Anda di halaman 1dari 88

ISSN : 2338-0357

Volume II, NOMOR II, ­Oktober 2014

Syahadah
Jurnal Ilmu Al-Qur’an­
& Keislaman

Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya


­Ath-Thabari
Amaruddin

Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur dan Kontribu­


sinya terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer
Abd. Halim

Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari


(Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir
­al-Kasysyaf)
Lenni Lestari

Tafsir Berwawasan Gender (Study Tafsir Al-Misbah Karya


M.Quraish Shihab)
Atik Wartini

Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid


karya Abd Rauf Al- Sinkili)
Afriadi Putra

Penerbit: Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI)


Universitas Islam Indragiri Tembilahan – Indragiri Hilir – Riau
Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200
Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0853 56200 444
Email : journal_syahadahfiai@yahoo.com
ii

SYAHADAH
Jurnal Ilmu Al-Qur’an & Keislaman
Penerbit:
Program Studi Ilmu al-Qur’an & Tafsir
Universitas Islam Indragiri Tembilahan
Pembina:
Rektor Universitas Islam Indragiri
Penanggung Jawab/Pengarah:
Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam
Tim Ahli:
Amaruddin, S. Ag, MA
H. Muhammad Yusuf, Lc,M.S.I
Pimpinan Redaksi:
Ridhoul Wahidi, MA
Tim Redaksi:
Nasrullah, M.S.I
Gianti, S.Th.I
Mitra Bestari
Dr. Mikdar Rusdi (Universitas Tun Husein Onn Malaysa)
Dr. H. Abdul Mustaqim, MA (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Dr. Risman Bustamam (IAIN Imam Bonjol Padang)
Dr. Muhammad al-Fatih Suryadilaga (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Distribusi & Sirkulasi:
Ali Murtopo, S. Sos. I
Nurhayati. S. E
Barry Gunawan
Editor/Lay-out
Fiddian Khairuddin, S.Th.I., MA
Alamat Redaksi:
Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI)
Universitas Islam Indragiri Tembilahan – Indragiri Hilir – Riau
Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200
Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0853 56200 444
Email : journal_syahadahfiai@yahoo.com
Jurnal Syahadah merupakan jurnal ilmu al-Qur’an dan keislaman de­ngan
kajian multidisipliner, terbit dua kali dalam satu tahun (April dan oktober),
dikelola oleh program studi Manajemen Pendidikan Islam Fak. Ilmu Agama
Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Redaksi menerima tulisan
yang relevan selama mengikuti petunjuk penulisan yang ditetapkan.
iii

SAJIAN
Volume II, No. II, Oktober 2014 ISSN : 2338-0357

SAJIAN (iii)
EDITORIAL (iv)

Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya


­Ath-Thabari (Hal. 5)
Amaruddin

Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur dan


Kontribusi­nya terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer (Hal. 16)
Abd. Halim

Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari


(Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir
­al-Kasysyaf) (Hal. 31)
Lenni Lestari

Tafsir Berwawasan Gender


(Study Tafsir Al-Misbah Karya M.Quraish Shihab) (Hal. 48)
Atik Wartini

Khazanah Tafsir Melayu


(Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid karya Abd Rauf ­­
Al- Sinkili) (Hal. 69)
Afriadi Putra
iv

EDITORIAL
Bismillahi Al-Rahman Al-Rahim
Puji dan syukur kepada Allah swt., Jurnal Ilmu al-Qur’an dan
Keislaman Syahadah Volume II Nomor II Oktober 2014 hadir kem-
bali untuk menyapa para pembaca, peminat, dan penikmat ilmu al-
Qur’an dan keislaman.
Jurnal di hadapan anda ini terbit dua kali dalam setahun.
Penerbitan yang rutin, dalam waktu dekat, diharapkan mampu
memenuhi salah satu standar dalam penilaian akreditasi Fakultas
Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Lebih
jauh, jurnal ini diproyeksikan mampu menjawab segala tantangan
dari permasalahan­yang ada di masyarakat dan dunia Islam, yaitu
dengan berkontribusi dalam penyebaran dan pengembangan karya
ilmiah intelektual di bidang ilmu al-Qur’an dan keislaman.
Jurnal Syahadah Volume II Nomor II Oktober 2014 ini ditulis­
oleh beberapa akademika pecinta ilmu al-Qur’an dan ­keislaman.
Mereka adalah:
1. Amaruddin, Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-
Qur’an Karya Ath-Thabari.
2. Abd. Halim, Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur
dan Kontribusinya terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer.
3. Lenni Lestari, Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-
Zamakhsyari (Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa
dalam Tafsir al-Kasysyaf).
4. Atik Wartini, Tafsir Berwawasan Gender (Study Tafsir Al-Mis-
bah Karya M.Quraish Shihab).
5. Afriadi Putra, Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarju-
man Al- Mustafid karya Abd Rauf Al- Sinkili).
Dewan redaksi sepenuhnya menyadari bahwa terdapat berbagai
kelemahan dan kekurangan pada penerbitan edisi kali ini. Maka
­masukan dan kritikan dari semua pihak akan kami terima dengan
terbuka dan rasa terima kasih.

Tim Redaksi
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
Karya Ath-Thabari

Amaruddin, MA
Ketua Lembaga Pengkajian Studi Keislaman dan Dosen Fakultas
Agama Islam Universitas Islam Indragiri

Ibnu Katsir merupakan penulis tafsir monumental Jami’ al-Bayan


fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir ini ditulis dengan sangat indah, sehingga
beberpa tokoh ulama lain memberikan komentar. Imam as-Suyuthi
mengatakan, “Kitab Ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang
sampai kepada kita). Di dalamnya beliau mengemukakan berbagai
macam pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat,
­serta membahas i’rob dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-
tafsir karya para pendahulu.” Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah
memuji Imam Thabari, antara lain mengatakan, “Adapun tafsir-
tafsir yang di tangan manusia, yang paling dahulu adalah tafsir
Ibnu Jarir Ath thabari, bahwa beliau (Ibnu jarir) menyebutkan per-
kataan salaf dengan sanad-sanad yang tetap, dan tidak ada bid’ah
sama sekali, dan tidak menukil dari orang yang Muttahim, seperti
Muqatil bin Bakir dan Al Kalbi.” Dari komentar tersebut, penulis
ingin mengungkap tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Ibnu
Katsir secara t­ untas, sehingga dapat diungkap historitas penulis dan
tafsirnya ­secara utuh.
Key words: Ibnu Katsir, Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah wahyu Allah dengan kebenaran mutlak yang
menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat
Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi
untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manu-
sia, baik secara pribadi maupun secara kelompok.1
Al-Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya,
gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang di-
kandungnya tidak pernah habis, dapat dilayari dan diselami dengan
berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi
kehidupan manusia. Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pen-
curahan hati bagi yang membacanya. Dalam kedudukannya sebagai

1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1995), h. 172.


Jurnal Syahadah
6
Vol. II, No. II, Oktober 2014

kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin, al-Qur’an merupak-


ansumber keamanan, motivasi, dan inspirasi, sumber dari segala
sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya.
Di dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosio-
ekonomis, religius, ideologis, politis dan budaya dari peradaban umat ma-
nusia sampai abad ke VII Masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat
al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat
besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk
membuka gudang simpani yang tertimbun dalam al-Qur’an.2
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalam berb-
agai aspek kehidupan manusia, al-Qur’an merupakan kitab suci yang
terbuka (open ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan
dalam perspektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi
kehidupan manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji
al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu tafsir.

B. Pembahasan
a. Biografi Ath-Thabari
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir seorang imam,
ulama’ dan mujtahid pada abad ini, kunyahnya adalah Abu
Ja’far Ath Thabari. Beliau dari penduduk Amuli, bagian dari
daerah Thabristan, karena itulah sesekali ia disebut sebagai
Amuli selain dengan sebutan yang masyhur dengan Ath-
Thabari. Uniknya Imam Thabari dikenal dengan sebutan kun-
yah Abu Ja’far, padahal para ahli sejarah telah mencatat bahwa
sampai masa akhir hidupnya Imam Thabari tidak pernah me-
nikah.Beliau dilahirkan pada akhir tahun 224 H awal tahun
225 H.
Para sejarawan yang menulis biografi Ath-Thabari tidak
banyak yang menjelaskan kondisi keluarga ulama besar ini.
Hanya saja, dari sumber yang sangat terbatas tersebut dapat di-
simpulkan bahwa keluarga Ath-Thabari tergolong sederhana,
kalau tidak dikatakan miskin, namun ayahnya sangat mement-
ingkan pendidikan putranya tersebut, sebagaimana yang akan
dijelaskan nanti.
2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 83
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ...
7
Amaruddin, MA

Jika melihat faktor lingkungan ketika masa hidup Imam


Thabari, maka di masa tersebut adalah masa dimana tradisi
keilmuan Islam mengakar kuat, terbukti dengan munculnya
sejumlah ulama besar dari daerah Amul, seperti Ahmad bin
Harun al-Amuli, Abu Ishaq bin Basyar al-Amuli, Abdullah bin
Hamad al-Amuli dan ulama besar lainnya.
Selain faktor lingkungan, faktor keluarga juga sangat ber-
peran penting dalam menumbuhkan semangat mencari ilmu
pada diri Imam Thabari. Beliau pernah bercerita dihadapan
murid-muridnya tentang dukungan ayahnya, Jabir bin Yazid
kepadanya dalam menuntut ilmu dan pengalamannya di masa
kanak-kanak, Ibnu Jarir berkata:
“Aku sudah hafal Al Qur’an ketika aku berumur 7 tahun,
dan shalat bersama manusia (jadi imam) ketika berumur 8
tahun, dan mulai menulis hadist ketika berumur 9 tahun,
dan ayahku bermimpi bahwa aku berada di depan Rasulullah
dengan membawa tempat yang penuh dengan batu, lalu aku
lemparkan di depan Rasulullah. Lalu penta’bir mimpi berka-
ta kepada ayahku: ‘Sekiranya nanti beranjak dewasa dia akan
berguna bagi agamanya dan menyuburkan syari’atnya.’ Dari
sinilah ayahku bersemangat dalam mendidikku.”
b. Masa Belajar, Guru-guru dan Murid-muridnya
Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah,
beliau juga salah seorang yang memiliki banyakilmu, cerdas,
banyak karangannya dan belum ada yang menyamainya.
Banyak kota-kota yang ia singgahi sampai ia tidak puas
dengan hanya memasukinya sekali, ia masuk ke kota tersebut
beberapa kali untuk memuaskan hasrat keilmuannya, di anta-
ra kota-kota tersebut adalah Baghdad, di kota ini ia mengambil
mazhab Syafi’iyyah dari Hasan Za’farani, kemudian Bashrah,
di kota ini ia belajar hadits kepada Abu Abdullah as-Shan’ani,
lalu di Kufah, di sana ia belajar ilmu puisi kepada Tsa’lab dan
masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir, Beirut dan Dam-
askus. Pada akhirnya Imam Thabari sempat pulang ke tanah
kelahirannya di Thabristan pada tahun 290 H, tapi tak lama
kemudian kembali ke Baghdad dan menjadikannya tempat
persinggahan terakhir untuk mencurahkan seluruh aktifitas
ilmiyahnya hingga beliau wafat.
Jurnal Syahadah
8
Vol. II, No. II, Oktober 2014

Guru beliau 40 orang lebih, diantaranyaMuhammad bin


Abdul Malik bin Abi Asy Syawarib, Ismail bin Musa As Suddi,
Ishaq bin Abi Israil, Muhammad bin Abi Ma’sar, Muhammad
bin Aufat-Tha’i, Musa bin Sahal ar-Ramali, Muhammad bin
Abdullah dan yang lainnya. (didalam tafsir beliau didapatkan,
bahwa guru beliau berjumlah 62 guru).
Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah nama guru
Ath-Thabari lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru
al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd al-
Malik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi,
al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala’,
Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn
Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.
Karena kedalaman ilmu Imam Thabari, maka wajar saja
bila orang-orang ketika itu berlomba untuk menampung samu-
dera ilmu yang terpancar dari beliau. Di antara sekian banyak
ulama yang mengambil ilmu dari beliau adalah Ahmad bin Ali
bin Muhammad bin Nashr, Ahmad bin Qasim bin Ubaidillah
bin Mahdi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Lakhmi, Mu-
hammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali.
Teman-teman dari Ibnu Jarir Ath-Thabari, di antaran-
yaAhmad bin Abdullah bin Ahmad al-Farghani,ia juga meri-
wayatkan karangan dari Ibnu Jarir, di antara karangan al-
Farghani adalah Sirah al-Aziz Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah
Kafur al-Ihsyidi.3 Ibnu Yazid Abi Bakar al-Qardhi, yang menjadi
hakim di daerah Kufah, di antara karangannya adalah kitab
Gharib al-Quran, kitab al-Qiraat, kitab at-Taqrib fi Kasyfi al-Ghar-
ib, dan kitab al-Mukhtashar fi al-Fiqh.
c. Mobilitas, Aktivitas dan Hasil Karyanya
Ath-Thabari dapat dikatakan sebagai ulama multi talenta
dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Tafsir, qira’at, hadits,
ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik, sya`ir dan
`arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disip-
lin ilmu yang sangat dikuasainya. Namun tidak hanya ilmu-
ilmu agama dan alat, Ath-Thabari pandai ilmu logika (man-
thiq), berhitung, al-Jabar, bahkan ilmu kedokteran.
3 Yaqut al-Himawi, Mujam al-Adibba, (Beirut: Maktabah Syamilah), juz I, h. 113
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ...
9
Amaruddin, MA

Beliau adalah seorang laki-laki yang mempunyai ilmu


yang sangat luas, maka tidak heran jika karangan beliau tak
bisa dihitung hanya dengan waktu 1000 detik.Namun sangat
disayangkan, mayoritas kitab beliau hilang dan tidak sampai
kepada kaum muslimin kecuali hanya sedikit. Dan hasil karya
Imam Thabari antara lain:
1. Kitab Adabul Qadha’ ( Al Hukkam)
2. Kitab Adabul Manasik
3. Kitab Adab an-Nufuus
4. Kitab Syarai’al-Islam
5. Kitab Ikhtilaful Ulama’ atau Ikhtilaful Fuqaha’ atau Ikhti-
lafu Ulama’il Amshor fi Ahkami Syarai’il Islam.
6. Kitab Al Basith, tentang kitab ini beliau Imam Adz Dza-
habi berkata, “Pembahasan pertama adalah tentang
­thaharah, dan semua kitab itu berjumlah 1500 lembar.”
7. Kitab Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikhul Rusul wal Muluk)
8. Kitab Tarikhul Rijal minas Shahabah wat Tabi’in.
9. Kitab at-Tabshir.
10. Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw
Minal Akhbar.
11. Kitab Al Jaami’ fil Qira’at
12. Kitab Haditsul Yaman
13. Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim
14. Kitab az- Zakat
15. Kitab Al ‘Aqidah
16. Kitabul Fadhail
17. Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib
18. Kitab Mukhtashar Al Faraidz
19. Kitab Al Washaya
Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak
kami sebutkan disini. Selain banyaknya bidang keilmuan yang
disentuh, bobot karya-karya Ath-Thabari sangat dikagumi para
ulama dan peneliti.
d. Penilaian Terhadap Imam Ath-Thabari
Imam Thabari bukan berasal dari keluarga yang mapan
atau kaya, hal ini bisa dibuktikan dengan bekal dari orang tua­
nya yang ketika dicuri ia tidak dapat menggantinya lagi. Begi-
Jurnal Syahadah
10
Vol. II, No. II, Oktober 2014

tujuga kisah kelaparan yang dia alami selama di Mesir dan kiri-
man orang tuanya yang dikirim terlambat, sehingga ia terpaksa
menjual pakaiannya.Namun dengan keterbatasan ekonomi
tersebut tidak lantas melunturkan semangat Imam Thabari
dalam menuntut ilmu.
Penguasaan Ath-Thabari terhadap berbagai disiplin ilmu
ini menjadi catatan sendiri para ulama sepanjang masa, se-
hingga tidak heran sederet predikat dan sanjungan disemat-
kan kepadanya.Al-Khathib al-Baghdadi (w.463H) salah satu-
nya.Dalam kitab Tarikh Baghdad, ia menyatakan,
“Ath-Thabari adalah seorang ulama paling terkemuka yang
pernyataannya sangat diperhitungkan dan pendapatnya
pantas menjadi rujukan, karena keluasan pengetahuan dan
kelebihannya.Ia menguasai berbagai disiplin ilmu yang sulit
ditandingi oleh siapa pun di masa itu.”
Pengakuan terhadap keilmuan Ath-Thabari tidak hanya
datang dari para ulama lintas generasi sesudahnya yang meng-
kaji dan meneliti karya-karya besarnya, seperti Ibn al-Atsir
(w.630H), al-Nawawi (w.676H), Ibn Taimiyah (w.728H), al-Dza-
habi (w.748H), Ibn Katsir (w.774H), Ibn Hajar al-`Asqalani
(w.852H), al-Suyuthi (w.911H) dan lain-lain. Tapi para ulama
yang hidup satu generasinya juga tidak kurang menyatakan
kekaguman dan pujiannya, di antara pujian mereka terhadap
ImamThabari adalah sebagai berikut:
Abu Sa’id berkata,
“Muhammad bin Jarir berasal dari daerah Amul, menulis di
negri Mesir. Lalu pulang ke Bagdad, dan telah mengarang
beberapa kitab yang monumental, dan itu menunjukkan lu-
asnya ilmu beliau.”
Al Khatib berkata, “Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsir bin Ghalib, beliau adalah salah satu Aimmah Ulama’
(sesepuh ulama’), perkataannya bijaksana dan selalu dimin-
tai pendapatnya karena pengetahuannya dan kemuliaannya.
Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak penah ada
seorangpun yang melakukannya semasa hidupnya. Beliau
adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qira’at, ilmu Ma’ani faqih
tehadap hukum-hukum al-Qur’an, tahu sunnah dan ilmu ca-
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ...
11
Amaruddin, MA

bang-cabangnya, serta mampu mengetahui mana yang shahih


dan yang cacat, nasikh dan mansukhnya, aqwalus shahabah dan
tabi’in, tahu sejarah hidup manusia dan keadaanya. Beliau
memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat dan biografi-
nya” dan kitab tentang “tafsir” yang belum pernah ada menga-
rang semisalnya dan kitab yang bernama “Tahdzibul Atsar” yang
belum pernah aku (Imam Adz Dzahabi) lihat semacamnya, na-
mun belum sempurna. Beliau juga punya kitab-kitab banyak
yang membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari
aqwal para Fuqaha’.
Imam Adz Dzahabi berkata:
“Beliau adalah orang Tsiqah, jujur, khafidz, sesepuh dalam
ilmu tafsir, imam (ikutan) dalam ilmu fiqh, ijma’ serta (hal-
hal) yang diperselisihkan, alim tentang sejarah dan harian
manusia, tahu tentang ilmu Qira’at dan bahasa, serta yang
lainnya.”
Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama Qira’at, menyatakan,
“Abu Ja`far Ath-Thabariadalah seorang ulama fiqih, hadits,
tafsir, nahwu, bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang terse-
but dia melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli
karya para pengarang lain.”
e. Latar Belakang Penyusunan Tafsir Thabari
Beberapa keterangan menyebutkan latar belakang penu-
lisan Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an adalah karena Ath-Thabari
sangat prihatin menyaksikan kualitas pemahaman umat Islam
terhadap al-Qur’an. Mereka sekadar bisa membaca al-Qur’an
tanpa sanggup menangkap makna hakikinya. Karena itulah,
Ath-Thabari berinisiatif menunjukkan berbagai kelebihan al-
Qur’an. Ia mengungkap beragam makna al-Qur’an dan kedah-
syatan susunan bahasanya seperti nahwu, balaghah,dan lain
sebagainya. Bahkan jika ditilik dari judulnya, kitab ini meru-
pakan kumpulan keterangan (Jami’ al-Bayan) yang cukup luas
meliputi berbagai disiplin keilmuan seperti Qiraat, Fiqih, dan
Aqidah.4

4 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani. 2008), h. 69.
Jurnal Syahadah
12
Vol. II, No. II, Oktober 2014

f. Karakteristik Tafsir
Ath-Thabari menggunakan metode ilmiah yang memiliki
unsur-unsur yang jelas dan sempurna. Ia menggabungkan anta-
ra riwayat, dirayat, ashalah (keotentikan). Sisi riwayat ia peroleh
dari studinya terhadap sejarah, sirah nabawiyah, bahasa, syair,
qiraat, dan ucapan orang-orang terdahulu. Adapun sisi dirayat
ia peroleh dari perbandingannya terhadap pendapat-pendapat
para fuqaha setelah ia ketahui dalil dari masing-masing me­
reka, dan cara pentarjihannya. Kemudian dari pengetahuan-
nya terhadap ilmu hadits yang menyangkut studi sanad, kondi-
si perawi dan kedudukan hadits. Satu hal yang mempertajam
sisi dirayat-nya adalah karena ia pandai ilmu jadal (perdebatan),
yaitu ilmu yang menjadi sarana untuk mengadu dalil dan argu-
mentasi, dimana Thabari adalah pakarnya.
g. Sumber Penafsiran
Tafsir Thabari adalah penggabungan antara dua sisi se-
cara seimbang dan sempurna. Di dalamnya terdapat sejumlah
riwayat hadits yang melebihi riwayat hadits yang ada dalam
kitab-kitab tafsir bil ma’tsur yang ada pada masanya. Kemudian
lebih dari itu, di dalamnya terdapat teori ilmiah yang diban-
gun atas dasar perbandingan dan penyaringan antar pendapat.
Dengan cara ini Thabari telah menempuh langkah metodolo-
gis yang sangat penting, dimana tafsir bukan hanya sekedar
berisi penjelasan tentang riwayat-riwayat dan atsar, melainkan
telah bercampur dengan kajian analisa yang tidak keluar dari
jalur kebenaran. Itu semua dilakukan dengan mengkaji ‘illah,
sebab-sebab dan qarinah (sisi indikasi dalil).
h. Metode Penulisan Tafsir
Metode yang digunakan dalam kitab ini yaitu metode
tahlili, metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an den-
gan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung
di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-
Qur’an mushaf Usmani.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, mufasir biasanya melaku-
kan langkah sebagai berikut:
a. Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu
ayat dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ...
13
Amaruddin, MA

surah lain.
b. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul).
c. Menganalisis mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pan-
dang bahasa Arab.
d. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksud-
nya.
e. Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, dan i’jaz-nya,
bila dianggap perlu. Khususnya, apabila ayat-ayat yang di-
tafsirkan itu mengandung keindahan balaghah.
f. Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang
dibahas, khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan
adalah ayat-ayat ahkam, yaitu berhubungan dengan per-
soalan hukum.
g. Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung
dalam ayat bersangkutan. Sebagai sandarannya, Thabari
mengambil manfaat dari ayat-ayat lainnya, hadits Nabi
Saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, di samping ijti-
had sendiri.5
i. Sistematika Penulisan
Sistematika yang digunakan oleh Thabari dalam setiap
bukunnya terdapat langkah penting, diantaranya:
a. Biasanya Thabari memulai dengan menetapkan dan
membatasi tema yang akan dibahas, baik itu berupa ayat
dan penafsirannya atau penjelasan sebuah hadits, kemu-
dian menyimpulkan berbagai pendapat mengenai aqidah,
hukum fiqih, qira’at, suatu pendapat, atau permasalan
yang diperselisihkan.
b. Apabila tema telah ditetapkan, ia mulai mengumpulkan ba-
han-bahan ilmiah yang berkaitan dengannya dan berusaha
semaksimal mungkin agar bahan yang ia kumpulkan leng-
kap dan menyeluruh demi kesempurnaan tema yang diba-
hasnya. Semua ini dilakukan sebelum memulai penulisan.
c. Jika semua bahan kajian telah terkumpul, ia pun mulai
meneliti dan mempelajarinya. Beliau meneliti dengan
sangat sabar setiap hadits dan atsar yang menyangkut

5 M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,


1999), h. 172-173.
Jurnal Syahadah
14
Vol. II, No. II, Oktober 2014

penafsiran setiap ayat al-Qur’an.


d. Thabari tidak cukup hanya dengan metodologi deduktif,
melainkan seringkali membandingkan antara sanad den-
gan dalil, dan mengindikasikan kelemahan atau perten-
tangan yang terjadi pada yang lebih kuat dalam pengam-
bilan dalil dan argumentasi. Ketika ia menjelaskan mana
dalil yang paling kuat dengan menggunakan ungkapan-
ungkapannya yang terulang pada lembaran-lembaran
bukunya, seperti: ash-shawab minal qaul (yang benar dari
pendapat ini), ash-shawab minalqaulain (yang benar dari
dua pendapat ini), ash-shawab minal aqwal (yang benar
dari beberapa pendapat ini), fi dzalika ‘indi (dalam hal itu
menurut saya), ‘indana (menurut kami), atau syai’an nahwa
dzalika (serupa itu). Dalam buku tafsirnya akan ditemu-
kan banyak contoh yang menunjukkan hal itu. Sehingga
bisa dikatakan bahwa itu adalah ciri utamanya.

C. Penutup
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, Abu
Ja’far. Beliau dilahirkan di kota Amul (kota terbesar di Thabristan)
pada tahun 225 H. Semenjak dini beliau terarah untuk menuntut
ilmu dan mempelajari ilmu-ilmu agama. Beliau sudah hafalal-Qur’an
semenjak berumur tujuh tahun. Beliau sudah menulis hadits ketika
berumur sembilan tahun.
Pendidikan Ath-Thabari dimulai dari kota kelahirannya send-
iri. Lalu pada usia 12 tahun ia merantau ke kota Ray, sebelah utara
Persia. Disini, ia belajar hadits kepada Muhammad bin Hamid Ar-
Razi, seorang Imam Besar hadits. ia juga berguru kepada Ahmad
bin Hammad Ad-Daulaby, seorang ulama yang terkenal sebagai ahli
riwayah. Dari kota Ray, Ath-Thabari merantau ke Irak. Awalnya ia
hendak menuju Baghdad untuk berguru kepada Imam Ahmad bin
Hanbal. Namun, ketika mendengar kabar bahwa ulama yang dituju
wafat, ia beralih menuju Bashrah. Disini ia berguru kepada seorang
penghafal hadits jenius, Abu Bakar Muhammad bin Basyar yang ter-
kenal dengan nama Bundar.
Banyak didapati pengakuan terhadap Imam Thabari dalam
usahanya mengembangkan Tafsir, seperti berikut ini:
Imam as-Suyuthi, seorang mufasir menyatakan seperti beri-
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ...
15
Amaruddin, MA

kut, “Kitab ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang sampai
kepada kita). Di dalamnya beliau mengemukakan berbagai macam
pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta
membahas i’rob dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir
karya para pendahulu.”
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah memuji Imam Thabari, an-
tara lain mengatakan, “Adapun tafsir-tafsir yang di tangan manusia,
yang paling dahulu adalah tafsir Ibnu Jarir Ath thabari, bahwa be-
liau (Ibnu jarir) menyebutkan perkataan salaf dengan sanad-sanad
yang tetap, dan tidak ada bid’ah sama sekali, dan tidak menukil dari
orang yang Muttahim, seperti Muqatil bin Bakir dan Al Kalbi.” 6
As-Suyuthi telah meneliti thabaqah mufasir sejak awal kemuncu-
lan ilmu ini, dan ketika sampai pada Abu Jafar, ia menempatkannya
pada thabaqah (tingkatan) yang pertama, kemudian ia berkata, “Jika
engkau bertanya: Tafsir apa yang engkau sarankan dan dijadikan se-
bagai bahan rujukan? Maka aku katakan: Tafsir Ibnu Jarir, yang para
ulama telah bersepakat bahwa belum ada kitab tafsir yang semisalnya.”
Abu Muhamamad Abdullah bin Ahmad bin Jafar al-Farghani
mengatakan bahwa ia pernah bermimpi mengikuti Majlis ilmu Abu
Jafar dan manusia kala itu sedang membaca kitab Tafsir Ibnu jarir,
lantas aku mendengar suara dari antara langit dan bumi yang men-
gatakan: Barangsiapa ingin mendengarkan al-Quran sebagaimana ia
turun, maka dengarkanlah kitab ini.

Daftar Pustaka

Al-Himawi, Yaqut. Mujam al-Adibba. Juz I. Beirut: Maktabah Syamilah


Al-Qatthan, Manna’ Khalil. Mabahist fi Ulumil Al qur’an. Surabaya: Maktabah al-
Hidayah
At-Tahqiq. Tafsir al-Bayan an aya al-Quran li Ibn Jarir ath-Thabari. Cet. II. Kairo: Dar
as-Salam, 2007
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008
Shihab,M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1995
Shihab, M. Quraish. Sejarah dan Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999

6 Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz, 2 hal: 192. Dan Husain az-Zahabi, Tafsir wal
Mufassirun, Juz: 1, h. 208.
Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Karya Ibnu ‘Asyur
Dan Kontribusinya Terhadap ­
Keilmuan Tafsir Kontemporer

Abd. Halim
Staff Dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta­
dan STIQ An-Nur Bantul Yogyakarta1

A. Pendahuluan
Pembacaan terhadap al-Qur’an, baik dari segi pola penafsiran,
epistemologi, metodologi, dan lain sebagainya, telah berkembang
dari masa ke masa bahkan tidak akan pernah berhenti selama proses
penafsiran dilakukan. Perkembangan pembacaan tersebut, mulai
dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit, merupakan
konsekwensi logis dari usaha manusia untuk mendialogkan teks
yang terbatas (al-nusus al-mutanahiyah) dengan konteks yang tidak ter-
batas (al-waqaillati gairu mutanahiyah). Di samping itu, hal tersebut
merupakan implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-
Qur’an salih likulli zaman wa al-makan.2
Perkembangan pembacaan tersebut dapat dilihat dengan jelas
misalnya dalam berbagai macam kategorisasi kecenderungan, kro-
nologi waktu, tema yang dibahas baik al-Qur’an itu sendiri maupun
tafsirnya. Berbagai macam kategorisasi telah digagas oleh para pengk-
aji al-Qur’an seperti Ignas Goldziher, J.J.G. Jansen, Muhammad Hu-
sein al-Zahabi, Aminah Wadud serta beberapa pemikir kontemporer
lainnya.3 Abdul Mustaqim mencoba melihat lebih jauh tentang peta
metodologi penafsiran al-Qur’an mulai dari pertama kali ia diwahyu-
kan hingga masa kontemporer. Secara periodik, ia membagi kategori
tafsir menjadi tiga periode, yakni periode klasik, pertengahan dan

1 Email : akh_haliem8789@yahoo.co.id
2 Waryono Abdul Ghafur “Al-Qur’an Dan Tafsirnya Dalam Perspektif Arkoun”
dalam Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’an kontemporer,
hlm. xi.
3 Penjelasan tentang kategorisasi tafsir ini dapat dibaca secara lengkap dalam
karya Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an
periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ...
17
Abd. Halim

kontemporer. Dari penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa penafsir-


an di masing-masing periode tersebut tidak lepas dari perkembangan
penalaran manusia. Pada periode klasik penafsiran atas al-Qur’an
cenderung bersifat mitis, periode pertengahan cenderung ideologis
sedangkan pada periode kontemporer penafsiran al-Qur’an memiliki
kecenderungan ilmiah.4 Meskipun pada bagian pembahasan mazhab
tafsir periode kontemporer, ia tidak membuat pemetaan yang jelas
seperti yang dilakukan J.J.G Jansen.
Namun yang menarik dari pernyataan Abdul Mustaqim seb-
agai sebuah kesimpulan dari kajiannya tersebut adalah ketika ia men-
gatakan,
Para mufassir tradisional kebanyakan cenderung melakukan
penafsiran dengan memakai metode tahlili (analitis), sedang
dalam masa kontemporer, penafsiran banyak dilakukan dengan
menggunakan metode ijmali (global), maudu’i (tematis) atau penaf-
siran ayat-ayat tertentu tetapi dengan menggunakan pendekatan-
pendekatan modern seperti pendekatan semantik, analisis jen-
der, semiotik, hermeneutika, dan lain sebagainya.5
Dari kenyataan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk men-
gungkap epistemologi tafsir karya Muhammad Thahir bin ’Asyur
(selanjutnya disebut Ibnu ’Asyur) dalam kitab tafsirnya yang ber-
judul Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Kitab ini jika dilihat dari kacamata
periodisasi tafsir versi Abdul Mustaqim tergolong tafsir kontempo-
rer karena ditulis pada penghujung abad kedua puluh. Sedangkan
metode yang ia pakai dalam tafsir tersebut adalah metode analitis
dengan menafsirkan semua ayat al-Qur’an mulai dari surat al-Fatihah
hingga surat al-Nas. Sebagaimana disebutkan di awal bahwa penaf-
siran semacam ini biasa dilakukan oleh para mufassir klasik.
Ada beberapa alasan akademis yang membuat tafsir Ibnu
Asyur ini perlu dikaji secara mendalam. Ibnu ‘Asyur merupakan
tokoh yang memiliki keunikan baik dari sisi kepribadian maupun
kitab yang ditulisnya. Di antaranya: Pertama, Ibnu ‘Asyur merupakan
tokoh besar dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat di bidang
tafsir di Tunisia. Hal ini terbukti ketika ia diangkat sebagai mufti6 di
4 Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Peta, hlm. 120.
5 Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Peta, hlm. 97.
6 Mufti adalah ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks
Jurnal Syahadah
18
Vol. II, No. II, Oktober 2014

negaranya. Kedua, Ibnu ’Asyur merupakan salah satu tokoh perintis


wacana Maqasid al-Syari’ah sepeninggal al-Syatibi dan secara kondi-
sional menuangkan ide maqasid-nya dalam karya tafsirnya.7 Ketiga,
Ibnu ’Asyur dipandang sebagai ulama yang objektif. Meskipun ia
bermazhab Maliki, ia tidak segan-segan mengunggulkan mazhab
yang lain apabila ia menemukan data yang lebih kuat dan valid. Ke-
empat, kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ’Asyur ini mempu-
nyai pengaruh dan daya tarik tersendiri sehingga ia menjadi perbin-
cangan para pakar tafsir internasional dalam sebuah forum khusus
yakni Multaqa Ahl al-Tafsir.8

