Anda di halaman 1dari 28

CORAK KALAM

THEOSENTRIS DAN ANTROPOSENTRIS


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dr. Mujiburrohman.,M.Pd

Disusun Oleh:
Ika Ade Liana (216121247)
Awalia Rahma Malika (216121272)
Aisyah Fathniy Rahmatika (216121282)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS ADAB DAN BAHASA
UNIVERSITAS ISLAM RADEN MAS SAID SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayah-Nya. Alhamdulillahirabbil ‘alamin penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Kalam Theosentris dan
Antroposentris” tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan kita Baginda Rasul Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Dr.
Mujiburrohman.,M.Pd selaku dosen pada mata kuliah Ilmu Kalam. Serta
semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah
ini.

Dalam kata pengantar ini, penulis akan menjelajahi esensi dari


kalam theosentris yang menekankan peran agama dan spiritualitas dalam
kehidupan manusia, sambil juga mempertimbangkan antroposentris, yang
menitikberatkan pada manusia sebagai pusat penting dalam alam semesta.
Semoga tulisan ini dapat memberikan wawasan yang berharga dalam
perdebatan tentang peran manusia dan keberadaannya dalam hubungannya
dengan yang Maha Kuasa dan alam semesta.

Sukoharjo, 29 Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................3
A. Kalam Theosentris.........................................................................................3
B. Kalam Antroposentris....................................................................................7
C. Perbandingan Kontras Theosentris dan Antroposentris..............................18
D. Perkembangan dari Theosentris menuju Antroposentris.............................19
BAB III....................................................................................................................22
PENUTUP...............................................................................................................22
A. Kesimpulan..................................................................................................22
B. Saran............................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................24

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kalam theosentris dan antroposentris adalah dua pandangan
filosofis yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan
Tuhan, serta peran manusia dalam alam semesta. Kalam theosentris
adalah pandangan yang menekankan bahwa Tuhan adalah pusat dari
segala sesuatu, dan alam semesta serta kehidupan manusia ada untuk
memenuhi tujuan ilahi-Nya. Sementara itu, kalam antroposentris
adalah pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat utama
dari eksistensi, dengan keyakinan bahwa manusia memiliki kendali
utama atas nasibnya dan alam semesta ada untuk melayani
kebutuhan manusia. Latar belakang makalah tentang corak kalam
theosentris dan antroprosentris bisa dimulai dengan menguraikan
pentingnya pemahaman tentang pandangan manusia terhadap
tempatnya dalam alam semesta. Seiring perkembangan budaya,
agama, dan ilmu pengetahuan, konsep theosentris dan antroposentris
telah memainkan peran penting dalam membentuk nilai-nilai, etika,
dan orientasi sosial manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kalam theosentris?
2. Bagaimana pemikiran kalam theosentris menurut
Kuntowijoyo?
3. Apa yang dimaksud dengan kalam antroposentris?
4. Bagaimana pemikiran antroposentris menurut Hassan
Hanafi?
5. Bagaimana perbandingan kontras theosentris dan
antroposentris?
6. Bagaimana perkembangan Theosentris menuju
Antroposentris?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui makna dari kalam theosentris

1
2. Untuk mengetahui kalam theosentris menurut Kuntowijowo
3. Untuk mengetahui arti dari kalam antroposentris
4. Untuk mengetahui pemikiran antroposentris menurut Hassan
Hanafi
5. Untuk mengetahui perbandingan kontras theosentris dan
antroposentris

6. Untuk mengetahui perkembangan Theosentris menuju


Antroposentris

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kalam Theosentris
Teosentrisme berasal dari bahasa Yunani, theos, yang
memiliki arti tuhan, dan bahasa Inggris, center, yang berarti pusat.
Teosentrisme mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan
nilai terkait ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan
dengan sistem lainnya. Jelasnya teosentrisme di sini menjelaskan
bahwa tuhan sebagai pusat dari alam semesta. Teosentris di sini
adalah kebalikan dari antroposentris. Manusia tidak mempunyai
daya apapun untuk melakukan perbuatannya karena semuanya sudah
di kendalikan oleh tuhan.

Hanafi mengibaratkan kiri Islam sebagai paradigma


independen pemikiran keagamaan memandang mu’tazilah sebagai
refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan manusia.
Konsep tauhid menurut hanafi, lebih merupakan prinsip-prinsip
rasional murni dari pada konsep personifikasi sebagaimana yang
menjadi keyakinan asy’ariyah. Ketika membicarakan relasi Tuhan
dan manusia, maka mainstream pemikiran teologi selalu bersifat
teosentris (berpusat pada Tuhan). Cara pandang seperti ini
menganggap bahwa agama adalah cara orang untuk bertuhan, suatu
teologi yang mengajak manusia untuk meninggalkan segala-galanya
demi Tuhan. Tuhan tidak hanya menciptakan manusia, tetapi juga
mengintervensi, mendatangi, dan bersemayam dalam kehidupan
duniawi. Karenanya, kehidupan manusia adalah kehidupan pasif,
linier, status quo, monoton, yang semua itu merupakan wujud dari
absolusitas skenario.

Teologi teosentris seperti ini, sekalipun menurut Nurcholish


Madjid, menghasilkan dampak positif (seperti adanya pegangan
hidup), akan tetapi sesungguhnya ia memiliki efek samping yang
sangat berbahaya, yaitu pembelengguan pribadi dan pemrosotan

3
harkat martabat kemanusiaan. Adapun pergeseran teologi yang
dimaksud adalah paradigma antroposentris. Suatu teologi yang
menempatkan manusia sebagai pusat orientasinya (teologi sebagai
inti memanusiakan dan menyejaterakan manusia).

