Anda di halaman 1dari 273

HIDUP SETELAH MATI

Dialektika Teolog dan Filosof

TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Magister Filsafat Islam

Oleh :

ISMAIL SONNY
NIM : 10.2.00.0.091.02.0134

Pembimbing:
Prof. Dr. Yunasril Ali, MA.

KONSENTRASI FILSAFAT ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(SPs-UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN

Tesis yang berjudul HIDUP SETELAH MATI: Dialektika


Teolog dan Filosof ditulis oleh Ismail Sonny, NIM : 10.2.00.0.091.02.
0134, telah dinyatakan lulus pada ujian Pendahuluan yang
diselenggarakan pada hari Senin, 2 Juni 2014.

Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para


penguji sehingga disetujui untuk diajukan ke Ujian Promosi.

Jakarta, 9 Juni 2014

Tim Penguji:

Tanda
No. Nama Tanggal
Tangan

Prof. Dr. Suwito, MA


1.
(Ketua Sidang/ merangkap penguji)

Prof. Dr. Zainun Kamal, MA


2.
(Penguji 1)

Prof. Dr. Abdul Mujib, MSi


3.
(Penguji 2)

Prof. Dr. Yunasril Ali, MA


4.
(Pembimbing/ merangkap penguji 1)
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Ismail Sonny

NIM : 10.2.00.091.02.0134

TTL : Jakarta, 21 Oktober 1986

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul HIDUP


SETELAH MATI: Dialektika Teolog dan Filosof, adalah benar hasil
karya asli saya, kecuali kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila
terdapat kekeliruan dan kesalahan di dalamnya, maka hal itu
sepenuhnya tanggungjawab saya, yang dapat berakibat pembatalan
gelar akademik saya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, 9 Juni 2014

Ismail Sonny
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah, Rab alam semesta, atas rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul HIDUP
SETELAH MATI: Dialektika Teolog dan Filosof, yang menjadi salah satu
syarat untuk meraih gelar magister Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Tesis ini mengangkat permasalahan yang menjadi salah satu sebab
pengkafiran filosof (Ibn Si>na>) oleh teolog (al-Ghaza>li>), yaitu pengingkaran
terhadap surga dan neraka beserta perjalanan akhirat material lainnya. Ibn
Si>na> membenturkan akal dengan naqal dengan cara menutup segala skenario
kebangkitan raga, sehingga surga dan neraka merupakan perumpamaan dan
percontohan (al-Tashbi>h wa al-Tamthil) bagi orang awam yang
berpemahaman dangkal. Sementara teolog berusaha menciptakan skenario
kebangkitan raga yang rasional, sehingga pentakwilan ayat-ayat al-Quran
tidak perlu terjadi.
Teolog dalam kajiannya lebih banyak menonjolkan ayat-ayat al-
Quran tentang kebangkitan, namun minim argumentasi rasional. Sementara
filosof lebih mengedepankan alasan argumentatif (Burha>ni>) tidak rasionalnya
kebangkitan raga. Sekalipun lemah dari sisi argumentasinya, namun teolog
berpegang pada teks yang sudah pasti kebenarannya. sekalipun argumentasi
yang dikemukakan filosof banyak dan kuat, namun kebenarannya masih
diragukan.
Prinsip keadilan Tuhan menuntut manusia yang dibalasi
perbuatannya di akhirat adalah manusia si pelaku perbuatan itu sendiri.
Teolog mempertahankan raga dunia dibangkitkan di akhirat minimal bagian
asalnya, yaitu tulang tungging. Tulang tersebut ibaratkan biji tanaman yang
akan tumbuh menjadi raga manusia. Ibn Si>na> berhasil mematahkan teori
teolog dengan isu terkuat yaitu manusia memakan manusia (kanibal). Hal ini
didukung kemajuan ilmu kedokteran modern tentang sel, DNA dan
pencangkokan organ dalam manusia. Tesis ini keluar dengan
mengembangkan teori kebangkitan yang tidak memandang material raga, dan
menjadikan jiwa spiritual sebagai penentu identitas seorang manusia.
Tesis ini berhasil penulis rampungkan dengan kerja keras dan
bantuan berbagai pihak. Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak kekurangan diberbagai sisi. Namun usaha
untuk mencapai kesempurnaan itu, telah maksimal penulis lakukan. Sebagai
wujud rasa syukur kehadirat Allah swt atas ‘inayah dan kemudahan yang
diberikan, penulis menyucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak yang telah berkontribusi dan membantu terwujudnya tesis ini:
1. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Jakarta beserta jajaran deputi direktur, yang
telah memberikan kesempatan dan pelayanan yang terbaik buat para
mahasiswa dalam segala aktivitas perkuliahan.
2. Prof. Dr. Yunasril Ali, MA yang telah banyak menghabiskan waktu
untuk mengoreksi penulisan ini, dan tidak bosannya memberikan
arahan-arahan dalam mengembangkan ide penulis. Berkat bimbingan
beliau, penulis dapat merampungkan tesis ini.
3. Tim penguji ujian proposal tesis, ujian work in progress Tesis dan ujian
pendahuluan Tesis : Prof. Dr. Suwito MA, Dr. Fuad Jabali MA, Dr.
Yusuf MA, Dr. Euis Nurlailawati MA, M. Zuhdi M.Ed, Ph.D, Prof.
M.H.Yunan Yusuf MA, Suparto M.Ed, Ph.d, Prof. Dr. H. Fathurrahman
Djamil MA, Prof. Dr. Murodi MA, Prof. Dr. Abdul Mujib, MSi, Dr.
Asep Saepudin Jahar, MA dan Prof. Dr. Zainun Kamal, MA atas
koreksian dan arahan yang diberikan untuk perbaikan tesis ini.
4. Para dosen Sekolah Pascasarjana UIN yang telah mencurahkan ilmu
yang begitu berharga kepada penulis, yang secara langsung maupun
tidak langsung mendukung penulisan tesis ini. Begitu juga dengan
rekan-rekan seperjuangan, baik yang telah selesai maupun masih dalam
tahap penyelesaian, sharing ide dan masukannya telah banyak
membantu penulis.
5. Prof. Dr. ‘Abd al-Mu’t}i> Bayu>mi> (Alm), yang telah memberi penulis
sebuah karya Ibn Si>na> yang divonis menyesatkan dan terlarang ‚Risa>lah
Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d‛ yang menjadi sumber primer penulisan
tesis ini. Sungguh penulis tidak akan mendapatkan teks suntingan
Sulaiman Dunya tersebut, kecuali dari perpustakaan pribadinya.
Sekalipun penulis tidak dapat menyelesaikan Dirasat ‘Ulya di al-Azhar,
namun ide tesis ini muncul dari perkulihan yang beliau berikan.
6. Ayahanda dan Ibunda berserta adik-adik tercinta yang telah memberikan
dukungan moril maupun materil demi selesainya cita-cita penulis. Juga
keluarga besar di Bukittinggi yang telah mengasuh dan mendidik penulis
selama mendalami ilmu agama di Madrasah Sumatera Thawalib
Parabek.
Semoga Allah membalasi kebaikan-kebaikan yang telah diberikan
dengan kebaikan yang berlipat-lipat di akhirat kelak. Semoga usaha dan kerja
keras penulis ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya, turut memperkaya
khazanah keilmuan Islam, dan menjadi pemberat timbangan amalan baik di
akhirat. Amin Ya> Rab al-‘A<lami>n.
Jakarta, 10 Juni 2014
Penulis

Ismail Sonny
ABSTRAK

HIDUP SETELAH MATI:


Dialektika Teolog dan Filosof

Tesis ini membuktikan bahwa kebangkitan yang tidak


memandang material raga merupakan teori terkuat dalam membangun
akidah hidup setelah mati. Identitas seorang manusia ditentukan oleh
jiwanya, bukan ditentukan oleh raganya. Raga hanyalah alat yang
dapat berganti. Pergantian dan perubahan raga tidak merubah identitas
seorang manusia. Di akhirat, jiwa tidak mesti kembali bergantung
pada raga dunia. Jiwa dapat saja bergantung pada raga dari material
apapun, baik raga yang lama, maupun raga yang baru.
Tesis ini memperkuat pendapat Linne Ruder Baker (2007) yang
menyatakan bahwa seorang manusia dibentuk oleh -tapi tidak identik
dengan- organ tubuh. Begitu juga dengan Wahiduddin Khan (2005)
yang menyatakan bahwa manusia mengganti raganya setiap sepuluh
tahun, namun manusia yang ada di dalamnya tidak berubah. Pendapat
serupa diutarakan Ayatullah Ja’far al-Subh}a>ni> (1990), yang dipandang
dalam perkara kebangkitan adalah bentuk (S}ur> ah).
Tesis ini membantah teori kebangkitan yang mempertahankan
raga dunia bertamasya ke akhirat. Seperti Aly Arslan Aydin (1998)
yang menyatakan bahwa I‘a>dah al-Ma’du>m lebih berhati-hati dan Jam’
al-Ajza’ al-As}liyah lebih aman dalam berdiskusi, berdialog dan
berdebat. Muh}ammad H{asan Riba>h} Bukhit (1988) menafsirkan al-
Ajza’ al-As}liyah dengan al-‘Ajab al-Zanab, yaitu tulang tungging.
Sumber primer penulisan tesis ini adalah ‚Risa>lah Ad}h}awiyah
fi Amr al-Ma’a>d‛ karya Ibn Si>na> (370-428 H) yang dibaca dengan
bahasa Arab. Penelitian ini sepenuhnya penelitian kepustakaan.
Penelitian akan menghasilkan data Deskriptif yang disajikan dalam
bentuk Kualitatif. Dalam pengumpulan data digunakan tehnik
pengumpulan data penelitian Dokumentasi. Dalam menganalisis data,
dipakaikan logika Aristoteles (al-Mant}iq al-Qadi>m), yaitu penalaran
Induktif-Abstaktif. Disamping itu, penelitian juga menggunakan
analisis data Deskriftif dan Komparatif.\ Dalam mengkomparasikan
data digunakan pendekatan Teoritis.

iii
‫ملخص البحث‬

‫حياة بعد الموث‪:‬‬


‫جدليت علماء الكالم والفالسفت‬

‫هذه الطرٌحة دلت على أن البعثة التى التلتفت إلى مادة الجسم هى أقوى‬
‫نظرٌة فى بناء عقٌدة الحٌاة بعد الموت‪ ،‬وٌتم تحدٌد هوٌة اإلنسان من خالل‬
‫نفسه ولٌس من خالل جسمه‪ ،‬ألن الجسم هً مجردة أداة التى تمكن أن تتغٌر‪،‬‬
‫التغٌر والتبدل فى مواد الجسمٌة ال ٌغٌر وال ٌبدل هوٌة اإلنسان‪ ،‬ولٌس من‬
‫ضرورة فى المعاد أن ٌتعلق النفس بالجسم التً كانت فى الدنٌا‪ ،‬وٌمكن للنفس‬
‫أن ٌتعلق بالجسم من أي مادة كانت‪ ،‬سواء جسم التً كانت فى الدنٌا أو جسم‬
‫خلقت جدٌدا‪.‬‬
‫هذه الطرٌحة تدعم فكرة ‪ )7002( Linne Rudder Baker‬التى قالت أن‬
‫اإلنسان ٌتم تشكٌله –ولكن الٌدل على هوٌته‪ -‬بأعضاء الجسم‪ ،‬وكذالك‬
‫‪ )2005( Wahiduddin Khan‬الذى قال أن اإلنسان ٌغٌر جسمه فى كل عشر‬
‫سنٌن‪ ،‬ولكن اإلنسان فى الداخل ال ٌتغٌر‪ ،‬ورأي مماثل قاله آٌة هللا جعفر‬
‫السبحانى)‪ ، (1990‬إنما ٌعتبر فى أمر اإلعادة هو الصورة‪.‬‬
‫هذه الطرٌحة تجادل فكرة البعث التى ٌحفظ جسم دنٌاوي ٌرحل إلى‬
‫اآلخرة‪ ،‬كمثل ‪ )8991( Aly Arslan Aydin‬الذى قال أن إعادة المعدوم اقرب‬
‫إلى احتٌاط‪ ،‬وجمع األجزاء األصلٌة أسلم فى المناقشة والحوار والمجادلة‪،‬‬
‫وفسر محمد رباح بخٌت (‪ )8911‬األجزاء األصلٌة بعجب الزنب وهى عظم‬
‫عصعص‪.‬‬
‫ومصدر رئٌسى لهذه الطرٌحة هو "رسالة أضحوٌة فى أمر المعاد"‬
‫إلبن سٌنا (‪ 871-020‬هـ) وتتم قراءتها باللغة العربٌة‪ ،‬وهذه الدراسة مكتبٌة‬
‫بالكامل‪ ،‬وتخرج منها بٌانات وصفٌة التى قدمت فى صورة نوعٌة‪ ،‬وفً جمع‬
‫البٌانات تستخدم منهج جمع البٌانات التوثٌقٌة‪ ،‬وفى تحلٌل البٌانات تستخدم‬
‫المنطق األرسطٌة أوالمنطق القدٌمة أي المنهج قٌاس الخاصة إلى العامة‪،‬‬
‫وباإلضافة إلى ذلك تستخدم منهج تحلٌل البٌانات الوصفٌة والمقارنة‪ ،‬وفً‬
‫مقارنة البٌانات تستخدم مقاربة النظرٌة‪.‬‬

‫‪iv‬‬
ABSTRACT

LIFE AFTER DEATH :


Dialectic of Theologian and Philosopher
This thesis argues for the resurrection, which does not view
material body, is the most powerful theory in developing belief after
death. The identity of human being is not determined by the body, but
by the soul. Body is only a simply tool that can be changed.
Replacements and changes of the body do not alter the identity of
human being. In hereafter, the soul does not have to be return and
dependent on the body in the world life. The soul can be dependent on
the body of any material, not only in the old body, but also in the new
body.
This thesis strengthen the Linne Ruder Baker (2007) opinions
which states that a human person is constituted by –but not identical
to- human organism. Likewise with Wahiduddin Khan (2005) which
states that the human changes his body for every ten years, but the
human in the body does not change. A similar opinion was expressed
by Ayatullah Ja’far al-Subh}an> i> (1990), which is seen in the case of the
resurrection is the form (Su>rah).
This thesis refuted resurrection theory which keeps world body
to bring into the hereafter. Like Aly Aydin Arslan (1998) which states
that I‘a>dah al-Ma’du>m is more careful and Jam’ al-Ajza’ al-As}liyah is
safer in discussion, dialogue and debate. Muh}ammad H{asan Riba>h}
Bukhit (1988) interpreted al-Ajza 'al-As}liyah with al-' Ajab al-Zanab,
the coccyx.
The primary sources of this thesis are ‚Risa>lah Ad}h}awiyah fi>
Amr al-Ma’ad‛ written by Abu ‘Ali ibnu Si>na> (370-428 H) that is read
in Arabic. The method used in this study is Library Research. It will
generate descriptive data presented in Qualitative form. The technique
in collecting the data is documentation research. Whereas, analyzing
the data is used Aristotle’s logic that is inductive abstractive
reasoning. This study also used Descriptive and Comparative data
analysis. Furthermore, Theoretical Approach is used to compare the
data.

v
PEDOMAN TRANSLITERASI

b = ‫ب‬ z = ‫ز‬ f = ‫ف‬

t = ‫ت‬ s = ‫س‬ q = ‫ق‬

th = ‫ث‬ sh = ‫ش‬ k = ‫ك‬

j = ‫ج‬ s} = ‫ص‬ l = ‫ل‬

h} = ‫ح‬ d} = ‫ض‬ m = ‫م‬

kh = ‫خ‬ t} = ‫ط‬ n = ‫ن‬

d = ‫د‬ z} = ‫ظ‬ h = ‫ه‬

dh = ‫ذ‬ ‘ = ‫ع‬ w = ‫و‬

r = ‫ر‬ gh = ‫غ‬ y = ‫ي‬

Short : a=´ ; i=ِ ; u= ِ

Long : a< = ‫ ; ا‬i> = ‫; ي‬ ū=‫و‬

Diphthong: ay = ‫; ي ا‬ aw = ‫و ا‬

vi
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................ i


ABSTRAK ........................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................... vii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Permasalahan ................................................................................. 19
1. Identifikasi Masalah ............................................................... 19
2. Batasan Masalah .................................................................... 20
3. Rumusan Masalah .................................................................. 21
C. Tinjauan Kepustakaan ................................................................... 22
1. Kerangka Teori....................................................................... 22
2. Kajian Terdahulu yang Relevan ............................................. 23
D. Tujuan Penelitian .......................................................................... 25
E. Manfaat Penelitian ........................................................................ 26
F. Metodologi Penelitian ................................................................... 26
G. Sistematika Penulisan ................................................................... 28

BAB II : JIWA DALAM KAJIAN FILOSOF


A. Istilah Operasional ........................................................................ 31
B. Dinamika Kajian Jiwa ................................................................... 37
1. Pemahaman ‚Al-Ru>h}‛ yang Dipertanyakan ........................... 37
2. Pemahaman ‚Amr Rabbi>‛ ....................................................... 41
3. Pemahaman ‚Ilmu yang Sedikit‛ ............................................ 45
C. Kemunculan Jiwa antara Qadi>m dan H{a>dith ................................ 47
1. Jiwa Qadi>m Menurut Filosof .................................................. 50
2. Jiwa H{a>dith Menurut Teolog .................................................. 58
D. Karakteristik Jiwa dan Hubungannya dengan Raga ..................... 67

BAB III : AKHIRAT DI MATA FILOSOF

A. Antara Teolog dan Filosof ....................................................... 91


B. Aliran Filosof Secara Umum .................................................... 104
C. Akhirat Material ....................................................................... 107
1. Manusia Adalah Jiwa Material dan Raga Material ........... 108
2. Pembuktian Kematerialan Jiwa ......................................... 122
ii

3. Perjalanan Akhirat Material ............................................... 125


a. Barzakh ......................................................................... 125
b. Peniupan Sangkakala (al-Su>r) ...................................... 147
c. Kebangkitan (al-Ba’th) ................................................ 148
d. Pengumpulan (al-Hashr) ............................................... 150
e. Penghitungan Amal (al-Hisa>b)..................................... 141
f. Timbangan (al-Miza>n).................................................. 152
g. Telaga (al-H{aud}) .......................................................... 156
h. Jembatan (al-S{ira>t}) ....................................................... 158
i. Surga dan Neraka ......................................................... 160
D. Akhirat Spiritual ...................................................................... 165
1. Manusia adalah Jiwa immaterial ....................................... 168
2. Pembuktian kespiritualan jiwa .......................................... 172
3. Pemisahan antara Kalangan Awam dan Khusus ............... 177
4. Kenikmatan Spiritual Jauh Lebih Utama dari
Kenikmatan Material......................................................... 181
5. Kebahagiaan dan Kesengsaraan Spiritual ......................... 186
6. Tingkatan Kebahagiaan dan Kesengsaraan Spiritual ....... 189
E. Akhirat Material dan Spiritual ................................................. 193

BAB IV : KEBANGKITAN RAGA


A. Istilah Operasional ................................................................... 201
B. I‘a>dah al-Ma’du>m ..................................................................... 205
C. Jam’ ba’d al-Tafarruq ............................................................... 209
D. Kebangkitan Raga dari Material Apapun ................................ 219

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 227
B. Saran ......................................................................................... 229
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 231
GLOSSARY ......................................................................................... 247
INDEKS ............................................................................................... 251
BIODATA PENULIS........................................................................... 260
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Adanya kehidupan setelah kehidupan di dunia, merupakan
kepercayaan kuno semenjak adanya sejarah manusia. Kehidupan
akhirat yang dilandasi ajaran pembalasan amal perbuatan merupakan
fitrah pemikiran manusia.1 Di dunia selalu terjadi perselisihan antara
yang baik dan yang buruk, keluhuran dan kejahatan, namun sering kali
pertarungan dimenangkan oleh yang jahat dan fasik. Sudah suatu
kemestian adanya dunia lain (akhirat) tempat keadilan ditegakkan,
yang jahat diberikan hukuman dan yang berbuat baik diberikan balasan
yang serupa. Semenjak dahulu kala, manusia meyakini adanya
pembalasan amal perbuatan mereka. Orang yang berbuat baik akan
dibalasi dengan kebaikan yang setimpal bahkan berkali-kali lipat
kebaikan. Begitu juga dengan orang yang berbuat jahat, akan dibalasi
kejahatan serupa maupun berlipat-lipat kesengsaraan. Konsep
pembalasan amal perbuatan dapat dengan mudah ditemukan dalam
peradaban mana pun di dunia, dari Timur sampai ke Barat, dahalu
sampai sekarang, pada peradaban-peradaban kuno seperti Babilonia, 2
Mesir, 3 Persia, 4 Yunani5 dan Romawi6.
1
‘Isa ‘Abduh dan Ah}mad Ismail Yah}ya, H{aqi>qah al-Insa>n (Cairo: Da>r al-
Ma‘a>rif, 1988), Cet. 2, Vol. II, 25.
2
Babilonia artinya pintu Tuhan. Orang Persia menyebutnya dengan
Babirush, negara kuno yang terletak antara dua sungai. Babilonia dahulunya juga
dikenal dengan nama Sumeriah yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat di
selatan Bagdad, Irak. Peradaban ini muncul antara abad ke-18 SM. sampai abad ke-6
SM. Negara ini ditopang oleh pertanian. Didirikan oleh Hammurabbi 1763 SM
dengan undang-undangnya yang terkenal. Lihat Horst Kelinxl, H{amu>rabi> wa ‘As}rihi,
Trans. Muh}ammad Wahid al-Khayyat}ah (Suriah: Dar al-Mana>r li al-Dira>sa>t wa al-
Tarjamah wa al-Nashr, 1990), Cet. I.
3
Peradaban disepanjang sungai Nil di Afrika utara. Dikenal dengan
peradaban Fir‘aun yang muncul pada 3.150 SM. Lihat Cyril Oldirih, Al-H{ad}a>rah al-
Mas}riyah: Min ‘Us}ur ma> Qabla al-Ta>rikh h}atta Niha>yah al-Daulah al-Qadi>mah,
Trans. Mukhta>r al-Suwaifi> (Cairo: al-Dar al-Mas}riyah al-Lubna>niyah, 1996), Cet. III.
4
Peradaban yang terletak di wilayah Irak dan Iran sekarang yang bermula
sekitar 3500 SM. Nenek moyangnya dikenal dengan nama ‘Ailamiyah yang
menghuni daerah Khuzistan sekarang (Irak). Orang Arab mengenalnya dengan
sebutan Bani Gulaim. Peradaban persia terkenal sebagai imperium besar pada abad
ke-6 SM. dibawah kekaisaran Ukhminiyah dengan menyatukan Babilonia dan Mesir.

1
2

Keyakinan adanya pembalasan amal perbuatan dapat tercermin


dalam pemikiran keabadian. Mesir Kuno sebuah bangsa yang terkenal
sepanjang sejarah selalu meyakini keabadian, meskipun mereka tidak
punya kata untuk mengungkapkan makna keabadian dalam bahasa
mereka. Kata ‚hidup‛ digunakan untuk kehidupan di bumi dan setelah
mati. 7 Sejarawan Will Durant 8 (1885-1981) menegaskan bahwa
keistimewaan agama di Mesir Kuno adalah pemikiran keabadian.
Mesir Kuno membayangkan Tuhan menciptakan manusia dari dua
bagian: Pertama, ‚material‛ yaitu raga yang di dalamnya terkandung
karakteristik kemusnahan dan kehancuran. Kedua, ‚jiwa‛ yang
merupakan esensi kehidupan yang mempunyai karakteristik keabadian,
dan langit adalah kediamannya setelah mati. Mesir kuno
menyimpulkan pemahaman ini di dinding piramid menyatakan: ‚Jiwa
(kediamannya) langit, raga (kediamannya) bumi‛9
Meskipun jiwa berpisah dengan raga, keduanya tetap
mempunyai hubungan. Jiwa akan turut hancur apabila raga binasa.
Oleh karena itu, mereka berusaha keras untuk menjaga raga agar tidak
terurai. Mesir kuno membangun kuburan jauh di tengah gurun yang

Bisa dikatakan peradaban Persia adalah penerus peradaban Babilonia. Lihat ‘Ali
Z{arif al-A’z}ami, Al-Duwal al-Fa>risiyah fi al-‘Irak (Bagdad: Mat{ba’ah al-Furra>t,
1928)
5
Peradaban yang bermula dari pulau Kreta pada 3.000 SM, dikenal juga
dengan al-Igri>q (Greek) dan peradaban Helenisme, istilah yang dipakaikan pada
rentang tahun 750 SM sampai 146 SM. Yunani berhasil mempersatukan dunia
(Mesir, Persia, India, Syam) dibawah kekuasaan Alexander Agung. Lihat Mamduh}
Darwish Mus}tafa> dan Ibrahim Sa>yih, Muqaddimah fi al-H{ad}arah al-Ruma>niyah wa
al-Yuna>niyah (Alexandria: al-Maktabah al-Ja>mi’i> al-Hadisth, 1998).
6
Sejarah Romawi dimulai dari tahun 753 SM. Romulus mendirikan kota
Roma di Tel al-Bala>ti>n di Italia kuno. Pada waktu itu, italia dihuni oleh berbagai
bangsa dari asal yang berbeda-beda. Lihat Mah}mud Ibrahim al-Sa’da>ni>, H{ad}arah al-
Ru>ma>n: Mundhu Nash’ah Ru>ma> h}atta Niha>yah al-Qurn al-Awwal al-Mila>di> (Mesir:
‘Ain li al-Dirasa>t wa al-buhuth al-Insaniyah, 1998), Cet. I.
7
Jaroslv Cherny, Al-Diya>nah al-Masriyah al-Qadi>mah,Trans. Ah}mad Qadri>
(Cairo: Dar al-Shuru>q, 1996), Cet I, 106.
8
William James Durant (1885-1981 M.) adalah seorang sejarawan dan
filosof Amerika produktif. Ia terkenal karena bukunya yang populer ‚The Story of
Civilization‛. Sebelumnya dia juga terkenal dengan bukunya ‚The Story of
Philosophy‛ sebuah karya inovatif yang mempopulerkan filsafat. Lihat Profilnya di:
http://jimsafley.com/writings_archive/durant.html (diakses tanggal 22 April
2014)
9
Ah}mad S}alih, Al-Tah}ni>t}: Falsafah al-Khulu>d fi al-Mas}r al-Qadi>mah (Cairo:
Jama>‘ah H{iwa>r al-Thaqa>fiyah, 2000), 18.
3

kering dan minim kelembaban. Penguburan beberapa barang dan


peralatan-peralatan kehidupan dunia bersama mayat, menunjukkan
dengan pasti bahwa Mesir kuno meyakini kehidupan di akhirat tidak
jauh berbeda dengan kehidupan pertama yang mereka jalani di muka
bumi.10 Lebih dari itu, mereka juga mengawetkan binatang peliharaan
si mayat, seperti kucing, kera, dan ikan.11 Ini membuktikan kehidupan
akhirat hampir sama dengan kehidupan dunia di mata Mesir Kuno.
‚Kitab Kematian‛ 12 adalah bukti nyata Mesir kuno sangat
meyakini adanya kehidupan akhirat. Di dalamnya diceritakan manusia
memberikan pertanggungjawaban kepada Osiris ‚Dewa Kematian‛
yang dibantu oleh barisan 42 hakim (Dewa) lainnya.13 Seseorang akan
dihakimi tentang amal perbuatannya. Pada akhirnya, hati mayat
diletakkan di piring timbangan, dan di piringan lainnya diletakkan
bulu burung putih sebagai lambang kebenaran. Siapa yang berat
timbanganya, jiwanya akan melayang ke langit, kediaman Tuhan dan
orang suci. Siapa yang timbangannya ringan, jiwanya akan kembali ke
raga lain sampai ia kembali pada kesuciannya yang pertama.14
Berbeda dengan Mesir kuno, keyakinan pembalasan amal
perbuatan dalam peradaban India Kuno sangat menonjolkan
reinkarnasi. 15 Tidak ada yang sangat meyakini reinkarnasi seperti
bangsa India. 16 Peradaban India Kuno berupa agama Hindu (al-

10
Cyril Oldirih, Al-Had}ar> ah al-Mas}riyah, 59.
11
Ah}mad S}alih, Al-Tah}nit}: Falsafah al-Khulu>d fi Mis}r al-Qadi>mah, 141.
12
Kitab suci peninggalan Mesir era baru yang berisikan keutamaan budi
pekerti, adab dan kisah-kisah perjalanan hidup setelah mati. Lihat Breet Im Hero,
Kita>b al-Mauta> al-Fir‘auni>, Trans. Fi>li>p ‘At}iyah (Cairo: Maktabah al-Madbu>li,
1988), Cet. I.
13
Qamar al-Daulah, Dirasa>t fi al-Milal wa al-Nih}al (Zagazig-Mesir: Dar al-
Bansiyah, tt),81.
14
Bagian penghakiman dalam Kitab Kematian, lihat Breet Im Hero, Kita>b
al-Mauta> al-Fir’auni>, 12-17.
15
Reinkarnasi menurut yang meyakininya adalah kembalinya jiwa setelah
mati ke alam duniawi memakai raga yang baru. Para peneliti mendefenisikan
reinkarnasi dengan: perjalanan keliling jiwa. Disebut juga dengan terlahir kembali.
Dalam ajaran Brahmana, jiwa merupakan makhluk yang bersumber dari eksistensi
Allah dengan zatnya, berkeliling dan berturut-turut berpindah dari satu ke tempat
lain dan menitis ke raga yang satu ke yang lain. Lihat T>a{ riq Sarri, Tana>sukh al-
Arwa>h} (Giza, Mesir: Dar Masha>riq li al-Nash wa al-Tauzi’, 2009) , Cet. I, 11.
16
Abu al-Fath} Muh}ammad ibn ‘Abd al-Kari>m Ah}mad al-Shahrasata>ni>, Al-
Milal wa al-Nih}al, Ed. Ami>n ‘Ali Mihna> dan ‘Ali Hasan Fa>r’ur (Beirut: Dar al-
Ma’rifah,1993), Cet. III, 606.
4

Hindu>siyah) atau ajaran Weda 17 (al-Fi>diyah) dan ajaran Brahmana 18


(al-Bara>himiyah). Dalam ajaran Hindu, balasan amal perbuatan
disebut ‚Karma‛. 19 Aturan Tuhan dalam menegakkan prinsip
keadialan. Karma adalah hukum sebab akibat. Balasan amal perbuatan
akan diterima di kehidupan dunia atau di kehidupan lain dengan be-
reinkarnasi. Dunia adalah kampung ujian dan juga kampung
pembalasan amal perbuatan. Karma tidak hanya berlaku untuk
manusia, tapi juga berlaku untuk semua, termasuk para dewa.20
Keyakinan pembalasan amal perbuatan berkaitan erat dengan
keyakinan adanya jiwa dan keabadiannya. Sebagaimana keyakinan
pembalasan amal perbuatan berkaitan erat dengan adanya pahala dan
hukuman setelah kehidupan dunia. Setiap kali memperhatikan sejarah
masyarakat manusia, pastilah ditemukan keyakinan tentang kehidupan
yang abadi. 21 Bahkan ditemukan tanda-tanda kemiripan kehidupan
akhirat dengan kehidupan dunia. Bisa dikatakan persis sama,
perbedaannya hanya pada sifat atau kondisinya saja. Kehidupan
akhirat lebih enak, nikmat, sejuk, tentram sebagai balasan perbuatan
baik dan lebih sakit, perih, panas dan sebagainya sebagai hukuman
bagi para pembuat dosa. Adalah sebuah keyakinan, bahwa dalam
kehidupan akhirat ada segala manifestasi kehidupan dunia. Keyakinan
ini bisa ditemui pada ajaran-ajaran kuno, legenda-legenda dan sya'ir-
sya'ir zaman dahulu dalam banyak peradaban yang tersebar di muka
bumi.

17
Kitab suci Weda atau Veda (al-Fi>diyah) bukanlah hasil pemikiran India,
akan tetapi Weda adalah ajaran yang dibawa oleh bangsa Arya ketika menaklukkan
India 1.500 SM dan mewajibkan ajaran itu kepada penduduk setempat untuk
menjaga stabilitas kekuasaannya. Lihat Muh}ammad Ghallab, Al-Falsafah al-
Sharqiyah (Cairo, Mat}ba’ah al-Bait al-Akhd}ar, 1938), 93.
18
Brahmana adalah nama yang dipakaikan untuk tokoh agama yang diyakini
mempunyai unsur ketuhanan. Mereka adalah pendeta. Sesemblihan tidak sah
dilaksanakan kecuali bila dilakukan dihadapan Brahmana dan disemblih dengan
tangan Brahmana. Brahmana diambil dari kata Bara>hima> yaitu kata yang digunakan
menunjukkan menyendiri beribadah, syiar agama, doa dan nyanyian. Lihat Ali ‘Abd
al-Fatta>h} al-Maghribi>, Al-Fikr al-Di>ni> al-Sharqi> al-Qadi>m wa Mauqif al-
Mutakallimi>n (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996), Cet. I, 32.
19
Karma adalah Balasan pahala bagi jiwa yang berbuat baik, dan hukuman
bagi jiwa yang berbuat dosa. Lihat T{ariq Sarri, Tana>sukh al-Arwa>h}, 16.
20
Abbas Mahmu>d ‘Aqqa>d, Allah (Cairo: Dar Nahd}ah Masri li al-T{iba’ah wa
al-Tauzi’, 1998), 47.
21
‘Isa Abduh, Haqi>qah al-Insan, Vol II, 25.
5

Baik agama Langit:22 Yahudi, 23 Kristen,24 dan Islam25 maupun


agama Bumi: 26 Majusi, 27 Hindu, 28 Budha 29 dan agama pagan lainnya

22
Agama Langit dalam bahasa Arabnya agama sama>wi, atau disebut juga
dengan agama ilahi>. Agama wahyu yang diturunkan dari sisi Allah ta’ala kepada
Nabi dan Rasulnya as. Lihat Qamar al-Daulah Na>sif dan Tharwat H{asan ‘Abd al-
Mihna>, Dirasa>t fi al-Milal wa al-Nih}al, 31.
23
Yahudi berasal dari kalimat ‚Ha>da‛ yang artinya kembali. Penganut
agama ini mengklaim bahwa mereka pengikut Musa as. sementara mereka bukanlah
Bani Israel (anak-anak Ya’kub). Dalam perjanjian lama, Yahudi berasal dari
‚Yahudha‛ sebuah kerajaan di selatan palestina dengan al-Quds sebagai ibu kotanya.
Kitab sucinya Taurat, yaitu bagian dari perjanjian lama, namun mereka lebih
mengikuti Talmud karena lebih rinci. Lihat ‘Abd al-Qa>dir S{alih, Al-‘Aqa>id wa al-
Adya>n (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2006), 285-286.
24
Agama yang diturunkan Allah kepada nabi Isa as. dan kitabnya bernama
Injil. Agama ini dalam al-Quran disebut Nasrani, yang dinisbatkan kepada sebuah
negeri di Palestina ‚Na>shirah‛ (Nazareth), atau karena pengikutnya penolong Isa as.
(Ans}arullah). Penganut agama ini lebih suka dengan nama Masi>hi> (Messias) atau
Kristen dari pada Nasrani, berlepas tangan dari celaan al-Quran. Umat Kristiani
meyakini akidah trinitas, kesucian para paus dan pendeta yang menghalal dan
mengharamkan atas nama Allah. Umat Kristiani meyakini akidah penyaliban dan
penebusan dosa, oleh karena itu mereka menyucikan salib. Lihat Abu ‘Abdillah
‘A<mir Adbillah Fa>lih}, Mu’jam Alfa>z} al-‘Aqi>dah (Riyad}: Maktabah al-‘Abi>kah,
1997), 408-409
25
Islam dalam bahasa Arab artinya tunduk dan patuh. Islam adalah amalan-
amalan zahir yang pondasinya melafalkan dua kalimat syahadat, mengesakan Tuhan,
menetapkan kerasulan Muh}ammad saw., konsisten dengan hukum-hukum syariat
yang diwajibkan kepada hambanya dan larangan-larangan terhadap amalan-amalan
tertentu. Dengan adanya perintah dan larangan terwujudlah maslahat hamba. Lihat
‘Abd al-Qadir S{alih, Al-‘Aqa>id wa al-Adya>n, 28-29.
26
Agama Bumi dalam bahasa Arabnya disebut Ard}i>, atau disebut juga
dengan agama Wad}’i>, yaitu agama buatan manusia, hasil kreasi manusia yang tidak
berlandaskan kepada wahyu dari langit. Lihat Qamar al-Daulah, Dira>sa>t fi al-Milal
wa al-Nihal, 32.
27
Keyakinan Persia kuno tentang adanya dualisme, dua asal yang abadi yang
mengatur dunia, yaitu tuhan baik dan buruk, bermanfaat dan berbahaya, kebaikan
dan kerusakan. Tuhan yang pertama adalah Tuhan cahaya ( Yazda>n) darinyalah
sumber kebaikan. Tuhan kedua adalah Tuhan kegelapan ( Ahrama>n) darinyalah
sumber kejahatan. Lihat Qamar al-Daulah Na>s}if, Dira>sa>t fi al-Milal wa al-Nihal,87.
28
Hindu merupakan bahasa sansakerta yang artinya kebenaran abadi.
Agama paganisme yang berasal dari anak benua India yang merupakan kelanjutan
agama Weda atau Brahmanisme (al-Bara>himah). Agama ini diperkirakan muncul
3.000 SM. Lihat Will Durant, Qis}s}ah al-H{ad}a>rah: al-Hind wa Jira>nuha>, Trans. Zaki
Najib Mahmu>d (Beirut: Dar al-Jail, 1988).
29
Agama Budha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal
sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Sejarah agama Buddha mulai
dari abad ke-6 SM, dari lahirnya Siddharta Gautama. Agama Budha berkembang
6

mempunyai konsep tersendiri tentang hidup setelah mati. Semua


agama mengajarkan manifestasi kehidupan dunia di akhirat.
Walaupun dengan beragam perbedaan situasi kondisi dan sifatnya.
Ajaran pembalasan amal perbuatan merupakan salah satu
pokok ajaran Yahudi. Sekalipun gambaran kehidupan akhirat cukup
rumit dalam ajaran Yahudi, filosof Yahudi Ibn Kamu>nah30 (1215-1285
M) memastikan bahwa Yahudi meyakini kehidupan akhirat. Pendeta
menghukumi shalat orang yang tidak menyebutkan keimananya
terhadap kebangkitan tidaklah sah, begitu juga ketika melihat kuburan
Yahudi.31 Ibn Kamu>nah mengakui bahwa Taurat32 sama sekali tidak
menerangkan dengan jelas surga dan neraka. Tetapi surga dan neraka
diriwayatkan turun temurun dari para pendeta. 33 Gambaran surga dan
neraka, kekekalan jiwa, pembalasan amal perbuatan dengan jelas
diterangkan dalam Talmud. 34 Buku-buku Yahudi tidak ada yang
membahas akhirat sama sekali. 35 Karena memang teks-teks Taurat

dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan


Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Agama ini tidak
mempunyai konsep tentang Tuhan, tapi lebih menitik beratkan pada budi pekerti.
Lihat ‘Abd al-‘Azi>z Muh}ammad al-Zaki>, Qis}s}ah Bu>dha> (Cairo: Muassasah al-
Mat}bua>t al-Hadi>thah, tt.)
30
Ibn Kamu>nah merupakan nama populer Sa’d ibn Mans}u>r ibn Sa’d ibn al-
H{asan al-Isra>i>li> (1285-1215 M.). Dia hidup di Bagdad dan pernah bekerja beberapa
waktu dengan penjajah Mongol (Tata>r). Dia menjadi terkenal karena bukunya
‚Tanqi>h al-Abha>s li al-Milal al-Thalath‛yang menarik perhatian muslimin dan
kelompok Yahudi.
31
Sa’d ibn Mans}ur Ibn Kamu>nah al-Yahu>di>, Tanqi>h al-Abha>s li al-Milal al-
Thalath: al-Yahu>diyah, al-Masi>h}iyah, al-Isla>m (tt: Dar al-Ans}ar, tt), 26-27.
32
Taurat adalah kitab yang diwahyukan kepada Musa as. terdiri dari lima
safar: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan. Taurat merupakan bagian
utama dari perjanjian lama (Old Testament) yang seluruhnya berjumlah 39 safar.
Lihat Ali ‘Abd al-Wa>h}id al-Wa>fi>, Al-Asfa>r al-Muqaddasah fi al-Adya>n al-Sa>biqah li
al-Isla>m, 13.
33
Ibn Kamu>nah al-Yahu>di>, Tanqi>h al-Abha>s li al-Milal al-Thalath, 26.
34
Talmu>d adalah catatan tentang diskusi para rabi Yahudi di bidang akidah,
hukum dan sejarah suci. Terdapat 63 safar yang ditulis pada abad pertama dan kedua
Masehi yang disebut dengan ‚Mishnah‛. Kemudian ‚Mishnah‛ ditafsirkan dan
dijelaskan yang disebut dengan ‚Gemara‛ yang ditulis dari abad I sampai
penghujung abad VI. Tafsir dan teksnya inilah yang disebut dengan Talmu>d. Lihat
Ali ‘Abd al-Wa>h}id al-Wa>fi>, Al-Asfa>r al-Muqaddasah fi al-Adya>n al-Sa>biqah li al-
Isla>m, 22.
35
‘Abba>s Mah}mud ‘Aqqa>d, Allah, 83.
7

yang menyebutkan akhirat hanyalah sedikit. 36 Walau bagaimanapun,


sebagai agama langit, Yahudi meyakini ganjaran ketaatan adalah hidup
abadi di surga, dan neraka adalah ganjaran pembuat dosa, akan tetapi
Yahudi tidak kekal di dalamnya.
Tidak jauh berbeda dengan Yahudi, hidup setelah mati dalam
ajaran Kristen juga merupakan manifestasi kehidupan dunia. Surga
dikenal dengan istilah kerajaan Allah. Alkitab menjelaskan bahwa
Allah akan menciptakan ‚langit yang baru dan bumi yang baru‛. Dia
akan menciptakan ‚kota Allah yang hidup, Yerusalem surgawi‛ (Ibrani
12:22) dan meletakkannya di atas bumi yang baru sebagai ‚Yerusalem
Baru‛. Di dalam kota itu digambarkan terdapat banyak jalan, tembok,
pintu gerbang, bahkan ada juga sebuah sungai dan pepohonan.
Kehidupan di kota itu kelak akan menyenangkan. Disana tidak akan
ada lagi kematian, kesedihan, duka cita, dan penderitaan. Karena Allah
akan membuat ‚semuanya menjadi baru‛. Namun lebih daripada itu,
Allah sendiri akan datang untuk tinggal di tengah-tengah manusia
hingga dapat menjalin hubungan yang akrab bersama-Nya (Wahyu
22:1-5).
Sebagai penutup agama langit, Islam memberikan gambaran
hidup setelah mati dengan sangat rinci. Kehidupan akhirat dalam al-
Quran 37 dideskripsikan sebagai manifestasi kehidupan dunia, yang
menyediakan segala kebutuhan manusia. Al-Quran mengambarkan
makanan yang dimakan, minuman yang diminum berupa: buah-
buahan, susu, madu semuanya seperti yang ada di dunia. Sebagaimana
dunia menyediakan segala kebutuhan biologis manusia, begitu pula
akhirat menyediakan segala kebutuhan manusia, termasuk pasangan.38

36
T{a>riq Sarri, Tana>sukh al-Arwa>h}, 80. Diantara teks itu adalah sebagai
berikut:
1. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat
Allah ( Ayub 19: 26)
2. Ia akan menghidupkan kita sesudah dua hari, pada hari yang ketiga Ia akan
membangkitkan kita, dan kita akan hidup di hadapan-Nya.‛(Hosea 6:2)
3. Dan banyak dari antara orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan
bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami
kehinaan dan kengerian yang kekal.‛ (Daniel 12: 2)
37
Al-Qur’an dalam bahasa arab artinya bacaan. Sarjana muslim
mendefinisikannya dengan : Kalam Allah swt. yang diturunkan kepada Muh}ammad
saw., dan beribadah membacanya. Lihat Manna’ al-Qat}t}a>n, Mabah}ith fi ‘Ulum al-
Quran (Cairo: Maktabah Wahbah, tt.), 16.
38
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan
berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-
8

Dalam ajaran Islam, bukan hanya manusia yang dibangkitkan,


tapi juga binatang. Islam mengajarkan setiap amal perbuatan ada
balasannya. Binatang turut dibangkitkan di hari kiamat, kemudian
yang memangsa akan dimangsa, yang menanduk akan ditanduk dan
seterusnya. 39 Perbedaanya, binatang setelah melakukan proses
pembalasan, mereka akan kembali melebur menjadi tanah. Sedangkan
manusia menjalani proses pembalasan yang berkali-kali lipat, baik
sangat menyenangkan bagi penghuni surga maupun sangat
menyengsarakan bagi penghuni neraka. Karena manusia dianugrahi
akal (pilihan) dan menerima beban syariat (Mukallaf). Pada waktu itu,
orang kafir akan berandai: ‚Alangkah baiknya jika aku turut menjadi
tanah‛ (QS. Al-Naba’[78]: 40) seperti binatang agar terhindar dari
siksa neraka.
Pada dasarnya, kehidupan akhirat adalah ajaran para nabi.
Dalam perjalanannya terjadi penyelewengan, bermetamorfosa dan
berevolusi menjadi legenda yang disucikan. Ibn Rushd40 (520-595 H.)
mengklaim bahwa kepercayaan adanya kehidupan akhirat telah
tersebar ribuan tahun lalu dalam agama-agama terdahulu yang belum
masuk dalam hitungan sejarah. 41 Para nabilah yang tak terhitung

sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu,
mereka mengatakan : ‚Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.‛ Mereka
diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang
suci dan mereka kekal di dalamnya (QS. Al-Baqarah [2]: 25).
39
‚Sungguh hak-hak akan ditunaikan kepada ahlinya, sampai kambing yang
tidak bertanduk membalasi kambing yang bertanduk‛. H{adi>th S{ah}ih} dari Abu
Hurairah diriwayatkan oleh Ima>m Muslim dalam Kita>b: al-Birr wa al-S{illah wa al-
Adab, Ba>b: Tah}ri>m al-Z}ulm (no. 2582). Lihat Abu al-H{usain Muslim ibn al-H{ujja>j
al-Qushairi> al-Naisabu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, Ed. Abu> Qut}aibah (Riyad}: Da>r al-T{iayyibah,
2006), Vol. II, 1200.
40
Dia adalah Abu al-Wali>d Muhamamd ibn Ah}mad Ibn Muhamamd Ibn
Rushd. Lahir di Cordova Andalusia tahun 520 H./1.126 M. dan meninggal di
Marakesh 595 H./ 1198 M. Dibesarkan dalam keluarga keturunan fuqaha dan hakim.
Ayahnya hakim Cordova dan kakeknya kepala hakim Andalusia. Dia belajar akidah
aliran Ash’ariyah, fiqih mazhab imam Malik, belajar filsafat dari Ibn Bashkawal dan
beberapa ulama di masanya. Dia belajar ilmu kedokteran dari Abu Ja’far Ha>run.
Lihat Yusuf Farha>t, Falsafah al-Isla>miyah wa A’lamuha> (Cairo: Tradiksim, 1986),
Cet. I, 171.
41
Abu Al-Walid Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn Muh}ammad Ibn Rushd,
Taha>fut al-Tahafut, Ed. S{alah}uddin al-H{awwari (Beirut: al-Maktabah al-‘As}riyah,
2008), 372.
9

jumlahnya membawa ajaran akhirat. Idris 42 as. misalnya, dikenal


dengan sebutan Hermes 43 Hidup 82 tahun menyerukan manusia
beribadah kepada Allah, mengesakan-Nya, mensucikan-Nya dari
perbuatan syirik, menyerukan hidup zuhud, cinta, keadilan dan
kebaikan, kurbannya adalah kacang-kacangan dan hewan semblihan.
Dengan menguasai banyak bahasa, Idris as. berdakwah di Mesir,
Babilonia dan India. Di masanya Mesir kuno mengenal Tuhan Yang
Maha Esa, mereka menyebutnya dengan Atu>n dan dikenal juga dengan
nama Amu>n-Ra’. 44 Ibrahim as. putra Babilonia yang hidup sekitar
2000-1700 SM 45 mendakwahkan tauhid dan hari pembalasan di
Babilonia, Syam, dan Mesir. Itulah diantara jejak para nabi yang
memberikan pengaruh terhadap filsafat hidup setelah mati di zaman
kuno.
Dari beberapa contoh agama dan peradaban, dapat disimpulkan
bahwa mayoritas peradaban manusia meyakini akhirat yang material
(Jasma>ni>) terutama agama langit (Yahudi, Kristen, Islam). Akhirat
yang material menghendaki raga sebagai objek penerima kenikmatan
surga dan kesengsaraan neraka. Namun, apakah akhirat material (surga
dan neraka) ini sejalan dengan rasionalitas? Karena Islam adalah
agama akal dan rasionalitas, hampir segala hal dalam agama Islam
dapat dicerna oleh akal.
Rasionalitas Islam bersumber dan terinspirasi dari al-Quran.
Rasionalitas telah mengkristal semenjak masa sahabat. Hal ini
tertuang dalam pentingnya menggunakan akal dalam membela Islam
ketika berdialog dengan orang yang tidak mengimani teks (wahyu)
yang diyakini muslimin. 46 Rasionalitas telah membuat Islam cepat
berkembang dan diterima. Sehingga penaklukan muslimin selama 80

42
Dia adalah Idris ibn Qaina>n ibn A<nu>s ibn Shi>th ibn Adam as. Idris adalah
penamaan dalam al-Quran, dilahirkan di ‚Adfo‛ kemudian pindah ke Mesir.
dinamakan juga ‚Gori>s‛, dalam bahasa Ibrani disebut ‚Akhnu>kh‛ dalam bahasa
Hiroglif disebut ‚Khuris‛ atau ‚Horis‛, dikenal juga dengan nama ‚Hermisa‛. Orang
pertama yang mengenal ilmu alam, geologi, matematika dan banyak bahasa
penduduk bumi. Lihat Qamar al-Daulah, Dira>sa>t fi al-Milal wa al-Nih}al, 69.
43
‘Ima>d al-Di>n Abi al-Fida’ Ismail ibn ‘Umar ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-
Niha>yah (Giza: Dar Hijr li al-T{iba’ah wa Tauzi’, 1997), 234.
44
Qamar al-Daulah Na>sif , Dira>sa>t fi al-Milal wa al-Nih}al, 70.
45
Muh}ammad Qamar al-Daulah Na>s}if, Dirasa>t fi al-Yahu>diyah (Mansora: al-
Da>r al-Isla>m, 2003), 67.
46
Muh}ammad ‘Ima>rah, Maqam al-‘Aql fi al-Isla>m (Cairo: Nahd}ah Masr,
2008), Cet I, 26.
10

tahun lebih luas dari penaklukan Romawi selama 8 abad, penyebaran


yang tak tertandingi sepanjang sejarah agama.47
Dalam kerangka ini, dapat dipahami pernyataan Imam
Mu’tazilah 48 Abu ‘Ali al-Jabba>’i> 49 (235-304 H) bahwa ‚kewajiban
pertama manusia adalah berfikir‛, 50 dan Imam Abu Hashim al-
Jabba>’i>51 (247-321 H) yang menyatakan ‚kewajiban pertama manusia
adalah ragu‛.52 Begitu juga dengan Qad}i ‘Abd al-Jabba>r53 (359-415 H)
yang menyatakan bahwa dalil yang pertama sekali adalah akal. Dengan
akal dibedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dengan akal
diketahui bahwa kitab adalah bukti, begitu juga sunnah dan ijmak54.

47
Lihat Imam Muh}ammad ‘Abduh, Al-A’ma>l al-Ka>milah, Ed. Muh}ammad
‘Ima>rah (Beirut: Dar al-Shuru>q, 1993), Vol. III, 471-479.
48
Mu’tazilah adalah aliran teologis rasionalis yang muncul pada pawal abad
II Hijriyah (dipenghujung era Bani Umayyah) dan berkembang luas dimasa
Abbasiyah. Didirikan oleh Was}il ibn ‘At}a’ (80-131 H). Nama Mu’tazilah artinya
(mengasingkan diri), hal ini disebut pertama kali oleh gurunya Abu H{asan al-Bas}ri>
(21-110 H.), karena Was}il mengasingkan diri dan berbeda pendapat dengannya
tentang pelaku dosa besar. Aliran ini mempunyai lima pokok ajaran: al-Tauhi>d, al-
‘Adl, Manzilah baina Manzilatain, al-Wa’d wa al-Wa‘i>d, al-Amr bi al-Ma’ru>f wa al-
Nahy ‘an al-Munkar. Lihat Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>ra>t al-Fikr al-Isla>mi (Cairo:
Dar al-Shuru>q, 1997) Cet. II, 44-47.
49
Abu ‘Ali al-Jabba>’i nama aslinya Muh}ammad ibn ‘Abd al-Wahha>b ibn al-
Sala>m. Dia adalah seorang syaikh Mu’tazilah pendiri kelompok Jabba>i>yah.
Dilahirkan di Jabbi> daerah Khuzistan tahun 235 H/ 849 M dan meninggal di Bas}rah
303 H/ 916 M. Lihat ‘Ali Fahmi Khashim, Jabba>iya>ni: Abu ‘Ali wa Abu Ha>shim
(Libya: Mat}ba’ah Turablus, 1967), 61.
50
‘Ali Fahmi Khashim, Jabba>iya>ni: Abu Ali wa Abu Ha>shim, 333.
51
Dia adalah ‘Abd al-Salam Muh}ammad ibn ‘Abd al-Wahha>b ibn al-Sala>m,
anak syaikh al-Mu’tazilah ‚Abu ‘Ali al-Jaba>i. Lahir pada 275 H/ 888 M dan wafat
tahun 321 H/ 933 M, dia belajar dari ayahnya dan ulama zamannya, sampai namanya
terkenal diantara ulama. Dia menguasai Ilmu Kalam, Dialog (debat), namun dia
tidak mempunyai periwayatan hadis. Pengikutnya disebut dengan al-Ha>shimiyah.
Lihat ‘Ali Fahmi Khashim, Jabba>iya>ni: Abu Ali wa Abu Ha>shim, 206.
52
‘Ali Fahmi Khashim, Jabba>iya>ni: Abu Ali wa Abu Ha>shim, 333.
53
Dia adalah ‘Abd al-Jabba>r ibn Ah}mad ibn Khalil, seorang teolog dan
tokoh Mu’tazilah. Dikenal juga dengan Abu al-H{asan al-Hamda>ni> yang mempunyai
kitab Musnad (hadis) dan seorang fuqaha Syafi‘i>. Lahir pada tahun 359 H/ 969 M
dan meningal pada 415 H/ 1025 M. Lihat Imam Shams al-Di>n Muh}ammad ibn
Ah}mad ibn ‘Uthma>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m wa al-Nubala’ (Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 1983), Vol. XVII, 244.
54
Ijmak adalah kesepakatan mujtahid umat Islam yang baik ( ‘A<dil ) pada
suatu masa terhadap suatu hukum syariah. Lihat Sa‘i>d ibn Na>s}ir al-Shathari>, Qawa>id
al-Istidla>l bi al-Ijma’ (Riya>d}: Kunu>z Ishbi>liya>, 2009), 40.
11

Iman kepada Allah, Rasul dan kitab-Nya, pembenaran pertama kali


datang menggunakan akal.55
Dengan semangat rasionalitas, muncullah sebuah pertanyaan:
Munkinkah manusia bertamasya ke surga atau ke neraka? Artinya,
yang di surga dan neraka adalah manusia duniawi si pelaku perbuatan.
Berpegang pada pandangan dualisme manusia, yaitu jiwa dan raga,
jika akhirat itu material (surga dan neraka), hanya ada dua pilihan
dalam kasus ini: 56 Opsi pertama, jiwa akan kembali kepada raga
(material) yang dahulu ditinggalkan. Opsi kedua, jiwa akan kembali
kepada raga dari material yang lain.
Pada opsi pertama, jiwa kembali pada raga yang ditinggalkan,
adalah pilihan yang mustahil terjadi. Karena raga telah berubah
menjadi tanah, dimakan ulat, diterbangkan angin, dihanyutkan air,
terpisah, dan tercerai-berai entah kemana. 57 Namun, jika kita
memulangkan semuanya pada kekuasaan Allah, bahwa Allah dapat
mengumpulkan bagian-bagian raga (material) yang terurai entah
kemana, hanya ada dua kemungkinan: Pertama, yang dikumpulkan
adalah raga ketika meninggal dunia. Kedua, yang dikumpulkan adalah
seluruh material raga yang pernah menemani jiwa sepanjang umur.58
Kalaulah yang dikumpulkan adalah raga ketika meninggal,
haruslah orang pontong tangan, kurang hidung, kurang telinga, dan
berbadan cacat dibangkitkan apa adanya. Ini tentunya sangat tidak
layak bagi penduduk surga59 terutama para syuhada’ yang kehilangan
anggota badannya dalam berjihad di jalan Allah. Bagaimana kakek tua
renta bergigi ompong menikmati buah-buahan surga? Bagaimana
orang buta menikmati keindahan surga? Bagaimana anak kecil yang
meninggal bayi menikmati makanan, buah-buahan dan bahkan bidadari
surga? dan seterusnya.
Kalaulah yang dikumpulkan adalah seluruh material raga yang
menemani jiwa sepanjang umur, bagaimana jika terjadi manusia

55
Abi Qas>sim al-Balkhi Al-Qa>d}i ‘Abd al-Jabbar al-Hamda>ni> dan Al-Ha>kim
al-Jushammi>, Fad}l al-I’tiza>l wa al-T{abiqa>t al-Mu’tazilah, Ed. Fuad Sayyid (Cairo:
Dar al-Tunisia li al-Nashr, tt), 127.
56
Lihat Abu ‘Ali al-Husain ibn ‘Abdillah ibn ‘Ali Ibn Sina, Risa>lah
Ad}h}awiyah fi Amri al-Ma‘a>d, Ed. Sulaiman Dunya> (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,
1949), Cet. I, 55.
57
Hujjah al-Islam Abu H{a>mid al-Gaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, Ed.
S{ala>h}uddin al-Hawwa>ri> (Beirut: al-Maktabah al-‘As}riyah, 2004), 216.
58
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amri al-Ma’a>d, 55.
59
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>saifah, 218
12

memakan manusia (kanibal)?60 sehingga ada dua jiwa untuk material


yang sama. Kemana dua jiwa akan dikembalikan? Lebih dari itu,
kanibal terjadi dalam mata rantai kehidupan. Mayat dikuburkan,
menjadi tanah, di atasnya tumbuh pohon, berbuah dan berbiji,
kemudian dimakan hewan, dan hewan itu dimakan manusia, menjadi
darah dan daging. Bisa diprediksikan ada 10 jiwa untuk material yang
sama bahkan lebih.61
Dapat disimpulkan bahwa opsi pertama, kembalinya jiwa ke
raga semula merupakan suatu hal yang mustahil. Sementara opsi
kedua, kembalinya jiwa pada raga dari material lain merupakan
reinkarnasi. Reinkarkasi adalah jiwa menempati suatu raga dan
berpindah ke raga lainnya. 62 Reinkarnasi sangat bertentangan dengan
ajaran Islam. Islam bukanlah agama reinkarnasi. Oleh karena itu,
semua opsi pengembalian jiwa kepada raga dunia mustahil terjadi.
Ibn Si>na> 63 (370-428 H) melihat adanya pertentangan antara
akal dan naqal. Berdasarkan prinsip universal64 yang dibangun teolog,
bahwa seluruh sekte Islam telah menetapkan bahwa sebagian zahir
ayat al-Quran dan hadis harus ditakwilkan. 65 Apa yang telah
ditetapkan oleh akal kemustahilannya, naqal mesti ditakwilkan, tak
terbayangkan naqal menyalahi akal yang pasti.66 Oleh karena itu, ayat-
ayat yang zahirnya tentang akhirat material, haruslah ditakwilkan.
Ayat-ayat material tentang akhirat sama halnya dengan ayat-ayat yang
material tentang Tuhan. Gambaran al-Quran yang material tentang

60
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 56.
61
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 56. Lihat juga Abu H{amid
al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>saifah, 218.
62
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 58.
63
Dia adalah Abu ‘Ali al-Husain ibn ‘Abdillah ibn al-H{asan ibn ‘Ali Ibn
Si>na> (980-1037 M.) digelari dengan Shaikh al-Rai>s dan guru kedua (setelah
Aristoteles). Seorang tokoh kedokteran dan filosof terkenal. Barat menyebutnya
dengan Avicenna dan mengelarinya dengan bapak kedokteran modern. Karyanya
lebih dari 200 buku, yang paling terkenal adalah ‚al-Shifa‛ dan ‚Qanun fi al-T{ib‛.
Lihat Muh}ammad Lut}fi> Jum‘ah, Ta>ri>kh Fala>sifat al-Isla>m (Cairo: Maktabat al-Usrat,
2008), 52-56.
64
Prinsip universal adalah kaedah yang dibangun teolog ketika terjadi
tertentangan antara akal dan naqal. Lihat Ibn Taimiyah, Dar‘u Ta‘a>rud} al-‘Aql wa al-
Naql, Vol. I, 4.
65
Al-Ima>m Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Asa>s al-Taqdi>s, Ed. Ah}mad Hijazi al-Saqa>
(Beirut: Dar al-Jail, 1993), Cet. I, 91.
66
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d, Ed. Husain A<tai (Ankara:
Nur Matbaasi,1962), 1.
13

Tuhan 67 dan akhirat, hanyalah sebagai contoh dan perumpamaan


(Tashbi>h} wa Tamthi>l), bukan hakikat yang sebenarnya, agar dapat di
pahami awam.68
Lebih lanjut Ibn Si>na> (370-428 H) menegaskan bahwa manusia
adalah jiwa, bukan raga.69 Akhirat bersifat spiritual saja, karena hanya
untuk jiwa. Keberadaan raga di akhirat tidak ada gunanya. Pada
hakikatnya yang merasakan kesenangan dan kesengsaraan adalah jiwa.
Pengembalian jiwa kepada raga hanyalah kesia-siaan yang tak
berguna. Kenikmatan spiritual jauh lebih besar dari kenikmatan
material seperti makanan, minuman dan bidadari.
Menyikapi tensi akal dan naqal, Abu H{amid al-Ghazali70 (450-
505 H.) menyatakan\, Ahl al-Sunnah71 telah membuktikan bahwa tidak
ada pertentangan antara syariah yang diwahyukan dengan kebenaran
akal. Kalangan tekstualis (Z{ahiriyah) yang mengharuskan kekakuan
bertaklid dan mengikuti zahir teks, hanyalah orang yang lemah akal
dan berwawasan pendek. Kalangan filosof dan Mu’tazilah yang
berlebih-lebihan menggunakan akal sampai membenturkannya dengan
teks yang pasti, mereka itu hanyalah orang yang berhati busuk.
Kalangan yang pertama cendrung mengurang-ngurangi dan kalangan

67
Yaitu ayat-ayat yang mengambarkan Allah dengan sifat-sifat material,
seperti punya tangan, bersemayam, naik, turun, diatas dan lainnya. Lihat Fakhr al-
Di>n al-Ra>zi, Asa>s al-Taqdi>s.
68
Ibn Sina, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Mi’a>d, 44.
69
Ibn Sina, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Mi’a>d, 51.
70
Dia adalah Abu H{a>mid Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Muh}ammad Ibn
Ah}mad al-Ghaza>li>. Lahir pada (450 H/ 1058 M) di kota ‚Thus‛, kota kedua di
Khurasan setelah Naisabur. Seorang faqih, sufi, syafi’i>, dan ash‘ari>. Dia digelari
Hujjah al-Isla>m dan Zain al-Di>n. Dia merupakan salah seorang tokoh pembaharu
abad kelima Hijriyah, dan tokoh sunni terkenal dalam sejarah Islam. Ia wafat di kota
kelahirannya pada (505 H/ 1111 M). Lihat ‘Abd al-Rah}ma>n Badawi, Muallafa>t al-
Ghaza>li> (Kuwait: Waka>lah al-Mat}bu‘a>t, 1977), Cet. II, 21-25.
71
Ahl al-Sunnah dan Jamaah adalah sekte Islam terbesar, dikenal juga
dengan istilah Sunni. Sumber syariatnya al-Quran dan Sunnah yang dipresentasikan
dalam hadis-hadis nabawi, mengikuti fiqih imam mazhab yang empat (Malik, Abu
Hanifah, Shafi‘i>, Ah}mbad ibn H{anbal), menetapkan keabsahan Khulafa al-Rashidin
yang empat (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Uthma>n, ‘Ali>) dan meyakini ‘udul-nya semua
sahabat. Lihat kelompok yang selamat dari api neraka dalam Abi Mans}u>r ‘Abd al-
Qa>hir ibn T{ahir Muh}ammad al-Bagda>di>, Al-Farqu baina al-Firaq, Ed. Muh}ammad
‘Uthma>n al-Khushin (Cairo: Maktabah Ibnu Sina, tt.).
14

kedua cendrung melebih-lebihkan. Keduanya jauh dari kebijaksanaan


dan kehati-hatian.72
Ibn Taymiyah 73 (661-728 H) menegaskan bahwa apa yang
secara eksplisit kita ketahui dengan akal tak pernah terbayangkan akan
bertentangan dengan naqal yang benar. Itulah hasil renungan dalam
permasalahan yang umum diperselisihkan. Seseorang akan
menemukan yang menyalahi teks yang benar hanyalah shubhat rusak
yang dapat diketahui oleh akal kesalahannya. Bahkan akal dapat
mengetahui bahwa kebenaran lawannya yang sesuai dengan syariah. 74
Apa yang diketahui dengan akal yang jelas tidak pernah menyalahi
naqal sama sekali. Bahkan naqal yang dikatakan menyalahi akal
hanyalah hadis Maudhu’ 75 atau dalilnya lemah, yang tidak layak
menjadi dalil, jika berhadapan dengan akal yang benar.
Ibn Rushd (520-595 H) menyatakan bahwa wahyu adalah
kebenaran yang datang dari Allah, akal juga kebenaran anugrah Allah
Ta’ala. Kebenaran tak akan saling berlawanan, tapi saling mendukung
dan membuktikan.76 Ketika hasil pemikiran akal berseberangan dengan
wahyu ilahi, maka kesalahan bukan terletak pada akal, tetapi terletak
pada proses pemikiran (Istidla>l) yang salah. Salah mengumpulkan dan
menyusun premis mayor dan premis minor, sehingga menghasilkan
(Nati>jah) pemikiran yang salah.

72
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Iqtis}ad fi ali’tiqa>d, Ed. Ibrahim Agah Cobukcu dan
Husein Atay (Ankara: Nu>r Mat}ba>si>, 1962), 1.
73
Dia adalah Abu ‘Abba>s, Taqi> al-Di>n Ah}mad ibn ‘Abd al-H{ali>m ibn ‘Abd
al-Sala>m Ibn ‘Abd Allah ibn Abi al-Qa>sim al-Khid}r, al-Nami>ri al-H{arra>ni (661-728
H, 1263-1328 M). Filosof salafi yang membawa salafi dari era yang hannya terhenti
pada teks –kadang-kadang hannya zahir teks- ke era filsafat teks dan rasionalitas
teks. Dia adalah salah seorang tokoh pembaharu di zamannya, pengkritik pemikiran
Barat Yunani (Logika dan Filsafat) dan pemikiran Timur Gnosisme Batini. Lihat
Muh}ammad ‘Ima>rah, Raf’ al-Mala>m ‘an al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyah
(Isma>‘iliyah-Mesir: Maktabah al-Ima>m al-Bukha>ri, 2007), 9.
74
Abu al-‘Abba>s Taqi> al-Di>n Ah}mad ibn ‘Abd al-H{ali>m ibn Taimiyah,
Dar’u Ta‘a>rud} al-‘Aql wa al-Naql, Ed. Muh}ammad Rasha>d Sa>lim (Saudi Arabia:
Ida>rah Thaqa>fah wa al-Nashr bi al-Jami’ah al-Isla>miyah, 1991), Cet. II, Vol. I, 4-8.
75
H{adi>th al-Maud}u’ secara bahasa berarti hadis palsu. Sementara dalam
terminologi Ahl al-H{adi>th, Maud}u’ berarti kebohongan yang dibuat-buat dan
disandarkan kepada Rasul saw. Lihat Mah}mu>d T{ah}a>n, Taisi>r Mus}t}alah al-H{adi>th
(Alexandria: Maktabah al-Huda> li al-Dira>sa>t, 1415), 69-70.
76
Abu al-Wali>d ibn Rushd, Fas}l al-Maqa>l fi>ma> baina al-H{ikmah wa al-
Shari>’ah min al-Ittis}al, Ed. Muh}ammad ‘Imarah (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1999), Cet.
III, 32-33.
15

Oleh karena itu, Imam al-Ghaza>li> (450-505 H) melihat tidak


adanya pertentangan antara akal dan naqal, sehingga ayat-ayat
material tidak perlu ditakwilkan. Belum ada alasan (qari>nah) untuk
mentakwilkan ayat-ayat tersebut. Argumen akal belumlah kuat
(Qat}‘i>), masih ada solusi yang dapat diberikan, yaitu opsi kedua:
kembalinya jiwa kepada raga dari material apapun. Identitas seorang
manusia ditunjukkan oleh jiwa, bukan ditunjukkan oleh raganya. Tidak
penting apakah itu disebut reinkarnasi, tidak ada gunanya
memperdebatkan penamaan dan istilah. Apa yang datang dari syariah
haruslah dibenarkan adanya.77
Banyak teolog yang menyayangkan pilihan Imam al-Ghaza>li>
ini. 78 Teolog tidak menerima solusi yang diberikan Abu H{amid al-
Ghaza>li>. Al-Ghaza>li> telah mengangkatkan prinsip keadilan Tuhan.
Atas prinsip dasar keadilan Tuhan, raga yang menerima balasan
perbuatannya haruslah si pelaku itu sendiri, yaitu raga (material) yang
menemani jiwa ketika melakukan amalannya di tempat kejadian
perkara di dunia. 79 Tangan yang melakukan, kaki yang melangkah,
mata yang melihat, raga (material) tersebutlah yang akan menerima
balasan amalannya sendiri.
Teolog menyadari, pengumpulan seluruh bagian raga
(material) yang terurai adalah sebuah kemustahilan. Karena bagian-
bagian raga berganti dengan siklus makanan. Dari kecil ke dewasa,
dari kurus ke gemuk dan seterusnya. Oleh karena itu, teolog
memandang bahwa raga (material) yang dikumpulkan itu hanyalah
sebagian saja. Bagian tersebut adalah bagian asal raga yang tetap
sepanjang umur dan tidak berganti dengan siklus makanan. Sedangkan
bagian tambahan boleh dari material apapun, karena bagian tambahan
terus berganti dengan siklus makanan. Inilah kata sepakat para teolog
di abad pertengangan tentang permasalahan, baik Mu’tazilah,
Ash’ariyah80 maupun Syiah.81

77
Abu H{a>mid al-GhaZa>li, Taha>fut al-Fala>sifah, 219-220.
78
Muh}ammad Qamar al-Daulah Na>sif, Nus}us al-Falsafiyah bi al-Sharh} wa
al-Ta’li>q (Mesir: Dar al-Isla>miyah, 2004), 157.
79
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas
mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan (QS. Al-Nu>r [24]: 24)
80
Ash‘a>riyah adalah penisbatan kepada pendiri alirannya, Abu al-H{asan al-
Ash‘ari> (260-324 H). Imam al-Ash‘ari lahir dan tumbuh di Bas}rah kemudian pindah
ke Bagdad dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Dia dibesarkan dalam
lingkungan Mu’tazilah. Alirannya merupakan revolusi terhadap Mu’tazilah yang
terlalu berlebihan menggunakan akal dan terkadang menyepelekan teks. Aliran ini
16

Imam Mu’tazilah, Qa>d}i ‘Abd al-Jabba>r (359-415 H)


menyatakan bahwa yang harus diperhatikan dalam permasalahan
pengembalian (raga), minimal adalah bagian tubuh yang tidak bisa
hidup tanpanya. Itulah yang harus dikembalikan. Jika tidak, yang
hidup kembali itu bukanlah yang hidup sebelumnya. Adapun bagian
lainnya tidaklah dipandang dalam perkara al-Ma‘a>d.82
Teolog Ash‘ariyah diwakili oleh ‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji>83 (708-756
H), Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni84 (722-792 H) dan al-Sayyid al-Sharif al-
Jarja>ni 85 (740-816 H). ‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji menyatakan bahwa yang

menghimbau untuk menyeimbangkan antara akal dan naqal, yaitu antara tektualis
(Ahl al-H{adi>th) dan rasionalis (Mu’tazilah). Lihat Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>ra>t al-
Fikr al-Isla>mi, 163.
81
Syiah secara bahasa artinya pengikut, pendukung, dan loyalis. Kemudian
dipakaikan kepada pengikut ‘Ali ibn Abi> T{alib (-23-40 H), Imam-Imam
keturunannya dan keluarga Rasul secara umum. Kemudian Istilah ini mengkristal
untuk yang meyakini bahwa Rasul saw. mewasiatkan kepemimpinan (Imam) kepada
‘Ali ibn Abi> T{a>lib ra. Keyakinan terhadap teks dan wasiat inilah yang menjadi
pembeda antara Syiah dan aliran lainnya. Lihat Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>ra>t al-
Fikr al-Isla>mi, 199.
82
Al-Qa>d}i> Abi al-H}asan ‘Abd al-Jabba>r al-Asad al-Aba>di>, Al-Mughni fi
Abwa>b al-Tauhi>d wa al-‘Adl: al-Takli>f, Ed. Ibrahim Madku>r (tt: Abu Muslim al-
Mu’tazili>, 1958) Vol. XI, 475.
83
Dia adalah al-Qa>d}i> ‘Abd al-Rahma>n ibn Ah}mad ibn ‘Abd al-Gaffa>r
dikenal Abu al-Fad}l ‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji> (708-756 H)\. Kata al-I<iji> penisbatan pada
negeri I<j, sebuah kota yang secara pemerintahan mengikut pada Shira>z. Dia adalah
seorang Imam al-Ma’qul (akal) dan al-Manqu>l (teks) di zamannya. Dia seorang
Muhaqqiqin, ahli teologi, fiqih dan logika. Taftaza>ni sangat terpengaruh olehnya, hal
ini Nampak dari penyusunan bukunya ‚al-Maqa>s}id‛ meniru susunan ‚al-Mawa>qif‛.
Lihat Muh}ammad Qamar al-Daulah Na>sif dan Mahmu>d ‘Abd al-Hakim ‘Utma>n,
Ma‘a al-Mawa>qif li ‘Id}d} al-Di>n al-I<ji> (Mansora-Mesir: al-Dar al-Islamiyah, 2006), 7.
84
Dia adalah Sa’d al-Di>n, Mas‘u>d ibn ‘Umar ibn ‘Abd Allah al-Tafta>za>ni>,
lahir di Tafta>za>n (722-792 H), Taftaza>n sebuah negeri dekat Khurasa>n. Dia seorang
Imam di bidang nahwu, s}araf, ma‘a>ni>, baya>n, ushul al-din, ushul fiqih, logika dain
ilmu lainnya. Lihat Abu al-Fala>h ‘Abd al-H{ai ibn al-Ima>d al-Hanbali>, Shadhara>t al-
Zahab fi Akhba>r man Dhahab (Beiru>t: Dar al-Masi>rah, 1979), Vol. VI, 319-322.
85
‘Ali> ibn al-Sayyid Muh}ammad ibn ‘Ali al-Jarja>ni>, Abu al-H{asan, dikenal
dengan al-Sayyid al-Shari>f, ulama Muhaqqiqin, mazhab Hanafi, dilahirkan di Jarja>n
740 H. dan meninggal di Shira>z 816 H. Bukunya ‚ Sharh al-Mawa>qif‛ merupakan
syarah yang paling populer dari yang lainnya. Dia banyak menulis buku dalam
berbagai disiplin ilmu, dimulai dengan ilmu teologi, ilmu-ilmu kearaban, filsafat,
logika, astronomi, matematika, sejarah aliran, fiqih, h}adi>th, tafsir, tasawuf, oleh
karena itu ia digelari al-‘Alla>mah. Lihat Ismail Ba>sha al-Bagda>di, Hadiyah al-
‘A<rifi>n: Asma>’ al-Muallifi>n wa Atha>r al-Mus}annifi>n (Beirut: Dar Ih}ya’ al-Turath al-
‘Arabi>, tt.), Vol. I, 728-729.
17

dikembalikan hanyalah bagian-bagian asal, yaitu yang tetap ada dari


awal hingga akhir umur. Bagi yang memakan (orang) berarti bagian itu
adalah bagian tambahan (bukan asal). Kita menyadari bahwa manusia
tetap sepanjang umurnya, sedangkan bagian-bagian makanan datang
silih berganti.86
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni> (722-792 H) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan kebangkitan adalah kembali dikumpulkannya
bagian-bagian asal yang tetap dari awal umur sampai akhir hayat,
bukan yang diperoleh dari makanan. Yang dikumpulkan adalah bagian-
bagian asal dari orang yang memakan dan yang dimakan.87 Al-Sayyid
al-Sharif al-Jarja>ni (740-816 H) menjelaskan, jika yang dimakan
adalah bagian tambahan (bukan bagian asal bagi yang memakan),
bagian itu tidak mesti dikembalikan kepada yang memakan tapi
kepada yang dimakan.88
Teolog Syiah diwakili oleh Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>89 (597-672 H)
yang menyatakan bahwa pengumpulan bagian tambahan raga bukanlah
suatu kemestian. 90 Komentatornya Ibn al-Mut}ahhir al-H{illi 91 (648-
726 H) menjelaskan bahwa setiap manusia mempunyai bagian asal

86
Ad}d} al-Din al-Qa>d}i ‘Abd al-Rahma>n ibn Ah}mad al-I<ji, Al-Mawa>qif,
(Beirut: A<lam al-Kutub, tt.), 373.
87
Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Ed. ‘Abd al-Rahma>n al-
Ami>rah (Beirut: ‘A<lah al-Kutub, 1998), Vol. V, Cet II, 95.
88
Al-Sayyid al-Shari>f ‘Ali ibn Muh}ammad al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif li
‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998), Vol. IIIX, 323.
89
Dia adalah Abu Ja’far Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn al-H{asan al-T{usi.
Dilahirkan di kota T{us dekat Khurasan pada (597 H./ 1201M.) dan meninggal di
Bagdad pada (672 H./ 1274 M.). Seorang ulama yang menekuni ilmu teologi, filsafat
Islam, astrologi, matematika, kimia, kedokteran dan fisika. Karangannya yang paling
populer adalah ‚Tajri>d al-‘Aqa>id‛ yang merupakan salah satu sumber akidah utama
aliran Shi‘ah. Awalnya T{usi menganut Shi‘ah Isma>‘iliyah kemudian pindah ke
Shi‘ah Ithna> ‘Ashriyah. Lihat Sayyid ‘Ali al-Mila>ni>, Shaikh Nas}ir al-Di>n al-T{u>si wa
Suqu>t al-Bagda>d (Qom: Markaz al-Abh}a>s al-‘Aqa>idiyah, 1421 H.).
90
Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>, Tajri>d al-‘Aqa>’id, Ed. ‘Ayya>s Muh}ammad H{asan
Sulaima>n (Alexandria: Da>r al-Ma’rifah al-Ja>mi‘ah, 1996), 153.
91
Dia adalah al-H{asan ibn Yusuf ibn al-Mut}ahhir al-Hilli dikenal dengan al-
‘Alla>mah al-Hilli>, lahir pada 648 H. di kota al-H{illah dan meninggal pada 726 H. Dia
banyak menulis buku tentang fiqih, usul fiqih, teologi, logika, filsafat, tokoh, dan
lainnya yang mencapai 100 buku. Dia belajar fiqih dari pamannya, belajar filsafat
dan logika dari Nas}iruddin T{usi, dan belajar fiqih sunni dari beberapa ulama sunni.
Lihat Khair al-Di>n al-Zirikli>, Al-A’la>m: Qa>mu>s Tara>jim li Ashha>r al-Rija>l wa al-
Nisa>’ min al-Arab wa al-Musta’ribi>n wa al-Mustashriqi>n (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-
Mala>yi>n, 1980),Vol. II, 227.
18

yang tidak bisa menjadi bagian asal manusia lainnya. Tapi akan
menjadi bagian tambahan jika ia memakannya.92
Dapat disimpulkan, bahwa teori pengumpulan bagian asal raga
yang terurai merupakan teori yang baku dan terkuat di abad
pertengahan. Awalnya dikemukakan oleh Mu’tazilah kemudian diikuti
oleh Ahl al-Sunnah dan Syiah. Teori mayoritas teolog ini bertahan
selama berabad-abad hingga sekarang. Namun, masihkah teori ini
merupakan teori terkuat untuk zaman sekarang? Kemajuan ilmu
kedokteran abad ke-20 secara tidak langsung telah meruntuhkan teori
ini. Ilmu kedokteran menjelaskan bahwa bagian asal raga yang tetap
sepanjang umur itu ternyata tidaklah ada. Manusia secara terus-
menerus mengganti raganya dengan siklus makanan. Hal ini di
terangkan oleh Wahiduddin Khan 93 yang menyatakan bahwa raga
manusia merubah dirinya sendiri secara terus-menerus, sampai datang
waktu tidak satupun sel-sel lama yang tertinggal karena digantikan
oleh sel-sel yang baru. Proses pergantian sel ini terus berulang di
waktu kanak-kanak dan remaja dengan cepat, kemudian melambat di
usia tua. Bila diperkirakan proses pembaharuan raga ini, dapat
diprediksikan raga manusia terlahir kembali setiap sepuluh tahun.94
Teori kebangkitan mayoritas teolog abad pertengahan adalah
teori yang rapuh. Oleh karena itu, perlu sebuah teori alternatif dan
kuat dalam membangun akidah hidup setelah mati. Sehingga tidak
terjadi pertentangan antara naqal yang mengambarkan akhirat material
dan menjadikan raga sebagai objeknya, dengan akal yang
memustahilkan kebangkitan raga, yang berujung pada pentakwilan 95
zahir teks al-Quran tentang akhirat material.

92
Jama>l al-Di>n al-H{asan ibn Yu>suf ibn ‘Ali ibn al-Mut}ahhir al-H{illi>, Kasf
al-Mura>d fi Sharh} Tajri>d al-‘Aqa>id (Beirut: Muassasah al-A’la>mi, tt.), 256.
93
Ulama kontemporer India kelahiran Uttar Pradesh, India pada 1 Januari
1925 M. Keistimewaan pemikirannya adalah usaha untuk memadukan manhaj salafi,
ilmi dan falsafi. Dengan pemaduan ini, dia berdialog dengan orang ateis dalam bayak
karangannya. Karya-karyanya memadukan antara kesederhanaan dan mendalam,
yang sesuai dengan beragam level pembacanya. Karya-karyanya banyak ditulis
dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Dia merupakan
pendiri Centre for Peace and Spirituality International. Lihat profilnya di:
http://www.cpsglobal.org/mwk (diakses tanggal 22 April 2014)
94
Wahiduddin Kha>n, Al-Isla>m Yatah}adda>: Madkhal al-‘Ilmi> ila> al-Ima>n,
Trans. Z{afar al-Isla>m Kha>n (Cairo:Maktabah al-Risa>lah, 2000), 104-105.
95
Takwil menurut ulama Mutaakhirin adalah mengalihkan perkataan dari
arti yang lebih diutamakan kepada arti yang kurang diutamakan mengingat adanya
bukti/ alasan yang menghendakinya. Maksudnya mengalihkan kalam Allah dan
19

Pada dasarnya, tesis ini akan kembali mengembangkan teori


kebangkitan raga dari material apapun. Pada hari kebangkitan jiwa
akan kembali bergantung kepada raga dari material apapun (tanpa
memandang material). Selama ini, teori ini ditinggalkan, dan bahkan
dicela oleh para teolog, karena telah mengangkatkan prinsip keadilan
Tuhan yang selama ini mereka pelihara. Prinsip keadilan Tuhan
mengharuskan penerima balasan di akhirat adalah raga (material) yang
menemani jiwa di waktu dan tempat kejadian perkara di dunia.
Sehingga Allah membalasi perbuatan si pelaku itu sendiri baik jiwa
maupun raga.
Tesis ini akan menjawab prinsip keadilan Tuhan yang
dipermasalahkan selama ini dengan hipotesis sebagai berikut: Manusia
umur 20 tahun adalah manusia yang sama pada umur 40 tahun (20
tahun kemudian). Identitas manusia tidak berubah sekalipun raga
manusia telah berganti dengan asupan makanan. Identitas seorang
manusia tidaklah berubah sepanjang umurnya, sekalipun raganya telah
berubah menjadi kurus, kecil, besar dan sebagainya. Identitas manusia
ditentukan oleh jiwanya, bukan titentukan oleh raganya. Analogikan
raga manusia umur 20 tahun adalah raga pelaku di dunia, dan raga
manusia yang baru umur 40 tahun adalah raga manusia penerima
pembalasan di akhirat.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Mengingat pembahasan tentang hidup setelah mati ini
memiliki cakupan pembahasan yang sangat luas, perlu dilakukan
identifikasi masalah demi tercapainya pembahasan yang sistematis.
Ada beberapa masalah yang terindentifikasi sebagai berikut:
a. Bagaimanakah keyakinan pembalasan amal perbuatan menjadi
fitrah pemikiran semenjak adanya sejarah manusia?
b. Bagaimanakah pengaruh ajaran nabi dan rasul terhadap filsafat
hidup setelah mati dalam sejarah peradaban manusia?
c. Apakah jiwa itu dan bagaimana hubungannya dengan raga?
d. Apakah kehidupan akhirat manifestasi kehidupan dunia yang
material?
e. Bagaimanakah kehidupan akhirat spiritual yang diyakini
filosof?

Rasulnya kepada artinya yang tersembunyi, dengan klaim kiasan atau perumpamaan.
Lihat Manna’ Qat}t}a>n, Mabah}is fi ‘Ulum al-Quran, 318.
20

f. Bagaimana Islam menjadikan pemikiran akal sebagai senjata


melawan orang berperadaban tinggi dalam membangun
metafisika kebangkitan dan kehidupan akhirat?
g. Bagaimana usaha filosof muslim menyelaraskan filsafat dan
agama?
h. Apakah itu prinsip keadilan Tuhan?
i. Bagaimana jika akal bertentangan dengan naqal?
j. Bagaimanakah proses kebangkitan raga di akhirat?
k. Apakah raga manusia berganti dengan asupan makanan?

2. Batasan Masalah
Pada dasarnya kajian ini adalah kajian filosofis bukan teologis.
Baik filosof maupun teolog berpijak dari landasan teologis yang sama,
yaitu:
a. Keyakinan terhadap adanya dunia dibalik dunia material, yaitu
dunia metafisika.
b. Keyakinan terhadap adanya kekuatan supra natural (Tuhan)
yang maha kuasa atas segala sesuatu.
c. Keyakinan terhadap adanya jiwa yang terpancar (bersumber)
dari Tuhan yang sifatnya hampir sama dengan zat Tuhan.
d. Keyakinan terhadap adanya pembalasan amal perbuatan.
Masalah yang diperdebatkan dalam kajian ini, bukanlah aspek
teologisnya (Ushul al-Di>n), tapi lebih pada aspek filosofisnya, yaitu
bagaimana bentuk, sifat, dan proses terjadinya pembalasan amal
perbuatan tersebut di akhirat. Semua konsep-konsep dibangun dari
teori-teori filsafat yang kemudian dicarikan legitimasinya dalam al-
Quran.
Yang dimaksud dengan HIDUP SETELAH MATI dalam
kajian ini adalah kehidupan setelah:
a. Berpisahnya jiwa dengan raga, bagi yang memahami jiwa
sebagai sebuah esensi material.
b. Putusnya ketergantungan jiwa dengan raga, sehingga jiwa tidak
lagi mengatur raga, bagi yang memahami jiwa sebagai sebuah
esensi spiritual.
c. Hilangnya kehidupan pada raga, bagi yang memahami al-Ru>h}
sebagai aksiden.
Kehidupan yang dimaksud dalam kajian ini bukan saja dimulai dari
hari dimana seluruh raga umat manusia dibangkitkan kembali di hari
21

kiamat, tapi juga termasuk kehidupan pada masa tunggu dari kematian
hingga hari kebangkitan, yang disebut dengan alam Barzakh.
Perkara akhirat (eskatologi) tidak bisa terlepas dari perkara
awal (penciptaan). Tentunya ada saling keterkaitan antara awal dan
akhir (al-Mabda’ wa al-Ma‘a>d). Kajian ini akan membahas tentang
perkara awal (al-Mabda’). Tapi tidak akan membahas tentang teori
penciptaan yang rumit dalam filsafat. Cukup hanya sebagai landasan
untuk memahami jiwa sebelum bergantung kepada raga. Selanjutnya
kajian tentang akhirat dibatasi hanya untuk mencari bentuk, karakter
dan sifat akhirat itu sendiri, dan mencari teori kebangkitan raga yang
rasional. Pembatasan masalah bisa disimpulkan dalam poin-poin
berikut:
a. Memahami, mengenal dan mengetahui karakter jiwa baik
sebelum, ketika dan setelah terputus hubungannya dengan raga.
b. Membahas sifat dan bentuk akhirat dari aspek material (surga
dan neraka) dan spiritual (immaterial).
c. Membahas teori kebangkitan raga.
Dialektika berarti dialog, percakapan dua arah. Dialektika
adalah berbahasa dan bernalar dengan berdialog sebagai cara untuk
menyelidiki suatu permasalahan. 96 Teolog dan filosof begitu banyak
jumlahnya, sehingga perlu pembatasan yang jelas. Dalam kajian ini,
filosof dipresentasikan oleh Ibn Si>na> (370-428 H) yang kajiannya
tentang jiwa paling komprehensif dari filosof muslim lainnya. Begitu
juga dengan pandangan akhirat spiritual Ibn Si>na> yang sangat jelas.
Sementara teolog dipresentasikan oleh Abu H{amid al-Ghaza>li> (450-
505 H) yang dikenal sebagai H{ujjah al-Isla>m, pelindung agama dari
serangan-serangan filsafat dan akidah yang merusak.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah, dapat dirumuskan bahwa kajian
ini adalah kajian mencari hakikat manusia, serta mencari bentuk dan
sifat akhirat yang sesuai untuk pembalasan amal perbuatan manusia.
Akhirat adalah tempat pembalasan amal perbuatan. Prinsip keadilan
Tuhan menuntut manusia yang dibalasi amal perbuatannya adalah
manusia pelaku amal perbuatan yang dahulu hidup di dunia. Dalam
artian yang menerima pembalasan benar-benar sampai kepada si
pelaku perbuatan.

96
http://artikata.com/arti-325163-dialektika.html (diakses tanggal 6 Juni
2014)
22

Akhirat hanyalah tempat yang disesuaikan dengan manusia itu


sendiri. Apakah manusia itu adalah raga material? Ataukah jiwa
spiritual? Ataukah jiwa material? Ataukah jiwa dan raga material?
Ataukah jiwa spiritual dan raga material merupakan alatnya. Raga
material pastilah menghendaki akhirat yang material. Jiwa yang
spiritual pastilah menghendahi akhirat yang spiritual. Akhirat yang
material pastilah menghendaki kebangkitan raga. Akhirat spiritual
tidak menghendaki kebangkitan raga. Kajian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Apa yang menjadi identitas seorang manusia di akhirat?

C. Tinjaun Kepustakaan
1. Kerangka Teori
Ada lima teori tentang akhirat berdasarkan pandangan terhadap
hakikat manusia:
a. Pengembalian Raga yang telah Tiada (I‘a>dah al-Ma’du>m ):
Manusia adalah raga material. Akhirat bersifat material.
Kematian adalah keluarnya al-Ru>h} (kehidupan) dari raga. Kebangkitan
adalah kembalinya raga manusia yang telah tiada. Teori ini
dikemukakan oleh generasi awal Ahl al-Sunnah dan Masha>yikh al-
Mu’tazilah.
b. Pengumpulan Raga yang Terurai (Jam’ ba’d al-Tafarruq):
Manusia adalah jiwa dan atau raga material. Akhirat bersifat
material. Kematian adalah keluarnya al-Ru>h} (kehidupan) dari raga.
Kebangkitan adalah berkumpulnya kembali raga yang terurai, baik
seluruh maupun sebagian. Teori ini dikemukakan oleh Mu’tazilah dan
Ahl al-Sunnah Muta‘akhirin.
c. Jiwa Spiritual tanpa Raga
Manusia adalah jiwa immaterial. Akhirat bersifat spiritual.
Kematian adalah putusnya ketergantungan jiwa dari raga. Kebangkitan
raga mustahil adanya. Akhirat material (surga dan neraka) hanyalah
contoh dan perumpamaan untuk orang awam. Teori ini dikemukakan
oleh Ibn Si>na> (370-428 H) mewakili mayoritas filosof.
d. Kebangkitan Raga dari Material Apapun –revisi teori c-:
Manusia adalah jiwa immaterial, sementara raga material
hanyalah alatnya. Akhirat bersifat spiritual dan juga material.
Kematian adalah putusnya ketergantungan jiwa dari raga. Kebangkitan
adalah kembalinya jiwa bergantung pada raga dari material apapun.
Teori ini dikemukakan oleh Abu H{a>mid al-Ghaza>li> (450-505 H).
23

e. Pengumpulan Bagian Asal Raga yang Terurai (Jam’ al-Ajza’


al-As}li>yah ) -revisi teori b- :
Manusia adalah jiwa spiritual dan raga material. Akhirat
bersifat spiritual dan juga material. Kematian adalah terputusnya
ketergantungan jiwa dengan raga. Kebangkitan adalah berkumpulnya
kembali bagian asal raga yang terurai, yang tetap sepanjang umur dan
tidak berganti dengan siklus makanan dan kembalinya jiwa bergantung
pada raga. Teori ini dikemukakan oleh Muh}aqqiqi>n.
2. Kajian Terdahulu yang Relevan
Dari lima teori diatas hanya satu teori yang dominan, yaitu
teori ‚Pengumpulan Bagian Asal Raga‛. Hal ini tidak terlepas dari
berkelanjutannya regenerasi dalam lingkungan teolog terutama
kalangan teolog Ash’ariyah. Menariknya, walaupun teori ‚Bagian asal
Manusia‛ menurut teolog adalah teori terkuat, tapi mereka tetap
berdiri tegak dalam membela teori pertama (I‘a>dah al-Ma’du>m).
Teolog masih saja menuliskan dan mendukung teori ini dalam buku-
buku mereka. Entah karena alasan fanatik mengikut kepada salaf atau
memandang teori ini masih kuat dan belum runtuh. Sebaliknya teori
filosof satu-satunya, yaitu teori ‚Jiwa spiritual tanpa raga‛ hanyalah
ditemui dalam buku-buku yang mengkritisi filosof baik secara
langsung maupun tidak. Tentunya ini disebabkan oleh mandul dan
menghilangnya filsafat Islam ditelan masa.
Dapat disimpulkan bahwa teori ‚Pengumpulan Bagian Asal
Raga‛ adalah teori yang eksis dan mempunyai banyak pendukung,
sementara empat teori lainnya hanyalah di atas kertas yang fungsinya
untuk mengungkapkan pendapat terdahulu sebagai perbandingan dan
bukan mengungkapkan pendapat penulisnya. Setidaknya ada dua
kajian yang mendukung teori ‚Pengumpulan Bagian Asal Raga‛
sekalipun keduanya berbeda pandangan dalam menafsirkan bagian asal
raga yang dimaksud:
Pertama, Ali Arslan Aydin dalam al-Ba’th wa al-Khulu>d baina
al-Mutakallimi>n wa al-Fala>sifah (Istanbul: Dar Sakha>, 1998) 97
menyatakan bahwa pengembalian raga apa adanya (‘Ainiyah) adalah
pandangan populer yang disepakati oleh sahabat dan generasi
terdahulu. Pandangan salaf (I’a>dah al-Ma’du>m) lebih berhati-hati.
Namun teori pengumpulan kembali bagian asal raga yang terurai
(Jam’ Al-Ajza’ al-As}li>yah) lebih selamat (aman) dalam berdiskusi,

97
Risalah ilmiah untuk meraih gelar Professor dibidang Akidah dan Filsafat
Islam pada Universitas al-Azhar, Mesir tahun 1961.
24

berdialog dan berdebat. Dalam menafsirkan ‚bagian asal raga yang


tetap sepanjang umur dan tidak berganti dengan siklus makanan‛ yang
dimaksud oleh teolog abad pertengahan, Ali Arslan Aydin
menyatakan bahwa bagian asal itu adalah jiwa. Pembagian raga
menjadi bagian asal dan bagian tambahan sama seperti pembagian
manusia menjadi jiwa dan raga. Karena bagi teolog, jiwa adalah
material halus yang mengalir di dalam raga seperti air di dalam daun
dan api di dalam bara. Tesis ini akan membantah penafsiran Ali
Arslan.
Kedua, Muhammad H{asan Riba>h} Bukhit dalam ‘Aqidah al-
Ba’th baina al-Muthbitin wa al-Munkirin (Khart}u>m: Universitas Islam
Ummu Darman, 1988) 98 menyatakan bahwa kematian bukanlah
membuat raga binasa (‘a>dam), tapi kematian membuat raga terurai.
Oleh karena itu, kebangkitan adalah pengumpulan kembali raga yang
terurai (Jam’ al-Ajza’ ba’d al-Tafarruq) bukan pengembalian raga yang
telah tiada (I‘a>dah al-Ma’du>m). Dalam menafsirkan ‚bagian asal raga
yang tetap sepanjang umur‛, menurutnya, bagian asal raga itu adalah
tulang tungging (‘Ajab al-Zanab). Sehingga tulang tersebut ibaratkan
biji tanaman. Kebangkitan manusia seperti tumbuhnya tanaman dari
dalam tanah. Tesis ini cenderung mendukung penafsiran tersebut.
Walau bagaimanapun penafsiran terhadap bagian asal raga
yang dimaksud oleh teolog abad pertengahan, tetap saja tesis ini akan
meruntuhkan teori bagian asal raga. Karena ‚bagial asal raga yang
tetap sepanjang umur dan tidak berganti dengan siklus makanan‛ itu
ternyata tidaklah ada. Hal ini diungkapkan oleh ilmu kedokteran abad
ke-20 yang menyatakan bahwa seluruh raga manusia berganti secara
keseluruhan secara terus menerus dengan siklus makanan, sehingga
lahirlah raga dari material yang baru pada beberapa waktu tertentu.
Oleh karena itu, teori kebangkitan yang mempertahankan raga
(material) -yang dahulu menemani jiwa di dunia- demi menjunjung
prinsip keadilan Tuhan tidaklah relevan dalam perkara kebangkitan.
Pandangan ini didukung oleh:
Pertama, Lynne Rudder Baker dalam Persons and the
metaphysics of resurrection (Cambridge: Cambridge University Press,
2007) menyatakan bahwa teori identitas manusia mempunyai
kemampuan yang luar biasa dalam membentuk konsep metafisika
kebangkitan. Dalam ajaran kristen, kebangkitan menuntut manusia

98
Tesis untuk meraih gelar Magister dibidang Aqidah dan Agama di
Universitas Islam Ummu Darman, Sudan tahun 1988.
25

yang hidup di dunia dan manusia yang dihidupkan kembali di akhirat


adalah manusia yang sama, bahwa raga duniawilah yang bertamasya
ke akhirat dibawa oleh sebuah keajaiban. Berdasarkan pandangan
terhadap manusia (Constitutions View), seorang manusia dibentuk
oleh –tapi tidak identik dengan- organ tubuh. Pada dasarnya, orang
mempunyai sudut pandang utama tentang manusia. Pada dasarnya,
organ tubuh mempunyai keterikatan fungsi biologis utama. Teori
identitas manusia merupakan teori terunggul dalam membangun
metafisika kebangkitan raga.
Kedua, Wahiduddin Khan dalam Isla>m Yatah}adda: Madkhal al-
Ilmi ila> al-Islam (Kuwait: Scientific Research House, 2005)
menyatakan bahwa raga manusia merubah dirinya sendiri secara terus-
menerus, sampai datang waktu tidak satupun sel-sel lama yang
tertinggal karena digantikan oleh sel-sel yang baru. Aktivitas ini terus
berulang dengan cepat di usia kanak-kanak kemudian melambat di usia
dewasa. Namun manusia yang ada didalamnya tidaklah berubah,
pengetahuannya, tabiatnya, cita-citanya dan pemikirannya tetap
seperti adanya.
Ketiga, Ayatullah al-'Uz}ma> Syaikh Ja'far al-Subh}a>ni> dalam al-
Ila>hiya>t ala> Huda al-Kita>b wa al-Sunnah wa al-Aql’ (Iran: al-Dar al-
Isla>miyah, 1990) menyatakan bahwa teori bagian asal manusia sama
sekali tidak berdasar. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa setiap
manusia mempunyai bagian asal raga yang tetap dan tidak berubah
sepanjang umur. Raga manusia merupakan susunan sel-sel yang hanya
Allah saja yang mengetahui jumlahnya. Para ahli menyatakan bahwa
seluruh sel-sel raga digantikan oleh sel-sel baru setiap sepuluh tahun.
Seorang yang berumur 80 tahun, jiwanya telah bergantung pada 8 raga
yang berbeda. Teori yang mempertahankan raga duniawi bertamasya
ke akhirat didasari oleh pandangan yang memahami bahwa manusia
adalah raga. Sementara Identitas manusia ditentukan oleh jiwanya,
bukan ditentukan raganya. Oleh karena itu, yang dipandang dalam
perkara kebangkitan adalah bentuk (s}urah). Jiwa akan kembali
bergantung pada raga dari material apapun.

