Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KONSEP BEDAH MAYAT (OTOPSI)

Dosen Pembimbing : Dr. Drs. Abd. Azis Wahab, M.Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 6

1. Muhammad Misbahul Munir (14201.12.20028)


2. Ahnaf Zidane Listianto Efendy (14201.12.20002)
3. Fajar Nugraha Indra Wardana (14201.12.20010)
4. Tri Sultan Karimullah (14201.12.20044)
5. Dimas Eka Saputra (14201.12.20008)
6. Najmuddin Naufal (14201.12.20029)

PRODI SARJANA KEPERAWATAN STIKES HAFSHAWATY

PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG

PAJARAKAN PROBOLINGGO

2022 – 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga makalah dengan judul “Konsep Bedah Mayat/Otopsi” ini
dapat diselesaikan tepat waktu. Semoga shalawat serta salam tercurah limpahkan
kepada Nabi kita Muhammad SAW, juga segenap keluarga, dan para sahabatnya.
Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. KH. Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah, SH, MM. selaku Pembina
Yayasan Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo.
2. Dr. H. Nur Hamim, S.KM., S.Kep.Ns., M.Kes selaku Ketuan STIKes
Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo.
3. Ibu Shinta Wahyusari, S.Kep.Ns., M.Kep, Sp.Kep.Mat selaku Kepala Prodi
Sarjana Keperawatan STIKes Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan
Probolinggo.
4. Bapak Dr. Drs. Abd. Azis Wahab, M.Ag.selaku Dosen Pengampu Mata
Kuliah Agama Islam V (Fiqih Kesehatan).
5. Orang tua selaku pemberi dukungan moral dan material.
6. Rekan – rekan STIKes Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo
semester IV.
Karena tanpa dukungan dan bimbingan beliau makalah ini tidak akan
terselesaikan. Seiring doa semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada
saya mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Harapan penulis,
semoga makalah ini dapat bermanfaat baik untuk diri sendiri dan para pembaca
untuk dijadikan referensi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

Probolinggo, 25 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR..................................................................................2

DAFTAR ISI.................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................4

Latar Belakang....................................................................................4
Rumusan Masalah...............................................................................5
Tujuan ................................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................7

Pengertian bedah mayat......................................................................7


Motivasi bedah mayat.......................................................................10
Hukum pembedahan mayat...............................................................12
Dassar dasar pembedahan mayat......................................................16
Hukum bedah mayat berdasarkan islam...........................................18

BAB III PENUTUP.....................................................................................22

KESIMPULAN.................................................................................22
SARAN.............................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................23

BAB I

3
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna,
memiliki kelebihan akal serta kecerdasan yang tidak dimiliki oleh
makhluk Tuhan lainnya., Kecerdasan adalah salah satu anugerah yang tak
ternilai harganya oleh apapun. Dengan akal tersebut manusia bisa
memahami dan meneliti alam semesta sehingga mereka dapat melakukan
perubahan yang sangat pesat pada dunia ilmu pengetahuan sains dan
teknologi, termasuk dalam dunia ilmu Kedokteran.
Ilmu kedoteran telah banyak melakukan berbagai macam cara
untuk menemukan penemuan-penemuan baru dalam dunia kedokteran dan
salah satunya adalah Otopsi, dimana ilmu kedoteran dapat melihat
bagaimana anatomi tubuh manusia dan mengetahui sebab akibat penyakit
yang ada pada manusia yang membuatnya berujung pada kematian.
Anatomi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang struktur tubuh manusia, sebagaimana Allah swt telah
menyiapakan dan menyusun anggota tubuh yang akan melengkapi
keperluan hidup manusia nantinya. Dia jadikan kepala yang dilengkapi
dengan pendengaran, penglihatan hidung, mulut, dan anggota tubuh
lainnya. (Andi Tihardimoto, 2011)
Seiring dengan perkembangan zaman modern dengan segala
problematikanya, menurut para ahli bidang hukum Islam untuk mengiringi
laju pembangunan dibidang pemikiran dan kebudayaan yang sering kali
perkembangan moderenisasi meliputi bidang-bidang sosial politik,
ekonomi, kesehatan, serta pengembangan alat-alat produksi maupun
teknologi melaju lebih cepat dari solusi pemikiran yang dapat
disumbangkan dalam bidang hukum Islam. (Gibtiah, 2016)
Ketika Islam mencapai kejayannya, studi anatomi dikembangkan
para saintis muslim. Para ilmuan Muslim tak hanya mempelajari buku-
buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, namun juga
mengembangkan, mengkritisi serta menemukansesuatu yang baru dalam
studi anatomi.Ilmuan Masyhur bernama Abu Bakar Muhammad Ibnu
4
Zakariya Razi atau Al-Razi (865 M-925 M) berhasil mematahkan teori
humorism yang dikemukakan oleh Galen. Dan Ibnu Zuhr atau Avenzoar
(1091 M-1161 M) adalah salah seorang dokter muslim perintis yang
melakukan pembedahan manusia dan bedah mayat postmortem. (Andi
Tihardimoto, 2011)
Praktek bedah mayat belum pernah terjadi pada zaman klasik
Islam. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kini ilmu
pengetahuan dan teknologi berhasil menciptakan penemuan-penemuan
baru. Keberhasilannya ditopang oleh penemuan teknologi di bidang
Kedokteran untuk keperluan medis dan nonmedis. Ditinjau dari aspek
hukum tampaknya tidak ditemukan dalil nash baik Al-quran maupun
Hadits yang secara jelas memutuskan tentang hukum bedah mayat
tersebut. (Sapiudin, 2016)
Oleh karena itu, bedah mayat/otopsi termasuk kedalam wilayah
ijtihad.Yang dimana ijtihad adalah sebuah hasil pemikiran. Diantaranya
dengan cara analogi atau melalui penalaran prinsip-prinsip ajaran Islam
dengan memperhatikan dan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan
terkait dengan keharusan memuliakan hak orang yang masih hidup dan
hak orang yang sudah mati.4 Agar tidak ada seseorang pun yang dapat
melakukan hal-hal diluar dari apa yang diinginkan dan
menyalahgunakannya maka perlu adanya penalaran prinsip-prinsip ajaran
Islam didalamnya.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat mengambil
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian bedah mayat?
2. Apa motivasi dari bedah mayat?
3. Bagaimana hukum dari pembedahan mayat?
4. Apa saja dasar-dasar pembedahan mayat?
5. Apa saja hukum bedah mayat berdasarkan islam?