B. Pembahasan
a. Biografi Pengarang Kitab
1. Biodata Ibnu Asyur
Ibnu ’Asyur nama lengkapnya adalah Muhammad Ta-
hir Tahir II bin Muhammmad bin Muhammad Tahir Tahir
I bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd al-Qadir
bin Muhammad bin ‘Asyur. Ia lahir dari sebuah keluarga te-
hormat yang berasal dari Andalusia pada tahun 1296 H atau
1879 M dan wafat pada tahun 1393 H atau 1973 M. Tempat
lahir dan wafatnya sama yaitu di Tunisia.9 Ibunya bernama
Fatimah, anak perempuan dari Perdana Menteri Muham-
mad al-Aziz bin Attar. Kakek jauhnya yaitu Muhammad bin
‘Asyur mendatangi Tunisia dan kemudian menetap disana
pada tahun 1060 H.
Keluarga Ibnu ‘Asyur terkenal sebagai keluarga religius

dan memberikan fatwa kepada umat. Fungsi mufti kadang-kadang diambil oleh
suatu organisasi ulama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun oleh
Pengadilan Agama. Fatwa MUI hanya merupakan anjuran bagi umat sedang-
kan keputusan Pengadilan Agama memiliki suatu kekuatan hukum. http://
id.wikipedia.org/wiki/Mufti diakses pada tanggal 21 April 2011.
7 Arwani Syaerozi, “Para Pioner Kajian Maqasid Syari’ah” dalam www.fahmina.
or.id/index diakses tanggal 21 April 2011.
8 http://www.tafsir.net/vb/showthread.php?t=3712 diakses pada 21-05-2010.
9 Abdul Qadir Muhammad Shalih, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-’Asr al-Hadis,
‘Arad wa Dirasah Mufassalah, li Ahammi Kutub al-Tafsir al-Ma’asir (Beirut: dar al-
Ma’rifah, t.t), hlm. 28.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ...
19
Abd. Halim

sekaligus pemikir. Kakek Ibn ‘Asyur, yaitu Muhammad Ta-


hir bin Muhammad bin Muhammad Syazili adalah seorang
ahli nahwu, ahli fiqih, dan pada tahun 1851 menjabat se-
bagai ketua qadi di Tunisia. Bahkan pada tahun 1860 ia
dipercaya menjadi Mufti di negaranya.10
Ibn ‘Asyur dibesarkan dalam lingkungan kondusif
bagi seorang yang cinta ilmu. Ia belajar al-Qur’an, baik hafa-
lan, tajwid, maupun qira’at-nya di sekitar tempat tinggalnya.
Setelah hafal al-Qur’an, ia belajar di lembaga Zaitunah sam-
pai ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Zaitunah adalah
sebuah masjid yang dalam perjalanan sejarah menjadi pusat
kegiatan keagamaan yang berafiliasi kepada mazhab Maliki
dan hanya sebagian yang menganut mazhab Hanafi. Masjid
ini juga merupakan merupakan lembaga pendidikan yang
bonafid setaraf dengan al-Azhar. Ia merupakan masjid dari
sekian masjid kuno yang selama berabad-abad berfungsi seb-
agai pusat pendidikan, informasi dan penyebaran ilmu.11 Se-
lain belajar kepada ayahnya, Syaikh Muhammad bin ‘Asyur,
ia juga belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka di kampung
halamannya seperti Syaikh Ibrahim al-Riyahi, Syaikh mu-
hammad bin al-Khaujah, Syaikh ‘Asyur al-Sahili, dan Syaikh
Muhammad al-Khadr.12
2. Latar Belakang Pemikiran dan Karier Intelektualnya
Sekitar awal abad 14 H., Ibnu ‘Asyur memulai petu-
alangannya menuntut ilmu pengetahuan Islam dengan
bergabung dalam lembaga pendidikan Zaitunah, Tunisia.
Zaitunah ini setaraf dengan al-Azhar di Mesir, dari model
pendidikannya yang berpusat pada sebuah masjid dan be-
gitu pula usia berdiri atau eksisnya lembaga pendidikan

10 Tim Penyusun, “Ibn ‘Asyur” , The Encyclopedia Of Islam. New Edition (Leiden ,tp,
1971), Vol. III, h. 720.
11 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh (Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 313.
12 Muzakki, “Tafsir Ibnu ‘Asyur” dalam http://pemudabugis.multiply.com /jour-
nal/item/240 diakses tanggal 21 Mei 2010.
Jurnal Syahadah
20
Vol. II, No. II, Oktober 2014

tersebut.13
Ibn ‘Asyur menjadi salah satu ulama besar di Tunisia.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di Zaitunah, ia meng-
abdikan diri kepada lembaga tersebut dan menempati berb-
agai posisi di bidang agama. Karirnya sebagai pengajar ber-
mula pada saat ia menjadi mudarris (pengajar) tingkat kedua
untuk mazhab Maliki di Masjid Zaitunah. Menjadi mudarris
tingkat pertama pada tahun 1905. Pada tahun 1905 sampai
1913 ia mengajar di Perguruan Sadiqi. Dia terpilih menjadi
wakil inspektur pengajaran di Masjid Zaitunah pada tahun
1908. Pada tahun berikutnya ia menjadi anggota dewan pen-
gelola perguruan Sadiqi.14
Ia diangkat menjadi qadi (hakim) mazhab Maliki pada
tahun 1913 dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy
Mufti) mazhab Maliki di negara itu pada tahun 1927. ia
juga seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli di
bidang sastra. Ia terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lugah
al-‘Arabiyyah di Mesir dan Damsyq pada tahun 195015 dan
anggota Majma’ al-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun
1955. Ia banyak menulis baik berupa buku maupun artikel
di berbagai majalah dan koran di Tunisia.
Ibnu ’Asyur memiliki peran yang sangat penting
dalam menggerakkan nasionalisme di Tunisia. Beliau hidup
sezaman dengan ulama ternama di Mesir, Muhammad al-
Khadr Husein at-Tunisy yang menempati kedudukan Ma-
syikhatul al-Azhar (Imam Besar al-Azhar). Keduanya adalah
teman seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki
tingkat keimanan yang tinggi, sama-sama pernah dijoblos-
kan ke dalam bui lantaran karena mempertahankan pema-
haman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang
sangat berat demi memperjuangkan negara dan agama.
Pada akhirnya Muhammad al-Khidr ditakdirkan oleh Allah
13 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif, hlm. 313.
14 http://haanadza.blogspot.com/2008/03/biografi-ibn-’Asyur-penulis-tafsir-t.
html.# diakses tanggal 12 Januari 2011.
15 Abdul Qadir Muhammad Shalih, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-’Asr al-Hads, hlm.
228.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ...
21
Abd. Halim

menjadi mufti Mesir, sedangkan Ibnu ‘Asyur sendiri men-


jadi Syeikh Besar Islam di Tunisia. Sebelum menjadi Syekh
Besar, beliau pernah mendapat kepercayaan menjadi Qadhi
(hakim) di Tunisia yang kemudian diangkat menjadi seorang
penentu fatwa keagamaan (mufti) di negara tersebut.16
Kondisi saat itu, di saat pemerintah dipimpin oleh
seorang yang diktator, menggiring Ibnu ‘Asyur berseteru
dengan pemerintah. Ia menentang pemerintahan dengan
mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan pesan
agama. Bahkan akibat dari perbuatannya, ia dikabarkan
dicopot dari kedudukannya sebagai Syekh Besar Islam.
Akhirnya, Ibnu ‘Asyur memutuskan untuk berdiam diri di
rumahnya dan menikmati kembali kegiatan rutinnya mem-
baca dan menulis. Dalam masa-masa itu, ia menulis karya
tafsir yang kemudian menjadi salah satu karya master piece-
nya, yakni kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.
Ibnu ‘Asyur termasuk ulama yang sangat produktif.
Terbukti dengan karya-karya yang ia tulis dari berbagai ma-
cam disiplin ilmu seperti tafsir, maqasid Syari’ah, fiqh, usul
fiqh, dan lain sebagainya. Di antatra karyanya adalah: Alaisa
al-Subh bi Qarib, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Uslul an-
Nizam al-Ijtima ‘i fi al-Islam, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, al-Waqf
wa Asaruhu fi al-Islam, Uslu al-Insya’i wa al-Khitabah, Mujiz al-
Balagah, Hasyiyyah ala al-Qatr, Syarh ’ala Burdah al-Busyiri,
al-Gaits al-Ifriqi, Hasyiyyah ’ala al-Mahalli ’ala jam’ al-Jawami’.
Hasyiyah ’ala Ibn Sa’id al-Usymuni, Hasyiyyah ’ala Syarh al-Isam
li Risalati al-Bayan, Ta’liq ‘ala ma Qara’ahu min Sahihi Muslim,
al-Ijtihad al maqasidi, al-Istinsakh fi Dou’i al-Maqasid, al-Maqa-
sid al-Syar’iyyah: Ta’rifuha, Amsilatuha, Hujjiyyatuha, al-Maqa-
sid al-Syar’iyyah: wa Sillatuha bi al adillah al-Syar’iyyah wa al-
Mustalahat al-Usuliyyah, al-Maslahah al Mursalah, al-Istiqra’ wa
Dauruhu fi Ma’rifati al-Maqasid), al-Munasabah al-Syar’iyyah,
al-Maqasid al-Syar’iyyah fi al-Hajj.
Dari karya-karya yang beliau hasilkan, tidak diragu-
kan lagi tentang kapasitas beliau sebagai seorang ilmuan

16 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir, hlm. 314.
Jurnal Syahadah
22
Vol. II, No. II, Oktober 2014

di ­bidang tafsir dan maqashid al-Syariah. Oleh karenanya,


sebagian ulama menyatakan bahwa kitab al-Tahrir wa al-tan-
wir adalah kitab tafsir al-maqashidi atau tafsir yang bernuansa
maqashid syariah.
b. Sekilas tentang Kitab Al-Tahrir wa al-Tanwir
Kitab tafsir karya Ibnu ‘Asyur ini berjumlah dua belas ji-
lid dan memuat seluruh penafsiran al-Qur’an mulai dari surat
yang pertama, al-Fatihah, hingga yang terakhir, an-Nas yang ter-
bagi kedala tiga puluh juz. Satu jilid bisa memuat beberapa juz
tergantung ketebalan kitabnya yang variatif. Jumlah halaman
kitab ini cukup tebal. Satu jilid bisa memuat seribu halaman
lebih. Kitab ini diterbitkan oleh Dar Souhnoun li al-Nasyr wa
al-Tauzi’ di Tunisia. Kitab ini diawali dengan beberapa pen-
gantar kitab. Secara tegas, Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa
penulisan karya tafsirnya itu merupakan puncak keinginannya
untuk menulis sebuah karya tafsir yang mengandung kemasla-
hatan dalam hal ke duniaan dan agama. Serta mengandung
sisi kebenaran yang kuat, yang mencakup ilmu-ilmu secara
komprehensif, serta mengungkap sisi ke-balagah-an al-Qur’an
untuk menjelaskan percikan ilmu dan istinbat hukum darinya.
Dan juga menjelaskan akhlak-akhlak yang mulia darinya.17
Ibnu ‘Asyur dalam menulis karyanya banyak merujuk
kitab-kitab tafsir klasik seperti al-Kasysyaf karya al-Zamakh-
syari, al-Muharrar al-wajiz karya Ibnu ‘Atiyyah, Mafatih al-Gaib
karya Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Baidawi, tafsir al-Alusi, serta
komentar at-Tayyi’, al-Qazwini, al-Qutub, dan at-Taftizani ter-
hadap al-Kasysyaf beserta kitab-kitab tafsir lainnya.18 Namun
yang paling banyak ia kutip adalah kitab al-Kasysyaf karya al-
Zamakhsyari, meskipun ia tidak sepenuhnya sependapat den-
gan apa yang dikemukakan Zamakhsyari dalam kitabnya. Oleh
karenanya, dalam kitab tafsir ini, banyak dijumpai penjelas-
an-penjelasan tafsir dari sisi linguistiknya dan merujuk tafsir
al-Kasysyaf. Dalam pengantarnya, Ibnu ‘Asyur menyatakan,
“Dalam tafsir yang saya tulis ini, saya fokuskan pada penjelas-
17 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz I (Tunisia, Dar
Souhnoun, t.t), hlm. 5.
18 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz I, hlm. 7.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ...
23
Abd. Halim

an tentang berbagai macam kemukjizatan al-Qur’an serta men-


gungkap kelembutan sisi kebalagahah bahasa Arab dan uslub-
uslub penggunaaannya. Dan juga saya menjelaskan hubungan
ketersambungan antara satu ayat dengan yang lain.”19
Selanjutnya, Ibnu ‘Asyur membagi muqaddimah
(pengantarnya)-nya ke dalam sepuluh bagian. Secara keseluru-
han pengantarnya berisi tentang landasan teoritis Ibnu ‘Asyur
tentang ilmu al-Qur’an. Kesepuluh muqaddimah tersebut an-
tara lain:
Muqaddimah pertama membahas Tafsir dan Ta’wil, Muqa-
ddimah kedua pembahasan tentang ilmu bantu tafsir, muqad-
dimah ketiga mengenai keabsahan sekaligus makna tafsir bi
al-ra’y, muqaddimah keempat mengenai tujuan tafsir, muqad-
dimah kelima tentang azbab al-nuzul, muqaddimah keenam ten-
tang qira’at, muqaddimah ketujuh mengenai kisah-kisah dalam
al-Qur’an, muqaddimah kedelapan tentang sesuatu yang ber-
hubungan dengan nama-nama al-Qur’an beserta ayat-ayatnya,
muqaddimah kesembilan tentang makna global al-Qur’an, dan
muqaddimah kesepuluh tentang i’jaz al-Qur’an.20
c. Metode Penafsiran
Tafsir Ibnu ’Asyur ini, menggunakan metode tahlili de­
ngan kecenderungan tafsir bi al-ra’y. Dikatakan menggunakan
metode tahlili karena Ibnu ’Asyur dalam menulis tafsirnya
menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang ter-
tera dalam mushaf. kemudian ia menjelaskan kata per kata
‫امل‬ ‫إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن‬
dengan sangat detail mengenai makna kata, kedudukan, us-
lub bahasa Arabnya serta aspek-aspek lainnya yang sangat luas,
‫جعل أنزل‬ misalnya ‫امليتة‬ketika menjelaskan ‫خلق القرأن‬lafaz ‫ ) احلمد هلل (الذي‬al-hamdulillahi
dalam surat al-Fatihah, ia menghabiskan empat belas hala-
   man
 dengan
  penjelasannya
  yang
 sangat
 rinci
 dan meluas.21 Se-
lanjutnya, dikatakan memiliki kecenderungan tafsir bi al-ra’y,
karena Ibnu ’Asyur dalam ُ‫رِب‬menjelaskan
‫ق وَالْمَ ْغ‬ ُ ِ‫الْمَشْر‬uraian ‫ وَلِلَّ ِه‬tafsirnya ban-
19 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz I, hlm. 8. ‫فََأيْنَمَا ُتوَُّلوْا‬
20 Muqaddimah ini cukup panjang hingga menghabiskan 100 halaman lebih.
‫َل‬
ِّ ‫­ َترْضَاهَا َفو‬Mً‫ة‬uhammad
‫وَلِّيَنَّكَ قِبَْل‬Tahir
‫ءِ فَلَُن‬Ibnu
‫‘السَّمَا‬Asyur,
‫ فِي‬Tafsir
َ‫ ْجهِك‬al-Tahrir
‫قَلُّبَ َو‬waَ‫ ت‬al-Tanwir,
‫ قَدْ َنرَى‬Juz I, hlm. 10-130.
‫ وُجُوهَكُ ْم‬21 Lihat
‫َلُّوا‬mad
‫مْ َفو‬Tahir
ُ‫ كُنْت‬Ibnu
‫‘ثُ مَا‬Asyur,ْ‫ َوحَي‬Tafsir
ِ‫حرَام‬
َ al-Tahrir
ْ‫سْجِدِ ال‬waَ‫لْم‬al-Tanwir,
‫كَ شَ ْطرَ ا‬
penjelasan Ibnu ‘Asyur mengenai lafaz al-hamdulillahi ini dalam Muham-
َ‫َو ْجه‬
Juz 1, hlm. 152-166.

ُ‫شَ ْط َره‬
ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ ‫فَث‬
Jurnal Syahadah
24
Vol. II, No. II, Oktober 2014

yak menggunakan logika yakni logika kebahasaan. Selain itu,


secara eksplisit, ia mengatakan bahwa dalam menulis tafsirnya,
Ibnu ’Asyur ingin mengungkap sisi kebalagahan al-Qur’an.22
Sedangkan corak penafsiran tafsir ini merupakan tafsir Adabi
al-Ijtima’i yakni karya tafsir yang mengungkap ketinggian ba-
hasa al-Qur’an serta mendialogkannya dengan realitas sosial
kemasyarakatan.
Adapun metode teknis atau langkah-langkah penulisan
tafsir yang ditempuh oleh Ibnu ’Asyur ini dapat diuraikan se-
bagai berikut:
a) Menjelaskan nama, jumlah, serta spesifikasi makki-mada-
ni sebuah surat.
Dalam menjelaskan nama surat, Ibnu ’Asyur biasanya
merujuk pada sebuah hadis, perkataan sahabat, tabiin,
atau beberapa mufassir klasik seperti al-Qurtubi, al-Suyuti,
dan lain sebagainya. Misalnya ketika menjelaskan surat
nama surat al-Zumar, Ibnu ’Asyur mengutip sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dari ’A’isyah.23
b) Menguraikan tujuan-tujuan (agrad) al-Qur’an yang ter-
dapat dalam sebuah surat.
Ibnu ’Asyur di setiap awal penjelasan surat dalam tafsirnya
menguraikan tujuan-tujuan yang terkandung dalam se-
buah surat tersebut.24
c) Mengemukakan azbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya)
ayat.
Setelah menjelasakn nama surat dan hal-hal yang berkai-
tan dengannya, Ibnu ’Asyur mengungkap azbab al-nuzul
(sebab-sebab turunnya ayat) untuk ayat-ayat yang memang
memiliki azbab al-nuzul. Dalam menjelaskan azbab al-nu-
zul ini, Ibnu ’Asyur adakalanya mengutip sebuah hadis
dari Nabi atau kisah yang disampaikan oleh para sahabat

22 Lihat kembali pengantar Ibnu ‘Asyur dalam Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur,
Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 1, hlm. 5.
23 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 23, hlm. 311.
24 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir ... hlm. 312-313.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ...
25
Abd. Halim

Nabi.25
d) Menganalisis makna serta kedudukan kata dalam bahasa
Arab.
Analisis kata per kata dan menjelaskan ketinggian nilai
bahasa al-Qur’an adalah metode yang paling sering digu-
nakan oleh Ibnu ’Asyur dalam tafsirnya. Bahkan di setiap
menjelaskan suatu ayat, Ibnu ’Asyur tidak lepas dari anali-
sis kata yang merupakan ciri khas dari tafsirnya.
e) Menjelaskan tafsir suatu ayat dengan al-Qur’an atau
hadis.
Dalam menjelaskan tafsirnya, Ibnu ’Asyur juga sering
menggunakan ayat al-Qur’an atau hadis.
f) Mengungkapkan perbedaan qira’at dan menjelaskan
penafsiran dari masing-masing qira’at serta men-tarjih
(mengunggulkan) salah satu yang paling kuat.
g) Mengutip pendapat para Ulama dan terkadang mem-
bandingkannya serta memilih pendapat yang lebih kuat.
h) Menjelaskan keterkaitan ayat (tanasub al-ayat) dalam al-
Qur’an.
Dalam menjelaskan keterhubungan antar ayat ini, Ibnu
’Asyur mengikuti metode yang digunakan oleh al-Biqa’i
dalam kitabnya Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa
­al-Suwar.26
d. Kontribusi Tafsir Ibnu ‘Asyur dalam pengembangan Tafsir
Jika ditilik dari perkembangan tafsir di era kontempo-
rer, karya tafsir Ibnu ’Asyur ini tidak bisa dipandang sebelah
mata. Dengan gayanya yang khas, tafsir ini telah menyumbang-
kan beberapa pemikiran yang cukup inovatif. Sebagaimana
diungkapkan oleh Abdul Mustaqim dalam karyanya Episte-
mologi Tafsir Kontemporer, bahwa paradigma tafsir kontempo-
rer meniscayakan kritisisme, objektivitas, dan keterbukaan
bahwa produk penafsiran itu tidaklah kebal dari kritik.27 Ada
beberapa kontribusi yang disumbangkan Ibnu ’Asyur dalam

25 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir... hlm. 103.


26 Hadi Ma’rifah, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi Wajhihi al-Qasyib, Juz 2, hlm. 1025.
27 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 84.
Jurnal Syahadah
26
Vol. II, No. II, Oktober 2014

karya tafsirnya. Di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama,


Ibnu ’Asyur membuat gradasi tafsir bi al-ra’yi menjadi lima
tingkatan. Yakni 1) penafsiran yang hanya terlintas di benak
seseorang dan tidak disandarkan pada dalil-dalil bahasa Arab
dan maqasid al-syari’ah serta aplikasinya. Penafsiran semacam
ini menurut Ibnu ’Asyur merupakan penafsiran bi al-ra’yi yang
dilarang dalam hadis karena menafsirkan al-Qur’an tanpa
menggunakan dasar ilmu. Penafsiran seperti ini dianggap
salah meskipun ia benar karena tidak berdasarkan ilmu. Mis-
alnya ketika seorang penafsir menafsirkan ( ‫ ) امل‬alif lam
‫بالقرآن‬
mim ‫ل جربيل على حممد‬
dengan tafsiran:
‫امل‬ ‫حممد بالقرآن‬ ‫جعلعلى أنزل‬ ‫امليتةجربيل‬ ‫ذي خلق القرأن إن اهلل أنزل‬
 Jibril
kepada     Muhammad­
      
‫امليتة جعل أنزل‬
Artinya: Sesungguhnya Allah menurunkan
dengan membawa al-Qur’an. 28
‫القرأن‬‫خلق‬ Nabi
‫الذي‬ ‫احلمد هلل‬
2)   yang
Penafsiran  tidak
   mendalam
  karena    tidak merenung-
  ُ‫ق وَالْمَ ْغرِب‬
ُ
kan al-Qur’an dengan sesungguhnya (al-la yatadabbar al-Qur’an
haqqa tadabburih). 3) Tafsir yang cenderung ُ‫لْمَ ْغرِب‬memihak‫ق وَا‬ ُ ِ‫ الْمَشْر‬pada ‫وَلَِّل ِه‬ ‫ا‬
maz\hab atau kelompoknya. Dalam tafsir bentuk ini, seorang
‫َل‬
ِّ ‫وفََُّللَُنوْاوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو‬yang
penafsir memalingkan makna al-Qur’an dari makna ‫السَّنَممَاَاءِ ُت‬
‫قَلُّبَ َو ْجهِكَ فِي فََأ‬
ْ‫ي‬se-
ِّ ‫السَّكُم ْمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو‬
َ‫جُوه‬bahwa
‫ُّوا فوُِي‬
َ‫ثُ تَمقَاَلُّبَكُنْتُ َومْ ْجَفهِوَلك‬ ‫حرَامِقَدْ َو َنحَيْرَى‬ َ ْ‫ْطرَ الْمَسْجِدِ ال‬
benarnya. Dalam lain perkataan, orientasi penafsiran-
‫َل‬ nya ditujukan untuk mendukung dan memperkuat mazhab
‫ ْم‬atau
ُ‫ُو َهك‬kelompoknya.
‫كُنْتُمْ َفوَلُّوا وُج‬4)‫مَا‬penafsiran
ُ‫مِ َوحَيْث‬dengan
‫حرَا‬
yang terkandung dalam kata-kata dalam al-Qur’an. Dalam hal
َ ْ‫جِدِ ال‬akal ْ‫مَس‬berdasarkan
ْ‫ْجهَكَ شَ ْطرَ ال‬apa‫َو‬
ini, penafsir beranggapan bahwa yang terdapat dalam kata ُ‫شَ ْط َره‬di ِ‫لَّه‬
dalam al-Qur’an adalah satu-satunya makna dan menghindari
mena’wilkan al-Qur’an yang terlalu jauh. 5) menafsirkan ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ al-
‫فَث‬ ِ‫إَِلهِ النَّاس‬
Qur’an dengan sangat hati-hati di dalam merenungkan dan
mena’wilkan al-Qur’an.29 Dari kelima gradasi ِ‫النَّاس‬tafsir
ِ‫س إَِله‬ ِ bi‫النَّا‬al-ra’yi
ِ‫مَلِك‬
yang dibuat oleh Ibnu ‘Asyur ini ini dapat dipahami bahwa‫ عمر الفاروق‬,‫حفص‬
Ibnu ‘Asyur telah membangun budaya kritisisme dalam ‫الناس‬karya ‫رب‬
tafsirnya. Di samping ia menghargai ‫الفاروق‬ ‫ عمر‬,‫حفص‬
karya-karya ِ‫لَّه‬tafsir
‫دأيبُو ِن ال‬klasik,
‫سريةْن‬
ِ‫بَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا م‬
ia juga sangat kritis, selektif dan hati-hati dalam menjadikan
mereka sebagai sumber ِ‫ِن اللَّه‬rujukan
‫ًا مِ ْن دُو‬tafsirnya.
‫هْبَاَنهُ ْم أَرْبَاب‬Sebagaimana
ُ‫ُوا َأحْبَارَهُ ْم وَر‬ ‫اتَّخَذ‬
diung-
kap di awal bahwa tafsir kontemporer meniscayakan budaya
ِ ‫إَِلهِ النَّا‬
‫س‬
28 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir... hlm. 30.
)۲۲( ٌ‫للبيانة‬ ‫غاية نَا ِظ َر‬ ‫) إِلَى رَِّبهَا‬۲۲( ‫ض َرٌة‬ ِ ‫ذٍ نَا‬
29 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir... hlm. 31-32.

ِ‫) إ‬۲۲
‫ل‬
)۲۲( ٌ‫َى رَِّبهَا نَا ِظ َرة‬ (  ِ‫َا‬‫ن‬ ٍ‫ذ‬ِ‫ئ‬َ‫م‬ْ‫َيو‬ ٌ‫ه‬‫جُو‬‫ ُو‬   
‫َرٌة‬‫ض‬
     ‫ِى‬ ‫ْمر‬َ‫أ‬‫ ْن‬‫َع‬ُ‫ُته‬ْ‫ل‬َ‫فَع‬ ‫َا‬‫م‬
 َ‫ و‬‫هَا‬‫ْن‬
َ‫ ع‬‫بَا‬َ‫ْقر‬َ‫ت‬ ‫فَتَكُونَا‬ ‫الظاملني‬
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ...
27
Abd. Halim

kritisisme terhadap karya-karya tafsir yang ada.


Kedua, Ibnu ‘Asyur dinilai sebagai ulama yang objektif.
Meskipun ia menganut mazhab Maliki, ia tetap menekankan
budaya objektivitas dalam karyanya. Sebagaimana diungkap
di awal bahwa salah satu ciri penafsiran kontemporer adalah
penafsiran non-sektarian atau dengan kata lain seorang penaf-
sir tidak boleh terjebak dalam kungkungan mazhab atau ke-
lompok tertentu. Ibnu ‘Asyur meskipun bermazhab Maliki, ia
tetap berusaha objektif dalam karya tafsirnya. Barangkali inilah
salah satu kontribusi Ibnu ‘Asyur dalam pengembangan tafsir,
bahwa seseorang penafsir sah-sah saja menganut suatu mazhab
asalkan mengetahui dalil-dalil dari suatu hukum atau suatu
pandangan dari mazhab yang dianutnya serta selalu melaku-
kan crosceck ulang dan memilih pendapat yang paling benar
berdasarkan dalil-dalil yang ada. Salah satu sikap objektif yang
ditunjukkan oleh Ibnu ‘Asyur dalam karya tafsirnya adalah
ketika beliau men-tarjih ‫( امل‬mengunggulkan) ‫حممد بالقرآن‬ ‫جربيل على‬
mazhab yang berse-‫إن اهلل أنزل‬
berangann dengan mazhabnya sendiri. Contohnya adalah ke-
‫جعل أنزل‬
tika beliau menjelas kata ( ‫ ) امليتة‬al-maitatu‫القرأن‬ dalam‫خلق‬ Q.S‫الذي‬ al-Baqa- ‫احلمد هلل‬
rah (2):173 setelah menjelaskan keharaman memakai bangkai
binatang,Ibnu
 ‘Asyur
      kepada
masuk   penjelasan
  penggunaan
   
kulit binatang. Ibnu ‘Asyur menguraikan pendapat keempat
Imam mazhab yakni Hanbali, Syafi’i, Hanafi dan ُ‫رِب‬Maliki.
‫ق وَالْمَ ْغ‬ ُ Imamِ‫وَلَِّل ِه الْمَشْر‬
Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kulit bangkai binatang
tidak bisa suci meskipun disamak (dibersihkan dengan‫وْا‬bah- ‫فََأيْنَمَا ُتوَُّل‬
‫َل‬
ِّ ‫ َفو‬seperti
an pekat ‫ َترْضَاهَا‬daunً‫كَ قِبَْلة‬ َّ‫َفلَُنوَلِّيَن‬ara).
pohon ِ‫السَّمَاء‬
Imam ‫فِي‬Syafi’i
َ‫ ْجهِك‬mengatakan
‫قَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو‬
bahwa kulit binatang bisa suci apabila dibersihkan (disamak)
‫كُ ْم‬kulit
kecuali َ‫وُجُوه‬babi‫وَلُّوا‬dan
‫تُمْ َف‬anjing.
ْ‫ثُ مَا كُن‬ ْ‫حرَامِ َوحَي‬
Sedangkan َ Imam
ْ‫سْجِدِ ال‬Abu َ‫ الْم‬Hanifah
َ‫َو ْجهَكَ شَ ْطر‬
mengatakan bahwa kulit bangkai itu bisa suci asal dibersihkan
(disamak) kecuali daging babi. Pendapat Imam Abu Hanifahُ‫ط َره‬ ْ َ‫ش‬
ini disandarkan kepada sebuah hadis dari al-Zuhri sedangkan
yang lain tidak ada sandaran hadisnya. Di akhir penjelasannya, ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ ‫فَث‬
Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa pendapat yang paling kuat
dari keempat mazhab tersebut adalah pendapat Imam Abu
ِ‫س إَِلهِ النَّاس‬ ِ ‫مَلِكِ النَّا‬
Hanifah karena disandarkan kepada sebuah riwayat hadis. ‫رب الناس‬
Sedangkan pendapat yang lain tidak ada dalil hadisnya, ter-
‫ عمر الفاروق‬,‫سرية أيب حفص‬
ِ‫اتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّه‬
ِ‫إَِلهِ النَّاس‬
‫غاية للبيان‬
Jurnal Syahadah
28
Vol. II, No. II, Oktober 2014

masuk Imam Maliki yang notabene dianut oleh Ibnu ‘Asyur.30


Dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa Ibnu ‘Asyur den-
gan karya tafsirnya memberikan andil yang cukup signifikan
dalam hal objektifitas menafsirkan al-Qur’an. Peneliti menang-
kap pesan bahwa untuk bersikap objektif, seorang mufassir ti-
dak perlu meninggalkan mazhab yang dianutnya akan tetapi
sikap objektif itu bisa dicapai dengan ilmu yang memadai serta
tekad yang kuat untuk mengungkap kebenaran al-Qur’an se-
bagaimana tercermin dari sikap Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya.
Ketiga, asumsi dasar Ibn ‘Asyur yang menyatakan bahwa
tujuan al-Qur’an diturunkan itu adalah untuk menciptakan
kemaslahatan seluruh urusan umat manusia (li salahi amri al-
nas kaffah). Secara rinci ia melanjutkan bahwa kemaslahatan
umat manusia itu akan tercapai dengan tegaknya kemasla-
hatan personal (al-shalah al-fard), kemaslahatan sosial kema-
syarakatan (al-shalah al-jama’i) serta kemaslahatan peradaban
(al-salah al-‘umrani).31 Ketiga unsur kemaslahatan ini tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain,
sebuah karya tafsir haruslah menjadi sesuatu yang solutif bagi
berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.
e. Kelebihan dan KekuranganTafsir Karya Ibnu ’Asyur
Kitab tafsir karya Ibnu ’Asyur ini memiliki kelebihan
beserta kekurangannya. Di antara kelebihannya adalah ba-
hasan dari kata-kata al-Qur’an yang sangat luas dan terperinci.
Pembahasan di dalamnya disesuaikan dengan pokok bahasan
yang ada dalam al-Qur’an. Apabila ayat tersebut berhubungan
dengan ilmu fiqih, maka Ibnu ’Asyur menjelaskan permasala-
han fiqihnya beserta perbincangan ulama mengenainya. Ibnu
’Asyur dalam membahas masalah fiqih biasanya menguraikan
semua pendapat ulama’ dan kemudian memilih yang paling
kuat berdasarkan dalil yang ia ajukan. Selain itu, tafsir ini me-
miliki kelebihan dalam hal pembahasan tentang keindahan
susunan bahasa al-Qur’an. Ibnu ’Asyur juga seringkali men-
gaitkan bahasannya dengan masalah akhlaq (etika). Hal ini
menjadikan tafsir ini sebagai pedoman bagi manusia dalam
30 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir.. hlm. 116.
31 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir.. Juz 1, hlm. 38.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ...
29
Abd. Halim

berakhlaq baik dengan Tuhan, manusia, serta makhluk hidup


di sekitar kita.
Sedangkan kekurangan dari karya tafsir ini sama den-
gan karya tafsir dengan metode tahlili lainnya, yakni terkesan
bertele-tele. Penjelasannya terlalu melebar sehingga point yang
ingin disampaikan kadang sulit ditangkap. Peneliti berpan-
dangan bahwa kitab ini sangat cocok untuk kalangan advanced,
yakni kalangan yang sudah memiliki ilmu pengetahuan yang
cukup memadai untuk keperluan akademis. Untuk masyara-
kat awam, kitab ini akan terasa sulit dipahami dan tidak praktis
karena penjelasannya terlalu luas. Oleh karena itu, harus ada
penyambung lidah seperti yang dilakukan oleh Quraish Shi-
hab yang banyak mengutip kitab tafsir karya Ibnu ’Asyur ini.
Kekurangan lain dari tafsir karya Ibnu ’Asyur adalah kutipan-
kutipan hadis yang tidak disertai dengan penyebutan kualitas
hadis sehingga hadis-hadis yang dijadikan rujukan masih perlu
dilihat kembali apakah hadis tersebut berkedudukan shahih
atau dhaif dan lain sebagainya.

C. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tafsir Ibnu
‘Asyur merupakan salah satu mahakarya tafsir yang memiliki banyak
kelebihan dan keistimewaan di samping juga ada beberapa kekuran-
gan. Tafir karya Ibnu Asyur memiliki peran yang sangat penting
dalam kancah keilmuan tafsir kontemporer. Budaya kritisisme dalam
tafsir ini sangat bagus dan merupakan sikap yang perlu dikembang-
kan. Selain itu, asumsi dasar penafsiran serta pedoman-pedoman
penafsiran yang digagas Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya bisa menjadi
pijakan ulama-ulama kontemporer dalam menulis karya tafsir.

Daftar Pustaka

al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudu’i, Suatu Pengantar terj.


Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT. Raja Grivindo Persada, 1994.
Ibnu ‘Asyur, Muhammad Tahir, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 1-12
Jurnal Syahadah
30
Vol. II, No. II, Oktober 2014

(Juz1-30) Tunisia, Dar Souhnoun, t.t.