1. Pemikiran theosentris menurut Kuntowijoyo


Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A. (juga dieja Kuntowidjojo ; 18
September 1943 – 22 Februari 2005) adalah seorang budayawan,
sastrawan, dan kisah perjalanan dari Indonesia. Kuntowijoyo
mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah
Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan
SMA di Solo, sebelum lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1969. Gelar M,. American History diperoleh
dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974,
dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun
1980. Ia mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
dan terakhir menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, dan
menjadi peneliti senior di Pusat Studi dan Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketika
kuliah di UGM, ia pernah menjadi sekretaris Lembaga
Kebudayaan Islam (Leksi). Sampai tahun 1971 ia menjadi ketua
Studi Grup Mantika, tempat ia bergaul dengan Arifin C. Noer. Ia
meninggal dunia akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare,
dan ginjal yang dideritanya setelah beberapa tahun mengalami
serangan virus meningoencephalitis. Ia meninggalkan seorang
istri dan dua anak.
Pemikiran Kuntowijoyo tentang Humanisme Teosentris
berdasarkan pada surat at-Tiin tentang iman dan amal yang
dianggap dapat menghindarkan terjadinya dehumanisasi, yakni
tidak memanusiakan manusia. Iman diartikan sebagai konsep
teosentris dengan mengabdikan diri kepada Tuhan, sedangkan
amal dimaksudkan sebagai aksi kemanusiaan, yang merupakan
konsep humanisme. Jadi yang dimaksud dengan humanisme

4
teosentris adalah objektifikasi ajaran iman dan amal, oleh
karena itu amal dapat dianggap melakukan redefinisi dari
kemanusiaan. Selama ini humanisme hanya diukur dari
rasioanalitasnya, namun Kuntowijoyo mengusulkan agar
kemanusiaan tidak hanya diukur dari rasionalitasnya saja,
melainkan dengan transendensi, sebab transendensi akan
mengembalikan dimensi makna dan tujuan manusia.
Pemahamannya terhadap esensi agama Islam yaitu agama
yang mengutamakan kemanusiaan sebagai tujuan sentral
dengan memadukan antara humanisme dan teosentris.
Humanisme diartikan sebagai cara untuk mengangkat
martabat manusia sementara teosentris adalah memusatkan diri
kepada Tuhan. Alasan memadukan hal ini sebagai alternatif
agar keduanya tidak lagi bertentangan, seperti yang
diketahaui bahwa humanisme mengalami krisis spiritual dan
Teosentris dianggap mengalami krisis sosial. Melihat
problematika tersebut, Kuntowijoyo memberikan alternatif untuk
melakukan transendensi, yakni memusatkan diri pada
keimanan terhadap Tuhan, dengan bertujuan untuk kemuliaan
peradaban manusia. Prinsip humanisme teosentrik ini kemudian
ditransformasikan sebagai nilai dan dilaksanakan dalam
masyarakat dan budaya (Kuntowijoyo, 2008: 168). Humanisasi
tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep
transendensi yang menjadi dasarnya, karena itu Kuntowijoyo
menyebutnya humanisme teosentris.
2. Pemikiran Theosentris menurut Nurcholis
Karena pemahaman pada logika teosentris adalah perjalanan
hidup dengan kehadiran Tuhan yang menampakkan diri (Maujud)
di mana-mana. Tuhan tidak hanya menciptakan manusia, tetapi
juga mengintervensi, mendatangi, dan bersemayam dalam
kehidupan duniawi. Tuha dianggap hadir secara fisik dalam setiap
sudut duniawi. Karenanya kehidupan manusia adalah kehidupan

5
pasif, liniear, status quo, monoton dan kepasrahan. Berkait
dengan realitas sosialnya sendiri, Teologi adalah wilayah ke-
Tuhan-an, sedang realitas sosial adalah wilayah kemanusiaan.
Jika mengikuti pandangan ini, maka tidak ada kaitan antara
teologi dengan transformasi sosial. Artinya kalau orang ingin
menjadikan teologi sebagai basis transformasi sosial tidak
ubahnya seperti mencari jarum di tengah padang pasir yang maha
luas. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah teologi macam
apa yang bisa dijadikan basis transformasi sosial? Disinilah
pentingnya upaya “memanusiakan teologi” dan “menteologikan
manusia”. Memanusiakan teologi berarti menjadikan teologi
mempunyai visi kemanusiaan dan menteologikan manusia berarti
menjadikan manusia sebagai basis pemahaman teologis. Karena
itulah para pemikir teologi mulai mencari alternatif untuk
merumuskan sebuah paham teologi yang lebih memihak kepada
manusia, sehingga dalam kristen muncul istilah teologi
pembebasan yang belakangan juga diadopsi beberapa pemikir
Islam. Teologi model ini dianggap lebih memihak kepada
manusia. Berupaya menghilangkan kemiskinan dan ketidak adilan
(dan hal-hal lain) sebagi wujud gerakan pembebasan. Atau orang-
orang Nahdliyin menyebutnya dnegan Istilah Teologi
pembangunan. Kalau masih dalam pengertian di atas, dengan cara
berpikir dikotomis, maka ketauhidan atau secara sederhana
difahami keberimanan, menurut Nurcholis Madjid, masih berhenti
pada kepercayaan pada “Tuhan” meski sebenarnya pengertian
teologi teosentris tersebut menghasilkan dampak-dampak yang
baik, berupa adanya pegangan hidup, meski juga dampak itu
sendiri bisa palsu. Akan tetapi menurut Nurcholis Madjid, justru
yang lebih jelas berbahaya dan nyata-nyata merugikan adalah
dampak sampingannya, yaitu pembelengguan pribadi dan
pemrosotan harkat dan kemanusiaan. Kepercayaan dalam
pengertian ini belum pada kepercayaan pada “Tuhan”, maka

