Anda di halaman 1dari 128

KESAKSIAN PEREMPUAN

PERSPEKTIF TAFSĪR MAQĀṢIDĪ JASSER AUDA

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh

MAS AZIZAH
NIM: 11170340000162

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1443 H/2021 M
KESAKSIAN PEREMPUAN
PERSPEKTIF TAFSĪR MAQĀṢIDĪ JASSER AUDA

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh

MAS AZIZAH
NIM: 11170340000162

Di bawah bimbingan

Dr. Abdul Moqsith Ghazali, M.A.


NIP. 19710607 200501 1 002

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1443 H/2021 M
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul KESAKSIAN PEREMPUAN PERSPEKTIF


TAFSĪR MAQĀṢIDĪ JASSER AUDA telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2021. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
Jakarta, 11 Oktober 2021
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M.Ag.


dc
Aktobi Ghozali, M.A.
NIP. 19710217 199803 1 002
NIP. 19730520 200050 1 100

Anggota,
Penguji I, Penguji II,

Kusmana, Ph.D Dr. Syahrullah, M.A.


NIP. 19650424 199503 1 001 NIP. 19780818 200901 1 016

Pembimbing,

Dr. Abdul Moqsith Ghazali, M.A.


NIP. 19710607 200501 1 002
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Mas Azizah

NIM : 11170340000162

Fakultas : Ushuluddin

Jurusan/Prodi : Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir

Judul Skripsi : “Kesaksian Perempuan Perspektif Tafsīr Maqāṣidi Jasser


Auda”

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan merupakan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain,
maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 Agustus 2021

Mas Azizah

v
vi
ABSTRAK
Mas Azizah, 11170340000162
“Kesaksian Perempuan Perspektif Tafsīr Maqāṣidī Jasser Auda”.
Kesaksian perempuan merupakan suatu isu problematik yang
dibahas oleh para mufassir. Mengingat beragam pendapat mufassir dalam
memberikan penjabaran terkait kesaksian terutama kesaksian perempuan
yang kontroversional, maka penelitian ini ditulis untuk mengkaji maqāṣid
dari kesaksian tersebut. Topik kesaksian yang lebih terkesan sebagai
kajian syari‟ah, dalam skripsi ini disuguhkan dengan nuansa qur‟ani
melalui penjelasan-penjelasan para mufassir yang dibahas secara holistik
dan multi-dimensional dengan menggunakan metodologi Tafsīr Maqāṣidī
Jasser Auda.
Skripsi ini memaparkan bagaimana perbedaan pandangan ulama
mengenai topik kesaksian perempuan dan reaktualisasi Tafsīr Maqāṣidī
Jasser Auda tentang kesaksian perempuan tersebut. Kajian dilakukan
dengan menggunakan metode deskriptif-analitis melalui pencarian data
kepustakaan (library research). Sumber primer dalam penelitian ini yaitu
ayat-ayat al-Qur‟an terkait topik kesaksian dan karya-karya Jasser Auda
mengenai maqāṣid dengan pendekatan sistem yang ditawarkan. Selain
itu, penulis juga menggunakan kitab-kitab tafsir, berbagai buku dan artikel
yang relevan dengan penelitian sebagai sumber sekunder.
Adapun hasil penelitian atau temuan dalam skripsi ini mencakup
beberapa poin: Pertama, bahwa kesaksian perempuan merupakan
manifestasi dari kemajuan peradaban yang dibawa oleh Islam melalui
pensyariatan syahādah, bukan bentuk diskriminasi hak perempuan dengan
adanya redaksi „dua berbanding satu‟. Kedua, Tafsīr Maqāṣidī Jasser
Auda adalah sebuah gagasan yang memiliki kesamaan dengan tokoh-
tokoh sebelumnya dalam memprioritaskan maqāṣid sebagai pondasi dalam
menyelesaikan kompleksitas problematik masyarakat. Ketiga, poin
maqāṣid dari kesaksian perempuan selain hifẓ al-Ird juga memiliki poin
maqāṣid yang sangat umum berdasarkan klasifikasi maqāṣid khāṣṣah
tentang kesaksian, poin maqāṣid tersebut disesuaikan dengan kasus yang
hendak dipersaksikan sebagaimana tujuan dari kesaksian itu sendiri yakni
li al-Tautsīq atau li al-Ṭuma‟nīnah.

Kata Kunci: Kesaksian Perempuan, Tafsīr Maqāṣidī, Jasser Auda,


Pendekatan Sistem.

vii
viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subḥānahu wa


Ta‟ālā yang telah memberikan taufiq dan inayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Ṣallallāhu „alaihi wa Sallam,
sosok panutan dan suri tauladan bagi seluruh insan hingga akhir zaman.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa
terdapat berbagai kendala yang dialami, namun dengan usaha, doa,
bantuan dan semangat dari berbagai pihak semua kendala dapat teratasi.
Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis Lc, M.A, Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A, Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.A, Ketua Program Studi Ilmu Al- Qur‟an
dan Tafsir dan Bapak Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH, Sekeretaris
Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
4. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak Abd Moqsith Ghazali,
M.A yang senantiasa membimbing, mengarahkan, dan tidak pernah
bosan memberikan nasihat kepada penulis selama masa bimbingan
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir yang dengan tulus memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis.
6. Tokoh penggiat maqashid lintas Universitas, Prof Abdul Mustaqim
dan juga para kakak senior penerus Jasser Auda kak Dayu Aqraminnas
serta kak Hengki Ferdinansyah, & kak Azki, Lc. M.Ag., yang telah
memberikan masukan-masukan selama proses pembuatan skripsi ini.

ix
x

7. Teman-teman seperjuangan dalam satu atap „Ashaab Darsun‟, di


antaranya yang sudah membersamai semenjak di Aspi: Zikrok (ahli
sastra yang sabar luar biasa), Noer (bu gulu pmtk yang ahli garap dan
tak kalah sabarnya), Hasna (bu kopri dengan kesabarannya yang selalu
ada ketika ditanya-tanya).
8. Inspire Family yang sudah banyak menorehkan kesan selama
berproses, memberikan beragam pengalaman, membuat penulis bisa
memaknai arti dari suatu identitas kolektif, semoga kita bisa husnul
khotimah semua dalam menyelesaaikan studi.
9. Keluarga besar LTTQ, terutama ustadz Febriyansyah, S.Pd. (suhu
Sekum 2019), Ichlasul Amal (Ketum 2021), Dini (bunda sekre 2021),
Alfi (Bendum 2021), dan Afa hafizah Betengan selaku koor ter-
thebest, juga tim support lainnya yang sudah berkenan menampi diri,
berjuang dan berkhidmah bersama, serta banyak memberikan
pengajaran juga kemanfaatan hidup yang sangat berharga.
10. Keluarga baru penyejuk qalbu “Rumah Tahfiz Alif”, terkhusus kaka
kamar tersegalanya mba Hikmah & ka Neli dan Salma Itsnaini triple
Degree (Alif, Inspire, & LTTQ) yang banyak berbagi dalam segala
hal, semoga Allah senantiasa membalas segala kebaikan yang
tercurahkan.
11. Seluruh teman-teman Ilmu al-Qur‟an & Tafsir angkatan 2017, di
antaranya: Ernawati sesama IAT yang senasib dalam berproses dan
Zubaidah Alawiah teman seperbimbingan. Selesainya penelitian ini
tentu diwarnai oleh peran dari teman-teman sekalian yang sudah turut
membersamai.
Terkhusus untuk keluarga tercinta nan jauh di mata, yakni
Bapak Harun dan Ibu Kotin, Umi Uwa (Teh Ihah) & Ka Jumri beserta
pasukan ucrit Menes, Emak Faza (Teh Ipah) & Ka Bela beserta
xi

pasukan krucil Bandung, Ibi Not (Teh Imas) dan si Bontot (Qiyyan
Fasyayya) yang selalu mendukung baik secara materiil maupun
nonmateriil serta mendoakan penulis selama ini. Semoga Allah SWT.
senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada mereka baik
di dunia maupun di akhirat kelak.

Jakarta, 13 Agustus 2021

Mas Azizah
NIM 11170340000162
xii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. ix


DAFTAR ISI .......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................... xv
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 10
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah .............................. 10
1. Pembatasan Masalah ............................................................. 10
2. Perumusan Masalah .............................................................. 12
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ..................................... 12
E. Kajian Pustaka................................................................................ 13
F. Metodologi Penelitian .................................................................... 17
1. Jenis Penelitian ..................................................................... 17
2. Sumber Data ......................................................................... 17
3. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 18
4. Teknik Analisis Data dan Langkah-Langkah Penelitian ...... 18
5. Teknik Penulisan .................................................................. 20
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 20
BAB II TAFSĪR MAQĀṢIDĪ: ASPEK TEORETIS DAN PRAKTIS ...... 23
A. Pengertian Tafsīr Maqāṣidī ............................................................ 23
B. Sejarah Tafsīr Maqāṣidī ................................................................. 25
C. Ragam Metodologi Tafsir Maqāṣidī .............................................. 33
D. Urgensi Tafsīr Maqāṣidī ................................................................ 39
BAB III KONSTRUKSI MAQĀṢID JASSER AUDA .......................... 41
A. Biografi Jasser Auda ...................................................................... 41
B. Diskursus Tafsīr maqāṣidī Ditinjau dari Pendekatan Sistem ......... 46
C. Optimalisasi Maqāṣid al-Qur‟ān dalam Tafsīr Maqāṣidī ............ 51

xiii
xiv

BAB IV KESAKSIAN PEREMPUAN PERSPEKTIF TAFSĪR


MAQĀṢIDI JASSER AUDA .................................................................. 56
A. Selayang Pandang Tentang Kesaksian Perempuan ....................... 57
B. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Kesaksian Perempuan .......... 62
C. Analisis Ayat-Ayat Tentang Konsep Kesaksian ............................ 74
D. Aktualisasi Tafsīr Maqāṣidī Jasser Auda Terhadap Ayat tentang
Kesaksian Perempuan .................................................................... 83
BAB V PENUTUP .................................................................................. 97
A. Kesimpulan .................................................................................... 97
B. Saran .............................................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 99
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Imam-Imam Perintis Kajian al-Maqāṣid Sebelum Abad ke-5 H ….. 30
Tabel 2.2 Imam-Imam al-Maqāṣid Abad ke-5 sampai abad ke-8 H ................... 30
Tabel 2.3 Ulama al-Maqāṣid Kontemporer ............................................................ 32
Tabel 4.1 Kesaksian Perempuan dalam Tindak Pidana .......................................... 70
Tabel 4.2 Kesaksian Perempuan dalam Pernikahan .............................................. 71
Tabel 4.3 Nilai Kesaksian Perempuan .................................................................... 71
Tabel 4.4 Perbandingan Alat Bukti ........................................................................ 75
Tabel 4.5 Teori Sistem Jasser Auda terhadap Kesaksian Perempuan .................... 94

xv
xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan


bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
A. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dapat dilihat pada halaman berikut:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ - tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫ت‬ t te
‫ث‬ ṡ es (dengan titik di atas)
‫ج‬ j je
‫ح‬ ḥ h (dengan titik di bawah)
‫خ‬ kh ka dan ha
‫د‬ d de
‫ذ‬ ż zet (dengan titik di atas)
‫ر‬ r er
‫ز‬ z zet
‫س‬ s es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ ṣ es dengan titik di bawah
‫ض‬ ḍ de dengan titik di bawah
‫ط‬ ṭ te dengan titik di bawah
‫ظ‬ ẓ zet dengan titik di bawah

xvii
xviii

‫ع‬ „ apostrof terbalik


‫غ‬ g ge dan ha
‫ف‬ f ef
‫ق‬ q qi
‫ك‬ k ka
‫ل‬ l el
‫م‬ m em
‫ن‬ n en
‫و‬ w we
‫ھ‬ h ha
‫ء‬ ` apostrof
‫ي‬ y ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi


tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan
tanda (‟).

B. Tanda Vokal

Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau


monoftong dan vokal rangkap atau disebut diftong. Untuk vokal tunggal
sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ a fatḥah

َ i kasrah

َ u ḍammah
xix

Adapun untuk vokal rangkap, sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫َي‬ ai a dan i

‫َو‬ au a dan u

Dalam bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mad)
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ىا‬ a> a dengan garis di atas
‫ىي‬ i> i dengan garis di atas
‫ىو‬ u> u dengan garis di atas

C. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan “al-“, yang diikuti huruf
syamsiyah dan huruf qamariyah.
al-Qamariyah ‫املن ْير‬ al-Munīr
ْ
al- Syamsiyah ‫الرجال‬ al-Rijāl

D. Syaddah atau Tasydîd


Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan “ ّّ“
ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu:
ْ
al-Qamariyah ‫الق َّوة‬ al-Quwwah
ْ
al- Syamsiyah ‫الضر ْورة‬ al-Ḍarūrah

E. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya
xx

adalah [t]. Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun,
transliterasinya adalah [h]. Kalau pada kata yang berakhir dengan ta
marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta
bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan
dengan ha (h). Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara


1 ‫طرْيقة‬ Ṭarīqah
ْ ْ
2 ‫الجامعة لْا ْسالم َّية‬ al-Jāmi‟ah al-Islāmiah
ْ
3 ‫و ْحدة الوج ْود‬ Waḥdah al-Wujūd

F. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini, juga mengikuti Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abū Hāmīd al-Gazālī, al-Kindī.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-
Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak
Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
xxi

G. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa


Indonesia
Kata istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya
kata al-Qur‟an (dari al-Qur‟ān), Sunnah, khusus dan umum. Namun, bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh, Contoh: Fī ẓilāl al-Qur‟ān al-
„Ibārāt bi „umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab.
xxii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dua dasawarsa terakhir, muncul sebuah wacana cukup menarik


mengenai gender yang disinyalir mengandung berbagai potensi masalah.
Terlebih ketika status laki-laki dipandang mempunyai otoritas atas gender
yang berstatus perempuan.1 Dilansir dari jurnal “Episteme”, Sumadi
menyatakan bahwa sarjana feminis meyakini kesetaraan gender sebagai
salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. Hal ini semakin
diperkuat oleh naṣ al-Qur‟an dan hadis yang menunjukkan pembelaan atas
derajat wanita, namun masih ditemukan bias gender dan kandungan
budaya patriarki yang misogini dalam sebagian interpretasinya.
Berdasarkan pandangan feminis khususnya para feminis muslim, sejarah
penafsiran al-Qur‟an dinilai telah memihak pada jenis kelamin laki-laki
dan menghilangkan “suara perempuan”. Perbincangan mengenai
perempuan menjadi parameter bagi pencarian identitas diri dan peran
Islam di zaman modern ini, khususnya sejak berakhirnya kolonialisme.2
Pemaparan Amina Wadud mengenai topik bias gender
memunculkan implikasi serius baik dari segi pembahasan, mitos, dan ide-
ide tentang penciptaan tersebut sehingga berdampak abadi pada sikap
terhadap laki-laki dan perempuan terutama dalam memberikan asumsi
superioritas secara a priori kepada laki-laki di atas perempuan.3 Hak
kemanusiaan seorang perempuan sebelum al-Qur‟an diturunkan banyak

1
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan
Islam, cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 8.
2
Barbara Frayer-Stowasser, Women in the Qur‟an Tradition and Interpretation,
terj. H.M.Mochtar Zoerni (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 18.
3
Amina Wadud, Qur‟an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman‟s Perspective, terj. Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), 43-44.

1
2

dibungkam,4 kemudian Islam hadir untuk melepaskan segala belenggu


penindasan.5 Sebagaimana misi pokok al-Qur‟an diturunkan yaitu untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi, penindasan, dan
ketidakadilan.6

Berdasarkan tinjauan bangsa Arab pada masa lampau, masyarakat

semenanjung Arab sebelum al-Qur‟an turun diklasifikasikan menjadi dua

golongan, masyarakat yang tinggal di kota disebut Arab (‫ )اىؿرب‬dan

masyarakat yang tinggal di desa disebut A‟rab (‫)األؾرب‬. Berbeda dengan

kebiasaan masyarakat desa yang pola kehidupannya bergantung kepada

alam serta nomaden, masyarakat kota lebih maju dan sudah memiliki

tempat tinggal secara menetap. Khalil Abdul Karim menyebut bahwa

masyarakat desa lebih suka berdebat, berperang, dan membunuh. Rezeki

yang hanya bisa diperoleh melalui pedang dan panah, menyebabkan

sebagian dari mereka suka mengubur anak-anak perempuan. Bukan hanya

tidak membanggakan secara sosial, melainkan anak perempuan dianggap

tidak memberikan keuntungan apapun secara ekonomi.7


Mengenai perlakuan kejam orang-orang jahiliyah terhadap anak
perempuan termaktub dalam surah al-Naḥl/ 16: 58-59.
َ‫أ‬ ٰ ‫ َي َخ َن ٰ َر‬٥٨ ً‫ي‬
ٌَِ ‫ى ٌ ََِ ٱىل أٔ ِم‬ ٞ ‫َُث َػ َّو َو أج ُٓ ُّۥ ُم أص َٔ ّّٗدا َو ُْ َٔ َن ِؼ‬ ُ‫أ‬ َ َ‫ّش أ‬
ٰ َ ‫ح ُد ًُْ ةِٱأل‬ َ
َ ِ ّ ُ ‫ِإَوذا ب‬
َ ُ ‫َأ‬ ٓ َ َ َ ُّ ُ ُّ ُ َ ‫لَع ُْ َ أ‬ ََ ُ ُ ‫ُ ٓ َ ُّ َ ٓ َُ أ‬
٥٩ ‫اب أَل َشا َء ٌَا َيه ٍُٔن‬ ِۗ ِ ‫ٔن أم يدشّۥ ِِف ٱىُّت‬ ٍ ٰ ‫شٔءِ ٌا ب ِّش ةِِّۚٓۦ أيٍصِهّۥ‬

4
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah (al-Maktabah
al-Taufiqiyah, t.th.), 8-9.
5
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur‟an
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1999), 4. Lihat Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Fiqh
al-Mar‟ah, 10-11.
6
Qs. al-Hujurāt/ 49: 13.
7
Abdul Moqsith Ghazali, “Bumi Manusia dalam al-Qur‟an”. Jurnal Ulumul
Qur‟an, vol.1, no.21 (2012): 69.
3

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)


anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia
sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak,
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah
dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”

Ayat di atas selaras dengan kebiasaan Bani Muḍar, Bani Khuza‟ah,


dan Bani Tamim yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup.8
Kondisi kaum perempuan sebelum datangnya Islam sama sekali tidak
mempunyai peran, bahkan terdapat anggapan lain yang mendiskreditkan
perempuan sehingga adanya larangan mencari ilmu dan membaca kitab
suci dengan alasan karena perempuan tidak pantas melakukan hal
demikian.9 Tradisi masyarakat Arab dulu sebelum adanya Islam
meniadakan hak waris untuk perempuan serta menjadikan perempuan
sebagai bagian dari harta warisan. Apabila ada seorang laki-laki
meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, maka istrinya dianggap
sebagai harta warisan yang diwarisi keluarga dari pihak laki-laki.10 Lebih
dari itu, laki-laki pada masa jahiliyah bertindak sesuka hati kepada
perempuan, menikahinya secara paksa, atau melarangnya menikah dengan
orang lain.11

8
Al-Qurṭubī, al-Jami‟ li Ahkām al-Qur‟an, juz 5 (Kairo: Dar al-Hadits, 2002),
468-469.
9
Muhammad Anis Qasim Ja‟far, al-Ḥuqūq al-Ṣiyaṣiyyah li al-Mar‟ah fi al-Islām
wa al-Fikr wa Tasyri‟ al-Mu‟asir (Dār al-Naḥḍah al-„Arabiyah, 1998), 1.
10
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Fiqh al-Mar‟ah, 87-88.
11
Nur Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan antara Makna Normatif dan
Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”. Jurnal Yudisia, vol. 7, no. 1 (Juni 2006):
177.
4

Apabila ditinjau dalam hadis, fenomena tersebut tercantum dalam


kitab Ṣaḥiḥain dan Sunan Imam Ahmad, salah satu redaksi
periwayatannya sebagai berikut:12

‫حرم ؾييلً ؾلٔق األٌٓات وٌِؿا كال إن ؾَ اىٍغرية ةَ شؿيتث ؾَ انليب‬


‫وْات ووأد ابلِات وكره ىلً كيو وكال وكرثة الصؤال وإضاؾث اىٍال‬
“Dari Al Mugirah Ibn Syu'bah dari Nabi SAW. beliau bersabda,
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada
kedua orang tua, tidak suka memberi namun suka meminta-minta
dan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan membenci atas
kalian tiga perkara, yaitu; suka desas-desus, banyak bertanya dan
menyia-nyiakan harta.”

Berdasarkan sebagian fakta tentang posisi perempuan dalam


kehidupan sosial di masa lampau, sosok perempuan memiliki status yang
dianggap sebagai aib dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, Islam
sebagai agama rahmatan li al-„ālamīn datang membawa ajaran untuk
mengembalikan kedudukan perempuan. Ajaran-ajaran dalam Islam pun
sedikit demi sedikit mampu mengangkat derajat dan martabat perempuan.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayat dan hadis yang tersurat guna
memberikan posisi istimewa bagi perempuan. Salah satunya ditegaskan
dalam surah al-Aḥzāb/ 33: 35, yang memuat secara berulang-ulang
tentang kesejajaran perempuan dan laki-laki dalam banyak hal.
َّ َ ٰ َ ٰ َ ‫َ َ أ ُ أ َ ٰ َ أ ُ أ َ َ أ ُ أ َ ٰ َ أ َ ٰ َ َ أ‬
َ ‫ٱىص ٰ ِدق‬ ‫َّ أ أ‬
‫ِني‬ ‫جو‬ ِ ‫ج وٱىقِِتِني وٱىقِ ِت‬ ِ ‫ج وٱلٍؤ ٌِِ ِني وٱلٍؤٌِن‬ ِ ‫إِن ٱل ٍُصي ِ ٍِني وٱلٍصي ِم‬
َ ‫خٰشِ َعٰج َوٱل أ ٍُ َخ َط ّ ِدق‬ َ ‫َ َ أ‬ َ ‫أ‬ َّ َّ َ َ َّ
‫ِني‬ ِ ‫ت َوٱىخٰشِ ؿِني وٱى‬ ِ ٰ ‫يَ َوٱىصٰت ِ َر‬ َ ‫ٱىصِٰب‬
ِِ ‫ج و‬ ِ ٰ ‫َوٱىصٰدِق‬
َّ َ ٰ َ ٰ َ ‫َ أ ُ َ َ ّ َ ٰ َ َّ َّٰٓ َ َ َّ َّٰٓ َ ٰ َ أ َ ٰ َ ُ ُ َ ُ أ َ أ‬
َ ‫ٱىذ ٰنِر‬
َ‫ي‬ ِ ‫جو‬ ِ ‫ج وٱىحفِ ِؼني فروجًٓ وٱىحفِظ‬ ِ ‫ج وٱىصئ ِ ٍِني وٱىصئِم‬ ِ ‫وٱلٍخطدِق‬
َ َ
ّٗ ‫ٱَّلل ل ًُٓ ٌَّ أغفِ َر ّٗة َوأ أج ًرا َؾ ِؼ‬ َ
ُ َّ ‫ت أ َؾ َّد‬ َّ ّٗ ِ ‫ٱَّلل َنر‬
َ َّ
٣٥ ‫يٍا‬ ِ ٰ ‫ريا َوٱىذٰن َِر‬

12
Ibn Hajar al-„Asqallani, Shahih Bukhari Syarh Fath al-Bāri, Kitāb al-Adāb Bāb
„Uqūq al-Wālidaini min al-Kabāir, no. 5975, juz 8 (Kairo: Dar al-Hadits, 2002), 4.
5

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan


perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-
laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Upaya agama Islam dalam mengembalikan perempuan pada


posisi yang layak tentunya melalui proses dan tahapan yang begitu
panjang. Sosialisasi ajaran al-Qur‟an yang disebut sosialisasi ajaran Islam
(tārīkh tasyrī‟), mempunyai tiga prinsip utama: pertama, berangsur-angsur
dalam menetapkan hukum (al-tadrīj fī al-tasyrī‟); kedua, menghilangkan
kesulitan-kesulitan („adam al-haraj); ketiga, meminimalisir peraturan
(taqlīl al-taklīf).13 Cara Islam memperkenalkan hak-hak tertentu untuk
perempuan yakni melalui penetapan hak waris dan hak persaksian yang
sebelumnya tidak dikenal, meskipun hak-hak tersebut masih separuh dari
hak-hak yang dimiliki laki-laki.14 Kesaksian perempuan terdapat dalam
surah al-Baqarah/ 2: 282:
َ َ َ ‫ َ أ‬ٞ ُ َ َ ‫ّ َ ُ أ َ َّ أ َ ُ َ َ ُ َ أ‬ ‫َ أ َ أ ُ ْ َ َأ‬
‫ان‬
ِ ‫ني فرجو وٱمرأح‬ ِ ‫… وٱشتش ِٓدوا ش ِٓيدي َِ ٌَِ رِجاى ِلًۖۡ فإِن ىً يلُٔا رجي‬..
ٰ َ ‫َّ َ أ َ أ َ َ ُّ َ َ ٓ َ َ َّ أ َ ٰ ُ َ َ ُ َ ّ َ أ َ ٰ ُ َ أ ُ أ‬
... ‫ى‬
ٓۚ ‫ضو إِحدىٍٓا فخذنِر إِحدىٍٓا ٱألخر‬ ِ ‫مٍَِ حرضٔن ٌَِ ٱلشٓداءِ أن ح‬
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya…”

Dalam permasalahan sosial, Islam sudah mengatur secara detail


mengenai tatanan masyarakat untuk menciptakan keadilan dan

13
Muhammad al-Khuḍari Bek, Tārīkh al-Tasyrī‟ al-Islamī (Beirut: Dar al-Fikr,
1967), 15.
14
Qs. al-Nisā‟/ 4: 11 dan Qs. al-Baqarah/ 2: 282.
6

kesejahteraan umat Islam. Salah satunya berupa perintah Allah SWT.


kepada orang-orang yang beriman untuk melaksanakan ketentuan-Nya
ketika mereka melakukan transaksi atau hendak menyelesaikan suatu
perkara yang diperselisihkan dengan melengkapi alat-alat bukti
(bayyinah). Menurut fuqahā, salah satu jenis alat bukti adalah syahādah
(kesaksian).15 Pendapat lain mengatakan bahwa bayyinah merupakan
sinonim dari syahādah (kesaksian), sedangkan arti syahādah adalah
keterangan orang yang dapat dipercaya di depan sidang pengadilan dengan
lafal kesaksian untuk menetapkan hak atas orang lain.16 Aspek kesaksian
perempuan terus mengalami proses dan tahapan karena sering menjadi
bahan perdebatan sampai sekarang dengan tinjauan mengenai konsep
kesetaraan yang sering dimunculkan.
Dari uraian di atas, kesaksian perempuan membutuhkan penafsiran
ulang terutama perihal konsepsi yang beranggapan bahwa nilai kesaksian
perempuan separuh dari kesaksian laki-laki. Oleh karena itu, untuk
mengetahui apakah konsepsi dan pemahaman tersebut merupakan
ketentuan yang bersifat qaṭ‟i (absolut) tanpa dipengaruhi dan dikaitkan
dengan waktu, tempat, serta kondisi, atau mungkin sebaliknya yakni
pemahaman itu hanya bersifat ẓanni (relatif) sehingga terkesan
kondisional dan sementara.17
Hal ini menjadi latar belakang pemikir Islam melakukan
reaktualisasi penafsiran dengan menawarkan pembacaan baru, salah
satunya melalui teori Tafsīr Maqāṣidī sebagai sebuah cara pandang dalam
melakukan pencarian nilai, maksud, dan kemaslahatan sebuah ayat, atau

15
Hasbi al-Siddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Bandung: al-Ma‟arif,
t.th), 116.
16
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, cet. 1 (Jakarta: Amzah, 2012), 44-45.
17
Nur Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan, 179.
7

mengalihkan pandangan pada pencarian maqāṣid al-Qur‟an.18 Tafsīr


maqāṣidī sebagai pendekatan dalam penafsiran patut diketengahkan saat
ini karena menitikberatkan pada nalar maslahat daripada nalar teks. Latar
belakang tersebut memunculkan inisiatif untuk memahami ayat-ayat al-
Qur‟an sesuai dengan tujuan ketetapan syari‟at (maqāṣid al-syarī„ah),
selanjutnya berkembang menjadi tafsir yang sesuai dengan maqāṣid al-
syarī„ah atau maqāṣid al-Qur‟an19 dan kemudian disebut Tafsīr
Maqāṣidī.20
Istilah Tafsīr Maqāṣidī merupakan istilah baru. Dalam kajian
keislaman sebelumnya sudah ada istilah maqāṣid al-syarī„ah (the aims of
the Islamic law) dan menjadi salah satu tema dalam kajian ushul fiqh.21
Akan tetapi, teori maqāṣid al-syarī„ah dalam diskursus kajian Islam
kontemporer dewasa ini sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri („ilm
mustaqīl) yang terpisah dari ushul fiqh.22 Bahkan sering dijadikan pisau
analisis dalam membedah isu-isu aktual-kontemporer yang disebabkan
oleh perubahan sosial, semisal meningkatnya kesadaran harkat dan
martabat kemanusiaan, hubungan antar umat beragama, dan kesetaraan,
sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap berbagai paradigma