Mahmud, Mani’ Abdul Halim, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif
Metode para Ahli Tafsir terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006.
Ma’rifah, Muhammad Hadi, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi Saubihi al-
Qasyib, t.t: al-Jami’ah al-Radwiyyah li al-‘Ulum al-Islamiyyah, t.t.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta:
LKIS, 2010
Mustaqim, Abdul – Syamsuddin, Sahiron (ed.), Studi al-Qur’an kon-
temporer, Yogyakarata: Tiara Wacana, 2002.
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-
Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pusta-
ka, 2003.
Salih, Abdul Qadir Muhammad, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-’Asr
al-hadis, ‘Arad wa Dirasah Mufassalah, li Ahammi Kutub al-Tafsir
al-Ma’asir, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.
Software Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani.
Tim Penyusun, The Encyclopedia of Islam, “Ibn ‘Asyur”, The Encyclope-
dia Of Islam. New Edition, Leiden : tp, 1971.
Yusron, Muhammad., dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakar-
ta: TH-Press, 2006.
al-Zahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun, t.t, Mus’ab
Ibnu ‘Amir al-Islamiyyah, 2004.
Konsep Keadilan dan Indeterminasi
Menurut al-Zamakhsyari
(Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa
dalam Tafsir al-Kasysyaf)

Lenni Lestari
Dosen IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

Abstrak
Tafsir al-Kasysyaf dikenal sebagai salah satu karya tafsir ideologis
yang memiliki keunikan tersendiri. Selain pesona linguistik yang
begitu kental, tafsir ini juga sarat akan penanaman prinsip-prinsip
Mu’tazilah. Tulisan ini mengkaji salah satu dari prinsip Mu’tazilah
yang diusung al-Zamakhsyari dalam tafsirnya. Fokus masalah terletak
pada; 1) Bagaimana prinsip keadilan dan indeterminasi menurut al-
Zamakhsyari?, 2) Bagaimana prinsip ini diterapkan dalam ayat-ayat
kisah Nabi Adam dan Hawa? Penulis menyimpulkan; 1) Konsep
keadilan menurut al-Zamakhsyari adalah Tuhan harus adil dalam
memberikan hukuman bagi orang yang melakukan keburukan dan
memberikan pujian bagi orang yang melakukan kebaikan. Tuhan
juga harus memberikan kebebasan bagi manusia untuk memilih ja-
lan kebaikan atau keburukan. 2) Prinsip ini menempati posisi yang
tepat dalam penafsiran al-Zamakhsyari terhadap kisah Nabi Adam
dan Hawa. Mereka dipandang telah melakukan kedzaliman atas diri
mereka sendiri dan wajar mendapat hukuman dari Allah swt.
Key Word : Kisah, Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Keadilan, Indeterminasi­

A.
Satu Jam Bersama Maha Guru (al-Imam al-Kabir)
­al-Zamakhsyari
Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad bin ‘Umar
al-Khuwarizmi al-Zamakhsyari yang akrab dipanggil dengan al-Za-
makhsyari ini, lahir di kota Zamakhsyari,1 tanggal 27 Rajab 467 H
atau 18 Maret 1075 M. Dilihat dari masa tersebut, ia lahir pada masa
pemerintahan Sultan Jalal al-Din Abi al-Fath Maliksyah dengan wa-
zirnya Nizam al-Mulk. Wazir ini terkenal sebagai orang yang aktif
dengan pengembangan kegiatan keilmuan. Dia mempunyai kelom-
pok diskusi yang terkenal maju dan selalu penuh dihadiri para il-

1 Yaqut bin ‘Abdillah al-Hamawi Abu ‘Abdillah. Mu’jam al-Buldan. Jilid III. (Bei-
rut: Dar al-Fikr. T.th), hlm. 147.
Jurnal Syahadah
32
Vol. II, No. II, Oktober 2014

muan dari berbagai kalangan.2


Al-Zamakhsyari dikenal sebagai orang yang berambisi mem-
peroleh jabatan di pemerintahan. Namun ia selalu gagal meraih
cita-citanya tersebut. Hal ini kemungkinan karena 2 hal, yaitu; 1)
Ia bukan saja dari ahli bahasa dan sastra Arab, tetapi dari seorang
Mu’tazilah yang sangata demonstratif dalam menyebar-luaskan pe-
mikirannya dan ini membawa dampak yang kurang baik bagi orang-
orang yang tidak berafiliasi pada Mu’tazilah. 2) Kondisi Jasmani yang
kurang mendukung karena –kabarnya- ia kehilangan satu kakinya.
Al-Zamakhsyari membujang seumur hidup. Sebagian hidupnya
diabdikan untuk ilmu pengetahuan dan menyebarkan faham yang
dianutnya. Ia wafat pada malam ‘Arafah tahun 538 H di negeri al-
Jurja>niyah.
Sebagai orang yang sangat fanatik membela mazhabnya,
ia menerapkan segala aspek kehidupannya dengan nuansa ke-
Mu’tazilah-an. Salah satunya –disebutkan- ketika ia bertamu ke
rumah seorang sahabatnya, ia berpesan kepada anggota keluarga
tersebut dengan pernyataan, “Katakanlah pada sahabatku bahwa
Abu al-Qasim al-Zamakhsyari al-Mu’tazili sedang menunggu di de-
pan rumah.”3
Selanjutnya ketika ia menyusun kitab tafsirnya –Al-Kasysyaf-,
pada kata pengantarnya ‫امل‬ia memulainya
‫بالقرآن‬dengan;
‫إن اهلل أنزل جربيل على حممد‬
‫امليتة جعل أنزل‬ ‫احلمد هلل الذي خلق القرأن‬
 ‫امل‬    ‫بالقرآن‬
   ‫حممد‬
 ‫على‬
 ‫جربيل‬
 ‫أنزل‬   ‫اهلل‬ ‫إن‬   
“Segala Puji hanya bagi Allah yang telah menciptakan al-Quran.”
Setelah dikritik oleh pembaca, maka diubah oleh pembaca
‫ ) جعل ( أنزل‬yang ‫ امليتة‬artinya sama, ‫القرأن‬ ‫الذي خلق‬ ‫امل‬ ‫حممد بالقرآن‬
menjadi menciptakan. ُ‫مَهلل ْغرِب‬Namun ْ‫احلمدوَال‬ ‫ق‬
ُ ِ‫شْر‬pada َ‫َِّل ِه الْم‬ce- ‫وَل‬
takan terakhir, kata tersebut sudah diubah menjadi ( ‫) أنزل‬, ‫جعل‬ menu- ‫امليتة‬ ‫أن‬
             ‫وْا‬  ‫َل‬
ُّ ‫و‬ ‫ت‬
ُ ‫فََأيْنَمَا‬
runkan. Menurut al-Zahabi, perubahan tersebut tidak dilakukan
oleh al-Zamakhsyari, melainkan orang lain.4          
ِّ ‫ِيرِبُالسَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو‬
‫َل‬ ‫قكَوَالْ فمَ ْغ‬ ُِ‫بَلْمَ َوشْرِْجه‬ ‫قَدْ َنرَى توَلقَِّلَلُِّه ا‬
‫جُو َهكُ ْم‬T.th), ُ‫َلُّوا و‬hlm.
‫مْ َفو‬25-26.ُ‫َا كُنْت‬Sebagaimana
‫مِ َوحَيْثُ م‬dikutip
2 Mustafa al-Sawi al-Juwaini. Manhaj al-Zamakhsyari fi Tafsir al-Quran. (Mesir: Dar
al-Ma’rifah. ‫حرَا‬ َ ْ‫دِ ال‬oleh ِ‫سْاج‬ ‫و‬Fauzan
‫ْطنَرَمَا الُْتومََُّل‬Naif,
ْ‫كَ فَشََأي‬ Al-Kasy-َ‫َو ْجه‬
ِّ ‫َا َفو‬syaf
‫َل‬ ‫ضَاه‬Karya
2004), ً‫َلة‬Al-Zamakhsyari,
ْ‫َتر‬hlm. ْ‫قِب‬44.َ‫َاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّك‬dalam‫ السَّم‬buku ‫كَ فِي‬ Studi Kitab Tafsir. (Yogyakarta: Teras.
ِ‫شَ ْط َرهُ قَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو ْجه‬
‫هَكُ ْم‬3 ‫ُو‬Muhammad
‫ج‬ ُ
‫و‬ ‫ُّوا‬
‫َل‬‫و‬ ‫ف‬
َ ‫م‬
ْ ‫ت‬
ُ ‫ن‬
ْ
Husainُ
‫ك‬ ‫َا‬ ‫م‬ ‫ث‬
ُ
al-Zahabi. ْ
‫ي‬ َ
‫ح‬ ‫و‬
َ ‫م‬
ِ ‫َا‬
‫ر‬ ‫ح‬
َ
Al-Tafsir ْ
‫ل‬ ‫ا‬
waِ‫د‬al-Mufassirun.
‫ج‬
ِ ْ
‫س‬ ‫م‬
َ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ ‫ر‬
َ ‫َل‬
ِّ‫شَو ْط‬Jilid
‫كَ َف‬ ‫هَا‬I.‫(هََا‬T.tp:
‫ َتالَولَّرْهِْجض‬Maktabah
‫ه‬
ًُ‫َم قَِوبَْلْجة‬ َ‫فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّفَثك‬
َّ
Mus‘ab bin ‘Umar al-Islamiyah. 2004), hlm. 304.
4 Saad Abdul Wahid, Zamakhsyari dan Tafsir “Al-Kasysyaf”,
‫النُوَّاهَسِكُ ْم‬dalam ‫ُّوا إَِلْطهِوَُرهُج‬
َ‫سش‬
ِbuku‫ الَفنَّاوَل‬Rekon-
ْ‫حرَامِ َوحَيْثُ مَا مَلِكُنْتُكِم‬ َ ْ‫ال‬
ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ ‫رب الناسفَث‬
ِ‫عمرإَِلهِ النَّاس‬
‫الفاروق‬ ‫س‬
ِ ‫نَّا‬,‫حفصال‬ ِ‫سرية أيب مَلِك‬
Konsep Keadilan dan Indeterminasi ...
33
Lenni Lestari

B. Tafsir al-Kasysyaf
a. Sejarah Penulisan
Al-Zamakhsyari menulis kitab tafsirnya bermula dari per-
mintaan suatu kelompok yang menamakan dirinya dengan
sebutan “al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah” atau kaum Mu’tazilah.
Didorong oleh permintaan di atas, al-Zamakhsyari menulis
kitab tafsir, dan kepada mereka yang meminta didiktekanlah
mengenai fawatih al-suwar dan beberapa pembahasan tentang
hakikat-hakikat dari surat al-Baqarah. Penafsiran al-Zamakh-
syari tampak mendapat sambutan hangat di berbagai negeri.
Berdasarkan desakan pengikut-pengikut Mu’tazilah di
Makkah dan atas dorongan al-Hasan ‘Ali ibn Hamzah ibn
Wahhas, serta semangat dari dirinya sendiri, al-Zamakhsyari
berhasil menyelesaikan penulisan tafsirnya dalam waktu
kurang lebih 30 bulan. Dimulai ketika ia berada di Makkah
pada tahun 526 H dan selesai pada haris Senin 23 Rabi’ul
Akhir 528 H. Tafsir ini terdiri dari 4 jilid dan bercorak i’tizali.
b. Sumber Penafsiran
Sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh al-Zamakh-
syari dalam menulis kitab tafsirnya meliputi berbagai bidang
ilmu, antara lain:5
1. Sumber tafsir; Tafsir al-Mujahid, Tafsir al-Zajjaz, Tafsir al-
Rumani, Tafsir dari kelompok Jabbariyah dan Khawarij.
2. Sumber hadis; dalam menafsirkan al-Quran, al-Zamakh-
syari mengambil dari berbagai macam hadis, tetapi yang
disebutkan secara jelas hanya Sahih Muslim. Ia biasanya
menggunakan istilah fi al-Hadis.
3. Sumber qiraat; Mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud, Mushaf
Haris ibn Suwaid, Mushaf Ubay bin Ka’ab, dan Mushaf
ulama Hijaz dan Syam.
4. Sumber Sastra; al-Hayaran karya al-Jahiz, Hamasah karya
Abi Tamam, dan lain-lain.

struksi Metodologi Ilmu-ilmu Ke-Islaman. (Yogyakarta: SUKA-Press. 2003), hlm.


266
5 Mustafa al-Sawi al-Juwaini. Manhaj al-Zamakhsyari fi Tafsir al-Quran. (Mesir: Dar
al-Ma’arif. T.th), hlm. 80-89.
Jurnal Syahadah
34
Vol. II, No. II, Oktober 2014

c. Metode dan Corak Penafsiran


Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib al-mushafi. Se-
tiap surat diawali dengan Basmalah, kecuali surat al-Taubah.
Dalam menafsirkan al-Quran, terlebih dahulu ia menuliskan
ayat akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya den-
gan mengemukakan pemikiran rasional, yang didukung den-
gan dalil-dalil dari riwayat hadis atau ayat al-Quran. Meskipun
demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya.
Jika memang suatu riwayat mendukung pemikirannya, maka
ia kutip. Bila tidak, ia akan menafsirkan tanpa menggunakan
riwayat tersebut.6
Metode yang digunakan adalah metode tahlili dan berori-
entasi pada akal (rasio). Sehingga tafsir ini dapat dikategorikan
ke dalam tafsir bi al-ra’yi, meskipun ada beberapa penafsiran-
nya menggunakan ‫ امل‬dalil naql.‫إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن‬
Contoh penafsiran bi al-ra’yi dengan menggunakan
‫امليتة جعل أنزل‬
metode tahlili, dalam QS. Al-Baqarah: 115,
‫احلمد هلل الذي خلق القرأن‬
‫امل‬ ‫إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن‬
             
‫جعل‬ ‫امليتة‬
‫ على حممد بالقرآن‬Dan ‫جربيل‬ ‫القرأن‬ ‫خلقأنزل‬ ‫الذي اهلل‬ ‫احلمد هلل إن‬
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Makaُ‫ب‬kemanapun ِ‫ق وَالْمَ ْغر‬ ُ ِ‫ر‬kamu ْ‫الْمَش‬meng- ‫وَلَِّل ِه‬
‫ امل‬    ‫القرأن‬
  ‫خلق‬ ‫الذي‬
hadap ‫هلل‬
di   
situlah
‫احلمد‬   
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-
Nya) lagi Maha mengetahui. ‫امل‬ ‫أنزلوْاجربيل على حممد بالقرآن‬ ‫فََأإنيْنَماهللَا ُتوَُّل‬
      • (ُ‫ب‬ ِ‫ر‬ ‫مَ ْغ‬ْ‫ل‬‫وَا‬‫ق‬ ُ ِ‫)امليتةوَلَِّل ِه الْمَشْر‬, maksudnya adalah Timur dan
ِّ ‫أنزلبَْلةً َترْضَاهَا َفو‬
‫َل‬ ِ‫جعلَنَّكَ ق‬ ‫القرأنكَ فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّي‬ ِ‫خلق َو ْجه‬ َ‫الذيَلُّب‬‫َى تَق‬ ‫احلمدَنرهلل‬ ْ‫قَد‬
Barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan
ُ ُ‫مَُّواشْرِو‬‫اولَْل‬‫َف‬‫َِّل ِه‬ْ‫وَلم‬ُ‫نْت‬‫كُا‬ْ‫و‬‫َاوَُّل‬‫مُت‬
ُ‫ُووَاَهلْمَكُ ْغْمرِب‬Allah.
‫قج‬
‫نَمَا‬ْ‫َأي‬ َ‫ ف‬        
ُ‫حرَامِ َوحَيْث‬ َ ْ‫َو ْجهَكَ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ ال‬
‫ك( فِي • السَّمَا ِء فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبْلَة‬ َ ‫بَمَا َوُتوْجَُّلهِوْا‬ َ‫)قفََلَُّأيْن‬,َ‫ ت‬maksudnya
‫ قَدْ َنرَى‬ke arah manapun ُ‫رِ ُق وَالْمَ ْغرِب‬manusia ْ‫وَلِشََّل ِهْط اَرلْهُمَش‬
menghadap Allah, hendaknya menghadap kiblat sesuai
‫حرَوَامِْج ِهَوكحَيْ فثُِي مَاالسَّكُمنَْاتُءِمْ فََف‬
َ َ‫ب‬ ْ‫ال‬firman
ُّ‫َىجِتَقدَِل‬ ْ‫رمَس‬Allah ‫شَ ْطقَرَدْ الَْن‬dalam َ‫ْجهَك‬QS. ‫ َو‬Al-Baqarah: 144, ‫فََأيْنَمَا ُتوَُّلوْا‬
ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ ‫فَث‬
ُ‫حرَامِ َوحَيْث‬ َ ْ‫كَوَ ِّلشَ ْطرَ الْمَسْجِ ِد ال‬ ‫جهََا ف‬ ْ‫بَهِ َوالنْجَّاهِسِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّشَيَنَّ ْطكََرهُ قِبَْلةً َترَْوضَا‬ ‫سلُّ إَِل‬
َِ‫َىنَّا تَق‬ ‫كِر ال‬ ‫قَمَلِدْ َن‬
‫ج ُهَفوَلاللَُّّواهِشَوُْطجَرُوهُهَكُ ْم‬ ْْ‫َمكُنَْوتُم‬
َّ ‫َو ْجهَكَ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ الْ َحرَامِ َوحَيْثُ مفََاث‬
‫رب الناس‬
ِ‫سِ اللَّه‬ ‫َم النَوَّا ْج ُه‬ َِّ‫س إِفََلثه‬ ِ ‫مَلِكِ النَّا‬
‫ عمر الفاروق‬,‫سرية أيب حفص‬
ُ‫شَ ْط َره‬
‫س‬
ِ ‫س ِإَلهِ النَّا‬ ِ ‫الناس مَلِكِ النَّا‬ ‫رب‬ ِ‫فَثَ َّم َو ْج ُه اللَّه‬
‫ه‬
ِ َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ‫ن‬
ِ ‫ُو‬ ‫د‬ ‫ن‬
ْ ‫م‬
ِ ‫ًا‬
‫ب‬ ‫َا‬
‫ب‬ ْ
‫ر‬ َ
‫أ‬ ‫م‬
ْ ‫ه‬
ُ ‫ن‬
َ ‫َا‬
‫ب‬ ْ
‫ه‬ ُ
‫ر‬ َ
‫و‬ ‫م‬
ْ ‫ه‬
ُ َ
‫ر‬ ‫َا‬‫ب‬ ْ‫ُوا َأح‬ ‫اتَّخَذ‬
‫الفاروق‬ ‫ عمر‬,‫رب‬ ‫سرية أيب حفص‬
6 Nashirudin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Quran. (Yogyakarta: ‫س‬
ِ ‫َّا‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ه‬
ِ
Pustaka‫ل‬
َ ‫إ‬
ِ ‫س‬
ِ ‫َّا‬
‫ن‬ ‫ال‬ ِ‫مَلِك‬
Pelajar.
hlm. 50.‫الناس‬
1998),
ِ‫إَِلهِ النَّاس‬
ِ‫الفاروقاللَّه‬
‫عمرمِ ْن دُو ِن‬ ‫رْبَابًا‬,َ‫حفصأ‬ ‫أيبهْبَاَنهُ ْم‬ ُ‫سرية وَر‬ ‫اتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم‬ ‫رب الناس‬
‫ عمر الفاروق‬,‫حفص‬ ‫للبيان‬ ‫غاية أيب‬ ‫سرية‬
‫)اتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُون‬۲۲ِ‫) إِلَى رَِّبهَا إِنَلَاهِ ِظالَرنةٌَّا (س‬۲۲( ‫ض َرٌة‬
ِ‫ُوا َأَيوْحْبمََائِرَذٍهُ نْمَاوَ ِرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّه‬ٌ‫اتَُّوخَجذُوه‬
‫فََأيْنَمَا ُتوَُّلوْا‬
‫ك فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّك‬ َ ‫قَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو ْج ِه‬
Konsep Keadilan dan Indeterminasi ...
‫حرَا ِم َوحَيْثُ مَا ك‬ َ ْ‫َو ْجهَكَ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ ال‬ 35
Lenni Lestari

ُ‫شَ ْط َره‬
• ( ِ‫ج ُه اللَّه‬ ْ ‫َم َو‬ َّ ‫) فَث‬, maksudnya di tempat (Masjidil Haram)
itu ada Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan ma-
ِ‫ النَّاس‬nusiaِ‫س إَِله‬ ِ ‫َّا‬diperintahkan
‫مَلِكِ الن‬ untuk menghadap Allah pada tem-
pat tersebut. ‫رب الناس‬Maksud ayat di atas adalah apabila seorang
Muslim akan melakukan shalat dengan menghadap Mas-
‫ عمر الفاروق‬,‫حفص‬ jid al-Haram ‫سرية أيب‬dan Bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan
arah yang tepat untuk menghadap ke arah tersebut, maka
ِ‫هُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّه‬Allah َ‫َأحْبَار‬memberikan ‫اتَّخَذُوا‬ kemudahan kepadanya untuk mengh-
adap ke arah manapun dalam shalat, dan di tempat mana-
pun sehingga ِ‫س‬‫امل‬ ‫ إَِلهِاملالنَّا‬ia tidak ‫بالقرآن‬ ‫بالقرآن‬
terikat‫حممد‬ ‫حممد‬ ‫على‬
oleh ‫على‬ ‫جربيل‬
lokasi ‫جربيل‬ ‫أنزل‬
tertentu. ‫أنزل‬
‫اهلل‬ 7‫إن اهلل‬
‫إن‬
‫امل‬ ‫إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن‬
Dari‫للبيان‬
‫أنزل‬ ‫جعل‬
contoh ‫غاية‬ ‫ امليتة‬di ‫القرأن‬
penafsiran atas,‫القرأن‬ terlihat ‫خلق‬ bahwa ‫الذي‬ ‫احلمد هلل‬
al-Zamakh-
‫امليتة جعل أنزل‬ syari ‫أنزل‬ di ‫جعل‬
‫احلمد هلل الذي خلق القرأن‬
samping ‫امليتة‬
menggunakan akalnya, ‫خلق‬ juga ‫الذي‬ menggunakan ‫هلل‬ ‫احلمد‬ ri-
۲۲( ٌ‫) ِإلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة‬۲۲(wayat ‫ض َر ٌة‬
ِ ‫َا‬‫ن‬(naql)

ٍ‫ذ‬
ِ‫ئ‬َ‫م‬ْ‫و‬‫َي‬sebagai
 ٌ‫ُوه‬
 ‫ ُوج‬penguat.
    
   
 

 
        Mengenai
  corak
 penafsiran,
  dapat dijelaskan sebagai
     berikut;
   ‫ب‬
ُ ‫ر‬
ِ ُ‫قمَ ْغوَارِلْمَب‬
‫غ‬
ْ ُ ْ‫قشْرِوَال‬ ُ َ‫وَلَِّل ِهوَاللَِّْلمَِه اشْلْرِم‬
Zamakhsyari ُ‫ب‬ ِ‫ق وَالْمَ ْغر‬
terkenal ُsebagaiِ‫ِه الْمَشْر‬orang ‫ وَلَِّل‬yang ahli dalam bidang
‫ فَتَكُونَا تَ ْقرَبَا عَْنهَا‬bahasa ‫ الظاملني‬Arab, َ‫العدل مِن‬ yang meliputi sastranya, balaghah-nya,
‫ا‬ ‫و‬
ْ ‫َل‬
ُّ‫و‬ ‫ت‬
ُ ‫َا‬‫م‬ ‫ن‬
َ ْ
‫ي‬ ‫أ‬
َ َ
‫ف‬ ‫َاَأيْنَُتومَُّلَاوُْتاوَُّلوْا‬nahwu-
َ‫فََأيْنَمف‬
nya atau gramatikanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan
‫َل‬
ِّ ‫و‬ ‫ف‬
َ ‫َل‬
ِّ ‫وَا‬kalau
‫السضَامَفَاه‬
‫ضَاهَا‬bidang-bidang
ً‫كََلكَةً قِبَْتفَلرْة‬ْ‫كَيَنَّ قِب‬ َّ‫ءُِنوَلِّيَن‬keahliannya
َ‫ِي السَّمَاءِ فَل‬ ‫ف‬ituَ‫ك‬juga ِ‫َلُّ َو ْجه‬sangat ‫بَق‬ َ‫َىَلُّ ت‬‫َنرتَق‬mewarnai
‫قَدْ َنقَردَْى‬
‫ِء َفلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا‬hasil َّ ْ‫َتر‬penafsirannya.
‫ِي‬ ِ‫بَفَلَُن َووَلِّ ْجه‬Al-Zahabi,
ُّ‫دْفِيَنرَىالسَّ تَمقَاَل‬misalnya, َ‫بَ َو ْجهِكَق‬ menyatakan bahwa
‫م‬
ْ ‫ك‬
ُ ‫ه‬
َ‫م‬
ْ ‫ك‬
ُ
‫ُو‬ ‫ج‬ ‫ه‬
َ ُ
‫و‬ ‫ُو‬
penafsiran ‫ج‬ ُ
‫و‬
‫ُّوا‬‫َل‬
‫و‬ ‫ُّوا‬
‫ف‬
َ ‫َل‬
‫و‬
‫م‬
ْ ‫ف‬
َ
‫ت‬
ُ ‫ن‬
ْ ُ
‫ك‬ ‫م‬
ْ
al-Zamakhsyari‫ت‬
ُ ‫ن‬
ْ
‫َا‬ُ
‫ك‬‫م‬ ‫ث‬
ُ‫َا‬ ‫م‬ ْ
‫ي‬ َ
‫ح‬‫ث‬
ُ ‫و‬
َ ْ
‫ي‬ َ
‫ح‬ ‫م‬
ِ ‫و‬
َ
‫َا‬‫ر‬
lebih ‫ح‬
َ ‫م‬
ِ ‫َا‬
ْ
‫ل‬‫ر‬‫ا‬ ‫ح‬
َ ‫د‬
ِ
banyak ْ
‫ل‬‫ج‬
ِ‫ا‬ ْ
‫س‬‫د‬
ِ ‫ج‬
ِ
‫م‬
َ ْ
‫ل‬ْ
‫س‬ ‫ا‬ َ‫كَ ْطرَشَ اْطلْرَم‬
berorientasi َ‫كَهَ ش‬ ‫ج‬
ْ ‫و‬
َ
pada َ‫ َو ْجه‬as-
‫يْثُ مَا كُنْتُمْ َفوَلُّوا وُجُوه‬pek َ‫ َوح‬balaghah,ِ‫حرَام‬َ ْ‫جِدِ ال‬untuk ْ‫رَ الْمَس‬menyingkap ‫ َو ْجهَكَ شَ ْط‬keindahan dan rahasia yang
terkandung dalam al-Quran. Tafsir al-Kasysyaf uraiannya
dan tidak bertele-tele.8 ُ‫شَ ْط َره‬ ُ‫ ْط َرشَهُ ْط َره‬jelas َ‫ش‬
Contoh penafsiran al-Zamakhsyari dengan
ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ ‫فَث‬ ِ‫لَّ ُههِ اللَّه‬menekankan
‫َمْج ُه َوالْج‬َّ ‫َم فََوث‬ َّ ‫فَث‬
­aspek linguistiknya, yaitu QS. Al-Nas: 2-3, ‫س‬
ِ (‫النَّاهِسِالنَّا‬‫ل‬
َ ‫إ‬
ِ ‫س‬
ِ ِ‫سنَّاإَِله‬
ِ‫كِ ال‬ ‫) مَلِكِمَلِالنَّا‬,
ِ‫س إَِلهِ النَّاس‬ ِ ‫مَلِكِ النَّا‬
al-Zamakhsyari mengatakan bahwa dua pasangan idafah
‫الناس‬ ‫الناس‬ ‫رب‬
tersebut ‫رب‬
sebagai ‘ataf bayan bagi ( ‫) رب الناس‬. Hal ini sama halnya sep-
erti seseorang mengatakan ( ‫الفاروق‬ ‫الفاروق‬ ‫عمر‬ ‫عمر‬ , ‫حفص‬ ,‫حفص‬ ‫أيب‬ ‫سرية أيب‬
‫سرية‬ ) ­atau
‫ عمر الفاروق‬,‫ حفص‬al-Faruq.
­sejarah Abu Hafs,ِ‫لَّه‬Umar
‫ سرية أيب‬Maksudnya adalah setelah
‫ُوابَاَأرَحْهُبَاْمرَوَهُرُْمهْبوََاَنرُهُهْبْمَاَنأَهُرْبْمَابأًَارْبمَِابْنًا دمُِوْن ِندال‬ ْ‫اتَّخَذاتَُّواخَ َأذح‬
‫ دُو ِن اللَّ ِه‬ada ‫رُلَّهْهِبَاَنهُ ْم أَرْبَاب‬Rabb
‫ًا ِم ْن‬penjelasan ‫ُوْم ِنوَال‬ ُ‫ه‬al-Nas,
َ‫ُوا َأحْبَار‬kemudian ‫اتَّخَذ‬ ditambah lagi dengan

‫س‬
ِ ‫َّا‬‫ن‬ ‫ال‬ ‫ه‬
ِ ‫ل‬
َ ‫إ‬
ِ ِ‫سِنَّاس‬ ‫إَِلهِ الإَِلنَّاهِ ال‬
7 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. (T.tp. T.th), hlm. 90.
‫للبيان‬ ‫للبيان‬‫غاية‬ ‫غاية‬
8 Subhi Shalih. Membahas Ilmu-ilmu‫للبيان‬ al-Quran. ‫غاية‬ Terj. Tim Pustaka Firdaus. (Jakarta:
Pustaka Firdaus. 1996),)۲۲ hlm. ( ٌ
‫ة‬
390. ‫ر‬
َ ‫ظ‬
ِ ‫َا‬‫ن‬ ‫َا‬‫ه‬ ‫َب‬
ِّ
Sebagaimana ‫ر‬ ‫َى‬ ‫() إِل‬۲۲dikutip(‫ض‬ ‫نَرَاٌة‬oleh
‫ض‬
ٍِ‫وْ نمَئَِاذ‬Fauzan
ٍ‫هٌجَيُووْهٌمَئَِيذ‬Naif, ‫ ُوجُو‬Al-
)۲۲( ٌ‫) إِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة‬۲۲( ‫ض َر ٌة‬
Kasysyaf Karya )
Al-Zamakhsyari,۲۲ ( ٌ
‫ة‬ ‫ر‬
َ ‫ظ‬
ِ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫َا‬
ِ ‫ُوجُوهٌ َيوْمَئِذٍ نَا‬
hlm. ‫ه‬ ‫َب‬
ِّ‫ر‬ 55.‫َى‬ ‫ل‬ ‫إ‬
ِ ) ۲۲ ‫ة‬
ٌ ‫ر‬
َ ِ ‫و‬
ُ

  
   
  
     
  
 
  
          
‫ُوتَنَاك تَُونْقَارَبَاتَ ْقرَبَاعَْنهَاعَْنه وَمَا فَعَلُْتهُ َع ْن أَ ْمرِى‬
‫العدل مِنَ الظاملني فَتَك‬
‫ِىهَا وَمَا فَعَلُْتهُ َع ْن أَ ْم‬
‫الظاملنيَا وَفَتَمَاك فَُونعََالُْتهُتَ ْق َعرَبْنَا أَ ْمرعَْن‬ َ‫العدل مِنَ الظاملني فَالعدل مِن‬
        ُ‫ه‬‫َر‬‫ط‬
ْَ‫ش‬    
‫شَ ْط َر ُه‬ ُ‫شَ ْط َره‬
ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ ‫فَث‬ ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ ُ‫ب‬
‫ق وَالْمَ ْغرِ فَث‬ ُ ِ‫وَلَِّل ِه الْمَشْر‬
ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ ‫فَث‬
Jurnal Syahadah
36
‫س‬
ِ ‫النَّا‬II,ِ‫ه‬No.
Vol. ‫س ِإَل‬ ِ II,‫النَّا‬Oktober ِ‫ مَلِك‬2014 ِ‫س إَِلهِ النَّاس‬ ِ ‫سا إَِلهِ النَّاسِ مَلِكِ النَّا‬ ْ‫فََأيْنَمَا ُتوَُّلو‬
ِ ‫مَلِكِ النَّا‬
‫َل‬
ِّ ‫الناسالسَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو‬ ‫رب فِي‬ َ‫قَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو ْجهِك‬
‫رب الناس‬ ‫رب الناس‬
‫الفاروقَفوَلُّوا وُجُو َهكُ ْم‬
Ilah al-Nas. Hal ْ‫عمرَا كُنْتُم‬
ini untuk ‫ثُ م‬,ْ‫حفصي‬ َ‫حأيبرَامِ َوح‬
membedakan َ ْ‫سريةل‬
‫هَكَ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ ا‬yang
Tuhan manusia ‫َو ْج‬
‫عمر الفاروق‬ , ‫حفص‬ ‫أيب‬ ‫سرية‬
lainnya, seperti dalam QS. Al-Taubah: 31,‫ عمر‬,‫سرية أيب حفص‬ ‫الفاروق‬
ُ‫شَ ْط َره‬
‫ُوابًاَأ مِحْبْنَارَدهُُو ْمِن وَاللَّرُ ِههْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا ِم ْن دُو ِن‬ ‫خَرْذبَا‬ َ‫ُوارَْأبَابحًْابَامِرَهُْن ْمدُووَرُِنهْبالَالََّنهِهُاتَّْم أ‬َ‫خَ ْمذ أ‬ ُ‫اتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَااتََّنه‬
Adapun ( ِ‫ ) إَِلهِ النَّاس‬bermakna tidak ada sekutu bagiِ‫س‬Allah.
ِ‫إَِلهِ النَّاس‬ ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ ‫فَث‬
‫إَِلهِ النَّا‬
Kalimat ini dijadikan sebagai ( ‫سِ) غاية للبيان‬tujuan ‫ إَِلهِ النَّا‬penjelasan
‫س‬
ِ ‫مَلِكِ النَّا‬
ayat. 9 ‫للبيان‬ ‫غاية‬ ‫غاية للبيان‬
)۲۲ ‫رب الناس‬
ٌ‫) إِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة‬۲۲ ( ‫ض َر(ٌة‬ ٌِ‫ َرة‬Al-Zamakhsyari
‫َىهٌ َيرَِّبوْهمََائِذٍنَا نِظَا‬ ‫)ُو)إِجلُو‬۲۲ ۲۲(sebagai (ٌ‫ضِظَرَرٌةة‬
ِ‫ذٍهَانَانَا‬tokoh
‫)ُوهٌإِلَيَىوْمَئِرَِّب‬Mu’tazilah
‫ج‬۲۲‫ض َرٌة ( ُو‬ ِ ‫ نَا‬yang
ٍ‫ َيوْمَئِذ‬benar-
ٌ‫ُوجُوه‬
benar menguasai bahasa Arab dan balaghah, sering menggu-
  nakan
   keahliannya
 untuk  
‫الفاروق‬
 alirannya.  
‫ عمر‬Jika ,‫حفص‬ ‫سرية أيب‬
          
membela ia menemu-
    

         
kan suatu lafadz yang ِ‫اللَّه‬secara ‫ ْن دُو ِن‬lahiriah
ِ‫(ْم أَرْبَابًا م‬tampaknya) ُ‫رَهُ ْم وَرُهْبَاَنه‬tidak ‫ُوا َأحْبَا‬sesuai ‫اتَّخَذ‬
‫ِى‬ ‫ر‬ ‫م‬
ْ َ
‫أ‬ ‫ن‬
ْ ‫ع‬
َ ‫ه‬
ُ ‫ت‬
ُ ْ
‫ل‬ ‫ع‬
َ َ
‫ف‬ ‫َا‬
‫م‬ َ
‫و‬
‫ فََتكُونَا تَ ْقرَبَا عَنْه‬kemampuannya ‫َا‬ ‫ه‬
‫الظاملنيِى‬
dengan ‫ن‬
ْ َ
‫ع‬ ‫َا‬‫ب‬ َ
‫ر‬ ‫ق‬
ْ
‫العدلفَعَلُْتمِهُنَ َع ْن أَ ْمر‬
pendapat َ
‫ت‬ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫ُو‬ ‫ك‬
‫مَا‬untuk ‫ت‬
َ َ
‫ف‬
Mu’tazilah,
َ‫ْنهَا و‬membatalkan ‫الظاملني‬ ‫ن‬
َ
َ‫كُونَا تَ ْقرَبَا ع‬maknaiaِ‫ م‬berusaha‫العدل‬َ‫الظاملني فَت‬ dengan segenap
َ‫َّاسِمِن‬mene-
‫العدل‬
lahir dan ‫إَِلهِ الن‬
tapkan makna lainnya yang terdapat dalam bahasa. Misalnya
ketika ia menafsirkan QS. Al-Qiyamah: 22-23, ‫غاية للبيان‬
)۲۲( ٌ‫) إِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة‬۲۲( ‫ض َرٌة‬ ِ ‫ُوجُوهٌ َيوْمَئِذٍ نَا‬
22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23.
          
­Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Dalam ayat di atas, al-Zamakhsyari mengesampingkan
‫ِى‬‫ر‬‫م‬ْ َ
‫أ‬ ‫العدل مِنَ الظاملني فَتَكُونَا تَ ْقرَبَا عَْنهَا وَمَا فَعَلُْتهُ َع ْن‬
makna lahir kata nazirah (melihat), sebab menurut Mu’tazilah,
Allah swt tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata nazirah
diartikan dengan al-raja’ (menunggu, mengharapkan).
Al-Zamakhsyari juga memperlihatkan keberpihakannya
pada Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan men-
arik ayat mutasyabihat pada muhkamat. Oleh karena itu, ketika
ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya bertentangan
dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah, ia akan mencari jalan ke-
luar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian
mengklasifikasinnya pada ayat muhkamat dan mutasyabihat.
Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompok-
kan ke dalam ayat muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak
sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam
ayat mutasyabihat, kemudian dita’wilkan agar sesuai dengan
prinsip-prinsip Mu’tazilah. Misalnya ketika ia menafsirkan QS.

9 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Jilid VII. (T.tp. T.th), hlm. 341.


‫َل‬
ِّ ‫قَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو ْجهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو‬
‫حْنرَادمُِو ِنَو الحَلَّيْهِثُ مَا كُنْتُمْ َفوَلُّوا وُجُو َهكُ ْم‬
َ ‫كَ ْم شوَرُْطهْرَبَااَنلْهُمَ ْمسْأَرْجِبَادِبًا الِْم‬ ُ‫اتَّخَذُوا َأَوحْْجبَاهَرَه‬
Konsep Keadilan dan Indeterminasi ُ‫سِشَ ْط َره‬ ... ‫إَِلهِ النَّا‬
37
Lenni Lestari
ِ‫َم َو ْج ُه اللَّه‬ َّ‫للبيان‬
‫غاية فَث‬
)۲۲( ٌ‫سِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة‬ ِ‫َّا) إ‬۲۲
‫سٌةإَِل(هِ الن‬ ِ‫ض َر‬
ِ ‫كِ نالَانَّا‬ٍ‫ُوجُوهٌ َي مَوْلِمَئِذ‬
Al-An’am: 103,
        ‫الناس‬
 ‫رب‬
 

‫الفاروق عَْنهَا وَمَا فَعَلُْتهُ َع ْن أَ ْمرِى‬


“Dia tidak dapat dicapai oleh
‫عمرَا تَ ْقرَبَا‬
penglihatan
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi
‫َتَكُون‬,‫ف‬mata,
‫الظاملنيحفص‬‫سرية أيب‬
sedang
َ‫ن‬Dia
ِ‫العدل م‬
dapat

Maha mengetahui.” ِ‫اتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّه‬


Ayat 103 surat al-An’am dikelompokkannya dalam ayat
muhkamat karena maknanya sesuai dengan paham ِ‫النَّاس‬Mu’tazilah.
ِ‫إَِله‬
Sedangkan ayat 22-23 surat al-Qiyamah tadi dikelompokkan
dalam ayat mutasyabihat karena makna ayat tersebut tidak ses-
‫غاية للبيان‬
uai dengan)۲۲ ( ٌ‫ِظ َرة‬Mu’tazilah.
paham ‫ إِلَى رَِّبهَا نَا‬10)۲۲( ‫ض َرٌة‬
ِ ‫ُوجُوهٌ َيوْمَئِذٍ نَا‬
  
C. Konsep    dan
Keadilan  Indeterminasi
   dalam
 Teologi
Mu’tazilah
‫ْن أَ ْمرِى‬Salah
‫لُْتهُ َع‬satu
َ‫مَا فَع‬prinsip
َ‫هَا و‬teologi
‫َبَا عَْن‬Mu’tazilah
‫ فَتَكُونَا تَ ْقر‬adalah
‫الظاملني‬ َ‫) العدل ( مِن‬. Mak-
keadilan
na konsep ini adalah Allah berlaku adil dengan menyiksa hamba
yang jahat dan memberikan pahala bagi yang baik. Keadilan Tuhan
akan terwujud manakala hambaNya bebas dalam perbuatannya dan
bertanggung jawab atasnya. Karena kebebasan inilah, maka ia berhak
mendapat pahala atau siksa. Tuhan itu adil, maka semua perbuatan
Tuhan itu baik. Keadilan Tuhan terbagi menjadi 3, yaitu; perbuatan
Tuhan,11 kehendak Tuhan,12 dan perbuatan manusia.
Sanksi Allah kepada hambaNya yang salah menjadi sebuah
kedzaliman, apabila tidak disertai pemberian kebebasan. Hal ini be-
rarti bahwa kebebasan manusia dan keadilan Tuhan bagaikan dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain-
nya.13 Kalau Tuhan yang mewujudkan perbuatan buruk, kemudian

10 Saad Abdul Wahid, Zamakhsyari dan Tafsir “Al-Kasysyaf”, hlm. 272-274.


11 Makna keadilan dalam perbuatan Tuhan adalah semua perbuatan Tuhan wa-
jib mendatangkan maslahat bagi manusia. Karena itu, Tuhan wajib memenuhi
janjiNya untuk memberikan ganjaran sesuai perbuatan manusia. Dalam hal
ini, perbuatan Tuhan diikat oleh kewajiban dan keterbatasan. Lihat Kusmin
Busyairi. Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah. (Yogyakarta: Rama. 1985), hlm. 41.
12 Maksudnya adalah karena Tuhan itu adil dan perbuatanNya juga harus baik,
maka semua itu juga harus dimulai dari kehendak. Kehendak Tuhan juga harus
baik. Maka mustahil Tuhan itu menghendaki keburukan. Ibid., hlm. 46.
13 Nasr Hamid Abu Zaid. Al-Ittijah al-‘Aqli fi Tafsir, Dirasah fi Qadiyah al-Majaz fi
Jurnal Syahadah
38
Vol. II, No. II, Oktober 2014

menyiksanya, maka Tuhan dalam hal ini telah Dzalim dan tidak
senang dengan perbuatanNya sendiri.
Terkait hal ini, maka yang menjadi persoalan adalah apakah
perbuatan manusia diwujudkan oleh Tuhan atau oleh manusia
sendiri. Perbuatan manusia terbagi menjadi 2 bagian yaitu perbua-
tan yang terjadi karena disengaja/diusahakan (ikhtiyari) dan perbua-
tan yang terjadi secara paksa dan di luar kesengajaan (idtirari). Nah,
permasalahan di sini adalah perbuatan yang terjadi karena disengaja.
Dengan konsep keadilan, Mu’tazilah mengatakan, apabila Tuhan
adil, tentu Ia akan memperhitungkan perbuatan manusia tersebut
dan memberikannya balasan. Oleh karena itu, manusia harus bebas
berbuat sehingga dapat dimintai pertanggungjawabannya.14
Menurut Mu’tazilah, dengan kemampuannya, manusia mewu-
judkan atau tidak mewujudkan kehendaknya merupakan kebebasan
tanpa intervensi dari Tuhan. Sebab kalau tidak demikian, tidak ada
artinya beban syara’ (taklif). Kalau manusia tidak memiliki daya un-
tuk berbuat atau tidak, maka manusia tidak berhak menerima pujian
atau celaan, bahkan tidak adanya gunanya lagi pengutusan para Ra-
sul.15 Karena pemikirannya mereka yang demikian itu, mereka dike-
nal sebagai golongan yang cenderung kapada faham Qadariyah (free
will/indetermination) atau indeterminasi. Menurut Al-Qadhi ‘Abd al-
Jabbar, -salah satu tokoh Mu’tazilah-, jika penyandaran perbuatan
hamba kepada Tuhan, maka akan menyebabkan kehancuran syariat
dan agama.16

• Konsep Keadilan Menurut al-Zamakhsyari


Keadilan menempati posisi penting bagi al-Zamakhsyari.
Menurutnya, keadilan adalah memberikan hukuman bagi orang
yang melakukan keburukan dan memberikan pujian bagi orang yang
melakukan kebaikan. Hal ini dapat dilihat dari kesimpulannya saat
menafsirkan QS. Ali-Imran: 182,
al-Quran ‘Inda al-Mu’tazilah. (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi. 2003), hlm.
215-216.
14 Kusmin Busyairi. Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah, hlm. 47.
15 Ahmad Amin. Zhuhru al-Islam. Jilid IV. (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishri-
yah. 1964), hlm. 77-78. Ibid., hlm. 48.
16 Nasr Hamid Abu Zaid. Al-Ittijah al-‘Aqli fi Tafsir, hlm. 217.
Konsep Keadilan dan Indeterminasi ...
39
Lenni Lestari

‫ فلم عطف قوله { َوَأنَّ اهلل لَْيسَ بظالم لّلْعَبِيدِ } { على‬: ‫فإن قلت‬
ً‫ وكيف جعل كونه غري ظالم للعبيد شريكا‬، } ‫ما قدّمت أيديكم‬
‫ معىن كونه غري‬: ‫الجتراحهم السيئات يف استحقاق التعذيب؟ قلت‬
‫ظالم للعبيد أنه عادل عليهم ومن العدل أن يعاقب املسيء منهم‬
‫ويثيب احملسن‬
17

Selain itu, ia juga menganggap bahwa Islam itu sejak dulu su-
dahُ‫ث‬identik
ْ‫غَدًا حَي‬dengan
َ‫َا مِْنهَا ر‬keadilan.
‫جََّنةَ وَكُل‬18ْ‫ال‬Bahkan
َ‫وَ َز ْوجُك‬ia meyakini
َ‫سْكُنْ أَنْت‬bahwa
‫ َآ َدمُ ا‬ilmu‫لْنَا يَا‬yang
ُ‫وَق‬
paling mulia dan paling tinggi di sisi Allah adalah ilmu keadilan dan
tauhid.19 َ‫ج َرةَ فَتَكُونَا مِ َن الظَّالِ ِمني‬
َ َّ‫شِئْتُمَا وَلَا َت ْقرَبَا هَ ِذ ِه الش‬
Terkait dengan konsep keadilan dan indeterminasi di atas,
}‫كُونَا‬akan
penulis َ‫اهلل {فَت‬ ‫ مبعصية‬bagaimana
memotret ‫ظلموا أنفسهم‬ ‫ من الذين‬menerapkan
al-Zamakhsyari }‫}مِنَ الظاملني‬teo-
loginya ke dalam kisah Nabi Adam dan Hawa yang dikisahkan dalam
‫الضمري يف‬
al-Quran. .‫جواب للنهى‬
Mengingat, Nabi Adam ‫نصب‬dan ‫ أو‬Hawa }‫تَ ْق َربَا‬adalah
{ ‫على‬manusia‫جزم عطف‬ perta-
ma yang mendapat ganjaran langsung dari Allah karena melakukan
.‫الزلة بسببها‬Apakah
pelanggaran. ‫ على‬prinsip
‫الشيطان‬keadilan ‫فحملهما‬ini ‫أي‬ . ‫للشجرة‬telah}‫َا‬diterap-
benar-benar ‫{عَْنه‬
kan atau justru sebaliknya.
‫ {وَمَا فَعَلُْتهُ عَنْ أَ ْمرِى} [الكهف‬:‫ مثلها يف قوله تعاىل‬،‫و(عن) هذه‬
D. Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf
‫اجلنة‬Pembahasan
‫ فأزهلما عن‬:dalam
‫بِ وقيل‬subْ‫ ُشر‬judul
ْ‫ وعَن‬ini
ٍ‫أَكْل‬terbagi
ْ‫ ْونَ عَن‬menjadi
‫ يَْن َه‬:‫وقوله‬dua,
.]۲۲ :
yaitu;
.‫مبعىن أذهبهما عنها وأبعدمها‬
1) Metode pemaparan kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-
Kasysyaf dan 2) Pemikiran al-Zamakhsyari tentang kisah Nabi Adam
dan،]1) Metode
‫ والشِّجرة‬pemaparan
Hawa. [ ،] ‫وهذي‬kisah [ .Nabi
‫بكسر التاء‬ »‫ «وال تِقربا‬: ‫وقرىء‬
Adam dan Hawa dalam Tafsir
al-Kasysyaf ‫[ والشرية] بكسر الشني والياء‬.‫بكسر الشني‬
Kisah tentang Nabi Adam dan Hawa diabadikan al-
Qur’an dalam 3 surat, yaitu Surat Al-Baqarah: 35-38, ‫والصحيح أنه‬
al-A’raf:
19-25, dan Taha: 115-123. Setelah mencermati penafsiran al-
.‫واحلية‬ :‫ وقيل‬:‫وإبليس‬
Zamakhsyari tentang ‫وحواء‬kisah Nabi‫ آلدم‬Adam‫خطاب‬dan}‫اهبطوا‬ Hawa, { penulis
:‫قيل‬
‫ ألهنما ملا كانا‬،‫والصحيح أنه آلدم وحواء واملراد مها وذريتهما‬
17 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Jilid I. (T.tp. T.th), hlm. 355.
18 Ibid, Hlm. 260. ‫أصل اإلنس ومتشعبهم جعال كأهنما اإلنس كلهم‬
19 Ibid, Hlm. 226.
‫امل‬ ‫إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن‬
‫‪Jurnal Syahadah‬‬
‫‪40‬‬
‫جعلامل أنزل‬
‫امليتة‪Vol. II,‬‬
‫القرأن ‪No. II, Oktober‬‬
‫احلمد هلل الذي خلق ‪2014‬‬
‫جربيل على حممد بالقرآن‬ ‫امل إن اهلل أنزل‬ ‫ل جربيل على حممد بالقرآن‬
‫‪             ‬‬
‫أنزل‬ ‫‪ merumuskan‬جعل‬ ‫املامليتة‬ ‫خلق القرأن‬
‫بالقرآن‬
‫‪beberapa‬‬ ‫حممد‬ ‫‪metode‬‬
‫الذي‬ ‫‪ yang‬على‬ ‫أنزلهلل‬
‫جربيل‬ ‫احلمد‬ ‫أنزل‬
‫‪digunakan‬‬
‫امليتةإن اهللجعل‬ ‫‪al-Zamakh-‬‬
‫الذي خلق القرأن‬
‫أنزل ‪  ‬‬ ‫‪syari,‬‬ ‫‪  ‬‬ ‫على‬ ‫;‪ yaitu‬‬
‫} ‪{‬‬ ‫امليتة‪‬‬
‫ِيدِ‪‬‬‫بظالم‪‬لّ‪‬لْ‪‬عَ‪‬ب‪‬‬‫سَ‪‬‬ ‫بُ ‪‬‬ ‫‪‬‬‫اهلل‪‬رِلَْي‬
‫‪‬مَ‪ْ ‬غ‪‬‬ ‫ق‪َ‬و‪َ‬أ‪‬وَانَّ ‪‬لْ‬
‫قوله‪‬شْ‪‬رِ‪ُ{‬‬ ‫‪‬لْمَ‪‬‬
‫‪‬‬ ‫عطف ا‪‬‬ ‫‪َِّ‬ل ‪ِ‬ه‬ ‫فلم‪ ‬وَل‬
‫بالقرآن‪ ‬احلمد‬ ‫‪:‬‬
‫قلت‬ ‫فإن‪ ‬‬‫‪    ‬‬
‫جعل ‪a.‬‬ ‫‪Menggunakan‬‬ ‫القرأن‪analisis‬‬ ‫‪bahasa‬‬ ‫‪melalui‬خلق‬ ‫الذي‬ ‫هلل امل‬ ‫‪kaidah-kaidah‬‬ ‫هلل أنزل جربيل على حممد‬
‫‪ilmu‬‬
‫شريكاً‬ ‫‪ Analisis‬اوْلْا‬
‫أيديك‪ini‬م فََأيْ}نَم‪َ،‬اوَلُتَِّلوِهَُّل‬
‫للعبيد‪ ‬‬ ‫ظالم‪  ‬‬ ‫غري‪ ‬‬ ‫بُ‬‫كونه‪ْ‬غ‪‬رِ‪ ‬‬ ‫جعل‪‬و‪َ‬ا ‪‬‬ ‫وكيفَم‬ ‫ما قدّمت ‪ ‬‬
‫‪Balaghah.‬لْمَ‪dan‬‬
‫‪  ‬‬ ‫ق‪‬‬
‫أنزل‪ُ‬‬ ‫‪ ‬شْ‪‬رِ‪‬‬ ‫جعل‪‬‬ ‫امليتة‪ ‬‬ ‫الذيرِبُ‬ ‫قهلل وَالْمَ ْغ‬ ‫درِ ُ‬
‫‪Nahwu, Sharaf,‬‬ ‫‪tidak hanya‬‬
‫‪fokus pada satu ayat, tetapi sering juga dikaitkan‬‬ ‫‪dengan‬‬ ‫خلق القرأن‬
‫َل‬
‫ك قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو ِّ‬ ‫‪َayat-ayat‬نَّغريَ‬
‫كونهَلِّي‬
‫معىن فَلَُنو‬ ‫‪lain‬مَاءِ‬ ‫قلت ‪:‬السَّ‬ ‫‪ membicarakan‬فِي‬
‫التعذيب؟ ‪yang‬‬
‫بَا َو ْجهِكَ‬ ‫استحقاق‬
‫و‬
‫ْ‬ ‫َل‬
‫ُّ‬‫و‬ ‫َىمَاتَ ُتقَلُّ‬ ‫ن‬
‫َ‬ ‫ْ‬‫ي‬ ‫أ‬
‫َ‬‫‪َ yang‬نيففَر‬ ‫الجتراحهم‪ sama.‬قَدْ‬
‫السيئات‬ ‫‪‬وْا‬
‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬ ‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫ب‬
‫ُ‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫ر‬
‫ِ‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫غ‬
‫ْ‬ ‫َ‬
‫م‬‫‪‬‬ ‫‪‬‬ ‫ْ‬
‫ل‬ ‫َا‬
‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫و‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫ق‬
‫ُ‬ ‫‪hal‬‬
‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫ِ‬
‫ر‬ ‫ْ‬
‫ش‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫م‬
‫َ‬ ‫‪‬‬ ‫‪ Analisis‬وَل‪َِّ‬ل‪ِ‬ه ا‪‬لْ‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬ ‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬ ‫‪‬‬
‫‪‬‬
‫ُّواَلةً وَُترْجُوضهََاهكَُا ْم َفوَل‬ ‫كَفوَلقِبْ‬
‫منهمونَْلِّتُيَنَّمْ َ‬
‫‪ini‬لَُنكُ‬
‫املسيءِءمَا َف‬ ‫يعاقبَوحَيْالسَّثُمَا‬ ‫كَرَامِف‬ ‫ح‬
‫العدلَودِ ْج اأنهِلْ َ‬ ‫َلجِ‬ ‫‪pada‬وسْ‬ ‫ومنلْقَفَلُّمَ‬ ‫َىرَهَاتَا‬ ‫‪َtataran‬اْط‬
‫كََترَْنرشَ‬ ‫عادلَلهَوْقَةًادْ‬
‫كََوُتقِْجوبَُّلْ‬
‫‪juga tidak‬‬ ‫‪berhenti‬‬ ‫‪tekstual saja, tetapi‬‬
‫‪terkadang‬‬ ‫ِي‬‫‪al-Zamakhsyari‬‬ ‫بَِّ‬ ‫‪juga‬‬ ‫عليهمض‬
‫‪menggali‬‬ ‫أنهنَم‬
‫‪َmakna‬ا‬ ‫للعبيدُنوفََلَِّأييَْنَّ‬ ‫ظالممَاءِ‬
‫‪terdalam‬فَلَ‬ ‫تَقَلُّبَ َو ْجهِكَ فِي السَّ‬
‫‪dari susunan kata atau kalimat dalam‬‬ ‫ه‬
‫ُ‬ ‫ر‬
‫َ‬ ‫ط‬
‫ْ‬ ‫ش‬
‫َ‬
‫‪ayat-ayat‬‬ ‫ق وَالْمَ ْغرِبُ ‪tersebut.‬‬ ‫لْمَشْرِ ُ‬
‫َل وُجُوهَكُم‬ ‫ُّوا ِّ‬
‫ثُقِبَْلمةًَا َترْكُنْتُضَامْهَاَفوَلَفو‬ ‫‪QS.‬فََالَمُِنوَلِّيَوَنَّحَيَْ‬
‫ك‬ ‫حر‬ ‫‪Al-Baqarah:‬ماَالْءِ َ‬
‫كَ ْمالْفمَِيسْجِدِ‬
‫السَّ‬ ‫‪35,‬هِهَْطرَكُ‬ ‫كوُ َوج ْجشَ‬
‫ُو‬ ‫َى َفتََووقَلَلُّْجُّواهَبَ َ‬ ‫احملسنَادْ َنكُنْرتُمْ‬ ‫ويثيبحَيْثُ مقَ‬ ‫حرَامِ َو‬ ‫شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ الْ َ‬
‫;‪Contoh‬‬
‫َم َوشَ ْج ْطُه َرهُاللَّ ِه‬ ‫فَث َّ‬ ‫ُتوَُّلوْا‬
‫ثُ رَمَاغَدًاكُنْتُحَيمْثَُفوَلُّوا وُجُوهَكُ ْم‬ ‫َلَاوَمِكُلَاَوحَمِيْنهَا‬ ‫حرِّ‬ ‫كَشَتَْطقِبْرََلوَةًاَزلْ ْوَتمَرْجُسْضكََاجِهدِاَالْ الْجََفَّنوةَ‬ ‫كَ أَنْ‬ ‫وَقُلْنَا يَا َآ َدمُ َواجسْهَكُنْ‬
‫س ْجِإَلُههِاللَّالنهَِّاسِ‬ ‫َمَّا َوِ‬ ‫َى تَقَلُّبَ َو ْجهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّمَيلَِنَّكِفَثال َّن‬ ‫ر‬
‫ثُ ْطهَرمهُِذَا ِه الكُنْتُشَّمَْج َرَفةَوَلفَتَُّواكُونوَُاجمُِوَنهَ الكُظْمَّالِ ِمنيَ‬ ‫حتُرمَاَامِ وَلَاَو َتحَْقيْرَبشََا‬ ‫َ‬ ‫كَهِ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ الْشِئْ‬ ‫للَّ‬
‫س إَِلهِ النَّاسِ‬ ‫الناسالنَّا ِ‬ ‫رب المَلَّلِهِكِ‬ ‫َم َومنْج ُه‬ ‫الظاملنيث}َّ‬ ‫فَ‬ ‫س إَِلهِ النَّاسِ‬ ‫ِ‬
‫مبعصية اهلل {فَتَكُونَا}‬ ‫حفص‪ ,‬عمر الفاروق‬ ‫أنفسهم‬ ‫ظلموا‬ ‫الذين‬
‫أيب‬ ‫سرية‬ ‫ن‬
‫َ‬ ‫م‬
‫ِ‬ ‫}‬ ‫هُ‬
‫سِ‬‫الناس‬ ‫ربهِ النَّا‬ ‫س إَِل‬ ‫مَلِكِ النَّا ِ‬ ‫س‬
‫الضمرياللَّ ِهيف‬ ‫الفاروق ْن دُو ِن‬ ‫‪.‬‬ ‫للنهى‬
‫عمر أَرْبَابًا مِ‬ ‫جواب‬‫حفصهْ‪,‬بَاَنهُ ْم‬ ‫نصب‬
‫سريةحْبَاأيبرَهُ ْم وَرُ‬ ‫أو‬ ‫}‬ ‫َا‬
‫اتَّخَذُوا َأ‬‫ب‬‫ر‬‫َ‬ ‫ق‬
‫ْ‬ ‫َ‬
‫ت‬ ‫{‬ ‫على‬ ‫عطف‬ ‫جزم‬ ‫ه‬
‫ِ‬ ‫َّ‬
‫ل‬ ‫ال‬ ‫ه‬
‫ُ‬ ‫ج‬
‫ْ‬
‫رب الناس‬ ‫حفص‪ ,‬عمر الفاروق‬
‫س إَِلهِ النَّاسِ {عَْنهَا} للشجرةإَِلهِ‪ .‬النَّاأيسِ فحملهما الشيطان على الزلة بسببها‪.‬‬ ‫النَّا ِ‬
‫الفاروقهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّ ِه‬ ‫عمررَهُ ْم وَرُ‬ ‫حفصُوا‪َ ,‬أحْبَا‬ ‫سرية أيب اتَّخَذ‬ ‫حْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّهِ‬
‫للبيانتعاىل‪{ :‬وَمَا فَعَلُْتهُ عَنْ أَ ْمرِى} [الكهف‬ ‫غاية قوله‬ ‫و(عن) هذه‪ ،‬مثلها يف‬ ‫لناس‬
‫اتَّخَذُوا َأ إِحَْلبَاهِرَالهُنَّاْمسِوَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّهِ‬
‫فأزهلما ِظ َرةٌ (‪)۲۲‬‬
‫اجلنة‬ ‫عن‬ ‫َى‪ :‬رَِّبهَا نَا‬ ‫وقيل‬ ‫‪ )۲۲‬إِل‬ ‫ضنَْرٌة ُش(رْبِ‬ ‫للبيانعَ ِ‬ ‫غايةأَمَئِكْذلٍ نوَا‬ ‫الفاروق]‪ .‬وقوله‪ :‬يَْن َهُوْوجنَُوهٌعَ َينْوْ‬ ‫أيب حفص‪ ,‬عمر ‪۲۲:‬‬
‫سِ‬ ‫ه‬
‫ِ‬ ‫َّ‬
‫ل‬ ‫ال‬‫ُو ِنالنَّا‬ ‫نوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن إِدَلهِ‬
‫مبعىن أذهبهما عنها وأبعدمها‪.‬‬
‫‪ )۲۲‬‬ ‫ظ‪َ‬ر‪‬ةٌ‪(‬‬ ‫‪ )۲۲‬إِل‪َ‬ى‪‬رَِّب‪ ‬هَا‪ ‬ن‪َ‬ا‪ِ ‬‬ ‫ض‪َ‬ر‪ٌ‬ة ‪(‬‬ ‫‪‬هٌ‪َ ‬ي‪‬وْ‪‬مَ‪‬ئِذٍ‪‬ن‪َ‬ا ‪ِ‬‬ ‫للبيانُو‪‬جُو‬ ‫‪ ‬‬ ‫‪)۲۲‬‬ ‫ض َرٌة (‪ )۲۲‬إِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرةٌ (غاية‬ ‫ئِذٍ نَا ِ‬
‫اسِ‬
‫وقرىء ‪« :‬وال تِقربا» بكسر التاء‪ [ .‬وهذي ]‪ [ ،‬والشِّجرة ]‪،‬‬
‫;‪Artinya‬‬
‫ِى‬ ‫ن‪‬أَ ْم‪‬ر‪‬‬
‫)‪“(Maksud‬وَ‪‬م‪َ‬ا‪ ‬ف‪ََ‬علُْت‪‬هُ ‪َ‬ع‪ْ‬‬
‫‪۲۲‬ه ‪َ)‬ا‬
‫‪ْ‬ن‪‬‬
‫‪ِ dari‬ظ‪‬رَبَر‪َ‬اةٌ‪ (‬عَ‬
‫ُونه‪َ‬ا‪‬نتَ‪َ‬اْق‬ ‫َىتَ‪‬ك‪‬رِّ‬
‫َب‪‬‬
‫‪kalimat‬‬ ‫‪)(۲۲‬إِ‪‬ل‪‬فَ‬ ‫‪‬‬ ‫الظاملني‬
‫‪ (‬‬ ‫ض‪َ‬ر‪ٌ‬ة‬ ‫‪yaitu‬ذٍ)‪‬نمِ‪َ‬ا‪‬نَ‪ِ ‬‬‫العدل‬
‫‪‬مَ‪‬ئِ‬ ‫‪orang-orang‬هٌ‪َ ‬يوْ‬ ‫‪ُ  yang‬و ‪‬ج‪ُ‬و‬ ‫للبيان‪   ‬‬ ‫‪ ‬‬
‫والياء ‪mendzalimi dirinya‬‬ ‫‪sendiri‬‬ ‫‪ [kepada‬والشرية] بكسر الشني‬
‫‪dengan‬‬ ‫‪bermaksiat‬‬ ‫‪ Allah.‬الشني‪.‬‬ ‫بكسر‬
‫‪Adapun‬عَ‪ْ‬ن ‪‬هَا‪ ‬وَ‪‬مَا‪ ‬فَعَلُْتهُ َع ْن أَ ْمرِى‬ ‫ُو ‪‬نَا‪(‬تَ‪ْ‬قرَ‪‬ب‪َ‬ا‪‬‬ ‫ك‪‬‬ ‫‪‬فَتَ‪‬‬ ‫الظاملني‪‬‬
‫‪) merupakan‬‬ ‫ِى‪‬‬ ‫‪jazam‬مِ‪‬أَنَ‪ْ‬مر‪‬‬ ‫العدل َع‪ْ‬‬
‫ن‪‬‬ ‫‪‬‬ ‫‪ُ‘athaf‬تهُ‬ ‫‪‬فَ)‪‬عَلْ‬ ‫‪۲۲‬‬ ‫‪(bagi‬وَمَا‬ ‫ظ َر‪‬ةٌ‪‬‬ ‫‪َkata‬ا‪ِ‬‬
‫أنهه‬
‫والصحيحَاعَْنَا‬
‫َىبَارَِّب(ه‬ ‫‪َ۲۲‬ا)) تَإِلْقرَ‬
‫ض َرٌةفَتَ(كُون‬ ‫الظاملنيَا ِ‬
‫هٌنَ َيوْمَئِذٍ ن‬
‫‪atau nashab jawab bagi nahi (yang sebelumnya). Dhamir dalam‬‬
‫َع ْن أَ ْمرِى‬ ‫واحلية‪.‬فَ َعلُْتهُ‬
‫‪َkata‬ا‬
‫وقيلهَا‪ ( :‬وَم‬
‫‪ ) kembali‬عَْن‬
‫وإبليسَا‬
‫‪:‬‬ ‫‪pada‬نَا تَ ْقرَب‬
‫وحواءكُو‬
‫‪ pohon.‬فَتَ‬ ‫الظاملني‬
‫آلدم‪ ‬‬ ‫‪ syaitan‬مِ‪‬نَ‪‬‬
‫‪Artinya,‬‬
‫‪ ‬‬
‫خطاب‬ ‫العدل‬
‫اهبطوا‪}‬‬
‫‪ ‬‬ ‫{‪‬‬
‫‪yang‬‬ ‫‪‬‬‫‪   ‬‬
‫قيل‪:‬‬
‫‪mera-‬‬
‫‪yu mereka berdua sebagai perantaranya. Penjelasan ini sama‬‬
‫‪halnya‬كانا‬
‫ألهنما ملا‬
‫‪dengan‬‬‫وذريتهما‪،‬‬
‫مهارِى ( ‪ayat‬‬
‫واملراد ْن أَ ْم‬
‫وحواءفَعَلُْتهُ َع‬ ‫آلدم‬
‫‪bukanlah‬أنه عَْنهَا‬
‫‪ ), “...dan‬وَمَا‬ ‫والصحيحبَا‬
‫‪aku‬نَا تَ ْقرَ‬
‫فَتَكُو‬ ‫ل مِنَ الظاملني‬
‫‪melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” Maksud kalimat‬‬
‫كأهنما اإلنس كلهم‬
‫‪syaithan yang menggelincirkan‬‬ ‫‪mereka‬‬‫‪ dari‬جعال‬‫ومتشعبهم‬ ‫‪ men-‬اإلنس‬
‫‪surga adalah‬‬ ‫أصل‬
‫اهلل الْ{فَتَجََّنكةَُونَاوَ}كُلَا مِْنهَا رَغَدًا حَيْثُ‬‫مبعصيةجُكَ‬ ‫تَ وَ َز ْو‬ ‫أنفسهم‬ ‫ظلمواكُنْ أَنْ‬ ‫الذينَدمُ اسْ‬ ‫احملسن}وَقُلْنمنَا يَا َآ‬ ‫ويثيبالظاملني‬ ‫}مِنَ‬
‫الظيَّْالِيفثُِمنيَ‬
‫الضمريحَ‬
‫للنهىَان‪َ.‬ا رَمِغَ َندًا‬
‫كه‬
‫ُو‬ ‫جوابةَكُ‬
‫‪Konsep‬لَافَتَ مِْن‬
‫جوََر‬‫الشَّةَ َ‬ ‫نصب‬
‫‪dan‬زرَبْوأوَاجُهَكَِذ ِهالْ‬
‫‪Keadilan‬جََّن‬ ‫تََا َت}وَْق‬
‫‪Indeterminasi‬لبَا‬
‫علىكتُنْمَا{تَأَنْْقوََر‬
‫عطفمُ اسْشِئْ‬ ‫جزمَا يَا‪َ ...‬آ َد‬
‫وَقُلْن‬
‫‪41‬‬
‫الشيطانِمنيَعلى الزلة بسببها‪.‬‬ ‫فحملهما مِ َن الظَّالِ‬ ‫ج َرةَ فَتَكُونَا‬ ‫‪ .Lenni‬الشَّأي َ‬ ‫للشجرة ِذ ِه‬ ‫{شِئْعَتُْنمهَاَا وَ}لَا َت ْقرَ‬
‫‪Lestari‬بَا هَ‬
‫}مِنَ الظاملني} من الذين ظلموا أنفسهم مبعصية اهلل {فَتَكُونَا}‬
‫جواب للنهى‪ .‬الضمري يف‬ ‫الكهف}‬
‫َا‬
‫ن‬ ‫ُو‬ ‫ك‬ ‫ت‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫ف‬ ‫اهلل}{[‬
‫نصب‬
‫مبعصيةْمرِى‬
‫‪jauhkan mereka dari surga.‬‬
‫أنفسهملُْتهُ عَنْ أَ‬
‫أو‬ ‫}‬ ‫َا‬ ‫ب‬
‫ظلموا {وَمَا فَعَ‬
‫ر‬
‫َ‬ ‫ق‬
‫ْ‬ ‫َ‬
‫ت‬ ‫{‬ ‫على‬
‫الذين تعاىل‪:‬‬
‫‪20‬‬ ‫عطف‬
‫الظاملني}مثلهامنيف قوله‬
‫جزم‬
‫عن) هذه‪،‬‬ ‫ن‬
‫َ‬ ‫م‬
‫ِ‬ ‫و}(‬
‫يف ‪b.‬‬ ‫اجلنة‬ ‫فأزهلما عن‬
‫الضمري‬
‫‪Menampilkan‬‬ ‫‪.‬‬ ‫للنهى‬ ‫‪:ragam‬‬
‫وقيل‬
‫جواب‬ ‫‪qiraat‬بِ‬ ‫نصبُشرْ‬ ‫‪lain,‬عَنْ‬
‫‪baik‬كْلٍأوو‬ ‫}‬ ‫‪ْitu‬قعََربنَْا أَ‬ ‫َ‬
‫ت‬ ‫‪ْdari‬ونَ‬
‫{‬ ‫علىَه‬‫‪ :aspek‬يَْن‬
‫وقوله‬
‫عطف‬ ‫]‪.‬‬
‫‪perbe-‬‬‫‪۲۲‬‬
‫جزم‬ ‫‪:‬‬
‫الشيطان على الزلة بسببها‪.‬‬ ‫‪daan harakat‬‬ ‫فحملهما‬ ‫‪atau huruf‬‬ ‫للشجرة‪ .dari‬أي‬ ‫‪sebuah}kata.‬‬ ‫{عَْنهَا‬
‫‪ .Contoh:‬‬
‫على‪QS.‬الزلة بسببها‬ ‫‪Al-Baqarah:‬‬‫فحملهما الشيطان‬ ‫‪35,‬‬
‫‪.‬‬ ‫وأبعدمها‬
‫عنها ‪ .‬أي‬ ‫للشجرة‬ ‫أذهبهما‬ ‫مبعىنهَا}‬‫{عَْن‬
‫و(عن) هذه‪ ،‬مثلها يف قوله تعاىل‪{ :‬وَمَا فَعَلُْتهُ عَنْ أَ ْمرِى} [الكهف‬
‫وهذيعَ ]نْ‪ ،‬أَ ْم[رِىوال}ش[ِّجرة ]‪،‬‬
‫الكهف‬ ‫التاء‪{.‬وَ[مَا فَعَلُْتهُ‬ ‫تعاىل‪:‬‬ ‫بكسر‬ ‫مثلهاِقربايف»قوله‬ ‫هذه‪،‬وال ت‬ ‫وقرىء ‪« :‬‬ ‫و(عن)‬
‫‪ .]۲۲:‬وقوله‪ :‬يَْن َه ْونَ عَنْ أَكْلٍ وعَنْ ُشرْبِ وقيل‪ :‬فأزهلما عن اجلنة‬
‫والياء وقيل‪ :‬فأزهلما عن اجلنة‬ ‫الشنْني ُشرْبِ‬ ‫بكسر وعَ‬
‫والشريةعَ]نْ أَكْلٍ‬ ‫وقوله‪ [:.‬يَْن َه ْونَ‬ ‫بكسر]‪.‬الشني‬
‫‪21‬‬
‫‪۲۲:‬‬
‫‪c. Untuk hal-hal yang abstrak, al-Zamakhsyari tetap‬‬ ‫‪.‬‬ ‫وأبعدمها‬ ‫عنها‬ ‫أذهبهما‬ ‫مبعىن‬ ‫‪ mencan-‬أنه‬
‫والصحيح‬
‫أذهبهما عنها وأبعدمها‪.‬‬ ‫مبعىن‬
‫وهذي ]‪ [ ،‬والشِّجرة ]‪،‬‬ ‫‪[ Akan‬‬ ‫‪ :tetapi,‬التاء‪.‬‬ ‫وحواء»‪ ia‬بكسر‬
‫‪tumkan riwayat lain, meski terkadang tanpa sumber yang‬‬
‫‪ terpengaruh‬تِقربا‬
‫خطاب «وال‬ ‫‪{riwayat‬اهبطوا}وقرىء ‪:‬‬
‫‪،.shahih.‬‬
‫واحلية]‬ ‫وال‪:‬شِّجرة‬ ‫وقيل‬ ‫وإبليس]‪[ ،‬‬ ‫‪ [tidak‬وهذي‬ ‫آلدمالتاء‪.‬‬ ‫‪dengan‬تِقربا» بكسر‬ ‫وقرىء ‪« :‬وال‬ ‫قيل‪:‬‬
‫كانا‬ ‫والياء‬
‫‪tersebut‬‬
‫ملا‬ ‫وذريتهما‪ ،‬الشني‬
‫‪dan‬‬
‫ألهنما‬ ‫والشرية] بكسر‬
‫‪tetap‬‬ ‫‪fokus‬‬
‫مها‬
‫‪pada‬‬ ‫الشني‪[.‬‬
‫واملراد‬
‫‪analisisnya‬‬
‫وحواء‬ ‫بكسر‬ ‫آلدم‬
‫‪sendiri.‬‬
‫أنه‬
‫‪Jika‬‬
‫والصحيح‬
‫‪ia‬‬
‫‪tidak sepakat dengan‬‬ ‫والياء‬‫‪pendapat‬‬ ‫بكسر الشني‬ ‫‪tertentu,‬‬ ‫والشرية]‬ ‫‪ia akan‬‬ ‫الشني‪[.‬‬ ‫‪menegas-‬‬ ‫بكسر‬
‫‪ ).‬والصحيح أنه ‪kan pilihannya dengan kata (...‬‬
‫اإلنسأنهومتشعبهم جعال كأهنما اإلنس كلهم‬ ‫أصل‬
‫‪22‬‬

