Skripsi
Oleh
MAS AZIZAH
NIM: 11170340000162
FAKULTAS USHULUDDIN
JAKARTA
1443 H/2021 M
KESAKSIAN PEREMPUAN
PERSPEKTIF TAFSĪR MAQĀṢIDĪ JASSER AUDA
Skripsi
Oleh
MAS AZIZAH
NIM: 11170340000162
Di bawah bimbingan
FAKULTAS USHULUDDIN
JAKARTA
1443 H/2021 M
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Pembimbing,
NIM : 11170340000162
Fakultas : Ushuluddin
1. Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan merupakan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain,
maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Mas Azizah
v
vi
ABSTRAK
Mas Azizah, 11170340000162
“Kesaksian Perempuan Perspektif Tafsīr Maqāṣidī Jasser Auda”.
Kesaksian perempuan merupakan suatu isu problematik yang
dibahas oleh para mufassir. Mengingat beragam pendapat mufassir dalam
memberikan penjabaran terkait kesaksian terutama kesaksian perempuan
yang kontroversional, maka penelitian ini ditulis untuk mengkaji maqāṣid
dari kesaksian tersebut. Topik kesaksian yang lebih terkesan sebagai
kajian syari‟ah, dalam skripsi ini disuguhkan dengan nuansa qur‟ani
melalui penjelasan-penjelasan para mufassir yang dibahas secara holistik
dan multi-dimensional dengan menggunakan metodologi Tafsīr Maqāṣidī
Jasser Auda.
Skripsi ini memaparkan bagaimana perbedaan pandangan ulama
mengenai topik kesaksian perempuan dan reaktualisasi Tafsīr Maqāṣidī
Jasser Auda tentang kesaksian perempuan tersebut. Kajian dilakukan
dengan menggunakan metode deskriptif-analitis melalui pencarian data
kepustakaan (library research). Sumber primer dalam penelitian ini yaitu
ayat-ayat al-Qur‟an terkait topik kesaksian dan karya-karya Jasser Auda
mengenai maqāṣid dengan pendekatan sistem yang ditawarkan. Selain
itu, penulis juga menggunakan kitab-kitab tafsir, berbagai buku dan artikel
yang relevan dengan penelitian sebagai sumber sekunder.
Adapun hasil penelitian atau temuan dalam skripsi ini mencakup
beberapa poin: Pertama, bahwa kesaksian perempuan merupakan
manifestasi dari kemajuan peradaban yang dibawa oleh Islam melalui
pensyariatan syahādah, bukan bentuk diskriminasi hak perempuan dengan
adanya redaksi „dua berbanding satu‟. Kedua, Tafsīr Maqāṣidī Jasser
Auda adalah sebuah gagasan yang memiliki kesamaan dengan tokoh-
tokoh sebelumnya dalam memprioritaskan maqāṣid sebagai pondasi dalam
menyelesaikan kompleksitas problematik masyarakat. Ketiga, poin
maqāṣid dari kesaksian perempuan selain hifẓ al-Ird juga memiliki poin
maqāṣid yang sangat umum berdasarkan klasifikasi maqāṣid khāṣṣah
tentang kesaksian, poin maqāṣid tersebut disesuaikan dengan kasus yang
hendak dipersaksikan sebagaimana tujuan dari kesaksian itu sendiri yakni
li al-Tautsīq atau li al-Ṭuma‟nīnah.
vii
viii
KATA PENGANTAR
ix
x
pasukan krucil Bandung, Ibi Not (Teh Imas) dan si Bontot (Qiyyan
Fasyayya) yang selalu mendukung baik secara materiil maupun
nonmateriil serta mendoakan penulis selama ini. Semoga Allah SWT.
senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada mereka baik
di dunia maupun di akhirat kelak.
Mas Azizah
NIM 11170340000162
xii
DAFTAR ISI
xiii
xiv
Tabel 2.1 Imam-Imam Perintis Kajian al-Maqāṣid Sebelum Abad ke-5 H ….. 30
Tabel 2.2 Imam-Imam al-Maqāṣid Abad ke-5 sampai abad ke-8 H ................... 30
Tabel 2.3 Ulama al-Maqāṣid Kontemporer ............................................................ 32
Tabel 4.1 Kesaksian Perempuan dalam Tindak Pidana .......................................... 70
Tabel 4.2 Kesaksian Perempuan dalam Pernikahan .............................................. 71
Tabel 4.3 Nilai Kesaksian Perempuan .................................................................... 71
Tabel 4.4 Perbandingan Alat Bukti ........................................................................ 75
Tabel 4.5 Teori Sistem Jasser Auda terhadap Kesaksian Perempuan .................... 94
xv
xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI
ب b be
ت t te
ث ṡ es (dengan titik di atas)
ج j je
ح ḥ h (dengan titik di bawah)
خ kh ka dan ha
د d de
ذ ż zet (dengan titik di atas)
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
ص ṣ es dengan titik di bawah
ض ḍ de dengan titik di bawah
ط ṭ te dengan titik di bawah
ظ ẓ zet dengan titik di bawah
xvii
xviii
B. Tanda Vokal
َ a fatḥah
َ i kasrah
َ u ḍammah
xix
َي ai a dan i
َو au a dan u
Dalam bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mad)
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
C. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan “al-“, yang diikuti huruf
syamsiyah dan huruf qamariyah.
al-Qamariyah املن ْير al-Munīr
ْ
al- Syamsiyah الرجال al-Rijāl
E. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya
xx
adalah [t]. Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun,
transliterasinya adalah [h]. Kalau pada kata yang berakhir dengan ta
marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta
bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan
dengan ha (h). Contoh:
F. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini, juga mengikuti Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abū Hāmīd al-Gazālī, al-Kindī.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-
Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak
Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
xxi
1
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan
Islam, cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 8.
2
Barbara Frayer-Stowasser, Women in the Qur‟an Tradition and Interpretation,
terj. H.M.Mochtar Zoerni (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 18.
3
Amina Wadud, Qur‟an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman‟s Perspective, terj. Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), 43-44.
1
2
alam serta nomaden, masyarakat kota lebih maju dan sudah memiliki
4
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah (al-Maktabah
al-Taufiqiyah, t.th.), 8-9.
5
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur‟an
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1999), 4. Lihat Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Fiqh
al-Mar‟ah, 10-11.
6
Qs. al-Hujurāt/ 49: 13.
7
Abdul Moqsith Ghazali, “Bumi Manusia dalam al-Qur‟an”. Jurnal Ulumul
Qur‟an, vol.1, no.21 (2012): 69.
3
8
Al-Qurṭubī, al-Jami‟ li Ahkām al-Qur‟an, juz 5 (Kairo: Dar al-Hadits, 2002),
468-469.
9
Muhammad Anis Qasim Ja‟far, al-Ḥuqūq al-Ṣiyaṣiyyah li al-Mar‟ah fi al-Islām
wa al-Fikr wa Tasyri‟ al-Mu‟asir (Dār al-Naḥḍah al-„Arabiyah, 1998), 1.
10
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Fiqh al-Mar‟ah, 87-88.
11
Nur Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan antara Makna Normatif dan
Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”. Jurnal Yudisia, vol. 7, no. 1 (Juni 2006):
177.
4
12
Ibn Hajar al-„Asqallani, Shahih Bukhari Syarh Fath al-Bāri, Kitāb al-Adāb Bāb
„Uqūq al-Wālidaini min al-Kabāir, no. 5975, juz 8 (Kairo: Dar al-Hadits, 2002), 4.
5
13
Muhammad al-Khuḍari Bek, Tārīkh al-Tasyrī‟ al-Islamī (Beirut: Dar al-Fikr,
1967), 15.