D. Tujuan Penelitian
Kajian filosofis tentang Manusia dan Akhirat ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui gambaran akhirat di mata filosof.
26

2. Mengetahui sejauh mana usaha filosof muslim dalam


menyelaraskan antara agama dan filsafat, terutama perkara
akhirat.
3. Menjelaskan kerja keras teolog muslim dalam membela
agamanya dengan senjata musuhnya (filsafat), terutama perkara
akhirat.
4. Membuktikan bahwa Islam adalah agama rasionalis, segala hal
dalam ajaran Islam dapat diterima akal. Tidak ada perkara yang
mustahil dan tidak dapat dicerna oleh akal.
5. Membuktikan bahwa filsafat bukanlah kajian yang tak berguna
dan selalu merusak Islam dan justru sebaliknya.
6. Membuktikan runtuhnya teori bagian asal manusia yang
dibangun teolog abad pertengahan dan bertahan selama berabad-
abad.
7. Membangun kembali konsep kebangkitan raga dari material
apapun sebagai teori terdepan dan terunggul dalam metafisika
kebangkitan raga.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan konsep identitas seorang manusia
2. Memberikan teori kebangkitan yang kuat, tidak banyak
menimbulkan permasalahan, sederhana, mudah dipahami dan
gampang dicerna akal.
3. Menambah keimanan terhadap akhirat, kebangkitan raga dan
hari pembalasan yang dijanjikan oleh sang pencipta.
4. Memperkuat keyakinan bahwa Islam adalah agama rasionalis,
dalam Islam tidak ada perkara mustahil yang tidak dapat dicerna
oleh akal manusia.
5. Mengingatkan manusia untuk banyak berbuat baik, dan menjauhi
perbuatan buruk, karena semua ada pembalasannya.
6. Menambah khazanah keilmuan Islam, terutama tentang
eskatologi.

F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini sepenuhnya bersifat kepustakaan dan tergolong
pada penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian ini
menggunakan sumber-sumber kepustakaan untuk membahas
problematika yang telah dirumuskan. Kajian ini dikenal juga dengan
27

kajian dokumen atau teks (Document Study). Kajian yang menitik


beratkan pada analisis atau interpretasi bahan tertulis
berdasarkan konteksnya. Data-data yang dihimpun terdiri atas bahan-
bahan tertulis yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan artikel
pada jurnal dan website. Data yang dimaksud adalah sumber primer
yaitu Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d‛99 karya Ibn Si>na> (370-428
H), dibantu dengan sumber-sumber sekunder yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan permasalahan jiwea dan akhirat.
Penelitian ini bersifat Kualitatif. Metode penelitian Kualitatif
yang dimaksud adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data Deskriptif berupa kata-kata dan catatan-catatan yang
berhubungan dengan pemaknaan, penilaian, dan pengertian. Oleh
karena itu, penelitian ini sepenuhnya akan menggunakan prosedur
penelitian Kualitatif.
Dalam menghasilkan data yang dibutuhkan, penulis akan
menggunakan teknik pengumpulan data. Pengumpulan data digunakan
untuk mengumpulkan pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep yang
dalam hal ini bersumber dari sumber primer dan sekunder yang
memuat pemikiran-pemikiran tentang al-Ma’a>d. Dalam melakukan
pengumpulan data maupun analisis data akan digunakan logika
Aristoteles (al-Mant}iq al-Qadi>m) atau penalaran Induktif Abstraktif,
yaitu suatu logika yang bertitik tolak dari ‚khusus ke umum‛ dan
bukan sebaliknya.
Dalam menganalisis data, penulis juga menggunakan beberapa
teknik analisis data lainnya. Analisis data merupakan suatu rangkaian
penelitian yang sangat penting, karena merupakan proses penyusunan,
pengkategorian data, dan pencarian pola atau tema dengan maksud
untuk memahami maknanya. Disamping itu, analisis data juga
dimaksudkan untuk melakukan pengeksplorasian dan pengaturan
secara sistematis terhadap data-data yang telah dikumpulkan untuk
mempertajam pemahaman. Oleh karena itu, penelitian ini juga
mengunakan metode analisis data Deskriptif dan metode analisis data
Komparatif. Karena berdasarkan pada kenyataannya, data yang
dihadapi bersifat Deskriptif berupa pernyataan verbal bukan data
Kualitatif.
Dalam mengkomparasikan antara satu pernyataan dengan
pernyataan lainnya, digunakan pendekaran Teoritis (Theority

99
Shaikh al-Rai>s Abu al-Wali>d Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-
Ma‘a>d‛, Ed. Sulaima>n Dunya> (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1949).
28

Approach). yaitu suatu metodologi yang membandingkan antara satu


teori dan teori lainnya dan mencari kelebihan dan kelemahannya.
Dalam menganalisa teori tersebut, digunakan metodologi ‚Ragu‛
(Manhaj al-Shakk), salah satu metodologi filsafat yang meletakkan
segala sesuatu harus dikeragui dan harus dibuktikan kebenarannya.

G. Sistematika Penulisan
Pembahasan karya ilmiah memerlukan suatu bentuk penulisan
yang sistematis sehingga tampak adanya gambaran yang jelas, terarah,
serta logis dan saling berhubungan antara bab satu dengan bab
berikutnya. Penelitian dalam tesis ini dibagi menjadi beberapa bab
sebagai berikut :
Bab I berisikan landasan umum berupa pendahuluan yang
mengemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan
masalah, tinjauan kepustakaan, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang jiwa sebagai identitas dan hakikat
manusia yang akan dibalasi amal perbuatannya. Dimulai dengan istilah
operasional yang dipakai dalam permasalahan agar tidak terjadi
overlapping karena kesalahan memahami istilah. Pembahasan ini
dimulai dengan konsep munculnya jiwa, kondisi jiwa sebelum dan
sesudah bergantung kepada raga, karakter jiwa yang abadi dan
immaterial yang pada awalnya diungkapkan oleh filosof Yunani
kemudian diadopsi oleh filosof dan teolog muslim. Bab ini lebih pada
mengkaji permulan (al-Mabda’) sebelum berbicara tentang akhirat (al-
Ma‘a>d). Karena keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat.
Pada Bab III dibahas performa akhirat. Pada bab ini
dikomparasikan pandangan-pandangan yang mengkaji bentuk dan
gambaran akhirat. Pandangan tersebut dibangun atas pandangan
mereka terhadap hakikat manusia. Bagi yang memandang manusia
adalah material raga, manusia setelah meninggal berada di dalam
kuburnya (selama di alam Barzakh) sampai hari kiamat. Bagi yang
memandang manusia adalah jiwa material, perlu diidentifikasi dari
jenis material apakah jiwa tersebut?, dalam pandangan ini, manusia
setelah meninggal berada di tempat kemana perginya jiwa. Baik yang
menyatakan manusia adalah raga material atau jiwa material,
keduanya berpandangan bahwa akhirat bersifat material, di mulai dari
kebangkitan raga, pengumpulan (al-H{ashr), penghitungan (al-Hisa>b),
penimbangan (al-Mi>za>n), jembatan (al-S{ira>t}), dan berakhir pada surga
29

dan neraka. Bagi yang memandang jiwa transenden bukan material,


akhirat bersifat spiritual saja, karena manusia pada dasarnya hanyalah
jiwa immaterial. Terputusnya ketergantungan jiwa dari raga, sudah
langsung menjadi akhirat tanpa alam Barzakh. Muh}aqqiqin
memandang akhirat spiritual dan juga material. Mereka berusaha
memadukan antara pandangan teolog dan filosof.
Bab IV membahas skenario kebangkitan yang rasional menurut
akal. Sebelum masuk kedalam teori terlebih dahulu dijelaskan istilah-
istilah yang dipakai, yang setiap istilah mempunyai bias masing-
masing. Teori-teori kebangkitan raga ini tentunya bagi yang
memahami akhirat bersifat material (Jasmani>). Sedangkan yang
memahami akhirat spiritual (Ru>ha>ni>) berada pada posisi meruntuhkan
segala skenario yang ada. Skenario-skenario tersebut adalah: pertama,
mengembalikan manusia yang telah tiada (I’a>dah al-ma’du>m), kedua
mengumpulkan bagian raga yang terurai (Jam’ al-Ajza’ ba’d al-
Tafarruq), ketiga kebangkitan yang tak memandang material raga.
Bab V Berisikan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran dan diakhiri dengan daftar pustaka dan biodata penulis.
30
BAB II

JIWA DALAM KAJIAN FILOSOF

A. Istilah Operasional
Pembahasan jiwa mempunyai beberapa kata kunci yang
digunakan oleh sarjana muslim dalam kajiannya, yaitu: al-Ru>h, al-
Nafs, al-Qalb, al-‘Aql. Supaya tidak terjadi tumpang tindih dalam
memahami istilah, perlu sebuah kesamaan perspektif dalam
memahami istilah yang dipakai sehingga menjadi kata operasional
yang dipakaikan dalam kajian ini. Karena tentunya, masing-masing
kata yang dipakai memiliki bias dan konsekuensi masing-masing.
Ditambah lagi dengan perbedaan dalam memahami makna kata yang
dimaksud, akan memperluas pemaknaan dan membuatnya semakin
runyam. Oleh karena itu, perlu pemilahan pemaknaan yang dipakai dan
kesamaan perspektif dalam memahami istilah sehingga menjadi kata
ilmiah yang digunakan dalam kajian.
1. Al-Ru>h}
Terdapat 21 kata al-Ru>h} di dalam al-Quran. Semua kata
tersebut berpulang pada 6 pemaknaan.1 Dari 6 pemaknaan hannya satu
pemaknaan yang dimaksud dalam kajian. (a) Al-Ru>h} dipakaikan untuk
malaikat Jibril as.2 (b) Al-Ru>h} dipakaikan untuk Al-Quran,3 (c) Al-Ru>h}
dipakaikan untuk wahyu yang diturunkan Allah swt.4 (d) Al-Ru>h}

1
Muh}ammad Sayyid al-Musayyar, Al-Ru>h} fi Dirasa>t al-Mutakallimi>n wa
al-Fala>sifah (Cairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 2002), 26.
2
Katakanlah: Ru>h} (Jibril as.) yang disucikan menurunkan al-Quran itu dari
Tuhanmu dengan benar‛ (QS. Al-Nah}l [16]: 102). Lihat tafsirnya dalam Abu ‘Abd
Allah Muh}ammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurt}u>bi>, Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Quran:
Wa al-Mubayyin lima> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A<i al-Furqa>n, Ed. ‘Abd
Allah ibn ‘Abd al-H{asan al-Turki> (Beirut: Maktabah al-Risa>lah, 2006), Cet. I, Vol.
XII, 427.
3
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ru>h} (Al-Quran) dengan
perintah Kami (Al-Shura>: 52). Lihat tafsirnya dalam Ima>d al-Di>n Abu al-Fida’ Ismail
Ibn Kathir, Tafsi>r al-Quran al-‘Az}i>m (Giza: Maktabah Aula>d Shaikh li al-Tura>th,
2000), Cet. I, Vol. XII, 295.
4
Yang menyampaikan al-Ru>h} (wahyu) dengan perintah-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan
(manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat). (QS. Ga>fir [40]: 15). Lihat tafsirnya
31
32

dipakaikan untuk bantuan dan pertolongan Allah kepada hambanya5


(e) Al-Ru>h} dipakaikan untuk Isa al-Masi>h}6 (f) Al-Ru>h} dipakaikan
untuk sumber dan penyebab kehidupan.7
Ketika penyusunan, pembentukan anggota raga dan organ
tubuh Adam as. telah sempurna, Allah ciptakan kehidupan di dalam
raganya. Tiup disini hanyalah perumpamaan untuk membuat raga
menjadi hidup,8 panca indranya berfungsi, dan dapat berfikir setelah
sebelumnya hanyalah material mati. Pemaknaan al-Ru>h} yang menjadi
penyebab kehidupan inilah yang dimaksud dalam kajian ini.
2. Al-Nafs
Dalam al-Quran disebutkan ada tiga jenis al-Nafs menurut
sifatnya:
a. Al-Nafs Mut}mainnah9 (Stabil dan Tenang)
Ibn Qayyim al-Jauzi>10 (691-751 H) menerangkan bahwa al-
Nafs akan tenang kembali kepada Tuhannya dengan beribadah kepada-

dalam Ibn Qayyim al-Jauzi>, D{au al-Muni>r ‘ala> al-Tafsi>r, Ed. ‘Ali> al-Muh}ammad al-
Muh}ammad al-S{a>lih}i> (Riyad}: Maktabah Dar al-Sla>m, tt.), Vol. V, 244.
5
Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka dan menguatkan mereka dengan Ru>h} (pertolongan)5 yang datang daripada-
Nya (QS. Al-Muja>dilah [58]: 22). Lihat tafsirnya dalam Abu al-Fad} Shiha>b al-Di>n al-
A<lu>si>, Ruh al-Ma‘a>ni fi Tafsi>r al-Quran al-‘Az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni> (Beirut: Dar
Ih}ya’ al-Turasth al-‘Arabi>, tt.),Vol. XXVIII, 36.
6
Sesungguhnya al-Masih}, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan
kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, dan Ru>h} (Isa as. sebagai rahmat)
dari-Nya‛ (QS> Al-Nisa’ [4]: 171). Setiap manusia adalah Ru>h} yang ditiupkan Allah
(QS. Al-Hijr [15]: 29), penyebutan Ru>h} disini sebagai kemulian khusus yang
ditujukan kepada Isa as. karena lahir tanpa ayah. Lihat Abu Ja’far Muh}ammad ibn
Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi Ta’wi>l Ayyi al-Quran (Cairo: Maktabah Ibn
Taymiyah, tt.), Vol. V, 421.
7
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah aku
tiupkan kedalamnya Ru>h}-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud
(QS>. Al-Hijr [15]: 29).
8
Abu al-Qa>sim Mah}mu>d ibn Umar al-Zamkhashari>, Al-Kashsha>f ‘an
Haqa>iq Gawa>mid} al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi Wujuh al-Ta’wi>l (Riyad}:
Maktabah Abika>n, 1998), Cet. I, Vol. III, 405.
9
Hai al-Nafs yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya (QS. Al-Fajr [89]: 27-28)
10
Dia adalah Muh}ammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub ibn Da’d al-Zar‘i> al-
Dimashqi>, Abu ‘Abd Allah Shams al-Di>n yang dikenal sengan sebutan Ibn Qayyim
al-Jauzi>, Qayyim al-Jauzi> adalah ayahnya, yang berarti seorang Kurator di al-
Jauziyah, anak cucunya dikenal dengan istilah tersebut. Dia salah satu murid Ibn
33

Nya, mencintai-Nya, bertaubat kepada-Nya, berserah diri kepada-Nya,


merasa puas dengan-Nya, dan nyaman dengan-Nya. Diantara tanda
rasa cinta, takut dan berharap kepada-Nya, memastikan tidak adanya
rasa cinta, takut dan berharap kepada selain-Nya. Rasa cinta kepada-
Nya membuat tidak butuh lagi kepada cinta yang lainnya. Ingat
kepada-Nya membuat tidak butuh lagi mengingat selain-Nya.
Kerinduan bertemu dengan-Nya membuat tidak rindu lagi bertemu
dengan selain-Nya. Ketenangan merupakan kebenaran yang diberikan
Allah kepada hambaNya.11
b. Al-Nafs Al-Lawwa>mah12 (Labil dan Goyah)
Ulama berbeda pendapat, apakah al-Lawwa>mah berasal dari
kata al-Talawwum yang berarti bingung dan ragu, maha suci Allah
pembolak-balik hati. Ataukah berasal dari kata al-Lu>m yang berarti
celaan.13 Menurut Ibn Qayyim (691-751 H) kedua penafsiran ini benar.
tidak ada pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Al-Nafs
bersifat dengan semua pemaknaan tersebut. Itulah sebabnya
dinamakan Lawwa>mah. Oleh karena itu, al-Nafs al-Lawwa>mah dua
macam: (a) Labil yang dicela (Lawwa>mah Malu>mah), yaitu al-Nafs
yang bodoh dan zalim yang dicela Allah dan malaikat. (b) Labil yang
tidak dicela (Lawwa>mah gair al-Malu>mah), yaitu al-Nafs yang masih
saja mencela dirinya sendiri atas kelemahannya dalam ketaatan kepada
Allah setelah berusaha sekuat tenaga, yang demikian tentunya
bukanlah tercela. Al-Nafs yang paling mulia adalah yang mencela
dirinya sendiri dalam ketaatan kepada Allah, dan bersabar atas celaan
yang diterima dalam menjalankan yang diridhai-Nya. Sehingga dia
tidak lagi terpengaruh oleh celaan orang-orang, ketika itu ia telah
terlepas dari celaan Allah. Sedangkan orang yang merasa puas dengan
amalannya, dan tidak pernah mencela dirinya dan tidak bersabar dari
celaan orang-orang pencela, dia itulah al-Nafs yang dicela Allah ‘azza
wa jalla>.14

Taymiyah, seorang ulama besar yang di lahirkan di Damaskus (691H./1292 M.) dan
meninggal di tempat yang sama pada (751 H./ 1350 M.). Pernah dipenjarakan di
benteng Damaskus bersama Ibn Taymiyah. Lihat Khair al-Di>n al-Zirikli>, Al-A’la>m,
Vol. VI, 56.
11
Shams al-Di>n Abu ‘Abd Allah Ibn al-Qayyim al-Jauzi>. Al-Ru>h}, Ed.
Muh}ammad Ta>mir (Cairo: Dar al-Taqwa, 2003), 234.
12
Aku bersumpah demi hari kiamat. Dan aku bersumpah demi al-Nafs yang
labil (QS. Al-Qiya>mah [75]: 1-2).
13
Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h, 23.
14
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 239-240.
34

c. Al-Nafs al-Amma>rah15 (Jahat)


Ibn Qayyim al-Jauzi> (691-751 H) menerangkan bahwa al-Nafs
al-Amma>rah adalah al-Nafs yang selalu menyuruh perbuatan keji dan
munkar. Inilah tabiat asli al-Nafs tersebut. Tak seorangpun bisa
berlepas diri dari hasutannya kecuali yang mendapat petunjuk,
keteguhan dan pertolongan dari Allah Ta‘a>la>>.16 Al-Nafs inilah
temannya setan yang selalu memberikan janji-janji palsu, mencampur-
adukkan kebaikan dengan kebatilan dan menyuruh untuk selalu
mengerjakan perbuatan keji dan munkar.
3. Al-Qalb17
Imam al-Qurt}u>bi>18> (w. 671 H) menerangkan alasan manusia
dapat dipresentasikan oleh al-Qalb. Menurutnya dikhususkan
penyebutan al-Qalb, karena bila al-Qalb selamat, anggota raga akan
turut selamat. Apabila al-Qalb rusak, seluruh anggota raga akan turut
rusak.19 Sekalipun anggota raga tergantung kepada al-Qalb, anggota
raga dapat mempengaruhi al-Qalb. Karena adanya keterikatan antara
yang zahir (raga) dan yang batin (al-Qalb), sekalipun al-Qalb adalah
pengatur dan penguasa raga dengan segala aktifitasnya.20
4. Al-‘Aql
Al-‘Aql adalah istilah asing yang dibawa oleh penerjemah
untuk mengungkapkan sebuah kata dalam bahasa Yunani atau bahasa
lainnya ke dalam bahasa Arab. 21 Istilah al-‘Aql khusus digunakan

15
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya al-Nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali al-Nafs
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku maha pengampun lagi
maha penyanyang (QS. Yusuf [12]: 53)
16
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 240.
17
Di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan al-Qalb yang selamat (QS. Al-Shu‘ara’ [26]: 88-89).
18
Dia adalah Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abi Bakr ibn Farh}, Abu ‘Abd
Allah al-Ans}a>ri> al-Khazra>ji, al-Qurtubi>, al-Andalu>si>, al-Ma>liki>. Seorang Imam yang
berwawasan luas, mempunyai banyak karangan yang menunjukkan bahwa ia seorang
yang rajin membaca dan tentunya itu menunjukkan keutamaannya. Buku tafsirnya
dibawa oleh dua kendaraan (unta/keledai). Karyanya merupakan tafsir terbesar
bercorak fiqih. Dia meninggal tahun 671 H di Mesir. Lihat S{ala>h} al-Di>n Khali>l ibn
Aibek al-Safadi>, Wafya>t al-A’ya>n (Beirut: Da>r Ih}ya’ Turath al-‘Arabi>, 2000), Cet. I,
87.
19
Imam al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Quran, Vol. XVI, 44.
20
Imam al-Qurt}u>bi>, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Quran, Vol. I, 287.
21
Ibn Hazm al-Andalu>si> Al-Z{a>hiri>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Ahwa>’ wa al-
Nih}al (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Cet. II, Vol. III, 252.
35

oleh filosof muslim. Istilah ini muncul dari teori mereka (al-Fara>bi> dan
Ibn Si>na>) tentang penciptaan alam semesta (kosmologi). Menurut
filosof, penciptaan terjadi dengan emanasi, yaitu segala yang ada,
terpancar dari Allah Yang Maha Kuasa melalui tahapan-tahapan.
Penciptaan terjadi dengan proses berkreasi (Ta‘aqqul), yaitu
Allah (al-‘Aql absolut) sebagai wujud yang pertama (Wajib al-Wuju>d
bi Dha>tih) berkreasi tentang dirinya. Dari kreasi itu terpancar wujud
kedua (al-‘Aql-1). Al-‘Aql (1) berkreasi tentang Tuhan sehingga
terpancar wujud ketiga (al-‘Aql-2). Al-‘Aql (1) juga berkreasi tentang
dirinya sendiri sehingga terpancarlah langit. Akal-2 berpikir tentang
Tuhan, terpancar al-Aql (3). Al-‘Aql (2) berkreasi tentang dirinya,
maka terpancarlah bintang-bintang. Begitu seterusnya hingga sampai
pada al-‘Aql (10). Oleh karena itu, Allah adalah al-‘Aql, yang
berkreasi (al-‘A<qil), dan yang dikreasikan (al-Ma’qu>l) bersamaan.22
Terdapat kerancuan dalam karya Ibn Si>na> (370-428 H), ketika
menjadikan al-‘Aql merupakan salah satu daya al-Nafs, dan ketika
menyatakan teori emanasi: al-‘Aql terpancar dari Tuhan kemudian
terpancar dari al-‘Aql itu al-Nafs. 23 Namun yang lebih tepat dalam
pandangan Ibn Si>na> adalah al-‘Aql merupakan salah satu daya al-Nafs.
Jiwa ketika telah berpisah dengan raganya terkadang disebut al-Nafs,
akan tetapi lebih tepat untuk disebut al-‘Aql.
Ibn Si>na> membagi al-‘Aql menjadi dua bagian24: (a) al-‘Aql al-
‘Amali> (intelek praktis) yang menjadi sumber gerak raga manusia
setelah melalui proses berfikir, berbeda dengan akal binatang yang
menggerakkan raganya tanpa proses berfikir, tapi berasal dari
dorongan dan emosi. (b) al-‘Aql al-‘Ilmi (intelek saintis) yang
merupakan daya yang mampu memperoleh pemaknaan-pemaknaan
umum yang transenden. Al-‘Aql al-‘Ilmi menguasai badan dan
mempengaruhinya hingga terbentuklah budi pekerti (akhlak).
Sebagian filosof memandang bahwa al-‘Aql adalah wujud
(eksistensi) yang paling mulia. Esensi al-‘Aql al-Mut}laq (absolut)
adalah Allah, intelek manusia (al-‘Aql al-Munfa‘i>l - Poietikos)
terpancar dari al-‘Aql (10)25 (al-‘Aql al-Fa’‘a>l - pothetikos) yang suci

22
Abu ‘Ali al-H{usain ‘abd Allah Ibn Si>na>. Al-Naja>h} fi al-Mant}iq wa al-
Ila>hiya>t (tt: www.al-Mostafa.com , tth), Vol. II, 140. Teks aslinya adalah:
‫ٔاجب انٕجٕد بزاحّ عقم ٔعاقم ٔيعقٕل‬
23
Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 29.
24
Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 32.
25
‚Aku tiupkan kedalamnya Ru>h}-Ku‛ (QS. Al-Hijr [15]: 29)
36

dari material (transenden), kemudian diiringi oleh al-Ru>h} yang lebih


dekat kepada unsur cahaya, kemudian al-Nafs yang lebih dekat pada
unsur tanah dan udara.26 Begitulah pandangan filosof terhadap
tingkatan kemulian dari yang satu ke yang lain, dimulai dari al-‘Aql,
selanjutnya al-Ru>h}, terakhir al-Nafs.
5. Pengkristalan Istilah
Abu H{amid al-Ghaza>li> (450-505 H) menegaskan bahwa
keempat istilah diatas (al-Ru>h, al-Nafs, al-Qalb, al-‘Aql) dipakaikan
untuk satu pemaknaan yang sama, yaitu hakikat manusia. Hakikat
itulah yang menerima beban syariah (Mukallaf) dan mendapat perintah
dari Allah Ta‘a>la>>. Hakikat itulah yang hidup, yang berbuat, dan yang
berilmu. Istilah-istilah tersebut hanyalah perbedaan pengungkapan
untuk satu hakikat yang sama. Perbedaan pengungkapan timbul dari
sudut pandang yang berbeda. Dari sisi menghidupkan raga disebut al-
Ru>h}. Dari sisi keinginan (sahwat) disebut al-Nafs. Dari sisi alat
berfikir (berkreasi) disebut al-‘Aql. Dari sisi tempat pengetahuan
(Ma’rifah) disebut al-Qalb.27
Menurut Ibn Taymiyah (661-728 H) kata al-Ru>h} digunakan
juga untuk menunjukkan al-Nafs.28 Menurutnya, filosof menggunakan
kata al-Ru>h} dan al-‘Aql untuk menunjukkan satu pemaknaan yang
sama, ketika mengatur raga disebut al-Nafs dan ketika telah berpisah
dengan raga filosof menyebutnya dengan al-‘Aql. Karena menurut
filosof al-‘Aql terbebas dari material dan segala ketergantungan
dengan material. Adapun al-Nafs, bergantung kepada raga,
ketergantungan mengatur dan menggerakkan.29
Ibn H{azm30 (384-456 H) menyatakan bahwa kata al-Ru>h} dan
al-Nafs adalah dua kata yang bersinonim untuk satu nama dan satu

26
Abbas Mahmu>d ‘Aqqa>d, Insa>n fi al-Quran (Cairo: Nahd}ah Mis}r, tt.), 27.
27
Abu Ha>mid al-Gaza>li>, Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n (Semarang: Karya Toha Putra,
tt.), Vol III, 3.
28
Shaikh al-Islam Ibn Taymiyah, Majmu‘ah al-Risa>lah al-Muniriyah:
Risa>lah fi al-Aql wa al-Ru>h}, Ed. Muh}ammad Muni>r ‘Abduh (Damaskus: T{iba>‘ah al-
Muniriyah, 1343 H.),Vol. II, 36.
29
Ibn Taymiyah, Risa>lah fi al-Aql wa al-Ru>h}, Vol. II, 22.
30
Dia adalah al-Ima>m Abi> Muh}ammad ‘Ali> ibn Ahmad yang dikenal dengan
Ibn Hazm al-Andalu>si> al-Z{a>hiri> al-Qurtubi>, Lahir di Cordova (384 H/ 994 M). Ulama
besar islam yang banyak menulis buku setelah Ibn Jarir al-T{abari. Dia seorang Imam
yang Hafiz}, faqih tekstualis, pembaharu tekstualis, dan penghidup kembali aliran
tekstualis yang telah padam di Timur. Dia juga seorang teolog, sastrawan,
pengkritik, penganalisa bahkan orang menyebutnya sebagai seorang filosof, Menteri
37

makna.31 Ibn Qayyim (691-751 H) menegaskan bahwa perbedaan


antara al-Nafs dan al-Ru>h} hanyalah perbedaan pada sifatnya bukan
perbedaan pada zatnya.32 Ibn Qayyim menceritakan bahwa pandangan
kesamaan antara al-Nafs dan al-Ru>h} merupakan pandangan mayoritas
ulama. Kata al-Nafs dipakaikan dalam al-Quran ketika bersatu dengan
raga, sedangkan ketika berpisah dengan raga dipakaikan kata al-Ru>h}.33

B. Dinamika Kajian Jiwa


Semenjak dahulu kala, manusia berusaha menyibak rahasia
alam semesta. Manusia telah berhasil mendapatkan banyak
karakteristik alam natural. Dengan karunia –yang diberikan- Allah
swt. manusia mampu menaklukkan dan menunundukkan alam natural
untuk kepentingan manusia itu sendiri. Namun begitu, rahasia
kehidupan masih saja belum terungkap dan belum dapat diketahui
setelah berabad-abad yang panjang. Jiwa merupakan perkara yang
paling rumit dalam ilmu pengetahuan, filsafat dan aliran-aliran
pemikiran secara umum semenjak manusia mulai berfikir tentang
hakikat kehidupan sepanjang masa.34 Dalam Islam, dinamika kajian
jiwa tergantung pada pemahaman terhadap tiga pokok permasalahan
dari ayat yang mempertanyakan tentang al-Ru>h}:35

1. Pemahaman ‚al-Ru>h}‛ yang dipertanyakan


Tidak dapat dipungkiri, baik ahli tafsir (al-Mufassiri>n) maupun
ahli hadis (al-Muh}addithi>n) tidak sepakat dalam pemaknaan al-Ru>h}
yang dipertanyakan. Menurut Ibn Qayyim (691-751 H), ada dua
pendapat tentang permasalan36:

urusan politik Bani Umayyah, Ulama besar Andalusia. Ulama Maliki menantangnya
dan mengusirnya dari tanah airnya. Dia meninggal di negeri orang tuanya ‚ Mint
Lishm‛ pada (456 H/ 1064 M). Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-
Nubala’, Vol. XVIII, 184.
31
Ibn Hazm al-Andalu>si, Al-Fis}al fi al-Milal, 254.
32
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 232.
33
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 231.
34
Mahmu>d ‘Abba>s ‘Aqqad, Al-Falsafah al-Quraniyah (Beiru>t:Dar al-Kita>b
al-Lubna>ni>, 1986), 117.
35
Dan mereka bertanya kepadamu tentang al-Ru>h}. Katakanlah: al-Ru>h} itu
merupakan urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan
sedikit (QS. Al-Isra’ [17]: 85)
36
Abu ‘Abd Allah ibn Sulaima>n al-Saffa>raini>, Al-Buh}u>r al-Za>khirah fi
‘Ulu>m al-A<khirah, Ed. Muh}ammad Ibrahi>m Shalabi> (Kuwait: Garra>s, 2007), Cet. I,
Vol I, 111.
38

a. Salaf 37
Salaf memandang bahwa al-Ru>h} yang dipertanyakan disini
adalah al-Ru>h} yang diberitakan berdiri bersama malaikat di hari
kiamat, yaitu malaikat yang agung.38 Oleh karena itu al-Ru>h}
(malaikat) tersebut tidak dapat dikenal kecuali adanya pemberitaan
wahyu. 39
b. Khalaf
Khalaf memandang bahwa al-Ru>h} yang dipertanyakan adalah
al-Ru>h}-nya manusia. Al-Ru>h} manusia bukanlah hal yang tidak dapat
dikenal (gaib), telah banyak manusia dari berbagai aliran dan agama
yang membahasnya. Sehingga, jawaban tentang al-Ru>h} manusia
sangat tidak pantas menjadi tanda kenabian.40Al-Quran dan hadis telah
banyak berbicara tentang jiwa, ketergantungan jiwa dengan raga, dan
setelah berpisah dengan raga. Lalu pantaskah mengatakan Rasul saw.
sama sekali tidak tau tentang al-Ru>h}?
Ibn Qayyim (691-751 H) mengklaim bahwa mayoritas salaf
bahkan semuanya menyatakan bahwa al-Ru>h} yang dimaksud adalah
malaikat.41 Ayat ini bukanlah menjadi penghalang untuk mengkaji al-
Ru>h} manusia. ‘Alla>mah al-A<lu>si>42 (1217-1270 H) dalam tafsirnya,

37
Salaf merupakan masa keemasan yang dicerminkan dalam kemurnian
pemahaman dan penerapan rujukan agama dan pemikiran, sebelum munculnya
perselisihan dan aliran yang timbul setelah masa penaklukan Islam. Salaf Generasi
awal Islam yang menjadi teladan umat Islam dan telah dicap kebaikannya oleh Rasul
saw.: ‚Sebaik-baik generasi adalah generasiku (Sahabat) kemudian generasi
berikutnya (Ta}}>bi’in) kemudian generasi berikutnya (Ta>bi’ Ta>bi’in)‛ (HR>. Bukhari
Muslim). Lihat Muh}ammad ‘Ima>rah, al-Salaf wa al-Salafiyah (Cairo: Kementrian
Perwaqafan Republik Arab Mesir: 2008), 9.
38
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 165.
39
Lihat H{adi>th S{ahi>h dari ‘Abd Allah ibn Mas‘u>d, diriwayatkan oleh Imam
al-Bukha>ri> dalam kitab: al-‘Ilm, Ba>b: Qauluhu ‚Wama> u>ti>tum min ‘ilm illa> qali>la>‛
(no. 125). Lihat Ima>m Abu ‘Abd Allah ibn Isma>’il al-Bukha>ri, Shahi>h al-Bukha>ri>
(Riyad}: Bait al-Afka>r al-Dauliyah, 1998), 50.
40
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 165-166.
41
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 165.
42
Dia adalah al-‘Alla>mah Abu al-Fad}l Shiha>b al-Di>n, al-Sayyid mahmu>d al-
A<lu>si> al-Bagda>di>. Lahir pada tahun 1217 H/ 1802 M di dekat kota al-Karakh,
Bagdad. A<lu>s adalah sebuah pulau ditengah sungai Eufrat, Kakeknya melarikan diri
kesana menghindari pembantaian Hulagu Khan (Mongol). Dia seorang ulama Irak
dan mufti Bagdad dan merupakan penutup Muh}aqqiqi>n. Dia ahli dalam perbedaan
mazhab, mengenal agama dan berbagai aliran, berkeyakinan salafi, bermazhab
Sya>fi’i. Hanya saja dia dalam banyak permasalahan mengikut pada Imam Abu
Hanifah, namun diakhir hayatnya lebih cendrung untuk berijtihad. Al-A<lu>si> wafat
39

membenarkan pandangan mayoritas salaf tersebut dan mengutip


beberapa periwayatan seperti: hadis riwayat Ibn ‘Abba>s43 (3 SH-68 H)
yang menyatakan bahwa al-Ru>h} itu adalah Jibril, dan merupakan
pendapat al-H{asan44 (21-110 H) dan Qata>dah45 (61-118 H).
Diriwayatkan pula dari Ali ibn Abi T{alib46 (23 SH-40 H) yang

pada tahun 1270 H/ 1854 M. Lihat Muh}ammad Husain al-Dhahabi, Tafsi>r wa al-
Mufassiru>n (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), Vol I, 250-251.
43
Dia adalah ‘Abd Allah ibn ‘Abba>s, digelari Habr al-Ummah, faqih
zamannya, tokoh mufassir, anak paman Nabi saw: Abu ‘Abba>s ibn ‘Abd al-Mut}allib
ibn Ha>shim. Ia lahir dipemukiman Bani Ha>shim 3 SH. Sewaktu kecil, Nabi
merangkulnya ke ketiaknya dan berdoa ‚Ya Allah faqih-kan (pahamkanlah) ia agama
dan ajarkanlah ia ilmu takwil (tafsir). Nabi saw. meninngal ia masih berumur 13
tahun. Ibn ‘Abba>s meriwayatkan 1660 hadis. Dia digelari dengan al-Bah}r (lautan
ilmu), karena ia tak pernah diam bila ditanya tentang perkara agama. Ibn ‘Abba>s
wafat pada 68 H. di T{a>if. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi. Siyar A’la>m al-Nubala’.
Vol. III, 331-359.
44
Dia adalah Abu Sa‘i>d, al-H{asan ibn Abi al-H{asan Yassa>r al-Bas}ri>. Lahir
dua tahun penghujung kekhilafahan Umar ibn Khattab di Madinah tahun 21 H.
Ibunya pembantu Ummu Salamah. Dia menangis di waktu kecil, dan Ummu Salamah
menyusuinya, dan tumbuh di keluarga Nabi. Pada tahun 37 H dia pindah ke Bas}rah,
disanalah ia menyenyam ilmu dari para sahabat disana, dan menjadi seorang ulama
paling tersohor di seantaro Bas>rah dan menjadi mufti hingga wafatnya. Ia wafat di
umur 88 tahun di Basrah pada 110 H. Lihat Muh}ammad H{usain al-Dhahabi>. Al-
Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Vol. I, 93.
45
Dia adalah Abu al-Khita>b, Qatadah Ibn Di‘a>mah al-Sasu>si>. Seorang
keturunan Arab asli tinggal di Bas}rah. Dia menimba ilmu dari Anas, Abu T{ufail, Ibn
Siri>n, ‘Ikrimah, ‘Ata’ ibn rabah dan lainnya. Dia seorang ahli Arab: bahasanya, hari-
harinya dan nasabnya. Dari sinilah timbul kepopulerannya dalam tafsir. Ia dikenal
sebagai seorang yang kuat hafalannya, apa yang di dengarkan kepadanya dapat cepat
masuk ke otaknya, ia mampu mengulanginya. Ia wafat pada 117 H pada umur 56
tahun. Lihat Muh}ammad Husain al-Dhahabi>. Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Vol. I, 93-
94.
46
Dia adalah Abu al-H{asan ‘Ali ibn Abi T{a>lib ibn Ha>shim, anak paman
Nabi saw. dan suami anaknya Fa>t}imah, Khalifah al-Ra>shidi>n yang ke-4 dan Ima>m
yang pertama menurut Shi‘ah. Sebagian sumber sejarah menyebut ia dilahirkan di
dalam Ka’bah pada 13 Rajab 23 SH/ 17 Maret 599 M. Dia merupakan orang ke-3
masuk Islam dan anak kecil pertama masuk Islam. Ia turut serta dalam seluruh
perang yang dipimpin Rasulullah selain perang Tabuk. Dia dikenal gagah perkasa di
medan perang, orang kepercayaan Rasulullah Saw. duta dan menterinya, dan salah
seorang penulis wahyu. Kedudukan ‘Ali menjadi konflik yang berkepanjangan dalam
40

mengatakan: al-Ru>h adalah malaikat yang mempunyai 70.000 wajah,


pada setiap wajah 70.000 lidah yang semuanya mentasbihkan Allah
Ta‘a>la>>. Menurut Muja>hid47 (21-104 H), al-Ru>h} adalah ciptaan seperti
bentuk manusia yang mempunyai tangan, kaki, dan kepala tetapi
bukan malaikat dan bukan manusia, namun dia makan seperti manusia
makan. Menurut Sa‘i>d ibn Jubair48 (46-95 H), al-Ru>h} adalah makhluk
Allah yang terbesar setelah al-‘Arash. Jika Allah berkehendak, al-Ru>h}
itu dapat menelan langit 7 tingkat dan bumi 7 tingkat satu kali telan. 49
Sekalipun membenarkan periwayatan salaf, tapi ‘Alla>mah al-
A<lu>si> (1217-1270 H) yang berkeyakinan salafi>50 ini, lebih memilih
pendapat mayoritas ulama dari pada pendapat Ibn Qayyim (691-751

sejarah dan keyakinan antara berbagai aliran Islam. Dia di Bai‘at menjadi khalifah di
Madinah pada 35 H. dan berkuasa selama lima tahun. Masanya di kenal sebagai masa
instabilitas politik. Mala petaka dan peperangan terjadi dimasanya merupakan
perpanjangan kasus pembunuhan ‘Uthma>n ibn ‘Affa>n. Ia meninggal di tangan ‘Abd
al-Rah}ma>n ibn Muljam pada Ramad}a>n 40 H./ 661 M. Lihat Shams al-Di>n al-
Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’: Si>rah al-Khulafa’ al-Ra>shidi>n, 225-251.
47
Dia adalah Abu al-H{ujja>j Muja>hid ibn Jabar al-Makki> al-Makhzu>mi>. Dia
populer disebut singkat dengan ‚Muja>hid‛ dalam kitab tura>th. Dia seorang imam,
faqi>h, ‘A<lim, terpecaya (Thiqqah) dan banyak hadis. Dia seorang ahli tafsir, Qurra’
al-Quran dan hadis. Muja>hid banyak meriwayatkan dari ibn ‘Abbas. Ibn ‘Abbas
pernah menerangkan al-Quran kepadanya sebanyak tiga kali, ayat-ayatnya satu
persatu. Mujahid mengambil periwayatan hadis dari ‘A<ishah, Abu Hurairah, Sa’d ibn
Abi Waqqa>s, Jabir, Ibn ‘Umar dan Abu Sa‘i>d al-Khudri. Lihat Shams al-Di>n al-
Dhahabi, Siyar A’la>m al-Nubala’, Vol. VI, 449.
48
Dia adalah Sa‘i>d ibn Jubair ibn Hisha>m al-Asadi>, Imam, al-H{a>fiz al-
Muqri’ al-Mufassir tekenal. Seorang tabi‘i>n keturunan Ethiopia. Dia seorang yang
taat beragama, seorang alim, dia belajar dari ‘Abd Allah ibn ‘Abba>s, ‘Abd Allah ibn
‘Umar dan ‘Aishah di Madinah. Dia menetap di Kufah dan menyebarkan ilmunya
disana. Jadilah dia seorang imam dan guru bagi penduduk Kufah. Dia dibunuh oleh
al-H{ujja>j ibn Yu>suf al-Thaqafi, karena ia bergabung dengan ‘Abd al-Rah}ma>n ibn al-
Ash‘at dalam pemberontakan kepada Bani Umayyah. Lihat Shams al-Di>n al-
Dhahabi>, Siyar A’la>m al-Nubala’, Vol. VI, 321-342.
49
Abu al-Fad} Shiha>b al-Di>n al-A<lu>si>, Ruh al-Ma‘a>ni, Vol. 15, 152.
50
Salafi adalah aliran tekstualis yang di gagas Imam Ah}mad ibn H{anbal
tentang Asma’ wa Sifa>t yang dahulunya dikenal dengan istilah Ahl al-H{adi>th.
Aliran ini kembali berkembang di abad ke 7 H ditangan Ibn Taymiyah dan muridnya
Ibn Qayyim al-Jauzi>. Dalam perkembangannya, gelar dan istilah Salafi ini lebih
popular digunakan untuk kelompok tertentu yang mencerminkan pemahaman
sebagian sahabat bukan seluruh sahabat. Muh}ammad ‘Ima>rah, al-Salaf wa al-
Salafiyah, 9-11.
41

H).51 Pengkhususan al-Ru>h} dengan al-Ru>h} manusia pada ayat


merupakan ladang perdebatan, tidak disepakati oleh para ulama.
Pandangan mayoritas ulama adalah al-Ru>h} secara umum. Fakhr al-Di>n
al-Ra>zi>52 (544-606 H) telah menguatkan pandangan mayoritas ulama
pada awal penafsirannya, dan menyebutnya dengan pandangan yang
lebih jelas. 53

2. Pemahaman ‚Amr Rabbi>‛


Al-Amr berarti perkara dan urusan, disandarkan kepada tuhan,
‚Urusan Tuhan‛. Penyandaran (al-Id}af> ah) berfungsi sebagai
pengkhususan dan ekslusifitas. Penyandaran juga menunjukkan bahwa
yang disandarkan (urusan) merupakan hal yang besar dan mulia.54 Ini
berarti, perkara al-Ru>h} hanya diketahui oleh Tuhan, manusia sama
sekali tidak bisa mengetahuinya. Jawaban yang tepat adalah dengan
tidak menjawabnya, karena memberikan jawaban merupakan sebuah
hal yang terlarang. Oleh karena itu, jawaban Nabi saw pantas menjadi
tanda kenabian, karena tak seorang manusia pun yang tahu, sama
seperti kapan terjadinya hari kiamat. 55
Ayat dan hadis menunjukkan penyebab larangan berbicara
panjang lebar tentang al-Ru>h}, yaitu menyalahi tatakrama yang jelas
telah ditentukan oleh syariah. Allah sendiri tidak mau menjelaskan
perkara tersebut kepada Nabi-Nya. Sunah hukumnya tidak berbicara
51
Abu al-Fad} Shiha>b al-Di>n al-A<lu>si>, Ruh al-Ma’a>ni, Vol. 15, 151.
52
Dia adalah Abu ‘Abd Allah, Muh}ammad ibn ‘Umar ibn al-Husain ibn
‘Ali, al-Tami>mi>, al-Bakari>, T{ibrista>ni>, al-Ra>zi>, digelari dengan Fakhr al-Di>n dan
dikenal dengan ibn al-Khat}i>b al-Sha>fi‘i>, lahir di al-Rai pada 544 H. Imam ahli tafsir
bermazhab Shafi‘i>, pengetahuannya begitu luas, kajian dan buku-bukunya begitu
luas, mulai dari ilmu humaniora: bahasa, rasional sampai pada ilmu lainnya seperti
fisika, matematika, kedokteran, dan astronomi. Dia pengikut Ash‘ariyah,
membendung Mu’tazilah dan Filosof. Lihat Muh}ammad Husain al-Dhahabi, Tafsi>r
wa al-Mufassiru>n, Vol I, 206.
53
D{iya’ al-Di>n Umar Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1981), Cet. I, Vol. XXI, 37.
54
Abu al-Fad} Shiha>b al-Di>n al-A<lu>si>, Ruh al-Ma’a>ni, Vol. 15, 153.
55
Lihat hadis riwayat Ibn ‘Abba>s dalam al-Siyar. Menurut Ibn H{ajar al-
‘Asqalani>, kedua hadis yaitu: (a) Hadis Yahudi menanyakan langsung yang berarti
ayat Madani> dan (b) Quraish bertanya atas hasutan Yahudi yang berarti ayat Makki>,
bisa dikompromikan (jama’), karena bisa saja ayat tersebut turun berulang-ulang,
dapat diperkirakan diamnya Rasulullah ketika ditanya kedua kalinya, Rasul ingin
mendapat pengetahuan tambahan. Namun Ibn H{ajar segera menyadari bahwa hadis
Bukhari> lebih S{ahih. Lihat Ibn H}ajar al’Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri bi Sharh} S{ah}ih} al-
Bukha>ri>, Vol. VIII, 261-263.
42

tentang al-Ru>h}, namun berbicara panjang lebar tentang al-Ru>h}


hukumnya makruh. Al-Ru>h} merupakan perkara gaib yang hannya
diketahui oleh Allah. Manusia hanya dapat mengetahuinya dari
bocoran-bocoran yang diberitakan dalam wahyu ilahi. Allah swt. tidak
menjelaskan hakikat al-Ru>h}, Nabi pun tidak menjelaskannya kepada
umatnya. Setiap perkara yang seperti ini, sunah hukumnya tidak
membahasnya panjang lebar.
Bahkan menurut Imam Junaid56 (w. 297 H) al-Ru>h} merupakan
perkara yang ekslusif hannya diketahui oleh Allah, tak seorangpun
makhluk yang diberi pengetahuan tentang itu, tidak pantas seorang
hamba membahasnya lebih banyak dari sekedar al-Ru>h} itu ada.57
Suhrawardi al-Baghdadi58 (539-632 H) menyadari bahwa pembicaraan
tentang al-Ru>h} memang sulit sekali. Menahan diri untuk tidak
membahasnya merupakan jalan orang yang bijaksana. Allah telah
mengagungkan perkara al-Ru>h}, dan menggoreskan untuk hambanya
dengan ilmu yang sedikit dengan mengatatan: ‚Tidaklah Aku beri
kalian ilmu kecuali hannya sedikit‛. Rasul saw menahan diri untuk
tidak memberikan pengetahuan tentang al-Ru>h} dan esensinya atas izin
Allah dan wahyu-Nya. Padahal Rasulullah saw. adalah tambang ilmu,

56
Dia adalah Abu al-Qa>sim al-Junaid Muh}ammad al-Khazza>z al-Qawa>ri>ri>,
digelari dengan imam dua kelompok yaitu sufi dan fuqaha. Seorang ulama Ahl al-
Sunah, tokoh sufi Sunni di abad ketiga Hijriyah. Dia berasal dari Na>hawand di
H{amda>n, lahir dan tumbuh di Bagdad. Abu ‘Abd al-Rah}ma>n al-Salami menyatakan;
‚Dia adalah seorang pemuka bangsa dan tuannya, diterima oleh berbagai kalangan‛.
Dia dekat dengan sekelompok syaikh, yang paling dikenal adalah pamannya syaikh
Sarri al-Saqti> dan al-H{a>rith al-Muhasibi>. Dia belajar fiqih dengan Abu Thaur, dia
telah menjadi mufti dikelompoknya pada umur 20 tahun. Ima>m Junaid wafat pada
297 H. Lihat Abu ‘Abba>s ibn Khilka>n, Wafya>t al-A’ya>n wa Anba’ Abna’ al-Zama>n
(Beirut: Dar al-S}a>dir, tt.), Vol I, 373-375.
57
Muh}ammad al-Ami>r, H{ashiyah ‘ala> Sharh} al-Shaikh ‘Abd al-Sala>m ‘ala>
al-Jauharah fi Ilm al-Kala>m (Cairo: al-Mat}ba‘ah al-Azhariyah, 1342 H), 134.
58
Dia adalah Shiha>b al-Di>n abu H{afs} Umar al-Suhrawardi al-Baghda>di>,
Seorang ulama Ahl al-Sunnah dan tokoh tasawuf Sunni di abad VII hijriyah, pendiri
tarekat sufi Suhrawardiyah, pengarang kitab ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif. Ulama besar teladan
para zuhud dan penuntut ilmu, muh}addi>th, Syaikh al-Isla>m penyatu sufi. Lahir 539
H, berasal dari Suhrawanrd. Dia menemani dan mengikuti pamannya Abu al-Naji>b,
darinya Suhrawardi belajar fiqih, khitabah, dan tasawuf. Dia juga berteman dengan
‘Abd Qadir al-Jailani dan Abu Muh}ammad ibn ‘Abd di Basrah. Dia meninggal di
Bagdad, 632 H dan diatas kuburnya dibangun menara. Lihat Al-Ima>m Shams al-Di>n
ibn ‘Uthma>n al-Dhahabi>, Siyar A’la>m Al-Nubala’, Vol. XXII, 373.
43

sumber kebijaksanaan, lalu layakkah orang berbicara tentang al-Ru>h}


yang Rasul sendiri tidak diizinkan membicarakannya?‛59
Dapat disimpulkan bahwa dalam ranah pemikiran Islam, ada
kecendrungan menolak pengkajian al-Ru>h} karena tidak sejalan dengan
norma yang telah ditetapkan syariah. Makruh dan bahkan haram
hukumnya mengkaji ilmu yang hannya diketahui oleh Allah semata.
Namun begitu, arah pemikiran dan kencendrungan ini bukanlah
pendapat terkuat dan mayoritas. Banyak juga ulama salaf dan khalaf
yang mengambil arah sebaliknya. Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>60 (773-852 H)
mengungkapkan bahwa sebagian kalangan sufi Muta’akhkhiri>n jelas-
jelas mengklaim mengetahui hakikat al-Ru>h} dan mencela orang yang
menahan diri mengkajinya.61
Dalam ‚al-Jauharah fi ‘Ilm al-Kala>m‛62 dinyatakan bahwa
ulama Ma>liki>63 telah berbicara panjang lebar tentang hakikat al-Ru>h}.
Diskhususkan penyebutan mazhab Ma>liki>, karena mereka merupakan
mazhab yang paling ketat terhadap shubha>t dari mazhab lainnya,

59
Shiha>b al-Di>n al-Umar al-Suhrawardi, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif dalam catatan
kaki Ih}ya’ Ulum al-Di>n al-Gaza>li> (Cairo: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt),
199.
60
Dia adalah Shihab al-Di>n Ahmad ibn ‘Ali ibn Muh}ammad ibn ‘Ali ibn
Mahmu>d ibn Ahmad ibn H{ajar al-Sha>fi‘i> al-‘Asqala>ni> al-Kinna>ni>, dikenal dengan
sebutan Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni. Lahir dan wafat di Cairo 773-852 H. dari keluarga
Palestina dari suku Kina>nah yang menghuni daerah ‘Asqala>n dan pidah ke Mesir
sebelum ia dilahirkan. Dia hafal al-Quran di umur 9 tahun, kemudian hafal alfiyah
(1000) h}adith Zainuddin al-Ira>qi, Mukhtas}ar Ibn al-H{ajib tentang Ushul. Dia
menekuni ‘Ilm al-h}adith, menguasai ‘Ilm al-Sanad, al-Matan , al-‘ilal dan al-
Mus}t}alah. Dia pernah mengembara ke Syam, Hijaz, dan Yaman, ulama zamannya
mengakui keilmuannya dan menggelarinya dengan al-H{afi>z. Lihat Ibn H}ajar
al’Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri, Vol. I, 19-20.
61
Ibn H}ajar al’Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri, Ed. Abd al-Qa>dir Shaibah al-H{amd
(Riya>d}: Maktabah al-Malik al-Fahd}, 2001), Cet. I, Vol. VIII, 263.
62
Lihat Muh}ammad al-Ami>r, H{ashiyah ‘ala> Sharh} al-Shaikh ‘Abd al-Sala>m
‘ala> al-Jauharah fi ‘Ilm al-Kala>m. (tt: Manuskrip Library of Princeton Aniversary,tt)
63
Ma>liki> penisbatan kepada imam Malik ibn Anas (93-179 H) salah satu
mazhab fiqih sunni yang empat, muncul pada abad kedua hijriyah. Perhatian khusus
terhadap amalan penduduk madinah merupakan ciri khas mazhab ini. Maliki tersebar
secara umum di timur bawah dan afrika, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait, Saudi
Arabia, Oman dan Negara lainya di Timur tengah. Eropa dan wilayah Maghrib juga
mayoritas mazhab ini. Lihat Muh}ammad al-Mukhta>r Muh}ammad al-Masa>mi>, Al-
Madhhab al-Ma>liki>: Mada>risuhu wa Muallifatuhu – Khas}aisuhu wa Sama>matuhu
(Uni Emirat Arab: Zayed Center for Heritage and History, 2002), 7.
44

mereka terkenal sangat memelihara teks syariah.64 Kalaulah


pengkajian tentang jiwa (al-Ru>h}) terlarang, tentunya sebagai ulama
besar yang berpegang kuat pada teks seperti mereka tidak pantas
mengkajinya.
Menurut Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) kata ‚Amr Rabbi>‛
pada ayat maksudnya perbuatan Tuhan (fi’l Rabbi> ), yaitu al-Ru>h}
tercipta dari perbuatan ‚kun‛ (jadilah). 65 Dalam kasus ini, Nabi saw.
telah menjawab pertanyaan Yahudi dengan sebaik-baiknya. Ayat ini
tidaklah menunjukkan pelararangan mengkaji al-Ru>h}. Al-Ru>h} telah
banyak dikaji, mulai dari filosof terkecil sampai teolog terlemah.
Kalaulah Nabi saw. sama sekali tidak dapat menjawabnya, tentunya
ini merupakan sebuah pelecehan dan penghinaan. Pantaskah seorang
Nabi yang mulia dan mendapat ilmu langsung dari sang pencipta lebih
bodoh dari filosof dan teolog? Perkara al-Ru>h} tidaklah lebih besar dan
mulia dari perkara Allah.66 Telah banyak Nabi, Rasul dan ulama yang
berbicara tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla, nama-nama-Nya (al-
Asma’ al-H{usna) dan segala kesempurnaan-Nya, mendiskusikan-Nya,
mengkaji tentang eksistensi-Nya, keesaan-Nya, melihat-Nya dan
kalam-Nya. Apakah perkara al-Ru>h} lebih besar dan lebih agung dari
perkara Allah?
Shaikh al-Qa>simi>67> (1283-1332 H) dalam tafsirnya menegaskan
bahwa Ayat tersebut tidak menunjukkan sebuah makna yang pasti.
Ayat sama sekali tidak ada menunjukkan pelarang membahas panjang
lebar tentang al-Ru>h}. Ayat juga tidak menunjukkan bahwa Nabi saw.
tidak tahu tentang al-Ru>h}. Tujuan ayat ini hanyalah perintah untuk
tidak menjawab pertanyaan Yahudi secara terperinci. Kemudian
filosof dan ulama semenjak dahulu berbeda pendapat tentang hakikat
al-Ru>h.} Tidak tepat bila Nabi saw. menjawab ladang perdebatan. Oleh

64
Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 20.
65
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Vol. XXI, 39.
66
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Vol. XXI, 38.
67
Dia adalah Abu al-Farj Muh}ammad Jamal al-Di>n ibn Muh}ammad Sa‘i>d
ibn Qa>sim ibn S{alih} ibn Isma‘i>l ibn Abi Bakr, dikenal dengan al-Qa>simi>, penisbatan
kepada nama kakeknya. Ulama Syam kelahiran Damaskus 1283 H/ 1866 M. Al-
Qa>simi> menyerukan ilmu pengetahuan, membuang jauh-jaun fanatik dan taklid buta,
memurnikan akidah dari infiltrasi pemikiran-pemikiran filsafat dan akidah yang
sesat. Al-Qa>simi menyerukan untuk membuka pintu ijtihad bagi yang sudah
memenuhi syarat untut itu. Karyanya lebih dari seratus buku. Ia wafat pada 1332 H/
1914 M. Lihat profilnya di al-Mishka>h.net:
http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=29180, (diakses pada 2 Mei 2012)
45

karena itu, cukup dijawab secara global saja. Demi kebaikan umum
agar tidak turut berbicara tentang al-Ru>h}, karena pembicaraan tentang
al-Ru>h} susah dipahami, terutama bila mengikuti metodologi filosof.‛68
Menurut Syaikh al-Qa>simi> (1283-1332 H) tidak ada bukti kuat
pelarangan mengkaji al-Ru>h}. Sebaliknya, justru banyak ayat-ayat al-
Quran yang menganjurkan untuk mengkaji al-Ru>h.} Bahkan al-Quran
menjadikan kajian tentang jiwa (al-Ru>h}) sebagai sarana mendekatkan
diri kepada Allah Ta‘a>la>>. 69

3. Pemahaman ‚Ilmu Yang Sedikit‛


‚Tidaklah kalian diberi ilmu kecuali hanya sedikit‛ (QS. Al-
Isra’[17]: 85), yaitu ilmu yang diperoleh dari pengindraan: penglihatan
mata, pendengaran telinga, pengecapan lidah, penciuman hidung, dan
perasaan kulit. Selanjutnya, terkadang perolehan indra itu diproses
oleh akal, untuk menghasilkan pengetahuan tentang alam gaib yang
tak tergapai oleh indra. Ilmu hasil olah akal itu hanya menggapai
tepian alam gaib, dan tidak mampu menggapai esensinya. Oleh karena
itu, masih banyak dan lebih banyak lagi alam gaib yang tak tergapai
oleh pengolahan akal. Ilmu yang sedikit itu adalah ilmu gaib yang di
dapat manusia dari perolehan akal dan sedikit bocoran dari wahyu
ilahi. Tentunya ilmu tentang alam gaib jauh lebih luas dari yang telah
diketahui manusia itu sendiri. Inilah penafsiran ayat menurut ‘Allamah
al-A<lu>si> (1217-1270 H).70
Penafsiran senada diungkapkan oleh Shaikh al-Qa>simi> (1283-
1332 H). Menurutnya, ilmu yang sedikit itu adalah ilmu pengindraan
untuk mengetahui alam material.71 Ilmu alam material ini sangat
sedikit dibanding ilmu Allah yang maha mengetahui, tidak saja
mengetahui alam nyata (material), tapi juga alam gaib (immaterial).
Pembahasan tentang ayat ini melahirkan istilah baru dalam
ranah pemikiran Islam, terutama kalangan Muta’akhkhirin. Istilah
a>lam al-Amr (Urusan Tuhan) dipakaikan untuk menyebutkan makhluk
yang diciptakan Allah tanpa material (Immaterial) seperti al-Ru>h.}
Istilah a>lam al-Khalq (Penciptaam) dipakaikan untuk menyebutkan
makhluk yang diciptakan Allah dengan bahan material seperti langit

68
Jamal al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, Ed. Muh}ammad ‘Abd al-Ba>qi>
(tt: tp, 1957), Vol. 10, 3983.
69
Jamal al-Di>n al-Qa>simi, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, Vol. 10, 3983-3984.
70
Abu al-Fad} Shiha>b al-Di>n al-A<lu>si>, Ruh} al-Ma‘a>ni, Vol. 15, 154.
71
Jamal al-Di>n al-Qa>simi, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, Vol. 10, 3981.
46

dan bumi yang dapat digapai oleh indra manusia. Namun, ‘Alla>mah
al-A<lu>si> (1217-1270 H) memberi catatan72 bahwa: Pemakaian istilah
ini tidak dikenal oleh bangsa Arab. Walaupun begitu, pemakaian
istilah ini ditopang oleh ayat: ‚Ingatlah! Kepunyaan-Nya alam al-
Khalq dan alam al-Amr‛ (QS. al-A’ra>f [7]: 54).
Jawaban global yang diberikan Nabi saw. atas pertanyaan
Yahudi tentang hakikat al-Ru>h}, merupakan jawaban dengan gaya
bahasa yang bijaksana.73 Hakikat al-Ru>h} merupakan a>lam al-Amr
(immaterial) yang tak dapat digapai akal manusia. Jawaban ini sama
dengan jawaban bijak Musa as. dalam menjawab pertanyaan Fir‘aun:
Siapakah itu Tuhan alam semesta? Musa as. Menjawab: Tuhan
pencipta langit dan bumi (QS. Al-Shu‘ara’[26]: 23-24), sebagai
jawaban yang bijaksana, karena Fir‘aun tak akan bisa mengetahui zat
Tuhan.
Pada dasarnya, kajian tentang al-Ru>h} hampir sama dengan
kajian tentang Allah Ta‘a>la>>. Al-Ru>h} merupakan tiupan langsung Allah
dari zat-Nya, yang membuat manusia menjadi mulia dan mendapat
penghormatan. Mengenal hakikat al-Ru>h} merupakan sebuah
kemustahilan, sama halnya dengan mengenal zat atau hakikat Tuhan.
Namun, manusia dapat mengenal Tuhan dari gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh zat Tuhan.
Gejala-gejala itu, diperoleh manusia dari anugrah indra dan
proses pemikiran akal, seperti: Allah maha kuasa, maha penyayang,
maha pencipta dan sebagainya yang diperoleh indra. Gejala-gejala
yang ditimbulkan oleh zat Tuhan, dikenal dengan sifat-sifat Allah dan
nama-nama-Nya (Asma’ al-H{usna>). Disamping memperoleh gejala zat
Tuhan dari indra, manusia juga mendapatkan gejala zat Tuhan dari
pemberitaan wahyu ilahi tentang zat-Nya. Gejala tersebut dikenal juga
dengan perumpamaan (Tashbi>h) dan penyerupaan (Tamthi>l), yaitu
perumpamaan dan penyerupaan perbuatan dan kondisi Allah yang
immaterial dengan sifat-sifat material, seperti naik, turun,
bersemayam, marah, punya tangan, wajah, dan lainnya, maha suci
Allah dari apa yang mereka sifati.
Sama halnya dengan mengkaji Allah Ta‘a>la>>, manusia tak akan
mampu mengetahui hakikat manusia (al-Ru>h}), tapi manusia dapat
mengenal al-Ru>h} dari gejala-gejala yang ditimbulkan oleh al-Ru>h}
tersebut. Telah banyak pemikir yang mengkaji tentang sifat dan
72
Abu al-Fad} Shiha>b al-Di>n al-A<lu>si>, Ruh al-Ma’a>ni, Vol. 15, 154.
73
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, Vol. 10, 3982.
47

kondisi al-Ru>h}, dari dahulu sampai sekarang. Semua kajian yang


dihasilkan, tak ada yang mampu mengenal hakikat al-Ru>h} yang
immaterial. Bahkan menurut ‘Allamah al-A<lu>si> (1217-1270 H)
sebagaian kalangan menegaskan bahwa mengetahui esensi (hakikat)
al-Ru>h} merupakan sebuah kemustahilan, bahkan sebagian mereka
menyatakan bahwa manusia tak akan mampu mengenal hakikat segala
sesuatu‛74 Oleh karena itu, tujuan mengkaji jiwa bagi al-Ghaza>li> (455-
505 H) hanyalah untuk mengungkapkan sifat-sifat dan kondisi jiwa,
bukan mengungkap hakikat jiwa. Kajian ini merupakan ilmu interaksi.
Ilmu interaksi butuh untuk mengenal sifat dan kondisi jiwa, dan tidak
perlu mengungkap hakikat jiwa.75

C. Kemunculan Jiwa antara Qadi>m dan H{a>dith


Qadi>m dan h}a>dith merupakan permasalahan filsafat yang
penting dalam ranah pemikiran Islam. Terjadi perdebatan yang alot,
antara filosof dan teolog Ash‘ariyah. Kedua belah pihak bertahan
dengan argumen masing-masing, berujung dengan pengkafiran filosof
dalam permasalahan.76 Kerumitan dan keruwetan permasalahan
Qadi>m-nya alam membingungkan akal dan mengacaukan pemahaman,
semenjak dahulu sampai sekarang.77
Sulitnya permasalahan, muncul dari latar belakang mendasar
yang tak kunjung selesai. Pada dasarnya, kedua belah pihak yang
bertikai sama-sama mengelukan kesempurnaan hanya milik sang
pencipta alam semesta. Namun, keduanya menempuh jalan yang
berbeda dalam penetapan kesempurnaan sang pencipta.78 Bagi
Ash‘ariyah, penetapan kesempurnaan Allah diwujudkan dalam: Allah
Ta‘a>la>> tidak punya motif dalam perbuatannya. Allah berbuat dengan
tujuan, pilihan, dan keinginan-Nya yang qadi>m. Dalam doktrin
Ash‘ariyah: Allah ada dan belum ada sesuatu pun bersama-Nya waktu
itu. 79 Allah qadi>m dengan zat-Nya dan sifat-Nya, tak ada awal dan
akhir bagi-Nya.

74
Abu al-Fad} Shiha>b al-Di>n al-A<lu>si>, Ruh} al-Ma’a>ni, Vol. 15, 154.
75
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Ihya’ Ulu>m al-Di>n, Vol. III, 4.
76
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 47.
77
Tharwat H{asan ‘Abd al-Rahma>n al-Mihna>, Fi al-Falsafah al-Isla>miyah
(Zagazig: Dar al-Isla>miyah, 2005), 157.
78
Komisi Dosen Fakultas Akidah Filsafat Universitas al-Azhar, Qad}aya>
Falsafiyah fi H{ad}a>rah al-Maghrib al-Isla>miyah (Zagazig: Dar al-Islamiyah, 2007),
127.
79
Tharwat H{asan, Fi al-Falsafah al-Isla>miyah. 157.
48

Bagi filosof, kesempurnaan Allah Ta‘a>la>> diwujudkan dalam:


Eksistensi Allah yang harus ada (Wajib al-Wuju>d li Dha>tih) bersamaan
dengan eksistensi alam tanpa adanya waktu pemisah (masa tunggu)
antara adanya Allah dan alam.80 Ada Allah ada alam, alam selalu ada
bersama Allah. Hubungan antara Allah dan alam merupakan hubungan
sebab akibat, tanpa dibatasi oleh waktu. Seperti iring-iringan matahari
dengan cahayanya, satu dengan dua, gerak benda dengan gerak
bayangannya. Qadi>m-nya Allah, dilihat dari sisi zat dan tingkatan
(Qadi>m al-Dhati>), bukan qadim dari sisi waktu (Qadi>m al-Zama>ni>).81
Eksistensi Allah sekaligus diiringi oleh eksistensi alam tanpa
ada waktu yang membatasi. Waktu adalah gerakan alam,82 alam
digerakkan oleh penggerak pertama (Allah). Ukuran gerak putaran
bumi pada porosnya disebut hari. Ukuran gerak bumi mengelilingi
matahari disebut tahun. Alam ada bersama Allah sekalipun tidak, atau
belum digerakkan. Kalaulah Allah ada dan belum ada alam, kemudian
ada alam, sehingga ada pemisah antara Allah dan Alam, sebagaimana
pandangan Ash‘ariyah. Timbul pertanyaan, kenapa diadakan sekarang?
Kenapa tidak diadakan sebelum itu? Motif apa yang membuat Allah
menciptakan alam pada waktu tersebut? Perubahan keinginan, adanya
motif dan dorongan baru dalam perbuatan, mustahil bagi Allah yang
maha sempurna.83
Ibn Rushd (520-595 H) telah berusaha mendamaikan antara
filosof dan teolog Ash‘ariyah.84 Menurutnya, perbedaan antara teolog
yang berpendapat bahwa alam itu h}a>dith dan tercipta dari ketiadaan,
dan pendapat filosof bahwa alam itu qadi>m, hanyalah perbedaan
pengungkapan (semantik). Sebenarnya ada tiga jenis wujud
(eksistensi): (a) Wujud material dari sesuatu (bahan), hasil perbuatan
pelaku, dan didahului oleh waktu, yaitu wujud langit dan bumi. Kedua
belah pihak sepakat menyebutnya h}ad> ith. (b) Wujud lawan dari wujud
pertama, yaitu wujud yang tidak berasal dari bahan, bukan hasil
perbuatan, dan tidak didahului oleh waktu, yaitu wujud Allah Ta‘a>la>>.
Kedua belah pihak sepakat menyebutnya qadi>m. (c) Wujud yang tidak

80
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi> al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, Vol. II, 130
81
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Taha>fut, 53, 67.
82
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Taha>fut, 71. Lihat juga Ibn Rushd, Fas}l
al-Maqa>l, 40.
83
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Taha>fut, 54.
84
Komisi Dosen al-Azhar, Qad}aya> Falsafiyah, 156.
49

berasal dari bahan, hasil perbuatan pelaku dan tidak didahului oleh
waktu, yaitu alam semesta yang diciptakan Allah dari ketiadaan,
geraknyalah yang menjadi ukuran waktu. Wujud ini merupakan wujud
perantara antara kedua sisi wujud diatas.85
Ash‘ariyah memandang wujud perantara tersebut lebih
cenderung pada sisi pertama. Oleh karena itu, mereka menyebutnya
h}a>dith. Sebaliknya, filosof memandang wujud perantara tersebut lebih
cenderung pada sisi kedua. Oleh karena itu, mereka menyebutnya
qadi>m. Wujud ketiga ini bukan h}a>dith sebenarnya (hakiki) dan juga
bukan qadi>m sebenarnya (hakiki). Karena h}a>dith hakiki berasal dari
bahan dan qadi>m hakiki tidak disebabkan oleh sesuatupun.86
Bagi Ibn Rushd (520-595 H), pendekatan antara teolog dan
filosof ini, tak ubahnya menyelaraskan antara pendapat Plato87 (427-
347 SM) yang menyatakan h}ad> ith-nya alam dan pendapat Aristoteles88

85
Ibn Rushd, Fas}l al-Maqa>l, 40, 41.
86
Ibn Rushd, Fas}l al-Maqa>l, 42.
87
Plato (Πλάτων) adalah seorang tokoh besar filsafat Yunani kuno,
kelahiran Aigena dekat Athena pada Mei 427 SM. Aigena merupakan tempat tinggal
sementara ayahnya Ariston. Plato hidup 80 tahun dan meninggal pada 347 SM.
Kedua orang tuanya berasal dari keturunan terhormat. Ayahnya keturunan Codrus,
Kaisar terakhir dinasti Athena terdahulu. Ibunya Perictione berasal dari keluarga
pemerintah Athena. Pada awalnya, Plato menggemari sastra, namun ketika ia belajar
dengan Socrates (470-399 SM), Socrates banyak mencela sastra (syair), akhirnya ia
mempelajari ajaran Phitagoras (582-496 SM) tentang dunia akal ( al-Ma’qu>la>t). Plato
mendirikan Akademia, sekolah tinggi pertama yang pernah ada. Plato meletakkan
dasar-dasar filsafat Barat dan sains. Plato sangat terpengaruh dengan ajaran gurunya,
Socrates. Apalagi hukuman mati yang zalim kepada gurunya meninggalkan pengaruh
tersendiri baginya. Lihat Jamal al-Di>n abi al-H{asan ‘Ali ibn Yu>suf al-Qift}i, Ikhba>r al-
‘Ulama’ bi Akhba>r al-Hukama’ (Mesir: al-Sa‘a>dah, tt.), 13-20. Lihat juga Ah}mad
Fua>d al-Ahwa>ni, Afla>t}u>n (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1991), Cet. IV, 9-21.
88
Aristoteles (Ἀπιστοτέληρ) adalah anak Nicomachus dokter kaisar
Macedonia Amyntas III, seorang tokoh besar filsafat Yunani. Lahir di Stagira,
wilayah Chalcidice pada 384 SM. Aristoteles hidup 62 tahun, meninggal di Kha>liqi>s
pada 322 SM. Di usia 17 tahun, ia menjadi murid Plato, kemudian menigkat menjadi
guru di Akademia Plato sampai umur 37 tahun. Disinilah Aristoteles mempelajari
fisika (Tabi>‘ah) dan Metafisika. Aristoteles meninggalkan Akademia setelah Plato
meninggal, dan menjadi guru dan pembimbing Alexander atas permintaan ayahnya,
kaisar Macedonia Philips. Inilah sebabnya ia berbicara tentang ilmu politik, dan
kebaikan umum. Peninggalan pemikiran Aristoteles yang sangat berarti adalah
tentang logika (al-Manti>q), dialah peletak dasar-dasarnya dengan sempurna.
Pemikirannya banyak di adopsi oleh Ibn Si>na> dan ibn Rushd di dunia muslim. Ia
dijuluki sebagai guru pertama. Lihat Jamal al-Di>n al-Qift}i>, Ikhba>r al-‘Ulama’ bi
Akhba>r al-Hukama’, 21-39. Lihat juga Alfred Edward Taylor, Aristotle, Trans. Izzat
50

(384-322 SM) yang menyatakan qadi>m-nya alam. 89Baik pandangan


alam itu qadi>m maupun h{ad> ith, selama menyatakan alam diciptakan
Allah Ta‘a>la>, filosof telah menjaga akidahnya. Tidak sepantasnya
pengkafiran dilemparkan kepada filosof dalam permasalahan.

1. Jiwa Qadi>m Menurut Filosof


Berdasarkan pandangan terhadap alam, jiwa qadi>m menurut
filosof. Jiwa adalah al-‘Aql atau daya al-‘Aql.90 Istilah al-‘Aql timbul
dari teori emanasi penciptaan alam semesta. Bagaimana yang banyak
(Makhluk) terpancar dari yang satu (Allah)? Berpegang pada prinsip:
‚Satu dari segala sisi hanya dapat memancarkan satu‛,91 demi
memelihara zat Allah yang satu dan sederhana.
Jika ditilik jauh kebelakang, prinsip ‚Satu hanya dapat
memancarkan satu‛ merupakan pemikiran penciptaan alam semesta
pada era Yunani kuno, bagaimana dan dari apa alam semesta tercipta?
Pyhthagoras92 (570-495 SM) merupakan filosof immaterial (al-

Qarni> (Beirut: Da>r al-T{ali‘ah, 1992), Cet. I, 9-20. Lihat juga Ma>jid Fakhri>, Arist}u>
T{a>lis Mu‘allim al-Awwal (Beiru>t: Maktabah al-Kathu>likiyah, 1958 M), 10-14. Lihat
juga ‘Abd al-Rah}ma>n Badawi>, Ari>st}u> ‘inda al-‘Arab: Dira>sah wa Nus}us} gair al-
manshurah (Kuwait: al-Waka>lah al-Mat}bu‘a>t, 1978).
89
Ibn Rushd, Fas}l al-Maqa>l, 42. Al-Fara>bi> juga pernah berusaha
menyelaraskan permasalahan Plato ketuhanan dan Aristoteles naturalis dengan
karyanya, lihat Abu Nas}r al-Fara>bi>, Jam’ baina Ra’y al-H{akimain, Ed. Albi>r Nas}ri>
Na>dir (Beiru>t: Da>r al-Mashriq, 1986)
90
Al-Nafs membingungkan dalam kajian emanasi Ibn Si>na>. Terkadang dia
menyamakan antara al-Nafs dengan al-‘Aql dan terkadang Ibn Si>na> menjadikan al-
‘Aql sebagai salah satu daya al-‘Aql. Lihat Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h} fi
Dirasa>t Mutakallimi>n wa al-Fala>sifah, 29
91
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} Fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t,Vol II, 145. Teksnya
sebagai berikut:
‫ٕجذ عُّ ٔاحذ فبانحش٘ أٌ حكٌٕ األجساو عٍ انًبذعاث‬ٚ ‫ث ٔاحذ إًَا‬ٛ‫انٕاحذ يٍ ح‬
‫ف كاَج‬ٛ‫ٓا ظشٔسة أٔ كثشة ك‬ٛ‫جب أٌ حكٌٕ ف‬ٚ ‫ت‬ُُٛٛ‫األٔنٗ أث‬
92
Pythagoras (Πςθαγόπαρ) berasal dari pulau Samos selatan Italia, dahulu
disebut dengan Yunani Besar, ayahnya bernama Mnesarchus. Dia diberi nama
Pythagoras, karena mampu meramal berita dan benar-benar terjadi. Hidup sekitar 80
sampai 90 tahun. Dikenal sebagai bapak bilangan. Dia pergi menuntut ilmu ke
Timur, mulai dari bangsa Kildan untuk mempelajari ilmu Majusi dan beberapa negeri
timur lainnya seperti Mesir. Kehidupan dan ajarannya tidak begitu jelas akibat
banyaknya legenda dan kisah-kisah buatan mengenai dirinya. Salah satu
peninggalan Pythagoras yang terkenal adalah teorema Pythagoras, yang menyatakan
bahwa kuadrat hipotenusa dari suatu segitiga siku-siku adalah sama dengan jumlah
kuadrat dari kaki-kakinya (sisi-sisi siku-sikunya) dia memberikan sumbangan yang
51

Ma’qula>t) yang pertama berusaha memecahkan permasalahan: ‚satu-


banyak‛.93 Menurutnya, asal alam semesta adalah satu, dari satulah
timbul bilangan, dari bilangan timbul titik, dari titik timbul garis, dari
garis timbul permukaan, dari permukaan timbul material, dari material
timbul air, api, tanah dan udara yang tersusun, abadi dan tak akan
binasa, yang ada hanya perubahan susunan.94 Ajaran Pythagorism95
yang menyatakan alam semesta pada awalnya berasal dari sesuatu
yang immaterial (al-Ma’qu>la>t)96 di ikuti oleh Plato (427-347 SM)
dengan alam ide-nya97 (al-Muthul) dan muridnya Aristoteles (384-322
SM) dengan forma-nya (al-S}ur> ah).
Teori emanasi yang digagas Plotinus98 (205-270 M)
terpengaruh oleh alam ide-nya Plato (427-347 SM), disamping

penting terhadap filsafat dan ajaran keagamaan pada akhir abad ke-6 SM. Alirannya
dikenal dengan Pythagorism. Lihat T{a>les Miletus, Tari>kh al-Fala>sifah, Trans. Al-
Sayyid ‘Abd Allah H{asan (Cairo: Maktabah al-Thaqa>fah al-Diniyah, 2007), 69. Lihat
juga Yu>suf Kira>m, Ta>ri<kh al-Falsafah al-Yuna>niyah (Cairo: Mat}ba‘ah al-Jannah,
1936), 23-31.
93
Pemecahan berbeda dikemukakan Parmenides (540-470) menurutnya,
alam semesta haruslah satu yang tak terbagi, sangat tidak logis berasal dari banyak.
Lihat Ma>jid Fakhri>, Ta>ri>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah: min T{ali>s, Aflut}i>n, Buqli>s
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayi>n, 1991), 39-40.
94
Ahmad Fuad Ahwa>ni>, Fajr Falsafah al-Yuna>niah Qabla Suqra>t} (Cairo: Dar
Ih}ya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1954), Cet. I, 83-84.
95
Ajaran yang didirikan oleh Pythagoras (w.496 SM) di Croton, selatan
Italia. Ajaran ini penuh dengan spirit ketimuran, yang didapat Pythagoras dari
pengembalaannya mencari ilmu ke negeri timur. Ajaran Timur yang paling
berpengaruh adalah reinkarnasi dan hidup zuhud. Lihat Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>,
Mada>ris al-Falsafiyah (Cairo: al-Da>r al-Mas}riyah, 1965), 14-26.
96
Asal mula alam semesta pertama kali bahas oleh T{a>les (624-546 SM)
aliran Miletus. Menurutnya, alam berasal dari air. Masih banyak lagi pendapat
tentang asal-usul alam yang diutarakan oleh filosof, namun semuanya berpulang
kepada salah satu material. Pythagoras bisa dibilang pelopor pertama yang
mengungkapkan alam berasal dari wujud im-material yaitu bilangan. Lihat Walter
Terence Stace, Ta>ri>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah, Trans. Muja>hid ‘Abd al-Mun‘im
Muja>hid (Cairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1984).
97
Dalam terjemahan bahasa Barat dipakaikan 3 kata, yaitu ‚ Idea‛ yang
merupakan istilah Yunani itu sendiri, namun kata Idea di Barat sekarang ini
dipahami dengan pemikiran atau sangkaan. Prancis menggunakan kata ‚ Form‛ yang
merupakan salah satu pemaknaan Yunani. Terakhir Amerika mengunakan kata
‚Type‛, sementara Arab menerjemahkannya dengan ‚al-Muthul‛. Lihat Ah}mad Fua>d
al-Ahwa>ni, Afla>t}u>n, 108.
98
Salah seorang tokoh Neo Platonism, hidup 66 tahun sekitar 205-270 M.
Plotinus belajar filsafat dari Ammonius Saccas selama 11 tahun, terutama tentang
52

berbagai filsafat dan akidah yang berkembang pada waktu itu,


terutama teori astronomi Yunani abad V SM yang menyatakan bahwa
langit terdiri dari beberapa bintang poros (galaxi), bintang yang
sinarnya lebih terang, tetap dan tidak bergerak. Sedangkan bintang
yang sinarnya lemah, masing-masing mempunyai bintang-bintang
yang berkeliling di orbitnya.99 Disamping itu, teori ini merupakan
penyelarasan kepercayaan Timur: ‚Allah berada disegala tempat‛ dan
kepercayaan Yunani tentang Allah yang transenden (immaterial).
Pengaruh agama Timur juga sangat jelas dalam teori ini, yaitu
pemikiran kehadiran Tuhan, atau lebih pantasnya kekuatan Tuhan di
alam semesta melalui perantara antara Tuhan dan Alam (para dewa).100
Plotinus (205-270 M.) mengumpamakan teori emanasi seperti cahaya
yang terpancar dari pusatnya semakin jauh semakin buram, melemah
dan akhirnya berujung kegelapan. Kegelapan itulah bahan pertama
yang disebut al-Hayu>la>,101 yang membatasi dunia immaterial dan
material.
Pemikiran penciptaan Yunani ini, ditanggapi dengan pro dan
kontra oleh kalangan cendekiawan muslim yang berwawasan Yunani.
Kalangan yang pro, berusaha semaksimal mungkin menyelaraskan
antara pemikiran emanasi Yunani dengan agama Islam, seperti al-
Fara>bi>102 (260-339 H) dan Ibn Si>na> (370-428 H). Bagi al-Fara>bi>, al-

tarekat Persia, India dan sistemnya. Plotinus mulai menulis bukunya ketika mengajar
filsafat aliran Ammonius di Roma. Sumbangan besar pemikiran Plotinus diantaranya
adalah: Satu yang esa, Terpancar dari yang esa, Manusia sejati dan bahagia, dan ilmu
Astronomi. Teori metafisikanya sangat berpengaruh kepada Islam, Kristen, agama
pagan dan mistik lainnya. Lihat Ma>jid Fakhri>, Ta>ri>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah: min
T{ali>s, Aflut}i>n, Buqli>s, 190-200 .
99
Muh}ammad ‘Ali Abu Rayy>an, Ta>ri>kh Fikr al-Falsafi>: Arist}u wa Mada>ris
al-Mutaakhirah (Alexandria: Dar al-Ma’rifah al-Ja>miah, 1972), Cet. III, Vol. II, 328.
100
Must}fa Ga>lib, Aflu>ti>n (Beiru>t: Maktabah al-Hila>l, 1987), 10-11.
101
Walter Terence Stace, Ta>ri>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah, 242.
102
Dia adalah Abu Nas}r Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Auzelang ibn
T}arkha>n al-Fa>ra>bi>. Lahir 260 ./ 874 M di Fa>ra>b, sebuah kota dibelakang sungai al-
Furra>t, sekarang Turkymenistan. Ia wafat tahun 339 H/ 950 M, ayahnya seorang
panglima perang, awalnya tinggal di Bagdad, disinilah ia menghadiri pertemuan
ilmiah. Dia belajar logika dari Abi Bashar Mati> ibn Yu>nus, kemudian pindah ke
H{arra>n. Disana dia belajar dengan Yoh}ana ibn H{aila>n, kemudian kembali ke Bagdad.
Dia menekuni filsafat dan memahaminya, dia mampu mengajarkan, menjelaskan dan
mengomentari buku-buku Aristoteles yang diketahuinya. Kebanyakan bukunya di
tulis di Bagdad. Kemudian pindah ke Suriah, dan berpindah-pindah dari satu kota ke
kota lainnnya, kemudian kembali ke Damakus dan menetap sampai akhir hayatnya di
umur 80 tahun. Dia digelari ‚Guru Kedua‛ setelah Aristoles, dialah yang pertama
53

‘Aql yang sepuluh adalah malaikat-malaikat yang mengurusi bintang


yang ada dibawahnya. Al-‘Aql perantara (al-Mufa>ri>q) ini sama dengan
pengerak kedua (al-Muharrik al-Thawa>ni>) dalam filsafat Aristoteles
(384-322 SM). Selanjutnya, intelek aktif (al-‘Aql al-Fa’‘a>ll) atau al-
‘Aql (10) adalah malaikat Jibril as. yang sama dengan pemberi forma
yang mengatur kehidupan bintang di bawah bulan (bumi) dalam
filsafat Aristoteles (384-322 SM). 103
Ibn Si>na> (370-428 H) melanjutkan teori emanasi Plotinus (205-
270 M) yang dikembangkan al-Fa>ra>bi> (260-339 H) dalam
menyelaraskan agama dan filsafat. Ibn Si>na> menjelaskan bahwa segala
yang ada terpancar dari yang satu, zat yang dipancarkan (alam)
berbeda dengan zat yang satu, pemancaran terjadi secara langsung.104
Pemancaran terjadi dengan proses berkreasi (ta‘aqqul). Allah
berkreasi tentang dirinya, terpancarlah al-‘Aql (1). Al-‘Aql (1) berfikir
tentang Allah, terpancarlah al-‘Aql (2). Al-‘Aql (1) berfikir tentang
dirinya, terpancarlah langit (al-Jaram) dan al-Nafs-nya (al-S{u>rah). Al-
‘Aql (2) berfikir tentang Allah, terpancarlah al-‘Aql (3) dan begitu
seterusnya sampai al-‘Aql (10) yang disebut juga al-‘Aql al-Fa’‘a>l.105

kali menjelaskan logika Aristoteles kepada Arab. Lihat Yu>suf Farhat\, Falsafah al-
Isla>miyah wa A’lamuha>, 77. Lihat juga Muh}ammad Lut}fi Jum‘ah, Tari>kh Fala>sifah
al-Isla>m (Cairo: Maktabah al-Usrah, 2007),13.
103
H{asan Ka>mil Ibrahim, Mafhu>m al-Faid} inda Aflu>t}i>n wa Mauqif Fala>sifah
al-Muslimi>n wa Mufakkiri>him minhu (Cairo: Universitas ‘Ain al-Shams,tt), 6.
104
Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 159. Teksnya sebagai
berikut:
‫ط عُّ كم‬ٛ‫ف‬ٚ ٘‫ بًعُٗ أَّ انًٕجٕد انز‬،‫قصذ انٕاحذ – فاعم انكم‬ٚ – ْٕٔ….
ٌ‫م انهضٔو إر صح أ‬ٛ‫ ٔألٌ كٌٕ يا حكٌٕ عٍ األٔل إًَا ْٕ عهٗ سب‬،ّ‫عا حايا نزاح‬ٛ‫ٔجٕد ف‬
‫كٌٕ أٔل‬ٚ ٌ‫جٕص أ‬ٚ ‫اٌ ْزا انعشض قبم فال‬ٛ‫ع جٓاحّ ٔفشغُا يٍ ب‬ًٛ‫انٕاجب انٕجٕد يٍ ج‬
ٌٕ‫ك‬ٚ َّ‫ أل‬،‫ ٔال باالَقساو إنٗ يادة ٔصٕسة‬،‫شة ال بانعذد‬ٛ‫ ْٔٗ انًبذعاث كث‬،ُّ‫انًٕجٕداث ع‬
…‫ء آخش‬ٙ‫هضو عُّ ْٕ نزاحّ ال نش‬ٚ ‫نضٔو يا‬
105
Lihat Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 160:
ٌ‫جب أ‬ٚ ‫ بم‬،‫سج إراً يٕجٕدة يعاً عٍ األٔل‬ٛ‫ فه‬،‫شة انعذد‬ٛ‫…انعقٕل انًفاسقت كث‬..
ّ‫ ٔألٌ ححج كم عقم فهكا ً يادح‬،‫خهِٕ عقم عقم‬ٚ ‫ ثى‬،ُّ‫كٌٕ أعالْا ْٕ انًٕجٕد األٔل ع‬ٚ
ٌ‫جب أ‬ٛ‫ ف‬،‫اء فٗ انٕجٕد‬ٛ‫ فخحج كم عقم ثالثت أش‬،َّٔ‫ ٔعقال د‬،‫ انُفس‬ْٙ ٙ‫ٔصٕسحّ انخ‬
،ّٛ‫ث انًزكٕس ف‬ٛ‫ اإلبذاع ألجم انخثه‬ٙ‫كٌٕ إيكاٌ ٔجٕدِ ْزِ انثالثت عٍ رنك انعقم األٔل ف‬ٚ
‫عقم األٔل‬ٚ ‫هضو عُّ بًا‬ٚ ‫كٌٕ إرا انعقم األٔل‬ٛ‫ ف‬،‫شة‬ٛ‫خبع األفعم يٍ جٓاث كث‬ٚ ‫ٔاألفعم‬
‫عت‬ٛ‫ ٔبطب‬،‫ ْٔٗ انُفس‬،‫عقم راحّ ٔجٕد صٕسة انفهك األقصٗ ٔكًانٓا‬ٚ ‫ ٔبًا‬،ّ‫ٔجٕد عقم ححخ‬
ٗ‫ت نفهك األقصٗ انًخذسجت ف‬ٛ‫إيكا ٌ انٕجٕد انحاصهت انًخذسجت فٗ حعقهّ نزاحّ ٔجٕد جشي‬
،‫هضو عُّ عقم‬ٚ ‫عقم األٔل‬ٚ ‫ًا‬ٛ‫ ْٕٔ األيش انًشابك نهقٕة ف‬،ّ‫جًهت راث انفهك األقصٗ بُٕع‬
‫ أعُٗ انًادة ٔانصٕسة ٔانًادة بخٕسط‬،‫ٓا‬ٚ‫ّ انكثشة األٔنٗ بجضأ‬ٛ‫خص نزاحّ عهٗ جٓخ‬ٚ ‫ٔبًا‬
54

Pengaruh teori Aristoteles (384-322 SM.), yaitu penggerak pertama


(al-Muh}arrik al-Awwal) dan penggerak kedua (al-Muh}arrik al-
Thawa>ni>) yang didasari oleh kerinduan (al-‘Ishq wa al-Ma’shu>q)
sangat jelas dalam penjelasan Ibn Si>na> (370-428 H).
Adapun jumlah al-‘Aql menjadi sepuluh, filosof muslim
terpengaruh oleh pandangan astrologi Claudius Ptolemaeus106 (83-161
M) yang menyatakan terdapat tujuh bintang di langit,107 masing-
masing bintang dinamai dengan dewa Yunani yaitu: Saturnus, Jupiter,
Mars, Matahari, Venus, Merkurius, Bulan. Tujuh tingkatan langit
tersebut ditambah dengan tiga tingkatan lagi diatasnya yaitu al-
‘Arash, Kursi> dan Sang Pencipta.108 Untuk lebih jelasnya, dapat
memperhatikan gambar berikut:

‫حارٖ صٕسة‬ٚ ٘‫خشج إنٗ انعقم انفعال انز‬ٚ ‫ كًا إيكاٌ انٕجٕد‬،‫ أٔ بًشاسكخٓا‬،‫انصٕسة‬
….‫انفهك‬
106
Dia adalah Claudius Ptolemaeus (Κλαύδιος Πτολεμαῖος), seorang ahli
geografi, astronom, dan astrolog yang hidup pada zaman Helenistik di Mesir, salah
satu provinsi Romawi. Ptolemaeus adalah pengarang beberapa risalah ilmiah, tiga di
antaranya kemudian memainkan peranan penting dalam keilmuwan Islam dan Eropa.
Pertama, risalah astronomi yang dikenal sebagai Almagest (dalam bahasa Yunani (
μεγάλη Σύνταξιρ , ‚Risalah Besar‛. Diterjemahkan ke dunia Islam oleh H{unain ibn
Ish}a>q dan direvisi kembali oleh Ibn Si>na>. Kedua, Geographia yang merupakan
diskusi teliti mengenai pengetahuan geografi Helenistik. Ketiga, risalah astrologi
dikenal sebagai Tetrabiblos (Empat buku) dimana dia berusaha mengadaptasi
astrologi horoskop ke filosofi alam Aristotelian. Ia juga melestarikan daftar raja-raja
kuno, disebut ‚Kanon Ptolemaeus‛, yang penting bagi penelitian sejarah Timur
Tengah. Lihat Jamal al-Di>n al-Qift}i>, Ikhba>r al-‘Ulama’ bi Akhba>r al-H{ukama’, 67-
69.
107
Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 65.
108
Filosof mengklaim penafsiran ayat: ‚Dan malaikat-malaikat berada di
penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arash
Tuhanmu di atas (kepala) mereka‛ (QS. Al-H{a>qqah [69]: 17) menunjukkan al-‘Aql
yang delapan, dua al-‘Aql sisanya adalah ‘Arsh dan al-Kursi. Lihat Muh}ammad Bahi>,
Ja>nib al-Falsafi> fi Fikr al-Isla>mi> (Cairo: Maktabah Wahbah, 1982), Vol II, 141.
55
56

Sikap kontra terhadap teori emanasi pertama sekali


ditunjukkan oleh Mu’tazilah sebagai Islam rasionalis terdepan.109 Di
antara tokohnya adalah Abu ‘Uthma>n al-Ja>h}iz110 (159-255 H).
Sekalipun penyelarasan yang dilakukan al-Farabi (260-339 H) dan Ibn
Si>na> (370-428 H) dikemudian hari dengan al-‘Aql yang sepuluh,
dimanfaatkan oleh kaum sufi dalam metode penyucian jiwa.111 Namun,
teori ini lebih banyak merusak filosof dari pada manfaatnya, lebih jauh
membuat filsafat didiskreditkan dan dihinakan karenanya. Teori ini
jelas-jelas bertentangan dengan Islam, baik secara moralitas maupun
intelektual.112 Karena kekuatan perantara antara Tuhan dan
makhluknya yang disebut dengan dewa oleh keyakinan Timur, al-‘Aql
oleh filosof Yunani, dan Malaikat oleh Filosof muslim bukanlah ajaran
Islam. Bahkan Abu Baraka>t al-Bagdadi113 (470-547 H) menuduh al-
Fa>ra>bi> (260-339 H.) dan Ibn Si>na> (370-428 H.) berfanatik buta kepada
Aristoteles (384-322 SM), tanpa adanya sandaran argumentatif yang
kuat, tanpa mengkaji dan menelitinya terlebih dahulu. Seakan-akan
teori tersebut wahyu yang turun dari langit yang tak perlu diragukan
lagi.114
Kebodohan nampak jelas, ketika Ibn Si>na> melanggar kaidah
yang dibangunnya sendiri, ‚satu hannya dapat memancarkan satu‛.

109
Komentar S}alahuddin al-Hawwa>ri> dalam catatan kaki Abu H{a>mid al-
Ghaza>li, Taha>fut al-Fala>sifah, 96.
110
Dia adalah Abu ‘Uthma>n ibn Bah}r Mah}bu>b al-Kanna>ni> al-Laithi> al-Bas}ri>,
seorang tokoh sastra Mu’tazilah era Abbasiyah. Lahir di Bas}rah 195 H, hidup 90
tahun dan meninggal pada 255 H. Dia belajar al-Quran dan qawaid bahasa Arab dari
syaikh kampungnya. Dia tumbuh dari keluarga miskin, buruk rupa, matanya melotot
(Ja>h}iz), namun semua itu tidak membuatnya putus asa menuntut ilmu. Oleh karena
itu, dia menjual ikan dan roti di siang hari} dan menyewa toko-toko buku di malam
hari dan membacanya. Dia memperoleh wawasan asing (non Arab) seperti Persia,
Yunani, India dari bacaan terjemahan atau diskusi penerjemah seperti H{unain ibn
Ish}a>q. Kemudian ia pergi ke Bagdad, disinilah nampak kecerdasannya hingga
dipercaya mengajar dan menjadi wali kantor admisnistrasi khalifah al-Ma’mu>n.
Bayak buku yang telah dikarangnya, yang popular adalah: Al-Baya>n wa al-Tabyi>n,
al-H{ayawa>n dan al-Bukhala’. Lihat Shams al-Di>n al-Zahabi, Siyar A’la>m al-Nubala’,
Vol XI, 226-230, Lihat juga Mahfu>z} ‘Azza>m, Fi Falsafah al-Tabi>‘iyah inda al-Ja>h}iz
(al-Minya>: Da>r al-Hida>yah, 1995).
111
Muh}ammad ‘Ali> Abu Rayya>n, Tari>kh Fikr al-Falsafi> fi> al-Isla>m
(Alexandria: Dar al-Ma’rifah al-Ja>mi‘ah, 1992), 327.
112
Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h, 65.
113
Lihat Abu al-Baraka>t al-Bagda>di, Al-Mu’tabar fi al-H}ikmah (tt.:
Jam‘iyah al-Ma‘a>rif al-Uthma>niyah, 1357 H), Vol. III, 157.
114
Muh}ammad ‘Ali> Abu Rayya>n, Tari>kh Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, 250.
57

Sedangkan al-‘Aql memancarkan tiga: 115 al-‘Aql selanjutnya, al-Nafs


(Su>rah), dan bintang (Jaram). Seharusnya, al-‘Aql juga hanya
memancarkan satu dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, Abu> H{amid
al-Gha>za>li (450-505 H) menilainya sebagai sebuah lelucon dan
mengada-ngada. Kalaulah seseorang menceritakan teori tersebut
mengibaratkan mimpi yang dialaminya, niscaya akan menjadi petunjuk
betapa buruk watak orang itu.116
Ibn Rushd (520-595 H) yang mendedikasikan dirinya sebagai
pelindung filsafat dari badai al-Ghaza>li, menuduh al-Fa>ra>bi> (260-339
H) dan Ibn Si>na> (370-428 H) melakukan kebohongan dan memalsukan
pandangan filosof Mashsha>iyi>n117 (Peripatetic) terdahulu.118
Menurutnya, kelakuan kedua filosof tersebut telah mencoreng dan
merendahkan citra, martabat dan wibawa Filosof.119 Ibn Rushd
menerangkan ada dua kelompok perbuatan: (a) ‚Makhluk yang hannya
melakukan satu‛ seperti panas menimbulkan panas dan dingin
menimbulkan dingin, (b) ‚Makhluk yang melakukan hal berbeda
bahkan berlawanan di lain waktu‛, bisa panas, bisa dingin di lain
waktu, yang timbul dari hasil pilihan (berfikir).120 Keduanya
merupakan perbuatan yang terbatas (fi’l al-Muqayyad) berbeda dengan
perbuatan Allah yang absolut (fi’l al-Mut}laq). Sebuah kesalahan ketika
menganalogikan perbuatan yang terbatas (al-Sha>hid) dengan perbuatan
yang absolut (al-Ga>ib). 121
Bulan (al-Jaram) yang bukan material yang empat (air, api,
tanah dan udara) terpancar dari al-‘Aql (10) yang menurut Ibn Si>na>
(370-428 H) jiwanya (al-‘Aql al-Fa’‘a>l) merupakan pengatur alam
bawah bulan (bumi), telah diinjak oleh manusia dalam perjalanan luar
angkasa Apollo 11 pada Juli 1969 M. Teori astronomi Claudius
Ptolemaeus (83-161 M) juga telah terbukti salah. Matahari adalah
poros berkelilingnya planet-planet. Usaha penafsiran saintis tujuh

115
Lihat Abu al-Baraka>t al-Baghda>di>, Al-Mu’tabar fi al-H}ikmah, Lihat juga
Abu H{a>mid al-Gaza>li, Taha>fut al-Fala>sifah, 94.
116
Abu H{a>mid al-Gaza>li, Taha>fut al-Fala>sifah, 96
117
Aliran filsafat yang di ajarkan Aristoteles di sekolah tinggi Lyceum.
Disebut al-Mashsha>iyi>n yang berarti orang-orang yang berjalan, karena sang guru
mengajarkan muridnya sambil berjalan. Lihat Jamal al-Di>n al-Qift}i>, Ikhba>r al-
‘Ulama’ bi Akhba>r al-Hukama’, 14.
118
Ibn Rushd, Taha>fut al-Taha>fut. 145.
119
Muh}ammad ‘Ali Abu Rayya>n, Tari>kh Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, 250.
120
Ibn Rushd, Taha>fut al-Taha>fut, 125.
121
Ibn Rushd, Taha>fut al-Taha>fut, 143.
58

langit (Sab’ al-Sama>wa>t) yang dilakukan oleh al-Fa>ra>bi> (260-339 H)


dan Ibn Si>na> (370-428 H) dengan teori astronomi Claudius Ptolemaeus
telah terbukti berpijak dari teori saintis yang salah. Tak salah bila teori
emanasi merupakan dongeng dan khurafat yang oleh filosof
ditempatkan pada posisi wahyu ilahi yang harus diterima apa adanya
tanpa kritik.

