efeknya dapat dirasakan orang banyak.
Perlakuan adil dalam prinsip persamaan yang ditekankan antara status
pribadi budak dan tuan di mata hukum, juga pernah terjadi di masa Rasulullah saw.,
ketika Usamah, seseorang yang dicintai Rasulullah saw., meminta grasi kepada
beliau, untuk Fatimah al-Makhzumiyah yang wajib dijatuhi hukuman karena
mencuri, dengan alasan bahwa wanita itu bernasab kepada salah satu suku Quraish
yang terhormat dan dapat mencemarkannya. Ketika itu Rasulullah saw. menjawab
bahwa perlakuan diskriminatif seperti itu tidak dibenarkan. Siapa pun yang
melakukan kesalahan akan mendapat hukuman yang setimpal. Jika tidak demikian,
menurut Rasulullah saw. telah banyak orang-orang sebelumnya celaka karena jika
orang mulia yang mencuri, maka mereka tidak menghukumnya; tetapi jika yang

64

Muthahhari, Keadilan, h. 57.


Pulungan, Prinsip, h. 231.
66
Pasukan Islam di bawah panglima Abu Ubaidah telah memblokade benteng Persia, dan
hampir menaklukkannya. Tetapi ada seorang budak muslim yang dengan inisiatifnya sendiri
mengirimkan surat dengan anak panah yang isinya memberikan perlindungan kepada seluruh
penghuni benteng itu. Hal ini dilaporkan kepada Umar, lalu dijawabnya: seorang budak muslim itu
merupakan bagian dari orang-orang Islam. Perlindungannya adalah seperti perlindungan kamu
semua. Karena itu, laksanakanlah janjinya dalam memberikan perlindungan. Maka, dilaksanakanlah
oleh pasukan Islam. Selanjutnya baca M. Yoesoef Mousa, Islam Suatu Kajian Komprehensif,
terjemahan A. Malik Madany dan Hamim Ilyas, (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 235-236.
65

107

mencuri adalah seorang yang lemah, maka mereka menerapkan hukum


terhadapnya.67
Pernyataan Rasulullah saw. itu menandakan bahwa keadilan dalam
kedudukan hukum adalah melampaui dan tak dapat dikalahkan oleh perasaan,
seberapa pun kecintaan seseorang terhadap orang lain, seperti orang tua kepada
anaknya. Sebaliknya, pelanggaran terhadap hal ini adalah penzaliman.
Larangan untuk berbuat zalim telah menjadikan keadilan tidak hanya
sebagai hak individu maupun kolektif, tetapi juga sekaligus sebagai suatu kewajiban
yang harus dilaksanakan sesuai dengan sifatnya.68 Di saat keadilan menjadi hak
yang harus diberikan kepada setiap individu yang berhak, maka keadilan yang
bersifat individual itu, secara otomatis juga menjadi kewajibannya. Sedangkan
masyarakat yang adil, sebagai manifestasi sifat kolektif, adalah masyarakat yang tata
aturan dan perundang-undangannya memudahkan tercapainya hak dan kewajiban

67

Perhatikan riwayat berikut:



Wahai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu celaka karena jika orang mulia yang mencuri,
maka mereka tidak menghukumnya. Tetapi jika yang mencuri adalah seorang yang lemah, maka
mereka menerapkan hukum had terhadapnya. Demi Allah, kalau saja Fatimah bin Muhammad
mencuri, niscaya akan aku potong tangannya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Hudd, Bb
Karhiya al-Syaf a f al-Hadd Iz Rafa a Il al-Sulthn, no. hadits 6290, juz 3, h. 446, Bb Zikri
Usmah, juz 3, h. 438, Bb Kam Yaqta , juz 3, h. 470; Shahh Muslim, Kitb al-Hudd, Bb Qatu
al-Sriq al-Syarf wa Gairihi wa al-Nahy an al-Syaf at f al-Hudd, no. hadits 1688, h. 835-836;
Sunan Ab Dwud, Kitb al-Hudd, Bb F Shhibi al-Hadd Yajiu Fayaqra, no. hadits 3806, juz 3,
h. 138; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Hudd an Raslillah, Bb M Ja f Karhiya an Yusyaffa f alHudd, no. hadits 1430, juz 2, h. 396; Sunan al-Nsaiy, Kitb Qathu al-Sriq, Bb Zukira Ikhtilf
Alfz al-Naqilain Lihkabar al-Zuhri, no. hadits 4811-4819, juz 8, h. 72; Sunan Ibn Mjah, Kitb alHudd, Bb al-Syaf at f al-Hudd, no. hadits 2547, juz 2, h. 851; Musnad Ahmad, no. hadits 22381,
juz 6, h. 237; Sunan al-Drim, Kitb al-Hudd, Bb F al-Syaf a f al-Hadd dna al-Sulthn, no.
hadits 2306, h. 733-734.
68
Ali Gharisah, Kehormatan dan Hak: Studi Kritis atas Teori Hak-Hak Azasi Manusia,
terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1986), h. 57.

108

individu kepada setiap yang berhak dan berkewajiban dengan segala upaya
peningkatan kadar kesiapannya.69
Pada dasarnya, keadilan individu dan kolektif adalah sama, sebab timbal
balik antara dua sifat itu, dalam operasionalnya, akan jalan secara bersamaan.
Keadilan secara individual mempunyai nilai setara dengan keadilan kolektif manusia
universal, bahkan senilai dengan nilai kosmis seluruh semesta.70 Ini berangkat dari
predikat

individu

manusia sebagai makhluk moral yang akan

diminta

pertanggungjawaban amal perbuatannya tanpa mungkin mendelegasikannya kepada


pribadi yang lain.71 Hal demikian disebabkan adanya nilai dan kehormatan yang
disandang oleh setiap individu dalam pandangan Islam.
Jadi, harkat dan martabat setiap perorangan atau pribadi manusia harus
dipandang dan dinilai sebagai cermin, wakil atau representasi harkat seluruh umat
manusia. Penghargaan dan penghormatan terhadap individu manusia secara pribadi
adalah suatu amal kebajikan yang memiliki nilai kemanusiaan universal. Sebaliknya,
pelanggaran dan penindasan kepada harkat dan martabat seseorang pribadi adalah
tindak kejahatan kepada manusia universal, suatu dosa kosmis, dosa yang amat
besar.72

69

Utsman, Kebebasan, h. 37.


Perhatikan Firman Allah swt. Pada QS. al-Midah (5): 66:

70

--

.....Barangsiapa membunuh seorang tanpa dosa pembunuhan atau tindakan perusakan di bumi, maka
bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia, dan barangsiapa menolong kehidupannya, maka
bagaikan ia menolong hidup seluruh umat manusia....
71
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, (1997), h. 68.
72
Madjid, Masyarakat, h. 68-69.

109

Kalau dulu budak sering didiskreditkan dalam hukum adat, pemerintahan


dan agama, maka dibawah bimbingan Rasulullah saw. ia mendapat keadilan sebagai
makhluk Allah yang sama dalam hak dan kewajiban.
Begitulah Rasulullah saw. meletakkan budak pada posisi manusia yang
memiliki nilai kemanusiaan seperti orang-orang merdeka. Budak dalam perlakuan
Rasulullah saw. tidak pernah menjadi benda mati yang bebas untuk dieksploitasi. Ia
menemukan jati dirinya sebagai sesama makhluk yang dimuliakan Allah swt. di
bawah prinsip kemanusiaan, kebebasan, persamaan dan keadilan. Dengan modal itu,
ia dapat merasakan hak-hak asasi manusia dan kemanusiaannya yang pernah hilang.
Tidak ada lagi istilah budak, yang tersisa, kini adalah pegawai yang merdeka.
Kewajiban-kewajiban budak tidak lagi sebagai unsur dari kepatuhan yang terpaksa
atas monopoli tuannya, tetapi itu timbul lebih karena kesadarannya. Pada akhirnya,
ia memiliki hak dan kewajiban yang seimbang dalam kehidupan sosial.

B. Optimalisasi Kritik Hadits


M. Syuhudi Ismail dalam bukunya Metodologi Penelitian Hadits Nabi73
telah mengemukakan beberapa faktor74 yang melatar belakangi pentingnya
penelitian hadits. Faktor-faktor itu adalah :

73

Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Cet. I; Jakarta : Bulan
Bintang, 1992), h. 7-20.
74
Faktor-faktor yang dikemukakan dalam buku tersebut lebih mengarah kepada syarat
diterima atau ditolaknya suatu hadits. Hal itu disebabkan karena kajian yang dilakukan mencakup
sanad dan matan hadits. Tulisan ini hanya dikhususkan pada kajian matan. Kajian matan yang
dimaksudkan pun lebih mengarah kepada usaha pemahaman terhadap teks hadits dilihat dari berbagai
aspeknya, sehingga suatu teks hadits tetap menampakkan fleksibilitasnya sebagai salah satu sumber
ajaran Islam yang abadi.

110

1. Hadits sebagai Salah Satu Sumber Otoritatif Ajaran Islam


Kedudukan hadits Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua,
telah diterima oleh seluruh ulama dan umat Islam. Oleh karena itu, segala perkatan,
perbuatan, dan taqrir beliau dijadikan pedoman dan ikutan oleh umat Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Terlebih-lebih mereka meyakini bahwa Nabi selalu mendapat
tuntunan wahyu, sehingga apa saja yang berkenaan dengan Nabi, pasti membawa
jaminan teologis.75 Bila menyimak pada ayat-ayat al-Quran, setidaknya ditemukan
sekitar 50 ayat76 yang secara tegas memerintahkan umat Islam untuk taat kepada
Allah dan juga kepada Rasul-Nya.77
Menurut ulama, perintah Tuhan tersebut memberi petunjuk secara umum,
bahwa semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh
orang-orang yang beriman,78 sekaligus mempertegas posisi hadits sebagai sumber
ajaran Islam. Kewajiban patuh kepada Rasulullah saw. merupakan konsekuensi logis
dari keimanan seseorang.79

Itu berarti, kepatuhan kepada Rasulullah saw.

Lihat Muhamad Arkoun, Rethinking Islam Common Question Uncommon Answers,


diterjemahkan oleh Yudian Asmin dan Lathiful Huluq dengan judul Rethingking Islam (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1996), h. 73.
76
Lihat Muhammad Fuad Abd. Al-Bqi, al-Mujam al-Mufahras Li Alfz Al-Qur an,
(Bandung : Maktabah Dahlan, t.th.), h. 314-319, 429-430, 463-464.
77
Di antaranya pada QS. al-Hasyar (59): 7 dikemukakan sebagai berikut:
75

dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah, .
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansar al-Qurtub, al-Jmi Li Ahkm AlQur n, juz XVIII (Kairo: Dr al-Kitb al-Arab, 1967), h. 17, Ab al-Fdl Syihb al-dn al-Sayid
Mahmud al-Alsi al-Bagdd, Rh al-Ma ni f Tafsr Al-Qur n al-Azm al-Sab al-Masni, juz
XXVII (Beirt: Dr al-Ihy al-Turst al-Arab, t.th.), h. 50, Ab al-Qsim Jrullah Mahmud bin
Umar al-Zamahsyar, al-Kasysyf An Haqiq al-Tanzl wa Uyn al-Aqwil, juz IV (Beirt: Dr alFikr, 1979), h. 82.
79
Pada QS. al-Nis (4) : 80 ditegaskan:
78

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

111

merupakan salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah swt. Hanya saja
perlu dipertegas mengenai indikasi yang terdapat dalam perintah Tuhan itu. Yakni
perintah yang wajib ditaati dan larangan yang wajib dijauhi adalah yang disampikan
oleh beliau dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah saw.
Walaupum demikian, tetap saja ada yang menolak otoritas hadits sebagai
sumber ajaran Islam, baik di kalangan umat Islam maupun orientalis.80 Akan tetapi,
semua argumen yang mereka kedepankan itu ternyata lemah dan tidak memiliki
basis akademis yang memadai.81 Lebih aneh lagi, dalam pengingkaran mereka
terhadap hadits, mereka justru menggunakan dalil dari hadits itu sendiri,82 sesuatu
yang ironis, sebab yang diingkarinya justru kembali mereka jadikan basis argumen.
Aloys Sprenger (1813-1893) adalah orang yang pertama kali mengatakan
bahwa hadits adalah cerita bohong tapi menarik. Gutav Weil (1808-1889) menolak
separoh hadits yang ada dalam Shahh al-Bukhr. William Muir (1819-1905)
mengatakan bahwa nama Muhammad sengaja ditempel dalam berbagai literature
Islam adalah untuk menutupi kebohongan.83 Ignaz Golzhiher (1850-1921)
Lihat misalnya Mustafa al-Sib, al-Sunnat wa Maknatuha f Tasyr al-Islm (Kairo:
Dr al-Quwmiyya li al-Tibat wa al-Nasyr, 1966), h. 55-59; Muhammad Ajjj al-Khathb, Usl alHadst Ulmuhu wa Musthalhuh. (Beirt: Dr al-Fikr, 1989), h. 37-39; Muhammad Ab Zahrah,
Usl al-Fiqh (t.tp., Dr al-Fikr al-Arab, t.th.), h. 106-107; Khusus tentang pandangan kaum
orientalis atas masalah ini dapat diketahui misalnya dari penjelasan Fazlur Rahman. Lihat Fazlur
Rahman, Islam (Cet. II; Chicago : Universiti of Chicago Press, 1979), h. 5. Penolakan otoritas hadits
Nabi bukan hanya berkembang dalam tradisi kesarjanaan Barat, tetapi juga berkembang dalam
kesarjanaan Islam. Terdapat sejumlah ulama dan intelektual Islam yang hanya menerima otoritas AlQuran seraya menolak otoritas hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Mereka ini lebih dikenal
dengan kelompok yang berpaham inkar al-sunnah. Selanjutnya lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad hadits : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu sejarah (Cet. II;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9.
81
Lihat misalnya pembelaan yang diajukan oleh Muhammad bin Idris al-Syaf, dalam alUmm, juz VII (t.tp.: Nr al-Saqfa al-Islmiyyah, t.th.), h. 250-262; pengarang yang sama, Ikhtilf
al-Hadts (Cet. I; Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 25-29; Muhammad al-Khudar Beik,
Trkh al-Tasyr al-Islm, (Surabaya: al-Hidayah, t.th.), h. 183-186.
82
Lihat Muhammad Muhammad Ab Sahw, al-Hadts wa al-Muhaddistn, (Mesir: Syirkah
Muhammad Misriyyah, t.th.), h21; Fazlur Rahman, Islamic Methodologi in History, (Delhi-India:
Adam publishers & distributors, 1994), h. 51.
83
Lihat Syamsuddin Arif, Gugatan Orientalis Terhadap Hadits dan Gaungnya di Dunia
Islam dalam Al-Insan: Jurnal Kajian Islam, Nomor 2. Vol. I. 2005. h. 10-12.
80

112

mengatakan bahwa hadits yang ada sebahagian besar (untuk tidak mengatakan
semuanya) tidak dijamin keautentikannya. Penyebabnya adalah karena kandungan
hadits terus membengkak sebab sebahagian besar materi hadits tersebut merupakan
hasil perkembangan keagamaan.84 Pernyataan Golzhiher ini sekurang-kurangnya
dapat memberikan keraguan atas otentisitas hadits baik bagi kalangan orientalis
sendiri maupun kaum muslimin.
Selain itu, Joseph Shcacht lebih radikal daripada Golzhiher.

Shcacht

bahkan sampai pada tingkat meyakinkan atas ketidakotentikan hadits. Ia berkata,


bagian terbesar dari sanad hadits adalah palsu. Sebab semua orang mengetahui
bahwa istilah sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sederhana, kemudian
mencapai tingkat kesempurnaannya pada abad ketiga hijriyah.85 Schacht berbeda
dengan Golzhiher dalam mengkaji hadits. Kalau Golzhiher lebih menyoroti aspek
matan, Schacht justru lebih menekankan kajian sanad. Melalui kajian sanad ini,
Schacht pada akhirnya berkesimpulan bahwa tidak ada satu hadits pun dari Nabi
saw. yang dapat dipertimbangkan sebagai hadits shahih; khususnya hadits-hadits
yang berkaitan dengan hukum Islam.86
Namun, harus dimaklumi bahwa sebahagian besar mereka yang masuk ke
dalam kelompok inkr al-sunnah, lebih disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan
mereka tentang sunnah.87 Gejala ini bukan hanya terjadi di negara Islam lain,
bahkan di Indonesia pun salah satu penyebab keingkaran mereka adalah

84

Lihat Ignaz Golzhiher, Muslims Studies, vol. II, (London: George Allen, 1971), h. 19.
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press,
1975), h. 163.
86
Shcacht mengatakan: We shell not meet eny legal tradition from the Prophet wich can be
considered authentic. Selengkapnya lihat Schacht, The Origins, h. 149.
87
Muhammad Ab Zahrah, Trkh al-Mazhib al-Islmiyah diterjemahkan oleh Abd
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. (Jakarta :
Logos, 1996)h. 218.
85

113

ketidaktahuannya tentang kandungan al-Quran, ilmu tafsir dan bahasa Arab,


sehingga banyak ayat yang diterjemahkan dan dipahami secara keliru.88
Seluruh umat Islam menolak paham inkr al-sunnah ini. Mereka
sepenuhnya mengakui otoritas hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam
disamping al-Quran. Pengakuan otoritas ini dimanifestasikan dalam bentuk
penerimaan hadits sebagai sumber justifikasi bagi perumusan ajaran Islam, sejak
dari level peribadatan murni hingga level sosial kemasyarakatan. Sayangnya, dalam
beberapa aspek (khususnya kemasyarakatan) seperti halnya masalah perbudakan,
kelihatannya belum melalui pertimbangan prinsip dasar al-Quran sehingga persepsi
dan kenyataan menunjukkan sesuatu yang kontrdiktif.

2. Keterlambatan Kodifikasi Hadits


Secara historis faktual, modus transmisi hadits berbeda dengan transmisi alQuran. Transmisi al-Quran sejak dari lisan Nabi sampai kepada generasi sekarang
berlangsung secara mutawtir.89 Penting pula dicatat bahwa transmisi al-Quran
tidak saja berlangsung melalui transmisi verbal (periwayatan lisan), melainkan juga
melalui transmisi tulisan (dokumentasi tertulis). Kedua model transmisi tersebut
telah berlangsung sejak era Nabi saw. Para sahabat Nabi ketika itu, banyak yang
berlomba untuk menghafal ayat-ayat al-Quran. Sementara itu ada pula beberapa
sahabat yang berusaha mendokumentasikan ayat-ayat al-Quran tersebut secara
tertulis, baik atas instruksi Nabi maupun atas inisiatif sendiri.90 Al-Quran memiliki

88

Lihat Ahmad Husnan, Gerakan Inkar al-Sunnah dan Jawabannya, (Jakarta: Media
dakwah, 1980), h. 44-46, 51-115.
89
Subhi al-Shlih, Mabhits f Ulm Al-Qurn (Cet. XVII; Beirt: Dr al-Ilm li alMalyin, 1988), h. 21; Muhammad Bakri Ismail, Dirst f Ulm Al-Qur n, (Kairo: Dr al-Manr,
1991), h. 23; Mann al-Qaththn, Mabhits f Ulm Al-Qur n (t.tp. : Muassas al-Rislah, 1993),
h. 26.
90
Al-Qaththn, Mabhits, h. 119-125.

114

mata rantai transmisi yang secara historis ilmiah diakui keakuratannya, suatu
keunggulan yang tidak pernah tertandingi oleh kitab-kitab manapun.
Berbeda halnya dengan hadits-hadits Nabi saw. hanya sebagian kecil saja
yang periwayatannya berlangsung secara mutawatir, selebihnya diriwayatkan secara
ahad.91 Kondisi seperti itu ditambah dengan adanya kenyataan historis bahwa tidak
seluruh hadits tertulis pada periode Nabi saw.92 bahkan ada riwayat yang
menyebutkan bahwa Nabi melarang penulisan hadits, serta memerintahkan para
sahabat agar menghapus tulisan dan dokumentasi selain al-Quran.93 Namun
demikian, pada kesempatan yang lain Nabi saw. mengizinkan para sahabat menulis
hadits. Sebab semua yang keluar dari lisannya adalah benar.94

Muhammad Ab Rayyah, Adw al-Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir: Dr al-Marif,


t.th.), h. 279-280.
92
Lihat Subhi al-Shlih, Ulm al-Hadst wa Musttalhuhu, (Beirt: Dr al-Ilm li alMalyin, 1988), h. 18; Muhammad Muhammad Ab syuhbah, F Rihb al-Sunna al-Kutub alSittah, (Kairo: Majma al-Buhst al-Islamiyyah, 1969), h. 17-21; Ajjj al-Khatib, Ushl al-Hadst, h.
146.
93
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sad al-Khudri:
91

Dari Abi Sa d al-Khudr Bahwasanya Rasulullah saw. pernah bersabda: Janganlah kalian
menuliskan sesuatu dariku salain al-Qur an, barangsiapa yang telanjur menulis dariku selain alQur an, maka hendaklah ia menghapusnya. Lihat Shahh Muslim, Kitb al-Zuhd wa al-Raqiq, Bb
al-Tastabbut f al-Hadts wa Hukmu Kitba alIlm, no. hadits 5326.
94
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ab Dwud dari Ibn Umar:



Dari Abdillah bin Amri berkata: saya pernah menulis segala sesuatu yang saya dengan dari
Rasulullah saw., saya ingin menghafalnya, lalu orang-orang Quraish melarangku. Hal itu saya
sampaikan kepada Rasulullah saw. maka beliau bersabda: tulislah, karena sesungguhnya diriku di
tanganNya, tidak ada yang keluar darinya kecuali kebenaran. Lihat Sunan Ab Dwud, Kitb alIlm, Bb f Kitb al-Ilm, no. hadits 3161. Hadits ini tidak diberi komentar oleh Ab Dwud. Itu
berarti hadits ini adalah shahh lizti. Berdasarkan penelusuran penulis, dari tujuh periwayatnya
semuanya berprediket tsiqah.

115

Melihat dua bentuk kebijaksanaan

Nabi yang cenderung ta rud

(berlawanan) itu, ulama menempuh berbagai metode penyelesaian. Metode itu


adalah: a. Sebahagian menempuh metode al-nsikh wa al-manskh, yakni larangan
menulis hadits yang dikeluarkan oleh Nabi saw. telah dihapus oleh perintahnya
untuk menulis hadits yang datang kemudian. Alasan yang dikemukakan antara lain
adalah karena pada saat pelarangan menulis hadits, perhatian harus dicurahkan pada
pemeliharaan al-Quran. Setelah al-Quran tidak lagi dikhawatirkan keberadaannya,
larangan tersebut digantikan oleh hadits yang mengizinkannya. Metode ini
diperpegangi antara lain oleh Qutaibah al-Dainri, Ahmad Muhammad Syakir, dan
Muhammad al-Sabbag. b. Sebahagian ulama menempuh metode al-Jamu
(pengkompromian). Metode ini mengandung beberapa pengertian. Pertama, alJamu dalam arti bahwa hadits yang mengandung larangan menulis hadits dipahami
khusus berlaku pada saat turunnya ayat al-Quran, sedangkan kebolehan menulis
hadits berlaku di luar waktu itu. Kedua, al-Jamu dalam arti bahwa larangan
penulisan itu berlaku khusus (khas) bagi orang yang kuat hafalannya karena
dikhawatirkan mereka hanya akan mengandalkan pengetahuan haditsnya pada
catatan saja, sedangkan kebolehan menulis hadits, diberikan kepada mereka yang
tidak kuat hafalannya; ketiga, al-Jamu dalam arti bahwa pelarangan itu ditujukan
kepada para sahabat Nabi saw. secara umum, namun ada beberapa sahabat
terpercaya yang diberi izin khusus oleh Nabi untuk menulis hadits seperti Ibn
Umar. keempat, al-Jamu dalam arti bahwa larangan tersebut ditujukan kepada
penulisan selain Al-Quran dengan al-Quran dalam satu catatan, sedangkan
pemberian izin diberikan pada penulisan secara terpisah antara al-Quran dan selain
al-Quran.95
Lihat Muhammad Abdillah bin Muslim bin Qutaybah al-Dainri, Ta wl Mukhtalif alHadts, (Kairo: Maktabah Hasan, 1982), h. 250; Ahmad Muhammad Sykir, Syarh Alfiyya alSuythi f Ilm al-Hadts, (Beirt: Dr al-Marifah, t.th.), h.145-147; Muhammad al-Sabbg, alHadts al-Nabaw: Musthalhuhu, Balgatuhu wa Ulmuhu (t.tp.: Mansyura al-Kutub al-Islm,
1972), h. 118-120; Ab al-Uwla Muhammad Abd al-Rahmn ibn Abd al-Rahm al-Mubarakafr,
95

116

Dalam hal ini Muhammad Mustafa al-Azami mengemukakan beberapa


fakta historis bahwa pada zaman Nabi telah ada penulisan hadits. Nabi sendiri,
demikian ia meyakinkan, pernah mengirim beratus-ratus surat, baik yang berupa
ajakan memeluk Islam maupun surat-surat yang berisi ibadah ritual. Walaupun surat
kategori pertama berupa surat administrasi, namun eksistensinya tetap diakui
sebagai hadits. Legitimasi itu diperoleh dari pemahaman terhadap QS. al-Baqarah
(2) : 282, yang memerintahkan untuk menulis kegiatan transaksi. Dengan demikian
larangan menulis hadits hanya berlaku khusus, dan sebagai peringatan agar tidak
menuliskan hal-hal lain bersama al-Quran.96 Bahkan ada sahabat yang menurut
pengakuannya, menerima hadits secara langsung dari Nabi sewaktu hanya berdua.
Keberadaan catatan hadits ini dibenarkan oleh Nabi sehingga dinamai al-shahfah
al-shdiqah.97
Selanjutnya Azami mengemukakan data secara rinci membuktikan bahwa
para sahabat dan generesi sesudahnya telah menerima, menulis serta meriwayatkan
hadits. Ada 52 sahabat yang telah mencatat hadits pada zaman Nabi, dan haditsnya
diterima oleh sedikitnya 96 generasi sesudahnya. Tabiin abad pertama Hijriyyah
dan tabiin muda yang memiliki catatan hadits seikitnya 151, dan yang menerima
dan meriwayatkan hadits dari mereka sekitar 212, kemudian generasi berikutnya
sedikitnya 247 yang memiliki catatan hadits serta diterima dan dicatat oleh
sedikitnya 442 orang.98

Muqaddima Tuhfa al-Ahwaz Syarh Jmi al-Tirmiz, juz I (Beirt: Dr al-Fikr, 1979), h. 39; Ab alFayd Muhammad ibn Muhammad ibn Al al-Fris, Jawhir al-Ushl f Ilm al-Hadts al-Rasl,
(Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 112.
96
Lihat M.M. Azami, Studi in Early Hadith Literature, diterjemahkan oleh Ali Mustafa
Yaqub dengan judul Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), h.
132-140; Al-Ramahurmzi, al-Muhaddits al-Fshil Bayn al-Rwi Wa al-W i, naskah diteliti, diberi
anotasi dan kata pengantar oleh Ajjj al-Khatib. (Beirt: Dr al-Fikr, 1971), h. 116-117.
97
Ajjj al-Khatib, al-Sunnah, h. 349
98
Azami, Studi, h. 366-378.

117

Dari data yang telah dikemukakan di atas, jika dibandingkan dengan


kenyataan akan banyaknya hadits dan kitab-kitab yang memuatnya sekarang ini,
dapat memberikan pemahaman bahwa hadits-hadits itu lebih banyak diriwayatkan
secara lisan ketimbang diriwayatkan secara tertulis.

3. Timbulnya Pemalsuan Hadits


Sejumlah titik rawan akibat keterlambatan proses kodifikasi hadits, ternyata
telah dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab oleh pihak-pihak tertentu untuk
memalsukan hadits.99

Mereka telah menyebarkan berita-berita bohong yang

disandarkan kepada Nabi, pada hal beliau sendiri tidak pernah melakukannya.
Ulama berbeda pendapat tentang kapan munculnya pemalsuan hadits.
Ahmad Amin berpendapat bahwa pemalsuan hadits telah berlangsung sejak zaman
Nabi saw. Pendapat ini didasarkan atas pemahamannya terhadap hadits yang
termasuk kategori mutawtir tentang ancaman bagi orang yang secara sadar dan
sengaja membuat berita bohong atas nama Nabi. Analisis terhadap hadits itu
memberi indikasi yang kuat bahwa kemungkinan besar telah terjadi pemalsuan
hadits pada zaman Nabi.100
Berbeda dengan itu, mayoritas ulama hadits berpendapat bahwa pemalsuan
hadits baru terjadi pada masa pemerintahan Al bin Ab Thlib, salah seorang
khalifah dari al-khulaf al-rsyidin,101 yaitu ketika umat Islam telah terpecah ke
dalam beberapa sekte dan sub sekte.

99

Ab Rayyah, Adw, h. 118.


Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islm, (t.tp.: Syirkat al-Tiba al-Fanniyya al-Muttahidah,
t.th.), h. 210-211.
101
Ahmad Amin, Fajr, h. 106; Shubhi al-Shalh, Ulm, h. 266; Ajjj al-Khatib, Ushl, h.
415-416.
100

118

Dalam hal ini, pemalsuan hadits dilakukan baik oleh orang-orang zindiq
maupun oleh umat Islam sendiri. Pemalsuan hadits yang dilakukan oleh orang-orang
Islam dilatar belakangi oleh beberapa motif baik yang bersifat duniawi maupun yang
bersifat agamawi. Motif tersebut antara lain masalah politik, fanatisme pada ras,
suku bangsa, kepentingan mazhab teologi dan fiqhi, kegiatan para tukang cerita
untuk memikat hati pendengarnya, mencari muka di depan penguasa, dan lain-lain.
Pemalsuan hadits ini ada yang sengaja dan ada juga yang tidak sengaja.102 Jadi
motif dan tujuan pemalsuan hadits sebenarnya ada yang positif dan ada pula yang
negatif. Meskipun demikian pemalsuan hadits adalah suatu hal yang tidak
diperbolehkan.
Munculnya gerakan pemalsuan hadits yang demikian ekstensif ini, telah
membuat kegiatan kajian matan hadits menjadi penting. Kajian ini diarahkan untuk
menguji validitas dan otentisitas matan hadits.

4. Proses Tadwn (penghimpunan) Hadits


Dalam sejarah, penghimpunan hadits secara resmi dan massal terjadi atas
perintah Khalifah Umar bin Abd Azz (wafat 101 H/ 720 M).103 dikatakan resmi
karena kegiatan penghimpunan itu merupakan kebijaksanaan dari kepala negara; dan
dikatakan massal karena perintah kepala negara itu ditujukan kepada para gubernur
dan ulama ahli hadits pada zaman itu. Jadi keinginan untuk mengumpulkan haditshadits Nabi dalam dokumen yang tertulis muncul jauh setelah wafatnya Nabi saw.
Umar bin al-Khattb pernah merencanakan untuk menghimpun haditshadits secara tertulis. Pertimbangan Umar tersebut disampaikan kepada para sahabat

Lihat Jall al-Dn Abd al-Rahmn bin Ab Bakar al-Suythi, al-Laily wa al-Masnah
f Ahdts al-Maudhah, Juz II; (Mesir: al-Maktabah al-Husainiyyah, t.th.), h. 467-472; Ajjj alKhatib Ushl, h. 417-426; M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 95.
103
Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 98 dan 100.
102

119

dan ide tersebut disetujui oleh mereka. Namun setelah memohon petunjuk kepada
Allah melalui shalat istikharah selama satu bulan, Umar lalu membatalkan rencana
tersebut karena adanya kekhawatiran akan memalingkan perhatian umat dari alQuran.104
Sebelum Umar bin Abd al-Azz wafat, ulama hadits yang telah berhasil
melaksanakan perintah khalifah adalah Muhammad bin Muslim bin Syihb al-Zuhri
(wafat 124 H/ 742 M), seorang ulama terkenal di negeri Hijaz dan Syam. Bagianbagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan
penghimpunan hadits selanjutnya.105 Hal ini menandakan bahwa koleksi al-zuhri
tersebut memiliki kelebihan-kelebihan ketimbang yang lainnya. Ibn Hazm juga
menghimpun sejumlah hadits namun oleh para ulama dinilainya belum lengkap,106
namun disayangkan kedua karya ulama ini lenyap dan tidak sampai kepada generasi
kita sekarang.
Setelah al-Zuhri, gema kegiatan pengumpulan dan penulisan

hadits

berlangsung terus, ditandai dengan munculnya sejumlah ulama besar di sejumlah


kota yang menjadi pusat penyebaran hadits.107 Di antara ulama tersebut adalah Ibn
Juraij (w. 150 H) di Makkah, Ibn Ishq (w. 151 H), Mlik bin Anas (w. 179 H), Ibn
Ab Zib (w. 158 H) di Madinah, al-Rabi bin Sabih (w. 160 H) dan Hammd bin
Salm (w. 167 H) di Basrah, Sufyn al-Tsawri (w. 161 H) di Kufah, al-Auzi (w.
157 H) di Syam, Mamar bin Rasyd (w. 153 H) di Yaman, Abdullah bin Wahhb

Lihat Ab Amr Ysuf bin Abd al-Brr, Jmi al-Bayn al-Ilm wa Fadih, juz I, (Mesir:
Irdat al-Matbaah al-Munrah, t.th.), h. 121.
105
Lihat Syihbuddn Ahmad bin Al bin Hajar al-Asqaln, Fath al-Bri juz I, (t.tp.: Dr
al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyyah, t.th.), h. 194-195
106
Lihat Musthfa al-Sibi, al-Sunnah,, h. 102.
107
Kota-kota yang menjadi pusat peyebaran hadits pada abad I-III Hijriyah adalah Makkah
al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Yaman, Jurjan, Quzwayn,
dan Khurasan. Lihat Ajjj al-Khatib, Ushl, h. 116-128.
104

120

(w. 197 H) di Mesir, Ibn al-Mubrak (w. 181 H) di Khurasan, dan Jarr bin Abd alHamd (w. 188 H) di Ray.108
Pada masa selanjutnya, kodifikasi hadits terus berjalan. Akan tetapi
himpunan hadits pada masa ini masih bercampur dengan fatwa sahabat dan
tabiin.109 Walaupun demikian, ada juga ulama yang memperhatikan penghimpunan
hadits yang terbatas dari fatwa sahabat dan tabiin. di antaranya adalah Ab Dwud
al-Taylsi (w. 202 H).110
Pada abad ketiga Hijriyah, kegiatan pembukuan hadits mencapai
puncaknya. Hal ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab hadits yang menjadi
kitab hadits standar hingga saat ini. Kitab-kitab hadits tersebut ada yang khusus
memuat hadits-hadits yang menurut pengakuan pengarangnya, semua sanadnya
sahih. Koleksi khusus hadits sahih ini dimulai oleh Imam al-Bukhr (w. 256 H/ 875
M) dan muridnya Imam Muslim al-Qusyair (w. 261 H/ 875 M).111 Usaha kedua
ulama ini dilanjutkan oleh antara lain Ab Dwud bin al-asyas bin Ishq al-Sijistn
(w. 275 H), Ab sa Muhammad bin sa bin Tsawrah al-Tirmiz (w. 279 H), Ab
Abd al-Rahmn bin Syuaib bin Bahr al-Nas (w. 302 H) dan Ab Abdillah bin
Yazd bin Mjah al-Qazwain (w. 273 H). Hasil karya keempat ulama ini dikenal
dengan sunan yang oleh para ulama dinilai derajatnya berada di bawah Shahh alBukhr dan Shahh Muslim.112

108

Shubhi al-Shlih,Mabhits, h. 337-338 dan Ab Zahw, al-Hadts, h. 244.


