Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGANTAR FILSAFAT

FILSAFAT HIDUP, FENOMENOLOGI, EKSISTENSIONALISME DAN


NEO-THOMISME

Dosen Pengampu, Dr. ANITA INDRIA, MA

Disusun Oleh :

ABDUL HANIF (2523226)


LARAS APRIDILA (2523242)

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA DAN JARINGAN
FALKUTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
2023

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Syukur Alhamdulilllah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan
dan kesempatan sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Selanjutnya shalawat
beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada suri tauladan dan panutan kita yakni Nabi
Muhammad SAW.

Makalah ini berhasil ditulis karena bantuan dari semua pihak baik secara materil maupun moril,
terutama dosen pengampu mata kuliah Studi Filsafat Umum ibu Dr. Anita Indria,M.A. Oleh
sebab itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam, sehinggan makalah yang
berjudul “Filsafat Hidup,Fenomenologi, Eksistensionalisme, dan Neo-Thomisme” dapat
dipresentasikan.

Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat terhadap pihak-pihak terkait, walaupun penulis
sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan di sana sini. Oleh sebab itu makalah
ini terbuka untuk dikritik dan diberi saran yang membangun demi kesempurnaannya. Akhir kata
penulis ucapkan terima kasih.

Bukittinggi, 16 November 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH

BAB II PEMBAHASAN

A. FILSAFAT HIDUP
B. FENOMENOLOGI
C. EKSITENSIALISME
D. NEO-THOMISME

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN
B. SARAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Filosofi hidup hampir berkaitan dengan prinsip-prinsip hidup.Semua orang yang masih
eksis mempunyai pegangan hidup, tujuan hidup, prinsip hidup maupun filosofi hidup. Tentunya
hal ini cukup berbeda di antara satu dengan lainnya dalam menyikapinya.Ada yang mempunyai
tujuan hidup yang begitu kuat, namun prinsip hidupnya lemah, atau sebaliknya ada orang yang
mempunyai tujuan hidup yang lemah,namun memiliki prinsip hidup yang kuat Era globalisasi
merupakan sebuah masa yang ditandai dengan perubahan pola kehidupan hidup manusia serta
perkembangan teknologinya. Globalisasi memudahkan manusia dalam menjalankan aktivitasnya
sehari-hari karena manusia semakin dimudahkan oleh mesin- mesin canggih dan teknologi
modernya. Karena kemudahan-kemudahan ini menjadikan manusia cenderung melupakan
jatidirinya. Menyadari bahwa ada yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu baik, ada juga
yang mengatakan bahwa kodrat manusia ituburuk, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa
kodrat manusia itu tidak baik dan tidak buruk (betral) dan lain sebagainya. Maka diperlukan
adanya pengetahun tentang arti kehidupan manusia itu sendiri.
B. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
Dalam makalah ini kami akan membahas suatu materi mengenai FILASAT HIDUP,
FENOMENOLOGI, EKSISTENSIONAL, NEO-THOMISME.

C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH


Adapun tujuan dalam menulis makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Filsafat Umum
2. Untuk menambahkan pengetahuan dan wawasan bersama dalam pembahasan masalah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Filsafat Hidup

Filsafat hidup merupakan filsafat yang memandang kehidupan sebagai suatu yang penuh dengan
arti dan makna. Menurut pandangan ini, manusia tidak hidup hanya untuk sekadar mengisi
waktu, melainkan memiliki tujuan dan makna tertentu yang harus dicapai. Selain itu, filsafat
hidup juga memandang kehidupan sebagai suatu yang sementara dan berubah-ubah, sehingga
manusia harus dapat memanfaatkan setiap momen dalam hidupnya untuk mencapai tujuan
tersebut.

Dalam filsafat hidup, terdapat pula pemahaman bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
memilih dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Namun, pilihan tersebut haruslah berdasarkan
pada nilai-nilai dan prinsip yang benar, serta mempertimbangkan dampaknya pada diri sendiri
dan orang lain.

Menerapkan Filsafat Hidup dalam Kehidupan Sehari-hari


Menerapkan filsafat hidup dalam kehidupan sehari-hari dapat membantu manusia untuk
mencapai tujuan hidupnya dengan lebih baik. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:

1. Mencari Tujuan Hidup yang Jelas

Mencari tujuan hidup yang jelas menjadi hal yang penting dalam filsafat hidup. Tanpa tujuan
yang jelas, manusia akan kebingungan dalam menentukan jalan hidupnya. Untuk itu, manusia
perlu mencari tujuan hidup yang benar-benar sesuai dengan dirinya.