2. Jiwa H{a>dith Menurut Teolog


Semua sekte Islam sepakat menyatakan h}a>dith-nya jiwa. Tidak
ada yang qadi>m selain Allah Ta‘a>la>. Namun mereka berbeda pendapat,
apakah jiwa diciptakan sebelum ataukah sesudah penyempurnaan
raga? 122

a. Jiwa Diciptakan sebelum Raga


Jiwa telah ada jauh sebelum adanya raga. Jiwa telah terhubung
dengan Allah sebelum raga diciptakan (al-‘A<lam al-Dhar), tanpa ada
pembatas (hijab) yang menghalanginya, baik material berat (raga)
maupun nafsu yang hina. Inilah fitrah dasar manusia. Pandangan ini
dikemukakan oleh mufassir dan muhaddis terdahulu, seperti Sayyid
ibn al-Musi>b123 (14-97 H), Sa’i>d ibn Jubair124 (46-95 H), ‘Ikrimah125

122
‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji>, Al-Mawa>qif fi ‘Ilm al-Kala>m, 260.
123
Dia adalah Sa‘i>d ibn al-Musi>b digelari Abu Muh}ammad (637-715 M),
(14-94 H). Lahir tahun ke-2 kekhilafahan Umar ibn Khatta>b. Seorang Tabi‘i>n
terkemuka, pakar hadis, fiqih, ahli tafsir. Dia merupakan pemuka fuqaha’ Madinah
dan pemuka Tabi‘i>n. Dia meriwayatkan h}adi>th dari sejumlah sahabat dan istri-istri
Nabi saw. Dia merupakan orang yang lebih banyak tau tentang keputusan dan
ketetapan Rasul saw. begitu juga dengan ketetapan Abu Bakar dan Umar ibn
Khatta>b. Ia digelari juga dengan ‚Sayyid al-Ta>bi‘i>n‛ dan ‚Faqi>h} al-Fuqah}a’‛. Lihat
Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol. IV, 217.
124
Dia adalah Ibn Hisha>m, al-Ima>m al-Ha>fiz} al-Muqri’ al-Mufassir al-
Shahi>d, Abu Muh}ammad, Seorang tabi‘in yang berasal dari Habsyah. Ia belajar dari
Ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah ibn ‘Umar dan ‘Aishah di Madinah. Ia tinggal di Kufah dan
menyebarkan ilmunya disana. Jadilah ia Imamnya orang Kufah. Ia dibunuh oleh al-
Hajjaj ibn al-Yu>suf al-Thaqfi> karena ikut serta bersama ‘Abd Allah ibn al-Ash‘ab
dalam pemberontakannya melawan bani Umayyah pada 95 H. Lihat Shams al-Di>n al-
Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol. VII, 321-342.
125
Dia adalah Abu ‘Abd Allah al-Qurshi>, popular dikenal ‘Ikrimah (w.105
H/ 723 M), berkebangsaan Barbar, diperbudak oleh orang Madinah. Dikatakan juga,
dia merupakan budak H{us}ain ibn Abi al-H{urri al-‘Anbari>, kemudian ia
59

(w. 105 H), al-D{ah}h}ak126 (w. 100 H), al-Kalbi>127 (w. 146 H).128 Ibn
H{azm (384-456 H) menuliskan pendapat ini sebagai ijmak salaf dan
khalaf.129 Kelompok ini menguatkan pendapatnya dengan dalil-dalil
berikut:
1) Ayat tentang kesaksian manusia bertauhid.130 Ayat ini
menunjukkan bahwa jiwa diciptakan secara keseluruhan.131 Kemudian
seluruh jiwa digiring untuk berjanji mentauhidkan Allah. Sesama jiwa
menjadi saksi atas janji yang mereka sepakati. Perjanjian ini tentunya
terjadi sebelum terciptanya raga, karena tidak ada raga pada waktu
itu,132 yang ada hanyalah jiwa masing-masing manusia. Perjanjian
terjadi di alam spiritual (al-‘A<lam al-Dhar).
2) Hadis penciptaan atau pengeluaran keturunan Adam as
dengan cara mengusap punggungnya.133

menghadiahkannya kepada Ibn ‘Abbas. Dia mendapat gelar al-H{a>fiz}, al-Mufassir


karena kahliannya di bidang tafsir, terutama yang ia dapatkan dari Ibn ‘Abbas. Ia
meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Abbas sahabat dan majikannya, ‘A<ishah, Abu
Hurairah, Ibn ‘Umar dan sahabat lainnya. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-
A’la>m al-Nubala’, Vol. V, 12-35.
126
Dia adalah Abu> Qa>sim, al-D{ah}h}a>q ibn Maza>h}im al-Hila>li>, digelari juga
Abu Muh}ammad, al-Khurasa>ni> tumbuh dan besar di Balkh, Samarqand dan Naisa>bu>r.
Seorang tabi‘i>n, tokoh Mufassir. Dia meriwayat dari Anas, Ibn ‘Umar, Abu Hurairah
dan sejumlah tabi‘i>n. Dikatakan juga tidak sah periwayatannya dari para sahabat
bahkan dari Ibn ‘Abba>s, sekalipun diriwayatkan ia mendapatinya hidup selama 7
tahun. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol. IV, 598-600.
127
Dia adalah Abu al-Nad}r Muh}ammad ibn al-Sa>ib ibn Bashar al-Kalbi>,
seorang tokoh mufassir. Dia juga dikenal ahli dalam ilmu pernasaban (silsilah Arab),
namun sayangnya ia seorang syiah, hingga periwayatannya banyak ditinggalkan.
Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol. VI, 248-249.
128
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XV, 50.
129
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol II, 377-378.
130
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
punggung mereka dan Allah mengambil kesaksian mereka (seraya berfirman):
‚Bukankah Aku ini Tuhanmu?‛ Mereka menjawab: ‚Betul (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi saksi‛ (QS. Al-A’ra>f [7]: 172-173).
131
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol II, 376.
132
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 171.
133
Allah menciptakan Adam as, kemudian mengusap punggungnya dengan
tangan-Nya. Keluarlah dari punggung Adam as anak-anaknya. Kemudian Allah
berfirman: Aku ciptakan mereka itu untuk neraka, dengan amalan penghuni
nerakalah mereka berbuat. Aku ciptakan mereka itu untuk surga, dengan amalan
60

3) ‚Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, kemudian


Kami bentuk tubuh kalian‛ (QS. Al-A’ra>f [7]: 11). Kata ‚kemudian‛
(thumma) berfungsi untuk menunjukkan keterlambatan (al-Tara>khi>),
ketertinggalan (al-Muhmalah)134 urutan pekerjaan (al-Tarti>b), dan
keterakhiran (al-Ta’qi>b). Penciptaan manusia secara keseluruhan
ditunjukkan dengan kata kalian (kum), Kemudian dilanjutkan dengan
pembentukan manusia lengkap dengan perasaan dan daya akalnya.
Allah ambil janji dan kesaksian manusia yang merasa dan berakal
untuk bertauhid pada waktu itu sebelum ditiupkan pada raga masing-
masing pada waktunya. Manusia disini tentunya adalah jiwa. Raga
ketika itu hanya berupa air dan tanah. Bagi Ibn H{azm (384-456 H),
janji diambil di alam Barzakh.135 Yaitu alam tempat al-Ru>h} diciptakan
sebelum ditiupkan ke dalam raga. Setelah ajal datang, al-Ru>h} dicabut
dari raga dan kembali ke tempatnya semula di alam Barzakh. Perlu
digaris bawahi, penamaan alam Barzakh sebelum al-Ru>h} ditiupkan ke
dalam raga hanyalah pendapat Ibn H{azm seorang.
4) ‚Allah swt mengambil janji dari punggung Adam as di
Nu’ma>n (sebuah tempat dekat Arafah) pada hari ‘Arafah, dan
mengeluarkan dari tulang punggung (al-S{ulb) Adam as seluruh anak-
anaknya yang telah ditanam disana. Kemudian menebarnya di tangan-
Nya, kemudian berbicara dengannya berhadap-hadapan, mengatakan:
Bukankah aku ini tuhanmu? Mereka menjawab: ya, tentu.136
5) Dari Ibn ‘Abba>s: ‚Sesungguhnya Allah menciptakan al-Ru>h}
manusia dua ribu tahun sebelum menciptakan raga manusia. Al-Ru>h}

penghuni surgalah mereka berbuat. Hadis S{ahi>h li Gairih diriwayatkan oleh Abu
Daud dalam kitab al-Sunnah: Bab al-Taqdi>r, (no.4703), Lihat Ima>m al-H{a>fiz} Abi
Daud al-Sajista>ni>, Al-Sunan Abi Daud (Damaskus: Dar al-Risa>lah al-‘A<lamiyah,
2009), Cet I, Vol VII, 90. Diriwayatkan pula oleh Imam al-Tirmidhi dalam kitab
tafsir al-Quran: Bab surat al-A’ra>f (no. 3075), Lihat Al-Ima>m al-Ha{fiz} Muh}ammad
ibn ‘Isa> ibn Saurah al-Tirmi>dhi>, Sunan al-Tirmidhi>, Ed. Na>sir al-Di>n al-Alba>ni>
(Riyad}: Maktabah al-Ma‘a>rif, 1413 H.), Cet I, 688-699.
134
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XIV, 32-33.
135
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol II, 377.
136
Hadis diriwayatkan al-Nasa>i> dari H{usain ibn Muh}ammad al-Mirwadhi
dalam sunannya: Kitab al-Tafsi>r (no. 11126). Lihat Al-Ima>m Abi ‘Abd al-Rah}ma>n
Ahmad ibn Shu‘aib al-Nasa>i>, Kita>b al-Sunan al-Kubra>, Ed. H{asan ‘Abd al-Mun‘im
al-Shalabi (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 2001), Cet I, Vol. X, 101-102.
61

yang saling mengenal akan berkumpul, yang tidak kenal akan


berpencar.137
6) Sesungguhnya al-Ru>h} itu adalah tentara-tentara yang
dimobilisir. Al-Ru>h} yang saling mengenal akan berkumpul, yang tidak
kenal akan berpencar.138
Ayat-ayat di dukung oleh hadis-hadis diatas dan masih banyak
lagi hadis yang serupa, sangat jelas –menurut pendapat ini-
menunjukkan bahwa jiwa diciptakan secara keseluruhan dan diambil
janjinya untuk bertauhid kepada Allah sebelum diciptakan raga
manusia, dan sujudnya malaikat kepada Adam as.

b. Jiwa Diciptakan Setelah Raga Sempurna


Pandangan ini dikemukakan oleh kalangan rasionalis (Ash}a>b al-
Ma’qu>la>t)139 yang memandang penafsiran tekstualis Ahl al-Hadis tidak
rasional. Ibn Hazm (384-456 H) menyebut pandangan ini merupakan
pendapat Ash‘ariyah,140 sementara Fakhr al-Di>n al-Ra>zi (544-606 H)
menuliskan pandangan ini sebagai pandangan Mu’tazilah.141 Dapat
diambil garis tengah, bahwa pandangan penciptaan jiwa bersamaan
dengan raga merupakan pandangan Mu’tazilah, kemudian dikuti oleh
Ash‘ariyah. Mu’tazilah merupakan kalangan yang pertama sekali
mengkritik penafsiran ayat tentang pengambilan janji manusia, yang
menurut mereka tidak rasional.
Sebelum mengkritik penafsiran Ahl al-Hadis dan mentakwilkan
ayat dan hadis-hadis yang dimaksud. Terlebih dahulu mereka
berpegang pada beberapa dalil berikut:
1) Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya al-Ru>h}-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadanya (QS. Al-S{a>d [38]: 71-72). Ayat ini dengan jelas
menyatakan bahwa ketika pembentukan raga Adam as dari tanah telah
sempurna dan selesai, kemudian Allah menciptakan (meniupkan) al-

137
Menurut Ibn Qayyim hadis ini sanadnya D{a‘i>f, karena ada ‘Uqbah ibn al-
Sakn, menurut Da>r al-Qut}ni hadisnya Matru>k karena ada Art}aah ibn al-Munzir. Lihat
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Al-Ru>h, 175.
138
Hadis S}ahi>h dari Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ima>m Muslim dalam
kitab: al-Birr wa al-S{illah, Bab: al-Arwa>h Junu>d al-Mujannadah (no. 2638). Lihat
Muslim ibn al-Hujjaj > al-Naisa>bu>ri>, S{ahi>h al-Muslim, Cet. I, Vol. II, 1218.
139
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XV, 53.
140
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol II, 377.
141
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XV, 50.
62

Ru>h} ke raga Adam as. Penyempurnaan raga sangatlah penting,


mengingat kesiapan ragalah yang membuat al-Ru>h} diciptakan.142
Tanpa adanya kesiapan penerimaan, al-Ru>h} tak akan diciptakan. Pada
hakikatnya manusia adalah jiwa dan raga, susunan tanah tanpa jiwa
bukanlah manusia.
2) Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu
air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, kemudian tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik
(QS. Al-Mukminu>n [23]: 12-14).
Kata ‚jadikan‛ disini maksudnya diciptakan, yaitu terciptanya
makhluk baru ‚al-Ru>h}‛. Sehingga menjadi makhluk yang berbeda
dengan sebelumnya, dari yang hanya benda mati menjadi makhluk
yang hidup.143 Ayat ini sangat jelas menunjukkan terciptanya al-Ru>h}
setelah raga manusia sempurna berevolusi dari mani, segumpal darah,
segumpal daging dan terbungkus tulang.
3) Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun (QS. Al-Nah}l [16]: 78). Dalam
ayat ini, Allah meniadakan segala pengetahuan. Manusia terlahir
ibarat selembar kertas kosong yang sama sekali belum tergoreskan.
Kemudian menganugrahkan indra pendengaran, penglihatan, dan hati
sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan.144 Kalaulah manusia
sudah mengenal Tuhan dan berjanji untuk bertauhid atau pengetahuan
lainnya, tentunya manusia akan mengingatnya ketika kecil, pada
waktu organ akal sudah siap untuk mengingat dan berfikir.
4) Sesungguhnya seseorang diantara kalian dikumpulkan
penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari air
mani, kemudian empat puluh hari segumpal darah, kemudian empat
puluh hari segumpal daging, kemudian diutuslah kepadanya malaikat

142
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXVI, 228.
143
al-Qa>sim al-Zamkhashari>, Al-Kashsha>f , Vol. VI, 221.
144
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XX, 91.
63

untuk meniupkan al-Ru>h} kepadanya, dan menuliskan empat perkara:


rizkinya, ajalnya, amalannya, susah dan senangnya.145
Setelah berpegang pada dalil-dalil tersebut, Mu’tazilah
rasionalis dikuti Ash‘ariyah mengkritik penafsiran literal kalangan Ahl
al-Hadis terhadap ayat pengambilan janji (QS. Al-A’ra>f [7]: 172),
diantaranya adalah:
1) Ayat menyatakan pengambilan keturunan dari ‚punggung
mereka‛ (Z{uhu>rihim) bukan dari ‚punggung Adam as‛. Kalaulah
keturunan Adam di ambil dari punggung Adam as, seharusnya ayat
berbunyi dari punggungnya (Z{uhrih). Begitu pula penyebutan ‚anak-
anak mereka‛ (Dhurriya>tihim) bukan Adam, seharusnya ayat berbunyi
‚anaknya‛ (Dhurriyatih).
2) Ayat selanjutnya menyatakan: ‚Sesungguhnya orang-orang
tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu‛ (QS. Al-A’ra>f
[7]: 173), yang syirik disini tentunya bukanlah Adam as, tetapi
keturunan Adam as.
3) Pengambilan janji tidak bisa dilakukan kecuali bagi yang
berakal. Kalaulah janji bertauhid diambil ketika itu, tentunya manusia
(al-Ru>h)} ketika itu berakal. Seharusnya, jika manusia pada waktu itu
berakal, tentunya kita mengingatnya sekarang. Kalau tidak,
pengambilan janji tersebut hanyalah kesia-sian. Kelupaan terhadap
kehidupan sebelumnya, merupakan keyakinan reinkarnasi yang sangat
bertentangan dengan Islam.146
Selanjutnya, karena penafsiran literal tidak rasional,
pemahaman ayat haruslah ditakwilkan dari pemaknaan dasarnya.
Pentakwilan ini dapat dilihat dari penafsiran al-Zamkhashari>147 (467-
538 H)[Dari tulang punggung mereka]: sebagai pengganti anak-anak

145
Hadis S{ah}i>h} dari Ibn Mas‘u>d, diriwayatkan oleh Ima>m al-Bukha>ri> dalam
Kitab: al-Qadr, Bab: al-Qadr (no. 6594). Lihat Ima>m al-Ha>fiz} Abi ‘Abd Allah
Muh}ammad ibn Isma‘i>l al-Bukha>ri>, S{ahi>h al-Bukha>ri>, (Riyad}: Bait al-Afka>r al-
Dauliyah, 1998), 1261.
146
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Vol. XV, 50-53.
147
Dia adalah Abu al-Qa>sim: Mahmu>d ibn ‘Umar ibn Muh}ammad ibn
‘Umar al-Khawarizmi> al-Zamkhashari>. Seorang tokoh besar Mu’tazilah bermazhab
fiqih Hanafi>. Lahir di Zamkhashar sebuah negeri Khawarizmiah pada bulan Rajab
467 H. Kemudian ia datang ke Bagdad, bertemu dengan ulama-ulama besar dan
belajar darinya. Al-Zamkhashari> tokoh besar ilmu tafsir, hadis, nahwu, bahasa dan
sastra. Beliau meninggal pada malam Arafah 538 H di Jarja>niyah, negeri
Khawa>rizmiah, sepulangnya dari Makkah. Lihat Muh}ammad Husain al-Dhahabi>,
Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. I, 304-305.
64

Adam as. Maksudnya, mengeluarkan anak-anak Adam as. dari tulang


punggung melalui jalur keturunan. [Bukankah Aku ini Tuhan kalian,
mereka menjawab: Ya, tentu, kami bersaksi] merupakan kategori
perumpamaan (al-Tamthi>l) dan imaginasi (al-Takhyi>l). Maksudnya,
Allah menegakkan petunjuk-petunjuk ketuhanan dan keesaan-Nya,
yang dapat disaksikan oleh akal dan mata mereka. Dengan akal dan
indra, manusia menjadi dapat membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Seakan-akan mereka bersaksi atas diri mereka sendiri.148
Ibn Qayyim (691-751 H) telah meneliti tentang permasalah ini.
Pada akhirnya, dia memilih pentakwilan ayat dari makna dasarnya.
Dalam penelitiannya, Ibn Qayyim menyerang (Tajri>h}) hadis-hadis
pengambilan janji yang dianggapnya lemah. Menurutnya, penciptaan
al-Ru>h} sebelum raga dan kesaksian bertauhid itu tidaklah ada. Yang
ada hanyalah penetapan takdir seseorang. Apakah dia termasuk
penghuni surga ataukah neraka?149 Kalangan tekstualis lainnya yang
berpendapat serupa adalah Ibn Kathi>r150 (700-774 H). Menurutnya,
kesaksian itu maksudnya adalah fitrah manusia untuk bertauhid. 151
Dalam penafsirannya, Ibn Kathir berpegang pada hadis yang
menyatakan manusia terlahir dalam keadaan fitrahnya yang cendrung
bertuhan.152

148
Abu al-Qa>sim al-Zamkhashari>, Al-Kashsha>f , Vol. II, 529-520.
149
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 186.
150
Dia adalah al-Ima>m al-H{a>fiz}, ‘Ima>d al-Di>n, Abu al-Fida’: Ismail ibn
‘Umar ibn Kathi>r ibn D{au’ ibn Kathir ibn Zar’ al-Bas}ri> al-Dimashqi>. Seorang tokoh
fikih mazhab Syafi‘i. Dia datang ke Damaskus di umur 7 tahun bersama saudaranya
setelah ayahnya meninggal. Dia belajar dari ibn al-Shajnah, al-A<midi>, ibn ‘Asa>kir
dan ulama besar lainnya. Dia mempunyai hubungan khusus dengan Ibn Taymiyah,
baik dari perbesanan maupun pandangan. Ibn Kathir lahir pada 700 H dan meninggal
pada bulan Sha’ba>n 774 H, dimakamkan di kuburan kaum sufi disisi Ibn Taymiyah.
Lihat Muh}ammad Husain al-Dhahabi>, Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. I, 173-174.
151
Ibn Kathir, Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m, Vol. VI, 447.
152
‚Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah
yang menjadikan ia beragama Kristen, Yahudi atau Majusi. Sama seperti binatang
yang melahirkan binatang. Apakah kalian melihat ada anggota tubuhnya yang
kurang.‛ Hadis S{ah}i>h} dari Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Ima>m al-Bukhari> dalam
Kita>b: al-Jana>iz, Bab: Ma> Qi>la fi al-At}fa>l al-Mushriki>n (no. 1385), Lihat Ima>m al-
Bukha>ri>, S{ahi>h al-Bukha>ri>, 268. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Kitab
al-Qadr, Bab Ma’na Kullu Maulu>d Yulad ‘ala Fit}rah (no. 2658). Lihat Imam Muslim
ibn al-Hajjaj, Shahi>h al-Muslim, 1226.
65

Imam al-Sha’ra>ni153> (898-973 H), seorang tokoh sufi Mesir


tarekat Shaziliyah, dalam sebuah risalahnya, membuat dua belas
pertanyaan154 yang muncul dari penafsiran ayat kesaksian manusia
mentauhidkan Tuhan. Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan seputar
kesaksian bertauhid, hanyalah pertanyaan-pertanyaan tanpa
jawaban.155 Sekalipun ada jawabannya, itupun hanya kemungkinan-
kemungkinan saja. Jawaban tidak dilandasi dengan argumen rasionalis
yang kuat, dan hadis-hadis-nya pun tak sampai derajat S{ahi>h. Semua
jawaban tersebut tak layak menjadi akidah. Bahkan sebagiannya
hanyalah sebatas khayalan dan imaginasi.

153
Dia adalah Abu al-Mawa>hib ‘Abd al-Wahha>b ibn Ahmad ibn ‘Ali> al-
Ans}a>ri>, yang populer disebut al-Sha’ra>ni>. Seorang ahli fiqih, ahli hadis,
berkebangsaan Mesir, bermazhab Syafi‘i, seorang sufi aliran Shaziliah, dan dikenal
juga dengan ‚al-Qut}b al-Rabba>ni>‛. Lahir di Qalqeshindah, Mesir 27 Ramad{an 898 H,
kemudian pindah ke Saqiyah Abi Sha’rah, salah satu negeri Munufiyah, disinilah
diambil penisbatan Sha’rani<>. Dia telah menjadi yatim piatu semenjak kecil, namun
begitu dia sangatlah cerdas. Dalam T{abiqa>t al-Kubra al-Sha’rani menyebutkan 50
orang gurunya. Awalnya dia menghafal beberapa buku dari gurunya, seperti matan
Abu Shuja’ (fiqih Shafi‘i>), al-Ajru>miyah (nahwu) dan lainnya. Al-Sha’ra>ni wafat di
Cairo di bulan Jumadil Awal 973 H. Lihat Al-Ima>m ‘Abd al-Rau>f al-Mana>wi>,
Kawa>kib al-Durriyah fi Tara>jum al-Sa>dah al-Su>fiyah, Ed. ‘Abd al-S{a>lih} Himda>ni>,
(Cairo: Maktabah al-Azhariyah li al-Turath, tt), Vol. IV, 69-75.
154
Dua belas pertanyaan tersebut adalah: 1) Dimanakah tempat
pengambilan janji tersebut? 2) Bagaimanakah caranya Allah mengeluarkan anak
cucu Adam as. dari punggungnya? 3) Bagaimana caranya al-Ru>h} menjawabnya
dengan ‚ya, benar‛? 4) Jika Allah menerima kesaksian sebagian, lalu kenapa Allah
menolak kesaksian yang lainnya sehingga menjadi penghuni neraka? 5) Kalaulah
dahulu kita telah berjanji, lalu kenapa kita sama sekali tidak mengingatnya sekarang?
6) Apakah sel-sel (al-Dhurrah) yang diambil dari punggung Adam itu berbentuk
manusia atau bukan? 7) Kapan masing-masing al-Ru>h} bergantung pada sel-sel
tersebut? Apakah sebelum keluar dari punggung Adam atau sesudahnya? 8) Apakah
hikmahnya pengambilan janji tersebut? 9) Apakah sel-sel manusia itu dikembalikan
ke punggung Adam dalam keadaan hidup ataukah al-Ru>h}-nya ditarik kembali dan
dikembalikan ke dalam punggung Adam sebagai tanah mati? 10) Kemana perginya
al-Ru>h} setelah kembalinya sel-sel (al-Dhurrah) ke dalam punggung Adam? 11)
Apakah benar, anak cucu Adam diambil dari punggungnya? 12) Dimanakah
diletakkan kitab (catatan) perjanjian antara Allah dan manusia? Lihat ‘Abd al-
Wahha>b al-Sha’ra>ni>, Al-Qawa>id al-Kashfiyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Ma‘a>ni al-S{ifa>t
al-Ila>hiyah, Ed. Mahdi> As‘ad ‘Arra>r (Beiru>t: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006), Cet. I.
155
Muh}ammad al-Musayyar. Al-Ru>h , 72.
66

Permasalahan terciptanya jiwa sebelum atau sesudah raga


memang cukup rumit. Kedua pandangan tidaklah benar-benar yakin
dengan pandangan yang dipilih. ‘Ad}d} al-Di>n I<ji> (708-756 H) lebih
memilih abstain (Tawaqquf) dalam permasalahan.156 Karena teks ayat
sudah pasti benar (Maqt}u>‘ah al-Matan), namun yang ditunjukkan
tidaklah pasti dan masih diprasangkakan (Maz}nu>nah al-Dala>lah).
Sebaliknya, teks hadis petunjuknya sudah pasti (Maqt}u>‘ah al-Dila>lah),
namun teksnya belum tentu benar (Maz}nu>nah al-Matan). Karena
hadis-hadis yang datang hanyalah hadis Ah}ad> 157 yang berasal dari dua
orang (ibn ‘Abba>s dan Ibn ‘Umar). Hadis ah}ad> tidaklah dipandang
dalam urusan akidah.
Ayat peniupan al-Ru>h} setelah raga sempurna (QS. S{ad> [38]: 72)
dan ayat penjadian makhluk baru (QS. Al-Mukminu>n [23]: 14)
tidaklah dengan jelas menunjukkan al-Ru>h} diciptakan sesudah
sempurnanya raga. Bisa jadi tiup (Nafakh) dan jadikan (Ansha’) disini
maksudnya mulai bergantungnya jiwa yang telah ada sebelumnya
dengan raga. Kedua penafsiran sama-sama didukung oleh hadis yang
S{ahi>h.
Satu hal yang perlu dicermati, pandangan penciptaan jiwa
sebelum raga membuka peluang bagi para filosof yang mengklaim
perbedaan antara jiwa personal (al-Nafs al-Juz’i>yah) dan jiwa universal
(al-Nafs al-Kulliyah).158 Jiwa universal satu kesatuan, qadi>m, azali,
kekal dan abadi. Sedangkan jiwa personal akan binasa dengan
hancurnya raga, yang tinggal hanyalah jiwa universal yang menyatu.
Yang membedakan manusia hanyalah raganya.159 Tidak ada lagi
bapak, anak dan cucu. Karena semuanya diciptakan satu waktu.
Pandangan penciptaan jiwa setelah raga sempurna, lebih dekat dengan
spirit syariah Islam dan pandangan teolog tentang ha>dith-nya alam.

156
Ad}d} al-Di>n al-Eiji>, Al-Mawa>qif, 260.
157
Hadis ditinjau dari sampainya kepada kita dibagi menjadi dua:
Mutawatir dan Ahad. Hadis Ah}a>d adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu atau dua
orang perawi yang jumlahnya tidak mencapai syarat hadis Mutawa>tir. Lihat
Mahmu>d T{ah}h}a>n, Taisi>r Must}alah} al-H{adi>th, 22.
158
Muh}ammad al-Musaayar. Al-Ru>h}, 78.
159
Teori ini diutarakan oleh al-Farabi dan Ibn Rushd dalam menyelesaikan
masalah qadi>m atau h}}a>dith-nya jiwa manusia. Lihat Muh}ammad Qamar al-Daulah,
Nus}us} al-Falsafiyah bi Sharh} wa Ta’li>q, 161.
67

D. Karakteristik Jiwa dan Hubungannya Dengan Raga


Karakteristik jiwa dan hubungannya dengan raga tentunya
telah dikaji semenjak dahulu kala. Jiwa merupakan salah satu landasan
agama kuno, baik agama langit maupun agama bumi. Kepercayaan
pembalasan amal perbuatan, keabadian, reinkarnasi dan animisme pada
peradaban Babilonia, India dan Mesir kuno sangat jelas menunjukkan
jiwa telah dikaji semenjak awal peradaban manusia.160 Walaupun
begitu, kajian ini dimulai dari era Yunani kuno, tempat dimana
dimulainya ilmu pengetahuan yang dikenal dengan istilah filsafat.
Tanpa menafikan peradaban Timur yang telah ada sebelumnya. Karena
pada kenyataannya, Yunani kuno mendapatkan ilmu dari Timur dan
berhasil mengembangkannya dengat sangat cemerlang.161
Filosof Yunani begitu banyak jumlahnya, tak mungkin untuk
dikupas pendapatnya satu-persatu. Oleh karena itu, dalam kajian ini
dipilih hanya beberapa saja yang paling popular dan paling kuat
pengaruhnya, baik dimasa hidup maupun sepeninggalnya. Seperti
Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) yang banyak dilirik
oleh sarjana Islam, Kristen dan Yahudi, karena melihat adanya
kecendrungan kepada metafisika yang merupakan pondasi dasar
agama. Filosof muslim mengambil kajian jiwa dari Aristoteles tanpa
perubahan, artinya hanya sebatas menerjemahkan saja. Filosof muslim
hanyalah mengomentari dan menyelaraskan antara teori Plato dan
Aristoteles. Sebagaimana filosof Barat hanya sebatas
menerjemahkannya pula di kemudian hari ke bahasa latin tanpa
perubahan berarti. 162
Klaim tersebut tak sepenuhnya benar. Filosof muslim memang
terkagum-kagum dengan teori Aristoteles tentang jiwa dan lainnya.
Namun, dengan segera mereka menyadari, beberapa diantaranya
bertentangan dengan agama. Filosof muslim berusaha menyelaraskan
antara agama yang diyakini dan filsafat yang dipelajari. Memang tak
dapat dipungkiri, Filosof muslim mengambil daya jiwa dan fungsinya
dari Aristoteles, dan mengambil karakteristik jiwa dan argumen

160
‘I<sa> ‘Abduh, H{aqi>qah al-Insa>n, Vol. II, 25.
161
Mahmu>d Muh}ammad ‘Ali> Muh}ammad, Al-Us}u>l al-Sharqiyah li al-Ilm al-
Yuna>ni> (Mesir: ‘Ain li al-Dira>sa>t wa al-Buhu>th al-Insa>niyah wa al-Ijtima‘iyah,
1998). Lihat juga Mus}t}afa> al-Nashsha>r, Mas}a>dir al-Sharqiyah li al-Falsafah al-
Yuna>niyah (Cairo: Da>r Quba’, 1998).
162
Mahmu>d Qa>sim, Fi al-Nafs wa al-‘Aql li Falasifah al-Igri>k wa al-Isla>m,
(Cairo: Maktabah al-Anglo al-Masriah, tt),71-72.
68

keabadiannya dari Plato.163 Bukan berarti Filosof muslim tak


berkontribusi sama sekali, Ibn Si>na> (370-428 H) berhasil membuat
aliran baru tentang jiwa. Ibn Rushd (520-595 H) mampu
mengomentari karya Aristoteles (384-322 SM) jauh lebih baik dari
komentator-komentator Yunani sebelumnya. Begitu juga dengan sikap
mereka terhadap teori filsafat yang bertentangan dengan dasar agama
(Us}ul al-Di>n). Semua langkah mereka diikuti oleh Eropa selama
berabad-abad.
Kajian jiwa dapat dimulai dari Pythagoras (570-495 SM) yang
bisa dikatakan sebagai sesepuh filosof Yunani yang dikenal dengan
spirit ketuhanan dan immaterial, memandang jiwa terpisah dari raga.
Artinya, esensi jiwa berbeda dengan raga. Jiwa kekal, abadi, azali,
telah ada jauh sebelum raga. Jiwa tak hancur dengan hancurnya raga.
Raga merupakan penjara bagi jiwa.164 Manusia tak pantas membunuh
dirinya sendiri untuk keluar dari penjara. Karena manusia hanyalah
ternak milik pengembala, yaitu Tuhan. Manusia tak berhak keluar dari
penjara kecuali atas keinginan-Nya.165 Kematian hanyalah terpisahnya
jiwa dari raga, keluarnya jiwa dari penjara, yang akan mewujudkan
kebebasan jiwa.
Penyucian jiwa adalah satu-satunya cara melepaskan jiwa
setelah mati, agar naik tinggi ke kehidupan langit, dari pada terus
terkungkung dengan reinkarnasi. Pythagoras menegaskan bahwa
sarana penyucian jiwa yang paling tinggi adalah berfikir. Orang yang
membaktikan dirinya untuk ilmu, dialah filosof yang sebenarnya.
Dialah yang dapat secara penuh terlepas dari tarikan kelahiran
(reinkarnasi). Penyucian jiwa hanya dapat dilakukan dengan
mendengarkan musik dan menekuni kajian ilmiah. Sedangkan
penyucian raga dapat dilakukan dengan berolah raga dan berobat.166
Pythagoras tidaklah mendatangkan pandangan yang baru tentang jiwa

163
Mahmu>d Qa>sim, Fi al-Nafs wa al-‘Aql, 66.
164
H{arbi> ‘Abba>s ‘At}i>t}u>, Mala>mih} al-Fikr al-Falsafi> inda Yu>na>n (Alexandria:
Dar al-Ma’rifah al-Ja>mi‘ah, 1992), 43-44.
165
Pemikiran ini sangat jelas pengaruhnya kepada Socrates yang datang
setelahnya. Socrates meminum racun dihadapan para muridnya atas hukuman
pemerintahan demokratis zalim yang memutuskan hukuman mati kepadanya. Lihat
Plato, Muha>kamah Suqra>t}: Muha>warah ‚Euthyphro‛, ‚Apology’‛, ‚Krito‛. Ed. Izzat
Qarni> (Cairo: Dar Quba’, 2001).
166
H{arbi> ‘Abba>s ‘At}i>t}u>, Mala>mih} al-Fikr al-Falsafi> inda Yu>na>n, 44. Lihat
juga Ahmad Ami>n dan Zaki> Najib Mah}mu>d, Qis}s}ah al-Falsafah al-Yuna>niyah (Cairo:
Dar al-Kutub al-Mas}riyah, 1935),48.
69

dan penyucianya. Hal baru yang dibawa Pytagoras adalah, dia berhasil
mengangkatkan penyucian jiwa dari hanya sebatas amalan menjadi
sebuah teori ilmiah, dari yang sebelummnya hanya sekedar praktisi
menjadi peneliti.167
Pandangan Pythagoras (570-495 SM) tentang jiwa dirasa cukup
mewakili pandangan tukang sihir penjaga kuil (tokoh agama) yang
berkembang ketika itu. Ajaran Pythagoras bukan hannya ajaran
filsafat, tapi juga mencakup ajaran mistik.168 Reinkarnasi merupakan
ajaran popular di India, Mesir, Romawi, Yunani (Orphism), Yahudi,
Budha dan bangsa kuno lainnya. Begitu juga dengan metode penyucian
jiwa. Musik atau nyanyian merupakan sarana untuk memuja dewa
pada hari-hari besar yang dipimpin oleh tukang sihir penjaga kuil.
Musik atau nyanyian keagamaan merupakan ajaran kuno yang masih
dianut oleh berbagai agama sampai sekarang sebagai sarana penyucian
jiwa. Sedangkan penyucian jiwa melalui pemaksimalan fungsi akal
untuk belajar dan berfikir, sudah mewakili pandangan filosof sebelum
dan sesudahnya.
Dialog ‚Phaedo‛169 yang ditulis Plato (427-347 SM.) sekitar
tahun 360 SM mengandung pandangan-pandangan Socrates170 (470-

167
H{arbi> ‘Abba>s ‘At}i>t}u>, Al-Falsafah al-Qadi>mah: min al-Fikr al-Sharqi> ila
al-Falsafah al-Yuna>niyah (Alexandria: Dar al-Ma’rifah al-Ja>miah, 1999), 103.
168
H{arbi> ‘Abba>s ‘At}i>t}u>, Al-Falsafah al-Qadi>mah, 93.
169
Dialog terkahir Socrates bersama murid-muridnya di dalam penjara
sebelum dieksekusi mati dengan meminum racun. Plato tidak hadir ketika itu karena
sakit. Dialog diriwayatkan oleh Phaedo dihadiri oleh murid lainnya yaitu
Apollodorus, Simmias, Cebe. Lihat dialognya dalam Plato, Phaedo: Fi Khulu>d al-
Nafs, Ed. ‘Izzat Qarni> (Cairo: Da>r Quba’, 2001).
170
Socrates lahir di Athena tahun 470 SM. Ibunya ‚Phainarete‛ seorang
bidan, sedangkan ayahnya ‚Sophronisque‛ seorang pemahat. Riwayat-riwayat Plato
banyak menerangkan bahwa gurunya ini buruk rupa, bentuknya aneh, seperti Satyre
atau Silenus (hewan dongeng Yunani), hidungnya pesek, bibirnya lebar, matanya
cekung. Socrates beristrikan ‚Xantippe‛ dan dikaruniai tiga orang anak. Pemikiran
Socrates pada dasarnya adalah berasal dari catatan Plato, Xenophone (430-357) SM,
dan murid-murid lainnya. Sehingga sangat sulit memisahkan mana gagasan Socrates
yang sesungguhnya dan mana gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut
Sorates. Socrates dikenal sebagai seorang yang berpakaian sederhana, tanpa alas kaki
dan berkeliling mendatangi masyarakat Athena berdiskusi soal filsafat. Socrates
pada wafat pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana
keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung
hukuman mati dan 220 menolaknya. Lihat Jama>l al-Di>n al-Qift}i>, Ikhba>r al-Ulama’ bi
70

399 SM) tentang jiwa: esensi jiwa, keabadian jiwa, dan hubungannya
dengan ide (al-Muthul) yang azali. Teori kejiwaan berkarakter
ketuhanan yang sangat jelas terpengaruh oleh ajaran Pythagorism dan
Orphism.171 Sangat tepat berpegang pada dialog ‚Phaedo‛ dalam
kajian jiwa menurut Socrates.172 Dialog ‚Phaedo‛ pada awalnya,
percakapan berkisar seputar kehidupan dan kematian, dan pada
akhirnya menegaskan bahwa filsafat hanyalah seni mempraktekkan
kematian, atau membebaskan jiwa dari belenggu raga. Manusia
dikatakan hidup ketika ia berjiwa, ketika jiwa menempati raga.
Namun, ketika jiwa menempati raga, jiwa langsung bertempur
melawan nafsu dan emosi. Yang membedakan filosof dengan yang
lainnya adalah perhatian khusus yang diberikannya terhadap jiwa.173
Dalam pembuktian konsep kehidupan diatas, Socrates (470-
399 SM) berpegang pada legenda kuno yang menyatakan bahwa: Jiwa
berada di alam lain sebelum terjatuh ke dunia ini. Jiwa dalam alam lain
itu bersifat transenden (immaterial) dan berilmu. Objek pengetahuan
jiwa adalah ide-ide (al-Muthul) keindahan, persamaan, kebaikan dan
keadilan yang absolut. Ketika jiwa menempati raga sebagaimana
takdirnya, jiwa menderita penyakit lupa, hingga lupa segala-galanya.
Dalam lingkaran reinkarnasi yang berkelanjutan, terutama ketika
bertempat di raga manusia, jiwa mulai ingat apa yang ia ketahui. Oleh
karena itu, pengetahuan (ma’rifah) menurut Socrates adalah
kembalinya jiwa mengingat ide-ide yang telah terlupakan. 174

Akhba>r al-Hukama’, 135-140. Lihat juga Ahmad Ami>n dan Zaki Naji>b, Qis}s}ah al-
Falsafah al-Yuna>niyah (Cairo: Dar al-Kutub al-Mas}riyah, 1935), 105-129. Lihat I. F.
Stone, Muh}akamah Suqra>t}, Trans. Nasi>m Majli> (Cairo: Majlis al-A’la> li al-Thaqa>fah,
2002).
171
Orphism adalah ajaran Orpheus yang dibawa dari Thracians. Sebelumnya
ia mengembara ke Timur, disanalah ia terpengaruh oleh ajaran mistik timur dan
hidup zuhudnya. Orpheus membawa ajaran yang asing ini ke Yunani. Ajaran ini
adalah ajaran rahasia, sehingga sulit untuk diketahui secara pasti. Pythagoras adalah
salah satu pemimpin dan pengikut ajaran ini. Lihat H{arbi> ‘Abba>s ‘At}i>t}u>, Al-Falsafah
al-Qadi>mah, 62-64.
172
Ma>jid Fakhri>, Ta>ri>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah , 74.
173
Pengantar Zaki> Najib Mahmu>d dalam dialog ‚Phaedo‛. Lihat Zaki Najib
Mahmu>d, Muh}awara>t Afla>t}un (Cairo: Maktabah al-Usrah, 2005). 141-154.
174
Ma>jid Fakhri>, Ta>ri>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah, 75.
71

Xenophone175 (430-354 SM) meriwayatkan, Jiwa menurut


Socrates hampir sama dengan al-‘Aql Tuhan. Jiwa menguasai dan
mengendalikan raga sama seperti al-‘Aql menguasai dan
mengendalikan alam semesta.176 Menurut Socrates (470-399 SM) jiwa
bersifat spiritual, sama seperti Tuhan yang tak dapat diketahui oleh
akal manusia esensinya.177 Hal yang sama dipenghujung ‚Phaedo‛,
Socrates menyimpulkan perbandingan jiwa dengan raga dalam
menyatakan: ‚Jiwa hampir sama dengan zat Tuhan, kekal, al-‘Aql,
sejenis, tidak dapat hancur, harmonis dan tidak akan pernah berubah.
Sementara raga lebih identik dengan kemanusian, hancur, binasa,
beragam bentuk, bukan al-‘Aql, terurai dan tidak pernah harmonis‛
(Phaedo 50).178 Socrates bukanlah orang pertama yang menyatakan
kespiritualan dan keabadian jiwa, Pythagorism dan Orphism telah
terlebih dahulu berbicara serupa.179
Jargon yang diangkatkan oleh Socrates dalam filsafatnya
adalah ‚Kenalilah dirimu dengan jiwamu‛, jiwa merupakan unsur
ketuhanan yang ada pada raga. Ketika manusia mempelajari jiwanya,
dia akan mendapatkan Tuhan yang akan menunjukinya.180 Mengenal
jiwa menjadikan manusia mengenal kekuatan, dorongan dan
kecendrungan jiwa, yang merupakan objek ilmu Psikologi. Mengenal
jiwa membuat manusia mengenal esensi, asal dan tempat kembalinya
jiwa, yang merupakan objek ilmu metafisika. Mengenal jiwa membuat
manusia mengenal kaidah-kaidah berfikir yang benar yang akan
menuntunnya pada yang benar, yang merupakan objek ilmu logika.
Mengenal jiwa menjadikan manusia mengenal metode tingkah lakunya
sesuai dengan spirit kepribaiannya, yaitu kebenaran, kebaikan dan
keindahan.181

175
Seorang tentara, murid dan pengagum berat Socrates. Ia terkenal atas
karyanya mengenai sejarah zamannya (abad ke-4 SM) dan kehidupan Yunani Kuno.
Lihat Ma>jid Fakhri>, Tarikh al-Falsafah al-Yu>na>niyah, 67.
176
Dipahami dari riwayat Xenophone, lihat H{arbi> ‘Abba>s ‘At}i>t}u>, Mala>mih}
al-Fikr al-Falsafi> inda Yuna>n, 210.
177
Mahmu>d Qa>sim, Fi> al-Nafs wa al-‘Aql, 28.
178
Zaki Najib Mahmu>d, Muh}awara>t Afla>t}un.
179
Ma>jid Fakhri>, Tarikh al-Falsafah al-Yu>na>niyah, 75-76.
180
Mahmu>d Qa>sim, Fi> al-Nafs wa al-‘Aql, 23.
181
Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n Marh}aba>, Tari>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah
min Bida>yatiha> h}atta> al-Marh}alah al-Helensiyah (Beiru>t:’Izz al-Di>n, 1992), 215-216.
72

Plato (427-347 SM) merupakan filosof pertama yang karya-


karnyanya terpelihara dengan sempurna tanpa ada yang hilang.182
Begitu sulit membedakan mana yang pendapat gurunya, pendapat
Pythagorism, dan mana yang asli pendapat Plato sendiri dalam dialog-
dialognya. Namun, dalam kajian jiwa, pandangan Socrates (470-399
SM) lebih mementingkan permasalahan praktis untuk membersihkan
jiwa sehingga melahirkan budi pekerti yang mulia (akhlak). Sedangkan
kajian Plato tentang jiwa banyak membicarakan permasalahan jiwa
secara teoritis, terutama karakteristik jiwa. Fokus kajian jiwa oleh
Plato mencakup budi pekerti (akhlak), pengetahuan (ma’rifah),
Akhirat, dan alam semesta.183
Dalam dialog ‚Phaedrus‛184, Plato mengisahkan legenda kuno
yang menyatakan bahwa jiwa manusia berjalan dibelakang iring-
iringan jiwa langit. Iring-iringan dipimpim oleh dewa Zeus yang
mengendarai kendaraan bersayap, mengarahkan dan melindungi
pasukannya. Zeus diiringi oleh pasukan para dewa dan jin. Jiwa
manusia berbentuk kuda yang mempunyai dua sayap. Pendek cerita,
dalam mengikuti iring-iringan itu, bagi jiwa yang patah sayapnya,
akan jatuh terombang ambing ke alam bawah sampai bertabrakan
dengan raga, dan membuatnya hidup,…. dst.‛.185 Dari legenda ini
dapat dipahami kerangka jiwa menurut Plato:
a) Jiwa manusia jatuh atau berasal dari alam Tuhan (dewa) yang
bersifat spiritual
b) Jiwalah yang mempresentasikan manusia yang sebenarnya
c) Jiwalah nantinya yang akan menerima pahala dan dosa yang
dilakukan.
Plato menguatkan konsep jiwa ini dalam berbagai dialognya.
Dalam dialog ‚Gorgias‛,186 jiwa turun penuh dengan kotoran, dan akan
mendapat berbagai musibah akibat kesalahannya. Dalam dialog

182
Muh}ammad Marhaba>, Tari>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah, 225
183
‘Izzat Qarni>, Al-Falsafah al-Yu>na>niyah h}atta Afla>tu>n (Kuwait: Zat al-
Sala>sil, 1993), 221.
184
Plato, Muha>warah ‚Phaedrus‛, Ed. Ami>rah H{ilmi> Mat}ar (Cairo: Da>r
Gari>b, 2000), 61-66.
185
Mus}tafa> al-Nashsha>r, Tari>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah min Manz}u>r
Sharqi>: Sufistaiyu>n, Suqra>t}, Afla>tu>n (Mesir: Dar Quba’, 2000), Vol II, 235-236.
186
Plato, Muh}a>warah ‚Georgias‛ li Afla>tu>n, Trans. Muh}ammad H{asan Z{az}a
dan ‘Ali Sa>mi> al-Nashsha>r (Cairo: Maktabah al-Usrah, 1970).
73

‚Meno‛187, Plato menjelaskan pendapatnya tentang mengingat, yaitu


mengingat pengetahuan (ma’rifah) yang dahulu telah diperoleh jiwa.
Menurutnya, apabila jiwa dibersihkan, mengikhlaskan niatnya, fokus
menghadap objek pengetahuan, satu saja pengetahuan yang dapat
diingat, jiwa akan mengingat semuanya, karena segala sesuatu
tabiatnya satu jenis.
Keyakinan inilah yang membuat Plato (427-347 SM) bercerita
panjang tentang pertempuran antara jiwa dan raga, ketika jiwa
menempati raga dalam dialog ‚Republic‛.188 Plato membagi daya jiwa
menjadi tiga. Ketiga daya inilah yang berperang dan berebut pengaruh,
yaitu:
a) Nafsu, yang berkaitan dengan dorongan dan kenikmatan.
Berfungsi pengatur fungsi makanan, kesenangan, dan seksual.
Keutamaanya adalah kesucian.
b) Emosi, yang berkaitan dengan insting yang cerdas dan mulia.
Berfungsi sebagai penjaga kehormatan. Keutamaanya adalah
keberanian.
c) Akal, daya untuk memandang, berfikir dan merenung. Berfungsi
sebagai pencari dan pegungkap kebenaran. Keutamaanya adalah
kebijaksanaan.
Jika ketiga daya ini mampu saling membantu, akan terwujud
keutamaan yang ke empat, yaitu keadilan.189 Dalam dialog ‚Timaeus‛,
Plato meletakan ketiga daya ini di dalam raga ketika berbicara tentang
susunan makhluk hidup. Daya fikir bertempat di kepala, leher adalah
pemisahnya dengan dua daya lainnya. Daya emosi bertempat di dada.
Antara emosi dan nafsu dipisahkan oleh pembatas. Sedangkan Jantung
berfungsi untuk mengikat bagian-bagian raga melalui aliran darah.190
Terdapat sedikit kerumitan dalam teori penciptaan alam
semesta menurut Plato. Dalam dialog ‚Timaeus‛, Plato menyatakan
h}a>dith-nya jiwa. Jiwa merupakan makhluk pertama yang diciptakan
sang pencipta. Sebaliknya, dalam dialog ‚Laws‛191, Plato menyatakan
187
Plato, Muh}awarah ‚Meno‛, Tran. ‘Izzat Qarni> (Cairo: Da>r Quba’, 2001)
188
Ami>rah H{ilmi> Mat}ar, Jumhu>riyah Afla>tu>n (Cairo: Maktabah al-Usrah,
1994).
189
H{arbi> ‘Abba>s ‘At}i>t}u>, Mala>mih} al-Fikr al-Falsafi> inda Yuna>n, 254.
190
Mus}tafa> al-Nashsha>r, Tari>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah min Manz}u>r
Sharqi>: Sufistaiyu>n, Suqra>t}, Afla>tu>n, Vol. II, 239.
191
Plato, Al-Qawa>ni>n li Afla>tu>n, Trans. Taylor, Trans. Muh}ammad H{asan
Z{a>z}a (Cairo: Maktabah al-Usrah, 1986).
74

qadi>m-nya jiwa, karena jiwa merupakan sumber gerak dan sumber


wujud yang hidup. Kerumitan ini akan berdampak pada filosof muslim
dikemudian hari.
Dalam dialog ‚Phaedrus‛, dijelaskan bahwa jiwa alam semesta
(jiwa universal) berfungsi sebagai pengurus segala sesuatu baik
makhluk hidup maupun benda mati. Sedangkan jiwa personal,
merupakan pengurus makhluk hidup. Tidak ada yang mengharuskan
adanya Tuhan bersamaan dengan jiwa –seperti yang diklaim oleh
Filosof muslim- dalam filsafat Plato (427-347 SM). Namun, pastinya
jiwa (al-‘Aql) turut punya andil dalam penciptaan, yaitu sebagai
pembantu proses penciptaan.192 Sekalipun masalah penciptaan alam
begitu rumit dalam dialog ‚Timaeus‛, namun penafsiran Plato
terhadap alam natural sungguh menakjubkan. Plato berhasil
menyimpulkan di akhir dialognya bahwa tata arsitektur Alam semesta
yang rapi dan teliti ini dikuasai oleh satu penyebab pertama. Plato
menegaskan bahwa seluruh alam semesta terlahir dari Tuhan yang
satu.193
Plato berbicara panjang lebar tentang kembalinya jiwa
(akhirat) dalam dialog ‚Phaedo‛ dan ‚Republic‛. Jiwa bersifat
sederhana (al-Basi>t}ah) tak tersusun (gair al-Murakkabah), kekal dan
tak akan hancur. Plato meyakini adanya keberagaman kembalinya jiwa
setelah mati (akhirat) sesuai dengan amalannya bersama raga.194 Sudah
suatu kemestian balasan jiwa yang melakukan amalan mulia dan hidup
merenung (berfikir), berbeda dengan jiwa yang hidup penuh
kenikmatan indrawi dan melakukan berbagai dosa dan kejahatan.
Pembicaraan akhirat berkisar antara keyakinan reinkarnasi dan
keyakinan hidup abadi. Plato banyak belajar dari keyakinan Timur
kuno, Pythagorism dan Orphism tentang ini. Terbukti dengan
banyaknya ia mengisahkan legenda-legenda Timur kuno untuk
menguatkan pendapatnya, dan agar mudah dicerna dan dipahami
murid-muridnya.

192
Mus}tafa> al-Nashsha>r, Tari>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah, Vol II, 233.
193
Mus}tafa> al-Nashsha>r, Tari>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah, Vol II,
233. Lihat juga R. Waltzer, Aflat}u>n: Tas}awwuruhu li Ila>h Wa>h}id wa Naz}rah al-
Muslimi>n fi Falsafatih, Trans. Ibrahi>m Khurshi>d dkk. (Beiru>t: Da>r al-Kita>b al-
Lubna>ni>, 1982).
194
Mus}tafa> al-Nashsha>r, Tari>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah, Vol II, 240.
75

Muridnya, Aristoteles (384-322 SM) menaruh perhatian besar


untuk mengkaji makhluk hidup.195 Hal ini tentunya tak terlepas dari
pengaruh keluarganya, ayahnya seorang dokter kaisar Macedonia. Tak
heran bila sepertiga karyanya berbicara tentang makhluk hidup.
Aristoteles tidak memisahkan antara kajian jiwa dan makhluk hidup.
Baginya, jiwa merupakan sumber kehidupan.196 Aristoteles
meninggalkan sebuah karya besar tentang jiwa, ‚Kita>b al-Nafs‛197 atau
‚De Anima‛ yang pernah diringkas198 oleh Ibn Rushd (520-595 H),
filosof muslim pengagumnya. Secara umum, kajian Aristoteles tentang
jiwa merupakan rujukan untuk mengkaji makhluk hidup. Oleh karena
itu, sangat tepat berpegang pada ‚Kitab al-Nafs‛ dalam kajian jiwa
menurut Aristoteles.
Aristoteles memulai kajian karakteristik jiwa dengan mencoba
mendefinikannya. Menurutnya, cukup sulit untuk mendefenisikan
jiwa. Setidaknya ada dua aliran pendefenisian, pertama melihat
partikelnya, dan yang kedua melihat fungsinya. 199 Filosof naturalis
terdahulu mendefenisikan jiwa melihat kepada materialnya saja.
Sementara filosof dialektika mendifenisikan jiwa melihat pada
formanya (su>rah) saja. Contohnya dalam mendefinisikan marah.
Filosof naturalis mendefiniskannya dengan ‚mendidihnya darah di
jantung‛. Filosof dialektika mendefenisikannya dengan ‚hasrat untuk
membalas‛. Defenisi yang benar haruslah mencakup keduanya, materi
(al-Hayu>la) dan forma (Su>rah).200
Setelah mengkritik berbagai pendefenisian jiwa, Aristoteles
melanjutkan dengan kajian jiwa oleh filosof-filosof terdahulu dan
mengkritiknya satu-persatu. 201 Terutama Democritus202 (470-370 SM)

195
Will Durant\, Qis}s}ah al-Falsafah: min Afla>tu>n ila Johnny Dio, Trans. Fath
Allah Muh}ammad al-Musha’sha’ (Beiru>t: Maktabah al-Ma‘a>rif, 1988), 73.
196
Ami>rah H{ilmi, Al-Falsafah al-Yu>na>niyah: Tarikh wa Mushkilatuha>
(Cairo: Da>r Quba’, 1998), 305.
197
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, Trans. Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni> (Cairo, Da>r
ih}ya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1949).
198
Abu al-Wali>d Ibn Rushd, Talkhi>s Kita>b al-Nafs, Ed. Ibrahi>m Madku>r
(Cairo, Majlis al-A’la> lial-Thaqa>fah, 1994).
199
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 4-5.
200
Abu al-Wali>d Ibn Rushd, Talkhis Kitab al-Nafs, 8.
201
Filosof tersebut adalah aliran Pytagorism spiritualis dan filosof natural
materialis, seperti: Democritos, Anaxagoras (499-428 SM), Empedocles (490-430
76

dan penyikutnya, aliran atomisme (al-Dhurriyu>n) yang menyatakan


bahwa jiwa tersusun (al-Murakkabah) dari partikel-partikel yang terus
bergerak. Menurutnya, jiwa itu sederhana (al-Basi>t}ah) tidak tersusun.
Aristoteles juga mengkritik filosof-filosof terdahulu yang hampir
semuanya menyatakan jiwa bergerak. Termasuk gurunya, Plato (427-
347 SM) yang dalam ‚Timaus‛ menyatakan jiwa mengerakkan dirinya
sendiri.203 Bagi Aristoteles, jiwa itu mengerakkan material (raga)
tanpa bergerak. Jika jiwa bergerak, jiwa tentunya tersusun (al-
Murakkabah) dari elemen yang bergerak dan elemen yang
menggerakkan. Dapat disimpulkan, tersusun (al-Murakkabah) dan
bergerak merupakan sifat material menurut Aristoteles. Baginya jiwa
bersifat spiritual yang suci dari material. Jiwa tidak akan ada tanpa
raga, tapi jiwa bukanlah raga.204 Aristoteles mengkritik teori
reinkarnasi Pytagorism dan Orphism, jiwa tidak dapat pindah
(bergerak) ke raga lain, dan jiwa tidaklah abadi. Jiwa (forma) akan
turut hancur bila raga (material) binasa.
Pada bagian kedua, Aristoteles (384-322 SM) kembali berusaha
membuat defenisi jiwa yang tepat. Jiwa adalah penyempurna pertama
bagi material alami mekanik yang mempunyai potensi kehidupan.205
‚Penyempurna pertama‛ adalah aktual pertama, maksudnya derajat
pertama terwujudnya eksistensi (wujud). Aristoteles membagi derajat

SM), T{ales (624-546 SM), Heraclitus (535-475 SM) dan lainnya. Lihat Aristoteles,
Kita>b al-Nafs, 9-38.
202
Dia adalah Democritus murid Leukippos pendiri aliran Atomisme. Lahir
di Abdeba Yunani utara. Hidup sekitar 470-370 SM. Ia berasal dari keluarga kaya
raya. Di usia mudanya, ia menggunakan harta warisannya untuk pergi ke Mesir dan
Asia. Ia juga berguru kepada Anaxagoras dan Philolaos. Hannya sedikit informasi
tentang riwayat hidupnya. Meski sezaman dengan Socrates, dia digolongkan sebagai
filosof pra-Socratik, karena masih mengembangkan ajaran Atomisme. Democritus
banyak berbicara tentang ilmu alam, astronomi, matematika, sastra, epistimologi dan
etika. Ada sekitar 300 kutipan tentang pemikiran Domocritos dalam sumber-sumber
kuno. Sayangnya karya Domocritus tidak ada yang tersimpan. Lihat Ali Sa>mi> al-
Nashsha>r, Muh}ammad ‘Abbu>di> Ibra>hi>m dan ‘Ali ‘Abd al-Mu’t}i>, Di>mu>qrit}is: Failasu>f
al-Dhurrah wa Atharuhu fi fikr al-Falsafi> h}atta> ‘Us}u>r al-Hadi>thah (Alexandria: al-
Haiah al-Mas}riyah al-‘A<mah, 1972), 5-13.
203
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 20.
204
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 49.
205
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 42-43. Teks aslinya adalah:
‫اة بقٕة‬ٛ‫نٗ رٖ ح‬ٜ‫عٗ ا‬ٛ‫كًال أٔل نجسى انطب‬
77

wujud menjadi tiga: (a) Wujud potensial (bi al-Quwwah), (b) Wujud
aktual pertama (bi al-Fi’l al-Awwal), (c) Wujud aktual kedua (bi al-
Fi’l al-Tha>ni>), yang merupakan wujud aktual yang tertingi. ‚Material
alami‛ lawannya material buatan. Material alami bergerak spontanitas
(al-Dha>tiah) sedangkan material buatan gerakannya dipaksakan (al-
Qasariah). ‚Material mekanik‛ maksudnya dari sisi anatomi, alat dan
anggotanya memenuhi syarat, sehingga mampu melaksanakan fungsi
jiwa. ‚Mempunyai potensi kehidupan‛ maksudnya dari sisi fisiologi,
material alami tersebut memenuhi syarat untuk melakukan aktivitas
kehidupan.206
Aristoteles (384-322 SM) membagi daya jiwa menjadi tiga
tingkatan. Tingkatan yang tertinggi mencakup tingkatan yang ada
dibawahnya, yaitu:
a. Jiwa nutritif (al-Gha>dhiah) atau vegetatif (al-Naba>tiyah)207
berfungsi untuk memperoleh makan, tumbuh dan berkembang
biak. Jiwa nutritif merupakan tingkatan terendah dan paling
sederhana. Jiwa ini dimiliki oleh makhluk hidup setingkat
tumbuhan.
b. Jiwa sensitif (al-Hassa>sah)208 berfungsi untuk memperoleh
pengetahuan. Jiwa sensitif dimiliki oleh makhluk hidup setingkat
hewan. Jiwa sensitif diawali dengan yang paling sederhana, yaitu
indra peraba yang hampir dimiliki semua hewan, dilanjutkan
dengan indra perasa, lalu penciuman, lalu pendengaran dan
terakhir penglihatan. Fungsi jiwa sensitif juga berfungsi untuk
mengenal rasa sakit dan senang yang akan diiringi oleh dorongan
dan keinginan. Jiwa sensitif juga berfungsi untuk mengamati dan
menyimpan pengalaman bagi hewan tingkat tinggi.
c. Jiwa intelek (al-‘A<qilah) yang berfungsi untuk memperoleh
pemaknaan-pemaknaan universal. Jiwa intelek dimiliki oleh
hewan setingkat manusia. Aristoteles mengkhususkan bagian
ketiga bukunya untuk membahas panjang lebar tentang jiwa ini.209
Aristoteles membagi daya jiwa intelek menjadi dua macam: (a)
Intelek aktif atau ‚Poeticos‛ (al-‘Aql al-Fa’‘a>l) dan (b) Intelek pasif

206
Ami>rah H{ilmi>, Al-Falsafah al-Yu>na>niyah: Tari>kh wa Mushkilatuha>, 308
207
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 53.
208
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 59.
209
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 91
78

atau ‚Patheticos‛ (al-‘Aql al-Munfa‘il).210 Intelek pasif tak mampu


berfikir secara aktual kecuali dengan bantuan intelek aktif yang
sifatnya terus berfikir. Sekalipun dengan jelas kedua daya tersebut
terdapat dalam raga manusia, namun Aristoteles juga membedakan
kedua intelek (al-‘Aql) tersebut dengan menyatakan bahwa intelek
aktif (al-‘Aql al-Fa’‘a>l) terpisah, kekal, azali, dan diperoleh manusia
dari luar. Disamping itu, karakteristik intelek aktif adalah berfikir
murni atau berfikir selamanya. Inilah yang membuat intelek aktif (al-
‘Aql al-Fa’‘a>l) dekat dengan al-‘Aql Tuhan.
Ketidakjelasan pandangan Aristoteles (384-322 SM) tentang
intelek aktif (al-‘Aql al-Fa’‘a>l) berdampak kepada para komentatornya
dikemudian hari. Titus Aurelius Alexander of Aphrodisias211 (150-211
M) menafsirkan intelek aktif (al-‘Aql al-Fa’‘a>l) terpisah (al-Mufa>riq)
dari jiwa, kekal, azali, dan bersatu dengan al-‘Aql Tuhan yang
mengatur alam semesta. Penafsiran yang didukung oleh karya
Aristoteles lainnya seperti ‚Ma> ba’da al-T{abi>ah‛212 dan ‚al-Akhlak
Nicomachus‛ dibawah pengaruh ajaran dualisme Plato (427-347 SM):
materi dan ide, yang tak dapat diselesaikan oleh Aristoteles.
Sebaliknya, Thamsitiues213 (317-388 M) menafsirkan intelek aktif (al-
‘Aql al-Fa’‘a>l) dan intelek pasif (al-‘Aql al-Munfa‘il) keduanya ada
dalam jiwa manusia. Kemudian perbedaan penafsiran ini merebak ke
dunia Islam. Filosof negeri Timur (al-Mashriq): Al-Kindi (185-252 H),

210
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 112.
211
Dia adalah Alexander (150-211M), penduduk asli Aphrodisias, Caria asia
kecil. Dia belajar filsafat dari guru-guru Peripatetic. Dipenghujung abad kedua dia
datang ke Atena dan karirnya menanjak dengan menjadi kepala sekolah Peripatetic.
Dia memimpin Lyceum dari 195-211 M. Dia merupakan komentator besar
Aristoteles, dan popular selama berabad-abad hingga digelari Aristoteles kedua.
Lihat Muh}ammad Fath}i> ‘Abd Allah, Mutarjimu> wa Sharra>h} Arist}u ‘Ibra al-‘Us}u>r
(Alexandria: Dar al-Delta>, 1994), 47-48.
212
Aristoteles, Ma> Ba’da al-T{abi>‘ah, Ed. ‘Abd al-Rah}ma>n Badawi (Cairo:
Maktabah al-Usrah, 1995).
213
Dia adalah Thamsitieus guru kaisar Romawi Julian the Apostate. Tokoh
filosof berwawasan Konstantinopel, dengan ilmunya dan kota-kotanya. Dia terkenal
di seantaro Romawi dan mendapat perhatian besar dati Patriach Kristen terutama
Gereja Konstantinopel, sehingga dia diberi kepercayaan untuk memegang jabatan
peranan politik. Ketika Julian menjadi Kaisar, dia merupakan pihak yang mendukung
Julian membangkitkan kembali ajaran Paganisme. Lihat Muh}ammad Fathi> ‘Abd
Allah, Mutarjimu> wa Sharra>h} Arist}u ‘Ibra al-‘Us}u>r, 56.
79

al-Fara>bi> (260-339 H) dan Ibn Si>na> (370-428 H) lebih memilih


penafsiran Alexander of Aphrodisias. Sebaliknya Ibn Rushd (520-595
H) lebih memilih penafsiran Thamsitiues.214
Selanjutnya, Plotinus (205-270 M) merupakan tokoh utama
Neo-Platonism, yang berusaha membangkitkan kembali filsafat
Platonism yang telah redup, dengan menguatkan penafsirannya
dengan filsafat terdahulu, terutama Aristoteles (384-322 SM) dan
Pythagorism. Ditambah lagi dengan berbagai aliran filsafat Timur:
mistik Persia dan India. Bahkan Tak terbatas hanya pada filsafat yang
berkembang saja, Plotinus juga berhasil memadukan Platonism dengan
agama Kristen yang diyakininya.215 Karena memang waktu itu di
Alexandria sedang gandrung penyelarasan antara agama Yahudi dan
Kristen dengan filsafat Yunani.216
Plotinus meninggalkan 54 karya. Karya tersebut disusun dalam
6 jilid, yang masing-masing terdiri dari 9 makalah, karya ini disebut
dengan ‚al-Ta>su‘a>t‛217 atau ‚Ennead‛. Yang menjadi pokok bahasan
dalam kajian ini adalah ‚Ennead‛ yang ke-4, atau ‚al-Tisa>‘iyah al-
Ra>bi‘ah‛218 yang berisikan tentang karakteristik jiwa. Gambaran jiwa
Platonism dalam ‚Phaedo‛, Timaeus‛ dan ‚Phaedrus‛ sangat jelas di
dalamnya.
Jiwa merupakan oknum ketiga sesudah intelek (al-‘Aql) dan
yang esa (al-Wa>h}id) dalam trinitas Plotinus (205-270 M). Setelah
mengkritik karakteristik jiwa oleh filosof terdahulu, terutama
Pythagorism dan Aristoteles, Plotinus berusaha menjelaskan
kerumitan karakteristik jiwa yang sederhana (al-Basi>t}ah) dan terbagi
(al-Munqasimah) menjadi beberapa bagian menurut Plato (427-347

214
Ami>rah H{ilmi> Mat}ar, Al-Falsafah al-Yu>na>niyah, 315-316. Lihat juga
Muh}ammad Jala>l Sharf, Allah wa al-‘A<lam wa al-Insa>n Fi Fikr al-Isla>mi> (Beiru>t: Da>r
al-Nahd}ah al-Isla>miyah, tt.).
215
Muh}ammad Mahmu>d Abu Qah}f, Madrasah al-Iskandariah al-Falsafiyah:
Ta>ri>kh al-H{ad}ari> wa al-H{iwa>r al-Thaqafi baina al-Falsafah wa al-Di>n (Alexandria:
Da>r al-Wafa’ li Dunya>, 2004), Cet, I, 104.
216
Mus}tafa> al-Nashsha>r, Madrasah al-Iskandariah al-Falsafiyah baina al-
Turath al-Sharqi> wa al-Falsafah al-Yu>na>niyah (Cairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1995), 53, 79.
217
Plotinus, Ta>su>‘a>t Aflu>t}i>n, Trans. Fari>d Jabar, Ji>ra>r Jaha>mi> dan Sami>h }
Dagi>m (Beirut: Maktabah LubNa>n, 1997).
218
Plotinus, Al-Tisa> ‘iyah al-Ra>bi ‘ah li Aflu>ti>n fi al-Nafs, Trans. dan Ed.
Fua>d Zakaria dan Muh}ammad Sali>m Sa>lim (Cairo: al-Haiah al-Mas}riyah al-‘A<mah,
1970).
80

SM). Menurutnya, Jiwa hampir sama dengan al-‘Aql, dan jiwa


merupakan urutan lanjutan dari al-‘Aql (terpancar setelah al-‘Aql).
Oleh karena itu, jiwa serupa dengan esensi Tuhan yang sederhana dan
tak terbagi. Namun, bertempatnya jiwa di dalam raga membuat jiwa
tersebut tebagi. Itulah yang membuat karakteristik jiwa kadang
sederhana dan terkadang terbagi. Jiwa tidaklah pantas benar-benar
sederhana atau benar-benar terbagi. Kedua karakteristik tersebut
haruslah dijaga. Jiwa merupakan wujud perantara antara wujud
immaterial (al-Ma’qu>l) dan material (al-Mah}su>s). 219
Jiwa ada dalam setiap bagian raga, baik tangan, kaki dan
lainnya. Artinya, jiwa terbagi kepada beberapa bagian. Tetapi, tetap
semuanya satu kesatuan (Wihdah} al-Nafs). Sama halnya dengan jiwa
alam semesta yang disebut dengan jiwa universal (al-Nafs al-Kulliyah)
yang mengatur alam, dan jiwa manusia yang disebut jiwa personal (al-
Nafs al-Juz’iyah) yang mengatur raga dan banyak jumlahnya.
Sekalipun jiwa terbagi kepada personal-personal, tapi seluruhnya tetap
satu kesatuan, jiwa pada akhirnya hanyalah satu.220
Plotinus (205-270 M) mengibaratkan hubungan jiwa universal
(al-Nafs al-Kulliyah) dengan jiwa personal (al-Nafs al-Juz’iyah) seperti
terbaginyanya ilmu yang universal221 (al-Kulli): macam ‚Species‛ (al-
Nau’), jenis ‚Genus‛ (al-Jins), pemisah ‚Differentia‛ (al-Fas}l),
menjadi partikular-partikular (al-Ajza’). Seperti hewan (al-Kulli) yang
terbagi menjadi partikular (al-Juz’i): kucing, anjing, ayam dan lainnya.
Seperti manusia (al-Kulli) yang terbagi menjadi personal-personal (al-
Ajza’): Ahmad, Muhammad, Abdullah dan lainnya. Karena Jiwa
manusia (personal) terpancar dari jiwa alam (universal) akibat dari
kerja renungannya terhadap al-‘Aql yang setingkat diatasnya, tanpa
mengurangi al-‘Aql yang memancarkan.222 Jiwa universal (al-Nafs al-
Kulliyah) inilah yang benar-benar forma, kekal dan abadi. Sedangkan
jiwa personal (al-Nafs al-Juz’iyah) inilah yang hancur dan binasa
dengan hancurnya raga. Dengan ini selesailah permasalah jiwa qadi>m
menurut Plato (427-347 SM) dan ha>dith menurut Aristoteles (384-322
SM).
219
Plotinus, Al-Tisa> ‘iyah al-Ra>bi ‘ah li Aflu>ti>n fi al-Nafs, 169-174.
220
Lihat bagian ‚Wihdah al-Nafs‛ dalam Plotinus, Al-Tisa> ‘iyah al-Ra>bi ‘ah
li Aflu>ti>n fi al-Nafs, 335-341.
221
‘Ali ‘Abd al-Mu’t}i,> Al-Fikr al-Falsafi wa al-Di>ni> fi Madrasah al-
Iskandariah al-Qadi>mah (Beirut: Da>r ‘Ulu>m al-‘Arabiyah, 1992), Cet. I, 161.
222
\ ‘Ali ‘Abd al-Mu’t}I, Al-Fikr al-Falsafi wa al-Di>ni>, 155.
81

Kajian filosof ketuhanan Yunani tentang jiwa begitu besar


pengaruhnya terhadap filosof muslim. Lihat saja al-Kindi>223 (185-252
H) yang medefenisikan jiwa mengikut pada Aristoteles(384-322 SM):
‚Penyempurna raga (al-Jaram) alami yang mempunyai kelengkapan
(alat) untuk menerima kehidupan‛. Ia mendefenisikannya juga dengan:
‚Penyempurna pertama bagi material alami mekanik yang mempunyai
potensi kehidupan.‛224 Selain dari defenisi Aristoteles ini, al-Kindi>
juga mempunya defenisi lain yang berkarakter Plato (427-347 SM) dan
Plotinus (205-270 M): ‚Jiwa seherhana (al-Basi>t}ah), mulia dan
sempurna, perkara yang agung, esensinya berasal dari esensi
Allah‘Azza wa Jalla, seperti cahaya matahari dari matahari…..
Esensinya esensi Tuhan yang spiritual (immaterial)… Jiwa berasal dari
cahaya Tuhan, Apabila jiwa meninggalkan raga, niscaya jiwa akan

223
Dia adalah Abu Yusuf Ya’qu>b ibn Ishaq al-Kindi>. Penisbatan kepada
qabilah ‚al-Kindah‛ sebuah negeri Yaman. Kakek-kakeknya dahulunya penguasa
Kindah. Ayahnya ‚Ishaq‛ menjabat Amir Kufah di masa al-Mahdi dan al-Rashid. Al-
Kindi lahir di Kufah sekitar 185 H/ 801 M. dan menghabiskan masa kecilnya disana.
Kemudian dia pergi ke Bagdad belajar sastra dan ilmi-ilmu filsafat. Al-Kindi> sangat
senang dan gemar meraih seluruh jenis ilmu yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Al-Kindi menguasai ilmu astronomi, filsafat, kimia, fisika, kedokteran,
matematika, musik, psikologi, logika dan ilmu kalam. Dia memang salah seorang
tokoh yang pro dengan gerakan penerjemahan ilmu asing (Yunani). Bisa dikatakan
al-Kindi> merupakan orang Arab pertama berfilsafat dan mendalami ilmunya. Oleh
karena itu dia digelari ‚Filosof Arab‛. Al-Kindi> dekat dengan Mu’tazilah, dan
mempunyai hubungan baik dengan istana, dia bekerja sebagai Dokter dan Ahli
Astrologi pada masa al-Makmun, al-Mu’tas}im dan al-Wa>thiq yang pro kepada aliran
Mu’tazilah. Namun ketika al-Mutawakkil berkuasa, dan mennjadikan Ahl al-Sunnah
menjadi mazhab negara, ia kehilangan posisinya di Bait al-Hikmah. Al-Kindi>
meninggal 252 H./ 866 M. Lihat Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni, Al-Kindi> al-Failasu>f al-
‘A<rab (Cairo: Muassasah al-Mas}riyah al-‘A<mah, 1964.). Lihat juga Antuwa>n Saif,
Al-Kindi> wa Maka>natuhu ‘inda Muarrikh al-Falsafah al-‘Arabiyah (Beiru>t: Da>r al-
Jail, 1985).
224
Abu Yu>suf Ya’qu>b ibn Ish}aq al-Kindi>, Al-Rasa>il al-Kindi al-Falsafiyah:
Risa>lah fi H{udu>d al-Ashya’ wa Rusu>miha, Ed. Muh}ammad ‘Abd al-Ha>di> Abu Ri>dah (
Cairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1978), Cet. II, Vol. I, 113. Teks aslinya sebagai berikut:
‫ هى استكمال أول لجسم‬: ‫ ويقال‬،‫النفس هى تمامة جرم طبيعى ذى آلة قابل للحياة‬
‫طبيعى ذى حياة بالقوة‬
82

mengenal seluruh yang ada di alam semesta, tanpa ada yang


tersebunyi.‛225
Yang didefenisikan al-Kindi> (185-252 H) tentunya jiwa
manusia bukan yang lainnya. Sepertinya al-Kindi> lebih cendrung pada
filsafat Plato (427-347 SM) dari pada Aristoteles (384-322 SM).226
Al-Kindi> menyanjung Plato dalam risalah tersebut mengatakan:
‚Sungguh benar pendapat Plato dalam analogi ini‛ dan ungkapan
lainnya.227 Mungkin karena filsafat Plato lebih dekat dengan ajaran
Islam yang menyatakan jiwa merupakan tiupan dari al-Ru>h} Allah
Ta‘a>la>, dan mengajarkan manusia untuk mengendalikan hasrat dan
syahwatnya untuk meraih kebahagian di dunia dan akhirat. Pengaruh
teori emanasi Plotinus (205-270 M) juga sangat jelas dalam
membandingkan esensi jiwa dengan esensi Tuhan. Jiwa terpancar dari
Tuhan seperti matahari memancarkan cahaya.
Dalam kajian tentang daya atau fungsi jiwa, al-Kindi> berusaha
memadukan pendapat Aristoteles dan Plato tanpa membedakannya.228
Plato membagi daya jiwa menjadi tiga: Hasrat, emosi, intelek (fikir).
Menurut Plato, Jiwa kekal dan abadi sekalipun raga telah binasa.
Sebaliknya, Aristoteles membagi daya jiwa menjadi tiga: Vegetatif
(tumbuhan), sensitif (hewan), berfikir (manusia). Menurut Aristoteles,
Jiwa merupakan forma bagi raga, jiwa turut hancur bila mana raga
binasa. Pandangan al-Kindi> memang membingungkan, karena memang
al-Kindi> berada pada masa awal gerakan penerjemahan. Al-Kindi>
punya kesalahan besar, ketika menerjemahkan ‚al-Ta>su>‘a>t‛ atau

225
Abu Yu>suf Ya’qu>b ibn Ish}aq al-Kindi>, Al-Rasa>il al-Kindi al-Falsafiyah:
Risa>lah fi al-Qaul fi al-Nafs, al-Mukhtas}ar min Kita>b Arist}u> wa Afla>tu>n wa Sa>ir al-
Falasifah, Ed. ‘Abd al-Ha>di> Abu Ri>dah (Cairo: Mat}ba‘ah al-H{assa>n,1978), Vol II.
Lihat juga Muh}ammad ‘Abd al-Rahma>n, Al-Kindi: Falsafatuha> al-Muntakhaba>t:
Risa>lah fi al-Qaul fi al-Nafs (Beiru>t: ‘Uwaida>t, 1985(, Cet. I, 182. Teks aslinya
sebagai berikut:
‫ جوهرها من جوهر البارى‬،‫ عظيمة الشأن‬،‫إن النفس بسيطة ذات شرف و كمال‬
‫ وهذه النفس التى هى من نور البارى عز‬.... ‫ كقياس ضياء الشمس من الشمس‬،‫عزوجل‬
....‫ ولم يخفى عنها خافية‬،‫ علمت كل ما فى العالم‬،‫ إذا هى فارقت البدن‬،‫وجل‬
226
Muh}ammad ‘Ustma>n Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah ‘Inda al-Ulama’
al-Muslimi>n (Cairo: Da>r al-Shuru>q, 1993), Cet. I, 26.
227
Ali Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d baina al-Mutakallimi>n wa
Falasifah. 158. Dikutip dari Risa>lah al-Kindi: Fi al-Qaul fi al-Nafs.
228
Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>, Al-Kindi: al-Failasu>f al-‘Arab, 239.
83

‚Ennead‛ karya Plotinus (205-270 M), dengan menisbatkannya kepada


Aristoteles dan memberinya judul ‚al-Rubu>biyah‛.229
Filosof muslim dengan gelar guru kedua ‚al-Mu‘allim al-
Tha>ni>‛ setelah guru pertama untuk Aristoteles (384-322 SM)
diperoleh al-Fara>bi> atas dedikasi yang luar biasa dalam mengkaji
karya-karya Aristoteles dan mengomentarinya. Tak jauh berbeda
dengan al-Kindi> (185-252 H), defenisi jiwa oleh al-Fara>bi> mengikut
pada Aristoteles:230 ‚Penyempurna pertama bagi material alami
mekanik yang mempunyai potensi kehidupan‛. Jiwa merupakan forma
bagi raga. Berdasarkan dualisme pandangan Aristoteles, bahwa semua
wujud alami terdiri dari material (al-Hayu>la>) dan forma (al-Su>rah).
Al-Fara>bi> (260-339 H) juga cendrung pada karakteristik jiwa
menurut Plato (427-347 SM) yang lebih dekat dengan ajaran Islam.
Bahwa jiwa manusia merupakan esensi spiritual berdiri sendiri, yang
merupakan esensi manusia yang sebenarnya. Jadi, manusia terdiri dari
esensi spiritual dari ‚‘A<lam al-Amr‛ (immaterial) dan raga dari ‚
‘A<lam al-Khalq‛ (material). 231
Jiwa merupakan forma raga menurut Aristoteles, dalam artian
tercetaknya forma (bentuk) pada material, dan akan lenyap dengan
lenyapnya material, bertentangan dengan esensi spiritual menurut
Plato. Oleh karena itu, al-Fara>bi> berusaha menyelaraskannya dua
pandangan filosof tersebut. Menurutnya, Jiwa adalah esensi dan forma,
jiwa pada hakikatnya esensi, dan jiwa adalah forma bila dilihat dari
hubungannya dengan raga.232 Pembagian daya jiwa oleh al-Fara>bi tak
jauh berbeda dengan al-Kindi yang mengembangkan teori Plato dan

229
Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>, Al-Kindi: al-Failasu>f al-‘Arab, 238.
230
Muh}ammad ‘Ustma>n Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah ‘Inda al-Ulama’
al-Muslimi>n, 56. Dikutip dari ‚Risa>lah fi Rasa>il Mutafarriqah‛ dan ‚’Uyu>n al-
Masa>il‛ karya al-Fara>bi.
231
Muh}ammad ‘Ustma>n Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah ‘Inda al-Ulama’
al-Muslimi>n, 55. Dikutip dari Al-Fara>bi>, Fus}u>s al-Hikam. Ed. Muh}ammad A<li> Ya>si>n.
(Bagda>d: al-Ma‘a>rif, 1976), 71-72. Lihat juga Mahmu>d Qa>sim. Fi al-Nafs wa al-‘Aql
li Falasifah al-Igri>k wa al-Isla>m. 74. Teks aslinya sebagai berikut:
‫انت مركب من جوهرين أحدهما مشكل مصور مكيف متحرك وساكن متجسد‬
،‫ يناله العقل‬،‫ والثانى مباين لألول فى هذه الصفات غير مشارك له فى حقيقة الذات‬،‫منقسم‬
،‫ ألن روحك من أمر ربك‬،‫ فقد جمعت من عالم الخلق ومن عالم األمر‬.‫ويعرض عنه الوهم‬
.‫وبدنك من خلق ربك‬
232
Mahmu>d Qa>sim, Fi> al-Nafs wa al-‘Aql, 75-76.
84

Aristoteles (384-322 SM). Dalam masalah terciptanya jiwa sesudah


atau sebelum raga, al-Fara>bi (260-339 H) dalam analisanya lebih
memilih pendapat Aristoteles: ‚Jiwa tidak boleh ada sebelum raga,
seperti pendapat Plato. Jiwa juga tidak boleh berpindah dari raga ke
raga, sebagaimana keyakinan reinkarnasi.‛233
Seorang pemikir Islam yang terkenal karena karya besarnya
tentang filsafat akhlak, yaitu Maskawaih234(320-421 H). Maskawaih
mengemukakan pandangannya tentang akhlak dengan mengkaji jiwa.
Menurutnya, metode untuk memperoleh akhlak adalah dengan terlebih
dahulu mengenal jiwa itu sendiri, apa daya atau fungsinya,
karakteristiknya, tujuannya, dan kesempurnaannya.235 Bagi
Maskawaih jiwa adalah esensi sederhana tidak dapat digapai oleh indra
yang ada. Jiwa bukanlah raga, bukan bagian raga, bukanlah salah satu
kondisi raga. Jiwa dengan esensinya, hukumnya, keistimewaanya, dan
aktivitasnya merupakan sesuatu yang lain yang terpisah dari raga. Jiwa
berasal dari esensi yang lebih tinggi, mulia, utama dari segala material
yang ada di jagat raya. 236 Maskawaih mengemukakan teori Plato (427-
347 SM) yang membagi daya jiwa menjadi tiga: daya fikir, emosi,
hasrat. Sebagaimana filosof sebelumnya, menurutnya jiwa itu satu,
hanya saja dayanya (fungsinya) banyak. Namun, Maskawaih tidak
terlalu panjang menjelaskannya, dengan alasan tidak sejalan dengan
tujuan penulisan bukunya.237

233
Abu Nas}r Al-Fara>bi, Majmu’ al-Rasa>il: ‘Uyu>n al-Masa>il (Cairo:
Maktabah al-Usrah, 2007), 141.
234
Dia adalah Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ya’qu>b, digelari Maskawaih,
dipanggil juga dengan Abu ‘A<li al-Kha>zin karena menjabat sebagai bendaharawan
pada dynasty Buwaihi. Maskawaih lahir di ‚Rai‛, berumur panjang dan meninggal di
Isfaha>n pada 420 H./ 1030 M. Karya Maskawaih mencakup ilmu kedokteran, sejarah,
akhlak, psikologi (ilmu jiwa), ilmu bahasa, sastra dan ilmu kuno (Yunani).
Maskawaih terkenal dengan aliran filsafat akhlaknya. Pemikirannya merupakan
campuran dari pemikiran Plato, Aristoteles, Claudius Galenus, dan hukum-hukum
syariah Islam. Hannya saja pengaruh Aristoteles sangat menonjol padanya. Lihat
Muh}ammad ‘Ustma>n Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah ‘Inda al-Ulama’ al-Muslimi>n,
73-74. Lihat juga Jama>l al-Di>n al-Qift}i>, Ikhba>r al-‘Ulama>’ bi Akhba>r al-Hukama>’,
217-218.
235
Muh}ammad ‘Ustma>n Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah, 75.
236
Abu ‘A<li> Maskawaih, Tahzi>b al-Akhla>q wa Tat}hi>r al-A’ra>q, Ed. Ibn al-
Khati>b (Cairo: Mat|baah al-Mas}riah, 1924), 13-15.
237
Abu ‘A<li> Maskawaih, Tahzi>b al-Akhla>q wa Tat}hi>r al-A’ra>q, 24.
85

Organisasi kaum terpelajar ekslusif dengan wawasan keilmuan


dan tujuan suci mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikenal
dengan sebutan Ikhwa>n al-S{afa>>238 memandang jiwa sebagai esensi
spriritual, ketuhanan, cahayawi, hidup dengan zatnya, berpotensi
keilmuan, aktif secara alami, dapat menerima pengajaran, aktif di
dalam material (raga), dipergunakan untuk material (raga), dapat
mengetahui forma (al-S{ur> ah) segala sesuatu.239 Menurut Ikhwa>n al-
S{afa> jiwa itu 15 tingkatan. Manusia hannya mengetaui 5 tingkat saja,
yaitu: jiwa tumbuhan, jiwa hewan, jiwa manusia, jiwa kebijaksanaan
(al-Milkiyah), jiwa kesucian (al-Nabawiyah). Tingkatan jiwa
selebihnya hanya Allah yang tahu. Jiwa manusia berada di tengah-
tengah antara lima jiwa ini. Jiwa manusia mengandung karakteristik
dua jiwa dibawahnya: jiwa tumbuhan dan hewan. Jiwa manusia
mampu naik sampai dua tingkat diatasnya: kebijaksanaan dan
kesucian, dengan cara konsisten berbuat baik, merenungkan ilmu
ketuhanan, naik tinggi ke aliran spiritual.240
Tak salah bila julukan ‚Shaikh al-Rai>s‛ diperoleh Ibn Si>na>
(370-428 H). Selain keilmuan Yunaninya lebih matang dari para
pendahulunya, ia menaruh perhatian besar terhadap\ kajian jiwa. Bisa

238
Ikhwa>n al-S{afa> wa Khulla>n al-Wafa> adalah organisasi rahasia didirikan
di Irak, sepertinya awalnya muncul dari Basrah, kemudian mempunyai cabang di
Irak, setelah itu cabangnya tersebar di seantero negeri muslim. Tidak diketahui
dengan pasti kapan organisasi ini muncul, namun Ikwa>n al-S}afa> mulai dikenal pada
abad ke-4 H. Sejarawan hanya mengenal 5 orang namanya, yaitu; Zaid ibn Rifa>’ah,
Abu Sulaima>n al-Maqdasi>, Abu Hasan ‘Ali> al-Zanja>ni>, Abu Ahmad al-Mihraja>ni>, dan
Abu H{asan al-Aufi>. Mereka berusaha untuk menyelaraskan filsafat Yunani dengan
syariat Islam. Menurut mereka, syariah telah dikotori oleh kebodohan, telah banyak
bercampur dengan kesesatan, satu-satunya cara untuk membersihkan dan
mensucikannya hanyalah dengan filsafat. Filsafat mengandung hikmah keyakinan
dan maslahat ijtihadiyah. Kesempurnaan akan terwujud bila filsafat dan syariah
bersatu. Akidah Ikhwa>n al-S{afa> diragukan, karena mereka banyak mengunakan
symbol-simbol. Dikatakan juga mereka kelompok Syiah Isma’iliyah. Lihat Fua>d
Ma’s}u>m, Ikhwa>n al-S{afa>: Falsafatuhum wa Ga>yatuhum (Suriah: Dar al-Madi>, 2002).
Lihat juga Jama>l al-Di>n al-Qift}i>. Ikhba>r al-‘Ulama>’ bi Akhba>r al-Hukama>’. 58-63.
239
Ikhwa>n al-S{afa>, Rasa>il Ikhwa>n al-S{afa> wa Khulla>n al-wafa>’ (Beiru>t: Da>r
al-S{a>dir, tt.), Vol. III, teks aslinya sebagai berikut:
‫ قابلة‬،‫ فعالة بالطبع‬،‫ عالمة بالقوة‬،‫ حية بذاتها‬،‫جوهرة روحانية سماوية نورانية‬
.‫ دراكة صور األشياء‬،‫ مستعملة لها‬،‫ فعالة فى األجسام‬،‫للتعاليم‬
240
Ikhwa>n al-S{afa, Rasa>il Ikhwa>n al-S{afa> wa Khulla>n al-wafa>’, Vol. III,
86

dikatakan, Ibn Si>na> filosof terdepan dalam mengkaji jiwa dari ulama
muslimin sebelum dan sesudahnya.241 Begitu banyak karyanya tentang
jiwa. Bagian ‚al-Shifa’‛242 tentang jiwa yang ditulis Ibn Si>na>
merupakan kajian jiwa terlengkap dalam filsafat Islam. Ibn Si>na>
banyak terpengaruh oleh al-Fa>ra>bi (260-339 H) dalam kajiannya. Ibn
Si>na mendefenisikan jiwa mengikut kepada Aristoteles (384-322
SM):243 ‚Penyempurna pertama bagi material alami mekanik yang
mempunyai potensi kehidupan‛. Penyempurna pertama maksudnya
yang menjadikan al-Nau’ (Species) benar-benar menjadi al-Nau’,
seperti bentuk bagi pedang. Sedangkan penyempurna kedua
merupakan fungsi dan tugas, seperti memotong bagi pedang, dan
mengindra bagi manusia. Bisa disimpulkan, yang dimaksud
penyempurna pertama adalah jiwa, dan penyempurna kedua adalah
kehidupan.244
Namun arti ‚penyempurna‛ (Kama>l) bagi Ibn Si>na (370-428 H)
lebih umum dari Aristoteles. Tidaklah setiap jiwa merupakan forma
(al-S{ur> ah) bagi material. Jiwa intelek terpisah (al-Mufa>riq) dari raga.
Jiwa bukanlah tercetak pada raga. 245 Jiwa merupakan esensi spiritual
karena dapat mengenal alam immaterial (al-Ma’qu>la>t) dan dapat
mengenal zatnya sendiri tanpa bantuan alat. Berbeda dengan indra luar
(panca indra) dan indra dalam yang mengenal dengan bantuan alat, dan
kedua jenis indra tersebut tak dapat mengenal zatnya sendiri. 246
Jadi, sekalipun jiwa merupakan forma bagi raga, namun jiwa
terpisah (al-Mufa>riq) dengan raga. pada akhirnya, dalam ‚al-Ishara>t wa

241
Mahmu>d Qa>sim, Fi al-Nafs wa al-‘Aql, 77.
242
Ibn Si>na>, Kitab al-Nafs: Fan al-Sa>dis min al-T{abi’iya>t (Beiru>t: M.A.I.D,
1988).
243
Muh}ammad ‘Ustma>n Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah, 117.
244
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na wa Mazhabuhu fi al-Nafs (Beiru>t: Da>r al-
Ahad, 1974), 64.
245
Muh}ammad Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah, 118.
246
Abu ‘Ali Ibn Si>na\, Al-Shifa>: al-T{abi’iya>t. (Beiru>t: M.A.I.D, 1988), 106.
Tek aslinya sebagai berikut:
‫ والربان كمال‬،‫ فان الملك كمال المدينة‬،‫كل صورة كمال فليس كل كمال صورة‬
‫ و ليسا بصورتين للمدينة والسفينة فما كان من الكمال مفارق الذات لم يكن بالحقيقة‬،‫السفينة‬
‫ والصورة التى هى فى المادة وهى الصورة المنطبعة فيها القائمة‬،‫صورة للمادة وفى المادة‬
‫بها‬
87

al-Tanbiha>t‛247 yang ditulis pada masa akhir hayatnya, Ibn Si>na> (370-
428 H) menegaskan bahwa jiwa adalah esensi spiritual, tanpa
menyebutkan jiwa adalah forma. Berbeda dengan karya sebelumnya,
‚al-Shifa‛ dan ‚al-Naja>h‛ yang terkadang menyebut forma dan
terkadang menyebut esensi.248 Sepertinya Ibn Si>na> dalam hubungan
jiwa dengan raga lebih memilih teori Plato (427-347 SM) yang lebih
dekat dengan ajaran Islam dengan beberapa koreksian,249 yaitu jiwa
hanyalah satu, tidak berbilang dan jiwa ha>dith, tercipta ketika raga
telah mempunyai potensi kehidupan, yang diberikan oleh intelek aktif
(al-‘Aql al-Fa’‘a>l) sang pemberi forma.
Hujjah al-Isla>m, pembela agama Islam dari serangan-serangan
pemikiran musuh yang merusak pada Islam dan umatnya ‚Abu H{amid
al-Ghaza>li>‛ (450-505 H) banyak terpengaruh dan bahkan turut
mengadopsi konsep kejiwaan aliran ‚Peripatetic‛ Yunani maupun
filosof muslim. Kajian al-Ghaza>li> tentang jiwa dapat dibagi ke dalam
dua kelompok. Pertama, kajian jiwa yang berkaitan dengan daya jiwa,
al-Ghaza>li> hanyalah meniru filosof muslim sebelumnya. Terutama Ibn
Si>na (370-428 H), bahkan bisa dikatakan hanya sebatas pengutip saja.
Hal ini dapat disimpulkan bila membandingkan ‚Ma‘a>rij al-Quds fi
Mada>rij Ma’rifah al-Nafs‛250 dengan ‚al-Naja>h‛ karya Ibn Si>na>. Oleh
karena itu, jiwa bagi Abu H{amid al-Ghaza>li> adalah penyempurna
material mekanik, meniru Aristoteles (384-322 SM). Kedua, kajian
jiwa yang berkaitan dengan pendidikan akhlak, al-Ghaza>li> berkreasi
dan berinovasi dalam bidang ini.251 Al-Ghaza>li> memberikan perhatian
besar untuk memkaji jiwa. Baginya, kajian jiwa merupakan sarana
mengenal Allah, mengenal jiwa merupakan kunci mengenal Allah.252

247
Abu ‘Ali Ibn Si>na, Al-Isha>ra>t wa al-Tanbi>ha>t, Ed. Sulaiman Dunya>
(Cairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1985), Cet. III.
248
‘Ali Arslan Aydi>n, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 253.
249
Mahmu>d Qa>sim, Fi> al-Nafs wa al-‘Aql , 153.
250
Abu Ha>mid al-Ghaza>li>, Ma ‘a>rij al-Quds fi Mada>rij Ma’rifah al-Nafs,
(Beiru>t: Da>ral-Kutub al-Ilmiyah, 1988).
251
Muh}ammad \Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah, 166.
252
Abu Ha>mid al-Ghaza>li>, Kimiya>’ al-Sa‘a>dah, Ed. Muh}ammad ‘Abd al-
‘Ali>m (Cairo: Maktabah al-Qur’a>n, 1987), 23-25. Lihat juga Abu Ha>mid al-Ghaza>li>,
Ma‘a>rij al-Quds fi> Mada>rij Ma’rifah al-Nafs, 32.
88

Filosof muslim dari negeri sebelah Barat, ‚Ibn Ba>jjah253(475-


533 H) menulis buku khusus tentang jiwa ‚Kita>b al-Nafs‛ seperti
Aristoteles (384-322 SM). Baginya, kajian jiwa merupakan
pendahuluan dan pengantar yang harus dikaji terlebih dahulu sebelum
memasuki ilmu yang lain, termasuk mengenal Allah Ta‘a>la>.254
Urgensitas dan keutamaan mengkaji ilmu jiwa dan bahkan untuk
mengenal Allah swt yang diungkapkan Ibn Ba>jjah sepertinya
terpengaruh oleh al-Ghaza>li> (450-505 H).255 Sementara pentingnya
mengkaji jiwa dalam mengkaji alam, sangat jelas terpengaruh oleh
Aristoteles (384-322 SM) yang tidak memisahkan kajian jiwa dengan
kajian makhluk hidup. Setidaknya tampak dalam pembagian daya jiwa
yang mengadopsi pembagian Aristoteles.
Pengaruh Ibn Rushd (520-595 H) begitu besar terhadap
pemikiran Eropa. Dari komentar-komentarnyalah Eropa mengenal
Aristoteles. Oleh karena itu, gelar komentator besar Aristoteles
dianugrahkan kepadanya. Ibn Rushd banyak mengenal karya
Aristoteles yang tidak dikenal filosof Timur (al-Mashriq).256 Ibn Rushd
seperti filosof Timur sebelumnya, menyatakan bahwa jiwa manusia
ha>dith seperti teori Aristoteles. Jiwa tercipta ketika material alami
mekanik telah mempunyai potensi untuk hidup, yaitu suatu kondisi
pencampuran sperma di rahim hingga siap menerima jiwa. 257
Ibn Rushd lebih Aristotelian, baginya jiwa manusia akan binasa
dan tidak kekal seperti pendapat Aristoteles. Jiwa manusia akan
hancur dan bersatu dengan jiwa universal. Jiwa Universal inilah yang
menurutnya kekal dan abadi. Sehingga, yang membedakan antara
personal manusia adalah material (al-Ma>dah) sedangkan bentuknya

253
Dia adalah Abu Bakr Muh}ammad ibn Yah}ya ibn S{aig al-Tajibi>, dikenal
dengan gelar Ibn Ba>jjah, yang berarti perak dalam bahasa Eropa barat. Sarjana Barat
mengenalnya dengan Avempace. Dia lahir di Saragoza (Saraqustah), negeri Andalus
(Spanyol) sekitar 475 H./ 1082 M. Dia dipercaya Abu Bakr ibn Ibrahi>m manjadi wali
Granada (Garna>t}ah), kemudian Saragoza. Sebelum invasi Alfonso I raja Aragon dia
pindah ke Fa>s, negeri daulah Mura>bit}in, dan meninggal disana pada 533 H./ 1138 M.
Ibn Ba>jjah merupakan tokoh filsafat, kedokteran, matematika, sastra, dan musik.
Lihat Jama>l al-Di>n al-Qift}i>, Ikhba>r ‘Ulama’ bi Akhba>r al-Hukama’, 265.
254
Abu Bakr Muh}ammad Ibn Ba>jjah al-Andalu>si>, Kita>b al-Nafs, Ed.
Muh}ammad S{agi>r H{asan al-Ma’s}u>mi> (Beiru>t: Da>r S{a>dir, 1991), 29.
255
Muh}ammad ‘Uthma>n Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah, 207.
256
Muh}ammad ‘Uthma>n Naja>ti>, Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah, 234.
257
Mahmu>d Qa>sim, Fi al-Nafs wa al-‘Aql, 150.
89