14
Qs. al-Nisā‟/ 4: 11 dan Qs. al-Baqarah/ 2: 282.
6
15
Hasbi al-Siddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Bandung: al-Ma‟arif,
t.th), 116.
16
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, cet. 1 (Jakarta: Amzah, 2012), 44-45.
17
Nur Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan, 179.
7
18
Syamsul Wathani, “Konfigurasi Nalar Tafsīr Maqāṣidi”. Jurnal Suhuf, vol.9,
no.2 (Desember 2016): 297.
19
Imam al-Ghazali dalam tafsir Jawahir al-Qur‟an (tasawuf), „Izz al-Din ibn
„Abd al-Salam dalam Qawaid al-Ahkam (Fiqih), al-Suyuti dalam Itqan Fi Ulum al-
Qur‟an. Adapun karya tafsir ulama bernuansa Maqāṣid seperti al-Rāzi, al-Bagawī, al-
Biqā‟i.
20
M. Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manār, Ibn Asyur dalam Tafsir al-
Tahrir wa al-Tanwir, dan Jasser Auda dengan teori sistemnya.
21
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Gazālī, al-Mustasyfā (Beirut: Dar
al-Kitab al-Ilmiyah, 1993), 174.
22
Lihat Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah as Philosophy of Islamic Law A System
Approach (London: The International of Islamic Thaught, 2008). Lihat pula al-Raysuni,
Maqāṣid al-Maqāṣid al-Gāyah al-Ilmiyyah wa „Amaliyyah li Maqāṣid al-Syarī„ah
(Beirut: al-Syabakah al-Arabiyyah lil Abhats wa Nazhr, 2013), 213.
8
23
Hal tersebut senada dengan pernyataan Jasser Auda: تغير األحكاو بتغير رؤية انعانى أو
( انثقافة اإلدراكية انجًعيةperubahan hukum disebabkan oleh perubahan pandangan dunia dan
budaya pengetahuan suatu masyarakat).
24
Abdul Mustaqim, Argumentasi Keniscayaan Tafsīr Maqāṣidi Sebagai Basis
Moderasi Islam; Pidato Pengukuhan dalam Bidang Ulum al-Qur‟an (Yogyakarta, UIN
Sunan Kalijaga, 2019), 8.
25
Jasser Auda, Maqāṣid al-syarī„ah ka Falsafah li al-Tasyrī‟ al-Islamī: Ru‟yah
Manzumiyyah, 399.
26
Ahmad al-Raysuni, Maqāṣid al-Maqāṣid (Beirut: al-Syabakah al-„Arabiyyah,
2013), 7.
27
Muhammad Rasyid Ridha, Huqūq al-Nisā fī al-Islām (Beirut: Maktabah al-
Islamiyyah, 1404 H), 6.
9
28
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī„ah
(Bandung: PT. Mizan Pustaka , 2015), 70.
29
Quraish Shihab, ”Tafsir dan Pemasyarakatan Al-Qur‟an”. Jurnal Suhuf , vol.1,
no.1 (Oktober 2008): 2.
10
B. Identifikasi Masalah
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dengan merujuk konsep
penafsiran Maqāṣidi melalui pendekatan sistem Jasser Auda kemudian
dirumuskan pokok permasalahan terkait penelitian yang hendak dibahas
yaitu “bagaimana poin maqāṣid ayat tentang kesaksian perempuan dengan
menggunakan pembacaan Jasser Auda melalui metode Tafsīr Maqāṣidī
berbasis Maqāṣid al-Syarī‟ah?”
E. Kajian Pustaka
30
M. Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an Kajian Tematik atas Ayat-ayat
Hukum dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Penamadani, 2005), 3.
31
M.Amin Abdullah, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum
Islam dalam Merespon Globalisasi”. Jurnal Asy-Syir‟ah, vol.46, no.2 (Juli-Desember
2012).
14
32
Muhammad Salahuddin, “Menuju Hukum Islam yang Inklusif-Humanistis:
Analisis Pemikiran Jasser Auda tentang Maqāṣid al-Syarī‟ah”. Jurnal Ulumuna, vol.16,
no.1 (Juni 2016).
33
Kusmana, “Epistemologi Tafsīr Maqāṣidī”. Jurnal Mutawatir, vol.6, no.2
(2016).
34
Wasfi Asyur, Nahwa al-Tafsīr al-Maqāṣidī li al-Qur‟ān al-Karīm Ru‟yah
Ta‟sisiyyah li Manhaj Jadid fi Tafsīr al-Qur‟an (Ribath: Mutafakkarun, tth).
15
berdasarkan pendapat dari Ibn Hazm salah satu tokoh intelektual muslim
dari Spanyol yang konsen di bidang fiqih dan ushul fiqh ini memberikan
penjabaran bahwa seluruh ayat-ayat mengenai kesaksian itu bersifat
umum. Maka, pernyataan ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa
kesaksian perempuan itu setara dengan kesaksian seorang laki-laki,
terlebih lagi fakta terkait perkembangan sosial masyarakat sekarang yang
sangat terbuka untuk perempuan berkiprah di berbagai urusan publik.
Penelitian ini mempunyai kesamaan objek yang diteliti yakni ayat-ayat
tentang kesaksian tetapi dalam penelitian ini tidak dijabarkan poin
maqāṣid yang berperan dalam menganalisis objek yang menjadi topik
pembahasan.39
Penelitian Halya Milati dengan judul Pendekatan Tafsir maqashidi
pada Ayat Gender. Skripsi jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Sunan
Ampel 2019 ini mendeskripsikan pendekatan tafsīr maqāṣidī yang
diimplementasikan Ibnu „Ashur pada ayat-ayat gender serta memberikan
penjabaran singkat terkait Maqāṣid al-Syarī„ah al-Khassah yang salah
satu poinnya mengenai persaksian.40
Sejauh pengamatan atas pencarian yang dilakukan, belum ada
sebuah kajian mengenai pembahasan tafsīr maqāṣidī khususnya yang
dikemukakan melalui sistem maqāṣid Jasser Auda dengan studi kasus
terhadap ayat tentang kesaksian perempuan. Maka beberapa variabel
tersebut diharapkan mampu memberikan penafsiran yang utuh serta
menampilkan paradigma baru yang sesuai dengan konsep utama ajaran
Islam.
39
Pradita Nur Alim, “ Status Kesaksian Wanita dalam Hukum Pidana Islam”
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016).
40
Halya Milati, “Pendekatan Tafsīr Maqāṣidī pada Ayat Gender” (Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2019).
17
F. Metodologi Penelitian
41
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur‟an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea
Press, 2014), 5.
42
Dadan Rusmana, Metode Penelitian al-Qur‟an dan Tafsir (Bandung: Pustaka
Setia, 2015), 24.
18
43
M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 27.
44
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian, 61.
19
45
Sistem adalah rangkaian hubungan seluruh elemen yang membentuk satu
kesatuan yang terintegrasi untuk melakukan beberapa fungsi. Dalam analisis sistem,
penulis berasumsi bahwa entitas yang sedang diteliti merupakan sebuah sistem. Lihat:
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam. h. 86.
46
Jasser Auda, Maqāṣid al-Sharī‟ah as Philosophy, 193-228.
20
G. Sistematika Penulisan
ْ َٱْل ّق َوأ
ًح َص ََ َت ْفصِريا َْ م ة
َ َْٰ َّ َ َ َ َ ُ ْ َ َ َ
ِ ِ جئِـ ِ وَل يأحُٔم ةٍِر ٍو إَِل
“Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqān (al-Qur`ān)
kepada hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam”
1
ibn Fāris, Mu‟jam Maqāyis al-Lugah, huruf f-s-r (Beirut: Dār al-Fikr, tth), 137.