18
Syamsul Wathani, “Konfigurasi Nalar Tafsīr Maqāṣidi”. Jurnal Suhuf, vol.9,
no.2 (Desember 2016): 297.
19
Imam al-Ghazali dalam tafsir Jawahir al-Qur‟an (tasawuf), „Izz al-Din ibn
„Abd al-Salam dalam Qawaid al-Ahkam (Fiqih), al-Suyuti dalam Itqan Fi Ulum al-
Qur‟an. Adapun karya tafsir ulama bernuansa Maqāṣid seperti al-Rāzi, al-Bagawī, al-
Biqā‟i.
20
M. Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manār, Ibn Asyur dalam Tafsir al-
Tahrir wa al-Tanwir, dan Jasser Auda dengan teori sistemnya.
21
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Gazālī, al-Mustasyfā (Beirut: Dar
al-Kitab al-Ilmiyah, 1993), 174.
22
Lihat Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah as Philosophy of Islamic Law A System
Approach (London: The International of Islamic Thaught, 2008). Lihat pula al-Raysuni,
Maqāṣid al-Maqāṣid al-Gāyah al-Ilmiyyah wa „Amaliyyah li Maqāṣid al-Syarī„ah
(Beirut: al-Syabakah al-Arabiyyah lil Abhats wa Nazhr, 2013), 213.
8

termasuk dalam sistem penafsiran.23 Teori Tafsīr Maqāṣidī dalam ranah


kajian tafsir tidak hanya untuk menafsirkan ayat-ayat hukum, tetapi juga
untuk menafsirkan ayat-ayat kisah, amṡāl, dan teologis.24
Menurut Jasser Auda, pengistilahan Tafsīr Maqāṣidī berawal dari
penggunaan Maqāṣid al-Syarī„ah dalam penafsiran al-Qur‟an agar dapat
menghasilkan produk tafsir yang holistik dan komprehensif, berorientasi
pada kemaslahatan, dan tidak keluar dari spirit dan prinsip dasar al-
Qur‟an.25 Karakteristik Tafsīr Maqāṣidi dalam pandangan Ahmad al-
Raysuni yaitu memahami ayat al-Qur‟an secara utuh, mendalami makna
lahir dan batin al-Qur‟an, dan memahami redaksional ayat beserta
kandungan dalam substansinya.26
Pemilihan metodologi maqāṣid bertujuan agar setiap ayat-ayat
sesuai dengan tujuan syāri‟ (ma‟rifah ma‟nā Syāri‟) dan sesuai dengan
prinsip ajaran keagamaan di antaranya: hifż al-Dīn (menjaga agama), hifż
al-Nafs (menjaga jiwa), hifz al-„Aql (menjaga akal), hifż al-Māl (menjaga
harta), dan hifż al-Nasl (menjaga keturunan). Rasyiḍ Riḍa menambahkan
konsep-konsep Maqāṣid dengan nilai-nilai kontemporer seperti reformis
dan hak-hak perempuan.27
Teori Tafsīr Maqāṣidī yang digunakan dalam mengkaji ayat tentang
kesaksian perempuan pada penelitian ini yakni pendekatan maqāṣid Jasser
Auda. Langkah operasional berupa system approach (pendekatan sistem)

23
Hal tersebut senada dengan pernyataan Jasser Auda: ‫تغير األحكاو بتغير رؤية انعانى أو‬
‫( انثقافة اإلدراكية انجًعية‬perubahan hukum disebabkan oleh perubahan pandangan dunia dan
budaya pengetahuan suatu masyarakat).
24
Abdul Mustaqim, Argumentasi Keniscayaan Tafsīr Maqāṣidi Sebagai Basis
Moderasi Islam; Pidato Pengukuhan dalam Bidang Ulum al-Qur‟an (Yogyakarta, UIN
Sunan Kalijaga, 2019), 8.
25
Jasser Auda, Maqāṣid al-syarī„ah ka Falsafah li al-Tasyrī‟ al-Islamī: Ru‟yah
Manzumiyyah, 399.
26
Ahmad al-Raysuni, Maqāṣid al-Maqāṣid (Beirut: al-Syabakah al-„Arabiyyah,
2013), 7.
27
Muhammad Rasyid Ridha, Huqūq al-Nisā fī al-Islām (Beirut: Maktabah al-
Islamiyyah, 1404 H), 6.
9

yang ditawarkan terdiri dari beberapa fitur, seperti: studi tematik


(mauḍū‟i) yang menghasilkan pemahaman teks al-Qur‟an secara holistik
(kāffah), atau fitur lainnya yang menerapkan maqāṣid sebagai struktur
multidimensi yang mempertimbangkan area makna dan target, tingkatan
nilai yang dijadikan dasar, dan keumuman makna yang dikandung. Jasser
Auda menyatakan perlunya memahami ayat secara holistik dengan
menggunakan teori ini sehingga cakupan pemahamannya bisa terpenuhi
supaya tidak terjadi misinterpretasi.28
Tafsīr Maqāṣidī mempunyai peran penting dalam menyelesaikan
problem umat yang senantiasa dinamis. Pendekatan tafsir berbasis
maslahah ini mengemas teks agar dapat dipahami oleh pemahaman yang
selaras dengan visi dan misi al-Qur‟an sehingga memenuhi syarat
pemasyarakatan al-Qur‟an yakni sesuai dengan kebutuhan masyarakat.29
Budaya Mainstream Patriarchy yang memang dari dulu sudah mengakar
menjadi permasalahan awal atas gejolak yang dirasakan para feminis
melalui pemunculan karya-karya mereka. Oleh karena itu, penelitian ini
mencoba melakukan reinterpretasi dengan model pembacaan terhadap al-
Qur‟an melalui analisis yang berbeda, serta memadupadankan antara
fundamentalisme dan liberalisme, perspektif yang tektualis-skriptualis dan
liberalis-substansialis. Kajian ini perlu dilakukan agar mampu
memberikan pencerahan mengenai pentingnya pemahaman secara
komprehensif di era milenial seperti sekarang termasuk kajian dalam
ranah penafsiran. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Kesaksian Perempuan Perspektif
Tafsīr Maqāṣidī Jasser Auda”.

28
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī„ah
(Bandung: PT. Mizan Pustaka , 2015), 70.
29
Quraish Shihab, ”Tafsir dan Pemasyarakatan Al-Qur‟an”. Jurnal Suhuf , vol.1,
no.1 (Oktober 2008): 2.
10

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka


permasalahan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Budaya Mainstream Patriarchy yang sudah mengakar di masyarakat
menyebabkan adanya peniadaan status dan hak-hak atas kaum
perempuan .
2. Al-Quran sebagai sebuah teks normatif menimbulkan
multiinterpretasi dari pembacanya, sehingga mengakibatkan
munculnya pemahaman secara teks maupun konteks yang saling
bertentangan dalam khazanah keilmuan studi Islam.
3. Belum ditemukan metodologi yang relevan khususnya dalam
melakukan kajian penafsiran mengingat masih banyak pemahaman
yang dihasilkan dari tendensi tekstualis maupun tendensi
kontekstualis, sehingga penyelesaian yang didapat bersifat tidak
holistik.
4. Terdapat kesenjangan konsepsi dan pemahaman terhadap
pemaknaan ayat tentang kesaksian perempuan.

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, berikut adalah pembatasan


masalah dalam penelitian ini:
1. Pembatasan Masalah
Penelitian ini membahas ayat tentang kesaksian perempuan dengan
menggunakan metodologi tafsīr maqāṣidī berdasarkan poin maqāṣid
Jasser Auda berbasis Maqāṣid al-Syarī‟ah untuk mengungkap poin
maqāṣid dari kesaksian perempuan tersebut. Selanjutnya, penulis
melakukan pembatasan topik dengan mengkhususkan kajian pada surah
al-Baqarah/ 2: 282 yang secara tekstual mengenai kesaksian dua
11

berbanding satu antara kesaksian laki-laki dan perempuan serta menjadi


ranah pembahasan Maqāṣid al-Syarī„ah al-Khāssah, sehingga terlihat jelas
urgensi digunakannya Tafsīr Maqāṣidi Jasser Auda sebagai pisau analisis
dalam penelitian, yakni untuk mengungkap secara holistik atas klaim yang
selama ini dianggap sebagai sebuah kesenjangan khususnya perihal
kesetaraan yang senantiasa dijadikan sebagai topik pembahasan.
Pemilihan Surah al-Baqarah/2: 282 sebagai topik pembahasan karena
hanya pada ayat ini redaksi kesaksian perempuan dua berbanding satu
secara eksplisit ditemukan serta diperbincangkan oleh banyak mufassir
feminis. Penafsiran maqāṣidi digunakan untuk mendapatkan penafsiran
yang lebih komprehensif dari ayat tersebut serta mengetengahi perdebatan
penafsiran antara mufassir tradisional dan feminis.
Adapun metode Maqāṣid al-Syarī„ah yang digunakan sebagai pisau
analisa, penulis membatasinya pada Maqāṣid al-Syarī„ah pendekatan
sistem yang ditawarkan oleh Jasser Auda untuk menggali poin maqāṣid
dari ayat tentang kesaksian perempuan. Hal ini dikarenakan enam fitur
dalam pendekatan sistem Auda merupakan sebuah pembaharuan yang
berhasil memposiskan Maqāṣid al-Syarī„ah sebagai landasan
pembangunan dan hak asasi manusia, dapat menghasilkan hukum Islam
yang relevan dengan nilai-nilai keadilan, perilaku moral, pengembangan
potensi serta kehidupan manusia yang lebih bermartabat dan setara sesuai
syara‟. Selain itu, Maqāṣid al-Syarī„ah juga diposisikan sebagai metode
interpretasi tematik al-Qur‟an yang memiliki kaitan erat dengan metode
penafsiran ulama tafsir sebelumnya. Sehingga, tidak hanya inovasi dalam
penafsiran tetapi juga dapat saling melengkapi untuk menghasilkan
penafsiran yang bersifat universal bagi seluruh umat manusia (Ṣāliḥ li kulli
al-zamān wa al-makān).
12

2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dengan merujuk konsep
penafsiran Maqāṣidi melalui pendekatan sistem Jasser Auda kemudian
dirumuskan pokok permasalahan terkait penelitian yang hendak dibahas
yaitu “bagaimana poin maqāṣid ayat tentang kesaksian perempuan dengan
menggunakan pembacaan Jasser Auda melalui metode Tafsīr Maqāṣidī
berbasis Maqāṣid al-Syarī‟ah?”

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dipaparkan, maka tujuan


dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan mengolaborasi maksud, tujuan, serta poin maqāṣid


yang terkandung dalam ayat tentang kesaksian perempuan.
2. Melakukan pengembangan makna dan operasionalitas dalam
menafsirkan ayat-ayat tentang kesaksian perempuan dengan
menggunakan pendekatan tafsīr maqāṣidī Jasser Auda.
Adapun manfaat dari penelitian ini secara akademik agar dapat
memberikan kontribusi untuk menambah wawasan integrasi keilmuan
khususnya dalam kajian tafsir, karena pembahasan terkait tafsīr maqāṣidī
ini masih sangat hangat diperbincangkan serta menjadi perdebatan antara
statusnya sebagai metode penafsiran ataupun sebagai kajian pendekatan
dalam tafsir. Selain itu, diharapkan tulisan ini memberikan pemahaman
baru dalam membahas kesaksian perempuan secara objektif sehingga
bisa menjadikan dorongan kepada yang lain untuk mengkaji masalah ini
lebih lanjut.
13

E. Kajian Pustaka

Al-Qur‟an secara teksnya memang tidak pernah berubah tetapi


penafsiran atas teksnya senantiasa berubah, sesuai dengan waktu dan
konteks manusia. Karenanya, al-Qur‟an selalu membuka diri untuk
dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai
alat, metode, dan pendekatan untuk mengungkap isi sejatinya.30
Pembahasan mengenai kajian tafsīr maqāṣidī sebagai pendekatan
dalam mengkaji ayat tentang kesaksian perempuan masih belum banyak
ditemukan. Setelah melakukan penelusuran dari berbagai penelitian,
penulis menemukan beberapa karya ilmiah yang sejalan dengan kajian ini,
di antaranya:
Muhammad Amin Abdullah dengan karyanya “Bangunan Baru
Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi”
memberikan penjelasan mengenai perkembangan Maqāṣid al-Syarī‟ah.
Kesamaannya dengan penelitian ini yakni sama-sama menjadikan sosok
Jasser Auda sebagai objek tokoh yang disoroti atas kontribusi yang Auda
gagas mengenai penggunaan pendekatan filsafat khususnya filsafat sistem
meskipun Amin Abdullah tidak menjelaskan terkait relasi maqāṣid nya.31
Menuju Hukum Islam yang Inklusif-Humanistis: Analisis Pemikiran
Jasser Auda tetang Maqāṣid al-Syarī‟ah oleh Muhammad Salahuddin.
Penelitian ini menjabarkan bagaimana paradigma teori sistem yang
ditawarkan oleh Jasser Auda kemudian memberikan simpulan bahwa

30
M. Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an Kajian Tematik atas Ayat-ayat
Hukum dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Penamadani, 2005), 3.
31
M.Amin Abdullah, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum
Islam dalam Merespon Globalisasi”. Jurnal Asy-Syir‟ah, vol.46, no.2 (Juli-Desember
2012).
14

hukum Islam yang dilandasi dengan pendekatan sistem akan selalu


mampu untuk berdialog dengan zaman.32
“Epistemologi Tafsir Maqāṣidī”, karya Kusmana berupa artikel yang
menjelaskan tentang bagaimana maqāṣid al-syarī„ah yang bersinergi
dengan tafsir. Keduanya memiliki kesamaan tujuan, cakupan, dan batasan
konstruksi penarikan pesan Ilahi. Maqāṣid memiliki prinsip dasar
memelihara pesan universal al-Quran dalam menjawab segala urusan
masyarakat. Sedangkan tafsir juga merupakan perangkat metodologis
dalam upaya mengungkap makna al-Qur‟an. Oleh karena itu, maqāṣid
dapat digunakan sebagai pendekatan penafsiran al-Quran.33
Sebuah karya Dr. Waṣfi Asyur Abu Zaid yang berjudul “Nahwa al-
Tafsīr al-Maqāṣidī li al-Qur‟ān al-Karīm”. Pembahasan dalam buku ini
memuat tentang diskursus tafsīr maqāṣidī disertai teknik dalam menggali
nilai maqāṣid dan langkah-langkah pengaplikasiaanya. Buku ini
memberikan kontribusi sebagai sebuah gambaran awal dalam memahami
tafsīr maqāṣidī namun berbeda dengan penelitian yang hendak dilakukan
penulis karena lebih memfokuskan penelitian dengan membahas tafsīr
maqāṣidī perspektif Jasser Auda.34
Penelitian dengan judul “Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda”
karya Hengki Ferdiansyah berisi pemikiran Jasser Auda secara
komprehensif mengenai poin-poin maqāṣid yang Auda tawarkan disertai
dengan contoh pengaplikasiannya, serta penjabaran lengkap mengenai
relasi maqāṣid syari‟ah dan ushul fiqh yang diusung oleh para ulama

32
Muhammad Salahuddin, “Menuju Hukum Islam yang Inklusif-Humanistis:
Analisis Pemikiran Jasser Auda tentang Maqāṣid al-Syarī‟ah”. Jurnal Ulumuna, vol.16,
no.1 (Juni 2016).
33
Kusmana, “Epistemologi Tafsīr Maqāṣidī”. Jurnal Mutawatir, vol.6, no.2
(2016).
34
Wasfi Asyur, Nahwa al-Tafsīr al-Maqāṣidī li al-Qur‟ān al-Karīm Ru‟yah
Ta‟sisiyyah li Manhaj Jadid fi Tafsīr al-Qur‟an (Ribath: Mutafakkarun, tth).
15

klasik dengan menyertakan argumen Jasser Auda dalam membincang hal


tersebut.35
Konfigurasi Nalar Tafsir Maqāṣidī: Pendekatan Sistem Interpretasi
oleh Syamsul Wathani dalam jurnal Suhuf kemenag RI yang terbit pada
bulan Desember 2016. Penelitian ini menjabarkan bagaimana bentuk,
kerangka, struktur,dan paradigma tafsīr maqāṣidī kemudian memberikan
simpulan terkait tiga landasan yang menjadi dasar terbentuknya prinsip
tafsīr maqāṣidī.36
Artikel Nur Asriaty tentang Kontroversi Kesaksian Perempuan pada
Qs. Al-Baqarah/ 2: 282 menawarkan pemahaman secara universal dan
komprehensif dalam memahami ayat tersebut melalui perspektif hukum
Islam. Penelitian ini banyak memuat contoh-contoh berdasarkan
pemahaman kontekstual dan berlandaskan spirit kemanusiaan, serta
menegaskan penafian atas pemahaman literal-skriptual. 37
Artikel Dayu Aqraminnas yang berjudul Kontribusi Jasser Auda
dalam Kajian al-Qur‟an: Interpretasi Berbasis Sistem. Artikel ini
memberikan pengayaan terkait pemikiran maqāṣid Jassser Auda yang
disinergikan dengan kajian interpretasi al-Qur‟an. Peneliti juga
memberikan penjabaran mengenai komparasi antara teori Maqāṣid klasik
dan kontemporer dengan merujuk uṣūl khamsah dalam Maqāṣid al-
Syarī„ah.38
Salah satu skripsi dari Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN
Walisongo, Semarang atas nama Pradita Nur Alim mengemukakan bahwa
35
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda (Ciputat: Yayasan
Pengkajian Hadits al-Bukhori, 2018).
36
Syamsul Wathani, “Konfigurasi Nalar Tafsīr Maqāṣidi”. Jurnal Suhuf, vol.9,
no.2 (Desember 2016).
37
Nur Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan antara Makna Normatif dan
Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”. Jurnal Yudisia, vol.7, no.1 (Juni 2006):
175-198
38
Dayu Aqraminnas, “Kontribusi Jasser Auda dalam Kajian al-Qur‟an:
Interpretasi Berbasis Sistem”. Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol.4, no.2 (2018).
16

berdasarkan pendapat dari Ibn Hazm salah satu tokoh intelektual muslim
dari Spanyol yang konsen di bidang fiqih dan ushul fiqh ini memberikan
penjabaran bahwa seluruh ayat-ayat mengenai kesaksian itu bersifat
umum. Maka, pernyataan ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa
kesaksian perempuan itu setara dengan kesaksian seorang laki-laki,
terlebih lagi fakta terkait perkembangan sosial masyarakat sekarang yang
sangat terbuka untuk perempuan berkiprah di berbagai urusan publik.
Penelitian ini mempunyai kesamaan objek yang diteliti yakni ayat-ayat
tentang kesaksian tetapi dalam penelitian ini tidak dijabarkan poin
maqāṣid yang berperan dalam menganalisis objek yang menjadi topik
pembahasan.39
Penelitian Halya Milati dengan judul Pendekatan Tafsir maqashidi
pada Ayat Gender. Skripsi jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Sunan
Ampel 2019 ini mendeskripsikan pendekatan tafsīr maqāṣidī yang
diimplementasikan Ibnu „Ashur pada ayat-ayat gender serta memberikan
penjabaran singkat terkait Maqāṣid al-Syarī„ah al-Khassah yang salah
satu poinnya mengenai persaksian.40
Sejauh pengamatan atas pencarian yang dilakukan, belum ada
sebuah kajian mengenai pembahasan tafsīr maqāṣidī khususnya yang
dikemukakan melalui sistem maqāṣid Jasser Auda dengan studi kasus
terhadap ayat tentang kesaksian perempuan. Maka beberapa variabel
tersebut diharapkan mampu memberikan penafsiran yang utuh serta
menampilkan paradigma baru yang sesuai dengan konsep utama ajaran
Islam.

39
Pradita Nur Alim, “ Status Kesaksian Wanita dalam Hukum Pidana Islam”
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016).
40
Halya Milati, “Pendekatan Tafsīr Maqāṣidī pada Ayat Gender” (Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2019).
17

F. Metodologi Penelitian

Sebuah riset ilmiah dilakukan untuk mencari kebenaran obyektif.


Untuk merealisasikan itu semua, maka seorang peneliti harus mempunyai
metodologi dalam penelitiannya. Metodologi merupakan serangkaian
proses dan prosedur yang harus ditempuh oleh peneliti untuk sampai pada
kesimpulan yang benar tentang riset yang dilakukan.41
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini ialah jenis penelitian
kualitatif. Merupakan model penelitian untuk mengeksplorasi makna
yang berasal dari masalah sosial, kemanusiaan dan bahasa, misalnya suatu
fenomena atau pemikiran seseorang. Model penelitian ini memiliki dua
paradigma. Pertama, paradigma fenomenologi, yang mana peneliti
berusaha mengungkap makna di balik sebuah fenomena. Kedua,
paradigma bahasa, yang dalam hal ini peneliti menggali makna di balik
teks.42 Adapun rangkaian dari prosedur penelitian ini menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat
diambil dan diteliti.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu
primer dan sekunder. Dalam hal ini peneliti menjadikan tafsir dari ayat
tentang kesaksian perempuan sebagai sumber primer, sedangkan argumen
dan dalil-dalil lain menjadi sumber sekunder dalam penelitian.
Berdasarkan sifat keholistikan al-Qur‟an, pembahasan ayat tentang
kesaksian perempuan tidak bisa dipisahkan dari ayat lainnya, begitu pun
pembahasan atas penafsirannya guna memperoleh pemahaman yang

41
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur‟an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea
Press, 2014), 5.
42
Dadan Rusmana, Metode Penelitian al-Qur‟an dan Tafsir (Bandung: Pustaka
Setia, 2015), 24.
18

komprehensif. Jika ayat tentang kesaksian perempuan yang menjadi objek


penelitian mengandung al-Maqāṣid al-Juz‟iyyah (tujuan parsial), maka
secara eksplisit maupun implisit juga memiliki al-Maqāṣid al-Khāṣṣah
dan al-Maqāṣid al-„Ammah (khusus dan umum).
Selain itu penjelasan Auda tentang pendekatan sistemnya juga
menjadi data dan sumber primer peneliti sebagai pisau analisis yang
digunakan dalam penggalian poin maqāṣid ayat tentang kesaksian
perempuan. Adapun karya tulis lain yang berhubungan dengan sumber
primer menjadi sumber sekunder penelitian, termasuk juga di dalamnya
berbagai bentuk penjelasan tentang tafsīr maqāṣidī baik melalui buku,
artikel, jurnal, dan sumber rujukan lainnya yang relevan dengan topik
pembahasan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang disajikan dalam penelitian ini dikumpulkan berdasarkan
teknik atau studi kepustakaan (library research). Sebuah teknik
pengumpulan data, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan berbagai
sumber kemudian melakukan penelaahan terhadap buku-buku, berbagai
literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.43
4. Teknik Analisis Data dan Langkah-Langkah Penelitian
Penelitian ini ditempuh dengan menggunakan metode tafsir mauḍu‟i
yakni model kajian tematik dengan menjelaskan ayat-ayat tertentu dari al-
Qur‟an, kemudian meninjau konteks ayat, sebab ayat tersebut turun, serta
pokok-pokok yang terkandung dalam ayat.44 Teknik awal dari penelitian
ini dimulai dengan mengumpulkan data, mereduksi, dan menganalisis data
dengan metode analisis isi (content analisys) dan analisis sistem (system

43
M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 27.
44
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian, 61.
19

analisys).45 Selain itu, penulis juga mengoperasionalisasikan pendekatan


maqāṣid dengan merujuk penalaran berfikir tokoh kontemporer Maqāṣid
Jasser Auda yang menjadikan tafsīr maqāṣidī sebagai system approach
dan teori sistem sebagai pisau analisisnya. Adapun langkah-langkah dalam
menggunakan teori Jasser Auda sebagai berikut:
a. Menerapkan studi tematik dalam mengumpulkan dan
mengklasifikasikan ayat terkait dengan kesaksian perempuan
dalam al-Qur‟an.
b. Melakukan analisis berdasarkan kaidah al-„Ibrāh bi al-
Maqāṣidihā. Dalam langkah ini akan menyajikan kompromi
antara bi „umūm al-Lafż dan bi khuṣūṣ al-Sabab.
c. Mengaktualisasikan hasil kebermaksudan ayat al-Qur‟an
tentang kesaksian perempuan secara holistik dan
komprehensif.
Untuk melihat dan membaca suatu objek dengan pendekatan holistik
tersebut, Auda menggunakan filsafat sistem yang dapat digunakan untuk
melakukan pembaharuan dalil-dalil syariah dan argumentasi rasionalnya
yang disesuaikan dengan konteks kekinian. Auda membuat enam kategori
guna mengaplikasikan teori sistem sebagai pendekatan dalam hukum
Islam, yaitu cognitive nature (watak/kognisi), wholeness (keseluruhan),
opennes (keterbukaan), interrelated hierarchy, multi dimentionality dan
purposefulness.46 Dengan demikian, penggunaan teori sistem Jasser Auda
dalam penafsiran berbasis Maqāṣid al-Syarī„ah serta penggunaan metode
tematik atau mauḍū„i didalamnya, diharapkan dapat membantu menelusuri

45
Sistem adalah rangkaian hubungan seluruh elemen yang membentuk satu
kesatuan yang terintegrasi untuk melakukan beberapa fungsi. Dalam analisis sistem,
penulis berasumsi bahwa entitas yang sedang diteliti merupakan sebuah sistem. Lihat:
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam. h. 86.
46
Jasser Auda, Maqāṣid al-Sharī‟ah as Philosophy, 193-228.
20

poin maqāṣid ayat tentang kesaksian perempuan secara holistik dan


universal berlandaskan maslahah.
Adapun kegiatan akhir yang dilakukan dari penelitian ini berupa
penarikan kesimpulan dengan menggunakan nalar induktif (istiqra‟i)
sebagai metode menarik kesimpulan dari ketentuan umum. Selanjutnya
dilakukan eksplorasi dan dielaborasikan kembali menggunakan metode
deduktif (istinbāṭ) sebagai hasil kesimpulan akhir yang digali dari aturan
umum.
5. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan, penulis akan menggunakan Pedoman
Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017 Nomor. 507.
Sedangkan untuk pedoman transliterasi akan menggunakan pedoman
transliterasi Arab-Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. Perihal penulisan
teks bahasa Arab, penulis menggunakan Font huruf KFGQPC Uthmanic
Script HAFS, dengan ukuran Font 14 pt, untuk menggantikan Font
Tradisional Arabic.