(al-Su>rah) sama dan menyatu. Oleh karena itu, dalam membaca karya
Ibn Rushd tentang jiwa, bila ia berbicara kekekalan jiwa berarti yang
dimaksud adalah jiwa alam semesta (jiwa universal), bila ia berbicara
jiwa binasa berarti yang dimaksud adalah jiwa manusia.258

258
Muh}ammad Qamar al-Daulah, Nus}us} al-Falsafiyah, 126.
90
BAB III

AKHIRAT DI MATA FILOSOF

A. Antara Teolog dan Filosof


Bila disebut filosof dan filsafat Islam, yang muncul tentunya:
al-Kindi> (185-252 H), al-Fa>ra>bi> (260-339 H), Ibn Si>na> (370-428 H),
Ibn Rushd (520-595 H) dan filsafat mereka. Bila disebut Teolog dan
‘Ilm al-Kala>m, yang mucul tentunya: al-Qa>di> ‘Abd al-Jabba>r (359-415
H), al-Ghaza>li> (455-505 H), Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H), Sa’d
al-Di>n al-Taftaza>ni> (722-792 H), berserta alirannya seperti Mu’tazilah,
Ash‘ariyah, Syi‘ah, dan lainnya. Seorang teolog sering kali disebut
filosof merangkap teolog, berbeda dengan filosof yang tak layak
menyandang gelar teolog. Bisa dirumuskan, setiap teolog biasanya
juga seorang filosof dan tidak sebaliknya. Karena pada kenyataanya
teolog turut berfilsafat, memakai filsafat melawan filsafat.
Apakah dan siapakah itu filosof dan filsafat Islam yang
sebenarnya? Baik penulis muslim maupun peneliti Barat dengan jelas
menyimpulkan bahwa filsafat Islam adalah filsafat Yunani kuno dan
Helenisme kuno yang diselaraskan dengan agama Islam. Filosof
muslim adalah orang-orang yang berwawasan Yunani dan berusaha
menyelaraskan antara ilmu Yunani dengan agama yang diyakininya.1
Semua peneliti membatasi pemikiran filsafat Islam hannya pada satu
bagian, yaitu filsafat Islam dengan metodologi Yunani. Filsafat Islam
yang bermula ketika dilakukannya transformasi keilmuan Yunani:
filsafat, matematika, kedokteran, kimia, astrologi, dan lainnya ke
dunia Islam melalui gerakan penerjemahan yang digalakkan khilafah
‘Abbasiyah. 2

1
‘Ali Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi> al-Isla>m (Cairo: Da>r al-
Sala>m, 2008), Vol. I, 37.
2
Khilafah Bani Abbasiyah adalah kekhilafahan ke-3 dalam sejarah Islam,
setelah al-Ra>shi>di>n dan Bani Umayyah. Didirikan oleh Abu ‘Abba>s al-Safah pada
132 H./ 750 M. dengan Irak sebagai ibukotanya. Al-Mu’tas}im bi Allah khalifah
terakhirnya, hancur oleh serangan bangsa Mongol (Tata>r) dibawah pinpinan Jengis
Khan pada 656 H/ 1258 M Lihat Jala>l al-Di>n al-Sayu>t}i>, Tari>kh al-Khulafa’ (Beiru>t:
Da>r Ibn H{azm, 2003), 204.
91
92

Pada awal tahun 40-an abad ini, seorang guru besar filsafat
Islam pertama: Mus}t}afa> ‘Abd al-Ra>ziq3 (1885-1947 M) datang
membawa gagasan baru. Menurut Grand Shaikh al-Azhar yang pernah
menjadi tenaga pengajar di Sorbone University Prancis ini menyatakan
bahwa filsafat Islam adalah ilmu kalam, filsafatnya al-Fa>ra>bi> (260-339
H) dan Ibn Si>na> (370-428 H), bukanlah filsafat Islam yang sebenarnya,
tapi filsafat Yunani yang diislamkan. Filsafat Islam bukan hanya
filsafat Peripatetic Yunani saja, tapi juga mencakup ilmu al-Kalam,
Tasawwuf, dan bahkan Usul al-Fiqh. 4
Pemikiran Mustafa ‘Abd al-Ra>ziq ini cukup besar pengaruhnya
terhadap penulis-penulis filsafat Islam sesudahnya. Banyak karya-
karya dengan label filsafat Islam yang justru isinya Ilmu al-Kalam.
Pendukung utama pemikiran Mustafa> ‘Abd al-Ra>ziq adalah muridnya
sendiri, ‘Ali Sa>mi> al-Nashsha>r5 (1917-1980 M) dalam bukunya
‚Nash’ah al-Fikr al-Falsafi> fi> al-Isla>m‛. Bahkan ia memasukkan ilmu

3
Dia adalah Mustafa ‘Abd al-Ra>ziq pembaharu filsafat Islam di era modern,
penulis pertama sejarah filsafat Islam dengan bahasa Arab di era modern, penggagas
ajaran filsafat Arab yang didirikan diatas agama Islam. Ia lahir di al-Minya>, Mesir
pada 24 Rabiul Awal 1304 H/ 1985 M dari keluarga kaya. Ayahnya pendiri Koran
‚al-Jari>dah‛ dan pendiri partai ‚Hizb al-Ummah‛. Dia hafal al-Quran semenjak kecil
dan mengecap pendidikan di al-Azhar, disanalah ia bertemu dengan Imam
Muhammad ‘Abduh. Dia pernah menjadi tenaga pengajar ‚ Us}u>l Shari‘ah al-
Isla>miyah, di Sorbone University dan Lion university di Prancis. Dia pernah
menjabat menteri perwaqafan sebanyak 8 kali, Guru besar Filsafat Islam Universitas
Cairo, dan terakhir Grand Syaikh al-Azhar. Mustafa ‘Abd al-Razza>q wafat pada 15
Februari 1947. Lihat Khair al-Di>n al-Zirikli>, Al-A’la>m, Vol. VII, 231.
4
Must}afa> ‘Abd al-Ra>ziq, Tamhi>d li Ta>ri>kh al-Falsafah al-Isla>miyah (Cairo:
Maktabah al-Usrah, 2007), 31.
5
Dia adalah ‘Ali Sa>mi al-Nashsha>r, Lahir di Cairo pada 19 Januari 1917,
kemudian keluarganya pindah ke kampungnya di Dimyat}. Dia menempuh pendidikan
di Fakultas Adab Universitas Cairo. Disanalah ia belajar filsafat dari guru-guru
filsafat dan guru orientalis seperti Andre Lalande. Tesisnya dengan judul ‚ Mana>hij
al-Bah}th ‘inda Mufakkiri al-Isla>m wa Naqd al-Muslimi>n li al-Mantiq Arist}u>t}a>lis‛
dibawah bimbingan Mustafa ‘Abd al-Ra>ziq. Gelar doktoral diperolehnya di
Cambridge University dibawah bimbingan Arthur John Arberry. Lihat profilnya
dalam ‘Ali Sa>mi al-Nashsha>r, Mana>hij al-Bah}th inda al-Mufakkiri> al-Isla>m (Cairo:
Da>r al-Sala>m, 2007), 316-317.
93

sosial atau filsafat politik, filsafat sejarah, dan filsafat al-Nahw


(bahasa) termasuk ke dalam kategori filsafat Islam.6
Filsafat Yunani tersebar di dunia Islam, sebagian muslimin
mengikutinya, muncullah al-Kindi> (185-252 H), al-Fara>bi> (260-339 H),
Ibn Si>na> (370-428 H) dan lainnya. Kontribusi mereka lebih identik
dengan para komentator belaka. Mu’tazilah sebagai teolog pertama,
telah menyadari adanya jurang pemisah yang dalam antara unsur-unsur
filsafat Yunani dengan akidah Islam. Secepatnya terjadilah
perselisihan antara teolog dan filosof, kemudian teolog mengadopsi
filsafat Yunani itu sendiri. Perselisihan antara keduanya terus
membara, apinya tak kunjung padam. Ketika terbentuk aliran
Ash‘ariyah yang mempresentasikan Islam, tokoh-tokoh besarnya
seperti al-Ba>qila>ni>7 (328-402 H), Ima>m al-H{aramain al-Juwaini>8 (419-

6
‘Ali Sa>mi al-Nashsha>r, Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, 47-48.
7
Dia adalah al-Qa>d}i Abu Bakr Muhammad ibn al-T{ayyib ibn Muh}ammad
ibn Ja’far ibn Qa>sim, al-Bas}ri, al-Bagda>di>, Ibn al-Ba>qila>ni (328-402 H), (950-1013
M). Dia digelari juga dengan ‚Saif al-Sunnah‛ dan ‚Lisa>n al-Ummah‛. Teolog
dengan lidah Ahl al-Hadis dan aliran Abu al-H{asan al-‘Ash‘ari>. Tidak ada riwayat
pasti kelahirannya, namun ia dinisbatkan ke Basrah kemudian pindah ke Bagda>d,
disanalah ia menuntut ilmu. Dia belajar ilmu dialektika ( al-Naz}r) dari ‘Abd Allah ibn
Muja>hid al-T{a>i> sahabat al-Ash‘ari>. Dia seorang tokoh besar teolog As‘ari>, banyak
karyanya yang ditulisnya untuk melawan aliran melenceng dari ajaran Islam, seperti
al-Ra>fida}ah, al-Mu’tazilah, al-Jahmiyah, al-Khawa>rij dan lainnya. Lihat profilnya
dalam: Abu Bakr al-Ba>qila>ni>, Tamhi>d al-Awa>il wa Talkhi>s al-Dala>il, Ed. ‘Ima>d al-
Di>n Ahmad H{aidar (Beiru>t: Muassasah al-Kutub al-Thaqa>fiyah, 1987), 9-21.
8
Dia adalah ‘Abd al-Malik ibn ‘Abd Allah ibn Yu>suf ibn ibn Muhammad
ibn Juwaih, al-Juwaini>, al-Sinbasi>, al-T{a>i>, al-Naisa>bu>ri>, al-Sha>fi‘i>. Digelari dengan
abu al-Ma‘a>li, digelari juga dengan Imam al-H{aramain, D{iya’ al-Di>n dan Fakhr al-
Isla>m. Lahir di Naisabu>r 419 H. Tumbuh dalam keluarga yang taat dan saleh,
ayahnya imam tafsir, fiqih, adab, dan mengajar fiqih disebuah sekolah di Naisabu>r.
Awalnya ia Berjaya di Naisabu>r dan sekitarnya, kemudian gaungnya sampai ke Irak,
Sha>m, Hija>z dan Mesir. Namun dia mendapat beberapa masalah (konflik), hingga
harus meninggalkan Naisabur, dan pindah ke Bagdad, kemudian Hija>z, dan Makkah.
Setelah perjalanan panjang menuntut dan menebar ilmu, dia tertimpa sakit dan pergi
ke Bushtiqa>n untuk berobat, dan bertambah parah hingga meninggal di sana pada
478 H. Lihat profilnya Ibrahi>m al-Fazza>wi> ibn al-Firka>h} al-Shafi‘i>, Sharh} al-Waraqa>t
li Ima>m al-H{aramain al-Juwaini, Ed. Sa>rah Sha>fi> al-Ha>jiri> (Kuwait: Da>r al-Bashsha>ir
al-Isla>miyah, 1997 H). Lihat Ashraf H{arfu>sh, Falsafah al-Kala>m ‘inda Ima>m al-
H{aramain al-Juwaini (Damaskus: al-H{ismah, 1994), 7-24.
94

478 H) dan lainnya, berdiri tegak mengikuti jejak pendahulunya


berdebat melawan filosof. Sampailah puncak perdebatan ketika Abu>
H{amid al-Ghaza>li> (450-505 H) mengkampanyekan pengkafiran filosof
muslim atas nama Islam.9
Islam telah meletakkan dengan jelas dasar-dasar metafisika (al-
Ghaibiya>t), tidak ada celah bagi akal untuk berijtihad dalam berbagai
sisinya. Ajaran metafisika telah diletakkan dengan sempurna.
Sementara filsafat Yunani membahas segala hal yang ada dari sisi
keberadaanya, dan berusaha menafsirkan sebatas kemampuan. Filosof
muslim mendapatkan filsafat Yunani, mempelajarinya, dan menulis
karya-karya filsafat. Namun, yang didapatkan dari karya-karya mereka
bukanlah barang baru. Karya mereka hanyalah campur aduk dan
tumpang tindih filsafat Peripatetic, Platonism, Neo-Platonism disertai
usaha yang sering kali gagal dalam menyelaraskan filsafat-filsafat
tersebut dengan pemikiran Islam.10
Ciri khas filsafat yang disebut dengan ‚filsafat Islam‛ tersebut
adalah kemiripannya dengan filsafat Yunani, dengan beberapa
perbedaan yang tak berarti, yang tak menyubah esensi filsafat
Helenisme Yunani. Filsafat mereka hanyalah perluasan dan
perpanjangan filsafat Yunani kuno. Mereka merupakan pusat-pusat
kajian Yunani yang berada di dunia Islam. Islam tidak menerima dan
menolak filsafat Yunani. Islam memandangnya sebagai infiltrasi asing
ke dalam peradaban Islam.11
Ernest Renan (1823-1892 M.) menyatakan bahwa yang
menerima filsafat Yunani adalah para pemikir muslim, bukan
muslimin. Pemikir muslim menerimanya dengan tangan terbuka,
bahkan hampir sempurna, tanpa ada kreasi yang berarti. Namun,
Ernest Renan juga menyadari kejeniusan dan orisinalitas filsafat Islam
yang berada pada ‘Ilm al-Kala>m: ‚Identitas Arab dan kejeniusannya
yang sebenarnya hanya ditemukan pada aliran-aliran Islam
keagamaan‛. Dengan berpengang pada al-Quran dan al-Sunnah, teolog
meletakkan dasar-dasar metafisika berlawanan dengan metafisika
Yunani. Teolog memerangi filsafat Yunani, terbentuklah aliran filsafat
dalam setiap lini yang digeluti Yunani: Allah, esensi, wuju>d,

9
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 225.
10
‘Ali Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, Vol. I, 40.
11
‘Ali Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, Vol. I, 40.
95

kausalitas, gerak, ruang berisi, ruang hampa.. dst. Teolog punya


pemahaman keislaman tersendiri.12
‘Ilm al-Kalam merupakan produk filsafat murni muslimin. Tak
diragukan lagi, muslimin berada di tengah-tengah filsafat dan
dihadapan serangan filosofis dari berbagai agama, akidah-akidah
filosofis yang beragam, aliran filsafat Timur yang tersebar di negeri
yang ditaklukkan. Terutama dalam menghadapi serangan uskup-uskup
gereja, yang berbicara tentang karakteristik ‚Jesus‛ dan ‚firman‛
dalam kitab-kitab muslimin. Harus diakui, teolog mengadopsi
beberapa pemikiran filsafat asing secara parsial, namun tidak
mengubah esensi ‘Ilmu al-Kala>m secara umum.13
Tasawwuf merupakan filsafat akhlak murni muslimin.
Berpegang kepada al-Quran dan al-Sunnah, pada awalnya berbentuk
hidup zuhud, dari sinilah dibangun filsafat akhlak Islam. Namun akibat
pengaruh filsafat yang ada, sebagian sufi mulai membahas metafisika
perspektif Yunani. Akhirnya sebagian sufi mengadopsi ajaran ‚Weda‛
India, ‚Illuminati‛ Persia, berpegang pada teori emanasi Plotinus (205-
270 M), terpengaruh Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322
SM), kemudian mereka juga menemukan ajaran penting dalam aliran
Hermesianism,14 yang berujung pada lahirnya berbagai akidah seperti
H{ulu>l dan Wih}dah al-Wuju>d.15
Us}ul> al-Fiqh merupakan filsafat hukum (Falsafah al-
Tashri>‘i>yah) murni muslimin. Logika Ushu>l al-Fiqh setara dengan
logika Aristoteles. Kaidahnya diletakkan oleh sebagian sahabat, ketika
berbicara tentang kritik hadis dan analogi (qiya>s). Kemudian Tabi‘i>n

12
‘Ali Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, Vol. I, 43-44.
13
‘Ali Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, Vol. I, 40.
14
Hermensianism merupakan pengikut Hermes. Dalam literatur Islam
Hermes disebut sebagai nabi Idris as. Mungkin karena banyak peninggalannya yang
sangat dekat dengan kisah nabi Idris berikut ajarannya. Sedangkan dalam literatur
Yunani, Hermes dikenal sebagai salah satu dewa. Herodotus menuliskan bahwa
nama-nama dewa Yunani datang dari Mesir. Sepertinya ajaran Hermes disampaikan
secara lisan pada penyikutnya, namun tulisan tentang ajaran ini baru di mulai di
Alexandria pada abad I atau II Masehi. Manuskrip yang diperoleh telah tercampur
dengan pengaruh filsafat Yunani di Alexandria ketika itu. Lihat Mustafa> al-
Nashsha>r, Madrasah al-Iskandariyah al-Falsafiyah baina Tura>th al-Sharqi> wa
Falsafah al-Yuna>niyah, 111-118.
15
Ali Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, Vol. I, 45.
96

menambahkan berbagai unsur ke dalamnya. Imam al-Shafi‘i>16 (150-


204 H) dan murid-muridnya mengonsepnya dengan bentuk yang
sempurna.17 Kemudian diadopsi oleh Mu’tazilah dan ‘Ash‘ariyah.
Mereka tidak hanya mengadopsi analogi (qiya>s) Aristoteles, tapi
mampu mengembangkannya dengan cemerlang, menjadi metodologi
eksperimental yang baru, yang ditemukan Eropa dikemudian hari di
era Modern.18
Islam telah meletakkan dalam al-Quran dan hadis teori umum
tentang politik, ima>mah, atau khilafah. Muslimin berbeda pendapat
dalam penafsirannya. Akibatnya muncullah perang berdarah, dan
terbentukkan partai (aliran) politik. Setiap kelompok menggunakan
gaya yang berbeda dalam mengekspresikan alirannya. Pada akhirnya
muncullah ilmu sosial. Lahirnya filsafat politik muslimin dikemudian
hari, yang setara dengan filsafat politik Yunani dan Persia yang
dibawa para penerjemah. Sehingga ada dua filsafat potitik di dunia
Islam, yang murni dan yang telah disesuaikan dengan peradaban lain.19
Tak semua kalangan menerima penyamaan teolog dan filosof.
Ahmad Fuad al-Ahwa>ni> (1908-1970 M) menunjukkan sikap kontra
terhadap gagasan Mustafa ‘Abd al-Ra>ziq (1885-1947 M) dan
alirannya.20 Ada problema yang harus diluruskan. Apakah benar
filsafat Islam yang sebenarnya adalah ‘Ilm al-Kala>m? Ataukah filsafat
Islam satu disiplin ilmu, dan ‘Ilm al-Kala>m disiplin ilmu lain yang
jelas-jelas berbeda? Ataukah ‘Ilm al-Kala>m merupakan cabang dari

16
Dia adalah Abu ‘Abd Allah ibn Muhammad ibn Idri>s al-Shafi‘i>, tokoh Ahl
al-Sunnah wa al-Jama>‘ah terkemuka, Imam Mazhab fiqih, pencetus ilmu Us}u>l al-
Fiqh. Dia lahir di Gaza, Palestina pada 150 H/ 766 M. Ayahnya meninggal diwaktu
kecil, dan ia dibawa ibunya ke Makkah, tumbuh dan belajar disana. Ia hafal al-
Muwat}t}a’ di umur sepuluh tahun. Dia belajar kepada Ima>m al-Malik di Madinah
sampai wafatnya, kemudian pindah ke Yaman, ke Irak belajar fiqih Hanafi, dan
terakhir ke Mesir. Di Iraklah dia mulai menulis buku dengan ‚ Qaul al-Qadi>m‛
sehingga digelari Na>s{ir al-Sunnah dan diperbaharuinya di Mesir ‚Qaul al-jadi>d‛.
Shafi‘i> meninggal di Mesir pada Rajab 204 H. Lihat ‘Abd al-H{ali>m al-Jundi>, Ima>m
al-Sha>fi‘i>: Na>s}ir al-Sunnah, Wa>d}i’ al-Us}u>l (Cairo:Da>r al-Ma‘a>rif, 1994), Cet. IV.
17
Mustafa> ‘Abd al-Ra>ziq, Tamhi>d li Ta>rikh al-Falsafah al-Islamiyah, 80,
236-252.
18
Ali Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, Vol. I, 46.
19
Ali Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m, Vol. I, 47.
20
Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>, Al-Falsafah al-Isla>miyah (Cairo: al-Hai’ah al-
Masriyah al-‘A<mah li al-Kutub, 1985), 18.
97

filsafat? Menurutnya, ‘Ilm al-Kala>m tidak sama dengan filsafat.


Filsafat merupakan kajian tentang alam dan manusia. Sedangkan ‘Ilm
al-Kala>m adalah ilmu memperkokoh akidah-akidah keagamaan dengan
argumentasi rasionalis.
Ahmad Fuad al-Ahwa>ni (1908-1970 M) mengakui, memang
banyak pakar filsafat yang menyamakan antara filosof dan teolog.
Namun, menurutnya penyamaan itu tidaklah tepat dengan berbagai
alasan. Pertama, karena adanya perbedaan mendasar pada landasan
utama dan metodologi yang digunakan. ‘Ilm al-Kala>m berlandaskan
agama, ‘Ilm al-Kala>m merupakan ilmu agama, setara dengan ilmu
teologi Kristen pada waktu itu. Sekalipun dengan beberapa perbedaan
dalam kedua ilmu tersebut. Tidak diragukan lagi, filsafat merupakan
kajian yang berbeda dengan kalam dan teologi. Filsafat menggunakan
metodologi argumentatif rasionalis, sedangkan ‘Ilm al-Kalam
menggunakan metodologi dialektik (debat).‛21
Kedua, ‘Ilm al-Kala>m dan filsafat berbeda dari segi objek
bahasan. Objek kajian ‘Ilm al-Kala>m adalah Allah dan sifatnya serta
hubungannya dengan alam dan manusia. Sedangkan objek kajian
filsafat adalah membahas segala yang ada dari sisi keberadaannya.
Tidak masalah bila seorang filosof dalam pemikirannya berakhir
dengan menetapkan adanya penyebab pertama alam semesta ini, yaitu
Allah. Atau penggerak pertama seperti pemikiran Aristoteles (384-322
SM), dan Allah disebut dengan penggerak alam semesta yang tak
bergerak. Tidak sedikit pula filosof naturalis pemikirannya berujung
mengingkari adanya Tuhan. Alam semesta qadi>m dan bergerak dengan
sendirinya.22
Objek dasar kajian ‘Ilm al-Kalam adalah Allah dan sifatnya,
dan hubungannya dengan alam dan manusia yang hidup di muka bumi
sesuai dengan tuntunan syariah yang diturunkan dalam kitab suci.
Teolog menerima akidah Islam apa adanya dari al-Quran tanpa ada
yang diragukan lagi, seperti eksistensi Allah, keesaan-Nya, keadilan-
Nya, akhirat dan kemudian berusaha untuk menguatkannya dengan
argumentasi rasionalis. Perbedaan yang sangat besar, antara orang
yang menempuh medan pemikiran yang bebas dari pemikiran
sebelumnya, dengan orang yang menempuh medan pemikiran yang

21
Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>, Al-Falsafah al-Isla>miyah, 19.
22
Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>, Al-Falsafah al-Isla>miyah, 19.
98

terikat dengan pemikiran sebelumnya, yang tak dapat ditembus kecuali


dengan upaya pentakwilan.23
Ketiga, istilah filosof sendiri dipakaikan dengan jelas bahwa
dia seorang yang berwawasan Yunani, dengan segala disiplin ilmunya.
Kata filsafat merupakan infiltrasi bahasa asing ke dalam bahasa Arab.
Jama>l al-Di>n al-Qift}i24
> (568-646 H) dalam ‚Ikhba>r al-‘Ulama’ bi
Akhba>r al-H{ukama’‛ menyatakan bahwa ‚Oleh karena Aristoteles
muncullah banyak filsafat dan ilmu-ilmu kuno lainnya di dunia
Islam.‛25
Kajian tentang Tuhan (al-Ila>hiya>t) adalah mahkota dari kajian
filsafat Yunani, bukan segala-galanya. Pada dasarnya filosof adalah
seorang dokter, matematikawan, ahli kimia, ahli fisika, astronomi,
bootani, zoologi, dan disiplin ilmu lainnya yang turut serta bersama
filsafat. Sementara ‚al-Kala>m‛ bahasa Arab, tidak ada yang
meragukan ‘Ilm al-Kala>m orisinal milik Arab. Pada awalnya tumbuh
dari perdebatan antara Hana>bilah,26 Mu’tazilah dan Ash‘ariyah tentang
al-Quran, apakah qadi>m atau makhluk? Permasalahan yang hangat
diperdebatkan pada masa khilafah Abbasiyah.27
Pro kontra seputar penyamaan ‘Ilm al-Kala>m dengan filsafat
Islam tak kunjung selesai, keduanya mempunyai pendukung masing-
masing. Perbedaan pandangan sebenarnya timbul dari pemahaman
mereka terhadap kata filsafat itu sendiri. Ahmad Fuad al-Ahwa>ni>

23
Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>, Al-Falsafah al-Isla>miyah, 20.
24
Dia adalah Jama>l al-Di>n Abu al-H{usain ‘Ali ibn Yu>suf ibn Ibra>hi>m al-
Shaiba>ni> al-Qift}i> al-Misri>, seorang sejarawan dan dokter Arab (568-646 H), (1172-
1248 M). Lahir di Qift} (S{a‘i>d, Mesir) dan tinggal di H{alab. Dia diangkat menjadi
Qa>d}i> oleh al-Z{a>hir, dan diangkat menjadi menteri oleh al-‘Azi>z, dan digelari ‚Wazi>r
al-Akram‛ (Menteri yang mulia). Ia lapang dada dan rendah hati, suka mengoleksi
buku, perpustakaannya senilai 50.000 Dinar, tidak ada yang ia cintai di dunia ini
selain buku-bukunya itu. Dia tidak punya rumah dan tidak beristri dan meninggal di
H{alab. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol. 23, 227.
25
Jama>l al-Di>n al-Qift}i>, Ikhba>r al-‘Ulama’ bi Akhba>r al-H{ukama’, 22.
26
Hana>bilah adalah pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal, imam mazhab Ahl
al-H{adi>th. Pada awalnya hanyalah mazhab fiqih berpegang pada Imam Ahmad ibn
H{anbal, namun kemudian hari berkembang menjadi aliran teologis tentang Asma>’
dan S{ifa>t terutama masalah makhluknya al-Quran. Aliran ini merupakan genre aliran
salafi yang berpegang kuat pada teks dan menolak penguasaan akal dalam urusan
agama. Lihat Muhammad ‘Ima>rah, Tayyara> al-Fikr al-Isla>mi>, 130-132.
27
Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>, Al-Falsafah al-Isla>miyah, 20-21.
99

(1908-1970 M) yang memandang filsafat sebagai peradaban asing


Yunani sama dengan pandangan Abu Qa>sim S{a>‘id al-Andalu>si>28 (420-
462 H) dalam ‚T{ab> iqa>t al-Umam‛ menyatakan bahwa ‚Belum ada
dalam Islam yang dikenal sebagai ahli filsafat hingga disebut seorang
filosof selain Ya’qu>b ibn Isha>q al-Kindi>.‛29
Pemakaian gelar ‚Filosof‛ pertama kali untuk al-Kindi> (185-
252 H) tak ada yang menyangsikan. Arab mempunyai padanan kata
filosof, yaitu ‚al-H{aki>m‛ atau ‚al-H{ukama’‛. Istilah al-H{ukama’ dan
Fala>sifah bersinonim dalam literatur Islam. Namun, S{a‘id al-Andalu>si>
(420-462 H) juga turut menafikan sebutan orang bijak (al-H{aki>m)
pada Arab jahiliyah sebelum Islam: ‚Adapun seluruh suku Arab pada
masa jahiliyah……..belum ada diantara mereka seorang berilmupun
(al-A<lim) yang disebut, dan orang bijak (al-H{aki>m) yang terkenal.‛30
Yang dimaksud dengan orang alim dan bijak oleh S{a>‘id al-
Andalusi> adalah orang yang mengusai filsafat dengan berbagai disiplin
ilmu yang turut ikut bersamanya, terutama kedokteran yang sangat
dibutuhkan Arab. Bahkan menurutnya, susah mencari dokter asli Arab
di zaman Nabi saw.31 Begitulah kondisi keilmuan sampai pada masa
Bani Umayyah.32 Keilmuan baru menggeliat semenjak Khalifah II
Bani Abbasiyah ‚Abu Ja’far al-Mansu>r‛ (95-158 H), dan puncaknya

28
Dia adalah seorang faqih, ilmuan, sejarawan, dan juga hakim. Nama
lengkapnya Abu al-Qa>sim S{a>id ibn Ahmad ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muhammad ibn
S{a’id al-Tagli>bi>. Berasal dari kabilah Tagallub yang datang pada penaklukan Islam
ke Andalus. Lahir di Mariah 420 H/ 1029 M. T{abiqa>t al-Umam merupakan buku ke
empat, tiga buku pertama ‚H{araka>>t al-Nuju>m wa al-Kawa>kib‛, ‚Diyana>t wa al-
Mu’taqida>t wa al-Firaq al-Islamiyah wa gair al-Isla>miyah‛, ‚Jawa>mi’ al-Akhba>r al-
Arab wa al-‘Ajam‛ tak ditemukan lagi. S{a‘id meninggal pada 460 H/1070 M. Lihat
H{ayah ‘I<d bu ‘Ilwa>n, Tabiqa>t al-Umam: Dira>sah wa Tahqi>q (Beiru>t: American
University, 1983), 40-45.
29
Abu al-Qa>sim S{a>‘id al-Andalu>si>, T{abiqa>t al-Umam, Ed. Saint Louis
Jesuit Shaikha (Beiru>t: Maktabah al-Kathu>likiyah li Aba>’ al-Yasu>‘i>yi>n, 1912), 52.
30
Abu al-Qa>sim S{a> ‘id al-Andalu>si>, T{abiqa>t al-Umam, 42.
31
Abu al-Qa>sim S{a> ‘id al-Andalu>si>, T{abiqa>t al-Umam, 47.
32
Khilafah Bani Ummayyah adalah kekhilafahan kedua setelah al-Rashi>di>n.
Bermula dari akad perdamaian yang disepakati antara H{asan Ibn ‘Ali dengan
Mu‘awiyah pada tahun 41 H/662 M yang dikenal dengan tahun al-Jama>‘ah.
Damaskus dipilih sebagai Ibu kota, Bani Umayyah berakhir dengan pembersihan
yang dilakukan Abu Abbas al-Saffa>h{ pada 132 H/ 750 M. Lihat Jala>l al-Di>n al-
Sayu>ti>, Tari>kh al-Kulafa’, 155.
100

pada khalifah VII ‚al-Ma’mu>n‛ (170-218 H), dengan kepiawaian


diplomatiknya, mengirim hadiah besar kepada kaisar Romawi Timur,
dan meminta kaisar membalasnya dengan buku-buku filsafat Plato
(427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Plotinus (205-270 M),
Galenus (129-200 M) dan lainnya. Kemudian terbentuklah gerakan
penerjemahan besar-besaran, terjadilah transformasi keilmuan Yunani,
yang berujung dengan apa yang disebut dengan malapetaka Yunani
(al-Fitnah al-Yuna>niyah).33
Sebaliknya, Mustafa ‘Abd al-Ra>ziq (1885-1947 M)
memandang filsafat dengan pemahaman yang lebih luas, filsafat
sebagai sebuah pemikiran, inovasi dan kreasi akal yang rapi, sama
dengan pandangan al-Shahrasata>ni>34 (479-548 H) yang memandang
filsafat bukan dalam artian sempit, yang terbatas pada peradaban
Yunani saja. 35Al-Shahrasata>ni dengan jelas menyatakan adanya
Hukama’ Arab, walaupun jumlahnya sedikit. Al-Shahrasata>ni juga
dengan jelas menyetarakan antara teolog dan filosof. 36
Ibn Khaldu>n37 (732-808 H) juga berpemikiran sama, filsafat
bukanlah domain Yunani, tapi milik seluruh bangsa yang berkreasi dan
berinovasi: ‚Adapun ilmu akal yang merupakan pembawaan alami

33
Abu al-Qa>sim S{a> ‘id al-Andalu>si>, T{abiqa>t al-Umam, 47.
34
Dia adalah Muhammad ibn ‘Abd al-Kari>m ibn Ahmad, digelari abu al-
Fath}, dan popular dikenal dengan ‚al-Shahrasata>ni>‛, tempat kelahirannya di daerah
Khurasan pada 479 H/ 1086 M. Tokoh besar As‘ariyah di zamannya, bermazhab
fiqih al-Shafi‘i>. Karyanya yang paling populer adalah ‚ al-Milal wa al-Nih}al‛ dan
‚Niha>yah al-Iqda>m‛. Ia wafat pada 548 H/ 1153 M Lihat profilnya dalam Abu al-
Fath} al-Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, Vol. I, 11-15.
35
Abu al-Fath} al-Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, Vol I, 372-373.
36
Abu al-Fath} al-Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, Vol II, 305.
37
Dia adalah Abu Zaid ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muhammad ibn Khildu>n al-
H{adrami>. Lahir pada 1 Ramad}a>n 732 H/ 27 Mei 1332 M di Tunisia tepatnya di Da>r
al-Ka>inah dan meninggal pada 28 Ramad}a>n 808 H/ 19 Maret 1406 M di Cairo.
Khildu>n merupakan satu kabilah Arab yang turut dalam ekspansi Islam ke Andalusia,
dan menetap di Sevilla (Ashbelia), kemudian pindah ke Tunisia akibat pembersihan
yang dilakukan pasukan salib. Ibn Khaldu>n seorang ahli astronomi, ekonomi,
sejarawan, faqih, ha>fiz}, matematikawan, ahli strategi militer, filosof, pejabat negara,
dan peletak ilmu sosial. Lihat profilnya dalam T{ah}a> Husain, Falsafah ibn Khaldu>n al-
Ijtima>‘iyah: Tahli>l wa Naqd (Cairo: Maktabah al-I’tima>d, 1925), 9-22.
101

manusia, dari sisi manusia itu berfikir, tidaklah dimonopoli oleh satu
golongan (al-Milah).‛38
Mendefenisikan filsafat sebagai sebuah ilmu, sulit dan bahkan
mustahil. Karena objek kajian filsafat berbeda dari masa ke masa. Pada
satu waktu, filsafat mempunyai objek kajian yang sesuai dengan spirit
zamannya. Bahkan di waktu yang sama, objek kajian filsafat dapat
beragam, sesuai dengan kecendrungan pemikiran dan berbagai faktor
yang mempengaruhi seorang filosof untuk membahas objek tertentu.39
Era pra Socrates (470-399 SM) berbeda dengan masa setelahnya.
Begitu juga filsafat era Helenisme, dan era abad pertengahan.
Alasan Ah}mad Fua>d al-Ahwani> (1908-1970 M) yang
membedakan teolog dan filosof melihat dari objek kajiannya tidaklah
tepat. Baik filosof maupun teolog telah disatukan oleh satu objek yang
sama, yaitu ketuhanan, akhirat, metafisika pembalasan amal
perbuatan. Baik teolog maupun filosof sama-sama berfilsafat
mempertahankan argument masing-masing. Ditambah lagi, istilah
filosof telah dipakai secara luas, cukup misalnya penyebutan Ibn
Taymiyah (661-728 H) yang anti filsafat dengan sebutan ‚Filosof
salafi‛ yang mengeluarkan salafi dari kungkungan teks kepada filsafat
teks.40
Tidak diragukan, filsafat datang dari wawasan keyunanian, dan
‘Ilm al-Kala>m datang dari wawasan al-Quran dan al-Sunnah. Bila
dilihat dari sejarah filsafat dan ‘Ilm al-Kalam di dunia Islam, dapat
dibagi menjadi dua fase:
1. Fase Disintegrasi
Fase ini bermula dipenghujung abad ke-2 Hijriyah dan awal
abad ke-3. Pada masa ini, filosof dan teolog sangatlah berbeda,
bahkan bisa dikatakan musuh bebuyutan. Teolog memandang filosof
sebagai pembid’ah sesat. Sebaliknya, filosof memandang teolog
sebagai orang yang bodoh dan lemah akalnya. Begitu seterusnya pada
abad ke-4, ke-5 dan ke-6 Hijriyah.41 Puncaknya adalah pengkafiran
filosof oleh al-Ghaza>li> (455-505 H) sebagai tokoh teolog Ash‘ariyah
38
‘Abd al-Rah}ma>n Ibn al-Khildu>n, Muqaddimah al-Tari>kh, Ed. Khali>l
Shah}a>dah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2001), 629.
39
Muhammad Qamar al-Daulah Nas}if, Dirasa>t fi Falsafah al-‘A<mah wa al-
Akhla>q (Mansora:al-Da>r al-Isla>miyah, 2007), 31-32.
40
Muhammad ‘Ima>rah, Raf’ al-Mala>m ‘an Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyah.
(Isma‘iliyah: Maktabah al-Ima>m al-Bukhari>, 2007), 9.
41
Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>, Falsafah al-Islamiyah. 22
102

dalam ‚Taha>fut al-Fala>sifah‛. Kemudian Ibn Rushd (520-595 H)


memjawabnya dengan ‚Taha>fut al-Taha>fut‛, yang memandang al-
Ghaza>li tak lebih sebagai debator yang rela menelan pil pahit untuk
menjaga pemahaman dangkal orang awam. Tak seorangpun teolog
yang disebut sebagai filosof, dan begitu sebaliknya, dalam buku-buku
yang ditulis pada masa itu, seperti Ish}a>q Ibn H{unain42 (215-298 H)
dalam ‚Tarikh al-At}ibba’ wa al-Fala>sifah‛43, Ibn Juljul al-Andalu>si44>
(332-384 H) dalam ‚Tabiqa>t al-At}ibba’ wa al-Hukama’‛,45 Ibn al-
Nadi>m46 (w. 385 H) dalam ‚al-Fihrisa>t‛,47 dan S{a>‘id al-Andalu>si> (420-
462 H) dalam ‚Tabiqa>t al-Umam‛.
42
Dia adalah Abu Ya’qu>b Ish}a>q ibn H{unain ibn Ish}a>q al-‘Iba>di> (215-298 H/
830-910 M), seorang dokter Arab terkenal. Dia mengikuti jejak ayahnya H{unain Ibn
Ish}a>q dalam menerjemah karya Yuna>ni> ke dalam bahasa Arab. Namun ia lebih
banyak menerjemahkan karya Aristoteles dan lainnya dari pada buku kedokteran.
Dia membantu ayahnya mengabdi untuk khalifah ‘Abbasiyah. Dia seorang Arab al-
‘Iba>di> kristen, dan akhirnya menganut agama Islam. Bisa dikatakan dia adalah
penulis sejarah kedokteran atau filsafat di dunia Islam Timur. Lihat jama>l al-Di>n al-
Qift}i>, Ikhba>r al-‘Ulama’ bi Akhba>r al-H{ukama’, 57.
43
Isha>q ibn H}unain, Tari>kh al-At}ibba’ wa al-Fala>sifah, Ed. Fua>d Sayyid
(Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1985).
44
Dia adalah Abu Daud Sulaima>n ibn Hassa>n yang lebih populer dikenal
sebagai Ibn Juljul. Seorang ilmuan dan dokter Andalusia. Dia lahir di Cordova 332
H/ 943 M dari keluarga Arab yang terlahir di Andalusia. Dia mempelajari ilmu
kedokteran, ‘Ilm al-H{adi>th, bahasa, al-Nahw di Cordova, namun ia lebih banyak
dikenal sebagai seorang dokter. Sekalipun Juljul dalam bahasa Arab berarti lonceng,
namun sepertinya Juljul sebuah nama Spanyol salah seorang kakeknya. Sepertinya
Ibn Juljul merupakan orang Arab yang kakeknya masuk bersamaan dengan
penaklukan Andalusia. Ibn Juljul mengabdi kepada Hisha>m ibn al-H{akam dan
mendapat posisi yang mulia disisinya. Lihat Muhammad Fa>ris, Mausu>‘ah ‘Ulama’
al-‘Arab wa al-Muslimi>n: ‘Ulama’, Muhandisu>n , Mukhtari‘u>n (Beiru>t: Muassasah
al-‘Arabiyah li al-Dirasa>t wa al-Nashr. 1993), 26-27.
45
Abu Daud Sulaima>n Ibn Juljul al-Andalu>si>, T{abiqa>t al-At}ibba’ wa al-
Hukama’, Ed. Fua>d Sayyid (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1985)
46
Dia adalah Abu al-Farj Muhammad ibn Ish}a>q ibn Muh}ammad Ish}a>q
dikenal sebagai Ibn al-Nadi>m, ayahnya penjual buku. Dia seorang sastrawan, penulis
sejarah dan pengumpul daftar-daftar buku yang dikenal di masanya. Tidak banyak
riwayat hidupnya yang diketahui, begitu juga sebab digelari Ibn al-Nadi>m, yang
jelas dia orang Arab Bagda>d. Dia mewarisi pekerjaan ayahnya sebagai penulis dan
penyalin buku. Dia belajar dengan al-Sira>fi>, ‘Ali ibn Ha>ru>n al-Munazzam dan filosof
Abu Sulaima>n al-Mantiqi. Di dinisbatkan kepada kelompok ‘Ali ibn ‘I>sa menteri
103

2. Fase Integrasi
Fase ini dimulai setelah perang setengah hati yang dilakukan
al-Ghazali (455-505 H) terhadap filosof.48 Al-Ghaza>li> membagi filsafat
menjadi dua: bagian yang bertentangan dengan dasar agama (Us}ul> al-
Di>n) dan bagian yang tidak bertentangan dengan dasar agama.49
Sekalipun al-Ghaza>li> hanya mengharamkan bagian pertama, bagian
kedua juga turut terseret dianggap haram. Pada dasarnya, teolog banyak
sekali mengadopsi teori-teori filsafat, dan memanfaatkannya. Akhirnya,
kajian filsafat bersembunyi di balik ‘Ilm al-Kala>m. Seperti ‚al-
Mawa>qif‛ yang menjadi buku ajar selama berabad-abad di Al-Azhar
sebagai lembaga ‘Ash‘ariyah terbesar di dunia Islam, memulai
pembahasannya dengan pengantar logika Aristoteles (384-322 SM).
Bagian ketuhanan (al-Ila>hiya>t) hanyalah bagian terakhir dari buku
tersebut.
Fase integrasi bukan saja antara ‘Ilm al-Kala>m dan filsafat, tapi
juga dengan integrasi ilmu-ilmu Islam lainnya, yang sebelumnya saling
bermusuhan, seperti ilmu tasawuf dengan perdebatan antara shari’ah
dan h{aqi>qah.50 Fase ini dikenal juga dengan era ‚Muhaqqiqi>n‛, hampir
seluruh permasalahan yang ada telah terselesaikan. Telah dipilah mana
yang murni ajaran Islam, mana yang ajaran luar yang sesuai dan tidak
bertentangan sama sekali dengan dasar agama Islam, dan mana yang
sama sekali tidak sesuai dan bertentangan dengan dasar agama Islam.
Karya-karya setelah al-Ghaza>li> (455-505 H) seperti al-Shahrasata>ni>
(479-548 H) dan Ibn Khaldu>n (732-808 H) dengan jelas menunjukkan
integritas keilmuan Islam. Al-Ghaza>li> disebut sebagai seorang teolog,
filosof, s}ufi>, faqih,51 empat disiplin ilmu yang dahulu saling

Bani al-Jarra>h yang terkenal menguasai ilmu logika dan ilmu Yunani, Persia, dan
India. Bukunya yang paling terkenal adalah al-Fihrisa>t yang memuat seluruh buku
Arab dan non Arab yang dikenal dimasanya. Lihat Khair al-Di>n al-Zirikli>, Al-A’la>m:
Qa>mu>s al-Tara>jum li Ashhar al-Rija>l wa al-Nisa>’ min al-‘Arab wa al-Musta’ribi>n wa
al-Mustashriqi>n, Vol. 6, 29.
47
Abu al-Farj Muh}mmad ibn Ish}a>q ibn al-Nadi>m, Kita>b al-Fihrisat, Ed.
Rid}a-Tajaddud. (tt. www.waqfeya.com, 2008)
48
Sulaima>n Dunya>, H{aqi>qah fi Naz}r al-Ghaza>li> (Cairo: Da>r al-Ma’rifah,
1965).
49
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 46-47.
50
Ibrahi>m Madku>r, Fi> al-Falsafah al-Isla>miyah, Vol II, 135.
51
S{alih} Ah}mad Sha>mi>, Ima>m al-Ghaza>li>: Hujjah al-Isla>m wa Mujaddid al-
Miah al-Kha>misah (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1993).
104

bertentangan. Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) disebut ‚Ima>m


Us}ul> ain‛ yaitu ima>m Us}ul> al-Fiqh dan Us}ul> al-Di>n. begitu juga dengan
istilah ‚Ima>m fi al-Ma’qu>l wa al-Manqu>l‛, Imam ilmu akal dan ilmu
teks. Semua keilmuan Islam terintegrasi satu kesatuan.
Dari pemaparan dan berbagai argument, kajian ini memandang
teolog juga seorang filosof, karena pada hakikatnya mereka turut
berfilsafat dan merupakan filosof muslim yang sebenarnya. Kajian ini
adalah kajian filosofis, bukan teologis. Yang difilsafatkan adalah
bentuk dan sifat akhirat itu sendiri, bukanlah akhirat itu ada atau
tidaknya. Ditambah lagi, teolog-teolog yang dijadikan rujukan,
merupakan teolog Muh}aqqiqi>n. Fase dimana kajian filsafat terintegrasi
dengan ‘Ilm al-Kala>m.

B. Aliran Filosof Secara Umum


Hidup setelah mati merupakan kepercayaan kuno semenjak
adanya sejarah manusia. Para filosof berbeda pandangan dalam
menyikapinya. Ada baiknya, jika terlebih dahulu mengelompokkan
aliran filosof tentang permasalahan akhirat secara umum agar dapat
dengan mudah memahaminya. Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (543-606 H) dalam
‚Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n‛ membagi sikap filosof menjadi 5 aliran besar:
(a) Akhirat bersifat material saja, atau (b) Akhirat bersifat spiritual
saja, atau (c) Keduanya benar (Akhirat bersifat material dan spiritual),
atau (d) Keduanya tidak ada yang benar (tidak ada akhirat), atau (e)
Sikap absten (Tawaqquf) yang dikutip dari Galenus”52
Pembagian Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> terhadap aliran filosof tentang
akhirat ini banyak diikuti oleh teolog dan filosof sedudahnya, misalnya
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni> (722-792 H) dalam ‚Sharh al-Maqa>s}id‛53, al-
Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni (740-816 H) dalam ‚Sharh} al-Mawa>qif‛54,
Mulla S{adra al-Shira>zi> ( 980-1050 H) dalam ‚al-Mabda’ wa al-
Ma‘a>d‛55, dan Ibn Khaldu>n (732-808 H) dalam ‚al-Muqaddimah‛.56
Teori Akhirat bersifat material saja, dan teori akhirat bersifat material
dan juga spiritual, keduanya merupakan pendapat teolog. Sementara
52
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}ul al-Di>n, Ed. Ah}mad H{ija>zi> al-Saqa>
(Cairo: Maktabah al-Kullya>t al-Azhariyah, 1986), Vol. II, 55.
53
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 88.
54
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 317-328.
55
S{adruddin Muhammad al-Shira>zi>, Al-Mabda’ wa al-Ma’ad, Ed. Sayyid
Jala>luddin al-A<shiyata>ni> (Tehran: Markaz Intishara>t Daftar Tabliga>t Islami>, 1422 H)
56
Ali Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 53-54.
105

tiga teori sisanya: akhirat bersifat spiritual saja, akhirat tidaklah ada,
dan sikap abstain merupakan pendapat filosof. Untuk lebih jelasnya
sebagai berikut:
1. Akhirat bersifat material saja
Akhirat bersifat material saja merupakan aliran mayoritas
teolog yang menafikan adanya jiwa intelek yang transenden. Pendapat
ini dibangun dari pandangan mereka terhadap jiwa. Bagi mereka, jiwa
adalah material halus cahayawi yang mengalir di dalam raga, seperti
mengalirnya api di dalam bara dan air di dalam daun.57 Oleh karena
itu, jiwa bukanlah esensi transenden (immaterial). Akhirat hanyalah
tempat pembalasan amal berbuatan manusia yang bersifat material,
karena manusia hanyalah material.
2. Akhirat bersifat spiritual saja.
Pendapat ini diutarakan oleh filosof ketuhanan berdasarkan
pada pandangan mereka terhadap hakikat manusia. Manusia adalah
jiwa, jiwa merupakan esensi transenden (immaterial), kekal, abadi dan
tak dapat hancur binasa. Raga merupakan penjara bagi jiwa. Kematian
adalah kemerdekaan jiwa. Akhirat adalah kembalinya jiwa ke alam
spiritual tanpa raga. Pembalasan amal perbuatan, senang dan sengsara
dirasakan langsung oleh jiwa tanpa memerlukan raga. Karena raga
telah hancur dan takkan dapat kembali.58
3. Akhirat bersifat Material dan Spiritual.
Pendapat ini diutarakan oleh Muh}aqqiqi>n, yaitu para teolog
yang mengadopsi konsep jiwa filosof. Bagi filosof, jiwa merupakan
esensi transenden, bukan material.59 Manusia pada hakikatnya adalah
jiwa, sementara raga hanyalah alatnya. Akhirat bersifat spiritual dan
material. Karena ‚jiwa‛ transenden spiritual dan alatnya ‚raga‛
material.
4. Akhirat tidaklah ada, tidak bersifat material dan tidak spiritual.
Pendapat ini diutarakan oleh filosof naturalis yang memandang
manusia pada hakikatnya adalah postur raga, jiwa tak lain hanyalah
postur raga. Kematian akan menghancurkan postur raga manusia, yang
tinggal hanyalah unsur dasar material: tanah, air dan udara. Raga

57
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. II, 456.
58
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol VII, 325.
59
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Al-Nafs wa al-Ru>h} wa Sharh} Quwa>huma>, Ed.
Muhammad Ma’s}u>m H{asan al-Ma’s}u>mi> (Islamabad: Islamic Research Institute, tt.),
27.
106

hancur, dan yang telah tiada tak pernah dapat kembali. Singkatnya,
mereka merupakan filosof yang mengingkari adanya kehidupan
akhirat. Aliran ini disebut oleh Ibn H{azm (384-456 H) dengan istilah
‚al-Dahriyu>n‛60 yang memandang waktu (al-Dahr) sebagai penghancur
manusia. Aliran filosof ini lebih tepatnya disebut ateis, yang
memandang alam semesta bergerak spontanitas tanpa ada yang
mengatur, tanpa ada Tuhan yang membalasi amal perbuatan. Manusia,
hewan dan tumbuhan tak ada bedanya. Bila kematian datang,
hilanglah segalanya. Kebahagian dan kesengsaraan, kenikmatan dan
kesengsaraan hanya diperoleh dalam kehidupan ini. Alamlah yang
memberi kehidupan, dan waktulah yang membinasakan.61
5. Sikap Abstein (tawaqquf)
Pendapat ini diriwayatkan dari Claudius Galenus62 (129-200
M), seorang dokter dan filosof Yunani era Helenisme yang besar
pengaruhnya terhadap dunia muslim. Ia belum dapat membuktikan
apakah jiwa adalah postur raga ataukah esensi yang kekal dan berdiri
sendiri. Jika jiwa postur raga, tentunya yang hancur tak dapat kembali,

60
Ibn H{azm, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol I, 19-20.
61
Abu al-Fath} al-Shahrasata>ni.Al-Milal wa al-Nih}al, Vol. II, 582.
62
Dia adalah Caludius Galenus, dilahirkan di Pergamum (kini: Bergama,
Turki), putra dari Nicon, seorang arsitek kaya. Ia memiliki ketertarikan pada bidang
pertanian, arsitektur, astronomi, astrologi, filsafat, hingga akhirnya ia memilih untuk
berkonsentrasi pada kedokteran. Pada usia 20 tahun ia telah menjadi seorang tabib
pada kuil Asclepius selama 4 tahun. Setelah kematian ayahnya pada 148 M atau 149
M, ia merantau untuk belajar di Smyrna, Korintus, dan Alexandria selama 12 tahun.
Ketika ia kembali ke Pergamum pada 157 M, ia bekerja sebagai seorang dokter di
sekolah gladiator sleama 3 sampai 4 tahun. Selama masa itu, ia banyak belajar
mengenai perawatan dan penyembuhan trauma dan luka. Kemudian ia
mengistilahkan luka sebagai ‚jendela untuk masuk ke tubuh‛. Pada 162 M, ia pindah
ke Roma di mana ia banyak menyebarkan ilmu anatomi. Reputasinya kian naik dan
dikenal sebagai ahli kedokteran yang berpengalaman dan memiliki klien yang
tersebar luas. Salah satunya adalah konsul Flavius Boethius yang akhirnya
memperkenalkan ia menjadi dokter kerajaan. Ia turut merawat Lucius Verus,
Commodus dan Spetimius Severus. Ia sempat kembali ke tanah airnya, Pergamum
selama 166 M hingga 169 M. Karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh Hunain Ibn Ish}a>q pada era penerjemahan Abbasiyah. Lihat Jama>l al-Di>n al-
Qift}i>, Ikhba>r al-Ulama’ bi Akhba>r al-Hukama’, 85-92. Lihat juga Ahmad ‘Abd al-
H{ali>m ‘At}iyah, Ja>li>nu>s fi Fikr al-Qadi>m wa al-Ma‘a>s}ir (Cairo: Da>r al-Quba’, 1999).
Lihat juga Ibn Juljul al-Andalu>si>. T{abiqa>t al-At}ibba’ wa al-Hukama’, 41.
107

tapi bilamana jiwa esensi yang kekal pengembalian raga bisa saja
terjadi. 63
Pembagian aliran filosof tentang akhirat menjadi lima aliran
ini, dirasa masih cukup relevan. Masing-masing aliran dan penyikutnya
masih dapat ditemui sekarang. Namun, dalam kajian ini, hannya 3
aliran pertama yang dibahas. Sedangkan dua terakhir, yaitu aliran ateis
dan aliran abstain yang tidak tahu-menahu tentang akhirat tidak turut
dibahas, sekalipun jumlah mereka banyak ditemui sepanjang masa.
Karena Kajian ini telah dilandasi dengan keyakinan pada adanya
Tuhan yang maha kuasa, alam metafisika dan pembalasan amal
perbuatan.

C. Akhirat Material
Akhirat merupakan tempat pembalasan amal perbuatan
manusia. Akhirat tentunya haruslah disesuaikan dengan manusia
sebagai penggunanya. Manusia adalah material, akhirat juga material:
yaitu surga dan neraka, tempat material raga mendapatkan balasan
amal perbuatannya. Oleh karena itu, Akhirat tergantung pada siapakah
itu manusia yang sebenarnya? Pada dasarnya, teori akhirat bersifat
material dibangun atas teori yang memandang manusia sebagai
material.
Filosof semenjak dahulunya berbeda pendapat tentang hakikat
manusia yang ditunjukkan oleh kata ‚saya‛: saya duduk, saya tahu,
saya sakit dan sebagainya. Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (543-606 H)
menuturkan: ‚Yang kita maksud dengan kata ‚al-Nafs‛, adalah sesuatu
yang ditunjukkan oleh setiap manusia dengan ungkapan ‚saya‛.64
Menurutnya, ada beberapa pendapat tentang hakikat al-Nafs: (a) jiwa
adalah raga dan material, (b) jiwa bukanlah raga dan material, (c) jiwa
adalah susunan dari dualisme (jiwa dan raga) atau trialisme (jiwa, ruh,
raga)‛65Abu al-H{asan al-Ash‘ari>66 (260-324 H) mengungkapkan

63
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba ‘i>n fi Us}ul al-Di>n, Vol. II, 55.
64
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba ‘i>n fi Us}u>l al-Di>n. Vol. II, 18. Teori ini
diadopsi Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> dari Ibn Si>na>. Lihat Ibn Si>na>, Risa>lah al-Adh}awiyah fi
Amr al-Ma‘a>d, 94.
65
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba ‘i>n fi Us}u>l al-Di>n. Vol. II, 18.
66
Dia adalah Abu al-H{asan ‘Ali ibn Isma‘i>l ibn Abi Bashar al-Ash‘ari>, lahir
di Basrah 260 H. Dia merupakan keturunan Abu Musa al-Ash‘ari sahabat Rasul dan
salah satu Hakim pada masa tahkim antara ‘Ali dan Mu‘awiyah. Dia tumbuh dan
besar dalam keilmuan Mu’tazilah dari Abu ‘Ali al-Jabba>i> di Basrah. Pada Umur 40
108

adanya 19 perbedaan pendapat seputar hakikat manusia dalam


‚Maqala>t al-Islamiyi>n wa Ikhtila>f al-Mus}alli>n‛.67
1. Manusia Adalah Jiwa Material dan Raga Material
Pendapat yang menyatakan bahwa hakikat manusia adalah
material, terbagi ke dalam dua kelompok. Kelopok pertama,
menyatakan manusia adalah postur raga. Kelompok kedua,
menyatakan al-Nafs atau hakikat manusia adalah material yang ada di
dalam raga. Menurut Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) pendapat
pertama merupakan pilihan mayoritas teolog (generasi awal), namun
pendapat itu lemah.68
a. Manusia Adalah Raga Material.
Manusia adalah raga material: tangan, kaki, badan, kepala dan
semua anggota tubuh lainya. Teori ini merupakan pemahaman
sederhana yang mudah dipahami dari pertanyaan siapakah manusia?
Pemikiran ini dapat ditemukan semenjak era filsafat naturalis
materialisme Yunani kuno sampai era filsafat Barat Modern, yang
memandang segala yang ada hanyalah material. Tidak ada alam lain
selain material bumi dan langit yang tampak, terasa dan digapai indra.
Oleh kerena itu, kalangan ini dikenal tidak mengakui adanya jiwa dan
segala hal metafisika, tapi manusia hanyalah raga yang tampak dan
jelas ini.69
Manusia adalah raga, merupakan pemahaman sederhana yang
dapat dengan mudah dipahami berbagai kalangan. Tak diragukan,
generasi pertama Islam yang berfikiran sederhana juga berpandangan
seperti ini, berpegang pada ‚Nabi saw meninggal dan tidak tahu

tahun dia mengumumkan bertaubat dari mazhab Mu’tazilah, dan kembali kepada al-
Quran dan al-Sunnah. Manhaj aliran barunya merupakan tengah-tengah antara Ahl
al-H{adi>th yang tekstualis dan Mu’tazilah yang rasionalis. Dikenal juga sebagai aliran
yang mengedepankan naqal ketika berbenturan dengan akal. Lihat profilnya dalam
H{amu>dah al-Gara>bah, Abu al-H{asan al-Ash‘ari> (Cairo: Mat}a>bi’ al-Ami>riah, 1973).
67
Lihat Abu H{asan al-Ash‘ari>, Maqa>la>t al-Islamiyi>n wa Ikhtila>f al-Mus}alli>n,
Ed. Muhammad Muh}y al-Di>n ‘Abd al-H{ami>d (Cairo: Maktabah al-Nahd}ah al-
Masriyah, 1950), Vol. II, 24-27.
68
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 18. . Lihat juga
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXI, 38-39.
69
Lihat fase penafian jiwa oleh ulama Muslimin, filosof naturalis Yunani
kuno, dan Filosof materialisme modern Barat seperti Darwinisme, Marxisme, dan
lainnya. Lihat Muhammad Sayyid al-Musayyar, Al-Ru>h fi Dirasa>t al-Mutakallimi>n
wa al-Fala>sifah, 39-41.
109

apakah itu al-Ru>h}‛.70 Namun, pemahaman generasi pertama Islam


tentunya bukanlah murni pemahaman materialisme yang tidak
mengakui adanya Tuhan dan berbagai hal yang tak dapat diraih indra
(metafisika).
Pendapat mayoritas Mu’tazilah, dapat ditunjukkan oleh Qadi}
‘Abd al-Jabba>r (359-415 H) yang membela pendapat syaikh
Mu’tazilah Abu ‘Ali al-Jabba>i> (235-304 H) dan anaknya Abu Ha>shim
al-Jabba>i> (247-321 H) yang menyatakan bahwa manusia adalah orang
ini, yang bentuknya seperti postur tertentu ini, yang membedakannya
dengan postur seluruh hewan. Postur raga inilah yang mendapat
perintah, yang dilarang, yang dicela dan yang dipuji.71 Manusia adalah
raga. Pendapat serupa diutarakan madrasah al-Hudhailiah72 yang
menyatakan: ‚Manusia adalah raga ini, yang nampak, yang melihat,
yang makan, dan yang minum‛.73 Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r dalam
pembahasannya mengkritisi pendapat Mu’tazilah lain yang
berpendapat berbeda, seperti al-Niz}a>miyah,74 al-Mu‘ammariyah75 dan

70
Diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibn Buraidah, hadis dikeluarkan oleh ibn
Abi H{atim Abu Shaikh. Lihat Jala>l al-Di>n al-Sayu>t}i>, Al-Du>r al-Manthu>r fi Tafsi>r bi
al-Ma’thu>r (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1993), Vol. IV, 200.
71
Al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r, Al-Mugni, Vol. XI, 311.
72
Al-Hudhailiyah adalah pengikut Abu al-Hudhail Hamda>n ibn Hudhail al-
‘Alla>f, syeikh Mu’tazilah, pemuka dan pengokoh aliran Mu’tazilah. Dia belajar dari
‘Ustma>n ibn Khalid al-T{awi>l, sahabat Wa>s}il ibn ‘At}a’ pendiri Mu’tazilah. Perbedaan
antara al-Hudhailiyah dengan kelompok Mu’tazilah lainnya hannya dalam 10 prinsip.
Salah satunya adalah menyatakan sifat merupakan zatNya. Lihat Abu al-Fath} al-
Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, Vol. I, 64.
73
Al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r, Al-Mugni, Vol. XI, 310.
74
Al-Niz}a>miyah adalah pengikut Ibrahi>m ibn Yasa>r ibn Hani’ al-Niz}z}a>m.
Dia banyak membaca dan mempelajari buku-buku filsafat, dan menggabungkan
pendapat filosof dengan pendapat Mu’tazilah. Kelompok ini berbeda dengan
kelompok Mu’tazilah lainnya dalam beberapa prinsip. Salah satunya, bahwa Allah
tidak disifati dengan maha kuasa melakukan kejahatan dan maksiat, berbeda dengan
pendapat aliran lainnya yang menyatakan Allah maha kuasa melakukan kejahatan
dan maksiat tapi tidak melakukannya. Lihat Abu al-Fath} al-Shahrasata>ni>, Al-Milal
wa al-Nih}al, Vol. I, 67.
75
Al-Mu‘ammariyah adalah pengikut ibn ‘Iba>d al-Salami>, yang merupakan
tokoh Qadariyah tulen yang menyatakan tidak adanya Sifat ( Naf al-S{ifa>t) Allah
ta‘ala. Menurutnya tidak ada takdir baik dan buruk yang ditetapkan Allah ta‘ala, dan
memvonis kafir dan sesat bagi orang yang menyakini adanya takdir. Salah satu
110

yang lainnya.76Aliran materialisme ini merupakan aliran mayoritas


pada era awal generasi Islam. Kemudian aliran ini terpecah menjadi
dua kelompok:
1) Kelompok yang Menafikan Aksiden.
Seperti Hisha>m ibn al-H{akam77 (w. 199 H) yang menyatakan
bahwa di alam ini segala yang ada hanyalah material, alam semesta
semuanya material. Warna dan gerak merupakan material. Ciri
material adalah mempunyai panjang, lebar, dan isi. Bila melihat
material pastilah terlihat warnanya. Oleh karena itu, warna
mempunyai sifat panjang, lebar dan isi. Sehingga warna termasuk
material. 78 Konsekwensi dari penafian aksiden ini, bagi mereka sifat
Allah adalah zatnya. Permasalahan Allah dan sifatnya merupakan
permasalahan yang hangat diperdebatkan dalam ranah pemikiran Islam
klasik.
Material (al-Jism) disepakati keberadaanya, namun keberadaan
aksiden diperdebatkan. Aliran yang menafikan aksiden ini hanyalah
minoritas cendekiawan muslim pada waktu itu. Aliran ini dikenal
menafikan adanya al-Ru>h} yang tak dapat diraih indra. Seperti Abu
Bakr al-As}am79 (201-279 H) yang menyatakan: ‚Saya tidak tahu,
kecuali apa yang saya dapat ketahui dari panca indraku‛.80

pendapatnya yang berbeda dengan Mu’tazilah lain, menurutnya Allah hanya


menciptakan material (jism) sedangkan aksiden merupakan ciptaan material. Lihat
Abu al-Fath} al-Shahrasata>ni>. Al-Milal wa al-Nih}al. Vol. I, 79.
76
Al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r, Al-Mugni, Vol. XI, 310-312.
77
Dia adalah Hisha>m ibn al-H{akam berasal dari suku Kindah, lahir di
Kufah, ditempat Bani Shaiba>n, kemudian pindah ke Bagdad. Dia merupakan seorang
teolog Syi‘ah al-Ra>fid}ah atau Ima>miyah. Banyak karya-karyanya yang mengkonter
Mu’tazilah. Banyak literatur-literatur Syi‘ah yang memujinya. Lihat profilnya dalam
Sayyid ‘Ali al-Brujurdi>, T{ara>if al-Maqa>l, (Shiaonlinelibrary), Vol. II, 557.
78
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 246
79
Dia adalah Abu Bakr ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Kaisa>n al-As}am (201-279 H,
816 -892 M), seorang faqih dan mufassir Mu’tazilah. Dia sangat dihormati, sultan
mengangkatnya menjadi juru tulisnya. Dia menjadi imam s}alat di masjidnya di
Bas}rah sekitar 80 syaikh. Disebutkan Abu ‘Ali al-Jabba>i> tidak menyebutkan seorang
ahli tafsir pun selain al-As}am. Lihat Ahmad ibn Yah}ya ibn al-Murtad}a>, T{abiqa>t al-
Mu’tazilah (Beiru>t: Muassasah Dimashld, 1987), Cet. II, 56-57.
80
Abu Hasan al-Ash‘ari>, Maqa>la>t al-Islamiyi>n, Vol. II, 25. Lihat juga Ibn
H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 235.
111

Teolog mempunyai beberapa istilah dalam menyebut material:


al-Jauhar, al-Jism dan al-Jaram. Material dapat dibagi menjadi bagian-
bagian, bagian tersebut dapat dibagi lagi menjadi bagian-bagian,
sampailah pada partikel terkecil yang tak dapat dibagi lagi (atom)
yang disebut dengan esensi tunggal (al-Jauhar al-Fard). Al-Jism bagi
Ash‘ariyah digunakan untuk menyebut material yang tersusun dari dua
esensi atau lebih. Al-Jism bagi Mu’tazilah digunakan untuk menyebut
material yang mempunyai panjang, lebar dan isi. Sedangkan al-Jaram
digunakan untuk menyebut keduanya, baik al-Jauhar maupun al-Jism.
Karakteristik material adalah menempati ruang dan mempunyai
aksiden (sifat) yang melekat pada material.81
Penggunaan istilah esensi (al-Jauhar) bagi teolog tentunya
berbeda dengan filosof. Bagi filosof, esensi digunakan untuk sesuatu
yang tak menempati ruang (transenden). Uskup gereja menyebut Allah
sebagai sebuah esensi (al-Jauhar). Sehingga terjadilah perdebatan
antara Islam yang menolak penyebutan Allah sebagai sebuah esensi
dan Kristen yang menyatakan Allah sebagai sebuah esensi. 82
Menariknya, menurut Ibn H{azm (384-456 H) ada sebagian teolog yang
menggunakan kata esensi dengan pemaknaan filosof. 83 Sehingga
dalam mengkaji kata esensi (al-Jauhar) perlu ditinjau pemaknaannya si
penulis, apakah yang menempati ruang (material) atau tidak
menempati ruang (immaterial).
Mayoritas teolog menggunakan Aksiden (al-‘Ard}) untuk
menyebut apa yang melekat pada esensi.84 Seperti kayu adalah esensi,
sedangkan warnanya, bentuknya dan lainnya disebut aksiden. Esensi
dapat bertahan dalam dua waktu, sementara aksiden tidak dapat
bertahan dalam dua waktu. Kayu tetap, tapi warnanya, kerasnya dan
sifat-sifat lainnya dapat berubah di lain waktu. Panjang, lebar,
bergerak, berwarna, makan, minum, tidur dan lainnya adalah aksiden
bukan esensi. Oleh karena itu, Ibn H{azm menepis aliran yang
menyatakan seluruh yang ada hanyalah esensi tanpa adanya aksiden. 85
Menurut Ibn H{azm, segala yang ada hanyalah sang pencipta dan
ciptaanya. Setiap yang diciptakan pastilah esensi (material) bersamaan

81
Muhammad Qamar al-Daulah, Ma’a al-Mawa>qif, 49-50.
82
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 246
83
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 249.
84
Muhammad Qamar al-Daulah, Ma’a al-Mawa>qif, 53.
85
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 246.
112

dengan aksiden-aksidennya. Aksiden ikut terbawa oleh esensi, salah


satu dari keduanya tak boleh kosong. Setiap esensi (al-Jauhar) adalah
material (al-Jism) dan setiap material adalah esensi (al-Jauhar).
Keduanya sama maknanya, tak lebih.86
2) Kelompok yang Menetapkan Aksiden.
Bagi kelompok ini, esensi manusia adalah raga, sementara al-
Ru>h} dan kehidupan adalah aksiden yang melekat pada raga.
Konsekuensinya dalam masalah ketuhanan, zat Tuhan bukanlah
sifatnya, tapi tambahan atas sifat Tuhan (Za>idah ‘ala al-Dha>t).87 Jiwa
hanyalah aksiden dan bukan esensi manusia merupakan pendapat
mayoritas teolog generasi pertama. Mu’tazilah diwakili oleh Abu
Hudhail al-‘Alla>f88 (134-235 H) yang menyatakan jiwa sama seperti
aksiden manusia yang lainnya. Raga manusia bisa berdiri sendiri tanpa
adanya jiwa pada waktu tidur.89
Tokoh As‘ariyah diwakili oleh Abu Bakr al-Ba>qila>ni>90 (328-
402 H) yang menyatakan al-Ru>h} adalah kehidupan, hidup adalah

86
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 249.
87
Bagi As‘ariyah sifat Allah merupakan tambahan atas zat Allah, Allah
mengetahui dengan ilmu, Allah maha kuasa dengan kekuasaanya, dst. Lihat Al-
Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawaqif , Vol. VII, 52.
88
Dia adalah Abu al-Hudhail Muhammad ibn al-Hudhail al-‘Abi>di>, Menurut
Abu Salamah ia digelari dengan al-‘Alla>f karena tempat tinggalnya berada di tempat
penggemukan (makan) ternak. Yah}ya ibn Bashar menceritakan bahwa ia mempunyai
60 buku menkontra orang-orang yang tidak sepemahaman dengannya tentang ‘Ilm
al-Kala>m. Dia belajar dari ‘Uthma>n al-T{awi>l, sedangkan Ibrahi>m al-Niz}z{a>m
merupakan muridnya. Banyak diskusi dan debatnya baik sesama Mu’tazilah maupun
musuh Mu’tazilah. Pendapatnya berbeda dengan mayoritas Mu’tazilah dalam 10
perkara tentang ketuhanan, akhlaq, kesanggupan, sifat Allah. Lihat Ah}mad ibn
Yah}ya ibn al-Murtad}a, T{abiqa>t al-Mu’tazilah, 44-49. Lihat juga Rashi>d al-Khayyu>n,
Mu’tazilah Bas}rah wa Bagda>d (London: Da>r al-Hikmah, 1997), Cet. I.
89
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 192.
90
Dia adalah al-Qad}i> Abu Bakr Muh}ammad ibn al-T{ayyib ibn Muh}ammad
ibn Ja’far ibn Qa>sim, (328-402 H), (950-1013 M) orang Basrah yang pindah ke
Bagdad dan menetap disana. Al-Qad}i> ‘Iya>d} menyebutkan bahwa ia digelari dengan
Saif al-Sunnah dan Lisa>n al-Ummah seorang teolog berlidah Ahl al-H{adi>th beraliran
Abu H{asan al-Ash‘ari>, kepadanyalah berakhirnya kepemimpinan mazhab Maliki> di
masanya. Banyak orang yang menghadiri kajiannya di Mesjid Basrah. Dia belajar
hadis di Bagda>d dari Abu Bakr ibn Ma>lik al-Qat}i>‘i>, Abu Muh}ammad Ibn Ma>si>, dan
Abu Ah}mad al-H{usain ibn ‘Ali> al-Naisabu>ri>. Dia belajar ‘Ilm al-Kala>m dari Abu
113

aksiden bukan esensi manusia.91 Teori ini sebenarnya bukanlah barang


baru. Generasi awal memperolehnya dari Claudius Galenus (129-200
M), seorang dokter Yunani era Helenisme yang bukunya banyak
beredar di Syam ketika itu, menyatakan ‚jiwa adalah postur yang
muncul dari susunan struktur raga‛.92 Bila ditelusuri jauh ke belakang,
teori ini merupakan teorinya Aristoteles (384-322 SM), yang
menyatakan pada setiap material (al-Ma>dah) ada forma atau bentuk
(al-su>rah). Pada setiap esensi (al-Jauhar) pastilah membawa aksiden
(al-‘Ard}) bersamanya, sebagaimana penjelasan Ibn H{azm (384-456 H).
Dalam perjalanannya, teori manusia adalah raga mulai
ditinggalkan oleh teolog Muta’akhkhirin. Bagi mereka, pendapat
generasi terdahulu sangat lemah. Fakh al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H)
mengungkapkan dua argumen rasionalis dalam ‚Arba‘i>n fi Us}ul> al-
Di>n‛, sedangkan dalam ‚Mafa>tih} al-Gaib‛ terdapat tujuh belas
pembuktian, sebagian ‘aqli> (rasional) dan sebagiannya Naqli>
(Tekstual). Di antara argumen terkuat adalah sebagai berikut:
a) Dapat dengan mudah dipahami, bahwa seorang manusia
sekarang adalah manusia yang ada 20 tahun yang lalu. Raga manusia
sekarang, bukanlah raga manusia 20 tahun yang lalu. Bagian-bagian
raga telah berganti, kadang gemuk dan kadang kurus. Raga dapat
terurai, baik lewat keringat, pembuangan sisa makanan dan lainnya.
Makanan berfungsi sebagai pengganti bagian raga yang hilang. Raga
ini panas dan terdiri dari air. Air dalam kondisi panas akan menuai
menjadi uap. Setiap saat raga manusia berkurang. Oleh karena itu,
manusia bukanlah raga.93 Raga semakin tua semakin berubah dan
melemah, namun manusia yang sebenarnya tetap dan tidak berubah.
b) Raga tidak dapat mempresentasikan perbuatan ‚saya‛: saya
memukul, saya berfikir, saya marah. Tak satu anggota raga pun yang
dapat memenuhi kata saya, baik tangan yang memukul, otak yang
berfikir, maupun hati yang marah. Karena Ini tangan saya, ini kepala
saya, ini kaki saya, ini mulut saya, lalu yang manakah saya yang
sebenarnya? Yang disandarkan (al-Mud}a>f) tentunya berbeda dengan
tempat penyandaran (al-Mud}a>f ilaih). Tangan bukanlah saya, kaki

‘Abd Allah Muja>hid al-T{a>i, salah seorang murid al-Ash‘ari>. Lihat Jala>l Muhammad
‘Abd al-H{ami>d Mu>sa>, Nash’ah al-Ash‘ariyah wa Tat}awwuruha>, 317.
91
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 253-254.
92
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 254.
93
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 18.
114

bukanlah saya dan begitu seterusnya. Bahkan ketika bagian raga


tertentu hilang, seperti tangan dan kaki yang pontong atau pun hilang
telinga, manusia tetaplah manusia sekalipun raganya berkurang.94
c) Manusia masih tetap dikatan ada, bahkan dikatakan masih
hidup sekalipun raganya telah hancur terurai dimakan tanah, dimakan
binatang dan lainnya (QS. Ali Imra>n [3]: 169). Tentunya yang ada dan
hidup tersebut bukanlah raga, tapi sesuatu yang lain. d) Manusia yang
saleh akan kembali ke sisi Tuhannya (QS. Al-Fajr [89]: 27-28).
Kembali disini tentunya bukanlah raga, tapi sesuatu yang lain.95 e)
Ayat-ayat al-Quran dan hadis banyak menerangkan bahwa Allah
merubah sekelompok Yahudi menjadi kera dan babi. Apakah kera dan
babi tersebut tetap manusia? Bila manusia adalah raga, Yahudi
tersebut sudah mati dengan berubah menjadi kera. Tapi, bila manusia
adalah sesuatu yang lain, kera tersebut tetaplah manusia sekalipun
raganya telah berubah menjadi kera.96
f) Hampir seluruh agama dan aliran di dunia, Islam, Kristen,
Yahudi, Majusi, Hindu, dan lainnya memberikan sedekah untuk
keluarga atau orang yang telah meninggal dan mendoakannya.
Kalaulah manusia adalah raga, tentunya sedekah dan do’a tersebut sia-
sia, karena raga telah hancur binasa.97 g) Semua dalil yang
membuktikan bahwa manusia adalah material di dalam raga,
merupakan pembuktian manusia bukanlah raga.98
b. Manusia Adalah Material di dalam Raga
Aliran kedua, manusia yang sebenarnya bukanlah raga, tapi
material yang ada di dalam raga. Material halus yang mengalir di
dalam raga, seperti aliran api di dalam bara, air di dalam daun, minyak
dalam buah zaitun, dan listrik di dalam kabel. Hidup dengan zatnya
sendiri, keberadaannya di dalam raga merupakan penyebab kehidupan,
keluarnya dari raga merupakan penyebab kematian.99 Pendapat ini
diutarakan oleh mayoritas teolog Muta’akhkhirin yang telah
meninggalkan teori para pendahulunya. Pemikiran ini tentunya tak
terlepas dari berkembangnya kajian jiwa oleh filosof muslim dalam

94
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXI, 41.
95
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXI, 42.
96
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXI, 43.
97
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXI, 42.
98
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXI, 43.
99
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba ‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II. 26.
115

ranah pemikiran Islam, terutama Ibn Si>na> (370-428 H) yang hampir


semua karyanya berbicara tentang jiwa.
Material yang ada di dalam raga tersebut mandiri, hidup
dengan sendirinya, bukan aksiden yang tak berdiri sendiri. Material
tersebut aktif, bereaksi, berfikir, mengetahui, merasa, melihat,
mendengar dan aktivitas lainnya.100 Dialah yang mengatur raga dan
menggerakkannya. Material tersebutlah yang dinamakan jiwa (al-
Nafs).101 Bahkan menurut Ibn H{azm (384-456 H) pendapat ini
merupakan kata sepakat ulama Islam.102 Ibn Qayyim (691-751 H) yang
juga beraliran tekstualis dan anti filsafat dan ‘Ilm al-Kala>m,
mendukung pernyataan Ibn H{azm. Tidak ada generasi pertama (salaf)
yang menyatakan manusia adalah raga. Mereka yang menyatakan
manusia adalah raga sebenarnya hanyalah para pembid‘ah (teolog) dan
orang-orang sesat (filosof). Menurutnya, kutipan Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>
(544-606 H) dalam bukunya menyesatkan.103
Adapun masalah hubungan jiwa dengan raga, bertempatnya
jiwa di dalam raga, tak jauh dari perkara penjelmaan (al-H{ulu>l) kaum
sufi dan bersatunya Tuhan (al-La>hu>t) dengan raga manusia (al-Na>su>t)
dalam doktrin teologi Kristen.104 Abu al-H{asan al-Ash‘ari> (260-324 H)
mengungkapkan adanya sepuluh aliran tentang ‚al-Muda>khalah‛
(saling mengisi), ‚al-Muja>warah‛ (berdampingan), dan ‚al-
Muka>manah‛ (terpendam).105 Inilah tiga tipe bertempatnya jiwa
material di dalam raga material yang tak ada empatnya:106

100
Merupakan teori yang di pilih Niz}z}a>miyah aliran syaikh Mu’tazilah.
Lihat Abu H{asan al-Ash‘ari>, Maqala>t al-Isla>miyi>n, 26. Lihat Ibn H{azm al-Andalu>si>\,
Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 255.
101
Istilah dan kajian menggunakan al-Nafs merupakan hal yang baru dalam
terminologi salaf, kajian ini biasa dipakaikan filosof selanjutnya menyebar dalam
ranah pemikiran Islam. Lihat Al-Qa>d}i ‘Abd al-Jabba>r, Al-Mugni> fi Abwa>b al-Tauhi>d,
Vol. XI, 312.
102
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 254.
103
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 193
104
Al-Shahrasata>ni membagi aliran-aliran Kristen pada abad ke-6 H
menjadi tiga aliran: Melkitism, Nestorianism dan Yakobism. Dasar perbedaan aliran
tersebut dilihat dari perbedaan pendapat seputar karakteristik Jesus, yaitu bagaimana
bertempatnya Tuhan di raga manusia. Lihat Abu al-Fath} al-Shahrasata>ni>, Al-Milal
wa al-Nih}al, Vol. I, 265.
105
Abu Hasan al-Ash‘ari>, Maqa>la>t al-Islamiyi>n, Vol. II, 23-24.
106
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 258.
116

1) Bersatu padu dan bercampur, disebut dengan istilah ‚al-


Muda>khalah‛ dan ‚al-Mukha>lat}ah‛ .107 Seperti merembesnya air dalam
tanah liat, air di dalam daun, api di dalam besi, listrik di dalam kabel,
jin ke dalam raga keserupan, dan air ke dalam awan. Jiwa merupakan
material halus dan ringan, sementara raga merupakan material tebal.
Merembesnya material halus ke dalam material tebal sesuatu yang
biasa terjadi. Merembesnya jiwa ke dalam raga lebih mudah dari
merembesnya air ke dalam tanah, karena jiwa lebih halus dan lebih
ringan. Sehingga, dalam setiap anggota raga ada jiwa, di tangan ada
jiwa, di kaki ada jiwa, jiwa dan raga bersatu padu.
2) Berdampingan, melengket, dan tidak menyatu, disebut juga
dengan istilah ‚al-Muja>warah‛, ‚al-Mula>basah‛ dan ‚al-
Mula>s}aqah‛.108 Seperti air ke dalam wadahnya, dan manusia ke dalam
bajunya. Jiwa dan raga tidaklah menyatu, tapi jiwa menyampuli raga.
Raga bersebelahan dan berdampingan dengan jiwa yang melapisinya.
Sehingga manusia teridiri dari dua lapis: lapisan dalamnya raga yang
tampak, dan lapisan luarnya jiwa yang tak tampak.
3) Jiwa bertempat di suatu tempat di dalam raga yang disebut
dengan istilah ‚al-Muka>manah‛. Hanya ada dua opsi untuk tempat
tersebut: di dalam otak atau di dalam jantung. Jiwa mengatur raga
melalui daya yang ditimbulkan melalui urat-urat saraf.109 Sekalipun
ada jarak antara jiwa dan anggota raga yang digerakkan, jarak tersebut
tidaklah memakan waktu, karena kerjanya sangat cepat, seperti tarikan
magnet terhadap besi.
Ibn H{azm (384-456 H) tidak memilih satu teori yang terkuat,
merurutnya ketiga opsi tersebut sah-sah saja. Bagi Ibn Qayyim (691-
751 H) hubungan jiwa dan raga adalah teori yang pertama, yaitu jiwa
dan raga bersatu padu, mengalir di seluruh raga, seperti api di dalam
bara.110 Berbeda dengan Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) yang lebih
cenderung pada teori ketiga, jiwa berada di jantung atau di otak.
Namun pada akhirnya, al-Ra>zi> lebih memilih jantung sebagai tempat
keberadaan jiwa,111 karena lebih dekat dengan wahyu ilahi.112Al-Qalb

107
Ibn Qayyim al-Jauzi>>, Al-Ru>h}, 230. Lihat juga Al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r,
Al-Mugni, Vol. XI, 310.
108
Ibn Qayyim al-Jauzi>>, Al-Ru>h}, 214.
109
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 258.
110
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 230, 194.
111
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXI, 44.
117

sering kali diterjemahkan dengan ‚hati‛ ke dalam bahasa Indonesia.


Al-Qalb dalam bahasa Arab berarti organ ‚jantung‛. Sedangkan organ
hati dipakaikan kata ‚al-Kibd‛. Material jiwa berada di dalam jantung,
dengan cara meresap (al-Muda>khalah) seperti air di dalam daun.
Menurut Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Jantung adalah tempat ilmu, sumber
gerak, yang mengatur raga. Jantunglah yang memberi perintah kepada
otak, dan otak memerintahkan anggota raga lainnya melalui urat-urat
saraf.
Adapun dalam mengidentifikasi jenis material penciptaan jiwa,
teolog berbeda pendapat tentang material jiwa yang ada di dalam raga
yang dimaksud. Uniknya, pendapat-pendapat yang diutarakan tak jauh
berbeda dengan pendapat-pendapat filosof terdahulu yang diutarakan
dan dikritik oleh Aristoteles (384-322 SM) dalam kitab ‚al-Nafs‛.113
Hal ini membuktikan telah meluasnya kajian keilmuan Yunani di
dunia Islam. Sebut saja Fakhr al-Di>n al-Razi> (544-606 H) yang
mengutip beberapa pengidentifikasian yang menurutnya terkuat dan
mempunyai banyak pendukung di dunia Islam.114 Lihat juga Qad}i> ‘Abd
al-Jabba>r (359-415 H), ketika mengidentifikasi siapakah itu manusia
yang dibebani syariah (al-Mukkalaf)?115 Baik yang hanya menyebut
tokoh muslim saja, maupun yang merunutnya jauh ke belakang, ke
filosof Yunani. Teolog yang anti filsafat, biasanya hanya menyebut
‚dikatakan‛, ‚menurut sekelompok orang‛ tanpa menyebut nama
filosofnya. Menurut al-Shahrasata>ni> (479-548 H) filosof Muta’akhirin
seperti filosof muslim mengabaikan penyebutan nama filosof Yunani.
116
Bisa jadi untuk memalsukan maupun menyamarkannya di dunia
Islam sehingga terhindar dari kericuhan.
Teori-teori tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Teori Leucippus of Miletus117 (h. abad ke-5 SM) dan
muridnya Democritus (470-370 SM) pendiri aliran Atomisme yang

112
‚Mereka mempunyai al-Qalb, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah)‛ (QS. Al-A’ra>f [7]: 179)
113
Lihat ‚Sejarah aliran-aliran kejiwaan‛, Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 9.
114
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 24-27.
115
Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r, Al-Mugni> fi Abwa>b al-Tauh}i>d wa al-‘Adl, Vol. XI,
310.
116
Al-Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih{al, Vol. II, 374.
117
Liucippus adalah pendiri aliran atomisme. Tidak diketahui biografinya,
kehidupannya, lahir dan wafatnya. Riwayatnya hanya diketahui dari beberapa
penuturan muridnya terutama Democritus. Sepertinya ia lahir di Miletus. Dia banyak
118

menyatakan bahwa jiwa adalah material terkecil yang tak dapat dibagi
lagi (atom). Material yang tak terbagi tersebut adalah api, yang dapat
menjalar diseluruh tubuh. Ada dua karakteristik utama api: Pertama
panas bersinar atau menghasilkan cahaya, dan kedua bergerak. Oleh
karena itu, jiwa juga mempunyai dua karakter: mengetahui dan
menggerakkan. ‚Mengetahui‛ merupakan salah satu jenis cahaya.
Sedmentara raga digerakkan oleh panas insting menurut dokter
(Yunani).118
2) Teori Diogenes of Apollonia119 (h. 425 SM) dan
Anaximenes120 (585-528 SM) yang menyatakan jiwa berasal dari
udara. Menurutnya, udara merupakan material paling halus. Udaralah
yang terus bergerak dan menggerakkan raga. Oleh karena itu, selagi
udara keluar masuk raga, manusia akan tetap hidup. Namun, bila udara
tidak bergerak keluar masuk raga, manusia akan menemui ajalnya.
Bisa dikatakan hidup adalah bernafas, berhenti bernafas adalah
kematian. 121

terpengaruh oleh Parmanedes. Dia mendirikan sekolahnya di Abdera. Yang pasti,


Liucippus adalah filosof abab ke-5 SM. Diatas angkatan Democritus muridnya. Lihat
‘Ali Sa>mi al-Nashsha>r, Di>muqri>tus wa Atha>ruhu fi> Fikr al-Falsafi h}atta ‘Us}u>rina> al-
H{adi>thah, 191-197.
118
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 10. Lihat juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>,Arba‘i>n fi
Us}u>l al-Di>n, Vol. II. 24. Lihat juga Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 191.
119
Diogenes lahir di Apollonia, namun tidak di ketahui apakah Apollonia di
pulau Kreta atau di Laut Hitam. Dia dikenal sebagai filosof terakhir pra-Socratik.
Socrates diriwayatkan pernah belajar dengan Diogenes di Apollonia. Menurut
kesaksian Antisthenes, Diogenes belajar dari anaximenes. Lihat Tales of Miletus,
Tari>kh al-Fala>sifah, 149-166.
120
Anaximenes mulai terkenal sekitar tahun 545 SM, tidak banyak yang
diketahui tentang riwayat hidupnya, sementara tahun kematiannya diperkirakan
sekitar tahun 528/526 SM. Ia diketahui lebih muda dari Anaximandros. Ia menulis
satu buku, dan dari buku tersebut hanya satu fragmen yang masih tersimpan hingga
kini. Dia merupakan representasi terakhir filsafat Miletos. Anaximenes hidup
sezaman dengan Tales dan Anaximandros, dalam tradisi Barat mereka disebut
beraliran Miletos. Lihat Ami>rah H{ilmi Mat}ar, Al-Falsafah al-Yu>na>niyah: Tari>kh wa
Mushkila>tuha>, 55-56.
121
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 14. Lihat juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi
Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 25. Lihat juga Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 192. Lihat juga Ibn
H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 255. Lihat juga ‘Ad}d} al-
Di>n al-Eiji>, Al-Mawaqif, 260.
119

3) Teori Thales of Miletus122 (624-546 SM>) yang menyatakan


jiwa berasal dari air. Airlah yang menggerakkan raga. Airlah yang
membuat raga menjadi hidup, tumbuh dan berkembang. Air meresap
diseluruh raga, menghidupkan dan menggerakkannya.123
4) Teori Empedocles124 (490-430 SM) dan Anaxagoras125 (500-
428 SM) yang menyatakan jiwa terdiri dari pencampuran empat
elemen dasar: tanah, air, api dan udara. Keseimbangan pencampuran
antara keempat elemen tersebut dengan kadar kualitas dan kuantitas
122
Tales adalah seorang filosof yang mengawali sejarah filsafat Barat pada
abad ke-6 SM. Sebelum Thales, pemikiran Yunani dikuasai cara berpikir mitologis
dalam menjelaskan segala sesuatu. Pemikiran Tales dianggap sebagai kegiatan
berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya
tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia. Dia dikenal sebagai salah
satu filosof yang tujuh (Asat}i>n al-Sab‘ah). Thales (624-546 SM) lahir di kota Miletus
yang merupakan tanah perantauan orang-orang Yunani di Asia Kecil. Tales adalah
seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir. Di Mesir, Tales mempelajari
matematika dan membawanya ke Yunani. Ia dikatakan dapat mengukur piramida
dari bayangannya saja. Lihat profilnya dalam Tales of Miletus, Tari>kh al-Fala>sifah,
5-11. Lihat juga Yusuf Kiram, Tari>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah, 12.
123
Aristoteles. Kita>b al-Nafs, 14. Lihat juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n
fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 25.
124
Empedocles lahir 490 SM di Agrigentum (Acragas) di Sisilia dari
keluarga terhormat. Empedocles melanjutkan tradisi demokrasi keluarganya dengan
membantu menggulingkan pemerintahan oligarki. Kepribadiannya dihikayatkan
antara khayalan dan realitas. Dia dikenal sebagai seorang filosof, penyair, politikus,
dokter, alim, tokoh agama, dan orang yang mengklaim mengetaui berita langit
(kenabian). Diriwayatkan dia belajar dari Pythagorism. Dia wafat di umur 60 tahun
pada 430 SM. Lihat profilnya dalam Mus}t}afa> al-Nashsha>r, Tari>kh al-Falsafah al-
Yu>na>niyah min Manz}ur al-Sharqi>, Vol. II, 271-274. Lihat juga Jama>l al-Di>n al-Qift}i>,
Ikhbar al-Ulama’ bi Akhba>r al-H{ukama’, 12-13.
125
Menurut Apollodoros, Anaxagoras lahir 500 SM hidup 72 tahun dan
meninggal pada tahun kelahiran Plato 427 SM. Ia lahir dan meniggal di Klazomenai,
Ionia, asia kecil. Namun ia berkarya dan berkarir di Athena selama 50 tahun. Oleh
karena itu, dia filosof Athena yang pertama. Pericles lalim belajar filsafat darinya
sebagaimana penuturan Plato, begitu juga Euripides, dramawan Yunani tersohor.
Ketika Pericles berusia lanjut, musuh-musuhnya berhasil memfitnahnya sebagai
murtad. Dari pertolongan Pericles dia selamat dari hukuman mati dan pindah ke
Lampsakos. Lihat profilnya dalam Ami>rah H{ilmi> Mat}ar, Al-Falsafah al-Yuna>niyah:
Tari>kh wa Mushkila>tuha>,104-105. Lihat juga Jama>l al-Di>n al-Qift}i>, Ikhba>r al-Ulama’
bi Akhba>r al-H{ukama’, 44.
120

tertentu, itulah yang membuat kehidupan. Apabila kadar percampuran


keempat elemen tersebut tidak seimbang atau rusak, baik secara
kualitas maupun kuantitas, itulah yang menyebabkan kematian. Jadi,
jiwa adalah racikan dari empat unsur dasar dengan kadar kualitas dan
kuantitas tertentu.126
5) Teori Critias127 (460-403 SM) yang menyatakan Jiwa adalah
darah, tempatnya di jantung (al-Qalb), aliran darahlah penyebab
kehidupan, sumber kekuatan, penggerak raga. Apabila darah berhenti
mengalir di dalam raga, datanglah kematian.128
Masih banyak lagi teori yang mengklaim berbagai material
sebagai dasar jiwa. Namun Aristoteles (384-322 SM) mengklaim
bahwa tidak ada pendapat yang mengatakan jiwa tercipta murni dari
tanah, kecuali teori pencampuran elemen yang empat, yang salah
satunya adalah tanah. 129 Tidak heran, teori-teori tentang asal-usul jiwa
diatas serupa dengan teori asal usul penciptaan alam semesta
(kosmologi). Tak diragukan, mereka memandang manusia sebagai
makhluk mikrokosmos di alam semesta. Bagi filosof, yang pertama
kali diciptakan adalah jiwa yang disebut dengan al-‘Aql atau al-Nafs.
Pada akhirnya Aristoteles menolak semua asal jiwa dari material,
baginya jiwa berasal dari sesuatu yang immaterial. Namun, Lima teori
diatas bisa dikatakan teori terkuat dan mempunyai banyak pendukung.
Dari berbagai pendapat tersebut, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606
H\) memilih material halus yang berbeda dengan material raga yang
tebal. Material halus tersebut menurutnya, dapat mengalir di dalam
raga. Dalam ‚Mafa>tih} al-Gaib‛, al-Ra>zi> menjelaskan adanya dua jenis

126
Aristoteles. Kita>b al-Nafs, 12. Lihat juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi
Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 25. Lihat juga Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 191. Lihat juga
Abu H{asan al-Ash‘ari, Maqa>la>t al-Isla>miyi>n, Vol. II, 27. Lihat juga ‘Ad}d} al-Di>n al-
Eiji>, Al-Mawaqif, 259.
127
Critias (460-403 SM) adalah seorang penulis dan politikus Athena. Dia
adalah anak dari Callaeschrus dan merupakan Paman Plato. Dia seorang rekan
Socrates. Setelah jatuhnya Athena ke tangan Spartan, dia menjadi buronan. Critias
tewas dalam pertempuran dekat Piraeus. Critias merupakan figur dalam dialog-
dialog Plato. Bahkan salah satu dialog terakhirnya berjudul ‚Critias‛ .
128
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 15. Lihat juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi
Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 26. Lihat juga Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 191. Lihat juga
‘Ad}d} al-Di>n al-Eiji>, Al-Mawaqif, 260. Lihat juga pendapat Ibn al-Rawandi dalam
Abu H{asan al-Ash‘ari>, Maqa>la>t al-Isla>miyi>n, Vol. II, 26.
129
Aristoteles, Kita>b al-Nafs, 15.
121

material: (a) material dasar yaitu tanah, air, api dan udara, (b) material
campuran dari satu atau lebih dari empat material dasar. Menurutnya,
jiwa tercipta dari jenis material kedua, yaitu pencampuran material
dasar.130
Material yang terlahir dari keempat unsur tersebut, seringkali
ada satu unsur yang dominan. Material yang didominasi tanah dan air
cenderung tebal. Sebaliknya material yang didominasi oleh api dan
udara cenderung tipis dan halus. Raga merupakan material tebal,
karena didominasi unsur air dan tanah. Sementara jiwa merupakan
material halus, karena didominasi oleh unsur udara dan api.
Karakteristik material air dan tanah adalah tebal, berwarna dan
berpermukaan. Oleh karena itu, air dan tanah dapat di gapai oleh indra.
Sebaliknya, karakteristik material udara dan api adalah halus, tak
bewarna, tak berpermukaan, sehingga sulit diperoleh oleh indra.
Material halus (api dan udara) identik dengan material langit
(samawi), material tebal (air dan tahah) identik dengan material
bumi.131
Lebih lanjut Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) menjelaskan
bahwa al-Ru>h} didominasi oleh material udara dan api. Akan tetapi ada
dua pendapat tentang material tersebut: (a) Material unsur udara yang
bercampur dengan panas keinginan (insting) yang timbul bisa jadi di
jantung atau di otak. Ada yang mengatakan itulah dia al-Ru>h}, itulah
dia manusia. Ada juga yang mengatakan bahwa manusia adalah al-Ru>h}
yang berada di jantung. Ada juga yang mengatakan manusia adalah
bagian yang tak terbagi di otak. Ada juga yang mengatakan al-Ru>h}
merupakan partikular-partikular api yang bercampur dengan udara
yang ada di jantung dan otak. Partikular-partikular api itulah yang
dinamakan panas dorongan atau keinginan (insting), itulah manusia. 132
(b) Al-Ru>h} merupakan material cahayawi kelangitan lagi
halus, sebuah esensi yang berkarakter seperti cahaya matahari, yang
tak dapat terurai, berubah, terbagi dan terpecah-pecah. Apabila raga
telah terbentuk, dan telah benar-benar siap, sebagaimana firman Allah
‚Apabilah telah Aku sempurnakan penciptaannya‛ dirembeskanlah
material mulia kelangitan ketuhanan itu ke dalam anggota badan

130
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Vol. XXI, 44.
131
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Vol. XXI, 44.
132
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Vol. XXI, 45.
122

seperti merembesnya api di dalam bara, lemak di dalam daging, air di


dalam daun.‛133
Pendapat yang mulia, dan argumen yang kuat ini, perlu untuk
direnungkan, karena sangat banyak sesuai dengan al-Quran dan al-
Sunnah. Udara atau anginlah yang di tiupkan sebagaimana firman
Allah ‚Aku tiupkan kepadanya al-Ru>h-Ku‛ (QS. Al-H{ijr [15]: 29).
Sementara unsur api merupakan bahan diciptakannya malaikat dan jin.
Malaikat diciptakan dari cahaya atau sinar yang dipancarkan api. Jin
diciptakan dari nyala api.134 Dua jenis makhluk bermaterial halus yang
dapat menembus material tebal, hampir sama dengan jiwa atau al-Ru>h}-
nya manusia.
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) dalam permasalahan ini
hanyalah mengulas perdebatan lama. Sejarah Yunani kuno menuliskan
perdebatan antara kalangan pendukung aliran spiritual yang dipimpin
Plato (427-347 SM) dengan aliran material atomisme yang dipimpin
Democritus (470-370 SM). Bagi pendukung aliran atomisme, jiwa
merupakan material yang sangat kecil dan cepat bergerak. Material ini
hanya bisa dipresentasikan oleh api.135 Berbeda dengan tokoh
Ash‘ariyah pendahulunya, ‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji> (708-756 H) memberi
catatan dipenghujung bahasannya bahwa tak satupun teori yang dapat
membuktikan teorinya dengan pasti. Oleh karena itu, semua teori
tidak layak untuk dipegangi.136

2. Pembuktian Kematerialan Jiwa


Jiwa adalah material. Berkarakterkan panjang, lebar dan berisi.
Material tersebut esensinya berbeda dengan esensi raga yang dapat
diperoleh indra. Material itu adalah material cahaya, mulia, ringan,
hidup, bergerak menembus anggota raga, mengalir seperti air di dalam
daun, seperti lemak di dalam buah zaitun, seperti api di dalam bara.
Selama raga dapat menerima daya efek yang ditimbulkan, material
halus tersebut akan tetap berhubungan dengan seluruh anggota raga.