5
C. TUJUAN DAN MANFAAT
a. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka makalah ini memiliki
tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dari bedah mayat.
2. Untuk mengetahui motivasi dari bedah mayat.
3. Untuk mengetahui hukum dari pembedahan mayat.
4. Untuk mengetahui dasar-dasar pembedahan mayat.
5. Untuk mengetahui hukum bedah mayat berdasarkan islam.
b. Manfaat
1. Bagi Institusi Pendidikan
Agar mengetahui sejauh mana kemampuan mahasiswa dalam
memahami tentang konsep bedah mayat (otopsi). Serta sebagai
bahan mata ajar dalam proses belajar mengajar di Institusi.
2. Tenaga Kesehatan (Perawat)
Agar mengetahui tentang konsep bedah mayat (otopsi) dengan
benar mengaplikasikannya dalam dunia kerja, serta dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di masyarakat.
3. Mahasiswa
Menambah wawasan teori kepada mahasiswa tentang konsep bedah
mayat (otopsi) sehingga nantinya mereka dapat mengetahui
bagaimana atau apa yang seharusnya mereka lakukan ketika
berjumpa dengan klien yang sudah meninggal.

BAB II

6
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN BEDAH MAYAT


Jenazah (Mayat atau Jasad) adalah orang yang telah meninggal
dunia, penggunaan jenazah dizini ialah bedah mayat. Secara etimologi
bedah mayat adalah pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau
meniris bagian tubuh seseorang yang sakit atau operasi. Dalam bahasa
arab dikenal dengan istilah Al- Jirabah yang berarti melukai, mengiris,
atau operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter arab dikenal dengan
istilah at tashrib jutsasil al mauta.
Dalam bahasa inggris dikenal istilah autopsy yang berarti
pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab
kematiannya. Sedangkan secara terminology dalam ilmu kedokteran bedah
mayat adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk
alat-alat organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam setelah dilakukan
pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian
seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab
misteri suatu tindak criminal (Sugono,2008 dalam muhammad hatta,
dkk:2019).
Ditinjau dari aspek tujuannya, bedah mayat (autopsi) dapat dibagi
dalam tiga kelompok, yaitu (Amir, 2019: 36) :
1. Autopsi anatomis
Adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori
yang di peroleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan
lainnya sebagai bahan praktikum tentang teori ilmu urai tubuh
manusia (anatomi) guna memperkenalkan perwujudan anatomi
kepada mereka. Dengan adanya autopsi ini mahasiswa dan
mahasiswi dapat belajar dan juga memahami struktur juga sistem
kendali tubuh atau organ pada manusia.
Autopsi anatomi adalah autopsi yang dilakukan oleh
mahasiswa dibawah bimbingan langsung pakar dokter anatomi di
laboratorium fakultas kedokteran. Disiplin ilmu ini bertujuan untuk
mengetaahui berbagai jaringan dan susunan tubuh manusia. Sarjana
7
kedokteran harus mengetahui organ dan jaringan tubuh manusia
melalui proses pembelajaran disiplin ilmu ini. Pada mulanya tubuh
manusia yang digunakan untuk melakukan autopsi adalah jasad yang
tidak bernyawa yang berasal dari korban kecelakaan dan jasad dari
koban kejahatan.
Untuk mendukung proses pembelajaran dibidang ilmu
anatomi, fakultas kedokteran di Indonesia banyak menggunakan
jasad yang sudah diawetkan. Dalam hal ini yang digunakan adalah
jasad yang tidak diketahui ahli warisnya atau seseorang yang sejak
semula telah memberikan persetujuan supaya kelak ketika ia
meninggal dunia maka tubuhnya dapat digunakan untuk kepentingan