G. Sistematika Penulisan

Penulis menyusun sistematika pembahasan dalam penelitian ini


menjadi lima bab, dengan rincian sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang mengemukakan tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian
yang digunakan, serta sistematika penulisan.
21

Bab II menjabarkan tinjauan secara umum mengenai diskursus


Tafsīr Maqāṣidi berupa definisi, korelasi, klasifikasi, serta urgensi sebagai
pondasi argumen terkait wujud ontologi dari Tafsīr Maqāṣidī.
Bab III membahas seputar konstruksi tafsīr maqāṣidī Jasser Auda
dan penjelasan mengenai alur interpretasi sebagai suatu pendekatan sistem
dalam penafsiran. Bab ini merupakan pijakan awal dalam mengenal sosok
Jasser Auda dan teori analisisnya.
Bab IV menjelaskan analisis terkait teori Tafsīr maqāṣidīJasser
Auda, mengungkap nalar maqāṣid dalam ayat tentang kesaksian
perempuan dan pensyariatan syahādah, serta mengelaborasi poin
Maqāṣid Jasser Auda dari ayat tentang kesaksian perempuan tersebut.
Bab V merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dari kajian
ini, serta harapan dan saran dari hasil analisa yang diperoleh.
22
BAB II
TAFSĪR MAQĀṢIDĪ: ASPEK TEORETIS DAN PRAKTIS

A. Pengertian Tafsīr Maqāṣidī

Secara etimologi, istilah Ṭafsīr Maqāṣidī merupakan sususnan ṣifat-


mauṣūf, terdiri dari dua kata yakni 1). Tafsīr dan 1). Maqāṣidī. Kata Tafsīr
merupakan bentuk ism maṣdar dari kata fassara-yufassiru-tafsīran yang
artinya bayān al-Sya‟i wa iḍāhihi1 (menjelaskan sesuatu), iżhār al-Ma‟nā
al-Ma‟qūl (menampakkan makna yang masuk akal),2 dan kasyf al-
Mugaṭṭah (menyingkap makna yang masih tertutup). Sebagaimana firman
Allah SWT. (Qs. al-Furqan/ 25: 33):

ْ َ‫ٱْل ّق َوأ‬
ً‫ح َص ََ َت ْفصِريا‬ َْ ‫م ة‬
َ َْٰ َّ َ َ َ َ ُ ْ َ َ َ
ِ ِ ‫جئِـ‬ ِ ‫وَل يأحُٔم ةٍِر ٍو إَِل‬
“Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqān (al-Qur`ān)
kepada hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam”

Adapun term Maqāṣid merupakan bentuk plural dari kata maqṣād


yang berarti tujuan akhir atau sasaran sebagai sebuah hal yang diminati.3
Pengisitilahan ini sebagaimana dinukil oleh Jasser Auda dapat disamakan
dengan istilah „ends‟ dalam bahasa Inggris, „telos‟ dalam bahasa Yunani,
„finalite‟ dalam bahasa Perancis, atau „Zweck‟ dalam bahasa Jerman.
Meninjau pemaknaan maqāṣid berdasarkan ilmu syari‟at, al-
Maqāṣid merupakan tujuan atau sesuatu yang dituju (al-Hadf, al-Gāyah,
al-Maṭlub), menuju satu arah (tawajjuh), jalan lurus, mudah dan dekat
(istiqāmah, al-Ṭarīq, wa suhūlatihī wa qurbihī), adil dan tidak melampaui

1
ibn Fāris, Mu‟jam Maqāyis al-Lugah, huruf f-s-r (Beirut: Dār al-Fikr, tth), 137.
2
al-Ragib al-Asfihani, al-Mufradāt fī Garīb al-Qur‟an (Lebanon: Dar al-Ma‟rifah,
tth), 380.
3
Jaseer Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah Dalīl li al-Mubtadiīn (Beirut: Maktabah al-
Tauzī‟ fī al-„Ālam al-„Arabi‟, 2011), 15.

23
24

batas (al-„Adl wa tawassuṭ).4 Beragam pemaknaan ini sebagaimana


digunakan dalam naṣ syāri‟5 dan dikemukakan pula oleh al-Khādimī
bahwa seluruh makna tersebut sangat relevan dengan istilah Maqāṣid
khususnya Maqāṣid al-Syāri‟ah yang dipopulerkan oleh ahli hukum Islam.
Makna al-Hadf, al-Gāyah, al-Maṭlub dan tawajjuh dikatakan relevan
karena syari‟at memiliki orientasi yang tertuju pada kemaslahatan
manusia; Makna istiqāmah, al-Ṭarīq, suḥūlah, qurb disebut relevan karena
maqāṣid diarahkan kepada jalan yang lurus, dekat, dan dimudahkan;
Makna al-„Adl dan tawassuṭ dianggap relevan karena tujuan syari‟at
mengarah pada terciptanya keadilan dan mewujudkan sikap moderat
dalam beragama.
Menurut Jasser Auda, pemaknaan secara terminologi dari al-
Maqāṣid yaitu sebuah cabang ilmu keislaman yang mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan sulit melalui sebuah kata yang tampak sederhana.
Hal ini menjadi sebuah keniscayaan karena al-Maqāṣid menjelaskan
hikmah dari syari‟at Islam, memiliki esensi berupa tujuan baik yang
diupayakan oleh syari‟at Islam melalui konsep akhlak yang menjadi
pondasi dari proses al-Tasyrī‟ al-Islamī‟ (penyusunan hukum berdasarkan
syari‟at Islam).6
Berdasarkan pendefinisian yang telah dijabarkan, maka al-Maqāṣid
diklasifikasikan dengan banyak perubahan yang mendasari
pembentukannya. Klasifikasi ini didasari oleh beberapa dimensi, di
antaranya: 1). Dimensi keniscayaan sebagai dasar klasifikasi klasik; 2).

4
Nūr al-Dīn al-Khādimī, al-Maqāṣid al-Syari‟āh: Ta‟rīfuhā, Amtsilatuhā,
Hujjiyyatuhā (Riyadh: Eshbelia, 2003), 22.
5
Qs. Al-Naḥl/ 16: 9 (perjalanan yang mudah, dekat); Qs. Luqmān/ 31: 19
(moderat/pertengahan dan seimbang); Qs. al-Taubah: 42 (jalan yang lurus); QS. Fātir: 32
(orang yang lurus).
6
Jaseer Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah Dalīl li al-Mubtadiīn, 12-14.
25

Dimensi hukum yang berusaha untuk mencapai al-Maqāṣid; 3). Golongan


manusia yang diliputi al-Maqāṣid; 4). Tingkat universalitas al-Maqāṣid.7

B. Sejarah Tafsīr Maqāṣidī

Tafsīr Maqāṣidī sebagai sebuah istilah independen dalam kajian


tafsir dan merupakan penawaran baru yang disajikan tentunya
dimunculkan setelah melalui pergulatan waktu yang panjang. Ketika poin
maqāṣid diwacanakan sebagai sebuah pembahasan ilmu pengetahuan yang
mempunyai klasifikasi serta pembahasan khusus, maka hal tersebut
terbentuk karena signifikansi dari beberapa unsur yang turut berperan, di
antaranya kondisi sosial, budaya, dan politik. Sehingga terlihat jelas
perbedaan antara ilmu sebagai produk pikiran manusia (dinamis) dan
wahyu yang bersumber langsung dari Allah SWT (statis).
1. Marhalah al-Ta‟sis [Era Formatif-Praktis]
Pada kurun waktu ini, praktik Maqāṣid lebih bersifat implementatif
dan belum teoritis. Abdul Mustaqim mengistilahkan era ini dengan
sebutan practiced Maqāṣidī (teori Maqāṣidī yang dipraktikkan)
berdasarkan beberapa data sejarah yang menunjukan serta memberikan
keterangan perihal paradigma Maqāṣid. Salah satu contohnya termaktub
dalam hadis Nabi.8
Selain itu, fakta sejarah juga menunjukkan bahwa para sahabat pun
mempraktikan Maqāṣidī. Imam al-Syāṭibi (w. 790 H) memaparkan bahwa
para sahabat Nabi selain mempunyai ilmu bahasa Arab yang mumpuni
juga berbekal ilmu asrār al-Syarī‟ah wa Maqāṣidihā. Semisal para

7
Jaseer Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah Dalīl li al-Mubtadiīn, 17.
8
Imām al-Tirmiżi, Sunan al-Tirmiżi ‫ باب يا جاء أٌ ال تقطع األيدي في انغزو‬, juz 3 (Beirut:
Dār al-Garb al-Islāmī, T.th), 105. Muṣṭafā Zaid, al-Maslaḥah fī al-Tasyri‟ al-Islāmi
(Cairo: Dār al-Fikr al-„Arabi, 1964), 161.
26

khulafaurrasyidin, Ibn Mas‟ud, Aisyah, Mu‟ad ibn Jabal, kesemua tokoh


ini.
2. Marhalat al-Taṣil [Periode Teoritis-Konseptual (Abad III H)]
Setelah era sahabat, diskursus teori Maqāṣid mengalami fase
stagnan. Teori Maqāṣid baru berkembang kembali setelah muncul para
ulama uṣūl fiqh abad III-VIII H. Sebenarnya dalam kurun waktu kira-kira
tiga abad, diskursus Maqāṣid mengambil bentuk penalaran qiyās, istiḥsan,
dan maslahah sebagaimana dirumuskan para ahli uṣūl fiqh klasik. Pada
waktu itu teori Maqāṣid belum menjadi objek kajian tersendiri, setelah
akhir abad ketiga Hijriyah barulah diskursus Maqāṣidī berkembang
menjadi lebih konseptual dan teoritis. Hal ini bisa dilihat dari karya ulama
pada waktu itu, di antaranya:
a. Al-Tirmiżi al-Hakim Abu Abdillāh Muḥammad Ibn Ali (w.
296 H/908 M)
Ulama yang hidup pada abad ke-3 H, berdasarkan
kesepakatan para muarrikh. Al-Tirmiżi lebih terkenal sebagai pakar
sufistik dan filsafat namun beliau turut berkontribusi dalam
mempopulerkan istilah Maqāṣid melalui karyanya yang berjudul al-
Ṣalāt wa Maqāṣiduhā yakni membahas tentang rukun shalat serta
hikmah yang tersirat di dalamnya.
27

b. Abū Zayd al-Balkhi (w. 322 H/933 M)


Al-Balkhi adalah ulama pertama yang menulis tentang al-
Maqāṣid dalam ranah muamalat. Karyanya berjudul al-Ibānah „an
„ilal al-Diyānah yang membahas tentang tujuan dibalik hukum-
hukum Islam. Selain itu, al-Balkhi juga menulis Maṣālih al-Abdān
wa al-Anfus yang menjelaskan praktik-praktik agama Islam dan
hukum-hukumnya yang berdampak positif terhadap kesehatan, baik
secara fisik ataupun kejiwaan.
c. Abū Bakr Qaffal al-Syasyi (w. 365 H/975 M)
Sosok ulama pakar ushul fiqih dari generasi mutaqaddimīn
yang hidup semasa dengan Imam al-Syafi‟i. Karyanya dalam usul
fikih berupa kitab Mahāsin al-Syarī‟at yang mengupas nilai-nilai
positif pemberlakuan syari‟at melalui hikmah dan Maqāṣid-nya.
d. Ibn Babawaih al-Qummi (w. 381 H/991 M)
Ibn Babawaih al-Saduq al-Qummi merupakan ulama syi‟ah
pertama yang membuat karya tentang Maqāṣid. Pada abad ke-4 H,
karya al-Qummi berjudul „Ilal al-Syar‟i menjadi sebuah karya yang
mengupayakan rasionalisasi terhadap Allah SWT dan aspek-aspek
kepercayaan Islam yang lainnya. al-Qummi juga memberikan
rasionalisasi moral mengenai shalat, puasa, haji, zakat, berbakti
kepada orang tua.
e. Al-„Āmirī al-Failusūf (w. 381 H/991 M)
Klasifikasi teoritis mengenai tujuan-tujuan syari‟at (al-
Maqāṣid) diajukan pertama kali oleh al-„Āmirī dalam karyanya al-
I‟lam bi Manāqib al-Islām. Klasifikasi yang dikemukakan al-„Āmirī
hanya terbatas pada hukum pidana Islam (al-Ḥudūd).
28

3. Marhalat al-Tafri‟ [Masa Perkembangan Teoritis-Konseptual (Abad


V-VIII H)]
Pada masa ini teori Maqāṣid semakin berkembang berdasarkan
grafik yang ditinjau dari aspek teoritis dan konsepnya. Signifikansi
perkembangan yang terjadi dibuktikan dengan banyak lahirnya karya-
karya dari para ulama, seperti:
a. Abu al-Ma‟ali al-Juwaini (w. 478 H/1085 M)
Pencetus teori kebutuhan publik dengan karyanya al-Burhan fi
Ushul al-Fiqh.
b. Abu Hamid al-Gazālī (w. 505 H/1111 M)
Merumuskan teori ushul al-khamsah atau daruriyat al-khams,
meneruskan teori hirarki Maqāṣidī al-Juwainī.
c. Al-Izz Ibn Abd al-Salam (w. 660 H/1209 M)
Mengarang kitab yang bernuansa hikmah dibalik aturan
syari‟at yaitu: Maqāṣid al-Ṣalah dan Maqāṣid al-Ṣaum, sedangkan
kontribusi beliau dalam pengembangan teori Maqāṣid tertuang
dalam kitab Qawā‟id al-Ahkām fī Maṣālih al-Anām.
d. Syihābuddin al-Qarāfi (w. 684 H/1285 M)
Ulama Mazhab Maliki dengan karyanya al-Furūq: Anwā‟ al-
Burūq fī Anwā‟ al-Furūq yang menyinggung aṣrār al-Syar‟i wa
hikāmihī (rahasia syarat dan hikmah-hikmahnya) dan juga
mendiskusikan tentang isu pertentangan dalil (ta‟aruḍ al-Adillah).
e. Syamsuddin ibn al-Qayyim (748 H/1347 M)
Merupakan salah satu murid Ahmad Ibn Taimiyah. Ibn al-
Qayyim berkontribusi dalam pengembangan maqāṣid melalui
kritiknya mengenai „al-Hiyal‟ (menyiasati aturan syari‟at). Beliau
menyatakan dengan tegas bahwa hukum-hukum syari‟at hakikatnya
adalah esensi utama yang dibutuhkan bukan hanya sekedar
29

pengistilahan dan tampilan. Semisal, sistem mu‟amalah yang


dilarang dalam Islam tetapi kemudian dilegalkan dengan melakukan
transaksi secara berbelit-belit. Selain mengajukan tentang hakikat
syari‟at, Ibn al-Qayyim juga merangkum metodologi fikihnya
dengan didasari hikmah dan kesejahteraan manusia:9

‫ ويه‬.‫الّشيؿث ٌتِاْا وأشاشٓا لَع اْللً ومطاىح اىؿتاد ِف اىٍؿاش واىٍؿاد‬


َ‫ؾدل لكٓا ورمحث لكٓا وحهٍث لكٓا ومطيحث لكٓا فلك مصأىث خرجج ؾ‬
َ‫اىؿدل إىل اجلٔر وؾَ الرمحث إىل ضدْا وؾَ اىٍطيحث إىل اىٍفصدة وؾ‬
‫اْلهٍث إىل اىؿتد فييصج ٌَ الّشيؿث وإن أدخيج فيٓا ةاتلأويو‬
f. Abu Ishaq al-Syaṭibi (w.790 H/1388 M)
Sosok ulama maqāṣid yang menggunakan pengistilahan
hampir sama dengan al-Juwaini dan al-Gazālī. Al-Syaṭibi
beranggapan bahwa al-Maqāṣid merupakan syarat utama dalam
segala tingkatan ijitihad sehingga memunculkan istilah qaṭ‟i.
Sehingga al-Syaṭibi beranggapan bahwa al-Maqāṣid sebagai uṣūl al-
Dīn wa qawā‟id al-Syarī‟ah wa kulliyat al-Millah (asas-asa agama,
kaidah-kaidah syari‟at, dan pokok-pokok kepercayaan dalam agama
Islam).
4. Marhalat al-Tajdīd [Era Reformatif-Kritis]
Era ini dikembangkan oleh beberapa tokoh modern kontemporer
seperti Muḥammad Ṭahir ibn „Asyūr, Alāl al-Fāsi, Yusuf al-Qardawi,
Muḥammad Mahdi Syamsuddin, Ahmad al-Raisūni, Jasser Auda yang
berkontribusi melalui karya-karya mereka. Ulama maqāṣid kontemporer
berhasil merevisi al-Maqāṣid klasik menjadi al-Maqāṣid universal baru
yang dideduksi langsung dari kitab-kitab suci bukan dari literatur fiqih,

9
Syamsuddin ibn al-Qayyim, I‟lam al-Muwaqqi‟īn, juz 1 (Beirut: Dar al-Jil,
1973), 333.
30

sehingga al-Maqāṣid mampu memberikan representasi nilai dan prinsip


luhur dari al-Qur‟an serta tidak tunduk kepada penafsiran yang selama ini
diwariskan.

Tabel 2.1
Imam-Imam Perintis Kajian al-Maqāṣid sebelum abad ke-5 H.
Nama Imam Karya al-Maqāṣid
Al-Tirmiżi al-Hakim (296 Al-Ṣalāh wa Maqāṣiduhā
H/908 M) Isṭbāt al-„Ilal
Abu Zayd al-Balkhi Al-Ibanah „an „ilal al-Diyanah
(w. 322 H/933 M) Masalih al-Abdan wa al-Anfus
Al-Qaffal al-Kabir Syasyi Mahasin al-Syara‟i
(w. 365 H/ 975 M)
Ibn Babawayh al-Qummi „Ilal al-Syara‟i
(w. 381 H/991 M)
Al-„Amiri al-Faylasuf Al-I‟lam bi Manaqib al-Islam
(w. 381 H/991 M)

Tabel 2.2
Imam-Imam al-Maqāṣid antara Abad ke-5 sampai Abad ke-8 H

Nama Imam Karya dan Kontribusi


Abu al-Ma‟ali al-Juwayni 1) Menulis: al-Burhan fi Usul al-Fiqh,
(w. 478 H/1085 M) Giyas} al-Umam
2) Menggagas al-Maqāṣid sebagai
kebutuhan publik
Abu Hamid al-Gazali 1) Menulis: al-Mustasyfa
(w. 505 H/1111 M) 2) Mengemukakan al-Maqāṣid sebagai
keniscayaan yang berjenjang
31

Al-„izz ibn „Abd al-Salam 1) Menulis: Maqāṣid al-Ṣalah, Maqāṣid


(w. 660 H/1209 M) al-Ṣaum, Qawāid al-Aḥkam fī Masālih
al-Anām
2) Menegaskan bahwa sahnya suatu aturan
bergantung pada tujuan dan hikmahnya
Syihab al-Din al-Qarafi 1) Menulis: al-Furuq
(w. 684 H/1285 M) 2) Mencetuskan klasifikasi perbuatan Nabi
berdasarkan maksud Nabi
Syamsuddin ibn al- 1) Kritik terhadap al-Hiyal al-Fiqhiyyah
Qayyim 2) Mengungkap hakikat syari‟at sebagai
(w. 748 H/1347 M) bangunan yang didasarkan
kemaslahatan dunia dan akhirat
Abu Ishaq al-Syāṭibi 1) Menulis: al-Muwafaqat fi Usul al-
(w.790 H/1388 M) Syari‟ah
2) Melakukan 3 transformasi penting
terhadap konsep al-Maqāṣid:
a) dari „maslaḥah mursalah‟ menjadi
„uṣūl al-Syari‟ah‟
b) dari „hikmah dibalik aturan‟ kepada
„kaidah dasar aturan‟
c) dari „ketidaktentuan‟ menuju
„keyakinan‟
32

Tabel 2.3
Ulama al-Maqāṣid Kontemporer
Nama Ulama Kontribusi
Rasyid Ridha (w. Menyarankan bahwa tujuan-tujuan pokok
1354 H/1935 M) syari‟at menurut al-Qur‟an adalah:
1) Reformasi pilar-pilar keimanan
2) Sosialisasai Islam sebagai agama fitrah
3) Menegakkan peran akal, pengetahuan,
hikmah, dan logika yang sehat
4) Kebebasan
5) Independensi
6) Reformasi sosial, politik, dan ekonomi
7) Hak-hak perempuan
Al-Tahir ibn „Asyur Mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum
(w. 1325 H/1907 M) Islam secara universal:
1) Ketertiban
2) Kesetaraan
3) Kebebasan
4) Kemudahan
5) Pelestarian fitrah manusia
Muhammad al- Mengkritik kecenderungan penafsiran secara
Gazali harfiah dan berpendapat bahwa al-Maqāṣid
(w. 1416 H/1996 M) sebagai reformis bidang HAM dan hak-hak
perempuan
Yusuf al-Qardawi Menyarankan bahwa pokok syari‟at menurut al-
(1345 H/1926 M) Qur‟an yakni:
1) Pelestarian akidah dan harga diri
2) Penyembahan Allah SWT.
33

3) Penjernihan jiwa
4) Perbaikan akhlak
5) Pembangunan keluarga
6) Memperlakukan perempuan dengan adil
7) Pembangunan bangsa muslim kuat
8) Kerjasama antar umat manusia
Taha Jabir al- Mengusulkan bahwa tujuan pokok menurut al-
Alwani Qur‟an yaitu:
(1354 H/1935 M) 1) Al-Tauhid (pengEsaan terhadap Allah)
2) Al-Tazkiyah (penyucian jiwa manusia)
3) Al-„Umran (peradaban manusia di muka
bumi)

C. Ragam Metodologi Tafsir Maqāṣidī

Tipologi ini dipetakan kepada ulama pengkaji maqāṣid


kontemporer klasik yang menjadikan nas sebagai acuan utama maqāṣid
dan menggunakan pendekatan tekstual sebagai metode analisis, seperti
istiqra‟, tafsir tematik, dan kaidah-kaidah kebahasaan. Model berpikir
kelompok tekstualis mengikuti metode yang dikembangkan al-Syāṭibi
yang memposisikan teks sebagai sumber utama maqāṣid, sementara akal
hanya sebatas penguat dari teks yang sudah tertera.10
1. Metodologi Tafsīr Maqāṣidī Ibn „Asyur
Metode al-Maqāṣid Ibnu „Asyur merupakan hasil elaborasi dari
formulasi Maqāṣid al-Syāṭibi. Mengenai lima kebutuhan dasar manusia
dari al-Syaṭibi, Ibn „Asyur kemudian mengusulkan konsep kebebasan,
kesetaraan, kesucian, toleransi, dan keadilan sebagai bagian dari

10
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda (Ciputat: Yayasan
Pengkajian Hadits al-Bukhori, 2018), 67.
34

kebutuhan dasar manusia. Ibn Asyur menciptakan tiga poin penting


dalam pengembangan Maqāṣid nya: Pertama, pernyataan beliau mengenai
mayoritas al-Qur‟an, hadis, serta maqāṣid yang terkandung di dalamnya
bersifat rasional. Adapun ayat-ayat yang berimplikasi pada hukum
peribadatan (ta‟abbudi) sangat sedikit; Kedua, menjadikan Maqāṣid
sebagai langkah dari wasaṭiyah dengan melakukan pemetaan Maqāṣid
menjadi Maqāṣid al-„Ammah dan Maqāṣid al-Khāṣṣah.11 Ketiga,
menggunakan metode induksi dan deduksi dalam menggali al-Maqāṣid.12
Maqāṣid al-„Ammah merupakan makna dan hikmah yang dipelihara
syari‟ dalam seluruh bentuk penentuan hukum.13 Memiliki sifat universal
serta dapat dijadikan pijakan dalam skala lintas teritorial-geografi,
sehingga nilai universal tersebut memiliki esensi untuk memprioritaskan
individu dan sosial. Maqāṣid al-Khassah berupa tujuan syariat khusus
semisal mengenai muamalat maka akan mengupas berbagai isu maqāṣid
yang serumpun dengannya, contohnya maqāṣid hukum keluarga, maqāṣid
penggunaan harta, atau maqāṣid tentang perundang-undangan dan
kesaksian.14
Ibn „Asyur membentuk disiplin ilmu Maqāṣid didasarkan dalam
tiga unsur penting: tujuan (hadf al-Ilm al-Maqāṣid), sasaran (maudu‟ al-
Ilmi al-Maqāṣid), metode ilmu Maqāṣid (manhajiyah al-Ilm al-Maqāṣid).
15
Terdapat tiga metode yang ditawarkan Ibn „Asyur untuk mengetahui
Maqāṣid, yakni: menggunakan metode istiqra‟ (menganalisis beberapa
dalil, memahami maqāṣid dari makna literal ayat ketika maksudnya sudah

11
Kusmana, “Epistemologi, 223. Lihat juga Muhammad Tahir Ibn „Asyur,
Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah (Beirut: Dar al-Kitab, 2011), 273.
12
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah (Qatar:
Wizārah al-Auqāf wa asy-Syu‟ūn al-Islāmiyyah, 2004), 56.
13
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 251.
14
Eva Muzdalifah, “Hifz al-Nafs dalam al-Qur‟an: Studi dalam Tafsir Ibn „Asyur”
(Skripsi S1., UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019), 74.
15
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 3.
35

jelas (wadihah al-Dilalah) kemudian dicari kesimpulan umum untuk


memastikan tujuan syari‟atnya, dan menyimpulkan maqāṣid dengan
berlandaskan pada hadis-hadis mutawatir. Adapun rumusan Tafsīr
Maqāṣidī Ibnu „Asyur:
a. Menggali makna teks al-Quran serta derivasi dari teks tersebut
dengan menggunakan kaidah kebahasaan, karena bahasa
memiliki peran penting ketika melakukan ijtihad dalam
menafsirkan ayat.16
b. Ibnu „Asyur menjadikan Maqāṣid al-Syarī‟ah sebagai
pendekatan dalam penafsiran untuk merealisasikan tafsir
sebagai jalan yang dapat memperbaiki kondisi masyarakat.17
Langkah ini melalui pencarian makna yang tepat. Pendekatan
ini untuk mengungkap hikmah, „illat, dan makna teks, yang
sesuai dengan maqṣūd al-syāri‟ dengan metode deduktif
(kebahasaan) dan induktif (penelusuran relevansi teks dengan
konteks).18
c. Teks dan maqāṣid diletakkan sejajar oleh Ibn „Asyur,
kemudian didialogkan dengan realitas kekinian, agar dapat
mencapai konsep keagamaan yang humanis-dinamis untuk
kemaslahatan umat.19
2. Metodologi Tafsīr Maqāṣidi al-Raysuni
Langkah-langkah (masalik) penafsiran berbasis maqāṣid al-Raysuni
untuk menemukan maqsad dari suatu nash yang hendak ditafsirkan
khususnya kategori maqāṣid „ammah dari al-Qur‟an dibagi menjadi dua

16
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, juz 1 (Tunisia: Dar al-
Tunisiyyah li al-Nashr, 1984), 39-40.
17
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 38.
18
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, 39.
19
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 40.
36

cara:20 Pertama, al-Qur‟an menjelaskan sendiri tujuan yang diinginkan.