2
al-Ragib al-Asfihani, al-Mufradāt fī Garīb al-Qur‟an (Lebanon: Dar al-Ma‟rifah,
tth), 380.
3
Jaseer Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah Dalīl li al-Mubtadiīn (Beirut: Maktabah al-
Tauzī‟ fī al-„Ālam al-„Arabi‟, 2011), 15.
23
24
4
Nūr al-Dīn al-Khādimī, al-Maqāṣid al-Syari‟āh: Ta‟rīfuhā, Amtsilatuhā,
Hujjiyyatuhā (Riyadh: Eshbelia, 2003), 22.
5
Qs. Al-Naḥl/ 16: 9 (perjalanan yang mudah, dekat); Qs. Luqmān/ 31: 19
(moderat/pertengahan dan seimbang); Qs. al-Taubah: 42 (jalan yang lurus); QS. Fātir: 32
(orang yang lurus).
6
Jaseer Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah Dalīl li al-Mubtadiīn, 12-14.
25
7
Jaseer Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah Dalīl li al-Mubtadiīn, 17.
8
Imām al-Tirmiżi, Sunan al-Tirmiżi باب يا جاء أٌ ال تقطع األيدي في انغزو, juz 3 (Beirut:
Dār al-Garb al-Islāmī, T.th), 105. Muṣṭafā Zaid, al-Maslaḥah fī al-Tasyri‟ al-Islāmi
(Cairo: Dār al-Fikr al-„Arabi, 1964), 161.
26
9
Syamsuddin ibn al-Qayyim, I‟lam al-Muwaqqi‟īn, juz 1 (Beirut: Dar al-Jil,
1973), 333.
30
Tabel 2.1
Imam-Imam Perintis Kajian al-Maqāṣid sebelum abad ke-5 H.
Nama Imam Karya al-Maqāṣid
Al-Tirmiżi al-Hakim (296 Al-Ṣalāh wa Maqāṣiduhā
H/908 M) Isṭbāt al-„Ilal
Abu Zayd al-Balkhi Al-Ibanah „an „ilal al-Diyanah
(w. 322 H/933 M) Masalih al-Abdan wa al-Anfus
Al-Qaffal al-Kabir Syasyi Mahasin al-Syara‟i
(w. 365 H/ 975 M)
Ibn Babawayh al-Qummi „Ilal al-Syara‟i
(w. 381 H/991 M)
Al-„Amiri al-Faylasuf Al-I‟lam bi Manaqib al-Islam
(w. 381 H/991 M)
Tabel 2.2
Imam-Imam al-Maqāṣid antara Abad ke-5 sampai Abad ke-8 H
Tabel 2.3
Ulama al-Maqāṣid Kontemporer
Nama Ulama Kontribusi
Rasyid Ridha (w. Menyarankan bahwa tujuan-tujuan pokok
1354 H/1935 M) syari‟at menurut al-Qur‟an adalah:
1) Reformasi pilar-pilar keimanan
2) Sosialisasai Islam sebagai agama fitrah
3) Menegakkan peran akal, pengetahuan,
hikmah, dan logika yang sehat
4) Kebebasan
5) Independensi
6) Reformasi sosial, politik, dan ekonomi
7) Hak-hak perempuan
Al-Tahir ibn „Asyur Mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum
(w. 1325 H/1907 M) Islam secara universal:
1) Ketertiban
2) Kesetaraan
3) Kebebasan
4) Kemudahan
5) Pelestarian fitrah manusia
Muhammad al- Mengkritik kecenderungan penafsiran secara
Gazali harfiah dan berpendapat bahwa al-Maqāṣid
(w. 1416 H/1996 M) sebagai reformis bidang HAM dan hak-hak
perempuan
Yusuf al-Qardawi Menyarankan bahwa pokok syari‟at menurut al-
(1345 H/1926 M) Qur‟an yakni:
1) Pelestarian akidah dan harga diri
2) Penyembahan Allah SWT.
33
3) Penjernihan jiwa
4) Perbaikan akhlak
5) Pembangunan keluarga
6) Memperlakukan perempuan dengan adil
7) Pembangunan bangsa muslim kuat
8) Kerjasama antar umat manusia
Taha Jabir al- Mengusulkan bahwa tujuan pokok menurut al-
Alwani Qur‟an yaitu:
(1354 H/1935 M) 1) Al-Tauhid (pengEsaan terhadap Allah)
2) Al-Tazkiyah (penyucian jiwa manusia)
3) Al-„Umran (peradaban manusia di muka
bumi)
10
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda (Ciputat: Yayasan
Pengkajian Hadits al-Bukhori, 2018), 67.
34
11
Kusmana, “Epistemologi, 223. Lihat juga Muhammad Tahir Ibn „Asyur,
Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah (Beirut: Dar al-Kitab, 2011), 273.
12
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah (Qatar:
Wizārah al-Auqāf wa asy-Syu‟ūn al-Islāmiyyah, 2004), 56.
13
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 251.
14
Eva Muzdalifah, “Hifz al-Nafs dalam al-Qur‟an: Studi dalam Tafsir Ibn „Asyur”
(Skripsi S1., UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019), 74.
15
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 3.
35
16
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, juz 1 (Tunisia: Dar al-
Tunisiyyah li al-Nashr, 1984), 39-40.
17
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 38.
18
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, 39.
19
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 40.
36
20
Ahmad al-Raysuni, Maqāṣid al-Maqāṣid (Beirut: al-Syabakah al-Arabiyah li al-
Abhats, 2013), 8-11.
21
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 69.
37
22
Ahmad al-Raysuni, Nazariyah al-Maqāṣid „inda al-Imam al-Syatibi (Riyad: al-
Dar al-Alamiah lilkitab al-Islami, 1995), 364.
23
Ahmad al-Raysuni, al-Kulliyat al-Asasiyyah li Syari‟ah al-Islamiyyah (Kairo:
Dar al-Kalimah, 2009), 26.
24
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 49.
25
Ahmad al-Raysuni, Nazariyah al-Maqāṣid „inda al-Imam al-Syatibi, 370.
38
26
Ahmad al-Raysuni, Nazariyah al-Maqāṣid „inda al-Imam al-Syatibi, 370.
27
Ahmad al-Raysuni, Nazariyah al-Maqāṣid „inda al-Imam al-Syatibi, 370.
39
28
Jasser Auda, Naqd Naẓariyyah al-Naskh Bahtsu fi Fiqh al-Maqāsidal-Syarī‟ah
(Beirut: al-Syabakah al-„Arabiyyah li al-Abhats wa al-Nasyr, 2013), 26-28.
40
29
Bandingkan dengan Wasfi Asyur, Nahwa al- Tafsīr al-Maqāṣidī li al-Qur‟ān
al-Karīm, 59.
BAB III
KONSTRUKSI MAQĀṢID JASSER AUDA
1
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 85-86.
41
42
2
Lihat Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 86.
3
M. Amin Abdullah, Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Pendekatan
Filsafat Sistem dan Ushul Fikih Sosial (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), 2.
4
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 86-87.
43
5
Lihat Imam Feisahl Rauf, Islam Amerika, terj. Zulkarnaen Ishak (Bandung:
Mizan, 2013), 41.
46
1. Al-Idrākiyyah (Kognisi)
Pada hakikatnya, pemikiran (kognisi) saling berkaitan dan
berkorelasi,6 tidak berdiri sendiri dan merupakan hasil dialektika antara
subjek dengan konteks dan realitas yang dihadapinya. Berdasarkan teori
sistem ini maka sebuah pemikiran atau konsep keilmuan memiliki
keniscayaan untuk terbuka dan selalu berkembang. Perkembangan suatu
pemikiran akan menghasilkan sebuah pemahaman yang harus dilandasi
dengan persepsi yang baik agar seseorang dengan pemikiran dan
pemahaman yang dimilikinya bisa menangkap makna secara holistik.