pengembangan ilmu kesehatan dengan membuat surat persetujuan
secara tertulis. Autopsi anatomi dapat dilakukan di rumah sakit
pendidikan, dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahliannya dan
mayat harus diawetkan terlebih dahulu.
Jenis autopsi ini biasanya dilakukan oleh mahasiswa
kedokteran untuk mempelajari susunan alat-alat dan jaringan tubuh
manusia dalam keadaan sehat. Jenis autopsi ini dilakukan dalam
bangsal anatomi di bawah pengawasan dari dokter ahli anatomi.
(Kastubi, 2016)
2. Autopsi Klinis
Adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di
rumah sakit setelah mendapat perawatan yang cukup dari para
dokter. Autopsi ini ditujukan guna mempelajari suatu wabah atau
penyakit kelainan pada seseorang yang menyebabkan kematian, dari
kematian tersebut peneliti melakukan riset pada penyakit dalam
dunia medis. Hasil dari penelitian itu akan digunakan guna
memperbaiki kualitas pengobatan di masa depan.
Dalam menjalankan autopsi klinis biasanya dilakukan
pemeriksaan secara lengkap, misalnya pemeriksaan bakteriologi,
histopatologi, serologi, mikrobiologi, toksikologi, dan lain
sebagainya. Penemuan jenis-jenis penyakit dan terapi yang

8
dilakukan berkat hasil autopsi klinis yang telah dijalankan diberbagai
rumah sakit dari dahulu hingga sekarang. Disiplin ilmu ini
memberikan konstribusi yang besar kepada pengembangan ilmu
kedokteran secara luas. Autopsi klinis baru bisa dijalankan apabila
mendapat izin dari ahli waris korban. Namun, autopsi dapat lakukan
begitu saja sekiranya pasien menderita penyakit menular yang dapat
membahayaka khalayak ramai.
3. Autopsi Forensik
Adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan
mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi,
misalnya dugaan pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan lain-
lain. Autopsi forensik atau disebut juga dengan bedah mayat
kehakiman. Autopsi ini terdengar begitu sering dalam dunia
kriminal, disebabkan kematian yang tidak wajar pada seseorang.
Autopsi forensik sendiri hanya boleh dilakukan atas permintaan
pihak kepolisian atau kehakiman atau oleh pihak-pihak berwajib
yang berkaitan untuk memastikan sebab kematian seseorang.
Disamping untuk menentukan sebab kematian pada seseorang,
hasil dari autopsi tersebut digunakan untuk mengetahui identitas
dari korban. Dengan demikian autopsi ini sangat penting sekali
dalam pembuktian suatu kasus kematian tidak wajar.
Melalui pemeriksaan dan hasil autopsi forensik, diharapkan
penegak hukum mendapatkan bukti atau jawaban terhadap perkara
yang sedang ditanganinya. Tujuan pembuktian melalui autopsi
forensik untuk menemukan “kebenaran materiil” sehingga dapat
mewujudkan kebenaran dan keadailan bagi para pihak yang
berperkara. Dalam menjalankan tugasnya, dokter forensik harus
bekerja secara professional karena hasil pemeriksaannya akan
menentukan seseorang bersalah ataupun tidak di dalam proses
peradilan nantinya.
Autopsi ini adalah autopsi atas permintaan dari pihak yang
berwajib (Kepolisian/Penyidik). Penyidik akan meminta

9
dilakukanya autopsi dengan terlebih dahulu memberikan suatu
permintaan yang disebut surat permintaan Visum et Repertum
(V.e.R) atas jenazah.(Kastubi, 2016)
Dari beberapa pengertian diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa
bedah mayat adalah suatu tindakan pembedahan, melukai, atau mengiris
yang dilakukan pada bagian tubuh mayat dengan tujuan untuk suatu
pemeriksaan baik untuk kepentingan ilmu kesahatan sebagai bahan
praktikum ataupun tindakan kriminal.