Semisal penjelasan al-Qur‟an itu sendiri mengenai maqāṣid al-Qur‟an, di
antaranya: a) mentauhidkan dan menyembah Allah (Qs. Hūd/ 11: 1-3, Qs.
Al-Zumar/ 39: 1-2), b) larangan berbuat kerusakan (Qs. al-Baqarah/ 2 :
11), c) Tazkiyah dan mengajarkan hikmah (Qs. al-Baqarah/ 2: 205), d)
syariat bersifat memudahkan dan tidak menyulitkan (Qs. al-Baqarah/ 2:
185, Qs. Al-Ḥajj/ 22: 78), e) menegakkan kebenaran dan keadilan (Qs. al-
Ḥadīd/ 57: 25, Q.S. al-An‟ām/ 6: 115). Kedua, melalui istinbat para
ulama‟ dalam mencari maqāṣid al-Qur‟an. Makna masing-masing ayat
memiliki kejelasan makna sehingga para ulama menyimpulkan bahwa
salah satu tujuan syari‟at adalah daf‟u al-Mafāsid, raf‟u al-Haraj, dan al-
Taysir. 21
Sedangkan dalam wilayah ijtihad maqāṣidī secara keseluruhan
dalam hal ini juga penafsiran al-Raysuni memberikan langkah-langkah
yang harus diperhatikan. Langkah-langkah tersebut adalah:
a. al-Nuṣuṣ bi Maqāṣidiha (sebuah teks tergantung pada
tujuannya);
Pemahaman makna dari suatu teks hendaknya dipahami
berdasarkan tujuan-tujuannya, sehingga tidak hanya berhenti pada
zahir teks (lafaz serta redaksinya). Hal ini berlandaskan pada
masalah ta‟lil, yaitu adanya teks-teks syariah dengan tujuan untuk
kemashlahâtan hamba. Maka penafsiran dalam metodologi tafsir
maqāṣidī tidak mengabaikan tujuan dari teks tersebut. Ibn Qayyim
dalam beberapa contoh ijtihadnya yang berdasarkan pada tujuan,

20
Ahmad al-Raysuni, Maqāṣid al-Maqāṣid (Beirut: al-Syabakah al-Arabiyah li al-
Abhats, 2013), 8-11.
21
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 69.
37

semisal tentang zakat fitrah dan benda yang digunakan untuk


istinja‟.22
b. Merujuk dalil-dalil umum (al-Kulliyat) ketika hendak
menerapkan dalil-dalil spesifik (al-Juz‟iyyat);
Dalil-dalil umum yang dimaksud al-Raysuni adalah ayat-ayat
yang berisi tentang keadilan (al-„Adalah), kemudahan (al-Taisir),
egalitarian (al-Musāwah), anjuran menghindari kesulitan (raf‟ al-
Haraj), dan dalil ini dapat digunakan untuk semua kasus baik ranah
ibadah maupun muamalah.23 Sementara dalil-dalil spesifik adalah
ayat-ayat yang menjelaskan hukum tertentu, seperti hudud, qisas,
dan warisan, maka ayat-ayat ini tidak dapat digunakan untuk
menghukumi kasus yang berbeda. Ibn „Asyur mengistilahkan dalil
umum dengan Maqāṣid al-„Ammah, sedangkan dalil spesifik
diistilah dengan Maqāṣid al-Khassah.24 Kemudian dalil-dalil umum
dan dalil-dalil parsial ini dijadikan sebagai unsur yang
dipertimbangkan ketika hendak memutuskan suatu hukum atau pada
saat melakukan penafsiran.25
c. Kemaslahatan merupakan referensi utama maqāṣid dan
bersifat qaṭ‟i;
Secara mutlak kemaslahatan bisa terealisasi dimana saja, maka
harus diusahakan untuk merealisasikan dan menjaganya. Begitu pula
jika kerusakan bisa terjadi maka harus diusahakan untuk
mencegahnya, walaupun tidak ada teks secara khusus yang
menjabarkannya. Teks-teks secara umum yang mendukung untuk

22
Ahmad al-Raysuni, Nazariyah al-Maqāṣid „inda al-Imam al-Syatibi (Riyad: al-
Dar al-Alamiah lilkitab al-Islami, 1995), 364.
23
Ahmad al-Raysuni, al-Kulliyat al-Asasiyyah li Syari‟ah al-Islamiyyah (Kairo:
Dar al-Kalimah, 2009), 26.
24
Muhammad Tahir Ibn „Asyur, Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, 49.
25
Ahmad al-Raysuni, Nazariyah al-Maqāṣid „inda al-Imam al-Syatibi, 370.
38

berbuat kebaikan, kemanfaatan, kebaikan dan juga teks-teks umum


yang mencela kerusakan dan larangan berbuat jelek dan
membahayakan orang lain merupakan dalil yang dicukupkan
sehingga ulama‟ membuat kesepakatan bahwa tujuan umum dari
syariah adalah mendatangkan kemaslahatan dan mencegah
kerusakan baik di dunia maupun akhirat.
Menurut al-Syāṭibi setiap dasar syara‟ yang tidak didukung
oleh teks tertentu tetapi sesuai dengan esensi dari syara‟ serta
disimpulkan dari dalil-dalil syara‟, maka hukumnya sah untuk
dijadikan referensi. Apabila mashlahah tersebut haqiqiyah
(mashlahah yang benar-benar maslahah) serta sesuai dengan tujuan
syara‟ maka ia merupakan dasar yang qat‟i yang harus dijadikan
pijakan hukum.26
d. Mempertimbangkan akibat suatu hukum
Seorang mujtahid ketika berijtihad hendaknya
mempertimbangkan akibat dari suatu pernyataan yang dibuat. Tugas
seorang mujtahid tidak hanya menentukan hukum untuk perkara
tetapi juga memprediksikan akibat-akibat yang ditimbulkan dari
hukum karena hal ini merupakan tujuan syariat, baik perbuatan itu
sesuai dengan syara‟ atau tidak. Seorang mujtahid tidak akan
memberikan hukum pada perbuatan mukallaf kecuali setelah
mempertimbangkan akibat-akibat hukum dari perbuatan tersebut.
Maka, seorang mujtahid dianggap tidak cukup jika hanya mampu
memahami teks-teks syariah secara rinci saja, akan tetapi ia juga
dituntut mahir terhadap karakteristik dan rahasia kejiwaan manusia
dan ilmu kemasyarakatan.27

26
Ahmad al-Raysuni, Nazariyah al-Maqāṣid „inda al-Imam al-Syatibi, 370.
27
Ahmad al-Raysuni, Nazariyah al-Maqāṣid „inda al-Imam al-Syatibi, 370.
39

D. Urgensi Tafsīr Maqāṣidī

Menurut Abdul Mustaqim, tafsīr maqāṣidī merupakan keniscayaan


yang hadir untuk mengaktualisasikan Islam yang moderat dalam
memahami al-Qur‟an di antara kehadiran kelompok-kelompok yang
memiliki pola pikir ekstrim (taṭarruf) dan memahami teks-teks keagamaan
secara rigid. Poin yang penulis ambil dari pandangan beliau terkait urgensi
tafsīr maqāṣidī dalam sistem interpretasi yakni mampu mengartikulasikan
ajaran Islam melalui proses penafsiran dengan mempertimbangkan
konteks disertai dengan nilai-nilai maqāṣid-nya, sehingga tujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan (taḥqīq al-
Maslaḥah wa dar‟u al-Mafsadah) bisa terealisasi sebagai struktur
fundamental dari Tafsīr Maqāṣidī.
Adapun signifikansi tafsīr maqāṣidī yang ditawarkan Jaseer Auda
sebagai suatu langkah operasional memahami al-Qur‟an memiliki tujuan
agar mampu menghasilkan pemahaman yang utuh. Maka urgensi dari
Maqāṣid tersebut dijabarkan sebagai berikut:28
1. Maqāṣid merupakan unsur yang memiliki fleksibelitas dalam
memberikan pemahaman sehingga ketika digunakan dalam proses
penafsiran akan menghasilkan tafsir yang sesuai dengan perubahan
situasi dan kondisi zaman (ṣālih likulli al-Zamān wa al-Makān).
2. Mengoptimalkan pengamalan naṣ-naṣ syari‟at sehingga tidak ada
pertentangan dan tidak ada saling menegasikan di antara keduanya.
3. Turut berpartisipasi meneruskan upaya ulama terdahulu dalam
menyelesaikan perbedaan yang terjadi di masyarakat dengan
berlandaskan pada al-Maqāṣid. Terutama mengenai perbedaan yang

28
Jasser Auda, Naqd Naẓariyyah al-Naskh Bahtsu fi Fiqh al-Maqāsidal-Syarī‟ah
(Beirut: al-Syabakah al-„Arabiyyah li al-Abhats wa al-Nasyr, 2013), 26-28.
40

berkaitan dengan ranah furu‟ supaya tidak terjadi fanatisme berlebih


(ta‟aṣub).29
4. Memberikan solusi yang tepat sasaran bagi dakwah Islam terutama
bagi kalangan muslim minoritas dan tentunya tetap sesuai dengan
tujuan syari‟at (maqṣad al-Syar‟i)

29
Bandingkan dengan Wasfi Asyur, Nahwa al- Tafsīr al-Maqāṣidī li al-Qur‟ān
al-Karīm, 59.
BAB III
KONSTRUKSI MAQĀṢID JASSER AUDA

A. Biografi Jasser Auda

1. Perjalanan Intelektual Jasser Auda


Jasser Auda adalah salah satu sosok pemikir kontemporer
terkemuka, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat. Auda lahir tahun
1966 di Kairo-Mesir, putra dari seorang seniman ternama Mesir yaitu
Abdul Gaffār „Audah dan merupakan kemenakan Abdul Qadir Auda,
penulis kitab al-Tasyri‟ al-Jinai al-Islami (salah satu kitab referensi yang
sering dijadikan rujukan dalam membahas tentang hukum pidana Islam).
Selama masa mudanya (tahun 1983-1992), Auda mempelajari pendidikan
agama dengan mengikuti pengajian dan halaqah di masjid al-Azhar, Kairo.
Kemudian mendapatkan gelar MSc (Master of Science) tahun 1993 dari
Cairo University. Pada tahun 1996, Auda mendapatkan gelar Ph.D di
Universitas Waterloo, Kanada bidang kajian analisis sistem. Setelah
menempuh jenjang doktoral, Auda kembali kuliah di Islamic American
University dan berhasil meraih gelar Bacherlor of Arts (BA) bidang
islamic studies (1999) serta berhasil menuntaskan program master dengan
konsentrasi hukum Islam tahun 2004. Jasser Auda pun pergi ke Inggris
melanjutkan jenjang Doktoral dengan fokus kajian tentang hukum Islam
dan meraih gelar Ph.D bidang hukum Islam tahun 2008 di Universitas
Wales, Inggris.1
Berdasarkan latar belakang pendidikannya, Jasser Auda sangat
menguasai hukum Islam dan juga ilmu sosial. Safvet Halilovic, seorang
Profesor Tafsir dan Antropologi al-Qur‟an dari Universitas Zenica
menyebutnya sebagai salah satu cendekiawan muslim kontemporer yang

1
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 85-86.

41
42

berwawasan luas, memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam, dan


memahami realitas kekinian umat Islam dengan baik.2 Menurut Amin
Abdullah, Auda termasuk intelektual yang mampu untuk mendialogikan
dan mempertautkan paradigma ulūm al-Dīn, al-Fikr al-Islāmī, dan dirāsah
al-Islāmiyah kontemporer dengan baik.3 Mengenai kajian agama, Auda
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad al-Gazālī, Yūsuf al-
Qarḍāwī, Ṭāhā Jābir al-Alwānī, Ḥasan Ṭurābī, dan Ismā‟il Ṣādiq al-
„Adāwī. Mereka adalah para tokoh terkenal pembaharu hukum Islam yang
sudah menulis beberapa karya tentang metodologi hukum Islam.
Sedangkan dalam kajian ilmu umum (khususnya analisis sistem),
Bartanlanffy dan Lazslo sangat memengaruhi pemikiran Auda sebagai
tokoh utama dalam analisis sistem. Adapun kontribusi Jasser Auda terkait
Maqāṣid al-Syarī‟ah berupa penawaran baru dengan mengintegrasikan
antara Maqāṣid al-Syarī‟ah dan filsafat sistem. Hal ini hampir sama
dengan yang dilakukan al-Ghazali ketika mengadopsi ilmu logika sebagai
penguat pondasi uṣūl al-Fiqh.4
2. Karya-Karya Jasser Auda
Jasser Auda merupakan sosok intelektual yang produktif. Selain
menulis tentang Maqāṣid al-Syarī‟ah dan persoalan hukum Islam
kontemporer, dia juga menulis tentang taSawuf dan etika. Banyak sekali
karya-karya Jasser Auda baik dalam bahasa Arab ataupun bahasa Inggris.
Sebelum menulis buku sendiri, Auda mengawali perjalanannya dalam
dunia tulis-menulis dengan menerjemahkan buku gurunya, Muhammad al-
Gazali, ke dalam bahasa Inggris dengan tujuan sebagai respon terhadap
meningkatnya populasi umat Islam di Barat.

2
Lihat Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 86.
3
M. Amin Abdullah, Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Pendekatan
Filsafat Sistem dan Ushul Fikih Sosial (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), 2.
4
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 86-87.
43

Secara umum, karya Jasser Auda diklasifikasikan menjadi dua


kategori: pertama, karya Jasser Auda yang membahas tentang metodologi
hukum Islam. Buku-buku ini banyak dipublikasikan tahun 2006-2011.
Kategori ini bertepatan dengan masa studi Jasser Auda di Universitas
Wales; kedua, karya Jasser Auda yang bersifat responsif dan aplikatif.
Buku-buku tersebut merupakan hasil telaah Jasser Auda terhadap isu
kekinian dengan menggunakan metodologi yang dirumuskan pada
kategori sebelumnya. Sebagian besar buku-buku yang termasuk kategori
kedua ini dipublikasikan tahun 2012-2016.
a. Buku Metodologi (2006-2011)
Terdapat tiga buku yang dikategorikan sebagai buku
metodologi Jasser Auda. Ketiga buku ini banyak mendiskusikan
terkait metodologi maqāṣid al-Syarī‟ahdan signifikansinya di masa
sekarang. Ketiga buku yang dimaksud adalah Fiqh al-Maqāṣid:
Ināṭah al-Ahkam al-Syar‟iyyah bi Maqāṣidihā (2006), Maqāṣid al-
Syari‟ah as Philosophy of Islamic Law (2007), dan Maqāṣid al-
Syari‟ah: Dalil li al-Mubtadi (2011).
b. Buku penerapan Metodologi (2012-2015)
Pada tahun-tahun berikutnya, Auda tidak lagi menulis buku
Metodologi hukum Islam, tetapi lebih banyak merespon isu
kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan persoalan politik
dan kebijakan public. Di antara karya Auda yang masuk dalam
kategori ini Bayn al-Syarī‟ahwa al-Siyāsah (2012), al-Ijtihad al-
Maqāṣidī: Min al-Taṣawwur al-Uṣūlī ila al-Tanzīl al-„Amalī (2013),
al-Dawlah al-Madaniyyah (2015), As‟ilah Hawl al-Mar‟ah wa al-
Masjid (2016), dan lain-lain.
44

3. Kegiatan dan Konteks Sosial Jasser Auda


Setelah menyelesaikan di Cairo University (1993), Auda pindah ke
Kanada untuk melanjutkan pendidikan doktoralnya dan lebih banyak
berkarir di Barat. Tantangan yang dihadapi Auda tentu sangat berbeda
dengan intelektual muslim yang berdomisili di Timur Tengah ataupun
Negara mayoritas muslim lainnya. Jasser Auda menjadi salah satu
cendekiawan yang sangat aktif mempromosikan Islam moderat melalui
pendekatan Maqāṣid al-Syarī‟ah dan mengkritik Islamophobia di Barat.
Upaya yang dilakukan Auda untuk mengubah persepsi masyarakat
Barat terkait Islam ialah dengan menulis buku dan mengajar di kampus.
Jasser Auda menjadi dosen di Universitas Waterloo (kampus
almamaternya) dan Carleton University. Sebelumnya Jasser Auda pernah
menjadi dosen tamu di Fakultas Studi Islam Qatar (2010-2015),
Universitas Islam Novi Pazar Serbia (2012-2013), Universitas Alexandria
Mesir, Akademi Fikih Islam India, dan lain-lain. Adapun mata kuliah
utama yang diajarkan Auda ialah Maqāṣid al-Syarī‟ah dan kebijakan
publik.
Selain mengajar di kampus, Auda juga aktif di beberapa organisasi
keislaman, seperti European Council for Fatwa and Research,
Internasional Union for Muslim Scholars, dan lainnya. Disamping itu,
Auda juga diminta bekerja di lembaga kajian atau yayasan yang didirikan
untuk pengembangan kajian hukum Islam kontemporer, khususnya
Maqāṣid al-Syarī‟ah. Terdapat tiga lembaga yang pernah dipimpin Jasser
Auda, ketiga lembaga tersebut ialah:
a. Maqāṣid Centre (2005-2010), lembaga ini merupakan bagian
dari al-Furqan Islamic Heritage Foundation yang berpusat di
London. Yayasan ini didirikan oleh Mantan Menteri Minyak
45

dan Sumber Daya Mineral Arab Saudi, Ahmad Zaki Yamani


pada tahun 1988. Pada awalnya, tujuan didirikannya yayasan
ini adalah untuk mendokumentasikan, mengedit, dan
mempublikasikan manuskrip-manuskrip yang lahir dari
peradaban Islam Klasik. Kemudian tahun 2005 (bertepatan
dengan masa studi Auda di Universitas Wales), al-Furqan
mendirikan Pusat Kajian Filsafat Hukum Islam atau Maqāṣid
Centre dengan menunjuk Jasser Auda sebagai direkturnya.
b. Cordoba Initiative (2007) yang terletak di New York,
Amerika. Lembaga ini didirikan Imam Feishal Rauf pada
tahun 2002.5 Cordoba Initiative ini merupakan merupakan
sebuah proyek untuk membantu perumusan shari‟a index
project yang dipimpin langsung oleh Imam Feishal Rauf
selaku direktur.
c. Research Center for Islamic Legislation and Ethics (2011-
2013) di Doha, Qatar. CILE merupakan bagian dari
Universitas Hammad ibn Khalifah Qatar yang diresmikan pada
tanggal 15 Januari 2012. Sejak awal berdirinya CILE, Thariq
Ramadhan menjabat sebagai direktur utama dan Jasser Auda
sebagai wakilnya (2011-2013). Tujuan utama CILE ialah
mereformasi pemikiran Islam dan etika Islam supaya mampu
menghadapi tantangan global kontemporer.

5
Lihat Imam Feisahl Rauf, Islam Amerika, terj. Zulkarnaen Ishak (Bandung:
Mizan, 2013), 41.
46

B. Diskursus Tafsīr Maqāṣidī Ditinjau dari Pendekatan Sistem

1. Al-Idrākiyyah (Kognisi)
Pada hakikatnya, pemikiran (kognisi) saling berkaitan dan
berkorelasi,6 tidak berdiri sendiri dan merupakan hasil dialektika antara
subjek dengan konteks dan realitas yang dihadapinya. Berdasarkan teori
sistem ini maka sebuah pemikiran atau konsep keilmuan memiliki
keniscayaan untuk terbuka dan selalu berkembang. Perkembangan suatu
pemikiran akan menghasilkan sebuah pemahaman yang harus dilandasi
dengan persepsi yang baik agar seseorang dengan pemikiran dan
pemahaman yang dimilikinya bisa menangkap makna secara holistik.
Bahkan menurut Jasser Auda, perangkat dari al-Fiqh yakni proses
memahami itu harus mencakup dari tiga unsur: al-Fahm (pemahaman), al-
Taṣawwur (konsepsi), al-Idrāk (kognisi).7
Proses penafsiran tentunya melibatkan setiap horizon dari seorang
penafsir tersebut, maka perlu adanya pembentukan paradigma di awal
bahwa al-Qur‟an adalah wahyu sedangkan penafsiran atasnya bukanlah
wahyu. Sehingga tidak perlu ada legitimasi atas segala bentuk hasil
interpretasi seseorang terhadap sebuah teks suci, karena hal tersebut hanya
akan memunculkan nuansa subjektif dari pemahamannya sendiri yang
bersifat ẓan (dugaan) dan bukan sesuatu yang qaṭ‟i (pasti).
2. Al-Kulliyah (Menyeluruh/Utuh)
Pendekatan sistem melalui fitur ini memberikan aksentuasi pada
keutuhan dan kemenyeluruhan. Hal ini tentunya memiliki kelebihan
tersendiri karena menjadi unsur yang mampu dimunculkan untuk
mengkritik dan menutupi kekurangan yang terdapat pada pemikiran-

6
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 95.
7
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 312; Lihat juga Badr al-Dīn al-
„Aynī (w. 855 H),‟Umdah al-Qārī Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, juz 2 (Beirut: Dār Iḥyā‟ al-
Turāts al-„Arābī, t.th), 52.
47

pemikiran dengan analisis parsial-reduksionis seperti kajian filsafat


modern, atau logika kausalitas melalui analisis parsial-atomistis yang
umumnya menjadi pola berpikir umat Islam. Adapun kaitannya fitur al-
Kulliyah dengan pengembangan teori Maqāṣid yakni karena mencari
maqāṣid suatu hal bisa dicapai melalui pandangan yang bersifat holistik
bukan bersifat parsial.
Beberapa ulama klasik sebenarnya sudah memberikan perhatian
terhadap pentingnya menganalisis suatu masalah secara holistik bahkan
memberikan kritikan dan komentar atas model kajian yang hanya
bertumpu pada satu dalil. Semisal al-Rāzī mengkritik penggunaan dalil
parsial-tunggal dalam proses perumusan hukum karena dalil tersebut tidak
bisa dijadikan sebagai satu-satunya acuan dalam melakukan istinbāṭ}.8
Bahkan al-Syaṭibī mengatakan bahwa mengakomodir dalil-dalil umum
dan memberikan perhatian besar terhadap prinsip universal syari‟at (al-
Kulliyat/Maqāṣid al-Syarī‟ah) sangat diperlukan dalam ber-istinbāṭ,
karena jika hanya berpegang pada dalil-dalil khusus dan menafikan dalil-
dalil umum maka hasil ijtihad tersebut akan keliru.9
3. Al-Infitāhiyyah (Keterbukaan)
Pada teori sistem terdapat perbedaan klasifikasi antara sistem
terbuka (al-Manẓūmah al-Munfatiḥah) dan sistem tertutup (al-Manẓūmah
al-Mugliqah). Sistem terbuka adalah sistem yang bersifat dinamis serta
mampu berinteraksi dengan lingkungan di luarnya. Sedangkan sistem
tertutup adalah sistem yang bersifat statis serta tidak dapat berkembang
sebab terisolasi dari lingkungan.10

8
Al-Rāzī, al-Maḥṣūl fī „Ilm Uṣūl al-Fiqh, 391-406.
9
Al-Syaṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī‟ah, juz 3, 174.
10
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 98.
48

Mengingat naṣ yang terbatas sementara realitas terus berkembang


ini merupakan bagian dari keniscayaan dari hidup,11 maka kajian tafsir
meliputi penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dengan
menggunakan kognisi dari setiap mufassir termasuk kedalam kategori
sistem terbuka. Kemudian Jasser Auda menjabarkan dua konsep untuk
merealisasikan poin keterbukaan dan kedinamisan sebagaimana diusung
dalam fitur “al-Infitāhiyyah”:
a. Kultur kognitif (tsaqafah al-Mudrikah) dan pandangan dunia
(ru‟yah al-„Ālam/worldview).
Kedua unsur ini dibentuk oleh segala sesuatu yang mengitari
seseorang termasuk seorang mufassir, baik dari aspek agama,
geografi, lingkungan, politik, masyarakat, ekonomi, sampai bahasa.
Tetapi Jasser Auda memberikan keterangan tambahan pada unsur
dengan memberikan penjelasan tambahan bahwa pandangan dunia
yang dimaksud adalah pandangan dunia yang kompeten, kredibel,
dan didasarkan pada prinsip ilmiah, serta tidak didasari oleh dugaan
dan spekulasi semata.12 Pentingnya pengaplikasian dari kedua unsur
ini karena akan berimplikasi untuk meminimalisir literalisme serta
mewujudkan dialogisasi harmoni antara penafsiran dan
perkembangan zaman serta keilmuan.

11
Lihat Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid (Kairo: Dār al-
Hadits, 2004), 9.
12
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 329.
49

b. Penalaran dalam melakukan penafsiran dengan berasaskan


keterbukaan filosofis.
Jasser Auda mengistilahkan hal ini dengan sebutan “tajdīd „an
ṭarīq al-Infitāh al-Falsafi”. Konsep ini membincang terkait logika
berpikir yang harus berasaskan atas keterbukaan filosofis sehingga
sesuai dengan masa modern. Menurut Auda, logika modern (mantīq
al-Jadīd) yang sesuai dengan kajian Islam adalah filsafat sistem
(falsafah al-Manẓūmat) dan logika sistem (mantīq al-Manẓūmi).
Sehingga manifestasi dari penggunaan fitur “al-Infitāhiyyah” ini
melalui penerapam berbagai interdisipliner, multidisipliner, bahkan
transdisipliner dengan tujuan untuk menyelesaikan beragam problem
kekinian secara optimal.13
4. Ta‟addud al-Ab‟ad (Multidimensional)
Sebuah pemikiran khususnya dalam pemikiran keagamaan sering
menggunakan ungkapan-ungkapan dengan pengistilahan yang dikotomis
dan parsial. Semisal agama dan ilmu, keduanya tidak dapat diintegrasikan
karena agama bersumber dari wahyu sedangkan ilmu berasal dari akal
manusia. Padahal ketika ditinjau dari sudut pandang yang berbeda, agama
dan ilmu bisa saling melengkapi dan menguatkan.14 Oleh karena itu,
kelemahan logika dikotomis menurut Amin Abdullāh yakni hanya melihat
sesuatu dari satu dimensi dan mengabaikan dimensi yang lain.15
Penyikapan kontradiksi dalil biasanya dilakukan dengan memilih
satu dalil yang dianggap paling kuat kemudian mengabaikan dalil lain
yang dianggap lemah. Maka fitur ini ditawarkan Jasser Auda untuk
menghindari sudut pandang yang hanya bertumpu pada satu dimensi

13
Lihat jurnal Dayu Aqraminnas, “Kontribusi Jasser Auda, 132.
14
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah wa Tajdid al-Fiqh al-Islām al-Mu‟āṣir, 16.
Lihat Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, 148.
15
Amin Abdullah, Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, 128.
50

karena akan memunculkan beragam kontradiksi. Jasser Auda


merevitalisasi hal ini dengan menawarkan konsep yang cenderung lebih
mengedepankan konsiliasi (jam‟u bayna al-Adillah) tanpa menafikan
naskh dan berasumsi bahwa setiap dalil mempunyai tujuan masing-masing
5. Al-Mu‟tamad (Hierarki Saling Keterkaitan)
Hierarki saling keterkaitan berawal dari ilmu kognisi. Jasser Auda
menguraikan implikasi dari fitur ini yaitu munculnya klasifikasi Maqāṣid
yang terdiri dari daruriyyat seperti salat, hajiyyat semisal olahraga, dan
tahsiniyyat contohnya rekreasi. Kaitannya fitur ini dengan perkembangan
klasifikasi Maqāṣid ulama tradisional terletak pada dua poin yakni
perbaikan pada jangkauan Maqāṣid (tingkat universalitas) serta
perbaikan orang yang diliputi Maqāṣid.16
6. Al-Maqāṣidiyyah (Kebermaksudan)
Fitur ini merupakan sistem final yang harus diaktualisasikan dan
juga bagian terpenting dalam teori sistem, karena efektifitas sebuah sistem
diukur dari pencapaian serta terealisasinya tujuan sistem tersebut.17 Begitu
pula dalam proses penafsiran berbasis maqāṣid yang diistilahkan dengan
Tafsīr Maqāṣidī akan dikatakan berhasil ketika terwujudnya hasil
penafsiran yang mengedepankan nilai-nilai maslahat.
Pada dasarnya, seluruh sistem yang ditawarkan oleh Jasser Auda
memiliki hubungan serta keterkaitan. Khususnya untuk fitur al-
Maqāṣidiyyah ini adalah fitur paling mendasar dalam sistem berfikir dan
dapat pula disamakan dengan Maqāṣid al-Syarī„ah. Asumsi dalam
pendekatan sistem mengintrodusir bahwa sebuah sistem terdiri sub-sistem,
setiap unit saling berhubungan dan berintegrasi dalam melaksanakan
proses dan fungsi tertentu.18

16
Dayu Aqraminnas, “Kontribusi Jasser Auda, 133.
17
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah as Philosophy, 55.
18
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 77.
51

Korelasi fitur kebermaksudan (Maqāṣid al-Syarī„ah) adalah sebagai


berikut: Pertama, Maqāṣid al-Syarī„ah berkaitan dengan fitur al-
Idrākiyyah karena rumusan Maqāṣid tidak terlepas dari pengaruh kognisi
ulama. Sehingga konsep Maqāṣid antara satu ulama dengan ulama yang
lainnya berbeda-beda.19 Kedua, Maqāṣid al-Syarī„ah berkaitan dengan
fitural al-Kulliyah sebab merepresentasikan prinsip umum syari‟at. Ketiga,
Maqāṣid memiliki korelasi dengan fitur al-Infitāhiyyah karena berperan
penting dalam proses ijtihad ra‟y. Keempat, Maqāṣid al-Syarī„ah memiliki
hubungan dengan dengan fitur ta‟addud al-Ab‟ad karena membantu
memecahkan kontradiksi dalil. Sinergitas antara masing-masing fitur
maqāṣid yang ditawarkan Jasser Auda menjadikan sistem interpretasi
menjadi lebih dinamis dan relevan. Kemudian supaya hasil dari penafsiran
tersebut lebih terarah dan tidak keluar dari tujuan serta prinsip syari‟at,
maka fitur al-Maqāṣidiyyah diberikan ruang seluas-luasnya sebagai dasar
penafsiran agar kesimpulan yang dihasilkan sesuai dengan Maqāṣid al-
Syarī„ah.