133
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Vol. XXI, 45.
134
‚Malaikat diciptakan dari cahaya, dan jin diciptakan dari nyala api‛.
Hadis S{ah}ih} dan Marfu’ dari ‘Aishah riwayat Imam Muslim, dalam Kita>b: al-Raqa>iq
wa al-Zuhd Bab: Ah{a>di>th Mutafarriqah, (no. 2996), Lihat Ima>m al-Muslim, Shahi>h
al-Muslim, Vol. II, 1364.
135
Muh}ammad Jala>l Sharf, Allah wa al-A<lam wa al-Insa>n, 223-224.
136
‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji>, Al-Mawa>qif, 260.
123

Daya atau efek yang ditimbulkan digunakan untuk mengindra dan


melakukan gerak opsional. Apabila anggota raga dirusak oleh zat
tertentu, sehingga tak dapat menerima efek yang ditimbulkan, jiwa
akan meninggalkan raga dan pindah ke alam Barzakh. Menurut Ibn
Qayyim (691-751 H) hanya teori inilah teori yang benar sebagaimana
ditunjukkan al-Quran, al-Sunnah, ijmak sahabat, petunjuk akal dan
fitrah.137
Untuk menguatkan pendapatnya, Ibn Qayyim mengemukakan
116 pembuktian.138 Sebagian besar merupakan dalil naqli>, dan
sebagiannya dalil ‘aqli>. Dalil naqli> yang dikemukakan sangat kuat,
sebaliknya dalil ‘aqli> yang dikemukakan sangatlah lemah. Dalil naqli>
mencakup seluruh ayat dan hadis yang menunjukkan sifat material,
seperti jiwa keluar, naik, dicabut, dan sifat-sifat material lainnya. Oleh
karena itu, teori filosof yang menyatakan jiwa bukanlah material, dan
hubungannya dengan raga adalah hubungan ketergantungan,
bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah, dan merupakan
pendapat yang batil dan jauh dari kebenaran.139
Adapun diantara dalil-dalil yang menunjukkan jiwa merupakan
material adalah sebagai berikut:
1) Jiwa dipengang, ditahan, dimatikan, dan dilepaskan, semua ini
jelas sifat material (QS. Al-Dhumar [39]: 42).140
2) Kehidupan adalah masuknya material jiwa ke dalam raga,
kematian adalah keluarnya material jiwa dari raga (QS.Al-An‘a>m [6]:
93), (QS. Al-Fajr [89]: 27-30). ‚Masuk‛, ‚Keluar‛ dan ‚Kembali‛
sangat jelas menunjukkan kematerialan jiwa.141
3) Keluarnya jiwa dari raga terlihat oleh mata, manusia meninggal
matanya melihat ke atas.142
4) Al-Ru>h} al-Shuhada’ berada di perut burung berbulu hijau, yang
mempunyai sarang-sarang yang bergantung di ‘Arash,143 hadis ini
sangat jelas menunjukkan bahwa al-Ru>h} merupakan material:
137
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 194.
138
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 194-211.
139
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 192.
140
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 194.
141
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 194-195. Lihat juga Ibn H{azm, Al-Fis}al fi
al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nih}al, Vol. III, 254.
142
‚Apabila jiwa dipegang (dicabut, keluarnya) diikuti oleh mata‛. Hadis
S{ahih dari Ummu al-Salamah, dalam Kita>b: al-Jana>iz, Bab: al-Igma>d} al-Mayyit, (no.
920). Lihat Ima>m al-Muslim, S{ah}i>h} al-Muslim, Vol. I, 409.
124

5) Al-Ru>h} yang baik keluar dari raga dengan mudah, berbau


wangi, dan naik ke langit. Al-Ru>h} yang jahat keluar dari raga dengan
susah payah, berbau busuk, kemudian naik ke langit. Namun, malaikat
tidak membukakan pintu langit.144 Semua ini dengan jelas
menunjukkan al-Ru>h} adalah material.
Masih banyak hadis-hadis yang serupa, yang menyatakan al-
Ru>h} atau jiwa manusia keluar dari raga dengan berbagai sifatnya yang
material. Begitu juga dengan hadis-hadis tentang ziarah kubur,
memberi salam kepada penghuni kubur, hadis tentang pengetahuan si
mayat dengan orang yang menziarahinya, dan menjawab salam
penziarahnya.145 Sementara dalil ‘Aqli yang dikumpulkan Ibn Qayyim
al-Jauzi> (691-751 H) tentang kematerialan jiwa, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Setiap orang yang berfikir waras, bila ditanya yang manakah
manusia itu? Pastilah dia akan menunjukkan postur raga ini, dan apa
yang ada di dalamnya. Tak seorangpun yang berfikir bahwa manusia
tidak di dalam raga, tidak juga di luar raga. Hal yang seperti ini tak
perlu diragukan dan dipikirkan.146
2) Semua orang pastilah menetapkan bahwa pembicaraan
mengarah pada postur raga dan apa yang ada di dalamnya. Begitu juga
dengan pujian, celaan, pahala, dosa, bujukan (al-Targi>b), dan menakut-
nakuti (al-Tarhi>b). Kalaulah ada orang yang menyebutkan bahwa
manusia yang diperintah, dilarang, dicela, dipuji dan berakal adalah
esensi transenden (immaterial), orang yang berfikiran waras pasti akan
tertawa mendengarnya, dan menyebutnya sebagai khayalan belaka. 147
3) Raga ini adalah tempat seluruh sifat jiwa, dan pengetahuannya,
baik yang universal maupun partikular, tempat daya gerakan opsional.

143
‚Al-Ru>h} para shuhada’ berada di dalam perut burung berbulu hijau,
burung itu mempunyai sarang-sarang yang tergantung di ‘Arsy, burung-burung
itupun dapat berkeliaran dengan bebas di surga.‛ Hadis S{ah}ih} dari Ibn Mas‘u>d secara
Mauqu>f, dalam Kita>b: al-Ima>rah, Bab: Baya>n Arwa>h} al-Shuhada’ fi al-Jannah, (no.
1887). Lihat Imam Muslim, S{ah}i>h} al-Muslim, Vol. II, 912.
144
Lihat hadis riwayat Ima>m al-Nasa>’i> dari Abu Hurairah, dalam Kita>b al-
Mala>ikah, (no. 11925). Lihat Imam> al-Nasa>’i>, Sunan al-Kubra>>,Vol.X, 423-424.
145
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 207.
146
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 210.
147
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 210.
125

Raga ini haruslah menjadi tempat yang membawa seluruh sifat dan
pengetahuan, tempat itu adalah raga dan apa yang ada di dalamnya.148
4) Raga adalah kendaraan dan tempat aktivitas jiwa. Masuk,
keluar, dan pindahnya jiwa seperti masuknya kapten ke dalam
kapalnya, dan penunggang ke atas kudanya. Kalaulah jiwa tidak dapat
masuk, keluar, pindah, bergerak, diam, itu sama saja dengan masuknya
kuda ke suatu kampung tanpa manusia itu di atasnya. Ini jelas-jelas
salah, karena yang masuk bukanlah manusianya, tapi yang masuk
adalah kuda, alias kendaraanya.149
5) Kalaulah jiwa manusia adalah esensi yang transenden, tidak di
dalam alam semesta, tidak diluar, tidak tersambung, tidak terputus,
tidak dihadapan dan tidak berdampingan dengan alam semesta,
tentunya manusia tahu tentang itu semua. Manusia lebih tau tentang
dirinya sendiri dari yang lainnya. Pengetahuan manusia tentang yang
lainnya dibangun atas pengetahuannya terhadap dirinya. Mayoritas
manusia penduduk bumi pastilah sepakat bahwa wujud jiwa yang
transenden adalah sebuah kemustahilan dan tak dapat dicerna akal
yang sehat.150

3. Perjalanan Akhirat Material


Bila telah jelas, baik jiwa maupun raga manusia adalah
material, jelas pula akhirat sebagai tempat pembalasan amal perbuatan
manusia semuanya juga material. Manusia material haruslah dibalasi
amalannya di tempat yang material. Tidaklah munkin manusia
material sedangkan akhirat tempat pembalasan amalannya spiritual.
Objek yang akan dibalasi haruslah sesuai dengan tempat yang
menampung objek tersebut untuk mendapatkan balasan amalannya.
Manusia material akan melewati beberapa tempat dalam perjalannya
menuju akhirat yang bersifat material. Beberapa fase yang akan
dilewati tersebut adalah sebagai berikut:

a. Barzakh
Ketika ajal menjemput, kematian datang, jiwa manusia keluar
dari raganya. Kematian membuat jiwa manusia pindah dari yang
disebut alam dunia ke alam Barzakh. Kata ‚Barzakh‛ dalam bahasa

148
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 209.
149
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 208.
150
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 209.
126

Arab biasanya digunakan dengan kata ‚antara‛. Barzakh adalah antara


ini dan itu. Karena Barzakh digunakan untuk pembatas dan
penghalang antara dua sesuatu.151 Dalam al-Quran‚Barzakh‛
mempunyai makna etimologi dan terminologi. Secara etimologi
‚Barzakh‛ digunakan untuk pembatas atau penghalang (QS. Al-Furqa>n
[25]: 53), seperti pembatas antara putih telur dengan kuning telur.
‚Barzakh‛ digunakan untuk pembatas agar dua material tidak
bercampur. Sementara secara terminologi, ‚Barzakh‛ digunakan untuk
pembatas waktu, waktu dunia dan akhirat (QS. Al-Mu’minu>n [23]: 99-
100). Dimulai dari kematian yang memisahkan jiwa dan raga, sampai
hari kiamat, pada waktu dibangkitkan dan bersatunya kembali jiwa
dan raga.152
Generasi salaf, Ahl al-Sunnah dan Mu’tazilah sepakat bahwa
Barzakh adalah pendahuluan akhirat.153 Manusia akan merasakan
kebahagian atau kesengsaraan sesuai dengan amal perbuatannya154 di
alam Barzakh sambil menunggu datangnya hari kiamat (QS. Ga>fir
[40]: 46). Penampakan neraka kepada Fir‘aun dan kaumnya baik pagi
maupun petang, tentunya bukanlah neraka akhirat, tapi alam
Barzakh.155 Begitu juga dengan masuknya kaum nabi Nuh as ke neraka
setelah tenggelam (QS. Nu>h} [71]: 25). Dari tenggelam dalam lautan
menjadi tenggelam dalam api yang membara.156 Neraka yang
dimaksud adalah alam Barzakh, bukan neraka akhirat. Akhirat dimulai
semenjak hari kiamat dan dibangkitkannya raga manusia. Rizki yang
diberikan Allah kepada para shuhada’ dalam ayat bukanlah di dalam
surga, tapi di alam Barzakh.
Hadis-hadis tentang karunia yang diberikan Allah kepada
hambanya yang soleh dan azab bagi para pelaku dosa menjelang
datangnya hari kiamat sangatlah banyak. Setelah manusia mati, dua

151
Muhammad Muz}ahari>, Al-Insa>n wa al-‘A<lam al-Barzakh (Beiru>t: Da>r al-
Muh}ajjaj al-Baid}a’, 1996), Cet. I, 19.
152
Muhammad Muz}ahari>, Al-Insa>n wa al-‘A<lam al-Barzakh, 20.
153
Muhammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 110.
154
‚Apabila salah seorang di antara kamu meninggal, maka diperlihatkan
kepadanya setiap pagi dan petang tempat tinggalnya (kelak di akhirat).‛ H{adi>th
S{ah}ih} riwayat Imam al-Bukhari dari Ibn ‘Umar dalam Kita>b: al-Jana>iz, Ba>b: al-
Mayyit Yu’rad}u ‘alaihi Maq‘adah, (no. 1379). Lihat Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}ih} al-
Bukha>ri>, 268.
155
Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Quran al-‘Az}i>m, Vol. XII, 194-195.
156
Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Quran al-‘Az}i>m, Vol. XIV, 144.
127

malaikat datang mengintrogasinya.157 Apakah dia akan menjadi


penduduk surga atau neraka. Jawaban yang diberikan akan berdampak
pada apa yang akan mereka dapatkan di alam Barzakh, bisa berupa
rizki, atau berupa azab yang pedih.
Kediaman jiwa material setelah meninggalkan raga banyak
diperselisihkan. Hal ini timbul dari banyaknya hadis, pendapat sahabat
maupun salaf tentang kediaman jiwa yang beragam. Kediaman jiwa
setelah mati merupakan perkara gaib (metafisika) yang hanya dapat
diketahui melalui berita langit (al-Sam‘iya>t). Oleh karena itu, yang
dipandang dalam permasalahan ini adalah dalil Naqli> yang
dikemukakan:
1) Jiwa Mukmin di Surga dan Jiwa Kafir di Neraka
Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hurairah158 (19 SH-57 H)
dan pengikutnya berpegang pada (QS. Al-Wa>qi‘ah [56]: 88-89). Jiwa
seorang mukmin berada di surga, baik yang mati syahid maupun
mukmin biasa, dengan syarat tidak ada dosa besar atau pun hutang
yang menjeratnya. Dia akan mendapatkan pengampunan dan rahmat
dari Tuhan alam semesta.159 Al-Muqarrabi>n dalam ayat adalah orang
yang melaksanakan amalan wajib dan amalan sunat, meninggalkan
yang haram, makruh, bahkan meninggalkan sebagian amalan yang
diperbolehkan. Tempat mereka adalah surga, dengan segala

157
‚Seorang hamba bila diletakkan di dalam kuburnya dan para
pengantarnya telah kembali pulang, sunggguh dia akan mendengarkan gesekan
sandal-sandal mereka. Lalu datanglah kepadanya dua malaikat, maka keduanya
mendudukkannya dan bertanya kepadanya.‛ Hadis S{ah}ih} riwayat Imam al-Bukhari,
dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar, dalam Kita>b: al-Jana>iz, Ba>b: al-Mayyit Yasma’ Khafq al-
Ni‘a>l, (no. 1338). Lihat Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}ih} al-Bukha>ri>, 260.
158
Dia adalah ‘Abd al-Rah}ma>n ibn S{akhr ibn Tha’labah ibn Fahm ibn
Ganim ibn Du>s al-Yama>ni> (19 SH-57 H), (599-676 M). Dahulu namanya ‘Abd al-
Shams, kemudian Rasulullah menggantinya dengan ‘Abd Allah. Digelari Abu
Hurairah karena dia mengembalakan ternak keluarganya bersama kucing kecil, pada
malam hari kucing itu diletakkan di atas pohon, di siang hari ikut bersamanya. Oleh
karena itu Rasul menggelarinya ‚Bapak kucing‛. Abu Hurairah adalah sahabat
Rasulullah dan salah seorang pembesar sahabat. Ahl al-H{adi>th sepakat bahwa Abu
Hurairah merupakan sahabat yang paling banyak periwayatan dan menghafal hadis
Nabi saw. Dia masuk Islam di tangan al-T{ufail ibn ‘Umar al-Du>si> dan hijrah ke
Madinah pada waktu perang Khaibar di tahun 7 H. Lihat Muhammad ‘Ijja>j al-
Khati>b, Abu Hurairah: Ra>wiyah al-Isla>m (Cairo: Maktabah Wahbah, 1982), Cet. III.
159
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 103.
128

ketentraman dan kesenangannya. As}ha} >b al-Yami>n adalah orang yang


telah dicap sebagai seorang muslim. Kelompok ini sekalipun
dinyatakan masuk surga, namun levelnya dibawah al-Muqarrabi>n.
Sebaliknya, Al-Mukadhdhibi>n adalah orang yang mendustakan fitrah
dirinya sendiri untuk beriman kepada Allah. 160 Mereka adalah orang-
orang sesat dan penghuni neraka jahannam. Hal ini dikuatkan oleh
panggilan Allah swt kepada jiwa hambanya yang saleh setelah dicabut
dari raga untuk masuk surga (QS. Al-Fajr [89]: 27-30). Bahkan
diriwayatkan: ‚Jiwa orang mukmin menjadi burung yang bertengger di
pepohonan surga, sampai pada waktu Allah membangkitkan raganya di
hari kiamat‛161
Sebagian kalangan menafsirkan ‚orang mukmin‛ yang
dimaksud dalam hadis adalah para shuhada’. Sehingga jiwa yang
masuk ke dalam surga hanyalah jiwa para shuhada’, bukan seluruh jiwa
mukmin. Menurut mereka, hadis tersebut telah diidentifikasi oleh
hadis shuhada’ perang Uh}ud yang mana mereka berada dalam
tembolok-tembolok burung hijau mengarungi sungai-sungai di surga.
Burung itu memakan buah-buahnya, dan berlindung pada sarang-
sarang emas yang tergantung dalam naungan ‘Arash. 162
Menurut Abu Umar ibn ‘Abd al-Bar163 (368-463 H), hadis-
hadis menunjukkan bahwa jiwa yang berada di surga adalah jiwa para
shuhada’ bukan mukmin biasa. Terkadang diungkapkan dengan ‚di

160
Ibn al-Kathi>r, Tafsi>r al-Quran al-‘Az}i>m, Vol. XIII, 396.
161
Hadis S{ah}ih} riwayat Imam al-Nasa>’i>, dari Ka‘ab Ibn Ma>lik, dalam Kitab
al-Jana>iz, Ba>b Arwa>h al-Mukmini>n, (no. 2211). Lihat Ima>m al-Nasa>’i>, al-Sunan al-
Kubra, Vol. II, 481.
162
Lihat hadis S{ah}ih} riwayat Abu Daud dari Ibn ‘Abba>s, dalam kitab: al-
Jiha>d, Bab: al-Fad}l al-Shaha>dah, (no. 2520). Lihat Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud
(Beiru>t: Da>r al-Risa>lah al-‘A<lamiyah, 2009), Vol IV, 173.
163
Dia adalah Abu ‘Umar Yu>suf ‘Abd Allah ibn Muh}ammad ibn ‘Abd al-
Bar ibn ‘A<s}im al-Namari> al-Andalu>si>, al-Qurtubi>, al-Ma>liki>, lebih popular disebut
Ibn ‘Abd al-Bar (368-463 H.). Dia seorang faqi>h, Mujtahid, al-H{afiz} dan muh}addith
di masanya. Dia seorang Qad}i> dan juga sejarawan. Ibn H{azm adalah sahabatnya yang
paling terkenal. Dalam masalah Aqidah, dia bermazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.
Pada awalnya dia seorang tekstualis, kemudian pindah ke Maliki> dengan
kecendrungan yang jelas kepada fiqih Shafi‘i> dalam banyak permasalahan. Ibn ‘Abd
al-Bar dilahirkan di Cordova, kemudian pindah ke Bat}lius di saat runtuhnya Bani
Umayyah II. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol XVIII,
153-162.
129

dalam perut burung‛ seperti dalam riwayat Imam Muslim164 (206-261


H), terkadang ‚seperti burung hijau‛seperti riwayat Imam al-
Tirmidhi165 (209-279 H). Menurutnya, mudah-mudahan yang benar
adalah seperti burung atau seperti bentuk burung,166 terbang
berkeliaran menikmati surga beserta isinya.
Ibn Qayyim (691-751 H) menepis pengidentifikasian (takhs}is})
hadis surga hanya untuk para shuhada’. Menurutnya, tidak ada
pertentangan antara hadis yang menyatakan al-Ru>h} shuhada’ di dalam
surga dengan al-Ru>h} mukmin biasa di dalam surga. Oleh karena itu,
hadis haruslah diterima sebagaimana adanya. Baik mukmin yang mati
shahid maupun tidak, semuanya di dalam surga. Dikhususkan
penyebutan al-Ru>h} para shuhada’menunjukkan tingginya martabat dan
posisinya di dalam surga.167 Seperti keberadaan Harithah -yang mati
shahid pada perang Badar- di surga Firdaus yang tertinggi.168 Surga

164
Dia adalah Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qushairi>,
al-Naisabu>ri>, imam Ahl al-Hadi>th. Lahir 206 H/ 821 M di kota yang terkenal sebagai
gudang ‘Ilm al-H{adi>th dan riwa>yah. Nasab keluarganya merujuk kepada suku Arab
asli, kabilah Qushair. Awalnya ia belajar dibawah didikan ayahnya, kemudian belajar
kepada banyak ulama, al-H{afi>z} dan imam-imam terkemuka di masanya. Namun
gurunya yang paling menonjol adalah Imam al-Bukha>ri>. Karyanya yang paling
menakjubkan adalah kitab al-S{ah}ih}, banyak bukunya yang telah hilang. Dia
meninggal pada 261 H/ 875 M di Naisa>bu>r . Lihat Abu Zakariya al-Nawawi>, Sharh}
S}ah}ih} Muslim (Cairo: al-Mat}ba‘ah al-Masriah bi al-Azhar, 1929), Cet. I, Vol. I, b-d.
165
Dia adalah Muh}ammad ibn ‘I<sa> ibn Saurah ibn Mu>sa> ibn al-D{ah}h}a>k, al-
Salami> al-Tirmi>dhi>, Abu ‘I<sa>. Lahir (209 H/ 824 M) di Tirmi>dh, sebuah kota selatan
Uzbekistan. Dia banyak mendengar (belajar) hadis dari ulama-ulama Khurasa>n, Irak,
H{ija>z dan lainnya. Karya terbaiknya adalah kitab ‚al-Ja>mi’ al-Kabi>r‛ atau ‚al-Ja>mi’
li al-Sunan‛, yang mengantarkannya mendapat gelar Ima>m. Tirmidhi menjadi buta di
akhir hayatnya, ia wafat di kampungnya ‚Bu>g‛ pada (279 H/ 892 M). Lihat
Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n ‘Abd al-Rah}i>m al-Muba>rkafu>ri>, Tuh}fah al-Ah}wa>dhi>:
Sharh} Ja>mi’ al-Tirmidhi>, Ed. ‘Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad ‘Usthma>n (Damaskus:
Da>r al-Fikr, tt.), Vol. I, 327.
166
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 109.
167
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 110-111.
168
‚Wahai Ummu H{arithah, Terdapat banyak surga, anakmu berada di surga
Firdaus yang tirtinggi‛. Lihat hadis S{ah}ih} dari Anas ibn Ma>lik, riwayat Imam al-
Bukhari>, dalam Kita>b: al-Jiha>d, Ba>b: man Ata>hu Sahm Garb fa Qatalah , (no. 2809).
Lihat Imam al-Bukha>ri, S{ah}ih} al-Bukha>ri>, 546.
130

Firdaus juga merupakan tempat dan impian Rasul saw. Dia


mendoakannya sebelum ajal menjemput. 169
Menurut Muja>hid170 (21-104 H), al-Ru>h} para shuhada’
bukanlah di dalam surga, tapi di halamannya. Arwah para shuhada’
mendapatkan rizki dari pintu surga. Pendapat ini berpegang pada
hadis: ‚Syuhada’ berada di ‚Ba>riq‛ (kilauan cahaya), yaitu sebuah
sungai di pintu surga, di kubah hijau, dari sanalah keluar rezki mereka
di pagi dan petang.‛171 Bagi Ibn Qayyim (691-751 H), hadis tersebut
tidaklah menafikan surga. Sudah jelas bahwa mereka menikmati rezki
dari surga, dan sungai tersebut adalah salah satu sungai surga.
Menurutnya, Muja>hid (21-104 H) hanyalah menafikan masuknya al-
Ru>h} secara sempurna ke dalam surga.172 Surga yang sebenarnya,
tempat yang disediakan khusus untuk penghuninya, hanya akan di
masuki setelah hari kiamat, setelah berbagai proses perjalanan, seperti
Mah}sha>r, penghitungan amal dan lainnya.
Adapun orang yang menyatakan bahwa al-Ru>h} mukmin berada
di sisi Allah swt, itu hanyalah ungkapan yang sopan dan luhur, yang
pada hakikatnya sisi Allah itu adalah sidrat al-Muntaha> di dekat surga,
tempat Nabi bertemu Allah pada waktu Mi’ra>j. Karena surga adalah
tempat bertemu dan melihat Allah,173 nikmat yang terbesar yang ingin

169
Rasul berdoa sebelum meninggal: ‚Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah
aku, dan pertemukanlah aku dengan sahabat-sahabatku (di surga yang tertinggi)‛.
Lihat hadis S{ah}ih} riwayat Imam al-Bukhari, dari ‘Aishah ra, dalam Kita>b: al-
Maga>zi>, Ba>b: Marad} al-Nabi> wa Wafa>tuh, (no. 4440). Lihat Ima>m al-Bukha>ri>, S}ahi>h
al-Bukha>ri>, 840.
170
Dia adalah Abu al-Hajja>j Muja>hid ibn Jabar al-Makki al-Makhzu>mi> (21-
104 H/ 642-722 M). Namanya sering disingkat ‚Mujahid‛ dalam buku-buku klasik.
Dia seorang imam, faqi>h, muh}addith, tersohor di bidang tafsir dan qiraah al-Quran
dan hadis. Muja>hid banyak meriwayatkan dari Ibn ‘Abba>s, yang telah
mengemukakan kepadanya al-Quran sebanyak tiga kali. Ia berhenti disetiap ayat,
bertanya bagaimana ayat ini dan tentang apa diturunkan. Mujahid belajar dari Ibn
‘Abba>s tafsir al-Quran dan qiraahnya. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>,Siyar al-A’la>m
wa al-Nubala’, Vol. IV, 449-457.
171
Hadis S{ah}ih} al-Isna>d riwayat Imam Ah}mad Ibn H{anbal, dalam musnad
Abd Allah ibn ‘Abba>s (no. 2390). Lihat Ima>m Ahmad ibn H{anbal, Al-Musnad. Ed.
Syaikh Shu ‘aib Arnaut} (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1995), Vol. IV, 220.
172
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 112.
173
‚Seorang mayat (salih) bila jiwanya telah keluar, akan naik ke langit
sampai berakhir pada langit tempat dimana Allah berada.‛ Hadis S{ah}i>h riwayat
131

diraih setiap muslim: ‚Tetapi mereka berada di sisi Allah mendapat


rezki‛ (QS. Ali Imran [3]: 169).‚ (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di
dekatnya ada surga tempat tinggal‛ (QS. Al-Najm [53]: 14-15)
2) Jiwa Mukmin Berada di Liang Kuburnya
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn ‘Abd al-Bar (368-463 H)
dalam bukunya ‚Tamhi>d lima> fi> al-Muwat}t}a’ min al-Ma‘a>ni wa al-
Asa>ni>d‛.174 Menurutnya, al-Ru>h} para shuhada’ berada di surga,
sebagaimana hadis yang telah berlalu. Sementara jiwa seorang
mukmin tetap berada di liang kuburnya dan tak keluar dari sana.
Pemahaman ini diambil dari sejumlah hadis yang menyatakan
datangnya dua malaikat di dalam kubur, di siksa dan diberi nikmat di
dalam kubur, ditambah lagi dengan hadis-hadis tentang si mayat yang
menjawab salam bagi penziarahnya.175 Ima>m Muslim (206-261 H)
meriwayatkan, si mayat yang dapat menjawab pertanyaan malaikat,
kuburnya dilapangkan 70 hasta, dan dipenuhi dengan tumbuhan hijau.
176
Dalam riwayat Imam al-Tirmidhi (209-279 H) dikisahkan bahwa
orang yang tak dapat menjawab, kuburnya akan disempitkan hingga

Imam Ah}mad dalam Musnad-nya Vol. II, 364 (no. 8754). Lihat takhrijnya dalam Ibn
Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 117.
174
Terdiri dari 26 volume, lihat Abu ‘Umar Ibn ‘Abd al-Bar al-Qurt}ubi>,
Tajri>d al-Tamhi>d Li Ma> fi al-Muwat}ta’ min al-Ma‘a>ni> wa al-Masa>ni>d, Ed. Mus}tafa>
ibn Ah}mad al-‘Alawi dan Muh}ammad ‘Abd al-kabi>r al-Bakri> (al-Riba>t}: Waza>rah
Shuu>n al-Isla>miyah bi al-Magrib, 1963), Vol. XIV, 103.
175
‚Tidaklah seorang muslim melewati kuburan saudaranya yang
dikenalnya ketika hidup di dunia, kemudian dia memberi salam kepadanya, niscaya
Allah mengembalikan kepadanya al-Ru>h}-nya untuk menjawab salam.‛ Hadis D{a‘i>f
Mu‘allaq riwayat Ibn ‘Abd al-Bar tanpa sanad, dan diriwayatkan oleh Ibn Qayyim
al-Jauzi> dalam ‚al-‘Ilal al-Mutana>hiyah fi Ah}a>di>th al-Wa>hiyah‛, dengan sanad
lengkap dari Ibn ‘Asa>kir yang tersambung kepada Abu Hurairah. Lihat Ibn Qayyim
al-Jauzi>, Al- ‘Ilal al-Mutana>hiyah fi Ah{adi>th al-Wa>hiyah, Ed. Shaikh Khali>l al-Ma>is
(Beiru>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), Vol. II, 911.
176
Imam Muslim menambahkan: ‚Qata>dah berkata: Disebutkan kepada
kami, mukmin yang dapat menjawab akan dilapangkan kuburnya 70 hasta, dan
dipenuhi oleh tumbuhan hijau sampai hari dibangkitkan‛Penambahan ini hanya di
dapatkan pada Imam Muslim, sedangkan sumber Qatadah ‚disebutkan kepada kami‛
tidaklah tersambung (Mauqu>f) kepada Rasulullah saw. Hadis dalam Kita>b: al-Jannah
wa S{ifah Na‘i>miha>, Ba>b: ‘Ard} maq al-Mayyit min al-Jannah wa al-Na>r, (no. 2870).
Lihat Ima>m al-Muslim, S{ah}ih} al-Muslim, Vol. II, 1313.
132

tulang-tulang rusuknya bertautan. 177 Liang kubur merupakan salah


satu taman surga atau jurang neraka. 178
Hadis-hadis sangat jelas menunjukkan bahwa al-Ru>h} berada di
liang kuburnya bersama raga. Dimulai dengan didudukkan untuk
menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.179 Bagi yang
menjawab dengan benar akan dilapangkan kuburnya, dan diberi
nikmat. Bagi yang tidak dapat menjawab, kepalanya di ketok dengan
palu, kuburannya menjadi sempit dan disiksa. Jawaban yang diberikan
adalah jawaban spontan atas amalan mereka, bukan jawaban opsional
yang dikendalikan akal. Seorang mukmin akan dapat menjawab, dan
seorang kafir maupun munafik tak dapat menjawabnya, karena seorang
mukmin diberikan keteguhan hati untuk menjawabnya (QS. Ibrahi>m
[14]: 27).180
Al-Ru>h} juga dapat menjawab salam para penziarahnya. Hadis
Nabi saw melewati kuburan dua orang mukmin, dia mendengar
keduanya sedang di azab, lalu meletakkan pelepah kurma di atasnya,
agar meringankan siksa kuburnya sampai pelepah itu kering. Hadis
juga menerangkan, bahwa seluruh binatang selain manusia dan jin (al-
Thaqlain) yang ada disekitarnya, mendengar jeritan orang yang di
siksa di dalam kuburnya.181 Semua ini sangat jelas menunjukkan
bahwa al-Ru>h} berada di liang kuburnya bersama raga.
Ibn Qayyim (691-751 H) menepis pendapat Ibn ‘Abd al-Bar
(368-463 H), menurutnya pendapat ini bertentangan dengan sunnah

177
‚Himpitlah dia, bumi pun menghimpitnya hingga tulang-tulang rusuknya
bertautan. Dia terus diazab sampai Allah membangkitkannya dari tidur panjang.‛
Hadi>th H{asan Gari>b riwayat Ima>m al-Tirmidhi> dalam Kita>b: al-Jana>iz, Ba>b: Ma> Ja>’a
fi> ‘Adha>b al-Qabr, (no. 1071). Lihat Ima>m al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi, 253-254.
178
‚Kuburan merupakan salah satu taman surga atau salah satu jurang
neraka‛. Hadis D{a‘i>f Riwayat Imam Tirmidhi dari Sa‘i>d al-Khudri, dalam Kita>b:
S{ifah al-Qiya>mah, (no. 2460). Lihat Ima>m al-Tirmi>dhi>, Sunan al-Tirmi>dhi>, 555.
179
Lihat hadis S{ah}ih} riwayat Imam al-Bukhari, dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar,
dalam Kita>b: al-Jana>iz, Ba>b: al-Mayyit Yasma’ Khafq al-Ni‘a>l, (no. 1338). Lihat
Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}ih} al-Bukha>ri>, 260.
180
Abu ‘Abd Allah al-Qurt}u>bi>, Al-Tadhkirah bi Ahwa>l al-Mauta> wa Umu>r
al-A<khirah, Ed. Ahmad ‘Abd al-Razza>q al-Bakri>dan Muhammad ‘A<dil Muhammad.
(Cairo: Da>r al-Sala>m, 2008), Cet. II, 139.
181
Hadis S}ah}ih} riwayat Imam al-Bukha>ri> dari Ibn ‘Abba>s dalam Kita>b: al-
Jana>iz, Ba>b: ‘Aza>b al-Qubr min al-Gi>bah wa al-Baul, (no. 1378). Lihat Imam al-
Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri>. 267.
133

yang tak terbantahkan. Al-Quran dan hadis yang benar telah jelas
menunjukkan bahwa al-Ru>h} para shuhada’ dan para Nabi berada di
surga yang tertinggi yang disebut dengan ‚al-Rafi>q al-A’la‛ ataupun
‚al-A’la> ‘Illi>yi>n‛.182 Beragamnya posisi mukmin di surga sesuai
dengan martabat amalan mereka masing-masing. Surga tertinggi
ditempati oleh para nabi, para shuhada’, dan s}iddi>qi>n (QS. Al-Nisa>’
[4]: 69).
Ada pula al-Ru>h} yang tertahan di pintu surga, ada pula yang
terbang berkeliaran di pepohonan surga, semua sesuai dengan
tingkatan dan amal perbuatan mereka. Bahkan ada pula al-Ru>h} yang
terkatung-katung antara langit dan bumi, karena hutang yang masih
membelitnya, sehingga tidak dibukakan pintu langit untuknya. 183
Menurut Ibn Qayyim (691-751 H), al-Ru>h} memang
dikembalikan ke dalam kubur, baik yang memang di dalam tanah
maupun yang kuburnya di perut hewan, di tiang salib, dan
sebagainya.184 Al-Ru>h} dikembalikan untuk menjawab pertanyaan
Munkar dan Naki>r. Setelah itu, al-Ru>h} naik ke atas, ke langit, dan
terus ke surga. Ada yang terhenti di pintu langit karena hutang, ada
yang di pintu surga, ada yang di dalam surga, ada yang di surga
tertinggi sesuai amalannya masing-masing. Sementara al-Ru>h} munafik
dan kafir, tidak dapat naik ke langit, karena tidak dibukakan pintu
langit untuknya (QS. Al-A’ra>f [7]: 40), dan al-Ru>h}-nya terombang-
ambing jatuh ke bumi (QS. Al-Haj [22]: 31).185
Menurut Ibn Qayyim, al-Ru>h} masih memiliki hubungan dengan
raganya, baik yang masih ada maupun raga yang telah binasa.
Sekalipun al-Ru>h} berada pada posisi tertinggi di surga, Allah
mengembalikan al-Ru>h} ke dalam raga untuk menjawab salam
penziarahnya. Dalam peristiwa Mi’ra>j, nabi melihat Musa as shalat
berdiri di atas kuburnya, Nabi juga melihatnya di langit ke-6 dan ke-7.
Bisa jadi al-Ru>h} itu sangat cepat bergerak dan pindahnya, seperti

182
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 115.
183
‚Jiwa seorang mukmin terkatung-katung karena hutangnya sampai
hutang tersebut dilunasi‛. Hadis S{ah}i>h} riwayat Imam al-Tirmi>dhi> dari Abu
Hurairah, dalam Kita>b: al-Jana>iz, Ba>b: Ma> Ja>a fi Raf’ al-Yadain ‘Ala al-Jana>zah,
(no. 1078-1079). Lihat Ima>m al-Tirmi>dhi>, Sunan al-Tirmi>dhi>, 255.
184
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 80.
185
Ima>m al-Qurt}u>bi>, Al-Tadhkirah,117.
134

kedipan mata. Bisa jadi al-Ru>h} berhubungan dengan raga seperti


pancaran cahaya matahari dengan planetnya.186
Pernyataan adanya hubungan al-Ru>h} dengan raga yang
berlainan tempat, menunjukkan Ibn Qayyim (691-751 H) tidak
konsisten dengan pendapatnya. Keterhubungan jiwa dengan raga
merupakan teori filosof, yang menyatakan hubungan jiwa dengan raga
adalah hubungan mengatur, tidak dari dalam raga tidak pula dari
luarnya. Sepertinya Ibn Qayyim terpengaruh dengan teori filosof
dalam memecahkan permasalahan ini. Begitu juga dengan teori
pancaran cahaya, Fakhr al-Di>n Al-Ra>zi (544-606 H) telah menganalisa
bahwa jiwa terbuat dari pencampuran elemen api dan udara.187 Elemen
api berupa cahaya yang dipancarkan, hampir sama dengan penciptaan
malaikat. Kendaraan nabi ketika Mi’raj disebut ‚Bu>ra>q‛ yang berarti
kilauan cahaya. Ilmuan telah menetapkan kecepatan cahaya
299.792.458 meter/detik. Sangat mustahil bila ditempuh jiwa dari
surga ke bumi hanya untuk menjawab salam. Padahal Ibn Qayyim
telah menyadari bahwa hadis menjawab salam dan penyempitan dan
perluasan kubur adalah hadis D{a‘>if dan Mauqu>f.188 Namun Ibn Qayyim
sebenarnya menerapkan aliran tekstualis Hana>bilah (salafi), yang lebih
mengutamakan hadis lemah sekalipun dari pada rasio (Qiya>s). Apabila
tidak ada satu hadis S{ah}ih} pun dalam suatu permasalahan, hadis D{a‘i>f
lebih kuat dari pada ‚Qiya>s‛.189
3) Jiwa Manusia Berada di Suatu Tempat di Bumi
Jiwa manusia berkumpul di suatu tempat di bumi (al-Ard})
sebagaimana dipahami dari ayat ‚bumi ini diwariskan kepada hamba-
hamba-Ku yang saleh‛ (QS. Al-Anbiya’ [21]: 105). Sekalipun
pemahaman tersebut merupakan salah satu bentuk penafsiran, namun
penafsiran tersebut tidaklah tepat. Para Mufassir berbeda pendapat
dalam memahami bumi (al-Ard}) yang dimaksud.190 Pertama, pendapat
mayoritas ulama yang menafsirkan bumi tersebut adalah bumi surga,

186
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}\, 113-114.
187
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Vol. XXI, 45.
188
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-‘Ilal al-Mutana>hiyah, Vol. II, 911.
189
Apabila tidak ada satu teks pun dalam suatu permasalahan, tidak ada
pendapat sahabat, atau salah seorang sahabat, tidak juga ada h}adi>th mursal bahkan
d{a‘i>f, barulah digunakan Qiya>s. Lihat Ibnu Qayyim Al-Jauzi>, I’la>m Muqa’i>n ‘an
Rabbi al-‘Alami>n (Saudi Arabia: al-Da>r Ibnu al-Jauzi>, 1423 H) Vol. I, 29-33.
190
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 120.
135

pengganti bumi dunia ini (QS. Ibra>hi>m [14]: 48).191 Kedua, bumi yang
dimaksud adalah bumi ini, Allah mewariskan bumi ini bagi hambanya
yang beriman. ‚mewariskan‛ disini maksudnya berkuasa atas umat
lainnya (QS. Al-Nu>r [24]: 55).192
Ada pula yang berpendapat bahwa al-Ru>h} mukmin berada di al-
‘Illi>yi>n di langit ke-7, dan al-Ru>h} kafir berada di al-Sijji>n di bumi ke
tujuh berpegang pada hadis yang menyatakan malaikat mencabut al-
Ru>h} mukmin membawa kain sutera dan wewangian. Kemudian
dicabutlah al-Ru>h} dari raga seperti menarik rambut dari dalam tepung.
Kemudian al-Ru>h dibungkus dengan kain dan wewangian tersebut
hingga dibawa ke ‘Illiyi>n. Sebaliknya malaikat membawa kain kasar
berkerikil untuk membungkus al-Ru>h} seorang kafir untuk selanjutnya
dibawa ke al-Sijji>n. 193
Ada juga yang berpendapat bahwa al-Ru>h} mukmin berkumpul
di sumur zamzam. Berkumpulnya al-Ru>h} mukmin di sumur zamzam
merupakan pendapat yang tak berdalil dan merusak.194 Ada juga
sekelompok orang yang menafsirkan bumi tersebut dengan Bait al-
Maqdis (Palestina).195 Ada yang berpendapat bahwa al-Ru>h} mukmin di
‚al-Ja>biah‛ dan al-Ru>h} kafir berada di ‚Barhu>t‛ di Had}arat al-Maut.
Menurut Ibn H{azm196 (384-456 H), pendapat ini diutarakan oleh
Syi‘ah al-Ra>fid}ah.197 Namun menurut Ibn Qayim (691-751 H),

191
‚(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit.‛ (QS. Ibra>hi>m [15]: 48). Lihat Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Quran
al-‘Az}i>m, Vol. IX, 457.
192
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 120.
193
Hadis dikutip oleh Imam al-Qurtubi> dalam kitab al-Tadhkirah, pentakhrij
hadis memberi nilai S{ah}i>h} Isna>d, diriwayatkan oleh Imam al-Nasa>i> (no. 1959),
namun tak ditemukan hadis tersebut pada nomor itu. Lihat Imam al-Qurt}ubi>. Al-
Tadhkirah bi Ah}wa>l al-Mauta> wa Umu>r al-A<khirah, 56.
194
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 121.
195
Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Quran al-‘Az}i>m, Vol. IX, 457.
196
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al,Vol II, 375.
197
Al-Ra>fid}ah merupakan istilah yang dipakaikan muslimin untuk
menyebut sekte syi‘ah yang menolak kepemimpinan Zaid ibn ‘Ali ibn H{usain ibn
‘Ali ibn Abi T{a>lib, namun ketika ditanya Abu Bakr dan Umar, mereka
mendoakannya. Pada waktu itu, Syi‘ah terbagi menjadi dua, al-Ra>fid}ah bagi yang
menolak, dan al-Zaidiayah bagi pendukung Imam Zaid ibn ‘Ali. Ahl al-Sunnah,
Syi‘ah al-Zaidiyah dan Iba>d}iyah menggunakan sebutan ini untuk Syi‘ah Isma>‘i>liyah
dan Ithna> al-‘Ashriyah. Lihat Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyah, Minha>j al-Sunnah al-
136

pendapat ini diutarakan oleh Ahl al-Sunnah diriwayatkan dari sahabat


dan tabi‘i>n.198
4) Jiwa Manusia Berada di Tempat Awal Penciptaannya
Pendapat ini diutarakan oleh Ibn H{azm al-Anda>lu>si> (384-456
H). Menurutnya, setelah seseorang meninggal, al-Ru>h-}nya akan
kembali ke tempat semula, tempat al-Ru>h} diciptakan sebelum
ditiupkan ke dalam raga masing-masing. Pendapat ini tentunya
dilandasi oleh teori terciptanya jiwa secara keseluruhan jauh sebelum
raga. Bagi Ibn H{azm, Barzakh adalah nama tempat ketika al-Ru>h}
diciptakan dan diambil janjinya untuk bertauhid. Setelah
meninggalkan raga al-Ru>h} kembali ke alamnya, yaitu alam ‚Barzakh‛
yang terletak di langit, dan dilihat Nabi saw ketika Mi’ra>j. Penghuni
surga disebelah kanan Adam as dan penghuni neraka disebelah kiri
Adam as.199 Menurut Ibn Qayyim (691-751 H) pendapat ini sama
sekali tidak berdalil. Tidak ada disebutkan baik dalam al-Quran
maupun al-Sunnah bahwa Barzakh tempat al-Ru>h} diciptakan sebelum
raga.200
Perdebatan seputar kediaman jiwa setelah meninggalkan raga
dan sebelum datangnya hari kiamat, meninggalkan sebuah
permasalahan berar. Apakah sebenarnya hakikat Barzakh ? Tempat
siksa kubur dan kebahagian kubur itu? Pada dasarnya permasalah ini
kembali pada topik utama pembahasan. Siapakah manusia yang
dibalasi amalannya tersebut? Bagi yang berpendapat manusia adalah
material raga, tentunya siksa kubur terjadi di liang kubur. Bagi yang
berpendapat manusia adalah jiwa material yang ada di dalam raga,
azab dan nikmat kubur tentunya ditentukan oleh kemana perginya jiwa
material setelah keluar dari raga. Selanjutnya, apakah siksa hanya
untuk raga, atau jiwa saja atau kedua-duanya? Rumitnya masalah,
mulai dari dalil yang dipegangi sampai rasionalitas perkara, membuat
sekelompok muslim rasionalis mengingkari adanya siksa kubur:
1) Siksa dan Nikmat Kubur untuk Jiwa dan Raga

Nabawiyah fi Naqd} Kala>m al-Shi‘ah al-Qadariyah, Ed. Muh}ammad Risha>d Sa>lim


(Riya>d}: Ja>mi‘ah Ibn Su‘u>d al-Isla>miyah, 1986), Vol. I, 35.
198
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 119.
199
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al,Vol II, 377.
200
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 121.
137

Pendapat ini merupakan kata sepakat salaf sebelum timbulnya


perselisihan dan pendapat mayoritas Khalaf.201 Siksa kubur untuk jiwa
dan raga, dalam artian jiwa dikembalikan ke dalam raga di dalam
kuburnya, atau jiwa masih mempunyai hubungan dengan raga
sekalipun telah berpisah. Menurut pendapat ini, manusia dihidupkan di
dalam kuburnya untuk ditanya malaikat Munkar dan Naki>r. Bagi yang
tak dapat menjawab akan disiksa, bagi yang dapat menjawabnya akan
diberi nikmat. Makna ‚hidup‛ adalah kembalinya jiwa ke dalam raga,
baik sebagai esensi (material) maupun aksiden. Raga manusia hanya
dapat merasa bila al-Ru>h} ada padanya. Bila tidak, raga tak ubahnya
benda mati yang tak merasa. Ibn Qayyim (691-751 H) menyatakan
bahwa ini merupakan mazhab salaf dan imamnya, yaitu jiwa yang
kekal setelah keluar dari raga akan diberi nikmat atau akan disiksa.
Terkadang jiwa berhubungan dengan raga, sehingga sama-sama
merasakan nikmat atau siksa.202
Tanya jawab yang berlangsung di dalam kubur pastilah terjadi
kepada orang yang berakal waras dan penuh kesadaran, bila tidak,
tentunya hanyalah kesia-sian. Teks hadis yang dengan jelas
menyatakan kembalinya al-Ru>h} ke dalam raga waktu ditanya malaikat
Munkar dan Naki>r kesahihannya diperdebatkan. 203 Ibn Qayyim
mengklaim hadis tersebut Sahih. Awal hadis dengan lafaz yang
berbeda juga diriwayatkan oleh Imam Abu Daud204 (202-275 H). 205

201
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif li Ad}d} al-Di>n al-Eiji>,
Vol. VIII, 345. Lihat juga Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 59.
202
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 59.
203
Hadis dari Barra’ ibn ‘A<zib diriwayatkan oleh Abu ‘Awwa>nah al-
Asfiraini, dikutip oleh Ibn Qayyim al-Jauzi> dalam kitabnya al-Ru>h}, pentakhrij hadis
buku tersebut ‚Dr. Muhammad Muhammad Ta>mir‛ mengaku tidak mampu atau
tidak menemukan hadis tersebut. Lihat Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 48-49.
204
Dia adalah Abu> Daud Sulaima>n ibn al-Ash‘at ibn Ish}a>q ibn Bashi>r al-
Azdi> al-Sajista>ni> yang populer dikenal sebagai Abu Daud pengarang kitab ‚ Sunan
Abi Daud‛. Lahir di Sajista>n, Iran pada 202 H/ 817 M. Dia me-nuqil-kan hadis dari
ulama Irak, Khurasa>n, Sha>m, dan Mesir. Dia menghimpun dalam kitab Sunan 4.800
hadis yang tidak saja s}ah{ih} tapi juga mencakup yang H{asan dan D}a‘i>f dan yang
belum terkumpulkan. Jumlah itu didapat setelah memilah 500.000 hadis yang
menjadi dalil dan rujukan fuqaha dalam berfatwa. Dia wafat pada 275 H/ 888 M.
LihatMah}mu>d Muh}ammad Khita>b al-Subki>, Al-Manhal al-‘Adhb al-Mauru>d (Beiru>t:
Muassasah al-Ta>ri>kh al-‘Arabi>, tt),Vol. I, 15.
138

Bahkan menurutnya, seluruh Ahl al-Sunnah dan Ahl al-Hadis


menekankan kes}ah}ih}an hadis ini. Sementara yang berpendapat
berbeda, banyak melemahkan hadis yang matannya berbau khayalan
tentang siksa kubur, seperti penyempitan kubur, perluasan kubur
sepanjang mata memandang, ditumbuhi tumbuhan hijau, menjawab
salam dan lainnya. Disamping dinilai cacat dari sisi matan, sanad-nya
juga dipandang lemah, dan tidak sampai derajat sahih dan mutawatir
sehingga tidak dapat menjadi pijakan dalam urusan akidah.
Ibn H{azm (384-456 H) menegaskan bahwa tidak satupun hadis
Rasulullah saw. yang sahih menyatakan al-Ru>h} orang yang telah mati
kembali ke raganya ketika ditanya. Seluruh hadis yang telah jelas
kesahihannya berlawanan dengan hadis tersebut.206 Ibn Qayyim (691-
751 H) menyadari adanya kelemahan tersebut dan membantahnya.
Menurutnya, pendapat itu merupakan pendapat serampangan (dari Ibn
H{azm). Hadis tersebut kesahihannya tak perlu diragukan. Hadis dapat
dikuatkan dengan periwayatan sekelompok orang lainnya yang
senada.207
Disamping menghadapi serangan dari sisi tekstual (Naqli>),
aliran ini juga mendapat serangan dari sisi rasionalitas (‘Aqli>) yang
luar biasa. Bagaimana raga di dalam kubur mendapatkan kesenangan
berupa: tanaman hijau, seluas mata memandang, kenikmatan surga,
dan mendapat siksaan berupa: diketok dengan palu besi, dibakar
dengan api yang menyala dan sebagainya. Sementara kondisi mereka
tak berubah di dalam kuburnya. Tidak ada bekas api, palu besi dan
sebagainya, bahkan raga telah menjadi tanah, dimakan ulat dan
diterbangkan angin. 208
Kalaulah kita ingin coba memastikan dengan membongkar
kuburan yang ada. Tidak ditemukan adanya ular-ular maupun api yang
menyala sebagai siksa bagi kaum durhaka. Bagaimana bisa kuburnya
menjadi luas seluas mata memandang atau menyempit hingga tulang

205
‚Kami pergi dengan Rasulullah mengurus jenazah seorang Ans}a>r. Kami
sampai di kuburannya, dan jenazah belum dimasukkan ke dalam lahatnya. Kemudian
Rasul saw. duduk menghadap kiblat dan kami duduk bersamanya.‛ Hadis S{ah}i>h}
Isna>d riwayat Imam Abu Daud dari Barra’ ibn ‘A<zib, dalam Kitab: al-Jana>iz, Ba>b:
Julu>s ‘Inda al-Qubr, (no. 3212). Lihat Imam Abu Daud,Sunan Abi Daud, Vol. V, 122.
206
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nihal, Vol. II, 373-374.
207
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 53.
208
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 112-113. Lihat juga
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 348.
139

rusuknya remuk. Belum lagi tempat untuk malaikat yang berbentuk


orang yang lembut (bagi penghuni surga) dan sangar (bagi penghuni
neraka). Ukuran lahat si mayat juga tidak pernah berubah, tetap
sebagaimana dibuatkan untuknya. Tak ada perubahan apapun yang
terlihat dari lahatnya. 209 Terlebih pada kasus mayat yang tidak
dikuburkan, tak ada perubahan pada raganya, dalam artian tidak ada
bekas siksaan atau pun kebahagian ditemukan pada raga si mayat.210
Seperti mayat yang mati di tiang salib dan dibiarkan dalam waktu
yang lama, tidak ada secercah bekas kenikmatan maupun kesengsaraan
pada si mayat.
Setiap hadis yang tidak sesuai dengan kehendak akal dan indra,
yang salah pastilah orang yang menyatakannya (periwayatan). Kritik
para rasionalis baik dari kalangan ateis maupun muslim sendiri cukup
telak dalam kasus ini. Untuk menjawabnya, Ibn Qayyim (691-751 H)
membagi masa menjadi tiga: (a) masa dunia, (b) masa Barzakh, dan (c)
masa akhirat. Setiap zaman memiliki aturan (sunnah) yang tersendiri.
211
Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Allah menjadikan al-Ru>h}
bergantung kepada raga dalam kehidupan dunia. Itulah sebabnya
hukum syariah bergantung pada gerakan raga yang tampak, seperti
menggerakkan lidah, gerakan anggota raga, sekalipun jiwa menyimpan
sesuatu yang berbeda dengan amalan raga. Sebaliknya dalam
kehidupan Barzakh, Allah menjadikan raga bergantung kepada al-Ru>h}.
Raga turut merasakan apa yang dirasakan al-Ru>h} seperti sebaliknya
pada kehidupan dunia. Raga turut merasa sakit jika al-Ru>h} merasa
sakit, dan begitu seterusnya. Sama ketika ada anggota raga sakit al-
Ru>h} turut merasakannya waktu di dunia.
Menurut Ibn Qayyim, api yang menyala dan tanaman hijau,
bukanlah seperti api dan tanaman hijau di dunia. Api dan tanaman itu
tak terlihat oleh penghuni dunia. Karena api dan tamanan tersebut
merupakan api dan tanaman akhirat.212 Api akhirat jauh lebih panas
tapi tidak dirasakan penghuni dunia. Malaikat memang tak terlihat,
Nabi saw. berbicara dengan jibril dihadapannya, tapi para sahabat tak
melihatnya. Begitu juga dengan kembalinya al-Ru>h} ke dalam raga
yang di salib, raga yang tercerai berai, kembalinya al-Ru>h} tak seperti

209
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 70.
210
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 116. Lihat juga Al-
Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 348.
211
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h},71-12.
212
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 74.
140

di dunia. Mereka ditanya dan menjawab di tiang salib, namun manusia


yang hidup di dunia tak menyaksikannya.213 Tercerainya raga di
berbagai tempat bukanlah masalah, semua berpulang pada kekuasaan
Allah swt. Bagi yang mengingkarinya berarti mengingkari kekuasaan
Allah swt. dan segala hal diluar kebiasaan (mu’jiza>t).
Ibn Qayyim (691-751 H) membagi ketergantungan jiwa kepada
raga menjadi lima macam, masing-masing memiliki hukum atau aturan
yang tersendiri:214
a) Ketergantungan jiwa dengan raga di dalam rahim sewaktu baru
menjadi janin.
b) Ketergantungan jiwa dengan raga setelah dilahirkan.
c) Ketergantungan jiwa dengan raga sewaktu tidur.
d) Ketergantungan jiwa dengan raga setelah meninggal (Barzakh)
e) Ketergantungan jiwa dengan raga di akhirat setelah raga
dibangkitkan.
Jiwa keluar dari raga di waktu tidur, namun masih mempunyai
hubungan dengan raga. Raga masih tetap hidup, sekalipun tidak
sadarkan diri ketika jiwa keluar dari raga. Di alam Barzakh, jiwa juga
tidak meninggalkan raga secara keseluruhan. Jiwa tetap mengetahui
dan menjawab salam para penziarah raganya. Ketergantungan jiwa
dengan raga paling sempurna terjadi di akhirat, jiwa tidak pernah lagi
membuat jiwa tertidur, mati, dan binasa. Pada dasarnya, hubungan
jiwa dengan raga di alam Barzakh mirip dengan hubungan jiwa dengan
raga sewaktu tidur (QS. Al-Dhumar [39]: 42).
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni> (722-792 H) mengklaim bahwa
teolog yang benar (Ahl al-H{aq) sepakat menyatakan bahwa Allah
mengembalikan secercah kehidupan kepada mayat di dalam kuburnya
sekedar untuk merasa sakit dan merasa senang, pendapat ini didukung
oleh al-Quran, al-Sunnah, dan jejak para sahabat. 215 Namun mereka
ragu apakah al-Ru>h} kembali kepada raga atau tidak? Dan bolehkah
raga hidup tanpa al-Ru>h}? Mereka memilih tawaqquf (abstain) dalam
permasalahan. Diragukan raga dapat hidup tanpa al-Ru>h}. Kehidupan
raga dengan al-Ru>h} hanya terjadi pada kehidupan yang sempurna, yang
bertenaga, dan dapat melakukan aktivitas opsional.

213
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 80.
214
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 50.
215
Bagian itu disebut bagian asal manusia, yang tetap dan tak berubah
sepanjang umur. Lihat Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 117.
141

Menurut sebagian teolog, kehidupan haruslah dikembalikan


kepada raga, minimal sebagiannya. Bagian itulah yang dihidupkan dan
ditanya dan disiksa,216 sekalipun kehidupan itu tak dapat disaksikan.
Begitu juga dengan raga yang terpisah-pisah, kehidupan haruslah
dikembalikan pada raga yang terpisah-pisah, sekalipun itu perkara
yang luar biasa, namun tak menghalangi kekuasaan Allah. Pendapat
inilah yang dipilih Ima>m al-H{aramain al-Juwaini (419-478 H). bahkan
menurutnya, orang yang mengingkari hal ini, tak ubahnya dengan
orang yang mengingkari Rasul saw melihat malaikat, dan duduk
dihadapan mereka.217
Jawaban aliran ini tak lebih hanya ritorika belaka, masih
membuat banyak celah untuk dikritisi, tidak memiliki bukti tekstual
(Naqli>) ataupun rasional (‘Aqli>) yang kuat, belum bisa membungkam
kalangan rasionalis. Benarkah tumbuhan dan api akhirat berbeda
dengan dunia? Begitu juga dengan palu besinya? Bukankah menurut
mereka, raga yang di surga adalah raga yang di dunia? Kaki yang
melangkah, mata yang melihat dan tangan yang melakukan? Mereka
telah menetapkan bahwa material akhirat adalah material dunia, yang
berbeda hanyalah beberapa sifatnya.218 Dapatkah malaikat berbentuk
manusia, duduk dan bahkan memukulnya dengan palu besi di liang
kubur? Bisakah material besi padat masuk ke ruang padat (tanah)
tanpa membuat celah? Benarkah hubungan jiwa dengan raga masih ada
sekalipun jiwa telah keluar dan raga telah hancur? Kalaulah hubungan
itu masih ada, lahat menjadi sempit, tulang rusuknya remuk, betapa
menderitanya jiwa ketika raga dimakan ulat, dicabik binatang buas,
dipatok burung dan seterusnya.
2) Siksa dan Nikmat Kubur hanya untuk Jiwa
Teori ini dikemukakan oleh Ibn H{azm al-Andalu>si> (384-456 H).
Raga telah menjadi benda mati, terurai, dimakan tanah, dimakan
binatang, diterbangkan angin, dihanyutkan air, terbakar api, menjadi
abu. Namun, jiwa tetap, kekal, meneruskan kehidupannya. Oleh
karena itu, siksa kubur hanyalah untuk jiwa tanpa raga. Jiwa

216
Al-Sayyid al-Shari>f al-jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 348.
217
Muhammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 112-113, dikutip dari kitab al-Irsha>d,
karya Ima>m al-H{aramain al-Juwaini.
218
Teolog menjaga prinsip keadilan Tuhan, sehingga raga manusia yang
dibalasi amal perbuatannya haruslah raga dunia sebagai sang pelaku. ‚Pada hari
(ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang
dahulu mereka kerjakan‛ (QS. Al-Nu>r [24]: 24)
142

mendapatkan kesenangan atau siksa setelah meninggalkan raga, baik


yang raganya dikubur maupun tidak. Disebut dan disandarkan siksa
kepada kubur, karena biasanya mayat manusia dikuburkan. Sekalipun
tidak semua yang dikubur,219 sebagian ada yang di perut binatang,
tenggelam, terbakar, disalib. Kalaulah siksa kubur benar-benar di
dalam kubur, tentulah kasus seperti itu menjadi masalah. Mereka
menjadi tidak diuji, tidak ditanya, tidak disiksa.
Setiap mayat haruslah diuji, ditanya, dan selanjutnya diberi
nikmat atau disiksa sampai datang hari kiamat. Kuburan seseorang
yang sebenarnya adalah tempat kediaman al-Ru>h}-nya, bukan kediaman
raganya.220 Alam kubur maksudnya adalah alam Barzakh, bukan
tempat terkuburnya raga. Walau bagaimanapun, raga akan hancur
menjadi tanah, dan akan kembali menjadi tanah (QS. T{a>h}a> [20]: 54).
Kehidupan Barzakh adalah kehidupan jiwa. Sebuah kesalahan
bagi orang yang mengira manusia dihidupkan di dalam kuburnya.221
Dalam artian, al-Ru>h} dikembalikan ke dalam raga. Karena raga telah
rusak, tak ubahnya seperti batu yang tak merasa. Hubungan
ketergantungan antara jiwa dan raga telah putus dengan kematian.
Sekalipun mayat remuk tulangnya, terbakar, terjepit dan sebagainya,
jiwa tidak lagi merasakan sakitnya. Kalaulah hubungan
ketergantungan jiwa dan raga itu masih ada, tentunya orang yang
raganya koyak tercerai-berai terus menerus merasakan sakitnya.
Apapun yang terjadi pada raga, seperti dimakan ulat, hancur, al-Ru>h}
tak lagi merasakannya. Salam diberikan kepada al-Ru>h} bukan kepada
raganya yang hancur di dalam kubur, begitu juga pembicaraan dan
do‘a. Seperti ucapan Rasulullah saw kepada kafir Quraish yang
terbunuh dalam perang Badar222 setelah tiga hari dikuburkan. Rasul
memanggil namanya satu persatu. Ketika ditanya kenapa memanggil

219
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al. Vol. II, 372.
220
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al. Vol. II, 373.
221
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al. Vol. II, 373.
222
Perang Badar disebut juga ‚Badar Kubra‛, yaitu perang yang terjadi pada
17 Ramad}an 2 H./ 3 Maret 624 M. antara Muslimin yang dipimpin Muhammad saw.
dengan kabilah Quraish dibawah pimpinan ‘Umar ibn Hisha>m al-Makhzu>mi>. Badar
merupakan perang pertama Muslimin. Dinamakan Badar, karena terjadi di dekat
sumur Badar yang terletak antara makkah dan Madinah. Lihat Shams al-Di>n al-
Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’: al-Si>rah al-Nabawiyah 1, 301-313.
143

orang yang telah membusuk, Rasul menjawab: ‚Tidaklah kalian lebih


mendengar dari mereka apa yang aku katakan‛.223
Allah menghidupkan manusia dua kali: waktu di dunia dan
waktu di akhirat. Kalaulah manusia dihidupkan di alam Barzakh,
berarti Allah menghidupkan manusia tiga kali,224 dan ini menyalahi
ayat ‚Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah
menghidupkan kami dua kali‛ (QS. Ga>fir [40]: 11). Al-Ru>h} atau
jiwalah yang ditanya oleh malaikat Munkar dan Naki>r, disiksa, atau
diberi nikmat. Teori Ibn H{azm (384-456 H) ini lebih aman dan dapat
membungkam serangan kalangan rasionalis.225 Sangat rasional bila
jiwa yang juga makhluk halus ditanya oleh malaikat yang makhluk
halus. Jiwa merasakan sakit dan senang langsung tanpa bantuan raga.
Sebagaimana fungsi raga hanyalah sebagai alat. Sakit dan senang
bukanlah raga manusia yang merasakannya, tapi jiwa yang ada di
dalamnya. Karena pada hakikatnya, manusia adalah jiwa, bukan raga.
Sementara hadis-hadis yang bernuansa khayalan, seperti penyempitan
kubur, perluasan sejauh mata memandang, kebanyakan tidaklah
sampai derajat Sahih dan Mutawatir sehingga tak layak dipegangi
dalam urusan akidah. Kalaupun hadis-hadis tersebut ada yang Sahih,
sangat mudah diterima, bila semua siksa dan kesenangan itu terjadi
untuk jiwa, bukan raga.
3) Siksa dan Nikmat Kubur hannya untuk Raga
Al-S{a>lih}i226
> > salah saru sekte Mu’tazilah, Ibn Jari>r al-T{abari>227
(224-310 H), dan sekelompok al-Kara>miah228 berpendapat bahwa siksa

223
Hadis S{ah}i>h} dari Anas Ibn Malik, riwayat Imam Ahmad dan Bukhari
dalam Kita>b: al-Maga>zi>, Ba>b: Qatl Abu Jahl, no. 3976, dan teks hadis merupakan
teks Imam Ah}mad, Lihat Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukhari>, 755.
224
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 112.
225
Muhammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 115.
226
Dia adalah S{alih Ibn ‘Umar dan sahabat-sahabatnya: Muh}ammad ibn
Shabi>b, Abu Shukr, Gaila>n ibn Muslim al-Dimashqi>. Aliran ini mengkombinasikan
Qadariyah dan Murjiah. S{alih menulis banyak buku, diantaranya ‘Aza>b al-Qabr,
Tauh}i>d namun semua karyanya telah hilang. Tidak diketahui riwayat hidupnya
dengan jelas. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol. XI,
523-524. Lihat Ah}mad ibn Yah}ya al-Murtad}a, T{abiqa>t al-Mu’tazilah, 25. Lihat juga
Abu al-Fath} Shahrasata>ni>,Al-Milal wa al-Nih}al.Vol. I, 167
227
Dia adalah Muh}ammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kathi>r ibn Ga>lib, lebih
dikenal dengan Imam Abu Ja’far al-T{abari. Lahir di A<mul, ibukota Tabarista>n 224
H/ 838 M. Dia merupakan sejarawan, ahli tafsir, faqih dan seorang ulama besar
144

dan nikmat kubur dirasakan oleh raga di dalam kubur tanpa perlu
adanya jiwa.229 Pendapat ini sebenarnya tak terlepas dari teori manusia
adalah raga. Kehidupan atau al-Ru>h} hanyalah aksiden, bukan esensi
manusia. Jiwa adalah aksiden, ibarat warna, ukuran, bentuk pada suatu
benda yang dapat hilang dan berganti. Hakikat manusia adalah
raganya. Teori ini sangatlah tidak rasional, raga hanyalah benda mati
yang tak merasa.230 Ibaratkan batu, sekalipun dipukul hingga hancur
tak ada yang merasakan sakit. Begitulah bila raga masih utuh, namun
bila raga telah hancur dimakan ulat, dimakan tanah, raga yang
manakah yang disiksa dan di azab? Bagaimana bila yang memakan
raga tersebut adalah manusia, dan menjadi darah dan daging manusia
pula ?
Ada juga teolog yang berpendapat bahwa rasa sakit dan senang
yang diterima raga di dalam kubur berkumpul, berlipat-lipat tanpa
terasa. Pada saat dibangkitkan di hari kiamat, jiwa dikembalikan ke
dalam raga, raga menjadi hidup dan merasakan rasa sakit dan senang
dan berlipat-lipat tersebut sekaligus.231 Solusi yang diberikan dalam
teori ini sangatlah bertentangan dengan teks yang telah dipahami
kebenarannya. Mereka tak ada bedanya dengan kalangan yang
mengingkari siksa dan nikmat kubur.

Islam. Karyanya paling popular adalah kitab tafsir ‚ Jami’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi
al-Qur’a>n‛ dan kitab sejarah ‚Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k‛. Perselisihan dan
fanatik buta ‚Abu Bakr ibn Daud‛ peminpin H{ana>bilah yang menguasai Bagdad
ketika itu, memfatwakan sesatnya Ibn Jarir, sehingga ia dikucilkan. Ia terkurung di
dalam rumahnya hingga wafat pada 310 H/ 923 M. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi,
Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol. XVI, 267-282.
228
Al-Kara>miyah adalah penyikut Muh}ammad ibn Kira>m al-Sajista>ni>,
pendapat kontroversialnya adalah mengatakan Allah jism (material). Shahrasata>ni>
menempatkannya pada kelompok s}ifa>tiah. Ibn Kira>m mensifati Tuhannya disebagian
bukunya dengan sebutan ‚esensi‛ seperti pendeta Kristen, hal ini disebutkan dengan
jelas dalam kitabnya ‚‘Aza>b al-Qabr‛. Lihat Abu al-Fath} al-Shahrasata>ni>, Al-Milal
wa al-Nih}al, Vol. I, 124. Lihat juga ‘Abd al-Qa>hir al-Bagda>di>, Al-Farq bain al-Firaq,
189.
229
Ima>m ‘Ad}d} al-Di>n al-Eiji, Al-Mawa>qif, 382.
230
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 346
231
Muhammad al-Musayyar, Al-Ru>h} , 114
145

Menurut Ibn Ra>wandi>232 (210-250 H), kematian bukanlah


kebalikan dari kehidupan. Mayat masih tetap hidup, kematian
hanyalah virus yang menyerang keseluruhan raga, hingga melemahkan
aktivitas gerak opsional, tapi tidak melemahkan pengetahuan si
mayat.233 Teori ini sangat jauh dari kebenaran, bagaimana si mayat
mendengar penziarahnya, sedangkan telinganya telah hancur, begitu
juga seluruh organ indra lainnya.
4) Tidak untuk Jiwa dan Raga (Inkar Siksa dan Nikmat Kubur)
D{ira>r ibn ‘Umar al-Gat}afa>ni>234 (w. 190 H/ 805 M) salah
seorang syaikh Mu’tazilah, Bashar al-Muri>si>235 (138-218 H) dan lebih
banyak lagi Mu’tazilah Muta’akhkhiri>n yang mengingkari adanya

232
Dia adalah Abu al-H{asan Ah}mad ibn Yah}ya ibn Ish}a>q al-Ra>wandi>.
Rawand terletak antara Isfahan dan Ka>sha>n, Persia. Awalnya dia seorang tokoh
Mu’tazilah, kemudian berubah menjadi orang yang mengkritik habis Mu’tazilah
dalah kitab ‚Fad}i>h}ah al-Mu’tazilah‛ sebagai kritik dari ‚Fad}i>lah al-Mu’tazilah‛
karya Jah}iz}. Kemudian menganut keyakinan syiah untuk waktu yang pendek, jejak
Syiah-nya adalah karnyanya tentang ‚al-Ima>mah‛. Namun pertemuannya dengan
Abu ‘I<sa al-Warra>q mengantarkannya keluar dari syi‘ah dan Islam. Ia termasuk orang
murtad yang dikenal dalam sejarah Islam. Lihat Rashi>d Khaiyu>n, Mu’tazilah al-
Bas}rah wa al-Bagda>d, 217-328. Lihat Juga ‘Abd al-Rah}ma>n al-Badawi>, Min Tari>kh
al-Ilh}a>d fi al-Isla>m (Cairo: Si>na> li al-Nashr, 1993), 89.
233
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 116-117.
234
Dia adalah D}irra>r ibn ‘Umar al-Gat}afa>ni>, seorang syaikh Mu’tazilah,
bersahabat dan belajar dari Wasil ibn ‘Ata’, mungkin dia turut berkontribusi dalam
pendirian aliran Mu’tazilah. Umurnya panjang, sampai berdebat dengan Ibrahi>m al-
Niz}z}a>m. Ibn Al-Murtad}a menyebut ia keluar dari Mu’tazilah. Yang benar, ia seorang
Mu’tazilah, namun pada akhirnya berbeda pendapat dengan Mu’tazilah pada
beberapa masalah. Pendapatnya yang menyimpang menurut Ahl al-Hadi>th adalah
tentang siksa kubur, surga dan neraga; membuat Imam Ah}mad menfatwakan
kematian untuknya. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi, Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol.
10, 544-545. Lihat juga Rashi>d Khaiyu>n, Mu’tazilah al-Bas}rah wa al-Bagda>d, 309-
315.
235
Dia adalah ‘Abd al-Rah}ma>n Bashar ibn Giya>th al-Muri>thi>, lahir sekitar
138 H/755 M. Ayahnya seorang Yahudi, masuk Islam dan menjadi loyalis keluarga
Zaid ibn al-Khatta>b. Bashar pada awalnya seorang faqih dan Muh}addith. Dia belajar
fiqih dari H{ima>d ibn Salamah dan Sufya>n ibn ‘Uyainah. Namun setelah itu
terpengaruh oleh Mu’tazilah dan bergabung dengannya. Ia wafat pada 218 H / 883 M
pada usia 80 tahun. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’, Vol.
10, 199-202.
146

nikmat dan siksa kubur. 236 Manusia dibalasi amal perbuatannya di


akhirat. Kematian membawa manusia menjadi binasa. Tak ada
kehidupan di alam kubur. Kehidupan hanyalah ketika al-Ru>h} ditiupkan
ke dalam janin dan ketika dibangkitkan di akhirat kelak. Tidak ada
kehidupan kubur, tidak ada nikmat kubur dan siksa kubur. Manusia
menemui ajalnya hanya satu kali, yaitu kematian dari kehidupan dunia
(QS. al-Dukhkha>n [44]: 56).237
Sebagaimana firman Allah yang menyatakan manusia
dihidupkan dua kali dan dimatikan dua kali dalam (QS. Ga>fir [40]: 11).
Dua kematian yang dimaksud adalah kematian sebelum ditiupkan al-
Ru>h} dan sesudah dicabutnya. Dua kehidupan yang dimaksud adalah
kehidupan dunia dan akhirat sebagaimana dalam (QS. al-Baqarah [2]:
28). Begitu juga dengan semua dalil yang mengingkari nikmat dan
siksa kubur yang telah dipakaikan Ibn H{azm (384-456 H) untuk
memperkuat argumennya bahwa al-Ru>h} tidaklah dikembalikan ke
dalam raganya di dalam kubur.238 Bedanya, bagi Ibn H{azm al-Ru>h}
tetap hidup dan merasa. Sementara aliran pengingkar nikmat dan siksa
kubur ini, manusia baik jiwa maupun raga, telah binasa dan hanya
hidup kembali di hari kiamat. Kematian membuat manusia menjadi
benda mati yang tak dapat melakukan, mengetahui, merasa,
mengindra: ‚kamu sekali-kali tidaklah sanggup menjadikan orang yang
didalam kubur dapat mendengar‛ (QS. Fa>t}ir [35]: 22).
Inkar nikmat dan siksa kubur pada dasarnya muncul dan
disebabkan oleh dua hal:
a) Tidak adanya ayat al-Quran yang dengan jelas (S{ari>h})
menerangkan nikmat dan siksa kubur. Padahal nikmat dan siksa kubur
sangat penting dalam akidah Islam. Oleh karena itu, Ibn Qayyim (691-
751 H) menulis satu sub judul dalam bukunya ‚al-Ru>h}‛ tentang
hikmah dibalik tidak adanya penjelasan siksa dan nikmat kubur dalam
al-Quran. Kesimpulannya, al-Sunnah merupakan wahyu yang
diturunkan Allah kepada nabinya, berfungsi sebagai sumber kedua, dan
menjelaskan apa yang masih belum jelas dalam al-Quran.239

236
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih{al, Vol. II, 372.
Lihat juga al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 346.
237
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 114.
238
Ibn H{azm al-Andalu>si>, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. II, 372.
239
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h}, 84.
147

b) Banyaknya hadis tentang penjelasan nikmat dan siksa kubur


yang bernuansa khayalan, seperti sejauh mata memandang,
disempitkan kuburnya, diketok palu dan sebagainya. Hadis-hadis
tersebut banyak yang lemah dan tak pantas dalam perkara akidah.
Khayalan dan khurafat dalam hadis-hadis tersebut sangat tidak
rasional, sehingga matan hadis diragukan kebenarannya.

b. Peniupan Sangkakala (al-S{ur> )


Sangkakala (al-S{u>r) adalah tanduk (al-Qarn) atau terompet
yang ditiup malaikat Isra>fi>l. 240 Terompet telah siap ditiup sang
malaikat jika perintah Allah datang.241 H{asan al-Bas}ri> (21-110 H)
membacanya dengan fath}ah} (S{uwar) yang berarti bentuk. Baginya, al-
S{uwar merupakan kiasan (maja>z), yang dimaksud adalah raga. Jadi,
yang ditiup bukanlah sangkakala, tapi ditiupkannya kembali al-Ru>h}
kedalam raga. Pendapat ini jelas-jelas menyalahi kata sepakat Ahl al-
Sunnah wa al-Jama‘ah.242 Sekalipun hadis yang menamakan malaikat
peniup terompet dengan ‚Isra>fi>l‛ lemah, namun penamaan itu telah
popular di kalangan salaf. 243 Ulama berbeda pendapat tentang jumlah
tiupan. Menurut Ibn H{azm (384-456 H), ada empat kali tiupan di hari
kiamat244: (a) Tiupan yang mematikan semua yang ada di langit dan
bumi. (b) Tiupan yang menghidupkan, setiap yang mati bangkit dari
kuburnya dan berkumpul untuk dihisab. (c) Tiupan yang mengejutkan
yang menutupi (pingsan), dan tidak mematikan. (d) Tiupan yang
menyadarkan.
Menurut Ibn Taymiyah (661-728 H) dan Ibn Kathi>r (700-774
H) tiupan terjadi tiga kali: (a) Tiupan yang mengejutkan, (b) Tiupan
yang mematikan, (c) Tiupan yang menghidupkan dan membangkitkan.

240
‚Apakah sangkakala itu? Rasul menjawab: Tanduk ( al-Qarn) yang
ditiup‛. Lihat Hadis S{ah}i>h} dari Ibn ‘Umar, riwayat Imam al-Tirmidhi dalam Kita>b:
Tafsi>r al-Qura>n ba>b min su>rah al-Zumar, (no. 3244). Lihat Ima>m al-Tirmidhi, Sunan
al-Tirmidhi>, 733.
241
‚Sesungguhnya kepala pemegang sangkakala semenjak diberikan
kepadanya, bersiap-siap melihat ke arah ‘Arash, khawatir Allah menyuruh
meniupnya sebelum kepalanya menoleh ke yang lain, seakan-akan kedua matanya
dua bintang yang bersinar‛. Hadis S{ah}ih} riwayat al-H{a>kim dalam al-Mustadrak,
Lihat Ah}mad Mus}tafa> al-Mutawalli>, Riya>d} al-Na>d}irah fi S{ah}ih} Da>r al-A<khirah
(Cairo: Da>r Ibn al-Jauzi>, 2005), 144.
242
Ibn al-H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, Vol. XI, 375.
243
Ibn al-H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, Vol. XI, 376.
244
Ibn al-H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, Vol. XI, 375.
148

245
Menurut Ibn al-H{ajar al-‘Asqala>ni> (773-852 H) dan Ima>m al-
Qurtu>bi> (w. 671 H), tiupan hanya dua kali, mematikan dan
menghidupkan. Tiupan mengejutkan (s}a‘iqa) (An-Naml: 87) dan
tiupan mematikan (fazi‘a) (QS. Al-Zumar [39]: 68), bagi yang
berpendapat dua tiupan adalah sama. Terkejut dan setelah itu mereka
mati. 246 Sementara pendapat yang menyatakan empat tiupan sama
sekali tak berdalil.247 Perbedaan pendapat pada dasarnya muncul dari
penafsiran ayat.

c. Kebangkitan (al-Ba’th)
Al-Ba'th berarti mengutus, membangunkan, membangkitkan.
Al-Ba'th disini maksudnya mengeluarkan manusia dari kuburnya
menjadi hidup kembali di hari kiamat.248 Sangkakala ditiup, matahari
di gulung, bintang-bintang berjatuhan, gunung-gunung berhancuran,
air laut meluap, langit terbelah, bintang-bintang jatuh berserakan.
Langit dan bumi beserta isinya hancur lebur, semuanya menjadi
binasa. Bumi menjadi rata, tinggallah hamparan yang luas. Tak
satupun kehidupan, (QS. Al-Takwi>r [81], Al-Infit}a>r [82], Al-Inshiqa>q
[84]). ‚Empat puluh‛ setelah itu, ditiuplah sangkakala yang kedua,
yang kembali menghidupkan segala yang bernyawa. Tidak jelas satuan
apa yang dipakai dalam menghitung ‚empat puluh‛ tersebut. 249 Hari
adalah perputaran bumi para porosnya, tahun adalah perputaran bumi
mengelilingi matahari. Pada waktu langit dan bumi telah hancur,
hanya Allah-lah yang mengetahui satuan waktu ‚empat puluh‛ yang
dimaksud.
Sangkakala yang kedua merupakan sangkakala kebangkitan.
Manusia kembali dihidupkan. Al-Ru>h} kembali ditiupkan kepada raga.
Jiwa kembali berhubungan dengan raga. Manusia benar-benar hidup
seperti sedia kala. Manusia bangkit dari dalam kuburnya. Baik yang

245
Ah}mad Mus}tafa>, Riya>d} al-Na>d}irah fi S{ah}ih} Da>r al-A<khirah. 144.
246
Ima>m al-Qurt}u>bi>, Al-Tadhkirah, 188.
247
Ibn al-H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, Vol. XI, 376.
248
Ah}mad Mus}tafa> Mutawalli>, S{ah}i>h} al-Da>r al-A<khirah, 148.
249
‚Rasulullah saw. berkata: ‚Antara dua tiupan empat puluh‛. Mereka
bertanya: Wahai abu Hurairah apakah empat puluh hari? Saya abaikan. Mereka
bertanya: Apakah empat puluh bulan? Saya abaikan. Mereka bertanya: Apakah
empat puluh tahun? Saya abaikan.‛ Hadis S{ah}ih} riwayat Imam Muslim dari Abu
Hurairah dalam Kita>b: al-Fitan wa Ashra>t al-Sa>‘ah, Ba>b: Ma> baina Nafkhatain,
(no. 2955). Lihat Ima>m Muslim, S{ah}i>h} Muslim, 1351.
149

kuburnya di dalam perut binatang, ditiup angin dan tercerai-berai,


disalib, telah hancur, dan tinggal tulang belulang (QS. Al-Na>zi‘a>t [79]:
10-12), (QS. Ya>si>n [36]: 78-79).
Semua bangkit dari permukaan hamparan yang luas.
Bangkitnya raga manusia dari hamparan, sama seperti tumbuhnya
tanaman dari dalam tanah. Tanah terbelah, timbulah tunas. Manusia
bangkit muncullah kepalanya. Begitulah menurut Imam al-Qurt}u>bi> (w.
671 H), kepala manusia merupakan anggota raga pertama yang yang
diciptakan di akhirat. Inilah yang dipahaminya dari (QS. Al-A’ra>f [7]:
58).250 Sementara Nabi saw merupakan manusia pertama yang
dibangkitkan. 251
Manusia dibangkitkan sebagaimana kondisi ia meninggal
dunia.252 Orang yang baik, dibangkitkan sebagaimana kebaikan yang
dilakukannya. Orang yang meninggal menunaikan ibadah haji, akan
dibangkitkan sebagaimana sedang menunaikan ibazah haji. 253 Orang
yang mati dalam berperang di jalan Allah. Akan dibangkitkan
sebagaimana kondisinya meninggal di medan jihad. 254 Begitu juga
orang yang melakukan maksiat, akan dibangkitkan dengan maksiat

250
Ima>m al-Qurtu>bi>, Al-Tadhkirah, 181.
251
‚Aku adalah pemimpin anak Adam di hari kiamat. Orang pertama yang
kuburnya terbelah (dibangkitkan). Orang pertama yang memberi shafa‘at dan diberi
shafa‘at.‛ H{adi>th S{ah}i>h} dari Abu Hurairah, riwayat Ima>m Muslim dalam Kita>b: al-
Fad}a>il, Ba>b: Tafd}i>l Nabi>yuna> ‘ala al-Khla>iq, (no. 2278). Lihat Ima>m Muslim ibn al-
Hujjaj, S{ah}i>h} Muslim. 1080.
252
Ima>m al-Qurtu>bi>, Al-Tadhkirah,178.
253
‚Di saat wuquf di ‘Arafah, jatuhlah seseorang dari untanya dan terinjak.
Dikatakan juga: Jatuh dari untanya hingga lehernya patah. Rasul saw. menghimbau:
Mandikanlah ia dengan air dan bunga lotus ( Sidr). Kafanilah ia dengan dua helai
pakaian (ihramnya). Jangan kasih wewangian. Jangan tutup kepalanya.
Sesungguhnya ia dibangkitkan di hari kiamat ber-talbiyah‛ H{adi>th S{ah}ih} dari Ibn
‘Abba>s, diriwayatkan oleh ima>m al-Bukha>ri> dalam Kita>b: al-Jana>iz, Ba>b: al-Kafan
‘ala al-Thaubain, (no. 1265). Lihat Abu ‘Abd Allah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukhari>,
247.
254
‚Demi Zat yang jiwaku ditangannya, seseorang terluka di jalan Allah -
dan Allah maha tahu dengan orang yang terluka di jalannya- niscaya akan
dibangkitkan di hari kiamat, dengan lukanya mengalirkan darah. Warnanya memang
warna darah, namun baunya bau parfum.‛ Hadis S{ah}i>h} dari Abu Hurairah,
diriwayatkan oleh Ima>m al-Bukhari> dalam Kita>b: al-Jiha>d wa al-Siyar, Ba>b: Man
Yujrah fi Sabil Allah, (no. 2803). Lihat Abu ‘Abd Allah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-
Bukha>ri>, 541.
150

yang dilakukannya (QS. Ali Imran [3]: 161). Karena ‚setiap hamba
dibangkitkan sebagaimana ia meninggal dunia‛.255

d. Pengumpulan (al-H{asr)
Setelah manusia dibangkitkan dari hamparan tanah yang luas.
Lalu mereka semuanya tanpa terkecuali digiring untuk berkumpul di
padang Mah}sha>r, berbaris rapi menghadap sang pencipta. Calon
penghuni neraka berjalan dengan muka mereka (diseret) dalam
keadaan buta, bisu dan tuli (QS. Al-Isra’[17]: 97). Seluruh manusia
dikumpulkan di bumi yang datar tanpa gunung (QS. Al-Kahfi [18]: 47-
48). Mereka datang kepada Allah sendiri-sendiri (QS. Maryam [19]:
93-95). Manusia digiring di padang Mah}sha>r seperti bayi yang baru
lahir dari dalam tanah (QS. Al-Anbiya’[21]: 104). Tak memakai alas
kaki, tak berpakaian, dan berjalan kaki.256 Semua sibuk dengan
urusan masing-masing sehingga tidak ada lagi ayah, ibu, dan anak,
saudara (QS. Al-‘Abasa: [80] 34-37) dan sebagainya.
Bukan manusia dan jin saja yang dibangkitkan dan
dikumpulkan, tapi juga termasuk binatang ternak, hewan melata,
burung dan semua makhluk yang bernyawa.257 ‚Dan tiadalah binatang-
binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu‛ (QS. Al-An‘a>m
[6]: 38). Keadilan ditegakkan, amalan mereka dibalasi di padang
Mah}shar. Kemudian mereka kembali menjadi tanah. Berbeda dengan
mukallaf (manusia dan jin), melanjutkan perjalanan menuju surga atau
neraka. Melihat binatang berakhir menjadi tanah, orang kafir berangan
untuk ikut dilenyapkan menjadi tanah agar terhindar dari siksa neraka
(QS. Al-Nisa’[4]: 42).

255
Hadis S{ah}ih} dari Ja>bir, diriwayatkan oleh Ima>m Muslim dalam Kita>b: al-
Fitan wa Ashra>t} al-Sa>‘ah, Ba>b: al-Amr bi al-H{usn al-Z{an bi Allah, ‘inda al-Maut,
(no. 2878). Lihat Ima>m Muslim, S{ah}i>h} al-Muslim, 1316.
256
‚Saya mendengar Rasul saw. mengatakan: Manusia digiring dipadang
Mah}shar dalam keadaan tanpa alas kaki, tanpa pakaian, dan belum dikhitan. Saya
bertanya: Wahai Rasulullah, apakah laki-laki dan perempuan saling melihat?. Rasul
menjawab: Wahai ‘Aishah, urusan mereka ketika itu sangat dahsyat, hingga hal yang
demikian luput dari perhatian mereka.‛ Hadis S{ah}ih} dari ‘Aishah, diriwayatkan oleh
Ima>m al-Bukha>ri> dalam Kita>b: al-Riqa>q, Ba>b: Kaif al-H{asr, (no. 6527). Lihat Ima>m
al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri, 1250.
257
Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyah, Majmu>’ al-Fata>wa>, (Madinah: Mujamma’
al-Malik Fahd, 2004),Vol. IV, 248.
151

Bumi padang Mah}sha>r bukanlah bumi sekarang ini. Langit dan


bumi beserta isinya telah digulung pada hari kiamat. Kemudian diganti
dengan bumi baru yang satu dan maha luas (QS. Ibra>hi>m [14]: 48). Di
bumi baru itulah manusia di bangkitkan, dan dikumpulkan. Bumi baru
atau padang Mah}sha>r mampu menampung seluruh makhluk hidup,
sejak alam semesta diciptakan. Adam as sampai manusia terakhir
dikumpulkan. Bumi tersebut juga berbentuk bulat, namun hanya
padang pasir putih tandus, datar dan tak ada suatu tanda pun yang
dapat membedakan antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. 258

e. Penghitungan Amal (al-H{isa>b)


Manusia dibebani syariah, melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan. Segala amal perbuatan manusia akan dihitung di
akhirat: ‚Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka
semua. tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu‛ (QS. Al-Hijr
[15]: 92-93). Manusia diminta pertanggungjawaban atas karunia yang
telah diberikan Allah kepadanya. Umur yang panjang, ilmu yang
didapat, badan yang sehat, harta yang banyak dihitung baik dan
buruknya. 259 Kemudian manusia akan menerima buku catatan
amalnya. Calon penghuni surga menerimanya dari sebelah kanan,
calon penghuni neraka menerimanya dari belakang (QS. Al-Inshiqa>q
[84]: 7-11). Dahulu banyak yang menyanksikan malaikat pencatat
amal. Namun sekarang justru menguatkan. ‚Mencatat‛ yang dalam
bahasa Arab ‚Kataba‛ bisa diterjemahkan ‚merekam‛, dengan
kemajuan teknologi manusia sekarang dapat menyimpan data dalam
chip yang sangat kecil.