Al-Mubarakfri, Tuhfat, h.25-28.
110
Shubhi al-Slih, Mabhits, h. 47.
111
Lihat al-Imm Jall al-Dn Abd al-Rahmn bin Ab Bakar al-Suythy, Tadrb al-Rwi
f Syarh Taqrb al-Nawwi, ditahqiq oleh Abd al-Wahb al-Latf, juz I, (Madinah: al-Maktaba alIlmiyah, 1972), h. 88.
112
Ajjj al-Khatib, al-Sunnah, h. 379-380.
109

121

Memasuki abad keempat Hijriyah, muncul lagi ulama yang melakukan


penyusunan kitab hadits, di antaranya Ibn Khuzaimah (w. 311 H), Ibn Hibbn alBusti (w. 354 H), al-Hkim al-Naisabri (w. 405 H) dan al-Baihaq (w. 458 H).113
Dengan demikian tampak jelas bahwa proses penyusunan kitab hadits itu
memakan waktu yang cukup lama dan berliku-liku. Sehubungan dengan itu,
Maurice Busaille mempersamakan antara kodifikasi hadits dari dua segi, yaitu
ditulis oleh orang-orang yang bukan sebagai saksi mata terhadap peristiwa yang
dilaporkan, dan dilakukan lama setelah peristiwa itu terjadi.114 Walaupun demikian,
tentu saja karena sistem dan metode yang digunakan berbeda, maka praktis produk
yang dihasilkan pun berbeda, baik dari segi kuantitatif maupun segi kualitatif.
Perlu ditegaskan bahwa semua alasan yang dikemukakan di atas mengenai
pentingnya penelitian hadits, adalah dalam rangka menyeleksi sahih atau tidaknya
berita yang disandarkan kepada Rasulullah saw sebagai landasan hukum. Sehingga,
langkah berikutnya adalah merumuskan metode yang akan digunakan dalam
memahami pesan Rasululah saw. yang telah terseleksi kesahihannya tersebut.
Sebab, hadits Nabi saw. yang sampai kepada kaum muslimin saat ini
dengan berbagai bentuk dan coraknya,115 kadang-kadang bertentangan atau tidak
sesuai dengan konteks zaman dan pemikiran modern.116 Oleh karena itu diperlukan

113

Lihat T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 120-122.
114
Lihat Maurice Bucaille, La Bible La Coran et La Science diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggeris oleh Alastair dengan judul The Bible, The Quran and Science, (Ist.; Kuala Lumpur :
AS Noorden 1989), h. 126-127.
115
Bentuk-bentuk dan corak Hadits secara khusus dibahas dalam ilmu Mustalah al-Hadits.
Misalnya Taisr Musthalah al-Hadts, oleh Mahmud Thahhn (Beirt: Dr Al-Qurn al-Karm,
1972); Nuzhat al-Nazhar Syarh Nukhbat al-Fikr, oleh Syihb al-Dn Ab al-Fadl Ahmad bin Ali ibn
Hajar al-Asqaln (Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th.); Ulm al-Hadts, oleh Ab Amar
Usman bin Abd al-Rahmn Ibn Shalh (Madinah al-Munawwarah: al-Maktab al-Ilmiyyah,
1972);Ulm al-Hadts wa Musthalhuhu oleh Shubhi al-Shlih (Beirt: Dr al-Ilm Li al-Malyin,
1977); dan lain-lain.
116
Lihat Muhibbin, Hadits-Hadits Politik (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 63.

122

upaya untuk mendudukkan hadits Nabi saw. tersebut pada porsi yang semestinya,
dengan jalan mengkaji secara kritis dan akurat. Kajian seperti ini tentunya harus
dilakukan dengan menggunakan syarat-syarat yang tepat dan memadai.
Sebagai penjelas atas al-Quran, hadits Nabi saw. tentunya muncul sesuai
dengan posisinya sebagai pedoman bagi para sahabatnya, di zamannya. Sepanjang
kondisi dan latar belakang kehidupan para sahabat tersebut berbeda, maka petunjukpetunjuk yang diberikan oleh Nabi saw. pun berbeda pula. Sementara itu, para
sahabat pun menginterpretasikan hadits Nabi saw. sesuai dengan kapasitas mereka
masing-masing. Akibatnya, kesimpulan yang dicapai pun berbeda pula. Bila
pemahaman ini diterima, maka konsekuensinya adalah sebagian hadits Nabi saw. itu
ada yang bersifat temporal dan ada pula yang bersifat kontekstual. Hadits
merupakan interpretasi Nabi saw. yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi
para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian,
pengkajian terhadap konteks-konteks hadits merupakan aspek yang urgen dalam
upaya menangkap makna suatu hadits, untuk kemudian diamalkan.
Dalam kaitannya dengan upaya pemahaman hadits ini, diperlukan
pengetahuan yang mendalam atas segala segi yang berkaitan dengan pribadi Nabi
saw. dan suasana yang melatari terjadinya hadits. Mungkin saja, suatu hadits lebih
tepat dipahami secara tekstual, sedang hadits lainnya lebih tepat dipahami secara
kontekstual. Pemahaman dan penerapan secara tekstual dilakukan bila hadits yang
bersangkutan telah dihubungkan dengan segala segi yang berkaitan dengannya.
Dalam pada itu, pemahaman hadits secara kontekstual dilakukan bila di balik teks
suatu hadits itu ada petunjuk yang kuat mengharuskan hadits yang bersangkutan
dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana makna tekstualnya.117

117

Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), h. 6.

123

Berbagai upaya telah dilakukan oleh para ulama untuk mengembangkan


seperangkat kaidah dan metodologi kajian hadits. Akhir-akhir ini, muncul dan
berkembang sejumlah pendekatan yang mungkin dipergunakan. 118
Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, hadits memiliki beberapa latar
belakang sejarah yang perlu diteliti dalam upaya mengetahui cakupan matan-nya.
Hadits yang menjadi salah satu bidang kajian keislaman, di samping menarik, juga
signifikan. Hal demikian ditempuh bukan untuk menanamkan sikap skeptisisme
terhadap hadits, tetapi sebaliknya dilaksanakan justru untuk lebih mendekatkan
kepada pemahaman yang benar dan meyakinkan serta dapat dipertanggung
jawabkan, baik dari dimensi keilmuan maupun keagamaan.
Menurut hasil penelitian, rumusan ulama tentang kaidah kajian sanad
memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Selain cermat, unsur-unsur kaidah yang ada di
dalamnya juga memiliki basis argumentasi yang kuat.119 Berbeda halnya dengan
kajian matan, beberapa unsur kaidah yang dikemukakan masih memerlukan
pengembangan lebih lanjut sejalan dengan perkembangan peradaban manusia.
Unsur-unsur kaidah yang ada dalam kaidah kajian matan tampak belum
komprehensip dan sistematis.
Sejauh ini, ulama hadits telah menyepakati adanya dua unsur kaidah
mengenai kajian matan, yakni terhindar dari syuzz120 dan illat.121 Namun dari
kedua unsur kaidah mayor tersebut tampaknya belum ada kaidah minor secara

Muhammad Yusuf al-Qardhwi, Kaifa Nataamal Maa al-Sunnah al-Nabawiyyah,


diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadits Nabi
(Bandung : Kharisma, 1994), h. 21.
119
Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 171.
120
Menurut istilah ulama hadits, syz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh kebanyakan orang
tsiqah lainnya. Selengkapnya lihat Ab Abdullah al-Hakm al-Naisabr, Ma rifat Ulm al-Hadts
(Haydrabat: Dr al-Marifat al-Utsmniyyah al-Kinah, t.th.), h. 119.
121
Illat menurut istilah ilmu hadits adalah sebab tersembunyi yang merusak kualitas suatu
hadits. Lihat Syuhudi Ismail, Hadits Nabi, h. 72.
118

124

sistematis dan rinci.122 Dalam berbagai literatur hadits, belum ditemukan penjelasan
tentang unsur-unsur kaidah minor kajian matan hadits yang berdasarkan kaidah
mayor. Namun di sana, terdapat penjelasan tentang beberapa tolak ukur kajian
matan, yang selain mencakup analisis tekstual, juga mencakup analisias filosofis,
linguistik, historis maupaun sains dalam berbagai klasifikasinya.123 Dari sini, tampak
bahwa ulama hadits telah mengusulkan suatu bentuk pendekatan multidisipliner
dalam kajian hadits. Validitas internal suatu hadits dalam pandangan mereka tidak
cukup hanya diukur kesesuaiannya dengan nash-nash al-Quran saja, tetapi juga
diukur dengan parameter lainnya. Jadi, selain melibatkan kaidah konvensional yang
sudah berlaku dalam ilmu hadits, juga kajian telah menggunakan seperangkat teori
yang berlaku dalam berbagai disiplin ilmu.
Jenis ilmu pengetahuan menurut obyeknya dapat diklasifikasikan kepada
empat jenis yaitu :
1. Ilmu pengetahuan humaniora
2. Ilmu pengetahuan sosial
3. Ilmu pengetahuan alam dan
4. Ilmu pengetahuan agama.
Dari perbedaan obyek materi, dan jika dipikirkan secara cermat, ilmu
mengandung identitas yang saling berdekatan atau identik antara satu dan yang
122

Syuhudi Ismail, Hadits Nabi, h. 78.


Ulama telah menetapkan berbagai tolok ukur kesahihan matan hadits, bahwa matan
tidak boleh bertentangan dengan 1) al-Qur'an; 2) hadits mutawatir; 3) dalil-dalil yang qatiy; 4) qiyas;
5) kenyataan atau fakta sejarah; 6) akal sehat dan persepsi indera; 7) sains modern dan lain-lain.
Penjelasan yang saling melengkapi bisa dilihat antara lain dalam al-Khatib al-Bagdd, al-Kifya f
Ilm al-Riwyah (Mesir: Maktaba al-Sadah, t.th.), h. 198; Muhammad Tahir al-Jawb, Juhd alMuhadditsn f Naqd al-Matn al-Hadts al-Nabaw al-Syarf, (t.tp.: Muassas Abd al-Karm ibn
Abdillah, t.th.), h.406, Musfir Azmillah al-Damin, Maqyis Naqd al-Mutun al-Sunnah (Riydh: tp.,
1984), h. 117; Rifaat Fawzi Abd al-Muthlib, Tawsq al-Sunna f al-Qarni al-Tsni al-Hijr (Mesir:
Maktaba al-Khrij, 1981), h. 38-41, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 126-129.
123

125

lainnya. Obyek itu berada dalam hubungan yang sistematis dan tidak terpisahkan.
Sebagai akibatnya, pemahaman mengenai satu hal, misalnya terhadap kandungan
matan hadits, mengharuskan pertimbangan-pertimbangan dengan berbagai disiplin
pengetahuan yang lain.124
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, baik sosial science
maupun natural science, teori yang berlaku dalam disiplin ilmu tersebut juga
dimungkinkan untuk dipergunakan dalam khasanah pemikiran di bidang kajian
hadits. Apalagi sejauh ini belum ditemukan literatur yang secara komprehensip dan
sistematis menjelaskan langkah-langkah metodologis holistik bagi kajian matan
hadits.
Tajrh dan ta dl, rasanya sudah selesai dilakukan, dalam pengertian bahwa
kredibilitas para rawi telah dibukukan secara baik oleh para ahli hadits. Kita
sungguh berutang budi kepada para ulama penyusun kitab-kitab semacam Mizn alItidl dan Tahzb al-Tahzb, karena melalui kitab-kitab semacam itu kita dapat
melacak kredibilitas para periwayat hadits. Akan tetapi, hal yang berkaitan dengan
matan, sungguh pun telah dirintis oleh para sahabat generasi pertama, tampaknya
belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya hadits
masih ditentukan oleh kesahihan sanadnya. Al-Bukhari sendiri memaksudkan sahih
di situ adalah sahih sanadnya. Ini terlihat dengan jelas bila diperhatikan keseluruhan
pada kitab sahihnya yakni al-Jmi al-Shahh al-Musnad al-Mukhtashar Min Umr
Raslullah saw wa Zamnih Wa Ayymih.125 Dalam judul tersebut tertera secara
jelas kata al-Jmi al-Shahh al-Musnad (himpunan hadits yang sahih sanadnya).
Sayangnya dewasa ini sepertinya ada anggapan bahwa penyelesaian yang dilakukan
oleh al-Bukhr atas hadits-hadits yang dimuat dalam kitabnya, sudah mencakup
sanad dan matan-nya. Karena itu, melakukan kajian atas hadits, khususnya yang
124

Lihat Andi Rasdianah, Pendekatan Integralistik dalam Pengembangan Materi Ilmu


Keislaman Pada PTAI, (Makassar: IAIN Alauddin, 1999), h. 2
125
Ajjj al-Khatib, al-Sunnah, h. 313.

126

terdapat dalam al-Bukhr saja masih dianggap hal yang tabu; apalagi terhadap
kiatab-kitab sunan atau musnad.126
Dalam kaitannya dengan metode pemahaman hadits, selama ini dirasakan
adanya generalisasi pemahaman. Artinya semua hadits dipahami secara sama tanpa
membedakan struktur riwayat bi al-lafz atau riwayat bi al-ma na, materi hadits yang
menyangkut persoalan dunia atau akhirat, dan sebagainya. Selain itu, masih banyak
kalangan yang memahami hadits secara tekstual dan baru sedikit yang mendekatinya
secara kontekstual, baik konteks historis, sosial, ekonomi, politik, antropologis
maupun konteks lainnya.127
Hadits yang merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi saw. mengandung
petunjuk yang pemahamannya perlu dikaitkan dengan peran Nabi saw. tatkala hadits
itu diucapkan,128 yaitu suasana dan kejadian yang dihadapi oleh dan terjadi pada
masa Nabi dan sahabat-sahabatnya. Suasana pada masa Nabi saw. hidup
kemungkinan berbeda dengan suasana yang dihadapi umat Islam setelah beliau
wafat. Demikian juga kondisi yang dihadapi oleh masyarakat Arab pada masa Nabi
akan berbeda dengan kondisi masyarakat Arab setelah beliau wafat, apalagi bagi
kondisi masyarakat yang non-Arab.
Seiring perkembangan dan aplikasi berbagai jenis pendekatan dalam kajian
Islam, seyogianya kajian terhadap hadits-hadits Nabi saw. khususnya matan, harus
126

Problematika Shahih al-Bukhr dan Shahih Muslim, antara lain telah ditulis secara
mendalam dalam al-Hikmah, edisi ke-4 Uraian lebih detail tentu saja, dapat diikuti dalam buku-buku
yang digunakan penulisnya. Supaya lebih seimbang, dianjurkan agar juga dilakukan telaah atas bukubuku yang berupa pembelaan yang ditulis misalnya, oleh al-Sibi, Ajjj al-Khatib dan lain-lain.
127
Lihat Muhammad Quraish Shihab, dalam Muhammad al-Gazali, al-Sunnah alNabawiyyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis Atas Hadits Nabi Antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual (Bandung : Mizan, 1993), h. 8-9 (bagian pengantar).
128
Penjelasan yang saling melengkapi, lihat Abbs Mahmd al-Aqqd, Abqariyya
Muhammad, (t.tp.: Dr al-Hill, 1969), 90-151; Said Ramadhan al-Bthi, Fiqh al-Sirah (Beirt: Dr
al-Fikr, 1980), h. 18, Philip K. Hitty, Histori of The Arabs (London : The MacMillan Press, 1974), h.
139; Syuhudi Ismail, Hadits Nabi, h.4. Mahmud Syalthut, Islm Aqdah wa Syarah, (Kairo: Dr alQalm, 1966), h.510.

127

mempertimbangkan kondisi sosial budaya dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan


agar materi hadits dapat didudukkan pada proporsinya secara tepat. Hadits
perbudakan misalnya, jika tidak dilakukan berbagai pendekatan yang merujuk
kepada prinsip-prinsip pokok ajaran Rasulullah saw., maka problematika
kontemporer yang dihadapi oleh kaum muslimin dalam hal kemanusiaan akan tetap
mengalami kebuntuan.

C. Alternatif Pendekatan
Pendekatan yang dimaksudkan di sini adalah kajian latar belakang yang
bersifat filosofis terhadap teks-teks hadits Nabi saw. khususnya hadits-hadits
masalah perbudakan; dan hadits Nabi pada umumnya. Dalam penelitian hadits
dikenal berbagai pendekatan. Pendekatan ini tetap mengacu pada kaidah mayor
kesahihan matan hadits yang dikemukakan oleh ulama hadits.
Kaedah mayor yang telah ditetapkan oleh ulama hadits ada dua, yaitu
terhindar dari syuz-z dan terhindar pula dari illat.129 Itu berarti untuk meneliti
sebuah hadits, kedua unsur tersebut harus menjadi acuan utama.
M. Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa, para ulama dalam menetapkan
kriteria hadits yang diterima tampak bervariasi, namun dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Susunan redaksinya tidak rancu
2. Kandungan tidak bertentangan dengan akal sehat dan rational interpretable
(dapat diinterpretasi secara rasional).
3. Tidak bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam.130
129

Syalthut, Islm, h.124.


Tujuan pokok ajaran Islam dimaksud dijadikan landasan paradikmatik dalam memahami
hadits-hadits perbudakan, sebagaimana tertera dalam sub A di atas.
130

128

4. Tidak bertentangan dengan sunnatullah.


5. Tidak bertentangan dengan fakta sejarah.
6. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an dan hadits mutawatir yang
bersifat qath i.
7. Kandungannya tidak berada di luar petunjuk kewajaran dari petunjuk umum
ajaran Islam.131
Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini

semakin meningkat

menyebabkan pesan-pesan agama sulit disampaikan jika tidak dengan melakukan


berbagai pendekatan. Sebab itu, hadits memerlukan interpretasi yang akurat dengan
melibatkan berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat menjawab segala tantangan yang
bersifat memojokkan seperti yang dilakukan oleh para orientalis.132
Masyarakat muslim kontemporer memiliki kebutuhan-kebutuhan dan
kondisi-kondisi yang perlu disesuaikan dengan pandangan umat Islam. Beberapa
dari kebutuhan itu seperti sandang dan pangan, memperlakukan sama bagi setiap
orang, tidak merebut hak kebebasan

orang lain, perlunya melepaskan

ketergantungan dan eksploitasi terhadap hak orang lain, seperti perbudakan dan lain
sebagainya.
Metode, proses dan sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dan
untuk memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat muslim kontemporer harus
menjadi perwujudan kebudayaan dan nilai-nilai Islam.
131

Syuhudi Ismail, Metodologi, h. 127.


Lihat, Yusuf al-Qardhw, al-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban
(terjemahan) Setiawan Budi Utomo (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 220. Bandingkan dengan
keterangan yang dikemukakan oleh Abuddin Nata dalam Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998), h. 196-197. Salah satu bentuk kritikan yang dilontarkan oleh orientalis
seperti yang dikemukakan Maryam Jamilah bahwa Islam harus ditolak berdasarkan premis bahwa
segala sesuatu yang diwahyukan 14 abad yang lalu itu pasti tidak berlaku dan tidak relevan dengan
peradaban teknologi sekarang. Lihat, Maryam Jameelah, Islam dan Orientalisme: Suatu Kajian
Analitik, terjemahan. Machnun Husain (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 193.
132

129

Dari berbagai macam tolok ukur yang dikemukakan oleh ulama, salah satu
di antaranya adalah hadits itu tidak bertentangan dengan fakta sejarah atau persepsi
indera. Item yang pertama sudah jelas sasarannya karena hanya berusaha melacak
kembali fakta-fakta yang autentik, sedangkan item yang kedua berkonotasi lebih
luas, karena mencakup penggunaan teori-teori ilmiah, baik natural science maupun
sosial science, yang diperoleh secara empirik.
Dalam kajian hadits ini, penulis akan mencoba menawarkan beberapa
model pendekatan sebagai kerangka acuan dalam memahami hadits, khususnya
masalah perbudakan. Pendekatan-pendekatan dimaksud adalah:

1. Pendekatan Historis
Sejarah periode awal Islam merupakan rentang waktu yang penting, karena
pada periode itu ajaran Islam yang komprehensip diimplementasikan. Dengan kata
lain, periode awal Islam itu merupakan prototipe dan ideal yang harus ditiru oleh
masyarakat kita sekarang.
Bapak sosiologi Ibn Khaldun mengatakan bahwa sejarah bukan sekedar
rangkaian cerita, tetapi sejarah adalah upaya merekonstruksi masa lalu, yang
melibatkan spekulasi dan upaya menemukan kebenaran, berupa ekplanasi kritis
sebab dan akibat terjadinya suatu perbuatan, dengan mengetengahkan pengetahuan
tentang bagaimana dan mengapa.133
Sejarah dipergunakan sebagai cerminan sekaligus proyeksi ke depan. Untuk
itu, ada dua pilar yang menjadi tumpuan sejarah, yaitu eksistensi fakta dan metode

Lihat Abd al-Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah (Cet. IV; Beirt: Dr al-Kutub alIlmiyyah, 1979), h. 3.
133

130

yang membedakannya secara ilmiah, sehingga tugas sejarawan adalah menyeleksi


fakta dan meneliti penyebab-penyebabnya.134
Interpretasi terhadap sejarah bukanlah interpretasi materialistik mengenai
faktor-faktor material seperti alat-alat produksi berperan sebagai satu-satunya yang
memberi pengaruh terhadap gerakan sejarah umat manusia. Interpretasi bukan pula
menganggap perubahan sejarah berasal dari faktor-faktor eksternal, seperti pengaruh
lingkungan fisik, iklim, geografi, dan ekonomi. Karena itu interpretasi secara jelas
mengindikasikan tanggung jawab dan peran manusia yang mempengaruhi
perubahan sosial dan sejarah itu sendiri. Interpretasi tersebut tidak rasial, malah
mengakui peran-peran yang dimainkan seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan
kontribusinya secara proporsional.
Keterangan di atas semakin membawa kepada keharusan (sebagai rasa
tanggung jawab), untuk lebih bersikap kritis terhadap sumber dan isi berita, apalagi
kalau berita itu menyangkut sumber pokok ajaran agama (Islam).
Dilihat dari segi fungsinya, sejarah menghindarkan manusia

dari

perangkap ketidakbenaran berita dan mempercayainya dengan fanatik. Seseorang


yang mempunyai kesadaran sejarah akan menelaah setiap berita, sebab pelajaran
harus diambil dari sesuatu yang merupakan kebenaran, bukan dari kepalsuan. Di
sini, tampak benar bagaimana siknifikansi sejarah dalam kehidupan manusia.
Khusus untuk umat Islam, Wilfred Cantwel Smit mengatakan bahwa konsepsi Islam
tentang sejarah adalah lebih unik dalam beberapa hal, karena sejarah

lebih

siknifikan dalam umat Islam dari pada kelompok agama lain.135

134

Lihat Nouruzzaman Shiddiqi, Sejarah Pisau Bedah Ilmu Keislaman dalam Taufik
Abdullah dan Rusli Karim, (Ed), Metodologi Penelitian Agama : Suatu Pengantar (Cet. III;
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 70.
135
Lihat Wilfred Cantwel Smit, Islam in Modern History (4 th, New York : The New
American Library, Inc., 1959), h. 14.

131

Sejarah memiliki nilai yang demikian tinggi bagi umat Islam, setidaknya
disebabkan oleh empat faktor, yaitu; pertama, kewajiban untuk mentaati Rasul.
Karena itu, rekaman tentang perilaku kearifan dan kebijaksanaan Rasulullah saw.
adalah perlu; kedua, sejarah adalah alat menafsirkan dan memahami Al-Quran dan
hadits Nabi, ketiga, sejarah adalah tolok ukur dalam penelitian sanad hadits; dan
keempat, untuk merekam peristiwa-peristiwa penting baik sebelum maupun sesudah
datangnya Islam.136 Jadi, selain sebagai ibarat, sejarah juga berguna untuk
mengetahui apa yang harus diperbuat oleh Islam dan kaum muslimin sebagai
katalisator proses perubahan dan perkembangan budaya umat.
Secara timbal balik metode hadits dan metode sejarah saling membutuhkan.
Fakta sejarah dipergunakan sebagai salah satu basis kaedah minor penelitian hadits,
sedangkan penelitian itu sendiri juga relevan untuk diperguanakan dalam kritik
narasi historis.137 Penggunaan sejarah sebagai salah satu kaedah minor kajian hadits
tidak terlepas dari kandungan suatu hadits, khususnya hadits yang merupakan
riwayat kehidupan awal Islam. Fakta sejarah yang dipergunakan sebagai basis
pengujian matan dapat berupa sirah al-Nabaw atau pun fakta-fakta lain yang
diketahui terjadi pada zaman Nabi. Namun demikian fakta sejarah yang dimaksud
adalah fakta sejarah yang sudah merupakan realitas sejarah yang bersifat pasti.
Sementara itu, hadits yang bertentangan dengan fakta sejarah tersebut adalah hadits
yang ahad, sebab hadits ahad berkedudukan sebagai zanni al-tsubt sehingga tidak
boleh bertentangan dengan sesuatu yang sudah pasti. Dengan menerapkan kaedah
ini, maka hadits yang tidak bertentangan dengan fakta sejarah dapat diterima,
sedangkan matan hadits yang bertentangan dengan fakta sejarah harus ditolak.138

136

Nouruzzaman, Sejarah dalam Metodologi, h. 71-72.


Lihat Akram Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Prophet : Its charakteristics
and organisation, diterjemahkan oleh Munim A Sirry dengan judul, Masyarakat Madani: Tinjauan
Historis Kehidupan Zaman Nabi (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), h.37.
138
Al-Sibi, Adw, h. 97.
137

132

Penerapan pendekatan sejarah sebagai salah satu tolok ukur kajian hadits
diterapkan secara mutlak baik terhadap hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab
hadits yang mutabar, atau pun sebagai sanggahan terhadap kritik yang keliru
terhadap sumber ajaran (hadits) tersebut. 139
Pendekatan sejarah sebagai salah satu kaedah minor kajian hadits
menempati posisi yang urgen, dan kejelian melacak fakta sejarah khususnya yang
berkaitan dengan asbb al-wurd hadits-hadits yang berbicara masalah perbudakan
misalnya, dibutuhkan.
Secara prinsip dapat dijelaskan bahwa pemahaman agama tidak mungkin
dapat dilakukan secara sempurna dan murni jika terpisah dari kenyataan hidup
manusia. Pemahaman sempurna dapat dilakukan apabila berpusat pada tiga unsur
yang saling berkait; nash, agama, akal, dan tradisi hidup berikut kasus-kasus yang
terjadi di dalamnya.140 Maka, diperlukan munculnya pemikiran-pemikiran Islam
yang mendasar dan kreatif, jujur dan berwawasan universal, sesuai dengan watak
ajaran Rasulullah saw. itu sendiri.141

139

Misalnya yang dilontarkan antara lain oleh Ignaz Golziher, Muslim studies, terjemahan
C.R. Barber dan S.M.Stern (London : George Allenand Unwin, 1971), h. 18-19; Joseph Schacht, An
Introduction to Islamic Law, terjemahan Moh. Said (dkk) dengan judul Pengantar Hukum Islam
(Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1985), h. 40-49.
Dalam buku tersebut Schacht mengatakan bahwa apa yang dikenal belakangan sebagai hadits tidak
lebih dari pernyataan para ulama yang mengambil legitimasi dari tokoh yeng terkenal sebelumnya,
yang kemudian selanjutnya secara berantai legitimasi itu dinisbahkan sampai kepada Rasulullah saw..
Teori tersebut dikenal dengan istilah Projecting Back.
140
Abd Majid al-Najjr, F al-Fiqh al-Tadyun: Pahman wa Tanzlan, diterj. oleh
Bakhruddin Fannani dengan judul: Pemahaman Islam: Antara Wahyu dan Rakyu (cet. I; Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1997), h. 69.
141
Bandingkan dengan apa yang dikemukakan oleh A. Syafii Maarif dalam Peta Bumi
Intelektualisme Islam di Indonesia (Cet. II; Bandung: Mizan, 1994), h. 40.

133

2. Pendekatan Antropologis
Selain pendekatan histories di atas,

pendekatan antropologis juga

memungkinkan dalam rangka kajian hadits. Hal ini disebabkan oleh adanya
kecenderungan di kalangan cendikiawan muslim dewasa ini yang meneliti berbagai
aspek agama dan

keberagamaan

dengan

pendekatan interdisipliner dan

multidisipliner. Bahkan, munculnya antropologi agama sedikit banyaknya


merupakan salah satu upaya memahami masalah-masalah agama dengan pendekatan
antropologi.142
Antropologi143 ialah cabang disiplin ilmu sosial yang mempelajari manusia,
baik fisik maupun kebudayaannya,144 yang biasa disebut etnography atau
ethnologi.145 Antropologi mempelajari manusia masa kini dan masa lalu, dari
berbagai penjuru dunia dari segala aspek, fisik, psikologi, sosial, moral, sosial,
politik, kesenian, kekerabatan, filsafat, agama, dan lain-lain.146 Defenisi yang sama,

142

Lihat M. Radhi al-Hafid, Metode-metode Penelitian Agama (Makassar : Berkah, 1991),


h. 5-8. Dalam hal ini Prof. Radi mengemukakan secara singkat penggunaan antropologi dalam
penelitian agama. Dikemukakan pula bahwa dalam antropologi agama, dikenal empat aliran pokok,
yaitu aliran fungsional yang dipelopori oleh B. Mallinwsky (1884-1942), aliran historis yang
dipelopori oleh EE, Evans Prithea (1902-1973), aliran strukturalis yang dipelopori oleh C. Levi
Strauss (1920). Keempat aliran antropologi ini memiliki karakter masing-masing yang dalam
beberapa aspek memiliki persamaan, bahkan link and mach., Lihat juga Mattulada, Studi Islam
Kontemporer: Sintesis Pendekatan Sejarah, sosiologi dan antropologi Dalam Mengkaji Fenomena
Kegamaan dalam Taufiq Abdullah dan Muhammad Rusli karim (editor), Metodologi, h. 27.
143
Kata antropologi berasal dari bahasa Inggris anthropologia secara literal tersusun dari
dua kata, yaitu anthropo = man, dan logia (Greek) dari kata legei =to speak. Lihat Tim Penyusun,
Kamus, h. 50.
144
Lihat Hassan Shadily, et.al. (ed), Ensiklopedi Indonesia, Volume IV, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve kerjasama dengan elseiver Publishing Project, 1984), h. 244; Agoes Soecipto dan
Januar Arifin, Antropologi dalam E. Nugroho, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol II (Jakarta:
Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 173, Gail M. Kelly, Antropologi dalam Bertz F. Hoselitz, A Readers
Guide to the Social Sciences diterjemahkan oleh Ahmad Fedyani dengan judul Panduan Dasar
Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 83, Harsojo, Pengantar Antropologi (Jakarta: Bina
Cipta, 1984), h. 1.
145
Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Bina Aksara Baru, 1980),
h. 13-dst. Harsojo, Pengantar, h. 11.
146
Tim Penyusun, Ensiklopedi, h. 275.

134

dikemukakan oleh Michael C. Howard, anthropology is the study at sosial,


symbolic, and materials lives of humans.147
Dari sini tampak, bahwa antropologi memiliki lima obyek studi, yaitu: 1)
masalah sejarah terjadinya dan perkembangan manusia sebagai makhluk biologis; 2)
masalah sejarah terjadinya aneka warna kulit, bahasa-bahasa yang diucapkan oleh
manusia di seluruh dunia; 3) masalah penyebaran dan terjadinya aneka warna
bahasa; 4) perkembangan penyebaran aneka kebudayaan manusia; 5) dasar-dasar
kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat, suku-suku bangsa yang tersebar
di seluruh permukaan bumi.148
Dari defenisi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa antropologi
mempelajari manusia ditinjau dari aspek kebudayaannya, perkembangan fisik dan
segala yang terkait dengan kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan alam dan
lingkungannya. Walaupun demikian, ada perbedaan mendasar yang justru menjadi
ciri khas antropologi, yaitu penelitiannya bertolak dari unsur-unsur yang bersifat
tradisional yang melekat pada manusia, suku, atau bangsa tertentu. Salah satu aspek
yang menjadi kajian antropologi ialah kebudayaan.
Kebudayaan149 adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia. Baik secara pribadi maupun kelompok, dalam etnis maupun lingkup
147

Michael C. Howard, Contemporary Cultural Antropology (2 nd: USA: Little Brown and
Company, t.th.), h. 15.
148
Koentjaraningrat, Pengantar, h. 18-dst.
149
Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak
dari buddhu, yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan
dengan budi atau akal. Dalam bahasa Inggeris, disebut culture, yang diturunkan dari bahasa Latin
colere, artinya mengolah atau mengerjakan. Dari asal tersebut, colere kemudian culture diartikan
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Lihat
Koentjaraningrat, Pengantar, 77-78. Bandingkan: Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, (ed.),
Bunga Rampai Sosiologi (Jakarta: UI Press, 1974), h. 113. E. B. Taylor mendefinisikan kebudayaan
sebagai: the complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other
capabilities and habits acquired by man as a member of society. Lihat Edward Burnett Taylor,
Primitive Culture, Vo;. I, (New York: Bretanos, 1924), h. 1, Melville J. Herskovits, Cultural
Anthropolgy (New York: Alfred A Knoft, 1955), h. 305, A. L. Kroeber Kluckhohn, Antropology
Today (Chicago: Chicago University Press, 1953).

135

bangsa yang lebih besar. Hal demikian berpengaruh terhadap berbagai ekspresi
manusia, termasuk ungkapan dan ekspresi keagamaan. Dengan kata lain, lingkungan
membentuk watak dan budaya. Penggunaan pendekatan antropologi dalam
menelaah hadits perbudakan, didasarkan pada asumsi dasar bahwa sistim
kemasyarakatan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mendapat penekanan
dalam kajian antropologi.150
Akan halnya dengan masyarakat Arab, yang secara geografis hidup di
lingkungan alam yang menantang,151 akan

tampak pengaruhnya baik dalam

kehidupan sosialnya, maupun pola hidupnya yang menjadi khas dunia Arab. Oleh
karena kehadiran Nabi Muhammad saw. di belahan dunia Arab yang masih kental
dengan kebudayaan sebagai ciri khasnya, maka beberapa aspek dari pola hidup
beliau selama hidup di tengah-tengah sahabatnya harus dikaji secara antropologis.
Hal ini logis karena manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungan di mana dia
hidup.
Lalu bagaimana kaitannya dengan hadits perbudakan? Hadits yang berisi
ajaran berupa perkataan dan perilaku hidup Nabi saw. tidak bisa dilepaskan dengan
kulturnya. Dengan demikian, salah satu media untuk memahami hadits perbudakan
ialah dengan pendekatan antropologi.
Pemahaman hadits dengan pendekatan antropologis adalah suatu hal yang
penting. Bahkan pada zaman Nabi pun pemahaman yang bersifat antropologik telah

150

Para antropolog tidak sependapat tentang unsur-unsur pokok kebudayaan. Namun dalam
hal ini mereka secara tegas memasukkan sistim kemasyarakatn sebagai salah satu bagian dari unsurunsur kebudayaan. Penjelasan yang saling melengkapi, Lihat Brainslaw Mallinowski, The Dynamics
of Culture Change (New Haven: Yale University Press, 1961), h. 146, Selo Soemardjan, Bunga, h.
115, Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 192193.
151
Alam sebagai tempat manusia hidup dan mempertahankan hidupnya sangat berpengaruh
terhadap corak kehidupan manusia. Kebudayaan manusia dibentuk oleh alam di mana dia hidup.
Penjelasan lebih detail, Lihat Raymond Firth B. Mochan, Human Types diterjemahkan oleh S.
Puspanegara dengan judul Tjiri-Tjiri Alam Hidup Manusia (Bandung: Sumur, 1966), h. 43-45.

136

dicontohkan oleh Nabi saw. Suatu hari, seorang Arab Badwi datang mengadu
kepada Nabi saw. perihal istrinya yang melahirkan anak yang berkulit berbeda
dengan dirinya, dan sang pengadu curiga bahwa istrinya tidak jujur karena kulitnya
kekuning-kuningan, sedangkan kulit anaknya hitam. Menanggapi pengaduan
tersebut, Nabi Muhammad saw. menggunakan logika. Beliau bertanya apakah orang
tersebut mempunyai unta. Dijawab bahwa ia mempunyai unta yang warna kulitnya
kecoklat-coklatan. Nabi bertanya: Kira-kira apakah untamu itu mempunyai nenek
moyang yang warnanya hitam? Arab Badui tersebut menjawab: Saya kira punya.
Maka Nabi saw. berkata: jangan-jangan nenek moyang anakmu juga ada yang
kulitnya berwarna hitam, tidak kuning seperti kamu. Arab Badui berkata: Benar
juga.152 Di sini tampak bagaimana Nabi berusaha menggunakan pendekatan
antropologi yang dikemas dalam bahasa logika sederhana.
Oleh karena Nabi Muhammad saw. sendiri menggunakan pendekatan
antropologi dalam memahami masalah dan oleh karena kehadiran beliau terikat oleh
waktu dan tempat, maka tentunya kita sebagai umatnyapun harus mengkaji haditshaditsnya dengan pendekatan antropologi, sepanjang pendekatan tersebut relevan.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya ialah adanya keharusan melihat
bagaimana sejarah penggunaan bahasa Arab. Bahasa Arab adalah salah satu bahasa
Semit, tumbuh dan berkembang jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw.
Wilayah pemakainya meliputi Hijaz dan Nejed di Semenanjung Arabiyah. 153
Di sini tampak bahwa pendekatan antropologi mengantar kita untuk
mengenal lebih jauh budaya yang berkembang di Arab ketika Rasulullah saw.
menjelang datang. Demikian pula sikap akomodatif yang ditampakkan oleh beliau
152

Kutipan hadits tentang peristiwa ini bisa dilihat dalam: Shahh al-Bukhr, juz IV, h.
246, Shahh Muslim, juz II, h. 1137-1138, Sunan Ab Dwud, juz II, 278-279, Sunan Ibn mjah, Juz
I, h. 654-646, Musnad Ahmad, jilid II, h. 234, 239.
153
Team Penyusun Buku Pedoman Bahasa Arab, Pedoman Bahasa Arab pada Perguruan
Tinggi Islam dan IAIN (Jakarta: Proyek Departemen Agama RI, 1976), h. 31.