Bahkan menurut Jasser Auda, perangkat dari al-Fiqh yakni proses
memahami itu harus mencakup dari tiga unsur: al-Fahm (pemahaman), al-
Taṣawwur (konsepsi), al-Idrāk (kognisi).7
Proses penafsiran tentunya melibatkan setiap horizon dari seorang
penafsir tersebut, maka perlu adanya pembentukan paradigma di awal
bahwa al-Qur‟an adalah wahyu sedangkan penafsiran atasnya bukanlah
wahyu. Sehingga tidak perlu ada legitimasi atas segala bentuk hasil
interpretasi seseorang terhadap sebuah teks suci, karena hal tersebut hanya
akan memunculkan nuansa subjektif dari pemahamannya sendiri yang
bersifat ẓan (dugaan) dan bukan sesuatu yang qaṭ‟i (pasti).
2. Al-Kulliyah (Menyeluruh/Utuh)
Pendekatan sistem melalui fitur ini memberikan aksentuasi pada
keutuhan dan kemenyeluruhan. Hal ini tentunya memiliki kelebihan
tersendiri karena menjadi unsur yang mampu dimunculkan untuk
mengkritik dan menutupi kekurangan yang terdapat pada pemikiran-
6
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 95.
7
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 312; Lihat juga Badr al-Dīn al-
„Aynī (w. 855 H),‟Umdah al-Qārī Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, juz 2 (Beirut: Dār Iḥyā‟ al-
Turāts al-„Arābī, t.th), 52.
47
8
Al-Rāzī, al-Maḥṣūl fī „Ilm Uṣūl al-Fiqh, 391-406.
9
Al-Syaṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī‟ah, juz 3, 174.
10
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 98.
48
11
Lihat Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid (Kairo: Dār al-
Hadits, 2004), 9.
12
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 329.
49
13
Lihat jurnal Dayu Aqraminnas, “Kontribusi Jasser Auda, 132.
14
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah wa Tajdid al-Fiqh al-Islām al-Mu‟āṣir, 16.
Lihat Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 148.
15
Amin Abdullah, Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, 128.
50
16
Dayu Aqraminnas, “Kontribusi Jasser Auda, 133.
17
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah as Philosophy, 55.
18
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 77.
51
19
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 109. Bandingkan dengan Jaseer
Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah Dalīl li al-Mubtadiīn, 28.
20
Abdul Wahhāb Khallāf, „Ilm Uṣūl al-Fiqh, 140.
21
Al-Ghazālī, al-Mustasyfā min „Ilm Uṣūl, 287.
52
22
„Abd al-Karīm Zaydān, al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh, 277-278.
23
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 364-365.
53
ؾيً يتؿد ِف كضايا اىلرأن الهريً اىٍخحدة ٌؿىن أو اغيث ؾَ ظريق مجؽ آياحٓا
اىٍخفركث وانلؼر فيٓا لَع ْيئث خمطٔضث بليان ٌؿِاْا واشخخرج ؾِارصْا
وربعٓا ةرباط جاٌؽ
“Tafsir mauḍū‟i adalah kajian yang membahas terkait al-Qur‟an
melalui pengintegrasian maksud atau tujuan dari al-Qur‟an tersebut
dengan cara mengakumulasikan ayat-ayat yang berbeda berdasarkan
syarat-syarat khusus untuk menjelaskan makna secara keseluruhan
disertai indikator dan ketentuan-ketentuan tertentu.”24
24
„Abd al-Sattar Fathullah Sa‟id, al-Madkhal ila Tafsir al-Maudhu‟i (Madinah:
Dar al-Tauzi‟ wa la-Nasyr al-Islamiyyah, t.th), 20.
25
Zahir ibn Awwad al-Ma‟I, Dirasat fi Tafsir al-Maudhu‟I li al-Qur‟an al-Karim
(Riyad: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wataniyyah Atsna‟ al-Nasyr, 2008), 9.
26
Salah Abdul Fatah al-Khalidi, al-Tafsir al-Maudhu‟I bayna al-Naẓariyyah wa
Tatbiq, 42-48.
54
27
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah as Philosophy, 232.
28
„Abd al-Sattar Fathullah Sa‟id, al-Madkhal, 30.
29
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid, 75-76.
55
30
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid, 77.
31
Al-Suyuthi, al-Asybāh wa al-Nazāir fi Qawā‟id wa Furū‟ Fiqh al-Syāfi‟I, juz
1(Beirut: Dar al-Kitab al-„Alamiyyah, 1983), 192.
32
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 351.
33
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid, 89.
34
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid, 121.
56
فتصاكعا.
f. Pilihan (al-Takhyīr/choice)
Metode ini merupakan cara terakhir seorang ulama untuk
memilih dalil yang dinilai cocok dengan situasi yang dihadapi.37
35
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid: Ināṭah al-Ahkām al-Syar‟iyyah bi Maqāṣidihā,
128-129. Bandingkan dengan Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 352.
36
Lihat Nafiz Husain Hammad, Mukhtalif al-Hadits baina al-Fuqaha‟ wa al-
Muhadditsin (Damaskus: Dar al-Nawadir, 2012), 127.
37
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 353.
BAB IV
KESAKSIAN PEREMPUAN PERSPEKTIF TAFSĪR MAQĀṢIDĪ
JASSER AUDA
1. Pengertian Kesaksian
Indonesia adalah kata benda yang berarti “orang yang melihat atau orang
1
Majma‟ al-Lugah al-„Arabiyah, al-Mu‟jām al-Wasīt, cet 2, juz 1 (Mesir: Dār al-
Ma‟ārif, 1392 H/1972 M), 497. Lihat juga Ibnu Manẓūr, Lisān al-„Arāb, juz 4 (Kairo:
Dār al-Miṣriyah, t.th), 226.
2
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), 825.
3
Muhammad ibn Mukarram al-Anshari, Lisān al-„Arāb, 222.
57
58
b. Mazhab Maliki
4
Ibn al-Human, Syarah Fath al-Qadīr, juz 7 ( Mesir: Musṭhafa al-Bab al-Halabi,
1970 ), 415.
5
Syeikh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal „Ala Minhaj li Syaikh al-Islam
Zakaria al-Anshari, juz 10 (Beirut: Dar al-Fikri, T.th), 741.
6
Majmu‟atun min al-Muallifina, al-Mausū‟ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 26
(Kuwait: Wizarah al-Auqati wa asy-Syuun al-Islamiyah, 1427 H), 216.
7
Zain al-Bahr, al-Raqāiq Syarh Kanz al-Daqāiq, juz 2 (Beirut: Dār al-Ma‟rifah),
55-56.