2.2 MOTIVASI DARI BEDAH MAYAT


Ada beberapa motivasi yang melandasi bolehnya dilakukan
pembedahan mayat bagi orang yang sudah meninggal dunia berdasarkan
hukum Islam dan Ilmu kedokteran yang tidak jauh berbeda, antara lain
(Nurul Karli, 2019):
a. Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam Rahim
mayat.
Pada prinsipnya, ajaran Islam memberikan tuntunan kepada
umatnya agar selalu berijtihad dalam suatu hal yang tidak ada
nashnya, dengan memberikan pedoman dasar dalam
QS.Al-Hajj/22:78.

Terjemahan :
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang
sebenarbenarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu
sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam

10
(Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan
supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu
pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik
pelindung dan sebaik- baik penolong.” (QS. Al-Haj :78)
b. Untuk mengeluarkan benda yang berharga dalam tubuh mayat.
Beberapa kasus yang sering terjadi di masyarakat, yang
dapat mempengaruhi perkembangan hukum Islam, antara lain;
seseorang yang menelan permata orang lain, sehingga
mengakibatkan ia meninggal. Yang kemudian pemilik permata
tersebut menuntut untuk agar permata itu dikembalikan
kepadanya,tetapi tidak ada cara lain kecuali dengan membedah
perut mayat itu untuk mengeluarkan benda tersebut dari padanya.
c. Untuk kepentingan penegakan hukum
Dalam suatu Negara, diperlukan tegaknya hukum yang
seadil-adilnya untuk digunakan mengatur umat. Dalam hal ini
penegak hukumlah yang lebih bertanggung jawab untuk
menegakkan hukum dengan disertai kesadaran seluruh warga
Negara tersebut. Otopsi untuk pemeriksaan mayat demi
kepentingan pengadilan dengan maksud untuk mengetahui sebab-
sebab kematian seseorang.
d. Untuk keperluan penelitian Ilmu Pengetahuan.
Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu
pengetahuan disegala bidang kehidupan. Oleh karena itu, kita tidak
heran bila para sarjana Muslim di abad pertengahan telah
menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan dengan melalui
karya-karyanya di bidang filsafat, fisika, Bioligi, ilmu Kedokteran,
Ilmu Kesenian, Matematika, Astronomi dan Sebagainya.

2.3 HUKUM DARI PEMBEDAHAN MAYAT

11
Hukum positif di Indonesia juga telah mengatur tentang praktek
bedah mayat yang berkembang dalam ilmu kedokteran, dasar hukum
tentang bedah mayat antara lain :
a. Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana
Bedah mayat untuk tujuan forensik diatur pada pada pasal
133 ayat (1) menjelaskan bahwa penyidik mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan
atau ahli lainnya untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana.
Pengajuan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya seperti
yang tercantum di dalam pasal 133 ayat (1) dikenal juga dengan
istilah Visum et Repertum (V.e.R) sebagaimana tercantum dalam
Staatsblad 1937 Nomor. 350 yaitu suatu keterangan tertulis yang
dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat
dan ditemukan pada benda yang diperiksanya, yang mempunyai
daya bukti yang sah di pengadilan, dan dibuat berdasarkan
pengetahuan sebaik-baiknya.
Pada pasal 133 ayat (2) menyebutkan bahwa Permintaan
keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat. Dalam pasal 133 ayat (2) di atas dijumpai dua istilah
yaitu “pemeriksaan mayat” dan “pemeriksaan bedah mayat”.
Pemeriksaan mayat adalah pemeriksaan bagian luar mayat saja dan
pemeriksaan Bedah mayat adalah pemeriksaan bagian luar dan
bagian dalam mayat atau lazimnya disebut autopsi.
Dalam praktek bedah mayat oleh dokter, patut diperhatikan
etika terhadap mayat, sebagaimana dijelaskan pada ayat (3) yang
menyebutkan bahwa Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran

12
kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara
baik dengan penuh penghormatan, terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap
jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan
mayat.
Lebih lanjut dalam Pasal 134 KUHAP ayat (1)
menjelaskan: dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik
wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
Jika keluarga korban merasa keberatan, maka penyidik harus
menerangkan sejelas-jelasnya tujuan pembedahan tersebut
sebagaimana dijelaskan pada ayat (2). Dan apabila dalam waktu
dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik dapat melaksanakan
penyidikan.
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pada Undang-undang ini, bedah mayat diatur pada bagian
ke delapan belas. Pada pasal 118 dijelaskan bahwa mayat tak
dikenal harus dilakukan upaya identifikasi. Tanggung jawab
identifikasi ini dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau
masyarakat.
Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan
pelayanan kesehatan sebagaimana dijelaskan pada pasal 119, dapat
dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit, yang bertujuan untuk
menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab
kematian, atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau
persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.
Selain bedah mayat klinis, pasal 120 Undang-undang ini
juga mengatur tentang bedah mayat anatomis di rumah sakit
pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran untuk
kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik.
Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang

13
tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya.
Bedah mayat forensik dapat dilakukan untuk kepentingan
penegakan hukum, yang dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau
oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik.
Sebagai pencegahan terhadap tindakan semena-mena
terhadap bedah mayat, maka Pasal 124 menyatakan bahwa
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan
sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
Dalam putusan sidang (Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 6
tahun 2009) MUI tentang fatwa autopsi jenazah, ianya hanya dibolehkan
jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang mempunyai
kewenangan untuk itu saja. Otopsi sebagaimana yang dimaksudkan angka
adalah otopsi tersebebut haruslah memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Otopsi jenazah dilakukan bagi mengetahui penyebab kematian,


untuk pendidikan, penyelidikan hukum atau penelitian kedokteran
saja dan ianya telah ditetapkan oleh orang atau lembaga yang
berwenang dan dilakukan oleh ahlinya.
b. Hanya otopsi satu-satunya jalan keluar bagi memenuhi tujuan
sebagaimana yang telah dimaksudkan.
c. Hak-hak jenazah seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan dan
dikuburkan haruslah segera dipenuhi.
d. Perizinan dari diri si mati sewaktu masih hidup atau dari ahli waris
atau dari pemerintah harus diperoleh sebelum dibenarkan
melakukan otopsi jenazah.
Majelis Ulama Indonesia pada dasarnya mengharamkan otopsi
jenazah karena berdasarkan dalil-dalil kuat yang menyatakan tentang
kemuliaan manusia dan juga melarang untuk merusak kehormatan
seseorang ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Tetapi
kemudiannya MUI membolehkan autopsi dilakukan jika dibenar-benar
dibutuhkan (darurat) dan tidak ada jalan penyelesaian yang lain bagi
memecah masalah melainkan dengan otopsi saja tetapi ianya hanya bias

14
dilakukan oleh pihak yang berwenang dan dengan syarat-syarat tertentu
maka dibolehkan.
Otopsi amat penting dalam membantu pihak pengadilan khususnya dalam
tindak pidana pembunuhan. Karena peran otopsi di pengadilan sebagai
salah satu barang bukti corpus delicti yang sah. Jadi autopsi merupakan
barang bukti yang sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHAP
Pasal 184. Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 ayat,
yaitu:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Terdakwa
5. Petunjuk
Terdapat dua jenis otopsi yang sering digunakan, yaitu otopsi
klinikal dan otopsi medikolegal. Otopsi klinikal dijalankan bagi mencari
punca kematian dan umumnya bagi tujuan pembelajaran dan penelitian.
Kasus-kasus kematian yang seperti ini seperti kasus penyakit mudah
berjangkit atau kematian di rumah sakit itu sendiri. Pihak medis dalam
melakukan autopsi sebelumnya harus meminta ijin dari pihak waris
terlebih dahulu. Manakala otopsi medikolegal adalah otopsi ke atas mayat
yang berkaitan dengan kasus polisi seperti kemalangan, kebakaran,
pembunuhan dan kematian yang diragukan atau tidak pasti sebab
kematiannya.
Meskipun jelas akan kepentingan melakukan otopsi, tetapi masih
lagi terdapat masyarakat yang menolak untuk melakukan otopsi ke atas
mayat keluarga mereka. Adapun penolakan bedah mayat yang dilakukan
oleh kelurga dengan alasan bahwa pelaksanaan bedah mayat bertentangan
dengan ajaran agam Islam. Jika dilihat keputusan oleh Majels
Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Kementerian Kesehatan RI pada
tahun 1955. Adapun fatwa yang dimaksud adalah Fatwa Nomor 4 tahun
1955 yang bunyinya antara lain (Amelia F.R, 2019):

15
1. Bedah mayat itu hukumnya mubah atau boleh untuk kepentingan
ilmu pengetahuan, pendidikan para dokter, dan penegakan
keadilan di antara umat manusia.
2. Membatasi pada kemubahan ini sekadar darurat saja menurut
kadar tertentu saja.