C. Optimalisasi Maqāṣid al-Qur’ān dalam Tafsīr maqāṣidī

1. Pengembangan Dalālah al-Maqṣad


Al-Qur‟an dan hadis ditulis dengan menggunakan bahasa Arab,
maka proses pemahaman terhadap keduanya akan tepat dan benar ketika
memperhatikan struktur dan semantik bahasa Arab.20 Proses penggalian
makna ini diistilahkan dengan metode al-Istinbāṭ. Al-Istinbāṭ merupakan
sebuah istilah popular dalam kajian uṣūl al-Fiqh,21 melalui metode al-

19
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 109. Bandingkan dengan Jaseer
Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah Dalīl li al-Mubtadiīn, 28.
20
Abdul Wahhāb Khallāf, „Ilm Uṣūl al-Fiqh, 140.
21
Al-Ghazālī, al-Mustasyfā min „Ilm Uṣūl, 287.
52

Istinbāṭ seseorang bisa memahami dan menggali hukum dari sumbernya


secara langsung.
Dalam kajian uṣūl al-Fiqh, pembahasan mengenai relasi kata dan
makna terbagi menjadi empat bagian: Pertama, dilihat dari bentuk lafaz
dan cakupan makna (khaṣ, „am, musytarak, muṭlaq, dan muqayyad);
Kedua, dilihat dari penggunaan lafaznya (haqīqah, majāz, ṣārih, dan
kināyah); Ketiga, dilihat dari tingkat kejelasan dan kesamaran lafaz (ẓāhir,
naṣ, mufassar, muḥkam, khafi, mujmal, musykal, dan mutasyābih);
Keempat, dilihat dari cara penunjukkan suatu makna atau metode
memahami makna teks („ibārah al-Naṣ, isyārah al-Naṣ, dalālah al-Naṣ,
iqtiḍa al-Naṣ, mafhum al-Muwāfaqah, dan mafhum al-Mukhālafah).22
Menurut Jasser Auda, keempat kategori lafaz yang dijabarkan di atas
lebih fokus pada makna kebahasaan dan belum memperhatikan maksud
serta tujuan inti yang terdapat dalam teks. Oleh sebab itu, Jasser Auda
menawarkan dalālah al-Maqṣad ketika menafsirkan sebuah teks agar lebih
fleksibel dan tidak kaku. Hal ini sebagaiman ditegaskan oleh al-Syāṭibi
bahwa Maqāṣid merupakan pondasi agama, kaidah syari‟at, dan prinsip
umum syari‟at karena berdasarkan kemaslahatan dan keadilan. al-Tahir
Ibn „Asyur juga menjadikan Maqāṣid sebagai dalil atau dalil yang sangat
penting diketengahkan dalam memahami sebuah teks karena Maqāṣid
merupakan sebuah dalil yang mendekati kepastian.23
2. Pengaplikasian Metodologi Tematik
Interpretasi tematis (tafsir mauḍū‟i) secara bahasa memiliki beragam
pendefinisian. Penggunaan istilah mauḍū‟i bisa memberikan pemaknaan
berbeda ketika ditujukan bagi suatu cabang keilmuan. Secara umum,
penjabaran tafsir mauḍū‟i dalam ranah kajian tafsir di antaranya:

22
„Abd al-Karīm Zaydān, al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh, 277-278.
23
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 364-365.
53

‫ؾيً يتؿد ِف كضايا اىلرأن الهريً اىٍخحدة ٌؿىن أو اغيث ؾَ ظريق مجؽ آياحٓا‬
‫اىٍخفركث وانلؼر فيٓا لَع ْيئث خمطٔضث بليان ٌؿِاْا واشخخرج ؾِارصْا‬
‫وربعٓا ةرباط جاٌؽ‬
“Tafsir mauḍū‟i adalah kajian yang membahas terkait al-Qur‟an
melalui pengintegrasian maksud atau tujuan dari al-Qur‟an tersebut
dengan cara mengakumulasikan ayat-ayat yang berbeda berdasarkan
syarat-syarat khusus untuk menjelaskan makna secara keseluruhan
disertai indikator dan ketentuan-ketentuan tertentu.”24

Sedangkan pendefinisian tafsir mauḍū‟i secara spesifik berdasarkan


pengaplikasiannya yaitu:

‫مجؽ اآليات اىلرأُيث اىيت حخحدث ؾَ مٔضٔع واحد مشُّتكث ِف اىٓدف‬


‫وحرحيتٓا لَع حصب اىزنول ذً حِاوهل ةالّشح واتلفطيو وبيان حهٍث الشارع‬
‫وكٔاُني‬
“Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan satu tema
pembahasan, mempunyai kolektivitas tujuan, serta disusun
berdasarkan kronologi turunnya ayat (asbāb al-nuzūl), kemudian
memberikan penjelasan mengenai maksud syari‟ (Allah SWT).”25

Berdasarkan penjelasan mengenai tafsir mauḍū‟i, metodologi tafsir


mauḍū‟I tidak menjabarkan kerangka epistemologis secara teoritis.
Asumsi ini selaras dengan perkataan al-Khalidi bahwa metode tafsir
mauḍū‟I tidak bisa dikategorikan sebagai pisau analisis, tetapi bisa
dikatakan sebagai metode inspiratif dalam mengawali penelitian analisis
terhadap kajian al-Qur‟an.26

24
„Abd al-Sattar Fathullah Sa‟id, al-Madkhal ila Tafsir al-Maudhu‟i (Madinah:
Dar al-Tauzi‟ wa la-Nasyr al-Islamiyyah, t.th), 20.
25
Zahir ibn Awwad al-Ma‟I, Dirasat fi Tafsir al-Maudhu‟I li al-Qur‟an al-Karim
(Riyad: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wataniyyah Atsna‟ al-Nasyr, 2008), 9.
26
Salah Abdul Fatah al-Khalidi, al-Tafsir al-Maudhu‟I bayna al-Naẓariyyah wa
Tatbiq, 42-48.
54

Menurut Jasser Auda, penggunaan metodologi Mauḍū‟i (tematik)


merupakan cara agar sampai kepada maksud dan tujuan al-Qur‟an
(Maqāṣid).27 Jasser Auda menjdikan metodologi tematik sebagai suatu
perangkat dalam pendekatan sistem dan termasuk dalam kategori unit
holistik. Maka dari pernyataan Auda ini bisa disimpulkan bahwa unit
tematis atau tafsir mauḍū‟i adalah sebuah pijakan awal dalam meneliti
ayat untuk mempertimbangkan faktor Maqāṣidī.
Urgensi metodologi Mauḍū‟i merupakan salah satu upaya untuk
merealisasikan konsep holistik. Pada metode ini, semua ayat dikaji dalam
satu tema dengan menegasikan konsep parsial. Teori ini diformulasikan
dan diaplikasikan sejak ulama tradisional sampai sekarang. Karya-karya
ulama yang menggunakan metodologi maudhu‟i dituliskan oleh „Abd al-
Sattar, seperti: Qatadah Ibn Du‟amah al-Sadusi (al-Nāsikh wa al-
Mansūkh), Ma‟mar ibn al-Matsna (Majāz al-Qur‟ān), Abu Bakr al-
Sijistani (Nazḥah al-Qulūb fi al-Garīb al-Qur‟ān), Ibn al-Qayyim al-Jauzi
(al-Tibyan fi Aqsām al-Qur‟ān), Ibn al-„Arabi (Aḥkām al-Qur‟ān), dan
lainnya.28
3. Penyelesaian Kontradiksi Dalil
Umumnya, kontradiksi antar dalil (ta‟āruḍ al-Adillah) terjadi karena
penafian konteks. Jasser Auda membagi bentuk kontradiksi (tanāquḍ)
menjadi dua: tanāquḍ al-Mantiqi dan tanāquḍ al-Ẓahiri. Tanāquḍ al-
Manṭiqi yaitu dua hal yang bertentangan dan mustahil dikompromikan.
Sedangkan tanāquḍ al-Ẓahiri adalah dua hal yang pada hakikatnya tidak
bertentangan, namun seakan-akan terjadi pertentangan dari kedua hal
tersebut.29 Menyikapi kontradiksi secara lahiriah, Jasser Auda

27
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah as Philosophy, 232.
28
„Abd al-Sattar Fathullah Sa‟id, al-Madkhal, 30.
29
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid, 75-76.
55

menawarkan enam metode ulama usul al-Fiqh mengenai pertentangan


dalil yakni al-Jam‟, al-Tarjīh, al-Naskh, tawaqquf, tasāqut,dan takhyīr.30
a. Konsiliasi (al-Jam‟/conciliation)
Metode ini berdasarkan kaidah usul I‟mal al-Nas awla min
ihmalihi (menerapkan nas lebih utama daripada mengabaikannya)31
Ketika ada anggapan terjadi pertentangan di antara dalil-dalil, maka
harus meneliti konteks dan menginterpretasikannya dengan
melibatkan pemahaman atas dasar konteks tersebut.32
b. Pengunggulan (tarjīḥ/elimination)
Metode ini dilakukan dengan cara mengeliminasi dalil lain
dengan dalil yang lebih rājiḥ (kuat) berdasarkan periwayatan atau
diistilahkan dengan al-Riwāyah al-Rājihah. Menurut Jasser Auda,
konsep ini sudah menjadi kesepakatan para ulama yakni mengambil
argument (istidlāl) dengan menggunakan tarjīḥ (mengunggulkan
dalil yang dinilai paling autentik).33
c. Penghapusan (al-Naskh/abrogation)
Metode ini berdasarkan penegasan suatu dalil yang ditinjau
secara kronologis dengan ketentuan adanya peniadaan terhadap dalil
yang lebih dahulu diturunkan oleh dalil yang terakhir disampaikan.
Jasser Auda mendefinisikan naskh sebagai sebuah metodologi yang
bisa digunakan dalam menyelesaikan kontradiksi suatu makna serta
menyamakannya dengan takhṣīṣ (pengkhususan), istiṡnā
(pengecualian) melalui sistem penginterpretasian terhadap nas
terdahulu dengan menggunakan nas terbaru.34 Metode ini dianggap

30
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid, 77.
31
Al-Suyuthi, al-Asybāh wa al-Nazāir fi Qawā‟id wa Furū‟ Fiqh al-Syāfi‟I, juz
1(Beirut: Dar al-Kitab al-„Alamiyyah, 1983), 192.
32
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 351.
33
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid, 89.
34
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid, 121.
56

sebagai żanni al-Ṣubūt (penetapan yang tidak pasti) karena tidak


mempunyai dalil pendukung, meskipun terdapat ayat-ayat yang
dijadikan sebagai legitimasi hukum naskh tetapi ulama berbeda-beda
dalam menafsirkannya.35
d. Berdiam diri (al-Tawaqquf/waiting)
Jasser Auda mendefinisikan metode ini sebagai anjuran
kepada ulama untuk tidak menggunakan ketiga metode yang telah
dijelaskan sebelumnya dan tidak mengambil keputusan apapun
karena ketidakmampuan dalam menyelesaikan ta‟āruḍ al-Adillah
(kontradiksi antar dalil).36
e. Pembatalan (al-Tasāqut/cancellation)
Metode ini berupa anjuran kepada ulama untuk mengabaikan
dalil-dalil yang terlihat bertentangan karena dianggap tidak memiliki
kepastian. Sebagaimana penjabaran Nafiz Husain Hammad tentang
tidak adanya keutamaan dari pengamalan dalil-dalil yang
bertentangan:

‫اىؿٍو ةأحدٍْا ىيس ةأوىل ٌَ اىؿٍو ةأخر‬


Atau pengistilahan dalam kalangan uṣuliyyin dengan sebutan ‫حؿارضا‬

‫ فتصاكعا‬.
f. Pilihan (al-Takhyīr/choice)
Metode ini merupakan cara terakhir seorang ulama untuk
memilih dalil yang dinilai cocok dengan situasi yang dihadapi.37

35
Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid: Ināṭah al-Ahkām al-Syar‟iyyah bi Maqāṣidihā,
128-129. Bandingkan dengan Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 352.
36
Lihat Nafiz Husain Hammad, Mukhtalif al-Hadits baina al-Fuqaha‟ wa al-
Muhadditsin (Damaskus: Dar al-Nawadir, 2012), 127.
37
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī‟ah ka Falsafah, 353.
BAB IV
KESAKSIAN PEREMPUAN PERSPEKTIF TAFSĪR MAQĀṢIDĪ
JASSER AUDA

A. Selayang Pandang Tentang Kesaksian Perempuan

1. Pengertian Kesaksian

Kesaksian disebut al-Syahādah, derivasi dari kata kerja syahida-

yasyhadu-syahādatan yang memiliki artian “menyampaikan berita yang

pasti, hadir di persidangan, menyampaikan kesaksian, melihat dengan

mata kepala, memberitahukan, dan bersumpah.1 Saksi dalam bahasa

Indonesia adalah kata benda yang berarti “orang yang melihat atau orang

yang mengetahui”.2 Kata saksi dalam bahasa Arab yakni ‫ شاهد‬yang

memiliki bentuk masdar ‫ شهىد‬yaitu orang yang mengetahui dan

menerangkan apa yang diketahuinya. Sedangkan kata ‫ شهيد‬memiliki

bentuk jama‟ ‫ شهداء‬yakni “kabar yang pasti”.3


Para ulama memberikan definisi yang berbeda-beda dalam
memaknai kesaksian menurut istilah syar‟i, di antaranya sebagai berikut:
a. Mazhab Hanafi

‫ إختار ضدق إلذتات حق ةيفغ الشٓادة ِف جميس اىلضاء‬: ‫الشٓادة‬

1
Majma‟ al-Lugah al-„Arabiyah, al-Mu‟jām al-Wasīt, cet 2, juz 1 (Mesir: Dār al-
Ma‟ārif, 1392 H/1972 M), 497. Lihat juga Ibnu Manẓūr, Lisān al-„Arāb, juz 4 (Kairo:
Dār al-Miṣriyah, t.th), 226.
2
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), 825.
3
Muhammad ibn Mukarram al-Anshari, Lisān al-„Arāb, 222.

57
58

“Kesaksian adalah pemberitahuan yang benar untuk menetapkan


suatu perkara yang haq dengan lafaz kesaksian di depan peradilan.”4

b. Mazhab Maliki

‫ إختار حاكً ؾَ ؾيً يللىض ةٍلخضاه‬: ‫الشٓادة‬


“Kesaksian adalah pemberitahuan atau Informasi berupa pengakuan
dari seorang hakim berdasarkan ilmu untuk mengadili yang
disidang.”
d. Mazhab Syafī‟i

‫ إختار حبق اىغري لَع اىغري ةيفغ أشٓد‬: ‫الشٓادة‬


“Kesaksian adalah memberitahukan dengan sebenarnya hak
seseorang terhadap orang lain dengan ucapan “aku bersaksi.”5
c. Mazhab Hanbali

‫ يه اإلختار ةٍا ؾيٍّ ةيفغ خاص‬: ‫الشٓادة‬


“Kesaksian adalah pemberitahuan atas apa yang dia ketahui dengan
menggunakan lafaz yang khusus.”6
Zain Ibn Ibrāhīm membedakan antara makna al-Syahādah menurut
istilah fikih dan menurut istilah syari‟ah. Al-Syahādah menurut istilah
fikih yaitu memberitahukan sesuatu yang benar di hadapan hakim dengan
lafaz al-Syahādah (shigat kesaksian), sedangkan menurut syari‟ah al-
Syahādah adalah memberitahukan tentang sesuatu yang disaksikan dan
dilihat dengan mata kepala bukan berdasarkan perkiraan semata.7
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kesaksian harus memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

4
Ibn al-Human, Syarah Fath al-Qadīr, juz 7 ( Mesir: Musṭhafa al-Bab al-Halabi,
1970 ), 415.
5
Syeikh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal „Ala Minhaj li Syaikh al-Islam
Zakaria al-Anshari, juz 10 (Beirut: Dar al-Fikri, T.th), 741.
6
Majmu‟atun min al-Muallifina, al-Mausū‟ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 26
(Kuwait: Wizarah al-Auqati wa asy-Syuun al-Islamiyah, 1427 H), 216.
7
Zain al-Bahr, al-Raqāiq Syarh Kanz al-Daqāiq, juz 2 (Beirut: Dār al-Ma‟rifah),
55-56.
59

a. Adanya suatu perkara.


b. Terdapat hak yang harus ditegakkan dalam objek yang
dimaksud.
c. Ada orang yang memberitahukan objek tersebut secara jelas
(apa adanya tanpa ada manipulasi).
d. Orang yang memberitahukan melihat secara langsung atau
mengetahui kebenaran objek tersebut.
e. Pemberitahuan diberikan kepada pihak yang berwenang untuk
memberikan pernyataan tentang adanya hak bagi seseorang.
Al-Syahādah merupakan salah satu alat bukti dalam peradilan Islam
sehingga terkadang diistilahkan dengan al-Bayyinah. Kesaksian
dinamakan al-Bayyinah karena dengan kesaksian yang hak menjadi jelas.
Kata al-Bayyinah disebutkan dalam hadis:
َ ْ ََ ُ َْ َ ْ ََ ُ ْ
ّ‫ني لَع ال ٍُ َّدِ ؾيي‬ ٍِ ‫ابلَ ّي ِ َِث لَع ال ٍُ َّد ِِ وايل‬
"Menghadirkan bukti itu wajib atas pihak penggugat dan
mengucapkan sumpah wajib atas pihak yang tergugat."
Lafaz al-Bayyinah pada redaksi hadis di atas bermakna mujmal

(global) yang mengandung beberapa artian, sehingga ulama sepakat

bahwa maksud hadis ini adalah dua orang saksi laki-laki (ٌ‫ )انشاهدا‬atau satu

orang saksi laki-laki ) ‫ ( انشاهد‬dan dua orang saksi perempuan. Menurut al-
Jaṣṣaṣ, penjabaran makna al-Bayyinah dalam hadis tersebut yakni:
ِ‫الشاْدان أو الشاْد واىٍرأحان لَع اىٍد‬

Menurut Ibn al-Qayyim, kata al-Bayyinah yang terdapat dalam al-


Qur‟an maksudnya bukan saksi-saksi (syuhūd) akan tetapi al-Ḥujjah, dalil,
dan al-Burhān. Ibn al-Qayyim memberikan contoh robekan kemeja dalam
kisah Nabi Yusuf yang statusnya bukan sebagai saksi melainkan suatu
dalil (bukti atau indikasi) yang menempati tempat saksi. Maka dapat
60

disimpulkan bahwa makna al-Bayyinah lebih luas cakupannya daripada


al-Syahādah, sehingga setiap al-Syahādah adalah al-Bayyinah tetapi tidak
setiap al-Bayyinah adalah al-Syahādah.

2. Pengertian Perempuan
Perempuan memiliki artian wanita, istri, atau bini.8 Dalam bahasa
Arab, perempuan disebut al-Mar‟ah atau al-Untsā (manusia yang berjenis
kelamin perempuan secara umum, baik yang masih bayi sampai yang
sudah berusia lanjut). Al-Mar‟ah jamaknya al-Nisā dan al-Niswah berarti
perempuan yang sudah matang dan dewasa.9 Merujuk kepada al-Qur‟an,
kata al-Nisā disebutkan sebanyak 57 kali sedangkan kata al-Niswah
hanya disebutnya sebanyak 2 kali yaitu pada surah Yūsuf ayat 30 dan ayat
50:
َّ ََ َ َ
‫صِّۖۡۦ ك أد شغف َٓا ُح ًّتاۖۡ إُِا‬
‫َ َّ أ‬ ََ ُ ُ
‫يز ح َرٰوِد‬ ُ َ ‫ٱم َرأ‬
َ ‫ت أٱى‬ َ ‫ ِف ٱل أ ٍَد‬ٞ ‫َوكَ َال ن أِص َٔة‬
‫ِيِثِ أ‬
ِ ‫فخى ٰ َٓا ؾَ نف‬ ِ ِ ‫ز‬ ‫ؿ‬ ِ

ُّ َ َ َٰ ََ َ
ٖ ِ ‫ىَنىٓا ِِف ضل ٰ ٖو ٌت‬
٣٠ ‫ني‬

“Dan wanita-wanita di kota berkata: "Istri Al Aziz menggoda


bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya
cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam.
Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.”
ُ َ ّ َ ٰ َ ‫َ َ َّ َ ٓ َ ُ َّ ُ ُ َ َ أ أ‬
ُ ‫م فَ أص‬ ُ‫ََ َ أَ ُ أ‬
‫ئيّ ٌَا ةَال‬ ‫جؽ إِىل ر ِب‬
ِ ‫ِٔن ةِِّۖۡۦ فيٍا جاءه ٱلرشٔل كال ٱر‬
ِ ‫وكال ٱلٍي ِم ٱئخ‬
َ
ٞ ‫ل أي ِدْ ََِّ َؾي‬ ّ َ َّ َّ ُ َ ‫ّ أ َ َّ َ َّ أ َ َ أ‬
٥٠ ً‫ِي‬ ِ ‫ٱىنِصٔة ِ ٱل ٰ ِيت قعؿَ أيدِيَٓۚٓ إِن ر ِّب ة‬

“Raja berkata: "Bawalah dia kepadaku". Maka tatkala utusan itu


datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: "Kembalilah kepada
tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-

8
DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet 1 (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), 670.
9
Ibnu Manẓūr, Lisan al-„Arab, juz 15, 32. Bandingkan dengan Mu‟jam Mufrad
Alfāẓ al-Qur‟an, 513. Lihat juga Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyah, al-Mu‟jām al-Wasīt,
juz 2, 860.
61

wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku,


Maha Mengetahui tipu daya mereka.”
Lafaz al-Nisā dan al-Niswah memiliki pengertian dan penggunaan yang
berbeda dalam al-Qur‟an, adapun perbedaannya sebagai berikut:
a. Dari segi pengertian, kata al-Nisā digunakan untuk
menyatakan dalam jumlah yang lebih kecil sedangkan kata al-
Niswah digunakan untuk jumlah yang lebih besar.10
b. Kata al-Nisā digunakan dalam konteks pembicaraan tentang
“perempuan secara umum”, sedangkan kata al-Niswah
digunakan al-Qur‟an dalam konteks pembicaraan tentang
“perempuan-perempuan pada masa Nabi Yusuf”.
Adapun pembahasan mengenai perempuan dalam al-Qur‟an pada
umumnya membicarakan tentang:
a. Perkawinan; al-Nisā [4]: 3(tentang poligami serta pensyaratan
adil dalam pelaksanaannya), al-Nisā [4]: 4 (tentang mahar), al-
Nisā [4]: 22-24 (tentang mahram).
b. Perceraian/talaq; al-Baqarah [2]: 231-232 (tentang talaq
sebelum berhubungan), al-Ṭalaq [65]: 4 (tentang masa „iddah),
al-Ṭalaq [65]: 6 (tentang hak yang masih diterima istri yang
sudah ditalaq).
c. Pewarisan; al-Nisā [4]: 7, 11, 19, 32, 176 (tentang seluruh
bagian dari hak waris perempuan).
d. Persoalan aurat/kesopanan; al-Nūr [24]: 31, serta al-Ahzab
[33]: 32, 33, 35, dan 59.11
Sebagaimana kata al-Nisā, kata al-Mar‟ah hanya ditujukan bagi
perempuan dewasa dan tidak pernah digunakan untuk perempuan dibawah

10
Sahabuddin, Ensiklopedi al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 78. Lihat juga
Syaikh Muhammad al-Aẓim, Syarh Sunan al-Tirmiẓi (Kairo: Dār al-Hadits, 2001), 451.
11
Sahabuddin, Ensiklopedi al-Qur‟an, 728-729.
62

umur, bahkan lebih banyak digunakan dalam konteks terkait tugas


reproduksi perempuan. Menurut Ibn al-Anbari, kata al-Mar‟ah atau al-
Imra‟ah mempunyai makna yang sama yakni perempuan yang
menunjukkan arti kedewasaan dan kematangan (al-Kāmilah). Berbeda
halnya dengan al-Untsā yang hanya menunjukkan jenis kelamin secara
biologis. Adapun penyebutan lafaz al-Imra‟ah terulang sebanyak 13 kali
dalam al-Qur‟an dan selalu dimaknai dengan istri (al-Zawjah).12

B. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Kesaksian Perempuan

1. Kesaksian Perempuan dalam Hukum Jinayat (Tindak Pidana)


Kesaksian perempuan dalam tindak pidana mendapatkan respon
berbeda dari para ulama. Jumhur ulama menyatakan bahwa kesaksian
perempuan tidak diterima karena dalam tindak pidana khususnya hukum
qiṣāṣ, saksi harus berasal dari dua orang laki-laki serta tidak menerima
kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.13 Hal ini
berdasarkan hadis Nabi riwayat al-Nasā‟I:
َّ ُ َ ََ ََْ َ َ َ َ ً َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ّ َ ُ ْ َّ َ
‫ِب فلال َر ُشٔل اَّلل َضَّل اَّلل‬ ‫اب خي‬ َ ْ ‫لَع أة‬
ٔ ‫أن اب ََ ُميِطث األضغ َر أضتح كخِيًل‬
ِ
ُ َ َ ُ َ ََْ َ َ ََ َ َ َّ ََ
‫ يا َر ُشٔل‬: ‫ كال‬." ِِّ‫ " أك ًِْ شاْ َِدي ْ َِ لَع ٌَ َْ ق َخي ُّ أدف ْؿ ُّ إِيلْل ًْ ة ِ ُر ٌَّخ‬:ًَ ‫ؾييِّ َو َشي‬
ََ ً َ
‫ض َت َح كخِيًل لَع‬ ْ َ‫ِإَون ٍَا أ‬
َّ َ ُ ُ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ
َِ ْ ‫يب شاْ َِدي‬ ‫ض‬
َّ َ
ِ ‫اَّلل ِ ضَّل اَّلل ؾييِّ وشيً وٌَِ أيَ أ‬
ََ َّ ُ َ َ ًَ َ َ َ َْ ُ ْ ََ َ َ َ
ِّ‫ يا َر ُشٔل اَّلل َضَّل اَّلل ؾيي‬: ‫ كال‬." ‫اٌث‬ ‫ " فخحي ِف َخصِني كص‬: ‫أة ْ َٔاة ِ ِٓ ًْ كال‬
َ ‫حي ُِف ٌِِْ ُٓ ًْ ََخْص‬
‫ِني‬ ْ ‫ " فَنَ ْص َخ‬: ‫ َف َل َال انليب‬.ًُ َ‫لَع ٌَا ََل أَ ْؾي‬ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ َّ َ َ
‫وشيً وكيف أحي ِف‬
ُ ُ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ ُ َّ ُ َ ََ ًَ َ َ
ًُ ْ‫حي ِف ُٓ ًْ َو‬ ‫ يا َر ُشٔل اَّلل ِ َضَّل اَّلل ؾييِّ وشيً نيف نصخ‬: ‫ فلال‬." ‫اٌث‬ ‫كص‬
َ َ ََ ََ ُ ْ
‫ايلَ ُٓٔد فل َص ًَ انليب د َِي َخ ُّ ؾييْ ِٓ ًْ َوأ ََعن ُٓ ًْ ةِِ ِْطفِ َٓا‬
Ibn Muhayyishah kecil terbunuh di pintu gerbang Khaibar, lalu
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, "Datangkan dua orang saksi atas siapa yang

12
QS. Ali Imran/ 3: 35, QS. al-Qaṣaṣ/ 28: 9, QS. al-Tahrīm/ 66: 10.
13
Abdul Qadir „Audah, al-Tasrī‟ al-JināI al-Islāmi, juz 2 (Beirut: Muassasah al-
Risālah, 1997), 135.
63

membunuhnya, maka aku akan menyerahkannya kepada kalian


dengan tali yang mengikatnya." Seseorang berkata, "Wahai
Rasulullah, dari mana aku mendapatkan dua orang saksi,
sesungguhnya dia terbunuh di pintu gerbang mereka." Beliau
bersabda, "Kalian bersumpah lima puluh kali sumpah." Dia berkata,
"Wahai Rasulullah, bagaimana aku bersumpah atas apa yang tidak
aku ketahui?" Kemudian Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, "Kita minta lima
puluh orang dari mereka untuk bersumpah, " Dia berkata, "Wahai
Rasulullah, bagaimana kita minta mereka bersumpah sedangkan
mereka adalah orang-orang Yahudi?" Rasulullah ‫ ﷺ‬membagi diyat
di antara mereka dan membantu mereka setengahnya.
Sedangkan al-Auza‟i, al-Zuhrī, serta al-Syaukānī berpendapat bahwa
kesaksian perempuan dan dua orang laki-laki dapat diterima dalam tindak
pidana terkait qiṣāṣ.14 Menurut al-Syaukānī, hadis di atas hanya
menyatakan dua orang saksi laki-laki dalam qiṣāṣ bukan menjabarkan
tidak diterimanya kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Dalam naṣ hadis, Nabi hanya bersabda untuk mendatangkan dua orang
saksi laki-laki, jika tidak ada maka perempuan boleh menjadi saksi dalam
qiṣāṣ sebagaimana firman Allah SWT. dalam surah al-Baqarah ayat 282.15
Ibn Hazm juga membolehkan kesaksian perempuan dalam perkara
qiṣāṣ, berdasarkan firman Allah SWT. dalam surah al-Baqarah ayat 282.
َ َ َ ‫ َ أ‬ٞ ُ َ َ ‫ّ َ ُ أ َ َّ أ َ ُ َ َ ُ َ أ‬ ‫َ أ َ أ ُ ْ َ َأ‬
ٍََِّ ‫ان م‬
ِ ‫ني فرجو وٱمرأح‬ ِ ‫وٱشتش ِٓدوا ش ِٓيدي َِ ٌَِ رِجاى ِلًۖۡ فإِن ىً يلُٔا رجي‬
ٓ ُّ َ َ
ِ‫ح أر َض أٔن ٌ ََِ ٱلش َٓ َداء‬

Ibn Hazm mengatakan bahwa jika ditinjau dari segi keadilan tanpa
dibedakan antara laki-laki dan perempuan, maka keduanya boleh saja
menjadi saksi dalam setiap perkara. Seperti halnya dapat diterima