137

terhadap budaya setempat. Keadaan demikian tampak dalam sikap Rasulullah saw.
dalam mengatasi sistem perbudakan yang telah membudaya jauh sebelum
kedantangannya. Itulah sebabnya, masalah perbudakan tidak secara tegas dilarang,
melainkan dengan melalui berbagai macam pendekatan.

3. Pendekatan Rasional
Menurut telaah filsafat ilmu, hampir semua jenis kegiatan ilmu
pengetahuan, baik natural sciences maupun sosial sciences, bahkan religius
sciences, selalu mengalami apa yang disebut dengan shifting paradigm (pergeseran
gugusan pemikiran keilmuan).154 Kegiatan ilmu pengetahuan selamanya bersifat
historis, lantaran dibangun, dirancang dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang
juga bersifat historis.155

Dengan begitu, dimungkinkan terjadinya perubahan,

pergeseran, perbaikan, perumusan kembali serta penyempurnaan rancang bangunan


epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan mandeg
dengan sendirinya alias statis. Islamic studies dalam artian kegiatan keilmuan kaya
akan nuansa, sehingga memungkinkan untuk diubah, dikembangkan, diperbaiki,
dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan semangat zaman yang
mengitarinya. Dengan begitu, semangat keislaman sebenarnya tidaklah bersifat statis
yang tidak boleh diubah-ubah, dan tidak boleh dirumuskan kembali. Sebaliknya, ia
bersifat dinamis, sesuai dengan arus dan corak tantangan perubahan zaman yang
selalu dialami oleh manusia muslim itu sendiri.
Masyarakat manusia pada setiap generasi dan tempat selalu memiliki
berbagai kesamaan, juga memiliki berbagai perbedaan dan kekhususan. Perbedaan
154

Lihat M. Amin Abdullah, Studi agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta :


Pustaka Pelajar, 1996), h. 102.
155
Yang penulis maksud bersifat historis adalah terikat oleh ruang dan waktu, terpengaruh
oleh perkembangan pemikiran dan perkembangan kehidupan sosial yang mengitari penggal waktu
tertentu.

138

dan kekhususan itu disebabkan oleh perbedaan waktu dan atau disebabkan oleh
perbedaan tempat.
Kalau ajaran Islam yang sesuai dengan segala waktu dan tempat itu
dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat
tersebut, maka dalam Islam ada ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan
tempat, di samping ada juga yang terikat dengan waktu dan tempat tertentu. Jadi,
dalam Islam ada ajaran yang bersifat universal, ada yang temporal, dan ada yang
lokal.156 Kalau demikian halnya, maka pendekatan rasional terhadap sumber ajaran
dibutuhkan dalam arti harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat Islam itu
berada.
Senada dengan itu, Harun Nasution telah menulis buku yang berjudul
Islam Rasional. Dalam karya monumentalnya tersebut, Harun menganjurkan agar
umat Islam memahami ajaran agamanya, terutama kedua sumbernya (Al-Quran dan
Hadits) secara rasional. 157
Syekh Mahmud Syalthut, seorang ulama besar dan pernah menjadi Syekh
Jamiah al-Azhar, juga menyatakan bahwa Islam terdiri atas dua elemen, yaitu
aqidah dan syariah. Lalu cara mendekatinya adalah filosofis-doktriner.158
Dalam hal ini, hadits-hadits perbudakan itu termasuk hadits yang bersifat
situasional,

dan

tidak

mengikat,

sehingga

memungkinkan

untuk

tidak

menjadikannya sebagai landasan dalam rangka menentukan status sosial seseorang.


Karena selama masih ada sekat-sekat sosial, selama itu pula cita-cita penghapusan
perbudakan sebagai yang dirintis oleh Rasulullah saw. tidak akan tercapai.

156

Lihat M. Syhudi Ismail, Hadits Nabi, h. 3-4.


Lihat Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), h. 33. Bandingkan
dengan Jalaluddin Rahman, Islam dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer (Ujungpandang :
Umitoha, 1997), h. 2-3.
158
Syalthut, Islm, h. 10.
157

139

Pengembangan pemikiran terhadap hadits di masa sekarang ini adalah hal


yang mendesak demi mengoptimalkan proses dinamisasi pemikiran keagamaan
Islam secara menyeluruh, dengan tetap mengacu pada ajaran-ajaran dasar menuju
konteks kekinian.

BAB IV
ANALISIS TERHADAP HADITS-HADITS PERBUDAKAN

A. Term-term Perbudakan dalam Hadits


1. Abd
Secara etimologi kata abd menurut Ibn Manhzr dalam lisn al-Arab
diklasifikasikan menjadi tiga makna yaitu: Abd bermakna hamba sahaya, abd
berarti (manusia merdeka dan hamba sahaya), dan abd bermakna menyembah,
tunduk dan merendahkan diri. Dari kata abd yang berakar kata dari abada
terbentuk kata lain menurut pengembangan konjugasinya yaitu ibdah (ibadah),
bid (pelayan), ma bad (Tempat ibadah), al-ma bd (yang disembah), dan Istibd
(perbudakan), dan lain-lain.1
Kata abada, ya budu, ibdatan berarti menyembah, mengabdi, atau
menghinakan diri. Dan kata abd (jamaknya bid atau ibd) berarti hamba, sahaya,
penyembah sesuatu, atau budak; sejenis tumbuh-tumbuhan yang beraroma harum,
anak panah.2
Dalam kamus Arabic-English Dictionary, kata kerja abada, bisa berarti
melayani (to serve), menyembah (to worship) kepada Tuhan atau memuji (to adore)
kepada Tuhan atau manusia, dan memuliakan (to venerate), mendewakan, (to
idolaze, to deify). Kata ini juga berarti memperbudak (to enslave), memikat atau

Ab al-Fdhl Jaml al-Dn Muhammad bin Makrum ibn Manzhr, Lisn al-Arab, (Beirt:
Dr al-Fikr, 1994), juz ke-3, h.270.
2
Al-Raghib al-Asfahn, Mujam Mufradt Alfzh Al-Qur an, (Beirt: Dr al-Fikr, tth.) h.
330; Ahmad Wirson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), h. 252; Muhammad Dawan Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur an, Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 174.

141

mempesonakan (enterall), menundukkan (to subjugate, to subject). Abada juga bisa


dipakai dengan arti memperbaiki (to improve), mengembangkan (to develope),
membuat bisa dilayani (to make passable for traffic), juga menyediakan diri orang
mengabdi kepada Tuhan, atau melayani orang lain. Sebagai kata benda, abd berarti
budak (slave, serf), yaitu orang-orang yang terbelenggu atau menjadi pelayan.3 Ia
juga berarti hamba Tuhan.
Akan tetapi, penggunaan kata abd dalam hadits selalu dikaitkan dengan
hak seorang budak. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, sekalipun orang-orang
yang dimiliki itu adalah budak, namun mereka juga memiliki hak-hak tertentu
seperti halnya orang merdeka. Jika orang merdeka butuh perlakuan yang adil, maka
budak pun demikian adanya.
Terminilogi abd dalam pemahaman masyarakat jahiliyyah memiliki
konotasi negatif dan terkesan merendahkan. Hal demikian terjadi karena kata ini
mengisyaratkan makna bahwa seseorang itu sepenuhnya dimiliki oleh tuannya.
Kemanusiaan seorang budak akan lenyap ketika dia disebut abd. Keadaan ibd
tersebut persis sebagaimana nasib budak yang digambarkan dalam pengertian umum
pada bab dua terdahulu. Mereka adalah hewan atau barang yang berwujud manusia.
Untuk menghapuskan pandangan negatif kepada manusia yang berstatus
budak itulah Rasulullah saw. keberatan jika mereka masih disebut abd. Beliau
menyuruh para sahabatnya mengganti panggilan itu dengan m malakat ayimn (apa
yang dimiliki tangan kanan) dan fat (pemuda). Abu Hurairah ra. telah
memberitakan bahwa Nabi saw. telah bersabda: Jangan salah seorang kamu berkata
(kepada pelayannya): Sediakan makanan Tuhanmu, terangi dan sediakan minuman
Tuhanmu. Akan tetapi katakan: tuanku, penolongku. Jangan pula panggil pelayanmu
dengan panggilan: hambaku, budakku, akan tetapi panggilah dengan panggilan

Dawam Rahardjo, Ensiklopedi, h. 174.

142

pemuda (i)ku atau pelayanku.4 Karena kata abd tersebut hanya pantas disebutkan
untuk menggambarkan keberadaan manusia terhadap Allah swt. saja.
Jadi, Rasulullah saw. seakan-akan tetap mengakui (sebagai salah satu
strategi dakwahnya), bahwa budak merupakan milik tuannya. Namun dalam banyak
hal, beliau memberikan indikasi sebagai catatan tersendiri bahwa kepemilikan itu
tidak mutlak seperti zaman sebelumnya. Budak harus mendapatkan pengakuan
terhadap kemanusiaannya, dan karena itu mereka juga berhak terhadap perlakuanperlakuan baik sebagaimana manusia lainnya yang merdeka. Seseorang tidak boleh
memanggil, apalagi menganggap, bahwa budak yang dimilikinya itu sama dengan
seseorang memiliki barang atau binatang. Seiring dengan hak tuan terhadap
budaknya, dia juga mempunyai kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan.5
Al-Quran sendiri mengilustrasikan nasib mereka secara jelas sebagai
kelompok yang tidak berdaya. Allah memberikan perumpamaan dengan seorang
hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun dan
4

Hal itu tergambar dalam hadits Rasulullah saw. sebagai berikut:


Dari Hammam ibn Munabbih bahwa Ia mendengar Abu Hurairah ra. memberitakan bahwa Nabi
saw. telah bersabda: Jangan salah seorang kamu berkata (kepada pelayannya): Sediakan makanan
Tuhanmu, terangi dan sediakan minuman Tuhanmu. Akan tetapi katakan: Tuanku, penolongku.
Jangan pula panggil pelayanmu dengan panggilan: Hambaku, budakku, akan tetapi panggilah
dengan panggilan pemuda (i)ku atau pelayanku. Lihat Muhammad bin Isml bin Ibrhm bin alMugrah bin al-Bardizbah al-Bukhr, al-Jmi al-Shahh al-Bukhr. ditahqiq oleh Musa Syahin
Lasin, Kitb al-Itq, Bb Karhiyt al-Tathwulu al al-Raqq, no. hadits 2552, (Kairo: Maktab alSyur-q al-Dawliyyah, 2003), juz 2, h. 112; Ab al-Husain, Muslim al-Hajjj, al-Naisabr, Shahh
Muslim, ditahqiq oleh Ab al-Fadhl al-Dimiythi, Kitb al-Fz min al-Adab wa gairihi, Bb Hukmu
Ithlqu Lafzhat al-Abd wa al-Amat wa al-Maul wa al-Sayyid, no. hadits 2249-2252, (t.tp., Dr alBayn al-Arab, 2006), h. 1098; Ab Dwud Muhammad al-Azad Al-Sijistn, Sunan Ab Dwud,
tahqiq Muhammad Abd al-Azz al-Khlid, Kitb al-Adb, Bb L Yaqul al-Mamlk Rabb wa
Rabbat, no. hadits 4975, (Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), juz 3, h. 299; Ab Abdillah
Ahmad Ibn Hanbal. Musnad Ahmad Ibn Hanbal. Tahqiq Ahmad Sykir, no. hadits 7850, (Kairo:
Maktab al-Turst al-Ilmiyyah, t.th.), juz 12, h. 78.
5
Lebih jelasnya, lihat pada pembahasan berikutnya khususnya pada sub C nomor 1, yang
berbicara masalah hak-hak budak.

143

seorang yang diberi rezki yang baik dari Allah, lalu mereka menafkahkan sebagian
dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan.6 Allah mengibaratkan
mereka sebagai orang yang tidak bisa berbuat apa-apa, sekalipun untuk dirinya
sendiri.7 Dalam hal ini al-Quran menggambarkan nasib budak pada masa sebelum
kedatangan Rasulullah saw. Tuan bisa memerintah dan berlaku apa saja terhadap
budaknya, termasuk menganiaya, melacurkan, dan bahkan membunuhnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua ragam kata Abd
mengandung konotasi makna yang hampir sama yaitu penghambaan atau
penyerahan diri, baik ditujukan kepada manusia maupun penghambaan yang
ditujukan kepada Allah yang disebut hamba Allah. Ibadah pun merupakan
manipestasi penghambaan manusia kepada Allah, dan penghambaan atau
penyerahan diri manusia kepada sesuatu yang dianggap Tuhan, seperti hamba
Taghut, hamba setan, dan lain-lain. Seorang budak disebut abd karena dia berada
dalam posisi rendah martabatnya di depan tuannya atau sesuatu yang diagungkan.

2. Raqabah
Raqaba, yarqubu, raqabatan, berarti mengintip, melihat, atau menjaga.
Raqabah (jamaknya riqb) berarti leher, budak atau hamba. Raqabah-murqabatan

QS. al-Nahl (16) : 75 dijelaskan:

Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatu pun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia
menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka
itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.
7
Muhammad bin Yusuf al-Syuhair Ab Hayyn al-Andalsi, Tafsir al-Bahr al-Muhth,
(Beirt: Dr al-Fikr, 1983), cet. Ke-2, jilid ke-5, h. 518

144

berarti penjagaan, pengawasan. Raqb, murqib berarti menjaga, pengawas atau


penilik.8
Makna asal dari kata raqabah adalah leher. Kemudian kata ini diartikan
sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali. Kesan yang
diperoleh dari istilah di atas sangat buruk. Ia menggambarkan seseorang yang terikat
lehernya seperti binatang. Kesan buruk serta keadaan sebenarnya yang dialami oleh
hamba sahaya itulah yang ingin dihapuskan oleh Rasulullah saw. Karena itu pulalah
Rasulullah saw. sejak masa awal Islam memilih untuk tidak menamakan mereka
dengan abd (hamba sahaya), tetapi dengan istilah m malakat aymnukum (apa
yang dimiliki oleh tangan kananmu).9
Hadits-hadits yang menggunakan kata ini umumnya membicarakan tentang
pembebasan seorang budak dari perbudakannya. Hal ini sesuai dengan makna asal
kata tersebut, yaitu leher. Jadi secara bahasa kata ini menggambarkan dengan lugas
dan rinci keadaan sesungguhnya dari manusia-manusia yang diperbudak sebelum
datangnya Islam. Mereka seperti binatang yang lehernya diikat seutas tali, dan tali
itu dipegang atau dikendalikan oleh tuannya. Kemudian, kata raqabah

itu

dihadirkan dalam pembicaraan tentang bagaimana seharusnya tindakan umat Islam


dalam menghapuskan perbudakan. Misalnya, riwayat dari Syurahbl bin Samthi
tentang jaminan eskatologis bagi orang yang memerdekakan budak. Syurahl
mengatakan bahwa ia telah

mendengar Rasulullah saw bersabda: siapa yang

memerdekakan seorang budak muslim, maka ia akan dibebaskan dari api neraka.10

Al-Asfahn, Mujam h. 206; Ibn Manzhr, Lisn, juz ke-3, h. 427-428; Mahmud Yunus,
Kamus, h. 145; dalam al-Quran juga dipakai kata raqabat (riqb) dengan pengertian asalnya leher.
Lihat misalnya QS. Muhammad (47) : 4.
9
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir Atas Surat-Surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), cet. Ke-2, h. 809-810;
isyah Abdurrahman, Tafsir Bintusy-Sythi, terjemahan Mudzakkir Abdul Salam dari al-Tafsr alBayni li al-Qur an al-Karm, juz 1, (Bandung: Mizan, 1996), h. 308.
10
Selengkapnya riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
8

145

Ternyata, sejauh penelusuran penulis terhadap hadits-hadits perbudakan,


khususnya yang menggunakan kata raqabah, umumnya membicarakan peluang
pembebasan budak. Peluang tersebut dimanfaatkan oleh Rasulullah saw. untuk
membuka jeratan tali yang melingkar di leher seorang budak. Kemerdekaan bisa
diberikan secara langsung kepadanya; atau seorang budak itu bisa mendapatkan
kemerdekaannya karena seorang mukmin yang membayar denda (kaffrat) terhadap
pelanggaran syariat;11 atau karena menganiaya budak itu sendiri. Riwayat dari Firas



Dari Syurahbil ibn al-Samthi bahwa ia berkata kepada Amri ibn Abasah: Ceritakan kepada kami
satu hadits yang kau dengar dari Rasulullah saw. Ia menjawab: Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: siapa yang memerdekakan seorang budak muslim, maka ia dibebaskan dari api neraka.
Lihat Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb Ayyu al-Riqb Afdhal, no. hadits 2966; Abd al-Rahman
Syuaib Al-Nasi, Sunan al-Nasi al-Mujtaba , Kitb al-Jihd, Bb Stawb Man Ram Bisahmin f
Sabl Allah Azza wa Jalla, no. hadits 3091 dan 3094, (Mesir: Mustafa al-Bbi al-Halab wa
Awlduhu, t.th.), juz 5, h. 26; Ab Abdillah Muhammad ibn Yazd Ibn Mjah al-Qazwin, , Sunan
Ibn Mjah, Kitb al-Ahkm, Bb al-Itq, no. hadits 2513, (Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.)
juz 2, h. 843; Musnad Ahmad Bin Hanbal, no. hadits 16406, juz 3, h. 56. Ketiga mukharrij di atas
tidak ada yang memberi komentar tentang status hadits tersebut. Perlu diketahui bahwa jika Ab
Dwud tidak memberi komentar apa-apa terhadap hadits yang diriwayatkan, maka status hadits
tersebut adalah shahh liztih.
11
Pelanggaran itu boleh jadi berbentuk pembunuhan terhadap seorang mukmin atau orang
kafir yang terikat perjanjian damai karena tidak sengaja atau tersalah, QS. al-Nisa (4) : 92,


Dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.
Atau mencabut kembali sumpah yang telah diikrarkan, QS. al-Midah (5) : 89,

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak.
Atau sebelum seseorang bergaul kembali dengan istrinya yang telah dizihar, QS. al-Mujdilah (58):
3,

146

dapat dijadikan sebagai alasan. Firas mengatakan bahwa sungguh saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang memukul seorang hamba, padahal hamba
tersebut tidak melakukan kesalahan, atau menamparnya, maka sungguh kafaratnya
adalah dengan memerdekakannya.12
Penjelasan mengenai kata raqabah di atas, ditemukan setidaknya tiga
langkah Rasulullah saw. dalam menghapuskan perbudakan. Langkah pertama adalah
Rasulullah saw. mulai melarang para sahabatnya memanggil pelayannya
sebagaimana panggilan sebelumnya yang bermakna buruk. Langkah kedua adalah
Rasulullah saw. memberi motifasi kepada para sahabatnya bahwa siapa yang
memerdekakan budaknya ia akan terhindar dari siksaan api neraka. Sedangkan
langkah ketiga adalah menetapkan sangsi bagi siapa saja yang memukul budaknya
dengan tanpa alasan, yakni ia harus membebaskannya.
3. Amah
Amah (yang berarti budak perempuan) jamaknya im. Kata amat, bentuk
asalnya adalah amuwat, yang kemudian dihilangkan waw-nya.13 Al-Amah berarti


Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur.
12
Selengkapnya perhatikan riwayat berikut:



Dari Firas berkata: Sungguh saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang memukul
seorang hamba, padahal hamba tersebut tidak melakukan kesalahan, atau menamparnya, maka
sungguh kafaratnya adalah dengan memerdekakannya. Lihat Shahh Muslim, Kitb al-Aimn, Bb
Shuhbat al-Mamlik wa Kaffrat man Lathama Abdahu, no. hadits 1657, h. 814; Sunan Ab Dwud,
Kitb al-Adab, Bb F Haqq al-Mamlk, no. hadits 4500, juz 3. 346; Musnad Ahmad bin Hanbal, no.
hadits 4553, juz 2, h. 76.
13
Ibn Manzhr, Lisn, jilid ke-14, h. 44-45; Ab Hayyn, Tafsr, h. 450.

147

kebalikan dari seorang perempuan merdeka, yaitu seorang budak atau perempuan
yang dikuasai (al-mamlkt).14
Istilah amah, seperti halnya abd, dalam terminilogi Arab jahiliyyah
berkonotasi negatif dan terkesan menghinakan orang yang dikenakan dengan
sebutan itu. Dia menjadi milik mutlak tuannya. Dia bisa diperlakukan dan disuruh
apa saja, termasuk menjual kehormatan diri untuk tuannya. Itulah sebabnya
Rasulullah saw. melarang para sahabatnya untuk menyebut budak perempuan itu
dengan amatun. Beliau menyuruh orang mengganti istilah itu dengan fatt
(pemudi).15
Begitu buruknya perlakuan yang diterima oleh seorang amah, hingga
kehormatannya tidak lagi dihargai sedikitpun, maka Rasulullah saw. menyebutkan
hak-hak khususnya yang harus dilindungi. Amah harus dilindungi kehormatannya.
Seorang amah yang beriman dan menjaga kehormatannya bisa lebih baik dari
perempuan merdeka tetapi musyrik, sekalipun perempuan musyrik itu menakjubkan.
Selain mengganti panggilan amah yang berkonotasi buruk dengan fat,
Rasulullah saw. juga mulai memerintahkan akan keharusan adanya perlindungan
terhadap pelayan perempuan terutama perlindungan terhadap kehormatannya. Lebih
dari itu, Rasulullah saw. menegaskan bahwa perempuan yang beriman dan

14
Al-Hayt al-Mishriyya al-Umma li al-Talf wa al-Nasyar, Mujam Alfz al-Qur an alKarim, (Mesir: al-Hayt al-Mishriyyah, 1970), juz ke-1, h. 61.
15
Rasulullah saw. bersabda:



Dari Abi Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Jangan sekali-kali salah seorang kalian
memanggil dengan panggilan: hambaku, budakku. (Karena) semua kalian dan para isteri kalian
adalah hamba Allah. Akan tetapi panggillah dengan panggilan: pelayanku, penolongku dan atau
pemuda [i] ku. Lihat Shahh Muslim, Kitb al-Alfz min al-Adab wa gairiha, Bb Hukmu Ithlqu
Lafzhat al-Abd wa al-Amat wa al-Mawl wa al-Sayyid, no. hadits 2249-2252, h. 1098.

148

memelihara kehormatannya lebih mulia dan terhormat dibandingkan dengan


perempuan merdeka tapi tidak memelihara kehormatannya.
4. M Malakat Aymn
Malaka, yamliku, malkan

berarti memiliki atau mempunyai sesuatu.16

Sedangkan yamn (jamaknya aimn atau aymn) berarti sebelah kanan atau tangan
kanan.17
Ungkapan m malakat aymn (apa yang dimiliki tangan kanan) berarti alraqq atau budak.18 Budak yang dimaksud adalah budak yang pada mulanya
didapatkan dari tawanan perang atau jihad dalam rangka menegakkan agama Islam.
Budak tersebut tidak berasal dari penculikan, perampokan, dan perang karena
keserakahan.
Hadits-hadits yang memuat ungkapan m malakat aymn pada umumnya
adalah kutipan atau penggalan dari ayat-ayat al-Quran yang berbicara masalah
budak. Oleh karena ayat-ayat tersebut umumnya membicarakana persoalan rumah
tangga bagi seseorang yang memiliki budak, maka istilah m malakat aymn lebih
banyak berbicara tentang bagaimana posisi budak dalam rumah tangga tuannya.
Aturan-aturan tersebut berbicara mulai dari persoalan besar sampai pada masalah
sekecil-kecilnya. Adanya aturan tersebut dianggap penting karena kehidupan budak
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan tuannya.
Selain itu, juga dibicarakan bahwa dalam rezki yang telah diberikan Allah,
terdapat hak-hak budak yang harus diberikan kepadanya.19 Seorang tuan harus

Ab Husain Ahmad bin Fris, Mujam Maqyis al-Lugah, (Beirt: Dr Ihy al-Turts alArabiyyah, 2001), h. 960, Mahmud Yunus, Kamus, h. 428.
17
Ibn Fris, Mujam, h. 960, Mahmud Yunus, Kamus, h. 510.
18
Al-Hayt al-Mishriyyat, Mu jam, juz ke-2, h. 912; Abdullah Yusuf Ali, The Glorious
Kur an Tranlation and Commentary (Beirt: Dr al-Fikr, tth.), h. 187; Hamka, Tafsir al-Azhar,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), juz ke-7, h. 8.
19
Lihat QS. al-Nahl (16) : 71; al-Rm (30) : 28.
16

149

memberikan peluang kepada budaknya untuk membuat perjanjian merdeka dan sang
tuan harus membantunya untuk mencari tebusan yang disepakati. Juga diperintahkan
berbuat ihsn kepada budak sebagaimana kepada keluarga sendiri.20
Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa ungkapan m malakat
aymn itu digunakan, salah satunya, untuk menunjukkan betapa kedekatan
kehidupan fisik, perasaan, dan hubungan antara budak dan tuannya. Budak telah
menjadi keluarga sendiri sampai-sampai batas-batas aurat tidak lagi seperti kepada
orang umumnya.
Dalam hal ini, menarik untuk dikemukakan pendapat Maulana Muhammad
Ali. Ia mengatakan bahwa orang yang memaknai kalimat lifurjihim yuhfizn
dalam QS. Al-muminn ayat 5 misalnya, sebagai jimak adalah keliru. Menurutnya,
kalimat itu berbicara masalah aurat yang harus dijaga agar tidak kelihatan. Pendapat
Maulana tersebut diperkuat dengan riwayat yang berasal dar Bahz ibn Hakim dari
Ayahnya dari kakeknya ia berkata: Aku pernah berkata: Ya Rasulullah: Aurat kami
terbuka sebagiannya sedangkan orang lain tidak ada yang melihatnya. Nabi saw.
berkata: Jaga auratmu kecuali kepada istri dan budakmu. Aku berkata: ya

Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya
yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan
kepadamu; Maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut
kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayatayat bagi kaum yang berakal.
20
Lihat QS. al-Nr (24) : 33:

....

dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang
memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

150

Rasulullah, jika satu kaum sebagian mereka berada di suatu tempat? Kata Nabi saw.:
Jika kamu mampu menjaganya, maka tidak boleh seseorang melihat aurat orang
lain. Aku berkata lagi: ya Rasulullah, kalau ia hanya sendirian? Jawab Nabi saw.
hendaklah ia lebih malu kepada Allah daripada malu kepada manusia.21
Karena seorang budak itu telah dianggap sebagai keluarga sendiri, demikian
tegas Maulana, maka Allah memberikan toleransi seperti itu. Itulah sebabnya,
Maulana menyimpulkan bahwa baik al-Quran maupun hadits, tak satupun yang
menerangkan kalau majikan mempunyai hak untuk mengadakan hubungan seksual
di luar nikah dengan budak perempuannya. Sebab satu-satunya yang membolehkan
hubungan seks antara tuan dan budak adalah pernikahan yang disaksikan oleh
beberapa saksi; dan hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. yang
memerdekakan dan mengawini tiga tawanan perang.22
Ungkapan m malakat aymn juga mengandung makna bahwa tuan
memilki tanggung jawab yang tidak ringan terhadap budaknya. Tuan bertanggung
21

Pendapat Maulana tersebut diperkuat oleh hadits Rasulullah saw. sebagai berikut:





Dari Bahz ibn Hakim dari Ayahnya dari kakeknya ia berkata: Aku pernah berkata: Ya Rasulullah:
Aurat kami terbuka sebagiannya sedangkan orang lain tidak ada yang melihatnya. Nabi saw.
berkata: Jaga aurtamu kecuali kepada istri dan budakmu. Aku berkata: ya Rasulullah, Jika satu
kaum sebagian mereka berada di suatu tempat? Kata Nabi saw.: Jika kamu mampu menjaganya,
maka tidak boleh seorang melihat aurat orang lain. Aku berkata lagi: ya Rasulullah, kalau ia hanya
sendirian? Jawab Nabi saw. hendaklah ia lebih malu kepada Allah daripada malu kepada manusia.
Lihat Sunan Ab Dwud, Kitb Hammm, Bb M Ja f al-Tu ra, no. hadits 3501, juz 5, 73; Ab
sa Muhammad bin sa bin Sawrt al-Tirmiz, Sunan al-Tirmiz, ditahqiq Mahmud Muhammad
Mahmud Hasan Nashar, Kitb al-Adab, Bb M Ja f Hifzi al-Aurt, no. hadits 2718, (Beirt: Dr
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 4, 108; Ab Abdillah Muhammad ibn Yazd Ibn Mjah al-Qazwin,
Sunan Ibn Mjah. Kitb al-Nikh, Bb al-Tustaru Inda al-Jim , no. hadits 1910. (Beirt: Dr alKutub al-Ilmiyyah, t.th.),juz 1, h. 612.Ketiga mukharrij di atas tidak mengomentari status hadits
tersebut. Jadi, dalam perspektif Ab Dwud, hadits tersebut adalah shahh liztih.
22
Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), terjemahan M. Bahrum, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, tth.), h. 774.

151

jawab terhadap kebutuhan hidupnya, karena dalam harta tuan juga terdapat hak
budak. Tuan tidak boleh menghalangi budaknya untuk mencapai kesempurnaan
hidup. Maka, jika budak ingin merdeka dengan satu perjanjian, tuan harus
memenuhinya. Bahkan, tuan harus membantu secara materil agar budak bisa
membayar kemerdekaannya sesuai dengan kesepakatan. Riwayat dari Abdulah ibn
Umar mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberi petunjuk mengenai orang
yang ingin memerdekakan budak kongsiannya. Beliau mengatakan, siapa yang
memerdekakan bagiannya pada seorang hamba, lalu dia mempunyai harta yang
mencapai harga hamba itu, maka ditaksir harga hamba itu dengan taksiran yang
pantas, lalu dia berikan kepada orang yang berkongsi dengannya, maka merdekalah
hamba itu atas namanya. Dan jika tidak, maka sudah merdeka hamba itu sebanyak
bagian yang memerdekakannya itu.23 Seperti itulah yang diajarkan oleh Rasulullah
saw. dan diikuti oleh para sahabatnya sebagaimana terekam dalam banyak hadits.

23

Selengkapnya lihat riwayat berikut ini:

Dari Abdullah Ibn Umar ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: siapa yang memerdekakan
bagiannya pada seorang hamba, lalu dia mempunyai harta yang mencapai harga hamba itu, maka
ditaksir harga hamba itu dengan taksiran yang pantas, lalu dia berikan kepada orang yang
berkongsi dengannya, maka merdekalah hamba itu atas namanya. Dan jika tidak, maka sudah
merdeka hamba itu sebanyak bagian yang memerdekakannya itu. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb alSyirkah, Bb Taqwm al-Asyy Baina al-Syurak i Biqmati Adl, no. hadits 2491-2492, juz 2, 99100, Kitb al-Muktab, Bb M Yajzu min Syurth al-Muktab wa Man Isytharatha Laisa f Kitb
Allah, no hadits 4713, juz 3, h. 126, Kitb al-Itq Bb Iz Ataqa Abdan Baina Istnain aw Amatun
Bain al-Syuraki, no. hadits 2522-2524, juz 2. h. 107; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Fadl al-Itq,
no. hadits 1509, h. 734, Kitb al-Aimn, Bb Man Ataqa Syirkan Lahu f Abdin, no. hadits 22492252, h. 1098; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F Man Raw Annahu L Yustasa, no. hadits
3937, juz 3, h. 23; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Ahkm an Raslillah, Bb M Ja f al-Abdi Yakna
Bain al-Rajulain Fayutaqu Ahaduhuma Nashbahu, no. hadits 1346, juz 2, 340; Sunan Ibn Mjah,
Kitb al-Itq, Bb Man Ataqa Syirkan Lah f Abdin, no. hadits 2527, juz 2, h. 844; Musnad Ahmad
bin Hambal, no. hadits 374, juz 2, h. 124;; Muwatha Mlik, Kitb al-Itq wa al-Wal, Bb Man
Ataqa Syirkan Lah f Mamlkin, no. hadits 1264, juz 2, h. 201.

152

Anjuran tersebut adalah sebahagian langkah yang ditempuh Rasulullah saw. dalam
mengurangi populasi budak ketika itu.
5. Mamlk
Mamlk yang asal katanya dari malaka (jamak mulk), berarti orang yang
24

dimiliki. Kata maluk sendiri berarti pemilik atau raja. Seperti lazimnya, raja adalah
penguasa yang menguasai dan menangani persoalan aturan serta wewenang lainnya.
Pemilik adalah orang yang menguasai dan mengendalikan sesuatu di atas
otoritasnya. Namun demikian, meskipun seorang pemilik belum tentu raja dalam
pengertian normatifnya. Namun pemilik adalah seorang yang memiliki wewenang
atas sesuatu yang dimilikinya. Jadi seorang pemilik adalah orang yang tidak dikuasai
oleh orang atau kekuatan lain, sebagaimana raja yang menguasai lainnya. Kebalikan
dari itu, orang yang berada dalam penguasaan dan tunduk kepada yang
menguasainya adalah mamlk, yakni orang yang dimiliki.25
Orang yang memiliki sifat seperti raja, di antaranya independent, bebas, dan
tidak terikat oleh orang atau institusi lain adalah orang yang merdeka. Orang yang
merdeka juga berarti orang yang bisa menjamin hidupnya secara layak. Lawan kata
dari orang yang merdeka adalah budak. Yaitu mereka yang dikuasai dan terikat oleh
dan kepada kekuatan di luar dirinya serta memiliki garansi untuk menjamin
kelangsungan hidupnya.
Watak dan karakternya pun berbeda. Orang yang tidak merdeka memiliki
kesadaran rendah. Karena kesadaran yang rendah, mereka akan taat kepada aturan
jika ada yang mengawasi, dan inilah salah satu dari ciri khas perilaku budak.
Karenanya, siapa pun yang memiliki sifat seperti ini, bisa dikategorikan sebagai

Ibn Fris, Mujam, h. 960; Al-Munawwir, Kamus, h. 1352.


Maryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks,
(Yogyakarta: el SAQ, Press, 2005), h. 188.
24

25

153

orang yang tidak merdeka. Sebab, ciri orang yang merdeka adalah taat pada aturan,
meskipun tidak diawasi secara langsung dan lahiriah.
Kesadaran dan kemerdekaan seperti itulah yang diperjuangkan oleh
Rasulullah saw. Penekanannya adalah bagaimana supaya para pengikutnya itu
memilki kemerdekaan individual. Dari kemerdekaan individu itu akan tercipta
kemerdekaan kolektif. Sedangkan musuhnya, tidak mesti dari luar tetapi dari dalam
diri sendiri. Itulah sebabnya ada ungkapan bahwa orang yang bisa mengatasi dirinya
sendiri adalah orang yang merdeka. Ide kemerdekaan yang di sampaikan oleh
Rasulullah saw. selalu dikaitkan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah swt.
Dengan kata lain, kemerdekaan seseorang terletak pada penghambaan dirinya
Kepada Allah sebagai manifestasi ajaran tauhid.

6. Mudabbar dan Muktab


Kata al-Mudabbar secara bahasa adalah makna kiasan yang berarti akhir
sesuatu, dibelakang, atau lawan dari yang mendahuluinya; dan yang dimaksudkan
adalah orang yang ditinggal di belakang.26 Kata tersebut adalah kata benda yang
menunjukkan pengertian mengenai pekerjaan (isim mafl). Seorang hamba sahaya
dinamai al-mudabbar karena hamba tersebut disyaratkan kemerdekaannya dengan
kematian tuannya. Riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. Bahwa seorang laki-laki dari
Anshar memerdekakan hambanya secara mudabbar, sedangkan dia tidak memiliki
harta selain hamba itu, lalu disampaikan kepada Nabi saw. maka beliau bersabda:
adakah yang mau membelinya dari saya? Maka Nuaim bin Abdillah membelinya
dengan harga sekian, lalu Nabi saw. menyerahkan kepadanya.27 Disebut al-

Lihat Ibn Fris, Mu jam, h. 355.


Selengkapnya lihat riwayat berikut:

26

27

154

mudabbar karena sesungguhnya tuannya itu meninggalkan dunia untuk akhiratnya.


Sedangkan selama di dunia, tuannya tetap memanfaatkan jasa pengabdian hamba
itu kepadanya. Dan untuk akhiratnya, sang tuan akan mendapatkan pahala
pemerdekaan hambanya itu.
Adapun istilah Muktab dalam bahasa Arab berasal dari kata katabah yang
berarti menulis. Muktab merupakan bentuk ubahan dari katabah yang bermakna
saling mencatat (perjanjian). Kata tersebut digunakan sebagai suatu istilah untuk
budak yang berada dalam proses pembebasan dari tuannya dengan penggantian yang
harus dibayar budak tersebut kepada tuannya.