6
sudah menjadi suatu keniscayaan akan perlunya Shifting
Paradigm (Pergeseran Paradigma) dalam teologi (Ilmu Kalam).
Karena kalau teologi hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris)
dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan
kemanusiaan Universal (antoposentris), maka rumusan teologinya
lambat laun akan terjadi Out of Date. Counter terhadap pemikiran
yang menganggap agama sebagai cara orang ber-Tuhan saja
(teosentris), melahirkan tafsir dan cara pandang sebaliknya, yaitu
agama adalah cara orang untuk bermanusia. Dalam cara
pemahaman agama seperti ini, melahirkan teologi anrtoposentris.

B. Kalam Antroposentris
Anthropocentric. Kata ini berasal dari bahasa Yunani
anthropikos, dari anthropos (manusia) dan kentron (pusat). Istilah
ini mengacu kepada pandangan mana pun yang mempertahankan
bahwa manusia merupakan pusat dan tujuan akhir dari alam semesta.
Mengacu kepada pandangan bahwa nilai-nilai manusia merupakan
pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang
dan secara tahap demi tahap mendukung nilai-nilai itu. Pengertian di
atas mengandung arti bahwa manusia menjadi pusat dari alam
semesta. Pemahaman antroposentris di sini sangat jelas bahwa
manusia mempunyai kebebasan dalam melakukan perbuatannya
tanpa campur tangan tuhan. Hal ini bisa dilihat bahwa nilai-nilai
kemanusiaan lebih tinggi dibandingkan dengan ketuhanan. Jadi,
Antroposentris itu anggapan bahwa manusialah yang menjadi pusat
alam semesta. Paham antroposentris atau menurut beberapa
pendapat ahli, bahwa manusia sebagai look yang sempurna di muka
bumi ini merupakan pusat dari alam semesta dan semua bertumpu
pada manusia. Kemajuan ataupun kemunduran alam dapat
dipengaruhi oleh manusia. Misalnya tumbuhan, hewan, benda-benda
langit dan seterusnya. Pemikiran ini keenderungan manusia
menganggap dirinya sebagai entitas pusat dan yang paling penting di

7
alam semesta. Terkait perubahan dan tata kelola di alam semesta
semua diatur oleh manusia.
Prinsip dasar manusia memilih teori ini karena memang konsep
hakekat manusia itu ada tiga. Yang pertama adalah manusia sebagai
super Being sesuai dengan ayat Al-Qur’an dalam surat At-Tiin yang
berarti “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya” Jadi manusia itu adalah mahkluk yang
paling sempurna diantara mahkluk-mahkluk yang lain. Yang kedua
manusia sebagai mahkluk rasional terdapat pada ayat Al-Qur’an
yang berarti “ Allah menundukkan malam dan siang, matahari dan
bulan untukmu, dan bintang-bintang dikendalikan dengan-Nya.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
( kebesaran Allah) bagi yang mengerti ( berakal). Yang ketiga bahwa
manusia itu sebagai Khalifah Fil Ardl, yang diartikan bisa menjadi
pemimpin dimuka bumi. Dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah yang
artinya “ Dan ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para
malaikat atau hendak menjadikannya Khalifah di Bumi”. Selain ada
prinsip dasar pemikiran manusia adapun tokoh yang mendukung
Antroposentris ini, yakin yang pertama adalah Plato beliau
mengatakan “jiwa merupakan pusat atau intisari kepribadian
manusia”. Yang kedua ada Socrates yang mengatakan bahwa “
Manusia dapat merefleksi, mentransformasi dan menganalisis alam
semesta melalui dialog dan debat”. Yang ketiga ada Dave Foreman
yang mengatakan bahwa “ Manusia mendominisasi dan melihat
kebutuhan untuk mengembangkan sebagian besar wilayah bumi.”
Yang terakhir ada Val Plumwood yang mengatakan bahwa “
Pemisahan yang berelebihan dari manusia dan alam”. Artinya bahwa
alam dan manusia itu tidak boleh dipisahkan karena perkembangan
alam itu tergantung kepada manusia.
1. Biografi Hassan Hanafi
Hassan Hanafi merupakan intelektual Islam kontemporer
yang punyan pengaruh besar dalam diskursus teologi Islam.