59
bahwa maksud hadis ini adalah dua orang saksi laki-laki (ٌ )انشاهداatau satu
orang saksi laki-laki ) ( انشاهدdan dua orang saksi perempuan. Menurut al-
Jaṣṣaṣ, penjabaran makna al-Bayyinah dalam hadis tersebut yakni:
ِالشاْدان أو الشاْد واىٍرأحان لَع اىٍد
2. Pengertian Perempuan
Perempuan memiliki artian wanita, istri, atau bini.8 Dalam bahasa
Arab, perempuan disebut al-Mar‟ah atau al-Untsā (manusia yang berjenis
kelamin perempuan secara umum, baik yang masih bayi sampai yang
sudah berusia lanjut). Al-Mar‟ah jamaknya al-Nisā dan al-Niswah berarti
perempuan yang sudah matang dan dewasa.9 Merujuk kepada al-Qur‟an,
kata al-Nisā disebutkan sebanyak 57 kali sedangkan kata al-Niswah
hanya disebutnya sebanyak 2 kali yaitu pada surah Yūsuf ayat 30 dan ayat
50:
َّ ََ َ َ
صِّۖۡۦ ك أد شغف َٓا ُح ًّتاۖۡ إُِا
َ َّ أ ََ ُ ُ
يز ح َرٰوِد ُ َ ٱم َرأ
َ ت أٱى َ ِف ٱل أ ٍَدٞ َوكَ َال ن أِص َٔة
ِيِثِ أ
ِ فخى ٰ َٓا ؾَ نف ِ ِ ز ؿ ِ
ُّ َ َ َٰ ََ َ
ٖ ِ ىَنىٓا ِِف ضل ٰ ٖو ٌت
٣٠ ني
8
DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet 1 (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), 670.
9
Ibnu Manẓūr, Lisan al-„Arab, juz 15, 32. Bandingkan dengan Mu‟jam Mufrad
Alfāẓ al-Qur‟an, 513. Lihat juga Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyah, al-Mu‟jām al-Wasīt,
juz 2, 860.
61
10
Sahabuddin, Ensiklopedi al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 78. Lihat juga
Syaikh Muhammad al-Aẓim, Syarh Sunan al-Tirmiẓi (Kairo: Dār al-Hadits, 2001), 451.
11
Sahabuddin, Ensiklopedi al-Qur‟an, 728-729.
62
12
QS. Ali Imran/ 3: 35, QS. al-Qaṣaṣ/ 28: 9, QS. al-Tahrīm/ 66: 10.
13
Abdul Qadir „Audah, al-Tasrī‟ al-JināI al-Islāmi, juz 2 (Beirut: Muassasah al-
Risālah, 1997), 135.
63
Ibn Hazm mengatakan bahwa jika ditinjau dari segi keadilan tanpa
dibedakan antara laki-laki dan perempuan, maka keduanya boleh saja
menjadi saksi dalam setiap perkara. Seperti halnya dapat diterima
14
al-Syaukānī, Nail al-Auṭār, juz 6 (Beirut: Dār al-Jīl, 1973), 311.
15
al-Syaukānī, Nail al- al-Auṭār, juz 8, 183.
64
kesaksian tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam perkara
zina.16
Berbeda lagi dengan uraian al-Ghazali yang hanya membolehkan
kesaksian perempuan dalam kasus qatl al-Khaṭa (pembunuhan keliru) dan
semua kasus al-Jarh (pelukaan) yang tidak ada kewajiban membayar diyat
maka saksinya boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan.17 Sedangkan al-Syafi‟i hanya membolehkan kesaksian
perempuan dalam kasus al-Jarh (pelukaan) yang tidak ada hukuman
qiṣāṣnya, baik dilakukan secara sengaja atau tidak disengaja dengan syarat
harus disertai saksi laki-laki.18
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas fuqahā
sepakat mengenai kesaksian perempuan dalam tindak pidana khususnya
qiṣāṣ syaratnya harus saksi laki-laki sehingga kesaksian perempuan dalam
masalah ini tidak diterima karena kesaksian perempuan mengandung
syubhat berupa badal (keraguan dalam pergantian). Namun para ulama
juga menerima kesaksian perempuan dalam masalah pembunuhan juga
menerima kesaksian perempuan dalam masalah pembunuhan jika terdapat
bukti-bukti yang kuat untuk menetapkan kebenaran kesaksiannya.19
2. Kesaksian Perempuan dalam Hukum Munakahat (Pernikahan)
Mengenai kesaksian perempuan dalam pernikahan, para ulama juga
berbeda pendapat. Mazhab Maliki, Syafi‟i, dan salah satu riwayat dari
Mazhab Hambali tidak menerima saksi perempuan dalam pernikahan,
talak, dan rujuk, secara mutlak baik disertai laki-laki maupun tidak disertai
laki-laki. Berdasarkan hadis Nabi SAW:
16
Ibn Hazm, al-Muḥallā, juz 9 (Beirut: Dār al-Fikr), 401.
17
Al-Ghazali, al-Wasīṭ fi al-Maẓhab, juz 7 (Kairo: Dār al-Salām, 1417 H), 366.
18
Al-Syafi‟I, al-Umm, juz 7 (Beirut: Dār al-Fikr, 1990), 49.
19
Mahmūd Syalṭūt, al-Islām „Aqidah wa Syari‟ah, cet 3 (Dār al-Qalām, 1966),
250.
65
الرقِ ُّى
َّ حدثنا ُسلَْي َما ُن بْ ُن عُ َمَر بْ ِن َخالِ ٍد،ضَرِم ُّى ْ حدثنا أَبُو َح ِام ٍد ُُمَ َّم ُد بْ ُن َه ُارو َن
ْ َاْل
ِ ُّ َع ِن، َعن سلَْيما َن بْ ِن موسى، َع ِن ابْ ِن جريْ ٍج، حدثنا ِعيسى بْن يونُس،
،ى ّ الزْه ِر َ ُ َ ُ ْ َُ َ ُ ُ َ
ِ َ ََ َّ َ َ َّ َ ُ ُ َ ق: قالت، عن عائِشة،عن عروة
َّاح إِل َ لَ ن َك: ًال رشٔل اَّلل ضَّل اَّلل ؾييِّ وشي َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ُْ ْ َ
20
َّ ِل َم ْن لَ َوُّ ِالس ْلطَا ُن َو ِ ٍ ِ ِِبِو
ُل لَه ُّ َ ف،اج ُروا
َ فَإ ْن تَ َش،ل َو َشاه َد ْى َع ْدل َّ
“Abu Hamid Muhammad bin Harun Al Hadhrami menceritakan
kepada kami, Sulaiman bin Umar bin Khalid Al-Raqqi menceritakan
kepada kami, Isa bin Yunus menceritakan kepada kami, dari Ibnu
Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari
Aisyah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Nikah tidak sah
kecuali jika menyertakan wali dan dua orang saksi yang adil. Jika
mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak
mempunyai wali.”
Al-Dimyaṭī juga menolak saksi perempuan dalam pernikahan walaupun
jumlahnya dua orang dan disertai laki-laki.21 Dalil aqli yang dijadikan
dasar argumentasi dalam menolak saksi perempuan karena pernikahan
merupakan akad yang bukan harta dan biasanya dapat dilihat oleh kaum
laki-laki.
Mazhab Hanafi, Hanbali, dan salah satu riwayat dari Syi‟ah
Zaidiyah membolehkan kesaksian perempuan dalam pernikahan dengan
jumlah saksi dua orang perempuan disertai satu orang laki-laki. Dalil al-
Qur‟an yang dikemukakan:
َ َ َ َ أٞ ُ َ َ ّ َ ُ أ َ َّ أ َ ُ َ َ ُ َ أ َ أ َ أ ُ ْ َ َأ
ٍََِّ ان م
ِ ني فرجو وٱمرأح ِ وٱشتش ِٓدوا ش ِٓيدي َِ ٌَِ رِجاى ِلًۖۡ فإِن ىً يلُٔا رجي
ٓ ُّ َ َ
ِح أر َض أٔن ٌ ََِ ٱلش َٓ َداء
20
Ali Ibn Umar Al-Daruqutni, Sunan Al-Dāruquṭni, Juz 2 (Beirut: Dar Al-Fikr,
1994), 139.
21
Al-Dimyaṭī, I‟ānah al-Ṭālibīn, juz 3 (Semarang: Taha Putra), 298.