28

Riwayat dari Amru ibn Syuaib

dari Ayahnya dari kakeknya menceritakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Seorang mukatab adalah hamba (budak), sekalipun yang tersisa darinya hanya
beberapa dirham. 29



Dari Jabir bin Abdullah ra. Bahwa seorang laki-laki dari Anshar memerdekakan hambanya secara
mudabbar, sedangkan dia tidak memiliki harta selain hamba itu, lalu disampaikan kepada Nabi saw.
maka beliau bersabda: adakah yang mau membelinya dari saya? Maka Nuaim bin Abdillah
membelinya dengan harga sekian, lalu Nabi saw. menyerahkan kepadanya. Lihat Shahh al-Bukhr,
Kitb al-Buy, Bb Bai al-Mazyadat, no. hadits 2141, juz 2, h. 25, Kitb Istiqrdhi wa Adi alDuyni wa al-Hajari wa al-Taflisi, Bb B a Mal al-Muflisi aw Mudimi Faqasamahu, no. hadits
2403, juz 2, h. 79; Shahh Muslim, Kitb al-Zakt, Bb al-Ibtid f al-Nafaqah, no. hadits 997, h.
461, Kitb al-Aimn, no. hadits 3155-3166; ; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F Bai alMudabbar, no. hadits 3955, juz 3, h. 27; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Buy an Raslillah, Bb M
Ja f Baii al-Mudabbar, no. hadits 1219, juz 2, h. 264; Sunan al-Nasi, Kitb al-Buy , Bb Bai
al-Mudabbar, no. hadits 4573-4575, juz 3, h. 85; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Itq, Bb al-Mudabbar,
no. hadits 2513, juz 2, h. 841; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 13619, juz 4, h. 79; Ab- Abd
al-Rahmn Fadl bin Abdullah bin Abd al-Samad Fadl bin Abdullah bin Bahram Al-Drim, Sunan
al-Drim. Kitb al-Buy, Bb F Bai Ummaht al-Awld, no. hadits 2577, (Beirt: Dr alMarifah, 2000), h. 840.
28
Ibn Faris, Mujam, h. 885, Tim Penyusun Ensiklopedi al-Qur an: Dunia Islam Modern
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), h. 96.
29
Selengkapnya lihat riwayat berikut ini:

155

Jadi budak muktab adalah budak yang berada dalam proses pemerdekaaan
tuannya dengan perjanjian penggantian yang akan diberikan budak tersebut kepada
tuannya sebagai kompensasi atas kemerdekaannya itu. Dinamai muktab karena
budak membuat perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan membayar harga belinya
sebagai tebusan bagi kemerdekaan dirinya atau tuan membuat perjanjian
pemerdekaan budaknya dengan kompensasi pembayaran harga belinya.
Dalam Islam, seorang budak dapat membebaskan dirinya. Ia dapat
menuntut kemerdekaan atas dirinya sendiri kepada tuannya. Caranya adalah dengan
memberikan sejumlah uang kepada tuannya. Pemberian uang tersebut bisa tunai dan
dapat pula diangsur, sesuai dengan kesepakatan bersama.
Al-muktab juga berarti yang ditetapkan atau yang ditentukan. Dengan kata
lain, kebebasan budak ditetapkan dan ditentukan atas dasar pembayaran yang
disepakati, baik jumlah maupun waktu pelunasannya. Bila ia telah menunaikannya,
maka ia menjadi merdeka.30 Riwayat dari Ummi Salamah menuturkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda: apabila ada salah seorang di antara kalian seorang hamba
muktab, sedangkan hamba itu mampu membayar kesepakatan itu, maka hendaklah
dia berhijab dari dia.31
Dari Amru ibn Syuaib dari Ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw. beliau bersabda: Seorang
mukatab adalah hamba (budak), sekalipun yang tersisa darinya hanya beberapa dirham. Lihat
Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F al-Muktab Yu addi Ba dha Kitbatihi, no. hadits 3425, juz
3, h. 27; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Buy, Bb M Ja f al-Muktab Iz Kna Indahu M Yuaddi,
no. hadits 1181, juz 2, h. 289; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 6378, juz 11, 130. Ab Dwud
tidak memberi komentar atas hadits tersebut, sementara al-Tirmiz menghukumnya sebagai hasan
gharb.
30
Lihat Muhammad Quthub, Syubht, h. 69; juga Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 49. ada juga
yang berpendapat bahwa setelah muktab disetujui, maka budak tersebut langsung merdeka agar ia
bebas untuk memenuhi perjanjiannya. Lihat Fuad Mohd Fachruddin, Islam Berbicara Masalah
Perbudakan, (Jakarta: Mutiara, 1981), h. 92.
31
Selengkapnya lihat riwayat dari Ummu Salamah berikut:


Dari Ummi Salamah menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: apabila ada salah seorang di
antara kalian seorang hamba muktab, sedangkan hamba itu mampu membayar kesepakatan itu,
maka hendaklah dia berhijab dari dia. Lihat Sunan Ab Dwud, Kitb al-Itq, Bb F al-Muktab

156

Dalam al-Quran juga ditemukan penjelasan mengenai hamba muktab ini.


Tuhan memerintahkan agar budak yang dimiliki dan sudah memginginkan
kemerdekaan melalui satu perjanjian, maka hendaklah membuat perjanjian dengan
mereka. Hal itu dilakukan setelah mengetahui ada kebaikan pada mereka. Juga
diperintahkan untuk memberikan kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya.32 Menurut al-Suythi, sebab turunnya ayat tersebut adalah bahwa
Shabiat budak Huwaithib bin Abd al Uzza, meminta agar dimerdekakan dengan
cara muktab, akan tetapi permintaannya ditolak. Setelah ayat itu turun, Huwaithib
bersedia menerima perjanjian dengannya dengan membayar 100 dinar yang
dipotong 20 dinar sebagai pemberian Huwaithib, dan selebihnya akan dilunasi oleh
Shabiat yang akhirnya merdeka.33
Ini mencerminkan bahwa hukum muktab adalah wajib. Kewajiban ini
sebagai antisipasi Islam terhadap budak yang telah siap secara fisik dan mental
untuk hidup merdeka di tengah-tengah masyarakat. Kewajiban ini menjadi samar
ketika majikan masih diberikan hak prerogatipnya berdasarkan pengetahuan objektif
mereka yang mendalam untuk meluluskan atau menangguhkan permohonan
sahayanya. Masih ada penghormatan Islam terhadap para majikan, yang dalam
realitasnya mereka lebih mengetahui potensi sahayanya untuk dapat hidup merdeka
dan mempertahankan kemerdekaannya.
Yuaddiy Kitbatihi Faya jizu, no. hadits 3926, juz 3, h. 20; Sunan al-Tirmiz,, Kitb al-Buy an
Raslillah, Bb M Ja f al-Muktab Iz Kna Indahu M Yuaddi, nomor hadits 1261, juz 2, h.
290; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Ahkm, Bb al-Muktab, no. hadits 2520, juz 2, h. 842; Musnad
Ahmad, no. hadits 25268, juz 6, h. 37. Ab Dwud dan Ibn Mjah tidak memberi komentar terhadap
hadits tersebut, sedangkan al-Tirmiz menghukumnya sebagai hadits hasan shahh.
32
QS. al-Nr (24): 33:

Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian
dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka
sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.
33
Al-Suyuthi, Asbabun, h. 356; juga Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 51.

157

Pertimbangan majikan yang dihormati oleh Islam ini, lebih mengarah


kepada kehidupan duniawi, yaitu bagaimana nafkah hidup dan usaha para budak
untuk dapat menebus dirinya. Rasulullah saw. memerintahkan para majikan untuk
berpartisipasi aktif dalam membantu dan menafkahkan sebahagian harta majikan
kepada sahayanya yang ingin merdeka itu.
Sistem muktab ini cenderung kepada wajib untuk dilaksanakan oleh para
majikan. Ini dapat diperjelas dari sikap Umar bin Khattab r.a yang mendesak Anas
bin Malik untuk membuat perjanjian dengan sahayanya, bernama Sirin. Dalam hal
ini, Sirin mengadukan perihal penolakan Anas bin Malik untuk proses muktab.
Maka Umar mengucap Firman Allah swt. di atas seraya memegang cemeti.
Kemudian Anas membuat muktab dengan sahayanya.34
Kewajiban ini memberikan titik tekan kepada suatu analisis, bahwa
Rasulullah saw. begitu mengutamakan kemerdekaan jiwa raga manusia di banding
dengan kepemilikan si tuan yang bersifat kebendaan dari eksistensi seorang budak.
Pada kemerdekaan inilah seseorang dapat mencapai kehormatan dan martabat diri
dan kehidupannya yang sempat tertambat di bawah kekuasaan orang lain. Prospektif
jiwa yang akan menerima kembali kehidupan bebasnya dikukuhkan dengan legalisir
para majikan yang tahu benar akan kesiapan secara mental maupun fisiknya.
Sehingga si mantan budak akan lebih optimis dalam mengarungi kemerdekaannya
tanpa harus mengorbankan persaudaraan sebagai prinsip keutamaan Islam.
Jadi, muktab adalah potret dari kesiapan seorang sahaya yang siap untuk
kembali menggapai hak-hak kemanusiaannya. Sebab ia bebas bekerja, berjual beli
dan sebagainya, sebagai tanda kesiapan jiwa raga mereka. Kesiapan inilah yang
disambut gembira oleh Islam. Dengan begitu, muktab identik dengan eksplosi jiwa
seseorang sahaya yang telah melihat jalan kehidupan yang terbentang di depannya.
Lihat Muhammad Quraish Shihab, Perbudakan dalam majalah UMMAT, no 23,
(Jakarta: Mahkota Mediator Utama, 1997), h. 58.
34

158

Karenanya, ia meminta perjanjian. Ini akan berbeda apabila majikan yang memaksa
sahayanya untuk membuat perjanjian, apalagi si sahaya belum mampu atau tidak
menginginkannya.
Muktab bukan hanya sebagai bentuk atau gerbang bagi kemerdekaan jiwa
seorang budak. Muktab, juga sebagai proses dan metode penghapusan sistem
perbudakan secara final. Upaya tersebut dapat dilakukan sang budak dengan
dukungan tuannya, dan tidak hanya menunggu tuannya menghadiahkan kebebasan
secara sukarela kepadanya pada kesempatan mendatang yang belum pasti. Peluang
untuk mengakhiri perbudakan dari dalam dirinya sendiri merupakan suatu isyarat
sudah adanya kebebasan yang diberikan Rasulullah saw. sejak statusnya masih
budak.

7. Fatyt, Jriyt, Khdim dan Gulm


Fatiya, yafta, fatan berarti muda. Fat (jamaknya) fityn bermakna orang
muda, pemuda, atau budak laki-laki. Sedangkan fatt (jamaknya fatyt) berarti
perempuan muda, pemudi, atau budak perempuan.35 Jriyt36 dan khdim37
keduanya memilki makna yang sama yakni perempuan pelayan, buruh, pekerja
upahan, sedangkan gulm berarti anak muda, pemuda.38 Ungkapan tersebut terdapat
dalam beberapa riwayat hadits yang berisi anjuran Rasulullah saw. untuk merubah
panggilan budak dari konotasi negatif kepada konotasi positif. Anjuran tersebut
berimbang, karena tidak saja pendidikan akhlak ditujukan kepada sang tuan
melainkan juga untuk sang budak. Misalnya riwayat dari Hammm ibn Munabbih
bahwa ia mendengar Ab Hurairah ra meriwayatkan hadits dari Nabi saw. bahwa
Ibn Fris, Mujam, h. 806.
Ibn Fris, Mujam, h. 190.
37
Ibn Fris, Mujam, h. 289.
38
Ibn Fris, Mujam, h. 773; juga Munawwir, Kamus, masing-masing h. 188, 327 dan
35

36

1015.

159

janganlah salah seorang di antara kamu berkata (kepada pelayannya): sediakan


makanan tuhanmu, terangi cahayanya dan sediakan minuman tuhanmu. Akan tetapi
katakan: tuanku, penolongku. Jangan pula panggil pelayanmu dengan panggilan:
hambaku, budakku, akan tetapi panggilah dengan panggilan pemuda (i)ku atau
pelayanku. 39
Anjuran Rasulullah saw. itu memberikan gambaran yang jelas bahwa
seseorang tidak boleh menghamba kepada sesamanya, tetapi hanya kepada Tuhan.
Mengenai kata-kata fatyt, jriyt, khdim dan gulm adalah panggilan kasih
sayang terhadap budak yang telah mendapatkan hak-hak kemanusiaannya,
sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Sayangnya, pada perkembangan
Islam selanjutnya anjuran Rasulullah saw. tersebut tidak mendapat perhatian dan
prioritas dalam menyikapi masalah perbudakan. Sebaliknya, panggilan yang
merupakan warisan budaya sebelum Islam yang memiliki konotasi negatif kembali
melekat. Padahal, motif yang terkandung dalam anjuran Rasulullah saw. tersebut
memiliki implikasi yang mendalam terhadap upaya penghapusan perbudakan.

39

Perhatikan riwayat Hammm berikut:


Dari Hammm ibn Munabbih bahwa Ia mendengar Ab Hurairah ra meriwayatkan hadits dari Nabi
saw. bahwa beliau bersabda: Jangan salah seorang kamu berkata (kepada pelayannya): Sediakan
makanan Tuhanmu, terangi cahayanya dan sediakan minuman Tuhanmu. Akan tetapi katakan:
Tuanku, penolongku. Jangan pula panggil pelayanmu dengan panggilan: Hambaku, budakku, akan
tetapi panggilah dengan panggilan pemuda (i)ku atau pelayanku. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb alItq, Bb Karhiyat al-Tathwulu Al al-Raqq, no. hadits 2552, juz 2, h. 112; Shahh Muslim, Kitb
al-Alfz min al-Adab, Bb Hukmu Ithlqu Lafzhatu al-Abd wa al-Amat wa al-Mawl wa al-Sayyid,
no. hadits 2249-2252, h. 1098; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Adab, Bb L Yaq-l al-Mamlk Rabb wa
Rabbat, no. hadits 4975, juz 3, h. 299; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 8750, juz 13, h. 150.

160

B. Upaya-upaya Rasulullah saw. dalam Mengatasi Masalah Perbudakan


Salah satu fungsi kenabiaan adalah pembebasan. Termasuk di dalamnya
upaya pembebasan manusia dari belenggu perbudakan. Secara global upaya
pembebasan Rasulullah saw. tersebut mengambil dua bentuk: pernyataan verbal
(hadits qawli) dan pernyataan sikap (hadits fili). Kedua upaya tersebut secara
umum ada yang bersifat moral, yuridis dan ada pula yang bersifat politis. Ketiga
upaya itu akan diulas dalam pembahasan berikut ini:

1. Upaya Moral
a. Memberikan Hak dan Kewajiban Kepada Budak
Pada masa sebelum kedatangan Rasulullah saw., pembicaraan mengenai
hak dan kewajiban budak tidak pernah terdengar. Sebab, semua yang dibebankan
kepada budak adalah kewajiban semata. Kewajiban itu pun terletak pada kemauan
tuannya. Apa yang diinginkan oleh sang tuan itulah yang wajib dilakukan.
Kehendak tuannya pun tidak dibatasi oleh nilai-nilai perikemanusiaan. Berbeda
dengan itu, Rasulullah saw. datang justru tidak selalu menekankan kewajiban budak.
Perlakuan Rasulullah saw. tersebut bertolak belakang dengan aturan sebelumnya.
Rasulullah saw. justru banyak memberikan hak-hak kepada budak bahkan semakin
memperkecil volume kewajibannya, sehingga keduanya seimbang. Kewajiban
budak yang diberikan itu pun merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya.
Rasulullah saw. banyak menguranginya, memodifikasi menjadi lebih manusiawi,
menekan sekecil mungkin beban-beban yang negatif dan menggantinya dengan
tugas-tugas yang mulia.40

40

Maulana, Islamologi, h. 773.

161

Sebagai gambaran dalam satu kelompok bahwa hak-hak individu


ditetapkan dan dijamin oleh kewajiban anggota-anggota yang lain baik secara
individu maupun secara kolektif. Kewajiban untuk menghormati hak-hak
perorangan dalam batas-batas yang dianggap sebagai kebaikan umum mendapatkan
kekuatan pelaksanaannya dari sebab-sebab sosiologis, khususnya hal-hal yang dapat
bercampur dengan moral, karena membawa tradisi kebudayaan, aspirasi psikologis
dan kepastian idiologis.41
Berdasarkan penelusuran terhadap hadits-hadits yang membicarakan
masalah perbudakan, terbukti bahwa Rasulullah saw memandang seorang budak
sama dengan orang merdeka dalam hal kemanusiaannya. Hanya saja karena sebab
tertentu, dia menjadi berbeda dengan orang lain dalam kehidupan sosialnya. Budak
juga berhak atas perhatian, layanan, dan kebutuhan tertentu, terutama dalam hal-hal
yang asasi. Haka-hak budak memang tetap memiliki perbedaan

tertentu dengan

orang merdeka. Akan tetapi bukan dalam persoalan yang prinsip.


Berikut ini akan dikemukakan hak dan kewajiban budak yang diberikan
oleh Rasulullah saw.:
1). Hak-hak Budak
Adapun hak-hak yang telah diberikan Rasulullah saw. terhadap budak
adalah sebagai berikut:
a). Memperoleh Keadilan
Semua utusan Tuhan (Rasul) yang mengemban tugas ke permukaan bumi,
membawa misi yang sama, yaitu hendak menegakkan sistem kemunusiaan yang
adil. Allah swt. menegaskan bahwa sesungguhnya Kami telah mengutus RasulRasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan
41

Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1980), h. 107.

162

bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan
di permukaan bumi.42 Itulah sebabnya, salah satu sendi yang ditekankan Rasulullah
saw. dalam kehidupan bermasyarakat adalah keadilan. Keadilan ini tidak boleh
ditawar-tawar jika menginginkan ketentraman hidup. Perbuatan menghukum orang
tak bersalah, dan perbuatan tidak adil lainnya akan menjadi penyebab goyahnya
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Rasulullah saw. memerintahkan untuk berbuat adil kepada budak.
Perlakuan adil yang diberikan Rasulullah saw. terhadap budak dapat dikatakan
sempurna. Baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai anggota masyarakat. Sebagai
hamba Allah, budak tidak diperlakukan diskriminatif. Orang merdeka dan budak
sama-sama berpeluang mendapat tempat tertinggi di sisi Allah swt. Derajat
seseorang di sisi Allah hanya ditentukan oleh kadar ketaqwaannya.43
Dalam beberapa riwayat, juga ditemukan keterangan bahwa barang siapa
yang berhasil membina budak menjadi baik, kemudian memerdekakan serta
menikahkannya maka dia akan mendapatkan dua pahala.44

42

Lihat QS. al-Hadd (57) : 25.


Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata,
dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan .....
43
QS. al-Hujrt (49) : 13.

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
44
Rasulullah saw. bersabda:

163

Sebagai anggota masyarakat, perlakuan Rasulullah saw. terhadap budak


jauh lebih mulia dari keadaan sebelumnya. Hak hidup mereka mendapatkan
perhatian serius. Demikian juga di depan hukum, mereka harus bertanggung jawab
sebagaimana orang merdeka. Mereka juga diberlakukan hukum qishash.45 Menurut
Ibn Taimiyah, qishash diberlakukan dalam Islam adalah untuk menegakkan
keadilan. Budak yang membunuh budak lain juga harus dibunuh.46 Umat Islam
diwajibkan menegakkan keadilan dan menuntut bela terhadap siapa pun yang mati
teraniaya.47



Dari Abi Musa ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang memiliki seorang budak, lalu dia
berbuat baik kepadanya, kemudian memerdekakannya serta menikahkannnya, maka ia mendapatkan
dua ganjaran (pahala).Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Itq, Bb Fadhlu Man Addaba Jriyatahu
wa Allamaha, no. hadits 2544, juz 2, h. 111; Shahh Muslim, Kitb al-Imn, Bb Wujb al-Imn
Birislati Nabiyyin Muhammad, no. hadits 154, h. 110; Kitb al-Nikh, Bb Fadhla al-Itaq
Amatahu Stumma Yatazawwajuha, no. hadits 135, h. 673; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Nikh, Bb
F al-Rajuli Ya tiqu Amatahu Stumma Yatazawwajuha, no. hadits 2053, juz 2, h. 87; Sunan alTirmiz, Kitb al-Nikh, Bb M Ja f Fadhli Zlik, no. hadits 1116, juz 2, h. 194; Sunan Nasi,
Kitb al-Nikh, Bb Itq al-Rijl Jriyatahu Stumma Yatazawwajuha, no. hadits 3292-3293, juz 5, h.
109; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Nikh, Bb al-Rajulu Ya tiqu Amatahu Stumma Yatazawwajuha, no.
hadits 1956-1958, juz 1, h. 629; Sunan al-Drimiy, Kitb al-Nikh, Bb Fadlu Man Ataqa Amatun
Stumma Tazawwajuha, no. hadits 2248, h. 709; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 18711, juz 4,
h. 38.
45
Lihat QS. al-Baqarah (2) : 178.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Penjelasan lebih lanjut mengenai ayat ini lihat Ab al-Fid al-Hfiz Ibn Kastr, al-Dimasyqi,
Tafsr al-Qur n al-Azdm, (Beirt: Dr al-Fikr, 1412 H./ 1992 M.), juz ke-1, h. 259; A. Mudjab
Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Qur an, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 60-61.
46
Taqi al-Dn Ibn Taimiyah, al-Tafsr al-Kabr, ditahkiq oleh Abd al-Rahmn Amirat,
(Beirt: Dr al-Fikr, tth.), juz ke-3, h. 40.
47
Para ulama berbeda pendapat tentang orang merdeka yang membunuh budak. Abu
Hanifah, al-Staur, Ibn Abi Lail, dan Dwud, berpendapat bahwa pembunuh harus diqishash. Tetapi
menurut jumhur ulama, seorang merdeka yang membunuh budak, tidak bisa diqishash, dia hanya
membayar harganya saja. Jumhur mengatakan bahwa ayat 45 dari surah al-Maidah (5), yang
dijadikan dalil oleh kelompok yang membolehkan, telah ditakhshish oleh surah al-Baqarah (2) ayat
178. selanjutnya lihat misalnya Ab Bkar Ahmad al-Rzi al-Jashshsh, Ahkm al-Qur n, (Beirt:

164

Dalam Islam, hakikat kemanusiaan seorang budak benar-benar dihargai.


Jika seorang budak muslim ingin menikah atau dia dipandang layak untuk menikah,
maka tugas umat Islam untuk mencarikan pasangan hidupnya.48 Sebagimana orang
merdeka, budak juga butuh pada perkawinan. Jika kebutuhan tersebut tidak
disalurkan menurut aturan yang telah ditentukan Allah, maka akan menimbulkan
persoalan sosial yang serius. Rasulullah saw sendiri, bukan hanya mencarikan
pasangan hidup bagi budak, tapi beliau sendiri ada memperistrikan budak, salah
satunya adalah Shafiyyah.49
Selain itu, dalam al-Quran juga ditemukan keterangan bahwa lebih baik
seorang mukmin menikahi seorang budak beriman daripada perempuan musyrik.
Sekalipun perempuan musyrik itu berharta, cantik, atau pun berasal dari keturunan
Dr al-Fikr, tth.), juz ke-1, h. 135; Muhammad Quthub, Syubht Haula al-Islm, (Beirt: Dr alSyurq, 1393 H./ 1973 M.), h. 37.
48
Lihat QS. al-Nr (24) : 32;

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.penjelasan selanjutnya lihat al-Khzin, Tafsr al-Khzin/
Lubb al-Ta wl f Ma ni al-Tanzl, (Beirt: Dr al-Almarif, tth.), juz ke-3, 328.
49
Perhatikan riwayat berikut:


Dari Anas bin Mlik bahwasanya Rasulullah saw. pernah memerdekakan seorang budak bernama
Shafiyah dan menikahinya, dan dengan kemerdekaan tersebut dijadikan sebagai maharnya. Lihat
Shahh al-Bukhr, Kitb al-Nikh, Bb Man Ja ala Itq al-Amat Shadqaha, no. hadits 4696, 4697,
4762, 4771, juz 3, h. 121-122, Kitb al-Shalh, Bb M Yazkuru f al-Fkhizah, no. hadits 358, juz 1,
h. 174, Kitb al-Jumah, Bb al-Takbr wa al-Gulsu bi al-Shubhi, no. hadits 895, 1, h 273, Kitb alMagzi, Bb Gazwatu Khaibar, no. hadits 4213, juz 2, h. 439; Shahh Muslim, Kitb al-Nikh, Bb
Fadhla Itaq Amatahu Stumma Yatazawwajuha, no hadits 1365, h. 673; Sunan Ab Dwud, Kitb
al-Kharaj wa al-Imra wa al-Fi, Bb M Ja f Sahmi al-Shaf, no. hadits 2601-2604, juz 7, 59;
Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Nikh, Bb M Ja f al-Walmah, no. hadits 1094, juz 2, h. 178; Sunan
al-Nasi, Kitb al-Nikh, Bb al-Tazawwaju Al al-Itq, no. hadits 3390, 3391, Bb al-Bin f alSafari, no. hadits 3328, 3329; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Nikh, Bb al-Rajulu Ya tiqu Amatahu
Stumma Yatazawwajuha, no. hadits 1958, juz 1, h. 629; Musnad Ahmad bin Hambal, no. hadits
13589, juz 3, 231; Sunan al-Drimiy, Kitb al-Nikh, Bb F al-Amati Yajalu Itquha Shadqaha,
no. hadits 2246-2247, h. 708-709.

165

terhormat.50 Karena itu, menilai manusia harus berdasarkan penilaian Allah, bukan
berdasarkan penilaian dan pandangan manusia kepadanya.51
Pertanyaan yang muncul ialah apakah jika budak dijadikan sebagai
alternatif kedua bagi seseorang yang belum mampu tapi berhasrat menikah52 berarti
budak diperlakukan diskriminatif? Budak tidak bisa mendapatkan hak yang persis
sama dengan orang merdeka. Hal demikian dianggap justru tidak adil karena
keduanya tidak bisa mengerjakan kewajiban yang sama. Budak berada di bawah
kekuasaan tuannya sehingga aktifitasnya relatif terbatas, berbeda dengan orang
merdeka. Kepada budak diberikan mahar dan belanja harian yang tidak sama
besarnya dengan orang merdeka.53 Untuk mengimbangi ketentuan demikian, maka
jika budak berbuat zina, hukumnya hanya separoh orang merdeka. Hal itu untuk
mengobati hati budak yang sering kali dipandang rendah. Jiwanya akan semakin
terpukul jika menerima hukuman yang sama dengan orang yang merdeka.54
Dengan demikian bukan keliru jika dikatakan bahwa Rasulullah saw. telah
memberikan sumbangsih besar dalam mengangkat harga diri dan derajat para budak.
50

Lihat QS. Al-Baqarah (2) : 221.

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu.
51
Sayyid Quthub, F Zhill, juz ke-1, 240.
52
QS. al-Nis (4) : 25.

Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budakbudak yang kamu miliki.
53
Sayyid Quthub, F Zhill, juz ke-2, h. 628; Hamka, Tafsir, juz ke-7, h. 17.
54
Hamka, Tafsir, juz ke-7, h. 17.

166

Beliau telah mengangkat mereka ke posisi yang sama dengan orang merdeka.
Rasulullah saw. tidak pernah manilai seseorang berdasarkan status sosialnya. Tetapi
berdasarkan kecakapan dan prestasi yang dimilikinya. Seorang budak yang memiliki
keahlian melebihi orang merdeka, akan mendapatkan tempat yang juga lebih tinggi
dari orang yang merdeka sekaligus memiliki peluang besar untuk merdeka.
b). Memperjuangkan Kemerdekaan
Dalam

ajaran

Rasulullah

saw.,

budak

berhak

memperjuangkan

kemerdekaannya. Seorang tuan tidak boleh menghalangi budaknya untuk merintis


usaha-usaha positif untuk memerdekakan dirinya. Usaha dimaksud tidak hanya
dalam lingkungan tugasnya semata, tapi juga di luar itu yang bisa dibenarkan. Baik
hadits maupun al-Quran55 menyebutkan hak ini dengan istilah muktab. Muktab
adalah suatu perjanjian antara budak dan tuannya dimana budak harus membayar
(dengan harta atau jasa) dalam jumlah tertentu, dan budak itu bisa menjadi orang
merdeka setelah melunasinya. Kesempatan untuk membuat perjanjian merdeka
tersebut tidak dibedakan antara budak muslim dan budak non-muslim. Keduanya
memiliki hak yang sama.56
Seorang budak muktab diberikan kesempatan untuk berusaha sekuat
tenaga mendapatkan harta benda dalam rangka menebus dirinya itu. Dia bisa
meminta bantuan kepada orang lain untuk menebus dan memerdekakan dirinya. Hal
seperti ini pernah dilakukan oleh Barirah. Suatu saat Bariah mendatangi Aisyah Istri
Nabi sedangkan Barirah seorang budak Muktab (sedang dalam perjanjian) dengan
tuannya sebanyak 9 awaq. Lalu Aisyah berkata kepadanya: Jika tuanmu mau, aku
siap memperhitungkannya dengan mereka tetapi perwalaannya ada padaku. Lalu
55

QS. al-Nr (24) : 33.

Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian (muktab), hendaklah kamu buat
perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.
56
Sayyid Quthub, F Zhill, , juz ke-4, h. 2516.

167

Barirah mendatangi tuannya dan menceritakannya kepada mereka. Namun tuannya


menolak kecuali dengan syarat hak perwalaan itu diserahkan kepada mereka.
Kemudian Aisyah menceritakan hal itu kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw. Bersabda:
Bayarkan saja. Kemudian Nabi saw. Berdiri berpidato kepada manusia, seraya
memuji Allah, kemudian beliau bersabda: Selama seseorang membuat persyaratan
yang tidak ada di dalam Kitab Allah, sedangkan setiap persyaratan yang tidak ada di
dalam Kitab Allah adalah batal. sekalipun dengan seratus persyaratan, Kitab Allah
itu lebih benar dan lebih kuat. Sebab al-Wal (hak perwaliaan atas budak) berada
ditangan orang yang memerdekakannya.57
57

Selengkapnya lihat riwayat berikut:






Dari Aisyah isteri Nabi saw. bahwasanya Bariah mendatanginya sedangkan Barirah seorang budak
Muktab (sedang dalam perjanjian) dengan tuannya sebanyak 9 awaq. Lalu Aisyah berkata
kepadanya: Jika tuanmu mau, aku siap memperhitungkannya dengan mereka tetapi perwalaannya
ada padaku. (Ia berkata): lalu Barirah mendatangi tuannya dan menceritakannya kepada mereka.
Namun tuannya menolak kecuali dengan syarat hak perwalaan itu diserahkan kepada mereka.
Kemudian Aisyah menceritakan hal itu kepada Nabi saw. Lalu Nabi saw. Bersabda: Bayarkan saja.
Kemudian Nabi saw. Berdiri berpidato kepada manusia, seraya memuji Allah, kemudian beliau
bersabda: Selama seseorang membuat persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah, sedangkan
setiap persyaratan yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah batal. sekalipun dengan seratus
persyaratan, Kitab Allah itu lebih benar dan lebih kuat. Sebab al-Wal (hak perwaliaan atas budak)
berada ditangan orang yang memerdekakannya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Shalh, Bb Zikri
al-Bii wa al-Syar al al-Mimbari, no. hadits 456, juz 1, h. 188, Kitb al-Zakt, Bb al-Shadaqt
al Mawli Azwj al-Nab, no. hadits 1492, juz 1, h. 426, Kitb al-Buy,Bb al-Baiu wa al-Syiru
min al-Nis no. hadits 2155-2156, juz 2, h. 28, Bb Iz Isytaritha Syurthan f al-Baii l Tahillu,
2168, juz 2, h. 30, Kitb al-Itq, Bb Bai al-Wal wa Hibatih no. hadits 2536, juz 2, h. 109, Bb M
Yajzu min Syurth al-Muktab, no. hadits 2567, juz 2, h. 115, Kitb al-Hibah wa Fadluha, Bb
Qabl al-Hadiyyah, no. hadits 2578, juz 2, h. 119, Kitb al-Syurth, Bb al-Syurth f al-Buy no.
hadits 2717, juz 2, h. 153-154, Bb M Yajzu min Syurth al-Muktab, no. hadits 2726, juz 2, h.
155, Bb al-Syurth f al-Wal, no. hadits 2729, juz 2, h. 156, Bb al-Muktab wa M L Yahillu min
Syurth, no. hadits 2735, juz 2, h. 161, Kitb al-Nikh, Bb al-Hurrah Tahta al-Abdi, no. hadits
4707, juz 3, h. 124, Kitb al-Thalq, Bb L Yaknu Bai al-Ama Thalqan, no. Hadits 4871, juz 3,

168

Perjuangan seorang budak untuk merdeka juga dapat dilakukan dengan


beriman kepada Allah dan selalu memperdalam imannya. Setelah seorang budak
menjadi mukmin, dia memiliki peluang yang lebih besar untuk dimerdekakan oleh
seseorang yang membayar denda (kaffrat) karena membunuh tanpa sengaja, atau
menzihar istrinya, atau ingin mencabut sumpahnya, atau orang yang bersetubuh di
siang hari pada bulan ramadhan. Bagi

seorang budak perempuan, keimanan

merupakan syarat utama untuk bisa dijadikan istri oleh seorang mukmin. Setelah dia
dinikahi, maka jalan menuju kemerdekaan akan semakin terbuka baginya. Tentu
saja, tidak dibenarkan seorang budak masuk Islam hanya karena ingin dimerdekakan
atau dinikahi. Penyebabnya adalah karena keislamannya akan tidak bermakna jika
tidak didasari dengan niat yang tulus.
Di sinilah perbedaan mendasar antara perbudakan dalam Islam dengan
perbudakan lainnya. Rasulullah saw. memberikan hak kepada budak untuk berusaha
lepas dari kungkungan perbudakan. Sementara itu, perbudakan di luar Islam bisa
dikatakan peluang seperti ini telah tertutup. Dengan tidak diberikan kesempatan

h. 171, Bb Syaf at al-Nab f Zauji Barrah, no. hadits 4876, juz 3, h. 172, Kitb al-Athimah, Bb
al-Adam, no. hadits 5010, juz 3, h. 208, Kitb Kaffrt al-Aimn, Bb Iz Ataqa f Kaffrt liman
Yakna Wal, no. hadits 6223, Kitb al-Faridh, Bb al-Wal liman Ataqa wa Mirst al-Laqth, no.
hadits 6254, Bb Mirst al-Saibah, no. hadits 6257, Bb Iz aslam Yadaih, no. hadits 6261, Bb M
Yaristu al-Nis min al-Wal, no. hadits 6263; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Innam al-Wal
Liman Ataqa no. hadits 150401505, h. 731; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Faridh, Bb F al-Wal,
no. hadits 2915-2916, juz 2, h. 335; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Buy an Raslillah, Bb M Ja f
Isythirth al-Wal, no. hadits 1256, juz 2, h. 287, Kitb al-Faridh an Raslillah, Bb M Ja f
Man Yaristu al-Wal, no. hadits 2114, juz 3, h. 174, Kitb al-Wal wa al-Hibah an Raslillah, Bb
M Ja Anna al-Wal liman Ataqa, no. hadits 2125, juz 3, h. 182; Sunan Ibn Mjah, Kitb al-Itq,
Bb al-Muktab, no. hadits 2521, juz 2, h.842; Sunan Nasi, Kitb al-Zakt, Bb Iz Tahwala alShadaqh, no. hadits 2567, juz 5, h. 107-108, Kitb al-Buy, Bb al-Baiu Yalna Fhi al-Syurth alFsidu Fayuyashihhu al-Bai wa Yubthlu al-Syurth, no. hadits 4563-4565, juz 7, h. 305, Bb Bai alMuktab, no. hadits 4576, juz 7, h. 305; Musnad Ahmad bin Hanbal, hadits 22924, 23021, 23057, ,
24123, , 24280, 24294, juz 15; Muwtha Mlik, Kitb Thalq, Bb M Ja f al-Khiyar, no. hadits
1028, juz 2, h. 74, Kitb al-Itq wa al-Wal, Bb Mashir al-Wal liman Ataqa, no. hadits 12751276, juz 2, h. 206; Sunan al-Drim, Kitb al-Thalq, Bb F Takhyr al-Amati Takun Tahta alAbdi Fatu tiqu, no. hadits 2293, h. 728.