258
‚Manusia dikumpulkan di hari kiamat di bumi yang putih bersih, seperti
bulatan murni (rata) yang tak ada satupun tanda untuk seorang pun‛ Hadis S{ah}i>h}
dari Sahl ibn Sa’d, diriwayatkan oleh Ima>m al-Bukha>ri>, dalam Kita>b: S{ifah al-Jannah
wa al-Na>r wa al-yaum al-Qiya>mah, Ba>b: fi al-Ba’th wa al-Nushu>r wa S{ifah al-Ard}
Yaum al-Qiya>mah, (no. 2790). Lihat Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, 1285.
259
‚Seorang hamba tetap berdiri tegak di hari kiamat sampai ditanya
tentang empat perkara: Umurnya untuk apa ia habiskan? Ilmunya untuk apa ia
pergunakan? Hartanya dari mana dan untuk apa ia belanjakan? Badannya untuk apa
ia pergunakan?‛ Hadis H{asan dari Mu‘a>dh ibn Jabal, diriwayatkan oleh al-T{abra>ni
dalam Mu’jam al-Kabi>r, (no. 16569).
http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?bk_no=477&hid=110
21&pid=285429 (diakses tanggal 2 Agustus 2012)
152

Allah menjamin kitab catatan yang diterima tak menzalimi si


pelaku sidikitpun. Ibarat pengadilan, untuk membuktikan kebenaran
catatan amal perbuatan tersebut, Allah mendatangkan para saksi.
Imam al-Qurt}u>bi> (671 H) menyebutkan, anggota raga dan bahkan
benda mati disekitar seperti batu dan harta yang dimiliki dapat
menjadi saksi atas amal perbuatan manusia dan berbicara di hari
kiamat.260 Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni (722-792 H) menyebutkan adanya
sepuluh saksi yang disebutkan dalam al-Quran atau al-Sunnah261 untuk
memastikan tak ada kesalahan dalam catatan tersebut -Allah maha
mengetahui segala sesuatu-. Saksi-saksi tersebut adalah: a) lidah, b)
tangan, c) kaki, d) telinga, e) mata, f) kulit,262 g) malam, h) siang, 263 i)
dan j) malaikat penjaga.264

f. Timbangan (al-Mi>za>n)
Setelah manusia menerima buku catatan amal perbuatannya,
baik amalan yang baik maupun amalan yang buruk, selanjutnya akan
ditimbang mana yang lebih berat antara amalan baik atau amalan
buruknya. Siapa yang berat timbangan kebaikannya, maka mereka
itulah orang-orang yang beruntung. Siapa yang ringan timbangan
kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugi (QS. Al-A’ra>f [7]:
8-9). Timbangan begitu tepat, dipastikan tak seorangpun yang
dirugikan, walaupun hanya sebesar biji sawi (QS. Al-Anbiya’[21]: 47).
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni (740-816 H) menuliskan, semua
Mu’tazilah sebagai kalangan rasionalis Islam, menginkari adanya
timbangan amal perbuatan di akhirat. Ada juga yang membolehkan
(Ja>iz ‘Aqli> ) seperti Abu Hudhail al-‘Alla>f (134-235 H) dan Bishar Ibn
260
Ima>m al-Qurtu>bi>, Al-Tadhkirah, 274.
261
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 118.
262
‚Sehingga apabila mereka sampai disana, pendengaran, penglihatan dan
kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka
kerjakan.‛ (QS. Al-Fus}s}ilat [41]: 20-21)
263
‚Tidaklah suatu hari pun datang kepada manusia kecuali dia akan
menghimbau: Wahai manusia aku adalah ciptaan baru, Saya akan menjadi saksi
terhadap amalanmu diesok harinya. Beramallah padaku kebaikan, niscaya aku akan
menjadi saksi bagimu di kemudian hari. Sungguh bila aku telah berlalu, kalian sekali-
kali tidak dapat menemuiku lagi, dan malam berkata hal serupa.‛ Hadis D{a‘i>f dan
Gari>b dari Mi’qal ibn Yasa>r, diriwatkan oleh Abu Na‘i>m. Lihat Abu Na ‘i>m Ah}mad
al-As}faha>ni>, H{illiyah al-Auliya’wa T{abiqa>t al-As}fiya’ (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1988), Vol. II, 303.
264
‚Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat
penggiring dan seorang malaikat penyaksi.‛ (QS. Qa>f [50]: 21)
153

al-Mu’tamar265 (w. 210 H), namun mereka tidak menetapkan


timbangan benar-benar akan terjadi di akhirat.266
Amal perbuatan bukanlah sebuah esensi (al-Jauhar) tapi amal
adalah aksiden (al-‘Ard}).267 Aksiden bukanlah sesuatu yang tetap.
Amal pebuatan telah menghilang dengan selesainya pekerjaan. Yang
telah hilang tak dapat dikembalikan. Teori ‘Ia>dah al-Ma’du>m teori
yang batil bagi filosof dan juga Mu’tazilah. Sekalipun mengembalikan
yang telah tiada merupakan teori yang baku bagi ‘Ash‘ariyah, lantas
bagaimana menimbangnya? Tetap saja amalan itu tak dapat
ditimbang. Yang dapat ditimbang hanyalah material (Jauhar). Aksiden
tidak disifati dengan berat dan ringan. Berat dan ringan merupakan
sifat material.
Alat penimbang amalan bukanlah dua piring timbangan, tapi
dikatakan juga timbangan itu adalah pengetahuan, timbangan warna
adalah mata, timbangan suara adalah telinga, timbangan makanan
adalah rasa, begitu semua panca indra. Timbangan untuk yang
immaterial (al-Ma’qu>la>t) adalah ilmu dan akal.268 Sesuatu yang
immaterial hanya bisa ditimbang dengan ilmu dan akal. Amal
perbuatan seorang hamba diketahui oleh Allah swt tanpa melalui
proses menimbang. Menimbang merupakan perbuatan jelek dan tak
berguna bagi Allah swt, maha suci Allah untuk melakukan perbuatan
jelek dan sia-sia. 269

265
Dia adalah Abu Sahl, pendiri Mu’tazilah Bagdad, kepadanyalah
dinisbatkan aliran Mu’tazilah Bashariyah. Dia belajar dari al-Fad}l ibn Yahya> al-
Barkamiki>, dan muncul di masa Harun al-Rashi>d, wafat 210 H/ 825 M. Dia memiliki
dua sisi yang menonjol, pertama dari sisi sastra Arab, dia merupakan peletak pertama
ilmu Balagah. Kedua sisi ke-Mu’tazilah-annya, banyak bukunya yang telah hilang,
karena perang Ahl al-Sunnah kepadanya. Hanya sedikit pendapat I’tizal-nya yang
tertinggal. Banyak yang belajar kepadanya, diantara murid-muridnya yang menonjol
dan berpengaruh dalam aliran Mu’tazilah adalah: Abu Mu>sa> al-Mirda>ri>, Thama>mah
ibn al-Ashras, dan Ah}mad ibn Abi Daud. Lihat Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al,
Vol. I, 78-79. Lihat juga Khair al-Di>n al-Zirikli>, Al-A’la>m: Qa>mu>s al-Tara>jum li
Ashhar al-Rija>l wa al-Nisa>’, Vol. 6,
266
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh al-Mawa>qif. Vol. VIII, 350. Lihat
juga Yasud Muhammad Sa’i>d al-Mubayyad}, Al-Yaum al-Akhi>r fi al-Adya>n al-
Sama>wiyah wa al-Diya>nah al-Qadi>mah (Qatar: Da>r al-Thaqa>fah, 1992), 125.
267
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V. 121.
268
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V. 121.
269
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh al-Mawa>qif, Vol. VIII, 350.
154

Tidak rasionalnya timbangan material menurut Mu’tazilah,


membuat mereka mentakwilkan ayat tentang timbangan. al-Sayyid al-
Shari>f al-Jarja>ni> (740-816 H) mencatat, menurut mereka timbangan
adalah perintah untuk selalu memelihara keadilan dan bertindak adil.
Kata timbangan yang terdapat di dalam al-Quran haruslah ditakwilkan
dengan memelihara keadilan dan bertindak adil, sehingga tidak ada
lagi ketimpangan. Timbangan bukanlah timbangan (material) yang
sebenarnya.270 Oleh karena itu, ayat datang dengan bentuk plural
(Mawa>zi>n). Bila tidak, timbangan yang populer adalah satu timbangan
(Mi>za>n). 271
Pendapat Mu’tazilah tentang timbangan ini bukanlah barang
baru dalam ranah pemikiran Islam. Ibn H{ajar al-‘Aqala>ni> (773-852 H)
menyebutnya sebagai pendapat sebagian salaf.272 Fakr al-Di>n al-Ra>zi>
(544-606 H) dalam tafsirnya juga turut menjelaskan bahwa menurut
Mujahid (21-104 H) timbangan disini maksudnya perumpamaan.
Riwayat serupa juga didapatkan dari Qata>dah (61-118 H) dan D{ah}h}a>q
(w. 100 H). Siapa yang berat timbangan baiknya akan menjadi baik.
Maksudnya kebaikannya menghapuskan kesalahannya. Sebaliknya
siapa yang berat timbangan jeleknya akan menjadi jelek, maksudnya
kejelekannya menghapuskan kebaikannya. 273
Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> mengklaim bahwa mayoritas Ahl al-
Sunnah meyakini adanya timbangan yang sebenarnya (H{aqi>qi>) bukan
kiasan (Majazi>) seperti yang diklaim Mu’tazilah.274 Timbangan akhirat
mempunyai sepasang piringan, yang kanan tempat amalan baik dan
yang kiri untuk amalan buruk. Timbangan ini berpegang pada hadis
yang mengkisahkan seorang hamba diberi sebuah kartu bertuliskan dua
shahadat, dan ternyata kartu itu lebih berat dari piringan catatan amal
buruknya. 275
270
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh al-Mawa>qif, Vol. VIII, 350.
271
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V. 121.
272
Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, Vol. XIII, 548.
273
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXII, 176.
274
Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, Vol. XIII, 548.
275
‚....Allah berfirman: Benar kamu mempunyai catatan kebaikan, lalu
Allah mengeluarkan sebuah kartu yang bertuliskan ‚Aku bersaksi tiada Tuhan selain
Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Allah berfirman:
Datangilah timbanganmu. Hamba itu bertanya: Wahai Tuhanku apa gunanya kartu
dan arsip catatan ini? Allah menjawab: Kamu tidaklah dizalimi. Rasul berkata: Lalu
diletakkanlah arsip catatan di satu piring timbangan dan kartu di piring lainnya.
Arsip catatan menjadi ringan dan kartu menjadi berat. Tidak sesuatupun yang lebih
155

Sekalipun meyoritas Ahl al-Sunnah sepakat menyatakan


timbangan itu timbangan yang sebenarnya –sebagaimana klaim Ibn
H{ajar-, mereka berbeda pendapat tentang apa yang ditimbang.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang ditimbang adalah amal
perbuatan manusia, berpegang pada hadis ‚Dua kata yang mudah
diucapkan lidah, begitu berat timbangannya, disukai oleh yang maha
Pengasih: Subh}a>n Allah al-‘Az}i>m, Subh}an> Allah wa bi H{amdih.‛276
Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (773-852 H) memilih pendapat ini dan
mengklaim bahwa pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
277
Ada juga teolog yang berpendapat bahwa Allah menciptakan wujud
(material) untuk amal perbuatan manusia,278 sebagai solusi rasionalis,
sehingga terhindar dari kritik Mu’tazilah. Berpegang pada hadis
Barzakh yang menceritakan Allah menjadikan amal baik seseorang
menjadi seorang manusia yang saleh, baik rupa, wangi, menyenangkan
dan menjadikan amalan buruk menjadi seorang manusia yang buruk
dan busuk, kemudian itulah yang ditimbang. 279
Pendapat kedua, yang ditimbang bukanlah amal perbuatan, tapi
catatan amal perbuatan. Pendapat ini berpegang pada hadis
penimbangan kartu shahadah.280 Terlebih al-Quran banyak berbicara
tentang kitab atau catatan amal perbuatan yang diterima manusia di
akhirat kelak. ‚Kami keluarkan baginya pada hari kiamat catatan amal
(kita>b) yang dijumpainya terbuka‛ (QS. Al-Isra’[17]: 13). Pendapat

berat dari nama Allah.‛ Hadis H{asan Gari>b, dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn ‘A<s},
diriwayatkan oleh Imam al-Tirmi>dhi dalam Kita>b: al-I<ma>n ‘an Rasul Allah, Ba>b: Ma>
Ja>a fi man Yamu>t wa huwa Yashhad an la> Ila>ha illa> Allah , (no. 2639). Lihat Ima>m al-
Tirmi>dhi>, Suna>n al-Tirmi>dhi, 595.
276
Hadis S{ah}i>h}, dari Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Ima>m al-Bukha>ri>
dalam Kita>b: al-Da‘awa>t, Ba>b: Fad}l al-Tasbi>h}, (no. 6406). Lihat Ima>m al-Bukha>ri>,
S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, 1230.
277
Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>. Vol. XIII, 548.
278
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id. Vol. V, 121.
279
‚…Seorang hamba apabila menghadapi kehidupan akhirat dan
meninggalkan kehidupan dunia, ...Lalu datanglah kepadanya seorang yang baik rupa,
berpakaian bagus, dan berbau harum. Dia berkata: Bergembiralah dengan berita yang
menggembirakanmu. Inilah hari yang dijanjikan. (si mayat) bertanya: Siapakah
kamu? Dijawab: Saya adalah amal salehmu…‛ Hadi>th dari Barra’ ibn ‘A<zib
diriwayatkan oleh Abu ‘Awwa>nah al-Asfiraini, dikutip oleh Ibn Qayyim al-Jauzi>
dalam kitabnya. Lihat Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 48-49
280
Ah}mad Mustafa Mutawalli, S{ah}i>h} al-Da>r al-A<khirah, 266.
156

inilah yang dipilih oleh Imam al-Qurt}u>bi>281 (w. 671 H) dan Sa’d al-Di>n
al-Taftaza>ni>282 (722-792 H). Pendapat ketiga, yang ditimbang dihari
kimat adalah raga pelaku itu sendiri.283 Raga manusialah yang akan
ditimbang. Sebagaimana hadis yang menyatakan bahwa kaki kecil Ibn
Mas’u>d284 (w. 32 H) lebih berat dari gunung uhud. 285

g. Telaga (al-H{aud})
Al-H{aud} pada dasarnya merupakan tempat berkumpulnya air,
yang dimaksud disini adalah telaga atau danau Nabi saw di hari
kiamat.286 Hadis-hadis mendeskripsikan telaga tersebut merupakan
telaga besar, mengalir dari minuman penduduk surga, dari sungai ‚al-
Kauthar‛. Air telaga berwarna putih pekat, lebih dingin dari es, lebih
manis dari madu, baunya lebih wangi dari parfum. Panjang dan
lebarnya sama, jarak antara satu sisi dengan yang lainnya sepanjang
perjalanan satu bulan. Gayung atau cangkirnya sebanyak bintang di
langit. 287

281
Ima>m al-Qurtu>bi>, Al-Tadhkirah, 301.
282
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 121.
283
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh}al-Mawa>qif, Vol. VIII, 350. Lihat
juga Ah}mad Mustafa Mutawalli, S{ah}i>h} al-Da>r al-A<khirah, 265.
284
Dia adalah Ibn Mas‘u>d sahabat Rasul saw. yang mulia. Salah seorang
Muhajirin generasi pertama, turut hijrah dua kali, dan shalat dua kiblat, orang
pertama yang membaca al-Quran dengan suara keras (jahar). Dia pernah menjabat
Qa>di> untuk Ku>fah, dan Bait al-Ma>l pada masa kekhilafahan Umar. Dia berbadannya
kurus dan pendek. Lihat Muh}ammad H{usain al-Dhahabi>, Tafsi>r wa al-Mufassiru>n.
Vol. I, 63.
285
‚‘Abd Allah ibn Mas‘u>d memetik pohon arak untuk siwak (gosok gigi),
Ibn Mas‘u>d berkaki kecil. Angin menyingkap kaki kecilnya. Para sahabat tertawa
melihatnya. Lalu Rasul saw. bertanya: Apa yang kalian tertawakan? Wahai
Rasulullah, kami tertawa melihat kaki ibn Mas‘u>d yang kecil. Rasul saw. berkata:
Demi yang jiwaku ditangannya, kedua kaki itu lebih berat dari gunung Uh}ud dalam
timbangan di hari kiamat.‛ Hadis S{ah}ih} diriwayatkan oleh Ima>m Ah}mad ibn H{anbal
dalam Musnad Ibn Mas‘u>d, no. 3981. Lihat Ah}mad ibn H{anbal, Musnad, Ed. Shu‘aib
Arnauth (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1996), Vol. VII, 88.
286
Ah}mad Mustafa Mutawalli, S{ah}i>h} al-Da>r al-A<khirah, 280.
287
‚Telagaku (luasnya) perjalanan satu bulan, airnya lebih putih dari susu,
baunya lebih wangi dari parfum, sudut-sudutnya sama, cangkirnya (timbanya)
sebanyak bintang di langit. Siapa yang meminumnya tak akan pernah haus
selamanya.‛ Hadis S{ah}i>h} dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar, diriwayatkan oleh Ima>m al-
Bukha>ri, dalam Kita>b:al-Riqa>q, Ba>b: fi al-H{aud}, (no. 6579). Lihat Ima>m al-Bukha>ri>,
S{ah}i>h al-Bukha>ri>, 1258.
157

Menurut Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (773-852 H), al-H{aud} (telaga)


bukanlah ‚al-Kauthar‛. Telaga berada di luar surga, sedangkan ‚al-
Kauthar‛ berada di dalam surga. Namun air telaga mengalir dari ‚al-
Kauthar‛. Oleh karena itu, jenis airnya sama.288 ‚Al-Kauthar‛ sendiri
adalah sungai milik Nabi saw di surga.289 Berbeda dengan Ima>m al-
Qurt}u>bi> (w.671 H), menurutnya telaga Nabi ada dua: yang pertama
berada di padang Mah}shar>,290 dan yang kedua berada di surga.
Keduanya disebut ‚al-Kauthar‛.291 Disamping banyak kesamaan
antara al-H{aud} dan al-Kauthar.
Ulama memang berselisih tentang susunan antara timbangan
(al-Mi>za>n), telaga (al-H{aud}) dan jembatan (al-S{ira>t}). Sekelompok
ulama lebih memilih telaga merupakan rute terakhir, yaitu: jembatan,
penimbangan dan terakhir telaga. Pandangan ini berpegang pada
sebuah hadis.292 Ima>m al-Qurt}ubi> (w. 671 H) meninggalkan hadis
tersebut dan memilih alasan rasionalis. Menurutnya, telaga berada di
padang Mah}sha>r, yaitu setelah manusia bangkit dari kuburnya. Telah
datang hadis yang menyatakan manusia dibangkitkan dalam keadaan
haus. Telaga lebih dahulu dari timbangan dan jembatan tentunya lebih

288
Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, Vol. XI, 481.
289
Penjelasan ‘Aishah ra. Tentang al-Kauthar, diriwayatkan oleh Ima>m al-
Bukha>ri> dalam Kita>b: al-Tafsi>r, Surah: al-Kauthar, (no. 4965). Lihat Ima>m al-
Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, 987.
290
‚Rasul saw. tahukah kalian apa itu ‚al-Kauthar‛? Kami menjawab: Allah
dan Rasulnya lebih tahu. Rasul berkata:Sesungguhnya ‚ al-Kauthar‛ itu adalah sungai
yang dijanjikan Tuhan untukku. Padanya banyak kebaikan. Al-Kauthar adalah al-
H{aud} yang di datangi ummatku di hari kiamat. Cangkirnya sebanyak bintang…‛
H{adi>th S{ah}i>h} dari Anas ibn Ma>lik, diriwayatkan oleh Imam Muslim, dalam Kita>b: al-
S{ala>h, Ba>b: H{ujjah man Qa>l: al-Basmalah Ayah Awwal Kullu Su>rah siwaal-Bara>ah,
(no. 400). Lihat Ima>m Muslim ibn al-H{ujjaj, S{ah}i>h} al-Muslim, 188.
291
Ima>m al-Qurt}u>bi>. Al-Tazkirah, 291.
292
‚Aku (Anas Ibn Ma>lik) memohon agar Rasu>l saw. memberi syafa‘at
kepadaku di hari kiamat. Rasul menjawab: Saya lakukan. Aku bertanya: Wahai
Rasulullah dimana aku akan menemuimu? Rasul menjawab: Carilah pertama kamu
mencariku pada waktu di jembatan (al-S{ira>t}). Aku bertanya: Bagaimana bila tidak
aku temukan engkau disana? Rasul menjawab: Carilah aku pada waktu di timbangan.
Aku bertanya: Bagaimana bila tidak aku temukan engkau disana? Rasul menjawab:
Carilah aku ketika di telaga, aku pasti ada di salah satu dari tiga tempat itu.‛ Hadi>th
H{asan Gari>b, dari Anas ibn Ma>lik, diriwayatkan oleh Ima>m al-Tirmi>dhi dalam al-
Sunan pada Kita>b: S{ifah al-Qiya>mah, Ba>b: Ma> Ja>’a fi Sha’n al-S{ira>t}, (no. 2433).
Lihat Ima>m al-Tirmi>dhi>, Sunan al-Tirmi>dhi>, 548.
158

tepat.293 Abu H{a>mid al-Ghaza>li> (455-505 H) dalam ‚Kasf al-‘Ulu>m al-


A<khirah‛ mengoreksi hadis tersebut, menurutnya ada kesalahan dalam
periwayatan, sehingga sebagian salaf dari Ahl al-Hadis mengakhirkan
telaga karena berpegang pada hadis yang salah.294

h. Jembatan (al-S{ira>t})
Al-S{ira>t} adalah jalan yang melintas sepanjang atas neraka,
yang akan dilewati oleh setiap manusia.295 Siapa yang berhasil
melewatinya akan melanjutkan perjalanan ke surga, sedangkan yang
gagal akan jatuh ke neraka dibawahnya. Jembatan atau jalan tersebut
tidak dapat membuat pijakan kaki seimbang, tapi licin dan
menggelincirkan, ada penyambar, penggigit dan duri,296 bahkan
diriwatkan jalan tersebut lebih tajam (tipis) dari pedang dan lebih
halus dari rambut.297 Sekelompok ulama mentakwilkan gambaran
hadis tentang perlintasan (jembatan), menurut mereka maksud tipis
dan halusnya perlintasan berpulang pada mudah dan susahnya mereka
melewatinya sesuai dengan amalan masing-masing. Ima>m al-Qurt}u>bi>
(w.671 H) menyanggah pentakwilan tersebut. Menurutnya, hadis
haruslah dipahami sebagaimana teks aslinya.298
Setiap manusia, mukmin dan kafir, dari Adam as sampai hari
kiamat pasti akan melewatinya. Hanya orang mukmin calon penghuni
surgalah yang akan dapat melewatinya, yang lainnya tidak dapat
melewatinya dan jatuh tinggal di neraka. Demikianlah penafsiran Ibn

293
Ima>m al-Qurt}u>bi>, Al-Tazkirah , 291.
294
Abu H{a>mid al-Ghaza>li>, Al-Durrah al-Fa>khirah fi Kashf ‘Ulu>m al-
A<khirah, Ed. Muwaffiq Fauzi al-Jabar (Damaskus: Al-Hikmah, 1995), 52. Lihat juga
Ima>m al-Qurt}u>bi>, Al-Tazkirah fi Ah}wa>l al-Mauta> wa Umu>r al-A<khirah, 291.
295
‘Ad}d} al-Di>n al-Eiji>, Al-Mawa>qif. 383
296
‚Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, Apakah itu jalan (jembatan)?Rasul
menjawab: Jalan yang licin lagi menggelincirkan, dijalan itu ada penyambar,
penggigit, dan duri.‛ H{adi>th S{ah}i>h dari Abu Sa‘i>d al-Khudri diriwayatkan oleh Ima>m
Muslim dalam Kita>b: al-I<ma>n, Ba>b: Ma’rifah al-T{ari>q al-Rukyah, (no. 302). Lihat
Ima>m Muslim ibn Hujja>j, S{ah}i>h} Muslim, 99.
297
‚Sesungguhnya jembatan itu lebih tipis dari pedang dan lebih halus dari
rambut‛ Hadis S{ah}ih} Mauqu>f dari Abu Sa‘i>d al-Khudri diriwayatkan oleh Ima>m
Muslim dalam Kita>b: al-I<ma>n, Ba>b: Ma’rifah al-T{ari>q al-Rukyah, (no. 302). Lihat
Ima>m Muslim ibn Hujja>j, S{ah}i>h} Muslim, 101.
298
Ima<m Abu ‘Abd Allah al-Qurt}u>bi>, Al-Tadhkirah bi Umu>r al-Mauta> wa
Ah}wa>l al-A<khirah, Ed.Al-S{a>diq ibn Muhammad ibn Ibrahi>m (Riya>d}: Dar al-Minha>j,
1425 H.),757-758.
159

‘Abbas (3 SH- 68 H), Ibn Mas‘u>d (w. 32 H) dan Ka‘ab al-Ah}ba>r299 dari
ayat:300 ‚Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan
mendatanginya (jembatan itu)‛ (QS. Maryam [19]: 71-72). Orang
mukmin calon penghuni surga akan dapat melewati jembatan diatas
neraka tersebut sesuai dengan amalan mereka. Ada yang melewatinya
dengan kecepatan cahaya (kilat), ada yang melewatinya dengan
kecepatan suara, kecepatan burung terbang, lari kuda, seterusnya lebih
pelan dan pelan lagi. 301
Qad}i> ‘Abd al-Jabbar (359-415 H) dan banyak kalangan
Mu’tazilah mengingkari adanya jembatan (al-S}ira>t}) seperti yang
diyakini Ahl al-Sunnah.302 Syaikh Mu’tazilah, Abu ‘Ali al-Jabba>i>
(235-304 H) membingungkan, kadang menafikan dan terkadang
menetapkan.303 Sementara Abu Hudhail al-‘Alla>f (134-235 H) dan
Bishar ibn al-Mu’tamar (w. 210 H) berpendapat bahwa jembatan (al-
S{ira>t) mungkin terjadi, namun mereka tidak menetapkan jembatan
perlintasan akan benar-benar terjadi kelak.304 Mu’tazilah sebagai
kalangan rasionalis Islam terdepan beralasan bahwa jembatan yang
lebih tipis dari pedang dan lebih halus dari rambut sangatlah tidak
rasional bisa dilewati. Sekalipun bisa dilewati, itu merupakan siksaan,
kesulitan dan kesusahan yang diberikan Allah kepada seorang muslim.

299
Dia adalah Ka‘ab ibn Ma>ti’ al-H{imyari al-Yamani>, yang dahulunya
seorang Yahudi, lalu masuk Islam setelah Nabi saw. wafat. Dia datang dari Yaman
ke Madinah di masa Umar ibn Khatta>b. Penguasaannya terhadap kitab-kitab Yahudi
membuat para sahabat banyak mendengarkan kitab-kitab israiliya>t darinya.
Sementara Ka’ab banyak belajar hadis dari para sahabat. Lihat Shams al-Di>n al-
Dhahabi>, Siyar A’la>m al-Nubala’, 494.
300
Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Quran al-‘Az}i>m,Vol. IX, 280-281.
301
‚Mukmin akan melewatinya seperti kedipan mata, seperti kilat, seperti
angin, seperti burung, seperti kuda dan tunggangan terbaik. Seorang muslim akan
selamat (melintasinya)‛ Hadis S{ah}i>h} dari Abu Sa‘i>d al-Khudri diriwayatkan oleh
Ima>m Muslim dalam Kita>b: al-I<ma>n, Ba>b: Ma’rifah al-T{ari>q al-Rukyah, (no. 302).
Lihat Ima>m Muslim ibn Hujja>j, S{ah}i>h} Muslim. 100.
302
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 120.
303
‘Ad}d} al-Di>n al-Eiji, Al-Mawa>qif, 384.
304
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 349.
160

Atas prinsip dasar keadilan Tuhan, tidaklah pantas Allah memberikan


kesulitan kepada muslim yang taat di akhirat.305
‘Add al-Di>n al-I<ji> (708-756 H) sebagai Teolog Ash‘ariyah yang
mempresentasikan Ahl al-Sunnah, menjawab kritik Mu’tazilah.
Menurutnya, Allah yang maha kuasa bisa saja membuat manusia
melintasinya tanpa merasa kesulitan dan kelelahan. Sebagaimana yang
telah dikabarkan dalam hadis tentang sifat orang-orang-orang yang
melintasinya. Ada yang melintasinya secepat kilat, ada yang secepat
angin, ada yang secepat tunggangan (kuda) terbaik, ada yang kakinya
telah jatuh dan bergantung dengan tangannya, bahkan ada yang
bergantung dengan kepalanya.306 Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni> (722-792 H)
menganalogikannya dengan berjalan di atas air, dan burung terbang di
udara. Keduanya aneh dan diluar aturan kebiasaan manusia. Namun
semua itu bukanlah mustahil, tapi sangat jelas memungkinkan menurut
akal.307 Wajib hukumnya berpegang kepada teks yang telah jelas
kebenarannya dan mungkin menurut akal. Tidak ada alasan untuk
memalingkan (mentakwilkan) makna zahir teks kepada makna yang
lainnya.

i. Surga dan Neraka


Surga dan neraka merupakan tempat peristirahatan akhir raga
material. Tempat memanen apa yang telah di tanam di dunia. Yang
berbuat baik, melaksanakan perintah Tuhan dengan segala halangan
dan rintangannya, akan mendapatkan kesenangan yang telah di
janjikan. Surga diterjemahkan dari kata ‚al-Jannah‛ yang dalam
bahasa Arab berarti kebun korma dan pepohonan yang lebat, yang
menaungi dari terik mentari serta dahan-dahannya yang rindang.
Dikarenakan kebun itu lebat dan menaungi disebutlah ‚al-Jannah‛
yang berasal dari kata ‚Janna‛ yang berarti menutupi. Kemudian
dipakaikan untuk tempat pembalasan amal baik di akhirat kelak.308
Kesenangan yang diperoleh raga di surga sama seperti
kesenangan dunia. Surga menyediakan seluruh kesenangan ragawi
305
‘Ad}d} al-Di>n al-Eiji, Al-Mawa>qif, 384. Lihat juga Sa’d al-Di>n al-
Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 120. Lihat juga Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>,
Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 349.
306
‘Add al-Di>n al-Eiji>, Al-Mawa>qif, 384.
307
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V. 120.
308
Fakh al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. II, 140. Lihat juga Abu Qa>sim
al-Zamkhashari>, Al-Kashsha>f ‘, Vol. I, 229.
161

yang dibutuhkan manusia. Mulai dari makanan, minuman yang enak


dan lezat, tempat tinggal berupa Istana nan indah dan luas, lengkap
dengan bidadari-bidadarinya. Akhirat merupakan manifestasi
kehidupan dunia, yang berbeda hanya sifatnya saja (QS. al-Baqarah
[2]: 25).
Dalam tafsirnya, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) membagi
kesenangan dan kenikmatan yang diinginkan manusia dalam hidup di
dunia ini dalam tiga kelompok yang tiada empatnya.309 Pertama,
tempat tinggal berupa istana yang ‚Surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya‛. Kedua makanan yang lezat dan nikmat, ‚Inilah
rezeki yang pernah diberikan kepada kami dahulu di dunia‛. Ketiga,
pasangan berupa bidadari sebagai ‚istri mereka yang suci‛. Apabila
ketiga hal tersebut telah diperoleh, akan diiringi oleh rasa takut
kehilangan. Oleh karena itu, Allah menjelaskan tidak perlu merasa
takut dan cemas dengan mengatakan: ‚Mereka semua kekal di
dalamnya‛. Ayat ini menunjukkan betapa sempurnanya kenikmatan,
kesenangan dan kebahagian yang di peroleh di surga.
Ibn Kathi>r (700-774 H) dalam tafsirnya bercerita tentang
makanan surga, ia meriwayatkan dari Ibn Mas‘u>d (w. 32 H) dan
sekelompok sahabat lainnya bahwa makanan dan buah-buahan surga
sama dengan yang di dunia. Sama dari sisi warna dan bentuknya saja,
tapi rasanya berbeda. Makanan surga jauh lebih enak dan nikmat. Bagi
‘Ikrimah (w. 105 H) yang sama hanya jenis-jenisnya saja, rasanya
tentunya berbeda. Berbeda dengan Ibn ‘Abbas (3 SH- 68 H), baginya
tidak ada yang sama kecuali nama-namanya saja. 310
Sebaliknya, manusia yang tidak menjalankan perintah
Tuhannya, berbuat kejahatan, kerusakan, dan bahkan mengingkari
Tuhan yang maha kuasa akan mendapatkan siksaan material yang
ditimpakan kepada raga. Neraka merupakan kediaman raga sebagai
balasan keingkarannya. Neraka dalam al-Quran disebut al-Na>r (api),
manusia merupakan bahan bakarnya (QS. Al-Baqarah [2]: 24). Ahl al-
Sunnah meyakini, seorang mukmin pelaku dosa akan di bakar dosanya
di neraka, kemudian akan dimasukkan ke surga tempat kediamannya
yang sebenarnya, berbeda dengan seorang kafir, ia akan kekal di dalam
neraka.311

309
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih> al-Gaib, Vol. II, 138.
310
Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m, Vol. I, 321-322.
311
‘Ad}d} al-Di>n al-Eiji, Al-Mawa>qif, 380.
162

Teolog berbeda pendapat, apakah surga dan neraka telah


diciptakan dan ada saat sekarang ini? Menurut kalangan Ash'ariyah
dan beberapa syaikh Mu'tazilah seperti Abu 'Ali al-Jabba>'i> (235-304
H), Bishar ibn al-Mu’tamir (w. 210 H) dan Abu Husain al-Bas}ri> (w.
436 H):312 berpendapat bahwa surga dan neraka telah diciptakan dan
telah ada saat sekarang ini. Sebaliknya, mayoritas Mu'tazilah
diantaranya seperti ‘Iba>d al-D{aimiri>, D{irar ibn ‘Umar (h. 190 H/ 805
M), Abu Ha>shim al-Jabba>'i> (247-321 H), dan al-Qa>d}i> 'Abd al-Jabba>r
(359-415 H) menyanggahnya, menurut mereka surga dan neraka belum
diciptakan sekarang ini. Surga dan neraka baru diciptakan kelak di hari
kiamat, sebagai tempat pembalasan amal perbuatan.313 Menurut Sa'd
al-Di>n al-Tafta>za>ni (722-792 H), mayoritas umat islam meyakini surga
dan neraka telah tercipta. Hanya Abu Ha>shim (247-321 H) dan al-Qa>d}i>
'Abd al-Jabba>r (359-415 H) dan Mu'tazilah pengikutnya yang
berpendapat surga dan neraka belum diciptakan.314
Al-Qurt}u>bi> (w. 671 H) menghikayatkan hanya Mu'tazilah dan
Qad}ariyah yang meyakini surga dan neraka baru tercipta di hari
kiamat.315 Hal senada diungkapkan Ibn Qayyim al-Jauzi> (691-751 H),
menurutnya ‚Para sahabat, Ta>bi'i>n, dan Ta>bi' al-Ta>bi'i>n, Ahl al-
Sunnah, Ahl al-Hadis semuanya dan fuqaha' muslimin, Ahl al-
Tasawwuf dan al-Zuhd selalu berkeyakinan bahwa surga dan neraka
telah diciptakan dan telah ada saat sekarang ini.316
Pihak yang mengklaim surga dan neraka telah diciptakan
berpegang pada alasan berikut: Pertama, kisah Adam as dan istrinya
Hawa’ tinggal di surga, lalu keduanya dikeluarkan dari surga akibat
kesalahan memakan buah terlarang sebagaimana dengan jelas tertuang
dalam al-Quran. Kalaulah surga telah diciptakan, tentunya neraka juga
telah diciptakan semenjak dahulunya. Kedua, Allah berfirman bahwa
surga telah dipersiapkan untuk hambanya yang bertaqwa (QS. Ali
312
Dia adalah Abu al-Husain, Muhammad ibn 'Ali> ibn alT{ayyib, al-Bas}ri>.
Seorang shaikh Mu'tazilah yang banyak menulis tentang ‘Ilm al-Kalam. Ia wafat di
Bagdad pada Rabiul Akhir 436 H. di usia tua. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>,Siyar
al-A’la>m wa al-Nubala’. Vol. XVII, 587-589.
313
'Add al-Di>n al-Eiji>, Al-Mawa>qif, 374-375. Lihat juga Al-Sayyid al-Shari>f
al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 328.
314
Sa'd al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 108.
315
Ima>m al-Qurt}u>bi>, Al-Ja>mi' li Ah}ka>m al-Qura>n, Vol. I, 450.
316
Ibn Qayyim al-Jauzi>, H{a>di> al-Arwa>jh} ila Bila>d al-Afra>h{ (Cairo:
Maktabah al-Mutanabbi>, tt.), 15.
163

‘Imra>n [3]: 133), dan neraka telah dipersiapkan untuk orang kafir (QS.
Al-Baqarah [2]: 24) dengan kata "telah" (fi'l al-Ma>d}i>).317 Ketiga,
kalaulah kita mencermati berbagai hadis dan ayat-ayat al-Quran
tentang surga, pastilah akan menemukan banyak hal yang dengan jelas
menunjukkan bahwa surga dan neraka telah diciptakan. 318 Seperti
peristiwa Mi’raj-nya Nabi saw. ke ‚S}idrah al-Muntaha‛ yang posisinya
dekat dengan surga (QS. Al-Najm [53]: 12)
Adapun kalangan yang menyangkal surga dan neraka telah
diciptakan seperti Abu Ha>shim al-Jabba>'i> (247-321 H) dan para
pendukungnya, berdalih bahwa segala sesuatu akan hancur di hari
kiamat: ‚Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah‛(QS. Al-Qas}as
[28]}: 88).319 Kalaulah surga dan neraka telah diciptakan, dan
dihancurkan di hari kiamat, tentunya itu sebuah kesia-sian, surga
dibiarkan kosong tanpa penghuni dalam jangka waktu yang lama,
maha suci Allah dari melakukan perbuatan yang sia-sia lagi jelek.
Logiskah seorang raja membangun istana dan menyediakan di
dalamnya berbagai macam makanan, perabotan dan fasilitas lainnya,
namun sang raja membiarkannya kosong tanpa penghuni dan
rakyatnya tidak diperbolehkan masuk ke dalamnya dalam jangka
waktu yang lama? Sugguh tindakan yang tidak bijaksana. Sang raja
telah membuat kalangan cerdik pandai memprotesnya.320 Argumen
yang dilandasi pemikiran rasionalis dan kewajiban Allah untuk selalu
melakukan perbuatan baik yang menjadi landasan aliran Mu'tazilah.
Adapun ayat-ayat tentang surga telah ada, Mu'tazilah
memalingkannya ('Udu>l) dari makna aslinya, dan memahaminya
sebagai kiasan (Maja>z). Terutama surga nabi Adam as, menurut
mereka surga Adam as bukanlah surga abadi tempat pembalasan amal
perbuatan. Tapi surga yang diciptakan khusus untuk menguji Adam as
dan istrinya. Selanjutnya mereka berbeda pendapat dalam menentukan
letak surga Adam as tersebut. Menurut H{asan al-Bas}ri> (21-110 H),
surga itu terletak dilangit, menurut Abu Ha>shim al-Jabba'i> (247-321
H) surga tersebut terletak dilangit ke tujuh, menurut Abu Muslim al-

317
Fakh al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, Vol. II, 137-138.
318
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh al-Mawa>qif, Vol. VIII, 328.
319
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh al-Mawa>qif, Vol. VIII, 328, Lihat
juga Sa'd al-Di>n al-Tafta>za>ni>. Sharh} al-Maqa>s{id, Vol. V, 108.
320
Ibn Qayyim al-Jauzi>, H{a>di> al-Arwa>jh} ila Bila>d al-Afra>h, 15.
164

As}baha>ni321 (254 -322 H), Abu Qa>sim al-Balkhi322 (273-327 H) dan


Ibn H{ajar al-'Asqala>ni> (773-852 H) surga tersebut merupakan salah
satu kebun yang terletak di suatu tempat di bumi.
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan surga tersebut,
Ibn Qayyim (691-751 H) membahasnya secara khusus dalam "H{adi>
Arwa>h} ila> Bila>d al-Afra>h}". Saking alotnya perdebatan, dan tidak
bisanya menguatkan pendapat yang satu dari yang lainnya, pada
akhirnya ia mengikuti jejak Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) yang
memilih tawaqquf dalam permasalahan.323 Bagi Ash'ariyah, surga
Adam as (QS. Al-Baqarah [2]: 35) adalah surga abadi, tempat
pembalasan amal perbuatan. Mereka menolak pemalingan ('Udu>l)
ataupun pentakwilan ayat-ayat surga. Tidak ada alasan membawa teks
kepada makna kiasan (Maja>z). Pentakwilan menyalahi ijmak muslimin
sebelum munculnya perselisihan. Pemaknaan surga Adam as dengan
suatu kebun diantara kebun di bumi, merupakan suatu bentuk bermain-
main dalam urusan agama dan memperolokkan ijmak muslimin.324

D. Akhirat Spiritual
Pada dasarnya, pemikiran ini berpegang pada teori yang
memandang manusia sebagai sesuatu yang spiritual, bukan material.

321
Dia adalah Muhammad ibn ‘Ali ibn Mahribizd ibn Bah}r, dikenal sebagai
Abu Muslim al-Asfaha>ni>. Dia adalah seorang teolog Mu’tazilah, penulis ulung, gaya
bahasa yang faseh, ahli debat, menguasai ilmu tafsir al-Quran dan berbagai cabang
ilmu lainnya. Dia merupakan penduduk Isfahan (Iran), dia menjadi wali di Isfahan
dan beberapa negeri Persia pada masa khalifah al-Muqtadir bi Allah al-Abba>si>,
sampai ibn Babawiyah datang kesana pada Z{ulqaidah 321 H. Ia wafat pada tahun
322 H. Lihat Abu Muslim al-As}faha>ni>, Mausu>‘ah Tafa>si>r al-Mu’tazilah: Ja>mi’ al-
Ta’wi>l li Muhkam al-Tanzi>l, Ed. Khid}ir Muhammad Banha> (tt: Abu Salu>m al-
Mu’tazili>, tt), 5.
322
Dia adalah 'Abd Allah ibn Ah}mad ibn Mah}mu>d al-Ka'bi>, Abu al-Qasim
al-Balkhi>, salah seorang syaikh Mu'tazilah, teman debat dan diskusi Abu 'Ali al-
Jabba>’i>. Dia bekerja sebagai penulis untuk pemerintahan Ahmad ibn Suhail penguasa
Naisabur. Diantara karya besarnya adalah kitab: " Al-Maqa>la>t", "Al-Gurar", "Istidla>l
bi al-Shahid 'ala al-Ga>ib", "Al-Jadl", Sunnah wa al-Jama>'ah, "Al-Tafsir al-Kabi>r",
kitab yang mengkritik al-Ra>zi> tentang filsafat ketuhanan dan lainnya. Lihat Shams
al-Di>n al-Dhahabi, Siyar 'Ala>m al-Nubala', Vol. XVI, 313.
323
Ibn Qayyim al-Jauzi>, H{a>di> al-Arwa>jh} ila Bila>d al-Afra>h, 23-39. Lihat
juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. III, 3-4.
324
Sa'd al-Di>n al-Tafta>za>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 108-109.
165

Sehingga akhirat bersifat spiritual karena manusia yang dibalasi amal


perbuatannya adalah jiwa spiritual yang immaterial. Kenikmatan
akhirat terbesar adalah kembalinya jiwa kepada sang pencipta. Jiwa
yang merupakan pancaran (emanasi) dari zat Tuhan, kembali pada
kondisinya semula (al-Ruju>’ ila al-Bida>yah). Gambaran akhirat
material merupakan perumpamaan dan percontohan agar mudah
dipahami awam. Kenikmatan akhirat terbesar dalam Islam
diumpamakan dengan bertemu dan melihat yang maha agung.
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni> (740-816 H) mengungkapkan
bahwa akhirat spiritual merupakan istilah baru dalam ranah pemikiran
Islam. Akhirat spiritual digunakan filosof sebagai pengungkapan
berpisahnya jiwa dari raga dan terhubung ke alam ide (‘Aqli>) yang
merupakan alam immaterial. 325 Balasan amal perbuatan hanya
dirasakan oleh jiwa, karena manusia pada hakikatnya adalah jiwa
immaterial tanpa raga. Di akhirat jiwa dapat langsung merasakan
kenikmatan atau kesengsaraan tanpa butuh perantara raga. Sebuah
kesia-sian bila jiwa kembali tergantung kepada raga di akhirat. Raga
hanyalah alat yang diatur dan dipakai jiwa. Pendapat ini merupakan
pendapat filosof ketuhanan Yunani.
Al-Shahrasata>ni> (479-548 H) menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan filosof ketuhanan adalah filosof yang telah
mempunyai semacam perolehan, yang telah menaikannya dari alam
material, dan menetapkan (Tuhan) yang immaterial (al-Ma’qu>l),
namun mereka tidak menyatakan batasan, hukum, syariah dan Islam.
Mereka mengira, bila mereka telah mendapatkan yang immaterial (al-
Ma’qu>l) dan telah menetapkan asal usul alam (al-Mabda’) dan akhirat
(al-Ma‘a>d), mereka telah mencapai kesempurnaan yang selama ini
dicari.326
Dapat dipahami, bahwa mereka adalah filosof yang telah
menemukan kebenaran dengan pemikiran akalnya. Kebenaran itu
adalah bahwa segala sesuatu berasal dari satu yang immaterial, yaitu
Tuhan. Mereka menyebutnya dengan istilah al-‘Aql. Sesuatu yang
immaterial itulah yang mengatur alam semesta dengan
mengerakkannya. Sesuatu yang immaterial itulah yang mengatur
setiap material, termasuk raga manusia. Kualitas kebahagiaan dapat
diukur dengan seberapa jauh pengetahuannya tentang hal yang
325
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 325.
326
Al-Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, Vol. II, 306.
166

immaterial. Semakin dalam pengetahuan yang dicapai akan


membuatnya semakin bahagia. Sebaliknya ketidaktahuan membuatnya
menderita, semakin tidak tahu semakin menderita.
Lebih lanjut al-Shahrasata>ni> (479-548 H) menjelaskan bahwa
mereka tidak membawa syariah seperti seorang nabi, tapi hukum
syariah dihasilkan dari hasil pemikiran akal mereka, hasil olah akal
dengan memikirkan yang immaterial. Syariah dan pemegangnya
merupakan perkara kepentingan umum. Batasan, hukuman, halal,
haram merupakan produk buatan manusia. Pemegang syariah
merupakan orang yang mempunyai kebijaksanaan praktis. Bisa jadi
dikuatkan oleh sang pemberi forma (Wa>hib al-S{u>r) dalam menetapkan
hukum. Hukum halal dan haram dibuat demi kebaikan manusia, dan
kemakmuran negeri. 327
Filosof ketuhanan dalam pemikiran Yunani kuno
dipresentasikan oleh Socrates (470-399 SM), Plato (427-347 SM) dan
Aristoteles (384-322 SM).328 Hanya saja Socrates lebih fokus dalam
membentuk pemahaman-pemahaman rasionalis, nilai-nilai universal
dan perhatian yang besar terhadap nilai-nilai kemanusian dalam
menghadapi Sophisme.329 Sementara Plato merupakan filosof
ketuhanan Yunani kuno terbesar dan pandangannya tentang Tuhan
sangat jelas. Ajarannya cukup komprehensif, dan paling luas
pengaruhnya dalam filsafat Islam, terutama kajian jiwa. Adapun
Aristoteles, ajarannya tentang jiwa cukup rumit, para komentatornya
saling bertentangan dalam menyikapi apakah jiwa itu berbeda (al-
Muga>yarah) dengan raga atau tidak, apakah jiwa itu kekal atau binasa.
Hal inilah yang dikeluhkan Shahrasata>ni (479-548 H): Aristoteles
dalam penuturannya lebih cendrung pada ajaran Plato menyatakan

327
Al-Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, Vol. II, 306.
328
Muhammad Sayyid al-Musayyar, Al-Ru>h},174.
329
Sophisme merupakan aliran pemikiran filsafat yang berkembang di
Yunani pada akhir abad VI SM dan awal abad V SM setelah surutnya pemerintahan
‚Oligarki‛ (minoritas) dan munculnya golongan pemerintahan baru ‚Demokrasi‛
yang mempresentasikan rakyat. Ibn Hazm mewakili teolog dan filosof muslim
menyebut aliran ini sebagai pembatal kebenaran (Mubt}il al-H{aqa>iq), Lihat Ibn Hazm
al-Andalu>si, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al,Vol. I, 18. Adapun Abd al-Rah}ma>n
Marh}aba> menyebutnya sebagai gerakan pencerahan Yunani, sigma negative untuk
aliran ini berhasil dikumandangkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles yang
merupakan filosof Ketuhanan. Lihat ‘Abd al-Rah}ma>n al-Marhaba, Tari>kh al-Falsafah
al-Yuna>niyah: min Bida>yatiha> h}atta> al-Marh}alah al-Heleniyah, 147.
167

kekalnya jiwa dan telah ada sebelum raga. Namun filosof Muta’akhiri>n
menuliskan pernyataan yang berbeda, jiwa tercipta setelah raga. 330
Ajaran Plato (427-347 SM) tentang akhirat secara garis besar
dapat disimpulkan sebagai berikut:331
a. Jiwa manusia telah ada di alam ide (al-‘A<lam al-Muthul) jauh
sebelum adanya raga. Jiwa mengetahui seluruh yang ada di alam
ide. (Dialog Timaeus)
b. Jiwa manusia qadi>m seperti qadi>mnya alam ide, yang merupakan
alam yang sebenarnya (hakiki). Alam material ini hanyalah
bayangan (pantulan) dari jejaknya. Alam material ini ha>dith.
(Dialog ‚Laws‛)332
c. Ma’rifah (pengetahuan) adalah mengingat kembali apa yang telah
diketahui di alam ide. Kebodohan adalah kelupaan yang
disebabkan oleh tebalnya material yang ditempati jiwa. (Dialog
‚Meno‛)333
d. Jiwa manusia jatuh dari alam ide ke alam material karena
ketidakberhasilannya menyaksikan kebenaran (Musha>hadah al-
H{a{ qa>iq). Jiwa-jiwa ditengah keramaiannya dalam Musha>hadah al-
H{aqa>iq satu dengan yang lainnya saling berbenturan, hingga
kehilangan sayap yang digunakan untuk terbang di dunia langit.
Kemudian semua jatuh ke bumi, menempati raga-raga anak
manusia. (Dialog Phaedrus)334
e. Akhirat adalah kembalinya jiwa ke alamnya (alam ide) setelah
berpisah dengan raga yang merupakan kelompok al-Murakkaba>t
(tersusun) yang akan terurai dan hancur. (Dialog Phaedo)335
Ajaran Plato ini sangat besar pengaruhnya kepada muridnya.
Bahkan Aristoteles (384-322 SM) tak dapat terlepas dari bayangan
ajaran gurunya. Disaat ia menyatakan jiwa manusia ha>dith, ia juga
menyatakan jiwa manusia berasal dari luar. Ibn Si>na> (370-428 H) yang
merupakan filosof terdepan dalam mengkaji jiwa, sangat terpengaruh
oleh ajaran Platonism, terutama tentang permasalahan akhirat (al-
Ma‘a>d). Dalam usaha menyelaraskan antara agama dan filsafat, Ibn

330
Al-Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, Vol. II, 411.
331
Muhammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 175.
332
Plato, Al-Qawa>ni>n li Aflatu>n.
333
Plato, Muh}a>warah ‚Meno‛ >, 124.
334
Plato, Muha>warah ‚Phaedrus‛, 61-66.
335
Plato, ‚Phaedo‛, 124.
168

Si>na> membahasakan alam idenya Plato dengan alam malaikat.336


Teori kejiwaan filosof ketuhanan Yunani, menjadi aliran besar dalam
filsafat Islam dan tasawuf.

1. Manusia adalah jiwa spiritual (Immaterial).


Manusia adalah jiwa spiritual pada dasarnya merupakan teori
yang berasal dari kearifan dan keyakinan Timur. Kemudian di adopsi
oleh Barat melalui ajaran Orpishm, lalu Phytagorism, lalu Platonism,
lalu Hermenism, lalu Neo Platonism, kemudian diadopsi oleh filosof
muslim. Filosof muslim terutama Ibn Si>na> (370-428 H) yang kajiannya
tentang jiwa paling luas dan komprehensif, tampak ragu-ragu antara
memilih teori Plato (427-347 SM) dan Plotinus (205-270 M) dari satu
sisi dan teori Aristoteles (384-322 SM) dari sisi lainnya. Filosof
muslim terkadang berusaha menyelaraskan antara teori-teori yang
saling bertentangan. Terkadang filosof muslim mengadopsi teori Plato
dan Plotinus dengan menyatakan bahwa jiwa merupakan esensi yang
berdiri sendiri (Qa>im bi Dha>tih) sama sekali tidak membutuhkan raga.
Pada waktu yang sama raga sangat dan bahkan benar-benar
membutuhkan jiwa.337 Baik berdiri sendiri atau tidak, yang penting
jiwa adalah suatu esensi immaterial.
Dalam ‚Risa>lah fi Ma’rifah al-Nafs al-Na>t}iqah wa Ah}wa>liha>‛
Ibn Si>na> (370-428 H) menyatakan bahwa esensi jiwa tidaklah
membutuhkan raga. Bahkan jiwa justru menjadi lemah ketika
mengiringi raga dan menjadi kuat dengan rusaknya raga. Apabila raga
telah menjadi mayat dan hancur, esensi jiwa terbebas dari belenggu
raga. Bila jiwa memiliki ilmu, kebijaksanaan dan amalan yang baik,
jiwa akan tertarik pada cahaya ilahi, cahaya para malaikat, dan tempat
yang mulia. Jiwa tertarik seperti unta dengan tali magnet besar, yang
memancarkan ketentraman kepada jiwa dan menimbulkan ketenangan
untuk jiwa. 338
Ibn Si>na> mengungkapkan sepuluh pembuktian tentang
keimmaterialan esensi jiwa dalam karya khusus yang berjudul ‚Risa>lah
fi> al-Sa‘a>dah wa al-H{ujaj al-‘Ashr ‘ala> anna al-Nafs al-Insa>niyah
336
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs (Beiru>t: Da>r al-
Ah}ad, 1974), 116.
337
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 110.
338
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 111. Dikutip dari
Ibn Si>na>, Risa>lah fi al-Nafs al-Na>t}iqah wa Ah}wa>liha>, Ed. Tha>bit al-Fandi> (Cairo: cet.
II, tt.), 11-12.
169

339
Jauhar‛. Argumen-argumen yang diutarakan Ibn Si>na> dalam
kespiritualan jiwa semuanya berpulang pada perolehan pemaknaan-
pemaknaan semata (al-Ma‘a>ni> al-Mujarradah) yang dimiliki khusus
oleh jiwa manusia yang merupakan tempat kebijaksanaan (al-Hikmah)
yang mengharuskan jiwa sebagai sebuah esensi yang intelek, berdiri
sendiri, tidak membutuhkan raga.
Setelah menuliskan bukti-bukti keimmaterialan jiwa Ibn Si>na>
menegaskan bahwa jiwa sama sekali tidak membutuhkan raga dalam
fungsi zatnya (Qawa>muha> li al-Dha>t), dan tidak juga dalam meyimpan
forma-forma akal (al-S{u>rah al-‘Aqliyah). Raga tidaklah dibutuhkan
dalam melakukan aktivitas khusus jiwa, hanya saja barangkali raga
berfungsi sebagai alat. Kemudian, bila jiwa telah memperoleh
pemaknaan (al-Ma’qu>la>t), jiwa tak lagi membutuhkan raga. Bila jiwa
telah menjadi kuat zat-nya, jiwa telah mencapai titik
kesempurnaannya. Pada waktu itu, jiwa tak lagi butuh mengkreasikan
(ta‘aqqul) sesuatu material pun dan tidak pula daya material. Bahkan
jiwa tidak suka suatu aksiden pun melekat padanya. Jiwa menjadi
transenden (Mujarrad) dengan memakaikan zat-nya untuk
menghasilkan perbuatannya. 340
Namun filosof muslim seperti Ibn Si>na> (370-428 H) terkadang
mengadopsi teori Aristoteles (384-322 SM), dengan jelas menyatakan
bahwa jiwa merupakan forma material raga, tercipta ketika raga
tercipta (h}ad> ith). Dalam ‚al-Shifa’‛ Ibn Si>na> menerangkan: Kalaulah
boleh jiwa manusia (al-Nafs al-Juz’iyah) telah tercipta, sementara raga
belum tercipta, yang mana dengan jiwalah raga menjadi sempurna dan
dapat beraktivitas, tentunya keberadaan jiwa tidaklah ada fungsinya.
Tidak ada sesuatupun yang tak berfungsi di alam natural. 341 Dalam al-
‚Naja>h‛} Ibn Si>na> menjelaskan bahwa jiwa tercipta setiap kali raga
yang layak untuk dipergunakan tercipta. Jadilah raga yang baru
tercipta sebagai kerajaan dan alatnya.342 Bila tercipta suatu bentuk
kesesuaian dan kesiapan sebuah alat (raga), ketika itu haruslah tercipta
dari ‘Illah al-Mufa>raqah -penyebab yang membagi jiwa universal
menjadi jiwa personal- sesuatu yang disebut dengan jiwa.
339
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 111-112.
340
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 111-112, dikutip
dari Ibn Si>na>, Risa>lah fi al-Sa‘a>dah wa al-H{ujaj al-‘Ashr ‘ala> anna al-Nafs al-
Insa>niyah Jauhar, 12.
341
Ibn Si>na>, Al-Shifa’: Al-Fan al-Sa>dis min al-T{abi ‘i>ya>t, 225.
342
Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mant}iq wa al-Ila>hiya>t, 106.
170

Pendapat filosof muslim tentang kespiritualan jiwa cukup


membingungkan. Bagaimana mugkin menyelaraskan antara teori Plato
(427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) yang saling
bertentangan? Menurut Fath} Allah al-Khalif, sepertinya Ibn Si>na> (370-
428 H) mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan h}ad> ith-nya jiwa
yang transenden adalah tergantungnya jiwa tersebut dengan raga yang
telah disiapkan Allah untuknya. Ketika raga telah siap menerima jiwa,
jatuhlah jiwa ke dalam raga, dan tergantung dengan raga.
Ketergantungan inilah yang h}ad> ith, sementara jiwa itu sendiri qadi>m
seperti qadi>mnya zat Tuhan. 343 Karena jiwa terpancar dari Tuhan,
digantungkan kepada cetakan tanah (raga), yang telah disiapkan Allah
untuk jiwa, raga pun telah siap menerima jiwa.344
Jiwa tidaklah turut mati dengan kematian raga, dan sama
sekali tidak dapat hancur dan binasa.345 Hubungan jiwa dengan raga
menurut filosof ketuhanan adalah hubungan mengatur, menindak, dan
memimpin raga. Tentunya esensi jiwa sebagai sang pengatur lebih
kuat dari esensi raga.346 Kalaulah hubungan raga mengikut pada
pengaturan jiwa yang terpisah dengannya, tentunya jiwa tersebut tetap
ada (kekal) setelah raga tiada. Jiwa kekal sebagaimana kekalnya sang
pencipta. Hal ini dikuatkan oleh: raga dalam kondisi tidur, indra dan
pengetahuannya tidaklah berfungsi, raga menjadi seperti raga yang
mati. Disamping itu, manusia dalam tidurnya melihat sesuatu,
mendengar dan memperoleh berita gaib dalam mimpi yang benar (al-
S}a>diqah) yang dengan jelas menunjukkan bahwa jiwa tidaklah
membutuhkan raga. Bahkan jiwa malah menjadi lemah dengan
keberadaanya di dalam raga, dan justru menjadi kuat dengan
kehilangan raga. Bila raga telah terurai, terlepaslah jiwa dari
kungkungan raga, seterusnya jiwa akan naik kehadirat sang pencipta.
Jiwa tidaklah masuk ke dalam kelompok alam yang diciptakan
dan rusak (al-Kaun wa al-Fasa>d). Tapi jiwa masuk ke dalam kelompok
alam para malaikat (al-Malaku>t), yang tidak lagi tercipta dan rusak.
Oleh karena itu, jiwa itu sederhana (al-Bas}i>t}ah}), tidak tersusun (al-
Murakkabah) dengan segala makna dan konsekwensinya. Jiwa
bukanlah tersusun dari beberapa bagian. Jiwa tidak tersusun dari jenis

343
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs. 113.
344
Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mant}iq wa al-Ila>hiya>t, 106-107.
345
Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mant}iq wa al-Ila>hiya>t, 107.
346
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 114.
171

‚genus‛ (al-Jins) dan pemisah ‚Differentia‛ (al-Fas}l), jiwa tidaklah


tersusun dari material (al-Ma>dah) dan forma (al-S{ur> ah). Selama jiwa
itu sederhana (al-Basi>t}ah), jiwa takkan pernah hancur dan binasa.
Karena kebinasaan artinya adalah terurainya susunan.347
Pengaruh ‚Phaedo‛ dalam pemikiran Ibn Si>na> (370-428 H)
sangat jelas sekali. Dalam dialog ‚Phaedo‛ yang berbicara tentang
keabadian jiwa, pembicaraan dimulai dengan percakapan Socrates
(470-399 SM) yang menjelaskan bahwa filosof sejati tidak takut mati,
tapi malah senang menyambutnya. Sekalipun begitu, bunuh diri adalah
tindakan yang tercela. Manusia harus menunggu ketetapan Tuhan.
Hubungan Allah dengan manusia seperti hubungan pengembala domba
dengan dombanya. Tak diragukan, sang pengembala akan marah bila
ada domba keluar dari garis perjalanan yang telah ditentukan. Tampak
jelas, Socrates dalam dialog Platonism tidak risau dengan hukuman
mati yang dijatuhkan kepadanya. Ia yakin, ia akan pergi menemui para
dewa yang baik, intelek (al-‘A<qilah), dan bijaksana di alam lain.
Kematian hanyalah berpisahnya jiwa dari raga atau terlepasnya jiwa
dari raga. Dengan kata lain, kematian hanya mewujudkan
kemerdekaan jiwa. Tujuan seorang filosof dalam kehidupan ini adalah
mewujudkan kemerdekaan jiwa. Dengan cara terus berfikir (al-
Ta‘aqqul al-Mah}d}) manusia dapat mewujudkan begitu besar
kemerdekaan dan keterlepasan dari belenggu raga dalam kehidupan
ini.348
Begitu juga dengan teori kesedernahaan (al-Basa>t}ah) jiwa, teori
ini juga telah dipergunakan Plato (427-347 SM) dalam membuktikan
keabadian jiwa. Jiwa sederhana menurut Plato karena jiwa dapat
memperoleh (al-Idra>k) alam ide. Alam ide sederhana, yang sederhana
tak terurai, yang terurai hanyalah yang tersusun. Jiwa yang sederhana
haruslah memperoleh yang sederhana. Jiwa yang sederhana haruslah
memikirkan ide (al-Muthul) yang serupa dengannya. Sebagaimana
teori kuno yang populer menyatakan ‚yang serupa memperoleh yang
serupa‛ (al-Shabi>h Yudrik al-Shabi>h).349
Jiwa tidak berafiliasi kepada dunia material ini menurut Plato.
Hal ini terbukti ketika jiwa berpegang kepada indra dalam aktivitas
memperoleh pengetahuan, jalannya menuju terungkapnya rahasia

347
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 115.
348
Plato, ‚Phaedo‛ fi Khulu>d al-Nafs,124-136
349
Plato, ‚Phaedo‛ fi Khulu>d al-Nafs, 155-163.
172

(hakikat) alam ini begitu sulit. Indra sering kali menyesatkan jalan dan
memperunyam permasalahan. Namun, ketika jiwa berpegang pada
daya inteleknya, dan berkonsentrasi kepada objek-objek yang
berkarakterisktik tetap, sederhana, sempurna, jiwa dapat menemukan
jalan menuju hakikat tanpa susah. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa
tidak berafiliasi kepada alam indrawi. Jiwa justru merasa tidak asing
dihadapan alam yang bukan indrawi. Malah disana jiwa merasakan
ketenangannya. 350
Pemikiran Plato (427-347 SM) dalam ‚Phaedo‛ tentang
keabadian jiwa, yaitu: a) Pemikiran terlepasnya jiwa dari belenggu
raga, b) Pemikiran kesederhanaan jiwa, c) Pemikiran afiliasi jiwa ke
alam ide yang disebut oleh filosof muslim dengan alam malaikat,
merupakan tiga pilar utama membangun teori kespiritualan jiwa yang
menjadi inti pokok pemikiran akhirat bersifat spiritual. Sa’d al-Di>n al-
Taftaza>ni> (722-792 H) memberi catatan, setelah menetapkan
keimmaterialan jiwa, dan keabadian jiwa setelah hancurnya raga,
akhirat spiritual tidak lagi membutuhkan lebih banyak penjelasan.
Akhirat (al-Ma‘a>d) merupakan istilah untuk kembalinya jiwa
tansenden (immaterial) seperti sedia kala. Atau terlepasnya jiwa dari
derita ketergantungan baik senang maupun susah atas apa yang telah
dilakukan.351

2. Pembuktian Kespiritualan Jiwa


Jiwa bukanlah material dan bukan juga aksiden yang melekat
pada esensi material. Jiwa tidaklah berada di suatu tempat, tidak bisa
diukur dengan panjang, lebar, isi, warna, dan bagian: Jiwa bukanlah
berada di dalam alam semesta, bukan di luarnya, bukan di sampingnya,
juga bukan dihadapannya. Hubungan jiwa dengan raga bukanlah
penempatan (al-Muda>khalah), bukanlah berdampingan (al-Muja>warah)
dengan raga, bukanlah mendiami suatu tempat di dalam raga (al-
Musa>kanah), bukanlah menempel (al-Mula>s}aqah) dengan raga, bukan
juga dihadapan raga. Tapi hubungan antara jiwa dan raga hanyalah
hubungan mengatur saja.352 Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni> (740-816 H)
menjelaskan, jiwa manusia transenden (al-Mujarradah) maksudnya
jiwa bukanlah kekuatan material yang menempati suatu material, jiwa

350
Plato, ‚Phaedo‛ fi Khulu>d al-Nafs, 144-154.
351
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 97.
352
Ibn Qayyim al-Jauzi, Al-Ru>h}, 240.
173

tidak pula menempati raga. Tapi jiwa tak menempati tempat dan tidak
dapat ditunjuk seperti arah material. Hubungannya dengan raga
hanyalah hubungan ketergantungan mengatur dan menggerakkan tanpa
masuk ke dalam satu bagian raga pun, tanpa menempati raga. Inilah
pendapat populer baik filosof kuno (al-Qudama’) maupun filosof
belakangan (al-Muta‘akhhiri>n).353
Untuk membuktikan kespiritualan jiwa, Ibn Si>na> (370-428 H)
beragumen dengan teori ‚saya‛. Setiap orang menyatakan inilah saya.
Tapi saya yang disebut tidak dapat diwakili oleh bagian raga manapun,
dan bahkan seluruh raga. Ini kaki saya, ini tangan saya, ini kepala saya,
ini mata saya, semua ini dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah
badan atau raga saya. Tapi bisakah orang menunjukkan saya itu yang
mana? Kata saya tak dapat ditunjukkan oleh raga dan seluruh
anggotanya, baik organ dalam maupun organ yang tampak. Saya yang
dimaksud adalah sesuatu yang lain, bukan raga. ‚Saya‛ tidak berubah
statusnya sekalipun ada anggota raga yang berkurang, seperti pontong
tangan, telinga dan bahkan sampai anggota utama raga, seperti otak,
jantung, hati dan seterusnya. Ketiadaan anggota utama tersebut
tidaklah menghilangkan pemaknaan ‚Saya‛.354
Ketika berbicara tentang seseorang manusia dengan
memakaikan kata ‚Dia‛, tidak mesti orang itu punya jantung, otak dan
organ lainnya. 355 Tanpa organ itu, masih bisa dikatakan manusia
dengan kata ‚Dia‛. Ketika berbicara tentang manusia, tidaklah mesti
harus diketahui ‚Dia‛ itu dimana, ‚Dia‛ itu bagaimana, ‚Dia‛ itu
seperti apa rupanya, dan sebagainya yang menjelaskan sifat raga.
Pada akhirnya, Ibn Si>na> menyimpulkan bahwa jiwa manusia
yang ditunjukkan oleh kata ‚Saya‛ bukanlah raga maupun bagian dari
raga ini. Raga adalah tempat dan kediaman jiwa. Walaupun pada
kenyataannya tidaklah begitu, karena jiwa bukanlah material yang
merembes atau pun melengket pada raga. Jiwa sesuatu diluar raga
yang berfungsi mengerakkan dan mengatur raga. Hanya saja manusia
lebih akrab menyatakan jiwa berada di dalam raga, dan lebih banyak
merasakan begitu, dan lebih yakin dengan keberadaan jiwa di dalam
raga. Sampai-sampai mengira bahwa jiwa itu adalah raga. Sehingga

353
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. VII, 254.
354
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 94.
355
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 94.
174

mereka susah memisahkan antara jiwa dan raga. Mereka susah


memisahkan hal-hal di luar raga, dari sisi tradisi dan kebiasaan.356
Manusia bukanlah raga, tapi manusia adalah jiwa. Manusia
yang di tunjukkan oleh kata ‚Saya‛ tidak dapat dipresentasikan oleh
raga ataupun sesuatu di dalam raga. ‚Saya‛ itulah manusia yang
sebenarnya. Hakikat manusia adalah ‚Saya‛. Hakikat itulah yang
sebenarnya melakukan amal perbuatan. Tangan hanya alat yang di
pakai untuk mencuri, kepala hanya alat yang dipakai untuk bersujud.
Yang mencuri dan bersujud yang sebenarnya bukanlah tangan dan
kepala, tapi hakikat manusia itu sendiri, yaitu jiwa immaterial. Jiwalah
yang merasakan sakit dan senang, raga hanyalah benda mati yang tak
merasa. 357 Oleh karena itu, di akhirat, jiwalah yang akan
mendapatkan balasan amal perbuatannya di dunia, bukan raga. Jiwalah
si pelaku perbuatan itu. Jiwalah yang bertanggungjawab penuh atas
apa yang ia lakukan. Kebaikan dan kejahatan yang sampai pada raga
bukanlah dalam artian yang sebenarnya, tapi karena turut andil di
dalamnya berupa: rasa sedih, sakit, senang, gembira.
Banyak peneliti muslim yang menulis argumen-argumen
tentang keimmaterialan jiwa. Tapi sayangnya tidak ada yang memilah
mana yang benar-benar argumen filosof yang menyatakan akhirat
bersifat spiritual saja, dengan argument-argumen tambahan khusus
teolog yang menyatakan akhirat spiritual dan juga material. Seperti
yang dilakukan Abu Ha>mid al-Ghaza>li> (455-505 H) dalam "Al-Ma'arij
al-Quds: fi Mada>rij Ma'rifah al-Nafs"358, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-
606 H) dalam "Al-Maba>hith al-Mashriqiyah"359, dan Ibn Qayyim al-
Jauzi> (691-751 H) dalam ‚Al-Ru>h}‛. Sebagai seorang peneliti, Ibn
Qayyim mengumpulkan dua puluh dua argumen pembuktian
keimmaterialan jiwa yang ditorehkan pendukungnya, diantaranya
adalah:

356
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 95.
357
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 95.
358
Abu Ha>mid al-Ghaza>li>, Ma ‘a>rij al-Quds fi Mada>rij Ma’rifah al-Nafs, 21.
359
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Maba>hith al-Mashriqiyah: fi 'Ilm al-Ila>hiya>t wa al-
T{abi>'i>ya>t (India: Maktabah Da>irah al-Ma'a>rif, 1343 H.), 345-409.
175

a) Orang yang berfikir waras sepakat menyatakan ruh dan badan,


jiwa dan raga. Mereka menjadikan jiwa sesuatu bukan raga. Kalaulah
jiwa itu raga, tentunya penyebutan keduanya tidaklah ada artinya.360
b) Gambaran (S{ur> ah) yang diterima akal, tak diragukan bersifat
universal immaterial (al-Kulliyah al-Mujarradah). Keimmaterialannya
bisa jadi karena diambil dari yang immaterial atau mengambil dari
yang immaterial. Yang pertama salah, karena gambaran tersebut
diambil dari personal-personal yang disifati dengan kadar berbeda dan
kondisi tertentu. Dapatlah ditetapkan bahwa keimmaterialannya
disebabkan oleh pengambilannya. Daya akal (fikir) itulah yang disebut
dengan jiwa. Ini merupakan dalil filosof yang terkuat.361
c) Daya akal (jiwa) mampu melakukan aktivitas-aktivitas yang
tak terbatas. Daya akal mampu memperoleh pengetahuan yang tak
terbatas. Daya raga tidak dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang tak
terbatas, karena daya raga terbagi dengan terbaginya tempatnya. 362
d) Kalulah daya akal (jiwa) adalah material ragawi, tentunya daya
akal akan melemah di usia tua, dan justru sebaliknya.363 Daya akal
(jiwa) tidak membutuhkan raga dalam melakukan aktivitasnya. Setiap
yang tidak membutuhkan raga dalam aktivitasnya, zatnya mesti juga
tidak membutuhkan raga.
f) Daya raga melemah dengan banyaknya pekerjaan yang
dilakukan. Daya raga tidak dapat menjadi kuat setelah lemah.
Penyebabnya jelas, daya raga dihasilkan melalui aktivitas yang
membuat raga melunak dan layu, yang berujung kelemahan. Sementara
daya akal (jiwa) tidak melemah dengan banyaknya aktivitas yang
dilakukan. Daya akal dapat kuat setelah lemah. Oleh karena itu, daya
akal (jiwa) haruslah bukan material.364

360
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 210. Argumen inilah yang
dikemukankan Ibn Si>na> dengan teori ‚Saya‛ diatas. Lihat Ibn Si>na>, Risa>lah
Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 94-95.
361
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 265. Lihat juga ‘Ad}d} al-Di>n al-Eiji, Al-
Mawa>qif, 258. Lihat juga a-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VII,
255.
362
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 211.
363
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 211.
364
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 211.
176

g) Argumen Abu Baraka>t al-Bagda>di>365 (470-547 H): Tak


diragukan seseorang mungkin membayangkan lautan mercury (air
raksa), gunung yakut (batu mulia), beberapa matahari dan beberapa
bulan. Gambaran-gambaran bayangan tersebut bukanlah sesuatu yang
tidak ada. Daya khayal menunjukkan kepada gambaran-gambaran
tersebut, dan membedakan antara satu gambaran dengan gambaran
yang lainnya. Bahkan si penghayal mampu menjadikan gambaran
tersebut seperti benar-benar disaksikan dan di gapai indra.
Sebagaimana diketahui, yang benar-benar tidak ada (al-‘Adam al-
Mah{d}) tidaklah seperti itu. Kita juga pasti tahu, gambaran-gambaran
tersebut bukanlah berada di mata, tapi adanya di dalam pikiran. Kita
simpulkan: tempat gambaran tersebut bisa jadi raga, atau menempati
raga, atau bukan raga dan bukan menempati raga. Dua yang diawal
salah. Gambaran laut dan gunung merupakan gambaran yang besar,
dan otak adalah material kecil. Tercetaknya material besar pada
material kecil sebuah kemustahilan. Jadi, tempat gambaran khayalan
tersebut bukanlah raga dan bukan material.366
h) Material raga, bila telah terdapat pola tertentu, keberadaan pola
tersebut menghalangi keberadaan pola lainnya. Adapun pola akal
malah sebaliknya. Jiwa bila kosong dari seluruh pengetahuan, tentunya
proses belajar menjadi sulit. Apabila anda mempelajari sesuatu, jadilah
perolehan pengetahuan itu menentukan mudahnya pengetahuan yang
lain. Pola material berubah dan saling meniadakan. Pola akal saling
membantu dan menolong.367
i) Kalaulah jiwa itu material, tentunya raga menjadi berat dengan
masuknya jiwa ke dalam raga. Kondisi material kosong bila diisi oleh
material lainnya, material tersebut akan menjadi lebih berat, seperti
kantong air. Justru sebaliknya, raga menjadi ringan bila ada jiwanya,
dan menjadi berat bila jiwa telah tiada, menjadi mayat.368
j) Argumen Jaham ibn S{afwa>n369 (w. 128 H): Kalaulah jiwa itu
material, tentunya juga bersifat seperti material, ringan atau berat,
365
Jama>l Rajab Si>rabi>, Abu Baraka>t al-Bagda>di> wa Falsafatihi al-Ila>hiyah:
Dira>sah li Mauqifhi al-Naqdi li Ibn Si>na> (Cairo: Maktabah Wahbah, 1996),184.
366
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 212.
367
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 213.
368
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 213.
369
Dia adalah Abu Muh}arraz, al-Jaham ibn S{afwa>n al-Tirmidhi>, dia seorang
loyalis Bani Ra>sib. Ia lahir dan tumbuh di Kufah. Ia seorang yang cerdas,
berargument kuat, ahli debat, dan seorang teolog mahir dalam ‘Ilm al-Kalam. Ia
177

panas atau dingin, halus atau kasar, hitam atau putih. Begitu juga
dengan ukuran, seperti panjang atau pendek, dalam atau dangkal,
semua ukuran itu hanya cocok untuk material dan yang menempati
ruang.370
k) Raga membutuhkan jiwa dalam keberlangsungan hidup dan
keberadaannya. Oleh karena itu, raga hancur bila kehilangan jiwa.
Kalaulah jiwa itu raga (material) tentunya juga membutuhkan kepada
jiwa yang lain, dan begitu seterusnya, dan ini mustahil.371

3. Pemisahan Antara Awam (‘A<mah) dan Khusus (Kha>s}ah)


Ibn Si>na> (370-428 H) membagi manusia mejadi dua kelompok
372
besar. Yang pertama kelompok orang awam, yang fikirannya tak
jauh dari apa yang bisa dilihat, diraba dan diraih indra. Kelompok
orang seperti ini, hakikat yang sebenarnya haruslah dirahasiakan dari
jangkauan mereka. Yang kedua, kelompok orang khusus, yaitu orang
yang telah memiliki bekal berupa insting yang bersih dan akal yang
jernih. Kelompok ini tidak akan puas kecuali bila mendapatkan hakikat
yang sebenarnya, yang terang benderang tanpa ada yang
disembunyikan. Mereka adalah para filosof pencari kebenaran.
Begitulah pengelompokan manusia dalam perkara ilmu hakikat
menurut Ibn Si>na> yang mewakili para filosof. Di dunia ini, orang
awam jauh lebih banyak jumlahnya dari pada orang berilmu. Oleh
karena itu, syariah datang sesuai dengan pemahaman mereka. Syariah
yang datang dibawa nabi Muhammad saw adalah syariah untuk
mayoritas orang, yaitu orang awam. 373 Sementara bagi orang-orang
yang cerdas seperti para filosof, bagi mereka adalah hakikat, bukan
z}ahir syariah.

bersahabat dengan al-Ja'ad ibn Dirham setelah kedatangannya ke kufah dan


terpengaruh oleh ajarannya. Jaham menjadi pembawa simbol Mu'at}t}alah; menafikan
sifat bagi Allah, menyatakan al-Quran mahkluk, Keimanan dilakukan di dalam hati
sekalipun mulut melafazkan kekufuran. Ia dibunuh oleh Salim ibn Ah}waz pada 128
H karena mengingkari Allah berbicara dengan nabi Musa as. Lihat Shams al-Di>n a-
Dhahabi>, Siyar A'la>m al-Nubala', Vol. VI, 26-27, Lihat juga Shahrasata>ni>, Al-Milal
wa al-Nih}al, Vol. I, 97-99.
370
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 214.
371
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>, Al-Ru>h, 214.
372
Pengantar Sulaima>n Dunya> dalam Ibn Si>na>, Risa>lah} Ad}h}awiyah fi Amr
al-Ma‘a>d, 20.
373
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 44.
178

Dalam ‚al-Naja>h}‛ Ibn Sina (370-428 H) bercerita tentang dua


jenis akhirat ini. Pertama akhirat untuk orang awam, yaitu akhirat
material. Akhirat jenis ini datang dari syariah. Satu-satunya jalan
untuk menetapkan akhirat material yang membangkitkan raga di hari
kiamat hanyalah melalui al-Quran dan hadis. Kesenangan ragawi dan
kesengsaraan ragawi sudah dimaklumi, tidak lagi butuh penjelasan.
Syariah yang dibawa nabi Muhammad saw telah menjelaskan panjang
lebar tentang kondisi kebahagian dan kesengsaraan yang akan diterima
raga.374
Kedua, akhirat untuk orang khusus, yaitu akhirat spiritual.
Akhirat jenis ini hanya untuk kalangan filosof yang tercerahkan.
Akhirat spiritual diperoleh dari pemikiran akal, pembuktian rasionalis
dan analogi argumentatif. Bahkan syariah secara eksplisit turut
mendukung akhirat jenis ini, yaitu kebahagian dan kesengsaraan akan
dirasakan hanya oleh jiwa spiritual tanpa raga. 375 Akhirat jenis ini
merupakan akhirat yang sebenarnya. Tidak dijelaskan untuk kalangan
awam karena mereka begitu susah dan sulit untuk memahaminya.
Sehingga akhirat jenis ini dijauhkan dari jangkauan awam.
Gambaran kehidupan akhirat bersifat material yang
dideskripsikan syariah, yaitu kenikmatan ragawi bagi hambanya yang
bertaqwa, yang mencakup nikmat makanan dan minuman, kenikmatan
tempat tinggal, dan kenikmatan seksual berupa: ‚Bidadari-bidadari
bermata jeli, anak-anak muda yang tetap muda, buah-buahan dan
daging dari jenis yang mereka inginkan, gelas yang berisi khamar dari
sungai yang mengalir, yang tidak membuat pusing dan tidak
memabukkan, dan taman-taman yang mengalir dibawahnya sungai
sungai berupa: susu, madu, khamar, dan air tawar, dipan emas dan
permata, rumah-rumah, pakaian dari sutera yang halus dan yang tebal,
dan surga seluas langit dan bumi, dan seterusnya.‛376 Gambaran
kenikmatan ragawi tersebut hanyalah perumpamaan dan percontohan
(al-Tashbi>h wa al-Tamthi>l) untuk orang awam. Itulah yang diinginkan
dan dipahami orang awam dalam kehidupan ini. Sehingga syariah
datang sesuai dengan apa yang mereka pahami. 377
374
Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mant}iq wa al-Ila>hiya>t, 167-168.
375
Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mant}iq wa al-Ila>hiya>t, 168.
376
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 59.
377
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 50. Lihat juga Al-
Shahrasata>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, Vol. II, 306. Lihat juga Ibn Taymiyah, Dar’ al-
Ta‘a>rud baina al-‘Aql wa al-Naql, Vol. I, 8.
179

Bagi Ibn Si>na> (370-428 H) ayat-ayat tentang akhirat bersifat


material berupa gambaran surga dan neraka ke dalam kategori
permasalahan perumpamaan dan percontohan. Kasus akhirat tak
ubahnya dengan kasus ketauhidan Allah swt. 378 Ayat-ayat tentang
Allah swt datang sebagai bentuk perumpamaan dan percontohan,
bukan hakikat yang sebenarnya. Dalam kajian tauhid untuk orang
awam, Allah itu punya tangan, naik, turun, bersemayam dan sifat
material, ruang dan waktu. Namun bagi kalangan berilmu seperti
teolog dan filosof, hal itu tak dapat mereka terima. Allah tidak punya
bagian eksistensi baik secara jumlah (kammi>) maupun secara
pemaknaan (Maknawi). Allah itu tidak mungkin berada di dalam alam
semesta, tidak pula di luarnya, tidak juga bisa ditunjuk dengan arah
mata angin, bahwa Ia disini atau disana. Namun hal ini terlarang
disampaikan kepada kalangan awam.
Dalam ‚Al-Naja>h}‛ Ibn Si>na> menulis judul khusus ‚Bagian
tentang pengukuhan Nabi dan metode Nabi dalam mendakwahkan
Allah dan akhirat‛ menerangkan bahwa seorang nabi tidaklah pantas
menyibukkan umatnya tentang perkara Allah lebih dari Allah itu satu
dan tidak ada yang menyerupainya.379 Bila seorang nabi mengharuskan
umatnya membenarkan keberadaan Allah dengan konsep rasionalis
argumentatif teolog dan filosof, bahwa Allah tidak dapat ditunjuk arah
tempatnya, zatnya tidak terbagi, tidak di luar alam semesta tidak pula
di dalamnya, dan seterusnya. Justru membuat permasalahan baru yang
mereka tidak bisa menyeelesaikannya. Barangkali hanya segelintir
orang yang dengan ketekunan luar biasa yang dapat membayangkan
akhirat spiritual.
Suatu kesalahan bila seorang nabi menjelaskan hakikat yang
disembunyikannya dari khalayak ramai. Seorang nabi tidak
mempunyai kewajiban untuk membocorkan sesuatu pun tentang
permasalahan. Nabi haruslah mengenalkan kepada mereka kebesaran
Allah Ta‘a>la> dan keagungannya dengan simbol-simbol dan contoh-
contoh yang menurut mereka agung dan mulia. Cukuplah sebatas itu
disampaikan kepada mereka. Seperti itu jugalah tentang perkara
akhirat. Malaikat, kenikmatan surga dan kesengsaraan neraka yang

378
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi> Amr al-Ma‘a>d, 44-45.
379
Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mant}iq wa al-Ila>hiya>t, 175.
180

sebenarnya semuanya spiritual sebagai contoh yang dapat mereka


bayangkan. 380
Orang awam tidak akan mampu memahami hakikat zat Allah
dan akhirat, oleh karena itu, -menurut Ibn Si>na>-, perumpamaan dan
percontohan adalah sebuah keharusan dan merupakan kebijakan yang
disyariahkan (al-Siya>sah al-Shar‘iyah) dalam perkara Allah dan
akhirat.381 Kalaulah tauhid dan akhirat disampaikan dalam bentuk
yang sebenarnya kepada orang awam, tentunya mereka akan segera
berpaling, dan sepakat bahwa keimanan yang diserukan adalah
keimanan kepada yang sama sekali tak pernah ada.382
Menurut Ibn Si>na> (370-428 H), Allah berlebihan bila
menugaskan rasulnya untuk menyampaikan hakikat perkara tauhid dan
akhirat kepada khlayak ramai terutama Arab ketika itu yang bertabiat
kasar dan pemikiran mereka sangat bergantung pada material yang
dapat digapai indra. Apalagi bila mengharuskan Rasulnya menjelaskan
hakikat yang sebenarnya kepada setiap manusia sehingga mereka
mampu memahaminya. Tentunya Allah menugaskan Rasulnya untuk
melakukan hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia.383 Maha
suci Allah dari hal yang demikian.
Ungkapan senada juga dilontarkan Ibn Rushd (520-595 H),
Akhirat spiritual yang berdasarkan pada pentakwilan syariah hanya
untuk orang khusus (berilmu). Akhirat material yang berdasarkan pada
zahir teks syariah merupakan akidah untuk orang awam. Haram
hukumnya bagi seorang yang berilmu (filosof) membocorkan rahasia
akhirat spiritual kepada orang awam yang berpikiran dangkal, karena
akan mengantarkan mereka pada kekufuran. Orang yang menyerukan
kekufuran adalah kafir. Bahkan menurutnya, hakikat hanya boleh
ditulis pada buku-buku argumentatif yang hannya akan disentuh oleh
filosof. Abu H{a>mid al-Ghaza>li> (455-505 H) telah melakukan
kesalahan besar ketika menulis buku argumentatif (Taha>fut al-
Fala>sifah) dengan metode dialektik untuk orang awam, itu
membahayakan syariah (agama) dan hikmah (filsafat), sekalipun ia
bertujuan baik.384

380
Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mant}iq wa al-Ila>hiya>t, 175.
381
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma ‘a>d, 46.
382
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 45.
383
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma ‘a>d, 49-50.
384
Ibn Rushd, Fas}l al-Maqa>l, 51-52.
181

4. Kenikmatan Spiritual Jauh lebih Utama dari Kenikmatan Material


Menurut Ibn Si>na> (370-428 H), orang bijak (al-Hukama') dan
para filosof lebih mengutamakan akhirat spiritual dari pada akhirat
ragawi. Kebahagiaan yang didapatkan manusia pada akhirat spiritual
jauh lebih dahsyat dari pada kebahagiaan ragawi.385 Bahkan seakan-
akan mereka sama sekali tidak berminat pada kebahagian ragawi.
Sekalipun mereka mendapatkan kebahagiaan ragawi, sepertinya
mereka menyepelekannya, bila dibandingkan dengan mendapatkan
kebahagian spiritual.
Manusia biasa pastilah mebayangkan kenikmatan yang paling
dahsyat adalah kenikmatan makanan, seksual, dan kekuasaan.386
Namun pada kenyataannya, manusia lebih memilih kenikmatan
spiritual dari pada kenikmatan ragawi (makanan dan seksual). Lihat
saja seorang yang sedang asyik main catur, terkadang ia lebih
mementingkan kenikmatan spiritualnya (permainan caturnya) dari
pada makanan yang lezat sekalipun. Kalaulah bukan karena
kenikmatan spiritual lebih dahsyat dari kenikmatan makanan dan
seksual, tentunya manusia meninggalkan permainan caturnya.
Manusia juga terkadang lebih memilih meninggalkan makanan
dan seksualitas demi menjaga kehormatan dan kesucian. Jadilah
kehormatan dan kesucian jauh lebih tinggi dari kenikmatan ragawi.
Terkadang manusia berada pada posisi lapar, sekalipun begitu,
manusia medahulukan orang lain dari pada dirinya sendiri. Ini berarti,
sikap mementingkan orang lain (altruisme) lebih nikmat ketimbang
kenikmatan makanan. Manusia sering kali mampu bertahan menahan
rasa haus dan lapar hannya demi menjaga wibawa dan kehormatannya.
Manusia terkadang menganggap remeh kematian demi menjaga prinsip
atau tujuan tertentu.387 Demikianlah beberapa argument yang
disampaikan Ibn Si>na>388(370-428 H) dalam al-Shifa' dan al-Naja>h
untuk membuktikan bahwa kenikmatan spiritual jauh lebih tinggi dari
pada kenikmatan material (ragawi).
Pengutamaan kenikmatan spiritual tidak terbatas pada manusia
saja, tapi juga hewan lebih mengutamakan kenikmatan spiritual dari

385
Ibn Si>na>, Al-Naja>h fi al-Mantiq wa Al-Ila>hiya>t, 168.
386
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Al-Nafs wa Al-Ru>h}, Vol I, 88.
387
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Al-Maba>hith al-Mashriqiyah, Vol. II, 427.
388
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 119.
182

kenikmatan ragawi.389 Seperti seekor anjing pemburu yang terkadang


berburu dengan kondisi perut yang lapar, kemudian ia lebih
mengutamakan majikannya memakan hasil buruannya. Seperti seekor
hewan betina yang lebih mengutamakan anaknya ketimbang dirinya
sendiri, bahkan seekor betina lebih memperhatikan bahaya yang akan
menimpa anaknya dari pada bahaya yang akan menimpa dirinya
sendiri. Semua ini menunjukkan kesamaan antara manusia dan hewan
dalam pengutamaan kenikmatan spiritual.
Ada beberapa dasar pemikiran yang dijadikan oleh Ibn Si>na>
(370-428 H) sebagai pijakan dalam membangun teori kenikmatan
spiritual dalam kehidupan akhirat:390 Pertama, setiap daya jiwa
mempunyai kenikmatan dan kebaikan tertentu, dan mempunyai
kepedihan dan kejelekan tertentu. Contohnya kenikmatan syahwat
(keinginan), kenikmatan akan dirasakan bila terwujudnya kondisi yang
sesuai, yang datang melalui panca indra. Bila terasa di mata -
maksudnya daya penglihatan yang merupakan salah satu daya jiwa-,
suatu kondisi yang cocok dan harmonis, itulah kenikmatan dan
kebaikan untuk daya penglihatan. Apabila sampai ke telinga suatu
kondisi suara yang cocok dan sesuai, itulah kenikmatan dan kebaikan
untuk daya pendengaran. Begitulah seterusnya pada setiap indra. Hal
ini juga berlaku untuk daya jiwa yang lainnya. Seperti marah,
kenikmatan dan kebaikan tertentu untuknya adalah kemenangan.
Seperti hafal, kenikmatan dan kebaikan tertentu untuknya adalah
mengingat perkara yang sesuai dengan yang telah berlalu.391
Daya-daya jiwa semuanya sama-sama menunjukkan bahwa rasa
sesuai merupakan kebaikan dan kenikmatan. Oleh karena itu, Ibn Si>na>
mendefenisikan kenikmatan dengan: ‚Pengetahuan dan perolehan
untuk mendapatkan apa yang menurut si perasa sempurna‛, dan
kebaikan juga seperti itu. Ini berarti bahwa kenikmatan adalah
tercapainya kesempurnaan tertentu. Kesempurnaan daya jiwa adalah
mendapatkan apa yang diinginkan dan apa yang sesuai dengannya. Ibn
Si>na> dalam dasar pemikiran ini berpegang pada teori yang dibangun
Aristoteles (384-322 SM) tentang kebahagiaan manusia.392

389
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 119.
390
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 119.
391
Ibn Si>na>, Risalah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma'a>d, 112-113. Ibn Si>na>. Al-
Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 168.
392
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs, 120.
183

Kedua, daya-daya jiwa sekalipun sama-sama menyatakan


bahwa kebaikan dan kenikmatan adalah tercapainya kesempurnaan
tertentu, hanya saja daya-daya jiwa berbeda tingkatannya dalam
kesempurnaan tersebut. Daya jiwa yang kesempurnaannya lebih
sempurna, lebih baik, lebih banyak, lebih lama, lebih terasa, lebih
sampai tentunya kenikmatannya lebih tinggi. Kesempurnaan terbaik
dimiliki daya jiwa yang jiwanya lebih sempurna dan lebih mulia.393
Dasar ketiga, pengetahuan bahkan keyakinan tentang adanya
kenikmatan, tidak mesti menimbulkan kerinduan pada kenikmatan
tersebut. Orang buta contohnya, sekalipun ia mengetahui betapa
nikmat melihat gambar yang indah, namun ia tidak menginginkan dan
merindukannya. Tidak seperti orang yang melihat dan pernah
merasakannya, merindukan melihat gambar yang indah. Hal serupa
terjadi pada orang tuli terhadap nada-nada yang merdu. 394 Oleh karena
itu, dalam medefinisikan kenikmatan, Ibn Si>na> tidak mencukupkan
dengan pengetahuan saja (al-Idra>k), tapi juga perolehan (al-Nail).
Dasar keempat, kenikmatan terkadang terhalang oleh suatu
aktivitas. Seperti perut yang keyang menjadi penghalang merasakan
kenikmatan makanan. Seperti orang yang takut, ia tidak merasakan
nikmatnya kemenangan. Terkadang daya jiwa terkena lawan
kesempurnaannya, jiwa tidak merasakan dan tidak menghindar
darinya. Seperti orang sakit yang harus meminum obat yang pahit.
Seperti orang yang di bius, tidak merasakan panas dan dingin. Apabila
lawan dari kesempurnaan itu telah hilang, rasa nikmat yang benar akan
kembali dirasakan. Manusia akan menghindari makanan yang pahit,
dingin dan panas.395
Demikianlah beberapa dasar yang dijadikan pijakan oleh Ibn
Si>na> (370-428 H) untuk membangun teori kebahagiaan jiwa manusia
di akhirat. Kebahagiaan jiwa intelek di akhirat akan terwujud dengan
terwujudnya kesempurnaan tertentu.396 Kesempurnaan yang
diinginkan jiwa menurut filosof ketuhanan adalah: Menjadi alam
intelek yang padanya terlukis segala forma, dan tatanan ma'qu>l (yang
difikirkan) pada segalanya, dan kebaikan yang memancar pada
segalanya, yang bermula dari permulaan segalanya, menuju esensi-

393
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 168.
394
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 168.
395
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 168.
396
Ibn Si>na>, Risa>lah al-Ad}h}awiyah Fi Amr Al-Ma'a>d, 114.
184

esensi yang mulia, menjadi spiritual yang sempurna, kemudian


menjadi spiritual yang tergantung sejenis ketergantungan dengan raga,
kemudian material-material yang mulia dengan segala kondisi dan
dayanya, kemudian terus berlanjut hingga sempurna pada dirinya
segala kondisi wujud, lalu berubah menjadi alam ma'qu>l (yang
difikirkan), yang sejajar dengan alam semua yang ada, menyaksikan
keelokan yang sempurna, dan kebaikan yang sempurna, keindahan
yang hakiki, bersatu dengannya, memantulkan dengan serupa dan
dengan kondisinya, bergabung dalam aktivitasnya, dan menjadi
esensinya.397
Ini artinya, jiwa manusia akan mencapai kebahagiaan dan
kesempurnaan di akhirat, ketika jiwa telah menjadi cermin seluruh
ilmu dan pengetahuan. Ketika jiwa memantulkan makna-makna ilmu
khusus tentang segala yang ada, dan ilmu khusus tentang hukum-
hukum dan prinsip-prisipnya. Pengetahuan tersebut dapat digolongkan
pada ilmu teoritis. Kemudian Ibn Si>na> (370-428 H) juga menambahkan
bagian-bagian ‚kebaikan yang memancar pada segalanya‛, yang
merupakan sisi praktis dari ilmu dan filsafat.
Kesempurnaan, kebaikan dan kebahagiaan jiwa intelek tidak
akan tercapai dan tidak akan didapat kecuali apabila jiwa telah
menjadi cermin bagi seluruh ilmu-ilmu khusus tentang seluruh wujud
dan hukum-hukum wujud. Begitu juga dengan keyakinan bahwa
kebaikan tersebar disegala wujud dan memancar pada alam semesta.
Kesempurnaan ini akan didapatkan dari sisi praktis dengan prilaku
jiwa sesudah mengetahui al-Mabda' al-Awwal (Tuhan) dan
memikirkannya. Kemudian mengetahui jiwa (al-Ru>h}) yang merupakan
esensi transenden yang tidak bergantung pada raga. Lalu mengetahui
jiwa (al-Nafs) yang merupakan esensi spiritual yang bergantung pada
raga, minimal ketergantungan mengatur dan menuntun. Jiwalah yang
mengatur, menuntun, dan memimpin raga kepada yang semestinya.

397
Ibn Si>na>. Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 168. Teks tersebut
dikutip Abu H{amid al-Ghaza>li> seperti apa adanya, lihat Abu H{amid al-Ghaza>li>, Ma
‘a>rij al-Quds, 149. Teks aslinya adalah sebagai berikut:
‫ ٔانخيز‬،‫ًٔانُظبو انًعقٕل في انكم‬،‫أٌ تصيزعبنًبً عقهيبً يزتسًبً فيٓب صٕرة انكم‬
‫ ثى‬،‫ فبنزٔحبَيت انًطهقت‬،‫ سبنكبً إنىًانجٕاْز انشزيفت‬،‫ًيبتذئبً يٍ يبذأ انكم‬،‫انفبئض في انكم‬
‫ًثى تستًز‬، ‫ًثى األجسبو انعهٕيت بٓيئبتٓب ٔقٕاْب‬،ٌ‫انزٔحبَيت انًتعهقت َٕعبً يب يٍ انتعهق األبذا‬
‫ًيٕاسيبً نهعبنى انًٕجٕد‬،‫ فتُقهب عبنًبً يعقٕال‬،ّ‫كذنك حتى تستٕفي في َفسٓب ْيئت انٕجٕد كه‬
ً‫ ٔيُتقشب‬،ّ‫ ٔيتحذاً ب‬،‫ ٔانجًبل انحق‬،‫ ٔانخيز انًطهق‬،‫ًيشبْذاً نًب ْٕ انحسٍ انًطهق‬، ّ‫كه‬
.ِ‫ ٔصبئزاً يٍ جْٕز‬،ّ‫ًٔيُخزطبً في سهك‬،ّ‫بًثبنّ ْٔيئت‬
185

Lalu mengetahui material-material 'alawiyah (atas), seperti bintang-


bintang yang teratur, berbentuk dan bergerak. Lalu berlanjut hingga
mengetahui jiwa intelek. Begitulah sampai lengkap pada dirinya segala
kondisi wujud. Jadilah jiwa dirinya sendiri, seakan-akan segalanya
adalah dirinya, dirinya adalah pusat segalanya yang diminimalis. Tapi
sebenarnya itu adalah gambaran yang benar. Lalu jiwa akan
menyaksikan kebenaran, keindahan dan kebaikan yang sempurna.398
Kesempurnaan ini tidak bisa dibandingkan dengan
kesempurnaan-kesempurnaan daya jiwa yang lainnya, baik dari sisi
kesempurnaan maupun keutamaan. Bahkan, tidak ada bandingannya
dengan kesempurnaan yang lain dari segi apapun. Sehingga jadilah dia
adalah dia tanpa dapat dipisahkan. Karena intelek (al-'Aql), yang
dipikirkan, (al-Ma'qu>l) dan yang memikirkan (al-'A<qil) adalah satu
atau mendekati satu.399
Ibn Si>na> (370-428 H) bukanlah pendukung pendapat al-Ittih}a>d.
Kebahagiaan di akhirat tidaklah didapat dari bersatunya jiwa dengan
Tuhan. Tapi kebahagiaan didapat dari memikirkan tuhan (Ta'aqqul al-
Mabda' al-Awwal) dan segala wujud yang ada. Pemikiran atau
perolehan ini lebih dahsyat, lebih sempurna, lebih abadi, lebih sampai
dan lebih lengkap dari perolehan-perolehan daya jiwa yang lainnya.
Bahkan kenikmatan yang diperoleh tidak dapat dibandingkan dengan
kenikmatan indrawi hewani. Kenikmatan spiritual jauh lebih dahsyat
baik secara kuantitas maupun kualitas dari kenikmaan indrawi. Dari
sudut pandang kualitas, kenikmatan spiritual sampai pada inti yang
dipikirkan (al-Ma’qu>l) dan memikirkan hakikatnya. Sementara
kenikmatan indrawi hanyalah perolehan pada permukaan saja. Dari
sudut pandang kuantitas, karena seluruh wujud terpikirkan (al-
Ma'qu>lah) dan tidak terbatas. Hubungan yang terjadi antara al-
Ma'qu>lat juga tidak ada batasnya. Sementara itu, perolehan indrawi
terbatas pada individu-individu yang terhitung. Sekalipun menjadi
banyak, hanyalah menjadi banyak dengan lebih kuat dan lebih lemah.
Contohnya seperti dua buah manisan yang berbeda.
Penjelasan Ibn Si>na> tentang akhirat spiritual menunjukkan
eratnya hubungan pemikiran akhirat spiritual ini dengan dasar-dasar
pemikiran sebelumnya dalam membandingkan antara berbagai

398
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Madhhabuhu fi al-Nafs, 122.
399
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 169.
186

kesempurnaan daya-daya jiwa dengan yang lainnya.400 Manusia hidup


di dunia ini tak merasakan kenikmatan spiritual seperti di akhirat
dikarenakan manusia di dunia bergelimang kehinaan (dosa) dan
ketergantungan dengan raga. Sehingga manusia tidak mencari dan
merindukannya, padahal kenikmatan itu benar adanya. 401 Manusia
bila berhasil melepaskan kungkungan belenggu syahwat, emosional
dan semisalnya. Boleh jadi dengan usahanya itu manusia akan
membayangkan kenikmatan akhirat spiritual walaupun hanya
bayangan yang kecil, sedikit dan lemah.

5. Kebahagiaan dan Kesengsaraan Akhirat Spiritual


Kebahagiaan dan kesengsaraan yang belum pernah diketahui
manusia bukanlah sebuah kemustahilan. Sering kali manusia meyakini
adanya kebahagiaan maupun kesengsaraan sekalipun ia belum pernah
mengenal dan merasakannya. Ibn Si>na> (370-428 H) mencontohkan
seperti orang yang lemah syahwat pun meyakini betapa nikmatnya
pernikahan sekalipun ia tak pernah merasakannya. Sebagaimana orang
yang tuli meyakini betapa nikmatnya suara yang merdu, walau belum
pernah mendengarkannya. Sebagaimana orang buta meyakini betapa
nikmatnya memandang pemandangan yang indah, sekalipun ia tidak
dapat memandangnya.402
Akhirat spiritual menurut filosof muslim sebagaimana yang
dikemukakan Ibn Si>na> adalah ketika terpisahnya jiwa dari raga.
Setelah berpisah, jiwa benar-benar berfikir (ta'aqqul bi al-Fi'l ) tentang
kesempurnaan dan perwujudannya. Kesempurnaan itu belum pernah
diperoleh sedikitpun di dunia karena jiwa sibuk mengurusi raga dengan
segala kenikmatannya, yang telah membuat jiwa melupakan zatnya
sendiri dan apa yang ia rindukan (al-Ma'shu>q).403 Sama seperti orang
sakit yang terlupa betapa nikmatnya manisan dan bahkan ia tidak
menginginkannya. Ketika berpisah dari raga, jiwa merasa mendapat
petaka dan kesengsaraan yang besar. Jiwa terhalang dari kenikmatan-
kenikmatan yang akrab dirasakan di kehidupan dunia, dan tidak ada
cara untuk mewujudkannya dalam kehidupan akhirat.

400
Fath} Allah Khali>f, Ibn Si>na> wa Madhhabuhu fi al-Nafs, 122.
401
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 169.
402
Ibn Si>na>, Risalah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma'a>d, 117-118.
403
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 169.
187

Kesengsaraan dalam kehidupan akhirat diperoleh bilamana


manusia membiasakan dirinya meraih kenikmatan-kenikmatan ragawi
dalam kehidupan dunia. Ketika meninggal, raga menjadi binasa,
tinggallah jiwa tanpa raga. Manusia menjadi terhalang dari
kenikmatan-kenikmatan ragawi yang dahulu didapat di dunia. Manusia
terus menerus merasakan keterhalangan ini dalam kehidupan akhirat.
Tidak ada cara untuk mewujudkan kenikmatan ragawi tersebut di
akhirat, karena Raga telah tiada. Itulah dia kesengsaraan dan petaka
besar dalam kehidupan akhirat.404
Kebahagian akhirat diperoleh bilamana daya jiwanya sampai
pada batas sempurna. Apabila jiwa telah berpisah dengan raga, jiwa
menjadi benar-benar sempurna. Ibn Si>na> mengibaratkanseperti orang
yang dibius, yang telah merasakan makanan lezat, lalu dihidangkan
kepadanya makanan yang lebih lezat, tetap saja ia tidak merasa.
Kemudian pengaruh bius hilang darinya, ia langsung mendapat
kelezatan yang luar biasa sekaligus.405 Kenikmatan itu tentunya
bukanlah berupa kenikmatan indrawi dan hewani. Tapi kenikmatan
yang berbentuk kondisi baik untuk esensi-esensi yang hidup saja.
Itulah kenikmatan tertinggi dan mulia.
Menurut Ibn Si>na> (370-428 H), kebahagiaan jiwa di akhirat
tidaklah sempurna kecuali bila jiwa turut mengalami perbaikan dari
sisi praktis ('amali>) dalam kehidupan dunia.406 Dari sisi praktis itulah
bersumber perbuatan moralitas. Pada sisi praktis itulah kesempatan
untuk memilih, dan mengarahkan tingkah laku. Perbaikan ini dicapai
dengan memperoleh tabiat moderat (tengah-tengah). Prilaku mulia
adalah pertengahan antara melebih-lebihkan dan mengurang-ngurangi
(al-Ifra>t} wa al-Tafri>t)}. Seperti sifat dermawan, yang merupakan prilaku
mulia, merupakan pertengan antara melebih-lebihkan yaitu
pemborosan, dan mengurang-ngurangi yaitu pelit. Melebih-lebihkan
dan mengurang-ngurangi merupakan prilaku tercela. Pertengahan
disini bukanlah pertengahan dalam ilmu matematika yang
mengharuskan jarak yang sama antara melebih-lebihkan dan
mengurang-ngurangi. Pertengahan adalah pertengahan yang adil,
karena terkadang lebih cenderung pada melebih-lebihkan dan

404
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 169.
405
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 170.
406
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 170.
188

terkadang lebih cenderung pada mengurang-ngurangi, tergantung


situasi kondisi dan kebijaksanaan akal.
Tabiat daya jiwa hewani lebih cenderung berlebih-lebihan
dalam kenikmatan ragawi, atau lebih cenderung mengurang-ngurangi
demi menjaga ketenangan atau karena lebih cenderung malas berbuat.
Bila manusia dalam tingkah laku dan perbuatannya telah terbiasa
cendrung untuk berlebih-lebihan atau mengurang-ngurangi, pada
waktu itu terciptalah suatu kondisi yang disebut kepasrahan jiwa atau
ketundukannya (Idh‘a>niyah).407 Kemudian segala keinginan tunduk
pada kebutuhan raga. Raga menguasai jiwa, dan memimpin jiwa untuk
memenuhi kebutuhannya.
Adapun bila manusia mampu menjadikan akalnya sebagai
penentu, mampu mengambil prilaku yang tengah-tengah (moderat).
Prilaku tengah-tengah ini tidak akan sempurna kecuali dengan
menjadikan akal sebagai penguasa dan penentu. Pada waktu itu
terciptalah suatu kondisi yang disebut superioritas (Isti’la>iyah),408
yaitu suatu kondisi jiwa menguasai raga. Jadilah akal dan pikiran yang
benar sebagai penentu akhir dalam mengarahkan prilaku manusia.
Prilaku manusia adalah tabiat yang bersumber dari jiwa berupa
suatu perbuatan dengan mudahnya dan tanpa proses berfikir. Prilaku
mulia merupakan daya jiwa yang diperoleh dari proses latihan, bukan
pembawaan lahir manusia. Pembawaan lahir manusia hanyalah daya
dan kesiapan untuk itu. Bila manusia terus-terusan mengarahkan daya
dan kesiapan itu untuk kebaikan, tertanamlah pada jiwa manusia
prilaku moderat. Jadilah perbuatan-perbuatan mulia bersumber
darinya, seakan-akan itu merupakan pembawaan manusia. Bila pada
jiwa telah tertanam prilaku moderat, terjauh dari pengaruh tuntutan
raga dan kenikmatan hewani, kebahagiaan akhirat telah terjamin
untuknya. Tapi bila yang tertanam pada jiwa manusia adalah kondisi
kepasrahan, jiwa tersebut sudah pasti mendapat kesengsaraan dalam
kehidupan akhirat, karena alat untuk meraih tuntutan raga dan
kenikmatan hewani adalah raga yang telah tiada. Jiwa akan merasa
sengsara karena masih adanya rasa ketergantungan pada raga.
Kebahagaian yang dideskripsikan Ibn Si>na> (370-428 H) ini
adalah kebahagian intelek (spiritual), yang hanya diperoleh oleh jiwa
di akhirat dengan bantuan akal (intelek). Kebahagiaan ini takkan dapat

407
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 170.
408
Ibn Si>na>, Al-Naja>h} fi al-Mantiq wa al-Ila>hiya>t, 170.
189

diraih dengan perantaraan raga manapun. Bisakah kebahagiaan ini


diperoleh oleh orang-orang saleh yang telah membersihkan jiwa
mereka dengan mempraktekkan ibadah dan mengikuti syariah?
Bisakah orang-orang yang telah membiasakan diri membayangkan
kebahagiaan yang tidak ada berhubungan dengan raga, dan menahan
diri dari kenikmatan ragawi di dunia ini untuk mendapatkan
kenikmatan di akhirat? Ibn Si>na> mengecualikan orang-orang seperti
ini.409 Mereka tetap mendapatkan kebahagian di akhirat. Menurutnya,
orang-orang ini dikaruniani raga mulia agar dapat mewujudkan
kebahagiaan yang mereka bayangkan. Daya khayal dalam aktivitasnya
membutuhkan perantara alat dan raga. Namun orang-orang seperti ini,
derajat kebahagiaannya lebih rendah dari pada orang-orang yang
menjadikan akal praktis sebagai penuntun dan pengarah tingkah laku
dan perbuatan.