2.4 DASAR-DASAR PEMBEDAHAN MAYAT


Berdasarkan keterangan sebuah hadist bahwa seorang mayat dapat
merasakan sesuatu seperti halnya orang-orang yang masih hidup.
Diriwayatkan ketika seorang sahabat menemukan tulang-tulang
manusia kemudian mematahkan, maka nabi melarangnya. Lalu Rasulullah
saw bersabda:
Artinya : Telah bercerita kepada kami Hisyam bin Umar, berkata : telah
bercerita kepada kami ‘Aziz bin Muhammad al-Dharawardi, telah
bercerita kepada kami Sa’ad bin Said, dari ‘Amrah, dari ‘Aisyah telah
berkata : Rasulullah Saw bersabda : ‚Mematahkan tulang orang yang
telah mati sama mematahkannya hidup-hidup (H.R Ibnu Majjah).
Hadist diatas sering dijadikan dasar penolakan keagaaman terhadap
pemotongan atau pembedahan organ tubuh manusia yang telah mati. Disisi
lain terdapat hak-hak orang yang masih hidup yang perlu di hormati.
Tanpa dilakukan bedah mayat maka hak-hak orang yang masih hidup itu
susah didapati, seperti untuk keperluan penelitian kedokteran, mengambil
barang yang berharga milik orang lain yang terdapat dalam perut si mayat,
atau untuk mengambil barang bukti yang ada dalam perut si mayat untuk
kepentingan penegakan hukum.
Namun, dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang lain dijelaskan
bahwa orang yang telah mati atau berada dalam kubur itu tidak dapat
mendengar. Keterangan ini dapat dilihat dalam surah ar-Ruum/30:52, Al-
Faathir/35:22 dan surah AnNaml/27:80.
Berikut ini salah satu ayat tentang itu dalam QS. Al-Naml/27:80 :

16
Artinya : Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang
mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang tuli mendengar
panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang
mati mendengar” yakni, engkau tidak dapat memperdengarkan sesuatu
yang bermanfaat bagi mereka, demikian juga kafirnya orang yang didalam
hati mereka terdapat penutup dan ditelingsa mereka terdapat sumbat. “Dan
tidak pula menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan,
apabila mereka telah berpaling membelakang” yaitu yang dapat
memperkenankanmu hanyalah rabb yang maha mendengar lagi maha
melihat dengan pendengar dan penglihatan yang memebwa manfaat
didalam hati dan pandangan orang yang tunduk kepada-Nya serta apa yang
dibawa lisan para rasul.
Ayat diatas sudah menjadi alasan bagi mereka yang berpendapat
bahwa orang yang sudah meninggal tidak dapat lagi meresakan apa yang
terjadi pada tubuhnya termasuk jika dipotong organ tubuhnya atau
dibedah. Dengan demikian, kewajiban menghormati orang mati
seharusnya tidak membawa akibat dilarangnya melakukan sesuatu yang
perlu terhadap tubuhnya seprti bedah mayat dan pengambilan sebagian
organ tubuhnya untuk dimanfaatkan.
Adapun landasan hukum dibolehkannya bedah mayat berdasarkan
faktorfaktor yang menjadi alasan seperti yang dijelaskan diatas, antara
lain:
a. Ketentuan hukum tentang pembedahan mayat untuk
menyelamatkan janin
b. Ketentuan hukum pembedahan mayat untuk mengeluarkan benda-
benda berharga dari dalam perut
c. Ketentuan hukum pembedahan mayat untuk kepentingan penegak
hukum

17
d. Ketentuan Hukum Pembedahan Mayat untuk Kepentingan
Penelitian Ilmu Kedokteran

2.5 HUKUM PEMBEDAHAN MAYAT MENURUT ISLAM


Pada prinsipnya Islam tidak melarang sebarang perkembangan
ilmu pengetahuan dan kemajuan dalam apa-apa bidang selagi hanya
memberi manfaat kepada manusia dan tidak bertentangan dengan syara‘.
Malah kepesatan dunia perubatan seiring dengan pembangunan sains dan
teknologi yang boleh menghindar daripada kemudharatan adalah suatu
perkembangan yang didapat dielakkan dan ianya juga merupakan suatu
perkembangan yang positif dan amat digalakkan.
Pada prinsipnya, membedah mayat atau otopsi tidak dibolehkan
tanpa alasan yang benar atau kuat. Pertimbangannya, karena tindakan itu
termasuk tindakan melukai atau menyakiti mayat. Seperti kita tahu,
Rasulullah saw melarang kita menyakiti seorang muslim, baik ketika ia
masih hidup maupun sesudah meninggal dunia. “Mematahkan tulang
mayat sama dengan mematahkan tulang orang hidup.” Demikian kurang
lebih makna hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu
Majah dan bersumber dari Sayyidah Aisyah r.a. Pakar hadis Ibnu Hajar
mengomentari hadis tersebut bahwa kehormatan seorang mukmin tetap
berlaku setelah ia meninggal dunia seperti halnya ketika ia masih hidup.
Dengan berkembangnya teknologi dunia, banyak perkara juga telah
berubah karena perlu menyesuaikan dengan keadaan semasa, antaranya
hokum Islam mengenai otopsi jenazah ini. Walaupun banyak fatwa yang
telah dikeluarkan tentang bolehnya melakukan otopsi tapi masih terdapat
masyarakat yang menolak untuk dilakukan otopsi ke atas mayat terutama
dari kalangan keluarga si mati itu sendiri. Karena, pada pandangan mereka
perbuatan membedah atau melukai mayat merupakan suatu perbuatan yang
boleh merosakkan kehormatan mayat dan juga menyiksa mayat (Abdullah,
dalam Syarah Bulughul Maram Jilid 3).
Perdebatan paling awal di zaman modern dalam fiqh yang terkait
dengan tubuh manusia muncul dalam konteks pembedahan atau

