Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

ANTROPOLOGI SEBAGAI PENDEKATAN KAJIAN KEISLAMAN

Dosen Pengampu :
Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I.

Disusun oleh :
1. Cendy Aulia (206111040)
2. Alya Nur Haliza (206111061)
3. Salsabiil Nazhiifah Putri (206111068)

SASTRA INGGRIS 4B
FAKULTAS ADAB DAN BAHASA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2022

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-
Nya sehingga kami sanggup menyelesaikan penyusunan makalah Metodologi Studi Islam
dengan judul "Antropologi Sebagai Pendekatan Kajian Keislaman" tepat pada waktunya. Tak
lupa pula kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan sebagai bentuk pembelajaran kami
dan para pembaca dalam memahami perihal studi islam. Penulisan makalah ini kami upayakan
semaksimal mungkin dengan didukung oleh bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini belum bisa dikatakan mencapai tingkat
kesempurnaan, untuk itu besar harapan kami agar pembaca berkenan memberikan umpan balik
berupa kritik dan saran. Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau kutipan-kutipan yang
kurang berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Surakarta, 28 Maret 2022


Penyusun,

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................i


KATA PENGANTAR ....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ..........................................................................................2
BAB II. PEMBAHASAN ...............................................................................................3
2.1 Pengertian Antropologi dan Perkembangannya............................................3
2.2 Budaya dan Islam dari Sudut Pandang Antropologi .....................................5
2.3 Pembauran Agama dan Budaya ....................................................................7
BAB III. PENUTUP .......................................................................................................10
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Islamisasi tidaklah berarti menempatkan berbagai tubuh ilmu pengetahuan dibawah
masing-masing dogmatis atau tujuan yang berubah-ubah, tetapi membebaskannya dari
belenggu yang senantiasa mengungkungnya. Islam memandang semua ilmu pengetahuan
sebagai sesuatu yang kritis, yakni universal, penting dan rasional. Ia ingin melihat setiap
tuntutan melampaui teks hubungan internal, akan sesuai dengan realitas, meninggikan
kehidupan manusia dan moralitas. Karenanya, bidang-bidang yang telah kita islamisasikan
akan membuka halaman baru dalam sejarah semangat manusia dan lebih menekatkan kepada
kebenaran.
Antropologi seperti semua disiplin ilmu pengetahuan lainnya, harus membebaskan
dirinya dari visi yang sempit. Ia harus mempelajari sesuatu yang baru, sederhana, tetapi
kebenaran yang primordinal dari semua ilmu pengetahuan yaitu kebenaran pertama Islam.
(Akbar S. Ahmad, 5-9) Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan
antropologi dan sosiologi sebagai basis pendekatannya. Berbagai pendekatan dalam
memahami agama yang selama ini digunakan dipandang harus dilengkapi dengan pendekatan
antropologi dan sosiologi tersebut. Berbagai pendekatan dalam memahami agama yang ada
selama ini antara lain pendekatan teologis, normatif, filosofis, dan historis.
Dalam bukunya Seven Theories of Religion, Daniel L. Pals menyatakan bahwa pada
awalnya orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara
ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama tidak bisa disinkronkan. (Daniel L. Pals (ed), 1996: 1).
Kasus seperti ini juga terjadi di Indonesia pada awal tahun 70-an, di mana penelitian agama
masih dianggap sesuatu yang tabu. Kebanyakan orang berkata: mengapa agama yang sudah
begitu mapan mau diteliti lagi, agama adalah wahyu Allah yang tidak bisa diutak-atik.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya sebagian besar orang dapat
memahami bahwa agama bisa diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. Kini,
penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik akan
dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan
dirumuskan. Antropologi berupaya melihat antara hubungan agama dengan berbagai pranata
sosial yang terjadi di masyarakat. Penelitian hubungan antara agama dan ekonomi melahirkan
beberapa teori yang cukup menggugah minat para peneliti agama. Dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama
dengan kondisi ekonomi dan politik. Menurut kesimpulan penelitian antropologi, golongan
masyarakat kurang mampu dan golongan miskin lain pada umumnya lebih tertarik kepada
gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
kemasyarakatan. Sedangkan golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan
masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan
pihaknya.
1
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pendekatan antropologi, dengan jelas dapat
mendukung menjelaskan bagaimana suatu fenomena agama itu terjadi. Dengan menggunakan
pendekatan dan perspektif antropologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin
dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah terlepas
dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung
keberadaannya. Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala
keagamaan

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian antropologi?
2. Bagaimana perkembangan antropologi?
3. Seperti apa pandangan antropologi mengenai budaya dan Islam?
4. Bagaimana pembaruan agama dan budaya?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1. Memberikan penjelasan secara terperinci terkait antropologi.
2. Menjelaskan mengenai perkembangan antropologi.
3. Menjelaskan pandangan antropologi mengenai budaya dan Islam.
4. Menjelaskan pembaruan agama dan budaya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN ANTROPOLOGI DAN PERKEMBANGANNYA


A. Pengertian
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti
"manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia
sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Antropologi memiliki dua sisi
holistik di mana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiannya.
Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu
kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/ perbedaan budaya antar
manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi
sehingga metode antropologi sekarang sering kali dilakukan pada pemusatan penelitian
pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal.

Definisi Antropologi menurut para ahli, di antaranya:


● William A. Havilan: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
● David Hunter: Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak
terbatas tentang umat manusia.
● Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada
umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta
kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu
mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara
berperilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang
satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

2. Perkembangan
Seperti halnya sosiologi, antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami
tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraningrat menyusun perkembangan
ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
1. Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi. Sekitar
abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk
menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia.
Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga
banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah
petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian

3
ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan
dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan
masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang
deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau
deskripsi tentang bangsa-bangsa. Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-
pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa
terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah,
menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan
seluruh himpunan bahan etnografi.

2. Fase Kedua (tahun 1800-an)


Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi
karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu.
masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka
waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai
bangsa-bangsa primitive yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai
bangsa yang tinggi kebudayaannya. Pada fase ini, Antropologi bertujuan
akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan
maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah
penyebaran kebudayaan manusia.

3. Fase Ketiga (awal abad ke-20)


Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun
koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka
membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan
dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi
bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya,
pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli
untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari
bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari
kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.

4. Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)


Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-
kebudayaan suku bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat
terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah
perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan
dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia
kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan
kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu
juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk

4
keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil
mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam
terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi
tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada
suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan
Lapp.

2.2 BUDAYA DAN ISLAM DARI SUDUT PANDANG ANTROPOLOGI


A. Budaya dari Sudut Pandang Antropologi
Dari sudut pandang antropologi, budaya atau kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan manusia. Kata "budaya" berasal dari kata
Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal".
Dengan demikian budaya dapat diartikan sebagai "hal-hal yang bersangkutan dengan
akal". Budaya lebih berhubungan dengan filsafat, literatur atau sastra, dan seni tentang
bagaimana suatu kebudayaan mempengaruhi pengalaman seseorang atau diri sendiri
dan kelompok, memberikan kontribusi untuk pemahaman yang lebih lengkap terhadap
pengetahuan, adat istiadat, dan masyarakat. Budaya memfokuskan perhatiannya kepada
kebudayaan manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat.
Banyak ahli antropologi mendefinisikan kebudayaan dari berbagai sudut
pandang yang berbeda. Beberapa definisi mengenai kebudayaan itu adalah sebagai
berikut:
1. Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, ide-ide, resep-resep, tata kelakuan
yang bersifat abstrak, atau pola bagi yang terdapat di dalam sistem pengetahuan
individu-individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan sebagai sistem
pengetahuan inilah yang menjadi landasan dari munculnya tindakan atau
kelakuan yang menghasilkan pola-pola yang dapat diamati dan dasar dari
kemampuan manusia untuk menghasilkan sesuatu.
2. Kebudayaan sebagai aktivitas, kelakuan, tindakan atau adat istiadat yang
tampak dari setiap suku bangsa. Definisi kebudayaan ini hanya memahami
kebudayaan pada tahap perilaku atau tingkah laku yang dapat diobservasi dan
direkam.
3. Kebudayaan sebagai benda atau hasil karya manusia. Dalam hal ini kebudayaan
dipahami hanya sebagai benda-benda.

Budaya dianggap sebagai konsep sentral dalam antropologi, yang mencakup


berbagai fenomena yang ditularkan melalui pembelajaran sosial dalam masyarakat.
Beberapa aspek perilaku manusia yakni praktik sosial seperti budaya, kemudian bentuk
ekspresif seperti seni, musik, tari, ritual, agama. Teknologi seperti penggunaan alat,

5
memasak, tempat tinggal, dan pakaian dikatakan sebagai universal budaya karena
ditemukan di semua masyarakat. Konsep budaya material meliputi ekspresi fisik
budaya, seperti teknologi, arsitektur dan seni. Sedangkan aspek immaterial budaya
seperti prinsip organisasi sosial termasuk praktik organisasi politik dan lembaga sosial,
mitologi, filsafat, sastra, dan sains merupakan warisan budaya tak benda dari
masyarakat. Tingkat kecanggihan budaya juga terkadang terlihat untuk membedakan
peradaban dari masyarakat yang kurang kompleks. Perspektif hierarkis tentang budaya
semacam itu juga ditemukan dalam perbedaan berbasis kelas antara budaya tinggi sosial
dan budaya rendah, budaya populer, atau budaya rakyat kelas bawah, yang dibedakan
oleh akses berlapis modal budaya. Dalam antropologi budaya, ideologi dan sikap
analitis dari relativisme budaya menyatakan bahwa budaya tidak dapat dengan mudah
dinilai atau dievaluasi secara obyektif karena evaluasi apa pun selalu berada di dalam
sistem nilai budaya tertentu. Dalam bahasa sehari-hari, budaya sering digunakan untuk
merujuk secara khusus pada penanda simbolik yang digunakan oleh kelompok etnis
untuk membedakan diri mereka satu sama lain seperti modifikasi tubuh, pakaian atau
perhiasan. Budaya massa mengacu pada bentuk-bentuk budaya konsumer yang
diproduksi massal.

B. Islam dari Sudut Pandang Antropologi


Sebagai agama, Islam tidak hanya berhenti pada keyakinan pemeluknya.
Namun, keyakinan tersebut hadir dalam setiap aktivitas umat Islam, baik dalam
peribadatan, perdagangan, politik, kebudayaan dan lainnya. Agama memiliki fungsi
sebagai pedoman etika dan moral yang termanifestasi sebagai nilai-nilai budaya yang
menyatu dan menjiwai setiap pemenuhan kebudayaan dan sosial warga masyarakat.
Dengan demikian agama diperlukan masyarakat sebagai pedoman yang diyakini
kebenarannya dan dilihat sebagai sesuatu yang sakral dengan sanksi-sanksi bersifat gaib
sesuai dengan aturan dan peraturan keagamaan yang diyakini. Para antropolog
menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa
yang mereka sebut sebagai common sense dan religious atau mystical event. Dalam
satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan
dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu
religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan
nalar maupun teknologi.
Antropologi menjelaskan mengenai Islam melalui simbol-simbol atau nilai-
nilai yang terdapat di dalamnya dan hadir di mana-mana. Dalam hal ini, Islam
dipercayai sebagai salah satu faktor yang ikut mempengaruhi pembentukan struktur
sosial, budaya, ekonomi dan politik umat Islam. Antropologi bisa berfungsi sebagai
sebuah pendekatan dalam studi Islam. Antropologi dapat berguna sebagai alat
metodologi dalam memahami kehidupan keagamaan masyarakat. Selain itu, dapat juga
mengarahkan dan menambah keyakinan keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat
sesuai dengan ajaran yang benar tanpa menimbulkan kegaduhan antar sesama warga

6
masyarakat. Dengan menggunakan sudut pandang antropologi dapat membantu studi
Islam melihat keragaman pengaruh budaya dalam praktik Islam. Kajian crossculture
terhadap agama memberikan gambaran yang beragam tentang kaitan agama dan
budaya.

2.3 PEMBAURAN AGAMA DAN BUDAYA


Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi
tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali
membingungkan ketika kita harus meletakan agama dalam konteks kehidupan kita sehari-hari.
Koentjaraningrat misalnya, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya
manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya.
Ia juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua
kebudayaan yaitu, salah satunya adalah sistem religi. Pandangan di atas, menyatakan bahwa
agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian, agama merupakan gagasan dan
karya manusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsur
kebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukar untuk
berubah. Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama, maka Islam merupakan hasil dari
keseluruhan gagasan dan karya manusia. Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan
peradaban lain dalam sejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah)
dalam sejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit, ia
berproses dalam sejarah. Namun, menurut Amer Al-Roubai, Islam bukanlah hasil dari produk
budaya Akan tetapi Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban
yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi.

Secara umum konsep Islam berangkat dua pola hubungan yaitu hubungan secara
vertikal yakni dengan Allah SWT dan hubungan dengan sesama manusia. Hubungan yang
pertama berbentuk tata agama (ibadah), sedang hubungan kedua membentuk sosial
(muamalah). Sosial membentuk masyarakat, yang jadi wadah kebudayaan. Konsep tersebut
dalam penerapannya tidak terlepas dari tujuan pembentukan hukum Islam secara umum, yaitu
menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Lebih spesifik lagi, tujuan agama ialah
selamat diakhirat dan selamat ruhaniah dunia, sedang tujuan kebudayaan adalah selamat di
dunia saja. Apabila tidak dilaksanakan, terwujud ancaman Allah SWT, hilang kekuasaan
manusia untuk mewujudkan selamat di akhirat. Sebaliknya apabila mengabaikan hubungan
sosial berarti mengabaikan masyarakat dan kebudayaan. Maka hilanglah kekuasaan untuk
mewujudkan selamat di dunia, yang di bina oleh kebudayaan. Agama dan kebudayaan dapat
saling memepengaruhi sebab keduanya adalah nilai dan simbol. Agama adalah simbol ketaatan
kepada Tuhan. Demikian pula kebudayaan, agar manusia dapat hidup dilingkungannya. Jadi
kebudayaan agama adalah simbol yang mewakili nilai agama. Jadi dapat di simpulkan pula,
agama merupakan segala sesuatu yang didapat atau bersumber dari Tuhan, sedangkan
kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan atau produk (cipta, rasa, karsa) dari

7
manusia. Meskipun berbeda, agama dan kebudayaan tetaplah dikaitkan dan memiliki relasi
yang kuat. Relasi antara agama dan budaya yaitu agama menyebarkan ajarannya salah satunya
melalui budaya dan budaya membutuhkan agama untuk melestarikannya. Agama tidak serta-
merta menghapus budaya dalam masyarakat, yang beberapa memang tidak sesuai dan bertolak
belakang dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, agama lebih menggunakan budaya untuk
media dakwah sekaligus masuk dalam budaya dengan menyesuaikan apa yang boleh atau
sesuai dengan ajarannya Di sini agama berperan untuk memfiltrasi berbagai norma dan nilai
dari kebudayaan dan menegaskan bahwa agama mampu mempengaruhi budaya yang ada.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ketika Islam masuk ke wilayah nusantara ini,
masyarakat pribumi sudah terlebih dahulu memiliki sifat local primitive. Ada atau tiadanya
agama, masyarakat akan terus hidup dengan pedoman yang telah mereka miliki tersebut. Jadi
dapat dikatakan bahwa adanya agama di Nusantara ini diidentikkan dengan datangnya suatu
kebudayaan yang baru yang kelak akan berinteraksi dengan budaya lama dan tidak menutup
kemungkinan budaya yang lama juga akan terhapus oleh budaya yang baru. Dalam teori
Resepsi dikatakan bahwa suatu hukum dapat diberlakukan manakala sudah diterima dengan
hukum adat yang telah berlaku sebelumnya tanpa adanya pertentangan. Dari teori resepsi inilah
dapat diasumsikan bahwa agama akan mudah diterima oleh masyarakat apabila ajarannya
tersebut tidak bertentangan serta memiliki kesamaan dengan kebudayaan
masyarakat,sebaliknya agama akan ditolak masyarakat apabila kebudayaan masyarakat
berbeda dengan ajaran agama. Diterimanya agama dengan demikian, kebudayaan satu
masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka peluk. Ketika agama telah
diterima dalam masyarakat, maka dengan sendirinya agama tersebut akan mengubah struktur
kebudayaan masyarakat tersebut. Perubahan tersebut bisa bersifat mendasar(asimilasi) dan
dapat pula hanya mengubah unsur-unsur saja (akulturasi). Atau pada awalnya bersifat
akulturasi dan semakin lama menjadi asimilasi.Hal ini terbukti dengan munculnya organisasi
Islam pergerakan yang menginginkan untuk kembali kepada ajaran Islam murni yaitu al-
Qur’an dan as Sunnah yang secara ringkas dapat dikatakan bahwa hubungan antara agama dan
kebudayaan tersebut akan menyebabkan terjadinya proses akulturasi dan asimilasi.

Menurut Danadjaya, proses pembauran suatu budaya biasanya melalui dua proses
asimilasi, yaitu asimilasi tuntas satu arah dan asimilasi tuntas dua arah. Asimilasi tuntas satu
arah adalah seseorang atau kelompok mengambil alih budaya dan jati diri kelompok dominan
dan menjadi bagian dari kelompok itu. Asimilasi tuntas dua arah dapat berlangsung manakala
dua atau lebih kelompok etnik saling memberi dan menerima budaya yang dimiliki oleh setiap
kelompok etnik. Sifat fanatik masyarakat terhadap tradisi lama yang dimainkan oleh orang-
orang sebelum masuknya Islam menyebabkan budaya seolah-olah menjadi agama. Dalam
waktu-waktu tertentu budaya yang tidak diajarkan Islam acap kali dilangsungkan untuk
memperingati hari-hari besar. Adanya ritual sekaten di Yogyakarta dan di Surakarta, Nyadran
di Cirebon dan masih banyak contoh lainnya yang merupakan bentuk ritual yang tidak pernah
ditinggalkan oleh segenap masyarakat Indonesia dan konon kegiatan itu layak dan patut

8
diadakan, sekilas pandang didalam benak seolah apabila dilakukan amatlah sedih. Padahal
apabila kita mengulas sejarah Nabi Muhammad SAW, hal-hal yang demikian itu tidak pernah
dilakukan. Biasanya orang-orang yang sering melakukan ritual-ritual tersebut adalah orang-
orang yang enggan meninggalkan budaya peninggalan kakek-nenek mereka dan bermaksud
ingin melestarikannya bahkan mereka menganggap peninggalan sejarah yang bersifat
pluralistik peradaban kuno dan patut untuk dilestarikannya. Anehnnya, kebanyakan ulama kita
malah ikut serta dalam melakukan kegiatan tersebut. Yang jelas itu merupakan bentuk bid’ah
alias mengandung unsur buatan manusia. Untuk konteks saat ini, budaya semacam itu yang
dulu dijadikan para ulama seperti WaliSongo sebagai media dakwah, jelasnya tidak relevan
lagi untuk diterapkan di masa sekarang. Malah sebaliknya, acapkali kegiatan-kegiatan tersebut
seringkali mengandung kemaksiatan. Dengan demikian,cara yang ditempuh oleh para ulama
dulu, dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara bukan berarti dipersalahkan karena
memang situasi dan kondisi pada saat itu tidaklah memungkinkan untuk mengajarkan ajaran
Islam yang datang paling akhir setelah sebelumnya sudah ada suatu budaya lama yang sangat
diperhatikan dan dijaga oleh masyarakat dulu.

Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama
adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, an memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam
yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari dua entitas
kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul
muatan-muatan lokal dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas Islam yang
kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam. Agama sebagai budaya,
juga dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala
sosial, yang berfungsi sebagai kontrol terhadap institus-institus yang ada. Agama dan budaya
memanglah dua hal yang berbeda. Akan tetapi perbedaan ini bukanlah hal yang perlu
dibenturkan. Kita sebenarnya bisa berjalan berdampingan dan sama-sama memperoleh
kedamaian dalam menjalani kehidupan. Hanya saja, masih diperlukan kesadaran setiap insan
untuk menerapkan nilai toleransi.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang
ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya pada manusia.

Dengan hal itu maka dapat dipahami antropologi agama sangat berperan penting dalam
kehidupan yang nyata untuk mensosialisasikan kehidupan beragama. Dalam ayat
berkenaan dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan
kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya
mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan. Jadi antropologi dan
agama sangat perlu dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

10
DAFTAR PUSTAKA

Volenski, L. T., & Pals, D. L. (1997). Seven Theories of Religion. Review of Religious
Research, 39(1), 90. https://doi.org/10.2307/3512490

Pendidikan, P. S., Kewarganegaraan, P. D. A. N., Ilmu, F. P., Sosial, P., & Bojonegoro, I. P.
(2019). Antropologi budaya. 1–72.

Ikhtisar, S., & Antropologi, M. (n.d.). Pengantar antropologi.

Febrianto, A., & Wirdanengsih. (2011). Antropologi Religi. 0–86.

Koentjaraningrat, seperti yang dikutip http://komunitas-nuun.blogspot.com

Abu Ishak Al-Syâthibiy, Al-Muwâfaqât fî Ushûl Al-Syari’ah, Juz II, (Cet. III; Beirut: Dar Al-
Kutub Ilmiyah, 1424 H/2003M), h. 3.

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik Dalam Bingkai
Strukturalisme Transedental (Cet. II; Bandung: Mizan, 2001), h. 201.

Achmad Ali, Menguak TabirHukum,Kajian Filosofis dan Sosiologis,Jakarta: Chandra


Pratama.Hal. 285.

Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003)hlm.8.

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/195501011981011001-
ACHMAD_HUFAD/ppt/pertemuan1_Pengertian_dan_Sejarah_Perkembangan_Antropologi_
S.pdf

https://www.belajaryok.com/2015/03/pengertian-budaya-menurut-ilmu.html

11

Anda mungkin juga menyukai