169

seperti itu tentu budak tidak akan bisa merdeka dengan cara wajar karena mereka
tidak diberi peluang untuk berusaha sendiri, apalagi untuk merdeka. Maka wajar jika
budak-budak di luar sistem yang dibangun oleh Rasulullah saw. yang membawa
perubahan besar bagi nasib budak, menjadi terbelenggu.
c). Mendapatkan Perlakuan Baik
Sikap Rasulullah saw. yang sebenarnya menghendaki penghapusan
perbudakan akan tampak jelas apabila telah diketahui bagaimana beliau
memperlakukan budak dalam kehidupan sebagai manusia dan berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan.
Rasulullah saw. memperlakukan budak sebagai wujud manusia yang
memiliki hak dan kehormatan, kehidupan dan persamaan dalam hak dan kewajiban.
Demikian yang diajarkan kepada para sahabatnya agar si tuan wajib tetap
menyayangi budaknya, bersikap lemah lembut kepadanya, dan menghormati
kemanusiaannya. Selain itu, budak juga harus diberikan hak sosialnya, mendapatkan
perlindungan dari penganiayaan orang lain, bahkan kemerdekaan dan segala
tanggung jawab sebagai manusia yang harus diperlakukan mulia seperti manusia
pada umumnya.58 Perlakuan ini lebih berpola top-down, yaitu dari yang kuat kepada
yang lemah di dalam hal kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan. Ini lebih
merupakan manuver dari prinsip keadilan, setelah kewajiban-kewajiban budak
tereksploitasi dalam peradaban dunia sebelum Islam. Sehingga terciptalah hak dan
kewajiban yang balance antara sesama manusia yang bebas.

58

Sayyed Ameer Ali mengatakan bahwa kebijakan Rasulullah saw. yang lebih menekankan
kewajiban-kewajiban si tuan kepada para budaknya adalah tanda keluasan wawasan beliau dalam
memberantas sistem perbudakan. Lihat Ameer Ali, Spirit, h. 264. kebalikan dari itu, Roberts justru
menilai bahwa perlakuan baik itu merupakan jalan keluar dari kegagalan Rasulullah saw dalam
menghapuskan perbudakan. Lihat Robert Roberts, The Social Law of the Qoran, (New Delhi: Cusmo
Publication, 1977), h. 57.

170

Walaupun kebebasan tidak diberikan kepada keputusan manusia, dan ia


adalah dekrit Allah swt., tetapi hukumNya telah diberikan untuk menempatkan
seseorang di bawah kekuasaan orang lain, tentunya dalam batas-batas yang
manusiawi, sehingga tidak akan menghilangkan segala hak pribadinya. Dalam batasbatas inilah tergaris bagaimana perlakuan yang semestinya terhadap budak dalam
prospek menuju penghapusan perbudakan sebagai cita-cita kemanusiaan.
Perintah berbuat baik (ihsn) yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
itu tidak dibatasi hanya kepada orang merdeka. Berbuat baik kepada budak atau
memperlakukan mereka harus sama sebagaimana perlakuan terhadap orang
merdeka. Penafsiran seperti itu berangkat dari redaksi ayat yang menyebutkan
perintah berbuat ihsn kepada budak seiring dengan perintah ihsn kepada orang
tua, karib kerabat dan orang-orang yang dihormati lainnya setelah tidak
mensyerikati Allah.59 Secara keseluruhan ayat 36 surat al-Nis (4) itu, memetakan
dua pola hubungan yang harus dijalin oleh seseorang manusia. Kedua hubungan itu
ialah hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Jika kedua
hubungan interaksi ini merupakan kemestian, maka hubungan dengan budak yang
merupakan bagian dari hubungan antar sesama manusia, tidak bisa dinafikan.
Ibnu Umair, seorang tawanan pada perang Badar berkata: Aku milik orangorang Anshr ketika aku tertawan dalam Perang Badar. Ketika mereka makan siang
atau malam, mereka memberiku roti dan mereka sendiri memakan korma karena
mereka mengikuti pesan Rsulullah saw. kepada mereka untuk kami.60 Roti adalah

59

QS. al-Nis (4) : 36,

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, Ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu.
60
Syalabiy, Perbandingan, h. 274.

171

makanan yang istimewa dibanding korma yang populer di tanah Arab. Wajar jika
sikap demikian itu sebagai kemuliaan yang dapat menimbulkan simpatik. Potensi ini
dapat menjadi hidayah seseorang untuk masuk ke agama Islam melalui interaksi
sosial, sekaligus menghindarkannya dari bahaya perbudakan.
Dari hadits-hadits yang ditelusuri, ditemukan informasi yang menjelaskan
bahwa Rasulullah saw. memberi perhatian yang besar terhadap permasalahan
perbudakan. Menurut hadits yang diberitakan Ummu Salamah, sewaktu Rasulullah
saw. menjelang wafat, beliau masih berpesan agar umatnya senantiasa
memperhatikan shalat dan berlaku baik terhadap budak. Bahkan Beliau selalu
mengucapkan (dua pesan)nya itu hingga hilang dari ucapannya.61
Di samping itu, Rasulullah saw. juga melarang seorang tuan memukul
muka budak jika marah kepadanya, tidak boleh mencaci maki mereka, sekalipun
melakukan zina. Jika seorang budak melakukan perbuatan keji ini, maka hukumlah
mereka sesuai dengan ketentuan yang ada, tetapi jangan menghinanya. Jika tidak
mau bertobat dan terus berzina sampai tiga kali, maka budak itu sebaiknya dijual
walaupun seharga seikat rambut.62

61

Riwayat tersebut adalah:



Dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah saw. berpesan disaat sakit menjelang wafat: shalat
dan budak kalian. Beliau selalu mengucapkan (dua pesan)nya itu hingga hilang dari ucapannya. Di
antara sembilan kitab hadits yang mu tabarah, hadits ini hanya dijumpai dalam Sunan Ibn Mjah,
Kitb al-Janiz, Bb M Ja f Zikri Maradhi Raslillah, no. hadits 1625, juz 1, h. 519. Ibn Mjah
sendiri tidak mengomentari status hadits ini. Diriwayatkan melalui jalur sanad, Ab Bkar bin Ab
Syaibah (tsiqah-shadq), Yazd bin Hrun (tsiqah-shahh al-hadts), Hammm (tsiqah-qaw f alhadts), Qatdah (tsiqah-ahfaz al-ns), Shalih bin Khall (tsiqah), Shafnah dan Ummi Salamah
adalah shahabat Nabi saw. Oleh sebab itu status hadits tersebut adalah shahih.
62
Rasulullah saw. bersabda:

172

Rasulullah saw. tidak mau membenarkan kebiasaan sebelumnya, di mana


tuan bebas menjual kehormatan budaknya (dijadikan pelacur), padahal mereka
sendiri mengingini kesucian, sedang kamu hanya mencari keuntungan duniawi.63
Juga Rasulullah saw. menganjurkan kepada seorang tuan untuk tidak membebani
budaknya dengan pekerjaan yang tidak bisa diembannya.64

Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jika budak kalian berzina maka deralah 3
kali dengan Kitab Allah. Jika ia mengulanginya lagi, maka juallah meskipun dengan harga seutas
rambut. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Buy, Bb Bai al-Abd al-Zni, no. hadits 2152, juz 2, h.
27, Bb Bai al-Mudabbar, no. hadits 2233, juz 2, h. 41, Kitb al-Itq, Bb Karhiyat al-Tathwulu
Al al-Raqq wa Qawlihi Abd aw Amat, no. hadits 2555-2556, juz 2, h. 112, Kitb al-Hudd, Bb
Iz Zanat al-Amah, no. hadits 6333, juz 1, h. 375 , Bb L Yastribu Al al-Ama Iz Zanat wa L
Tanf, no. hadits 6334, juz 1, h. 376; Shahh Muslim, Kitb al-Hudd, Bb Rajama al-Yahdu Ahla
al-Zimmati f al-Zin, no. hadits 1703-1705, h. 843; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Hudd, Bb F alAmat Tazn wa Lam Tahshan, no. hadits 4469, juz 3, h. 163-164; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Hudd,
Bb M Ja f al-Rajm Al al-Stayyib, no. hadits 1433, juz 2, h. 398 dan Bb M Ja f Iqma alHadd Al al-Imi, no. hadits 1440, juz 2, h. 404; Sunan Ibn Mjah. Kitb al-Hudd, Bb Iqma alHudd Al al-Imi, no. hadits 2565, juz 2, h. 857; Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits 7088, juz
2, 253; Muwatha Mlik, Kitb al-Hudd, Bb Jmi M Ja f Hadd al-Zin, no. hadits 1301, juz 2,
h. 235; Sunan al-Drim, Kitb al-Hudd, Bb F al-Mamlik Iz Zan Yuqmu Alaihim Sadatahum
al-Hadd Dna al-Sulthn, no. hadits 2223, h. 743-744.
63
QS. al-Nr (24) : 33.

dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka
sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa
yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
64

Diriwayatkan dari Abi Dzar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:



Dari Abi Dzar berkata: Rasulullah saw. bersabda: Saudaramu yang Allah telah menjadikannya
dibawah kekuasaanmu sebagai budak, maka siapa yang saudaranya dibawah kekuasaannya,
hendaklah memberinya makan sebagaimana apa yang ia makan; memberi pakaian sebagaimana
yang ia pakai dan jangan membebaninya dengan pekerjaan yang tidak ia sanggupi. Kalaupun ia
membebaninya, maka hendaklah ia membantunya. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Imn, Bb alMa shi Min Amri al-Jhiliyyat wa L Yakfur Shhibuha, no. hadits 20, juz 1, h. 33, Kitb al-Itq,
Bb Qawlu al-Nabiyu al-bid Ikhwnukum Faatimuhum Mimma Ta kulun, no. hadits 2545, juz 2,
h. 111; Shahh Muslim, Kitb al-Aimn, Bb Itm al-Mamlk Mimm Ya kulu wa Ilbsuhu Mimm
Yalbisu wa L Yukallifuhu, no. hadits 1661, h. 817; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Adab, Bb F Haqq
al-Mamlk, no. hadits 4490-4491, juz 3, h. 294; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Bir wa al-Shilah an

173

Di berbagai tempat di dalam al-Quran, juga ditemukan perlakuan khusus


terhadap budak.65 Rasulullah saw. mengangkat budak ke tempat yang tidak pernah
mereka bayangkan. Agama yang diajarkan Rasulullah saw.; memang agama
rahmatan li al-lamn. Jangankan berbuat semena-mena terhadap sesama manusia,
terhadap binatang pun tidak dibolehkan. Dalam satu riwayat menyebutkan bahwa
perempuan yang mengikat kucing, tidak memberinya makan dan tidak
melepaskannya mencari makan, diancam masuk neraka. Menyembelih binatang
tidak boleh dengan pisau yang tumpul, tapi dengan pisau yang tajam agar binatang
tidak menderita. Sewaktu Umar bin Khattab melihat seseorang menyeret kambing
dengan kasar untuk disembelih, ia menegur dengan kalimat celaka engkau, tariklah
binatang itu dengan lemah lembut dalam menghadapi mautnya.66
Ajaran menaruh kasih kepada binatang, kelihatannya dilaksanakan oleh
raja-raja Islam masa lampau. Di lembaga kepolisian yang ada masa itu terdapat
pegawai yang disebut muhtashib.

67

Di antara tugas yang dibebankan kepadanya

adalah mengurus kekejaman tuan terhadap binatang yang dimilikinya, seperti tidak
memberi makan kepada binatang piaraannya itu, atau memberinya beban yang
terlalu berat.

Raslillah, Bb M Ja f al-Ihsn Il al-Khadam, no. hadits 1868, juz 5, h. 31; Sunan Ibn Mjah,
Kitb al-Adab, Bb al-Ihsn Il al-Mamlik, no. hadits 3680, juz 3, h. 115; Musnad Ahmad bin
Hanbal, no. hadits 20440 dan 20461, juz 7, h. 83.
65
Lihat misalnya QS. al-Ahzb (33) : 52.

Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti
mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu, kecuali perempuanperempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan Allah maha mengawasi segala sesuatu.
66
Muhammad al-Gazli, Khulq al-Islm, (Kuwait: Dr al-Bayn, 1970), h. 362.
67
Sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution dan Bahtiar Effendy (Ed.), dari R. Levy,
The Sosial Strukture of Islam (Cambridge: 1962), h. 337. dalam Hak Asasi Manusia Dalam Islam,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Pustaka Firdaus, 1995), h. Viii.

174

Menurut keterangan yang diperoleh dari rekaman hadits sebagaimana


uraian di atas, berlaku baik terhadap budak adalah suatu kewajiban. Sehingga belum
bisa dikatakan seseorang sebagai mukmin yang baik sebelum dia mampu berlaku
baik terhadap budak. Perlakuan seseorang terhadap budak dapat juga dijadikan
sebagai alat ukur tentang kadar keimanan yang dimilikinya. Itulah sebabnya, dalam
banyak kesempatan ditemukan bahwa perintah dan anjuran berbuat baik kepada
budak sering kali dikaitkan dengan keimanan, kebaktian, ihsan, janji sorga dan lain
sebagainya.

2). Kewajiban-Kewajiban Budak


Adapun kewajiban-kewajiban budak yang diberikan Rasulullah saw. adalah
sebagai berikut:
a). Beriman Kepada Allah
Menjadi seorang Islam atau beriman bagi seorang budak, memiliki nilai
ganda yang dapat dirasakannya secara langsung. Dalam pandangan Allah, seorang
manusia tidak diukur berdasarkan status sosialnya tetapi berdasarkan kadar
keimanan yang dimiliki. Semakin tinggi nilai keimanan seseorang, merdeka atau
budak, akan semakin mulia menurut pandangan Allah. Dalam surah al-Baqarah
misalnya,68 Allah secara eksplisit menyebutkan bahwa seorang budak beriman lebih

68

QS. al-Baqarah (2) : 221:

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu.

175

baik daripada seorang musyrik, sekalipun orang musyrik tersebut menakjubkan dan
mulia menurut pandangan manusia kabanyakan.
Keimanan juga dapat mengantar seorang budak dengan cepat mendapatkan
kemerdekaan. Bagi seseorang yang membunuh muslim lainnya secara tidak sengaja,
dia harus membayar denda (kaffrat) berupa memerdekakan seorang budak yang
beriman.69 Begitu juga jika seseorang terlanjur men-zihar istrinya. Maka untuk
mencabut zihar tersebut, dia juga harus membayar denda yang alternatif pertamanya
adalah, memerdekakan budak.70 Hal sama juga berlaku bagi seseorang yang ingin
mencabut kembali sumpah yang telah dia ikrarkan. Bagi orang yang melanggar
sumpah tersebut diwajibkan membayar denda yang salah satu alternatifnya adalah
juga memerdekakan budak.71
Jadi salah satu tugas pokok seorang budak adalah memelihara diri dan
meningkatkan keimanan. Keimanan adalah salah satu kendaraan yang akan
membawanya keluar dari belenggu perbudakan. Dengan iman, seorang budak
69

QS. al-Nis (4) : 92,

... ...

dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan


seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya
70

QS. al-Mujdilah (58) : 3,

...

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur.
71
QS. al-Midah (5) : 89,

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak.

176

berkulit hitam sekalipun akan mendapat tempat yang tinggi di sisi Allah dan lebih
berhak mendampingi hambaNya yang shaleh dibandingkan dengan wanita cantik,
merdeka, tetapi musyrik. Dan dengan iman juga seorang budak akan menjadi
prioritas utama untuk dimerdekakan. Dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa
Rasulullah saw. menanyakan keberadaan Allah swt dan dirinya kepada salah
seorang dalam rangka menguji apakah ia seorang beriman atau tidak. Setelah budak
itu mengakui kerasulan beliau sebagai pertanda ia beriman, maka Rasulullah saw.
menganjurkan agar budak itu segera dibebaskan.72
Dalam hadits tersebut tampak dengan jelas bahwa faktor keimanan
seseorang akan membawanya kepada derajat yang lebih tinggi. Bagi budak yang
beriman, ia akan mudah keluar dari lembah perbudakan menuju puncak kebebasan
sebagaimana manusia merdeka lainnya.
b). Taat Kepada Tuan
Ketaatan budak kepada tuannya bukanlah ketaatan total sebagaimana aturan
sebelumnya. Seorang budak tidak dituntut lagi taat kepada tuannya seperti seekor

72

Selengkapnya lihat riwayat berikut:




Dari Muawiyah ibn al-Hakam al-Salm berkata: Ya Rasulullah aku telah memukul budakku dengan
satu pukulan, hal itu ditanggapi serius oleh Rasulullah saw. Maka aku pun berkata: Apa tidak aku
bebaskan saja? Jawab beliau: hadirkan ia kepadaku. Maka aku pun menghadirkannya. Lalu Nabi
berkata: dimana Allah?. Budak tersebut menjawab: Di langit. Nabi bertanya lagi: Lalu siapa aku?
Ia menjawab: Anda adalah utusan Allah. Nabi saw. bersabda: bebaskan ia, karena sesunguhnya ia
seorang mukmin. Lihat Shahh Muslim, Kitb al-Masjid wa Mawdi al-Shalh, Bb Tahrm alKalm f al-Shalt wa Nasakha M Kna min Ibhatih, no. hadits 537, h. 266-267; Sunan Ab
Dwud, Kitb al-Shalh, Bb Tastmiya al-Athsy f al-Shalh, no. hadits 795-796, juz 1, h. 232,
Kitb al-Aimn wa al-Nuzr, Bb F al-Ruqya al-Mu minah no. hadits 2856,juz 4, h. 278; Sunan
Nasi, Kitb al-Sahw, Bb al-Kalm f al-Shalh, no. hadits 1203, juz 2, h. 135; Musnad Ahmad, no.
hadits 15108, juz 5, h. 96; Sunan al-Drim, Kitb al-Shalh, Bb al-Nahy an al-Kalm f al-Shalh,
no. hadits 1464, h. 372.

177

binatang ternak patuh pada tuannya. Dia tidak lagi semata-mata dituntut untuk
bekerja. Menurut ajaran Rasulullah saw., budak tidak mesti pasrah jika ditelantarkan
tuannya, dijual seenaknya, dibuang, apalagi dianiaya tanpa perikemanusiaan.
Jadi, Rasulullah saw. telah memberi batasan-batasan tertentu hak-hak tuan
terhadap budak dan kewajiban-kewajiban budak terhadap tuannya. Kalau di zaman
jahiliyah atau di luar Islam, seorang budak benar-benar dimiliki oleh tuannya,
sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa di luar keinginan sang tuan. Dalam Islam,
memang ketaatan seorang budak tetap dituntut, tapi tidak secara mutlak seperti
keadaan sebelumnya. Rasulullah saw. telah memberi kepada seoarang budak berupa
hak suara, mengeluarkan usulan atau pendapat, bahkan hak untuk mengatakan
ketidak setujuannya.
Dalam kasus Ab Dzr73 misalnya, karena mendapatkan perlakuan yang
tidak sesuai dengan keinginannya, budak Ab Dzr mengadukan tuannya kepada
Nabi saw. Perbuatan budak yang tampak tidak patuh seperti ini tidak langsung
disalahkan oleh Rasulullah saw. Bahkan, tindakan itu dianggap sebagai salah satu
kritik membangun dan harus dipertimbangkan. Dengan menolak perlakuan itu, dan
melaporkannya kepada Nabi, akhirnya budak Ab Dzr tersebut (dan budak-budak
lainnya) mendapatkan perbaikan nasib dan kesejahteraan. Sejak saat itu seorang tuan
harus memperlakukan budaknya seperti saudaranya sendiri.
Lebih dari itu, budak bukan hanya diberi hak suara yang bersifat pasif,
kepadanya juga dibukakan peluang berbicara yang sifatnya aktif. Budak bukan
hanya dibolehkan mengusul dan mengatakan pendapat, melainkan juga dibolehkan
menegur dan menasehati tuannya jika sang tuan berbuat kesalahan dalam pandangan
agama.74 Dalam salah satu riwayat dikemukakan bahwa jika seorang budak

Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Itq, Bb al-Abd Ikhwnukum, hadits no. 2545.
Yang dimaksudkan tentu antara budak dan tuannya sama-sama seiman. Nasehat yang
diberikannya pun tidak sembarang dan cenderung subyaktif. Apa yang diusulkan kepada tuannya
73
74

178

menasehati tuannya dan beribadah dengan baik kepada Allah, maka dia akan
mendapatkan pahala dua kali lipat.75
Namun demikian, budak tidak dibenarkan menyangkal, membantah, dan
tidak menerima perintah tuannya jika masih dalam batas-batas kebenaran. Budak
mesti selalu berada pada posisi dasarnya, yaitu sebagai seorang yang berada dalam
kekuasaan sang tuan. Jika keinginan berbeda dengan yang dikehendaki tuannya,
sedang keduanya sama-sama dalam kebenaran, maka budak harus mendahulukan
kehendak tuannya. Namun jika tuannya berada di jalan yang salah sedangkan dia
benar, maka budak tersebut dibolehkan buka suara, bahkan boleh menasehati
tuannya.
Sudah seharusnya budak menjunjung tinggi perintah, garis kebijaksanaan,
serta amanat yang telah ditetapkan sang tuan bagi dirinya. Budak harus mengerjakan
dengan penuh rasa tanggung jawab atas tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Menurut ajaran Rasulullah saw., bukan hanya tuan yang akan mengevaluasi hasil
pekerjaan seorang budak terhadap amanah yang dibebankan kepadanya, tetapi Allah
juga akan meminta tanggung jawabnya. Rasulullah saw. mengingatkan bahwa budak
adalah pemimpin terhadap harta tuannya yang diamanahkan kepadanya, dan dia
akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepercayaan yang diberikan itu. Dalam
tidak hanya dalam konteks perbaikan nasibnya, melainkan harus dalam koridor kebenaran (amar
ma ruf nahy mungkar).
75
Riwayat Ibn Umar berikut menceritakan hal itu:



Dari Abdillah ibn Umar bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya jika seorang budak
menasehati tuannya dan beribadah kepada Allah dengan baik, maka ia mendapatkan pahala dua kali
lipat. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Itq, Bb al-Abd Iz Ahsana Ibdata Rabbahu wa Nasaha
Sayyidahu, no. hadits 2546, juz 2, h. 111; Shahh Muslim, Kitb al-Aimn, Bb Stawb al-Abd wa
Ajruhu Iz Nashaha Li Sayyidihi wa Ahsana Ibda Allah, no. hadits 1664, h. 818; Sunan Ab
Dwud, Kitb al-Adab, Bb M Ja f al-Mamlk Iz Nashaha, no. hadits 4501, juz 3, h. 2911;
Musnad Ahmad, no. hadits 5991, juz 3, h. 256; Muwatha Mlik, Kitb al-Jmi, Bb M Ja f alMamlk wa Hibatihi, no. hadits 1554, juz 2, h. 325.

179

salah satu riwayat Rasulullah saw. menegaskan bahwa kalian semua adalah
pemimpin dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya; Seorang
yang memimpin manusia ia adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas
kepemimpinanny;

Seorang

suami

adalah

pemimpin

keluarganya

dan

ia

bertanggungjawab atas kepemimpinanny; Seorang isteri adalah pemimpin dalam


rumah tangga dan anak-anaknya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya; dan
budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan iapun bertanggung jawab, semua
adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya.76
Jika direnungi secara mendalam, kewajiban taat bagi budak dalam Islam
adalah demi kebaikan kedua belah pihak. Budak harus ikhlas menerima keberadaan
dirinya sebagai orang yang dikuasai sampai terbukanya bagi mereka pintu-pintu
kemerdekaan. Dia harus merelakan dirinya untuk menuruti segala keinginan
tuannya, selama semua itu berada dalam batas lingkaran syariat Islam.

76

Selengkapnya lihat riwayat berikut:





Dari Abdillah ibn Umar bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Ketahuilah bahwa kalian semua
adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya; Seorang yang
memimpin manusia ia adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya; Seorang
suami adalah pemimpin keluarganya dan ia bertanggungjawab atas kelapemimpnannnya; Seorang
isteri adalah pemimpin dalam rumah tangga dan anak-anaknya dan ia bertanggungjawab atas
kepemimpinannya; dan budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan iapun bertanggung jawab,
semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Lihat
Shahh al-Bukhri, Kitb al-Ahkm, Bb Qawlu Allah Ta l wa Atu Allah wa Atu al-Rasl wa
Uli al-Amri, no. hadits 6605, juz 3, h. 231, Kitb al-Jumah, Bb al-Jumat f al-Qur wa al-Mudni,
no. hadits 844, juz 3, 187; Shahh Muslim, Kitb al-Imrah, Bb Fadhlat al-Imm al-Adl wa
Uqbat al-Jira wa al-Haststu Al al-Rafaq, no. hadits 1829, h. 911; Sunan Ab Dwud, Kitb alKharaj wa al-Imrah, Bb M Ja f Sahmi al-Shaf, no. hadits 2539, juz 4, 239; Sunan al-Tirmiz,
Kitb al-Jihd an Raslillah, Bb M Ja f Th at al-Imm, no. hadits 1628, juz 4, h. 234; Musnad
Ahmad, no. hadits 4266, juz 2, 203.

180

c). Memelihara Kehormatan


Rasulullah saw. memerintahkan kepada setiap mukmin laki-laki dan
perempuan untuk menahan pandangan dan memelihara kehormatan dirinya.
Rasulullah saw. melarang seorang tuan mempekerjakan budak perempuannya
sebagai penjaja seks. Diriwayatkan dari Muhammad ibn Juhdah bahwa ia pernah
mendengar Abu Hazim bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata bahwasanya
Rasulullah saw. melarang mempekerjakan (melacurkan) budak perempuan. 77
Dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga tuannya, seorang budak juga
harus menjaga kehormatan diri dan tuannya berkenaan dengan saat tertentu yang
terlarang baginya untuk masuk rumah (kamar) tanpa izin.78 Peraturan dalam sebuah
rumah tangga muslim seperti itu diturunkan, tentu mengarah pada pemeliharaan
77

Selengkapnya lihat riwayat berikut:

Dari Muhammad ibn Juhadah berkata: Aku pernah mendengar Abu Hazim bahwa ia mendengar Abu
Hurairah berkata bahwasanya Rasulullah saw. melarang mempekerjakan (melacurkan) budak
perempuan. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Ijrah, Bb Kasb al-Bag wa al-Im, no. hadits 2283,
juz 2, h. 52; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Buy , Bb F Kasb al-Im, no. hadits 3425-3427, juz 2, h.
273; Musnad Ahmad, no. hadits 7514, juz 3, h. 278; Sunan al-Drim, Kitb al-Buy, Bb F alNahy an Kasb al-Im, no hadits 2575, h. 857-858.
78
QS. al-Nr (24) : 58.

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah meminta izin kepada kamu budak (laki-laki dan
perempuan) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu pada tiga waktu
(dalam satu hari) yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaianmu di tengah hari,
dan sesudah shalat isya. Itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak pula bagi
mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani kamu, sebagian mereka ada keperluan terhadap
sebagian lainnya. demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu. Dan Allah maha
mengetahui lagi maha bijaksana.

181

kehormatan masing-masing, baik tuan maupun budak. Begitulah Islam, sampai


persoalan sekecil ini pun ada peraturan yang telah ditentukan oleh Tuhan. Sebab,
jika persoalan yang tampak sepele ini tidak diatur sedemikian rupa, akan menjadi
pangkal sebuah bencana dalam rumah tangga.
Pada surah yang sama (al-Nr [24] : 30-31), ditemukan adab hidup dalam
rangka menjaga kehormatan yang harus dipatuhi oleh setiap orang yang beriman
baik laki-laki maupun perempuan, merdeka atau budak.79 Hal itu akan jelas jika
diadakan penelusuran terhadap ayat-ayat lain dan kaedah pokok ajaran Islam. Dari
kajian yang mendalam terhadap hal itu, dapat dikatakan bahwa perintah menjaga
kehormatan ini juga dapat diarahkan kepada perempuan budak yang beriman.

79

QS. al-Nr (24) : 30-31,

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung

182

Selain itu, pada surah al-Nis (4): 25 dikatakan bahwa perempuan budak
yang beriman dapat dijadikan sebagai alternatif bagi seseorang yang sudah ada
hasrat untuk menikah dan memelihara kehormatannya, tetapi belum mampu
membiayai hidup keluarganya jika dengan seorang perempuan merdeka. Dalam ayat
itu juga disebutkan bahwa pilihan dijatuhkan kepada budak perempuan beriman
karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara kehormatan, bukan
pezina.80
Dijatuhkannya pilihan kepada perempuan budak itu adalah dalam rangka
menjaga kesucian diri laki-laki tadi. Saat itu, laki-laki tersebut telah didesak oleh
kebutuhan biologis. Dalam hal ini, perempuan budak adalah penyelamat kehormatan
laki-laki. Jika posisinya sebagai penyelamat kehormatan, maka dia juga harus
seorang perempuan terhormat. Dengan kehormatan yang dimilikinya, dia bisa
menjadi pendamping hidup laki-laki terhormat dari kalangan merdeka. Karenanya,

80

QS. al-Nis (4): 25,

Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budakbudak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka
menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan
mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.

183

dengan menjaga kehormatan dapat mengangkat derajat seorang budak pada posisi
yang seharusnya diisi oleh perempuan merdeka yang beriman.
Begitu pentingnya menjaga kehormatan, sedangkan perempuan dari segi
fisik adalah lemah, apalagi hidup sebagai budak yang banyak tergantung kepada
kebijakan tuannya, maka Rasulullah saw. menganjurkan peran serta sang tuan untuk
menjaga dan melindungi kehormatannya. Jadi, sebagaimana orang-orang merdeka,
budak juga diwajibkan menjaga kehormatan mereka. Nilai kehormatan seorang
budak tidaklah lebih rendah dibandingkan orang merdeka. Budak juga harus
menjaga kesucian dirinya. Dalam Islam, tuan bukan hanya dilarang melecehkan
kehormatan budaknya, tapi juga diperintah untuk ikut serta menjaga dan
membelanya.

2. Upaya Yuridis
Di antara upaya yuridis yang dilakukan Rasulullah saw. adalah sebagai
berikut:
a. Memberikan Motifasi
Rasulullah saw. sering menyatakan di hadapan sahabat tentang ganjaran
terhadap mereka yang membebaskan budak. Diriwayatkan dari Ab Hurairah ra.
bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memerdekakan
seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya
dari neraka, hingga kemaluannya.81 Pernyataan Rasulullah saw. itu adalah jaminan
81

Selengkapnya lihat riwayat berikut:



Dari Ab Hurairah ra. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa
memerdekakan seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya
dari neraka, hingga kemaluannya. Lihat Shahh al-Mukhr, Kitb al-Itq, Bb F al-Itq wa

184

eskatalogis atas mereka yang membebaskan budak. Rasulullah saw. sendiri telah
membebaskan budak sebanyak 63 orang, beliau menjelaskan umurnya dan
menyebutkan namanya masiang-masing. Tindakan tersebut kemudian diikuti oleh
para sahabat beliau. Ab Bkar memerdekakan budak lebih banyak lagi; al-Abbs
memerdekakan 70 orang budak laki-laki; Hkim bin Hizm memerdekakan 100
orang yang dikalungi perak; Abdullah bin Umar memerdekakan 1000 hamba; Dzul
Khalil Humari memerdekakan hamba dalam sehari sebanyak 8000 orang budak;
dan Abd Rahman bin Auf memerdekakan 30.000 hamba sahaya.82
Stimulus Rasulullah saw. tersebut dapat diartikan sebagai gerbang pahala
sekaligus ampunan bagi masyarakat muslim secara individu maupun kolektif yang
dikategorikan berdosa karena mengabaikan hak-hak para budak, dan hanya
menjejali mereka dengan kewajiban-kewajiban. Secara tidak langsung, stimulus di
atas adalah sebagai upaya pengembalian citra budak sebagai manusia yang
mempunyai hak-hak dan kewajiban yang sama dengan manusia merdeka lainnya.
Di bawah hukum, budak tetap memiliki kebebasan oleh bentuk
manumission, bila dikemudian hari terdapat kendala yang mengancam status
barunya. Mengantisipasi bentuk kendala ini adalah pada sikap, situasi dan kondisi
apa pun dalam makna yang terkandung pada ikrar si tuan. Bahwa perkataan ikrar
tuan, baik sengaja atau pun tidak, sungguh-sungguh atau pun main-main, terpaksa
atau kesadaran, sadar atau mabuk, adalah tetap melegitimasi kebebasan budak.83
Beberapa perintah Allah menyatakan bahwa memerdekakan budak adalah
merupakan usaha yang berat, kecuali orang-orang yang mengharap ridla Allah swt.
Fadhlihi, no. hadits 2517, juz 2, h. 106; Shahh Muslim, Kitb al-Itq, Bb Fadhl al-Itq, no. hadits
1509-1512, h. 734; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Nuzr wa al-Aimn an Raslillah, Bb M Ja f
Stawab Man Atqa Raqabatan, nomor hadits 1541, juz 2, h. 472. Musnad Ahmad, no. hadits 10382,
juz 5, h. 232.
82
Muhammad bin Ismal al-Sanni, Subl al-Salm Syarh Bulgh al-Marm, (Mesir :
Musthafa al-Bbi al-Halab wa Aulduh, 1960), juz ke 4, h. 427.
83
Wfi, al-Hurriyyt, h. 32.

185

semata,84 sebagai kebaktian kepadaNya. Memerdekakan budak dalam pandangan


Allah disejajarkan dengan dengan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.85

b. Bebas Karena Penganiayaan


Bila budak al-muktab merdeka dengan membayar; budak ummu al-wald
merdeka kalau tuannya meninggal dunia, maka kategori berikut adalah budak yang
merdeka akibat penganiayaan tuannya. Zdn menceritakan bahwa ia pernah
mendatangi Ibn Umar sedangkan ia telah membebaskan budaknya, sebab ia pernah

84

QS. al-Bald (90) : 12-13,

Tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan.
85
Selanjutnya lihat QS. al-Baqarah (2) : 177.

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
Itulah orang-orang yang bertakwa.

186

mendengar Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang menampar atau memukul


budaknya, maka kaffratnya adalah dengan membebaskannya.86
Rasulullah saw. menegaskan bahwa tamparan dan pukulan tuan kepada
budaknya menjadi sebab atas kemerdekaan dirinya. Dengan kata lain, menampar
pipi budak menjadi batas minimal untuk memerdekakannya. Ini berarti bahwa
Rasulullah saw. tidak saja mewajibkan tuan untuk memperlakukan budak dengan
baik, akan tetapi dalam pandangan beliau, mereka adalah manusia merdeka dan
mempunyai persamaan martabat dan kedudukan dalam kehidupan sosial
masyarakat. Karena itu, hak mereka dijunjung tinggi untuk menerima keadilan.
Maka penganiayaan bertentangan dengan prinsip-prinsip di atas. Tidak hanya
sebagai penzhaliman terhadap mereka, akan tetapi lebih berarti mengembalikan
kerendahan mereka pada kedudukan semula, sementara Rasulullah saw. telah
berusaha mengangkat harkat dan martabat mereka.
Namun bukan berarti pelanggaran budak tidak boleh ditolelir dengan tidak
memberikan pelajaran atas kesalahannya. Hanya saja pelajaran ini harus dilakukan
dalam batas-batas yang telah digariskan oleh syariat Islam. Penganiayaan
mempunyai arti melampaui batas-batas yang wajar untuk dilakukan. Dan menampar
pipi budak berarti telah melampaui batas kewajaran. Karenanya ia menjadi batas
minimal untuk memerdekakan budak. Sebab tamparan dapat membawa dampak
86

Hal demikian tergambar dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Ibn Umar

berikut ini:



Dari Zadan berkata: Aku pernah mendatangi Ibn Umar sedangkan ia telah membebaskan budaknya,
lalu ia mencabut sebatang kayu atau sesuatu dari tanah sambil berkata: Aku tidak punya ganjaran
yang setara dengan ini. Sebab aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang
menampar atau memukul budaknya, maka kaffaratnya adalah membebaskannya. Lihat Shahh
Muslim, Kitb al-Aimn, Bb Shuhbat al-Mamlik wa Kaffrat Man Lathama Abdahu, no. hadits
1657, h. 714-715; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Adab, Bb F Haqq al-Mamlk, nomor hadits 4500,
juz 3, 116; Musnad Ahmad, no. hadits 3553, juz 2, h. 73.