18
pemeriksaan jasad mayat. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
penggunaan jenazah dengan tujuan penelitian ilmiah, berikut ini beberapa
pendapat dan dalil yang tidak membolehkan di antaranya :
1. Taqiyuddin An-Nabhani
2. Muhammad Bukhait Al-Muthi’i
3. Hasan As-Segaf.
Mereka berpendapat haramnya bedah mayat, dengan alasan karena
bedah mayat pada hakikatnya melanggar kehormatan mayat. Operasi
pembedahan mayat adalah salah satu bentuk penghinaan terhadap manusia
yang telah dimuliakan oleh Allah meskipun telah meninggal dunia.
Adapun dalil hadist yang melarang menghancurkan tulang-tulang mayit:

Artinya : “Memecahkan tulang mayit seperti halnya mematahkan tulang


orang yang hidup.” (HR. Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Sementara ulama yang membolehkan, diantaranya Muhammad
Na’im Yasin, Farwa Fuqaha Mesir dan Majma’ fiqh Al-Islami Mekkah:
1. Dewan fiqih dalam Organisasi Konferensi Islam (DF-OKI),
Muhammad Na’im Yasin, seorang ahli fikih Yordania ini lebih
mengutamakan kesadaran dan kedudukan jiwa.
2. Fatwa Fuqaha Mesir, tubuh dianggap bisa dikorbankan khususnya
bisa memenuhi tujuan lebih tinggi dalam memberikan
kemaslahatan kepada sesama manusia.
3. Majma’ Fiqh Al-Islami Mekah, operasi bedah mayat dalam
penelitian bertujuan untuk menyelamatkan nyawa orang yang
sedang sakit dengan mengadakan penelitian pada orang yang sudah
meninggal, meski dari satu sisi hal tersebut merusak kemuliaan
mayat, namun kemaslahatan bagi orang yang masih hidup itu lebih
diutamakan.
Perbedaan pandangan para fuqaha, di satu sisi melihat kepada
pendekatan pada teks melalui kaidah kebahasaan, dan di sisi lain melihat
dari aspek kemaslahatan, namun di sini penulis tertarik untuk menawarkan
19
dan menggunakan istilah pemikir Islam “modern” yaitu Fazlur Rahman. Ia
adalah salah seorang pemikir dan tokoh intelektual Islam kontemporer
yang terkemuka. Serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang saat ini terjadi di bidang kedokteran transplantasi pembedahan atau
penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian ilmiah. Dalam hal ini
penggunaan jenazah itu adalah salah satu temuan teknologi kedokteran
modern dengan metode kerja berupa pemindahan jaringan atau organ
tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menggantikan organ tubuh
yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. Tentu saja kemajuan
di bidang ini membantu banyak orang, akan tetapi adanya teknik
penggunaan jenazah dalam penelitian ini juga mendatangkan beberapa
masalah yang berdampak atas moralitas. Di sini penulis tertarik untuk
menjelaskan mengenai penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian
ilmiah perspektif Fazlur Rahman.
Dalam ilmu fiqh, banyak para ulama berbeda pendapat tentang
pelaksanaan otopsi terhadap korban yang sudah meninggal. Oleh itu,
terdapat beberapa padangan dari para ulama mengenai otopsi jenazah ini
antaranya tidak diperbolehkan untuk melakukan otopsi ke atas jasad orang
mati sama sekali karena berdasarkan firman Allah dalam surah al-isra’
ayat ke 70 yang berbunyi:

Artinya : “Dan sungguhnya, Kami telah memuliakan anak cucu Adam,


dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka
rezeki dari yang baik baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak
makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Surah
Al-Isra’ [17]: 70).
Sedangkan pendapat lain mengatakan boleh dilakukan otopsi
jenazah jika diperlukan ini berdasarkan dalil qiyas yang memperbolehkan
untuk memotong atau membedah perut wanita hamil yang meninggal,
tidak mengeluarkan anak daripadanya ketika kemungkinan besar berpikir
20
hidupnya akan tercapai. Dan juga berdasarkan kaedah shar‘iyah, “jika dua
kepentingan bertentangan tampilkan yang terkuat di antara keduanya, dan
jika dua kejahatan bertentangan lakukan paling sedikit di antaranya untuk
menghilangkan yang paling parah”.
Selain itu, terdapat beberapa juga pandangan dari para ulama
kontemporer, seperti Sheikh Dr. Yusuf al-Qaradha’wi berpandangan
mengenai isu mendermakan organ mengharuskan memotong anggota
tertentu orang yang telah meninggal dunia demi maslahat orang yang
masih hidup. Bagaimanapun, pembedahan yang dilakukan ke atas mayat
itu perlu dilakukan dengan tertib dan teliti menjaga kehormatan mayat.
Syeikh Imam Ahmad Kutty dari Institut Islam Toronto yang
meletakkan syarat untuk otopsi hanya boleh dilakukan dalam kasus-kasus
yang benar-benar memerlukan saja.Walaupun dibenarkan melakukan
otopsi tersebut tetapi harus mengikuti syarat-syarat yang telah ditetapkan
demi memelihara kemuliaan mayat dan martabat keluarga si mayat. Ini
bermakna ulama berpandangan, boleh mengambil sampel atau organ dari
tubuh manusia yang telah mati untuk keperluan tertentu saja, karena ianya
merupakan suatu pengecualian untuk memenuhi keperluan.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Jenazah (Mayat atau Jasad) adalah orang yang telah meninggal
dunia, penggunaan jenazah dizini ialah bedah mayat. Secara etimologi
bedah mayat adalah pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau
meniris bagian tubuh seseorang yang sakit atau operasi. Dalam bahasa
arab dikenal dengan istilah Al- Jirabah yang berarti melukai, mengiris,
atau operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter arab dikenal dengan
istilah at tashrib jutsasil al mauta.
Bedah mayat (autopsi) dibagi menjadi tiga kelompok :
1. Autopsi Anatomis
2. Autopsi Klinis
3. Autopsi Forensik
Motivasi yang melandasi bolehnya dilakukan pembedahan mayat
bagi orang yang sudah meninggal dunia berdasarkan hukum Islam dan
Ilmu kedokteran yaitu :
1. Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam Rahim mayat.
2. Untuk mengeluarkan benda yang berharga dalam tubuh mayat.
3. Untuk kepentingan penegakan hukum
4. Untuk keperluan penelitian Ilmu Pengetahuan.
Pada prinsipnya, membedah mayat atau otopsi tidak dibolehkan
tanpa alasan yang benar atau kuat. Pertimbangannya, karena tindakan itu
termasuk tindakan melukai atau menyakiti mayat.
3.2 SARAN
Dengan disusunnya makalah ini, kami mengharapkan kepada
semua pembaca agar dapat mengetahui dan memahami bedah mayat
(autopsi) dalam islam serta dapat memberikan kritik dan sarannya agar
makalah ini dapat menjadi lebih baik sebelumnya. Demikian saran yang
dapat penulis sampaikan semoga dapat memberi manfaat bagi semua
pembaca.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Bayu Hastomo. (2020). TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP URGENSI


TINDAKAN AUTOPSI FORENSIK JENAZAH PADA KASUS KEMATIAN
TIDAK WAJAR. S K R I P S I. Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas
Islam Indonesia Untuk memenuhi salah satu syarat guna Memperoleh
gelar Sarjana Hukum YOGYAKARTA
Asrul, Mohd Bin Hamdani. 2021. HUKUM OTOPSI JENAZAH (Analisis
Komperatif Istinbat, Hukum Fatwa Jabatan Mufti Wilayah Persekutuan
Malaysia Irsyad Al-Fatwa Ke 94 Dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 6 Tahun 2009). Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Azmi, Armaya. 2021. BEDAH MAYAT DALAM PERSPEKTIF MAQASHID AL-
SYARIAH. Taqnin: Jurnal Syariah dan Hukum Vol. 03, No. 01, ISSN :
2685-399X
Hatta, Muhammad., Zulfan, Srimulyani. (2019). Autopsi ditinjau dari perspekif
hukum positif Indonesia dan hukum Islam. Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum
Islam dan Kemanusiaan Vol. 19, No. 1
Karli, Nurul. (2019). BEDAH MAYAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
KONTEMPORER. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Kastubi. 2016. FUNGSI BEDAH MAYAT FORENSIK (AUTOPSI) UNTUK MENCARI
KEBENARAN MATERIIL DALAM SUATU TINDAK PIDANA. Fakultas Hukum
UNTAG Semarang. Vol. 13, No.1
Syayuti., Abdurrahman. (2020). PENGGUNAAN JENAZAH UNTUK
KEPENTINGAN PENELITIAN ILMIAH PERSPEKTIF FAZLUR
RAHMAN. Jambi : Journal Analytica Islamica Vol.9 No.1

23

Anda mungkin juga menyukai