2. Menjalani Hidup dengan Nilai-Nilai yang Benar


Filsafat hidup juga menekankan pentingnya menjalani hidup dengan nilai-nilai yang benar.
Manusia harus dapat mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam setiap tindakannya, serta
mempertimbangkan dampaknya pada diri sendiri dan orang lain.

3. Berpikir Positif

Berpikir positif menjadi hal yang penting dalam menerapkan filsafat hidup. Manusia perlu
belajar untuk melihat segala hal dengan sudut pandang positif, sehingga dapat menghadapi
segala tantangan dengan lebih baik.

4. Membuat Perencanaan yang Matang

Manusia perlu membuat perencanaan yang matang dalam hidupnya, agar dapat mencapai tujuan
hidupnya dengan lebih efektif. Perencanaan tersebut haruslah realistis dan dapat dicapai dengan
usaha yang sungguh-sungguh.

5. Bersyukur Atas Segala Hal dalam Hidup

Terakhir, bersyukur atas segala hal dalam hidup menjadi hal yang penting dalam menerapkan
filsafat hidup. Manusia harus belajar untuk menghargai setiap momen dalam hidupnya, baik
yang menyenangkan maupun yang sulit. Dengan bersyukur, manusia dapat menghadapi segala
tantangan dengan lebih positif dan memperoleh kebahagiaan yang lebih bermakna dalam
hidupnya.

B. Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phaenaesthai, yang mengandung arti


Menunjukkan dirinya sendiri (Hasbiansyah, 2008). Istilah yang lain dari fenomenologi adalah
phainomenon. Secara harfiah fenomenologi berarti nampak atau menampakkan diri. Fenomena
merupakan fakta yang disadari dan masuk dalam pemahaman manusia. Fenomenologi
menggambarkan pengalaman manusia yang terkait dengan objek (Kuswarno, 2009).
Fenomenologi adalah pendekatan filsafat yang memusatkan perhatian pada gejala yang
membanjiri kesadaran manusia, menurut Bagus dalam (Hasbiansyah, 2008). Ilmu bisa diperoleh
dengan mengalami secara sadar suatu peristiwa. Dalam fenomenologi tidak ada teori, tidak ada
hipotesis, dan tidak ada sistem (Hasbiansyah, 2008).

Pendekatan fenomenologi saat ini sudah banyak digunakan oleh banyak peneliti sebagai
pendekatan atau metodologi penelitian. Pada awalnya, fenomenologi adalah pendekatan filsafat
yang berdasarkan pada filsafat ilmu. Banyak literatur yang menyepakati bahwa bapak
fenomenologi adalah Edmund Husserl. Bagi Husserl “realitas” merupakan perluasan dari kata
“nature.” Artinya nature science menggunakan realitas sebagai keseluruhan benda dalam ruang
dan waktu. Namun Husserl membalik persoalan filsafat dari objek ke subjek pengetahuan. Hal
tersebut berasal dari pandangan Rene Descartes tentang “aku yang berfikir atau “cogito ergo
sum.” (Adian, 2010). Terdapat empat bidang yang dibahas dalam filsafat yakni ontologi,
epistemologi, etika, dan logika. Ditinjau dari ontologi fenomenologi mempelajari sifat–sifat
alami kesadaran. Fenomenologi membawa ke dalam permasalahan mendasar jiwa dan raga.
Persoalan jiwa raga ini dipecahkan dengan menggunakan bracketing method. Sebagai
pengembangan,Husserl membuat teori pengandaian mengenai “keseluruhan dan bagiannya”
hubungan keseluruhan dan bagian dan teori tentang makna ideal (Kuswarno, 2009). Husserl
secara intens menggunakan fenomenologi sebagai kajian filsafat yang kemudian menjadi
metodologi penelitian, pertama kali pada tahun 1859-1938. Krisis ilmu pengetahuan yang terjadi
pada saat itu, menjadikan latar belakang munculnya fenomenologi. Fenomenologi muncul karena
kejenuhan pendekatan dan metode pemikiran pada saat itu (Alwi, 2012). Kejenuhan yang
dimaksud adalah metode pemikiran yang pada akhirnya cenderung mengarah pada dua paham
utama yaitu idealis dan realis. Para penganut paham idealis mengatakan bahwa realitas tidak
terpisah dari subjek. Artinya, sesuatu yang ada di luar subjek merupakan konfirmasi dari apa
yang ada dalam pikiran manusia. Sedangkan para penganut paham realis, mempercayai adanya
realitas yang berada diluar subjek. Artinya, pengetahuan hanya dapat diperoleh ketika subjek
mengalami realitas objektif tersebut. Namun, Husserl melayangkan kritik terhadap ilmu
pengetahuan pada saat itu. Husserl berpendapat bahwa ilmu pengetahuan pada saat itu hanya
berpandangan pada objektivisme. Kesadaran manusia tenggelam dalam paham tentang ilmu
pengetahuan yang beranggapan adanya realitas yang terpisah dari diri subjek. Ilmu pengetahuan
tidak membersihkan diri dari kepentingan-kepentingan dunia (Hasbiansyah, 2008). Husserl pada
saat itu berargumen, bahwa ilmu pengetahuan berpegangan pada asumsi yang salah terkait
konsep teori sejati. Fenomenologi Husserl berusaha untuk menemukan hubungan antara teori
dengan dunia kehidupan yang dihayati, menurut Hardiman dalam (Hasbiansyah, 2008). Tujuan
akhirnya adalah untuk menghasilkan teori murni yang dapat diterapkan pada praktik. Tujuan
utama fenomenologi adalah untuk mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi
deskripsi tentang esensi atau intisari universal (Creswell, 2015).