187

negatif yang serius secara fisik. Tamparan seorang tuan yang penuh dengan emosi
tanpa elakan apalagi perlawanan dari budaknya, akan mengakibatkan kondisi yang
parah, dalam arti kata melewati batas. Peristiwa pemukulan Amir dari Ghassan
terhadap seseorang dari bani Fazarah87 yang mengakibatkan tulang hidungnya retak
contoh historis mengapa standar minimal di atas diberlakukan.
Selain menjadi batas minimal, pukulan atau tamparan juga menjadi standar
minimal atas tindakan preventif terhadap potensi tindak lanjut atas emosi yang
berlebihan. Mengingat bahwa tamparan akan diiringi dengan tendangan dan
kekejaman fisik secara spontanitas tanpa kontrol.
Di masa awal kedatangan Rasulullah saw., penyiksaan oleh orang Arab
Jahiliah terhadap budak telah menjadi catatan hitam dalam sejarah. Bilal dan
keluarga Yasir adalah contoh kongkrit penyiksaan yang dapat berakibat kepada
kematian.88 Kekejaman ini besar kemungkinan masih akan terus terjadi pada masamasa selanjutnya jika seandainya Rasulullah saw. tidak mengambil langkah tegas
untuk mencegahnya.
Bagaimana pun, Rasulullah saw. telah berusaha mencegah kesewenangwenangan tuan terhadap budaknya, apalagi tanpa pertimbangan logis atas
kesalahannya.

Dalam

artian,

Rasulullah

saw.

mencoba

mengekang

dan

mengendalikan emosi para pemilik budak dengan tetap membuka peluang merdeka
bagi budak yang terkena pemukulan. Demikian gambaran singkat yang dapat
dipahami dari hadits yang dikemukakan di atas.

87

Wfi, al-Hurriyyt, h. 45.


Wfi, al-Hurriyyt, h. 46.

88

188

c. Bebas karena Sangsi (kaffrat)


Pelanggaran atas salah satu ketentuan syar i dikenai sanksi. Baik dalam
bentuk kafrat maupun diyat. Salah satu contoh populer adalah sanksi atas suami
isteri yang melakukan hubungan badan di siang hari pada bulan Ramadahan. Sangsi
atau kaffrat yang diberikan kepadanya adalah memerdekakan hamba sahaya. Ab
Hurairah mengisahkan bahwa salah seorang laki-laki datang kepada Rasulullah,
seraya berkata: Ya Rasulullah, celaka daku. Apa yang membuatmu celaka? Tanya
Rasulullah. Ia menjawab: Aku telah menggauli istriku di bulan Ramadhan. Lalu
Nabi bertanya, mampukah kamu memerdekakan budak? Tidak, jawab laki-laki itu.
Nabi berkata: mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut? Tidak, jawab
laki-laki itu, Nabi bertanya lagi: mampukah kamu memberi makan kepada 60 orang
miskin? Tidak, jawab laki-laki itu. duduklah, kata Nabi kepadanya. Laki-laki itu
duduk. Tidak lama kemudian Nabi datang membawa sekeranjang kurma matang,
dan diberikan kepadanya, seraya berkata: Sedekahkan kurma ini kepada orang
miskin di tempatmu. Laki-laki itu menjawab, Ya Rasulullah, tidak seorang yang
paling miskin, kecuali saya. Mendengar jawaban itu Nabi tertawa hingga kelihatan
giginya, seraya berkata: Ambillah dan sedekahkan untuk keluargamu.89
89

Selengkapnya lihat riwayat berikut ini:






Dari Abi Hurairah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah, seraya berkata: Ya
Rasulullah, celaka daku. Apa yang membuatmu celaka? Ia menjawab: Aku telah menggauli istriku di
bulan Ramadhan. Lalu Nabi bertanya, mampukah kamu memerdekakan budak? Tidak, jawab lakilaki itu. Nabi berkata: mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut? Tidak, jawab laki-laki
itu, Nabi bertanya lagi: mampukah kamu memberi makan kepada 60 orang miskin? Tidak, jawab
laki-laki itu. duduklah, kata Nabi kepadanya. Laki-laki itu duduk. Tidak lama kemudian Nabi datang

189

Penempatan pembebasan budak dalam urutan pertama atas sanksi


pelanggaran ketentuan puasa dalam hadits itu adalah pertanda keseriusan Rasulullah
saw. terhadap pembebasan budak. Sanksi atau kafrat tidak saja berkenaan dengan
pelanggaran ibadah formal, namun juga berkaitan dengan tindak pidana.90
Islam menegaskan dua bentuk kaffrat atas pelaku tindak pidana
pembunuhan. Yaitu memerdekakan budak dan membayar diyat (ganti rugi materi)
kepada keluarga korban. Jika yang disebut terakhir sebagai ganti atas kehilangan
keluarga dari masyarakat umumnya, maka yang pertama untuk masyarakat. Bila
pembunuhan berarti menghilangkan satu nyawa yang hidup, maka memerdekakan
budak berarti menghidupkan satu jiwa lainnya. Sebab, perbudakan telah
menganggap manusia sebagai mahluk hidup yang tidak berjiwa, ibarat benda yang
mati, paling tidak sudah setengah mati.91

membawa sekeranjang kurma matang, dan diberikan kepadanya, seraya berkata: Sedekahkan kurma
ini kepada orang miskin di tempatmu. Laki-laki itu menjawab, Ya Rasulullah, tidak seorang yang
paling miskin, kecuali saya. Mendengar jawaban itu Nabi tertawa hingga kelihatan giginya, seraya
berkata: Ambillah dan sedekahkan untuk keluargamu. Lihat Shahh al-Bukhr, Kitb al-Sham, Bab
Iz Jma f Ramadhn wa Lam Yakun Lah Syaiun, no hadits 193-194, juz 4, h. 193; Shahh
Muslim, Kitb al-Shiym, Bb Taglzh Tahrm al-Jim f Nahri Ramadhn al al-Shimi wa
Wujb al-Kaffrt, no. hadits 1110, h. 515; Sunan Ab Dwud, Kitb al-Sam, Bb Kaffrt Man
At Ahlahu f Ramadhn, no. hadits 2390, juz 2, h. 182; Sunan al-Tirmiz, Kitb al-Sam an
Raslillah, Bb M J a f Kaffrt al-Fithri f Ramadhn, no. hadits 724, juz 1, h. 515; Sunan Ibn
Mjah. Kitb al-Siym, Bb M J a f Kaffrt man Afthara Yauman min Ramadhn, no. hadits
1671, juz 1, h. 534; Musnad Ahmad Ibn Hanbal, no. hadits 6944, juz 11, h. 147; Muwaththa Mlik,
Kitb al-Shiym Bb Kaffrt man Afthara f Ramadhn, no. hadits 582-583, juz 1, h. 192; dan
Sunan al-Drim. Kitb al-Sham, Bb F Allaz Yaqa u al Imraatihi f Syahri Ramadhn Nahran,
no. hadits 1722, h. 508-509.
90
Hal tersebut ditegaskan dalam surat al-Nis (4) : 92:

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya.
91
Muhammad Quthub, Syubht, h.. 52.

190

Di zaman Rasulullah saw., peristiwa seperti itu pernah terjadi. Kasus itu
berkenaan dengan al-Harist bin Yazid dari suku Bani Amr bin Luai bersama Abu
Jahal menyiksa Iyasy bin Abi Rabiah. Ketika al-Harits hijrah bersama Nabi saw.
dan bertemu Iyasy di kampung al-Harrah, Iyasy seketika membunuhnya karenanya
disangkanya ia masih bermusuhan (kafir). Setelah Iyasy menceritakan ini kepada
Rasulullah, maka turunlah ayat ini.92
Pembebasan budak sebagai kaffrat juga terjadi atas pembunuhan dengan
sengaja terhadap kaum kafir yang sedang dalam perjanjian damai dengan kaum
muslimin.93 Selain itu, melanggar sumpah, juga kaffratnya memerdekakan budak.94
Keterangan lain yang dijumpai adalah orang yang men-zihar istrinya kemudian
bertaubat, maka kaffratnya, sebelum rujuk, adalah memerdekakan budak.95

92

Al-Suythi, Asbb, h. 148.


QS. al-Nis (4) : 92:

93

Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
94
Sebagaimana firman Allah pada surah al-Midah (5): 89 berikut ini:

Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak.
95
Sebagaimana firman Allah pada surah al-Mujdilah (58): 3 sebagai berikut:


Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur.

191

Zhihar adalah ucapan seorang suami yang menganggap istrinya sama


dengan ibu atau saudara perempuannya. Ucapan tersebut dikeluarkan dalam keadaan
marah yang serius.

Sementara bagi kalangan bangsa Arab Jahiliyah, zhihar

merupakan kebiasaan yang populer hingga masa awal Islam. Ini membawa efek
negatif bagi moralitas suku-suku Arab ketimbang tradisi-tradisi lainnya.
Kepopuleran ini menunjukkan bahwa zhihar telah menjadi tradisi yang tersebar di
kalangan bangsa Arab sebagai salah satu warisan di antara warisan negatif lainnya.
Dikatakan negatif karena motif adanya zhihar tersebut adalah adanya niat seorang
suami untuk menceraikan istrinya. Akan tetapi, Islam datang justru memanfaatkan
tradisi ini untuk membebaskan budak. Dengan begitu, volume pembebasan pun akan
sekerap pelanggaran zhihar itu sendiri. Di balik itu ada dua keuntungan yang dapat
diraih sekaligus, yaitu pembebasan budak dan penghapusan tradisi zihar sebagai
suatu perbuatan yang dilarang.
Dari beberapa macam bentuk kaffrat di atas, terlahir dari pelbagai
pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syariat Islam yang tidak hanya terhitung
berat, tapi juga cenderung umum terjadi pada masyarakat luas menjelang
kedatangan Rasulullah saw. Keadaan ini mengakibatkan Rasulullah saw. semakin
bersikap agresif dalam menghapus sistem perbudakan. Dampak dari kebijakan Islam
yang menjadikan pembebasan budak sebagai sangsi kejahatan ialah jika dalam suatu
wilayah kekuasaan Islam budak telah habis dimerdekakan akibat adanya sangsi
tindak pidana, sementara kejahatan pidana itu sendiri belum tentu berakhir, maka
wilayah pembebasan budak akan meluas. Seandainya, pembebasan budak melalui
bentuk sangsi ini diberlakukan dalam rentang perjalanan sejarah Islam, tidak
menutup kemungkinan dunia Islam akan mengimpor budak untuk dimerdekakan
sebagai sangsi terhadap tindak pidana. Sayangnya hal itu belum pernah terjadi.

192

3. Upaya Politik
a. Menukar Tawanan
Tawanan adalah bentuk kongkrit dari akibat peperangan. Selama
peperangan masih belum dapat dihentikan, dan masyarakat dunia belum menjadi
satu umat yang tak terpilah-pilah, maka tawanan tidak akan pernah habis. Ini berarti
potensi dan eksistensi perbudakan melalui jalur ini akan tetap lestari hingga masa
mendatang. Di samping bentuk-bentuk terdahulu, penanganan perbudakan tawanan
perang merupakan tantangan Islam yang harus ditawarkan kepada masyarakat dunia
yang bersengketa.
Ada dua etika yang menjadi acuan pintu pemecahan Rasulullah saw.
terhadap masalah ini yang dapat dijadikan perbandingan atau pemecahan relatif bagi
masyarakat dunia. Pertama, etika peperangan itu sendiri. Kedua, etika penyelesaian
tawanan sebagai bentuk atau metode Islam menghapus sistem perbudakan.
Peperangan di luar Islam hanya bertujuan untuk menyerang, membunuh,
memperbudak atas dasar keinginan suatu bangsa untuk mengalahkan bangsa lain
serta memperluas kekuasaannya, mengeksploir sumber-sumber kekayaan untuk
kepentingan mereka. Atau, untuk mencapai ambisi pribadi yang bergejolak dalam
hati seorang raja atau panglima. Atau, dengan maksud menuntut balas dan tujuan
meterialistis lainnya yang rendah, tanpa motif ingin membebaskan manusia dari
syirik, rendahnya jiwa, akhlak dan mental buruk. Peperangan mereka tidak dibatasi
oleh suatu norma, sehingga seringkali menjadi jalan pemuasan kehormatan dan
perkosaan anak-anak dan orang tua. Ini logis, sebab dasar peperangan di luar Islam
bukan untuk menegakkan keyakinan, ideologi atau tujuan-tujuan lain yang luhur.96

96

Sebagai ilustrasi, peperangan di luar Islam tercermin dari motivasi penyerangan tentara
Mongol ketika menghancurkan Bagdad di tahun 1258 M. Lihat Muhammad Quthub, Syubht, h. 63.
Bandingkan dengan Muhammad al-Khudhariy Beik, al-Muhdirat Trkh al-Umm al-Islmiyya alAbbsiyyah, (Kairo: al-Mathbaat al-Istiqmah, 1945), h. 442-443.

193

Islam menggugurkan semua itu. Segala peperangan dilarang kecuali


berdasarkan jihd f sablillah. Ahmad Syalab menyimpulkan bahwa peperangan
jihad itu hanya bersifat defensif bukan opensif, karena hanya sebagai proteksi
terhadap jalannya dakwah Islam. Ini terbukti, demikian Syalabiy, dari tidak
terdapatnya nash al-Quran dan al-Hadits yang menyatakan bahwa peperangan
dalam Islam bertujuan untuk intervensi. Sifat peperangan jihad bukan sebagai alat
menyebarkan Islam karena Islam tersebar melalui dakwah. Kenyataan sejarah
menunjukkan bahwa Islamnya al-Sbiqun al-Awwaln tersebar tanpa melalui
peperangan. Beberapa peperangan Rasulullah saw tidak banyak mengislamkan
musuh-musuhnya secara yakin, justru dengan perjanjian damai seperti perjanjian
Hudaibiyyah, dalam rentan waktu hanya dua tahun, jumlah mereka yang masuk
Islam lebih banyak ketimbang jumlah kaum muslimin sebelumnya.97 Jadi
peperangan dalam Islam berfungsi untuk membalas serangan dari luar atau untuk
menghancurkan kekuatan aniaya yang berusaha mengganggu dan memperdaya
keyakinan manusia dengan paksaan dan kekerasan. Juga untuk menyingkirkan
kekuatan yang berusaha menghalangi jalannya dakwah. Namun dalam menjalankan
perintah tersebut Allah swt. melarang melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.98

Selanjutnya baca Syalab, al-Mausah, h. 275-282.


QS. al-Baqarah (2): 190;

97
98


Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Beberapa riwayat juga menginformasikan bahwa Rasulullah saw sering kali mewasiatkan kepada
pasukan Islam yang akan membela agama Allah supaya mereka tidak melampaui batas seperti
membunuh anak-anak, merusak fasilitas umum dan lain-lain. Misalnya sabda Rasulullah saw sebagai
berikut:
.... ...
....majulah atas nama Allah, perangilah mereka yang menantang Allah, tapi jangan menghianati,
jangan merusak, dan jangan membunuh anak-anak. Selengkapnya lihat Shahh Muslim, kitb alJihd, no. hadits 3261.

194

Adapun etika terhadap tawanan perang, Rasulullah saw. memberikan


tauladan teknis penyelesaian tawanan dengan cara pertukaran, tebusan atau
pemberian jasa untuk kepentingan sosial maupun pembebasan tanpa syarat.
Pertukaran antara pasukan Muslim dan Romawi bisa dijadikan sebagai
contoh. Proses penebusan itu selesai dengan cara yang teratur dan menarik. Umat
Islam berdiri di tebing Timur Sungai Lamis, sedangkan orang-orang Romawi di
tebing sebelah Barat. Lamis adalah sebuah sungai kecil seperti sebuah tali air yang
kedua tebingnya dihubungkan dengan dua buah jembatan yang terdiri dari perahuperahu yang diatur. Ketika orang Romawi membebaskan orang muslim, maka umat
Islam pun membebaskan seorang Romawi yang setingkat dengan muslim dalam
pangkat, umur dan kesehatannya. Setelah tawanan Islam sampai kepada
kelompoknya, maka mereka ramai-ramai bersorak, Allahu Akbar. Demikian juga
tahanan Romawi, mereka bersorak. Sekiranya masih ada lagi tawanan-tawanan yang
tinggal dari dua belah pihak, maka ditebus pembebasannya dengan uang. 99
Teknik pertukaran dilaksanakan dengan teratur dan seimbang atas dasar
persamaan fisik dan kedudukan. Bagi Islam ini adalah keadilan dengan memberikan
hak kepada tawanannya yang ingin kembali kepada pasukannya. Dalam hal ini,
Islam telah menyelamatkan kebebasan para pasukannya dari penawanan musuh
yang akan mengekang baik fisik maupun mental mereka.
Dari para tawanan yang jatuh ke tangan kaum muslim, ada juga yang tidak
ingin kembali kepada pasukannya.100 Hal ini disebabkan oleh perlakuan hormat
orang muslim kepada mereka. Mereka tidak akan menderita penghinaan dan

99

Lamis atau Lamas Sauw terletak di daerah Galicia atau dekat Tarsus. Lihat Syalabiy,
Timbangan, h. 310; Jurji Zaidn, Trkh al-Tamaddun al-Islm, juz iv, (Cairo: Dr al-Hill, t.th.), h
216.
100
Syalab, Timbangan, h. 238.

195

penganiayaan.101 Di depan mereka terbuka kebebasan bila sewaktu-waktu mereka


siap dan mampu memikul tanggung jawabnya.

b. Menebus Tawanan
Pembebasan budak di atas bersifat eksteren. Bahwa seorang budak tidak
dapat membebaskan dirinya kecuali orang lain yang membebaskannya. Selain
bersifat eksteren, dikenal pula pembebasan secara interen, yaitu dengan menebus
tawanan.
Menerima pambayaran materi sebagai tebusan tawanan perang kaum
muslimin adalah bentuk alternatif lain dari pertukaran tawanan dan pemberian jasa
tawanan terhadap kaum muslimin yang juga masuk kategori tebusan.102 Metode ini
merupakan rangkaian etika penyelesaian perang.
Ketika perang Badar usai, Rasulullah saw. memberi jalan pembebasan yang
salah satunya dengan tebusan uang antara 1000-4000 dirham.103 Suhail bin Amr
ditebus oleh Mikraz bin Hafiz dan Abu Ash bin Rabi, suami Zainab binti
Muhammad saw., ditebus oleh istrinya dengan sebentuk kalung pemberian
Khadijah. Tidak berapa lama kemudian, Abu Ash masuk Islam.104 Rasulullah saw.
juga menerima pembayaran penduduk Najran untuk membebaskan tawanan dari
pihak mereka.105
Di atas telah disinggung bahwa penebusan juga merupakan jalan keluar
apabila masih terdapat sisa tawanan perang setelah pertukaran dilakukan. Melepas

101

Muhammad Quthub, Syubht, h. 68.


Lihat Taufiq Ali Wahbah, al-Jihd f al-Islm, terjemahan Abu Ridha, Jihad dalam
Islam, (Jakarta: Media Dakwah, 1985), h. 169.
103
Lihat Haekal, Hayt, h. 270. juga Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral
Menurut Imam al-Gazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 408.
104
Haekal, Hayt, h. 275-276.
105
Muhammad Quthub, Syubht, h. 68.
102

196

tawanan dengan tebusan telah menjadi keputusan dalam suatu musyawarah tertutup
antara Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar terhadap para tawanan perang
Badar,106 meskipun keputusan ini ditegur oleh Allah swt.107
Ayat di atas sebenarnya adalah dekrit implisit penghapusan perbudakan.
bagaimanapun, larangan untuk menawan musuh yang kalah adalah larangan untuk
membuka perbudakan melalui jalur peperangan. Sekalipun kebijakan Rasulullah
saw. dan para sahabatnya untuk mengambil tebusan ditegur Tuhan, tetapi menarik
untuk dikemukakan bahwa kenapa menebus pasukan muslim yang tertawan tidak
dilarang? Ini menunjukkkan keagungan ajaran Rasulullah saw. yang tidak
mementingkan kehidupan dunia ketimbang terjebaknya seseorang ke dalam sistem
perbudakan.

c. Membebaskan Tawanan
1). Bebas atas Tanggungan Negara
Pembebasan dengan tanggungan negara adalah metode tersendiri dalam
upaya penghapusan perbudakan secara kontitusional dalam sejarah dan hukum
Islam. Biaya tanggungan ini sebagian diambil dari dana zakat, infak, shadaqat yang
berhasil direkrut oleh sistem lembaga108 keuangan negara yang disebut Bait al-Ml.
Dari berbagai sumber zakat yang wajib sampai kepada infaq dan shadaqah yang
106

Haekal, Hayt, 271-274.


Sebagaimana yang terdapat pada surah al-Anfl (8): 67 berikut ini:

107

Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di
muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
108
Lembaga adalah suatu badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha. Lihat Tim Penyusun, Kamus, h.580.

197

sunnah, menjadikan devisa negara melimpah ruah pada lembaga ini. Tak heran bila
peran Bait al-Ml dalam masyarakat Islam begitu besarnya.
Para buruh dijamin kebutuhan sandang-pangannya, perkawinan dan
transportasinya. Demikian juga orang-orang yang sakit, lumpuh, buta, terlantar,
dipenjara, anak yatim-piatu dan rumah sakit-rumah sakit dengan segala
perlengkapan dan psycho-terapinya.
Seperti ashnaf-ashnaf yang lain, pembiayaan pembebasan budak juga
masuk dalam kalkulasi pendanaan Bait al-Ml sebagai kewajiban atas perintah Allah
swt. yang telah digariskan dalam ketentuan pendistribusian zakat, infak dan
shadaqah. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.109
Delapan ashnaf yang berhak atas zakat. Seperdelapan adalah dana
pembiayaan untuk memerdekakan budak. Bait al-Ml wajib membiayai pembebasan
budak atau mereka yang terlibat dalam proses muktabah.
Di masa Khalifah Umar bin Abd. Aziz pernah terjadi peristiwa pembebasan
budak secara besar-besaran di Afrika. Ketika Yahya bin Said diperintahkan untuk
mengumpulkan zakat, ia tidak menemukan kemiskinan pun di sana karena
kemakmuran pemerintahan Umar. Kemudian dana itu dibelikan sejumlah budak
109

QS. al-Tawbah (9): 60:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

198

untuk dibebaskan.110 Ini menunjukkan, bahwa dana seperdelapan untuk biaya


pembebasan budak tidaklah mutlak. Dana itu dapat ditambahkan dari jumlah
seperdelapan lainnya bila ternyata dipandang sebagai suatu kebaikan.
Di samping Bait al-Ml terdapat lembaga Waqaf atau Zabadi, yaitu
lembaga yang berfungsi menutupi kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh anakanak budak, sehingga mereka terhindar dari hukum dan hukuman badan yang
mungkin dilakukan oleh tuan dan orang tua mereka. Spesialisasi fungsi operasional
ini menunjukkan keseriusan dan sekaligus keterlibatan negara dalam upaya
menghapuskan perbudakan secara konstitusional. Zabadi bersama-sama Bait al-Ml
telah membebaskan budak secara besar-besaran dengan pengayoman, perlindungan
dan pertolongan materi kepada mereka dan generasi mereka.

2). Bebas Via Jalur Nasab


Yang dimaksud dengan jalur nasab adalah nasab ayah, yaitu tuan yang
menggauli budak perempuannya. Hasil hubungan mereka melahirkan seorang anak.
Anak yang lahir dari hubungan keduanya langsung merdeka, sama dengan ayahnya;
meskipun status ibunya tetap sebagai budak (ummu al-walad).
Sebelum kedatangan Islam, hasil hubungan budak perempuan dengan
tuannya, dipandang sama; baik ibu maupun anaknya, sama-sama berstatus budak.
Jadi nasab anak bukan kepada ayahnya, namun tetap kepada ibunya. Setelah Islam
datang, status anak disandarkan kepada ayahnya. Karena itu, meskipun ibunya
budak, akan tetapi anaknya merdeka. Ibunya dapat merdeka setelah si ayah
(tuannya) meninggal dunia. Dengan demikian, ada dua sebab pembebasan

110

Wfi, al-Hurriyyt, h. 41; Ulwan, Jawaban Tuntas, h. 55.

199

perbudakan. Pertama, adanya hasil hubungan dengan budak perempuan dengan


tuan,111 dan wafatnya ayah atau tuannya, jika selama itu ia belum dibebaskan.112
Upaya Rasulullah saw. di atas adalah berbeda dengan aturan agama
sebelumnya seperti Nashrani. Dalam agama Nasrani, anak yang lahir dari hasil
hubungan gelap dengan budak-budak tetap statusnya sebagai budak. Bahkan mereka
dan keturunan-keturunannya dapat diperjualbelikan oleh si ayah atau anaknya yang
sah.113 Inilah kegagalan Agama Nashrani dalam memahami semangat ajaran-ajaran
Nabinya tentang persamaan manusia dalam pandangan Tuhan.
Konteks sosial ketika itu menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah
memberikan perlakuan yang manusiawi sebagai penghargaan terhadap martabat
seorang perempuan.114 Dengan adanya hak penuh tuan kepada budak perempuannya
dan kepatuhan budak hanya kepada tuannya, maka telah menutup peluang bagi
lainnya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap eksistensi budak. Karenanya,
tuan lebih bertanggung jawab penuh atas harkat dan martabat budak perempuannya.
Sebaliknya, si budak akan lebih terlindungi oleh kehormatan dan kedudukan
tuannya. Maka, hak tuan untuk sewenang-wenang melacurkannya telah dilarang
oleh Rasulullah saw., bahkan ia harus diperlakukan dengan baik.115

111

Fachruddin, Islam Berbicara, h. 78.


Amir Ali, The Spirit, h. 263.
113
Amir Ali, The Spirit, h. 161-162.
114
Keadaan Arab Jahiliyyah tentang rendahnya citra perempuan diabadikan oleh al-Quran
antara lain dalam Surah al-Nahl (16) : 58-59;
112

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah
(merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak,
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah,
Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
115
Menurut al-Suyuthi, Rasulullah saw. pernah menegur Abdullah bin Ubay yang telah
menyuruh kedua jariatnya, Masikat dan Aminah, untuk melacur, yang kemudian hasilnya akan dibagi

200

Di samping pertimbangan psikologis, secara geneologis keturunan antara


keduanya menjadi lebih bersih dan murni, bebas dari intervensi gen-gen lainnya.
Tidak hanya sebatas itu, bapak si anak akan dituntut lebih bertanggung jawab
terhadap status dan kehidupan anaknya baik di mata sosial, lebih-lebih di mata
Tuhan116.
Budak perempuan dan anaknya itu tidak boleh dijual, dihadiahkan atau
digadaikan, tetapi harus dibebaskan bila tuannya meninggal, jika selama itu belum
dibebaskan. Ini tidak seperti di zaman Arab Jahiliah. Jika budak melahirkan anak
dari tuannya, maka ia juga menjadi budak bagi bapaknya. Ia dibebaskan bila si
bapak mengakuinya sebagai anak yang sah. Antarat al-Absi bin Syaddad, seorang
penyair dan perwira Jahiliah, adalah anak budak perempuan dan budak dari
bapaknya sendiri, ia tidak mau berperang ketika suku kaum Abs diserang, dengan
alasan bahwa ia sebagai budak hanya dapat mengembala dan memerah susu
kambing. Lalu bapaknya memerdekakannya sebelum ikut berjuang.117
Jadi, keturunan sebagai suatu fase dalam proses biologis telah terbukti
mempunyai peran aktif dalam memutuskan mata rantai perbudakan yang berpangkal
misterius itu. Adapun pengabsahan Islam untuk menikahi budak perempuan oleh
tuannya, pada hakekatnya adalah kapak bermata tajam yang akan memutuskan mata
rantai perbudakan sehingga tidak lagi berkelanjutan. Ini adalah niat luhur Islam
dua. Mereka tidak menerima karena zina diharamkan, lalu dilaporkan kepada Rasulullah saw., maka
turunlah QS. al-Nur (24) : 33;

.... ...

...dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka
sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi....
116
Menurut Fachruddin, izin menggauli sahaya sebenarnya adalah suatu upaya
pembentukan manusia masyarakat, sedang manusia keluarga dibentuk melalui perkawinan yang
formal. Adapun anak yang lahir tetap mendapat hak yang sama dengan yang lainnya. Ini sebagai
upaya perlindungan terhadap hamba sahaya guna perkembangan masyarakat Islam. Selanjutnya Lihat
Fachruddin, Islam Bicara, h. 80.
117
Teknis pemerdekaan seperti ini adalah dengan pengakuan Syaddad terhadap Antarat
sebagai anaknya yang sah. Lihat Syalab, Perbandingan, h. 242.

201

untuk membebaskan budak dan keturunannya dari perbudakan. Hikmah yang lahir
kemudian adalah pemerdekaan bebarapa budak dalam waktu yang singkat. Di sisi
lain, timbul perlindungan atas kesucian dan keamanan budak perempuan dan
keturunannya. Kembalilah harakat dan martabat kemanusiaannya di tengah-tengah
masyarakat.

3). Bebas Karena Jasa


Nabi Muhammad saw. telah membebaskan tawanan perang Badar tanpa
tebusan materi bagi yang dapat mengajari sepuluh anak-anak orang Islam membaca
dan menulis, atau memberikan jasa lainnya yang berguna bagi anak-anak umat
Islam.118
Kebijaksanaan ini mempunyai nilai dalam mempertinggi kecerdasan dan
kebudayaan generasi muslim yang kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin di masa
mendatang. Contohnya adalah Zaid bin Tsabit yang kemudian menjadi ketua dan
penulis Al-Quran.119 Ini pun berarti, bahwa Rasulullah saw. memperhatikan ilmu
pengetahuan dan pembasmian buta huruf sebagai refleksi dari ayat pertama dalam
Al-Quran, Iqra, perintah membaca.120 Di sisi lain ada kesan bahwa dengan
membebaskan bersyarat ini Nabi Muhammad saw. ingin mengenalkan kehidupan
sosial Islam kepada para tawanan Quraish yang memusuhi Islam. Proses belajar
menulis dan membaca adalah relatif lama. Dalam tenggang waktu itulah para
tawanan berkesempatan untuk berinteraksi sosial langsung maupun tidak langsung
ke dalam kehidupan masyarakat Islam yang ketika itu baru dan sedang terbentuk.
Terbukti, bahwa dengan perlakuan Islam terhadap mereka, menjadikan mereka
simpati terhadap Islam dan kaum muslimin.
118

Muhammad Quthub, Syubht, h. 51.


Lihat Fachruddin, Islam Bicara, h. 77.
120
QS. al-Alaq (96) : 1;
119

202

Implikasi atas pembebasan model ini adalah terbebasnya orang merdeka


dari belenggu buta huruf dan keterkekangan di satu sisi, dan disisi lain melahirkan
generasi yang akan menjadi pemimpin umat Islam di masa mendatang. Sedang
kelangsungan Islam lebih tergantung kepada jati diri para generasinya.
Pada dasarnya pembebasan budak tawanan perang melalui pertukaran,
tebusan, pemberian jasa atau membebaskan tanpa syarat adalah berdasarkan firman
Allah swt. pada surah Muhammad (47): 4. Allah menegaskan bahwa apabila kamu
bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher
mereka, sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka
dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai
perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan
membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan
sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, karena Allah
tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.121
Ayat tersebut tidak menyinggung tentang memperbudak tawanan, itu
berarti bahwa perbudakan bukan sebagai hukum yang kekal bagi ummat manusia.
Justru pembebasannya yang ditekankan tanpa tebusan baik dengan sukarela,
pertukaran atau pemberian jasa, maupun dengan tebusan materi. Inilah yang
seharusnya diterapkan Islam dalam memperlakukan tawanan di masa mendatang.
121

Redaksi ayat tersebut adalah:

Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher
mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu
kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah
apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji
sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah,
Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.

203

Lebih dari itu, penafsiran mutakhir telah menyimpulkan bahwa ayat ini
sudah merupakan kunci penutup terhadap pintu perbudakan. Perintah melepas
tawanan perang dengan atau tanpa syarat merupakan indikasi telah berakhirnya
perbudakan. Sebab peperangan adalah satu-satunya pintu perbudakan yang masih
memungkinkan.

c. Membebaskan Tawanan Tanpa Syarat


Jika ketiga poin sebelumnya memperoleh proyeksi dari bentuk pembebasan
bersyarat, maka pembebasan tanpa syarat merupakan satu bentuk khusus dalam
memperlakukan para tawanan perang.
Mengampuni atau membebaskan tawanan tanpa syarat dapat dilakukan
apabila bermanfaat untuk kepentingan umum, atau tawanan tersebut tidak memiliki
harta apa pun untuk menebusnya, terutama selama ia tidak membahayakan orang
muslim dan perkembangan Islam.
Dalam suatu riwayat yang disampaikan Rasulullah saw., bahwa ia pernah
menahan Tsumamah, seorang saudagar gandum di Yamah. Setelah sehari ditahan, ia
dibebaskan tanpa syarat dan kembali ke negerinya. Tak berapa jauh dari Madinah, ia
mandi dan kembali ke Madinah untuk masuk Islam karena jiwanya terkesan
terhadap perlakuan Rasulullah saw. Ketika ia mengembargo Makkah dengan
produksi gandumnya, Rasulullah saw. memerintahkan Tsumamah agar mencabut
embargo ekonomi tersebut atas permintaan penduduk Makkah.122
Ada pertimbangan umum dalam kasus Tsumamah ini. Secara ekonomis
kemaslahatan perdagangan umat manusia tetap terjamin, khususnya bagi penduduk
Makkah. Mambunuh Tsumamah hanya akan mengganggu sistem perekonomian
122

Lihat Taufiq Ali Wahbah, al-Jihd f al-Islm, terj, Abu Ridha, Jihad dalam Islam,
(Jakarta: Media Dakwah, 1985), h. 169.

204

yang telah mapan berjalan. Apalagi gandum sebagai bahan makanan pokok
kebanyakan bangsa Arab. Sedangkan merampas hartanya berarti telah menanamkan
kebencian dalam diri orang yang berpotensi menjadi pembela Islam itu.
Dengan

mempertimbangkan kemaslahatan umum, ia dibebaskan tanpa

syarat. Pertimbangan inilah di antara sebab simpatik Tsumamah untuk masuk Islam
dan teguh membelanya. Larangan untuk balas dendam dengan embargo gandum,
adalah poin berharga untuk bertambahnya rasa simpatik. Namun, tidak berarti hanya
kepada yang kaya Islam berperilaku demikian. Mereka yang tak berharta pun tetap
dapat diperlakukan sama.
Adalah Abu Azza Amr bin Abdullah bin Umair al-Jumahi, seorang
penyair yang tertawan dalam perang Badar. Ia satu-satunya orang yang dibebaskan
atas permintaan dan janjinya untuk tidak memerangi dan mencaci Islam dengan
syairnya. Walau kemudian janjinya dilanggar dengan ikut berperang di Uhud. Ia
tertawan dan dibunuh.123 Sementara yang tidak memiliki apa-apa dibebaskan dengan
kemurahan hati Rasulullah saw.124 Dengan demikian, tidak ada tawanan yang tersisa
karena dengan alasan apa pun mereka dibebaskan selama tidak membahayakan.125
Etika seorang pemimpin yang adil akan tetap menghargai orang yang
dikalahkannya dan milik pribadi mereka, berarti si pemimpin menghargai hak
miliknya sendiri. Setelah musuh meletakkan senjata dan menyerahkan diri, sudah
tidak dianggap lagi sebagai musuh. Mereka telah menjadi manusia biasa dan si
pemenang tidak lagi mempunyai hak atas nyawa mereka (musuhnya). Perang tidak
memberikan suatu hak untuk melakukan tindakan di luar sasaran pokoknya.126
Surat al-Anfl (8): 67, Allah swt. menjelaskan bahwa tidak patut, bagi
seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di
123

Haikal, Hayt, h. 273.


Haikal, Hayt , h. 276.
125
Haikal, Hayt,, h. 269.
126
Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial, terj. Sumardjo, (Jakarta: Erlangga, 1986), h. 12.

124

205

muka bumi, karena kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah
menghendaki pahala akhirat.127 Keterangan ini menegaskan bahwa Rasulullah saw.
dilarang untuk menawan. Dalam pengertian, bahwa penawanan itu tidak sampai
kepada memperbudak karena telah terbukanya jalan untuk membebaskan dengan
atau tanpa tebusan. Jadi, solusi Islam terhadap para tawanan perang adalah
pembebasan dengan tebusan berupa pertukaran, tebusan materi atau pemberian jasa
maupun tanpa tebusan apa pun sebagai ampunan. Itulah sebabnya, tidak terdapat
desposisi dari hadits-hadits Rasulullah saw. yang merekomendasikan keabadian
tawanan, apalagi sampai memperbudak tawanan.