66
satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam kesaksian sama
dengan adanya dua orang saksi, maka satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan juga dimaksudkan dalam hadis tentang nikah ( ال َكاح إال بىني
kemudian diperjelas oleh kalimat selanjutnya yakni saksi dua orang laki-
22
Dalam kitab Tabaqāt al-Mufassirīn karya al-Suyūṭi terdapat enam tokoh
mufassir yang memiliki nisbah “Al-Qurṭūbī” yakni: Baqi ibn Makhlād ibn Yazīd Abu
Abd al-Rahmān al-Andalūsi al-Qurṭūbī (201-276 H/ 816-889 M), „Abd al-Jalil ibn Musa
ibn „Abd al-Jalīl Abū Muhammad al-Anṣāri al-Andalūsi al-Qurṭūbī (608 H/1211 M),
„Abd al-Rahmān ibn Marwan ibn „Abd al-Rahmān al-Anṣāri al-Qurṭūbī (341-413 H/95),
„Ubaidullah ibn Muhammad ibn Malik Abu Marwan al- Qurṭūbī (340-400 H/952-1009
M), Muhammad ibn „Umar ibn Yusuf al-Qurṭūbī (558-631 H/1162-1233 M), dan yang
terakhit yang penulis maksud yakni Abū „Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anṣāri al-
Maliki al-Qurṭūbī (w. 671 H/1273 M).
23
Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakar Abu „Abdillah Al-Qurṭūbī, al-Jamī‟ li
Ahkām al-Qur‟an, juz 3 (al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1384 H/1964 M), 391.
68
24
Muhammad ibn „Ali al-Syaukani, Fath al-Qadīr, Juz 1 (t.th.), 452.
25
Abu al-Faḍal Mahmūd al-Alūsī, Rūh al-Ma‟ānī fī Tafsīr al-Qur‟an al-„Aẓīm wa
al-Sab‟i al Matsānī, Juz 3 (Bairut: Dar Ihya‟ al-Turats al-„Arabi, t.th.), 58.
69
26
Muhammad Ṭahir ibn „Asyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Juz 3 (Tunis: al-Dār al-
Tunisiyah, 1984), 109.
27
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Tafsīr al-Sya‟rawi, Juz 2 (al-Azhar:
Mujamma‟ al-Buhuts al Islamiyah, 1411 H/1961 M), 1217.
70
persaksian dalam hal harta benda dan yang terkait, tetapi tidak pada
persoalan hukum pidana fisik seperti hukum dera/cambuk dan qiṣaṣ.
Begitupun yang terkait dengan masalah rumah tangga seperti perceraian,
nikah dan rujuk, dengan mengutip pendapat para Imam Mazhab, bahkan
Wahbah lebih menyoroti pada kesaksian yang ditolak bagi laki-laki
maupun perempuan, yaitu kesaksian yang mencurigakan atau bisa
menimbulkan tuduhan dan dugaan karena terjadi konflik kepentingan.28
Tabel 4.1
Kesaksian Perempuan dalam Tindak Pidana
Mazhab Pendapat
Jumhur Ulama Menolak, dalam seluruh kasus qiṣāṣ.
al-Auza‟i, al- Menerima, dalam seluruh tindak pidana terkait
Zuhrī, al- qiṣāṣ.
Syaukānī , Ibn
Hazm
al-Ghazali Menerima, dalam kasus qatl al-Khaṭa (pembunuhan
keliru) dan semua kasus al-Jarh (pelukaan) yang
tidak ada kewajiban membayar diyat. Syarat saksi
terdiri dari dua orang perempuan dan satu orang laki-
laki.
al-Syafi‟i Menerima, hanya kasus al-Jarh (pelukaan) yang
tidak ada hukuman qiṣāṣnya serta syarat saksi harus
disertai laki-laki.
28
Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidah wa al-
Syari‟ah wa al-Manhaj, Juz 3 (Damaskus: Dar al-Fikr al- Mu‟ashir, 1418 H), 119.
71
Tabel 4.2
Kesaksian Perempuan dalam Pernikahan
Mazhab Pendapat
Hanafi Membolehkan, dengan syarat harus disertai laki-
laki minimal satu orang.
Maliki, Syafi‟i, Tidak membolehkan, dikarenakan laki-laki
Hanbali merupakan syarat kesaksian dalam pernikahan.
Ẓahirī Membolehkan, dengan syarat jumlah minimal
empat orang perempuan msekalipun tidak disertai
laki-laki.
Tabel 4.3
Nilai Kesaksian Perempuan
Nilai Kesaksian Mufassir
Perempuan
1. al-Qurṭūbī, Jami‟ li Ahkām al-Qur‟an
2. al-Syaukāni, Fath Al-Qadīr
Bernilai “Separuh” 3. Ibn „Arabī, Ahkām al-Qur‟an
4. Kiya al-Harasi, Ahkām al-Qur‟an
5. Ibn Katsīr, Tafsir al-Qur‟an al-„Aẓim
6. al-Alūsi, Ruh al-Ma‟ānī
1. M. Abduh & Rasyid Ridha, Tafsir al-
Bernilai “Sama” Manār
2. Ibn „Asyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr
3. al-Sya‟rawi, Tafsir al- al-Sya‟rawi
72
29
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, al-Mar‟ah fi al-Qur‟an (Kairo: Akhbar al-
Yaum, t.th.), 45.
73
30
Lihat juga Abbas Mahmud al-Aqqad, Al-Mar‟ah fi al-Qur‟an (Beirut: Dar al-
Kutub al-Arabi, t.th.), 107.
31
Tengku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), 136.
75
Tabel 4.4
Perbandingan Alat Bukti
No Hukum Islam Hukum Pidana Hukum Perdata
1 Iqrar (Pengakuan) Keterangan saksi Bukti tulisan
2 Syahadah Keterangan ahli Bukti saksi
(Kesaksian)
3 Yamin (Sumpah) Surat Persangkaan-
persangkaan
4 Qarinah (Petunjuk) Petunjuk Pengakuan
5 Bukti Tertulis Keterangan Sumpah
terdakwa
32
QS. al-Nisa/ 4: 15 kesaksian tentang zina, QS. al-Nisa/ 4: 106 kesaksian terkait
wasiat, QS. al-Nur/ 24: 4 Kesaksian dalam masalah qazf, QS. al-Nur/ 24: 6, QS. al-Ṭalaq/
65: 2 kesaksian dalam masalah thalaq dan „iddah.
33
Muhammad „Alī Al-Ṣābuni, Ṣafwah al-Tafāsir, juz 1, 160.
76
34
Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓim, juz 1, 127. Lihat juga al-Jaṣṣas, Ahkām
al-Qur‟ān, juz 2, 205. Bandingkan dengan al-Qurṭūbi, Tafsīr al-Qurṭūbi, juz 3, 377.
35
Wahbah Zuhailī, Tafsīr Munīr, juz 3, 102. Lihat juga Kiyā al-Harāsi, Tafsīr
Ahkām al-Qur‟ān, juz 1, 237.
77
36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 731-732.
37
Al-Ṭabari, Tafsīr Jami‟ al-Bayān, juz 6, 97-98.
38
Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 7, 127.
78
39
Lihat Dayu Aqraminnas, “Kontribusi Jasser Auda dalam Kajian al-Qur‟an:
Interpretasi Berbasis Sistem, 142.
40
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2 (jakarta: Kencana, 2008), 182-185.