6. Tingkatan Kebahagiaan dan Kesengsaraan Akhirat Spiritual


Kitab ‚Al-Maba>hi} th al-Mashriqiyah‛ merupakan pegangan
dalam pembahasan ini. Fakrh al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) berbicara
tentang kondisi jiwa setelah berpisah dengan raga, terutama tentang
tingkatan kebahagiaan dan kesengsaraan jiwa di akhirat. Ia
menjelaskan dengan ringkas dan jelas pendapat filosof tentang
tingkatan kebahagiaan dan kesengsaraan akhirat spiritual. Ia
menuliskan bahwa penjelasan ini bersumber dari kitab "Al-
Mubah}asa>t", "Al-Shifa'" dan "Al-Naja>h}" karya Ibn Si>na> (370-428
H).410
Tingkatan kebahagiaan dan kesengsaraan akhirat spiritual
didasarkan atas sudut pandang pembagian intelek menjadi teoritis (al-
Naz}ari>) dan praktis (al-'Amali>). Pada tingkatan teoritis ada tiga
kemungkinan: a) Telah mendapatkan akidah yang benar, atau b) Telah
mendapatkan akidah yang batil, atau c) Sama sekali tidak
mendapatkan akidah yang benar maupun yang batil. Pada tingkatan
praktis juga ada tiga kemungkinan: a) Berbuat baik, b) Berbuat buruk,
c) Tidak berbuat baik dan juga buruk. Berikut penjelasan enam
tingkatan akhirat spiritual menurut filosof sebagaimana yang
diutarakan Ibn Si>na> :
a. Tingkatan jiwa yang telah memperoleh akidah yang benar

409
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah Fi Amr al-Ma'a>d, 125.
410
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Al-Maba>h}ith al-Mashriqiyah, 429.
190

Jiwa yang telah memperoleh akidah yang benar tentunya


mendapatkan kesenangan spiritual dan berbahagian dengan
keterhubungannya dengan prinsip yang tinggi, mulia dan suci. Adapun
ukuran pengetahuan sehingga jiwa dapat memperoleh kebaagiaan ini,
Ibn Si>na> menyatakan tidak dapat mengukur atau menuliskannya.
Namun dalam "Al-Muba>h}at> ha>t" Ibn Si>na> mencukupkan dengan "Al-
Tafat}t}u>n li al-Mufa>raqa>t411 yang berarti memikirkan, mengenal dan
mengetahui al-Mufa>raqa>t. Sebuah istilah dalam teori emanasi yang
membagi satu ke yang lainnya. Seperti al-‘Aql(1) menjadi al-‘Aql(2),
al-Nafs dan al-Jaram, seperti terbaginya jiwa universal ke jiwa
personal.
Dalam "Al-Shifa' " dan "Al-Naja>h}" Ibn Si>na> mengklaim bahwa
jiwa manusia megimaginasikan seluruh "Maba>di> al-Mufarraqah"
imaginasi yang sebenarnya, dan membenarkannya dengan pembenaran
yang yakin dan nyata, mengenal ‚’Illah al-Ga>iyah‛ bagi seluruh gerak
universal bukan yang personal. Sehingga tetaplah pada jiwa manusia
suatu kondisi keseluruhan dan keharmonisan antara satu bagian
dengan lainnya, dan tatanan yang terambil dari ‚Mabda’ al-'Ula>‛
sampai ke ujung wujud yang terletak pada urutannya. 412 Ini berarti
jiwa mengetahui rentetan penciptaan dari yang maha kuasa (al-Mabda’
al-U>la>) sampai wujud terakhir, begitu juga dengan tujuan penciptaan
(‘Illah al-Ga>iyah) beserta tatanan dan keharmonisan antara seluruh
wujud. Dalam artian jiwa mengetahui segalanya. Inilah kebahagiaan
yang hakiki menurut filosof. Sangat jelas pengaruh teori emanasi
dalam penjelasan akhirat spiritual menurut filosof. Bahkan bisa
dikatakan akhirat spiritual menurut filosof berlandaskan pada teori
penciptaan alam semesta.
b. Jiwa yang telah mendapatkan akidah yang batil
sebagaimana teori rindu dan yang dirindukan (al-'Ishq wa al-
Ma'shu>q) yang diadopsi Ibn Si>na> (370-428 H) dari Aristoteles (384-
322 SM), jiwa sangat merindukan kembali pada kesempurnaannya
setelah berpisah dengan raga. Namun, dengan memperoleh akidah
yang batil, jiwa manusia tidak mendapatkan kesempurnaan yang ia
rindukan. Itu terjadi ketika terbukti baginya bahwa kondisi jiwa
haruslah memperoleh esensi segalanya. Hanya saja jiwa tidak
memperoleh kesempurnaan ini, tapi malah sebaliknya. Jadi, sesudah

411
Fakh al-Di>n al-Ra>zi, Maba>h}is al-Mashriqiyah, Vol. II, 429.
412
Fakh al-Di>n al-Ra>zi, Maba>h}is al-Mashriqiyah, Vol. II, 429.
191

berpisah dengan raga jiwa merasa tersiksa karena kehilangan


kesempurnaan yang ia rindukan. Kerinduan inilah yang membuat ia
terus tersiksa. 413
c. Jiwa yang tidak mendapatkan akidah yang benar maupun yang batil
Jiwa ini disebut juga sebagai jiwa yang bodoh, karena tidak
memperoleh akidah benar maupun yang batil. Tentunya jiwa ini tidak
memiliki rasa rindu pada kesempurnaan jiwanya. Jiwa seperti ini
kebahagiaan dan kesengsaraannya bergantung pada amalannya (Akal
Praktis). Bila ia berbuat baik maka ia akan mendapatkan kebahagian
dari sisi Allah yang maha pemurah. Bila ia berbuat buruk ia akan
mendapatkan kesengsaraan. 414 Jiwa yang bodoh ini tentunya tidak
dapat memperoleh kebahagiaan karena tidak memiliki pengetahuan
(al-Tafat}t}un), juga tidak memperoleh kesengsaraan karena ketidak
tahuannya tentang segalanya. Oleh karena itu, menurut Ibn Si>na> jiwa
yang bodoh mendapatkan kebahagiaan atau kesengsaraan dengan cara
yang berbeda.
Jiwa yang bodoh, ketika berpisah dengan raga, jiwa akan
mengimaginasikan perkara-perkara akhirat yang dikatakan kepadanya
di dunia. Kemudian jiwa akan menyaksikan kondisi kubur,
kebangkitan, dan seterusnya. Jiwa bodoh yang berbuat baik akan
mengimajinasikan kenikmatan material yang diketahuinya seperti
istana dan bidadari dan seterusnya. Sebaliknya jiwa bodoh yang
berbuat buruk akan mengimaginasikan kesengsaraan material berupa
api, ular, nanah dan seterusnya. Gambaran imaginasi tidaklah lebih
lemah dari gambaran indrawi. Bahkan bertambah luas pengaruhnya
sebagaimana disaksikan dalam mimpi. Boleh jadi pengaruhnya lebih
besar pada jiwa dari pada pengaruh indrawi. 415
d. Jiwa yang berbuat baik
Jiwa yang berbuat baik adalah jiwa yang berhasil keluar dari
kungkungan keinginan ragawi. Berhasil menjadikan akal sebagai
penentu, bukan hawa nafsu dan segala keinginan raga. Tidak diragukan
jiwa yang seperti ini tidak merasa tersiksa dengan berpisahnya dengan

413
Fakh al-Di>n al-Ra>zi, Maba>h}is al-Mashriqiyah, Vol. II, 429.
414
Ibn Si>na>, Al-Naja>h}, 171, Penuqilan Ibn Si>na> sepenuhnya dikutip dalam:
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi,. Al-Maba>h}ith al-Mashriqiyah, Vol. II, 430.
415
Ibn Si>na>, Al-Naja>h}, 171, Penuqilan Ibn Si>na> sepenuhnya dikutip dalam:
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Al-Maba>h}ith al-Mashriqiyah, Vol. II, 430.
192

raga. Karena raga telah berhasil ditundukkan dan tidak ada keinginan
dan kerinduan pada raga di akhirat.416
e. Jiwa yang berbuat buruk
Jiwa yang berbuat buruk adalah jiwa yang tunduk pada segala
keinginan raga, sangat cinta pada hubungan ragawi. Jadilah jiwa itu
lemah dan selalu mengikuti kehendak ragawi (hawa nafsu). Sehingga
terbentuklah rasa cinta yang mendalam terhadap raga. Ketika raga
telah tiada, jiwa merasa sangat rindu kepada raga. Kerinduannya itulah
yang membuatnya tersiksa. Namun menurut filosof lama-kelamaan
rasa cinta itu menghilang, sehingga ketika kerinduannya pada raga
telah hilang, terhentilah kesengsaraan jiwa. 417 Bagi jiwa yang rasa
cintanya pada raga tak kunjung hilang, tentunya jiwa itu akan tersiksa
selamanya. Hal ini dalam artian si pelaku dosa lama-kelamaan dosanya
akan habis dan berujung kebahagiaan. Tapi ada juga jiwa yang tetap
tersiksa selamanya.
Perubahan pada jiwa dengan cinta dan tidak cintanya dengan
raga membuat celah untuk kritikan. Kalaulah rasa cinta itu tergantung
pada hubungannya dengan raga, seharusnya rasa cinta telah hilang
ketika berpisah dengan raga, sehingga jiwa pun tidak tersiksa dengan
hubungan ini. Kalaulah rasa cinta itu bukan karena hubungannya
dengan raga, mustahil rasa cinta itu hilang begitu saja ketika berpisah
dengan raga. 418 Bagi filosof hal ini tidaklah masalah, karena rasa
cinta kadang menguat dan terkadang melemah.419 Sesuatu yang
dicintai, bila telah lama berpisah, rasa cinta menjadi berkurang.
Bahkan panjangnya masa perpisahan sedikit demi sedikit akan
menghapuskan rasa cinta. Begitu pulalah rasa cinta jiwa pada raga.
Semakin lama berpisah semakin lemah dan bahkan habislah rasa cinta
pada raga.
Jawaban filosof tidaklah mengena dan memuaskan. Perubahan
yang terjadi pada jiwa setelah berpisahnya dengan raga sungguh
meragukan. Kalaulah rasa cinta bisa melemah dan menguat, dan
bahkan semakin lama semakin melemah dimakan waktu, tentunya
tidak ada siksaan yang abadi bagi yang berakidah sesat. Namun cocok
untuk hukuman orang fasik, yang mana setelah mendapat siksaan

416
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Maba>h}ith al-Mashriqiyah, Vol. II, 431.
417
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Maba>h}ith al-Mashriqiyah, Vol. II, 431.
418
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Maba>h}ith al-Mashriqiyah, Vol. II, 431.
419
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Maba>h}ith al-Mashriqiyah, Vol. II, 431-432.
193

sesuai dosa yang ia lakukan, pada akhirnya ia akan mendapatkan


kesenangan.
f. Jiwa yang tidak berbuat baik dan juga tidak berbuat buruk
Filosof menyebutnya dengan istilah ‚al-Nafs al-Hayu>la>niyah‛ ,
yaitu jiwa yang belum mendapatkan akidah yang benar mapupun batil
dan belum berbuat baik maupun buruk. Seperti jiwa seorang bayi kecil,
anak belum balig, orang gila dan yang seumpamanya. Tentang hal ini
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) mengaku belum menemukan
pendapat satu filosof pun tentang permasalahan. Bisa jadi jiwa di
akhirat tidak mendapat kebahagiaan dan juga tidak mendapat
kesengsaraan. Jadilah jiwa tidak berfungsi, dan tidak ada yang tidak
berfungsi di alam ini. Bisa jadi jiwa setelah berpisah dengan raga
diberi imaginasi akal oleh Tuhan Yang Maha Agung, yang menjadikan
jiwa mendapat kenikmatan. Akan tetapi pembolehan ini mengantarkan
pada pembolehan jiwa mendapatkan ilmu setelah berpisah dengan
raga. Kalaulah yang demikian itu boleh, tentunya jiwa yang
memperoleh akidah yang rusak juga dapat memperoleh imaginasi akal
tersebut, dan mendapatkan kebahagiaan. 420
Dalam ‚Risa>lah fi Ma’rifah al-Nafs‛ Ibn Si>na> mencoba
menafsirkan (QS. Al-Wa>qi‘ah [56]: 6-11), dan membagi tingkatan
akhirat spiritual menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkatan ‚al-
Muqarrabu>n‛, yaitu tingkatan jiwa yang sempurna (al-Ka>mil).
Maksudnya, jiwa sempurna, baik dari sisi teoritis maupun praktis. Jiwa
berhasil memperoleh akidah yang benar dan berbuat baik. Kedua,
tingkatan ‚As}ha} >b al-Maimanah‛, yaitu tingkatan jiwa yang baik hanya
dari salah satu sisi saja, baik sisi praktis maupun teoritis. Maksudnya,
orang yang mendapat akidah benar tapi beramal buruk, atau orang
yang mendapat akidah batil tapi berlaku baik. Ketiga, tingkanan
‚As}ha} >b al-Mashamah‛, yaitu tingkatan jiwa yang sama sekali tidak
ada kesempurnaanya, baik praktis maupun teoritis. Maksudnya, orang
yang memperoleh akidah batil dan beramal buruk pula.421

E. Akhirat Material dan Spiritual


Akhirat material saja berpegang pada teori yang memandang
manusia adalah raga dan atau jiwa material. Akhiral material
merupakan pendapat yang sederhana, bahkan generasi awal Islam
420
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Maba>h}ith al-Mashriqiyah, Vol. II, 432.
421
Muh}ammad Jala>l Sharf, Allah wa al-‘A<lam wa al-Insa>n, 244-245.
194

memahami akhirat yang material saja. Akhirat bersifat spiritual saja


berpegang pada teori jiwa manusia adalah sesuatu yang immaterial
yang merupakan ajaran filosof ketuhanan Yunani, banyak ilmuwan
muslim (filosof) yang berwawasan Yunani mengadopsi pendapat ini
hingga runtuhnya pemikiran filsafat Islam.
Akhirat bersifat material dan spiritual merupakan
penggabungan dari teori yang sederhana dan teori yang rumit. Banyak
Muhaqqiqi>n dari cendekiawan muslim yang memilih teori ini, seperti
Al-H{ali>mi422> (338-403 H), Abu al-Qa>sim al-Ka’bi>423 (w. 329 H), Abu
H{amid al-Ghaza>li> (455-505 H), al-Ra>gib al-As}faha>ni>424 (w. 502 H),
Qa>d}i Abu Zaid al-Dabu>si>425 (w. 430 H), dan mayoritas Muta'akhirin

422
Dia adalah Abu ‘Abd Allah, al-H{usain ibn al-H{asan ibn Muhammad ibn
H{ali>m al-Bukha>ri> al-Sha>fi‘i>, seorang> tokoh Muh}addithi>n dan Mutakallimin negeri
belakang sungai. Lahir tahun 338 H di Jarja>n, lalu pindah dan besar di Bukha>ra>, ada
juga yang mengatakan ia terlahir di Bukha>ra>. Ia wafat pada Rabiul Awal 403 H.
Lihat islamweb kolom Islamiyah:Tara>jum al-A’la>m :
http://library.islamweb.net/newlibrary/showalam.php?id=3784 (diakses tanggal 15
Januari 2014)
423
Dia adalah Abu al-Qa>sim, ‘Abd Allah ibn Ahmad ibn Mah}mu>d al-Balkhi>,
dikenal dengan al-Ka’bi>. Seorang syaikh Mu’tazilah Bagdad yang sepadan dengan
Abu ‘Ali al-Jabba>i. Ia memiliki banyak karya tentang ‘Ilm al-Kalam. Ia tinggal di
Bagdad cukup lama, dan disanalah buku-bukunya tersebar. Kemuadian ia kembali ke
Balakh hingga akhir hayatnya pada 329 H. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-
A’la>m al-Nubala’, Vol. 14, 313.
424
Dia adalah Abu al-Qa>sim, al-H{usain ibn Muhammad ibn al-Mufad}d}al al-
As}faha>ni>, digelari dengan al-Ra>gib. Ia memiliki banyak karya, di antaranya adalah
kitab ‚Dhari‘ah ila> al-maka>rim al-Shari>‘ah‛ yang selalu dibawa imam al-Ghaza>li>
dalam perjalanannya. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’,
Vol. 18, 120-121.
425
Dia adalah syaikh Hanafiyah, al-Qa>d}i> Abu Zaid, ‘Abd Allah ibn ‘Umar
ibn ‘Isa> al-Dabu>si> al-Bukha>ri>, seorang ulama belakang sungai. Orang pertama dan
seorang tokoh yang meletakkan ilmu konflik (‘Ilm al-Khila>f). Ia wafat di Bukha>ra>
430 H. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’. Vol. 17, 521.
195

Syi‘ah Ima>miyah seperti S{adr al-Di>n al-Shira>zi>426 (980-1050 H),


mayoritas kalangan sufi, dan Kara>miyah.427 Sebenarnya teori ini
berusaha untuk memadukan antara syariah (agama) dan hikmah
(filsafat). Akal menunjukkan kebahagiaan jiwa diperoleh dalam
mengenal Allah dan dalam kecintaan kepadanya. Sementara
kebahagiaan raga didapat dalam perolehan indrawi. 428
Muh}aqqiqi>n beralasan bahwa penggabungan dua jenis
kebahagiaan ini (Material dan Spiritual) tidaklah memungkinkan
dalam kehidupan dunia ini. Manusia pada kondisi asyik dalam
ketersingkapan cahaya alam gaib, manusia tidak mungkin menoleh
kepada suatu kelezatan ragawi pun. Pada kondisi manusia sibuk dalam
pemenuhan kenikmatan ragawi, manusia tidak mugkin menoleh pada
kenikmatan spiritual. Namun, penggabungan (kedua kenikmatan)
terhalang karena jiwa manusia lemah di alam ini. Apabila manusia
mati, jiwa meminta bantuan ke alam yang kudus dan suci, ia akan
menjadi kuat dan sempurna. Kalaulah dikembalikan kepada raga untuk
yang kedua kalinya, jadilah ia memiliki kekuatan yang mampu untuk
menggabungkan kedua kenikmatan. Tidak diragukan ini merupakan
tujuan akhir dalam tingkatan kebahagiaan. 429
Penggabungan kenikmatan spiritual dan material menjadikan
kenikmatan akhirat lebih sempurna. Sehingga menurut pendapat ini,
semua fase akhirat material dimulai dari Barzakh, al-Ba'th, al-H{ashr,
al-H{isa>b, al-Miza>n, al-H{aud}, al-S{ira>t}, surga dan neraka tetap
sebagaimana mestinya, tidak ada pentakwilan seperti yang dilakukan
filosof muslim. Begitu juga dengan akhirat spiritual yang mana
kebahagiaan dan kesengsaraan dirasakan oleh jiwa, baik yang langsung
dirasakan oleh jiwa maupun dengan perantaraan alatnya, yaitu raga.

426
Dia adalah Muhammad ibn Ibrahi>m al-Qawwa>mi> al-Shi>ra>zi>, disebut juga
dengan Mulla S{adra (980-1050 H/ 1572-1640 M). Seorang tokoh penutup filosof
Syi‘ah yang menyatukan ilmu teoritis dan ilmu praktis, disebut juga metode
menyatukan antara filsafat dengan ‘Irfa>n yang dikenal juga dengan istilah al-
Hikmah al-Muta‘a>liyah. Oleh karena itu ia juga dikenal sebagai S{adr al-Mutaallihi>n.
Lihat profilnya dalam: Jami>lah Muh}y al-Di>n al-Bashati>, S{adr al-Di>n al-Shi>ra>zi> wa
Mauqifuhu al-Nuqdi> li Maza>hib al-Kalamiyah (Beirut: Da>r al-‘Ulu>m al-‘Arabiyah,
2008), 17.
427
Ali Arslan Aydin. Al-Ba’th wa al-Khulud , 104.
428
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba'i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 71.
429
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba'i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 71-72.
196

Perbedaan mendasar antara Jumhur teolog yang menyatakan


akhirat material saja dengan teolog Muh}aqqiqi>n yang menyatakan
akhirat material dan juga spiritual hanyalah terletak pada cara mereka
memandang jiwa. Jumhur teolog memandang jiwa sebagai sebuah
yang material, sementara teolog Muh}aqiqi>n memandang jiwa sebagai
suatu yang immaterial mengikut pada teori filosof. Namun Sa'd al-Di>n
al-Taftaza>ni> (722-792 H) mengutip pernyataan Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>
(544-606 H) dalam ‚Niha>yah al-'Uqu>l‛ bahwa pendapat yang
menyatakan jiwa itu immaterial, tidaklah menghilangkan dasar agama
(Us}ul> al-di>n), bahkan barangkali justru menguatkan dasar-dasar agama
dan membantu menerangkan jalan untuk menetapkan akhirat, sehingga
terhindar dari celaan-celaan orang yang mengingkarinya.430
Abu H{amid al-Ghaza>li> (450-505 H) membid’ahkan klaim
filosof yang dapat mengetahui keimmaterialan jiwa hanya melalui
akal. Menurutnya, bukti-bukti rasionalis tentang jiwa manusia yang
spiritual, berdiri sendiri, tidak bertempat, bukan material, bukan
tercetak pada material, tidak bersambung dan tidak terputus dari raga,
sebagaimana Allah tidak di dalam dan diluar, begitu juga para
malaikat adalah bukti-bukti yang lemah. Al-Ghaza>li> mendiskusikan
sepuluh bukti kespiritualan jiwa menurut filosof, dan semuanya lemah.
Ia menegaskan bahwa kespiritualan jiwa kita ketahui melalui syariah
bukan semata-mata melalui perolehan akal sebagaimana yang di klaim
filosof.431
Bahkan menurut S{adr al-Di>n al-Shira>zi> (980-1050 H) begitu
banyak pemahaman dan penafsiran dialektik (al-Khit}a>biyah) terhadap
ayat-ayat al-Quran yang menunjukkan keimmaterialan jiwa.432
Diantaranya adalah Seperti firman Allah tentang Adam dan
keturunannya ‚dan aku tiupkan padanya Ruh}-Ku‛ (QS. Al-H{ijr [15]:
29), begitu juga firman Allah tentang Isa as.; ‚dan kalimah-nya yang ia
sampaikan kepada Maryam dan Ruh} darinya‛ (QS. Al-Nisa’ [4]: 171).
Penyandaran kepada Allah menunjukkan bahwa esensi manusia
bukanlah material dan betapa mulianya esensi manusia itu. ‚Sungguh
telah aku ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk‛ (QS. Al-Ti>n
[95]: 4), maksudnya perkara jiwa manusia yang merupakan cahaya

430
Sa'd al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. II, 156.
431
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 184-203.
432
S{adr al-Di>n al-Shira>zi>, Al-Mabda’ wa al-Ma‘a>d, Ed. Al-Sayyid Jala>l al-
Di>n al-A<shiyata>ni> (Tehran: Maktab al-I’la>m al-Isla>mi>, 1422 H.), 410.
197

semata dan raga manusia yang merupakan pencampuran yang


seimbang yang menyatu dan menyerupai material langit.
Dalam penafsiran kesempurnaan penciptaan manusia S{adr al-
Di>n al-Shira>zi> (980-1050 H) menuliskan Secara umum penciptaan
manusia disebutkan [Kami baguskan rupamu] (QS. Ga>fir [40]: 64), dan
ditafsirkan secara terperinci dalam ayat: [Dan sesungguhnya telah
kami muliakan anak-anak Adam], maksudnya: mempunyai
keistimewaan dari yang lainnya berupa jiwa intelek yang kekal tak
akan rusak dan binasa, siap menerima keutamaan-keutamaan yang
sebenarnya. [Dan kami angkut mereka di daratan] maksudnya:
perolehan-perolehan indrawi, [Dan lautan] maksudnya: lautan
pengetahuan dan perolehan akal. [Dan kami beri mereka rizki dari
yang baik-baik] yaitu berupa ilmu-ilmu yang pasti dan hakikat tujuan.
[Dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan] (QS. Al-Isra’ [17]:
70), yaitu dari sisi lahirnya berupa keseimbangan bentuk dan
penampilan, dari sisi batinnya berupa keseimbangan perwatakan, dan
didalam batinnya berupa kekuatan yang dapat menggerakkan dan
memperoleh pengetahuan yang membuat manusia lebih dari binatang
bumi lainnya, dan inti di dalam batinnya berupa cahaya Tuhan dan
nyala api kemalaikatan berupa akal teoritis dan akal praktis. 433
Begitu juga dengan hadis nabawi, begitu banyak pemahaman
dialektik yang membuktikan keimmaterialan jiwa. Seperti ‚Siapa yang
mengenal dirinya (jiwanya) maka sungguh ia telah mengenal
Tuhannya‛,434 dan hadis ‚Siapa yang melihatku (dalam tidurnya)
sungguh ia telah melihat Tuhan‛435 Kalaulah antara Allah Ta‘a>la> dan
jiwa tidak ada kesesuaian seperti antara Allah dengan material,

433
S{adr al-Di>n al-Shira>zi>, Al-Mabda’ wa al-Ma‘a>d, 410.
434
Hadis Maud}u>’ yang tidak diketahui siapa yang mengeluarkan hadis ini
dan juga sahabat yang merawikannya. Walaupun begitu, hadis ini populer di
kalangan sufi, bahkan Ibn ‘Arabi menulis kajian khusus tentang hadis ini berjudul
‚Al-Risa>lah al-Wuju>diyah‛. Lihat ‘Ali ibn Sult}a>n al-Harawi> al-Qa>ri>, Al-Mas}nu>’ fi
Ma’rifah al-H{adi>th al-Maud}u’, Ed. ‘Abd al-Fatta>h} Abu Guddah (Beiru>t: Muassasah
al-Risa>lah, 1398 H.), 189.
435
Hadis tidak ditemukan periwayatannya, namun hadis yang S{ah}ih}
berbunyi: ‚Siapa yang melihatku (Muhammad saw.) di dalam tidurnya sungguh ia
telah melihatku dengan sebenarnya‛ diriwayatkan oleh Abu Hurairah dikeluarkan
oleh Ima>m al-Bukha>ri> dalam Kita>b: al-‘Ilm Ba>b: Ithm Man Kadhdhaba ‘ala al-Nabi>,
(no. 110). Lihat Ima>m al-Bukha>ri>, S{ahi>h al-Bukha>ri>, 46.
198

tentunya Nabi saw tidak mensyaratkan mengenal Tuhan dengan


mengenal jiwa. Pada dasarnya ada kesesuaian antara Tuhan dan jiwa
berupa esensi yang tidak membutuhkan arah dan tempat.436
Lebih lanjut dalam sebuah hadis ‚Aku tinggal disisi Tuhanku,
dia memberiku makan dan memberiku minum‛,437 hadis ini
menunjukkan betapa mulia dan agungnya jiwa, dan betapa dekatnya
jiwa dengan sang pencipta. Dekat dalam artian secara zat, sifat dan
terbebas dari belenggu material. Nabi Isa> as berkata pada Muhammad
saw ketika Mi’ra>j: ‚Tidaklah naik ke langit kecuali orang yang telah
turun darinya‛.438 Hadis ini merupakan penjelasan dari firman Allah
‚Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
puas dan diridainya‛ (QS. Al-Fajr [89]: 26-27), Kata kembali tidaklah
mungkin dipakai kecuali setelah kepergian.439
Ungkapan ‚seorang sufi bersama Allah tanpa tempat‛
menunjukkan keimmaterialan jiwa yang tidak membutuhkan tempat.
Kebersamaan jiwa dan Tuhan tidak membutuhkan tempat. Yang tidak
membutuhkan tempat hanya bisa bersama dengan yang tidak
membutuhkan tempat pula. Menurut S{adr al-Di>n al-Shira>zi> (980-1050
H), metodologi sufi merupakan pembuktian yang paling kuat dari yang
lainnya, setara dengan ilmu pasti tentang hakikat jiwa. 440 Lebih kuat
dari argumen rasional filosof maupun argumen retorikal Muta’allihi>n.
Seorang sufi itu menyaksikan keunikan-keunikan kondisi jiwa dan
esensinya. Begitu juga pengaruh-pengaruh jiwa yang langka, mereka
rasakan sendiri tanpa perlu bukti lagi.
Akhirat bersifat material dan juga spiritual yang diutarakan
Muh}aqqiqi>n merupakan konstruksi pemikiran Islam yang memandang
permasalahan dengan hati yang bersih serta akal yang cerdas.
Muh}aqqiqi>n dengan semangat menerima kebanaran mengadopsi
konsep keimmaterialan jiwa yang diutarakan filosof. Akan tetapi
mereka juga punya pegangan yang kuat berupa wahyu ilahi sebagai
436
S{adr al-Di>n al-Shira>zi>, Al-Mabda’ wa al-Ma‘a>d, 411.
437
Hadis S{ah}i>h} dari Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ima>m al-Bukha>ri>
dalam kita>b: al-I’tis}a>m dalam ba>b: Ma> Yukrahu min al-Ta‘ammuq wa al-Tana>zu’ fi
al-Ilm’ wa al-Guluw fi al-Di>n wa al-Bid’(no. 7299). Lihat Ima>m al-Bukha>ri>, S{ahi>h al-
Bukha>ri>, 1391.
438
Tidak ditemukan hadis ini dan yang seperti ini, bisa jadi periwayatannya
berasal dari periwayatan Syi‘ah.
439
S{adr al-Di>n al-Shira>zi>, Al-Mabda’ wa al-Ma‘a>d, 412.
440
S{adr al-Di>n al-Shira>zi>, Al-Mabda’ wa al-Ma‘a>d, 412.
199

landasan utama, bukan akal. Kebanyakan dari perkara ini tidaklah


bertentangan dengan syariah. Muh}aqqiqi>n tidaklah mengingkari bahwa
di akhirat itu bermacam-macam kenikmatan, yang mana kenikmatan
itu lebih agung dari pada kenikmatan indrawi. Muh}aqqiqi>n juga tidak
mengingkari kekekalan jiwa setelah berpisah dengan raga. Namun
menurut al-Ghaza>li> (450-505 H) yang berbeda dengan filosof muslim
adalah semua itu diketahui dengan jalan syariah, bukan dengan jalan
akal semata, karena syariah telah berbicara tentang akhirat.441
Filosof muslim telah berfanatik buta pada filosof ketuhanan
Yunani, hingga mereka menggadaikan syariah yang telah jelas
kebenarannya. Oleh karena itu, Ima>m al-Ga>za>li> (450-505 H) sebagai
seorang Muh}aqqiqi>n memberi beberapa catatan kesalahan yang
dilakukan filosof muslim karena menyalahi syariah islam yaitu berupa:
(a) Mengingkari kebangkitan raga, (b) Mengingkari kenikmatan
material (ragawi) di surga, (c) Mengingkari kesengsaraan material
(ragawi) di neraka, (d) Mengingkari adanya surga dan neraka
sebagaimana yang digambarkarkan dalam al-Quran.442
Tidak ada penghalang dalam mengumpulkan kebahagiaan
spiritual dan material di akhirat, begitu juga dengan kesengsaraan.443
‚Tak seorangpun mengetahui (nikmat) apa yang disembunyikan bagi
mereka berupa yang indah dipandang‛ (QS. Al-Sajdah [32]: 17),
maksudnya, manusia tidak mengetahui kenikmatan yang akan
diberikan Allah kepada hambanya yang berbuat baik. Begitu juga
dengan hadis Qudsi yang berbunyi ‚Aku telah menyiapkan untuk
hamba-hambaku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, dan
tidak terdengar oleh telinga, dan tidak tersirat dalam hati manusia‛444
Kenikmatan bersifat material diwakili oleh kata ‚Qurrah al-
A’yun‛ dalam ayat, yang berarti perhiasan mata, enak dipandang dan
dapat diraih indra. Akhirat bersifat spiritual diwakili oleh hadis Qudsi
yang menyatakan surga tak dapat diraih oleh indra. Yaitu berupa tak
terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga dan bahkan tidak
terfikirkan oleh manusia. Oleh karena itu, penggabungan akhirat

441
Abu> H{a>mid al-Ga<za>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 214.
442
Abu> H{a>mid al-Ga<za>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 215.
443
Abu> H{a>mid al-Ga<za>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 215.
444
H{adi>th S{ah}i>h} dari Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ima>m al-Bukha>ri>
dalam Kita>b: Bad’u al-Khulq Ba>b: Ma> Ja>a fi S{ifah al-Jannah, (no. 3244). Lihat Ima>m
al-Bukha>ri>, S{ah}ih} al-Bukha>ri>, 623.
200

bersifat material dan juga bersifat immaterial membuat kenikmatan


maupun kesengsaraan akhirat menjadi lebih sempurna.
Adapun tentang metode filosof muslim yang membagi umat
menjadi kalangan umum (awam) dan kalangan khusus (berilmu), dan
menyatakan akhirat bersifat material hanyalah untuk orang-orang
awam yang tak mengerti kerumitan akhirat spiritual, sehingga posisi
ayat-ayat tentang surga dan neraka material merupakan contoh dan
perumpamaan (al-Tashbi>h wa al-Tamthi>l) sebagaimana sifat-sifat
Tuhan yang immaterial, merupakan tindakan sewenang-wenang untuk
memuluskan pemikiran filosof ketuhanan Yunani. Ima>m al-Ghaza>li>
telah menuliskan dua perbedaan mendasar antara pentakwilan ayat-
ayat Tashbi>h wa Tamthi>l tentang Allah yang biasa dilakukan teolog
dan pentakwilan ayat-ayat tentang surga dan neraka yang dilakukan
filosof.
Pertama, ayat-ayat tentang Tashbi>h, memang memungkinkan
untuk ditakwilkan sebagaimana kebiasaan orang Arab dalam gaya
bahasa kiasan. Sementara ayat-ayat tentang sifat surga dan neraka,
berikut rincian kondisinya, telah mencapai jumlah yang begitu besar
yang tidak memungkinkan lagi untuk ditakwilkan. Kalaulah tetap
dipaksakan pentakwilannya, tentunya semua itu adalah pemalsuan,
dengan cara mengatakan lawan dari yang sebenarnya, demi
kemaslahatan manusia. Maha suci tugas kenabian dari melakukan hal
demikian.445 Kedua, Petunjuk akal menunjukkan mustahilnya tempat,
arah, bentuk, tangan ragawi, mata ragawi, berpindah-pindah, berdiam
atas Allah swt, sehingga haruslah ditakwilkan dengan pertunjuk akal.
Sementara perkara akhirat sebagaimana yang dijanjikan, bukanlah
mustahil dalam kekuasaan Allah. Sehingga haruslah ayat tersebut
berjalan sebagaimana zahir teks, dan bahkan sebagaimana dalam artian
dan maksud yang benar-benar sudah jelas.446
Adapun tentang petunjuk akal yang memustahilkan
kebangkitan raga di akhirat yang berujung mustahilnya akhirat bersifat
material karena membutuhkan raga dalam pelaksanaannya, sehingga
terjadi pertentangan antara akal yang pasti dengan naqal yang pasti
dan berujung pentakwilan, tidaklah benar. Petunjuk akal yang di klaim
pasti belumlah pasti kemustahilannya. Teolog memiliki beberapa teori
dalam menyelesaikan permasalahan kebangkitan raga.
445
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 215.
446
Abu H{amid al-Gaza>li, Taha>fut al-Fala>sifah, 215-216.
BAB IV

KEBANGKITAN RAGA

A. Istilah Operasional
Kajian tentang kebangkitan ditopang oleh empat landasan
dasar, karena manusia adalah alam kecil (mikrocosmos) dan dunia ini
adalah alam besar (makrocosmos).1 Pembahasan kebangkitan harus
mencakup keduanya, mulai dari cara penghancuran keduanya,
kemudian cara membangun kembali keduanya setelah kehancuran:2 (a)
cara penghancuran mikrocosmos, yaitu kematian manusia. (b) Cara
membangun kembali mikrocosmos tersebut setelah penghancurannya.
(c) Cara menghancurkan makrocosmos, apakah dengan cara mengurai
dan memecah bagian-bagiannya, ataukah dengan cara membinasakan
dan meniadakannya. (d) Cara membangun kembali makrocosmos
setelah hancurnya.
Ada beberapa kata yang populer digunakan dalam pembahasan
kebangkitan raga. Masing-masing kata tentunya mempunyai makna
dan bias masing-masing. Ditambah lagi, terkadang antara teolog dan
filosof berbeda pemahaman atau pemakaian dalam kata tersebut. Pada
dasarnya, filosof berada pada posisi kontra terhadap kebangkitan raga
yang merupakan akhirat material. Baik filosof maupun teolog sama-
sama berfilsafat dalam permasalahan. Tidak heran ada kata yang sama
tetapi pemaknaan dan pemakaiannya berbeda. Namun begitu, tentunya
antara satu dengan yang lain masih mempunyai garis kesamaan
pemahaman. Sudah semestinya terlebih dahulu membahas sejauh
mana perbedaan dan kesamaan penggunaan kata-kata tersebut, baik
secara bahasa maupun pemakaian (istilah) kata oleh teolog dan filosof.

1
Istilah ini dipopulerkan oleh Ikhwa>n al-S{afa>, mereka memandang manusia
adalah alam kecil yang pengaturannya terpusat pada akal atau jiwa sebagaimana
alam yang besar ini diatur dan digerakkan oleh Allah sang penciptanya. Lihat Qut}b
al-Aqt}ab Maulana Ahmad ibn ‘Abd Allah. Rasa>il Ikhwa>n al-S{afa> wa Khullan al-
Wafa>. (India: Nukhbah al-Akhba>r, 1305 H.), Vol. II, 297.
2
Fakr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 53-54.

201
202

1. Al-Ba’th
Kata ‚al-Ba’th‛ dalam bahasa Arab digunakan dalam beberapa
pemakaian; (a) Mengutus-utusan (al-Rasu>l),3 seperti firman Allah:
‚Kemudian sesudah rasul-rasul itu, Kami utus (Ba‘athna>) Musa dan
Harun kepada Fir‘aun dan pemuka-pemuka kaumnya‛ (QS. Yu>nus
[10]: 53). (b) Bangun tidur (Aiqaz}a, Ahabba), sebagaimana dalam
hadis Nabawi: ‚Sungguh suatu malam datang kepadaku dua orang,
keduanya membangunkanku (Ibta‘atha>ni>)‛4. (c) Bangun atau bangkit
dari kematian (al-Nashr), terkadang dipakaikan juga untuk
menghidupkan kembali orang yang telah mati, seperti firman Allah:5
‚Setelah itu Kami bangkitkan kamu (ba‘athna>kum) sesudah kamu
mati‛ (QS. Al-Baqarah [2]: 56). Hari kebangkitan adalah suatu hari
dimana Allah membakitkan atau mengeluarkan manusia dari
kuburnya.6
Dalam terminologi teolog, al-Ba’th berarti Allah
menghidupkan kembali orang yang telah mati dan mengeluarkan
mereka dari kuburnya. Pemaknaan ini begitu luas dipakaikan oleh
seluruh aliran teolog dalam perkara kebangkitan. Bagi teolog yang
memandang kehidupan kembali dengan cara mengumpulkan bagian
asal raga setelah tercerai berai, tentunya memiliki tambahan
penjelasan untuk menunjukkan teori mereka. Kebangkitan adalah
Allah menghidupkan kembali orang yang telah mati dan mengeluarkan
mereka dari kuburnya setelah mengumpulkan bagian asal mereka.
Bagi teolog yang berpendapat akhirat material dan juga spiritual,
kebangkitan adalah Allah menghidupkan kembali orang mati dan
mengeluarkan mereka dari kubur mereka setelah mengumpulkan
bagian asal dan mengembalikan ketergantungan jiwa kepada raga. 7

3
Abu al-Fad}l Jamal al-Di>n Muhammad ibn Mukarram ibn Manz}u>r al-Afri>qi>
al-Mas}ri>, Lisa>n al-‘Arab (Beiru>t: Da>r S{a>dir, tt.), Vol. II, 116.
4
Hadis S{ah}ih} dari Samurah ibn Jundub diriwayatkan oleh Ima>m al-Bukha>ri>
dalam kita>b: Ta’bi>r al-Ru’y ba’da S{ala>h al-S{ubh} (no. 7047), Lihat Ima>m al-Buka>ri>.
S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, 1346.
5
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Vol. II, 117.
6
Abu al-Qa>sim Muhammad ibn ‘Umar al-Zamkhashari>, Asa>s al-Bala>gah,
Ed. Muhammad Ba>sil ‘Ayu>n al-Saud (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), 67.
7
Mas‘u>d ibn ‘Umar ibn ‘Abd Allah Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-
‘Aqa>id al-Nasafiyah, Ed. Ah}mad H{ija>zi> al-Saqa> (Cairo: Maktabah Kulliyah al-
Azhariyah, 1988), 68.
203

Filosof pada dasarnya tidak menggunakan kata ‚al-Ba’th‛,


apalagi dengan pemaknaan penghidupan kembali orang mati. Filosof
naturalis yang mengingkari akhirat sudah pasti tidak menggunakan
kata ini sama sekali. Begitu juga dengan filosof ketuhanan yang
dikenal tidak menyatakan adanya akhirat material, yang biasa
diungkapkan dengan kata al-Ba’th oleh teolog. Filosof mengingkari
pengumpulan raga manusia, penggiringan ke padang Mahshar,
kenikmatan ragawi disurga dan kesengsaraan ragawi di neraka. Jiwa
tidaklah hancur dengan hancurnya raga, tapi kembali pada
keimmaterialannya lalu naik ke alam akal dan malaikat. Kebahagian
dan kesengsaraan spiritual yang hanya dirasakan oleh jiwa tanpa raga.
2. Al-Ma‘a>d
Al-Ma‘a>d dalam bahasa Arab bisa jadi ‚Masdar Mimmi>‛ atau
‚Z{araf‛: nama tempat (Ism al-Maka>n) atau nama waktu (Ism al-
Zama>n).8 Al-Ma‘a>d berarti kembali, tempat kembali dan waktu
kembali. Akhirat adalah kembalinya manusia, tempat kembali manusia
dan waktu kembali manusia. Dalam kajian ini, yang dipakai adalah al-
Ma‘a>d sebagai ‚Masdar‛, karena yang dibahas bukanlah tempat
kembali dan juga bukan waktu kembali, tapi kembalinya itu sendiri.
Apakah pengembalian itu mustahil, atau mungkin? Bagaimanakah cara
pengembalian itu? Apakah material saja, atau spiritual saja, atau
malah keduanya sekaligus? Al-Ma‘a>d secara bahasa berarti
kembalinya sesuatu seperti semula, atau kembali kepada kondisi
semula.9
Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni> (722-792 H) menjelaskan, Al-Ma‘a>d
mempunyai empat terminologi, 10 masing-masing sesuai dengan aliran
pemikiran mereka tentang al-Ma‘a>d. Tiga terminologi milik teolog dan
satu terakhir milik filosof:(a) Bagi yang meyakini akhirat material saja
dan dikembalikan dari ketiadaan, al-Ma‘a>d adalah kembali ada setelah
tiada, ini merupakan pendapat mayoritas teolog. (b) Bagi yang
meyakini akhirat material saja tapi kembali dari keteruraian, al-Ma‘a>d
adalah kembali berkumpulnya bagian-bagian raga setelah terurai, dan
kembali hidup setelah mati. (c) Bagi yang meyakini akhirat material
dan juga spiritual, al-Ma‘a>d adalah kembali berkumpulnya bagian-
bagian raga setelah terurai, dan kembali hidup setelah kematian, dan

8
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Vol. III, 317.
9
Muhammad Qamar al-Daulah Na>s}if, Nus}u>s} Falsafiyah, 124.
10
Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 82.
204

kembalinya al-Ru>h} kedalam raga setelah berpisah. Pendapat ini


diutarakan oleh Muh}aqqiqi>n. (d) Bagi yang meyakini akhirat spiritual
saja, yaitu filosof ketuhanan, al-Ma‘a>d adalah kembalinya al-Ru>h} pada
kondisi semula, yaitu terlepas dari ketergantungan dengan raga,
terbebas dari pemakaian alat, atau terbebas dari cobaan di alam
kegelapan.
3. Al-H{ashr
Pakar linguistik Arab menyebutkan beberapa pemaknaan untuk
kata al-H{ashr, diantaranya: (a) Pengumpulan (al-Jam’), dikatakan
mengumpulkan unta, mengumpulkan pasukan. ‚Yaum al-H{ashr‛ hari
pengumpulan berarti hari kiamat. ‚al-Mah}shar‛ berarti tempat
pengumpulan suatu kaum.11 (b) Penggiringan (al-Su>q), manusia
digiring ke padang Mah}shar.12 (c) Kebangkitan (al-Ba’th) atau
kematian (al-Maut), seperti pada firman Allah: ‚Kemudian kepada
Tuhanlah mereka di H{ashr‛ (QS. Al-An‘a>m [6]: 38). H{ashr disini
maksudnya kematian dikatakan juga kebangkitan.13 Dalam
terminologi teolog, al-H{ashr berarti penggiringan manusia ke padang
Mah}shar. Filosof tidak menggunakan terminologi ini.14
4. Al-Nashr
Al-Nasrh dalam bahasa arab mempunyai beberapa pemaknaan;
(a) pembentangan (inbasat}a), (b) Kebangkitan (al-Ba’th) dan
penghidupan (al-Ih}ya’), (c) Tersebar (al-Intisha>r) dan terpisah (al-
Tafarruq).15 Dalam terminologi teolog, al-Nashr adalah ungkapan
untuk mengeluarkan manusia dari dalam kuburnya atau menghidupkan
kembali manusia yang telah mati.
Al-Nashr dan al-Ba’th pemaknaannya sama. Oleh karena itu,
tidak ditemukan pembahasan khusus dengan judul al-Nashr dalam
buku-buku teolog. Dalam buku-buku teolog banyak dipakaikan istilah
al-Ba’th dan al-Ma‘a>d, sebagian kecil memakaikan istilah al-H{ashr dan
al-Nashr. Semua itu hanyalah untuk satu pembahasan dengan objek
yang sama. Teolog memandang al-Ba’th dan al-Ma‘a>d satu
pemaknaan, karena membangkitkan orang mati adalah menghidupkan
mereka. Dalam artian kembali pada kondisi semula, yaitu orang mati
11
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Vol. IV, 190.
12
Abu al-Qa>sim al-Zamankhashari>, Asa>s al-Bala>gah, Vol. I, 190.
13
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Vol. IV, 190.
14
Aly Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 47.
15
Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab, Vol. V, 206-209. Lihat juga Abu al-Qa>sim al-
Zamankhashari>, Asa>s al-Bala>gah, Vol. II, 470.
205

sebelumnya adalah orang hidup. Kembali pada kondisi semula berarti


hidup kembali. 16

B. I‘a>dah al-Ma’du>m
Teori I‘a>dah al-Ma’du>m berarti pengembalian yang telah tiada.
Teori ini pada dasarnya berpegang pada ketiadaan alam semesta
setelah adanya sekarang. Sebelum membahas bisa atau tidaknya
pengembalian (I‘a>dah), perlu terlebih dahulu membahas objek yang
ditiadakan (al-Ma’du>m). Al-Ma’du>m mencakup makrocosmos (alam
semesta) beserta mikrocosmos (manusia). Pada hari kiamat, alam
semesta menjadi hancur dan binasa. Pendukung teori ini mengklaim
bahwa sahabat, dan teolog generasi awal (salaf) telah berijmak
menyatakan kebenaran teori ini, berlandaskan pada al-Quran dan al-
Sunnah. Ijmak telah tercapai sebelum munculnya pertikaian yang pada
akhirnya disebut dengan istilah Ahl al-Sunnah dan Ahl al-Takwil.17
Tidak ada yang kekal selain Allah ta’ala,18itulah pijakan awal
dari teori I‘a>dah al-Ma’du>m. Baik mikrocosmos (manusia) maupun
makrocosmos, semuanya hancur dan binasa pada hari kiamat.
Semuanya menjadi tiada (al-Ma’du>m). Termasuk manusia, jiwa dan
raganya turut menjadi tiada. Dalam artian, jiwa tidaklah kekal
sebagaimana yang diklaim filosof. Semua jiwa hancur dan binasa
menjadi Ma’du>m di hari kiamat. Analisis rasionalis menunjukkan
bahwa segala sesuatu selain Allah, boleh saja menjadi tiada. Tetapi,
tidak semua yang boleh terjadi benar-benar terjadi. Boleh atau
mustahil terjadi, bisa ditentukan melalui petunjuk akal. Sementara
benar terjadi atau tidaknya, hanya bisa diketahui melalui petunjuk al-
Quran dan al-Sunnah.19
Pendukung teori ini memastikan benar-benar terjadinya
ketiadaan alam semesta dengan al-Quran dan al-Sunnah. Seperti
‚Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah‛ (QS. Al-Qas}as} [28]: 88).
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) menuliskan adanya dua penafsiran
kata ‚al-Halla>k‛.20 Pertama (al-Halla>k) dengan artian ketiadaan (al-
16
Aly Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 48.
17
Aly Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 48. Lihat Juga Sa’d al-Di>n al-
Tafta>za>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 100.
18
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba ‘i>n fi Us}u>l al-Di>n. Vol. II, 44.
19
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba ‘i>n fi Us}u>l al-Di>n. Vol. II, 50.
20
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib. Vol. XXV, 23. Lihat juga Jama>l
al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Takwi>l, 4733.
206

‘Adam), yaitu Allah meniadakan segala sesuatu selain dirinya. Kedua


‚al-Halla>k‛ berarti mengeluarkan dari kondisi memberi manfaat. Bisa
jadi dengan cara mematikan atau dengan cara memisahkan bagian-
bagiannya. Sekalipun bagian-bagian sesuatu tetap, namun itu tetap
disebut binasa, seperti hilangnya pakaian, dan perhiasan digunakan
kata ‚al-Halla>k‛, maksudnya sudah hilang manfaat pakaian dan
perhiasan tersebut, bukan hilangnya bagian-bagiannya.
Pendukung teori I‘a>dah al-Ma’du>m menolak penafsiran yang
kedua. Menurut mereka, pemaknaan binasa dengan hilangnya manfaat
dari zat atau bagian-bagiannya, tidaklah benar. Kalaulah alam semesta
dipisahkan bagian-bagiannya, kemudian masih bisa dijadikan bahan
untuk surga, neraka dan sebagainya, berarti tidak mengeluarkan zat
dari sifat manfaatnya. Kata ‚Halaka‛ berarti menjadi binasa dan tiada.
Al-Quran menyebut orang yang tidak punya keturunan dengan orang
yang ‚Halak‛ (QS. Al-Nisa’ [4]: 176) maksudnya orang itu benar-
benar menjadi tiada, sampai penerusnya pun turut tiada.21
‚Dialah yang pertama dan terakhir‛ (QS. Al-H{adi>d [57]: 3).
‚Yang pertama‛ berarti bahwa Allah Ta‘a>la> ada semenjak azali>, dan
tidak satupun yang ada bersamanya. ‚Yang terakhir‛ berarti bahwa
Allah tetap ada selamanya dan tidak ada satupun yang ada
bersamanya. Kondisi ‚yang terakhir‛ tidak akan terwujud kecuali
dengan ketiadaan seluruh alam semesta. Kemudian kembali diciptakan
agar kebenaran janji pembalasan amal perbuatan berupa kehidupan
kekal dan abadi di surga dan neraka benar-benar terwujud.22
‚Dialah yang menciptakan ciptaan dan dialah yang akan
kembali menciptakannya‛ (QS. Al-Ru>m [30]: 27). Ciptaan (al-Khalq)
merupakan kalimat umum, yang berarti mencakup semua makhluk.
Kalimat ‚menciptakan kembali‛ tentunya tidak akan terjadi kecuali
setelah ketiadaan ciptaan tersebut. 23 Penciptaan kedua ini sama
dengan penciptaan yang pertama kali, yaitu menciptakan dari
ketiadaan: ‚Sebagaimana kami telah memulai penciptaanya pertama,
begitulah kami akan mengulanginya‛ (QS. Al-Anbiya’[21]: 104).
Pengunaan gaya bahasa penyerupaan (Tashbi>h) dengan kata
sebagaimana (Kama>) disini maksudnya menyamakan kekuasaan Allah

21
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 50.
22
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 51. Aly Arslan
Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 90.
23
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 51.
207

dalam menciptakan yang pertama dan menciptakan kembali untuk


yang kedua kalinya. Allah menciptakan dunia pertama kali dari
ketiadaan sebagaimana Allah menciptakan akhirat dari ketiadaan.24
‚Segala sesuatu diatas (bumi) akan binasa‛(QS. Al-Rahma>n
[55]: 26). Kata binasa (fa>n) berarti ketiadaan (‘Adam). Segala sesuatu
menjadi binasa dan tidak ada. ‚Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur luluh? Katakanlah: ia akan
dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama‛ (QS.
Ya>sin [36]: 78-79). I’a>dah merupakan kali yang kedua, karena ada kali
pertama sebelumnya. Tidak ada yang membedakan penciptaan kali
pertama dan kali kedua.25
Begitu banyak dalil naqli> yang diutarakan oleh teolog
pendukung teori I‘a>dah al-Ma’du>m. Namun bagi filosof I‘a>dah al-
Ma’du>m merupakan sebuah kemustahilan.26 Permasalahan utama
dalam I‘a>dah al-Ma’du>m adalah ‘Ainiyah dan Mithliyah. ‘Ainiyah
berarti bahwa raga yang dikembalikan atau kembali diciptakan adalah
raga yang pertama, yaitu raga dunia. Mithliyah berarti bahwa raga
yang dikembalikan atau kembali diciptakan adalah raga yang serupa
dengan raga dunia. Filosof memandang tidak rasional pengembalian
‘Ainiyah sementara Mithliah dapat diterima pemikiran yang benar.
Prinsip keadilan Tuhan yang dipelihara teolog mengharuskan
pengembalian ‘Ainiyah, yang diciptakan kembali haruslah raga si
pelaku perbuatan di dunia, bukan raga yang serupa dengannya,
sehingga penerima pembalasan di akhirat benar-benar diperoleh oleh
yang berhak mendapatkannya.
Menurut filosof, pengembalian ‘Ainiyah menuntut
pengembalian waktu.27 Waktu terus berjalan dan tak bisa
dikembalikan. Pengembalian juga menuntut pengembalian raga dengan

24
Abu al-Qa>sim al-Zamankhashari>, Al-Kashsha>f, Vol. IV, 168. Lihat juga
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. XXII, 228.
25
Muhammad H{asan, ‘Aqi>dah al-Ba’th, 113.
26
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba ‘i>n fi> Us}uL al-Di>n, Vol. II, 39. Lihat juga ‘Id}d}
al-Di>n al-I<ji>, al-Mawa>qif, 371. Lihat juga Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni>, Sharh} al-
Maqa>s}id, Vol. V, 82. Lihat juga Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol.
VIII, 316.
27
‘Id}d} al-Di>n al-I<ji>, al-Mawa>qif, 371. Lihat juga Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni>,
Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 84. Lihat juga Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-
Mawa>qif, Vol. VIII, 320. Lihat juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba ‘i>n fi Us}uL al-Di>n,
Vol. II, 42.
208

kasiden-aksiden lainnya, sementara aksiden tidak dapat bertahan


dalam dua waktu.28 Bagi teolog, waktu bukanlah petunjuk identitas
raga.29 Raga sekarang adalah raga esok hari. Waktu bukanlah
penghalang pengembalian ‘Ainiyah.
Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni> (722-792 H) menuliskan bahwa
mayoritas teolog sepakat membolehkan I’a>dah al-Ma’du>m, sementara
filosof juga sepakat memustahilkannya.30 Hanya saja menurut
Mashayikh Mu’tazilah ketiadaan itu merupakan sesuatu yang tetap
(Shai’iyah al-Ma’du>m), sementara menurut Ash‘ariyah ketiadaan
merupakan benar-benar ketiadaan tanpa ada sesuatun yang tetap
(‘Adam al-Mah}d}). Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) menuliskan
bahwa yang mengklaim bolehnya I‘a>dah al-Ma’du>m Ainiyah dari
ketiadaan hanyalah teolog Ash‘ariyah.31
Shai’iyah al-Ma’du>m berarti adanya sesuatu yang tetap, zat
tersendiri yang tetap, baik pada kondisi ada (al-Wuju>d) maupun tidak
ada (al-‘Adam). Ibn H{azm (384-456 H) menuliskan penjelasan salah
seorang Syaikh Mu’tazilah menyatakan bahwa al-Ma’du>m merupakan
material (al-Hayu>la>) pada konsidi ketiadaan, hanya saja material itu
tidak bergerak, tidak diam, bukan makhluk, juga bukan hal yang baru
pada kondisi ketiadaan.32 Bagi Ash‘ariyah sesuatu yang telah
ditiadakan benar-benar menghapuskan segalanya, tak ada zat yang
tersisa (‘Adam al-Mahd}). Oleh karena itu, pijakan teori I‘a>dah al-
Ma’du>m Mu’tazilah lebih kuat dari Ash‘ariyah, pengembalian sesuatu
yang masih ada zat yang tetap, lebih rasional dari pada pengembalian
dari kekosongan.
Berpijak dari Shai’iyah al-Ma’du>m, Mu’tazilah membolehkan
pengembalian esensi, sementara tentang pengembalian aksiden mereka
berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa aksiden sama sekali
tak bisa dikembalikan. Penciptaan kedua hanyalah pengembalian
pemaknaan. Sebuah pemaknaan harus berdiri dengan pemaknaan,
bahkan sebagian Ash‘ariyah berpendapat seperti ini. Sebagian yang
lain berpendapat bahwa yang terlarang hanyalah pengembalian aksiden

28
Ibn H{azm, Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 288, Lihat juga Sa’d
al-Di>n al-Taftaza>ni>, Vol. II, 160-166. Lihat juga ‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji>, al-Mawa>qif, 101.
29
Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 85.
30
Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 83.
31
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba ‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 39.
32
Ibn H{azm, Al-Fis}al fi Milal wa al-Nih}al, Vol. III, 217.
209

yang tidak tetap, seperti suara dan keinginan. Hal ini dikarenakan
aksiden-aksiden tersebut berhubungan dengan waktu. 33
Teolog berargumen bahwa makhluk setelah tiada, hukumnya
tetap pada kondisi boleh ada (Ja>iz al-Wuju>d). Makhluk pada kondisi
belum ada dan pada kondisi telah tiada, tidak ada yang membedakan
kondisinya, keduanya sama-sama dalam kondisi boleh tercipta.34
Sehingga tidak ada penghalang dalam I‘a>dah al-Ma’du>m. Ibn
Taymiyah (661-728 H) telah mengingatkan, perkara akhirat (al-
Ma‘a>d) dibangun atas pengetahuan tentang al-Mabda’, dan perkara
kebangkitan dibangun atas perkara penciptaan. Filosof maupun teolog
memakai metode penciptaan yang kacau, sehingga menjadikan perkara
kebangkitan turut menjadi kacau.35

C. Jam’ Ba’d al-Tafarruq


Jam’ Ba’d al-Tafarruq berarti kebangkitan raga dilakukan
dengan cara mengumpulkan bagian-bagian raga yang telah terpisah
dan tercerai-berai. Teori ini dilandasi oleh tetapnya material.
Kebangkitan adalah pengumpulan material-material raga dan
memberinya kehidupan36 dengan kembali bergantungnya jiwa dengan
raga. Material raga tetap adanya, bahkan kekal menurut filosof.
Kematian bukanlah membuat manusia menjadi tiada, tapi kematian
membuat material raga terurai dan kebangkitan merupakan
pengumpulan kembali material-material raga yang terurai.
Pemikiran pengumpulan material raga ini menunjukkan telah
meluasnya pengaruh filsafat Materialism Yunani dalam peradaban
muslimin ketika itu. Terutama aliran Atomisme yang digagas
Democritus (470-370 SM) yang menyatakan bahwa alam semesta ini
terdiri dari partikel-partikel kecil yang tak dapat dibagi lagi, yang
terus bergerak, berkumpul dan berpisah. Pemikiran yang populer dalam

33
Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 83.
34
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 40. Lihat juga ‘Id}d}
al-Di>n al-I<ji>, al-Mawa>qif, 371. Lihat juga Sa’d al-Di>n al-Tafta>za>ni>, Sharh} al-
Maqa>s}id, Vol. V, 83. Lihat juga Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol.
VIII, 316-318.
35
Taqi> al-Di>n Abi al-‘Abba>s Ibn Taymiyah al-H{arra>ni al-Dimashqi>, Thubu>t
al-Nubu>wa>t ‘Aqlan wa Naqlan wa al-Mu’jiza>t wa al-Kara>ma>t (Cairo: Da>r Ibn al-
Jauzi>, 2006), 250.
36
Aly Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 80.
210

Islam klassik dengan istilah Juz’ al-Ladhi la> Yatajazza’ ini telah
tersebar luas di negeri antara dua sungai. Sejarah mencatat perdebatan
teolog dengan uskup-uskup gereja tentang esensi Tuhan atau partikel
Tuhan.37
Allah menghancurkan raga manusia dengan cara mengurai
bagian-bagiannya (al-Tafarruq), bukan dengan cara meniadakannya
(‘Adam). Allah menghancurkan alam semesta di hari kiamat dengan
cara memporak-porandakan, memisah-misahkan dan mencerai-
beraikan langit dan bumi. Di akhirat Allah menyusun kembali bagian-
bagian bumi dan langit yang terpisah-pisah, menjadi bumi yang baru
dan langit yang baru (QS. Ibrahi>m [14]: 48). Allah membangkitkan
manusia dengan cara menyusun kembali material-material raganya
yang telah lama terpisah.38
Teori ini memandang material sebagai bahan (al-Ma>dah).
Sementara identitas sesuatu ditunjukkan oleh susunan bahan atau
bentuknya (al-Su>rah).39 Kayu merupakan bahan. Kursi merupakan
susunan kayu dengan bentuk tertentu yang berfungsi sebagai tempat
duduk. Apabila bentuk tersebut telah hancur dan tidak lagi bisa
berfungsi untuk duduk, kursi bisa dikatakan telah hancur. Begitu juga
dengan manusia, manusia merupakan susunan dari material dengan
bentuk tertentu. Apabila susunan material manusia dan segala angota
tubuhnya sudah tidak berfungsi, manusia disebut telah hancur atau
meninggal.
Pada awalnya, teori ini diungkapkan oleh segelintir generasi
akhir Mu’tazilah seperti Abu al-H{usain al-Bas}ri>40, (w. 436 H),
Mah}mu>d al-Khawarizmi> al-Zamkhashari> (467-538 H), dan sebagian

37
S. Pines, Mazhab al-Dhurrah ‘inda al-Muslimi>n wa ‘Ala>qatihi bi
Madha>hib al-Yu>na>n wa al-Hanu>d, Trans. Abu Raidah (Cairo: Maktabah al-Nahd}ah
al-Mas}riyah, 1946).
38
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 40.
39
Ibn Taymiyah, Thubu>t al-Nubuwa>t, 252.
40
Dia adalah Muh}ammad ibn ‘Ali> al-T{ayyib, Abu al-H{usain al-Bas}ri>. Salah
seorang tokoh Mu’tazilah yang lahir di Bas}rah dan tinggal di Bagda>d. Dia memiliki
karya yang cukup banyak dan mengajarkan aliran Mu’tazilah di Bagdad. Ia wafat
pada 436 H di bagdad. Lihat Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar al-A’la>m al-Nubala’,
Vol. XVII, 588.
211

Kara>miyah.41 Mereka mengikut filosof yang tidak menerima I‘a>dah al-


Ma’du>m. Dalam perjalanannya, teori ini banyak diadopsi oleh teolog
Muta’akhiri>n sebagai teori alternatif. Karena mereka tidak yakin
dengan I‘a>dah al-Ma’du>m. Mereka ingin memastikan pahala benar-
benar sampai pada raga yang taat dan siksaan benar-benar sampai pada
raga pelaku maksiat.42 Sehingga kematian merupakan terurainya
susunan raga, dan kebangkitan adalah tersusun kembali bagian raga.
Hal ini popular disebut dengan gerakan penciptaan dan penghancuran
(al-H{arakah al-Kaun wa al-Fasa>d). Teori ini lebih jelas dalam
memastikan prisip keadilan Tuhan.
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (544-606 H) menuliskan bahwa teolog
meninggalkan I‘a>dah al-Ma’du>m karena memandang teori itu
terlarang.43 Seperti Abu> H{amid al-Ghaza>li> (450-505 H) yang
menegaskan bahwa I‘a>dah al-Ma’du>m berdiri diatas pondasi mereka-
reka dan prasangka, bukan dilandasi penelitian dan keyakinan.44
Begitu jarang teolog yang menyatakan dengan jelas lemahnya I‘a>dah
al-Ma’du>m. Teolog seringkali pada sikap cenderung tetap membela
I‘a>dah al-Ma’du>m dan menuliskannya dalam buku-buku mereka.
Apakah dilandasi menghormati salaf? Ataukah karena teori tersebut
begitu sederhana? Akan tetapi, bagi Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Jam’ Ba’d
al-Tafarruq berdiri atas I‘a>dah al-Ma’du>m. Menurutnya, pengumpulan
bagian-bagian raga tidak akan terjadi tanpa pengembalian yang telah
tiada. 45 Zat manusia bukan hanya pengumpulan material, tapi juga
pengembalian aksiden-aksidennya. Orang yang mengingkari I‘a>dah al-
Ma’du>m berarti mengingkari Jam’ Ba’d al-Tafarruq, dan berujung
penginkaran akhirat material.

41
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 39. Lihat juga ‘Id}d}
al-Di>n al-I<ji>, al-Mawa>qif, 371. Lihat juga Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-
Mawa>qif, Vol. VIII, 316-318.
42
Aly Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 80.
43
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 52.
44
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Miza>n al-‘Amal, Ed. Sulaima>n Dunya> (Mesir: Da>r
al-Ma‘a>rif, 1964), 34.
45
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mah}s}al al-Afka>r al-Mutaqaddimin wa al-
Mutaakhiri>n min al-‘Ulama>’ wa al-H}ukama>’ wa al-Mutakallimi>n, Ed. T{aha Abd al-
Rau>f Sa’d (Cairo: Maktabah al-Kulliya>t al-Azhariyah, tth), 232. Lihat juga
Muh}ammad Ribah} Bukhi>t, al-Bath wa al-Khulu>d, 158.
212

Ibn Qayyim (691-751 H) menerangkan bahwa Jam’ Ba’d al-


Tafarruq dilandasi tiga pondasi dasar.46 Pertama, kesempurnaan ilmu
Allah: bahwa Allah mengetahui bagian-bagian raga hambanya
sekalipun terpisah sekecil apapun dan sejauh manapun. Kedua,
kesempurnaan kekuasaan Allah: bahwa Allah mampu mengumpulkan
bagian-bagian raga manusia sekalipun telah menjadi tulang-belulang
dan sebagiannya diterbangkan angin, dimakan burung, ditelan bumi
dan sebagainya. Ketiga, kesempurnaan kebijaksanaan Allah: bahwa
Allah menciptakan manusia dan menurunkan syariah bukanlah tanpa
tujuan, semua yang telah dilakukan manusia, baik dan buruk ada
ganjarannya.
Kisah Ibrahim as yang meminta untuk diperlihatkan cara Allah
menghidupkan manusia yang telah mati untuk mengokohkan
keimanannya merupakan bukti nyata Jam’ Ba’d al-Tafarruq. Allah
memerintahkan Ibrahim as menyemblih empat ekor burung dan
memotongnya kecil-kecil. Kemudian bagian-bagian yang telah
bercampur itu diletakkan diatas puncak-puncak gunung yang berbeda.
Kemudian Allah menyuruh Ibrahim as memanggilnya, dan datanglah
keempat burung tersebut dalam bentuk utuh seperti sedia kala (QS.
Al-Baqarah [2]: 260). Allah menghidupkan keempat burung tersebut
dengan cara mengumpulkan kembali bagian-bagian raganya yang telah
berpisah-pisah dan berjauhan. Seperti itulah kebangkitan manusia di
akhirat.47
Begitu juga dengan beberapa ayat yang dengan jelas
menunjukkan Jam’ Ba’d al-Tafarruq,48 seperti: Apakah manusia
mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang
belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun
(kembali) jari jemarinya dengan sempurna (QS. Al-Qiya>mah [75]: 3-
4). Seperti kisah seorang hamba Allah dan keledainya: Lihatlah kepada
tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali,
kemudian Kami membalutnya dengan daging (QS. Al-Baqarah [2]:
259).

46
Ibn Qayyim al-Jauzi>, Al-Fawa>id (Beirut: Dar Maktabah al-Haya>h, tt), 8.
47
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. 7, 40-46. Lihat Juga Al-
Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawaqif, Vol. VIII, 316.
48
Aly Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 94. Lihat juga Sa’d al-Di>n al-
Tafta>za>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id, Vol. V, 106.
213

Ayat pengumpulan tersebut didukung oleh ayat yang


menjelaskan tercerai-berainya raga manusia. Sehingga kebangkitan
dipastikan dari pisahan-pisahan raga (‘an Tafri>q), bukan dari ketiadaan
(‘an ‘Adam). Seperti: pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai
yang bertebaran. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang
dihambur-hamburkan (QS. Al-Qa>ri‘ah [101]: 4-5). Seperti: apabila
badanmu telah dikoyak sekoyak-koyaknya, sesungguhnya kamu benar-
benar (akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan yang baru (QS.
Saba’[34]: 7).
Teori alternatif yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah
ini, ternyata justru mendatangkan banyak masalah. Jam’ Ba’d al-
Tafarruq menjadi sasaran empuk kritikan filosof yang mengingkari
akhirat material. Ibn Si>na> (370-428 H) mempertanyakan raga yang
akan dikumpulkan dan dibangkitkan.49 Apakah raga ketika manusia
meninggal? Ataukah seluruh raga dari kecil hingga akhir hayat? Tidak
ada kemungkinan ketiga selain yang dua ini.
Kalaulah yang dikumpulkan adalah material raga ketika
manusia meninggal, tentunya orang yang cacat dibangkitkan dalam
kondisi cacat pula.50 Layakkah seorang mujahid yang meninggal di
medan perang dalam kondisi pontong tangan, pontong kaki, dan
kekurangan anggota raga lainnya dibangkitkan dalam kondisinya yang
sedemikian rupa? Pantaskah seorang saleh dibangkitkan raganya
dalam kondisi tua renta, kulit keriput pembungkus tulang, dan bergigi
ompong? Pantaskah manusia dibangkitkan dalam kondisi bayi munyil
yang belum pandai berjalan, makan sendiri dan belum mandiri dalam
kebutuhan pribadi raganya? Lalu bagaimana orang tua renta ataupun
bayi kecil munyil menikmati buah-buahan, bidadari dan segala
kenikmatan surga? Sungguh skenario pengumpulan raga material
ketika meninggal jauh dari pemikiran yang sehat.
Kalaulah yang dikumpulkan itu seluruh material raga dari awal
kehidupan hingga akhir hayat, yang berarti pengumpulan seluruh
material seumur hidup, tentunya material raga haruslah dikumpulkan
satu-persatu menjadi tangan, kepala, jantung, hati dan organ lainnya.
Ilmu kedokteran –menurut Ibn Si>na>- telah menjelaskan bahwa
makanan organ tubuh manusia berpindah dari satu organ ke organ

49
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah, 55.
50
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha<fut al-Fala>sifah, 217. Lihat Juga Ibn Si>na>,
Risa>lah Ad}h}awiyah, 55.
214

lainnya. Sebagian organ tubuh manusia memakan sisa makanan organ


tubuh lainnya. Seperti organ hati yang memakan sisa makanan organ
jantung. Bisa dipastikan material tertentu telah menjadi beberapa
organ tubuh manusia. Lalu mau dijadikan apa material tersebut,
apakah menjadi organ A, B, atau C dan seterusnya.51
Lebih dari itu, bagaimana bila manusia memakan manusia?
Satu material bisa menjadi dua atau lebih raga manusia. Tidak
mungkin satu material dikumpulkan untuk dua manusia. Kemanakah
material tersebut dikumpulkan? Pada raga yang memakan ataukah
pada raga yang dimakan?52 Bahkan bila mencermati lapisan tanah
paling atas, setelah waktu yang lama, tanah tersebut merupakan
bangkai yang telah menjadi tanah, ditanami tanaman, keluarlah
kacang-kacangan dan buah-buahan, dimakan hewan, menjadi daging,
dimakan manusia dan menjadi raga manusia. Bisa diprediksi satu
material bisa menjadi dua atau lebih raga manusia.53 Mustahil material
tersebut disatu waktu dikumpulkan untuk beberapa raga. Mustahil
material tersebut dikumpulkan untuk salah satu raga.
Sunnah Nabawiyah telah menerangkan bahwa manusia
dibangkitkan berumur tiga puluh tahun.54 Sebagaimana para bidadari
diciptakan berumur serupa: Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan,
penuh cinta lagi sebaya umurnya (QS. Al-Wa>qi‘ah [56]: 36-37). Ibn
Kathi>r (700-774 H) menuliskan manusia dibangkitkan seukuran raga
Adam as setinggi 60 hasta.55 Syariah telah menetapkan manusia
dibangkitkan dalam kondisi sempurna, sehat dan kuat. Tidak ada yang
tua renta, tidak ada yang kecil munyil, tidak ada yang cacat dan
51
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha<fut al-Fala>sifah, 218. Lihat juga Ibn Si>na>,
Risa>lah Ad}h}awiyah, 56.
52
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol VII, 322. Lihat Juga
Ibn Taymiyah, Thubu>t al-Nubuwa>t, 250.
53
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha<fut al-Fala>sifah, 218. Ibn Si>na>, Risa>lah
Ad}h}awiyah, 57.
54
Hadis H{asan Gari>b diriwayatkan Ima>m Tirmidhi dalam Kita>b: S}ifah al-
Jannah, Ba>b: Ma> Ja>’a fi Sinn Ahl al-Jannah, no. (2545). Lihat Ima>m al-Tirmi>dhi>,
Sunan al-Tirmi>dhi>, 572-573. Diriwayatkan juga oleh Ima>m Ah}mad dalam Musnad
Mu‘a>z ibn Jabal. Lihat Ima>m Ah}mad ibn H{anbal, Al-Musnad, Vol. V, 232. Teksnya
sebagai berikut:
)‫يبعث المؤمنون يوم القيامة جردا مردا مكحلين بني ثالثين سنة (رواه أحمد‬
55
Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Quran al-‘Az}i>m, Vol. XII, 379.
215

kekurangan, semuanya berukuran sama dan sempurna. Sehingga


pertanyaan Ibn Si>na> (370-428 H) tentang umur dan ukuran raga yang
dibangkitkan sudah terjawab dan terbantahkan.
Teolog menyadari bahwa raga manusia bertambah dan
berkurang, terkadang kurus dan terkadang gemuk.56 Raga manusia
bertambah dengan asupan makanan dan minuman. Raga manusia
berkurang dengan pembuangan sisa makanan. Raga menusia yang juga
terdiri dari air, menuai disetiap waktu karena hangatnya suhu raga.
Kekurangan yang dialami raga harus ada penggantinya secara terus
menerus. Bila tidak, satu bulan saja tidak makan, manusia tinggal kulit
pembungkus tulang.
Mu’tazilah sebagai teolog rasionalis terdepan telah terlebih
dahulu membahas permasalahan ini. Syaikh Mu’tazilah, al-Qa>d}i ‘Abd
al-Jabba>r (359-415 H) membahas panjang lebar tentang ukuran sah
atau tidaknya kebangkitan raga manusia dengan mengulas pendapat
pendahulunya. Sebagian besar bagian raga manusia boleh berganti.
Bentuk ragapun terkadang boleh berubah. Ia menyimpulkan bahwa
yang dipandang dalam perkara kebangkitan, minimal bagian-bagian
raga yang tidak bisa hidup tanpanya. Itulah yang yang harus
dikembalikan. Bila tidak, yang hidup kembali itu bukanlah yang hidup
sebelumnya. Adapun bagian lainnya, tidaklah dipandang dalam
perkara kebangkitan.57
‚Bagian yang tak bisa hidup tanpanya‛ masih berupa argumen
umum yang belum defenitif. Tapi dapat dipahami bahwa anggota raga
yang tidak terpengaruh pada kehidupan tidak termasuk yang harus
dikembalikan. Seperti tangan, kaki, hidung, telinga dan bahkan
beberapa organ dalam yang tanpanya manusia masih dapat hidup.
Pemikiran ini sudah tidak mempermasalahkan seorang bayi maupun
orang tua renta dibangkitkan berbadan muda umur tiga puluhan. Akan
tetapi, begitu sulit untuk mendefinisikan ‚Bagian yang tidak bisa
hidup tanpanya‛. Apakah itu organ tertentu? Ataukah beberapa organ
tertentu?
Kalaulah yang dimaksud dengan ‚bagian yang tak bisa hidup
tanpanya‛ merupakan sebuah organ atau beberapa organ tubuh
manusia, kemajuan ilmu kedokteran di era modern akan lebih

56
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Arba‘i>n fi> Us}u>l al-Di>n, Vol. II, 18. Lihat juga al-
Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r, Al-Mugni> fi Abwa>b al-Tauh}i>d wa al-‘Adl, Vol. XI, 467-475.
57
al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r, Al-Mugni> ,Vol. XI, 475.
216

memperumit permasalahan. Organ seorang manusia dapat


dicangkokkan kepada manusia lainnya. Misalkan saja kasus
pencangkokan jantung. Pada awalnya jantung tersebut dipakai oleh si
A yang soleh. Kemudian dicangkokkan pada raga si B pelaku maksiat.
Bila jantung tersebut di akhirat dikumpulkan pada raga si A, jantung
tersebut akan masuk surga. Bila dikumpulkan bersama si B, jantung
akan masuk neraka. Lalu sampaikah balasan amal perbuatan kepada
yang berhak menerimanya?
Pemikiran Mu’tazilah ini memberikan kontruksi pemikiran luar
biasa besar. Akhirnya teolog mengenal istilah bagian asal dan bagian
tambahan. Raga manusia terdiri dari bagian asal yang tetap seumur
hidup dan bagian tambahan yang terus berganti dengan asupan
makanan. Teolog Ash‘ariyah, Na>s}ir al-Di>n al-Baid}a>wi58> (585-685 H)
menyatakan, bila terjadi manusia makan manusia, yang dikumpulkan
hanyalah bagian-bagian asal, itulah dia manusia. Bagian itu tetap dari
awal hingga akhir hayat. Bagian itu bukanlah postur yang berganti dan
seringkali terlupakan. Raga yang dimakan merupakan bagian
tambahan, sehingga tidak mesti dikumpulkan pada orang yang
memakan.59
Begitu juga dengan Teolog Syi‘ah seperti Na>s}ir al-Di>n al-T{u>si>
(597-672 H), ia menuliskan bahwa bagian tambahan tidak harus
dikembalikan.60 Komentatornya, ibn al-Mut}ahhir al-H{illi> (648-726 H)
menjelaskan, yang mesti dikembalikan hanyalah bagian-bagian asal,
sementara bagian yang lainnya tidak mesti dikembalikan, bisa saja
diganti dengan material yang lain.61 Yang dipandang dalam

58
Dia adalah ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn Muh}ammad ibn ‘Ali>, digelari Na>s}ir
al-Di>n, seorang ulama Ahl al-Sunnah, faqih, bermazhab fiqih Shafi‘i>, teolog,
Muh}addi>th, Mufassir dan ahli Nahwu . Dinisbatkan pada Baid}a>’ sebuah kota Persia
tempat kelahirannya. Terkadang dinisbatkan pada Shira>z, kota tempat ia menjabat
sebagai Qa>d}i> dan menghabiskan sebagian besar didupnya. Ia meninggal di Tibri>z
pada 685 H dengan usia 100 tahun. Diantara karya besarnya adalah tasir ‚Anwa>r al-
Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l‛, ‚Minha>j al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Di>n‛ tentang Ushl al-Fiqh,
dan ‚T{awali’ al-Anwa>r‛ tentang ‘Ilm al-Kala>m. Lihat Nas}ir al-Di>n al-T{u>si>, Tajri>d al-
‘Aqaid, Ed. ‘Abba>s Muh}ammad H{asan Sulaiman (Alexandria: Da>r al-Ma’rifah al-
Ja>mi‘ah, 1996), 17-63.
59
Na>s}ir al-Di>n al-Baid}a>wi>, T{awa>li’ al-Anwa>r, 331.
60
Nas}ir al-Di>n al-T{u>si>, Tajri>d al-‘Aqaid, 153.
61
Ibn al-Mut}ahhir al-H{illi>, Kashf al-Mura>d, 381.
217

kebangkitan seorang manusia adalah bagian asalnya. Dalam artian


orisinalitas dan identitas raga manusia ditunjukkan oleh bagian asal
raga.
Teori ‚pengumpulan bagian asal raga‛ menjadi populer dan
bahkan menjadi teori baku oleh teolog dalam menghadapi isu
kanibalisme yang dilontarkan para pengingkar kebangkitan raga.
Tokoh besar ‘Ash‘ariyah Ad}d} al-Di>n al-I<ji> (708-756 H) menyatakan
bahwa yang dipandang dalam perkara kebangkitan hanyalah bagian-
bagian asal, yaitu bagian yang tetap dari awal kehidupan hingga akhir
hayat, bukan seluruh bagian raga. Bagian tersebut menjadi bagian
tambahan bagi yang memakannya. Manusia tetap sepanjang umurnya,
sementara bagian-bagian makanan datang dan pergi.62
Al-Sayyid Shari>f al-Jarja>ni> (740-816 H) menjelaskan, bila
bagian itu merupakan bagian tambahan, bagian tersebut dikembalikan
kepada yang dimakan, bukan kepada yang memakan.63 Lebih lanjut,
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni> (722-792 H) menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kebangkitan adalah pengembalian bagian-bagian asal
yang tetap dari awal hingga akhir hayat, bukan bagian yang diperoleh
dari asupan makanan. Pengembalian hanyalah bagian asal dari orang
yang memakan dan orang yang dimakan. Bagian asal itu diperoleh dari
awal fitrah dan tak akan rusak.64 Hal senada diungkapkan Ibn Khaldu>n
(732-808 H.), bila terjadi manusia memakan manusia, bagian tersebut
kembalikan kepada yang dimakan, karena itu bagian asal65 yang
dimakan.
Teori ‚pengumpulan bagian asal raga‛ meluas dan sepertinya
telah menjadi kata sepakat mayoritas teolog abad pertengahan.
‚Pengumpulan bagian asal raga‛ sudah lebih jelas dari ‚bagian yang
tidak bisa hidup tanpanya‛, akan tetapi tetap saja masih belum
defenitif. Masih banyak penafsiran tentang ‚bagian asal raga‛ yang
tetap sepanjang umur tersebut. Bahkan menurut Mu’tazilah, atas
prinsip kebijaksanaan Tuhan, wajib hukumnya bagi Allah untuk
memelihara bagian asal setiap manusia. Sehingga kesenangan dan

62
‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji>, Al-Mawa>qif, 373.
63
Al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni>, Sharh} al-Mawa>qif, Vol. VIII, 323.
64
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id,Vol. V, 95.
65
‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Khildu>n, Luba>b al-Mah}s}al fi Us}u>l al-Di>n, Ed. ‘Abbas
Muh}ammad H{asan Sulaima>n (Alexandria: Da>r al-Ma’rifah al-Ja>mi‘ah, 1996), 188.
218

kesengsaraan benar-benar sampai pada material raga yang berhak


untuk mendapatkannya.66
Teolog begitu yakin manusia memiliki bagian asal raga yang
tetap sepanjang umur. Akan tetapi mereka tidak menafsirkan lebih
lanjut bagian asal tersebut. Disinilah peranan Ahl al-Hadis dalam
menjelaskannya. Abu Hurairah (19 SH-57 H) telah meriwayatkan
beberapa hadis yang meriwayatkan manusia mempunyai sebuah tulang
yang diciptakan semenjak lahir, dan tulang itu tak akan hancur
dimakan tanah. Tulang tersebut adalah ‘Ajab al-Zanab. 67 Ima>m al-
Nawa>wi>68 (631-676 H) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
‘Ajab al-Zanab oleh Rasul saw. adalah tulang lunak yang terdapat
dalam tulang yang keras, yaitu kepala tulang tungging (Ra’s al-
‘As}’as}). Disebut juga ‘Ajam al-Zanab, itulah yang pertama kali
diciptakan, itulah yang akan tinggal dan disusun kembali untuk
dibangkitkan.69
Muh}ammad H{asan Riba>h} Bukhit, salah seorang pendukung
teori ini mengklaim telah melakukan penelitian dengan mewawancarai
beberapa penganut Hindu India yang membakar mayat keluarga
mereka yang meninggal. Hasilnya, seluruh yang diwawancarai
memastikan mayat dapat terbakar hanya dalam beberapa jam. Akan
tetapi, pengalaman mereka membuktikan adanya tulang kecil yang tak
terbakar, tidak terpengaruh dan tidak akan menjadi abu seberapa lama
pun dibakar. Itulah dia ‘Ajab al-Zanab, tulang tungging yang

66
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, Sharh} al-Maqa>s}id,Vol. V, 95.
67
Hadis S{ah}ih} riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah dalam Kita>b: al-
Fitan wa Ashra>t al-Sa>‘ah, Ba>b: Ma> baina Nafkhatain, (no.2955). Lihat Ima>m
Muslim, S{ah}i>h} Muslim, 1351. Teks aslinya sebagai berikut:
)‫كل ابن آدم يأكله التراب إال عجب الذنب منه خلق وفيه يركب (رواه مسلم‬
68
Dia adalah Muh}y al-Di>n Abu Zakariya> Yah}ya ibn Sharf ibn H{azza>m>,
dikenal dengan al-Nawawi>, penisbatan pada Nawa, sebuah desa di H{u>ra>n di Suriah,
Disanalah tempat lahir dan meninggalnya (631-676 H) /(1233-1277 M). Seorang
faqih dan Muh}addith sunni bermazhab Shafi‘i>. Karyanya yang paling populer adalah
Sharah} S{ah}ih} Muslim dan kumpulan 40 hadi>th} ‚Arba‘i>n‛. Lihat Khair al-Di>n al-
Zirikli>, Al-A’la>m,Vol. VIII, 148.
69
Muh}y al-Di>n al-Nawa>wi>, S{ah}i>h} Muslim bi Sharh} al-Nawa>wi>, (Cairo: al-
Mat}ba‘ah al-Mas}riyah bi al-Azhar, 1929), Vol. XVII, 92.
219

disebutkan dalam hadis. Mereka biasanya menguburkan tulang kecil si


mayat tersebut.70
Tulang tungging bagi manusia ibaratkan sebuah biji bagi
tanaman.71 Sebuah biji menyimpan informasi tentang tanaman, bentuk
daunnya, kayunya, dahannya, rantingnya, semuanya tersimpan di
dalamnya. Informasi yang tersimpan lebih tepat disebut materi
genetik. Ketika tumbuh, biji tersebut dapat menjadi tanaman
sebagaimana induknya dan informasi yang tersimpan di dalamnya. Biji
manga akan tumbuh menjeadi pohon manga, biji salak akan tumbuh
menjadi pohon salak. Begitulah kebijaksanaan Allah swt menciptakan
‘Ajab al-Zanab untuk memelihara identitas dan orisinalitas seorang
manusia.
Al-Quran menyamakan proses kebangkitan manusia di akhirat
dengan proses tumbuhnya tanaman: Hingga apabila angin itu telah
membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus,
lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan
sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami
membangkitkan orang-orang yang telah mati (QS. Al-A’ra>f [7]: 57).
Manusia dibangkitkan di akhirat seperti tumbuhnya sebuah pohon dari
dalam tanah. Pohon tumbuh mengeluarkan pucuknya, manusia bangkit
mengeluarkan kepalanya, sebagaimana dituliskan Ima>m al-Qurtu>bi> (w.
671 H).72

D. Kebangkitan Raga dari Material Apapun


I‘a>dah al-Ma’du>m dilandasi ketiadaan raga manusia, sementara
Jam’ ba’d al-Tafarruq dilandasi terurainya raga manusia. Berbeda
dengan dua teori sebelumnya, kebangkitan raga dari material apapun
dilandasi oleh pandangan manusia pada hakikatnya adalah jiwa. Baik
yang memandang jiwa merupakan suatu yang immaterial sebagaimana
yang diutarakan teolog dan filosof spiritualis, maupun jiwa merupakan
suatu material di dalam raga sebagaimana yang diutarakan teolog dan
filosof materialis.
Lemahnya I‘a>dah al-Ma’du>m, dan begitu banyaknya masalah
yang ditimbulkan oleh Jam’ ba’d al-Tafarruq membuat Abu H{amid al-

70
Muh}ammad Riba>h} Bukhit, ‘Aqi>dah al-Ba’th, 89.
71
Muh}ammad Riba>h} Bukhit, ‘Aqi>dah al-Ba’th, 89.
72
Abu> ‘Abd Allah al-Qurt}u>bi>, al-Tadhkirah, 178.
220

Ghaza>li> (450-505 H) memilih teori ini dalam ‚Taha>fut al-Fala>sifah‛


untuk menghadapi kritikan filosof yang ingin mematahkan segala teori
kebangkitan raga dan akhirat material. Menurutnya, jiwa kembali
bergantung kepada raga, baik material raga tersebut adalah raga
material yang dahulu di dunia, maupun raga dari material yang lain.
Material tidaklah dipandang dalam perkara kebangkitan, karena
identitas manusia bukanlah ditunjukkan oleh material raga, tapi
identitas manusia ditentukan oleh jiwanya.73
Abu H{amid al-Ghaza>li> (450-505 H) bukanlah orang pertama
yang mengungkapkan teori pengembalian jiwa pada raga manapun.
Sebelumnya, Ibn Si>na> (370-428 H) telah mematahkan skenario ini.
Menurutnya, mengembalikan ketergantugan jiwa kepada raga dari
material tanah, air, api dan udara mana saja yang sesuai merupakan
reinkarnasi. Hanya saja pemikiran kebangkitan raga dari material
apapun, dibungkus sedemikian rupa dengan tipu daya kata dan
istilah.74 Padahal tak ubahnya merupakan reinkarnasi, yaitu jiwa
berpindah-pindah dari satu raga ke raga yang lainnya.
Bagi al-Ghaza>li> tidak ada gunanya memperdebatkan penamaan.
Apakah itu disebut reinkarnasi, atau disebut kebangkitan dengan raga
yang baru. Apa yang datang dari syariah haruslah dibenarkan apa
adanya. Biarlah dikatakan reinkarnasi. Islam hanyalah mengingkari
reinkarnasi di dunia ini. Islam tidak mengingkari kebangkitan atau
reinkarnasi di akhirat.75 Islam mengajarkan pembalasan amal
perbuatan di akhirat, Islam mengingkari pembalasan perbuatan di
kehidupan dunia yang fana ini.
Keterbatasan material merupakan salah satu alasan Ibn Si>na>
menbantah teori ini. Jiwa personal jumlahnya tak terbatas, sementara
material berupa air, api, tanah dan udara terbatas hanya pada bintang
dibawah bulan (bumi).76 Jiwa manusia semenjak Adam as sampai
manusia terakhir di hari kiamat begitu banyak jumlahnya. Terlebih
bukan hanya manusia yang dibangkitkan, tapi juga binatang. Material
bumi ini tidaklah cukup untuk membangkitkan manusia setinggi 60
hasta ditambah seluruh makhluk yang bernyawa disatu waktu.
73
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 216.
74
Ibn Si>na>, Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amr al-Ma‘a>d, 57.
75
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 220. Lihat juga Muh}ammad
al-Musayyar, Al-Ru>h}, 161.
76
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 218. Lihat juga Muh}ammad
al-Musayyar, Al-Ru>h}, 162.
221

Material bumi tak akan cukup untuk menyediakan raga seluruh


makhluk yang berjiwa (bernyawa).
Syaikh Ja’far al-Subh}a>ni>, seorang tokoh Syi‘ah Iran menjawab
isu ketidak cukupan material ini dengan jawaban saintis. Ia mencoba
memperkirakan kebutuhan material untuk satu raga manusia, dan
mengukur luas bumi. Hasilnya, perhitungan geologi membuktikan
kecukupan material bumi untuk dijadikan raga seluruh manusia. Bumi
terus bertambah, peradaban manusia ribuan tahun lalu berada pada
lapisan bawah. Benda-benda langit yang jatuh ke bumi, turut
menambah material bumi. Kalaupun kurang, masih bisa diambil dari
planet lain. 77Jawaban yang sepertinya ilmiyah ini sebenarnya tidaklah
ilmiyah. Karena tidak bisa ditentukan dengan pasti berapa jumlah
manusia sampai akhir zaman nanti. Semuanya hanyalah mengukur
perkiraan diatas perkiraan. Argumen rasionalis teolog lebih cocok
untuk menjawab permasalahan ini.
Bagi al-Ghazali (450-505 H), ketidak cukupan material bumi
sama sekali tidak berdasar. Pemikiran tersebut pastinya dilandasi
Qadi>m-nya alam, dan teori emanasi yang diyakini filosof. Teolog
meyakini H{a>dith-nya alam, tidak meyakini penciptaan alam semesta
melalui proses al-‘Aql yang sepuluh sebagaimana yang diyakini
filosof. Teolog meyakini jiwa jumlahnya terbatas. Jiwa tidak akan
lebih banyak dari material yang ada. Kalaulah memang jiwa lebih
banyak dari material yang tersedia, Allah maha kuasa menciptakan dan
memulai pengadaanya. Bagi yang mengingkarinya berarti mengingkari
kekuasaan Allah menciptakan sesuatu yang baru. Permasalahan ini
telah panjang diperdebatkan dalam perkara H{a>dith-nya alam.78
Filosof juga mengkritisi proses terjadinya kebangkitan.
Berpegang pada prinsip universal yang telah berlaku di alam semesta,
kapas tidak bisa langsung menjadi baju. Kecuali kapas itu terlebih
dahulu dipintal menjadi benang, lalu dirangkai pada alat tenun, lalu
dijahit sedemikian rupa, sehingga jadilah sebuah baju. Penciptaan
haruslah melalui proses tahapan-tahapan. Tanah tidak bisa langsung
menjadi manusia. Tapi harus melalui proses air mani di dalam rahim,

77
Shaikh Ayatullah Ja’far al-Subh}a>ni>, Al-Ila>hiya>t ‘ala al-Huda> wa al-
Sunnah wa al-‘Aql, Ed. H{asan Muh}ammad al-Maki> al-‘A<mili> (Beiru>t: Da>r al-
Isla>miyah, 1990), Vol. II, 889-891
78
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 219-220. Lihat juga
Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 162.
222

lalu menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, sampai


menjadi suatu kondisi tertentu yang telah dapat menerima pengaturan
jiwa.79 Karena jiwa tidak bisa mengatur material tanah tanpa adanya
kondisi tersebut. Inilah aturan Allah di alam semesta. ‚Kamu tidak
akan mendapatkan aturan-aturan Allah itu berganti. Kamu tidak akan
menemui aturan-aturan Allah itu menyimpang (QS. Fa>t}ir [35]: 43-44).
Kritikan ini muncul dari perdebatan lama antara teolog dan
filosof, yaitu tentang hukum kausalitas (sebab-akibat).80 Bagi filosof
peciptaan haruslah melalui perantara, yaitu al-‘Aql. Jiwa tidak dapat
mengatur tanah, air, api dan udara keculai telah menjadi kondisi
tertentu dengan kadar tertentu. Sementara bagi teolog, penciptaan
dapat terjadi secara langsung ‚Kun fa Yaku>n‛, karena inti dari
penciptaan adalah kekuasaan Allah. Allah maha kuasa menciptakan
makhluknya secara gradual melalui proses perantara, maupun
menciptakan secara langsung.81 Api diciptakan sifatnya untuk
membakar, tapi bisa saja berubah fungsinya menjadi dingin seperti
kisah Ibrahim as Tanah dapat langsung ditiupkan al-Ru>h} kepadanya,
sebagaimana Adam as diciptakan dari tanah, bukan dari sari pati tanah
atau setetes mani.
Banyak teolog yang menyayangkan pilihan al-Ghaza>li> (450-505
H) terhadap teori ini.82 Al-Ghaza>li> telah keluar dari pendapat
mayoritas teolog. Ia dituduh telah mengangkatkan prinsip keadilan
Tuhan dalam perkara kebangkitan. Raga baru tak layak menerima
pembalasan, karena raga itu bukanlah si pelaku, raga itu bukanlah raga
yang berhak untuk mendapatkan pembalasan. Bahkan sampai ada
kalangan teolog yang memahami al-Ghaza>li> mengingkari kebangkitan
raga dan akhirat material.83 Namun tuduhan itu tidaklah benar. Dalam
‚Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d‛ al-Ghaza>li> menuturkan bahwa ia dalam ‚Taha>fut
al-Fala>sifah‛ hanyalah mengikuti cara pikir dan metodologi filosof,
bukan mengungkapkan teori yang ia yakini. Kitab tersebut dibuat

79
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 221. Lihat juga Muh}ammad
al-Musayyar, Al-Ru>h}, 162.
80
Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 163.
81
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Taha>fut al-Fala>sifah, 221.
82
Qamar al-Daulah Na>sif, Nus}us Falsafiyah, 157
83
Ali Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 126.
223

untuk membungkam filosof, bukan untuk menunjukkan pendapat yang


benar.84
Teori yang dibangun setengah hati oleh al-Ghaza>li>
mendapatkan dukungannya di era modern. Kajian ilmiyah
membuktikan bahwa raga manusia berganti terus-menerus sampai tak
satupun sel kecuali telah digantikan dengan sel yang baru.85 Inilah
yang membuat Ali Arslan Aydin salah menafsirkan ‚bagian asal raga‛
yang menurut teolog tetap sepanjang umur. Menurutnya, yang
dimaksud dengan ‚bagian asal raga‛ itu adalah jiwa. Manusia terdiri
dari bagian asal yang tetap sepanjang umur, dan bagian tambahan yang
terus berganti dengan asupan makanan. Bagian asal dan bagian
tambahan raga merupakan istilah lain dari jiwa dan raga. Bagian asal
disebut jiwa, sementara bagian tambahan disebut raga.86
Penafsiran Ali Arslan Aydin tidaklah berdasar. Selayang
pandang memang ‚bagian asal raga‛ yang ada semenjak awal hingga
akhir hayat, dan tidak berganti dengan asupan makanan hampir identik
dengan jiwa material yang mengalir di dalam raga seperti air di dalam
daun. Akan tetapi, kalaulah bagian asal yang dimaksud oleh teolog
abad pertengahan itu adalah jiwa, mengapa meraka harus membuat
sebuah istilah baru? Bukankah kata (al-Nafs) telah meluas digunakan
pada waktu itu? Istilah jiwa dan raga lebih mudah dipahami dari pada
bagian asal dan bagian tambahan. Bukankah kebangkitan ‚bagian asal
raga‛ berarti kebangkitan jiwa? Seharusnya isu ‚makan dan dimakan‛
dan pengembalian bagian asal raga kepada pemililk aslinya tak perlu
terjadi. Bukankah jiwa tidak bisa dimakan? Bukankah raga yang
dimakan sudah tidak berjiwa?
Teolog begitu yakin adanya bagian raga yang tetap sepanjang
umur, bahkan bagian itu wajib ada menurut Mu’tazilah. Akan tetapi,
mereka tidak pernah mendefinisikan bagian tersebut secara pasti. Ahl
al-Hadislah yang mendefenisikannya dengan tulang tungging (‘Ajab
al-Zanab). Ayatullah Ja’far al-Subh}a>ni> mematahkan teori ‚bagian asal
raga‛ mayoritas teolog abad pertengahan. Menurutnya, pemikiran
tersebut sama sekali tidak berdasar. Karena tidak satupun bukti yang

84
Abu H{amid al-Ghaza>li>, Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d, Ed. Ins}a>f Ramad}a>n (Beiru>t:
Da>r Qutaibah, 2003). Lihat juga Muh}ammad Riba>h} Bukhit, ‘Aqi>dah al-Ba’th wa al-
Khulu>d, 116.
85
Muh}ammad al-Musayyar, Al-Ru>h}, 161.
86
Ali Arslan Aydin, Al-Ba’th wa al-Khulu>d, 65.
224

menunjukkan setiap manusia memiliki bagian asal. Memang ada hadis


yang menunjukkan ‚bagian asal raga‛ itu. Namun hadisnya Ah}a>d,
tidak layak dijadikan landasan dalam perkara akidah.87
Manusia semenjak awal penciptaan, kelahiran sampai akhir
hayatnya selalu berubah-rubah dan berganti. Raga manusia terdiri dari
sel-sel yang tak terhingga, dan hanya Allah yang tau jumlahnya. Setiap
sel berfungsi untuk menyangga kehidupan raga. Sel-sel selalu berubah
dan berganti secara terus menerus. Sel-sel yang mati akan digantikan
oleh sel-sel yang baru. Seperti itulah tercipta kesiapan raga untuk
meneruskan kehidupan. Tanpa terkecuali sel-sel otak. Hanya saja sel-
sel otak tetap jumlahnya.88
Penjelasan serupa diutarakan Wahiduddin Khan, 89 raga
manusia bagaikan sungai yang selalu berganti airnya, sampai tidak ada
satu sel lama pun yang tertinggal karena digantikan oleh sel-sel yang
baru. Proses pergantian ini terjadi di masa kanak-kanak dan remaja
dengan cepat. Kemudian melambat perlahan di masa dewasa. Kalaulah
diperkirakan ukuran proses pergantian ini, bisa dipastikan raga
manusia berganti secara keseluruhan setiap sepuluh tahun. Raga yang
lama telah menjadi material mati dan berganti dengan raga yang baru,
tetapi manusia yang ada di dalamnya tetap dan tak berubah.
Pengetahuannya, kebiasaannya, pemikirannya, cita-citanya tetap apa
adanya. Manusia merasa dia adalah manusia di semua masa hidupnya.
Dia adalah manusia yang hidup sepuluh tahun yang lalu. Manusia tak
merasakan bahwa anggota raganya telah berubah, mulai dari ujung
kaki hingga ujung rambut.
‚Bagian asal manusia‛ yang tetap sepanjang umur juga tidak
dapat diwakili oleh DNA (deoxyribonucleic acid). DNA adalah cetak
biru, ‚kode kehidupan‛, di mana tiap sel hidup pasti mengandung kode
kehidupan ini. Kode ini mengandung semua informasi yang diperlukan
untuk membuat sel yang akan menjadi sel saraf, sel otot atau sel
kulit.90 Asam deoksiribonukleat, yang berfungsi sebagai materi
genetik, yang lebih dikenal dengan DNA umumnya terletak di dalam

87
Ja’far al-Subh}a>ni>, Al-Ila>hiya>t, Vol. II, 897.
88
Ja’far al-Subh}a>ni>, Al-Ila>hiya>t, Vol. II, 894-895.
89
Wahiduddin Khan, Isla>m Yatahadda>: Madkhal al-‘Ilm ila> al-I<ma>n, Trans.
Zafarul Islam Khan (Kuwait: Scientific Researdh House, 2005), 103-104.
90
http://www.referensimakalah.com/2013/01/pengertian-dna-
deoxyribonucleic-acid.html (Diakses tanggal 3 Maret 2014)
225

inti sel. Sebagaimana diketahui, sel-sel dalam raga manusia berganti.