Fenomena hanya dapat diungkap dan dipahami dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang
khusus. Konsepsi fenomenologi Husserl, merupakan konsep atau pendekatan yang sederhana.
Asumsi filosofis yang mendasari fenomenologi adalah pembahasan secara mendalam mengenai
segala bentuk pengalaman manusia. Para pengikut konsepsi fenomenologi Husserl seperti
Moustakas, 1994; Stewart dan Mickunas, 1990; dan Van Manen, 1990; berlandaskan pada
asumsi filosofis yang beragam, hal itu disampaikan oleh (Creswell, 2015). Namun pada
akhirnya, asumsi filosofis yang mereka pegang bermuara pada argumen yang sama yakni
fenomenologi berakar pada studi tentang pengalaman hidup seseorang, pengalaman yang
dieksplorasi bersifat “sadar” dan pengembangan deskripsi esensi, bukan merupakan penjelasan
atau analisis.

Secara lebih mendalam asumsi filosofis fenomenologi menjelaskan bahwa manusia mengalami
pengalaman hidupnya dalam sebuah kesadaran (Hasbiansyah, 2008). Pendekatan ini bermula
pada keterbukaan subjektif. Maksudnya, subjeb membuka diri terhadap berbagai hal yang
muncul atau nampak. Subjek 1990; dan Van Manen, 1990; berlandaskan pada asumsi filosofis
yang beragam, hal itu disampaikan oleh (Creswell, 2015). Namun pada akhirnya, asumsi
filosofis yang mereka pegang bermuara pada argumen yang sama yakni fenomenologi berakar

Pada studi tentang pengalaman hidup seseorang, pengalaman yang dieksplorasi bersifat “sadar”
dan pengembangan deskripsi esensi, bukan merupakan penjelasan atau analisis. Secara lebih
mendalam asumsi filosofis fenomenologi menjelaskan bahwa manusia mengalami pengalaman
hidupnya dalam sebuah kesadaran (Hasbiansyah, 2008). Pendekatan ini bermula pada
keterbukaan subjektif. Maksudnya, subjek membuka diri terhadap berbagai hal yang muncul atau
nampak. Subjek membiarkan fenomena tersebut membanjiri pikirannya. Kemudian subjek

Menyelami lebih dalam terkait apa yang datang kepadanya melalui kesadarannya. Proses ini
hanya bisa dilakukan dengan melakukan dialog intersubjektif. Seorang fenomenologi harus
mempunyai sifat terbuka terhadap segala realitas. Fenomenolog selalu berusaha untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam, kemudian memaknai realitas tersebut. Akan sulit
untuk menggunakan fenomenologi sebagai pendekatan pencarian kebenaran, jika individu yang