79
Dalam hal ini, Allah adalah pihak tertinggi yang menuntut agar perintah
tersebut dipatuhi. Sedangkan manusia sebagai mukallaf adalah pihak yang
rendah dan diharuskan untuk melaksanakan perintah.41
Oleh karena itu, kedudukan naṣ, khususnya ayat 282 surah al-
Baqarah merupakan wahyu dari Allah Swt yang diperuntukkan kepada
manusia. Manusia sebagai hamba-Nya sudah sepatutnya mematuhi
perintah-perintah tersebut. Perintah adanya persaksian dan pencatatan
terhadap transaksi muamalah mengandung kemaslahatan yang besar bagi
pelakunya. Catatan tersebut merupakan alat bukti, apabila dikemudian hari
nanti terdapat perselisihan, dapat digunakan untuk membuktikan transaksi
yang telah dilakukan.
Dalam pandangan mazhab Hanafi, ayat ini juga mencakup persoalan
hukum keluarga. Sebagaimana diterangkan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh
al-Sunnah bahwa mazhab Hanafi membolehkan saksi dalam perkawinan
satu orang laki-laki dan dua perempuan. Selain itu, perkawinan merupakan
suatu hal yang serupa dengan jual-beli (yang merupakan transaksi
pertukaran) sehingga kesaksian perempuan berlaku seperti kesaksian laki-
laki.42Menurut Mazhab Hanafi, perkawinan cukup hanya dengan saksi
sebagai alat bukti karena pada saat itu belum seperti sekarang ini, sehingga
mazhab ini tidak memasukkan pencatatan dalam perkawinan, tetapi
mazhab ini berpandangan bahwa ayat 282 juga mencakup muamalah
perkawinan.
41
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), 246.
42
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 3, 275-276.
80
انًعايهةyang berakar pada kata َعه ًَ َمkata muamalah sama dengan kata ُيفَا َعهَة
artinya saling berbuat atau berbuat secara timbal balik yang secara
Muamalah adalah aspek hukum Islam yang ruang lingkupnya luas. Pada
dasarnya aspek hukum Islam yang bukan termasuk kategori ibadah, seperti
shalat, puasa dan haji dapat disebut muamalah. Karena itu, masalah
43
Lihat Abdul Rahman Ghazaly dkk., Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010),
3. Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 1.
44
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), 1.
81
َ َ َ َّ َّ َ َ أ َّ َ أ
٢ َّلل َي َؿو ُهلۥ خم َر ّٗجا ٱٓأۡلخ ِِرِۚ وٌَ يخ ِق ٱ
45
Muhammad „Alī al-Ṣābuni, Ṣafwah al-Tafāsir, juz 1, 160.
46
M. Quraish Shihab, al-Misbah, 138-139.
82
ؾتارة انلص يه دَلىث الالكم لَع اىٍؿىن اىٍلطٔد ٌِّ أضاىث أو حتؿا
„Ibārah al-nas ialah petunjuk kalimat (lafal) kepada pengertian yang
dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh
kalimat itu sendiri.”
Maka ringkasnya, „Ibārah al-nas berarti petunjuk lafal kepada suatu
pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh
lafal nas itu sendiri.
Sedangkan terdapat bentuk lain yang dimaksud dengan Isyārah al-
naṣ:48
يه دَلىث اليفغ لَع اْللً لً يلطد أضاىث وَل حتؿا ولهِّ َلزم ليٍؿىن اذلي شيق
الالكم
Isyārah al-naṣ ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum
yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nas tetapi merupakan
kelaziman bagi arti yang diungkapkan tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa isyārah al-Naṣ itu
sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan
untuk arti menurut asalnya. Tegasnya, isyārah al-Naṣ itu ialah dilālah lafal
yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat.
47
Wahbah Zuhaili, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 349.
48
Zaky al-Din Sya‟ban, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī (Mesir: Dar al-Ta‟lif Lit-
tiba‟ah,1965), 363-364.
83
َ َ َ َ َ َ َ أٞ ُ َ َ ّ َ ُ أ َ َّ أ َ ُ َ َ ُ َ أ َ َأ
ََِ ٌ ان م ٍََِّ ح أرض أٔن
ِ ني فرجو وٱمرأح ِ ش ِٓيدي َِ ٌَِ رِجاى ِلًۖۡ فإِن ىً يلُٔا رجي
84
َ أ ُأ َ َ ٓ َ ُّ
َ ٓ ُّ ٰٓۚ ض َّو إ ِ أح َدى ٰ ُٓ ٍَا َف ُخ َذ ّن َِر إ ِ أح َدى ٰ ُٓ ٍَا ٱأل أخ َر
ى َوَل يَأ َب ٱلش َٓ َدا ُء إِذا ٌَا ِ ٱلش َٓداءِ أن ح
َّ َ ُ َ َٰ ُ أ َ أ َ َ َ ً َ ُ ُ ْ ََ َأ ُ ْ َ َ أ ُُ ُ َ ً َأ
َّٰٓ ِ دؾ ۚٓٔا وَل تسَٔٔم ٓٔا أن حلختٔه ض ِغريا أو نتِريا إ
ِ ٱَّلل ِِد
ؾ ط ص ك أ ً ِل ىذ ِۦ
ٓۚ ِ ىل أ
ّ يج
ُ َ ُ ُ ّٗ َ َ ً َ ٰ َ َ ُ َ َ ٓ َّ ْ ٓ ُ َ َ َ أ َ ُ َّ َ ٰ َ َ َ أ َ َّٰٓ َ َّ َ أ
ًِيرون َٓا ةَ أيَِل أ ِ وأكٔم ل ِيشهدة ِ وأدّن أَل حرحاةٔا إَِل أن حلٔن ح ِجرة ح
اِضة حد
َ ٞ َ َّ َ ُ َ َ َ َ أ َ َ َ أ ُ أ ُ َ ٌ َ َّ َ أ ُ ُ َ َ َ أ ُ ٓ ْ َ َ َ َ أ ُ أ
ِب َوَل فييس ؾييلً جِاح أَل حلختْٔاۗ وأش ِٓدوا إِذا تتايؿخ ًۚٓ وَل يضٓار َكح
ُّ ُ َّ ٱَّللۗ َو ُ ُ ّ َ ُ َ َ َّ ْ ُ َّ َ ُ أ
ُ َّ ًُ ل ُۢ ُ يد ِإَون َت أف َؿئُا ْ فَإَُّ ُّۥ فُ ُصٞ َ
ٱَّلل ةِل ِو ٍِ ٔق ةِلًۗ وٱتلٔا ٱَّللۖۡ ويؿي ِ ٓۚ ِٓ ش
َ أ
ٞ َش ٍء َؾي
٢٨٢ ًِي
49
Al-Syafi‟i, al-Umm, juz 7, 86. Bandingkan dengan Kiyā al-Harāsi, Tafsīr
Ahkām al-Qur‟ān, juz 1, 251-252.
85
Sedangkan menurut jumhur ulama, maksud ayat مٞ فَإٌِ نَّ ۡى يَ ُكىََا َر ُجهَ ۡي ٍِ فَ َر ُج
ِ ( َو ۡٱي َرأَتjika tidak ada dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua
ٌَا
mendatangkan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang
kesaksiannya sekalipun ada dua orang saksi laki-laki. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ibn „Arabi yang mengatakan bahwa kalimat فَإٌِ نَّ ۡى يَ ُكىََا
ٍِ َر ُجهَ ۡيbermakna jika kedua saksi bukan dua orang laki-laki, karena pada
ayat tersebut tidak disebutkan ٍِ فَإٌِ نَّ ۡى يىجد َر ُجهَ ۡي.52 Meskipun terdapat
“jika kedua saksi laki-laki tidak didapatkan, maka kesaksian dua orang
50
Al-Ghazali, al-Wasīṭ fi al-Maẓhab, juz 7, 366.