14
al-Syaukānī, Nail al-Auṭār, juz 6 (Beirut: Dār al-Jīl, 1973), 311.
15
al-Syaukānī, Nail al- al-Auṭār, juz 8, 183.
64

kesaksian tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam perkara
zina.16
Berbeda lagi dengan uraian al-Ghazali yang hanya membolehkan
kesaksian perempuan dalam kasus qatl al-Khaṭa (pembunuhan keliru) dan
semua kasus al-Jarh (pelukaan) yang tidak ada kewajiban membayar diyat
maka saksinya boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan.17 Sedangkan al-Syafi‟i hanya membolehkan kesaksian
perempuan dalam kasus al-Jarh (pelukaan) yang tidak ada hukuman
qiṣāṣnya, baik dilakukan secara sengaja atau tidak disengaja dengan syarat
harus disertai saksi laki-laki.18
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas fuqahā
sepakat mengenai kesaksian perempuan dalam tindak pidana khususnya
qiṣāṣ syaratnya harus saksi laki-laki sehingga kesaksian perempuan dalam
masalah ini tidak diterima karena kesaksian perempuan mengandung
syubhat berupa badal (keraguan dalam pergantian). Namun para ulama
juga menerima kesaksian perempuan dalam masalah pembunuhan juga
menerima kesaksian perempuan dalam masalah pembunuhan jika terdapat
bukti-bukti yang kuat untuk menetapkan kebenaran kesaksiannya.19
2. Kesaksian Perempuan dalam Hukum Munakahat (Pernikahan)
Mengenai kesaksian perempuan dalam pernikahan, para ulama juga
berbeda pendapat. Mazhab Maliki, Syafi‟i, dan salah satu riwayat dari
Mazhab Hambali tidak menerima saksi perempuan dalam pernikahan,
talak, dan rujuk, secara mutlak baik disertai laki-laki maupun tidak disertai
laki-laki. Berdasarkan hadis Nabi SAW:

16
Ibn Hazm, al-Muḥallā, juz 9 (Beirut: Dār al-Fikr), 401.
17
Al-Ghazali, al-Wasīṭ fi al-Maẓhab, juz 7 (Kairo: Dār al-Salām, 1417 H), 366.
18
Al-Syafi‟I, al-Umm, juz 7 (Beirut: Dār al-Fikr, 1990), 49.
19
Mahmūd Syalṭūt, al-Islām „Aqidah wa Syari‟ah, cet 3 (Dār al-Qalām, 1966),
250.
65

‫الرقِ ُّى‬
َّ ‫ حدثنا ُسلَْي َما ُن بْ ُن عُ َمَر بْ ِن َخالِ ٍد‬،‫ضَرِم ُّى‬ ْ ‫حدثنا أَبُو َح ِام ٍد ُُمَ َّم ُد بْ ُن َه ُارو َن‬
ْ َ‫اْل‬
ِ ُّ ‫ َع ِن‬،‫ َعن سلَْيما َن بْ ِن موسى‬،‫ َع ِن ابْ ِن جريْ ٍج‬،‫ حدثنا ِعيسى بْن يونُس‬،
،‫ى‬ ّ ‫الزْه ِر‬ َ ُ َ ُ ْ َُ َ ُ ُ َ
ِ َ ََ َّ َ َ َّ َ ُ ُ َ ‫ ق‬:‫ قالت‬،‫ عن عائِشة‬،‫عن عروة‬
َّ‫اح إِل‬ َ ‫لَ ن َك‬: ً‫ال رشٔل اَّلل ضَّل اَّلل ؾييِّ وشي‬ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ُْ ْ َ
20
َّ ِ‫ل َم ْن لَ َو‬ُّ ِ‫الس ْلطَا ُن َو‬ ِ ٍ ِ ِِ‫بِو‬
ُ‫ل لَه‬ ُّ َ‫ ف‬،‫اج ُروا‬
َ ‫ فَإ ْن تَ َش‬،‫ل َو َشاه َد ْى َع ْدل‬ َّ
“Abu Hamid Muhammad bin Harun Al Hadhrami menceritakan
kepada kami, Sulaiman bin Umar bin Khalid Al-Raqqi menceritakan
kepada kami, Isa bin Yunus menceritakan kepada kami, dari Ibnu
Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari
Aisyah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Nikah tidak sah
kecuali jika menyertakan wali dan dua orang saksi yang adil. Jika
mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak
mempunyai wali.”
Al-Dimyaṭī juga menolak saksi perempuan dalam pernikahan walaupun
jumlahnya dua orang dan disertai laki-laki.21 Dalil aqli yang dijadikan
dasar argumentasi dalam menolak saksi perempuan karena pernikahan
merupakan akad yang bukan harta dan biasanya dapat dilihat oleh kaum
laki-laki.
Mazhab Hanafi, Hanbali, dan salah satu riwayat dari Syi‟ah
Zaidiyah membolehkan kesaksian perempuan dalam pernikahan dengan
jumlah saksi dua orang perempuan disertai satu orang laki-laki. Dalil al-
Qur‟an yang dikemukakan:
َ َ َ ‫ َ أ‬ٞ ُ َ َ ‫ّ َ ُ أ َ َّ أ َ ُ َ َ ُ َ أ‬ ‫َ أ َ أ ُ ْ َ َأ‬
ٍََِّ ‫ان م‬
ِ ‫ني فرجو وٱمرأح‬ ِ ‫وٱشتش ِٓدوا ش ِٓيدي َِ ٌَِ رِجاى ِلًۖۡ فإِن ىً يلُٔا رجي‬
ٓ ُّ َ َ
ِ‫ح أر َض أٔن ٌ ََِ ٱلش َٓ َداء‬

Ulama yang membolehkan kesaksian perempuan dalam pernikahan,

menafsirkan ayat ini dengan artian bahwa Allah menempatkan kedudukan

20
Ali Ibn Umar Al-Daruqutni, Sunan Al-Dāruquṭni, Juz 2 (Beirut: Dar Al-Fikr,
1994), 139.
21
Al-Dimyaṭī, I‟ānah al-Ṭālibīn, juz 3 (Semarang: Taha Putra), 298.
66

satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam kesaksian sama

dengan adanya dua orang saksi, maka satu orang laki-laki dan dua orang

perempuan juga dimaksudkan dalam hadis tentang nikah ( ‫ال َكاح إال بىني‬

‫)وشاهدي عدل‬. Kata ٍ‫ي‬


ِ َ‫ش ِهيد‬
َ dalam ayat tersebut adalah lafaz mujmal yang

kemudian diperjelas oleh kalimat selanjutnya yakni saksi dua orang laki-

laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.

Dalil Hadis yang dikemukakan:


ُ ْ َُ ْ َ َ َ ْ َ َّ ُ ُ ُ ّ َ َ ْ َّ َ َ َ ّ َ َ ْ َ
ِ ‫رث أْ ِو انلَّارِ فلي ََ َوب ِ ًَ يا َر ُشٔل اَّلل‬ ‫يا ٌؿّش اىنِصاءِ حطدقَ فإ ِ ِّن أرِيخلَ أك‬
َ
ُ ْ ‫ري ٌَا َرأي‬َ ِ‫ل ُف ْر َن اى ْ َؿش‬
ْ َ َ َ ْ َّ َ ْ ْ ُ َ َ َ َّ َ َ َ َ ُ َّ
َِْ ٌ ‫ج‬ ‫َضَّل اَّلل ؾييِّ وشيً كال حل ِرثن اليؿَ وح‬
ُ ُْ ُْ ُ
‫ح َداك ََّ كي ََ َو ٌَا نل َطان‬ ْ ‫اْلاز ِم ٌ َِْ إ‬ َ ْ
‫و‬ ُ ‫الر‬
‫ج‬ َّ ‫ب‬ َ َْ ْ‫ات َع ْلو َودِيَ أَذ‬
ّ ُ‫ب ل ِي‬ َ َ
ِ ‫ُاك ِط‬
ِ ِ ِ ِ ٍ ٍ
َْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َّ ََ ُ َّ ُ ْ َ
‫اَّلل ؾييِّ َو َشي ًَ كال أىيْ َس ش َٓادةُ ال ٍَ ْرأة ِ ٌِرو‬ ‫دِين ِ َِا َوعلي َِِا يا َر ُشٔل اَّللِ َضَّل‬
َ ْ َ َ َ َ ََْ َ ْ َ َ ُْ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ ُ َّ َ َ َ ْ
ًْ ‫ج ل‬ ‫ان علي ِٓا أىيس إِذا حاض‬ ِ ‫ُ ِط ِف شٓادة ِ الرج ِو كيَ ةَّل كال فذل ِِم ٌَِ نلط‬
َ ُْ ْ ََ َ َ ََ َُْ ْ ُ َ ََْ ّ َ ُ
‫ان دِيِ َِٓا‬
ِ ‫حط ِو ولً حطً كيَ ةَّل كال فذل ِِم ٌَِ نلط‬
"Wahai kaum wanita! Perbanyaklah bersedekah, sebab diperlihatkan
kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni
neraka." Kaum perempuan tersebut bertanya, "Apa sebabnya wahai
Rasulullah?" beliau menjawab, "Kalian banyak mencaci dan banyak
mengingkari pemberian suami (tidak bersyukur). Dan aku tidak
pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang
dan lemah agamanya selain kalian." Kaum perempuan itu bertanya
lagi, "Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan
lemahnya agama?" Beliau menjawab, "Bukankah persaksian seorang
wanita setengah dari persaksian laki-laki?" Kaum perempuan
menjawab, "Benar." Beliau berkata lagi, "Itulah kekurangan akalnya.
Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat
dan puasa?" Kaum perempuan menjawab, "Benar." Beliau berkata,
"Itulah kekurangan agamanya."
Ibn Hazm dari Mazhab Ẓahiri juga membolehkan saksi empat orang
perempuan dalam pernikahan sekalipun tanpa disertai laki-laki. Dalilnya
adalah hadis Nabi:
67

‫أىيس شٓادة اىٍرأة ٌرو ُطف شٓادة الرجو‬


Maka, separuh kesaksian laki-laki sama dengan satu kesaksian
perempuan dan dua orang laki-laki sama dengan empat orang
perempuan.

3. Nilai Kesaksian Perempuan Menurut Para Mufassir Klasik dan


Modern
Al-Qurṭūbī22 dalam tafsirnya al-Jami‟ li Ahkām al-Qur‟an
mengatakan bahwa kesaksian perempuan separuh dari kesakian laki-laki.
Al-Qurṭūbī mengutip pendapat yang tidak membolehkan kesaksian
perempuan jika masih ada laki-laki yang bisa menjadi saksi, bahkan
dirinya memilih pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa
perempuan boleh menjadi saksi dan kesaksiannya bernilai separuh jika
kesaksian perempuan disertai dengan kesaksian laki-laki.23 Al-Syaukanī
dalam tafsirnya Fath al-Qadīr berpendapat bahwa kesaksian perempuan
separuh dari kesaksian laki-laki dengan syarat yang berperkara rela
terhadap agama dan keadilan perempuan tersebut. Syarat lain adalah
perempuan boleh menjadi saksi apabila disertai oleh laki-laki. Jika hanya
perempuan maka kesaksiannya ditolak kecuali dalam hal-hal yang bersifat
privasi perempuan yang tidak dapat diketahui oleh laki-laki dengan alasan

22
Dalam kitab Tabaqāt al-Mufassirīn karya al-Suyūṭi terdapat enam tokoh
mufassir yang memiliki nisbah “Al-Qurṭūbī” yakni: Baqi ibn Makhlād ibn Yazīd Abu
Abd al-Rahmān al-Andalūsi al-Qurṭūbī (201-276 H/ 816-889 M), „Abd al-Jalil ibn Musa
ibn „Abd al-Jalīl Abū Muhammad al-Anṣāri al-Andalūsi al-Qurṭūbī (608 H/1211 M),
„Abd al-Rahmān ibn Marwan ibn „Abd al-Rahmān al-Anṣāri al-Qurṭūbī (341-413 H/95),
„Ubaidullah ibn Muhammad ibn Malik Abu Marwan al- Qurṭūbī (340-400 H/952-1009
M), Muhammad ibn „Umar ibn Yusuf al-Qurṭūbī (558-631 H/1162-1233 M), dan yang
terakhit yang penulis maksud yakni Abū „Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anṣāri al-
Maliki al-Qurṭūbī (w. 671 H/1273 M).
23
Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakar Abu „Abdillah Al-Qurṭūbī, al-Jamī‟ li
Ahkām al-Qur‟an, juz 3 (al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1384 H/1964 M), 391.
68

darurat.24 Al-Alūsi dalam tafsirnya Rūh al-Ma‟ānī menguraikan bahwa


kesaksian perempuan separuh kesaksian laki-laki, secara meluruh
termasuk berlaku pada kasus selain hukum dera dan qiṣaṣ. Adapun dalam
masalah kelahiran, kegadisan, permulaan haid, dan sejenisnya maka
perempuan boleh menjadi saksi tanpa disertai saksi laki-laki.25
Berbeda dengan Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar tidak
membantah terhadap maksud ayat tersebut bahwa perempuan dinilai
separuh dari laki-laki, tetapi Abduh mengutarakan alasan mengapa Allah
SWT. memposisikan perempuan separuh dari laki-laki karena bukanlah
menjadi tugas utama perempuan sibuk mengurus transaksi harta benda
(mu‟amalah maliyah). Oleh karena itu, ingatan dan pemahaman mereka
tentang transaksi tersebut dianggap lemah, tentu akan berbeda jika terkait
dengan tugas dalam rumah tangga yang menjadi tugas utamanya. Jika
dalam urusan rumah tangga perempuan lebih kuat ingatannya daripada
laki-laki. Artinya sudah menjadi tabiat manusia, baik laki-laki maupun
perempuan akan kuat daya ingatnya terhadap hal-hal yang menjadi
perhatian dan tugas kesehariannya. Dengan demikian, ayat tersebut tidak
berarti menafikan kesaksian perempuan yang konsentrasi pada transaksi
harta benda seperti perempuan saat ini. Artinya kesaksian perempuan
sama dengan kesaksian laki-laki jika pekerjaan itu menjadi pekerjaan yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Ayat al-Qur‟an di atas
menjelaskan hukum yang berlaku pada pelaku mayoritas atau pelaku asli
dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa transaksi harta benda pada
umumnya dan pelaku aslinya adalah laki-laki.
Ibnu „Asyur dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir mencoba lebih
mendalami mengapa ayat tersebut memposisikan perempuan separuh

24
Muhammad ibn „Ali al-Syaukani, Fath al-Qadīr, Juz 1 (t.th.), 452.
25
Abu al-Faḍal Mahmūd al-Alūsī, Rūh al-Ma‟ānī fī Tafsīr al-Qur‟an al-„Aẓīm wa
al-Sab‟i al Matsānī, Juz 3 (Bairut: Dar Ihya‟ al-Turats al-„Arabi, t.th.), 58.
69

nilainya dari laki-laki. Ibnu „Asyur memulainya dengan membantah


pendapat ulama yang mengatakan bahwa perempuan bisa jadi saksi jika
laki-laki berhalangan dan tidak boleh sendirian tanpa dibarengi laki-laki
dengan mengungkapkan bahwa tujuan syari (pembuat syariat) sejatinya
adalah memperluas transaksi pada semua komponen masyarakat, termasuk
perempuan. Tujuan lain adalah pembiasaan dengan melibatkan perempuan
dalam urusan kehidupan sosial dimana masa jahiliyah perempuan tidak
diperkenankan ikut serta dalam urusan kehidupan sosial. Oleh karena itu,
Allah SWT. mengawali keterlibatan mereka dengan menjadikan dua
perempuan sama dengan satu laki-laki dengan mengutarakan alasannya
agar mereka saling mengingatkan dan melengkapi sehingga orang-orang
Arab dapat menerimanya, sebab jika tidak demikian, maka mereka tidak
akan merasa tenang tanpa memposisikan dua perempuan sebanding
dengan satu laki-laki.26
Al-Sya‟rawi dalam tafsirnya Tafsir al-Sya‟rawi mengungkapkan hal
yang sama dengan Muhammad Abduh dan Ibn „Asyur bahwa Allah SWT.
menuntut seseorang sesuai dengan kadar kemampuannya, karena sejatinya
perempuan tidak terkait dengan urusan transaksi harta benda dan bukanlah
bidangnya untuk mengurusi hal tersebut. Oleh karena itu, jika terpaksa
perempuan dilibatkan dalam masalah transaksi maka kesaksiannya
bernilai separuh dari laki-laki sebab pada dasarnya dalam pikiran
perempuan bahwa ia tidak disibukkan dengan urusan sosial, apatah lagi
bercampur baur dengan laki-laki dalam urusan pekerjaan.27 Wahbah al-
Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-
Manhaj lebih menekankan pada kebolehan perempuan memberikan

26
Muhammad Ṭahir ibn „Asyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Juz 3 (Tunis: al-Dār al-
Tunisiyah, 1984), 109.
27
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Tafsīr al-Sya‟rawi, Juz 2 (al-Azhar:
Mujamma‟ al-Buhuts al Islamiyah, 1411 H/1961 M), 1217.
70

persaksian dalam hal harta benda dan yang terkait, tetapi tidak pada
persoalan hukum pidana fisik seperti hukum dera/cambuk dan qiṣaṣ.
Begitupun yang terkait dengan masalah rumah tangga seperti perceraian,
nikah dan rujuk, dengan mengutip pendapat para Imam Mazhab, bahkan
Wahbah lebih menyoroti pada kesaksian yang ditolak bagi laki-laki
maupun perempuan, yaitu kesaksian yang mencurigakan atau bisa
menimbulkan tuduhan dan dugaan karena terjadi konflik kepentingan.28

Tabel 4.1
Kesaksian Perempuan dalam Tindak Pidana
Mazhab Pendapat
Jumhur Ulama Menolak, dalam seluruh kasus qiṣāṣ.
al-Auza‟i, al- Menerima, dalam seluruh tindak pidana terkait
Zuhrī, al- qiṣāṣ.
Syaukānī , Ibn
Hazm
al-Ghazali Menerima, dalam kasus qatl al-Khaṭa (pembunuhan
keliru) dan semua kasus al-Jarh (pelukaan) yang
tidak ada kewajiban membayar diyat. Syarat saksi
terdiri dari dua orang perempuan dan satu orang laki-
laki.
al-Syafi‟i Menerima, hanya kasus al-Jarh (pelukaan) yang
tidak ada hukuman qiṣāṣnya serta syarat saksi harus
disertai laki-laki.

28
Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidah wa al-
Syari‟ah wa al-Manhaj, Juz 3 (Damaskus: Dar al-Fikr al- Mu‟ashir, 1418 H), 119.
71

Tabel 4.2
Kesaksian Perempuan dalam Pernikahan
Mazhab Pendapat
Hanafi Membolehkan, dengan syarat harus disertai laki-
laki minimal satu orang.
Maliki, Syafi‟i, Tidak membolehkan, dikarenakan laki-laki
Hanbali merupakan syarat kesaksian dalam pernikahan.
Ẓahirī Membolehkan, dengan syarat jumlah minimal
empat orang perempuan msekalipun tidak disertai
laki-laki.

Tabel 4.3
Nilai Kesaksian Perempuan
Nilai Kesaksian Mufassir
Perempuan
1. al-Qurṭūbī, Jami‟ li Ahkām al-Qur‟an
2. al-Syaukāni, Fath Al-Qadīr
Bernilai “Separuh” 3. Ibn „Arabī, Ahkām al-Qur‟an
4. Kiya al-Harasi, Ahkām al-Qur‟an
5. Ibn Katsīr, Tafsir al-Qur‟an al-„Aẓim
6. al-Alūsi, Ruh al-Ma‟ānī
1. M. Abduh & Rasyid Ridha, Tafsir al-
Bernilai “Sama” Manār
2. Ibn „Asyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr
3. al-Sya‟rawi, Tafsir al- al-Sya‟rawi
72

Tidak memberikan 1. Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir


penilaian 2. al-Jaṣṣaṣ, Ahkām al-Qur‟an

Cara pandang yang inferior atas perempuan memunculkan argumen


disamakannya satu orang laki-laki dengan dua orang perempuan dengan
landasan karena kurangnya kemampuan akal perempuan. Padahal
kekurangan akal perempuan seperti termaktub dalam hadis bukan berarti
menunjukkan bahwa secara kodrati akal perempuan memang lemah
dibandingkan dengan laki-laki, tetapi yang dimaksud adalah kekurangan
akal berhubungan dengan faktor budaya. Maka dapat dipahami bahwa
keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan karena keterbatasan
dan pembatasan pendidikan, pembelajaran, praktik lapangan dan kiprah
dalam ruang publik di dalam masyarakat pada saat itu. Hal ini menjadikan
frekuensi penggunaan akal pada perempuan sangat rendah pada waktu itu,
karena faktor budaya yang kurang memberikan peluang dan kesempatan
bagi perempuan untuk suatu pekerjaan yang secara khusus menggunakan
fungsi akal.29
Berdasarkan pro-kontra tentang penafsiran QS. al-Baqarah (2): 282
tentang nilai kesaksian perempuan, maka ayat di atas pada dasarnya tidak
menunjukkan inferioritas perempuan dan juga tidak dimaksudkan
mendiskriminasikan perempuan. Ayat ini justru telah mengangkat posisi
perempuan agar sederajat dengan laki-laki dalam kesaksian dan
mendorong partisipasi perempuan yang sebelumnya diposisikan hanya
pada wilayah domestik. Menurut Abbas Mahmud al-Aqqad, bahwa tujuan
kesaksian dalam ayat ini adalah untuk menegakkan keadilan, menjaga
kebenaran dan menciptakan kemaslahatan. Karena itu, jangan sampai

29
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, al-Mar‟ah fi al-Qur‟an (Kairo: Akhbar al-
Yaum, t.th.), 45.
73

pemahaman kita terhadap ayat ini kemudian berdampak pada diskriminasi,


subordinasi dan inferioritas perempuan, sesuatu yang bertentangan dengan
keadilan dan kemaslahatan itu sendiri serta menyalahi poin yang menjadi
prinsip dasar syari‟at. Penyebutan dua perempuan juga bukan
dimaksudkan jenis kelamin, tetapi lebih pada kualitas dan kemampuan
saksi sebagaimana perempuan saat itu yang kurang memiliki pengalaman
dan pengetahuan perihal transaksi keuangan. Merujuk kepada fungsi
kesaksian yaitu tidak ditentukan oleh jenis kelamin melainkan oleh
keterlibatan yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi dan
kemampuan memahami maksud peristiwa tersebut. Laki-laki dan
perempuan tentunya memiliki posisi yang sama untuk menjadi saksi,
asalkan yang bersangkutan adil, jujur, dan memiliki pemahaman yang
memadai terhadap peristiwa yang disaksikan.
Ketentuan dua perempuan untuk menggantikan satu laki-laki
ditetapkan karana pada masa itu pengalaman kaum perempuan dalam
transaksi bisnis dan keuangan memang kurang memadai dibandingkan
dengan laki-laki. Perempuan saat itu memang jarang terjun dalam dunia
bisnis dan transaksi keuangan. Mempertimbangkan kenyataan ini sebagai
bentuk advokasi terhadap perempuan saat itu, al-Quran meminta apabila
perempuan dijadikan saksi, maka harus didampingi oleh perempuan lain,
menjadi dua orang saksi. Kedua orang perempuan tersebut memiliki
fungsi sebagai saksi dan pengingat, jika salah satu dari keduanya lupa
maka akan diingatkan oleh yang lain. Tapi itu bukan berarti bahwa
perempuan memang tidak cerdas atau akalnya lemah, melainkan karena
keterbatasan pengalaman perempuan saat itu dalam dunia bisnis dan
transaksi keuangan. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
saksi perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki. Tidak ada perbedaan
di antara keduanya, perempuan berhak menjadi saksi sendiri walaupun
74

tanpa laki-laki. Selain itu, jika memang al-Quran menetapkan kesaksian


dua perempuan sebanding dengan satu saksi laki-laki, maka tentu al-Quran
akan menyebutkan kebolehan kesaksian empat perempuan apabila
memang tidak ada laki-laki sama sekali yang menjadi saksi, namun dalam
kenyataannya tidak demikian, bahkan tidak ada satu ayatpun yang
mengevaluenkan pemahaman ini. Para ulama Fiqih yang berpendapat
bahwa kesaksian dua orang perempuan sebanding dengan satu orang laki-
laki pun tidak membolehkan empat orang perempuan bersaksi tanpa laki-
laki. Sehingga Ketentuan ini tidak memberikan cerminan apapun
mengenai kemampuan moral atau intlektual perempuan. Oleh karana itu
perlu upaya menghilangkan pemahaman yang inferior ini terhadap kaum
perempuan kerena tujuan kesaksian dalam ayat itu adalah menegakkan
keadilan, menjaga kebenaran dan menciptakan kemaslahatan.30

C. Analisis Ayat-Ayat Tentang Konsep Kesaksian

Menurut hukum Islam, kesaksian kedudukannya sangat penting


dalam menyelesaikan suatu perkara karena termasuk kategori alat-alat
bukti. Alat-alat bukti dalam Islam menurut para fuqaha yang dikutip oleh
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy mencakup beberapa hal,
setidaknya ada tujuh macam yaitu: iqrār (pengakuan), syahādah
(kesaksian), yamīn (sumpah), nukūl (menolak sumpah), qasāmah
(bersumpah 50 orang), keyakinan hakim, dan bukti-bukti lainnya yang
dapat dipergunakan.31

30
Lihat juga Abbas Mahmud al-Aqqad, Al-Mar‟ah fi al-Qur‟an (Beirut: Dar al-
Kutub al-Arabi, t.th.), 107.
31
Tengku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), 136.
75

Tabel 4.4
Perbandingan Alat Bukti
No Hukum Islam Hukum Pidana Hukum Perdata
1 Iqrar (Pengakuan) Keterangan saksi Bukti tulisan
2 Syahadah Keterangan ahli Bukti saksi
(Kesaksian)
3 Yamin (Sumpah) Surat Persangkaan-
persangkaan
4 Qarinah (Petunjuk) Petunjuk Pengakuan
5 Bukti Tertulis Keterangan Sumpah
terdakwa

Adapun analisis interpretasi para mufassir mengenai ayat tentang


kesaksian32 perempuan adalah sebagai berikut:
1. Surah al-Baqarah ayat 282
Ayat ini turun sebagai respon terhadap peristiwa muamalah
khususnya hutang-piutang pada masa Nabi. Muhammad „Alī Al-Ṣābunī
dalam Ṣafwah al-Tafāsir33 menjelaskan munasabah ayat ini dengan ayat
sebelumnya, bahwa pada ayat-ayat sebelumnya Allah menjelaskan tentang
riba yakni sesuatu yang keji dan buruk. Kemudian pada ayat-ayat
selanjutnya Allah menerangkan pinjaman yang baik tanpa bunga, dan
hukum-hukum berkaitan dengan hutang, dagang serta gadai. Hal ini
merupakan cara terpuji dalam mengembangkan harta yang dapat
dimanfaatkan untuk individu maupun masyarakat. Selain itu, ayat ini
merupakan ayat terpanjang dalam al-Qur‟an, menjadi dilalah atau

32
QS. al-Nisa/ 4: 15 kesaksian tentang zina, QS. al-Nisa/ 4: 106 kesaksian terkait
wasiat, QS. al-Nur/ 24: 4 Kesaksian dalam masalah qazf, QS. al-Nur/ 24: 6, QS. al-Ṭalaq/
65: 2 kesaksian dalam masalah thalaq dan „iddah.
33
Muhammad „Alī Al-Ṣābuni, Ṣafwah al-Tafāsir, juz 1, 160.
76

petunjuk betapa Islam memberikan perhatian besar terhadap sistem


ekonomi.
Secara umum ayat ini memang berbicara tentang hutang-piutang,
tetapi para ahli tafsir berbeda pendapat terhadap masalah ini. Nashir al-
Din al-Baidhawi dalam Tafsir al-Baidawi dan Abu al-Qasim Zamakhsyari
dalam Tafsir al-Kasysyaf menafsirkan ayat ini berkaitan dengan hutang
piutang. Begitu juga dengan Ibn Katsīr berdasarkan periwayatan Sa‟id ibn
Musayyab, al-Jaṣṣaṣ dalam kitab tafsir Ahkām al-Qur‟ān, dan al-Qurṭūbi
yang memberikan tambahan keterangan terkait hutang yang sudah jatuh
tempo.34 Namun, Abu Hasan Ali al-Mawwardi al-Bashri dalam An-Nukat
wa al-„Uyun, Kiyā al-Harāsī dalam kitab tafsir Ahkām al-Qur‟ān, dan
T.M. Hasby Shiddieqy dalam Tafsir al-Qur‟anul Majid menyatakan
bahwa tidak hanya persoalan hutang-piutang tetapi juga menyangkut
berbagai transaksi muamalah, sedangkan Wahbah Zuhaili
mengistilahkannya dengan ayat dain dan ayat rahn.35
Hal penting untuk diinterpretasi pada ayat ini adalah mengenai
maksud dari kata tadāyantum, karena para ulama sering menyebut ayat ini
dengan sebutan ayat al-Mudāyanah (ayat hutang-piutang) bahkan al-
Jaṣṣaṣ memulai pembahasan tafsir terkait ayat ini dengan judul bāb „uqūd
al-Mudāyanah. Quraish Shihab menerjemahkan kata tadāyantum dengan
bermuamalah, yang berasal dari kata dain. Kata ini memiliki banyak arti,
tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu
selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya
berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang lain. Selain itu, kata ini
juga bermakna hutang, pembalasan, ketaatan, dan agama. Kesemuanya