‫‪ Contoh, QS. Al-Baqarah: 36,‬‬


‫والصحيح‬
‫وإبليس‪ :‬وقيل‪ :‬واحلية‪.‬‬ ‫وحواءواحلية‪.‬‬ ‫آلدم وقيل‪:‬‬ ‫خطابوإبليس‪:‬‬ ‫آلدم} وحواء‬ ‫خطاباهبطوا‬ ‫قيل‪{ :‬اهبطوا}قيل‪{ :‬‬
‫وذريتهما‪ ،‬ألهنما ملا كانا‬ ‫مها ملا كانا‬ ‫واملرادألهنما‬ ‫وذريتهما‪،‬‬ ‫آلدممهاوحواء‬ ‫وحواءأنهواملراد‬ ‫والصحيح‬ ‫والصحيح أنه آلدم‬
‫كلهمكأهنما اإلنس كلهم‬ ‫اإلنسجعال‬ ‫‪23‬‬
‫ومتشعبهم‬ ‫جعال كأهنما‬ ‫ومتشعبهماإلنس‬ ‫أصل اإلنس أصل‬
‫‪d. Al-Zamakhsyari tidak terfokus pada satu fragmen kisah‬‬
‫‪dalam satu surat. Terkadang ia akan mencantumkan po-‬‬
‫‪tongan kisah dari surat yang lain sebagai penjelas.‬‬
‫‪ Contoh, QS. Al-Baqarah: 37,‬‬
‫ب ال َّرحِيمُ‬
‫فَتَلَقَّى َآدَمُ مِنْ رَِّبهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عََلْي ِه إَِّنهُ ُه َو الَّتوَّا ُ‬
‫معىن تلقي الكلمات استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني‬
‫علمها ‪ .‬وقرىء بنصب آدم ورفع الكلمات؛ على أهنا استقبلته بأن‬
‫بلغته واتصلت به ‪ .‬فإن قلت ‪ :‬ما هنّ؟ قلت ‪ :‬قوله تعاىل ‪ { :‬رَبَّنَا‬
‫‪20 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Jilid ]I.۲۲‬‬ ‫األعراف ‪:‬‬
‫‪(T.tp.‬‬ ‫اآليه [‬
‫‪T.th), hlm.‬‬ ‫سنَا ‪81. } . . .‬‬
‫ظَلَمْنَا أَنفُ َ‬
‫‪21 Ibid., hlm. 81.‬‬
‫وعن ابن مسعود رضي اهلل عنه ‪« :‬إن أحب الكالم إىل اهلل ما قاله‬
‫‪22 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Jilid I. (T.tp. T.th), hlm. 82 dan 177, jilid VII, hlm.‬‬
‫وتبارك‬
‫‪153, dan jilid‬‬ ‫وحبمدك‬
‫‪IV, hlm.‬‬ ‫أبونا آدم حني اقترف اخلطيئة ‪ :‬سبحانك اللَّهم ‪238.‬‬
‫‪23 Ibid., hlm. 82.‬‬
‫امسك وتعاىل جدّك ‪ ،‬ال إله إال أنت ظلمت نفسي فاغفر يل إنه ال‬
‫يغفر الذنوب إال أنت»‬
‫فإن قلت ‪ :‬ما معىن { ثُمَّ اجتباه رَُّبهُ } ؟ قلت ‪ :‬مث قبله بعد التوبة‬
‫ب ال َّرحِيمُ‬
‫ب عََلْي ِه إَِّنهُ ُه َو الَّتوَّا ُ‬
‫فَتَلَقَّى َآدَمُ مِنْ رَِّبهِ كَلِمَاتٍ فَتَا َ‬
‫‪Jurnal Syahadah‬‬
‫‪42‬‬ ‫معىن تلقي الكلمات استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني‬
‫‪Vol. II, No. II, Oktober 2014‬‬

‫استقبلته بأن‬ ‫بأهناال َّرحِيمُ‬ ‫على ُ‬ ‫الكلمات؛ الَّتوَّا‬


‫ورفععََلْي ِه إَِّنهُ ُه َو‬ ‫بنصبَاتٍآدمفَتَابَ‬ ‫وقرىءرَِّبهِ كَلِم‬ ‫علمها َآ‪.‬دَمُ مِنْ‬ ‫فَتَلَقَّى‬
‫بلغته واتصلت به ‪ .‬فإن قلت ‪ :‬ما هنّ؟ قلت ‪ :‬قوله تعاىل ‪ { :‬رَبَّنَا‬
‫معىن تلقي الكلمات استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني‬
‫ظَلَمْنَا أَنفُ َسنَا ‪ } . . .‬اآليه [ األعراف ‪]۲۲ :‬‬
‫علمها ‪ .‬وقرىء بنصب آدم ورفع الكلمات؛ على أهنا استقبلته بأن‬
‫‪e. Mengutip‬‬ ‫إىل اهلل ما قاله‬ ‫‪riwayat‬‬ ‫‪lain‬الكالم‬ ‫أحب‬ ‫‪yang‬‬ ‫‪«mendukung‬إن‬ ‫رضي اهلل عنه ‪:‬‬ ‫وعن ابن مسعود‬
‫‪pemikirannya,‬‬ ‫‪ter-‬‬
‫‪َutama‬ا‬
‫‪ { :yang‬رَبَّن‬ ‫‪ berkaitan‬تعاىل‬
‫‪dengan‬قلت ‪ :‬قوله‬ ‫‪ :prinsip-prinsip‬ما هنّ؟‬ ‫واتصلت به ‪ .‬فإن قلت‬ ‫‪Mu’tazilah.‬‬ ‫بلغته‬
‫‪Sebagai‬‬‫وحبمدك وتبارك‬ ‫َّهم‪contoh‬‬ ‫‪dapat‬‬ ‫سبحانك الل‬ ‫‪dilihat :dari‬‬ ‫اخلطيئة‬ ‫‪riwayat‬‬ ‫‪yang‬اقترف‬ ‫‪dikutip‬حني‬ ‫‪al-‬أبونا آدم‬
‫‪Zamakhsyari untuk‬‬ ‫‪]۲۲menafsirkan‬‬ ‫‪ [QS.‬األعراف ‪:‬‬ ‫‪Al-Baqarah:‬اآليه‬
‫‪َ37,‬نفُ َسنَا ‪} . . .‬‬ ‫ظَلَمْنَا أ‬
‫امسك وتعاىل جدّك ‪ ،‬ال إله إال أنت ظلمت نفسي فاغفر يل إنه ال‬
‫وعن ابن مسعود رضي اهلل عنه ‪« :‬إن أحب الكالم إىل اهلل ما قاله‬
‫يغفر الذنوب إال أنت»‬
‫وحبمدكمُ وتبارك‬ ‫ب ال َّرحِي‬ ‫َّهم ُ‬ ‫سبحانكَو الاللَّتوَّا‬
‫اخلطيئةبَ‪:‬عََلْي ِه إَِّنهُ ُه‬ ‫اقترفمَاتٍ فَتَا‬ ‫حنيرَِّبهِ كَلِ‬ ‫آدممُ مِنْ‬ ‫أبوناَّى َآدَ‬ ‫فَتَلَق‬
‫بعد التوبة‬ ‫قبله‬ ‫مث‬ ‫‪:‬‬ ‫قلت‬ ‫؟‬ ‫}‬ ‫ه‬
‫ُ‬ ‫ب‬
‫ُّ‬ ‫َ‬
‫ر‬ ‫اجتباه‬ ‫م‬
‫َّ‬ ‫ث‬
‫ُ‬ ‫{‬ ‫معىن‬ ‫ما‬ ‫‪:‬‬ ‫قلت‬ ‫فإن‬
‫فاغفرِيمُيل إنه ال‬ ‫ب ال َّرح‬ ‫نفسيُ‬ ‫ظلمتَو الَّتوَّا‬ ‫أنتِه إَِّنهُ ُه‬ ‫وتعاىلنْ رَجِّبدهِّككَلِ‪،‬مَاالتٍإلهفَتَاإالبَ عَلْي‬ ‫امسك َآدَمُ مِ‬ ‫فَتَلَقَّى‬
‫تلقي الكلمات استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني‬ ‫معىنّبه إليه‪.‬‬ ‫وقر‬
‫أنت»استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني‬ ‫الكلمات‬ ‫يغفر الذنوب إال‬ ‫تلقي‬ ‫معىن‬
‫األول؟بأن‬ ‫استقبلته‬ ‫الشرط‬ ‫جواب أهنا‬ ‫الكلمات؛ على‬ ‫قلت‪ }:‬؟ما‬ ‫ورفع‬
‫فإن‬ ‫آدم‪.‬‬
‫بنصبثًُىمَّ}‬
‫معىن‪di‬هُ{د‬ ‫وقرىءمّن‬
‫‪ّsini‬ى‬ ‫علمها َي‪..‬أْ‬
‫بأن‬
‫استقبلتهالتوبة‬ ‫بعد‬
‫‪Prinsip‬‬ ‫‪Mu’tazilah‬مثأهناقبله‬
‫على‬
‫الكلمات؛قلت ‪:‬‬ ‫‪yang‬‬‫ورفعرَُّبهُ‬‫اجتباه‬
‫‪diangkat‬‬ ‫آدم‬ ‫بنصب‬ ‫‪ُadalah‬مما‬
‫وقرىء‬ ‫قلتِتيَنَّ‪:‬ك‬ ‫‪َّprin-‬ا‬
‫فإنِإم‬
‫علمها‬ ‫{فَ‬
‫‪َterminasi‬اَا‬
‫‪sip‬‬ ‫قدرتنن‬
‫فإن ‪ {{ ::‬ررََببََّّ‬
‫‪keadilan‬‬ ‫تعاىل‬
‫تعاىل‬ ‫قوله‬
‫قلتإن‪wil)::‬قوله‬
‫جئتين‬
‫‪atau‬‬ ‫‪lebih‬‬
‫قلت‬ ‫كقولك‪:‬‬ ‫‪Dalam‬ماما ههننّ؟ّ؟‬
‫‪spesifikasinya‬‬
‫جوابه‬‫قلت ‪::‬‬‫‪hal‬معقلت‬ ‫فإن‬ ‫‪pada‬‬
‫الثاينفإن‬‫الشرطبهبه ‪..‬‬‫واتصلت‬
‫‪konsep‬‬
‫واتصلت‬ ‫بلغته‬
‫‪inde-‬‬
‫قلتّبه ‪:‬‬ ‫بلغته‬
‫‪(free‬‬ ‫‪manusia.‬‬ ‫‪ini,‬‬ ‫‪jika‬‬ ‫إليه‪.‬‬
‫‪manusia‬‬ ‫وقر‬
‫‪berbuat kesalahan,]۲۲‬‬ ‫األعراف ‪::‬‬ ‫اآليهفإما[[‬ ‫‪}} .. ..mendapat‬‬
‫إليك‪...‬‬ ‫أحسنتفُفُ ََسسننَاَا‬‫ظَظَلَلَممْْننَاَا أأَنَن‬
‫‪maka‬‬ ‫‪ia‬‬ ‫‪dikatakan‬‬ ‫‪telah‬‬ ‫‪berbuat‬‬ ‫‪“dza-‬‬
‫‪Maka‬إليكم‬ ‫برسول أبعثه‬ ‫هدى‬
‫مين ‪]۲۲ia‬‬ ‫يأتينكم‬
‫األعراف‬ ‫واملعىن‪:‬اآليه‬
‫األول؟‬
‫‪lim”.‬‬ ‫‪dari‬الشرط‬ ‫جواب‬ ‫‪itu,‬‬ ‫‪ harus‬ما‬ ‫فإن قلت‪:‬‬ ‫‪bertobat‬‬ ‫‪agar‬هُدًى}‪.‬‬ ‫‪ِam-‬إمَّا َيأِْتيَنَّكُم مّنّى‬ ‫{فَ‬
‫رضي اهلل عنه ‪« :‬إن أحب الكالم إىل اهلل ما قاله‬
‫‪punan‬‬ ‫‪dari‬‬ ‫‪Allah‬‬ ‫‪karena‬‬ ‫‪telah‬‬ ‫‪melanggar.‬‬ ‫عليكم‪.‬‬ ‫مسعود‬ ‫وكتابابنأنزله‬ ‫وعن‬
‫قدرت ‪f.‬‬
‫‪pemaparan‬فإن‪Teknik‬‬ ‫‪ :al-Zamakhsyari‬إن جئتين‬ ‫‪bersifat‬مع جوابه كقولك‬ ‫الشرط الثاين‬ ‫‪dialogis‬‬ ‫قلت ‪:‬‬ ‫‪(ko-‬‬
‫وتبارك‬
‫‪munikatif).‬‬ ‫‪Pembaca‬وحبمدك‬ ‫سبحانك اللَّهم‬ ‫‪seakan :sedang‬‬ ‫‪diajak‬اخلطيئة‬ ‫‪berbicara‬اقترف‬ ‫‪ den-‬آدم حني‬ ‫أبونا‬
‫إليكم‬
‫‪gannya.‬‬ ‫‪Hal‬أبعثه‬ ‫برسول‬ ‫‪ini dapat‬‬ ‫مين هدى‬ ‫‪dilihat‬‬ ‫يأتينكم‬ ‫‪pertanyaan-pertanyaan‬فإما‪dari‬‬
‫أحسنت إليك‪ .‬واملعىن‪:‬‬
‫‪yang‬الالزَنُونَ‬
‫إنهيَ ْح‬ ‫‪dimunculkan‬يليلهُمْإنه‬
‫فاغفروَلَا‬
‫نفسيعَلَْيهِ ْم‬
‫فاغفر‬ ‫ظلمتَخ ْوفٌ‬
‫نفسي‬ ‫ظلمت‬ ‫أنتَايَ فَلَا‬
‫‪al-Zamakhsyari,‬‬ ‫إالعَ هُد‬
‫أنت‬ ‫إلهنْ تَبِإال‬
‫‪seakan‬الالفَمَإله‬
‫ّكد‪ً،،‬ى‬‫‪itu‬مِنججِّيددهُّك‬ ‫‪muncul‬كُمْ‬
‫وتعاىل‬
‫وتعاىل‬ ‫امسكأِْتيَنَّ‬
‫فَإِمَّا َي‬
‫امسك‬
‫‪dari pembaca yang berada bersamanya.‬‬ ‫‪.‬‬ ‫عليكم‬ ‫أنزله‬ ‫وكتاب‬
‫‪menafsirkan‬مع‪ ia‬جوابه‬ ‫‪ »QS.‬الشرط الثاين‬
‫‪ Sebagai contoh ketika‬‬ ‫أنت»‬‫‪ Taha:‬أنت‬ ‫األول إال‬
‫إال‬ ‫الذنوب‬
‫الذنوب‬ ‫‪122,‬‬ ‫الشرط‬ ‫يغفر‬
‫يغفر‬
‫فإن قلت ‪ :‬ما معىن { ثُمَّجواب الشرط األول‬
‫التوبةْحزَنُونَ‬
‫التوبة‬ ‫بعدهُمْ يَ‬ ‫بعد‬‫قبله وَلَا‬
‫فٌ عَمثمثلَْيهِ ْم‬
‫قبله‬ ‫قلت ‪:‬‬
‫قلت ‪:‬‬ ‫اجتباهعَ ررََهُُُّّببدهُهَُايَ}} فَ؟؟لَا َخ ْو‬
‫اجتباه‬
‫ًى ثُ فَمَّمَنْ تَبِ‬ ‫معىند{‬ ‫قلتكُ‪:‬مْمامِنِّي هُ‬ ‫فإنَّا َيأِْتيَنَّ‬ ‫فَإِم‬
‫الشرط الثاين مع جوابه‬ ‫األول‬ ‫الشرطإليه‪.‬‬ ‫وقرّبه‬
‫وقرّبه إليه‪.‬‬
‫ ‬ ‫‪Atau dalam QS. Al-Baqarah: 38,‬‬
‫األولجواب الشرط األول؟‬ ‫الشرط‪ :‬ما‬
‫جوابفإن قلت‬
‫{فَِإمَّا َيأِْتيَنَّكُم مّنّى هُدًى}‪.‬‬
‫{فَِإمَّا َيأِْتيَنَّكُم مّنّى هُدًى}‪ .‬فإن قلت‪ :‬ما جواب الشرط األول؟‬
‫قلت ‪ :‬الشرط الثاين مع جوابه كقولك‪ :‬إن جئتين فإن قدرت‬
‫أبعثه قدرت‬
‫إليكم‬ ‫برسول فإن‬
‫كقولك‪:‬هدىإن جئتين‬ ‫واملعىن‪:‬معفإماجوابه‬
‫يأتينكم مين‬ ‫الشرط الثاين‬
‫أحسنت إليك‪.‬‬ ‫قلت ‪:‬‬
‫واملعىن‪ :‬فإما يأتينكم مين هدى برسول أبعثه إليكم‬
‫إليك‪.‬عليكم‪.‬‬
‫أحسنت أنزله‬ ‫وكتاب‬
‫وكتاب أنزله عليكم‪.‬‬
‫فَإِمَّا َيأِْتيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا َخ ْوفٌ عَلَْيهِ ْم وَلَا هُمْ يَ ْحزَنُونَ‬
‫قلت ‪:‬مث مثقبلهقبلهبعدبعدالتوبةالتوبة‬
‫اجتباهرَُّبرَهُُّبهُ}}؟ ؟قلت ‪:‬‬
‫معىن{{ثُ ثُمَّمَّاجتباه‬
‫فإن قلت ‪ ::‬ماما معىن‬
‫إليه‪..‬‬
‫وقرّبه إليه‬
‫‪Konsep Keadilan dan Indeterminasi ...‬‬
‫الشرطاألول؟‬
‫األول؟‬ ‫جوابالشرط‬‫قلت‪:‬ما ماجواب‬
‫‪Lenni‬هُهُددًىًى}‪.}.‬فإنفإنقلت‪:‬‬
‫‪ُLestari‬م مّنمّنّىّى‬
‫‪43‬فَِإمَّا َيأِْتيَيَنَّنَّككُم‬
‫{‬
‫جئتينفإنفإنقدرت‬
‫قدرت‬ ‫كقولك‪:‬إنإنجئتين‬
‫جوابهكقولك‪:‬‬
‫الثاين معمع جوابه‬‫الشرط الثاين‬‫قلت ‪ :‬الشرط‬
‫برسولأبعثهأبعثهإليكمإليكم‬
‫هدىبرسول‬
‫يأتينكممينمينهدى‬
‫واملعىن‪:‬فإمافإمايأتينكم‬
‫إليك‪ ..‬واملعىن‪:‬‬ ‫أحسنت إليك‬ ‫أحسنت‬
‫عليكم‪..‬‬
‫أنزله عليكم‬ ‫وكتاب أنزله‬ ‫وكتاب‬
‫ ‬ ‫‪Maksudnya adalah,‬‬

‫فٌلَْيعَهِلَْيْمهِوَْملَاوَلهَُامْ يَهُمْْحزَيَنُوْحزَنَنُونَ‬
‫فَفَإِإِممَّاَّا َيَيأْأِْتِتيَيَنَّنَّكُكُمْمْ مِمِننِّيِّيهُهُددًىًى فَ فَمَمَنْنْتَبِتَعَبِعَهُدهَُادَايَ فَيَلَافَلَاَخ ْو َخ ْوفٌ عَ‬
‫جوابه‬ ‫الثاينمعمعجوابه‬ ‫الشرطالثاين‬ ‫الشرط‬ ‫الشرط األول‬
‫األول‬ ‫الشرط‬
‫األول‬ ‫الشرطاألول‬ ‫جوابالشرط‬ ‫جواب‬
‫‪2) Pemikiran al-Zamakhsyari tentang kisah Nabi Adam dan Hawa‬‬
‫‪Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa ada 20 ayat‬‬
‫‪yang membicarakan Nabi Adam dan Hawa sejak tinggal di‬‬
‫‪surga hingga dikeluarkan ke bumi. Dua puluh ayat tersebut‬‬
‫‪terkadang diulang dalam surat-surat lain. Meskipun demikian,‬‬
‫‪Al-Zamakhsyari tidak mengulang penjelasannya pada ayat yang‬‬
‫‪memiliki kesamaan redaksi, kecuali jika dirasa perlu ­tambahan.‬‬
‫‪Berdasarkan al-Quran, Nabi Adam dan Hawa adalah‬‬
‫‪sepasang manusia yang pertama diciptakan oleh Allah. Mer-‬‬
‫‪eka pula manusia pertama yang mendapat aturan sekaligus la-‬‬
‫‪rangan dari Allah swt. Ada dua aturan dan satu larangan yang‬‬
‫‪ditetapkan Allah kepada Nabi Adam dan Hawa, yaitu:‬‬
‫)‪a) Perintah untuk tinggal di surga (Al-Baqarah:35‬‬

‫ك الْجََّنةَ‬
‫ت وَ َز ْوجُ َ‬
‫وَقُلْنَا يَا َآدَمُ اسْكُ ْن أَنْ َ‬
‫‪b) Perintah menggunakan semua fasilitas di surga dan meng-‬‬
‫‪tersedia‬ئْوَتَُزمْوَاجُ َ‬
‫ك الْجََّنةَ‬
‫‪konsumsi semua makanan yang‬‬ ‫تشِ‬
‫وَوَقُلْكُنلَاَا يمَِاْن َآهَادَمُرَ اغَسْدًاكُ ْنحَيْأَنْثُ َ‬
‫)‪ • (al-Baqarah: 35‬‬ ‫ك الْجََّنةَ‬
‫ت وَ َز ْوجُ َ‬ ‫وَقُلْنَا يَا َآدَمُ اسْكُ ْن أَنْ َ‬
‫كَْن أَهلَاَّا رَتَغَجدًاُوعَحَيْفِيثُهَاشِئْوَلتَُامَاتَعْرَى (‪َ )۱۱۲‬وأَنَّكَ لَا تَظْ َمأُ فِيهَا وَلَا‬ ‫إوَِنَّكُللََا مِ‬
‫وَكُلَا مِْنهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا‬
‫)‪ • (Taha: 118-119‬‬ ‫تَضْحَى (‪)۱۱۱‬‬
‫إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى (‪َ )۱۱۲‬وأَنَّكَ لَا تَظْ َمأُ فِيهَا وَلَا‬
‫ِإنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى (‪َ )۱۱۲‬وأَنَّكَ لَا تَظْ َمأُ فِيهَا وَلَا‬
‫ني‬
‫ج َرةَ فَتَكُونَا مِ َن الظَّالِمِ َ‬ ‫‪)۱۱۱‬الشَّ َ‬
‫َىبَا( هَذِ ِه‬
‫ضْ تَحْقرَ‬‫تَوَلَا‬
‫تَضْحَى (‪)۱۱۱‬‬
‫أحب الكالم إىل اهلل ما قاله‬ ‫إنمِ َ‬
‫ني‬ ‫اهللُونَاعنهمِ َن‪ :‬ال«ظَّالِ‬
‫رضيفَتَك‬‫ج َرةَ‬ ‫مسعود‬
‫الشَّ َ‬ ‫ابن هَذِ ِه‬
‫وعن ْقرَبَا‬
‫وَلَا تَ‬
‫ني‬
‫وَلَا تَ ْقرَبَا هَذِ ِه الشَّ َج َرةَ فَتَكُونَا مِ َن الظَّالِمِ َ‬
‫أبونا آدم حني اقترف اخلطيئة ‪ :‬سبحانك اللَّهم وحبمدك وتبارك‬
‫وعن ابن مسعود رضي اهلل عنه ‪« :‬إن أحب الكالم إىل اهلل ما قاله‬
‫فاغفر يل إنه ال‬ ‫نفسيما قاله‬ ‫ظلمت إىل اهلل‬
‫أحب الكالم‬ ‫رضي ‪،‬اهللالعنهإله‪« :‬إالإنأنت‬ ‫مسعودجدّك‬ ‫امسكابنوتعاىل‬ ‫وعن‬
‫أبونا آدم حني اقترف اخلطيئة ‪ :‬سبحانك اللَّهم وحبمدك وتبارك‬
َ‫ك الْجََّنة‬
َ ُ‫ت وَ َز ْوج‬
َ ْ‫وَقُلْنَا يَا َآدَمُ اسْكُ ْن أَن‬

Jurnal Syahadah
‫وَكُلَا مِْنهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا‬
44
‫َا وَلَا‬Vol.
‫ فِيه‬II,ُ‫ َمأ‬No.
ْ‫َا تَظ‬II,‫ ل‬Oktober 2014
َ‫) َوأَنَّك‬۱۱۲ ( ‫إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى‬
c) Dilarang memakan buah pohon terlarang (Al-A’raf: 19)
)۱۱۱( ‫تَضْحَى‬
‫ني‬
َ ِ‫ج َرةَ فَتَكُونَا مِ َن الظَّالِم‬
َ َّ‫وَلَا تَ ْقرَبَا هَذِ ِه الش‬
Jika perintah dan larangan di atas dicermati dari teo-
‫ قاله‬logi
‫اهلل ما‬Mu’tazilah
‫–الكالم إىل‬sebagaimana
‫ «إن أحب‬: dipaparkan ‫رضي اهلل عنه‬sebelumnya-, ‫ ابن مسعود‬maka ‫وعن‬
‫وتبارك‬ ‫ سبحانك اللَّهم وحبمدك‬: ‫أبونا آدم حني اقترف اخلطيئة‬
terlihat bahwa konsep keadilan Tuhan dalam hubungannya
dengan perbuatan manusia, sudah memenuhi syarat. Artinya,
‫إنه ال‬Allah
‫فاغفر يل‬ memang ‫نفسي‬memberikan
‫إال أنت ظلمت‬ ‫ ال إله‬، ‫ّك‬
kebebasan ‫امسك وتعاىل جد‬
seluas-luasnya bagi
mereka untuk menentukan pilihan.
Allah dalam konteks ini sudah. berbuat
َ‫ك الْجََّنة‬َ ‫ت وَ َز ْو ُج‬ َ ْ‫مُ اسْكُ ْن أَن‬dan َ‫وَقُلْنَا يَا َآد‬
»‫إال أنت‬adil ‫ الذنوب‬tidak ‫يغفر‬
dzalim karena terbukti Nabi Adam yang telah melakukan kes-
‫بيدك؟‬alahan,
‫ختلقين‬dan ‫ أمل‬sebelumnya
‫ «يا رب‬: pun ‫ قال‬Allah ‫ عنهما‬sudah ‫رضيشِئْتُمَا‬
‫اهلل‬ ُ‫عباسحَيْث‬
memberikan ‫ابن رَغَدًا‬ ‫ْنهَا‬ultima-
ِ‫وعن م‬
‫وَكُلَا‬
tum kepada mereka. Jadi, Allah itu adil karena telah memberi-
: ‫قال‬kan
‫روحك؟َا‬
‫من َمأُ فِيهَا‬
‫وَل‬ganjaran ‫الروحَا‬
ْ‫تَظ‬yang َّ‫)يفّ َوأَن‬۱۱۲
‫كَ ل‬sesuai ‫أمل (تنفخ‬
“prosedur”. ‫ربعْرَى‬ ‫هَاياوَلَا‬:‫ فِي‬konteks
َ‫ ت‬Dalam ‫قال‬
َ‫جُوع‬. َ‫بلى ت‬ ‫لَّا‬ini,
َ‫كَ أ‬ : Nabi
َ‫قالل‬َّ‫ِإن‬
Adam-lah yang dzalim karena tidak menempatkan sesuatu
: ‫قال‬pada
. ‫بلى‬ : ‫غضبك؟ قال‬
tempatnya. Selain itu, ‫رمحتك‬ Tuhan ‫تسبق‬dinilai ‫رب أمل‬ adil‫)يا‬karena
۱۱۱
: ‫َى (قال‬ .‫بلىح‬
Tuhan ْ‫تَض‬
tidak menciptakan perbuatan mereka. Tidak boleh ada inter-
‫وأصلحت‬ ‫إن تبت‬dalam
vensi Tuhan ‫يا رب‬perbuatan :‫ني‬
َ ‫قال‬
ِ‫ظَّالِم‬.‫بلى ال‬
‫نَا مِ َن‬:‫قالكُو‬
manusia. َ‫جنتك؟َرة‬
َ‫ فَت‬Karena, ‫تسكين‬
‫ذِ ِه الشَّ َج‬jika َ‫وَلأملَا تَ ْقر‬
َ‫بَا ه‬Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, maka Tuhan itu dzalim. 24
»‫ نعم‬: ‫قال‬terlihat ‫أنت إىل اجلنة؟‬pemberi- ‫أراجعي‬
‫ قاله‬Dari
‫اهلل ما‬penafsiran
‫أحب الكالم إىل‬ ‫ «إن‬: ‫ رضي اهلل عنه‬bahwa
al-Zamakhsyari ‫وعن ابن مسعود‬
an ganjaran bagi Nabi Adam dan Hawa adalah hal yang wajar,
‫وتبارك‬mereka
karena ‫وحبمدك‬sendiri ‫سبحانك اللَّهم‬yang memilih : ‫اخلطيئة‬ jalan‫ترف‬ yang ‫ اق‬salah.
‫آدم حني‬Hal‫أبونا‬ ini
dapat dilihat ketika al-Zamakhsyari mengutip riwayat-riwayat
‫يل إنه ال‬doa‫فاغفر‬
tentang para‫نفسي‬ sahabat ‫ظلمت‬ yang‫أنت‬ merasa‫إله إال‬telah ‫ ال‬، mendzalimi
‫ وتعاىل جدّك‬dirin- ‫امسك‬
ya sendiri dan meminta ampun karena telah banyak melaku-
kan dosa. Adapun riwayat yang dikutip al-Zamakhsyari . »‫الذنوب إال أنت‬ adalah; ‫يغفر‬
‫ «يا رب أمل ختلقين بيدك؟‬: ‫وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال‬
: ‫ يا رب أمل تنفخ يفّ الروح من روحك؟ قال‬: ‫ قال‬. ‫ بلى‬: ‫قال‬
: ‫ قال‬. ‫ بلى‬: ‫ يا رب أمل تسبق رمحتك غضبك؟ قال‬: ‫ قال‬. ‫بلى‬
‫ يا رب إن تبت وأصلحت‬: ‫ قال‬. ‫ بلى‬: ‫أمل تسكين جنتك؟ قال‬
»‫ نعم‬: ‫أراجعي أنت إىل اجلنة؟ قال‬
24 ‘Abdul Karim ‘Usman. Syarh al-Usul al-Khamsah li al-Qadi ‘Abdul Jabbar. (T.tp:
Maktabah Wahbah. 1996), hlm. 345.
‫ «يا رب أمل ختلقين بيدك؟‬: ‫وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال‬
: ‫ يا رب أمل تنفخ يفّ الروح من روحك؟ قال‬: ‫ قال‬. ‫ بلى‬: ‫قال‬
Konsep Keadilan dan Indeterminasi ...
: ‫ قال‬. ‫ بلى‬: ‫رب أمل تسبق رمحتك غضبك؟ قال‬ ‫ يا‬Lestari 45
: ‫ قال‬. ‫بلى‬
Lenni