Memiliki pemikiran tertutup. Keterbukaan seorang fenomenolog akan membuatnya tidak cepat
mengevaluasi atau menyimpulkan. Artinya, seorang fenomenolog menunda terlebih dahulu
justifikasinya terhadap suatu realitas. Keterbukaan dari seorang fenomenolog adalah ekstensi
dari filsafat tanpa persangkaan, seperti yang diungkapkan oleh Stewart dan Mickunas dalam
(Creswell, 2015). Teori, prakonsepsi atau asumsi-asumsi yang telah dipegang sebelumnya,
dipinggirkan terlebih dahulu. Hal ini dinamakan epoche oleh Husserl. Justifikasi dilakukan

Ketika realitas jenuh atau ketika realitas kembali mengulang-ulang apa yang telah diungkap
sebelumnya. Inilah proses alamiah pendekatan fenomenologi.

Selain keterbukaan seorang fenomenolog yang disimbolkan dengan epoche oleh Husserl yang
telah dijelaskan di atas, terdapat dua asumsi filosofis lainnya yang dikemukakan oleh Stewart
dan Mickunas dalam (Creswell, 2015). Asumsi filosofis tersebut terkait dengan intensionalitas
kesadaran dan penolakan terhadap dikotomi subjek-objek. Intensionalitas kesadaran mengacu
pada focus fenomenologis yang mengarahkan kesadaran pada objek. Objek yang dimaksud
adalah fenomena. Studi fenomenologis akan berfokus untuk menyibak pengalaman subjek
tentang suatu fenomena dan bagaimana subjek mengalami pengalaman tersebut. (Kamayanti,
2016) menyebutnya “Ke “Aku-an”” subjek. Selanjutnya, fenomenologis didasarkan atas asumsi
filosofis yang menolak dikotomi subjek-objek. Artinya, realitas dari objek hanya dipahami dalam
makna dari pengalaman individu (Creswell, 2015). Realitas tidak dapat dipisahkan dari subjek.
Fenomenologi berbicara tentang kesadaran subjek ketika mengalami suatu fenomena. Stewart
dan Mickunas juga mengatakan bahwa seorang penulis yang menulis atau menggunakan
fenomenologi tidak lupa untuk mengulas tentang asumsi filosofis yang mendasari pendekatan
fenomenologi. Penelitian ini, bertujuan untuk mengungkap realitas secara mendalam. Oleh
karena itu, pendekatan dan asumsi fundamental yang sesuai digunakan sebagai pijakan peneliti
adalah fenomenologi. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi akan memungkinkan
peneliti mendekati fenomena yang tampak, menyelami secara mendalam alasan dibaliknya,
memahaminya dengan kesadaran peneliti, dan memaknai realitas tersebut.

C. Eksistensialisme

Eksistensialisme merupakan suatu filsafat. Berbeda dengan aliran filsafat lain. Eksistensialisme
tidak membahas esensi manusia secara abstrak, melainkan secara spesifik meneliti kenyataan
konkrit manusia sebagaimana manusia itu sendiri berada dalam dunianya. Serta hendak
mengungkap eksistensi manusia sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri. Esensi atau
substansi mengacu pada sesuatu yang umum, abstrak, statis, sehingga menafikan sesuatu yang
konkret, individual dan dinamis. Sebaliknya eksistensi justru mengacu pada sesuatu yang
konkrit, individual dan dinamis (Abidin, 2006:33).

Istilah eksistensi berasal dari kata existere (eks=keluar, sister=ada/berada). Dengan demikian,
eksistensi memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya” atau “sesuatu
yang mampu melampaui dirinya sendiri”. Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak ada sesuatu
pun yang mempunyai ciri atau karakter exitere, selain manusia. Hanya manusia yang mampu
keluar dari dirinya, melampaui keterbatasan biologis dan lingkungan fisiknya. Manusia juga
berusaha untuk tidak terkungkung oleh segala keterbatasan yang dimilikinya. Oleh sebab itu,
para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu proses “menjadi”, gerak yang aktif dan
dinamis (ibid 34).