8
Sejarah telah mencatat kontribusinya terhadap pemikiran Islam
kontemporer dalam merespon dinamika kehidupan mutakhir.
Hassan Hanafi lahir pada tanggal 13 februari tahun 1935 di Kairo,
Mesir tepatnya di dekat Benteng Salahuddin, daerah
perkampungan Al-Azhar, di mana kota ini merupakan tempat
bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin
belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Ia lahir dari leluhur
Berber dan Badui Mesir. Ia adalah seorang filosof dan teolog
Mesir yang meraih sarjana muda dalam bidang filsafat di
Universitas Kairo pada tahun 1956.
Latar belakang pendidikan Hanafi dimulai dari pendidikan
dasar di Madrasah Sulayman Ghawish, dan tamat pada 1948.
Kemudian lanjut di Madrasah Sanawiyah “Khalil Alga” di Kairo,
dan tamat pada tahun 1952. Lanjut pada akhir tahun 1950 an
bangkitnya kesadaran religius pada diri Hanafi. Pada masa itulah
ia mengenal lebih dalam lagi tentang pemikiran wacana Islam
yang berkembang di lingkungan gerakan islam (harakah). Ketika
di Perancis, Hanafi berlatih berpikir secara metodologis, baik
dalam dunia perkuliahannya, dan karya-karya orientalisnya.
Selain itu Hassan Hanafi juga mempelajari Filsafat Idealisme
jerman, terutama filsafat pada pemikiran Hegel dan Marx.
Lanjut pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program
Master Doktornya di Universitas Sorbone, Ia memperoleh gelar
Doktor dengan desertasinya yang berjudul “ Essai Sur La
Methode d’Exergese” Esai tentang metode penafsiran. Kemudian
tahun 1980 ia diangkat menjadi Rektor di Universitas Kairo pada
jurusan Filsafat. Lalu tahun 1988, diserahi jabatan sebagai Ketua
Jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Dikarenakan
suasana Mesir baik secara politik intelektual kurang kondusif,
Hassan Hanafi menjelajahi negara lain dan aktif membagikan
pengetahuannya di kampus-kampus. Seperti di Perncis (1969),
Belgia ( 1970), Temple Universitas Philadelphia AS (1971-1975),

9
Universitas Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko (1982-1984),
kemudian menjadi Guru Besar tamu di Universitas Tokyo (1984-
1985), kemudian di Persatuan Emirat Arab (1985), diangkat
menjadi Penasehat Program pada Universitas PBB di Jepang
(1985-1987). Dan 1988 menjadi ketua jurusan filsafat di
Universitas Kairo. Hanafi sendiri banyak menyerap pengetahuan
barat dan memfokuskan diri pada kajian pemikir barat pra modern
dan modern.
2. Tokoh yang Mempengaruhi
Perjalanan intelektual seorang pemikir tak lahir secara tiba-
tiba, ada proses panjang yang melatar belakanginya. Begitupun
yang terjadi dengan Hassan Hanafi, ketertarikannya pada dunia
Islam dan Filsafat membuat dirinya banyak membaca karya-
karya ulama filsuf sebelumnya. Dalam proses itulah, terjadi
transfer pengetahuan yang kemudian memiliki pengaruh
terhadap pembacanya. Dalam tulisan ini, sedikitnya penulis
menguraikan pengaruh Edmund Husserl, Karl Marx, Sayyid
Qutb, dan Muhammad Iqbal.
a. Pengaruh Edmund Husserl
Tokoh fenomenologi dalam filsafat. Lahir pada 8
April 1859 di Prossnitz dan wafat pada 1938 di Freiburg,
Breisgau. Seorang filsuf Jerman keturunan Yahudi. Filsafat
fenomenologi diletakkan dasar oleh Hanafi dalam
memahami dan memetakan realitas sosial, poitik ekonomi,
realitas khazanah keislaman, dan realitas tantangan Barat,
dengan menekankan pada revolusi teologi. Sebuah karya
Hanafi berupa desertasi 900 halaman dengan judul, “Essai
Sur La Methode d’Exegese” (Essai tentang Metode
Penafsiran) . Lahir dari buah pikirannya karena ia
mendalami filsafat Edmund Husserl yang banyak
memberinya inspirasi. Karya tersebut merupakan upaya
Hanafi dalam mengahapkan ilmu Ushul Fiqh terhadap

10
filsafat Fenomenologi Husserl. Hanafi hendak menganalisis
kontek sejarah Islam Mesir dengan kacamata Fenomenologi
Husserl, sebagai sebuah pijakan yang kebenarannya relatif
memuaskan dibanding dengan metode lain. Meskipun kita
tak menafikan, setiap metode ilmiah memiliki kekurangan
dan kelebihannya masing-masing. Maka kita dapat
membaca bagaimana arah pemikiran Hassan Hanafi. Dalam
berbagai gagasan yang dilontarkan, realitas menjadi pijakan
dalam pemikiran Hanafi, termasuk juga dalam memutuskan
hukum Islam.
b. Pengaruh Karl Marx
Karl Marx lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818,
dari kalangan keluarga ruhaniawan Yahudi. Ayahnya
Heinrich Marx, adalah seorang pengacara ternama dan
termasuk golongan menengah di kota itu. Sementara ibunya
adalah putri seorang pendeta Belanda yang juga berbangsa
Yahudi. Tahun 1935, saat itu ia berusia 17 tahun Marx
menamatkan sekolah menengah di Traves. Kemudian, atas
kemauan sang ayah yang tidak bisa ia tolak, ia masuk
fakultas hukum Universitas Bonn selama satu tahun.
Kemudian ia mempelajari filsafat dan sejarah di Universitas
Berlin.Periode yang dilalui tersebut dalam sejarah
kefilsafatan laazim dikenal dengan sebutan periode Marx
Muda. Saat belajar di Berlin ia sangat tertarik dengan
filsafat Hegel. Sehingga dalam perkembangannya, banyak
gagasan Hegel yang diterjemahkan secara kongkrit dalam
pemikiran Karl Marx. Ia sempat tinggal di Jerman, Paris,
dan akhirnya meninggal di London tahun 1883. Namun
pemikirannya sampai saat ini masih hidup, mengisi ruang-
ruang diskusi menembus batas ruang dimana Karl Marx
hidup. Tak terkecuali Hanafi yang dikenal sebagai pemikir
kiri, bahkan ia pernah menulis tentang kiri Islam. Sebuah