‫ يا رب إن تبت وأصلحت‬: ‫ قال‬. ‫ بلى‬: ‫أمل تسكين جنتك؟ قال‬


»‫ نعم‬: ‫أراجعي أنت إىل اجلنة؟ قال‬
Letak keadilan Tuhan lainnya adalah saat diterimanya
taubat Nabi Adam dan Hawa. Ketika Nabi Adam dan Hawa
menyadari kesalahannya, yang ditandai dengan tersingkapnya
pakaian mereka, Allah tidak serta-merta menjatuhkan vonis
hukuman kepada mereka. Mengapa? karena kisah ini belum
berakhir, tetapi baru pada tahap anti-klimaks (denouement/
pemecahan).
Keputusan Allah untuk menjatuhkan hukuman diberi-
kan baru setelah mereka bertaubat kepada Allah. Bukan hanya
itu, Allah juga memberikan kesempatan kedua bagi mereka
untuk bebas memilih jalan hidup. Di sini-lah letak keadilan
tuhan yang lain, yaitu memberikan ampunan setelah mereka
bertaubat.
Konsep keadilan lainnya yang tersirat dari penafsiran al-
Zamakhsyari di sini adalah tentang balasan di akhirat. Menu-
rut al-Zamakhsyari, balasan di akhirat berjalan lurus dengan
perbuatan di dunia. Hanya saja, konsep ke-Mu’tazilah-annya
baru terasa saat menjelaskan kebebasan menentukan langkah
di dunia. Jadi, sebenarnya konsep ini juga sama dengan ulama
lainnya. Perbedaannya adalah pada konsep indeterminasi. Un-
tuk lebih jelasnya, berikut penulis cantumkan penafsiran al-
Zamakhsyari tentang hal ini;
،‫ما كان آدم وحواء عليهما السالم أصلي البشر‬
‫ جعال كأهنما‬: ‫والسببني اللذين منها نشؤا وتفرعوا‬
‫ { فَإِمَّا‬: ‫ فقيل‬، ‫ فخوطبا خماطبتهم‬، ‫البشر يف أنفسهما‬
‫ ونظريه إسنادهم الفعل‬. ‫يَ ْأتِيَنَّكُم } على لفظ اجلماعة‬
} ‫ وهو يف احلقيقة للمسبب { هُدًى‬،‫إىل السبب‬
.‫كتاب وشريعة‬
‫ ضمن اهلل ملن اتبع القرآن أن ال يضل‬: ‫وعن ابن عباس‬
ِ‫ { فَمَن‬: ‫ مث تال قوله‬، ‫يف الدنيا وال يشقى يف اآلخرة‬
‫اتبع هُدَاىَ فَالَ يَضِلُّ وَالَ يشقى } واملعىن أن الشقاء يف‬
‫اآلخرة هو عقاب من ضلّ يف الدنيا عن طريق الدين‬
‫ ونظريه إسنادهم الفعل‬. ‫يَ ْأتِيَنَّكُم } على لفظ اجلماعة‬
} ‫ وهو يف احلقيقة للمسبب { هُدًى‬،‫إىل السبب‬
Jurnal Syahadah
46
Vol. II, No. II, Oktober 2014 .‫كتاب وشريعة‬
‫ ضمن اهلل ملن اتبع القرآن أن ال يضل‬: ‫وعن ابن عباس‬
ِ‫ { فَ َمن‬: ‫ مث تال قوله‬، ‫يف الدنيا وال يشقى يف اآلخرة‬
‫اتبع هُدَاىَ فَالَ يَضِلُّ وَالَ يشقى } واملعىن أن الشقاء يف‬
‫اآلخرة هو عقاب من ضلّ يف الدنيا عن طريق الدين‬
‫فمن اتبع كتاب اهلل وامتثل أوامره وانتهى عن نواهيه‬
.‫جنا من الضالل ومن عقابه‬
Penafsiran al-Zamakhsyari terhadap kisah Nabi Adam dan
 
Hawa   ada
menyiratkan  bayang-bayang
   Mu’tazilah
  di  
baliknya.
Meski konsep keadilan tidak dijelaskan secara eksplisit, na-
 mun tak
 dapat
 dipungkiri
 kesan
 tersebut
 tetap
 ada.
 Terkait

dengan konsep keadilan, al-Zamakhsyari sudah cukup banyak
   ideologinya
menguatkan    penafsiran
melalui   ayat-ayat   se-
 lain 
lain kisah Nabi Adam dan Hawa.
           
E. Penutup
Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan   
bahwa;
1) Konsep keadilan sebagai salah satu dari 5 prinsip Mu’tazilah,
menempati posisi penting bagi al-Zamakhsyari.
2) Menurut al-Zamakhsyari, kisah Nabi Adam dan Hawa adalah
salah satu bukti bahwa Tuhan itu adil, karena; Tuhan telah mem-
berikan kebebasan berbuat bagi Nabi Adam dan Hawa, memberi
hukuman karena telah melanggar, dan menerima taubat ketika
mereka sadar akan kesalahannya.
3) Ada informasi lebih yang diberikan al-Zamakhsyari dalam kitab
tafsirnya al-Kasysyaf. Hal ini menunjukan bahwa perspektif ide-
ologis mampu memperkaya penafsiran.
Demikian pemaparan mengenai kisah Nabi Adam dan Hawa
dalam tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari. Kritik dan saran sangat
penulis harapkan demi terpenuhinya kepuasan intelektual.
Konsep Keadilan dan Indeterminasi ...
47
Lenni Lestari

Daftar Pustaka

‘Abdul Karim ‘Usman. Syarh al-Usul al-Khamsah li al-Qadi ‘Abdul


­Jabbar. T.tp: Maktabah Wahbah. 1996.
Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. T.tp. T.th.
Fauzan Naif, Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari, dalam buku Studi
Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2004.
Fuad Ni’mah. Mulakhkhas Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah. Beirut:
Dar al-Saqafah al-Islamiyah. T.th.
Heru Kurniawan. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi,
Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.
Kusmin Busyairi. Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah. Yogyakarta: Rama.
1985.
Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid I. T.tp:
Maktabah Mus‘ab bin ‘Umar al-Islamiyah. 2004.
Nasr Hamid Abu Zaid. Al-Ittijah al-‘Aqli fi Tafsir, Dirasah fi Qadiyah al-
Majaz fi al-Quran ‘Inda al-Mu’tazilah. Beirut: Al-Markaz al-Saqafi
al-‘Arabi. 2003.
Nashirudin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Quran. Yogyakarta: Pusta-
ka Pelajar. 1998.
Nashr Hamid Abu Zaid. Menalar Firman Tuhan, Wacana Majas dalam
Al-Quran Menurut Mu’tazilah. Bandung: Mizan. 2003.
Saad Abdul Wahid, Zamakhsyari dan Tafsir “Al-Kasysyaf”, dalam
buku Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Ke-Islaman. Yogyakarta:
SUKA-Press. 2003.
Tafsir Berwawasan Gender
(Studi Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab)

Atik Wartini
Mahasisiwa dan Aktivis KMIP Universitas Negeri Yogyakarta
Dan Mahasiswa Studi Pasca Sarjana PGRA
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta1

Abtraks
Dalam alur sejarah perkembangan penafsiran, dan pemahaman
pergesekan dan perubahan paradigma serta epistemology pemaha-
man adalah suatu keniscayaan yang wajar, berbagai faktor melatar
belakanginya, baik itu sosial, politik, dan kebudayaan. Al-Misbah se-
bgai produk Tafsir adalah sebuah berangkat dari dialektika antara
teks, dan konteks yang di gagas oleh M. Quraish Shihab. dengan
demikian indikasi adanya perubahan dalam penafsiran selalu ada,
salah satu penafsiran yang berkaiatan dengan Perempuan. Tidak bisa
di sangkal bahwa dokrin agama sering kali dijadikan untuk mem-
benarkan tindakan tidak adil, sesuatu yang baku dan tidak bisa di
tafsirkan, sehingga posisi marginal perempuan dalam sebuah agama
di anggap takdir yang tidak dapat di ubah. Selain agama budaya juga ,
mempengaruhi terbentuknya stuktur dan sosial politik yang timpang
di masyrakat. Yang kemudian berdampak perempuan sebgai seorang
yang incapable dalam berbagai hal. Disinlah posisi al-Misbah sebgai
tafsir modern, dan menjadi pionir tafsir pembebasan perempuan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif
analitis, dengan mendiskiripsikan dan menganalisis pembacaan M.
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah terhadap ayat-ayat Isu gen-
der. Seeprti penciptaan perempuan, kepemimpinan keluarga, saksi,
warisan, dan nusyuz, dengan pendekatan historis dengan menelusuri
sejarah pertumbuhan dan pola pemikiran serta konteks sosial-buda-
ya yang mempengaruhinya. Serta di pengaruhi dengan penyebaran
ide-ide, adapun jenis penelitian ini adalah penelitian perpustakaan,
(library research) dan lebih menekankan pada tafsir al-misbah karya
M. Quraish Shihab. Dalam penelitian ini menghasilkan adannya
perkembangan terhadap penafsiran yang terkait dengan isu-isu jen-
der, dalam tafsir al-Misbah. Dalam konteks waris, nusyusz, kesaksian
perempuan, pemimpin keluarga, hingga maslah poligami, serta pen-
ciptaan perempuan, dalam hal ini M. Quraish shihab walaupun ma-
sih memengang penafsiran lama, tetapi tidak menolak adanya penaf-
siran baru. Terhadap isu-isu jender. Upaya M. Quraish Shihab adalah
membangun jembatan dan alur mata rantai agar penafsiran berwa-

1 Hadi.ari11@yahoo.com
Tafsir Berwawasan Gender
49
Atik Wartini

wasan jender dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penafsiran


yang akan datang. Pembaharuan ini berjalan dengan pelan dan pasti,
hal ini dapat di buktikan dengan tidak adanya penolakan yang berrti
dalam setiap kajian penafsiran M. Quraish Shihad dalam menafsri-
kan makna perempuan dan isu-isu jender.
Kata Kunci: Penafsiran, Al-Misbah. Jender .

A. Pendahuluan
Al-Qur’an tersusun dengan kosakata bahasa Arab (QS. Yusuf
(12):2) kecuali bebrapa kata asing yang masuk di dalamnya karena
akulturasi.2 Banyak faktor dipilihnya bahasa Arab sebagai bahasa al-
Qur’an, diantaranya adalah keunikannya yang tercemin pada susu-
nan kata dan akar kata. Kosa kata bahasa Arab mempunyai dasar tiga
huruf mati dan dapat dibentuk dengan berbagai bentuk.3 Al-Qur’an
bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, India, Indonesia atau
yang lain, bukan lagi al-Qur’an, hal tersebut di karenakan sudah ada
perbedaan antara maksud yang dinginkan dan maksud yang sebena-
rnya ada dalam ruh ayat tersebut.
Perbedaan laki-laki dan perempuan terkadang masih menyim-
pan berbagai macam permasalahan, terutama tentang peran dan
subtansi kejadiannya dalam sosial masyarakat. Meskipun perbedaaan
dari segi atomi boilogis laki-laki dan perempuan ini adalah sesuatu
yang bersifat jelas, namun perbedaan ini terkadang masih melahir-
kan ketidakadilan pada salah satu pihak. Karena perbedaan secara
biologis ini, menghasilkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi
dari budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang kemudian
melahirkan apa yang disebut dengan konsep jender. Ketika terjadi
ketimpangan dalam menentukan peran dalam sosial masyarakat
akibat interpretasi budaya terhadap jenis kelamin inilah yang meng-
hasilkan ketidakadilan jender.

2 Di antara kosa kata al-Qur’an yang Muarrab adalah Yaqutt, yasin, yasuddun…..
lihat Jalaludin asy-Syuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: tt, th) Juz I, halamn
136-141. Lihat juga Muhammad Rawwas qalahji, Lughat Arab, Luhgat al-Arabi
al-Mukhtarah, (Dar al-Nafais, tt) halaman 21 30.
3 Misalnya dari ketiga huruf adalaha lafaz qala, yakni qaf, wawu dan lam, dapat
melahirkan enam bentuk kata dan kesemua kata tersebut mempunyai bera-
gam makna lihat M Quraish Shihab Esklikopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata.
­(Jakarta: Lentera Hati, 2007) halamn vii.
Jurnal Syahadah
50
Vol. II, No. II, Oktober 2014

Salah satu topik yang menarik menjadi isu global, dan menjadi
perbincangan yang tak pernah henti adalah gerakan pembelaan ter-
hadap kaum perempuan, yang menuntut keadilan dan kesetaraan
jender. Serta juga melakukan pembebebasan perempuan dari segala
bentuk subordinasi laki-laki terhadap perempuan. Hal ini akibat
dari pemahaman jender yang bias priarkhi. Gerakan ini lebih dike-
nal dengan feminism. Yaitu gerakan yang memperjuangkan untuk
menuntut kesamaan hak dan sederajat antara laki-laki dan perem-
puan dalam segala bidang. Dan menetang segala bentuk penindasan
terhadap kaum perempuan.4
Para feminis Muslami cukup menyadari, bahwa kondisi yang
dialami oleh para perempuan, khususnya di Negara-negara Islam,
bukanlah tanpa sebab. Oleh karena itu, mereka mencoba mengkaji
dan mengarahkan perhatian kepada sumber yang menyebabkan ter-
jadinya ketimpangan terhadap kaum perempuan. Karena umat Islam
sangat memegang teguh ajaran Islam sebagai landasan filosofisnya,
maka rujukan sumber ajaran utama dalam Islam, yaitu al-Qur’an
dan Hadis.
Para feminis menyadari, bahwa penting untuk melakukan
pendekatan studi dan kajian-kajian, juga reinterpretasi terhadap
sumber utama tersebut, karena dengan mempengaruhi cara berpikir
dan tindakan seorang muslim dalam kehidupannya, dan merekapun
sadar dengan apa yang sedang dihadapi oleh kaum perempuan terse-
but. Tidak lepas dari penafsiran al-Qur’an dan Hadis yang terkadang
lebih memihak laki-laki dan menindas perempuan.
Adapun hal-hal yang memicu antara lain adalah faktor Par-
thiarkhi5 dalam duania Islam, salah satu yang mencolok adalah
dominasi laki-laki dalam pendidikan dan keilmuan. Bahkan sebagai
penafsir al-Qur’an muncul dari kaum laki-laki, yang sangat jarang
sekali memperhatikan aspek sisi-sisi feminis atau memperjuangkan
kepentingan kaum perempuan. Hal tersebut terjadi dalam kurun

4 Julia Cleves Moses, Gender dan Pembangunan, Terjemahan Hartini Silawati


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1988) halaman 3-4.
5 Parthiarkhi adalah stuktur kekuasaan atau hegemoni kekuatan dunia laki-laki
dimana setiap hubungan dipahami dalam kerangka superoritas dan inferior-
ritas, baca Mansur Fakih “ Diskurusus Gender Prespektif Islam, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1996) halaman 215.
Tafsir Berwawasan Gender
51
Atik Wartini

yang sangat lama dan mungkin sudah mengendap dan menjadi se-
buah keyakinan selama berabad-abad lamanya.6
Keterkaitan antara penafsir al-Qur’an dengan cara pandang
muslim tersebut menghasilkan produk penafsiran yang bias laki-laki
sehingga terjadi pengekangan norma-norma keadilan dan sifat egali-
ter yang menjadi hak perempuan, yang di atas namakan segai sebuah
dogma agama atau dari ajaran al-Qur’an.7
Berangkat dari asusumi di atas dapat disimpulkan bahwa dis-
kriminasi perempuan salah satu faktornya adalah disebabkan oleh
penafsiran-penafsiran yang bias partihiarkhi dan tidak memberikan
porsi keadilan dan hak-hak perempuan dalam kesetaraan, maka dari
itu dalam hal ini mencoba memberikan wawasan penafsiran jender
ala ulama Kontemporer yang ada di dunia khususnya di Indonesia.
Salah satu pakar tafsir yang sudah diakui oleh masyarakat luas dan
sekarang masih hidup dan menjadi rujukan di belahan wilayah Indo-
nesia adalah M.Quraish Shihab dengan tafsir Adabu Ijtima’I dengan
mengungkapkan kesan dan pesan dalam al-Qur’an beliau mencoba
meramu penafsiran yang tidak bias terhadap laki-laki dan mencoba
menafsirkan ulang ayat-ayat jender untuk mengangkat derajat perem-
puan dalam tradisi Islam di Negara-negara muslim.

B. Biografi Singkat M. Quraish Shihab.


M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari di Kabupat-
en Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan sekitar 190 Km dari kota
Ujung Pandang.8 Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Shi-
hab merupakan nama keluarganya (ayahnya) seperti lazimnya yang
digunakan di wilayah Timur (anak Benua India termasuk Indonesia).
M. Quraish Shihab dibesarkan dalam lingkungan keluarga

6 Fatimah Mernisi-Riffat Hasan, Setara Di Hadapan Allah, Relasi Antara Laki-laki


dan Perempuan Dalam Tradisi Islam Pasca Parthiarkhi, Terjemahan Team LSPPA
(Yogyakarta : LSPPA Yayasan Prakas, 1995) h. 70.
7 Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terjemahan, Farid Wajid
dan Cici Farkha Asseghaf ( Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994) h. 1-2.
8 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Ke-
hidupan Maysarakat (Bandung; Mizan, 2004) halaman 6, Saiful Amin Ghafur,
Profil Para Mufassir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008) halamn
236.
Jurnal Syahadah
52
Vol. II, No. II, Oktober 2014

Muslim yang taat, pada usia sembilan tahun, ia sudah terbiasa


mengikuti ayahnya ketika mengajar. Ayahnya, Abdurrahman Shihab
(1905-1986) merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadian
bahkan keilmuan kelak, menamatkan pendidikannya di Jammiyah
al-Khair Jakarta, yaitu sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia. Ayahnya seorang Guru besar di bidang Tafsir dan pernah
menjabat sebagai rektor IAIN Alaudin Ujung Pandang dan juga seb-
agai pendiri Universitas Muslaim Indonesia (UMI) Ujung Pandang.9
Menurut M. Quraish Shihab sejak 6-7 Tahun, ia sudah diharus-
kan untuk mendengar ayahnya mengajar al-Qur’an. Dalam kondisi
seperti itu, kecintaan seorang ayah terhadap ilmu yang merupakan
sumber motivasi bagi dirinya terhadap studi al-Qur’an.10
Disamping ayahnya peran seorang ibu juga tidak kalah pent-
ingnya dalam memberikan dorongan kepada anak-anaknya untuk
giat belajar terutama masalah agama. Dorongan sang ibu inilah yang
menjadi motivasi ketekunan dalam menuntut Ilmu agama sampai
membentuk kepribadiaanya yang kuat terhadap basic keislaman.
Dengan melihat latar belakang keluarga yang sangat kuat dan
disiplin, maka sangat wajar jika kepribadian keagamaan, dan kecin-
taan serta minat terhadap ilmu-ilmu agama dan studi al-Qur’an yang
digeluti oleh M. Quraish Shihab sejak kecil hingga kemudian didu-
kung latar belakang pendidikan yang dilaluinya mengantarkan men-
jadi seorang muffasir.
M. Quraish Shihab memulai pendidikan di Kampung hala-
mannya di Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikan menen-
gahnya di Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dar al-Hadist al-
Fiqhiyyah.11 Kemudian pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo
Mesir untuk meneruskan pendidikannya di al-Azhar dan diterima di
kelas II Tsanawiyyah. Selanjutnya pada Tahun 1967 dia meraih gelar
Lc (S1) pada Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadist Universitas
Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikanya di Fakultas yang
sama, sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk spesialis Tafsir

9 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka Dalam Beragama, (Bandung:


Mizan,1999) Halaman. V.
10 Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, halaman 237.
11 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an….. halaman 14.
Tafsir Berwawasan Gender
53
Atik Wartini

Al-Qur’an dengan judul Al-I’jaz al-Tasri’ Li Al-Qur’an Al-Karim.12


Pada tahun 1980 M. Quraish Shihab kembali melanjutkan
pendidikanya di Universitas al-Azhar, dan menulis disertasi yang
berjudul Nazm Al-Durar Li Al-Baqa’iy Tahqiq wa Dirasah sehingga
pada tahun 1982 berhasi meraih gelar doktor dalam studi ilmu-ilmu
al-Qur’an dengan yudisium Summa Cumlaude, yang disertai dengan
penghargaan tingkat 1 (Mumtaz Ma’a Martabat al-syaraf al-Ula). Den-
gan demikian ia tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara
yang meraih gelar tersebut.13
Setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 1984, M Quraish
Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasar-
jana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1995, ia dipercaya
menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jabatan terse-
but memberikan peluang untuk merealisasikan gagasan-gagasanya,
salah satu diantaranya melakukan penafsiran dengan menggunakan
pendekatan multidisipliner, yaitu pendektan yang melibatkan se-
jumlah ilmuwan dari berbagi bidang spesialisasi. Menurutnya, hal
ini akan lebih berhasil untuk mengungkapkan petunjuk-petunjuk
dari al-Qur’an secara maksimal.14
Jabatan lain di luar Kampus yang pernah diembanya, antara
lain, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak 1984: anggota
Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama sejak 1989, selain itu
ia banyak berkecimpung dalam berbagai organisasi profesional, sep-
erti pengurus perhimpunan ilmu-ilmu al-Qur’an Syari’ah, Pengurus
Konsursium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebu-
dayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan cendekiawan Muslim In-
donesia (ICMI).15 Serta direktur pendidikan Kader Ulama (PKU)
yang merupakan usaha MUI untuk membina kader-kader ulama di
tanah air.16

12 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an….. halaman 6.


13 Quraish Shihab, Memmbumikan Al-Qur’an …… halaman 5.
14 Kasmantoni, Lafadz Kalam Dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab Studi Analisa
Semantik (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Tesis 2008) halaman 31.
15 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ….. halaman 6.
16 Quraish Shihab, “Menyatukan Kembali al-Qur’an dan Umat” dalam jurnal Ulu-
mul Qur’an, Vol. V, No, 3, 1993, halaman 13.
Jurnal Syahadah
54
Vol. II, No. II, Oktober 2014

Pada tahun 1998, tepatnya di akhir pemerintahan Orde Baru,


ia pernah dipercaya sebagai Menteri Agama oleh Presiden Suharto,
kemudian pada 17 Pembruari 1999, dia mendapat amanah sebagai
Duta Besar Indonesia di Mesir, Walaupun berbagai kesibukan seb-
agai Konsekwensi jabatan yang diembanya, M Quraish Shihab tetap
aktif dalam kegiatan Tulis menulis di berbagai media massa dalam
rangka menjawab permasalahan yang berkaitan dengan persoalan
agama.17 Di harian pelita, ia mengasuh rubrik “Tafsir Amanah” dan
juga menjadi anggota dewan Redaksi majalah Ulum al-Qur’an dan
Mimbar Ulama di Jakarta. Dan kini, aktifitasnya adalah Guru Besar
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidatatullah Jakarta dan Direktur Pusat
Studi al-Qur’an (PSQ) Jakarta.18
Sebagai mufassir kontemporer dan penulis yang produktif, M
Quraish Shihab telah menghasilkan berbagai karya yang telah banyak
diterbitkan dan dipublikasikan.19 Di antara karya-karyanya adalah :
1. Tafsir Al-Manar: Keistimewan dan Kelemahannya, Tahun 1984 diter-
bitkan di IAIN Alauddin Ujung Pandang.
2. Filsafat Hukum Islam, tahun 1987 diterbitkan di Jakarta (Departe-
men Agama RI).
3. Mahkota Tuntunan Illahi: Tafsir Surat Al-Fatihah, tahun 1988 diter-
bitkan di Jakarta (untagama).
4. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidu-
pan Maysarakat, tahun 1994 di terbitkan di bandung (mizan)
5. Studi Kritik Tafsir al-Mannar, 1994 diterbitkan di Bandung (Pusta-
ka Hidayah).
6. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, tahun 1994 diterbit-
kan di bandung (Mizan).
7. Untaian Permata buat Anakku: Pesan al-Qur’an untuk Mempelai, ta-
hun 1995 diterbitkan di bandung (Mizan).
8. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas berbagai persoalan Umat
tahun 1996 diterbitkan di bandung (mizan).
9. Hidangan Ayat-Ayat Tahlil, tahun 1997 diterbitkan di Jakarta (len-

17 Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir……. Halaman 238.


18 M. Quraish Shihab, Mu’zizat al-Qur’an Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiyyah dan Pemberitaan Gahaib (Jakarta, Mizan,2007) halaman 297.
19 Kasmantoni, Lafaz Kalam….. halaman 32-37.
Tafsir Berwawasan Gender
55
Atik Wartini

tera Hati).
10. Tafsir al-Qur’an Al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Uru-
tan Turunya Wahyu, tahun 1997 diterbitkan di Bandung (Pustaka
Hidayah).
11. Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Berbagai Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, tahun 1997 di terbitkan di Band-
ung (Mizan).
12. Sahur Bersama M. Quraish Shihab, di RCTI, tahun 1997 diterbit-
kan di Bandung (Mizan).
13. Menyingkap Ta’bir Illahi: al-Asma’ al-Husna dalam Prespektif al-
Qur’an, tahun 1998 diterbitkan di Bandung (Mizan).
14. Haji Bersama Quraish Shihab: Panduan Prakstis Untuk Menuju Haji
Mabrur, tahun 1998 di terbitkan di Bandung (Mizan).
15. Fatwa-Fatwa seputar Ibadah Mahdhah, tahun 1998 diterbitkan di
Bandung (Mizan).
16. Yang Tersembunyi Jin Syetan dan Mayarakat: dalam Al-Qur’an dan
as-Sunnah serta Wacan Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini,
tahun 1999 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
17. Fatwa-Fatwa Seputar Al-Qur’an dan Hadist, Tahun 1999 diterbit-
kan di Bandung (Mizan).
18. Panduan Puasa bersama Quraish Shihab, tahun 2000 diterbitkan di
Jakarta (Reblublika).
19. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
II, tahun 2001 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
20. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
III, tahun 2001 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
21. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
IV, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
22. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
V, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
23. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
VI, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
24. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
VII, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
25. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
VIII, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
26. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
Jurnal Syahadah
56
Vol. II, No. II, Oktober 2014

VIX, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).


27. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
X, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
28. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
XI, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
29. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
XII, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
30. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
XIII, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
31. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
XIV, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
32. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
XV, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
33. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-Ayat Tahlil,
tahun 2001 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
34. Panduan Sholat Bersama Quraish Shihab, tahun 2004 diterbitkan
Jakarta (Replubika).
35. Kumpulan Tanya Jawab Bersama Quraish Shihab, tahun 2004 diter-
bitkan di Jakarta (Lentera Hati).
36. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Is-
lam, tahun 2005 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
37. Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer Pakaian
Perempuan Muslimah, tahun 2006 diterbitkan di Jakarta (Lentera
Hati).
38. Dia Dimana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena, ta-
hun 2006 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati , Pusat Studi Al-
Qur’an).
39. Perempuan, Dari Cinta sampai Sexs, Dari Nikah Mut’ah sampai Ni-
kah Sunnah, dari Biasa Lama sampai Biasa Baru, tahun 2006 diter-
bitkan di Jakarta (lentera Hati).
40. Menjemput Maut Bekal Perjalanan Menuju Allah, tahun 2006 diter-
bitkan di Jakarta (Lentera Hati).
41. Pengantin Al-Qura’an Kalung Permata Buta Anakku, tahun 2007
diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati).
42. Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Qur’an, tahun 2007 diter-
bitkan di Bandung (Mizan).
43. Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosa Kata, jilid I, II, II tahun 2007
Tafsir Berwawasan Gender
57
Atik Wartini

diterbitkan di Jakarta (PSQ dan Lentera Hati dan Yayasan Pa-


guyuban Iklas).
44. Al-Lubab: Makna dan Tujuan dan Pelajarn dari Al-Fatihah dan Juz
Amma, tahun 2008 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati)
Berbagai karya M. Quraish Shihab yang telah disebutkan di
atas, menandakan bahwa perananya dalam perkembangan keilmuan
di Indonesia khususnya dalam bidang Al-Qur’an. Dan sekian ban-
yak karyanya, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
merupakan Mahakaryanya. Melalui tafsir inilah namnya membum-
bung sebagai salah satu muffasir Indonesia, yang mampu menulis
tafsir al-Qur’an 30 Juz dari Volume 1 sampai 15.
Dalam tulisan ini penulis mencoba melakukan kajian ulang pe-
mikiran dan mencoba menelusuri landasan hukum dan metodologi
hukum yang di gunakan oleh M Quraish Shihab dalam tafsir berwa-
wasan jender dalam berbagai karya M. Quraish Shihab.

C. Corak Pemikiran dan Tafsir M. Quraish Shihab


Sebelum kita membahas tafsir perdamaian dalam pandan-
gan M.Quraish Shihab perlu kita kaji karakteristik pemikiran
M.Quraish Shihab dalam peta pemikiran Tafsir. Sebagai studi awal
pendapat M. Syafi’i Anwar perlu dicermati dengan mengklasifikasi
tipologi Cendekiawan Muslim. Pertama, yaitu tipologi Formalistik,
dalam tipologi ini sosok cendekiawan Muslim lebih menonjolkan
format-format keagamaan yang formal-normatif dalam menerapkan
ajaran Islam dalam ruang publik. Orientasi yang di bangun misal-
nya adalah membuat partai Islam. Sistem Politik Islam, dan yang
paling menonjol adalah formalisasi dan politisasi Islam dan simbol-
simbol keagamaan secara formal. Kedua, adalah tipologi Subtantiv-
istik, tipologi ini menggambarkan tentang subtansi ibadah dengan
peribadatan, dan tidak terjebak pada simbolisasi agama Islam. Islam
dipahami dengan nilai-nilai ajaran agama Islam dalam berbagai bi-
dang. Ketiga, Tipologi Tranformatik. Dalam tipologi ini lebih me-
nitikberatkan pandangan ajaran Islam yang paling utama berkaitan
dengan kemanusian. Dalam hal ini ajaran Islam berupaya menjadi
gerakan yang memperdayakan umat, sehingga mengarahkan kepada
pembebasan manusia dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakan-
gan, ketidakadilan. Keempat, tipologi totalistik adalah tipologi yang
Jurnal Syahadah
58
Vol. II, No. II, Oktober 2014

di bangun dengan mendambakan Islam yang kaffah, tidak ada ruang


partikularistik dan pluralitas. Yang ada dalam benak mereka adalah
membangun idealistik ke arah pemahaman yang Fundamental, wa-
laupun mereka terbuka terhadap diskursus intelektual dan pendeka-
tan Ilmiah.
Kelima, tipologi Idealistik, tipologi ini berpandangan bahwa
pandangan dunia harus menjadikan seorang Muslim yang di ben-
tuk oleh wahyu, namun pandangan dunia belum dirumuskan secara
tuntas dan sistematis, sehingga perlu dipahami secara cerdas dan
kontekstual sesuai dengan dinamika dan perubahan zaman. Keenam,
tipologi realistik, tipologi ini berpandangan bahwa Islam harus hadir
dan mengaktualisasikan dirinya secara realistik dalam berbagai ker-
agaman yang ada. Dengan demikian ajaran Islam di padukan den-
gan budaya lokal.20
Dengan melihat tipologi yang telah dijelaskan di atas, M
Quraish Shihab termasuk dalam kategori tipologi Subtantif, Tran-
formatif, dan Idealistik. Tiga analisir yang menjadi bahan renungan
penulis adalah pertama, M.Quraish Shihab adalah sorang figur yang
moderat, sikap moderatnya terbukti dengan model gagasan-gagasan-
nya yang dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Dengan
mengunakan bahasa sederhana lugas dan rasional menjelaskan ten-
tang ajaran-ajaran Islam. Kedua, M. Quraish Shihab seorang penafsir
yang kontektualis. Dalam hal ini ia menekankan untuk memahami
wahyu Ilahi dengan cara kontektual dan tidak terjebak pada makna
tektual. Walaupun masih harus berpodaman pada kaidah-kaidah
tafsir yang masih baku. Serta menekankan perlunya hati-hati dalam
menafsirkan al-Qur’an sehingga tidak terjatuh pada kekeliruan penaf-
siran yang mengakibatkan suatu pendapat atas nama al-Qur’an.21
Jika dilihat dari pemikiran aliran tafsir dalam khazanah tafsir,
ada dua corak aliran, pertama adalah berperspektif klasik-tektualis,
pemikiran yang digolongkan dalam aliran ini adalah pendangan ula-
ma yang bersifat konvensional (mapan) dan sangat terikat pada tek-
tualitas nash, yang terkesan kaku dan diskriminatif terhadap perem-

20 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina,1995) halaman 182.
21 Dewan Redaksi Eklopedia Islam, Suplemen Eklopedia Islam 2, (Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994) halaman 112.
‫اتبع هُدَاىَ فَالَ يَضِلُّ وَالَ يشقى } واملعىن أن الشقاء يف‬
‫ضلّ يف الدنيا عن طريق الدين‬Tafsir
‫ من‬Berwawasan
‫ هو عقاب‬Gender ‫اآلخرة‬
59
Atik Wartini
‫فمن اتبع كتاب اهلل وامتثل أوامره وانتهى عن نواهيه‬
puan,
.‫جنا من الضالل ومن عقابه‬
contoh aplikasi penafsiran mereka adalah sebagai berikut,
pertama penafsiran At-Tabari (w. 310) dalam surat an-Nisa (4) :34:
          

         

        

           

  

Artinya :
Kaum Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena itu Allah Telah
melebihkan sebgaian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebgai harta mereka, sebba itu
maka perempuan yang saleh, yang taat kepda Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatillha
mereka dan pisahkanlah merak dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka,
dan jika mereka mentatatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi maha Besar. ( Q.S al-
Nisa (4) : 34)
Sedangkan dalam surat lainya al-Baqarah (2), 228, Allah ­berfirman:
          

            

           

          

Artinya :
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah  diri
menahan (menunggu)

  tiga

kali quru’ tidak boleh merek menyembunyikan apa yang di ciptakan Allah
dalam Rahimnya jika mereak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Mereka
 suami
para   menghendaki
  (Islah)
dan  perempuan
para   mempunyai
  hal 
seimbang
dalam kewajibanya menurut cara yang lebih ma’ruf, akan tetapi para suami,