Jean Paul Sartre merupakan tokoh Eksistensialisme yang sangat terkenal. Ia membuat filsafat
Eksistensialisme menjadi tersebar luas. Hal ini disebabkan kecakapannya yang luar biasa sebagai
sastrawan. Ia menyajikan filsafatnya dalam bentuk roman dan pentas dalam bahasa yang mampu
menampakkan maksudnya kepada para pembacanya. Dengan demikian filsafat Eksistensialisme
dihubungkan dengan kenyataan hidup.
Secara garis besarnya, paham Sartre mengenai Eksistensialisme sebagai berikut :

1. Existence precedes essence, yaitu manusia tercipta di dunia tanpa ada tujuan hidup.
Manusia berada di dunia terlebih dahulu kemudian ia mencari makna dalam hidupnya. Ia
mencari dengan berpetualang ke berbagai tempat untuk menjumpai peristiwa yang terjadi
dalam masyarakat.

2. Berada dalam diri, yaitu filsafat berpangkal dari realitas yang ada. Sesuatu dilihat dari
fakta ada atau tidak di depan mata. Seperti benda yang tercipta di bumi.

3. Berada untuk diri, maksudnya bahwa manusia mempunyai hubungan dengan


keberadaannya, ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada. Manusia berbeda dengan
benda. Manusia sadar bahwa ia ada di dunia. Oleh sebab itu ia bertanggung jawab atas
keberadaannya di dunia.

4. Manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Apa pun yang dilakukan manusia
menjadi tanggung jawabnya sendiri. Apapun akibat yang ditimbulkannya

5. Manusia sebagai subjek yang merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Manusia
sebagai individu yang membuat peraturan atau nilai bagi dirinya sendiri bukan orang lain.

Eksistensialisme meliputi makna/aspek kehidupan manusia di dunia. Seorang manusia


lahir untuk mencari sendiri makna hidupnya di dunia. Hal ini dilakukan dengan
melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mencari makna hidup. Jika manusia
banyak bepergian dan menemukan banyak peristiwa dalam perjalanannya, maka ia juga
dapat menangkap makna dari peristiwa tersebut. Pada umumnya peristiwa hidup yang
dialami manusia dalam kaca mata Eksistensialisme mengandung elemen ateis,
kebebasan, tanggung jawab dan kematian.

Berikut penjelasan dari tiap elemen tersebut :

a. Ateis, di dalam ateisme Sartre di jumpai suatu penolakan adanya Tuhan. Pertama
tentang ateisme berdasarkan biografi pada masa kanak – kanak. Dalam
pengalaman Sartre dapat dipelajari bagaimana mengkomunikasikan gambaran
mengenai Tuhan khususnya pada anak- anak dalam pendidikan religius mereka.
Jika sifat Maha Adil dan Maha Tahu Tuhan ditekankan sedemikian rupa, sehingga
Ia nampak sebagai hakim penghukum. Maksudnya ia mampu memasuki ruang
pribadi manusia, maka bukan tidak mungkin gambaran ini akan membekaas di
hati sanubari anak dan menimbulkan resistensi kelak bila ia sudah dewasa
(Stuttgart,2006). Di samping itu, argumentasi prinsipil bagi penolakan Tuhan
dalam pemikiran Sartre adalah filsafat ateistik. Rancangannya yang mengatakan
karena manusia bebas dan harus sendiri bertanggung jawab, maka Tuhan dan
segala penentuannya tidak boleh ada. Jika Tuhan ada maka akan membatasi
kebebasan manusia itu sendiri. Manusia akan taat pada nilai-nilai dari tuhan dan
kebebasan tidak mempunyai makna.

b. Kebebasan, Para eksistensialis secara umum menekankan pentingnya kebebasan


manusia dan pilihan kreatif yang bebas. Kebebasan manusia ini muncul dalam
eksistensialisme sebagai konsekuensi logis dari pernyataan existence precedes
essence yang berarti penegasan subyektifitas yang tidak didahului oleh sesuatu
yang disebut human nature atau juga skema rasional tentang realitas. Seluruh
konsep-konsep yang deterministis baik oleh hukum-hukum biologis, fisiologis,
social dan historis ditolak oleh para eksistensialis. Manusia sendiri yang
menentukan esensinya. Kebebasan bukan suatu yang harus dibuktikan atau
dibicarakan, tetapi suatu realitas yang harus dialami. Kebebasan manusia yaitu
bebas memilih diantara kemungkinan-kemungkinan yang ada, menetapkan
keputusan-keputusan serta bertanggung jawab tentang semua itu.