51
Rasyid Riḍā, Tafsir al-Qur‟ān al-Hakīm, juz 3 (Kairo: Dār al-Manār, 1365 H),
391.
52
Ibn „Arabi, Ahkam al-Qur‟an, juz 1 (Beirut: Dar al-kutub al-„ilmiyyah), 334.
53
Al-Qurṭūbī, al-Jamī‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz 3 (Beirut: Dār al-Syabāb, 1372
H), 397.
86
54
Al-Syalabī, Jawāhir al-Hisān fi Tafsir al-Qur‟an, juz 1, 231.
55
Al-Syaukanī, Fath al-Qadir, juz 1 (Beirut: Dār al-Fikr), 302.
56
Al-Baiḍawī, Tafsīr al-Baiḍawī, juz 1 (Kairo: Dār al-Miṣriyyah), 579. Lihat juga
al-Ṣābūnī, RawāI‟ al-Bayān, juz 1, 178.
57
Al-Qurṭūbī, al-Jamī‟ li Aḥkām al-Qur‟ān,
58
Tafsir Departemen Agama RI (LPMQ, 2009), 289-290.
87
tidak bisa ditetapkan serta tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum
bagi seorang hakim, karena pada dasarnya yang menjadi tuntutan hukum
adalah bukti nyata (al-Bayyinah). Sebagaimana disebutkan oleh Ibn al-
Qayyim bahwa bukti nyata lebih diutamakan daripada persaksian.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa hal yang bisa dijadikan sebagai
landasan hukum untuk memutuskan suatu perkara yaitu segala sesuatu
yang bisa membuktikan dan mengungkap kebenaran tersebut. Bahkan,
seorang hakim dapat menetapkan hukum suatu perkara berdasarkan
indikasi-indikasi atau bukti-bukti yang pasti, termasuk juga kesaksian
seorang non-muslim yang bisa dipercaya kesaksiannya.59
Mengenai kesaksian dua orang perempuan yang disetarakan dengan
kesaksian satu orang laki-laki itu bukan karena perempuan memiliki akal
yang lemah dan kurang sempurna kemanusiaannya sehingga
menyebabkan berkurang kekuatan persaksiannya, tetapi hal ini disebabkan
karena perempuan tidak semestinya menyibukkan diri dengan berbagai
urusan terkait masalah keuangan dan harta kekayaan lainnya. Kemudian
perempuan dikatakan memiliki daya ingat yang lemah dalam urusan
tersebut karena perempuan biasanya disibukkan dengan urusan
kerumahtanggaan sehingga dalam hal ini daya ingat perempuan lebih kuat
dibandingkan daya ingat laki-laki. Hal ini selaras dengan tabiat manusia
itu sendiri yakni dalam perkara serta masalah yang terkait dengan
pekerjaan, aktivitas, atau profesinya, maka daya ingat manusia tersebut
cenderung menjadi kuat.
Selanjutnya menurut Syaikh Muhammad Syalṭūṭ, ayat tersebut
berkenaan dengan kondisi lazim yang berlaku pada diri perempuan yakni
mayoritas dari mereka tidak menghadiri majelis-majelis utang piutang dan
bursa-bursa perdagangan. Berbeda lagi sekiranya sebagian dari mereka
59
Mahmūd Syalṭūt, al-Islām „Aqidah wa Syari‟ah, 249.
88
ada yang aktif serta giat beraktivitas dalam bidang ini, maka hal tersebut
sama sekali tidak menafikan sifat-sifat yang memang sudah menjadi tabiat
dalam diri perempuan. Apabila ayat ke-282 dalam surah al-Baqarah
tersebut memberikan bimbingan berupa bentuk jaminan yang paripurna,
dan kaum perempuan juga diakui kehadiran dan bentuk keterlibatannya
dalam urusan perniagaan dan masalah utang piutang yang ada dalam
masyarakat, maka kaum perempuan itu juga berhak dan memiliki nilai
jaminan atau kekuatan hukum seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki.60
Berdasarkan pemaparan di atas, maka untuk menjadi saksi ahli di
pengadilan dengan status perempuan yang memiliki keahlian dan
kepakaran dalam perkara tersebut dapat diterima.
Dalam perkara lain, para fuqahā menetapkan bahwa terdapat
kesaksian yang hanya dapat diputuskan dengan menerima kesaksian dari
perempuan, yaitu dalam masalah yang menurut kebiasaan hanya berlaku
pada kaum perempuan serta tidak diketahui oleh kaum laki-laki seperti
kelahiran dan aib perempuan. Demikian pula terdapat perkara-perkara
yang hanya diputuskan berdasarkan kesaksian laki-laki saja, seperti
perkara yang biasa mempengaruhi kehalusan perasaan perempuan.61
Ayat ini memang secara lengkap mengatur konsep kesaksian dalam
bermuamalah. mencakup perintah, kualifikasi saksi, kuantitas saksi dan
sampai kepada kewajiban bersaksi. Masalah yang tidak luput dari bahasan
para mufassir mengenai kedudukan saksi laki-laki dengan perempuan
dalam ayat tersebut, dibahas oleh Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-
Munīr melalui penjelasan beliau mengenai sebab kesaksian dua orang
perempuan sama dengan kesaksian satu orang laki-laki.
60
Mahmūd Syalṭūt, al-Islām „Aqidah wa Syari‟ah, 249-250.
61
Tafsir Departemen Agama RI (LPMQ, 2009), 291.
89
62
Wahbah Zuhailī, Tafsīr Munīr, juz 3, 170-111.
90
63
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 1, 736. Bandingkan dengan
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Fiqh al-Mar‟ah, 8-12.
91
64
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 95-96. Lihat juga Badr al-Din
al-„Aini, „Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, juz 2, 52.
65
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 96-97.
92
66
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 98.
93
67
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 104.
94
68
Jasser Auda, Maqāsid al-Syarī‟ah Dalīl li al-Mubtadiīn (London: al-Ma‟had Ali
li al-Fikr al-Islami, 2011), 80-81.
95
dan nominalis.
2. Holistik Meninjau suatu Landasan bersama antar
hal secara utuh Mazhab dengan
sehingga terhindar menyisipkan metode
dari pemahaman maudhu‟I (tematik).
parsial.
3. Keterbukaan Mendasari Landasan universal
pemikiran dengan maqashid sehingga
sistem terbuka dan menafikan fanatisme dan
dinamis. asumsi-asumsi saling
menyudutkan di antara
mufassir. Maka langkah
selanjutnya dari poin ini,
pentingnya melakukan
reinterpretasi ulang dengan
mempertimbangkan
konteks budaya yang
berlaku pada saat ayat
tentang kesaksian
perempuan diturunkan
karena al-qur‟an shalih li
kulli zaman wa al-makan.
4. Keterkaitan Mengkritisi Memperbaiki jangkauan
klasifikasi dan subjek maqāṣid.
maqāṣid
tradisional karena
fitur ini memiliki
efek saling terkait
96
A. Kesimpulan
97
98
B. Saran
99
100
Ibn Fāris, Abu Husain Ahmad Ibn Zakariya. Mu‟jam Maqāyis al-Lugah.
Beirut: Dār al-Fikr, tth.
Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad. Bidāyah
al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid. Kairo: Dār al-Hadis, 2004.
Muzdalifah, Eva. “Hifẓ al-Nafs dalam al-Qur‟an: Studi dalam Tafsir Ibn
„Asyur”. Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2019.
Zahir ibn Awwad al-Ma‟I. Dirasat fi Tafsir al- Maudhu‟I li al-Qur‟an al-
Karim. Riyad: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wataniyyah Atsna‟ al-
Nasyr, 2008.
Zaitunah Subhan. Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir al-
Qur‟an. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1999.
104