          

            
Jurnal Syahadah
60
Vol. II, No. II, Oktober 2014

mempu­nyai suatu tingkatan kelebihan dari pada pada istrinya, dan Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana.” (Q.S al-Baqarah (2) : 228)
At-Tabari (w. 310) menyatakan dalam ke dua ayat ini adalah
legitimasi superoritas laki-laki terhadap perempuan, secara lahiri-
yyah dikatakan bahwa ayat tersebut laki-laki adalah al-Qawam atau
pemimpin, dan pada al-Baqarah disebutkan bahwa derajat laki-laki
setingkat dari pada perempuan. Meskipun pada surat al-Baqarah
(2) :228, terdapat potongan kalimat yang menyatakan wa Lahunna
Mislu al-Lazina bi al-Ma’ruf, bahwa perempuan mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajiban menurut cara yang baik”, menurut at-
Tabari kesamaan hak itu baru muncul dengan sendirinya ketika ked-
uanya sudah melakukan kewajiban masing-masing, yaitu perempuan
melaksanakan sebagai istri yang patuh kepada suami. Ketika mem-
bahas kata bi Ma Faddla Allahu, menyatakan bahwa kelebihan yang
dimiliki oleh perempuan adalah sebagai akibat kewajiban suami
memberi mahar nafkah atau perlindungan.22 Kedua, dalam pemba-
hasan surat al-Baqarah (2) :228, al-Jassah (w. 370 ) menyatakan penaf-
siran ayat tersebut pada bab “hak suami dan istri” dengan mengutip
pendapat Abu Bakar bahwa Allah SWT mengkonfirmasikan bahwa
antara suami dan istri mempunyai hak, tetapi suami memiliki hak
khusus yang hanya di peruntukkan kepadanya. Selanjutnya al-Jassas
menjelaskan hak-hak suami yang menjadi kewajiban Istri, seperti
menjaga nama baik suami dan keluarga, menjaga harta benda, dan
patuh pada suami. Selain suami mempunyai kelebihan boleh ber-
poligami dan kelebihan bagian warisan, serta seorang suami berhak
memukul istrinya ketika nusyuz, pemahaman ini menurut al-Jassas,
sesuai dengan apa yang ada di surat an-Nisa’ (4) : 34. Ketiga, Farrur
Razi (W. 606), berkaitan dengan tafsiran di atas menyatakan ayat
ini disatu sisi memberikan superioritas terhadap kaum laki-laki yang
hampir-hampir mutlak, disisi lain menimbulkan tanggung jawab,
dan kewajiban cukup besar bagi kaum laki-laki, seperioritas laki-laki
ini, meliputi kelebihan kaum laki-laki di bidang akal, bagian warisan,
hal talak dan rujuk, dan bagian harta rampasan perang (gharimah).
Dari tinjauan di atas bahwa seorang perempuan di posisikan inferior
atas laki-laki dan menunjukkan kaum perempuan itu diciptakan se-
bagai hamba yang lemah. Kemudian ar-Razi mengutip sebuah hadis
22 Khoirudin Nasution, Fazlur Rahman Tentang Perempuan, halaman 53-54.
Tafsir Berwawasan Gender
61
Atik Wartini

Nabi yang artinya: “Dan takutlah kepada Allah kepada kedua kelom-
pok yang lemah yakni anak yatim dan kaum perempuan.” Penyebutan
hadis ini masih bertujuan untuk menunjukkan legitimasi lemahnya
perempuan.
Ar-Razi menyatakan dan berargumen ayat di atas sebagai dasar
atas kelebihan laki-laki terhadap perempuan yang dilegitimasikan
oleh al-Qur’an, dan menimbulkan tanggung jawab melebihi perem-
puan. Berupa keharusan memberi nafkah, menciptakan keluarga
yang baik dan mencegah kerusakan.23 Adapun yang keempat, al-Qur-
tuby (W. 671) menafsirkan ayat yang sama seperti penafsir sebelum-
nya, yaitu keseimbangan hak dan kewajiban, namun disamping hal
tersebut, Qurtuby mempunyai pendapat sama dengan yang lain, bah-
wa laki-laki mempunyai derajat yang lebih tinggi dari perempuan.24
Sedangkan apabila dilihat dari model penafsiran yang kedua,
yaitu penafsiran perspektif modern-kontektualis adalah kalangan
ulama yang menggunakan model pemikiran sebelumnya, yang ber-
nuansa bertolak belakang terhadap paradigma diskriminatif terha-
dap perempuan. Pemikiran modern-kontektualis ini adalah penafsir-
an yang menawarkan paradigma baru dalam memahami jender, yang
mengusung tema kesetaraan jender dan pembebebasan perempuan.
Perpektif penafsiran model ini, lebih menekankan aspek kontektuli-
tas teks dari pada tektualitas teks dalam memahami nash al-Qur’an
dan Hadist. Sehingga pemikiran model ini selalu adaktif dan fleksi-
bel. Adaktif berarti bisa mengakomodir perubahan keadan den-
gan lebih baik, sedangkan fleksibel dapat merubah sesuai dengan
konteks penafsiran dan problem aktual kekinian. Beberapa contoh
dapat dilihat sebagai berikut :
Pertama, penafsiran Musthafa al-Maraghi terhadap ayat-ayat
surat al-baqarah (2) 228, bahwa ayat itu mengandung pengertian
bahwa suami mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditunaikan
kepada istrinya, bersamaan dengan hal itu, istri juga mempunyai hak
dan kewajiban yang juga seimbang terhadap suami.
Dengan kata lain hubungan suami istri bersifat memberi dan
menerima (take and give), penafsiran al-Maraghi semakin tepat den-
gan ungkapan saling menerima dan memberi ketika dihubungkan
23 Ibid halaman 56-57.
24 Ibid halaman 57-58.
Jurnal Syahadah
62
Vol. II, No. II, Oktober 2014

dengan sebab turunya ayat, yang menurut suatu riwayat dikatakan,


Ibnu Abbas berkata, “Aku berhias diri untuk istriku, sebagaimana ia
berhias dari untukku”.
Adapun penafsiran yang menujukkan kaum laki-laki lebih
tinggi dari pada kaum perempuan menurut al-Maraghi berhubungan
dengan kepemimpinan dan tugas tanggung jawab untuk mengurus
kemaslahatan rumah tangga. Bukan dalam konteks merendahkan de-
rajat perempuan dan meninggikan derajat laki-laki, dalam hubungan
sebagai individu manusia. Kedua, penafsiran dari Sayyid Qutub, (W.
1966) dalam menafsirkan ayat di atas, Sayyid Qutub berpendapat,
bahwa antara surta al-Baqarah (2) :228 dan surat an-Nisa (4) 34, ti-
dak ada hubungan dalam menguatkan superioritas laki-laki terha-
dap perempuan, menurutnya ayat tersebut berbicara dalam konteks
talak, bukan dalam maksud legitimasi derajat laki-laki. Tetapi dalam
hak suami merujuk istrinya dalam masa iddah. Hak rujuk itu men-
jadi milik suami. Sebabnya dialah yang menalak istrinya. Sementara
ayat kedua yang ada pada surat an-Nisa (4): 34, membahas tentang
peranan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Dalam
konteks perkawinan rumah tangga. Dimana laki-laki memegang tu-
gas kepemimpinan, disebabkan kelebihan yang dimilikinya sebagai
kepala rumah tangga. Dengan demikian hubungan suami istri ini
seharusnya memeliki dasar kemitraan dan saling melengkapi.25
Sedangkan pendapat ketiga, adalah pendapat Muhammad
Abdduh dalam memahami maksud kepemimpinan laki-laki terha-
dap perempuan dalam surat al-Nisa (4) : 34, adalah anugrah kekhu-
susan yang diberikan oleh Allah kepada kaum laki-laki (suami) un-
tuk memikul tugas dan tanggung jawab melindungi, menjaga dan
menafkahi kebutuhan perempuan, (istri). Sedangkan pemahaman
Muhammad abduh terhadap kepemimpinan laki-laki terhadap
perempuan dalam konteks ayat di atas adalah kepemimpinan yang
bersifat demoktaris, kepemimpinan yang memberikan kebebasan
kehendak sendiri, bukan kepemimpinan yang bersifat otoriter dan
mengekang kebebasan, relasi antara laki-laki dan perempuan yang

25 Lihat kata pengantar M. Quraish Shihab “Kesetaraan Jender dalam Islam” dalam
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Prespektif al-Qur’an. (halaman XXX-
Viii-XXXX)
Tafsir Berwawasan Gender
63
Atik Wartini

saling melengkapi dalam satu jalinan kesatuan yang utuh,26 begitu


dengan Muhammad Rasyid Rida juga mengutarakan bahwa kepe-
mimpinan laki-laki terhadap perempuan tersebut adalah kepemimpi-
nan yang berasal dari amanat pernikahan, yang mengemban tugas
dalam keluarga, adapun kelebihan yang ada pada laki-laki sebagai
nabi, imam, khatib, shalat jum’at bukanlah termasuk dari maksud
ayat kepemimpinan laki-laki ini.27
Apabila dilihat dari kaca mata aliran penafsiran hermenuti-
ka, dalam aliran ini dapat dibagi tiga aliran utama. Pertama, aliran
obyektifis, aliran yang lebih menekankan pada pencarian makna asal
dari obyek penafsiran (teks tertulis, teks diucapkan, perilaku, serta
simbol-simbol kehidupan, jadi penafsiran adalah upaya merekon-
truksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. Kedua, aliran subyekti-
fis adalah aliran yang menekankan peran pembaca/penafsir dalam
pemaknaan terhadap teks. Ketiga, aliran obyektivis-cum-subyektivis
aliran ini berada di tengah-tengah antara dua aliran di atas, yang bisa
dimasukkan dalam katagori pemikiran gracia, aliran ini mencari ke-
seimbangan antara pencarian makna teks dan peran pembaca dalam
penafsiran,28 sedangkan M. Quraish Shihab, bila dilihat dari tiga
pandangan terakhir, ia masih menempati kelompok yang pertama,
karena masih terpaku pada obyek tertulis.
Dalam menulis karya tafsir ini, M. Quraish Shihab menguna­
kan metode penafsiran Tahlili yakni analitis, yaitu metode tafsir yang
mengkaji ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ayat demi ayat dan surat
demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Usmani.29 Metode
ini terlihat jelas dalam tafsir al-Misbah dimana beliau memulai
manafsirkan ayat dari Surat al-Fatihah sampai dengan surat an-nas.
Sedangkan jika dilihat dari corak penafsiran maka corak penaf-
siran tafsir al-Misbah termasuk dalam katagori Tafsir adaby ijtima’i,
yakni corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasar-
26 Mundhir, Perpesktif Feminisme dalam Tafsir al-Qur’an, Studi Kitab Tafsir al-Manar
halaman 95-98.
27 Ibid halaman 99.
28 Dr. Phil. Sahiron Samsudin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an
(Jogjakarta: Nawesea Press, 2009) halaman 26.
29 Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan hakiki,
(Jakarta: Ciputat Press, 2004) halaman 73.
Jurnal Syahadah
64
Vol. II, No. II, Oktober 2014

kan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa


yang lugas dan menekankan tujuan pokok di turunkan al-Qur’an,
lalu mengaplikasikannya dalam tatanan sosial seperti pemecahan
masalah ummat dan bangsa pada umumnya yang sejalan dengan
perkembangan masyarakat.30
          
D. Kesetaraan Jender Menurut Muhammad Qurais Shihab
            
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa perbedaan antara laki-
laki dan perempuan adalah suatu yang menjadi kepastian. Karena
perbedaan sudah menjadi kodrat yang sudah termaktub dalam al-
           
Qur’an. Paling tidak perbedaan tersebut dari segi biologis antara
laki-laki dan perempuan.31 Menurut M. Quraish Shihab dalam pan-
dangan Islam diciptakan  olehAllah   kodrat,
 dengan  dalam
 al-Qur’an
 
disebutkan :
 
   
  

Artinya:
    sesuatu
“Sesungguhnya  kami  ciptakan
  qadar.
dengan   (Q.S al-Qamar
  (54) :49)
Oleh para pakar, qadar disini diartikan sebagai ukuran-ukuran.
Sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah bagi segala sesuatu. Dalam hal
yang
itulah  dimaksudkan
 juga  dalam  istilah
 qodrat. Dengan demiki-
 
an, laki-laki maupun perempuan, sebagai makhluk individu dan jen-
is kelaminmemiliki       masing-masing.
kodratnya    Quraish  Shihab
  juga

menegaskan, bahwa Allah selain menciptakan adanya perbedaan
laki-laki dan perempuan namun juga memberikan anugrah keistime-
waan pada
    al-Qur’an
keduanya,   memberikan
  isyarat   :  
“Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianu-
 Allah
grahkan  terhadap
  sebagaimana
  kamu atas sebagaian
 yang   lain,

laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perem-
puan juga mempunyai   hak  atas
  apa
yang   diusahakannya
   ( Q.S  an-

Nisa (4) :32)
Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa perbedaan yang su-
dah diciptakan oleh  
Allah   laki-laki
terhadap   dan perempuan,
    
menye-

        


30 M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, halaman 184.
31 Lihat kata pengantar M. Quraish Shihab “Kesetaran jender dalam Islam” dalam
           
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perpektif al-Qur’an halaman xxvi.

   


Tafsir Berwawasan Gender
65
Atik Wartini

babkan adanya fungsi utama yang harus mereka emban masing-ma-


sing.32 Oleh Karen itu, laki-laki dan perempuan berbeda atas dasar
fungsi dan berbeda-beda dalam tugas yang diemban. Laki-laki dan
perempuan juga memperoleh kesamaan hak, atas apa yang diusa-
hakannya atau sesuai dengan apa yang menjadi kewajibanya.
Quraish Shihab juga menyatakan, bahwa perbedaan biologis

 

manusia. 
  Tidak
      perbedaan
menjadi   terhadap
  yang
potensi diberi-

kan Allah kepada manusia, manusia dalam segala jenisnya, laki-laki
perempuan.
maupun   Memiliki
  tingkat
 kecerdasan
 dan  kemampuan
  
berfikir yang sama. Yang dianugrahkan Allah SWT. Di dalam al-
 
Qur’an,  
Allah Swt memuji
   UlilAlbab,
 yaitu
  yang
berzikir
 dan  me-

mikirkan kejadian dan bumi. Zikir dan pikir yang menghantarkan
manusia untuk   rahasia-rahasia
menyingkap     
alamsemesta.
  Ulul

al-bab disini juga tidak terbatas dalam laki-laki tetapi juga untuk
perempuan, karena setelah al-Qur’an menguraikan ayat-ayat yang
mebahas sifat-sifat ulul al-bab pada ayat sebelumnya.     Al-Qur’an
   men- 
egaskan ayat selanjutnya:

             
Artinya:
 Tuhan
Maka  mengabulkan
mereka   permintaan
  mereka
dengan
 
firman 
 sesung-
guhnya aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal diantra kamu,
            
baik lelaki maupun perempuan.” (Q.S Ali Imran (3) : 195).
Bisa ditarik kesimpulan bahwa kaum perempuan setara den-
gan dan sejajar dengan kaum laki-laki dalam potensi intelektualnya.
  kaum
Sebagaimana     perempuan,
laki-laki,       kemampuan
mempunyai  
berpikir, mempelajari dan mengamalkan apa yang mereka hayati

dari  dan
bertafakur   berzikir
 kepada
 Allah
 dan  
juga yang
dari   
 mereka
pikirkan dari alam semesta ini. 33

dan
Laki-laki   juga
perempuan   sama  
dansetara    Allah
 dihadapan 
SWT. Memang dalam al-Qur’an terdapat ayat yang berbicara ten-
tang lakai-laki sebagai pemimpin para perempuan (Q.S An-Nisa (4)
34,) akan tetapi,    tersebut
kepemimpinan   tidak
 boleh
mengantarkan
   

 Umar,
 Argumen  Jender,   halaman 
32 Lihat kata pengantar M. Quraish Shihab “Kesetaran jender dalam Islam” dalam
Nasarudin  Kesetaraan Perpektif
 al-Qur’an xxvi
33 Ibid halaman xxxvii
           

   


Jurnal Syahadah
66
Vol. II, No. II, Oktober 2014
          

kesewang-wenangan.
kepada     Karena
 al-Qur’an
  disatu
  sisi
 memer-
 
intahkan untuk tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan,
sisi
pada    lain
yang  al-Qur’an
  juga
memerintahkan
  untuk    
berdiskusi
dan musyawarah dalam persoalan mereka. Tugas kepemimpinan
itu selintas adalah  sebuah
sebagai    
 keistimewaan dan“derajat
  yang 
tinggi” dari perempuan. Namun derajat itu adalah kebesaran hati
suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban-ke-
wajibanya.34       
Menurut Quraish Shihab, persamaan antar laki-laki dan perem-
puan baik laki-laki maupun perempuan, maupun antar bangsa, suku,
dan keturunan,
   adalah
 pokok
ajaran
 danprinsip
    dalam
utama   
ajaran
Islam, dalam al-Qur’an Allah berfirman :

         

            
Artinya:
            
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia dian-
kamu
tara di    
sisiAllah  orang
adalah  yang
paling  
taqwa kamu.
diantra  
 Sesung-
guhnua Allah maha mengetahui dan lagi maham mengenal.” ( Q.S al-Hujarat
(49) : 13) .            
Perkara yang digaris bawahi dari perbedaan tersebut, bahwa
yang meninggikan dan merendahkan derajat seseorang adalah ni-
lai pengabdian dan  kepada
ketakwaan       SWT.
Allah   karena
Oleh    
itu,
dalam ajaran Islam, laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbe-
        
daan yang mendasar dan subtansial dalam beberapa hal utama, an-
tara lain : asala kejadian, hak-haknya dalam berbagai bidang, dan
kedudukan serta perannya, tugas dan tanggung jawabnya.35
al-Misbah,
Dalam   Quraish
  Shihab
    penafsiran
menyatakan   ayat-
ayat penciptaan perempuan (Hawa) yang berasal dari tulang rusuk la-
ki-laki (Adam) sesungguhnya adalah sebuah ideyang   
 mempengaruhi
dari sumber penafsirannya. Seperti yang pernah diutarakan oleh
34 Ibid, halaman xxvii-xxviii
35 Muhammad Quraish Shihab, “Konsep Perempuan menurut Al-Qur’an, Hadis,
dan Sumber-sumber Ajaran Agama Islam, halaman 3-4.
Tafsir Berwawasan Gender
67
Atik Wartini

Rasyid Ridha. Bahwa ide tentang kisah Adam dan Hawa seperti itu
adalah berasal dari kitab perjanjian lama. sesungguhnya al-Qur’an ti-
dak pernah memuat ide tersebut secar ekplisit di dalam redaksi ayat-
ayatnya. Justru al-Qur’an diturunkan dalam rangka mengkikis segala
perbedaan yang membedakan laki-laki dan perempuan, khususnya
dalam bidang kemanusiaan.36 Sedangkan hak-hak perempuan baik
hak di luar rumah, hak memperoleh pendidikan, hak politik dan
sebagainya. Setara dan sederajat dengan hak yang dimilki oleh para
kaum laki-laki, demikian juga dengan kewajiban dan peran perem-
puan, al-Qur’an tidak mendiskriminasi perempuan, dan membicara-
kan hal itu semua dalam konteks keadilan dan kesetaraan.37

E. Kesimpulan
Tulisan ini secara ringkas, menjelaskan bagaimana konsep ke-
setaran dalam pandangan M. Quraish Shihab, pertama, bahwa M.
Quraish Shihab adalah ulama atau pakar tafsir yang mempunyai
pandangan modern-kontekstual, dimana dalam menafsirkan ayat-
ayat yang bersifat jender melakukan pendekatan multidisipliner,
kedua, Quraish Shihab mencoba menempatkan perempuan dalam
bingkai kesetaraan dan persamaan hak-haknya dengan laki-laki, dan
ketiga, Quraish Shihab mencoba memberikan pandangan tentang
pentinganya mengangkat harkat dan martabat kaum wanita karena
itu adalah amanah al-Qur’an dan hadis yang sampai sekarang masih
di pahami dengan semena-mena dan salah sangka oleh para kaum
laki-laki.

Daftar Pustaka

Kasmantoni, Lafadz Kalam dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab Studi


Analisa Semantik , Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Tesis 2008.
M Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata. (Jakar-
ta: Lentera Hati, 2007) .
______________, Mukjizat al-Qur’an, ditinjau dari Aspek Kebahasaan,
36 Ibid halaman 6-7.
37 Ibid halaman 7-16.
Jurnal Syahadah
68
Vol. II, No. II, Oktober 2014

Isyarat Ilmiyyah Dan Pemberitaan Ghaib, ( Jakarta: Mizan,2007).


______________, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Maysarakat (Bandung; Mizan, 2004).
______________, Mu’zizat al-Qur’an di tinjau Dari Aspek Kebahasaan,
Isyarat Ilmiyyah dan Pemberitaan Gahaib (Jakarta, Mizan,2007).
______________, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-
Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
_______________, Perempuan Perempuan : Dari Cinta sampai Seks dan
Nikah Mut’ah dari Bias Lama sampai Bias Baru. (Jakarta : Lentera
Hati,2005).
Ulfa, Maria, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan,
Jakarta : Kompas, 2006.
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, Yogyakarta:
­Pustaka Insan Madani, 2008.
Shihab,Alwi, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam beragama, Ban­
dung: Mizan,1999.
Khazanah Tafsir Melayu
(Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid Karya
Abd Rauf Al- Sinkili)

Afriadi Putra
Peneliti & Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak
Kitab tafsir Tarjuman Al- Mustafid merupakan kitab tafsir pertama
yang ditulis lengkap tiga puluh juz berbahasa Melayu sehingga ia juga
disebut dengan Tafsir Melayu. Ditulis oleh ulama yang sangat ber-
pengaruh di Kesultanan Aceh dan memiliki ilmu yang sangat luas di
bidang agama. Di dunia Melayu, tafsir ini menjadi rujukan penting
dalam upaya memahami ajaran Islam lansung dari sumber utama yai-
tu, al-Qur’an. Melalui tulisan ini penulis ingin membuktikan bahwa
tafsir Tarjuman Al- Mustafid menjadi pelopor kajian tafsir al-Qur’an di
Nusantara. Di lihat dari segi metodolgis, penggunaan qira’at sebagai
analisis penafsiran membuat tafsir ini menjadi unik. Sekaligus mem-
perkenalkan ilmu qira’at yang belum populer di kalangan pengkaji
al-Qur’an ketika itu.

Kata Kunci: Tafsir Melayu, Tarjuman Al- Mustafid, Qira’at.

A. Pendahuluan
Masuknya Islam ke Indonesia secara terorganisir pada abad ke
12 M menjadi tonggak mulainya kajian al-Qur’an. Islam masuk ke
Indonesia berawal dari Sumatra, selanjutnya menyebar di pulau Jawa
dan sekitarnya. Di Jawa, peran kerajaan Demak ketika itu yang be-
ragama Islam sangat besar dalam pembelajaran al-Qur’an. Al-Quran
dipelajari dan diajarkan oleh para wali seperti Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Ampel dan lain-lain. Selain dari wali-wali itu ada
juga nama-nama lain seperti Hasanuddin, Syekh Abdulmuhji dan
banyak lagi yang lainnya.1
Al-Qur’an dikaji oleh umat Islam dengan berbagai cara. Per-
tama dari segi aturan tentang tata cara membacanya dan yang kedua
dari segi akademis yaitu dalam bentuk karya tulis. Terkait dengan
hal di atas, muncullah beberapa karya yang menandakan dimulainya
1 Aboebakar Atjeh, Sedjarah Al-Qur’an, (Jakarta: Sinar Pudjangga, 1952) hlm. 279
– 282.
Jurnal Syahadah
70
Vol. II, No. II, Oktober 2014

kajian al-Qur’an terutama tafsir di Indonesia.2


Dinamika tafsir al-Qur’an di Indonesia sangat menarik untuk
diteliti. Tercatat banyak tafsir yang muncul semenjak masuknya Is-
lam ke Nusantara. Karya tafsir awal ditemukan di Nusantara yaitu,
tafsir surat Al-Kahfi [18]: 9 yang tidak diketahui siapa penulisnya.
Selanjutnya mucullah Tafsir Tarjuman Al- Mustafid yang ditulis oleh
Abd Rauf Al-Sinkili.
Tafsir Tarjuman Al- Mustafid merupakan tafsir pertama berba-
hasa Melayu yang ditulis lengkap tigapuluh juz. Hal ini mengindi-
kasikan bahwa Melayu sangat identik dengan Islam karena memang
persentuhan Melayu dengan Islam sudah terjadi sejak awal lahirnya
Melayu di tanah Malaya. Kerajaan Islam pertama di Indonesia yang
terletak di Aceh juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
resmi kerajaan, sehingga semua literatur ditulis dengan bahasa Me-
layu dan juga bahasa Arab.
Keunikan tafsir ini dapat dilihat pada dua hal; pertama, dari
sisi konten, yaitu; penggunaan analisis bahasa dalam penafsirannya,
dalam hal ini Al-Sinkili memakai ilmu qira’at. Penggunaan ilmu
qira’at ini mengindikasikan bahwa Al-Sinkili adalah ulama yang
sangat dalam keilmuannya. Kedua, dari sisi historis, yaitu; kitab ini
ditulis oleh ulama yang di-support oleh istana. Ketika itu, Al- Sinkili
hidup di masa kepemimpinan empat orang Sultanah,3 yaitu; Shafi-
yyah al-Din (1641 - 1675), Nur al-Alam Naqiyyah al-Din (1675 - 1678),
Zakiyyah al-Din (1678 - 1688), dan Kamalat al-Din (1688 - 1699).
Dilihat dari periodesasi tafsir, tafsir Tarjuman Al- Mustafid terma-
suk kategori tafsir era modern-kontemporer. Asumsi ini berdaarkan

2 Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia
pada VII/VIII M dan menjadi tanda dimulainya periodesasi tafsir al-Qur’an
di Indonesia. Lihat, Indal Abror, Potret Kronologis Tafsir Indonesia, dalam Jurnal
Esensia, Vol. 3, No. 2 Juli 2002, hlm. 191.
3 Sultan Sultanah adalah gelar bagi seseorang yang memiliki kekuasaan yang
tinggi dalam sebuah negara (pemerintahan) Islam. Gelar ini untuk pertama
kalinya dipakai dalam Islam pada zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah
(750-1258 M). Di Indonesia, gelar sultan pertama kali dipakai oleh “Malikush
Saleh”, raja pertama dan pendiri Kerajaan Samudera Pasai. Setelah itu, raja-raja
di Kerajaan Islam Indonesia pada umumnya memakai gelar Sultan. Lihat De-
wan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1993), hlm. 291.
Khazanah Tafsir Melayu
71
Afriadi Putra

pemetaan dinamika sejarah tafsir al-Qur’an oleh Abdul M ­ ustaqim.4


Meskipun di dalam karyanya tersebut, ia tidak menyebutkan tafsir
yang ada di Nusantara. Namun pemetaan tersebut menjadi acuan
untuk melihat pergeseran epistemologi tafsir mulai dari masa klasik
hingga modern-kontemporer. Tafsir Tarjuman Al- Mustafid menjadi
wakil dari tafsir era modern-kontemporer yang sangat menarik un-
tuk dikaji. Tulisan ini akan menjelaskan sisi metodolgis dari kitab
ini dan komentar mengenai statusnya.

B. Setting Historis Dan Biografis Abd Rauf Al- Sinkili


1. Ulama Istana dan Pembaharu yang Produktif
Nama lengkap pengarang kitab ini adalah ‘Abd al-Rauf
bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, sebagaimana terlihat dari
namanya, ia adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil (seka-
rang Singkel, ­Nangroe Aceh Darussalam). Dalam karya lain
ada juga yang menyebut dia dengan al-Fansuri (berbeda den-
gan Hamzah al-Fansuri namun sama-sama berasal dari wilayah
Fansur), tetapi dalam tulisan ini penulis akan menggunakan
nama al-Sinkili. Tidak ada sumber yang secara jelas menyebut-
kan tanggal kelahirannya, namun menurut D. A. Rinkes5 seb-
agaimana yang dikutip oleh Azra, Al-Sinkili dilahirkan sekitar
tahun 1024 H/1615 M.6 Al-Sinkili meninggal dunia pada ta-
hun 1105 H/1693 M, dengan usia 78 tahun dan dimakamkan
di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, sekitar
15 Km dari Banda Aceh. Sebab itulah, ia juga dikenal dengan
sebutan Teungku Syiah Kuala (Syekh Ulama di Kuala).

4 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press,


2012), hlm. 147.
5 Nama lengkap tokoh ini, yaitu Douwe Adolf Rinkes, Ph.D. Lahir di Joure,
provinsi Friesland (Belanda), pada tanggal 8 November 1878. Ia merupakan
ilmuan lulusan Universitas Leiden, banyak menulis karya tentang Indonesia
salah satunya almanak empat bahasa; Jawa, Melayu, Sunda dan Madura. Lihat
http://www.rinkes.nl/genealogie/douwe-adolf-rinkes/, diakses tanggal 1 Janu-
ari 2015 pukul 4:46 PM.
6 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII; Akar Pembaruan Islam di Indonesia, edisi perenial, (Jakarta: Ken-
cana, 2013), hlm. 239.
Jurnal Syahadah
72
Vol. II, No. II, Oktober 2014

Semasa kecil ia telah mendapatkan pendidikan dari


ayahnya yang merupakan seorang alim dan mendirikan Ma-
drasah kemudian menarik murid-murid dari berbagai tempat
di Kesultanan Aceh. Menurut Hasjmi, al-Sinkili di kemudian
hari mengadakan perjalanan ke Banda Aceh, Ibu Kota Kesul-
tanan Aceh untuk menimba ilmu.7 Tidak hanya sampai disitu,
Al-Sinkili melanjutkan rihlah al-‘ilm ke Jazirah Arab mulai ta-
hun 1642 M atau di usianya ke- 27 tahun. Perjalanannya me-
nyusuri rute-rute yang biasa ditempuh dalam ibadah haji, mu-
lai dari Dhuha (Doha, Qatar), Yaman, Jeddah, dan akhirnya
Mekkah dan Madinah.
Di Dhuha ia belajar kepada ‘Abd al-Qadir al-Mawrir
meskipun hanya dalam waktu yang cukup singkat. Setelah itu
ia menuju Yaman, terutama di Bayt al-Faqih dan Zabid yang
menjadi pusat pengetahuan Islam di wilayah itu. Di Bayt al-
Faqih ia belajar kepada keluarga Ja’man, terutama Ibrahim bin
‘Abd Allah bin Ja’man dengan menekuni bidang hadis dan
fikih. Sedangkan di Zabid ia menjadi murid ‘Abd al-Rahim
bin al-Shiddiq al-Khash, ‘Abd Allah bin Muhammad al-‘Adani
yang disebut Al-Sinkili sebagai pembaca (qari’) al-Qur’an ter-
baik di wilayah itu. Al- Sinkili kemudian meneruskan perjala-
nannya ke Jeddah untuk berguru kepada muftinya, ‘Abd al-
Qadir al-Barkhali. Selang beberapa waktu Al-Sinkili berpindah
ke Mekkah, di sana ia berguru kepada ‘Ali bin ‘Abd al-Qadir
al-Thabari, disamping itu ia juga melakukan kontak dengan
ulama lain, seperti Isa al-Maghribi, ‘Abd al-Aziz al-Zamzami,
Taj al-Din bin Ya’kub dan lain sebagainya.
Tahap terakhir perjalanan panjang Al-Sinkili adalah
Madinah. Di Kota Nabi inilah dia merasa puas, karena dia
akhirnya dapat menyelesaikan pelajarannya. Disini ia belajar
kepada Ahmad al-Qusyasyi dalam bidang ‘ilm al-bathin (ilmu-­
ilmu “dalam”), yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya yang ter-
kait sampai di kemudian hari ia ditunjuk oleh al-Qusyasyi
sebagai khalifah Tarekat Syatariyah dan Qadiriyahnya. Selain

7 A. Hasjmi, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Ulama Negarawan yang Bijaksana. Dalam
Universitas Syiah Kuala Menjelang 20 Tahun. (Medan: Waspada, 1980), hlm. 370-
371.
Khazanah Tafsir Melayu
73
Afriadi Putra

itu, ia juga berguru kepada Ibrahim al-Kurani bidang ilmu pen-


getahuan yang menimbulkan pemahaman intelektual tentang
Islam. Hubungan al-Sinkili dengan al-Kurani sangatlah dekat,
sehingga al-Kurani menulis sebuah karya besarnya, ‘Ithaf al-
Dzaki, atas permintaan Al-Sinkili untuk merespons cara Al-
Raniri melancarkan pembaharuannya di Aceh ketika itu.
Al-Sinkili telah menghabiskan waktu selama 19 tahun di
Arabia untuk menuntut ilmu. Pendidikannya sangat lengkap,
mulai dari syari’at, fikih, Hadis dan disiplin-disiplin eksoteris
lainnya hingga kalam, dan tasawuf. Berbekal ilmu yang kom-
plit, Al-Sinkili memutuskan untuk kembali tanah airnya.
Sekembalinya ke tanah air ia dikunjungi oleh pejabat
istana, Katib Seri raja bin Hamzah al-Asyi atas perintah dari
Sultanah Shafiyyah al-Din untuk menyelidiki sekaligus men-
guji pemikiran keagamaannya. Jelaslah Al-Sinkili lulus dari
ujian tersebut dan berhasil merebut hati kalangan istana. Ia
selanjutnya ditunjuk sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti
yang bertanggungjawab atas administrasi masalah-masalah ke-
agamaan. Dengan demikian, sepanjang kariernya di Aceh ia
mendapat perlindungan dari Sultanah.8
2. Karya-karya
Keluasan ilmu yang dimiliki oleh Al-Sinkili dapat dilihat
dari karya-karyanya yang banyak. Tercatat ada 22 karyanya di
berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, tafsir, kalam dan tasawuf.
Penulis tidak akan menyebutkan satu persatu karyanya, hanya
karya terkenal dan berkaitan dengan pembahasan ini. Adapun
karya-karyanya sebagai berikut;
a. Bidang Tafsir
Kitab tafsir Tarjuman Al- Mustafid, tafsir ini merupakan tafsir
pertama di Nusantara yang ditulis lengkap 30 juz berbahasa
Melayu. Tercatat selama tiga abad menjadi kitab yang sangat
masyhur dan terbaik ketika itu.
b. Bidang Hadis
Hadis ‘Arba’in (empat puluh hadis karya al-Nawawi) ditulis
atas permintaan Sultanah Zakiyyat al-Din. Kitab al-Mawa’izh
al-Badi’ah, sebuah koleksi hadis Qudsi.
8 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,,, hlm. 241 – 254.
Jurnal Syahadah
74
Vol. II, No. II, Oktober 2014

c. Bidang Fikih
Mi’rat al-Thullab fi Tasyil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-
Malik al-Wahhab (Cermin para penuntut ilmu untuk men-
getahui hukum-hukum Syara’ Tuhan) berbahasa Melayu.
Karya ini ditulis atas permintaan Sultanah Shafiyyah al-Din,
diselesaikan pada tahun 1663 M. Mi’rat al-Thullab memba-
has tentang fikih muamalat, kehidupan politik, sosial, eko-
nomi dan keagamaan kaum Muslim.
d. Bidang Tasawuf
Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahidin al-Qa’ilin bi Wah-
dat al-Wujud (Bekal bagi orang yang membutuhkan pelepas
dahaga ahli tauhid penganut Wahdah al-Wujud) ditulis berba-
hasa Melayu.9