Dalam diskursus mengenai kebebasan diantara kaum eksistensialis, Sartre adalah yang paling
radikal dalam merumuskan doktrin kebebasan. Bahkan dalam sejarah pemikiran Barat. Manusia
adalah bebas, manusia adalah kebebasannya. Tidak ada yang membatasi dan membelenggu
manusia baik keduniaan maupun ketuhanan. Kebebasab manusia adalah absolute dengan
konsekuensi pertanggung jawaban individual terhadap perilaku-perilaku, pemikiran- pemikiran,
dan situasi-situasinya sendiri adalah juga absolute (Abidin, 2006:201) Sartre memandang
kebebasan identik dengan kasabaran. Ia mencoba membuktikan bahwa kesadaran mengandaikan
kapasitas manusia untuk menjauh dari kausalitas dunia sedemikian rupa sehingga kesadaran
terbebas dari relasi-relasi kausal yang mengungkungnya. Setiap bentuk kesadaran dalam
hubungannya dengan dunia selalu ditandai oleh terputusnya terhadap relasi kausal.
c. Tanggung Jawab, Sartre mengatakan bahwa manusia mempunyai kesadaran
terhadap dirinya sendiri. Hal ini tidak dapat diganti dengan orang lain.
Keberadaan manusia berbeda dengan benda-benda yang tidak mempunyai
kesadaran sendiri. Bagi manusia “ada” merupakan keterbukaan. Berbeda dengan
benda lain yang keberadaanya dengan esensinya. Bagi manusia keberadaan
mendahului esensi. Manusia bukan apa-apa tapi di menciptakakan dirinya sendiri.
Seperti utama eksistensialisme. Dasar pertamanya mengetahui manusia berusaha
mendekati subyektifitas. Manusia pencipta dirinya sendiri tidak pernah berhenti
mencoba dengan usaha. Kemudian menusia merencanakan segalanya untuk
dirinya sendiri sebagai keberadaanya untuk menghadapi masa depan. Manusia
bukan berarti apa-apa tapi rencananya yanh perlu. Ia ada hanya untuk menegaskan
bahwa ia dapat memenuhi kebutuhannya sendirinya. Oleh sebab itu ia tidak
berarti daripada tindakannya, tidak berarti daripada hidupnya. Ini berarti bahwa
mnusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Manusia dimanapun keberadaanya serta apaun makna keberadaanya tidak ada yang bertanggung
jawab kecuali dirinya sendiri. Dalam membentuk dirinya sendiri manusia mempunyai
kesempatan untuk memilih apa yang bagus dan apa yang buruk bagidirinya. Setiap pilihan yang
ia pilih merupakan pilihannya sendiri. Ia tidak dapat menyalahkan orang lain bahkan
mengandalkan Tuhan. Menurut Sartre, apapun yang dipilih manusia sebagia individu berarti
benar-benar pilihanya yang ,mempengaruhi semua nilai kemanusiaan. Meskipun ada membuat
keputusan berdasarkan pertimbangannya sendidri. Sikap untuk memilih merupakan perwakilan
manusia secara umum sebagai impian individu. Apa yang dipilih merupakan baik diantara
pilihan yang dihadapi. (Hassan,2001:128). Manusia berbuat untuk dirinya sendiri manusia tidak
boleh menyalahkan orang lain jika ada kesalahan, ia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Manusia mempunyai komitmen dan rasa tanggung jawab. Ia memperhatikan terhadap