C. Perbudakan Masa Kini: Sebuah Implikasi


Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana mereka terbelenggu.
Paradoks ini sesuai dengan kondisi kekinian sebagaimana di abad ke delapan belas
atau abad-abad sebelumnya, walaupun dalam tataran yang agak kontradiktif. Itu
berarti, perbudakan yang dipraktekkan manusia masa lalu tetap memiliki implikasi
sampai saat ini.
Dalam beberapa hal, kondisi dewasa ini merupakan suatu kemajuan dari
pada yang berlaku tiga abad yang lampau. Akan tetapi dalam beberapa hal pula,
segalanya semakin memburuk. Totaliterianisme dan despotisme saat ini telah
berakar kuat di beberapa bagian dunia melebihi yang pernah terjadi di masa lampau
127

QS. al-Anfl (8): 67,

Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di
muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

206

dan ancaman-ancaman terhadap kebebasan dan martabat manusia justru muncul dari
masyarakat modern.
Memang benar bahwa secara resmi perbudakan di Eropa telah dihapus oleh
Revolusi Perancis, di Amerika dengan dekrit Abraham Lincoln, dan di dunia dengan
kesepakatan bangsa-bangsa. Tetapi, apakah sejak itu tidak ada lagi praktek
perbudakan? Atau perbuatan yang bentuknya lain tapi substansinya tidak berbeda
dengan perbudakan di zaman klasik? Ini pertanyaan mendasar yang mesti dijawab
dengan penuh kejujuran.
Banyak terdengar kisah yang memilukan tentang perbudakan di zaman
romawi kuno, tapi cerita yang sama juga masih didendangkan oleh manusia abad ini.
Para tawanan perang atau agresi militer ditanam setengah badan ke tanah tanpa
diberi makan dan minum, wanita-wanita diperkosa, perut-perut hamil dirobek hanya
untuk sebuah permainan tebakan apakah anak yang ada di dalamnya laki-laki atau
wanita. Barat yang katanya paling beradab di abad ini bertindak sewenang-wenang
terhadap umat Islam yang ada di Afganistan, Palestina, Bosnia dan lain-lainnya.
Jutaan umat Islam dibantai, ratusan wanita diperkosa dan dipaksa melahirkan anak
haram mereka, wanita hamil dibedah perutnya dengan kejam tanpa alasan, sumbersumber kehidupan mereka ditutup, tempat tinggal mereka diratakan dengan tanah,
mereka dipaksa melakukan pekerjaan berat dan sebagainya. Ini semua adalah
perbudakan, yang bahkan lebih telanjang dan kasar.
Berkaitan dengan itu, Mahmud Syalthut mengemukakan dalam bukunya alIslm: Aqdah wa Syarah128

bahwa perbudakan bentuk lama itu digantikan

tempatnya oleh perbudakan masa kini yang lebih berbahaya terhadap kemanusiaan,
yakni perbudakan terhadap bangsa-bangsa dalam pikiran-pikiran mereka, harta
mereka, kekuasaan, dan kemerdekaan negara mereka. Dahulu, perbudakan
Lihat Mahmud Syalthut, al-Islm: Aqdah wa Syarah, (Kairo: Dr al-Qalm, 1966), h.

128

377.

207

menyangkut pribadi-pribadi yang berakhir dengan kematian, sedangkan negara


mereka tetap merdeka dan memiliki kedaulatan sebagaimana orang-orang merdeka
yang lain. Adapun perbudakan yang menyangkut umat dan bangsa-bangsa, maka
siapapun yang lahir di sana, tetap merintih di bawah perbudakan sebagaimana
keadaan orang tua mereka. Perbudakan masa kini yang dalam bentuk penjajahan itu,
(dapat) merupakan perbudakan abadi dan menyeluruh yang dipaksakan oleh suatu
agresi yang bersifat aniaya. maka wajar kalau perbudakan seperti itu diberantas,
bukan hanya melalui penyisihan sebagian harta zakat, tetapi juga dengan segala
macam harta, bahkan jiwa.
Dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab, penjajahan bukan satusatunya bentuk perbudakan masa kini. Perbudakan dapat terjadi secara individu,
bahkan boleh jadi yang bersangkutan adalah orang-orang terpelajar.129 Manusia
abad ini memang tidak diperbudak seperti masa lampau, tetapi sadar atau tidak
sebagian mereka tidak menikmati kemerdekaannya sebagai manusia. Atau, dengan
kata lain, mereka masih saja terbelenggu lehernya sehingga tidak dapat melakukan
hal yang seharusnya dilakukannya. Sementara orang terpelajar ada yang terpaksa
menyediakan diri dan pengetahuannya untuk tujuan yang bertentangan dengan nilai
kemanusiaan. Mereka seakan-akan diperdagangkan sebagai budak di tengah
derasnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagian mereka mungkin
sadar dan ingin bebas, tapi keterikatannya pada kontrak yang harus menyediakan
dana sebagai ganti rugi terhadap majikan, tidak dapat mereka penuhi. Nah, disini
mereka memerlukan uluran tangan untuk membebaskan mereka dari krisis yang
membelenggu diri dan kemerdekaannya. Mereka yang terbelenggu itu, substansi
keberadaan mereka tidak ubahnya seperti raqabah, sehingga upaya pembebasan

Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir Atas Surat-Surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 814.
129

208

mereka merupakan salah satu bentuk al-aqabah, atau jalan mendaki yang
membutuhkan perjuangan.
Senada dengan pendapat di atas, Ali Shariati, seorang sosiolog muslim
syiah yang gigih menentang Syah Iran, mengatakan, saya menyaksikan jenis
perbudakan lain yang sedang dipraktekkan di pusat-pusat intelektual Eropa,
Cambridge dan Sorbonne. Budak-budak yang diperdagangkan di sana bukannya
manusia-manusia primitif dari rimba raya Afrika, akan tetapi adalah kaum
intelektual yang pintar di muka bumi. Mereka diletakkan dalam suatu pelelangan
untuk suatu harga yang tinggi. Sebenarnya mereka sendirilah yang menawarkan diri
untuk dilelang di hadapan barisan kapitalis, agen-agen korporasi, dan perusahaanperusahaan raksasa dari Amerika Serikat, Eropa, Cina, Rusia dan bagian lain di
dunia industrial. Seseorang mengatakan bahwa dia sanggup membayar sarjana yang
baru lulus, calon doktor, ahli kimia, insinyur, atau sosiolog dengan 15.000 toman
perbulan. Calon tuan lain mengatakan bahwa dia sanggup menyediakan kendaraan
pribadi. Sedangkan yang lainnya menjanjikan sejumlah uang di atas itu, kendaraan
dan sopir pribadi. Budak modern yang dijadikan sasaran tawar-menawar akan
melihat calon tuannya terlebih dahulu, termangu-mangu sebentar, dan kemudian
akan mengikuti tuannya yang memberikan bayaran tertinggi.130
Dalam komentarnya, Abdullah Yusuf Ali juga mengatakan bahwa
perbudakan itu bukan hanya seperti yang terlihat pada zaman dahulu. Pada masa
sekarang terdapat berbagai macam jenis perbudakan (slavery), seperti perbudakan
politik, industri dan sosial.131 Dengan ungkapan berbeda, Muhammad Quthub
mengakui bahwa perbudakan belum berakhir, tapi hanya berganti nama saja. Jika
masa lalu manusia masih jujur berbahasa, dengan mengatakan bahwa realitas
130

Ali Syariati, Man and Islam, terjemahan M. Amin Rais dengan judul Tugas
Cedekiawan Muslim, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 96-97.
131
Abdullah Yusuf Ali, The Glorius Kur an Translation and Commentary, (Beirt: Dr alFikr, t.th.), h. 1739.

209

perbudakan itu sebagai perbudakan, maka manusia sekarang lebih mampu


mengemas realitas menjijikkan itu dengan bahasa yang indah, halus dan
bersahabat.132
Secara jujur diakui bahwa selain yang disebutkan di atas, masih banyak
realitas perbudakan di era kontemporer ini dan itu dilakukan oleh orang-orang yang
menyatakan perang terhadap perbudakan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Perang masih terjadi dan tawanan masih diperlakukan sebagai budak. Rusia
memperlakukan tawanannya, tentara Jepang dengan kasar dan mereka dikirim ke
Siberia. Tawanan perang dunia ke-2 mendapat perlakuan persis seperti budak.
Wanita Jerman diperkosa secara sadis sewaktu sekutu memasuki negeri itu, begitu
juga dengan wanita Jepang. Prancis memperlakukan orang-orang Maroko, Tunisia,
Aljazair dengan kejam. Mereka membunuh ratusan ribu orang yang menuntut
kemerdekaan mereka.
Tak terkecuali Indonesia, praktek perbudakan merajalela dan semkain sulit
dijamah hukum. Mereka mengunakan cara-cara yang tak kalah biadabnya dengan
perbudakan di zaman jahiliyah. Dalam banyak kasus pengiriman Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri, misalnya
terjadi praktek perbudakan yang kasat mata. Para calon TKI dijaring dari daerah
dengan seribu satu janji dan penipuan. Setelah calon TKI dibekali keterampilan dan
persyaratan, tentu saja dengan dipungut biaya tinggi, mereka dijual ke luar negeri
untuk satu jenis pekerjaan kasar yang belum pasti. Banyak di antara mereka yang
persis diperlakukan seperti budak zaman dulu karena tuan telah membeli dengan
uang banyak dan tidak sedikit yang terlunta-lunta karena tidak lengkapnya buktibukti administratif yang mereka miliki. Banyak di antara mereka tidak jadi dikirim
tapi disekap dalam sebuah rumah di Jakarta dengan makanan seadanya. Mereka
132

Muhammad Quthub, Syubht Hawla al-Islm, (Beirt: Dr al-Syurq, 1393 H./ 1973

M.), h. 52.

210

tidak bisa pulang karena seluruh perbekalan keuangan telah disikat habis oleh sang
tuan yang telah raib entah kemana.133
Gadis-gadis ditangkap di desanya, layaknya seorang pemburu menangkap
buruannya di tengah hutan, kemudian dijual kepada seorang germo. Mereka
dipekerjakan sebagai pelacur, disekap seperti tawanan yang diawasi para tukang
pukul, dan diberi gaji yang tidak lebih dari pembeli alat-alat kosmetik. Ada juga
sebagian oknum yang menangkap bocah-bocah yang lepas dari pengawasan orang
tuanya. Bocah itu dijual kepada kelompok penadah dan diteruskan kepada orangorang yang ingin membeli anak.
Berkaitan dengan itu, M. Amin Rais mengatakan bahwa sesungguhnya
kalau kita mau jujur, kita menyaksikan perbudakan yang lebih canggih, tidak kasat
mata tapi intinya perbudakan. Pada umumnya di Negara berkembang terjadi
eksploitasi yang tidak tampak tapi tajam, yaitu eksploitasi manusia atas manusia.
Tenaga Kerja Wanita (TKW) itu jelas perbudakan; demikian Amin menegaskan.134
Kaum wanita dikirim ke luar negeri dan masuk ke sebuah rumah seorang majikan
tanpa ada perlindungan apa-apa, sehingga yang terjadi adalah perbudakan modern.
Kalau budak dulunya diangkut dengan gerobak, tapi sekarang diangkut dengan
Boing 747, sistem pembayarannya pun melalui cek dan lain-lain yang dulunya tidak
ada tapi intinya perbudakan.
Di dalam ILO, organisasi buruh internasional tidak ada pasal dan undangundang perburuhan internasional yang melindungi pembantu rumah tangga (PRT),
jadi mereka tanpa proteksi. Sehingga kalau majikannya mencambuki, bahkan

133

Praktek ini memiliki banyak kemiripan dengan cara yang digunakan di masa jahiliyah.
Mulai dari penangkapan, penjualan, dan perlakuan dari sang tuan.
134
M. Amin Rais, Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan, (Bandung: Mizan,
1998), h. 121.

211

memperkosa, sesungguhnya tidak bisa dibela berdasarkan undang-undang


perburuhan internasional.135
Dunia perburuhan tidak kalah kejamnya dengan perlakuan yang diterima
Bilal Bin Rabah dari tuannya. Para buruh dipekerjakan dengan jam kerja non-stop
yang panjang, terkadang tanpa ada waktu untuk beribadah. Banyak perusahaan yang
membayar buruhnya di bawah standar, sementara majikan berhela-hela mempunyai
sekian belas mobil

Mercedes dan beberapa merek lainnya. Apa yang mereka

dapatkan dari perusahaan yang meraup untung besar tempat mereka bekerja?
Banyak dari mereka yang gajinya tidak lebih untuk biaya makan seadanya, rokok,
transportasi, dan menyewa tempat tinggal sederhana. Tulang iga pekerjanya itu
mencuat karena kurang makan dan wajahnya pucat karena kurang gizi. Bahkan ada
yang tidak betah melanjutkan pekerjaan karena tidak sanggup menutupi kekurangan
pendapatan setiap bulannya.
Dalam banyak kasus komplik sosial, tragedi kemanusiaan tetap saja
muncul. Hak hidup ratusan orang tak berdosa telah terampas begitu mengerikan.
Nilai-nilai kemanusiaan sudah tidak lagi memiliki ruang dalam berbagai kasus.
Terhadap perempuan misalnya, selalu saja menjadi korban yang memprihatinkan,
baik dalam bentuk pelecehan, kekerasan, maupun pemerkosaan. Sebagai contoh,
pada peristiwa Mei 1998 perempuan minoritas mengalami multiple discrimination
yang berujung pada pelecehan dan kekerasan seksual.136 Perempuan semakin banyak
menempati posisi termiskinkan (feminization of poverty) di kantong-kantong
kemiskinan. Akibatnya, banyak perempuan pencari nafkah utama bagi keluarganya,
seperti yang menimpa Tenaga kerja Wanita (TKW).137 Bahkan banyak yang
meninggal secara misterius tidak diketahui penyebabnya.138
135

Amin Rais, Tauhid Sosial, h. 121.


Harian Kompas, 5 Juni 2004, h. 39.
137
Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKW) di luar negeri cukup besar. Sebagai gambaran
kasar, antara tahun 1969-1994 jumlah mereka mencapai 700.000 orang dan sebagian besar mereka
136

212

Memang benar yang dikatakan Muhammad Quthub dan Nashih Ulwan


bahwa perbudakan telah berubah bentuk. Orang dahulu jujur berbahasa sehingga
mereka mengakui budak itu memang ada. Tapi manusia hari ini tidak mau
menamakan pembantaian, perkosaan masal, mencabut akar-akar kehidupan, menjual
manusia (bocah, anak gadis dan istri tetangga), meminum darah dan keringat buruh,
menggusur orang-orang lemah ke tempat tandus dengan alasan pembangunan, serta
membiarkan orang-orang miskin telanjang dan tidak bertempat tinggal. Mereka
sebut semua itu dengan kepedulian, solidaritas, persaudaraan, persamaan,
pemerataan, penertiban kota, dan saling berbagi keuntungan. Padahal mereka
melakukan sesuatu yang hakikatnya jauh lebih jahat dari apa yang dilakukan oleh
orang-orang yang tidak berpendidikan di zaman yang mereka sebut kuno.139 Semua
itu terjadi akibat kurangnya telaah yang mendalam terhadap cara-cara Rasulullah
saw. dalam memperlakukan orang lain, terutama terhadap orang lemah, termasuk
para budak.
Padahal, salah satu misi kenabian adalah pembebasan. Yaitu pembebasan
manusia dari ketundukan kepada sesama hamba dan ketundukan kepada hawa nafsu,
demikian Sayyid Quthub.140 Yang disebut pertama adalah pembebasan masyarakat,
sementara yang kedua adalah pembebasan diri. Namun, kebebasan sejati jika

bekerja di tempat-tempat marginal, sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak dan tukang
masak. Namun keberadaan mereka di luar negeri itu tidak mendapatkan perlindungan hukum yang
memadai. Lihat A. Made Tony Supriatna, 1996: Tahun Kekerasan, potret Pelanggaran HAM di
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997), h. 248-249.
138
Menurut catatan sebuah LSM di Jakarta, Solidaritas Perempuan, sepanjang tahun 19931996, tercatat 10 (sepuluh) orang TKW Indonesia yang mengalami kematian misterius di luar negeri.
Mereka adalah Neneng Wardiati asal Yogyakarta di Singapura tahun 1993, Ecin Nuraesih asal
Sukabumi di Arab Saudi tahun 1993, Daroyah asal Yogyakarta di Singapura tahun 1994, Neneng asal
Karawang di Arab Saudi tahun 1993, Tri Hastuti asal Banyumas di Singapura tahun 1995,
Munadhirah asal Kendal di Malaysia tahun 1995, Darhayati asal Banyumas di Singapura tahun 1996,
Boniwati asal Banjarnegara di Malaysia tahun 1996, Enti Binti A. Yadi asal Karawang di Arab Saudi
tahun 1996, Murtini Binti Murdin asal Cianjur di Arab Saudi tahun 1996. Lihat Tony Supriatna,
1996: Tahun Kekerasan, h. 249.
139
Muhammad Quthub, Syubht, h. 54.
140
Sayyid Quthub, al-Mustaqbal li Hdz al-Dn, (ttp, Maktabah Wahdah, 1965), h. 14-15.

213

manusia mampu membebaskan diri dari dominasi kecenderungan kebinatangan dan


membuka katup kebebasan potensi ilahiyah.141 Dalam bahasa yang berbeda, Hamka
mengatakan bahwa orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunya, sehingga ia
dapat memerintahnya, dan tidak bisa lagi dikendalikan oleh hawa nafsunya, maka
dia itu raja, dia kuasa, dia merdeka, tidak terpengaruh, dan tidak diperbudak.142
Karena itu konsep pembebasan Rasulullah saw., tidak dapat dilepaskan dari konsep
tauhid. Tauhid tidak sebatas pengakuan atas keesaan Allah, namun tauhid adalah
pembebasan manusia dari semua ikatan dalam bentuk apapun, tegas Quthub.143
Senada dengan itu, Hasan Hanafi memberikan penjelasan secara luas
tentang makna yang terkandung dalam kalimat tauhid (kalimat persaksian) tersebut.
Menurutnya, kandungan kalimat tauhid itu adalah: Pertama, pembebasan. Yaitu
pembebasan dari segala macam belenggu yang mengikat (raqabah) bagi manusia,
sehingga ia benar-benar bebas merdeka dalam mengambil keputusan, perilaku dan
perbuatannya. Kebebasan dalam tradisi Arab Islam merupakan lawan dari
perbudakan. Kebebasan dan konsepsi tradisi adalah sesuatu yang tidak bisa
diperjualbelikan, yakni bukan seperti hamba sahaya. Oleh sebab itu al-hurrah
dimaknai dengan perempuan merdeka yang bukan hamba sahaya. Konsep ini
tercermin dalam tradisi fiqh, sehingga kita menemukan teks yang menjelaskan
perbedaan pakaian perempuan merdeka dengan perempuan budak dalam shalat.144
Kedua, persamaan sosial. Yaitu semua manusia sama di hadapan Tuhan. Tidak ada
yang berbeda antara kulit putih dan kulit hitam, penguasa dan rakyat, serta yang kuat
dan yang lemah. Ketiga, solidaritas sosial. Jika dalam sebuah masyarakat muncul
perbedaan mencolok serta kesenjangan sosial, maka adalah kewajiban umat untuk
141

Robert D. Lee, Mencari, h.102.


Lihat Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Panjimas, 2003), h. 121.
143
Sayyid Quthub, F Zhill al-Qur n, (Qhirah: Dr al-Syurq, 1992), jilid 6, h, 4002-

142

4004.
144

Lihat Muhammad Syahrur, Dirst Islmiyyah Mushirah f Dawlah wa al-Mujtam,


diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri Qudsy dan Darus Syamsul fatta dengan judul: Tirani Islam,
Geneologi Masyarakat dan Negara, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 150.

214

membangun kembali sebuah tatanan masyarakat baru yang tidak mengenal kelaskelas sosial sebagai pengejewantahan seruan bahwa sesungguhnya manusia itu sama
seumpama gigi sisir, sebagai yang diibaratkan Rasulullah saw. Sebab, dalam sebuah
proyeksi pembebasan yang dibangun oleh Rasulullah saw. faktor manusia dan
struktur sosial adalah dua komponen yang harus dirubah. Perubahan sebagai sebuah
proses, yang pertama kali dilakukan adalah menyentuh pribadi-pribadi sebagai
subyek sekaligus obyek, kemudian dilanjutkan pada upaya perubahan sosial yang
opresif. Sinergi yang terjalin antara manusia dan pranata sosial adalah perubahan
mentalitas, budaya dan pemikiran manusia. Sedangkan perubahan tatanan sosial
lebih diorientasikan bagi perubahan sistem dan tata laksana yang melandasi fungsifungsi pranata sosial yang telah ada ataupun yang akan dibangun. Dengan demikian,
seorang muslim yang telah bersyahadat seharusnya telah mempu mewujudkan
kebebasan akal dan kehendaknya, mampu mewujudkan sebuah tatanan sosial yang
adil, dan kesaksiannya bahwa Muhammad Rasulullah saw. telah berhasil
mewujudkan tatanan sosial yang adil itu.145
Bahkan menurut Asghar Ali Engineer, ajaran tauhid tersebut menjadi acuan
Rasulullah saw. dalam gerakan dakwahnya. Karena itu penolakan kafir Quraisy
terhadap Islam, bukan ketidakpercayaan kepada kebenaran Islam, akan tetapi misi
pembebasan yang dikandungnya. Sebab misi revolusioner tersebut akan mengancam
eksistensi mereka yang menghina fakir miskin, menindas para budak, menghalalkan
riba, menopoli perdagangan, dan mempertahankan status quo guna melanggengkan
kepemilikan kapital.146
Jadi, esensi dakwah Rasulullah saw. adalah membebaskan manusia dari
penghambaan kepada selain Allah swt. Karena bertuhan kepada selain Allah akan

145

Hasan Hanafi, Dirst al-Islmiyyah, (Kairo: Maktaba al-Mishriyyah, tt.), h. 5-10.


Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. 4-7.
146

215

menyebabkan kesesatan, kesengsaraan, dan kegelapan. Sedangkan bertuhan kepada


Allah swt. akan menjadikan manusia selamat, dan bahagia.147
Misi vital Rasulullah saw. tersebut bertujuan untuk menciptakan keadilan
sosial dan kepedulian kepada kelompok yang lemah dan tertindas. Jika ingin
melanjutkan perjuangan Rasulullah saw. lanjut Ashghar, maka yang diperlukan
sekarang adalah adanya penghapusan sistem kapitalis yang didasarkan pada
eksploitasi sesama manusia.148
Secara doktrinal diakui bahwa Rasulullah saw. membawa ajaran-ajaran
penting bagi manusia yang tidak diragukan. Dia bisa dioperasionalkan kapan saja
dan untuk persoalan apa saja. Dari keyakinan itu dapat dikembangkan bahwa
perbudakan yang ingin dihapuskan Rasulullah saw. itu bukan hanya yang ada
sebelum beliau diutus. Obyeknya adalah segala bentuk perbudakan yang sama
secara formal atau substansi dengan yang ada ketika kedatangan beliau.
Substansi perbudakan dimaksud mencakup segala bentuk tirani yang
mengandung unsur perampasan hak asasi orang lain, menghilangkan eksistensi
kemerdekaan orang lain, memandang rendah orang lain serta perlakuan yang bisa
mematikan keinginan, rasa, pikiran dan cita-cita orang lain. Suatu bangsa misalnya,
yang pemimpinnya menindas rakyatnya demi melanggengkan kekuasaannya; atau
menjadikan bangsa lain sebagai jajahannya, merupakan tindakan perbudakan.
Sementara itu, bangsa yang diperbudak adalah bangsa yang melacurkan

147

QS. al-Baqarah (2) : 256.

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
148
Ashgar, Islam dan, h. 8.

216

kemerdekaannya sekedar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih murah nilainya.


Pemimpinnya rela menggadaikan kemerdekaannya untuk mengelola bangsanya
dengan penuh interpensi dari luar. Padahal, kemerdekaan memilih sikap adalah satusatunya kualitas yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Kemerdekaan
adalah hak manusia yang asasi, penting dan utama.149 Jadi nilai kemanusiaan
ditentukan oleh harkat kemerdekaan. Seorang guru yang memberitahu muridnya apa
yang harus dipelajari dan apa pun yang dipelajari di luar yang telah ditentukannya
harus diabaikan karena menurutnya tidak berguna, seorang suami yang tidak
menjadikan istrinya sebagai mitranya, bahkan menggapnya sebagai pembantu rumah
tangga, dan perlakuan sejenisnya juga merupakan tindakan perbudakan; sekaligus
menyalahi apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagaimana yang
dijumpai dalam banyak haditsnya.
Karenanya, pendekatan kontekstual terhadap nash-nash (khususnya tentang
perbudakan) harus mendapatkan porsi yang lebih memadai karena perbudakan masa
lampau berbeda dengan perbudakan masa kini. Perbudakan harus diberikan defenisi
yang disepakati bersama dengan jelas dan terang batasan-batasannya sehingga
defenisi tersebut dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk menentukan suatu
perbuatan; apakah bisa dikatakan sebagai perbudakan atau tidak. Berbarengan
dengan itu, harus ditetapkan sanksi yang tegas terhadap setiap perbuatan yang dapat
dikatakan sebagai memperbudak, baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok,
maupun suatu negara. Semua itu diharapkan dapat mencegah timbulnya perbudakan
lebih lanjut.

149

Muhammad Imaduddin Abdurrahman, Islam Sistem Nilai Terpadu, (Jakarta: Gema


Insani Press, 2002), h. 13.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Disertasi ini membuktikan ketidakbenaran kesimpulan yang mengatakan
bahwa Islam melegalkan perbudakan. Setelah mengungkap bagaimana konsep yang
diterapkan Rasulullah saw. dalam menghadapi sistem perbudakan, dapat
disimpulkan bahwa Islam tidak melegalkan perbudakan. Bahkan, Rasulullah saw.
telah melakukan reformasi sosial terhadap sistem perbudakan. Status hamba sahaya
pada masa Rasulullah saw. tidak lagi sama dengan status mereka sebelumnya.
Mereka telah mengerti hak dan kewajibannya, mereka telah bebas bergerak,
bersuara, bahkan bebas menentukan nasib dirinya.
Kesimpulan yang hampir sama juga pernah dikemukakan antara lain oleh
Muhammad Quthub.

Ia mengatakan bahwa ada beberapa ajaran Islam yang

dipahami secara keliru oleh beberapa kalangan sehingga pengertian yang mereka
peroleh bertolak belakang dengan maksud Islam yang sebenarnya. Ajaran yang
disalahpahami itu antara lain masalah perbudakan; Sayyid Ameer Ali mengatakan,
anggapan sebahagian orang bahwa Islam melegalkan perbudakan muncul karena
dipicu oleh ketidakpekaan terhadap substansi ajaran Islam, sejarah sosial masyarakat
Arab sebelum kedatangan Rasulullah saw., dan kegagalan kaum muslimin
menjelaskan masalah perbudakan; Abdullah Nashih Ulwan berkesimpulan bahwa
Rasulullah saw. sebenarnya telah mengeringkan semua sumber perbudakan kecuali

218

perang syar i; bahkan telah berhasil memerdekakan budak melalui aneka sarana
yang progresif dengan prinsip-prinsip hukum yang cemerlang.
Jika diteliti secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa salah satu misi
Rasulullah saw. adalah pembebasan. Yaitu pembebasan manusia dari segala macam
tirani dan sistem yang diskriminatif, termasuk perbudakan; karena tidak sesuai
dengan fitrah manusia. Gerakan pembebasan Rasulullah saw. tersebut memiliki
basis teologis, pembebasan teologis tujuannya adalah terbebasnya manusia dari
ketundukan kepada sesama hamba dan terbebasnya manusia dari ketundukan kepada
hawa nafsu. Yang disebut pertama adalah pembebasan masyarakat dari aturanaturan tidak manusiawi, kepada aturan yang sesuai dengan kodrat kemanusiaan.
Sementara pembebasan yang kedua adalah pembebasan diri. Yakni pembebasan
manusia dari dominasi dan kecenderungan kebinatangan yang ada dalam diri mereka
sekaligus membuka katup kebebasan dan potensi Ilahiyah. Karena itu konsep
pembebasan Rasulullah saw., tidak dapat dilepaskan dari konsep tauhid. Sebab,
tauhid tidak sebatas pengakuan atas keesaan Allah, namun tauhid adalah
pembebasan manusia dari semua belenggu dalam bentuk apa pun.
Perilaku
perbudakan, telah

memperbudak

dan

segala

usaha

untuk

melanggengkan

menjadi hal yang biasa dalam masyarakat Arab bahkan

masyarakat internasional menjelang dan ketika Rasulullah saw. menyampaikan


ajaran Islam yang menjunjung tinggi derajat dan martabat manusia. Oleh sebab itu,
tidak mengherankan jika banyak hadits yang dijumpai membicarakan persoalan
kemanusiaan tersebut, sebagaimana terekam dalam berbagai kitab hadits. Sebagai
konsekuensi dari sebuah ajaran baru memasuki masyarakat yang sarat dengan
berbagai nilai dan norma yang sudah mapan seperti halnya perbudakan, maka proses
penghapusannya mengalami tahapan-tahapan sosiologis.
Bahwa di dalam hadits banyak yang menyebutkan budak tidak dapat
dipungkiri. Yang dipungkiri adalah adanya dugaan terhadap sumber otoritas Islam

219

tersebut melegalisasikannya sebagamana ditudingkan. Sebaliknya, Rasulullah saw.


justru berupaya menghapusnya dengan berbagai macam cara. Maka tidak berlebihan
jika disimpulkan bahwa salah satu misi perjuangan Rasulullah saw. adalah
menghapuskan sistem perbudakan.
Berdasarkan pembacaan baru terhadap hadits-hadits perbudakan, dapat
dikatakan

bahwa Rasulullah saw. telah melakukan perang terhadap sistem

perbudakan, dan tidak melegalkannya. Kesimpulan tersebut didasarkan atas tidak


adanya redaksi hadits perbudakan yang mengarah kepada indikasi bahwa seseorang
yang dilahirkan dalam keadaan bebas bisa berobah status menjadi budak. Lalu
mengapa Rasulullah saw. tidak mengumumkan secara tegas bahwa perbudakan telah
diharamkan? Jawabannya adalah bahwa persoalan perbudakan lebih lama tertunda
dari waktu yang dikehendaki. Maka hadits-hadits yang membicarakan masalah
perbudakan harus dipahami secara benar. Misalnya memberikan interpretasi bahwa
hadits-hadits perbudakan itu hanya bersifat transisional sebagai konsekuensi dari
tuntutan sosio-historis yang terjadi saat itu. Dalam hal ini, yang harus dikedepankan
adalah ajaran dasar yang disampaikan oleh Rsulullah saw. yang sepenuhnya
menunjung tinggi derajat dan martabat manusia yang mulia, serta memiliki hak yang
sama untuk memperoleh keadilan, memperoleh kemerdekaan sejak kelahirannya,
serta memperoleh persamaan di depan hukum. Kalau konsep ini diakui, maka adalah
tidak mungkin Rasulullah saw. melegalkan suatu sistem yang bertentangan dengan
pokok ajaran yang ia sampaikan.
Kajian kritis yang dilakukan terhadap hadits-hadits yang membicarakan
masalah perbudakan menunjukkan bahwa, semua hadits tentang perbudakan itu
mengarah kepada usaha dan strategi Rasulullah saw. dalam mengatasi perbudakan.
Hal itu tercermin dari langkah-langkah yang telah tempuh oleh Rasulullah saw. dan
para sahabatnya untuk menghapuskan sistem sosial yang tidak kondusip ini dan
telah berlangsung lama jauh sebelum kedatangan beliau.

Setidaknya ada tiga

220

pendekatan yang ditempuh Rasulullah saw. sebagai upaya mengatasi masalah


perbudakan. Tiga pendekatan dimaksud adalah pendekatan moral, pendekatan
yuridis dan pendekatan politik. Dengan pendekatan moral, Rasulullah saw. memberi
hak dan kewajiban kepada budak. Para budak telah memperoleh keadilan, mereka
bisa memperjuangkan kemerdekaan dirinya dan sang tuan wajib memperlakukan
mereka dengan baik. Para budak juga telah mengenal yang namanya kewajiban.
Mereka diwajibkan memperbaiki keimanan kepada Allah agar mudah mendapatkan
kemerdekaan, mereka diwajibkan taat kepada tuannya secara ikhlas serta diwajibkan
memelihara kehormatan dirinya. Pendekatan yuridis ditempuh dengan memberikan
janji pahala yang besar terhadap siapa saja yang memerdekakan hamba sahaya. Jika
ada pelanggaran terhadap hukum syara, maka pelakunya akan diberi sangsi hukum
(kaffrat) dengan membebaskan budak sebanyak-banyaknya. Dalam pendekatan
politik, cara yang ditempuh Rasulullah saw. dalam memerdekakan para budak
bervariasi.

Misalnya,

membebaskan

tawanan

dengan

tanggungan

negara,

membebaskan melalui jalur nasab, membebaskan karena jasa, atau dengan menukar,
menebus tawanan perang, bahkan banyak yang dibebaskan tanpa syarat.
Setelah para hamba sahaya mendapatkan hak dan kewajibannya, dengan
sendirinya status mereka tidak lagi sama dengan yang mereka terima sebelumnya.
Kalau sebelumnya mereka bekerja dengan penuh tekanan dan penyiksaan serta tidak
mendapatkan upah dari hasil kerjanya, sekarang ia bekerja dalam keadaan aman dan
diberi upah sesuai hasil kerjanya. Kalau dulunya mereka dipanggil dengan panggilan
yang tidak manusiawi, sekarang mereka dipanggil dengan panggilan penuh kasih
sayang. Kalau dulunya mereka diberi makan dari makanan tidak layak saji, sekarang
mereka diberi makan bahkan diberi pakaian sama dengan yang dimakan dan dipakai
tuannya. Karena itu hamba sahaya pada zaman Rasulullah saw. tidak ada bedanya
dengan orang upahan zaman sekarang. Mereka bebas bergerak, bersuara, bahkan
bebas menentukan nasib dirinya. Tegasnya, hak-hak budak pada zaman Rasulullah

221

saw. tidak berbeda dengan hak-hak para buruh, karyawan, pelayan (khdim) dan
sejenisnya. Hal demikian terjadi karena relasi antara tuan dan budaknya sudah
merupakan proses timbal balik, take and give. Keduanya saling memiliki hak dan
kewajiban. Budak berkewajiban menjalankan pekerjaan yang diharapkan tuannya,
sedang tuan berkewajiban memberikan imbalan dan upah kepada sang hamba.
Sekalipun demikian, di zaman kontemporer ini perbudakan masih memiliki
implikasi dalam kehidupan masyarakat. Perbudakan masa lampau berbeda dengan
perbudakan masa kini. Kalau masa lampau perbudakan secara jujur diakui
keberadaannya, tapi di zaman sekarang perbudakan dianggap sudah tidak ada,
namun kenyataan menunjukkan bahwa perbudakan justru muncul di tengah-tengah
orang yang mengklaim perang terhadap perbudakan. Ini berarti, secara sistemik
perbudakan sudah tidak diakui, tetapi secara subtantif perbudakan masih langgeng.

B. Implikasi
Ada sejumlah implikasi penelitian yang bisa diajukan dalam tulisan ini.
Implikasi-implikasi itu antara lain:
1. Berdasarkan hasil penelitian terhadap hadits-hadits perbudakan di atas, yang
menjadi tuntutan masa kini adalah adanya perumusan dan definisi yang menjadi
kesepakatan mengenai istilah perbudakan. Kekeliruan memaknai perbudakan
akan membawa dampak negatif terhadap Islam. Sebab, sasaran pembebasan
Rasulullah saw. tersebut tidak terbatas hanya pada aspek syariatnya saja. Kalau
hanya itu yang dimaksudkan, maka langkah yang ditempuh Rasulullah saw.
telah menutup semua pintu ke arah itu. Namun lebih dari itu yang menentukan
adalah arah pembebasan Rasulullah saw. terhadap aspek batiniah seseorang.