C. Tafsir Tarjuman Al- Mustafid


Kitab tafsir Tarjuman Al- Mustafid ditulis dengan bahasa Melayu-
Jawi lengkap tiga puluh juz. Tidak ada sumber yang menyebutkan
secara pasti tentang tahun penulisan tafsir ini karena Al-Sinkili ti-
dak menuliskan tahun penulisan di dalam tafsirnya. Namun, dalam
penelitiannya Riddell seperti yang dikutip Azra menegaskan bahwa
salinan paling awal yang kini masih ada dari Tarjuman Al- Mustafid
berasal dari akhir abad ke 17 M dan awal abad ke 18 M.
Edisi-edisi cetaknya diterbitkan tidak hanya di Singapura, Pen-
ang, Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah. Di Istanbul,
diterbitkan oleh Mathba’ah al-‘Ustmaniyyah pada tahun 1302/1884
(dan juga pada 1324/1904); dan dikemudian hari juga di Kairo (oleh
Sulaiman al-Maraghi), dan di Mekkah (oleh al-‘Amiriyyah). Edisi
terakhirnya diterbitkan di Jakarta pada tahun 1981, edisi inilah yang
menjadi objek material tulisan ini.
1. Latarbelakang Penyusunan, Sistematika Kitab, dan Metode
Penafsiran
a. Latar Belakang Penyusunan
Al- Sinkili menulis magnum opus-nya tafsir Tarjuman Al-
Mustafid ketika ia menjalani perannya sebagai Qadhi Malik
al-‘Adil atau Mufti di Kesultanan Aceh. Perannya tersebut
memberinya wewenang yang cukup luas dan tanggungjawab
9 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,,, hlm. 262.
Khazanah Tafsir Melayu
75
Afriadi Putra

yang besar di bidang keagamaan. Memang tidak ada sumber


tertulis maupun penelitian yang menyebutkan alasan Al-
Sinkili menulis tafsir ini. Namun, menilik kondisi masyara-
kat Aceh ketika itu sangat menginginkan adanya sumber
atau rujukan agama khususnya berbahasa Melayu. Di sisi
lain, masyarakat juga dihadapkan pada problem-problem
yang muncul akibat adanya penafsiran-penafsiran sufistik
yang dikembangkan oleh golongan Wahdat ­al-Wujud.10
Paham Wahdat al-Wujud di Aceh dibawa oleh dua ula-
ma besar yang sangat masyhur, yaitu Hamzah al-Fansuri dan
Syams al-Din al-Samatrani. Dua ulama ini memainkan per-
anan yang sangat penting dalam membentuk pemikiran dan
praktik keagamaan Muslim Melayu Nusantara pada paruh
pertama abad ke-17. Secara historis, tidak banyak data yang
menjelaskan kehidupan kedua tokoh ini, namun mereka
adalah penulis yang produktif, banyak menghasilkan karya-
karyanya dan gagasan-gagasan sarat dengan nuansa mistis.
Mereka juga dianggap sebagai salah seorang tokoh sufi pal-
ing awal dan juga seorang perintis terkemuka tradisi kesusas-
teraan Melayu.
Tidak hanya itu, munculnya pemikiran dan sikap
agresif Al-Raniri11 di tengah-tengah masyarakat memuncul-
kan kekisruhan yang mengarah kepada pertumpahan darah.
Menurut Al-Raniri, Islam di Aceh telah dikacaukan oleh
kesalahpahaman atas doktrin sufi (baca: Wahdat al-Wujud).
10 Wahdat al-Wujud berarti kesatuan Wujud, unity of existence. Paham ini dibawa
oleh ulama terkenal dari Andalusia, yaitu Muhi al-Din ibnu al-Arabi, lahir di
Murcia, Spanyol 1165 M. Menurut paham ini, tiap-tiap yang ada mempunyai
dua aspek. Aspek luar, yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat
kemakhlukan; dan aspek dalam yang merupakah jauhar dan haq yang mempu-
nyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu ter-
dapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq. Lihat Harun
­Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. xii (Jakarta: Bulan Bintang,
2008), hlm. 75.
11 Nama lengkapnya adalah Nur al-din Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji al-Hamid
al-Syafi’i al-‘Aydarusyi al-Raniri. Dilahirkan di Ranir (sekarang Randir, Guja-
rat) pada akhir abad ke 16 dari ibu seorang Melayu dan ayah keluarga imigran
Hadhrami. Ia datang ke Aceh tahun 1637 dan ditunjuk sebagai Syekh al-Islam
oleh Kesultanan Aceh. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,,, hlm. 210.
Jurnal Syahadah
76
Vol. II, No. II, Oktober 2014

Sehingga ia mencurahkan tenaganya untuk menentang dok-


trin Wujudiyah, bahkan mengeluarkan fatwa yang menga-
rah pada perburuan orang-orang sesat; membunuh orang-
orang yang menolak meninggalkan pelbagai praktik sesat
dan membakar buku-buku mereka.
Kondisi di atas menggugah hati Al-Sinkili untuk men-
ulis tafsir berbahasa Melayu untuk membantu masyarakat
memahami ajaran Islam. Karena selama ini, jika seseorang
ingin memahami al-Qur’an harus terlebih dahulu belajar
bahasa Arab dan merujuk kepada pendapat ulama. Namun
dengan adanya tafsir ini, memudahkan masyarakat mendal-
ami ajaran Islam yang bersumber lansung dari al-Qur’an.12
b. Tartib (Sistematika)
Dalam penulisan kitab tafsir dikenal ada tiga macam
sistematika; pertama, sistematika mushafi, yaitu penyusu-
nan kitab tafsir yang berpedoman pada susunan ayat-ayat
dan surat-surat dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah,
Al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan seterusnya hingga surat Al-Nas.
Kedua, sistematika Nuzuli, yaitu menafsirkan al-Qur’an ber-
dasarkan urutan kronologis turunnya surat-surat al-Qur’an,
contoh mufassir yang memakai sistematika ini adalah M.
Abed Al-Jabiri dalam bukunya Fahm al- Qur’an al-Hakim:
al-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib al-Nuzul.13 Ketiga, sistematika
maudhu’i, yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan topik-
topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berkai-
tan dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Adapun sistematika tafsir Tarjuman Al-Mustafid
mengikuti tartib mushafi. Dalam sistematika ini, Al-Sinkili
menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan
surat di dalam mushaf. Ayat-ayat al-Quran dituliskan ter-
lebih dahulu kemudian diberi terjemahan sekaligus tafsir.
Jika ada perbedaan qira’at, Al-Sinkili menerangkan dengan

12 Zulkifli Mohd Yusuf dan Wan Nasyrudin Wan Abdullah, Tarjuman al-Mustafid;
Suatu Analisa terhadap Karya Terjemahan, Jurnal Pengajian Melayu, jilid 16, ta-
hun. 2005. hlm. 157 – 158.
13 M. Abed Al-Jabiri, Fahm al- Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib al-
Nuzul, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah, 2009).
Khazanah Tafsir Melayu
77
Afriadi Putra

membuat faidah. Faidah ini menjelaskan tentang bacaan


imam-imam qira’at terhadap ayat-ayat tersebut.14
c. Manhaj (Metode Penafsiran)
Secara umum, ada empat metode yang biasa digunak-
an oleh para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Metode-
metode tersebut adalah sebagai berikut: Metode Tahlily/
Analisis, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara menjelas-
kan kandungan al-Qur’an dari berbagai segi, sesuai dengan
pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassir-nya.
Metode Ijmaly/Global, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan
memaparkan makna umum dan pengertian-pengertian garis
besarnya saja.15 Metode Muqarin, yaitu menjelaskan ayat-ayat
al-Qur’an berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh mufas-
sir sebelumnya dengan cara membandingkannya. Metode
Maudhu’i, yaitu suatu metode yang mengarahkan pandan-
gan kepada tema tertentu, lalu menghimpun ayat-ayat terse-
but untuk kemudian di analisis dan dan ditafsirkan.16
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid termasuk kepada kategori
Tafsir bi al-Ra’yi (menafsirkan al-Qur’an dengan menggu-
nakan nalar)17 tanpa mengenyampingkan pendapat atau
riwayat dari sahabat atau tabi’in. Metode yang digunakan
oleh Al-Sinkili dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu metode
Tahlily/Analisis. Dengan metode ini Al-Sinkili menjelaskan
makna ayat-ayat al-Qur’an disertai dengan Sabab al-Nuzul
(jika ada), Munasabah, uraian tentang aneka Qira’at, makna
global ayat, dan hukum yang dapat ditarik dari kandungan
ayat. Sebelum menafsirkan ayat-ayat, Al-Sinkili terlebih da-
hulu memberi keterangan terhadap surat yang meliputi ma-
kiyyah/madaniyah dan fadhilah al-surat.
Misalnya sebagai berikut:
Surat Fatiha kitab Makiyyah, yaitu tujuh ayat. Surat al-Fatiha

14 Abd Rauf Al-Sinkili, Tarjuman al-Mustafid, Jakarta: Dar Fikr, 1981.


15 ‘Abd al-Hayy al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’i. (Kairo: Dar al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 1976), hlm. 34.
16 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 385.
17 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,,, 362.
Jurnal Syahadah
78
Vol. II, No. II, Oktober 2014

          

kah,
maka
 tersebut
  di   Al-Baidawi
dalam   bahwa   al-Fatiha
  itu 
ini terdiri dari tujuh ayat yang dibangsakan kepada Mek-

penawar bagi tiap-tiap penyakit dan tersebut di dalam Manafi


al-Qur’an,
  barangsiapa
   yang  membacanya
   baginya
 pahala
 
yang tiada dapat menggadai dia kitab dan memberi manfaat
         
akan sebaik-baik orang dan perkasih. Wallahu a’lam.18
Setelah memaparkan pembukaan seperti contoh di
atas, barulah Al-Sinkili mulai menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an.      
2. Contoh Aplikasi Penafsiran
Al-Sinkili merupakan seorang ulama besar yang tidak di-
   lagi
ragukan  keilmuannya.
  Iamenguasai   berbagai
  disiplin
 ilmu 
antara lain; tafsir, fikih, tasawuf dan lain sebagainya. Meski-
pun Al-Sinkili tidak memperlihatkan kecenderungan tafsirnya
 corak
kepada  tertentu,
 namun
 menurut
 hemat
  penulis
 tafsir
Tarjuman Al-Mustafid cenderung kepada corak ijtima’i atau ke-
masyarakatan.   Ini dapat
 dilihat
 dari   pada
 penafsirannya  QS.

Al-Baqarah [2]: 184 sebagai berikut:

            

           

            
Puasakan oleh kamu segala hari yang sedikit, maka barangsiapa diantara
kamu yang melihat Ramadhan
 bulan   itu,
 iadalam
 keadaan
 sakit atau
 ia
sedang ”berlayar” lalu ia berbuka, maka diwajibkan atasnya mempua-
sakan sebilang hari yang telah ia bukakan itu sebagai ganti di hari yang
        
lain. Dan wajib atas orang yang tidak kuasa untuk membayar pidyah pada
tiap-tiap hari itu sekira-kira yang dimakan oleh orang miskin sehari-hari,
maka barangsiapa yang berbuat kebaktian dengan melebihkan dari yang
 itu maka
demikian  itu
   baginya.
 baik
lebih  
Dan puasa
kamu
  itu baik
 lebih 
bagi kamu daripada berbuka dan membayar pidyah, jika kamu tahu bahwa
puasa kamu itu lebih baik maka puasakan oleh kamu hari
 semua  19
 itu.

18 Al-Sinkili, Abd Rauf, Tarjuman al-Mustafid, (Jakarta: Dar Fikr, 1981), hlm.
1.
19 Al-Sinkili, Abd Rauf, Tarjuman al-Mustafid,,, hlm. 28.
          

 
Khazanah  Tafsir
Melayu

  79

Afriadi Putra

             
Pada ayat di atas dapat dilihat bagaimana Al-Sinkili mere-
spons keadaan ketika itu. Penafsiran kata safar dengan makna
“berlayar”
  menunjukkan
 bahwa
  kondisi
 masyarakat
  lebih 
 ban-
yak melakukan perjalanan dengan berlayar, bukan dengan per-
 darat.
jalanan  Hal
 ini sesuai
  dengan
  letak
 geografis
 Kesultanan
  
Aceh yang dekat dengan Samudera Hindia. Melalui penafsiran
ayat ini jelas sekali Al-Sinkili memberikan sumbangsih pemiki-
 ran sesuai
 dengan
  zamannya,
 meskipun
  penjelasan  tersebut
 
sangat ringkas.
 Disamping  itu,  Al-Sinkili
  dalam
menafsirkan
 ayat   
ter- 
kadang menambahkan dengan kisah yang diambil dari Al-
Khazin,  penafsirannya
20contoh     QS.  Al-Baqarah
 [2]: 1–2 seb-

agai berikut:

           

Allah Ta’ala jua yang lebih tahu akan yang dikehendakinya dengan yang
 itu.
 demikian  Inilah  yang
al-Qur’an  dibaca Nabi
 oleh  saw
 Muhammad 
yang tiada syak di dalamnya bahwa ia dari Allah Ta’ala.21
           
[Kisah] Di dalam Al-Khazin disebutkan bahwasanya ­Allah Ta’ala
menjanjikan kaum Bani Israil atas lidah Nabi Allah Musa bahwa
ia akan menurunkan lagi seorang Rasul dari anak cucu Nabi Allah
Ismail, maka tatkala Rasulullah saw pindah  padahal
keMadinah  
di dalamnya ada beberapa makhluk yang amat banyak maka ditu-
runkan Allah Ta’ala surat ini untuk menyempurnakan janji, wallahu
a’lam.
3. Qira’at dalam Tafsir Tarjuman Al- Mustafid
Tradisi menggabungkan uraian perbedaan qira’at di
dalam karya tafsir bukanlah suatu hal yang baru. Jauh sebe-
lumnya tradisi ini telah ada dalam karya-karya tafsir klasik

20 Nama lengkap mufassir ini adalah ‘Ala al-Din Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad
ibn Ibrahim ibn Umar ibn Khalil al-Syaihi al-Baghdadi al-Syafi’i al-Sufi al-Khazin. Ia
lahir di Baghdad tahun 678 H dan wafat tahun 741 H di kota Halb. Kitab tafsir
karangannya cukup masyhur yaitu; Tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Lihat
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, (Kairo: Dar al-
Hadis, 2005), hlm. 265.
21 Al-Sinkili, Abd Rauf, Tarjuman al-Mustafid,,, hlm. 2.
Jurnal Syahadah
80
Vol. II, No. II, Oktober 2014

seperti tafsir al-Thabari,22 al-Zamakhsyari,23 dan al-Baidawi.24 Hal


ini karena keterkaitan antara ilmu tafsir dan ilmu qira’at,25 di
samping itu perbedaan qiraat juga membantu dalam penafsir-
an ayat. Namun, menurut hemat penulis pembahasan qira’at
di dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan keunikan dari
tafsir ini. Mengingat ketika itu ilmu belum populer bahkan ma-
sih sedikit kalangan yang tahu tentang ilmu qira’at. Selain itu,
analisis qira’at ini juga membuktikan keluasan ilmu Al-Sinkili
yang ia peroleh ketika menuntut ilmu di Jazirah Arab. Adapun
qira’at yang disebutkan oleh Al-Sinkili dalam tafsirnya yaitu;
1) Qira’at Imam Abu ‘Amr riwayat Al- Dauriy
Nama lengkapnya adalah Abu Amr ibn al-‘Ala ‘Ammar
al-Bashriy. Ia adalah seorang ahli tentang qira’at, juga dike-
nal karena kejujuran dan keterpercayaan dalam agamanya.

22 Beliau adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib
al-Thabari. Karya tafsirnya sangat populer yaitu, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.
Lihat Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun,,, hlm. 180.
23 Ia adalah penulis kitab tafsir Al-Kasyaf fi Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi
Wujuh al-Ta’wil. Nama lengkapnya yaitu, Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar ibn
Muhammad ibn Umar al-Khawarizmi. Lihat Muhammad Husain Adz-Dzahabi,
Tafsir wa al-Mufassirun,,, hlm. 362.
24 Dia adalah Nasr al-Din Abu al-Khair Abd Allah ibn umar ibn Muhammad ibn
‘Ali al-Baidawi al-Syafi’i. Kitab tafsir karya beliau adalah Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta’wil. Lihat Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun,,, hlm.
254.
25 Secara etimolgis, qira’at merupakan bentuk jamak dari qira’atun yang akar ka­
tanya adalah qara’a-waqriu-qira’atan. Lafazh tersebut merupakan bentuk masdar
yang mempunyai arti bacaan. Sedangkan secara terminologi, terdapat banyak
redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian
qira’at ini. Namun, menurut hemat penulis, definisi yang mudah dipahami
adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Fatah al-Qadli dalam Al-Budur al-
Zahirah, dikutip oleh Ahmad Fathoni. Ilmu qira’at yaitu:
ِ‫ت القرأنيةِ وطريقِ ادائِها اِتفاقا واختالفا مع َعزْو‬
ِ ‫علم يعرف به كيفي ُة الُن ْطقِ بالكلما‬
‫كلِّ وجهٍ لناقله‬
“Ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan kata-kata al-Qur’an berikut cara
penyampaiannya, baik yang disepakati maupun yang diikhtilafkan dengan cara me-
nyandarkan setiap bacaannya kepada salah seorang imam qira’at.” Lihat Ahmad
­Fathoni, Kaidah Qira’at Tujuh, jilid I, (Jakarta: PTIQ, 2009), hlm. 13.
Khazanah Tafsir Melayu
81
Afriadi Putra

Periwayatannya dari Mujahid ibn Jabr, Sa’id ibn Jubair dari


Ibn Abbas dari Ubay ibn Ka’ab dari Rasulullah saw. Dianta-
ra rawi yang masyhur meriwayatkan darinya yaitu al-Dauriy
dan as-Susi. Al-Dauriy adalah julukan dari Abu Umar Hafs
ibn Umar al-Muqriy al-Dharir, laqab al-Dauriy merupakan
nisbat kepada al-Daur, suatu tempat di sebelah Timur Bagh-
dad.
2) Qira’at Imam Nafi’ riwayat Qalun
Dia adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibn Abdirrahman ibn
Abu Nu’aim al-Madaniy. Guru-gurunya yaitu Abdul Ja’far
al-Qariy dan sekitar tujuh puluh tab’in. Adapun rawi yang
masyhur meriwayatkan darinya yaitu, Qalun dan Warasy.
Qalun, nama lengkapnya Abu Musa Isa ibn Mina an-Nah-
wiy, diberi laqab Qalun karena keindahan qira’ahnya, dan
kata Qalun itu sendiri pada mulanya berarti yang indah
atau yang baik. Warasy adalah Utsman ibn Sa’id al-Mishriy,
diberi nama kunyah Abu sa’id dan laqab Warasy karena
ketangkasannya. Ia mengembara ke Madinah untuk belajar
Qira’ah kepada Nafi’ dan mengkhatamkan beberapa kali,
pada tahun 155 H. kemudian ia kembali ke Mesir dan men-
jadi ahli qira’at di tempatnya karena suaranya yang sangat
merdu.
3) Qira’at Imam ‘Ashim riwayat Hafs
Imam qira’at ini bernama Abu Bakar ‘Ashim ibn Abu
an-Najud al-Asadiy. Dia adalah seorang qari yang handal,
memiliki kecermatan, kehandalan, kefasihan dan suara yang
merdu. Guru-gurunya yaitu, Zirr ibn Hubaisy, Abdullah ibn
Mas’ud sampai ke Rasulullah saw. Diantara rawi yang masy-
hur meriwayatkan darinya yaitu, Syu’bah dan Hafs. Nama
yang terakhir ini adalah Abu Umar Hafs ibn Sulaiman ibn
al-Mughirah al-Bazzaz, anak tiri ‘Ashim. Ia tumbuh di pang-
kuan ‘Ashim dan belajar kepadanya, sehingga tidak diragu-
kan lagi keilmuannya.26
Al-Sinkili tidak memberikan alasan mengapa ia menggu-
nakan qira’at ketiga imam di atas di dalam tafsirnya. Meng-

26 Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil al-‘Urfan fi ‘Ulum al-


Qur’an, terj. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 463 – 468.
         

            
Jurnal Syahadah
82
Vol. II, No. II, Oktober 2014

             

ingat ketika itu ilmu qira’at belum dikenal oleh umat Islam
diNusantara.
  27 Menurut
  hemat
 penulis,   qira’at
pembahasan  
dalam tafsir Tarjuman Al- Mustafid ini dipengaruhi oleh Tafsir
Al-Baidawiyang   salah
menjadi   satu acuan    
Al-Sinkili 
dalam
menafsirkan al-Qur’an. Perbedaannya, Tafsir Al-Baidawi mengg-
gunakan analisis tujuh imam qira’at bahkan lebih.
Contohaplikasi     qira’at
analisis   dalam
penafsiran
   al- 
Sinkili pada QS. Al-Baqarah [2]: 9 – 10;
        

           

   

Terjemah dan Tafsirnya;


Bahasa Melayu: “Diperdayakan mereka itu akan Allah Ta’ala dan
segala yang percaya akan dia dan tiada diperdayakan mereka
itu melainkan akan diri mereka itu jiwa, padahal tiada mer-
eka itu tahu akan bahwa daya mereka itu bagi diri mereka itu
jiwa”.“Di dalam segala hati mereka itu syak yang membawa
kepada lembut hati, maka ditambahi oleh Allah Ta’ala akan
mereka itu syak, dan adalah bagi mereka itu siksa yang amat
pedih dengan sebab mendustakan mereka itu Nabi Allah.”
Terjemah Depag: “Mereka menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa
mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah
menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang
pedih, karena mereka berdusta.”28
Faedah :
Perbedaan (ikhtilaf) qira’at terjadi ketika membaca
‫ وَمَايَخْدَ ُع ْو َن‬pada ayat ke sembilan. Abu ‘Amrَ‫ن‬dan
‫دَ ُع ْو‬Nafi’
ْ‫وَمَايَخ‬mem­
baca dengan memakai alif sehingga menjadi َ‫ون‬ ْ ‫ وَمَاُيخَادِ ُع‬, se­
َ‫وَمَاُيخَادِ ُع ْون‬
27 Wawan Djunaedi, Sejarah Qira’at al-Qur’an di Nusantara,
َ‫ ُع ْون‬2008),
َ‫َا يَخْد‬hlm.‫ وَم‬135. َ‫( ْون‬Jakarta:
‫مَا يَخْدَ ُع‬Pustaka
َ‫و‬
StaiNU,
28 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, َ‫ن‬ ‫يُكَذُِّب ْو‬Sinar
Baru Algesindo, َ‫كَذُِّب ْون‬2007).
ُ‫ي‬ (Jakarta:

َ‫يَكْذُِب ْون‬ َ‫يَكْذُِب ْون‬


Khazanah Tafsir Melayu
83
‫ وَمَايَخْدَ ُع ْو َن‬Afriadi َ‫نَْون‬Putra
‫وَوَممَاَايَيَخْخْدَدَُع ْوُع‬
َ‫وَمَاُيخَادِ ُع ْون‬ َ‫خدَِا ُعدِ ْوُعنَْون‬‫َاُيخَا‬
‫وَوَممَاُي‬
‫ وَمَا يَخْدَ ُع ْو‬alif, َ‫ وَوَممَاَا يَيَخْخْدَ ُعدَ ْوُعنَْون‬.
dang­kan Hafs membaca tanpaَ‫ن‬memakai
Pada ayat kesepuluh, Abu ‘Amir dan Nafi’ membaca َ‫يُكَذُِّب ْون‬
dengan memakai tasydid, sedangkan َ‫ُب ْون‬Hafs
ِّ‫ يُكَذ‬bacaan takhfif َ‫(كَذُِّب ْون‬ti- ُ‫ي‬
dak ber-tasydid), sehingga menjadi َ‫ يَكْذُِب ْون‬. Maka dengan
‫ن‬
َ ‫و‬
ْ ‫ب‬
ُ ِ
‫ذ‬ ‫ك‬
ْ َ‫ي‬
َ‫كْذُِب ْون‬ba- َ‫ي‬
caan takhfif itu menunjukkan makna kesesatan sebab karena
­mereka percaya.29
Dalam qira’at, pembahasan di atas dikenal dengan
istilah Farsy al-Huruf (bacaan pada perkataan tertentu).30

D. KOMENTAR TERHADAP TARJUMAN AL- MUSTAFID


Para peneliti berbeda pendapat tentang status Tarjuman al-
Mustafid, hal ini berkaitan dengan sumber penafsiran kitab terse-
but. Adapun kedua pendapat tersebut adalah: Pertama, Tarjuman al-
Mustafid adalah terjemahan daripada Tafsir al-Badawi. Pendapat ini
dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, yang kemudian dikutip oleh
Rinkes dan Vorhoeve. Menurut hemat penulis, pendapat ini mun-
cul tidak berdasarkan penelitian yang mendalam, mereka terjebak
dengan judul yang tertulis di cover yang menuliskan: Tarjuman al-
Mustafid wa huwa al-Tarjamatu al-Jawiyah li at-Tafsir al-yusamma Anwar
al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil lil Imam al-Qadi Nasr al-Din Abi Sa’id ‘Abd
Allah ibn Umar ibn Muhammad al-Syairazi al-Baidawi (Tafsir Tarjuman al-
Mustafid adalah terjemah bahasa Jawa dari tafsir yang disebut Anwar
al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Imam al-Baidawi). Tidak diketahui
alasan mengapa di cover tafsirnya Al-Sinkili menamakan tafsirnya ini
terjemah bahasa Jawa (Melayu) dari tafsir al-Baidawi.
Kedua, Tarjuman al-Mustafid adalah terjemahan dari Tafsir al-Ja-
lalayn. Pendapat ini dikemukakan oleh Peter G. Riddel dan Salman
Harun. Mereka menyatakan bahwa tafsir ini terjemahan daripada
Tafsir al-Jalalayn. Alasannya berdasarkan penelitian terhadap metode
dan gaya penafsiran yang sama persis dengan Tafsir al-Jalalayn, namun
Al-Sinkili melihatkan kreatifitasnya dengan menambah dan men-
gurangi bagian-bagian tertentu dari Tafsir al-Jalalayn. Misalnya me-
nambahkan penjelasan tentang perbedaan qira’at dan pembahasan

29 Abd Rauf al-Sinkili, Tarjuman al-Mustafid,,, hlm. 3.


30 Lihat Ahmad Fathoni, Kaidah Qira’at Tujuh, jilid II, (Jakarta: PTIQ & IIQ,
2010), hlm. 167 – 168.
Jurnal Syahadah
84
Vol. II, No. II, Oktober 2014

kisah-kisah dan sebab turunnya ayat. Adapun hal yang dikurangi ti-
dak memasukkan penjelasan tentang i’rab dan analisis semantik.31
Pendapat kedua ini juga dikuatkan oleh Azra, ia mengatakan
bahwa pemilihan Tafsir al-Jalalayn sebagai sumber penafsiran karena
Al-Sinkili mempunyai isnad-isnad yang menghubungkannya dengan
Jalal al-Din al-Suyuthi, baik melalui al-Qusyasyi maupun al-Kurani.32
Contoh yang penulis paparkan pada aplikasi penafsiran juga mem-
buktikan bahwa penafsiran Al-Sinkili terhadap QS. Al-Baqarah [2]:
1–2 sama persis dengan Tafsir al-Jalalayn.

E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut;
1. Tafsir Tarjuman al-Mustafid adalah kitab tafsir pertama di Nusan-
tara yang ditulis lengkap 30 juz berbahasa Melayu-Jawi. Ditulis
oleh ulama sekaligus Qadi Malik Adil di Kesultanan Aceh yaitu
Abd Rauf Al-Sinkili. Posisinya sebagai seorang Qadi membuat-
nya bertanggungjawab atas masalah keagamaan. Berbekal den-
gan keilmuan yang luas ia memikul tanggungjawab berat untuk
menulis satu karya sebagai rujukan persoalan keagamaan.
2. Dalam penulisan tafsirnya, Al-Sinkili menggunakan sistematika
mushafi, metode penafsirannya menggunakan metode tahlily/
analisis. Tafsir ini termasuk kategori tafsir bi al-Ra’yi dengan corak
ijtima’i (sosial kemasyarakatan). Mengenai status, penulis lebih
condong bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemah
dari Tafsir al-Jalalayn, meskipun Al-Sinkili juga mengutip tafsir al-
Baidawi dan manafi’-al-Qur’an.
3. Sebagai kitab tafsir paling awal di Nusantara, tafsir ini adalah
tafsir yang sangat baik dan berpengaruh selama lebih kurang tiga
abad. Terlebih ia ditulis oleh ulama yang sangat luas ilmunya dan
berpengaruh ketika itu.


31 Peter G. Riddell, “Tafsir Klasik di Indonesia: Study Tafsir Tarjuman al-Mustafid
karya Abdur Rauf Singkel”, Study Islamika. XVII. No. 2, 2000. hlm. 5 – 6.
32 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,,, hlm. 259.
Khazanah Tafsir Melayu
85
Afriadi Putra

Daftar Pustaka

Abror, Indal, Potret Kronologis Tafsir Indonesia, dalam Jurnal Esensia,


Vol. 3, No. 2 juli 2002
A. Hasjmi, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Ulama Negarawan yang
Bijaksana. Dalam Universitas Syiah Kuala Menjelang 20 Tahun,
Medan: Waspada, 1980
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, Tafsir wa al-Mufassirun, juz I,
­Kairo: Dar al-Hadis, 2005
Al-Farmawy, ‘Abd al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’i, Kairo: Dar
al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1976
Al-Jabiri, M. Abed, Fahm al- Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadih Hasba
Tartib al-Nuzul, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah,
2009
Al-Sinkili, Abd Rauf, Tarjuman al-Mustafid, Jakarta: Dar Fikr, 1981
Al-Zarqani, Syeikh Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-‘Urfan fi
‘Ulum al-Qur’an, terj. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusan-
tara Abad XVII & XVIII; Akar Pembaruan Islam di Indonesia, edisi
perenial, Jakarta: Kencana, 2013
Djunaedi, Wawan, Sejarah Qira’at al-Qur’an di Nusantara, Jakarta:
Pustaka StaiNU, 2008
Fathoni, Ahmad, Kaidah Qira’at Tujuh, jilid I, Jakarta: PTIQ, 2009
Fathoni, Ahmad, Kaidah Qira’at Tujuh, jilid II, Jakarta: PTIQ, 2009
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
­Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2007
Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta:
Adab Press, 2012
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. xii, Jakarta:
Bulan Bintang, 2008
Riddell, Peter G. “Tafsir Klasik di Indonesia: Study Tafsir Tarjuman
al-Mustafid karya Abdur Rauf Singkel”, Study Islamika. XVII.
No. 2, 2000
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013
Suryadi, Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin, dalam
Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004
Jurnal Syahadah
86
Vol. II, No. II, Oktober 2014

Wan Abdullah, Wan Nasyrudin, dan Zulkifli Mohd Yusuf, Tarjuman


al-Mustafid; Suatu Analisa terhadap Karya Terjemahan, Jurnal Pen-
gajian Melayu, jilid 16, tahun. 2005
Pedoman Penulisan
87
Jurnal Syahadah

PEDOMAN PENULISAN

1. Naskah ditulis dalam bentuk essay, berisi gagasan atau analisis


konseptual yang orisinil, hasil penelitian, atau book review, dalam
bidang ilmu-ilmu keislaman, yang mencakup: Ilmu Pendidikan
Islam, serta pemikiran ke-Islaman.
2. Panjang naskah adalah antara 10-20 halaman kertas kwarto/A.4,
diketik dengan 1,5 spasi atau yang setara, dengan margin: kiri dan
atas 4 cm, margin kanan dan bawah 3 cm.
3. Naskah diketik dengan menggunakan huruf/font Times New Ro-
man untuk Latin, ukuran 12, dan Tradisional Arabic ukuran l8
untuk tulisan berbahasa Arab, atau ukuran 16 untuk teks Arab
kutipan, seperti kutipan pendapat, dan kutipan ayat dan hadis,
sedangkan dalam catatan kaki huruf Latin dengan font 10 dan
Bahasa Arab dengan font 15.
4. Komponen naskah yang harus ditulis secara jelas secara beruru-
tan adalah a) Judul tulisan, b) Nama penulis, tanpa gelar, dan di
sebelah kanan atas nama penulis diberi footnote dengan tanda
(*), di dalamnya dijelaskan tentang pendidikan terakhir penulis,
tempat tugas, dan bidang studi yang digeluti penulis, serta in-
formasi yang relevan lainnya, c) Abstrak berbahasa asing (Arab-
Inggris) atau berbahasa Indonesia (maksimal 100 kata), d) Kata
kunci atau key words dari tulisan, e) pendahuluan atau prolog,
f) isi (deskripsi dan analisis), dapat dibagi kepada beberapa sub
bahasan, g) Kesimpulan, dan h) Daftar rujukan. Jika tulisan yang
dikirim adalah hasil penelitian (riset), maka harus ditambah den-
gan memuat; latar belakang, tinjauan pustaka, tujuan, metode
penelitian, dan hasil penelitian.
5. Kutipan harus dijelaskan sumbernya dalam bentuk foot note, yang
memuat; nama pengarang (sesuai dengan nama di daftar ruju-
kan), (misalnya; Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-
Mufassirun. Jilid IV. (T. Tp: T.th), hlm. 301.
6. Tulisan harus dilengkapi dengan Daftar Rujukan, yaitu sumber
tertulis yang benar-benar digunakan dalam penulisan naskah.
Cara penulisan daftar rujukan adalah; nama penulis secara leng-
kap, bagian akhir dari nama penulis ditulis paling awal, dan an-
Pedoman Penulisan
88
Vol. II, No. II, Oktober 2014

tara nama akhir dengan nama selanjutnya diberi batas dengan


koma (,); lalu judul buku ditulis italic/miring, kota tempat terbit,
nama penerbit, tahun terbit, cetakan ke. Baris kedua dari buku
sumber harus dimasukkan ke kanan, sejauh 7 spasi. Misalnya:
Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi ’Ulum
­Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid. I
Hitti, Philip K, History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010)
7. Tulisan yang akan mendapat prioritas untuk dimuat adalah yang
lulus seleksi oleh tim redaksi menyangkut; a) kebagusan bahasa
dan ketikan, b) kesesuaian bidang ilmu dan topik, orisinalitas,
kedalaman teori, ketepatan metodologi, ketajaman analisis, ino-
vasi, dan nilai aktual dan/atau kegunaannya, dan c) selama masih
tersedia ruang/halaman. Jika ada tulisan yang lulus seleksi dari
sisi poin a-b, maka tulisan itu akan dimasukkan untuk edisi beri-
kutnya.
8. Naskah harus disampaikan kepada tim redaksi dalam bentuk soft-
copy dan dilengkapi dengan memberikan hardcopy dalam bentuk
CD, atau dengan mengirim ke e-mail; journal_syahadahfiai@ya-
hoo.com

Anda mungkin juga menyukai