Sehingga DNA hampir sama dengan sidik jari pada manusia. Bentuk
sidik jari tidak berubah, namun kulit-kulit jari terus berganti.
Dengan ini, teori kebangkitan yang digadang mayoritas teolog
abad pertengahan: pengumpulan bagian raga setelah terpisah, minimal
bagian asal raga yang tetap sepanjang umur telah runtuh dengan
kemajuan ilmu kedokteran modern. Sementara teori ‚pengembalian
yang telah tiada‛ telah lama ditinggalkan. Jadilah teori kebangkitan
raga dari material apapun yang memandang manusia dari sisi jiwa saja,
tanpa memandang material raga merupakan teori terkuat dalam
membangun akidah hidup setelah mati.
Teori kebangkitan yang menurut al-Ghaza>li> (450-505 H) hanya
mengikuti pola pikir filosof ini, merupakan pilihan Mulla S{adra ( 980-
1050 H). Menurutnya, identitas seorang manusia ditunjukkan oleh
jiwanya, bukan ditunjukkan oleh raganya. Raga yang dijadikan
patokan hanyalah perkara abtrak. Patokan seorang manusia hanya
dapat diperoleh dari jiwanya. Manusia tidak dapat diidentifikasi dari
sudut pandang raganya. Raga yang dibangkitkan tidak mesti raga yang
dimakan binatang buas atau manusia lain. Setiap raga yang
berhubungan dengan jiwa, itulah dia raganya.91 Ketika raga
dibangkitkan dari kuburnya dihari kiamat, inilah si A dan inilah si B.
Manusia tidak mesti dibangkitkan serupa dengan asalnya, tidak mesti
berbentuk buruk, cacat dan nilai-nilai jelek lainnya.
Pemikiran kebangkitan tanpa memandang material raga
dikuatkan oleh Lynne Rudder Baker. Dia menyebutnya dengan ‚The
Constitution View‛. Seorang manusia dibentuk oleh –tapi tidak
identik dengan- organ tubuh. Pada dasarnya, seseorang mempunyai
sudut pandang utama tentang manusia, dan organ tubuh mempunyai
keterikatan fungsi bilogis utama.92 Seseorang mempunyai sudut
pandang pertama tentang manusia, yaitu raganya. Tapi raga tidak
dapat menjadi identitas seorang manusia.

91
Ja’far al-Subh}a>ni>, Al-Ila>hiya>t, Vol. II, 896-897.
92
Lynne Rudder Baker, ‚Persons and the Metaphysics of Resurrection,‛
Cambridge Journals, 14 August 2007.
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract;jsessionid=96717CB5
CFC625EEAE615EBFAE895C3A.journals?fromPage=online&aid=1299968
(Diakses 4 Februari 2014)
226

Al-Quran menjadikan beberapa anggota raga menjadi saksi atas


apa yang dilakukan manusia di dunia, seperti mata yang melihat,
telinga yang mendengar dan kulit yang merasa . Namun al-Quran tidak
mempermasalahkan organ raga tersebut berganti-ganti: ‚Setiap kali
kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain,
supaya mereka merasakan azab‛ (QS al-Nisa’: 56). Tidak masalah bila
material raga berganti, karena raga fungsinya hanyalah sebagai alat
untuk merasa, ‚supaya merasakan azab‛. Yang merasa adalah jiwa,
bukan raga material alatnya. Teori hakikat manusia merupakan teori
kebangkitan terkuat dalam membangun metafisika hidup setelah mati.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah semua tahap penelitian dilakukan, mulai dari
pembuatan kajian teori, sampai dengan pengumpulan data, pengolahan
dan analisis data. Pada akhirnya peneliti dapat menyimpulkan bahwa
akhirat material berupa surga dan neraka merupakan mayoritas
keyakinan umat manusia. Keyakinan manusia pada peradaban kuno
menunjukkan bahwa kehidupan akhirat tak jauh berbeda dengan
kehidupan dunia yang material. Agama langit seperti Yahudi, Kristen
dan Islam juga menjelaskan bahwa kehidupan akhirat merupakan
manifestasi dari kehidupan dunia. Kristen menggambarkan surga
dengan kota Allah, disana ada jalan, sungai dan bahkan Allah pun
hidup bersama mereka. Islam mengambarkan surga dengan istana
dihiasi sungai-sungai susu, madu, khamar, buah-buahan berbagai jenis,
berserta para bidadari yang jelita. Surga memenuhi segala kebutuhan
manusia berupa makanan, minuman, tempat tinggal dan pasangan.
Ajaran surga dan neraka sebagai tempat pembalasan amal
perbuatan tentunya menuntut raga manusia sebagai penghuninya.
Maksudnya, surga dan neraka disediakan untuk raga manusia.
Kenikmatan surga dan kesengsaraan neraka dirasakan oleh manusia
melalui raganya. Tanpa raga, manusia tidaklah dapat memperoleh
kenikmatan surga dan siksaan neraka. Semua kenikmatan surga dan
kesengsaraan neraka tertuju pada manusia melalui raganya.
Agar keadilan benar-benar terwujud, raga yang menerima
pembalasan haruslah raga pelaku di tempat kejadian perkara (dunia).
Generasi awal Islam yang memandang manusia adalah raga material.
Pemahaman yang sederhana ini merupakan pemahaman yang umum
dan cepat dipahami manusia awam. Generasi awal meyakini kematian
dan kiamat membawa manusia dan alam semesta menjadi tiada (al-
Ma’du>m). Di akhirat, raga manusia akan dikembalikan menjadi ada
(I‘a>dah al-Ma’du>m). Mereka mengklaim, raga manusia yang
dibangkitkan itu adalah seratus persen orisinal raga dunia dengan
kekuasaan Allah.
I‘a>dah al-Ma’du>m begitu lemah dihadapan filosof. Diragukan
raga manusia yang dikembalikan merupakan raga dunia. Teolog
227
228

beralih pada Jam’ ba’d al-Tafarruq, yaitu teori yang memandang


kematian dan kiamat membawa manusia dan alam semesta menjadi
tercerai-berai. Di akhirat, raga manusia akan dibangkitkan dengan cara
mengumpulkan kembali bagian-bagian raga yang terurai. Raga
manusia disusun ulang, sehingga dipastikan raga tersebut merupakan
raga pada kehidupan sebelumnya.
Jam’ ba’d al-Tafarruq menyelesaikan masalah keadilan, tapi
justru menimbulkan banyak permasalahan baru. Terutama
permasalahan kanibalisme, bagaimana bila manusia memakan manusia
dan telah menjadi darah dan daging? Sementara kedokteran modern
telah mampu mencangkok organ dalam manusia, kemanakah organ
dalam yang dicangkok dikumpulkan? Manusia juga berubah dari
gemuk ke kurus, anak-anak ke dewasa, muda ke tua, manusia
mengganti bagain-bagian raganya melalui makanan. Pada akhirnya,
teolog meyakini bahwa manusia memiliki bagian asal raga yang tetap
sepanjang umur. Bahkan menurut Mu’tazilah Allah wajib memelihara
bagian asal raga setiap manusia, sehingga pembalasan sampai kepada
sang pelakunya. Ahl al-Hadis mendefenisikan bagian asal raga tersebut
dengan tulang tungging (Ajab al-Zanab). Tulang tersebut ibaratkan
biji tanaman, manusia bangkit dari kuburnya seperti tanaman yang
tumbuh dari dalam tanah.
Ilmu kedokteran modern telah mematahkan keyakinan teolog
abad pertengahan. Bagian asal yang mereka yakini harus ada ternyata
tidak pernah ada. Manusia secara terus menerus mengganti raganya
sampai tidak ada satu sel lama pun kecuali telah digantikan oleh sel-
sel yang baru. Proses pergantian begitu cepat dimasa kanak-kanak dan
melambat diusia dewasa. Diperkirakan raga manusia berganti secara
keseluruhan setiap sepuluh tahun. Kebangkitan yang mengharuskan
raga akhirat adalah raga pelaku di dunia demi memelihara prinsip
keadilan mustahil akan terwujud.
Kebangkitan yang tidak memandang material raga, yaitu
kebangkitan raga dari material apapun, baik material raga dunia
maupun raga dari material yang lain merupakan teori terkuat dalam
meyakini akidah hidup setelah mati. Kebangkitan yang mengharuskan
raga dunia di akhirat berpijak dari pemikiran yang salah, yaitu
memandang manusia adalah raga, ragalah esensi seorang manusia,
ragalah yang menunjukkan seorang manusia. Padahal identitas dan
orisinalitas seorang manusia bukanlah ditentukan oleh raganya, tapi
ditentukan oleh jiwanya.
229

Jiwa dapat bergantung, mengatur dan mengendalikan raga dari


material apapun. Raga mana yang berhubungan dengan jiwa, itulah
raga manusia. Manusia secara terus menerus mengganti raganya
dengan asupan makanan, sementara jiwanya tetap dan tak berubah
sepanjang umur. Raga manusia berubah dan berganti bentuk dari bayi
menjadi anak-anak, menjadi remaja, menjadi dewasa, dan menjadi tua.
Manusia bayi adalah manusia dewasa, identitasnya tidaklah berubah,
yang berubah hanyalah raganya. Sekalipun raga akhirat bukanlah raga
dunia, yang dibalasi tetaplah manusia yang sama. Prinsip keadilan
Tuhan yang selama ini dipermasalahkan telah dapat terpenuhi. Raga
hanyalah alat, pelaku yang sebenarnya adalah jiwa manusia. Kepala
yang bersujud, lidah yang membaca al-Quran, tangan yang mencuri,
namun yang bersujud, membaca dan mencuri yang sebenarnya adalah
jiwa.
Kebangkitan raga, surga dan neraka merupakan pokok ajaran
Islam. Namun cara kebangkitan raga, apakah dengan pengembalian
yang telah tiada (I‘a>dah al-Ma’du>m) atau dengan pengumpulan bagian
asal raga (Jam’ al-Ajza’ al-As}liyah) atau pun kebangkitan raga dari
material apapun, bukanlah bagian dari dasar agama (Us}ul> al-Di>n).
Syariah tidak menjelaskan dengan pasti cara kebangkitan raga manusia
di akhirat. Semua itu hanyalah usaha untuk menghasilkan skenario
kebangkitan yang rasional, kemudian dicarikan legitimasinya dalam
al-Quran. Skenario atau cara kebangkitan raga bermuatan filosofis,
bukan teologis. Berangkat dari tujuan suci untuk menguatkan
keimanan terhadap akhirat dan mematahkan syubhat-syubhat tentang
akhirat yang merusak.

B. Saran
Kajian ini masih sangat dangkal dalam mengungkapkan akhirat
spiritual menurut filosof ketuhanan. Akhirat spiritual yang merupakan
alam ide (al-‘Aql) oleh Plato (427-347 SM) dan di Islamkan oleh
filosof muslim sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Kajian ini
terkendala sumber yang kurang mencukupi untuk itu. Karya tentang
akhirat spiritual merupakan kajian untuk kalangan khusus, tidak
beredar luas, dan sering kali dibakar karena dianggap menyesatkan.
Alangkah baiknya penulisan akhirat spiritual lebih deskriptif dan
naratif.
Penelitian ini didasari runtuhnya teori ‚pengumpulan bagian
asal raga yang tetap sepanjang umur‛ yang menjadi pendapat
230

mayoritas teolog abad pertengahan. Keruntuhan tersebut berpegang


pada ilmu kedokteran modern. Penelitian ini berpegang pada sumber
yang bukan ahli ilmu kedokteran, tetapi dari hasil penelitian
kedokteran yang diungkapkan oleh tokoh yang kurang otoritatif dalam
ilmu kedokteran. Penelitian objektif tentang tidak adanya bagian raga
yang tetap sepanjang umur secara ilmiyah dirasa sangat perlu untuk
mendukung kajian ini.
Penelitian ini banyak berpegang pada ajaran Islam dalam
menyelaraskan antara agama dan filsafat. Membandingkan akhirat
dalam ajaran Islam dan Kristen yang sama-sama menunjukkan
manifestasi kehidupan dunia (akhirat material) khususnya dalam
permasalah kebangkitan raga dirasa menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Tentunya ada perbedaan pada bagian-bagian tertentu yang bisa saja
membuyarkan teori yang telah ada. Karena Yesus, Tuhan mereka
adalah material.
Penelitian ini sering kali mengeneralisir pendapat tokoh-tokoh
tententu. Seperti akhirat spiritual yang digeneralisir merupakan
keyakinan filosof muslim. Padahal al-Kindi> (185-252 H.) tidak
menyatakan demikian. Kajian yang mengklasifikasi pemikiran teolog
dan filosof satu persatu dirasa perlu untuk menghasilkan data yang
lebih akurat. Seperti siapa saja teolog yang mengadopsi konsep jiwa
spiritual filosof? Siapa saja ulama yang meyakini akhirat material?
Atau Spiritual? Atau material dan spiritual?
Penelitian ini hanya menyungkapkan adanya tiga teori
kebangkitan raga di akhirat: I‘a>dah al-Ma’du>m, Jam’ al-Ajza’ al-
As}liyah ba’d al-Tafarruq, dan kebangkitan yang tidak memandang
material raga. Penelitian memilih dan mengklaim teori kebangkitan
raga dari material apapun, yang membangkitkan manusia dilihat dari
sisi jiwanya saja dan mengabaikan material merupakan teori terkuat.
Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk memunculkan teori baru
yang lebih kuat dalam membangun akidah hidup setelah mati.
DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-‘Azi>z Muhammad al-Zaki>. Qis}s}ah Bu>za>. Cairo: Muassasah al-


Mat}bua>t al-Hadi>thah, tt.
‘Abd al-Jabba>r, Al-Qa>d}i Abi al-H}asan al-Asad al-Aba>di>. Al-Mugni fi
Abwa>b al-Tauhi>d wa al-‘Adl. Ed. Ibrahim Madku>r. tt: Abu
Muslim al-Mu’tazili>, 1958. Vol. XI
‘Abd Allah, Muhammad Fath}i>. Mutarjimu> wa Sharra>h} Arist}u ‘Ibra al-
‘Us}u>r. Alexandria: Dar al-Delta>, 1994.
‘Abd al-Rahma>n, Muhammad. Al-Kindi: Falsafatuha> al-Muntakhaba>t;
Risa>lah fi al-Qaul fi al-Nafs. Beiru>t: ‘Uwaida>t, 1985, Cet. I.
‘Abd al-Ra>ziq, Mustafa. Tamhi>d li Ta>ri>kh al-Falsafah al-Isla>miyah.
Cairo: Maktabah al-Usrah, 2007.
‘Abduh, Imam Muhammad. Al-A’Ma>l al-Ka>milah. Ed. Muhammad
‘Imarah. Beirut: Dar al-Shuruq, 1993.
Abduh, ‘Isa dan Ahmad Ismail Yahya. Haqi>qah al-Insa>n. Cairo: Da>r al-
Ma’arif, 1988, Cet. 2.
Abu ‘Ilwa>n, H{ayah ‘I<d. Tabiqa>t al-Umam: Dira>sah wa Tahqi>q. Beiru>t:
American University, 1983.
Abu Daud, Imam al-H{afi>z} Sulaima>n ibn al-Ash‘ab al-Azdi> al-Sajista>ni>.
Sunan Abi Daud. Beiru>t: Da>r al-Risa>lah al-‘A<lamiyah, 2009.
Abu Qah}f, Muhammad Mahmu>d. Madrasah al-Iskandariah al-
Falsafiyah; Ta>ri>kh al-H{ad}ari> wa al-H{iwa>r al-Thaqafi Baina al-
Falsafah wa al-Di>n. Alexandria: Da>r al-Wafa’ li Dunya>, 2004,
Cet, I.
Abu Rayya>n, Muhammad ‘Ali. Tari>kh Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m.
Alexandria: Dar al-Ma’rifah al-Ja>mi‘ah, 1992.
---------. Ta>ri>kh Fikr al-Falsafi>: Arist}u wa Mada>ris al-Mutaakhirah.
Alexandria: Dar al-Ma’rifah al-Ja>miah, 1972, Cet. III.
Abu Zahrah, Muhammad. Al-Diyana>t al-Qadi>mah. Beirut: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, tt.
Al-Ahwa>ni>, Ahmad Fuad. Fajr Falsafah al-Yuna>niah Qabla Suqra>t}.
Cairo: Dar Ih}ya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1954, Cet. I.
---------. Al-Kindi> al-Failasu>f al-‘A<rab. Cairo: Muassasah al-Mas}riyah
al-‘A<mah, 1964.
---------. Al-Falsafah al-Isla>miyah. Cairo: al-Hai’ah al-Masriyah al-
‘A<mah li al-Kutub, 1985.

231
232

---------. Mada>ris al-Falsafiyah. Cairo: al-Da>r al-Mas}riyah, 1965.


‘Aqqa>d, Abbas Mahmu>d. Allah. Cairo: Dar Nahd}ah Masri li al-T{iba’ah
wa al-Tauzi’, 1998.
---------. Insa>n fi al-Quran. Cairo: Nahd}ah Mis}r, tt.
---------. Al-Falsafah al-Quraniyah. Beiru>t:Dar al-Kita>b al-Lubna>ni>,
1986.
‘At}i>t}u>, Harbi> ‘Abba>s. Al-Falsafah al-Qadi>mah: min al-Fikr al-Sharqi>
ila al-Falsafah al-Yuna>niyah. Alexandria: Dar al-Ma’rifah al-
Ja>miah, 1999.
---------. Mala>mih} al-Fikr al-Falsafi> inda Yu>na>n. Alexandria: Dar al-
Ma’rifah al-Ja>mi‘ah, 1992.
‘Azza>m, Mahfu>z}. Fi Falsafah al-Tabi>‘iyah inda al-Ja>h}iz. Al-Minya>:
Da>r al-Hida>yah, 1995.
Al’Asqala>ni, Ibn H}ajar >. Fath} al-Ba>ri. Ed. Abd al-Qa>dir Shaibah al-
Hamd. Riya>d}: Maktabah al-Malik al-Fahd}, 2001, Cet. I.
Al-A’z}ami, ‘Ali Z{arif. Al-Duwal al-Farisiyah fi al-Irak. Bagdad:
Mat{ba’ah al-Fura>t, 1928
Al-A<lu>si>, Abu al-Fad} Shiha>b al-Di>n. Ruh al-Ma‘a>ni fi Tafsi>r al-Quran
al-‘Az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni>. Beirut: Dar ih}ya’ al-Turasth
al-‘Arabi>, tt.
Al-Ami>r, Muhammad. H{ashiyah ‘ala> Sharh} al-Shaikh ‘Abd al-Sala>m
‘ala> al-Jauharah fi Ilm al-Kala>m. Cairo: al-Mat}ba‘ah al-
Azhariyah, 1342 H.
Al-As}faha>ni>, Abu Muslim. Mausu>‘ah Tafa>si>r al-Mu’tazilah: Ja>mi’ al-
Ta’wi>l li Muhkam al-Tanzi>l. Ed. Khid}ir Muhammad Banha>.
tt: Abu Salu>m al-Mu’tazili>, tt.
Al-As‘ari>, Abu Hasan. Maqa>la>t al-Islamiyi>n wa Ikhtila>f al-Mus}alli>n.
Ed. Muhammad Muh}y al-Di>n ‘Abd al-H{ami>d. Cairo:
Maktabah al-Nahd}ah al-Masriyah, 1950.
Al-Qa>simi>, Jamal al-Di>n. Maha>sin al-Ta’wi>l. Ed. Muhammad ‘Abd al-
Ba>qi>. tt: tp, 1957.
Al-Qamani, Mahmud Sayyid. Osiris: Rab al-Thaurah wa ‘Aqidah al-
Khulu>d fi Misr. Ed. Ahmad Amin. Cairo: Al-Markaz al-Mas}ri li
Buhu>th al-H}ad}arah, 1999.
Al-Qurt}u>bi>, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr. Al-
Tadhkirah bi Ahwa>l al-Mauta> wa Umu>r al-A<khirah. Ed.
Ahmad ‘Abd al-Razza>q al-Bakri>dan Muhammad ‘A<dil
Muhammad. Cairo: Da>r al-Sala>m, 2008, Cet. II.
233

---------. Al-Tadhkirah bi Umu>r al-Mauta> wa Ah}wa>l al-A<khirah. Ed.Al-


S{a>diq ibn Muhammad ibn Ibrahi>m. Riya>d}: Dar al-Minha>j,
1425 H.
---------. Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Quran: Wa al-Mubayyin lima
Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A<i al-Furqa>n. Ed. ‘Abd
Allah ibn ‘Abd al-Hasan al-Turki>. Beirut: Maktabah al-
Risa>lah, 2006, Cet. I.
Al-Ra>zi, Al-Imam Fakhr al-Di>n. Al-Ma’a>lim fi Us}ul> al-Di>n. Ed. ‘Adil
Muhammad Abd al-Mauju<d dan ‘Ali Muhammad Mu’awid}.
Cairo: Dar al-‘A>lam al-Ma’rifah, 1994.
---------. Asa>s al-Taqdi>s. Ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa>. Beirut: Dar al-
Jail, 1993, Cet I.
---------. Mah}s}al al-Afka>r al-Mutaqaddimin wa al-Mutaakhiri>n min al-
‘Ulama>’ wa al-H}ukama>’ wa al-Mutakallimi>n. Ed. T{aha Abd al-
Rau>f Sa’d. Cairo: Maktabah al-Kulliya>t al-Azhariyah, tt.
---------. Mafa>tih al-Gaib. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981, Cet. I.
---------. Arba‘i>n fi Us}ul al-Di>n. Ed. Ah}mad H{ija>zi> al-Saqa>. Cairo:
Maktabah al-Kullya>t al-Azhariyah, 1986.
---------. Al-Nafs wa al-Ru>h} wa Sharh} Quwa>huma>. Ed. Muhammad
Ma’s}u>m H{asan al-Ma’s}u>mi>. Islamabad: Islamic Research
Institute, tt.
---------. Maba>hith al-Mashriqiyah: fi 'Ilm al-Ila>hiya>t wa al-T{abi>'i>ya>t.
India: Maktabah Da>irah al-Ma'a>rif, 1343 H.
---------. Mah}s}al al-Afka>r al-Mutaqaddimin wa al-Mutaakhiri>n min al-
‘Ulama>’ wa al-H}ukama>’ wa al-Mutakallimi>n, Ed. T{aha Abd al-
Rau>f Sa’d. Cairo: Maktabah al-Kulliya>t al-Azhariyah, tt.
Al-S{afa>, Ikhwa>n. Rasa>il Ikhwa>n al-S{afa> wa Khulla>n al-wafa>’. Beiru>t:
Da>r al-S{a>dir, tt,
Al-Sa’da>ni, Mahmud Ibrahim >. H{ad}arah al-Ru>ma>n: Mundhu Nashah
Ru>ma h}atta Niha>yah al-Qurn al-Awwal al-Mila>di>. Mesir: ‘Ain
li al-Dirasa>t wa al-Buhuth al-Insaniyah, 1998, Cet. I.
Al-Saffa>raini>, Abu ‘Abd Allah ibn Sulaima>n. Al-Buh}u>r al-Za>khirah fi
‘Ulu>m al-A<khirah. Ed. Muhammad Ibrahi>m Shalabi>. Kuwait:
Garra>s, 2007, Cet. I.
Al-Sayu>t}i>, Jala>l al-Di>n. Al-Du>r al-Manthu>r fi Tafsi>r bi al-Ma’thu>r.
Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1993.
---------. Tari>kh al-Khulafa’. Beiru>t: Da>r Ibn H{azm, 2003.
234

Al-Sha’ra>ni>,‘Abd al-Wahha>b. Al-Qawa>id al-Kashfiyah al-


Muwad}di} h}ah li al-Ma‘a>ni al-S{ifa>t al-Ila>hiyah. Ed. Mahdi>
As‘ad ‘Arra>r. Beiru>t: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006, Cet. I.
Al-Shahrasata>ni, Abu al-Fath Muhammad ibn ‘Abd al-Kari>m Ahmad.
Al-Milal wa al-Nih}al. Ed. Ami>n ‘Ali Mihna> dan ‘Ali Hasan
Fa>r’ur. Beirut: Dar al-Ma’rifah,1993, Cet. III.
Al-Shira>zi>, S{ad al-Di>n Muhammad. Al-Mabda’ wa al-Ma’ad. Ed.
Sayyid Jala>luddin al-A<shiyata>ni>. Tehran: Markaz Intishara>t
Daftar Tabliga>t Islami>, 1422 H.
Al-Subki>, Mah}mu>d Muh}ammad Khita>b.Al-Manhal al-‘Adhb al-
Mauru>d. Beiru>t: Muassasah al-Ta>ri>kh al-‘Arabi>, tt.
Al-T{abari>, Abu Ja’far Muhammad ibn Jari>r. Ja>mi’ al-Baya>n fi Ta’wi>l
Ayyi al-Quran. Cairo: Maktabah Ibn Taymiyah, tt.
Al-Tafta>za>ni, Mas‘u>d ibn ‘Umar ibn ‘Abd Allah Sa’d al-Di>n >. Sharh} al-
Maqa>shid. Ed. ‘Abd al-Rahma>n al-Ami>rah. Beirut: ‘A<lah al-
Kutub, 1998, Cet II.
---------. Sharh} al-‘Aqa>id al-Nasafiyah. Ed. Ah}mad H{ija>zi> al-Saqa>.
Cairo: Maktabah Kulliyah al-Azhariyah, 1988.
Al-Tirmi>dhi>, Al-Ima>m al-Ha{fiz} Muhammad ibn ‘Isa> ibn Saurah. Sunan
al-Tirmidhi>. Ed. Na>sir al-Di>n al-Alba>ni>. Riyad}: Maktabah al-
Ma‘a>rif, 1413 H., Cet I.
Al-Wa>fi, Ali ‘Abd al-Wa>hid >. Al-Asfa>r al-Muqaddasah fi al-Adya>n al-
Sa>biqah li al-Isla>m. Cairo: Maktabah Nahd}ah Misr bi al-
Fuja>lah,1964, Cet. I.
Ami>n, Ahmad dan Zaki> Najib Mahmu>d. Qis}s}ah al-Falsafah al-
Yuna>niyah. Cairo: Dar al-Kutub al-Mas}riyah, 1935.
Aristoteles. Kita>b al-Nafs. Trans. Ahmad Fua>d al-Ahwa>ni>. Cairo, Da>r
ih}ya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1949.
---------. Ma> Ba’da al-T{abi>‘ah. Ed. ‘Abd al-Rah}ma>n Badawi. Cairo,
Maktabah al-Usrah, 1995.
Aydin, Ali Arslan. Al-Ba’th wa al-Khulud baina al-Mutakallimin wa
al-Fala>sifah. Istanbul: Dar Sakha>, 1998.
Ba>sha, Ismail Ba>sha al-Bagda>di. Hadiyah al-‘A<rifi>n: Asma>’ al-
Muallifi>n wa Atha>r al-Mus}annifi>n. Beirut: Dar Ih}ya’ al-Turath
al-‘Arabi>, tt. Vol. I.
Badawi, ‘Abd al-Rah}ma>n. Ari>st}u> ‘inda al-‘Arab: Dira>sah wa Nus}us}
gair al-Manshurah. Kuwait: al-Waka>lah al-Mat}bu‘a>t, 1978.
---------. Min Tari>kh al-Ilh}ad> fi al-Isla>m. Cairo: Si>na> li al-Nashr, 1993.
235

---------. Muallafa>t al-Gaza>li>. Kuwait: Waka>lah al-Mat}bu‘a>t, 1977, Cet.


II
Al-Ba>qila>ni>, Abu Bakr. Tamhi>d al-Awa>il wa Talkhi>s al-Dala>il. Ed.
‘Ima>d al-Di>n Ahmad H{aidar. Beiru>t: Muassasah al-Kutub al-
Thaqa>fiyah, 1987.
Al-Baid}awi, Na>sir al-Di>n Abdullah ibn ‘Umar. T{awa>li’ al-Anwa>r min
Mat}ali’ al-Anz}a>r. Ed. Muhammad Rabi’ Jauhari. Cairo: Dar al-
I’tis}a>m, 1998.
Bahi>, Muhammad. Ja>nib al-Falsafi fi Fikr al-Isla>mi>. Cairo: Maktabah
Wahbah, 1982.
Al-Bagawi>, Abu Muhammad al-Husain Ibn al-Mas’u>d. Ma‘a>lim al-
Tanzi>l. Riyad}: Dar T{ayyibah, 1411 H.
Al-Bagda>di, Abi Mans}u>r ‘Abd al-Qa>hir ibn T{ahir Muhammad. Al-
Farqu baina al-Firaq. Ed. Muhammad ‘Uthma>n al-Khushin.
Cairo: Maktabah Ibnu Sina, tt.
Al-Bagda>di>, Abu al-Baraka>t. Al-Mu’tabar fi al-H}ikmah. tt.: Jam‘iyah
al-Ma‘a>rif al-Uthma>niyah, 1357 H.
Al-Balkhi, Abi Qas>sim dan Al-Qa>d}i ‘Abd al-Jabbar al-Hamda>ni> dan
Al-Ha>kim al-Jushammi>. Fad}l al-I’tiza>l wa al-T{abiqa>t al-
Mu’tazilah . Ed. Fuad Sayyid. Cairo: Dar al-Tunisia li al-Nashr,
tt.
Al-Bashati>, Jami>lah Muh}y al-Di>n. S{adr al-Di>n al-Shi>ra>zi> wa
Mauqifuhu al-Nuqdi> li Maza>hib al-Kalamiyah. Beirut: Da>r al-
‘Ulu>m al-‘Arabiyah, 2008.
Al-Brujurdi>, Sayyid ‘Ali. T{ara>if al-Maqa>l. Shiaonlinelibrary, Vol. II
Al-Bukha>ri, Ima>m Abu ‘Abd Allah ibn Isma>’il. Shahi>h al-Bukha>ri>.
Riyad}: Bait al-Afka>r al-Dauliyah, 1998.
Cherny, Jaroslv. Al-Diya>nah al-Masriyah al-Qadi>mah.Trans. Ahmad
Qadri>. Cairo: Dar al-Shuru>q, Cet I, 1996.
Al-Dhahabi, Imam Shams al-Di>n Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Uthma>n.
Siyar al-A’la>m wa al-Nubala’. Beirut: Muassasah al-Risa>lah,
1983.
Al-Dhahabi>, Muhammad Husain. Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Cairo:
Maktabah Wahbah, 2000.
Dunya>, Sulaima>n. Haqi>qah fi Naz}r al-Gaza>li>. Cairo: Da>r al-Ma’rifah,
1965.
Durant, Will. Qis}s}ah al-Falsafah: min Afla>tu>n ila Johnny Dio. Trans.
Fath Allah Muhammad al-Musha’sha’. Beiru>t: Maktabah al-
Ma‘a>rif, 1988.
236

---------. Qis}s}ah al-H{ad}a>rah: al-Hind wa Jira>nuha>. Trans. Zaki Najib


Mahmu>d. Beirut: Dar al-Jail, 1988.
Al-Eiji, ‘Ad}d}uddin al-Qa>d}i ‘Abd al-Rahma>n. Al-Mawa>qif. Beirut:
A<lam al-Kutub, tt.
Fa>lih, Abu ‘Abdillah ‘A<mir Adbillah }. Mu’jam Alfa>z} al-‘Aqi>dah.
Riyad}: Maktabah al-‘Abi>kah, 1997.
Al-Fara>bi>, Abu Nas}r. Majmu’ al-Rasa>il: ‘Uyu>n al-Masa>il. Cairo:
Maktabah al-Usrah, 2007.
---------. Fus}u>s al-Hikam. Ed. Muhammad A<li> Ya>si>n. (Bagda>d: al-
Ma‘a>rif, 1976.
---------. Jam’ baina Ra’y al-H{akimain. Ed. Albi>r Nas}ri> Na>dir. Beiru>t:
Da>r al-Mashriq, 1986.
Fa>ris, Muhammad. Mausu>‘ah ‘Ulama’ al-‘Arab wa al-Muslimi>n:
‘Ulama’, Muhandisu>n , Mukhtari‘u>n. Beiru>t: Muassasah al-
‘Arabiyah li al-Dirasa>t wa al-Nashr. 1993.
Fakhri>, Ma>jid. Arist}u> T{al> is Mu ‘allim al-Awwal. Beiru>t: Maktabah al-
Kathu>likiyah, 1958.
---------. Ta>ri>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah: min T{ali>s, Aflut}i>n, Buqli>s.
Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayi>n, 1991.
Farha>t, Yusuf. Falsafah al-Isla>miyah wa A’lamuha>. Cairo: Tradiksim,
Cet. I, 1986.
Ga>lib, Must}fa. Aflu>ti>n. Beiru>t: Maktabah al-Hila>l, 1987.
Gallab, Muhammad. Al-Falsafah al-Sharqiyah. Cairo, Mat}ba’ah al-
Bait al-Akhd}ar, 1938.
Al-Gara>bah, H{amu>dah. Abu al-H{asan al-Ash‘ari>. Cairo: Mat}a>bi’ al-
Ami>riah, 1973.
Al-Ghaza>li, Hujjah al-Islam Abu Ha>mid. Al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d. Ed.
Husain A<tai. Ankara: Nur Matbaasi,1962
---------. Al-Munqidh min al-D{ala>l. Ed. Sa’d Kari>m al-Faqi>.
Alexandria: Dar Ibn Khildu>n, tt.
---------. Fad{ai> h} al-Ba>t}ini>yah. Ed. Abdurahman Baddawi. Cairo: Dar al-
Qaumiyah, 1964.
---------. Fais}al al-Tafarruqah Baina al-Isla>m wa al-Zindiqah. www. al-
Mostafa.com, tt.
---------. Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n. Ed. Badawi T{iba>nah. Semarang:
Krapyak Putra, tt.
---------. Iqtis}ad fi al-I’tiqa>d. Ed. Ibrahim Agah Cobukcu dan Husein
Atay. Ankara: Nu>r Mat}ba>si>, 1962.
237

---------. Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d. Ed. Ins}af> Ramad}a>n. Beirut: Dar Qutaibah,


2003, Cet I.
---------. Ma’a>rij al-Quds fi Mada>rij Ma’rifah al-Nafs. Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1988, Cet. I.
---------. Miza>n al-‘Amal. Ed. Sulaima>n Dunya. Cairo: Dar al-Ma’a>rif,
1964, Cet. I.
---------. Qawa>id al-‘Aqa>id. www. Al-Mostafa.com, tt.
---------. Taha>fut al-Fala>sifah. Ed. S{ala>h}uddin al-Hawwa>ri>. Beirut: al-
Maktabah al-‘As}riyah, 2004.
---------. Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n. Semarang: Karya Toha Putra, tt.
---------. Al-Durrah al-Fa>khirah fi Kashf ‘Ulu>m al-A<khirah. Ed.
Muwaffiq Fauzi al-Jabar. Damaskus: Al-Hikmah, 1995.
---------. Kimiya>’ al-Sa‘a>dah. Ed. Muhammad ‘Abd al-‘Ali>m. Cairo:
Maktabah al-Qur’a>n, 1987.
H{arfu>sh, Ashraf. Falsafah al-Kala>m ‘inda Ima>m al-H{aramain al-
Juwaini. Damaskus: al-H{ismah, 1994.
Al-Harawi>, ‘Ali ibn Sult}a>n al-Qa>ri>. Al-Mas}nu>’ fi Ma’rifah al-H{adi>th
al-Maud}u’. Ed. ‘Abd al-Fatta>h} Abu Guddah. Beiru>t:
Muassasah al-Risa>lah, 1398 H.
Herodotus. H{uru>b baina al-Igri>q wa al-Furs (Tari>kh Herodotus). Trans.
‘Abd al-Ilah al-Mila>h}. Abu Dhabi: al-Mujamma’ al-Thaqa>fi>,
2001.
Husain, T{ah}a>. Falsafah ibn Khaldu>n al-Ijtima>‘iyah: Tahli>l wa Naqd.
Cairo: Maktabah al-I’tima>d, 1925.
Al-H{illi>, Jamaluddin al-Hasan ibn Yu>suf ibn Al-Mut}t}ahhir ‘Ali ibn.
Kashf al-Mura>d fi Sharh} Tajri>d al-‘Aqa>id. Beirut: Muassasah
al-A’lami, tt.
Al-Jarja>ni, Al-Sayyid al-Shari>f Ali ibn Muhammad. Sharh} al-Mawa>qif
li Ad}d}uddi>n al-Eiji. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.
Al-Jauzi>, Al-Ima>m Ibn Qayyim. Al-Fawa>id. Beirut: Dar Maktabah al-
Haya>h, tt.
---------. Al-Ru>h. Edir. Muhammad Muhammad Ta>mir. Cairo: Dar al-
Taqwa, 2003.
---------. Al-Tibya>n fi Aqsa>m al-Qur‘an. www.al- Mostafa.com, tt.
---------. Mada>rij al-Sa>liki>n baina Mana>zil Iyya>ka Na’budu wa Iyya>ka
Nasta’in. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
---------. D{au al-Muni>r ‘ala> al-Tafsi>r. Ed. ‘Ali> al-Muhammad al-
Muhammad al-S{a>lihi>. Riyad}: Maktabah Dar al-Sla>m, tt.
---------. Al-Ru>h. Ed. Muhammad Ta>mir. Cairo: Dar al-Taqwa, 2003.
238

---------. Al- ‘Ilal al-Mutana>hiyah fi Ah{adi>th al-Wa>hiyah. Ed. Syaikh


Khali>l al-Mais. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1983.
---------. H{a>di> al-Arwa>h} ila Bila>d al-Afra>h{. Cairo: Maktabah al-
Mutanabbi>, tt.
---------. I’la>m Muqa’i>n ‘an Rabbi al-‘Alami>n. Saudi Arabia: al-Da>r
Ibnu al-Jauziah, 1423 H.
Al-Jundi, Anwa>r. Al-Isla>m fi al-Muwa>jahah al-Falsafah al-Qadi>mah.
Beirut: Dar al-Kita>b al-Lubna>ni>, 1987.
Al-Jundi>, ‘Abd al-H{ali>m. Ima>m al-Sha>fi‘i>: Na>s}ir al-Sunnah, Wa>d}i’ al-
Us}ul> . Cairo:Da>r al-Ma‘a>rif, 1994, Cet. IV.

Ibn ‘Abd al-Bar, Abu ‘Umar al-Qurt}ubi>. Tajri>d al-Tamhi>d Li Ma> fi al-
Muwat}ta’ min al-Ma‘a>ni> wa al-Masa>ni>d. Ed. Mus}tafa> ibn
Ah}mad al-‘Alawi dan Muh}ammad ‘Abd al-kabi>r al-Bakri>. Al-
Riba>t}: Waza>rah Shuu>n al-Isla>miyah bi al-Magrib, 1963, Vol.
XIV.
Ibn al-Firka>h, Ibrahi>m al-Fazza>wi> al-Shafi‘i>. Sharh} al-Waraqa>t li Ima>m
al-H{aramain al-Juwaini. Ed. Sa>rah Sha>fi> al-Ha>jiri>. Kuwait: Da>r
al-Bashsha>ir al-Isla>miyah, 1997 H.
Ibn al-Ima>d, Abu al-Fala>h ‘Abd al-H{ai al-Hanbali>. Shadhara>t al-Zahab
fi Akhba>r man Zahab. Beiru>t: Dar al-Masi>rah, 1979, Vol. VI.
Ibn al-Murtad}a>, Ahmad ibn Yah}ya. T{abiqa>t al-Mu’tazilah. Beiru>t:
Muassasah Dimasq, 1987, Cet. II.
Ibn al-Nadi>m , Abu al-Farj Muhmmad ibn Ish}aq. Kita>b al-Fihrisat. Ed.
Rid}a-Tajaddud. Tt. www.waqfeya.com, 2008.
Ibn Ba>jjah, Abu Bakr Muhammad al-Andalu>si>. Kita>b al-Nafs. Ed.
Muhammad S{agi>r H{asan al-Ma’s}u>mi>. Beiru>t: Da>r S{a>dir, 1991.
Ibn H{anbal, Ima>m Ahmad. Al-Musnad. Ed. Syaikh Shu ‘aib Arnaut}.
Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1995.
Ibn H}unain, Isha>q. Tari>kh al-At}ibba’ wa al-Fala>sifah. Ed. Fua>d Sayyid.
Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1985.
Ibn Juljul, Abu Dau>d Sulaima>n H{assa>n al-Andalu>si>. T{abiqa>t al-At}ibba’
wa al-Hukama’. Ed. Fua>d Sayyid. Beiru>t: Muassasah al-
Risa>lah, 1985.
Ibn Kamu>nah, Sa’ad ibn Mans}ur al-Yahu>di>. Tanqi>h al-Abha>s li al-
Milal al-Thalath. tt: Dar al-Ans}ar, tt.
Ibn Kathir, ‘Ima>d al-Di>n Abi al-Fida’ Ismail ibn ‘Umar. Al-Bidayah
wa al-Niha>yah. Giza: Dar Hijr li al-T{iba’ah wa Tauzi’, 1997.
239

---------. Tafsi>r al-Quran al-‘Az}i>m. Giza: Maktabah Aula>d Syaikh li al-


Turath, 2000, Cet. I.
Ibn Khildu>n, ‘Abd al-Rah}ma>n. Luba>b al-Mah}s}al fi Us}ul> al-Di>n. Ed.
‘Abbas Muh}ammad H{asan Sulaima>n. Alexandria: Da>r al-
Ma’rifah al-Ja>mi‘ah, 1996.
---------. Muqaddimah al-Tari>kh. Ed. Khali>l Shah}a>dah. Beiru>t: Da>r al-
Fikr, 2001.
---------. Luba>b al-Mahs}al fi Us}ul al-Di>n. Ed. ‘Abbas Muhammad
Hasan Sulaima>n. Cairo: Dar al-Ma’rifah al-Ja>mi’ah, 1996.
Ibn Khilka>n, Abbu ‘Abba>s. Wafya>t al-A’ya>n wa Anba’ Abna’ al-
Zama>n. Beirut: Dar al-S}a>dir, tt.
Ibn Manz}u>r, Abu al-Fad}l Jamal al-Di>n Muhammad ibn Mukarram al-
Afri>qi> al-Mas}ri>. Lisa>n al-‘Arab. Beiru>t: Da>r S{a>dir, tt.
Ibn Rushd, Abu al-Wali>d al-Andalusi. Fas}l al-Maqa>l fi>ma> baina al-
hikmah wa al-Shari>’ah min al-Ittis}al. Ed. Muhammad ‘Imarah.
Cairo: Dar al-Ma’arif, 1999, Cet III.
---------. Taha>fut al-Taha>fut. Ed. S}ala>h} al-Di>n al-Hawwari. Beirut:
Maktabah al-‘As}riyah, 2008.
---------. Taha>fut al-Tahafut. Ed. S{alah}uddin al-H{awwari. Beirut: al-
Maktabah al-‘As}riyah, 2008
---------. Talkhi>s Kita>b al-Nafs. Ed. Ibrahi>m Madku>r. Cairo, Majlis al-
A’la> lial-Thaqa>fah, 1994.
Ibn Si>na>, Al-Isha>ra>t wa al-Tanbi>ha>t. Ed. Sulaiman Dunya>. Cairo: Da>r
al-Ma‘a>rif, 1985, Cet. III.
---------. Al-Mabda’ wa al-Ma‘a>d, Ed. ‘Abd Allah Nu>ra>ni>. T{ehra>n:
Institute of Islamic Studies McGill University Tehran Branch,
1984.
---------.Al-Naja>h} fi al-Mant}iq wa al-Ila>hiya>t. (tt: www.al-
Mostafa.com , tt).
---------. Al-Shifa>: al-T{abi’iya>t. Beiru>t: M.A.I.D, 1988.
---------. Kitab al-Nafs: Fan al-Sa>dis min al-T{abi’iya>t. Beiru>t: M.A.I.D,
1988.
---------. Risa>lah Ad}h}awiyah fi Amri al-Mi’a>d. Ed. Sulaiman Dunya>.
Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1949, Cet I.
---------. ‘Uyu>n al-Hikmah. Ed. Abd al-Rah}ma>n al-Badawi>. Beirut: Da>r
al-Qalam, 1980.
Ibn Taimiyah, Shaikh al-Isla>m . Minha>j al-Sunnah al-Nabawiyah fi
Naqd} Kala>m al-Shi‘ah al-Qadariyah. Ed. Muh}ammad Risha>d
Sa>lim. Riya>d}: Ja>mi‘ah Ibn Su‘u>d al-Isla>miyah, 1986.
240

---------. Majmu>’ al-Fata>wa>. Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd, 2004.


---------. Majmu‘ah al-Risa>lah al-Muniriyah: Risa>lah fi al-Aql wa al-
Ru>h. Ed. Muhammad Muni>r ‘Abduh. Damaskus: T{iba>‘ah al-
Muniriyah, 1343 H.
---------. Al-Nubuwa>t}. Ed. Ibrahi>m Ramad}a>n. Beiru>t: Dar al-Fikr al-
Lubna>ni, 1992, Cet. II.
---------.Dar‘u Ta’a>rud} al-Aql wa al-Naql. Ed. Muhammad Rasha>d
Sa>lim. Saudi Arabia: Ida>rah Thaqa>fah wa al-Nashr bi al-
Jami’ah al-Isla>miyah, 1991, vol I, Cet II.
---------. Majmu’ al-Fata>wa>. Mansora: Dar al-Wafa’, 2005.
---------. Thubu>t al-Nubu>wa>t ‘Aqlan wa Naqlan wa al-Mu’jiza>t wa al-
Kara>ma>t . Cairo: Da>r Ibn al-Jauzi>, 2006.
‘Ima>rah, Muhammad. Tayya>ra>t al-Fikr al-Isla>mi. Cairo: Dar al-Shuru>q,
1997. Cet. II.
---------. Al-Salaf wa al-Salafiyah. Cairo: Kementrian Perwaqafan
Republik Arab Mesir: 2008.
---------. Maqa>m al-‘Aql fi al-Islam. Cairo: Nahd}ah Masr li al-T{iba’ah
wa al-Tauzi’, 2008, Cet I.
---------. Raf’ al-Mala>m ‘an Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyah. Isma‘iliyah:
Maktabah al-Ima>m al-Bukhari>, 2007.
Im Hero, Breet. Kita>b al-Mauta> al-Fir’auni>. Trans. Fi>li>p ‘At}iyah.
Cairo: Maktabah al-Madbu>li, 1988, Cet.I.
Jum‘ah, Muhammad Lut}fi. Tari>kh Fala>sifah al-Isla>m. Cairo: Maktabah
al-Usrah, 2007.
Kafu>ri, Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n ‘Abd al-Rah}i>m al-Muba>r >.
Tuh}fah al-Ah}wa>dhi>: Sharh} Ja>mi’ al-Tirmidhi>. Ed. ‘Abd al-
Rah}ma>n Muh}ammad ‘Usthma>n. Damaskus: Da>r al-Fikr, tt.
Kelinxl, Horst. H{amu>rabi> wa ‘As}rihi. Trans. Muhammad Wahid al-
Khayyat}ah. Suriah: Dar al-Mana>r li al-Dira>sa>t wa al-Tarjamah
wa al-Nashr, 1990 , Cet. 1.
Kha>n, Wah}iduddin. Al-Isla>m Yatah}adda: Madkhal al-Ilmi> ila al-
Ima>n.Trans. Z{afar al-Isla>m Kha>n. Cairo:Maktabah al-Risa>lah,
2000.
Khali>f, Fath} Allah. Ibn Si>na> wa Mazhabuhu fi al-Nafs. Beiru>t: Da>r al-
Ah}ad, 1974.
Khashim, ‘Ali Fahmi. Jabba>iya>ni: Abu Ali wa Abu Hashim. Libya:
Mat}ba’ah Turablus, 1967.
Al-Khati>b, Muhammad ‘Ijja>j. Abu Hurairah: Ra>wiyah al-Isla>m. Cairo:
Maktabah Wahbah, 1982, Cet. III.
241

Al-Khayyu>n, Rashi>d. Mu’tazilah Bas}rah wa Bagda>d. London: Da>r al-


Hikmah, 1997\, Cet. I.
Al-Kindi>, Abu Yu>suf Ya’qu>b ibn Ish}aq. Al-Rasa>il al-Kindi al-
Falsafiyah: Risa>lah fi H{udu>d al-Ashya’ wa Rusu>miha. Ed.
Muhammad ‘Abd al-Ha>di> Abu Ri>dah. Cairo: Da>r al-Fikr al-
‘Arabi>, 1978, Cet. II.
---------. Al-Rasa>il al-Kindi al-Falsafiyah: Risa>lah fi al-Qaul fi al-Nafs,
al-Mukhtas}ar min Kita>b Arist}u> wa Afla>tu>n wa Sa>ir al-
Falasifah. Ed. ‘Abd al-Ha>di> Abu Ri>dah. Cairo: Mat}ba‘ah al-
H{assa>n,1978.
Kira>m,Yu>suf. Ta>ri<kh al-Falsafah al-Yuna>niyah. Cairo: Mat}ba‘ah al-
Jannah, 1936.
Komisi Dosen Fakultas Akidah Filsafat Universitas al-Azhar. Qad}aya>
Falsafiyah fi H{ad}a>rah al-Magrib al-Isla>miyah. Zagazig: Dar al-
Islamiyah, 2007.
Ma’s}u>m, Fua>d. Ikhwa>n al-S{afa>: Falsafatuhum wa Ga>yatuhum. Suriah:
Dar al-Madi>, 2002
Al-Magribi>, Ali ‘Abd al-Fatta>h. Al-Fikr al-Di>ni al-Sharqi al-Qadi>m wa
Mauqif al-Mutakallimi>n. Cairo: Maktabah Wahbah, 1996.
Mahmu>d, Zaki Najib. Muh}awara>t Afla>t}un .Cairo: Maktabah al-Usrah,
2005.
Al-Mana>wi>, Al-Ima>m ‘Abd al-Rau>f. Kawa>kib al-Durriyah fi Tara>jum
al-Sa>dah al-Su>fiyah. Ed. ‘Abd al-S{a>lih} Himda>ni>. Cairo:
Maktabah al-Azhariyah li al-Turath, tt.
Marhaba>, Muhammad ‘Abd al-Rah}ma>n. Tari>kh al-Falsafah al-
Yuna>niyah min Bida>yatiha> h}atta> al-Marh}alah al-Helensiyah.
Beiru>t:’Izz al-Di>n, 1992.
Maskawaih, Abu ‘A<li>. Tahzi>b al-Akhla>q wa Tat}hi>r al-A’ra>q. Ed. Ibn
al-Khati>b. Cairo: Mat|baah al-Mas}riah, 1924.
Al-Masa>mi>, Muh}ammad al-Mukhta>r Muh}ammad. Al-Madhhab al-
Ma>liki>: Mada>risuhu wa Muallifatuhu – Khas}aisuhu wa
Sama>matuhu. Uni Emirat Arab: Zayed Center for Heritage and
History, 2002.
Mat}ar, Ami>rah H{ilmi. Al-Falsafah al-Yu>na>niyah: Tarikh wa
Mushkilatuha>. Cairo: Da>r Quba’, 1998.
---------. Jumhu>riyah Afla>tu>n. Cairo: Maktabah al-Usrah, 1994.
Miletus, Thales.Tari>kh al-Fala>sifah. Trans. Al-Sayyid ‘Abd Allah
H{asan. Cairo: Maktabah al-Thaqa>fah al-Diniyah, 2007.
242

Al-Mihna>, Tharwat H{asan ‘Abd al-Rahma>n. Fi al-Falsafah al-


Isla>miyah. Zagazig: Dar al-Isla>miyah, 2005.
Al-Mila>ni, Sayyid ‘Ali . Syaikh Nas}ir al-Di>n al-T{u>si wa Suqu>t al-
Bagda>d. (Qum: Markaz al-Abh}a>s al-‘Aqa>idiyah, 1421 H.).
Al-Mubayyad, Yasud Muhammad Sa’i>d. Al-Yaum al-Akhi>r fi al-
Adya>n al-Sama>wiyah wa al-Diya>nah al-Qadi>mah. Qatar: Da>r
al-Thaqa>fah, 1992.
Muhammad, Mahmu>d Muhammad ‘Ali>. Al-Us}u>l al-Sharqiyah li al-Ilm
al-Yuna>ni>. Mesir: ‘Ain li al-Dira>sa>t wa al-Buhu>th al-Insa>niyah
wa al-Ijtima‘iyah, 1998.
Mulla S{adra, S{adr al-Di>n Muhammad al-Shira>zi>. Al-Mabda’ wa al-
Ma’ad, Ed. Sayyid Jala>luddin al-A<shiyata>ni>. Tehran: Markaz
Intishara>t Daftar Tabliga>t Islami>, 1422 H.
Mus}tafa, Mamduh Darwish dan Ibrahim Sa>yih. Muqaddimah fi al-
Had}arah al-Ruma>niyah wa al-Yuna>niyah. Alexandria: al-
Maktabah al-Ja>mi’i> al-Hadisth, 1998
Musayyar, Muhammad Sayyid Ahmad. Al-Ru>h fi Dira>sa>t al-
Mutakallin wa al-Fala>sifah. Cairo: Dar al-Ma’arif, 2002, Cet
III.
Muslim, Abu al-H{usain Muslim ibn al-H{ujja>j al-Qushairi al-Naisabu>ri>.
S{ah}i>h} Muslim. Ed. Abu> Qut}aibah. Riya>d}: Da>r al-T{ayyibah,
2006.
Muz}ahari>, Muhammad. Al-Insa>n wa al-‘A<lam al-Barzakh. Beiru>t: Da>r
al-Muh}ajjaj al-Baid}a’, 1996, Cet. I.
Al-Mu’t}i, ‘Ali ‘Abd. Al-Fikr al-Falsafi wa al-Di>ni> fi Madrasah al-
Iskandariah al-Qadi>mah. Beirut: Da>r ‘Ulu>m al-‘Arabiyah,
1992, Cet. I.
Al-Mutawalli>, Ah}mad Mus}tafa>. Riya>d} al-Na>d}irah fi S{ah}ih} Da>r al-
A<khirah. Cairo: Da>r Ibn al-Jauzi>, 2005.
Naja>ti>, Muhammad ‘Ustma>n. Al-Dirasa>t al-Nafsaniyah ‘Inda al-
Ulama’ al-Muslimi>n. Cairo: Da>r al-Shuru>q, 1993, Cet. I.
Al-Nasa>i>, Al-Ima>m Abi ‘Abd al-Rah}ma>n Ahmad ibn Shu‘aib. Kita>b al-
Sunan al-Kubra>. Ed. H{asan ‘Abd al-Mun‘im al-Shalabi.
Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 2001, Cet I.
Al-Nawa>wi>, Muh}y al-Di>n. S{ah}i>h} Muslim bi Sharh} al-Nawa>wi>. Cairo:
al-Mat}ba‘ah al-Mas}riyah bi al-Azhar, 1929.
Al-Nashsha>r , ‘Ali Sa>mi. Mana>hij al-Bah}th inda al-Mufakkiri> al-Isla>m.
Cairo: Da>r al-Sala>m, 2007.
243

---------, Muhammad ‘Abbu>di> Ibra>hi>m dan ‘Ali ‘Abd al-Mu’t}i>.


Di>mu>qrit}is: Failasu>f al-Dhurrah wa Atharuhu fi fikr al-Falsafi>
h}atta> ‘Us}u>r al-Hadi>thah. Alexandria: al-Haiah al-Mas}riyah al-
‘A<mah, 1972.
---------. Nash’ah Fikr al-Falsafi> fi al-Isla>m. Cairo: Da>r al-Sala>m, 2008,
Vol. I.
---------, ‘Ali ‘Abd al-Mu’ti dan Muh}ammad ‘Abbu>di> Ibrahi>m,
Democritus Failasu>f al-Dhurrah wa Atharuhu fi al-Fikri al-
Falsafi> H{atta> ‘Usu>rina> al-H{adithah. Alexandria: Hai’ah al-
Mas}riyah al-‘A<mah, 1972.
Al-Nashsha>r, Mus}t}afa>. Mas}a>dir al-Sharqiyah li al-Falsafah al-
Yuna>niyah. Cairo: Da>r Quba’, 1998.
---------. Madrasah al-Iskandariah al-Falsafiyah baina al-Turath al-
Sharqi> wa al-Falsafah al-Yu>na>niyah. Cairo: Da>r al-Ma‘a>rif,
1995.
---------. Tari>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah min Manz}u>r Sharqi>:
Sufistaiyu>n, Suqra>t}, Afla>tu>n. Mesir: Dar Quba’, 2000.
Na>s}if, Muhammad Qamar al-Daulah. Nus}us} al-Falsafiyah bi al-Sharh}
wa al-Ta’li>q. Mesir:al-Dar al-Isla>miyah, 2004.
---------, Tharwat Hasan ‘Abd al-Mihna. Dirasa>t fi al-Milal wa al-
Nih}al. Zagazig: Dar al-Bansiyah, tt.
---------. Dirasa>t fi Falsafah al-‘A<mah wa al-Akhla>q. Mansora:al-Da>r
al-Isla>miyah, 2007.
---------, Mahmud ‘Abd al-h}aki>m Utma>n. Ma’a al-Mawa>qif li ‘Ad}d al-
Di>n al-Eiji> bi al-Sharh al-Sayyid al-Shari>f al-Jarja>ni. Mansora-
Mesir: al-Dar al-Islamiyah, 2006.
---------. Dirasa>t fi al-Yahu>diyah. Mansora: Al-Da>r al-Isla>m li al-
T{iba’ah wa al-Tauzi’, 2003.
Oldirih, Cyril. Al-Had}arah al-Mas}riyah: Min ‘Ushur ma Qabla Tarikh
hatta Nihayah al-Daulah al-Qadi>mah. Trans. Mukhta>r al-
Suwaifi>. Cairo: al-Dar al-mas}riyah al-Lubna>niyah, 1996, Cet. 3.
Pines, Shlomo. Mazhab al-Dhurrah ‘inda al-Muslimi>n wa ‘Ala>qatihi bi
Madha>hib al-Yu>na>n wa al-Hanu>d. Trans. Abu Raidah. Cairo:
Maktabah al-Nahd}ah al-Mas}riyah, 1946.
Plato. Al-Qawa>ni>n li Afla>tu>n. Trans. Taylor, Trans. Muhammad Hasan
Z{az> }a. Cairo: Maktabah al-Usrah, 1986.
---------., Muh}a>warah ‚Georgias‛ li Afla>tu>n. Trans. Muhammad Hasan
Z{az}a, ‘Ali Sa>mi> al-Nashsha>r. Cairo: Maktabah al-Usrah, 1970.
244

---------. Muh}awarah ‚Meno‛. Tran. ‘Izzat Qarni>. Cairo: Da>r Quba’,


2001.
---------. Muha>kamah Suqra>t}: Muha>warah ‚Euthyphro‛, ‚Apology’‛,
‚Krito‛. Ed. Izzat Qarni>. (Cairo: Dar Quba’, 2001).
---------. Muha>warah ‚Phaedrus‛. Ed. Ami>rah H{ilmi> Mat}ar. Cairo: Da>r
Gari>b, 2000.
---------. Phaedo: Fi Khulu>d al-Nafs. Trans. ‘Izzat Qarni>. Cairo: Da>r
Quba’, 2001.

Plotinus. Al-Tisa> ‘iyah al-Ra>bi ‘ah li Aflu>ti>n fi al-Nafs. Trans. dan Ed.
Fua>d Zakaria dan Muhammad Sali>m Sa>lim. Cairo: al-Haiah
al-Mas}riyah al-‘A<mah, 1970.
---------. Ta>su>‘a>t Aflu>t}i>n. Trans. Fari>d Jabar, Ji>ra>r Jaha>mi> dan Sami>h}
Dagi>m. Beirut: Maktabah LubNa>n, 1997.
Qa>sim, Mahmu>d. Fi al-Nafs wa al-‘Aql li Falasifah al-Igri>k wa al-
Isla>m. (Cairo: Maktabah Angglu> al-Mas}riah, 2002.
Qarni>, ‘Izzat. Al-Falsafah al-Yu>na>niyah h}atta Afla>tu>n. Kuwait: Zat al-
Sala>sil, 1993.
Qasha, Al-Abb Sahi>l. Athar al-Kita>ba>t al-Ba>biliyah fi al-Mudawwana>t
al-Taura>tiyah. Beirut: Baisa>n li al-Nashr wa al-Tauzi’, Cet. I,
1998.
R. Waltzer. Aflat}u>n: Tas}awwuruhu li Ila>h Wa>h}id wa Naz}rah al-
Muslimi>n fi Falsafatih. Trans. Ibrahi>m Khurshi>d dkk. Beiru>t:
Da>r al-Kita>b al-Lubna>ni>, 1982.
S{a>‘id, Abu al-Qa>sim al-Andalu>si>. T{abiqa>t al-Umam. Ed. Saint Louis
Jesuit Shaikha. Beiru>t: Maktabah al-Kathu>likiyah li Aba>’ al-
Yasu>‘i>yi>n, 1912.
S{ala>h} al-Di>n Khali>l ibn Aibek al-Safadi>. Wafya>t al-A’ya>n. Beirut: Da>r
Ih}ya’ Turath al-‘Arabi>, 2000, Cet. I.
S{alih, ‘Abd al-Qadir. Al-‘Aqa>id wa al-Adya>n. Beirut: Dar al-Ma’rifah,
2006
S}alih, Ahmad. Al-Tah}nit}: Falsafah al-Khulu>d fi Misr al-Qadi>mah.
Cairo: Jama>’ah Hiwar al-Thaqa>fiyah, 2000.
Sa>ri, T>{ariq. Tana>sukh al-Arwa>h. Giza, Mesir: Dar Masha>riq li al-Nash
wa al-Tauzi’, 2009, Cet. I.
Saif, Antuwa>n. Al-Kindi> wa Maka>natuhu ‘inda Muarrikh al-Falsafah
al-‘Arabiyah. Beiru>t: Da>r al-Jail, 1985.
Sharf, Muhammad Jala>l. Allah wa al-‘A<lam wa al-Insa>n Fi Fikr al-
Isla>mi>. Beiru>t: Da>r al-Nahd}ah al-Isla>miyah, tt.
245

Sha>mi>, S{alih} Ahmad. Ima>m al-Gaza>li>: Hujjah al-Isla>m wa Mujaddid


al-Miah al-Kha>misah. Damaskus: Da>r al-Qalam, 1993.
Shalabi, Ahmad. Al-Adya>n al-Hind al-Kubra. Cairo: Maktabah al-
Nahd}ah al-Masriyah, 2000, Cet IX.
Al-Shathari>, Sa‘i>d ibn Na>s}ir >. Qawa>id al-Istidla>l bi al-Ijma’. Riya>d}:
Kunu>z Ishbi>liya>, 2009.
Si>rabi>, Jama>l Rajab. Abu Baraka>t al-Bagda>di> wa Falsafatihi al-
Ila>hiyah; Dira>sah li Mauqifhi al-Naqdi li Ibn Si>na>. Cairo:
Maktabah Wahbah, 1996.
Stace, Walter Terence. Ta>ri>kh al-Falsafah al-Yuna>niyah. Trans.
Muja>hid ‘Abd al-Mun‘im Muja>hid. Cairo: Da>r al-Thaqa>fah,
1984.
Stone, Isidor Feinstein. Muh}akamah Suqra>t}. Trans. Nasi>m Majli>.
Cairo: Majlis al-A’la> li al-Thaqa>fah, 2002.
Al-Subh}a>ni>, Shaikh Ayatullah Ja’far. Al-Ila>hiya>t ‘ala al-Huda> al-Kita>b
wa al-Sunnah wa al-‘Aql. Ed. H{asan Muh}ammad al-Maki> al-
‘A<mili>. Beiru>t: Da>r al-Isla>miyah, 1990.
T{ah}h}an> , Mahmu>d. Taisi>r Must}alah} al-H{adi>th. Riyad}: Maktabah al-
Ma‘a>rif, 1996.
T{ah}a>n, Mah}mu>d. Taisi>r Mus}t}alah al-H{adi>th. Alexandria: Maktabah al-
Huda> li al-Dira>sa>t, 1415.
T}alib, Hasan. As}l al-Falsafah: Haul Nash’ah al-Falsafah Fi Misr al-
Qadi>mah wa Taha>fut Naz}riyah al-Mu’jizah al-Yuna>niyah.
Cairo: ‘Ain li al-Dirasa>t wa al-Buhush al-Insa>niyah wa al-
Ijtima’iyah, 2003
Taylor, Alfred Edward. Aristotle. Trans. Izzat Qarni>. Beirut: Da>r al-
T{ali‘ah, 1992, Cet. I.
Al-T{u>si, Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>. Tajri>d al-‘Aqaid. Ed. ‘Abba>s
Muh}ammad H{asan Sulaiman. Alexandria: Da>r al-Ma’rifah al-
Ja>mi‘ah, 1996.
Al-Qa>ri>, ‘Ali ibn Sult}a>n al-Harawi>. Al-Mas}nu>’ fi Ma’rifah al-H{adi>th
al-Maud}u’. Ed. ‘Abd al-Fatta>h} Abu Guddah. Beiru>t: Muassasah
al-Risa>lah, 1398 H.
Al-Qat}t}a>n, Manna’. Mabah}ish fi ‘Ulum al-Quran.Cairo: Maktabah
Wahbah, tt.
Qut}b al-Aqt}ab, Maulana Ahmad ibn ‘Abd Allah. Rasa>il Ikhwa>n al-
S{afa> wa Khullan al-Wafa>. India: Nukhbah al-Akhba>r, 1305 H.
246

Wahiduddin Khan, Isla>m Yatahadda>: Madkhal al-‘Ilm ila> al-I<ma>n,


Trans. Zafarul Islam Khan. Kuwait: Scientific Researdh House,
2005.
Al-Z{ah> iri>, Ibn Hazm al-Andalu>si>. Al-Fis}al fi al-Milal wa al-Ahwa>’ wa
al-Nih}al. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999, Cet. II.
Zai’ur, Ali. Al-Falsafah fi al-Hind. Beirut: ‘Izz al-Di>n, 1993.
Al-Zamkhashari>, Abu al-Qa>sim Muhammad ibn ‘Umar, Asa>s al-
Bala>gah, Ed. Muhammad Ba>sil ‘Ayu>n al-Saud. Beiru>t: Da>r al-
Kutub al-Ilmiyah, 1998.
---------. Al-Kashsha>f ‘an Haqa>iq Gawa>mid} al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-
Aqa>wi>l fi Wujuh al-Ta’wi>l. Riyad}: Maktabah Abika>n, 1998,
Cet. I.
Al-Zirikli>, Khair al-Di>n. Al-A’la>m: Qa>mu>s Tara>jim li Ashhar al-Rija>l
wa al-Nisa> min al-Arab wa al-Musta’ribi>n wa al-Mustashriqi>n.
Beirut: Dar al-Ilm li al-Mala>yi>n, 1980.

http://artikata.com/arti-325163-dialektika.html (diakses tanggal 6 Juni


2014)
http://dar-alifta.org.eg/ViewScientist.aspx?ID=60&LangID=1 (diakses
tanggal 26 Maret 2014)
http://jimsafley.com/writings_archive/durant.html (diakses tanggal 22
April 2014)
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract;jsessionid=96717
CB5CFC625EEAE615EBFAE895C3A.journals?fromPage=onli
ne&aid=1299968 (Diakses 4 Februari 2014)
http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?bk_no=477&hid
=11021&pid=285429 (diakses tanggal 2 Agustus 2012)
http://library.islamweb.net/newlibrary/showalam.php?id=3784
(diakses tanggal 15 Januari 2014)
http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=29180, (diakses pada
2 Mei 2012)
http://www.cpsglobal.org/mwk (diakses tanggal 22 April 2014)
http://www.referensimakalah.com/2013/01/pengertian-dna-
deoxyribonucleic-acid.html (Diakses tanggal 3 Maret 2014)
GLOSSARY

‘Aqli> (Arab) rasional, berpegang pada pemikiran akal


‘Arasy (Indonesia, dari bahasa Arab) = tempat bersemayam Tuhan
Ah}a>d (Arab) satu, hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang
Aksiden (Indonesia, dari bahasa Inggris Accident, dalam bahasa Arab
disebut al-‘Arad}) = bukan inti/ zat, sifat yang melekat pada
esensi
Al-‘Amali> (Arab) = Praktis, perbuatan
Al-‘Ilmi> (Arab) = teoritis, saintis, ilmiyah
Al-Amma>rah (Arab) = mendorong pada kejahatan
Al-Ma‘a>d (Arab) pengembalian, tempat kembali, akhirat
Analogi (Indonesia, dari bahasa Yunani ana logon) = persamaan dan
persesuaian, kesepadanan, perbandingan
Argumentatif (Indonesia, dari bahasa Inggris argumentation) =
mengandung alasan yang bisa dijadikan sebagai bukti
Ateis (Indonesia, dari bahasa Yunani Atheos) = tidak percaya adanya
Tuhan
Eksistensi (Indonesia, dari bahasa Inggris existence) = keberadaan
Ekslusif (Indonesia, dari bahasa Inggris Exlusive) = khusus
Eksplisit (Indonesia, dari bahasa Inggris) = gamblang, tegas, terus terang,
tidak berbelit-belit
Emanasi (Indonesia, dari bahasa Inggris Emanation) = sesuatu yang
memancar
Esensi (Indonesia, dari bahasa Inggris Essemtial, dalam bahasa Arab
disebut al-Jauhar) = hakikat, inti, hal pokok
Etimologi (Indonesia, dari bahasa Yunani Etimo logos) = abang ilmu
bahasa yg menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dl bentuk
dan makna
H{a>dith (Arab) = baru, wujud karena penyebab dan masuk hitungan
waktu
Haram (Indonesia, dari bahasa Arab) = terlarang
Hipotesa (Indonesia dari bahasa Yunani Hypo dan Thesis) = jawaban
sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga
karena masih harus dibuktikan kebenarannya
I‘a>dah al-Ma’du>m (Arab) = Pengembalian yang telah tiada menjadi
ada
Ijma’ (Arab) = kesepakatan mujtahid umat Islam yang baik pada suatu masa
terhadap suatu hukum syariah

247
248

Immaterial (Inggris) = bukan material, transenden


Interpretasi (Indonesia, dari bahasa Inggris Interpretation) = tafsiran,
pandangan teoritis terhadap sesuatu
Jam’ ba’d al-Tafarruq (Arab) = Pengumpulan bagian-bagian yang telah
terurai
Karma (Indonesia, berasal dari bahasa Sansakerta) = pembalasan
perbuatan dari hidup masa lalu
Lawwa>mah (Arab) = labil, goyah, bingung dan ragu
Makruh (Indonesia, dari bahasa Arab) = dianjurkan untuk ditinggalkan
Matan (Arab) batang, isi teks hadis atau isi teks suatu kitab
Maud}u’ (Arab) = palsu, hadis yang sama sekali tidak memenuhi
syarat-syarat hadis yang benar
Menafikan (Indonesia, dari bahasa Arab) = meniadakan, menyangkal
Mentasbihkan (Indonesia, dari bahasa Arab) = menyucikan, membaca
pujian
Metafisika (Indonesia, dari bahasa Yunani Meta dan Phusika) =
pengetahuan tentang non fisik atau tidak kelihatan
Mufassir (Indonesia, dari bahasa Arab) orang yang ahli dalam
menafsirkan ayat al-Quran
Muhaddis (Indonesia, dari bahasa Arab) orang yang ahli dalam hadis
Nabi saw
Muhaqqiqi>n (Arab) = peneliti, ulama pada era kematangan keilmuan
Islam
Mut}mainnah (Arab) = tenang, tentram, damai
Naqli> (Arab) tekstual, berpegang pada tek al-Quran dan al-Hadis
Qadi>m (Arab) = lama, wujud tanpa sebab bagi teolog, wujud tanpa
waktu bagi filosof
Reinkarnasi (Indonesia, dari bahasa latin) = lahir kembali, penjelmaan
kembali makhluk yang telah mati
Sahih (Arab) hadis yang mencukupi syarat-syarat sebagai hadis yang
diterima kebanarannya dari Nabi saw.
Salaf (Indonesia, dari bahasa Arab) = generasi pertama Islam, yaitu
sahabat, tabi‘in dan tabi’ tabi‘in
Supranatural (Indonesia, dari bahasa Inggris Supra dan Nature) =
sebutan untuk kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan
hukum alam, berkaitan dengan kekuatan mukjizat atau Tuhan.
Syariah (Indonesia, dari bahasa Arab) = aturan agama bersumber dari
al-Quran dan hadis
249

Syubhat (Indonesia, dari bahasa Arab) = Sesuatu yang tidak jelas halal
dan haramnya
Syuhada’ (Indonesia, dari bahasa Arab) orang yang meninggal di jalan Allah,
terutama mati di medan perang membela Islam
Tabi‘in (Indonesia, dari bahasa Arab) = pengikut Nabi saw setelah
sahabat, generasi kedua Islam.
Takwil (Arab) = mengalihkan perkataan dari arti yang lebih diutamakan
kepada arti yang kurang diutamakan mengingat adanya bukti yang
menghendakinya
Tamthi>l (Arab) penyontohan Tuhan dengan zat atau sifat makhluknya
Taqlid (Arab) mengambil pendapat ulama tanpa mengetahui dalilnya
Tashbi>h (Arab) penyamaan Tuhan dengan makhluknya dalam beberapa sisi
Terminologi (Indonesia, dari bahasa Yunani Terminus dan logos) =
lmu mengenai batasan atau definisi istilah
250
INDEKS
INDEKS
__________________
A Abu H{usain al-Bas}ri>, 147, 163,
‘Aqli>, 113, 123, 138, 141, 152, 210
165 Abu ‘Ali> al-Jabba>’i>, 10, 109, 159
Al-‘Aql, 31, 34, 35, 36, 37, 50, 53, Abu Ha>shim al-Jabba>’i>, 10, 109,
54, 56, 57, 71, 74, 77, 78, 162, 163
79, 80, 87 Abu Hudhail al-‘Alla>f, 115, 152,
‘Ainiyah, 23, 207 159
Al-‘Arash, 40, 123, 128 Abu Hurairah, 127, 218
Aksiden, 20, 110, 111, 112, 113, Abu Ja’far al-Mans}u>r, 99
115, 137, 153, 169, 172 Abu Muslim al-Asbaha>ni>, 164
Amr al-Rabbi>, 41, 44 Abu Qa>sim al-Balkhi>, 164
Agama Bumi, 5 Ah}mad Fuad al-Ahwa>ni>, 96, 97,
Alkitab, 7 98
Atu>n-Amu>n Ra’, 9 Ahl al-Hadis, 61, 63, 138, 158,
Adam as, 32, 59, 60, 61, 62, 63, 162, 218, 223, 228
64, 136, 151, 159, 162, Ahl al-Takwil, 205
163, 196, 197, 220 Ahl Tasawuf, 162
‘A<dam, 24, 176, 206, 207, 208, Al-A<lu>si>, 38, 40, 45, 46, 47
210, 213, 176 Alexander of Aphrodisias, 78, 79
‘A<lam al-Amr, 45, 46 Alexandria, 79
‘A<lam al-Khalq, 45 ‘Ali Ibn Abi T{al> ib, 39
‘Arafah, 60 Anaxagoras, 119
‘Abba>siyah, 91 Anaximenes, 118
Abu Zaid al-Dabu>si, 194 Aristoteles, 27, 49, 51, 53, 54, 56,
‘Ad}d} al-Di>n al-I<ji>, 16, 66, 122, 67, 68, 75, 76, 77, 78, 79,
160, 217 80, 81, 82, 83, 84, 86, 87,
‘Ajab al-Zanab, 24, 218, 219, 223, 88, 95, 96, 97, 98, 100,
228 103, 113, 117, 120, 166,
Ah}a>d, 66, 224 167, 168, 169, 170, 182,
‘Ali Sa>mi> Nashsha>r, 92 190
‘Arafah, 58 As}ha} >b al-Maimanah, 193
Ateis, 106, 107, 139 As}ha} >b al-Mashamah, 193
Abu ‘Usthma>n al-Ja>hiz}, 56 As}ha} >b al-Yami>n, 128
Abu al-Qa>sim al-Ka’bi>, 194 Atomisme, 76, 117, 122, 209
Abu Bakr al-As}am, 110 ‘Abd al-Jabba>r, 10, 16, 91, 109,
Abu Baraka>t al-Baghda>di>, 56, 176 117, 162, 214
Abu Daud, 137 Agama Langit, 5, 7, 227
Abu H{asan al-Ash‘ari>, 107, 115

251
252

Ahl al-Sunnah, 13, 18, 22, 126, Bu>ra>q, 134


136, 138, 147, 154, 155, Barzakh, 21, 28, 29, 60, 123, 125,
159, 160, 161, 162, 205 126, 127, 136, 139, 140,
Ali Arslan Aydin, 23, 24, 223 142, 155, 195
Akhirat, 3, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, ___________________________
18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
25, 26, 27, 28, 29, 72, 74,
C
82, 91, 97, 101, 104, 105, Cambridge, 24
106, 107, 125, 126, 139, Claudius Galenus, 100, 104, 106,
140, 141, 143, 146, 149, 113
151, 152, 153, 154, 155, Critias, 120
160, 161, 164, 165, 167, ___________________________
172, 174, 178, 179, 180, D
181, 182, 183, 184, 185, Dewa, 3, 4, 52, 54, 56, 69, 72
186, 187, 188, 189, 190, DNA, 224
191, 192, 193, 194, 195, D{ira>r ibn ‘Umar, 145, 162
196, 198, 199, 200, 201, Dialektika, 21
202, 203, 204, 207, 209, D{ah}h}ak> , 59
210, 211, 212, 213, 216, D{aif, 134
219, 220, 222, 227, 228, Democritus, 75, 117, 122, 209
229, 230 Diogenes of Apollonia, 118
Ash‘ariyah, 15, 16, 23, 47, 48, 49, ___________________________
61, 63, 91, 93, 96, 98,
101, 103, 111, 122, 153, E
160, 162, 164, 208, 216, Emanasi, 35, 50, 51, 52, 53, 56,
217 58, 82, 95, 165. 190, 221
___________________________ Empedocles, 119
Ernest Renan, 94
B Esensi, 20, 35, 42, 45, 47, 68, 70,
Al-Ba’th, 148, 195, 202, 203, 204 71, 80, 81, 82, 83, 84, 85,
Ba>riq, 130 86, 87, 94, 95, 105, 106,
Bashar al-Muri>si>, 145 107, 111, 112, 113, 121,
Brahmana, 4 122, 124, 125, 137, 144,
Bait al-Maqdis, 135 153, 168, 169, 170, 172,
Bani Umayyah, 99 183, 184, 187, 190, 196,
Barhu>t, 135 198
Bashar al-Muri>si>, 145 Eskatologi, 21, 26
Al-Ba>qila>ni>, 93, 112 ___________________________
Bishar ibn al-Mu’tamar, 152, 159,
162 F
Babilonia, 1, 9, 67 Al-Fara>bi>, 35, 52, 79, 84, 91, 92
Budha, 6, 69
253

Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, 31, 44, 61, 194, 196, 199, 200, 211,
91, 104, 107, 108, 115, 219, 220, 222, 225
116, 117, 120, 121, 122, Gorgias, 72
134, 161, 164, 174, 193, __________________________
196, 205, 208, 211
Fath} Allah al-Khalif, 170
H
Filosof Dialektika, 75 H{a>dith, 47, 48, 49, 50, 58, 73, 221
Filosof Ketuhanan, 105, 165, 166, H{ad}ara al-Maut, 135
168, 170, 183, 194, 199, H{ana>bilah, 98, 134
200, 229 Al-H{ali>mi>, 194
Filosof Naturalis, 75, 97, 105, 203 Al-H{arakah al-Kaun wa al-Fasa>d,
Filosof, 6, 13, 20, 21, 22, 23, 25, 211
26, 28, 29, 31, 35, 44, 45, Al-H{asan, 39
47, 48, 49, 50, 54, 56, 57, H{asan al-Bas}ri>, 147, 163
58, 66, 67, 68, 69, 70, 72, Al-H{ashr, 28, 150, 204
74, 76, 78, 79, 81, 83, 84, Al-H{aud}, 156, 157, 195
86, 87, 88, 91, 93, 94, 95, Al-Hayu>la>, 52, 75, 83
96, 97, 98, 99, 100, 101, Al-Hisa>b, 28, 151, 195
102, 103, 104, 105, 106, Al-Hudhailiyah, 109, 162, 163
107, 111, 114, 117, 120, H{aqi>qah, 103
123, 134, 153, 165, 166, H{arithah, 129
167, 168, 169, 170, 171, H{awa’, 162
172, 173, 174, 175, 177, H{ulu>l, 95
178, 179, 180, 181, 183, Hadis, 12, 38, 39, 41, 59, 61, 63,
186, 189, 190, 192, 193, 64, 65, 66, 95, 96, 114,
194, 195, 196, 198, 199, 123, 124, 126, 127, 128,
200, 201, 203, 204, 205, 129, 130, 131, 132, 133,
207, 208, 209, 211, 213, 134, 135, 137, 138, 139,
219, 221, 222, 225 143, 147, 154, 155, 156,
Filsafat Islam, 23, 86, 91, 92, 93, 157, 158, 160, 163, 178,
94, 98, 167, 168, 194 197, 198, 199
Filsafat Yunani, 79, 91, 92, 93, Haram, 43
94, 98 Helenisme, 91, 94, 101, 106, 113
Fir‘aun, 46, 126 Hermes, 9
Firdaus, 129, 130 Hermesinism, 95, 168
Fuqaha’, 162 Hindu, 3, 4, 5, 114, 218
__________________________ Hisha>m Ibn H{akam, 110
___________________________
G I
Al-Ghaza>li>, 13, 15, 21, 22, 36, 47,
57, 87, 88, 91, 94, 101, I‘a>dah al-Ma’du>m, 21, 23, 29,
102, 103, 158, 174, 180, 154, 205, 206, 207, 208,
254

209, 211, 219, 227, 229, Ibrahim as, 9, 212, 222


230 Ibrani, 7
‘Iba>d al-D{ami>ri>, 162 Idris as, 9
Ibn ‘Abba>s, 39, 60, 66, 158, 161 Ijmak, 10, 59, 123, 164, 205
Ibn ‘Abd al-Bar, 128, 131 , 13\2 Ikhwa>n al-S{afa>, 85
Ibn ‘Umar, 66 ‘Ikrimah, 58, 161
Ibn al-Mut}ahhir al-H{illi>, 17, 216 Al-‘Illiyi>n, 135
Ibn Ba>jjah, 88 Illuminati, 95
Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, 43, 148, Ima>m al-H{aramain al-Juwaini, 93,
154, 155, 157, 164 143
Ibn H{azm, 36, 59, 60, 106, 111, Ima>m al-Nawa>wi>, 218
113, 115, 116, 135, 136, Ima>m al-Shafi‘i>, 96
138, 141, 143, 146, 147, Ima>m al-Tirmi>dhi>, 129, 131
208 Ima>m Muslim, 129, 131
Ibn Jari>r al-T{abari>, 143 Immaterial, 22, 28, 29, 45, 46, 47,
Ibn Juljul al-Andalu>si>, 102 50, 51, 52, 68, 70, 80, 81,
Ibn Kamu>nah, 6 83, 86, 105, 111, 120,
Ibn Kathi>r, 64, 147, 161, 214 124, 153, 165, 166, 168,
Ibn Khaldu>n, 100, 103, 104 169, 174, 175, 194, 196,
Ibn Mas‘u>d, 156, 159, 161 197, 190, 198, 200, 203,
Ibn Nadi>m, 102 219
Ibn Qayyim al-Jauzi>, 32, 33, 34, India, 3, 9, 67, 69, 79
37, 38, 40, 64, 115, 116, Iran, 25, 221, 223
123, 124, 129, 130, 133, Isa as, 32,
134, 136, 137, 138, 139, Ish}aq ibn H{unain, 102
140, 146, 162, 164, 174, Islam, 5, 7, 8, 9, 12, 20, 26, 37, 43,
212 45, 47, 52, 56, 58, 63, 66,
Ibn Ra>wandi>, 145 67, 78, 82, 83, 84, 86, 87,
Ibn Rushd, 8, 14, 48, 49, 57, 68, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
75, 79, 88, 89, 91, 102, 99, 101, 103, 104, 108,
180 109, 110, 111, 114, 115,
Ibn Si>na>, 12, 13, 21, 22, 27, 35, 117, 147, 153, 154, 160,
52, 53, 54, 56, 57, 58, 68, 162, 165, 193, 194, 198,
79, 85, 86, 87, 91, 92, 93, 210, 220, 227, 229, 230
115, 168, 169, 170, 171, Isra>fi>l, 146
173, 177, 179, 180, 181, Istanbul, 23
182, 183, 184, 185, 186, Al-Ittih}a>d, 185
187, 188, 189, 190, 191, ___________________________
213, 215, 220
Ibn Taymiyah, 14, 36, 101, 147,
J
209 Al-Ja>biah, 135
Ja’far Subh}a>ni>, 25, 221, 223
255

Jaham ibn S{afwa>n, 176 Kebamgkitan, 18, 19, 20, 21, 23,
Jam’ Al-Ajza’ al-As}li>yah, 23, 230 24, 25, 26, 28, 29, 148,
Jam’ ba’d al-Tafarruq, 22, 24, 29, 191, 199, 200, 201, 202,
209, 211, 212, 213, 219, 204, 209, 211, 212, 213,
228, 229 215, 217, 219, 220, 221,
Jama>l al-Di>n al-Qift}i>, 98 222, 225, 226
Al-Jaram, 53, 57, 81, 111, 190 Khalaf, 38, 43, 59, 137
Jibril as, 31, 39, 53, 139 Khartu>m, 24
Al-Jism, 110, 111, 112 Al-Kindi>, 78, 81, 82, 83, 91, 93,
Jiwa, 2, 11, 12, 13, 15, 19, 20, 21, 99, 230
22, 23, 24, 25, 28, 29, 31, Kitab Kematian, 3
35, 37, 38, 44, 45, 47, 50, Kosmologi, 35
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, Kristen, 5, 7, 9, 24, 67, 79, 97,
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 111, 114, 115, 227, 230
73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, Kun fa Yakun>, 222
80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, Kuwait, 25
87, 88, 89, 105, 106, 108, __________________________
112, 113, 114, 115, 116,
117, 118, 119, 120, 121,
L
122, 123, 124, 125, 126, Laws, 167
127, 128, 131, 134, 136, Leucipus of Miletus, 117
137, 139, 140, 141, 142, Lynne Ruder Baker, 24, 225
143, 144, 145, 146, 148, ___________________________
165, 166, 167, 168, 169, M
170, 171 ,172, 173, 174, Al-Ma‘a>d, 6, 21, 27, 28, 203, 204
175, 176, 177, 178, 182, Al-Mabda’, 21
183, 184, 185, 186, 187, Macedonia, 75
188, 189, 190, 191, 192, Mah}sha>r, 130, 150, 151, 157, 204
293, 294, 195, 196, 197, Majusi, 5, 114
108, 199, 228, 229, 230 Al-Makmu>n, 100
Junaid, 42 Makrokosmos, 201, 205
Juz al-Ladhi La> Yatajazza’, 210 Makruh, 42, 43
__________________________ Ma>liki>, 43
Maskawaih, 84
K Material, 9, 11, 12, 13, 15, 18, 19,
Ka‘ab al-Ah}ba>r, 159 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26,
Al-Kalbi>, 59 28, 29, 32, 36, 45, 46, 47,
Kanibal, 12, 228 51, 52, 57, 58, 75, 76, 77,
Al-Kara>miyah, 194, 211 80, 81, 83, 84, 85, 85, 87,
Karma, 4 88, 104, 105, 107, 108,
Al-Kauthar, 156, 157 110, 111, 112, 113, 114,
256

115, 116, 117, 118, 120, Munkar dan Nakir, 132, 133, 137,
121, 122, 123, 124, 125, 143
126, 136, 137, 141, 153, Muta’akhiri>n, 22, 43, 45, 113,
154, 155, 160, 161, 165, 114, 117, 145, 167, 173,
166, 167, 169, 171, 172, 194
173, 174, 175, 176, 177, Al-Mula>basah, 116
178, 179, 180, 184, 185, Al-Mula>s}aqah, 116
191, 193, 194, 195, 196, Mus}t}afa> ‘Abd al-Ra>ziq, 92, 96,
197, 198, 199, 200, 201, 100
202, 203, 208, 209, 210, Musa as, 46, 133
211, 213, 214, 216, 218, Mustahil, 11, 12, 15, 18, 26, 46,
219, 220, 221, 222, 223, 47
224, 225, 226 Al-Muqarrabi>n, 127, 128, 193
Materilism, 110, 108, 109, 209 Mu’tazilah, 10, 13, 15, 16, 18, 22,
Maudhu’, 14 56, 61, 63, 91, 93, 96, 98,
Mauqu>f, 134 109, 111, 112, 126, 144,
Meno, 73, 167 145, 146, 153, 154, 155,
Mesir, 1, 2, 3, 9, 65, 67, 69 159, 160, 162, 163, 208,
Metafisika, 20, 25, 26, 67, 71, 94, 216, 217, 228
95, 101, 107, 108, 109, Mutawatir, 138, 143
127 __________________________
Mi’raj, 130, 133, 136, 163, 198
Mikrocosmos, 120, 201, 205
N
Mithliyah, 207, 208 Nabi as, 8, 9, 19, 133, 146, 166,
Al-Mi>za>n, 28, 152, 157, 195 179
Al-Mu‘ammariyah, 109 Nabi saw, 41, 42, 44, 46, 99, 108,
Al-Muda>khalah, 115, 116, 117, 130, 132, 134, 136, 139,
172 149, 156, 157, 163, 198,
Mufassir, 37, 58, 134 218
Al-Muh}addithi>n, 37 Al-Nafs, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37,
Muh}ammad Riba>h} Bukhit, 24, 53, 57, 66, 75, 80, 87, 88,
218 107, 108, 115, 117, 120,
Muh}aqqiqi>n, 23, 29, 103, 104, 168, 169, 174, 184, 190,
194, 204 193, 223
Muja>hid, 40, 130 Na>s}ir al-Di>n al-Baid}a>wi>, 216
Al-Muja>warah, 115, 116, 172 Na>s}ir al-Di>n al-T{u>si>, 17, 216
Al-Muka>manah, 115, 116 Al-Nashr, 202, 204
Al-Mukadhdha>bi>n, 128 Naqal, 12, 13, 14, 15, 18, 20
Al-Mukha>lat}ah, 116 Naqli>, 113, 123,127, 138, 141,
Mulla S{adr al-Shira>zi>, 104, 195, 207
196, 197, 198, 225 Neo-Platonism, 79, 94, 168
257

Neraka, 6, 7, 8, 11, 22, 29, 107, Qadi>m, 47, 48, 49, 50, 58, 66, 74,
126, 127, 128, 132, 136, 80, 97, 98, 167, 170, 221
139, 150, 151, 158, 159, Al-Qalb, 31, 54, 36, 116, 117, 120
160, 161, 162, 163, 179, Al-Qa>simi>, 44, 45
195, 199, 200, 203, 206, Al-Quran, 7, 12, 18, 20, 31, 32,
216, 227, 229 37, 38, 45, 94, 95, 96, 98,
Nicumachus, 78 101, 114, 122, 123, 126,
Al-Niz}a>miyah, 109 133, 136, 140, 147, 152,
Nu’ma>n, 60 154, 156, 161, 163, 178,
Nuh as, 126 196, 199, 205, 206, 219,
___________________________ 225, 229
Qata>dah, 39, 154
O Qiya>s, 95, 96, 134
Orpishm, 67, 70, 71, 74, 76, 168 Al-Qurt}u>bi>, 34, 148, 152, 156,
Osiris, 3 157, 158, 162, 219
_________________________ Quraisy, 142
P Qurrah al-A’yun, 199
Pagan, 5 __________________________
Pendeta, 6 R
Peripatetic, 57, 87, 92, 94 Al-Ra>fid}ah, 135
Persia, 1, 79, 95, 96 Al-Ra>gib al-As}faha>ni, 194
Phaedo, 70, 69, 71, 74, 79, 167, Rafi’ al-A’la> - A’la> ‘Illiyi>n, 133
171, 172 Raga, 9, 11, 12, 13, 15, 16, 18, 19,
Phaedrus, 72, 74, 79, 167 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26,
Plato, 49, 51, 67, 68, 69, 72, 73, 28, 29, 32, 34, 35, 36, 37,
74, 76, 78, 79, 80, 81, 82, 38, 58, 59, 60, 61, 62, 64,
83, 84, 87, 95, 100, 122, 66, 67, 68, 70, 71, 72, 73,
166, 167, 168, 170, 171, 74, 76, 78, 80, 81, 82, 83,
172, 229 84, 85, 86, 87, 105, 106,
Platonism, 79, 94, 167, 168, 171 107, 108, 109, 112, 113,
Plotinus, 51, 52, 53, 79, 80, 81, 114, 115, 116, 117, 118,
82, 83, 95, 100, 168 119, 120, 121, 122, 123,
Ptolemaus, 54, 57, 58 124, 125, 126, 127, 128,
Pytagorism, 51, 70, 71, 74, 79, 132, 133, 134, 135, 136,
168 137, 138, 139, 140, 141,
Pythagoras, 50, 68, 69 142, 143, 144, 145, 146,
__________________________ 147, 148, 149, 152, 156,
Q 160, 161, 165, 166, 167,
Qad}ariyah, 162 168, 169, 170, 171, 172,
173, 174, 175, 176, 177,
178, 181, 189, 190, 191,
258

192, 193, 195, 196, 197, Sa’i>d ibn Jubair, 40


199, 200, 201, 202, 203, Sahabat ra, 95, 123, 127, 136,
204, 205, 207, 208, 209, 139, 140, 161, 162, 205
210, 211, 212, 213, 214, Salaf, 23, 38, 39, 40, 43, 59, 115,
215, 216, 217, 218, 219, 126, 127, 137, 147, 154,
220, 221, 222, 223, 224, 158
225, 226, 227, 228, 229, Salafi, 40, 101, 134
230, 227, 228, 229, 230 Sayyid ibn al-Musi>b, 58
Rasionalis, 26, 56, 61, 63, 65, 97, Al-Sha’ra>ni>, 65
113, 136, 139, 141, 143, Al-Shahrasata>ni>, 100, 103, 117,
152, 155, 157, 159, 163, 165, 166
166, 178, 179, 196, 229 Shai’iyah al-Ma’du>m, 208
Rasionalitas, 9, 11 Shaziliyah, 65
Rasul saw, 11, 19, 38, 42, 43, 38, Shubhat, 14, 43
42, 43, 130, 138, 141, Shuhada’, 11, 123, 126, 128, 129,
142, 143, 218 130, 131, 133
Republic, 73, 74 S{iddi>qi>n, 133
Reinkarnasi, 3, 4, 12, 15, 63, 67, S{idrat al-Muntaha, 130, 162
68, 69, 70, 74, 76, 84, 220 Al-S{ira>t}, 157, 158, 195
Romawi, 1, 10, 69, 100 Al-S{ira>t,} 28
Al-Ru>h}, 20, 22, 31, 32, 36, 37, 38, Al-S{ur> , 146
39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, Al-Sijji>n, 135
46, 47, 60, 61, 62, 63, 64, Socrates, 69, 70, 71, 72, 101, 166,
66, 82, 109, 110, 112, 171
113, 121, 122, 123, 124, Sophisme, 166
129, 130, 131, 132, 133, Sorbone, 92
134, 135, 136, 137, 139, Spiritual, 13, 19, 20, 21, 22, 23,
144, 146, 148 29, 59, 71, 72, 76, 81, 83,
Al-Ruju>’ ila al-Bida>yah, 165 85, 86, 87, 104, 105, 122,
___________________________ 125, 164, 165, 168, 169,
170, 172, 173, 178, 179,
S 180, 181, 182, 184, 185,
Al-S{a>lih}i>, 143 186, 188, 189, 190, 193,
Al-Sayyid al-Sharif al-Jarja>ni>, 16, 194, 195, 196, 198, 199,
17, 104, 152, 154, 165, 200, 204, 229, 230
173, 217 Suhrawardi al-Bagda>di>, 42
S{a>‘i>d al-Andalu>si>, 94, 102 Sunnah- al-Sunnah, 10, 94, 95,
Sa‘i>d ibn Jubair, 40, 58 101, 122, 123, 136, 140,
Sa’d al-Di>n al-Taftaza>ni>, 16, 17, 147, 152, 205
91, 104, 140, 152, 156, Surga, 6, 7, 8, 11, 22, 28, 126,
172, 196, 203, 208, 217 127, 128, 129, 130, 131,
S{ah}ih}, 65, 66, 134, 138, 143
259

132, 133, 134, 136, 138,


139, 141, 150, 151, 156,
U
157, 158, 159, 160, 161, Uh}ud, 128, 156
162, 163, 164, 178, 179, _______________________
195, 194, 200, 203, 206,
213, 216, 227, 229
W
Wahiduddin Khan, 18, 25, 224
Syam, 9, 113
Wahyu, 7, 9, 14, 31, 38, 42, 45,
Syariah, 13, 14, 15, 26, 41, 43, 44,
46, 56, 58, 116, 146, 198
66, 97, 117, 139, 151,
Weda, 4
165, 166, 177, 178, 180,
Wih}dah al-Wuju>d, 95
195, 196, 199, 212, 214,
Will James Durant, 2
220, 229
__________________________
Syiah, 15, 17, 18, 91, 135, 195,
216, 221 X
__________________________ Xenophone, 71
T __________________________
Tabi‘i>n, 95, 136, Y
Takwil, 12, 15, 18, 61, 63, 64, 98, Yahudi, 5, 6, 7, 9, 44, 46, 67, 69,
154, 158, 160, 164, 195, 79, 114, 227
200 Yerusalem, 7
Talmud, 6 Yunani, 1, 34, 50, 52, 54, 56, 67,
Tashbi>h} wa Tamthi>l, 12, 46, 178, 68, 69, 79, 81, 85, 87, 91,
200 92, 94, 95, 96, 98, 99,
Taurat, 6 101, 103, 104, 108, 109,
Tekstualis, 13, 61, 64, 115, 134 110, 111, 114, 115, 117,
Teolog, 12, 15, 18,19, 20, 21, 44, 147, 153, 154, 160, 162,
47, 48, 49, 58, 66, 91, 93, 165, 193, 194, 198, 209
94, 95, 96, 97, 100, 101, ____________________
102, 103, 104, 105, 108,
111, 112, 113, 114, 115, Z
117, 140, 141, 145, 155, Al-Zamkhashari>, 63, 210
160, 162, 174, 179, 196, Zamzam, 135
200, 203, 204, 205, 207, Zeus, 72
208, 209, 210, 211, 215,
216, 217, 218, 219, 221,
223
Thales of Miletus, 119
Thamsitieus, 78, 79
Timaeus, 73, 74, 79,167
____________________
BIODATA PENULIS

Ismail Sonny, anak pertama dari enam


bersaudara pasangan Nefrizal dan
Zarnita. Lahir di Jakarta pada 1986.

Menamatkan pendidikan dasar di SDN


14 Pakan Sinayan (1998). Kemudian
melanjutkan MTs di Madrasah
Sumatera Thawalib Parabek, Bukittingi,
Sumatera Barat (2001). Jenjang Aliyah
Keagamaan juga ditempuh di Madrasah
Sumatera Thawalib Parabek,
Bukittinggi (2004). Selama masa
pendidikan, diasuh oleh kakek, nenek, dan etek di kampung halaman
orang tua tercinta.

Gelar Licence (Lc) diperoleh dari Fakultas Usul al-Din dan


Dakwah, Jurusan Akidah Filsafat Islam, Universitas al-Azhar Zagazig,
Republik Arab Mesir (2008). Penulis pernah mengecap satu tahun
Tamhidi Dirasa>t ‘Ulya (S2) Akidah Filsafat Islam Universitas Al-
Azhar Cairo (2008/2009). Pada musim haji 2009, bekerja sebagai
Petugas Penyelenggara Haji (PPIH) KJRI Arab Saudi, dan
ditempatkan di Daerah kerja Madinah, tepatnya Sektor III Ija>bah.
Pada 2010, mengabdikan diri selama satu tahun di Pondok
Modern Tehnik Ibnu Rusd, Padurenan, Bekasi. Penulis juga pernah
bekerja sebagai penerjemah freelance buku Arab-Indonesia. Pada
2012-2013 dipercaya sebagai pimpinan Pondok Pesantren Modern
Khaira Ummah, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau.
Penulis dapat dihubungi pada kontak 082110764226, atau
email so_n_ny@yahoo.com, dan alamat di Jl. Jatijajar I, no. 20 06/03,
Kel. Jatijajar, Kec. Tapos, Kota Depok.

260

Anda mungkin juga menyukai