11
gagasan konstruktif menuju kebebasan berfikir dan
kesejahteraan umat. Maka jika kita mencermati gerakan
pemikiran Hanafi, ada pengaruh Karl Marx sebagai pemikir
kiri, Hanafi menghendaki revolusi, bangunan Teologi Islam
yang dihadirkan oleh Hassan Hanafi mencerminakan
kesamaan kelas. Hassan Hanafi menghendaki lahirnya
kehidupan yang berkeadilan, sebagai spirit ajaran Islam
yang menempatkan manusia pada posisi yang sama.
Karenanya Hanafi menentang penjajahan dan eksploitasi
kekayaan yang banyak diminati oleh pengusaha ataupun
pemerintah yang dengan seenaknya menggunakan uang
negara tanpa berfikir tentang nasib rakyat. Pandangan
seperti itu tentu sejalan dengan pemikiran Karl Marx yang
mengandaikan tatanan dunia berkeadilan tanpa perbedaan
kelas. Tetapi pemikiran kesetaraan Hanafi sendiri
sebenarnya tidak terlalu sulit seperti Karl Marx, sebab
sandaran pandangan Hanafi adalah Islam
c. Pengaruh Sayyid Qutb
Lahir di Qaha provinsi Asyud Mesir pada tahun 1906,
pernah belajar di Darul al’ulum dan berhasil meraih sarjana
sastra dan diploma di bidang pendidikan. Melalui pengaruh
dari Sayyid Qutb dapat dilihat dari gerakan pemikiran
Hanafi yang begitu mencintai kelahiran Islam yang
progresif.
Sayyid Qutb lahir di Qaha Provinsi Asyud Mesir pada
tahun 1906, ia pernah belajar di Darul al-‘Ulum dan
berhasil meraih sarjana sastra dan diploma bidang
pendidikan. Sayyid Qutb termasuk penulis yang produktif,
banyak karya lahir darinya. Sebagai seorang yang aktif di
Ihwanul Muslimin, Hanafi sangat terkesima dengan
pemikiran Sayyid Qutb. Ia mengakui, Sayyid Qutb punya
pengaruh yang kuat dalam dirinya. Hanafi sangat terpesona

12
terhadap gaya, kelugasan, dan kesederhanaan bahasanya.
Terutama pemikiran Sayyid Qutb yang masih terngiang
dalam diri Hanafi yakni tentang “al-Islam Harakah
Ibdaiyyal Shamilah fi al-Fann wa al-Hayat” (Islam:
Gerakan Kreatif yang Komprehensif dalam Seni dan
Hidup). Ia merasa sampai sekarang masih menemukan
dirinya dalam tulisan tersebut. Andai Sayyid Qutb masih
hidup Hanafi menyatakan bahwa dirinya pasti akan menjadi
murid terbaiknya. Melalui pengaruh dari Sayyid Qutb dapat
dilihat gerakkan pemikiran Hanafi yang begitu mencintai
kelahiran Islam yang progresif. Sebuah agama yang
mestinya melahirkan pencerahan dalam hidup. Artinya
meski selama ini Sayyid Qutb dikenal sebagai pemikir yang
radikal, dalam bayangan Hanafi itu terjadi karena tekanan
dari pemerintah. Hanafi mengandaikan itu tidak mungkin
terjadi bila saja pemerintah tidak melakukan tindakan
represif juga. Maka yang mengalir dalam pemikiran Hanafi
tentu bukan pemikiran radikalismenya. Melainkan gaya
pemikiran Sayyid Qutb yang mempunyai impian besar
tentang kejayaan Islam melalui pemikiran progresifnya.
d. Pengaruh Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dikenal sebagai pemikir Islam yang
sangat progresif. Ia lahir pada tanggal 9 November 1877 di
Sailkot, Punjab, Pakistan. Iqbal merupakan keturunan
muslim yang sejak tiga abad sebelum kelahirannya sangat
taat beragama. Iqbal dikenal sebagai pemikir yang
progresif, ia menempatkan ajaran agama sebagai spirit
hidup. Iqbal mengkritik Barat yang dianggap sebagai
bangsa yang kehilangan semangat spiritual dan transenden.
Mereka banyak terjebak dalam kehidupan kapitalisme dan
liberalisme. Hassan Hanafi sebagai pemikir Islam kiri, juga
mendapat pencerahan dari percikan pemikiran Muhammad

13
Iqbal. Perjumpaan Hassan Hanafi dengan pemikiran
Muhammad Iqbal pada saat berada ditingkat tiga
Universitas Kairo Mesir, membuat Hanafi tertarik
mendalami pemikirannya. Karena Iqbal bagi Hanafi
dianggap mampu mendialogkan antara masa lalu dan masa
sekarang. Pemikiran Iqbal tentang kehidupan, penciptaan,
kreasi, kekuatan, jihad, identitas diri, ketersesatan, dan umat
menjadi sensasi luar biasa. Kemampuan Iqbal
mendialogkan ajaran agama dengan realitas umat terkini,
tentu bisa dilihat dari pemikiran Hanafi. Obsesi besar
Hanafi melalui Teologi Antroposentrisnya, menandai
betapa Iqbal dalam hal ini mempunyai pengaruh yang
begitu besar.
3. Pemikiran Antroposentris Hassan Hanafi
Counter terhadap pemikiran yang menganggap agama
sebagai cara orang untuk mempercayai Tuhan saja (teosentris),
melahirkan sebuah tafsir dan cara pandang yang sebaliknya,
yaitu agama adalah cara orang untuk memanusiakan-manusia.
Dalam cara pemahaman agama yang seperti ini, melahirkan
sebuah teologi antroposentris. Suatu teologi yang menempatkan
manusia sebagai pusat dari segalanya. Tuhan telah menciptakan
alam semesta. Oleh karena itu manusia bebas (free-sekuler)
untuk menentukan dirinya sendiri sebagai pusat dari segalanya.
Sebab inti agama adalah cara untuk bersifat humanis dan
menyejahterakan manusia. Akibatnya adalah diskursus
mengenai ekoreligi sebagai contoh, didasarkan pada nilai-nilai
kapitalis dan sekuler yang anti pelestarian lingkungan; sebuah
fokus yang menempatkan manusia itu sendiri sebagai raja yang
sah untuk mengeksploitasi seluruh kekayaan alam yang
berdasarkan untung-rugi bagi kepentingannya. “Manusia tidak
salah apalagi berbuat berdosa” atas perilaku tersebut. Ini adalah
sebuah konsekuensi yang akan diterima, akan tetapi tidak