34
Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓim, juz 1, 127. Lihat juga al-Jaṣṣas, Ahkām
al-Qur‟ān, juz 2, 205. Bandingkan dengan al-Qurṭūbi, Tafsīr al-Qurṭūbi, juz 3, 377.
35
Wahbah Zuhailī, Tafsīr Munīr, juz 3, 102. Lihat juga Kiyā al-Harāsi, Tafsīr
Ahkām al-Qur‟ān, juz 1, 237.
77

menggambarkan hubungan timbal balik, dengan kata lain disebut


bermuamalah.36
Al-Ṭabari dalam tafsirnya mengutip beberapa riwayat yang intinya
mewajibkan adanya persaksian dan penulisan hutang tetapi kemudian
dinasakh oleh firman Allah dalam surah al-Baqarah 283.37 Akan tetapi
Ibnu Katsīr mengatakan bahwa perintah yang terdapat pada ayat ini hanya
sebagai petunjuk ke jalan yang lebih baik agar terjaminnya keselamatan
yang diharapkan, bukan perintah wajib berlandaskan periwayatan dari
Qatadah.38 Hal ini dapat dipahami apabila terdapat saling percaya antara
para pihak, maka tidak mengapa jika tidak dicatatkan.
Terkait hal ini Imam Syafi‟i mengutarakan pendapatnya bahwa
beliau cenderung pada pelaksanaan pencatatan dan persaksian, karena ini
petunjuk dari Allah sekaligus pedoman bagi penjual dan pembeli. Orang
yang tidak melakukan pencatatan dan persaksian berarti telah
meninggalkan kebijaksanaan dan aturan yang diamini oleh Imam Syafi‟I
serta cenderung tidak mengabaikannya, meskipun Imam Syafi‟i juga tidak
mengklaim bahwa perbuatan itu haram bagi orang tersebut.
Selaras dengan Jasser Auda yang lebih mengutamakan metode al-
Jam‟ (konsiliasi), Auda menafikan naskh karena dianggap sebagai analisis
yang bersifat parsial dan tidak sejalan dengan konsep analisis sistem yang
mementingkan multi-dimensional dalam fitur sistem yang beliau
tawarkan. Sehingga ayat kesaksian dalam surah al-Baqarah ayat 282 ini
dihukumi wajib berdasarkan redaksi amr (kata perintah) pada ayat
tersebut. Berbeda lagi dengan tokoh kontemporer Abdullah al-Na‟im yang
lebih setuju adanya teorisasi naskh. Ketika Jasser Auda menolak naskh

36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 731-732.
37
Al-Ṭabari, Tafsīr Jami‟ al-Bayān, juz 6, 97-98.
38
Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 7, 127.
78

karena aktualisasi naskh dapat menimbulkan kekakuan dalam berpikir,


lain halnya dengan al-Na‟im yang tidak meninggalkan sepenuhnya naskh,
namun al-Na‟im memberikan pernyataan bahwa suatu ayat terkadang bisa
dianggap naskh pada saat ditemukan kondisi dan situasi yang sesuai
dengan ayat tersebut.39
Mengenai kata amr (perintah) yang menjadi landasan ulama
sehingga memunculkan pemaknaan yang berbeda, dalam ushul fikih
terdapat kaidah:

‫ٔب‬‫ج‬ُ ُٔ ْ‫األمر ل ِي‬


َ ‫األض ُو ِف‬
َ
ِ ِ ِ
“Asal setiap perintah itu menunjukkan hukum wajib.”
Amir Syarifuddin dalam bukunya Uṣūl Fiqh membagi empat pendapat
terkait kedudukan amar pada suatu naṣ, yakni sebagai berikut:40
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz „amr itu menurut
asalnya menunjukkan wajib.
b. Ulama Mu‟tazilah berpendapat bahwa „amr itu menurut
asalnya adalah hukum nażb secara mutlak, sehingga ada dalil
yang menunjukkan „amr itu untuk wajib.
c. Ulama Asy‟ariyah dan Imam al-Ghazali memilih sikap
tawaquf. Maksudnya, tidak menetapkan asal penggunaan „amr
secara pasti (antara wajib dan nażb), tetapi menetapkan
kehendak „amr itu kepada petunjuk yang menyertainya.
d. Golongan yang berpendapat bahwa „amr adalah untuk ibāḥah.
Kemudian dipertegas oleh Abd. Rahman Dahlan dalam bukunya
Uṣūl Fiqh yang mengatakan bahwa dalam konteks kajian ushul fiqh, amr
(perintah) bersumber dari al-Syari‟ kepada manusia sebagai hamba Allah.

39
Lihat Dayu Aqraminnas, “Kontribusi Jasser Auda dalam Kajian al-Qur‟an:
Interpretasi Berbasis Sistem, 142.
40
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2 (jakarta: Kencana, 2008), 182-185.
79

Dalam hal ini, Allah adalah pihak tertinggi yang menuntut agar perintah
tersebut dipatuhi. Sedangkan manusia sebagai mukallaf adalah pihak yang
rendah dan diharuskan untuk melaksanakan perintah.41
Oleh karena itu, kedudukan naṣ, khususnya ayat 282 surah al-
Baqarah merupakan wahyu dari Allah Swt yang diperuntukkan kepada
manusia. Manusia sebagai hamba-Nya sudah sepatutnya mematuhi
perintah-perintah tersebut. Perintah adanya persaksian dan pencatatan
terhadap transaksi muamalah mengandung kemaslahatan yang besar bagi
pelakunya. Catatan tersebut merupakan alat bukti, apabila dikemudian hari
nanti terdapat perselisihan, dapat digunakan untuk membuktikan transaksi
yang telah dilakukan.
Dalam pandangan mazhab Hanafi, ayat ini juga mencakup persoalan
hukum keluarga. Sebagaimana diterangkan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh
al-Sunnah bahwa mazhab Hanafi membolehkan saksi dalam perkawinan
satu orang laki-laki dan dua perempuan. Selain itu, perkawinan merupakan
suatu hal yang serupa dengan jual-beli (yang merupakan transaksi
pertukaran) sehingga kesaksian perempuan berlaku seperti kesaksian laki-
laki.42Menurut Mazhab Hanafi, perkawinan cukup hanya dengan saksi
sebagai alat bukti karena pada saat itu belum seperti sekarang ini, sehingga
mazhab ini tidak memasukkan pencatatan dalam perkawinan, tetapi
mazhab ini berpandangan bahwa ayat 282 juga mencakup muamalah
perkawinan.

Ayat 282 surah al-Baqarah menurut hemat penulis merupakan salah

satu dasar hukum persaksian dalam perkara perdata (muāmalah).

Pemaknaan kata muamalah sendiri ‫ انًعايالت‬berasal dari kata tunggal

41
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), 246.
42
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 3, 275-276.
80

‫ انًعايهة‬yang berakar pada kata ‫ َعه ًَ َم‬kata muamalah sama dengan kata ‫ُيفَا َعهَة‬

artinya saling berbuat atau berbuat secara timbal balik yang secara

sederhana diartikan dengan hubungan antara orang dengan orang.43

Muamalah adalah aspek hukum Islam yang ruang lingkupnya luas. Pada

dasarnya aspek hukum Islam yang bukan termasuk kategori ibadah, seperti

shalat, puasa dan haji dapat disebut muamalah. Karena itu, masalah

perdata dan pidana pada umumnya digolongkan pada bidang muamalah.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam di bidang

muamalah dapat dibagi dalam dua garis besar yaitu munākahat

(perkawinan), jināyat (pidana) dan muamalah dalam arti khusus yang

hanya berkaitan dengan bidang ekonomi dan bisnis dalam Islam.44


Adapun mengenai kedudukan saksi pada ayat tersebut dengan
mengutip pendapat para mufassir, ada yang menghukumi sunnah dan ada
pula yang hanya menyatakan sebagai perintah tanpa menyatakan apakah
wajib atau sunnah. Bagi yang menyatakan sunnah, tampaknya mengaitkan
kesaksian ini dengan pencatatan setiap terjadinya transaksi, sementara
pencatatan pada waktu itu masih dianjurkan dengan alasan atau masih
adanya saling percaya atau belum adanya qarīnah (indikasi) kecurangan
pada diri saksi sendiri. Oleh karena itu, kesaksian pun berkedudukan
sebagaimana pencatatan.
2. Surah al-Ṭalāq ayat 2
Sabab nuzul surah ini ketika Abdullah ibn Umar menceraikan
istrinya yang sedang haid kemudian menceritakan hal tersebut kepada
Rasulullah sehingga Allah SWT. menjabarkan terkait penjelasan talak,

43
Lihat Abdul Rahman Ghazaly dkk., Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010),
3. Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 1.
44
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), 1.
81

ruju‟, dan „iddah. 45 Adapun kesaksian perihal pernikahan dalam al-Qur‟an


secara spesifik tidak ditemukan, tetapi ditemukan dalam kasus rujuk
dengan mewajibkan adanya saksi pada perkara tersebut. Sebagaimana
termaktub dalam surah al-Ṭalāq ayat 2:
َ ْ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ُ ُ َ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ُ ُ ‫َ َ ََأ َ َ َُ ََأ‬
‫وف َوأش ِٓ ُدوا ذ َو أي‬ ٖ ‫وف أو فارِكْٔ ََّ ةٍِؿ ُر‬
ٍ ‫فإِذا ةيغ ََ أجيٓ ََّ فأمصِهْٔ ََّ ةٍِؿ ُر‬
‫َّ أ‬ ‫َ َ أ‬ ُ َ ُ َ َّ َ َّ ْ ُ َ َ ‫َ أ ّ ُ أ‬
‫ِئٍا ٱلش َه ٰ َدة َِّللِۚٓ ذٰى ِل أً ئُعغ ةِِّۦ ٌََ َكن يُؤٌ َُِ ةِٱَّلل ِ َوٱيلَ أٔ ِم‬ ‫ؾد ٖل ٌِِلً وأق‬

‫َ َ َ َّ َّ َ َ أ َّ َ أ‬
٢ ‫َّلل َي َؿو ُهلۥ خم َر ّٗجا‬ ‫ٱٓأۡلخ ِِرِۚ وٌَ يخ ِق ٱ‬

“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah


mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
serta hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah kalian (orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat) diberikan pengajaran. Siapa saja yang bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menguraikan perbedaan
pendapat antara ulama terdahulu dengan ulama kontemporer. Imam
Hanafi dan imam Syafi‟i menyatakan bahwa kesaksian dalam rujuk
merupakan sunnah, namun dalam riwayat lain imam Syafi‟i, imam Ahmad
dan imam Malik mewajibkannya. Hal ini karena melihat praktik dan
pengamalan para sahabat Nabi dan generasi sesudahnya. Ulama-ulama
yang lainnya (golongan ulama terdahulu) pun sepakat untuk
mengkategorikan saksi dalam rujuk bukan merupakan syarat sahnya
melainkan untuk berjaga-jaga jika terjadi perselisihan. Sedangkan ulama
kontemporer, di antaranya Muhammad Abduh mewajibkan persaksian
dalam rujuk maupun perceraian bahkan menjadikannya sebagai syarat
sah.46

45
Muhammad „Alī al-Ṣābuni, Ṣafwah al-Tafāsir, juz 1, 160.
46
M. Quraish Shihab, al-Misbah, 138-139.
82

Berdasarkan pemaparan para ahli tafsir di atas, dapat diketahui


bahwa dalam hal rujuk maupun perceraian wajib disaksikan oleh dua
orang saksi. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama mengenai
keabsahannya, yang jelas dalam peristiwa rujuk dan perceraian harus
disaksikan oleh dua orang saksi sebagai alat bukti terhadap peristiwa
hukum tersebut.
Dalam kaidah uṣūl fiqh terdapat pembahasan mengenai ungkapan
suatu naṣ yang salah satu bentuknya berupa „Ibārah al-naṣ: 47

‫ؾتارة انلص يه دَلىث الالكم لَع اىٍؿىن اىٍلطٔد ٌِّ أضاىث أو حتؿا‬
„Ibārah al-nas ialah petunjuk kalimat (lafal) kepada pengertian yang
dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh
kalimat itu sendiri.”
Maka ringkasnya, „Ibārah al-nas berarti petunjuk lafal kepada suatu
pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh
lafal nas itu sendiri.
Sedangkan terdapat bentuk lain yang dimaksud dengan Isyārah al-
naṣ:48

‫يه دَلىث اليفغ لَع اْللً لً يلطد أضاىث وَل حتؿا ولهِّ َلزم ليٍؿىن اذلي شيق‬
‫الالكم‬
Isyārah al-naṣ ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum
yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nas tetapi merupakan
kelaziman bagi arti yang diungkapkan tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa isyārah al-Naṣ itu
sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan
untuk arti menurut asalnya. Tegasnya, isyārah al-Naṣ itu ialah dilālah lafal
yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat.

47
Wahbah Zuhaili, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 349.
48
Zaky al-Din Sya‟ban, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī (Mesir: Dar al-Ta‟lif Lit-
tiba‟ah,1965), 363-364.
83

Hemat penulis, jika rujuk atau perceraian saja harus dibuktikan


dengan dua orang saksi, maka dalam akad nikah tentunya lebih wajib
menghadirkan dua orang saksi, sebagai alat bukti terhadap peristiwa
hukum perkawinan yang merupakan peristiwa penting dan dianggap
sebagai peristiwa sakral. Terkait hal ini, penulis juga berpendapat bahwa
alat bukti saksi merupakan alat bukti yang paling dominan digunakan pada
masa itu. Sekalipun yang dapat menjadi saksi juga didominasi oleh laki-
laki, karena melihat kondisi masyarakat pada waktu dimana superioritas
laki-laki lebih berperan dan lebih berpengaruh dibandingkan perempuan.

D. Aktualisasi Tafsīr Maqāṣidī Jasser Auda Terhadap Ayat tentang


Kesaksian Perempuan

Langkah-langkah dalam Tafsīr Maqāṣidī Jasser Auda merujuk


kepada analisis sistem yang beliau tawarkan. Pendekatan sistem diartikan
sebagai perangkat unsur yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas serta menghasilkan sebuah pemahaman yang komprehensif.
Langkah-langkah ini merupakan proses penafsiran atau reinterpretasi
sebagai bentuk pengembangan interpretasi yang telah dilakukan oleh
mufassir. Adapun pengaplikasian langkah-langkah tersebut terhadap ayat
tentang sebagai berikut.
َ َ ‫َُ ْ َ ََ َ ُ َأ‬ َ َ
ُ ‫أ أ‬ ‫ّٗ َ أ‬
ً‫ىل أ َج ٖو ٌُّ َص ّّم فٱك ُخ ُتٔهُ ۚٓ َويلَه ُخب ةَّ أي َِل أ‬ َ ‫يأ ُّي َٓا َّٱذل‬
َّٰٓ ِ ‫ِيَ َءاٌِ ٓٔا إِذا حداينخً ةِديَ إ‬ َّٰٓ
ٍ
َّ ‫َ ُ ُۢ أ َ أ َ َ َ أ َ َ ٌ َ َ أ ُ َ َ َ َ َّ َ ُ َّ ُ َ أ َ أ ُ أ أ‬
‫ب َويلُ أٍي ِِو ٱذلِي‬‫َكح ِب ةِٱىؿد ِل ِۚ وَل يأب َكح ِب أن يلخب نٍا ؾيٍّ ٱَّللۚٓ فييهخ‬

َ ‫ٔۚٓ فَإن ََك َن َّٱذلِي َؾيَ أيِّ أ‬


‫ٱْل ُّق‬ ‫أُ َ أ‬ ‫َّ َ َ َّ ُ َ َ َ أ َ أ‬ َّ َ ‫َ َ أ أ َ ُّ َ أ‬
ِ ّٗٔ‫ؾييِّ ٱْلق ويلخ ِق ٱَّلل ربّۥ وَل يتخس ٌِِّ شيا‬
ْ ُ ‫َ ً َ أ َ ً َ أ َ َ أ َ ُ َ ُ َّ ُ َ َ أ ُ أ أ َ ُّ ُ أ َ أ َ أ َ أ‬
‫شفِيٓا أو ضؿِيفا أو َل يصخ ِعيؽ أن ي ٍِو ْٔ فييٍي ِو و ِيلّۥ ةِٱىؿد ِل ِۚ وٱشتش ِٓدوا‬

َ َ َ َ َ َ ‫ َ أ‬ٞ ُ َ َ ‫ّ َ ُ أ َ َّ أ َ ُ َ َ ُ َ أ‬ ‫َ َأ‬
ََِ ٌ ‫ان م ٍََِّ ح أرض أٔن‬
ِ ‫ني فرجو وٱمرأح‬ ِ ‫ش ِٓيدي َِ ٌَِ رِجاى ِلًۖۡ فإِن ىً يلُٔا رجي‬
84

‫َ أ‬ ُ‫أ‬ َ َ ٓ َ ُّ
َ ٓ ُّ ٰٓۚ ‫ض َّو إ ِ أح َدى ٰ ُٓ ٍَا َف ُخ َذ ّن َِر إ ِ أح َدى ٰ ُٓ ٍَا ٱأل أخ َر‬
‫ى َوَل يَأ َب ٱلش َٓ َدا ُء إِذا ٌَا‬ ِ ‫ٱلش َٓداءِ أن ح‬

َّ َ ُ َ ‫َٰ ُ أ َ أ‬ َ َ َ ً َ ‫ُ ُ ْ ََ َأ ُ ْ َ َ أ ُُ ُ َ ً َأ‬
َّٰٓ ِ ‫دؾ ۚٓٔا وَل تسَٔٔم ٓٔا أن حلختٔه ض ِغريا أو نتِريا إ‬
ِ ‫ٱَّلل‬ ‫ِِد‬
‫ؾ‬ ‫ط‬ ‫ص‬ ‫ك‬ ‫أ‬ ً ‫ِل‬ ‫ى‬‫ذ‬ ‫ِۦ‬
ٓۚ ِ ‫ىل أ‬
ّ ‫ي‬‫ج‬

ُ َ ُ ُ ّٗ َ َ ً َ ٰ َ َ ُ َ َ ٓ َّ ْ ٓ ُ َ ‫َ َ أ َ ُ َّ َ ٰ َ َ َ أ َ َّٰٓ َ َّ َ أ‬
ً‫ِيرون َٓا ةَ أيَِل أ‬ ِ ‫وأكٔم ل ِيشهدة ِ وأدّن أَل حرحاةٔا إَِل أن حلٔن ح ِجرة ح‬
‫اِضة حد‬
َ ٞ َ َّ َ ُ َ َ ‫َ َ أ َ َ َ أ ُ أ ُ َ ٌ َ َّ َ أ ُ ُ َ َ َ أ ُ ٓ ْ َ َ َ َ أ ُ أ‬
‫ِب َوَل‬ ‫فييس ؾييلً جِاح أَل حلختْٔاۗ وأش ِٓدوا إِذا تتايؿخ ًۚٓ وَل يضٓار َكح‬

ُّ ُ َّ ‫ٱَّللۗ َو‬ ُ ُ ّ َ ُ َ َ َّ ْ ُ َّ َ ‫ُ أ‬
ُ َّ ًُ ‫ل‬ ُۢ ُ ‫يد ِإَون َت أف َؿئُا ْ فَإَُّ ُّۥ فُ ُص‬ٞ َ
‫ٱَّلل ةِل ِو‬ ٍِ ‫ٔق ةِلًۗ وٱتلٔا ٱَّللۖۡ ويؿي‬ ِ ٓۚ ِٓ ‫ش‬

‫َ أ‬
ٞ ‫َش ٍء َؾي‬
٢٨٢ ً‫ِي‬

Berdasarkan Surah al-Baqarah ayat 282 di atas, para ulama


mengatakan bahwa dalam transaksi yang dilakukan secara non-tunai
memerlukan saksi yang berjumlah dua orang dengan berjenis kelamin
laki-laki. Sedangkan perempuan diperbolehkan menjadi saksi dengan
ketentuan berjumlah sebanyak dua orang disertai satu orang saksi yang
berjenis kelamin laki-laki. Atas dasar ini, Imam Syafi‟i membolehkan
putusan hukum dengan sumpah dan seorang laki-laki yang berhubungan
dengan harta. Dan setiap perkara yang boleh diputuskan dengan sumpah
dan kesaksian satu orang laki-laki diperbolehkan juga menjadikan
kesaksian perempuan disertai laki-laki yang diistilahkan al-Harasi dengan
sebutan “syahādah ḍarūrah”.49
Menurut Imam al-Ghazālī, untuk kesaksian prihal hak-hak harta
diperbolehkan ketika saksinya terdiri dari seorang laki-laki dan dua orang
perempuan dengan dalil ayat mudāyanah (al-Baqarah [2]: 282). Akad-
akad yang termasuk pula dalam kategori ini yaitu syirkah (kerjasama),
ijārah (sewa menyewa), itlāf al-Amwāl (merusak harta), „uqūd al-Ḍaman

49
Al-Syafi‟i, al-Umm, juz 7, 86. Bandingkan dengan Kiyā al-Harāsi, Tafsīr
Ahkām al-Qur‟ān, juz 1, 251-252.
85

(transaksi jaminan), qatl al-Khaṭa (pembunuhan keliru), hak khiyār (hak


memilih), dan fasakh „uqud (membatalkan transaksi). Menurut al-Kasāni,
ijma‟ tidak melarang kesaksian perempuan dalam masalah harta.50

Sedangkan menurut jumhur ulama, maksud ayat ‫م‬ٞ ‫فَإٌِ نَّ ۡى يَ ُكىََا َر ُجهَ ۡي ٍِ فَ َر ُج‬

ِ ‫( َو ۡٱي َرأَت‬jika tidak ada dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua
ٌ‫َا‬

orang perempuan) yaitu jika orang yang menggugat tidak mendatangkan


dau orang saksi laki-laki disebabkan lalai atau uzur, maka harus

mendatangkan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang

menduduki kedudukan dua orang saksi laki-laki.51 Bahkan Rasyid Ridha

menyatakan bahwa dua orang saksi perempuan dapat diterima

kesaksiannya sekalipun ada dua orang saksi laki-laki. Hal ini sesuai

dengan pendapat Ibn „Arabi yang mengatakan bahwa kalimat ‫فَإٌِ نَّ ۡى يَ ُكىََا‬

ٍِ ‫ َر ُجهَ ۡي‬bermakna jika kedua saksi bukan dua orang laki-laki, karena pada

ayat tersebut tidak disebutkan ٍِ ‫فَإٌِ نَّ ۡى يىجد َر ُجهَ ۡي‬.52 Meskipun terdapat

pendapat yang demikian, sekelompok ulama mempunyai pandangan lain,

di antaranya seperti Ibn „Aṭiyah yang menafsirkannya dengan pemaknaan

“jika kedua saksi laki-laki tidak didapatkan, maka kesaksian dua orang

perempuan tidak diperbolehkan kecuali disertai satu orang laki-laki.53


Selanjutnya berkenaan dengan „illah kesaksian dua orang
perempuan sama dengan kesaksian seorang laki-laki, Abū „Ubaid
menafsirkan kata taḍilla dengan lupa dari kesaksian (lupa sebagian dan
ingat sebagian). Seorang yang berada dalam keadaan ini akan bingung dan

50
Al-Ghazali, al-Wasīṭ fi al-Maẓhab, juz 7, 366.
51
Rasyid Riḍā, Tafsir al-Qur‟ān al-Hakīm, juz 3 (Kairo: Dār al-Manār, 1365 H),
391.
52
Ibn „Arabi, Ahkam al-Qur‟an, juz 1 (Beirut: Dar al-kutub al-„ilmiyyah), 334.
53
Al-Qurṭūbī, al-Jamī‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz 3 (Beirut: Dār al-Syabāb, 1372
H), 397.
86

tersesat.54 Menurut al-Syaukani, ini adalah „illah ditetapkannya kesaksian


perempuan berjumlah dua orang karena hakikat „illah ini adalah al-Taẓkīr
(mengingatkan).55 Begitu pula pendapat al-Baiḍāwī dan al-Ṣabūnī yang
menyatakan bahwa penetapan jumlah dua orang saksi perempuan
disebabkan adanya „illah berupa ḍalāl (lupa) yang hakikatnya bertujuan
untuk mengingatkan (li al-Taẓkīr).56 Kata ḍalāl dimaknai dengan al-
Nisyān berdasarkan pendapat Ibn „Abbās, al-Ḍaḥḥāk, al-Sūdi, al-Rabī,
Muqātil, Abū Ubaidah, dan Ibn Qutaibah, yang diperkuat pula dengan
merujuk redaksi dalam ayat tersebut bahwa lafaz taḍilla bermakna tansā
.57
Pemahaman tekstual pada surah al-Baqarah ayat 282 menjadikan
status kesaksian perempuan dalam transaksi non-tunai dipahami secara
general terhadap kesaksian perempuan dalam masalah-masalah lain.
Padahal konteks ayat ke-282 dari surah al-Baqarah tersebut mengatakan
bahwa kesaksian perempuan dua berbanding satu dengan laki-laki bukan
dimaksudkan sebagai persaksian yang berstatus hukum di hadapan hakim,
tetapi hanya untuk memperkuat dan menenangkan hati kedua pihak yang
melakukan transaksi secara non-tunai serta berkenaan dengan hak-hak
mereka. Maka, kedudukan firman Allah SWT. dalam surah al-Baqarah
ayat 282 adalah sebagai penguat atas hak-hak kepemilikan dan bukan
berkenaan dengan urusan peradilan.58
Pengertian ayat tersebut juga bukan berarti menjelaskan bahwa
kesaksian seorang perempuan atau saksi-saksi yang berjenis kelamin
perempuan tanpa adanya saksi-saksi yang berjenis kelamin laki-laki itu

54
Al-Syalabī, Jawāhir al-Hisān fi Tafsir al-Qur‟an, juz 1, 231.
55
Al-Syaukanī, Fath al-Qadir, juz 1 (Beirut: Dār al-Fikr), 302.
56
Al-Baiḍawī, Tafsīr al-Baiḍawī, juz 1 (Kairo: Dār al-Miṣriyyah), 579. Lihat juga
al-Ṣābūnī, RawāI‟ al-Bayān, juz 1, 178.
57
Al-Qurṭūbī, al-Jamī‟ li Aḥkām al-Qur‟ān,
58
Tafsir Departemen Agama RI (LPMQ, 2009), 289-290.
87

tidak bisa ditetapkan serta tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum
bagi seorang hakim, karena pada dasarnya yang menjadi tuntutan hukum
adalah bukti nyata (al-Bayyinah). Sebagaimana disebutkan oleh Ibn al-
Qayyim bahwa bukti nyata lebih diutamakan daripada persaksian.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa hal yang bisa dijadikan sebagai
landasan hukum untuk memutuskan suatu perkara yaitu segala sesuatu
yang bisa membuktikan dan mengungkap kebenaran tersebut. Bahkan,
seorang hakim dapat menetapkan hukum suatu perkara berdasarkan
indikasi-indikasi atau bukti-bukti yang pasti, termasuk juga kesaksian
seorang non-muslim yang bisa dipercaya kesaksiannya.59
Mengenai kesaksian dua orang perempuan yang disetarakan dengan
kesaksian satu orang laki-laki itu bukan karena perempuan memiliki akal
yang lemah dan kurang sempurna kemanusiaannya sehingga
menyebabkan berkurang kekuatan persaksiannya, tetapi hal ini disebabkan
karena perempuan tidak semestinya menyibukkan diri dengan berbagai
urusan terkait masalah keuangan dan harta kekayaan lainnya. Kemudian
perempuan dikatakan memiliki daya ingat yang lemah dalam urusan
tersebut karena perempuan biasanya disibukkan dengan urusan
kerumahtanggaan sehingga dalam hal ini daya ingat perempuan lebih kuat
dibandingkan daya ingat laki-laki. Hal ini selaras dengan tabiat manusia
itu sendiri yakni dalam perkara serta masalah yang terkait dengan
pekerjaan, aktivitas, atau profesinya, maka daya ingat manusia tersebut
cenderung menjadi kuat.
Selanjutnya menurut Syaikh Muhammad Syalṭūṭ, ayat tersebut
berkenaan dengan kondisi lazim yang berlaku pada diri perempuan yakni
mayoritas dari mereka tidak menghadiri majelis-majelis utang piutang dan
bursa-bursa perdagangan. Berbeda lagi sekiranya sebagian dari mereka

59
Mahmūd Syalṭūt, al-Islām „Aqidah wa Syari‟ah, 249.
88

ada yang aktif serta giat beraktivitas dalam bidang ini, maka hal tersebut
sama sekali tidak menafikan sifat-sifat yang memang sudah menjadi tabiat
dalam diri perempuan. Apabila ayat ke-282 dalam surah al-Baqarah
tersebut memberikan bimbingan berupa bentuk jaminan yang paripurna,
dan kaum perempuan juga diakui kehadiran dan bentuk keterlibatannya
dalam urusan perniagaan dan masalah utang piutang yang ada dalam
masyarakat, maka kaum perempuan itu juga berhak dan memiliki nilai
jaminan atau kekuatan hukum seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki.60
Berdasarkan pemaparan di atas, maka untuk menjadi saksi ahli di
pengadilan dengan status perempuan yang memiliki keahlian dan
kepakaran dalam perkara tersebut dapat diterima.
Dalam perkara lain, para fuqahā menetapkan bahwa terdapat
kesaksian yang hanya dapat diputuskan dengan menerima kesaksian dari
perempuan, yaitu dalam masalah yang menurut kebiasaan hanya berlaku
pada kaum perempuan serta tidak diketahui oleh kaum laki-laki seperti
kelahiran dan aib perempuan. Demikian pula terdapat perkara-perkara
yang hanya diputuskan berdasarkan kesaksian laki-laki saja, seperti
perkara yang biasa mempengaruhi kehalusan perasaan perempuan.61
Ayat ini memang secara lengkap mengatur konsep kesaksian dalam
bermuamalah. mencakup perintah, kualifikasi saksi, kuantitas saksi dan
sampai kepada kewajiban bersaksi. Masalah yang tidak luput dari bahasan
para mufassir mengenai kedudukan saksi laki-laki dengan perempuan
dalam ayat tersebut, dibahas oleh Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-
Munīr melalui penjelasan beliau mengenai sebab kesaksian dua orang
perempuan sama dengan kesaksian satu orang laki-laki.