kepuasaanya dan perasaanya yang ditunjukkan lewat impiannya. Tidak ada yang mempengaruhi
manusia bersikap atau mendorongnya kedalam masa depan. Manusai benar-benar bebas untik
membuat keputusan bahkan resiko dan tanggung jawab yang ia hadapi (Barnes, 1956:256).
Manusia menemukan sendiri nilai hidupnya di dunia. Ia berusaha tanpa peraturan apa pun
meskipun agama yang datang dari Tuhan. Ia akan mengabaikannya. Ia akan menciptakan nilai
yang ia suka. Untuk hal itu, ia berpergian mengitari dunia untuk mendapatkan makna hidup. Ia
mendpatkan ketika berhubungan dengan orang orang lain. Ia belajar dari lingkungan dan
perilaku orang lain. Hal itulah mempengarihi pemikirannya. Dengan pemikirannya ia memilih
kemungkinan-kemungkinan yang ia jumpai dan berusaha untuk merealisasikannya. Dan itu
menjadi tanngung jawabnya.
Kematian, Setiap eksitensi harus diakhiri dengan tibanya maut. Ini berarti maut menjadi salah
satu pembatasan bagi kebebabsan manusia. Melekatnya maut pada eksitensinya menjadi
bertentanganlah gagasan kebebasan mutlak. Dikarenakan maut membuta kebebasan menjadi
terbatas pula. Bagi sartre maut adalah sesuatu yang absurd. Pertama dikarenakan oleh kenyataan
bahwa maut tidak bisa ditunggu kapan tibanya sekalipun bisa dipastikan akan tiba. Maut
merupakan ekspektansi oleh karena itu selalu tampil samar dalam antisipasi manusia. Manusia
tidak bisa memilih tibanya maut itu sebab ia bukan lagi kemungkinan melainkan kepastian
nistanya manusia sebagai eksistensi. Maut adalah absurd karena tibanya diluar dugaan dan
pilihan manusia sendiri. Sartre mengambil contoh seorang yang menyiapkan dirinya sebagai
pengarang. Ia belajar dan berlatih terus menerus. Namun ia bisa saja mati sebelum menulis
halamannya yang pertama (Barnes, 1953:624).

Maut juga tidak mempunyai makna apa-apa bagi eksistensi. Ketika maut tiba maka eksistensi
pun selesai. Dengan tibanya maut maka eksistensi menjadi esensi. Dengan perkataan lain, bagi
Sartre maut merupakan sesuatu diluar eksistensi. Seseorang mati maka kematian itu bukan untuk
dia sendiri, tapi untuk mereka yang ditinggalkan. Kematian memberikan makna bagi orang lain.
Merekalah yang memberi arti pada kematian seseorang bukan orangnya sendiri.

Sehubungan dengan itu, Sartre berpendapat bahwa maut sebagai kefaktaan. Maut memang
merupakan batas terhadap kebebasan manusia tetapi batas itu berada di luar eksistensi manusia
itu sendiri. Maut tidak mempunyai hubungan dengan eksistensi manusia sebagai perwujudan
yang sadar. Oleh karena itu pula, gagasan yang mutlak tidak bisa disangkal dengan
mengemukakan maut sebagai batasnya. Maut membekukan eksistensi menjadi esensi, maka
dengan kebekuan itu pula kebebasan sirna. Akan tetapi selama manusia masih merupakan
eksistensi, maka kebebasan yang mutlak tidak bisa disangkal. Kefaktaan tetap melekat pada
eksistensinya sebab ia tetap bebas untuk mengolah kefaktaan itu dalam kebebasannya sendiri
serta atas tanggung jawabnya sendiri pula.

D. Neo-Thomisme

Neo-Thomis adalah pembela yang cakap dalam etika hukum kodrat (etika yang berdasarkan pada
akal saja, tanpa mengacu pada Tuhan atau wahyu) dan pengetahuan objektif. Tulisan-tulisan
mereka dalam bidang filsafat moral dan epistemologi sangat bernilai bagi para libertarian hukum
kodrat masa kini dan bagi para libertarian yang bersimpati pada teori-teori epistemologis Ayn
Rand. Sejumlah tokoh libertarian penting, seperti Murray Rothbard, Roy Childs, dan Leonard
Liggio, adalah penggemar aspek-aspek tertentu dari filsafat Skolastik, dan saya juga mengagumi
mereka. Tentu saja, kaum libertarian sekuler akan menolak teologi yang dibela dalam karya-
karya Neo-Thomis. Mereka juga akan menolak teori politik mereka, yang menyatakan bahwa
kebaikan individu harus disubordinasikan pada “kebaikan bersama”. Namun ciri-ciri ini dapat
dengan mudah disingkirkan oleh pembaca yang cerdas, sehingga meninggalkan kita dengan inti
argumen penting yang mendukung etika hukum alam dan pengetahuan objektif.