14
semutlak itu. Bagi Hasan Hanafi teologi antroposentris harus
tetap tidak lepas dari teologi teosentris itu sendiri.
Teologi bukan hanya membicarakan tentang ke-Esa-
an Tuhan, namun juga membahas kondisi sosisal umat Islam.
Karena Islam adalah ajaran universal. Maka teologi juga harus
bersifat universal, dalam artian pembahasannya tidak hanya
tentang Tuhan, namun juga terakait persoalan duniawi dan
mental. Dengan demikian, apa yang harus ditelaah kembali
adalah bagaimana teologi bisa berfungsi di dalam pemikiran
muslim kontemporer, lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan
di dalam peradaban. Konstruksi metodologi Hassan Hanafi
terbangun oleh kenyataan historis dan konteks zaman yang
berpengaruh besar secara langsung. Hanafi sebagai seorang
pemikir Arab nampak sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran
filsafat marxis, filsafat fenomenologi, filsafat hermeneutic, dan
elektik. Hanafi mencoba menerapkan metodologinya dalam
kerangka membangun kembali tradisi keilmuan Islam.
Rekonstruksi tradisi yang berlaku sepanjang sejarah dan
merupakan bagian dari realitas itu, merupakan suatu yang
mungkin bagi perubahan sosial.
Menurut Hassan Hanafi, terdapat 2 jenis masyarakat
dalam dunia modern yaitu menganggap “tradisi” tetap sebagai
sumber inspirasi yang kuat dan yang kedua adalah ‘masyarakat
modern” dimana tradisi tidak lagi menjadi sumber nilai atau
kekuasaan. Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang
memanfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan
dan tujuan masyarakat. Namun, apakah kebutuhan dan tujuan itu
merupakan keinginan obyektif atau semata-mata manusiawi,
atau barangkali hanya merupakan cita-cita dan nilai atau
pernyataan egoisme murni. Hassan Hanafi menegaskan, tidak
ada arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk setiap ayat kitab
suci. Sejarah teologi, menurut Hassan Hanafi adalah sejarah

15
proyeksi keinginan manusia dalam kitab suci itu. Setiap ahli
teologi atau penafsir melihat bahwa kitab suci itu sesuatu yang
ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia
menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah
itu. Teologi bisa berperan sebagai suatu ideologi pembebasan
bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan
oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi
setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan
masyarakat yang berbeda. Karena itu Hassan Hanafi
menyimpulkan, bahwa tidak ada kebenaran objektif atau arti
yang berdiri sendiri terlepas dari keinginan manusiawi.
Kebenaran teologi adalah kebenaran korelasional, atau yang
biasa Hassan Hanafi sebut sebagai persesuaian antara arti
naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang
selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal, sehingga
suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran
obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu. Hassan Hanafi
menegaskan, rekonstruksi teologi tidak harus membawa
implikasi terhadap hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi
teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang
dating ke dunia menggunakkan konsep yang terpelihara murni
dalam sejarah.
Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi
sekurang-kurangnya dilatar belakangi oleh tiga hal, sebagai
berikut: Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang
jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai
ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada
sisi teoritisnya, melainkan terletak pada kepentingan praktis
untuk secara nyata mewujudkan ideology sebagai gerakan dalam
sejarah, salah satu kepentingan praksis ideologi Islam (dalam
teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di
negara-negara muslim. Dan ketiga, kepentingan teologi yang

16
bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas
melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. Dikarenakan
menganggap teologi Islam tidak “ilmiah” dan tidak “membumi”
maka Hassan Hanafi mengajukan suatu konsep baru yang
tujuannya adalah dalam rangka menjadikan teologi tidak sekedar
sebagai dogma keagamaan, melainkan harus menjelma sebagai
ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi
secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan
manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hassan Hanafi yang
berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentransformulasikan
teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju
antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual
kepada kontekstual, dan dari teori kepada tindakan,serta dari
takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini minimal
didasarkan atas dua alasan, yaitu: pertama, kebutuhan akan
adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarunga global
antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru bukan
hanya bersifat teoritik, akan tetapi sekaligus juga praktis yang
bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
Menurut Hassan Hanafi teologi pembebasan
mengambil beberapa hal positif dari teologi-teologi sebelumnya.
Adapun kelebihan dari teologi ini adalah memprioritaskan hal-
hal yang praksis dari pada yang teoritis, mengambil tempat di
tengah kaum yang tertindas, sebagai alat perjuangan dalam
wilayah sosial dan politik, dan melakukan pembebasan melalui
teologi sekaligus berlaku bagi manusia.
Hanafi mengkritik cara pandang yang cenderung
menempatkan agama pada wilayah Tuhan semata. Dalam
pandangan tersebut coraknya masih bersifat teosentris.
Paradigma berfikir dan penghayatan seperti itu meniscayakan
bahwa segala sesuatu yang dilakukan adalah hanya untuk Tuhan
semata dan sekaligus mengesampingkan nilai-nilai