60
Mahmūd Syalṭūt, al-Islām „Aqidah wa Syari‟ah, 249-250.
61
Tafsir Departemen Agama RI (LPMQ, 2009), 291.
89

Kebiasaan yang berlaku menyatakan bahwa wanita biasanya tidak


banyak memiliki perhatian terhadap masalah-masalah yang berkaitan
dengan transaksi atau bisnis. Sehingga hal ini menyebabkan wawasan,
pengetahuan, pengalaman dan perhatian wanita tentang dunia bisnis dan
keuangan lemah. Adapun kenyataan yang ada pada masa sekarang, yaitu
adanya sebagian dari kaum wanita yang memiliki kesibukan dan perhatian
terhadap dunia bisnis dan keuangan, maka hal ini tetap tidak bisa
mengubah hukum yang telah ditetapkan, karena hukum-hukum yang ada
tidak lain didasarkan pada kenyataan yang bersifat umum, bukan sesuatu
yang bersifat langka atau kasuistik.62Wahbah al-Zuhaili berpandangan
bahwa ayat tersebut diperuntukkan secara umum. Sehingga ketentuannya
tetap sesuai dengan yang dimaksud ayat tersebut. Bagaimanapun
kemampuan wanita dalam bertransaksi, tetaplah dalam persaksian satu
laki-laki sama dengan dua perempuan.
Berbeda dengan Quraish Shihab yang memiliki pandangan menarik
terkait kesaksian tersebut. Menurut Shihab, Al-Qur‟an dan Sunnah
mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria, suami dan istri. Suami
bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi perhatian utama,
dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak istrinya.
Sedang, tugas utama wanita atau istri adalah membina rumah tangga dan
memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa
anak-anaknya. Namun, perlu dicatat bahwa pembagian kerja itu tidak
ketat. Tidak jarang istri para sahabat Nabi Muhammad SAW. ikut bekerja
mencari nafkah karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan
rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang melakukan aktivitas di
rumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut di
atas, dan perhatian berbeda yang dituntut terhadap masing-masing jenis

62
Wahbah Zuhailī, Tafsīr Munīr, juz 3, 170-111.
90

kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek


perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga pastilah
lebih kuat daripada pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya
lebih banyak tertuju kepada kerja, perniagaan, termasuk utang-piutang.
Ingatannya pasti juga lebih kuat daripada wanita yang perhatian utamanya
tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju ke sana. Atas dasar besar
kecilnya perhatian itulah tuntunan di atas ditetapkan. Dan, karena al-
Qur‟an menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada
rumah tangga atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini
wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap utang-
piutang, baik karena suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka
maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan wanita lupa lebih besar
daripada pria. Oleh karena itu, untuk menguatkan persaksian dua orang
wanita diseimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seorang lupa
maka seorang lagi mengingatkannya.63
Hemat penulis, ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan
intelektual wanita, dan tidak pula memiliki artian bahwa kemampuan
menghafal wanita lebih rendah daripada kemampuan pria. Adapun
hipotesa Tafsīr Maqāṣidī Jasser Auda berdasarkan paradigma kognisi,
holistik, terbuka, saling terkait, multi-dimesional, dan diakhiri
kebermaksudan adalah sebagai berikut.
Pertama, kesaksian perempuan ditinjau dari aspek kognisi
memberikan dasar pemahaman supaya penulis dapat membedakan antara
aspek ilahi dan aspek tafsir. Tafsir merupakan produk yang dihasilkan dari
kognisi manusia sehingga perbedaan penafsiran yang selama ini
disuguhkan menjadi suatu hal yang niscaya. Maka sangat dimungkinkan

63
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 1, 736. Bandingkan dengan
Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Fiqh al-Mar‟ah, 8-12.
91

dapat terjadi kesalahan dalam penafsiran, sehingga tidak sepatutnya


mengklaim sebuah penafsiran sebagai suatu kebenaran mutlak karena
penafsiran bukan bagian dari kebenaran ilahiyyah. Fungsi dari aspek
kognisi ini sebagai perspektif sistem penengah yang bertugas untuk
memvalidasi sebuah produk pemikiran yang dihasilkan dari hubungan
antara realitas dan konsepsi manusia tentang realitas itu. Kemudian
dijadikan sebuah korelasi yang didasari oleh persepsi objektif sehingga
mampu memunculkan pemahaman yang memiliki citra atau makna
holistik dari proses idrāk „aqlī tersebut.64 Maka penulis bisa memandang
lebih objektif berbagai penafsiran terutama terhadap produk tafsir yang
tidak sesuai dengan tujuan serta maksud dari ayat mengenai kesaksian
perempuan.
Kedua, kesaksian perempuan ditinjau dari aspek holistik menafikan
adanya pemahaman-pemahaman yang bersifat parsial serta klaim sepihak
seperti mengasumsikan ayat kesaksian perempuan dua berbanding satu
sebagai ayat yang disinyalir misoginis. Dalam fitur ini, ayat tentang
kesaksian perempuan tidak hanya dibangun oleh argumen yang didasari
dalil individu melainkan dengan menempuh metodologi tematik
(maudhu‟ī) pula, sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang utuh.65
Setelah mengaplikasikan teori sistem ini, maka kesaksian perempuan dua
berbanding satu sejatinya bukan untuk membedakan status kesaksian
antara perempuan dan laki-laki tetapi lebih tepatnya merupakan
kesesuaian syari‟at berdasarkan kemumpunian dari subjek yang hendak
diamanahi untuk dijadikan sebagai seorang saksi.
Ketiga, kesaksian perempuan ditinjau dari aspek keterbukaan.
Maksud dari pengaplikasian fitur ini dalam melakukan analisis, penulis

64
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 95-96. Lihat juga Badr al-Din
al-„Aini, „Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, juz 2, 52.
65
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 96-97.
92

lebih bersifat terbuka terhadap pemikiran-pemikiran ulama baik ulama


konservatif ataupun progresif. Prinsip ini sebagaimana ditanamkan oleh
Auda melalui kritikannya kepada para pemikir Islam yang terlalu fanatik
serta menafikan khibrah (pengalaman) manusia yang padahal turut
memengaruhi kognisi dari masing-masing individu. Sehingga fungsi dari
fitur ini menjadikan ayat mengenai kesaksian perempuan tetap relevan
tanpa harus ada asumsi-asumsi saling menyalahkan di antara para
mufassir. Implikasi inilah yang dijelaskan Auda sebagai sebuah sistem
terbuka yang mempunyai kemampuan meraih tujuan-tujuan yang sama
dari kondisi awal yang berbeda melalui alternatif-alternatif valid yang
setara.66
Keempat, kesaksian perempuan ditinjau dari aspek saling terkait.
Pada fitur ini, penulis mengkaitkannya dengan jangkauan Maqāṣid yang
dilakukan oleh Jasser Auda yaitu maqāṣid umum (al-Maqāṣid al-
„Ammah), maqāṣid khusus (al-Maqāṣid al-Khaṣṣah), dan maqāṣid parsial
(al-Maqāṣid al-Juz‟iyyah). Maqāṣid umum yaitu maqāṣid yang dapat
diperhatikan secara keseluruhan. Kesaksian perempuan termasuk kedalam
Maqāṣid al-„Ammah sebagai bentuk aktualisasi dari nilai fitrah, maslahah,
universalitas hukum Islam, dan al-Musāwah. Adapun kajian kesaksian
perempuan sendiri lebih spesifik dibahas pada Maqāṣid al-Khaṣṣah yakni
tentang maqāṣid dalam persaksian dan putusan yang kemudian dapat
memanifestasikan nilai dari maqāṣid secara parsial berupa terwujudnya
hak setiap individu khususnya ketika di depan pengadilan. Hal ini berlaku
bagi seluruh masyarakat, bangsa, dan negara, karena jangkauan maqāṣid
dalam fitur hirarki Jasser Auda merangkul semua kalangan dengan
memperluas dimensi cakupan orang yang dijangkau.

66
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 98.
93

Kelima, kesaksian perempuan ditinjau dari aspek multi-dimensional.


Implikasi dari fitur ini terhadap ayat tentang kesaksian perempuan yaitu
akan ditinjau dari berbagai aspek. Pembahasan ini kemudian mengkaji
dimensi qaṭ‟i untuk memperluas jangkauan argumen serta dimensi ẓanni
ayat tentang kesaksian perempuan untuk menyelesaikan dan mengurai
berbagai argumen yang spekulatif. Berkaitan dengan dalil-dalil qaṭ‟i
dilakukan dengan merujuk kepada al-Qur‟an dan Sunnah sebagai
landasan, sedangkan dalil-dalil ẓanni berdasarkan interpretasi ulama
dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh ulama
sebelumnya ketika terjadi perbedaan pendapat
(ikhtilaf). Meskipun dalam kajian ini sudah selesai dibahas melalui
hipotesa bahwa perdebatan yang dimunculkan atas topik kesaksian
perempuan merupakan tanāqud manṭiqi sebagaimana dipaparkan oleh
Jasser Auda dalam pembahasan metode konsiliasi (al-Jam‟ baina al-
Adillah).67
Keenam, kesaksian perempuan ditinjau dari aspek kebermaksudan.
Fitur terakhir ini merupakan common link yang menghubungkan antara
semua fitur yang ditawarkan Jasser Auda. Hal ini diungkapkan karena
pada dasarnya efektivitas suatu sistem bisa diukur berdasarkan tingkat
pencapaian dari tujuan tersebut. Setelah penulis mencoba untuk
mengelaborasi topik ini, maka pembahasan tentang kesaksian perempuan
tidak hanya bertujuan untuk hifẓ al-„Ird sebagai penjaga hak kehormatan
serta melindungi martabat manusia. Tujuan dari ayat tentang kesaksian
perempuan juga bertujuan hifẓ al-„Aql, supaya para cendekiawan lebih
terbuka dalam mengkaji suatu permasalahan, tidak stagnan, dan tidak
hanya memahami secara parsial, sehingga akal dapat difungsikan secara
rasional dan produktif. Selain itu, apabila ditinjau secara umum lagi maka

67
Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah, 104.
94

maqāṣid dari kesaksian (syahādah) dalam Islam jika dikaitkan dengan


tingkatan Ḍarūriyyāt Maqāṣid (hierarchy of needs) akan menjadi penguat
setiap Maqāṣid tersebut tergantung kepada kasus yang hendak
dipersaksikan.
Selain itu, berkenaan dengan poin al-Maqāṣid yang ditawarkan
Jasser Auda untuk pembaharuan Islam kontemporer salah satunya yaitu
terkait tujuan dan sarana dari suatu ayat. Maka, adanya penetapan peran
perempuan dalam proses mua‟amalah bertujuan untuk mengakhiri
persepsi tradisional tentang perempuan. Hal ini ditempuh dengan cara
memasukan perempuan ke dalam golongan saksi-saksi sebagai sarana
untuk mengantarkan kepada suatu tujuan yakni penetapan gagasan
mengenai kesetaraan.68
Tabel 4.5
Teori Sistem Jasser Auda terhadap Kesaksian Peempuan
Teori
Pendekatan Aplikasi terhadap
No Isi
Sistem Jasser Kesaksian Perempuan
Auda
1. Kognisi Pemikiran sebagai Landasan Ijtihad sebagai
hasil dialektika langkah awal memfilter
antara subjek dan penafsiran.
realitas yang
dihadapinya,
berfungsi
menengahi antara
pandangan realis

68
Jasser Auda, Maqāsid al-Syarī‟ah Dalīl li al-Mubtadiīn (London: al-Ma‟had Ali
li al-Fikr al-Islami, 2011), 80-81.
95

dan nominalis.
2. Holistik Meninjau suatu Landasan bersama antar
hal secara utuh Mazhab dengan
sehingga terhindar menyisipkan metode
dari pemahaman maudhu‟I (tematik).
parsial.
3. Keterbukaan Mendasari Landasan universal
pemikiran dengan maqashid sehingga
sistem terbuka dan menafikan fanatisme dan
dinamis. asumsi-asumsi saling
menyudutkan di antara
mufassir. Maka langkah
selanjutnya dari poin ini,
pentingnya melakukan
reinterpretasi ulang dengan
mempertimbangkan
konteks budaya yang
berlaku pada saat ayat
tentang kesaksian
perempuan diturunkan
karena al-qur‟an shalih li
kulli zaman wa al-makan.
4. Keterkaitan Mengkritisi Memperbaiki jangkauan
klasifikasi dan subjek maqāṣid.
maqāṣid
tradisional karena
fitur ini memiliki
efek saling terkait
96

antar berbagai hal,


sehingga
berimplikasi
kepada pembagian
dasar klasifikasi
maqāṣid klasik.
5. Multi- Memandang suatu Melakukan tinjauan terkait
dimensional hal dari berbagai kasus kesaksian perempuan
aspek. sehingga mampu
menengahi problem
kontradiksi.
6. Kebermaksudan Aktualisasi Mengintegrasikan antara al-
seluruh fitur yang Wasāil (sarana) dan al-
kemudian Ghāyah (tujuan).
menghasilkan poin
Maqāṣid.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kedudukan saksi dalam suatu akad atau transaksi sangat penting,


bahkan al-Qur‟an memerintahkan pihak-pihak yang terkait dengan sebuah
akad atau transaksi untuk menghadirkan saksi. Nilai kesaksian laki-laki
dan perempuan dalam al-Qur‟an adalah dua orang perempuan sama
dengan satu orang laki-laki. Ketentuan kesaksian perempuan berjumlah
dua orang sebagai pengganti satu orang laki-laki dalam naṣ, tidak
dimaksudkan untuk mendiskriminasi perempuan yang bertentangan
dengan keadilan dan kemaslahatan serta menunjukkan ketidaksetaraan
yang menjadi prinsip syari‟at. Adapun pensyariatan kesaksian (syahādah)
dalam Islam diformulasikan untuk merawat dan mengatur masyarakat
Islam, menjaga kepentingan mereka, menjaga hak-hak mereka, dan
mengendalikan transaksi mereka. Sehingga tujuan syari‟ah terkait masalah
dua saksi perempuan yakni berupa kemudahan (al-Taisīr) dalam
bertransaksi apapun dengan melibatkan perempuan di dalamnya.
Dimensi-dimensi maqāṣid baru yang ditawarkan Jasser Auda
khususnya terkait kesaksian perempuan atau diistilahkan dengan term
syahādah dalam Islam meliputi:
1. Jangkauan maqāṣid: al-Maqāṣid al-„Ammah dari kesaksian
perempuan berupa kemudahan, keadilan, keteraturan, kesetaraan,
dan fitrah; Sedangkan al-Maqāṣid al-Khaṣṣah berupa pensyari‟atan
syahādah itu sendiri yang diobservasi dari isi bab hukum Islam; Dan
sasaran poin al-Maqāṣid al-Juziyyah dari kesaksian perempuan
adalah pengakuan atas eksistensi perempuan di ranah publik,
kesetaraan, dan juga profesionalisme dalam kesaksian.

97
98

2. Jangkauan subjek maqāṣid dalam kesaksian perempuan merupakan


bentuk reformasi dan pembaruan atas hak-hak perempuan, sehingga
terwujudnya maqāṣid hifẓ al-„Ird yang termanifestasikan dengan
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan lebih bermartabat.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil telaah yang dilakukan, penulis


menemukan lacuna yang perlu dielaborasi kembali sebagai bentuk
kekurangan dari penelitian ini di antaranya sebagai berikut:
1. Kajian mengenai maqāṣid dan kesaksian sangat luas pembahasannya
sehingga memungkinkan untuk dikaji lebih lanjut lagi dengan
berbagai metode dari beragam tokoh-tokoh maqāṣid.
2. Metodologi yang ditawarkan Jasser Auda melalui system approach
dengan bertumpu kepada Tafsīr Maqāṣidī sangat menarik tetapi
belum memiliki alur tahapan yang jelas terkait metodologinya,
sehingga bisa dijadikan bahan kajian oleh peneliti selanjutnya.
Namun formulasi gagasan dalam menyelesaikan suatu
permasalahan yang ditawarkan Auda, melihat banyaknya
problematika masyarakat sekarang yang memerlukan
pengelaborasian dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an untuk
meminimalisir permasalahan tersebut tentunya menjadikan poin-
poin dari pendekatan sistem ini bisa diaplikasikan ulang, semisal
membahas maqāṣid dalam hukum kekeluargaan, transaksi, atau
dalam menanggapi isu-isu global seperti topik tentang gender serta
budaya patriarki berdasarkan tinjauan maqāṣid, dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

„Abd al-Karīm Zaydān. al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh. Kairo: al-Risalah, t.th.

Abdul Qadir „Audah. al-Tasrī‟ al-JināI al-Islāmi. Beirut: Muassasah al-


Risālah, 1997.

Abdul Wahhāb Khallāf. „Ilm Uṣūl al-Fiqh. t.th.

Abdullah, Amin. Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan:


Pendekatan Filsafat Sistem dalam Ushul Fiqh Sosial. Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2008.

al-„Ainī, Badr al-Dīn. „Umdah al-Qārī Syarh Ṣḥaḥīḥ al-Bukhāri. Beirut:


Dār Iḥyā‟ al-Turāts al-„Arābī, t.th.

al-Aṣfahānī, Al-Husain ibn Muhammad Al-Rāghib. al-Mufradāt fī Garīb


al-Qur‟an. Lebanon: Dar al-Ma‟rifah, tth.

Aqraminnas, Dayu. “Kontribusi Jasser Auda dalam Kajian al-Qur‟an:


Interpretasi Berbasis Sistem”. Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin.
Vol. IV, No. 2 (2018): 125-144.

Asriaty, Nur. “Kontroversi Kesaksian Perempuan anatar Makna Normatif


dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”. Jurnal Yudisia.
Vol. 7, No. 1 (Juni 2006): 175-198.

Auda, Jaseer. Maqāṣid al-Syarī„ah Dalīl li al-Mubtadiīn. Beirut:


Maktabah al-Tauzī‟ fī al-„Ālam al-„Arabi‟, 2011.

-------. Maqāṣid al-Syarī„ah as Philosophy of Islamic Law A System


Approach. London: The International of Islamic Thaught, 2008.

-------. Fiqh al-Maqāṣid: Ināṭah al-Ahkām al-Syar‟iyyah bi Maqāṣidihā.


London: International Institute of Islamic Thought, 2006.

-------. Maqāṣid al-Syarī„ah ka Falsafah li al-Tasyri‟ al-Islami: Ru‟yah


Manzumiyyah 2012.

-------. Maqāṣid al-Syarī„ah wa Tajdid al-Fiqh al-Islām al-Mu‟āṣir.


Oktober 2020.

99
100

-------. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid al-Syari„ah.


Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015.

-------. Naqd Naẓariyyah al-Naskh Bahtsu fi Fiqh al-Maqāṣid al-Syari‟ah.


Beirut: al-Syabakah al-„Arabiyyah li al-Abhats wa al-Nasyr, 2013.

al-Baiḍawī. Tafsīr al-Baiḍawī. Kairo: Dār al-Miṣriyyah. t.th.

al-Dimyaṭī. I‟ānah al-Ṭālibīn. Semarang: Taha Putra. t.th.

Departemen Pendidikan budaya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:


Balai Pustaka, 1988.

Djalil, A. Basiq. Peradilan Islam, Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2012.

Ferdiansyah, Hengki. Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda. Ciputat:


Yayasan Pengkajian Hadis al-Bukhori, 2018.

Ghazali, Abdul Moqsith. “Bumi Manusia dalam al-Qur‟an”. Jurnal


Ulumul Qur‟an. Vol. 1, No. 221 (2012): 69.

al-Gazālī, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad. al-Mustasyfā fi Ilm


Uṣūl. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993.

-------. al-Wasīṭ fī al-Mazhab . Kairo: Dār al-Salām 1417 H.

Ibn „Asyur, Muhammad Tahir Ibn „Asyur. Maqāṣid al-Syarī‟ah al-


Islāmiyyah. Beirut: Dar al-Kitab, 2011.

-------. Maqāṣid al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah. Qatar: Wizārah al-Auqāf wa


asy-Syu‟ūn al-Islāmiyyah, 2004.

al-Harasi, Kiya. Tafsīr Ahkām al-Qur‟ān. t.th.

Ibn „Arabi. Ahkam al-Qur‟an. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003.

Ibn al-Qayyim, Syamsuddin. I‟lam al-Muwaqqi‟īn. Beirut: Dar al-Jil,


1973.

Ibn Fāris, Abu Husain Ahmad Ibn Zakariya. Mu‟jam Maqāyis al-Lugah.
Beirut: Dār al-Fikr, tth.

Ibn Hazm. al-Muḥallā. Beirut: Dār al-Fikr. t.th.


101

Ibn Katsīr, Abū al-Fidā Ismā‟īl. Tafsīr al-Qur‟an al-„Aẓīm. Qahirah:


Maktabah Awlād al-Syaikh al-Turats, 2000.

Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad. Bidāyah
al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid. Kairo: Dār al-Hadis, 2004.

Ibnu Manẓūr, Jamāl al-Dīn Muhammad ibn Makram. Lisan al-„Arab .


Kairo: Dār al-Miṣriyah, t.th.

Imām al-Tirmiẓi. Sunan al-Tirmiẓi. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī.

Imam Feisahl Rauf. Islam Amerika, terj: Zulkarnaen Ishak. Bandung:


Mizan, 2013.

al-Khudari Bek, Muhammad. Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami. Beirut: Dar al-


Fikr, 1967.

Kusmana. “Epistemologi Tafsir Maqāṣidī”. Jurnal Mutawatir. Vol. VI,


No. 2 (2016): 223.

Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyah. al-Mu‟jām al-Wasīt. Mesir, Dār al-


Ma‟ārif, 1392 H/1972 M.

Muhammad Anis Qasim Ja‟far. al-Huquq al-Siyasiyyah li al-Mar‟ah fi al-


Islam wa al-Fikr wa Tasyri‟ al-Mu‟asir. Dār al-Naḥḍah al-
„Arabiyah, 1998.

Muṣṭafā Zaid. al-Maslahah fī al-Tasyri‟ al-Islāmi . Cairo: Dār al-Fikr al-


„Arabi, 1964.

Mustaqim , Abdul. Argumentasi Keniscayaan Tafsir maqashidi Sebagai


Basis Moderasi Islam, 2019.

-------. Metode Penelitian Al-Qur‟an dan Tafsir. Yogyakarta: Idea Press,


2014.

Muzdalifah, Eva. “Hifẓ al-Nafs dalam al-Qur‟an: Studi dalam Tafsir Ibn
„Asyur”. Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2019.

Nafiẓ Husain Hammad. Mukhtalif al-Hadis baina al-Fuqaha‟ wa al-


Muhadditsin. Damaskus: Dar al-Nawadir, 2012.

Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.


102

Nūr al-Dīn al-Khādimī. al-Maqāṣid al-Syari‟āh: Ta‟rīfuhā, Amtsilatuhā,


Hujjiyyatuhā. Riyad: Eshbelia, 2003.

al-Qurṭubī. al-Jamī‟ li Aḥkām al-Qur‟ān. Beirut: Dār al-Syabāb, 1372 H.

-------. al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an. Kairo: Dar al-Hadis, 2002.

al-Raisūnī, Ahmad. Nazariyyāt al-Maqāṣid „inda al-Imām al-Syāṭibī.


Riyad: al-Dar al-Alamiah lilkitab al-Islami, 1995.

al-Raisūnī, Ahmad. al-Kulliyat al-Asasiyyah li Syari‟ah al-Islamiyyah .


Kairo: Dar al Kalimah, 2009.

-------. Maqāṣid al-Maqāṣid al-Ghāyah al-Ilmiyyah wa „Amaliyyah li


Maqāṣid al-Syari‟āh. Beirut: al-Syabakah al-Arabiyyah lil Abhats
wa Nazhr, 2013.

al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. al-Mahṣūl fī „Ilm Uṣūl. Muassasah al-Risālah, 1997.

Riḍā, Muhammad Rasyid. Huqūq al-Nisā fī al-Islām. Beirut: Maktabah


al-Islamiyyah, 1404 H.

-------. Tafsir al-Qur‟ān al-Hakīm . Kairo: Dār al-Manār, 1365 H.

Rusmana, Dadan. Metode Penelitian al-Qur‟an dan Tafsir. Bandung:


Pustaka Setia, 2015.

Sa‟id,„Abd al-Sattar Fathullah. al-Madkhal ila Tafsīr al-Mauḍū‟ī.


Madinah: Dar al-Tauzi‟ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, t.th.

al-Ṣābūnī. RawāI‟ al-Bayān. t.th.

Sahabuddin, Ensiklopedi al-Qur‟an . Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Shihab, M. Umar. Kontekstualitas Al-Qur‟an Kajian Tematik atas Ayat-


ayat Hukum dalam Al-Qur‟an. Jakarta: Penamadani, 2005.

-------. Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.

-------. Tafsir dan Pemasyarakatan Al-Qur‟an. Jurnal Suhuf. vol. 1, No. 1


(2008): 1-8.
103

al-Siddiqy, Hasby. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang:


Pustaka Rizki Putra, 1997.

al-Suyūṭi, Jalāl al-Dīn „Abd al-Rahman. al-Asybah wa al-Nazair fi


Qawaid wa Furu‟ Fiqh al-Syafi‟I. Beirut: Dar al-Kitab al-
„Alamiyyah, 1983.

al-Sya‟rawi, Muhammad Mutawalli. Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah. al-


Maktabah al-Taufiqiyah.

al-Syafi‟i. al-Umm. Beirut: Dār al-Fikr, 1990.

al-Syalabī. Jawāhir al-Hisān fi Tafsir al-Qur‟an. t.th.

Syaikh Muhammad al-Azim. Syarh Sunan al-Tirmiẓi. Kairo: Dār al-Hadis,


2001.

Syalṭūt, Mahmūd. al-Islām „Aqidah wa Syari‟ah, cet 3. Dār al-Qalām,


1966.

al- Syaṭibī, Ibrahim ibn Musa. al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī‟ah.

al-Syaukanī, Muhammah ibn „Alī ibn Muhammad. Fath al-Qadir al-


Jāmi‟ baina Fanni al-Riwāyah wa al-Dirāyah min „Ilm al-Tafsīr .
Beirut: Dār al-Fikr, tth.

-------. Nail al-Auṭār. Beirut: Dār al-Jīl, 1973.

Wasfi Asyur, Abu Zaid. Nahwu al-Tafsīr al-Maqāṣidī li al-Qur‟ān al-


Karīm Ru‟yah Ta‟sisiyyah li Manhaj Jadid fi Tafsīr al-Qur‟an.
Ribath: Mutafakkarun, tth.

Wathani, Syamsul. “Konfigurasi Nalar Tafsir Maqashidi”. Jurnal Suhuf.


vol.9, no. 2 (Desember 2016): 293-320.

Zahir ibn Awwad al-Ma‟I. Dirasat fi Tafsir al- Maudhu‟I li al-Qur‟an al-
Karim. Riyad: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wataniyyah Atsna‟ al-
Nasyr, 2008.

Zain al-Bahr. al-Raqāiq Syarh Kanz al-Daqāiq. Beirut: Dār al-Ma‟rifah.

Zaitunah Subhan. Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir al-
Qur‟an. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1999.
104

al-Zuhaili, Wahbah. Al-Tafsīr al-Munīr fi al-„Aqīdah wa al-Syarī‟ah wa


al-Manhaj. Damaskus: Dār al-Fikr, 2009.

al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam Wa Adillatuh. Damaskus: Dār al-Fikr,


1984.

Anda mungkin juga menyukai