Homas Aquinas (1225-74) sebagian besar bertanggung jawab untuk memperkenalkan kembali
ide-ide Aristoteles ke dalam filsafat barat dengan mengintegrasikannya ke dalam agama Kristen.
Meskipun ini merupakan inovasi yang progresif dan berisiko—beberapa doktrin utama
Aristoteles secara langsung bertentangan dengan ortodoksi Katolik dan dikutuk setidaknya dua
kali pada zaman Aquinas oleh Uskup Paris—pada abad-abad berikutnya Skolastisisme menjadi
kaku menjadi dogma ortodoks yang ditolak oleh sebagian besar orang. Tokoh utama dalam
filsafat modern, dimulai dengan Descartes pada abad ketujuh belas. Dengan beberapa
pengecualian, seperti William Harvey (yang menemukan peredaran darah), tokoh-tokoh utama
dalam Revolusi Ilmiah menolak pandangan Aristoteles tidak hanya dalam bidang fisika tetapi
juga konsepsi apriorinya tentang metode ilmiah . Pada abad kesembilan belas, bahkan banyak
filsuf Katolik telah meninggalkan Thomisme, dan lebih memilih untuk mengikuti arus
irasionalisme yang ditemukan dalam Romantisisme dan tren serupa.

Thomisme mengalami kebangkitan kembali dalam Gereja Katolik pada akhir abad kesembilan
belas, sebagian besar berkat karya Kardinal D. Mercier (1851-1926) di Universitas Louvain di
Belgia. ( Institut Catholique Paris juga memainkan peranan penting dalam kebangkitan ini.) Pada
tahun-tahun berikutnya, banyak buku Neo-Thomistik yang membahas etika, epistemologi, dan
cabang filsafat lainnya diterbitkan. (Untuk survei terhadap para filsuf Neo-Thomistik di berbagai
negara, lihat bab “Pemikiran Neo-Skolastik”, dalam Philosophical Trends in the Contemporary
World, oleh filsuf terkemuka Italia Michele Federico Sciacca; terjemahan bahasa Inggris
diterbitkan oleh University of Notre Dame pada tahun 1958). Kaum Neo-Thomis berusaha
mendamaikan agama Katolik dengan ilmu pengetahuan modern, mengkritik secara rinci teori-
teori keliru para filsuf modern—khususnya teori sebab-akibat Hume dan teori pengetahuan Kant
—dan membantah argumen-argumen para positivis dan skeptis epistemologis yang
mempertanyakan hal tersebut. Kemungkinan pengetahuan objektif. Penganut paham Neo-
Thomis menganut “realisme moderat”, sebuah tradisi epistemologis yang secara umum juga
dimiliki oleh Ayn Rand.

Seperti yang saya katakan, teks-teks Thomistik tentang etika menganut perspektif hukum kodrat
yang, jika digabungkan dengan penyajiannya yang sistematis, terbukti bermanfaat bagi kaum
libertarian—terutama bagi kaum libertarian yang telah dipengaruhi oleh Ayn Rand dan yang
ingin melengkapi teori moral dan epistemologisnya. Dengan rincian dan argumen yang gagal dia
berikan. Pengamatan saya tidaklah seaneh kelihatannya, mengingat bahwa teori moral Neo-
Thomistik didasarkan pada Aristoteles, seorang filsuf yang sangat dikagumi Rand, meskipun ia
kurang memahami teori etikanya.

T.Z Lavine, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih Bahasa,


Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama (Yogyakarta: Jendela, 2002), h. 314-315.
FX. Mudji Sutrisno, dan Budi Hardiman (ed)., Para Filsuf Penentu Gerak
Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 100.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari materi yang dicantumkan dapat di simpulkan
1. Filsafat hidup merupakan filsafat yang memandang kehidupan sebagai suatu yang penuh arti
dan makna.
2.penerapan filsafat hidup dalam kehidupan sehari-hari, dapat dilakukan dengan cara
a. Mencari tujuan hidup yang jelas
b. Menjalani hidup dengan nilai-nilai yang benar
c. Berfikir positif
d. Membuat perencanaan yang matang
e. Bersyukur atas segala hal dalam hidup
3. Fenomenologi merupakan fakta yang di sadari dan masuk dalam pemahaman manusia.
4.eksistensialisme merupakan suatu filsafat, tidak membahas esensi manusia secara abstrak
melainkan secara spesifik meneliti kenyataan kongkrit Manusia sebagai manusia itu sendiri
berada di dunia.

B. SARAN
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.oleh sebab itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat diterima demi kesempurnaan
makalah ini sehingga kami dapat memperbaiki makalah kedepannya menjadi lebih baik.
Diharapkan makalah ini dapat membantu dan menambah pengetahuan pembaca.

Anda mungkin juga menyukai