17
kemanusiaan. Pengabdian kepada Tuhan yang ritualistic lebih
diutamakan dan dikumandangkan. Padahal, Tuhan tidak
berkepentingan atas ibadah manusia, karena manusia lah yang
sebenarnya membutuhkan ibadah tersebut.
D. Perbandingan Kontras Theosentris dan Antroposentris
Perbandingan kontras Theosentris dan Antroposentris melibatkan
pemahaman dasar tentang dua pandangan dunia yang berbeda.
Berikut penjelasannya :
1. Theosentris
a. Theosentris adalah pandangan dunia yang menempatkan
Tuhan atau entitas ilahi sebagai pusat segala sesuatu
dalam alam semesta. Ini berarti bahwa semua hal
termasuk manusia, ada tujuan yang ditentukan oleh
kehendak tuhan.
b. Di dalam Theosentris, alam semesta dianggap sebagai
manifestasi dari kehendak ilahi, dan segala sesuatu yang
terjadi dipandang sebagai bagian dari rencana tuhan.
c. Manusia dalam pandangan theosentris adalah mahkluk
yang memiliki tanggung jawab moral untuk hidup sesuai
dengan kehendak tuhan dan menghormati keteraturan
alam semesta.
2. Antroposentris
a. Antroposentris adalah pandangan dunia yang
menempatkan manusia sebagai pusat dan mahkluk yang
paling penting di alam semesta. Ini berarti bahwa segala
sesuatu dalam alam semesta diukur atau diinterpretasikan
dengen referensi kepada manusia.
b. Dalam antroposentris, manusia cenderung menganggap
diri mereka sebagai puncak penciptaan dan sering kali
cenderung mengabaikan peran Tuhan atau entitas ilahi
dalam kehidupan mereka.

18
c. Antroposentris sering kali berfokus pada pemenuhan
kebutuhan dan keinginan manusia tanpa memperhatikan
dampaknya pada lingkungan dan mahkluk lain.
Jadi perbandingan antara keduanya adalah :

a. Theosentris menempatkan tuhan atau kehendak ilahi


sebagai pusat, sementara antroposentris menempatkan
manusia sebagai pusat.
b. Theosentris menekankan pada keteraturan alam
semesta yang ditentukan oleh tuhan, sedangkan
antroposentris lebih fokus pada kepentingan manusia.
c. Theosentris mendorong pandangan moral dan etika
yang didasarkan pada kehendak tuhan, sementara
antroposentris cenderung menciptkan sistem etika
berdasarkan kepentingan manusia.
d. Theosentris sering kali memandang manusia sebagai
mahkluk yang memiliki tanggung jawab untuk
menjalani kehidupan yang sesuai dengan kehendak
tuhan, sedangkan antroposentris dapat mengarah pada
pandangan egois yang mengabaikan tanggung jawab
moral terhadap alam semesta.
E. Perkembangan dari Theosentris menuju Antroposentris
Di dalam tradisi keagamaan Islam, teologi (aqidah)
dipandang sebagai unsur penting yang mendasari adanya sebuah
agama, tanpa teologi yang menjadi dasar keimanan seseorang, maka
tidak ada agama. Berbicara mengenai relasi Tuhan dengan manusia,
di dalam kajian teologi selalu bersifat theosentris yang mana tuhan
itu sebagai pusat dalam segala hal. Terkadang masih banyak yang
mempertanyakan apa kaitannya teologi untuk menyelesaikan
masalah-masalah sosial yang tumbuh dalam kehidupan manusia.
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, teologi itu bukan sarana untuk
melakukan transformasi masyarakat. Tetapi lebih sebagai suatu
bidang kajian untuk mentransformasikan tuhan. Cara berfikir

19
dikotomis ini, menganggap bahwa agama adalah cara orang untuk
bertuhan (theosentris), atau bisa dikatakan sebagai “mengajak
manusia untuk meninggalkan segala-galanya demi tuhan”.
Logikanya, karena kita semua berasal dari tuhan maka tuhanlah kita
serahkan segalanya. Sebab, segalanya (dunia dan nasib manusia)
tidak begitu penting kecuali tuhan sendiri. Meskipun theosentris
menghasilkan dampak yang baik seperti adanya pegangan hidup
manusia, meski dampak itu juga bisa saja palsu. Adapun menurut
perspekif dari Nurcholis Madjid justru lebih berbahaya dan nyata-
nyata merugikan manusia adalah dampak kesampingnya, yaitu
pembelengguan secara pribadi dan pemrosotan harkat dan
kemanusiaan. Kepercayaan ini belum pada kepercayaan kepada
“Tuhan”, maka perlu adanya shifting paradigm ( pergeseran
paradigma) yang ada pada teologi (ilmu kalam). Karena kalau
sebuah teologi hanya berbicara tentang tuhan tanpa adanya
keterkaitan dengan persoalan kemanusian secara universal
(antroposentris) maka rumusan teologinya lambat laun akan terjadi
out of date.
Untuk menjadikannya seimbang antara theosentris dan
antroposentris, maka adanya counter dari theosentris yaitu
perkembangan menuju antroposentris bahwa agama sebuah konsep
yang menekankan humanisme (antroposentris) merupakan teologi
yang menggambarkan manusia sebagai pusat segala sesuatu.
Pendirian ini didasarkan pada pemikiran bahwa manusia adalah
mahkluk yang bebas sekuler, dan bahwa manusia adalah raja yang
mengekploitasi segala ilmu penetahuan untuk keuntungannya.
Perspektif tersebut merupakan pada teologi antroposentris Hassan
Hanafi. Hassan Hanafi mengkritik terhadap karya pemikiran ilmu
kalam terdahulu sebagai sesuatu hal yang jauh dari etos progesivitas
kemanusiaan, yang selalu mengsubordinasikan manusia. Dalam
referensi-referensi teologi, selalu diungkapkan pujian-pujian kepada
Allah SWT dan pernyataan kelemahan manusia dihadapan ke Maha

20
besaran-Nya. Sikap yang sedemikian terpatri dalam manusia,
dampaknya membuat orang tak percaya diri terhadap dirinya dan
tidak berkuasa ketika berhadapan dengan penguasa temporal, baik
penguasa politik,budaya, dan keagamaan itu sendiri. Konsep
eksistensi Hassan Hanafi erat katannya dengan eksistansialisme
barat yang menekankan pentingnya aspek kemanusiaan dalam
wacana islam kontemporer. Ia berpendapat bahwa konsep eksitensi
mempunyai kedudukan penting dalam konsep keimanan, dan
penafsiran islam harus mencangkup konsep “Aqaliyah” dan konsep
tuhan. Hal ini sejalan dengan teologi konservatif yang menekankan
pentingnya “Aqaliyah”. Menurut Hassan Hanafi, pengetahuan
mengenai mana yang benar dan yang salah, tidak serta merta datang
dari atas,melainkan dari perenungan diri sendiri atas data-data
pemikiran dan kenyataan. Teoritis bukan merupakan analisis bersifat
rasional yang cermat terhadap ide-ide dan kenyataan dengan meneliti
berbagai fenomena peristiwa. Hal ini adalah ukuran-ukuran
kebenaran dan garis-garis yang mengatur sebuah pemikiran. Hassan
hanafi melakukan pergesaran paradigma, dari ilmu Allah menuju
ilmu manusia, dari dasar-dasar agama menuju bersifat bergumul
pada masyarakat. Masyarakat sendiri merupakan generasinya
perubahan dan revolusi, yang tidak melacurkan diri pada penguasa
keagamaan atau politik, dan kepentingan rakyat melawan sama
penguasa. Teologi kalam Hassan Hanafi bukan sekedar penjelasan
konsep “kekuasaan” melainkan cara menganalisis realias yang saat
ini dipahami manusia masa kini. Fokusnya adalah memahami
keberadaan umat manusia dalam realitas “buminya”, dari yang ilahi
hingga yang menusiawi. Pergeseran paradigma dari theosentri ke
antroposentri telah menyebabkan pergeseran dari mengakui dunia
sebagai entitas ketuhanan menjadi memandang dunia sebagai entitas
ketuhanan. Pergeseran ini juga menyebabkan pergeseran dari ritual
individul ke riual sosial.

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Kalam theosentris dan antroposentris adalah dua pendekatan


dalam pemikiran keagamaan. Kalam theosentris menekankan
fokus pada tuhan sebagai pusat, sementara kalam
antroposentris lebih menyoroti peran manusia dalam
pemahaman keagamaan. Kalam berdasarkan pemikiran dari
Kuntowijowo dan Hassan Hanafi adalah dua tokoh yang
mempengaruhi pemikiran ini. Perkembangan dari theosentris
ke antroposentris mencerminkan perubahan dalam
pandangan masyarakat terhadap agama, dengan penekanan
lebih pada keterlibatan manusia dalam pencarian makna
spiritual.
2. Antroposentrisme Hassan Hanafi adalah pemusatan
pemikiran pada manusia yang mengalami dehumanisasi
dalam sejarah. Pemusatan pemikiran ditujukan untuk
menghadapi tantangan zaman terbesar saat ini yaitu,
kolonialisme, zionisme dan kapitalisme. Sementara itu,
tantangan yang bersifat internal adalah keterbelakangan,
kemiskinan dan kebodohan.
3. Antroposentrisme yang dicanangkan Hassan Hanafi
mengajak seluruh umat Islam agar memiliki kepekaan
terhadap realitas dan isu isu kontemporer. Membangun
hubungan yang seimbang, karena persoalan teologi tidak
hanya terpusat pada wilayah Tuhan semata. Namun kita juga
harus mengasah nila-nilai kemanusiaan, yaitu memberikan
sumbangan kongkrit seperti pengentasan kemiskinan dan
penderitaan

22
B. Saran
1. Di bidang akademik perlu adanya apresiasi terutama
perguruan tinggi terhadap gagasan yang progressif seperti
yang dimiliki Hassan Hanafi
2. Bagi pembaca diharapkan makalah ini dapat membuka
wawasan tentang teologi antroposentris. Sehingga mampu
berfikir kritis terhadap realitas yang hadapi dan mampu
dengan peka membaca fenomena yang terjadi sehingga
pemikiran akan selalu dinamis mengikuti perkembangan

23
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, 1987, Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Pustaka al husna.
Fajriah, I. A. (2018). Corak Teosentrisme dan Antroposentrisme Dalam
Pemahaman Tauhid di Pondok Pesantren Attauhidiyah Cikura
Bojong Kabupaten Tegal (Skripsi). Semarang: Universitas Islam
Negeri Walisongo.
Madjid Nurcholish, 2005, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah
Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan kemodernaan,
Jakarta: Penerbit Paramadina.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan,
2008
Falah, R. Z., & Farihah, I. (2015). Pemikiran Teologi Hassan
Hanafi. Fikrah, 3(1), 201-220.

24

Anda mungkin juga menyukai