222

Aspek batiniah ini yang berlangsung sepanjang sejarah kemanusiaan kapan dan
di mana manusia itu berada.
2. Untuk menghilangkan anggapan yang keliru bahwa agama yang dibawa oleh
Rasulullah saw. itu melegalkan bahkan melembagakan perbudakan, diperlukan
jawaban yang memadai. Salah satu cara adalah dengan kembali mengkaji
sumber rujukan agama tersebut. Dalam hal ini salah satu rujukannya adalah
hadits. Sebab hadits adalah rekaman ucapan dan pengamalan praktis Rasulullah
saw. dalam berbagai hal; termasuk masalah perbudakan. Dengan berbagai sebab,
pengkajian terhadap hadits (khususnya matan), memerlukan beberapa disiplin
ilmu. Disiplin ilmu dimaksud adalah yang berkaitan dengan pengembangan
kaedah minor dalam kajian matan hadits. Misalnya, telaah historis, antropologis
dan rasionalis. Khususnya terhadap hadits-hadits perbudakan, prinsip-prinsip
dasar ajaran Rasulullah saw. tidak boleh diabaikan. Prinsip-prinsip dasar itu
adalah prinsip kemanusiaan, prinsip kebebasan, prinsip persamaan dan prinsip
keadilan. Semua itu dilakukan demi mengoptimalkan kajian terhadap haditshadits perbudakan.
3. Di zaman sekarang, banyak tema hadits yang memerlukan penjelasan-penjelasan
(syarah-syarah) baru dengan menggunakan bahasa yang populer dan sejalan
dengan logika masa kini, agar lebih mudah mencapai tujuan. Yakni mampu
menyingkap dan meluruskan kepahaman yang bertentangan dengan konsep
dasar ajaran Islam. Karena itu, diperlukan sebuah rekonstruksi pemikiran yang
memiliki basis argumentasi yang berlandaskan al-Quran dan hadits Rasulullah
saw. Namun karena penelitian ini sifatnya masih dasar, diharapkan adanya
kajian lanjutan yang semakin memperkaya dan menguatkan ataukah mungkin
membantah argument yang telah dikemukakan dalam disertasi ini.
4. Jika di masa sekarang al-Quran ditafsirkan dengan memakai sejumlah disiplin
ilmu sehingga terasa mampu berbicara langsung kepada rasionalitas masa kini,

223

maka disayangkan kitab-kitab hadits terutama Sahih Bukhari dan Sahih


Muslim belum beruntung mendapat penulis-penulis syarah (penjelasan dan
komentar) berdasarkan tema pertema (tematik) dan dilakukan oleh orang yang
menguasai masalah, sekaligus memadukan antara pemahaman ulama-ulama
tradisional dan konsep-konsep pembaharuan masa kini.
5. Dalam melakukan ijtihad di bidang kajian hadits, besar kemungkinan akan
terjadinya perubahan atau shifting paradigm dalam wilayah islamic studies,
terutama kajian sumber. Akan tetapi sebenarnya tidaklah terlalu perlu
dikhawatirkan, lantaran inti pemikiran keislaman yang berproses pada tauhid dan
bermoralitas al-Quran dan hadits, akan tetap seperti adanya. Hanya saja
rumusan-rumusan baru, pendekatan-pendekatan kontemporer, bahkan uraian
aktual kontekstual semestinya diupayakan dan diprogramkan. Sebab, cara
berpikir manusia era tegnologi modern, tidaklah sama dan sebangun dengan cara
berpikir manusia era pra-scientific agraris. Setidaknya, bahasa dan pola pikir
yang digunakan sudah harus disesuaikan dengan muatan pengalaman manusia
masa kini.
6. Merekayasa

pekerjaan

untuk

membangun

kembali

peradaban

muslim

membutuhkan perumusan baru dalam pendekatan terhadap Islam terutama


sumbernya. Hanya dengan mengkaji sumber peradaban Islam (al-Quran dan
Hadits), masa depan akan tampak adil terhadap Islam. Lebih dari itu,
rekonstruksi peradaban muslim secara esensial merupakan proses elaborasi
pandangan dunia Islam. Ia adalah poses pemberian format sekaligus trasnformasi
untuk mengubah fakta menjadi nilai, aksi menjadi tujuan dan harapan menjadi
kenyataan.
7. Apa yang telah dituangkan dalam penelitian ini adalah sebuah upaya awal yang
dilandasi oleh rasa kecintaan terhadap Rasulullah saw. dan keagungan ajaranajarannya sebagaimana termuat dalam hadits-haditsnya. Jika terkesan kaku dan

224

tidak elastis, penulis menilainya bahwa semua itu adalah kesalahpahaman atau
ketidak mampuan kita dalam menyelami maksud dari pesan agama tersebut.
Wallhu Alam bi al-Shawb.

Jakarta, April 2008


Penulis,

M. Tasbih Hanafiah Ladu

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur n al-Karm
Ali, Abdullah Ysuf, The Glorious Kur an Tranlation and Commentary Beirt:
Dr al-Fikr, tth.
Azami, M.M., Studi in Early Hadith Literature, diterjemahkan oleh Ali Mustafa
Yaqub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1994.
Abdullah, M. Amin, Studi agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Abdurrahman, Aisyah, Tafsir Bintusy-Syathi, terjemahan Mudzakkir Abdul Salam
dari al-Tafsr al-Bayn li al-Qur n al-Karm, Bandung: Mizan, 1996.
Ab Dwud, Muhammad al-Azad Al-Sijistn, Sunan Ab Dwud, Beirt: Dr alFikr, t.th.
Ab Hayyn, Muhammad bin Ysuf al-Syuhair, al-Andals, Tafsr al-Bahr alMuhth, Beirt: Dr al-Fikr, 1983.
Ahmed, Akbar S. Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Societ,
terjemahan Zulfahmi Andri dengan judul Membedah Islam, Bandung:
Pustaka, 1997.
Ali, A. Mukti, Muslim Biladi dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, Jakarta: CV.
Haji Masagung, t.th.
Ali, Maulana Muhammad, Islamologi (Dinul Islam), terjemahan M. Bahrum,
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, tth.1
Ali, Syed Ameer, The Spirit of Islam, A History of The Evaluation an Ideals of Islam
with a Life of Prophet, New Delhi: Idrah al-Adabiyyah Delhi, 1978.
Al-Suythi, Jall al-Dn Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayatayat al-Qur an, terjemahan Qamaruddin Saleh dkk., Bandung:
Diponegoro, 1994.
Amin, Ahmad, Dhuh al-Islm, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1973.

226

---------, Fajr al-Islm, t.tp.: Syirkat al-Tibat al-Fanniyya al-Muttahidah, t.th.


Aqqd, Abbas Mahmd, al-,Abqariyya Muhammad, t.tp.: Dr al-Hill, 1969.
---------, Haqiqu al-Islm wa Abthilu Khusmihi, Cairo: Dr al-Qalm, 1966.
Arkoun, Muhamad, Rethinking Islam Common Question Uncommon Answers,
diterjemahkan oleh Yudian Asmin dan Lathiful Khuluq dengan judul
Rethingking Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Asfahn, al-Raghib, al, Mujam Mufradt Alfzh Al-Qur n, Beirt: Dr al-Fikr, tth.
Ash Shiddieqy, T. M. Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang,
1993.
--------, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Ayyob, Mohammad, ed., The Politics of Islamic Reassertion, New York: St.
Martins Press, 1981.
Azra, Azyumardi, dan Arskal Salim, The State and Saria in the Perspective of
Indonesian Legal Politics, Public Lecture, The Application of Syariah
and the Issue of Human Right in Muslim World, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003.
Bagdd, Ab al-Fdl Syihb al-Dn al-Sayyid Mahmd al-Alsi, al, Rh al-Ma ni
f Tafsr Al-Qur n al-Azhm al-Sab al-Matsni, Beirt: Dr al-Ihy alTurst al-Arab, t.th.
---------, al-Kifya f Ilm al-Riwyah, Mesir : Maktabat al-Sadah, t.th.
Bahansi, Ahmad Fathi, al-Qishash f al-Fiqh al-Islm, Kairo: Dr al-Nasyr, 1964.
Bqi, Muhammad Fud Abd. al, Mujam al-Mufahras Li Alfz Al-Qur n,
Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.
Beg, M. Abd. Jabbar, Mobilitas Sosial di dalam Peradaban Islam Periode Klasik,
terjemahan Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1988.
Beik, Muhammad al-Khudhri, Trkh al-Tasyr al-Islm, Surabaya: al-Hidayah,
t.th.
--------, al-Muhdhira Trkh al-Umm al-Islmiyya al-Abbsiyyah, Kairo: alMathbaat al-Istiqmah, 1945
Boisard, Marcel A. Humanisme Dalam Islam,(Edisi Indonesia) alih bahasa H. M.
Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1980

227

Bucaille, Maurice, La Bible La Coran et La Science diterjemahkan ke dalam


bahasa Inggeris oleh Alastair dengan judul The Bible, The Quran and
Science, Kuala Lumpur : AS Noorden 1989.
Bukhr, Ab Abdillah Muhammad bin Isml bin Ibrhim bin al-Mugrah bin alBardizbah, al, al-Jmi al-Shahh al-Bukhr. Semarang: Toha Putra, t.th.
Bti, Said Ramadhn, al, Fiqh al-Sirah, Beirt: Dr al-Fikr, 1980.
Dainri, Muhammad Abdillah bin Muslim bin Qutaybah, al, Ta wl Mukhtalif alHadts, Kairo: Maktabah Hasan, 1982.
Damn, Musfir Azmillah, al, Maqyis Naqd al-Mutn al-Sunnah, Riydh: tp., 1984.
Drim, Ab Abd al-Rahmn Fdl bin Abdullah bin Abd al-Shamad Fdl bin
Abdullah bin Bahrm, al, Sunan al-Drim. Indonesia: Maktabah Dahlan,
t.th.
Departemen Agama RI., Al-Qur an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Donohue, John J., The New Konstitution and the Religius Opposition: A Cronology
of Events January-April 1973 dalam CEMAH Report. Beirut Dar ElMashreq, 1976.
Effendy, Bahtiar, Hak Asasi Manusia Dalam Islam,
Indonesia Pustaka Firdaus, 1995.

Jakarta: Yayasan Obor

Engineer, Ashgar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Esposito, John L. The Islamic Treat: Mity or Reality? Bandung: Mizan 1994.
--------, dalam Islam and politics 1985. edisi Indonesia Islam dan Politik, Jakarta:
Bulan Bintang, 1990.
Fachruddin, Fuad Mohd, Islam Berbicara Masalah Perbudakan, Jakarta: Mutiara,
1981.
Fris, Ab al-Fayd Muhammad Ibn Muhammad Ibn Al, al, Jawhir al-Usl f Ilm
al-Hadts al-Rasl, Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
Farmwi, Abd. Hayy. al, al-Bidya f al-Tafsr al-Maudh, Mesir: Maktaba alJumhriyyah, 1977.
Farqi, Isml, al, Islam and Human Right. Islamic Quarterly, vol. 27, 1983.

228

Forsythe, David P., Human Rights & World Politic, 1993. edisi Indonesia, HakHak Asasi Manusia dan politik Dunia. Bandung: Angkasa, 1993.
Ghafur, Maryono Abdul, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks,
Yogyakarta: el SAQ, Press, 2005.
Gharisah, Ali, Kehormatan dan Hak: Studi Kritis atas Teori Hak-Hak Azasi
Manusia, terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, Yogyakarta: Pustaka AlKautsar, 1986.
Ghazalba, Sidi, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi Sosiografi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1976
Gibb, HAR, Islam dalam Lintasan Sejarah, terjemahan Abusalah, Jakarta: Bhatara
Karya Aksara, 1983.
Golziher, Ignaz, Muslim studies, terjemahan C.R. Barber dan S.M.Stern London:
George Allenand Unwin, 1971.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Riset, Yokyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi Umum UGM., 1977.
Hafid, M. Radhi, al, Metode-metode Penelitian Agama, Makassar: Berkah, 1991.
Haikal, Ahmad Muhammad Husain, Hayt Muhammad, al-Qhirah: Matbaat alMisra Syirkat Musahamat Mishriyyah, 1945.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994.
--------, Tasawuf Modern, Jakarta: Panjimas, 2003.
Hanafi, Hasan, Dirsa al-Islmiyyah, Kairo: Maktabat al-Mishriyah, tt.1
Harsojo, Pengantar Antropologi, Jakarta: Bina Cipta, 1984.
Hayt al-Mishriyyat al-Ummat li al-Talf wa al-Nasyar, al, Mu jam Alfz alQur n al-Karm, Mesir: al-Hayt al-Mishriyyah, 1970.
Herskovits, Melville J., Cultural Anthropolgy, New York: Alfred A Knoft, 1955.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, tenth edition, New York: Corlear Boy Club
Lake Champlain, 1970.
Hobohm, M. Aman, Islam dan Masalah Rasial, dalam Altaf Gauhar (ed.),
Tantangan Islam, Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1983.
Hourgronje, Snouck, Perbudakan, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hourgronje,
Jakarta: INIS, 1997

229

Howard, Michael C., Contemporary Cultural Antropology, USA: Little Brown and
Company, t.th.
Husain, Thaha, Janji Allah, terjemahan A.Mukti Ali, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Husnan, Ahmad, Gerakan Inkar al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta: Media
Dakwah, 1980.
Ibn al-Astr, al-Jurzi, Imam al-Mubarak bin Muhammad, Jmi al-Ushl f Ahdts
al-Rasl, Beirt: Dr al-Fikr, 1983
Ibn Hajar, al-Asqaln, Syihb al-Dn Ab al-Fdl Ahmad bin Al Nuzha alNazhar Syarh Nukhba al-Fikr. Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th.
--------, Fath al-Bri, t.tp.: Dr al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyyah, t.th.
Ibn Hanbal. Ab Abdillah Ahmad, Musnad Ahmad Ibn Hanbal. Beirt: Dr alFikr,1976.
Ibn Katsr, Ab al-Fid al-Hfiz, al-Dimasyq, Tafsr al-Qur n al-Azhm, Beirt:
Dr al-Fikr, 1412 H./ 1992 M.
--------, al-Bidya wa al-Nihyah, Beirt: Dr al-Fikr, 1978
Ibn Khaldun, Abd al-Rahman, Muqaddimah, Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1979.
Ibn Mjah, Ab Abdillah Muhammad ibn Yazd, al-Qazwin, , Sunan Ibn Mjah.
Beirt: Dr al-Fikr, t.th.
Ibn Manzhr, Ab al-Fdhl Jaml al-Dn Muhammad bin Makrum, Lisn al-Arab,
Beirt: Dr al-Fikr, 1994.
Ibn Rusyd, Ab al-Wald Muhammad bin Ahmad, Andals, Bidya al-Mujtahd
wa Nihya al-Muqtashid, t.tp. Dr al-Fikr, tt.
---------, al-Jmi Li Ahkm Al-Qur n, Kairo: Dr al-Kitb al-Arab, 1967.
Ibn Shalh, Ab Amar Utsmn bin Abd al-Rahmn. Ulm al-Hadts, Madinah alMunawwarah: al-Maktab al-Ilmiyyah, 1972.
Ibn Taimiyah, Taqi al-Dn, al-Tafsr al-Kabr, ditahkiq oleh Abd al-Rahman
Amirat, Beirt: Dr al-Fikr, tth.
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma ani alHadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta
: Bulan Bintang, 1994.

230

--------, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema
Insani Press, 1995.
--------, Kaedah Kesahihan Sanad hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu sejarah, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
--------, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Ismail, Muhammad Bakri, Dirsat f Ulm Al-Qur n, Kairo: Dr al-Manr, 1991.
Jameelah, Maryam, Islam dan Orientalisme: Suatu Kajian Analitik, terjemahan.
Machnun Husain, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
James, Hastings, (ed.), Slavery, in Enciclopedia Religion and Ethics, vol. xi, New
York: Charles Scribners Sons, t.th.
Jawbi, Muhammad Thhir, al, Juhd al-Muhaddisn f Naqd al-Matn al-Hadts alNabaw al-Syarf, t.tp. : Muassasat Abd al-Karm ibn Abdillah, t.th.
Jazir, Abu Bakar Jabir, al, Minhjul Muslimn Muamalah alih Bahasa Rachmat
Djatnika dan Ahmad Sumpeno, Pola Hidup Muslim. Bandung: Rosda
Karya, 1991.
Jazar, Iz al-Dn bin al-Atsr bin al-Hasn Ali bin Muhammad, al, Usd alGhbah f Ma rifat al-Shahbah, Beirt: Dr al-Fikr, tth.
Kelly, Gail M., Antropologi dalam Bertz F. Hoselitz, A Readers Guide to the
Social Sciences, terjemahan Ahmad Fedyani dengan judul Panduan
Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali, 1988.
Khairallah, C.F. Shereen, The Islamic Liberation Party, Search for The Lost Ideal
dalam CEMAH Report. Beirut Dar El-Mashreq, 1975.
Khlid, Khlid, Muhammad, Rijl Haula al-Rasl, Qhirah: Dr al-Muqthan, 1415
H/ 1994 M.
Khatb, Muhammad Ajjj, al, Ushl al-Hadts Ulmuhu wa Mushthalhuh. Beirt:
Dr al-Fikr, 1989.
Khzin, Alauddin Ali Ibn Muhammad, al, Tafsr al-Khzin / Lubb al-Ta wl F
Ma ni al-Tanzl, Beirt: Dr al-Marif, tth.
Khurbuthli, Ali Husni, al, al-Rasl f al-Madnah, Mesir: Lajnah al-Talf bi alIslm, t.t.
Kluckhohn, A. L., Kroeber, Antropology Today, Chicago: Chicago University Press,
1953.

231

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Bina Aksara Baru, 1980.


Lasswell, Harold, Miles S. McDougal, D. dan Lunchu Chen, Human Rights and
World Public Order, New Haven : Yale University Press, 1980.
Lembaga al-Kitab Indonesia, al-Kitab, Bogor: Percetakan Lembaga al-Kitab
Indonesia, 1980.
Levy, Reuben, dalam Sosial Strukture of Islam, dalam Altaf Gauhar (ed.),
Tantangan Islam, Bandung: Pustaka Salman ITB., 1983.
Lewis, Race and Slavery in Midle East, an Historical Enquiry, New York: Oxford
Univercity Press, 1990.
Lombard, Maurice, translated by Jhon Spencer, The Golden Age of Islam, Oxfort:
Nort Holland Publishing Company, 1975.
Lopa, Baharuddin, Hak-Haka ASASI Manusia Dalam al-Qur an, Yogyakarta: Dana
Bakti Prima Yasa,1996.
Maarif, A. Syafii, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan,
1994.
Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, (1997.
--------, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.
--------, Nurcholish. Islam Agama Peradaban, Bandung: Mizan, 1995.
Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Qur an, Jakarta: Rajawali
Pers, 1989.
Mlik bin Anas, Ab Abdillah, al-Muwatha , Kairo: Dr al-Fikr, 1984.
Mallinowski, Brainslaw, The Dynamics of Culture Change, New Haven: Yale
University Press, 1961.
Markoff, John. Waves of Demokracy, Social Movements and Political Change, terj.
Ari Setyningrum dengan judul Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan
Sosial dan Perubahan politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Martin, Irene Bloom J. Paul dan Waine L. Proudfood, Religius Divercity and Human
Right. New York : Columbia Inivercity Press, 1996.
Martin, Roderick, Sosiologi Kekuasaan, terjemahan Joediono Herry, Jakarta:
Rajawali, 1990.

232

Mattulada, Studi Islam Kontemporer: Sintesis Pendekatan Sejarah, sosiologi dan


antropologi Dalam Mengkaji Fenomena Kegamaan dalam Taufiq
Abdullah dan Muhammad Rusli karim (editor), Metodologi Penelitian
agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991.
Mauddi, Ab Ala, al, Hak-Hak Manusia dalam Islam, terjemahan Ummu
Hasanain, Jakarta: YAPI, 1988.
Mawardi, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habb al-Bashri al-Bagdd, al, alAhkm al-Sulthniyyah, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathbaah
Musthafa al-Bbi al-Halab, 1973.
Mayli, Muhsin, al, Rujir Gharudi wa al-Musykil al-Dniyyah, terj. Rifyal Kabah
dengan judul Pergulatan Mencari Tuhan: Perjalanan Religius Roger
Garaudy Jakarta: Paramadina, 1996.
Mochan, Raymond Firth B., Human Types diterjemahkan oleh S. Puspanegara
dengan judul Tjiri-Tjiri Alam Hidup Manusia Bandung: Sumur, 1966.
Mousa, M. Yoesoef, Islam Suatu Kajian Komprehensif, terjemahan A. Malik
Madany dan Hamim Ilyas, Jakarta: Rajawali, 1988.
Mubarakafri, Ab al-la Muhammad Abd al-Rahman ibn Abd al-Rahm, al,
Muqaddima Tuhfat al-Ahawz Syarh Jmi al-Tirmiz, Beirt: Dr al-Fikr,
1979.
Muhammad Dawan Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur an, Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.
Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Munawwir, Ahmad Wirson, al, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Jakarta:
Hidakarya Agung, 1990.
Musa, Bakar, Kebebasan dalam Islam, terjemahan Anshari Umar Sitanggal,
Bandung: al-Maarif, 1988.
Muslim, al-Hajjj, Ab al-Husain, al-Naisabri, Shahh Muslim, Beirt: Dr alFikr,1986.
Muthahhari, Murtadha, Keadilan Ilahy, Asas Pandangan Dunia Islam, terjemahan
Agus Efendi, Bandung: Mizan, 1992.
Muthlib, Rifaat Fawzi Abd, al, Tawtsq al-Sunnat f al-Qarni al-Tsni al-Hijr,
Mesir: Maktabat al-Khriji, 1981.

233

Nam, Abdullah Ahmed, al, Syariah dan Isu-Isu HAM, dalam Charles Kurzman,
Ed. Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer Tentang IsuIsu Global. Jakarta: Paramadina, 2001.
--------, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and
International Law, Syracuse: Syracuse Univercity Press, 1990.
Nadwi, Ab al-Hasan Ali al-Hasani, al, Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat
Kemerosotan Kaum Muslimin, terjemahan Abu Laila Muhammad Tahir,
Bandung: al-Maarif, 1983.
Naisabri, Ab Abdullah al-Hkim, al, Ma rifat Ulm al-Hadts, Haydrabat: Dr
al-Marifat al-Utsmniyyah al-Kinah, t.th.
Najjr, Abd Majid, al, F al-Fiqh al-Tadayyun: Pahman wa Tanzilan, terjemahan
Bakhruddin Fannani dengan judul: Pemahaman Islam: Antara Wahyu dan
Rakyu, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.
Nasution, Harun, dan Bahtiar Effendy (Ed.), dari R. Levy, The Sosial Strukture of
Islam, Cambridge: 1962.
---------, Islam Rasional, Bandung : Mizan, 1995.
Nasution,Yunan, Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1988.
Nata, Abuddin, dalam Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998
Pipes, Daniel, Tentara Budak dan Islam, terjemahan Sori Siregar, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986.
Pulungan, J. Suyuthi. Universalisme Islam, Editor Muhammad Tuwah dkk. Jakarta :
Moyo Segoro Agung, 2002.
--------, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur an, Jakarta: Grafindo Persada, 1994.
Qardhw, Yusuf, al, Daurul Qiym wa al-Akhlk f Iqtishdi al-Islm, terj. Didin
Hafiduddin dkk. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam
Jakarta: Rabbani Press, 2001.
---------, al-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban terjemahan Setiawan
Budi Utomo, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.
---------, Kaifa Nata ml ma a al-Sunnah al-Nabawiah, terj. Muhammad al-Baqir
dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi Bandung : Kharisma,
1994.

234

---------, Min Fiqh al-Dawlah f al-Islm, terjemahan Kathur Suhardi, dengan Judul
Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2000.
Qaththn, Mann, al, Mabhits f Ulm Al-Qur n, t.tp.: Muassasat al-Rislah,
1993.
Quthub, Muhammad, Syubht Haula al-Islm, Beirt: Dr al-Syurq, 1393 H./ 1973
M.
Quthub, Sayyid, F Zhill al-Qur n, Qhirah: Dr al-Syurq, 1992.
--------, al-Mustaqbal li Hz al-Dn, ttp,: Maktabah Wahdah, 1965
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: Universiti of Chicago Press, 1979.
--------, Islamic Methodologi in History, Delhi-India: Adam publishers &
distributors, 1994.
--------, Islamic Methodology in History. Karachi: Central Institut of Islamic
Research, 1965.
Rahman,

Jalaluddin, Islam dalam Perspektif


Ujungpandang: Umitoha, 1997.

Pemikiran

Kontemporer,

Ramahurmzi, al, al-Muhaddits al-Fshil Bain al-Rwi Wa al-W i naskah diteliti,


diberi anotasi dan kata pengantar oleh Ajjj al-Khatib. Beirt: Dr al-Fikr,
1971.
Rasdianah, Andi, Pendekatan Integralistik dalam Pengembangan Materi Ilmu
Keislaman Pada PTAI, Makassar : IAIN Alauddin, 1999.
Rayyah, Muhammad Ab, Adw al-Sunnah al-Muhammadiyah, Mesir: Dr alMaarif, t.th.
Rzi, Ab Bakar Ahmad, al-Jashshsh, al, Ahkm al-Qur n, Beirt: Dr al-Fikr, tth.
Ridha, Muhammad Rasyid. al-Why al-Muhammad, Kairo: al-Maktabat al-Qhirah,
1960.
Roberts, Robert, The Social Law of the Qoran, New Delhi: Cusmo Publication,
1977.
Rousseu, Jean Jacgues, Kontrak Sosial, terjemahan Sumarjo, Jakarta: Erlangga1986.
Sabbg, Muhammad, al, al-Hadts al-Nabawi: Musthalhuhu, Balgatuhu wa
Ulmuhu, t.tp.: Mansyurat al-Kutub al-Islmi, 1972.

235

Sahw, Muhammad Muhammad Ab, al-Hadts wa al-Muhadditsn, Mesir: Syirkah


Muhammad Misriyah, t.th.
Sanni, Muhammad bin Isml, al, Subl al-Salm Syarh Bulgh al-Marm, Mesir:
Musthfa al-Bbi al-Halab wa Aulduh, 1960.
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, terjemahan Moh. Said (dkk)
dengan judul Pengantar Hukum Islam, Jakarta : Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1985.
Shadily, Hassan, et.al. (ed), Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve kerjasama dengan elseiver Publishing Project, 1984
Shlih, Shubhi, al, Ulm al-Hadts wa Musthalhuhu, Beirt: Dr al-Ilm li alMalyin, 1988.
---------, Mabhits f Ulm Al-Qur n, Beirt: Dr al-Ilmi li al-Malyin, 1988.
Shiddiqi, Nouruzzaman, Sejarah Pisau Bedah Ilmu Keislaman dalam Taufik
Abdullah dan Rusli Karim, (Ed), Metodologi Penelitian Agama : Suatu
Pengantar, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.
Shihab, Muhammad Quraish, Perbudakan dalam majalah UMMAT, no 23, Jakarta:
Mahkota Mediator Utama, 1997.
--------, dalam Muhammad al-Gazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayn Ahl al-Fiqh
wa Ahl al-Hadis, terjemahan Muhammad al-Baqir dengan judul Studi
Kritis Atas Hadis Nabi Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Bandung: Mizan, 1993.
--------, Muhammad Quraish, Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir Atas Surat-Surat
Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1997.
Sibi, Musthfa, al, al-Sunnat wa Maknatuha f Tasyr al-Islm, Kairo: Dr alQuwmiyya li al-Tibat wa al-Nasyr, 1966.
Smit, Wilfred Cantwel, Islam in Modern History, New York: The New American
Library, Inc., 1959.
Soecipto, Agoes, dan Januar Arifin, Antropologi dalam E. Nugroho, Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990.
Soekanto, Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999.
Soemardjan Selo, dan Soelaeman Soemardi, (ed.), Bunga Rampai Sosiologi, Jakarta:
UI Press, 1974.

236

Stott, John. Issues Facing Cristians Today, terj. G.M.A. Nainggolan, Isu-isu Global
Menentang Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/MF., 1996.
Sukadijo, R.G. Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta:
Gramedia, 1983.
Suseno, Fran Magnis, Tantangan Kemanusiaan Universal: Ontologi Filsafat,
Budaya, Sejarah, Politik dan Sastra, dalam Kenangan 70 Tahun
Dikhartoko, Yogyakarta: Kanisus, 1994.
Suythi, Jall al-Dn Abd al-Rahman bin Ab Bakar, al, al-Laili wa al-Masnah f
Ahdts al-Maudah, Mesir: al-Maktabah al-Husainiyyah, t.th.
----------, Tadrb al-Rwi f Syarh Taqrb al-Naww, ditahqiq oleh Abd al-Wahab
al-Latif, Madinah: al-Maktabat al-Ilmiyyah, 1972.
Syafi, Muhammad bin Idris, al, Ikhtilf al-Hadts, Beirt: Dr al-Kutub alIlmiyyah, 1986.
----------, al-Umm. t.tp. : Nr al-Saqfa al-Islmiyyah, t.th.
Syahrur, Muhammad, Dirsat Islmiyah Mushirah f Daulah wa al-Mujtama,
diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri Qudsy dan Darus Syamsul fatta
dengan judul : Tirani Islam, Geneologi Masyarakat dan Negara,
Yogyakarta: LKiS, 2003.
Sykir, Ahmad Muhammad, Syarh Alfiyya al-Suythi f Ilm al-Hadts, Beirt: Dr
al-Marifah, t.th.
Syalab, Ahmad, Islam dalam Timbangan, terjemahan Abu Laila dan M. Tahir,
Bandung: al-Maarif, 1982.
--------, Maus a al-Trkh al-Islmi wa al-Hadhra al-Islmiyyah, Kairo: alMaktabat al-Nahdhat al-Arabiyyah, 1978.
--------, Perbandingan Agama: Agama Islam, terjemahan M. Arifin, Jakarta: Rineka
Cipta, 1990.
Syalthut, Mahmud, al-Islm Aqdah wa Syarah, Kairo: Dr al-Qalm, 1966.
Syariati, Ali, Man and Islam, terjemahan M. Amin Rais dengan judul Tugas
Cedekiawan Muslim, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Sythib, Ab Ishq, Ibrhm, al, Al-Muwfaqa f Ushl al-Syarah bi Syarh Abd
Allah al-Darrs. Mesir: al-Maktaba al-Tijriyya al-Kubr, t.th.
Syuhbah, Muhammad Muhammad Ab, F Rihb al-Sunna al-Kutub al-Sittah,
Kairo: Majma al-Buhts al-Islmiyyah, 1969.

237

Taha, Muhammad Mahmod, Syariat Demokratik, terjemahan Nur Rahman,


Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996.
Tahhn, Mahmud, Taisr Musthalah al-Hadts, Beirt: Dr Al-Qurn al-Karm,
1972.
Tarmasi, Muhammad Mahfus, al, Manhaj Zwi al-Nazhar. Surabaya: Maktabah
Ahmad bin Saad bin Nabhan, 1974.
Taylor, Edward Burnett, Primitive Culture, New York: Bretanos, 1924.
Team Penyusun Buku Pedoman Bahasa Arab, Pedoman Bahasa Arab pada
Perguruan Tinggi Islam dan IAIN, Jakarta: Proyek Departemen Agama
RI, 1976.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, cet. Ke-7, Edisi ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Tim Penyusun, Ensiklopedi al-Qur an: Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 2003.
Tirmiz, Ab sa Muhammad bin sa bin Saurat, al, Sunan al-Tirmiz. Beirt: Dr
al-Fikr,1978.
Ulwan, Abdullah Nashih, Jawaban Tuntas Masalah Perbudakan, Terjemahan
Aunur Rafiq Shaleh, Jakarta: al-Ishlahy Press, 1988.
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan jender Perspektif al-Qur an, Jakarta:
Paramadina, 2001.
Umari, Akram Dhiyauddin, Madinan Society at the Prophet: Its charakteristics and
organisation, terjemahan Munim A Sirry dengan judul, Masyarakat
Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zanman Nabi, Jakarta : Gema
Insani Press, 1999.
Ustman, Abdul Kariem, Kebebasan Persamaan dan Keadilan dalam Perspektif
Islam , dalam M. Lukman Hakiem (ed.), Hak Asasi Manusia dalam
Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1992.
Voll, John O., Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan
Ishlah dalam John L Esposito, (ed.) Voices of Resurgent Ishlah., Edisi
Indonesia, Dinamika Kebangkitan Islam, Jakarta: Rajawali, 1987.
Wfi, Ali Abd al-Wahid, al-Hurriyy f al-Islm, Cairo: Dr al-Marif, 1968.
--------, Human Right in Islam dalam Islamic Quarterly, vol 11, 1967
--------, al-Muswt f al-Islm, Kairo: Dr al-Marif, 1965.

238

Wahbah, Taufiq Ali, al-Jihd f al-Islm, terj, Abu Ridha, Jihad dalam Islam,
Jakarta: Media Dakwah, 1985.
Watt, William Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought Edinburg:
Edinburg University Press, 1973.
Zahrah, Muhammad Ab, Trkh al-Mazhhib al-Islmiyyah, tt.: Dr al-Fikr alArabiyyah, 1971.
--------, Ushl al-Fiqh, t.tp.: Dr al-Fikr al-Arab, t.th.
Zaidan, Jurji, Trkh al-Tamaddun al-Islm, Cairo: Dr al-Hill, t.th.
Zamahsyar, Ab al-Qsim Jrullah Mahmd bin Umar, al, al-Kasysyf An Haqiq
al-Tanzl wa Uyn al-Aqwil, Beirt: Dr al-Fikr, 1979.
Zein, Kurniawan, (ed.), Syariat Islam Yes, Syariat Islam No, Jakarta: Paramadina,
2001.

RIWAYAT HIDUP

Identitas pribadi
Nama
Tempat / tanggal lahir
Pangkat/Gol/ruang
Jabatan Fungsional
Orang tua:
- Ayah
- Ibu
Keluarga:
- Istri
- Putra/putri

Alamat:
- Kantor
- Rumah

: T a s b i h, M. Ag.
: Ulusalu Kab. Luwu, 08 Mei 1970
: Penata (III/c)
: Lektor, dalam mata kuliah Hadits/ Ulumul

Hadits

: M. Ladu Sira
: Sitti Pawadja Ladu
: Andi Saidah Hafid, M. Ag.
: 1. Wika Tazkirah Tasbih,
2. Muhammad Zaky Abdullah Tasbih, dan
3. Syarifah Ummi Kalsum Tasbih.
: Kampus IAIN Sultan Amai Gorontalo
Telp. 0435 882398
:Komlpek Pulubala, Blok D No.
Gorontalo
Telp. 0435 825039.
Jl. Tidung 5 Stp 3 No. 62 Kota Makassar
Telp. 0411 5080887
HP. 081342596929

Kota

Riwayat Pendidikan:
1.
2.
3.
4.

Madrasah Ibtidaiyah Pesantren Istiqamah Yaminas Kab. Luwu, lulus 1984.


Madrasah Tsanawiyah Pesantren Istiqamah Yaminas Kab. Luwu, lulus 1987.
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Pare-pare, lulus 1990.
S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin di Palopo Jurusan Tafsir Hadis, lulus
1995.
5. Program Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar Konsentrasi Hadis-Syariah,
lulus 2000.
6. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Tafsir
Hadis, 2001-sekarang.

240

Karya Tulis:
1.
2.
3.
4.

Konsep al-Quran Tentang Ekonomi (Skripsi)


Kritik Matan Menuju Pemahaman Kontekstual Hadis Nabi saw. (Tesis)
Islam sebagai Obyek Kajian (Jurnal al-Farabi IAIN Sultan Amai Press).
Hadis Sebagai Sumber Hukum (Analisis Fungsi) (Jurnal al-Ulum IAIN
Sultan Amai Press).
5. Istimbat Hukum Ahl al-Riwayah dan Ahl al-Rayi (Analisa Perbandingan)
(Jurnal al-Buhuts IAIN Sultan Amai Press).
6. Mengembangkan Kritik Matan: Memahami Hadis Secara Kontekstual
(Buku) IAIN Sultan Amai Press (dalam proses cetak).
7. Analisis Terhadap Hadis-hadis Tasyri dan Gairu Tasyri (Makalah)
8. Pendekatan Integral Ahli Hadis dan Ahli Fiqh Terhadap Kontroversial Hadis
(Makalah)
9. Muhammad dalam Perspektif al-Quran (Makalah)
10. Nikah Mutah: Tinjauan Sunni dan Syiah (Makalah)
11. Mengenal Tafsir al-Quran al-Karim (al-Ajza al-Asyarah al-Ula) Karya
Mahmud Syaltut (Makalah)
12. Tafsir al-Munir: Fi al-Aqidah wa al-Syariah al-Manhaj (Karya Wahbah alZuhaili) (Makalah)
13. Pradigma Pemikiran Hadis Modern: Telaah Terhadap Pemahaman Kaum
Feminis-Liberal (Makalah)
14. Al-Din dalam al-Quran (Analisis Tematik) (Makalah)
15. Profil Ibn Jarir al-Thabari (Studi tentang Biografi Seorang Mufassir)
(Makalah)
16. Pemikiran Hadis Imam al-Syafii (Telaah tentang Otentikasi Hadis)
(Makalah)
17. Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Nasional di Indonesia
(Makalah)
18. Beberapa Pendekatan Kontekstual Hadis Nabi saw. (Makalah)
19. Khamar dalam Perspektif Hadis Hukum (Makalah)
20. Al-Azl : Upaya Pencegahan Kehamilan (Perspektif Hadis Hukum)
(Makalah)
21. Analisis Efistimologis terhadap Karya Tulis Hadis (Makalah)
22. Refleksi Hadis Tentang Akhlak Sosial (Makalah)
23. Hadis Palsu: Sebab Kemunculan dan Upaya Pencegahannya (Makalah)
24. Konsep al-Ikhlash dalam Hadis (Makalah)
25. Urgensi Kritik Matan Hadis Nabi saw. (Makalah)
26. Cinta Menurut Perspektif Hadis Nabi saw. (Analisis Tematik) (Makalah) dan
lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai