Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Marzuki Noor, M.Si
Dr. H. Agus Sujarwanta, M.Pd
Dr. H. Sudirman AM., M.Hum
Oleh :
Nasihudin Mustofa NPM : 14720030
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis sampaikan kepada Allah swt, karena berkat ridho dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kemajuan Ilmu dan
Krisis Kemanusiaan” dengan indikator “Tantangan dan Masa Depan Ilmu”.
Dalam penyusunan makalah ini banyak bantuan yang penukis terima. Oleh karena itu,
penulis sampaikan ucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Marzuki Noor, M.Si (Dosen Pengampu)
2. Dr. H. Agus Sujarwanta, M.Pd (Dosen Pengampu)
3. Dr. H. Sudirman AM., M.Hum (Dosen Pengampu)
4. Semua pihak yang terkait dalam penulisan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran masih penulis
harapkan untuk perbaikan selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu dan Krisis Kemanusiaan ................................................... 4
B. Kemajuan Ilmu dan Krisis Kemanusiaan............................................... 5
C. Agama, Ilmu dan Masa Depan Manusia................................................... 5
D. Hubungan Antara Ilmu Dengan Krisis Kemanusiaan........................ 6
E. Hubungan Antara Teknologi Dengan Krisis Kemanusiaan ............11
F. Hubungan Antara Etika Dengan Krisis Kemanusiaan ......................15
G. Hubungan Antara Kebudayaan Dengan Krisis
Kemanusiaan ..................................................................................................17
H. Hubungan Antara Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan,
dan Krisis Kemanusiaan .............................................................................18
A. Latar Belakang
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein
berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah.
Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu
pengetahuan. Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara
substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan
filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau
Sains merupakan komponen terbesar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan.
Namun demikian, kini ilmu telah tercabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk
menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi
menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya
yang fundamental, karena ilmu telah mengurangi bahkan menghilangkan peran
manusia, dan bahkan tanpa disadari manusia telah menjadi budak ilmu dan teknologi.
Oleh karena itu, filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu,
agar ilmu tidak menjadi boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan
mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrument dalam mencapai
kesejahteraan bukan tujuan.
Ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Tujuannya ialah mencari hakihat
kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku
(etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Etika baru menjadi
ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang
dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering
kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral. Manusia mempunyai seperangkat
pengetahuan yang bisa membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk. Namun
penilaian ini hanya bisa dilakukan oleh orang lain yang melihat kita.
Direktur Avicena Center for Religions and Science (ACRoSS)-ICAS menyerukan agar
filsafat memilki komitmen intelektual terhadap problema peradaban kontemporer,
mengeksplorasi potensi filsafat yang memiliki visi dan perspektif yang lebih mampu
menyentuh isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan pada umumnya. Kesadaran bahwa
kini filsafat dan kebudayaan Barat modern telah membonceng imperialisme politik dan
ekonomi Barat didukung oleh keunggulan sains dan teknologi mereka, telah
membelenggu cara berpikir manusia modern umumnya. Telah 300 tahun ditanamkan
bahwa filsafat itu adalah semata pelayan sains positivistik (materialisme ilmiah), bahwa
filsafat terbatas pada olah nalar menganalisis bahasa, bahwa berfilsafat itu identik
dengan berpandangan skeptisisme yang menolak kebenaran universal, bahwa filsafat
tidak berhubungan dengan isu-isu moral dan kemanusiaan. Dalam alam pemikiran
postmodernis, Filsafat, dalam maknanya yang asli sebagai ‘cinta kebijaksanaan’,
sesungguhnya telah mati, dan ia telah bermetamorfose menjadi miso-sophy (‘benci
kebijaksanaan’).
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan
2. Mengetahui dan memahami kemajuan ilmu dan krisis kemanusian serta tantangan dan
masa depan ilmu pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
2) Krisis kemanusiaan
Krisis adalah suatu keadaan dimana terjadinya peralihan dari keadaan lama menuju
keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, metode lama telah ditinggalkan, tetapi
metode baru belum sepenuhnya dapat digunakan, sehingga yang terjadi adalah
kebingungan, karena belum adanya metodologi baru yang memadai.
Krisis kemanusiaan merupakan suatu peristiwa atau runtutan peristiwa ancaman kritis
terhadap kesehatan, keamanan, dan keberadaan atau eksistensi suatu komunitas atau
suatu kelompok besar dalam suatu wilayah luas.
Filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan landasan ontologis ilmu; obyek apa yang
ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari landasan ontologis ini
adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu.
Noeng Muhadjir dalam bukunya filsafat ilmu mengatakan; ontologi membahas tentang
yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang
yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan.
Kedua kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling
mengancam keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba
persenjataan, kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi
yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah
mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan
ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin.
Untuk itulah maka epistimologi ilmu bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses
pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana
prosedur dan mekanismenya?
Tiang Penyangga yang ketiga dalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah sesuatu yang paling
penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia
bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu
telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan,
kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu
juga, manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman,
pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk
membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah keterangan
mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan “axios” (Yunani) yang berarti nilai dan
logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Sedangkan arti
aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika
adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu
kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan
estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh
manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat berperan
dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya,
maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian
tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif
selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai
objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya,
sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Kemudian bagaimana
dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam
menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksprimen-eksprimen.
Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika
seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia
tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai
agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan
kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa berpihak
kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan
aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada
hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam
prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat mempertanggung
jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari
pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan
dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang
seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah
moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat
utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan
yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral.
Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri
sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung
dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling
utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma
moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi
seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu,
apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat,
yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu
pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab seorang
ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus
bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini,
merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah ilmiah. Di tengah
situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil
kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya
keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun,
seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh
yang baik.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika prakmatik
dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada kepentingan-
kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua dan kekerasan yang
cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik.
Etika pembebasan manusia, bersifat spiritual dan universal itu bisa muncul dari
kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena menolak etika prakmatik yang
dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung
tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian.
Kemajuan ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula yaitu filsafat ilmunya
sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah
sebaliknya mengancam eksistensi manusia.
Teknologi yang berkembang pesat, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Masa
sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan
sudah merupakan kebutuhan manusia. Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellul
(1964) sebagai berikut :
Teknik telah menguasai selutuh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus
beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas
dari pengaruh teknik.
Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses
dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik.
Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari
kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh
dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan mekanisme-
mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik, sehingga waktu
manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan
mekanisme teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak hadir
di dalamnya. Contohnya: pada sistem industri ban, seorang buruh meskipun sakit atau
lelah, ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang sekarat di RS, mungkin pekerjaan
itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat macet garis produksi dan upah bagi
temannya. Keadaan tertekan demikian, akan menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak
manusiawi lagi.
2. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan manusia
dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak
ditentukan oleh lapar atau mengantuk tetapi diatur oleh jam. Lingkungan manusia
menjadi terbatas, manusia sekarang hanya berhubungan dengan bangunan tinggi yang
padat, sehingga sinar matahari pagi tidak sempat lagi menyentuh permukaan kulit
tubuh manusia.
3. Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat
kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan
peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan konkrit. Tetapi
sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit dan detik. Waktu hanya
mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga
irama kehidupan harus tunduk kepada waktu.
4. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk
masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Sekarang
struktur masyarakat hanya ditentukan oleh hokum ekonomi, politik, dan persaingan
kelas. Proses ini telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas.
Terjadinyaneurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut beberapa ahli merupakan
akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial. Kondisi sekarang ini manusia sering
dipandang menjadi objek teknik dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik
yang ada.
Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya
ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang
kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan
kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan
terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand
Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Para sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir, berpendapat bahwa terdapat
kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat,
pertama tenjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan
respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua,
berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi
patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa
acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan
dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn disebut gejala
kesenjangan kebudayaan atau “cultural lag”. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang
bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga
masyarakat kehilangan keseimbangan.
Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari berbagai ironi dalam
kehidupan sehari-hari. Munculnya berbagai alienasi (keterasingan) dalam kehidupan
manusia. Ada alienasi etologis, yaitu terjadinya sebagian masyarakat yang mulai
mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula alienasi
masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan
antarkelompok sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran,
yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio
atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan
akal budi.
Etika dibagi menjadi 2 kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi
menjadi 2 kelompok lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika individual dan etika sosial
yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat.
Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya
dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial membicarakan
tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam
masalah ini, etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial karena
kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia
saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut hubungan
manusia dengan manusia lain baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan
(keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia,
idiologi-idiologi maupun tanggungjawab manusia terhadap lingkungan hidup. Etika
sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar akan tanggungjawabnya sebagai
manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Di dunia kita sekarang ini, kesadaran akan etika individual dan etika sosial sangatlah
rendah. Contoh nyatanya adalah adanya kelangkaan perspektif etika di kalangan para
penguasa politik dan ekonomi yang telah memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the World's Religion II, tahun
1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan deklarasi yang disebut dengan
etika global (global ethic) sebagai penjabaran praktis berupa paradigma etika dan moral
untuk diejawantahkan dalam kehidupan empiris. Lahirnya Deklarasi Etika Global
tersebut merupakan realisasi antisipasif dan solutif atas sebuah kekuatan dahsyat
bernama globalisasi yang dewasa ini tidak hanya memasuki wilayah kehidupan
material seperti ekonomi, budaya, dan politik pada banyak negara di seluruh belahan
dunia, tetapi kekuatan tersebut juga merambah wilayah nonmeterial, yaitu etika.
Globalisasi sendiri telah banyak menimbulkan dampak positif, tetapi juga dampak
negatif, yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia saat ini sedang dilanda suatu krisis
multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi global, krisis ekologi global, dan
krisis politik global. Berbagai terpaan krisis tersebut lalu bermuara pada krisis
kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kezaliman, kekerasan,
penindasan, pengisapan, pembunuhan, dan lain-lain.
Jika ditelusuri secara seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada berpangkal
mula dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika, terutama di
kalangan penguasa politik dan ekonomi, mendorong merajalelanya perusakan yang
kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Dari perspektif etika
global, permasalahan yang dihadapi proses peradaban bangsa-bangsa di dunia
belakangan ini, tidak lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar apresiasi
terhadap etika peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian cepat, terutama
pada aspek material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan dan kepercayaan
atas diri manusia. Dengan demikian, proses peradaban menempatkan manusia sebagai
"pencipta yang memiliki kuasa besar" terhadap hidup dan kehidupannya. Kehidupan
manusia kemudian berorientasi pada paradigma "antropo-centris", yaitu berpusat pada
diri manusia itu sendiri, sehingga manusia diliputi paham "egoisme kemanusiaan".
Egoisme kemanusian tersebut, sebagai mana diketahui, menjelma dalam paham, baik
yang bersifat individualistis maupun kolektif, sebut saja rasisme, nasionalisme,
sekterianisme, atas seksisme (feminisme dan maskulinisme). Semua bentuk egoisme
manusia tersebut menghalangi manusia untuk menjadi manusia sejati, manusia
berkemanusiaan.
Sebuah paragraf dalam Declaration toward a Global Ethic of the Parliament of the
World's Religions yang dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai berikut,
"Dalam tradisi etika dan agama umat manusia, kita menemukan perintah: kalian tidak
boleh mencuri! Atau dalam bahasa positifnya: berdaganglah secara jujur dan adil!
Makna dari perintah ini adalah tidak seorang pun berhak dengan cara apa pun
merampas atau merebut hak orang lain atau hak kesejahteraan bersama. Begitu juga
tidak seorang pun berhak menggunakan apa yang dimilikinya tanpa peduli akan
kebutuhan masyarakat dan bumi. Dalam pandangan deklarasi etika global, tidak
mungkin ada suatu tatanan dunia baru tanpa tatanan etika global. Etika global, mengacu
pada suatu permufakatan mendasar tentang nilai-nilai mengikat, ukuran-ukuran pasti,
dan sikap-sikap pribadi yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya manusia
beragama.
Konklusi harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia
ternyata mempengaruhi kebudayaan universal, namun tidak dapat termanifestasikan
secara komprehensif. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah adanya paradigma
ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh bangsa kita dan
juga bangsa-bangsa Timur lainnya.
Apabila kita cermati, sebenarnya kebudayaan kita tengah bahkan terus akan berproses
dalam format fenomena yang mungkin dapat disebut sebagai “gegar budaya”. Banyak
indikator yang tersaji di keseharian masyarakat kita yang secara empiris terlihat
munculnya keprihatinan dimana-mana pada hampir semua aspek kehidupan manusia,
yang kemudian dapat dirangkum dalam satu ungkapan krisis multidimensional. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang salah dalam proses kebudayaan
bangsa kita selama ini, sehingga berimplikasi pada carutmarut persoalan bangsa yang
tidak kunjung selesai.
“Kekosongan” kebudayaan yang bangsa kita saat ini rasakan dapat berdampak negatif
terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri dan nilai kemanusiaan. Peralihan kebudayaan
Timur menjadi kebarat-baratan seperti lazimnya seks bebas, pergaulan bebas, film
porno, minum alkohol, diperbolehkannya hubungan sesama jenis, dll membuat kita
bertanya, kemanakah nilai kemanusiaan dan agama yang selama ini menjadi ciri khas
dari bangsa Timur? Budaya Barat tersebut dengan segera merusak citra bangsa dan
cepat mempengaruhi anak-anak muda yang relatif rentan dengan dunia baru. Selain itu,
efek negatif budaya barat menjadikan timbulnya krisis kemanusiaan. Krisis
kemanusiaan ini dapat berakibat timbulnya pembunuhan, hamil di luar nikah,
timbulnya penyakit menular seksual, dan meningkatkan angka kriminalitas.
Jika ditelusuri, krisis kemanusiaan yang ada berpangkal dari krisis etika. Kelangkaan
wawasan dan pengetahuan etika mendorong merajalelanya perusakan yang kemudian
mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Berawal dari penolakan secara
ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan supranatural, pendewaan
terhadap rasio dan materi yang disebarkan secara canggih melalui ilmu pengetahuan,
teknologi serta proses ekonomi, politik dan budaya itulah krisis kemanusiaan
merajalela sebagai konsekuensi logisnya (Irfan, 2009).
Menurut para sosiolog, kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat (krisis kemanusiaan) terjadi pada tiga tingkat, yaitu:
1. Pada tingkat pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respons
(tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran.
2. Pada tingkat yang berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-
kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku à disebut kehidupan tanpa acuan
norma (normlessnes)
3. Pada tingkat kebudayaan, yakni berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan
masyarakat à disebut gejala kesenjangan kebudayaan (cultural lag) à nilai-nilai
pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat
spiritual sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan (Nashir, 1997)
Banyak pihak yang menganggap bahwa krisis kemanusiaan merupakan ‘anak kandung’
dari modernisme. Masyarakat modern mampu menjadikan ilmu pengetahuan dan
teknologi berhasil mengatasi berbagai masalah, tapi tidak mampu menumbuhkan
akhlak yang mulia sehingga terjadilah krisis kemanusiaan.
Pengamatan para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Ma’arif (1997) dengan
bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual
transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki
pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Modernisme telah
mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia
kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan
nafsu untuk menguasai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan bahwa menurut sudut pandang pemikiran penulis bahwa “Filsafat
Ilmu” sangat berguna untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan
ruh dan tujuan luhur ilmu, melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu, melatih
berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu, menghindarkan diri dari memutlakkan
kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh
kebenaran, menghindarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut
pandang lain di luar bidang ilmunya, agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan
umat manusia. Sebab ilmu pengetahuan mendorong kemajuan teknologi. Kemajuan
teknologi dapat berakibat positif maupun negatif. Supaya ilmu pengetahuan dan
teknologi berdampak positif bagi manusia perlu dikendalikan oleh etika. Etika
merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Perubahan kebudayaan dapat terjadi
akibat perkembangan ilmu dan teknologi. Perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan
terjadinya krisis etika sehingga dapat terjadi krisis kemusiaan.
B. Saran
Bahwa setelah menyimak dan membahas lebih jauh lagi terhadap makalah ini, kami
menyadari bahwa Filsafat Ilmu itu sangat berperan sekali untuk mengatasi krisis
kemanusiaan, maka mudah-mudahan kedepannya ilmu ini dapat di gunakan untuk
kelangsungan kehidupan umat manusia yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Soewardi H. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya
Sivilisasi. Bandung. Bakti Mandiri
Ellul J. 1964. The Technological Society. New York. Alfred Knapf Sastrapratedja. 1980.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2001. Filsafat Ilmu. 2nd ed. Yogyakarta. Liberty
Daruni, EA. 1991. Hubungan Ilmu dan Kebudayaan dalam Majalah Jurnal Filsafat. Fakultas
Filsafat UGM Yogyakarta. Seri 8
Ma’arif S. 1997. Dalam “Kata Pengantar” Buku Agama dan krisis Kemanusiaan Modern oleh
Nashir H. 1997. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.