Dosen Pengampu :
Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I.
Disusun oleh :
1. Cendy Aulia (206111040)
2. Alya Nur Haliza (206111061)
3. Salsabiil Nazhiifah Putri (206111068)
SASTRA INGGRIS 4B
FAKULTAS ADAB DAN BAHASA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2022
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-
Nya sehingga kami sanggup menyelesaikan penyusunan makalah Metodologi Studi Islam
dengan judul "Antropologi Sebagai Pendekatan Kajian Keislaman" tepat pada waktunya. Tak
lupa pula kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan sebagai bentuk pembelajaran kami
dan para pembaca dalam memahami perihal studi islam. Penulisan makalah ini kami upayakan
semaksimal mungkin dengan didukung oleh bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini belum bisa dikatakan mencapai tingkat
kesempurnaan, untuk itu besar harapan kami agar pembaca berkenan memberikan umpan balik
berupa kritik dan saran. Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau kutipan-kutipan yang
kurang berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. Perkembangan
Seperti halnya sosiologi, antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami
tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraningrat menyusun perkembangan
ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
1. Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi. Sekitar
abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk
menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia.
Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga
banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah
petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian
3
ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan
dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan
masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang
deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau
deskripsi tentang bangsa-bangsa. Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-
pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa
terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah,
menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan
seluruh himpunan bahan etnografi.
4
keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil
mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam
terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi
tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada
suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan
Lapp.
5
memasak, tempat tinggal, dan pakaian dikatakan sebagai universal budaya karena
ditemukan di semua masyarakat. Konsep budaya material meliputi ekspresi fisik
budaya, seperti teknologi, arsitektur dan seni. Sedangkan aspek immaterial budaya
seperti prinsip organisasi sosial termasuk praktik organisasi politik dan lembaga sosial,
mitologi, filsafat, sastra, dan sains merupakan warisan budaya tak benda dari
masyarakat. Tingkat kecanggihan budaya juga terkadang terlihat untuk membedakan
peradaban dari masyarakat yang kurang kompleks. Perspektif hierarkis tentang budaya
semacam itu juga ditemukan dalam perbedaan berbasis kelas antara budaya tinggi sosial
dan budaya rendah, budaya populer, atau budaya rakyat kelas bawah, yang dibedakan
oleh akses berlapis modal budaya. Dalam antropologi budaya, ideologi dan sikap
analitis dari relativisme budaya menyatakan bahwa budaya tidak dapat dengan mudah
dinilai atau dievaluasi secara obyektif karena evaluasi apa pun selalu berada di dalam
sistem nilai budaya tertentu. Dalam bahasa sehari-hari, budaya sering digunakan untuk
merujuk secara khusus pada penanda simbolik yang digunakan oleh kelompok etnis
untuk membedakan diri mereka satu sama lain seperti modifikasi tubuh, pakaian atau
perhiasan. Budaya massa mengacu pada bentuk-bentuk budaya konsumer yang
diproduksi massal.
6
masyarakat. Dengan menggunakan sudut pandang antropologi dapat membantu studi
Islam melihat keragaman pengaruh budaya dalam praktik Islam. Kajian crossculture
terhadap agama memberikan gambaran yang beragam tentang kaitan agama dan
budaya.
Secara umum konsep Islam berangkat dua pola hubungan yaitu hubungan secara
vertikal yakni dengan Allah SWT dan hubungan dengan sesama manusia. Hubungan yang
pertama berbentuk tata agama (ibadah), sedang hubungan kedua membentuk sosial
(muamalah). Sosial membentuk masyarakat, yang jadi wadah kebudayaan. Konsep tersebut
dalam penerapannya tidak terlepas dari tujuan pembentukan hukum Islam secara umum, yaitu
menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Lebih spesifik lagi, tujuan agama ialah
selamat diakhirat dan selamat ruhaniah dunia, sedang tujuan kebudayaan adalah selamat di
dunia saja. Apabila tidak dilaksanakan, terwujud ancaman Allah SWT, hilang kekuasaan
manusia untuk mewujudkan selamat di akhirat. Sebaliknya apabila mengabaikan hubungan
sosial berarti mengabaikan masyarakat dan kebudayaan. Maka hilanglah kekuasaan untuk
mewujudkan selamat di dunia, yang di bina oleh kebudayaan. Agama dan kebudayaan dapat
saling memepengaruhi sebab keduanya adalah nilai dan simbol. Agama adalah simbol ketaatan
kepada Tuhan. Demikian pula kebudayaan, agar manusia dapat hidup dilingkungannya. Jadi
kebudayaan agama adalah simbol yang mewakili nilai agama. Jadi dapat di simpulkan pula,
agama merupakan segala sesuatu yang didapat atau bersumber dari Tuhan, sedangkan
kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan atau produk (cipta, rasa, karsa) dari
7
manusia. Meskipun berbeda, agama dan kebudayaan tetaplah dikaitkan dan memiliki relasi
yang kuat. Relasi antara agama dan budaya yaitu agama menyebarkan ajarannya salah satunya
melalui budaya dan budaya membutuhkan agama untuk melestarikannya. Agama tidak serta-
merta menghapus budaya dalam masyarakat, yang beberapa memang tidak sesuai dan bertolak
belakang dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, agama lebih menggunakan budaya untuk
media dakwah sekaligus masuk dalam budaya dengan menyesuaikan apa yang boleh atau
sesuai dengan ajarannya Di sini agama berperan untuk memfiltrasi berbagai norma dan nilai
dari kebudayaan dan menegaskan bahwa agama mampu mempengaruhi budaya yang ada.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ketika Islam masuk ke wilayah nusantara ini,
masyarakat pribumi sudah terlebih dahulu memiliki sifat local primitive. Ada atau tiadanya
agama, masyarakat akan terus hidup dengan pedoman yang telah mereka miliki tersebut. Jadi
dapat dikatakan bahwa adanya agama di Nusantara ini diidentikkan dengan datangnya suatu
kebudayaan yang baru yang kelak akan berinteraksi dengan budaya lama dan tidak menutup
kemungkinan budaya yang lama juga akan terhapus oleh budaya yang baru. Dalam teori
Resepsi dikatakan bahwa suatu hukum dapat diberlakukan manakala sudah diterima dengan
hukum adat yang telah berlaku sebelumnya tanpa adanya pertentangan. Dari teori resepsi inilah
dapat diasumsikan bahwa agama akan mudah diterima oleh masyarakat apabila ajarannya
tersebut tidak bertentangan serta memiliki kesamaan dengan kebudayaan
masyarakat,sebaliknya agama akan ditolak masyarakat apabila kebudayaan masyarakat
berbeda dengan ajaran agama. Diterimanya agama dengan demikian, kebudayaan satu
masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka peluk. Ketika agama telah
diterima dalam masyarakat, maka dengan sendirinya agama tersebut akan mengubah struktur
kebudayaan masyarakat tersebut. Perubahan tersebut bisa bersifat mendasar(asimilasi) dan
dapat pula hanya mengubah unsur-unsur saja (akulturasi). Atau pada awalnya bersifat
akulturasi dan semakin lama menjadi asimilasi.Hal ini terbukti dengan munculnya organisasi
Islam pergerakan yang menginginkan untuk kembali kepada ajaran Islam murni yaitu al-
Qur’an dan as Sunnah yang secara ringkas dapat dikatakan bahwa hubungan antara agama dan
kebudayaan tersebut akan menyebabkan terjadinya proses akulturasi dan asimilasi.
Menurut Danadjaya, proses pembauran suatu budaya biasanya melalui dua proses
asimilasi, yaitu asimilasi tuntas satu arah dan asimilasi tuntas dua arah. Asimilasi tuntas satu
arah adalah seseorang atau kelompok mengambil alih budaya dan jati diri kelompok dominan
dan menjadi bagian dari kelompok itu. Asimilasi tuntas dua arah dapat berlangsung manakala
dua atau lebih kelompok etnik saling memberi dan menerima budaya yang dimiliki oleh setiap
kelompok etnik. Sifat fanatik masyarakat terhadap tradisi lama yang dimainkan oleh orang-
orang sebelum masuknya Islam menyebabkan budaya seolah-olah menjadi agama. Dalam
waktu-waktu tertentu budaya yang tidak diajarkan Islam acap kali dilangsungkan untuk
memperingati hari-hari besar. Adanya ritual sekaten di Yogyakarta dan di Surakarta, Nyadran
di Cirebon dan masih banyak contoh lainnya yang merupakan bentuk ritual yang tidak pernah
ditinggalkan oleh segenap masyarakat Indonesia dan konon kegiatan itu layak dan patut
8
diadakan, sekilas pandang didalam benak seolah apabila dilakukan amatlah sedih. Padahal
apabila kita mengulas sejarah Nabi Muhammad SAW, hal-hal yang demikian itu tidak pernah
dilakukan. Biasanya orang-orang yang sering melakukan ritual-ritual tersebut adalah orang-
orang yang enggan meninggalkan budaya peninggalan kakek-nenek mereka dan bermaksud
ingin melestarikannya bahkan mereka menganggap peninggalan sejarah yang bersifat
pluralistik peradaban kuno dan patut untuk dilestarikannya. Anehnnya, kebanyakan ulama kita
malah ikut serta dalam melakukan kegiatan tersebut. Yang jelas itu merupakan bentuk bid’ah
alias mengandung unsur buatan manusia. Untuk konteks saat ini, budaya semacam itu yang
dulu dijadikan para ulama seperti WaliSongo sebagai media dakwah, jelasnya tidak relevan
lagi untuk diterapkan di masa sekarang. Malah sebaliknya, acapkali kegiatan-kegiatan tersebut
seringkali mengandung kemaksiatan. Dengan demikian,cara yang ditempuh oleh para ulama
dulu, dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara bukan berarti dipersalahkan karena
memang situasi dan kondisi pada saat itu tidaklah memungkinkan untuk mengajarkan ajaran
Islam yang datang paling akhir setelah sebelumnya sudah ada suatu budaya lama yang sangat
diperhatikan dan dijaga oleh masyarakat dulu.
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama
adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, an memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam
yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari dua entitas
kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul
muatan-muatan lokal dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas Islam yang
kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam. Agama sebagai budaya,
juga dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala
sosial, yang berfungsi sebagai kontrol terhadap institus-institus yang ada. Agama dan budaya
memanglah dua hal yang berbeda. Akan tetapi perbedaan ini bukanlah hal yang perlu
dibenturkan. Kita sebenarnya bisa berjalan berdampingan dan sama-sama memperoleh
kedamaian dalam menjalani kehidupan. Hanya saja, masih diperlukan kesadaran setiap insan
untuk menerapkan nilai toleransi.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang
ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya pada manusia.
Dengan hal itu maka dapat dipahami antropologi agama sangat berperan penting dalam
kehidupan yang nyata untuk mensosialisasikan kehidupan beragama. Dalam ayat
berkenaan dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan
kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya
mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan. Jadi antropologi dan
agama sangat perlu dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
10
DAFTAR PUSTAKA
Volenski, L. T., & Pals, D. L. (1997). Seven Theories of Religion. Review of Religious
Research, 39(1), 90. https://doi.org/10.2307/3512490
Pendidikan, P. S., Kewarganegaraan, P. D. A. N., Ilmu, F. P., Sosial, P., & Bojonegoro, I. P.
(2019). Antropologi budaya. 1–72.
Abu Ishak Al-Syâthibiy, Al-Muwâfaqât fî Ushûl Al-Syari’ah, Juz II, (Cet. III; Beirut: Dar Al-
Kutub Ilmiyah, 1424 H/2003M), h. 3.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik Dalam Bingkai
Strukturalisme Transedental (Cet. II; Bandung: Mizan, 2001), h. 201.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/195501011981011001-
ACHMAD_HUFAD/ppt/pertemuan1_Pengertian_dan_Sejarah_Perkembangan_Antropologi_
S.pdf
https://www.belajaryok.com/2015/03/pengertian-budaya-menurut-ilmu.html
11