Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KITAB TAFSIR RUH AL-MIZAN


Mata Kuliah Studi Kitab Tafsir
Dosen Pengampun Dr. Hj Hartati, M.Ag

Disusun Oleh:
Muhammad Labib
Da’i Bachtiar

PROGRAM STUDI ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDIN INSTITUT AGAMA ISLAM


NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir terhadap ayat Al-Qur’an merupakan kerja yang tidak pernah usai sepanjang
zaman. Kemunculan para mufasir yang berupaya menggali isi kandungan Al-Qur’an
mengindikasikan bahwa kinerja tafsir Al-Qur’an dengan berbagai corak dan metodenya
terus berkembang dan tumbuh seiring berjalannya waktu. Kondisi ini telah melahirkan
perbedaan baik dari sisi metode, pendekatan, bobot, dan hasil penafsiran. Perbedaan atas
tafsir Al-Qur’an tersebut, tentunya lahir dari akar kehidupan para muffasir itu sendiri,
baik dari sisi sejarah kehidupan, wawasan substansi ilmu dan konteks dimana muffasir itu
hidup.
Dalam mengartikan Al-Qur'an, para penafsir memanfaatkan berbagai strategi dan
cara untuk menghadapi satu sama lain. Dari teknik-teknik yang berbeda ini, telah lahir
pemahaman yang berbeda, masing-masing dengan atribut dan sistemnya sendiri, salah
satunya adalah terjemahan Syiah.
Kemajuan terjemahan Syiah berjalan sesuai dengan pemahaman Sunni, namun
yang membedakan adalah aksentuasi atau perluasan yang dimilikinya. Menurut
Tabathabai, semua ayat al-Qur'an dapat dipahami, termasuk bagian-bagian yang
dipertanyakan peneliti, khususnya bait-bait yang mutasyabihat. Digambarkan bahwa
salah satu Imam Syi'ah menyatakan bahwa bait muhkam adalah sesuatu yang harus
diikuti sedangkan pengulangan mutasyabih gelap bagi individu yang tidak
menganggapnya. Tabathabai membahas bagaimana mungkin ada bait yang tidak dapat
dipahami dengan alasan bahwa dalam keadaan seperti itu menyiratkan bahwa bagian
tersebut bertentangan dengan penjelasan bahwa Al-Qur'an adalah cahaya dan arah. Selain
itu, Tabathabai mengatakan bahwa bagian mutasyabih tidak dirasakan karena tidak
adanya bahasa manusia untuk mengikat pesan-pesan yang mendalam, dalam hal apapun,
menurut dia, surat-surat muqat}ta'ah dikenang untuk klasifikasi mutasyabih menahan
diri.
Salah satu wacana Syi'ah yang paling menonjol adalah Tafsir al-Mizan yang
awalnya berupa beberapa tilawah dan ceramah Imam Tabathabai kepada para
mahasiswanya di Universitas Qum al-Diniyyah, Iran. Untuk memikirkan manfaat dan
manfaat bagi siswa maupun bagi orang lain, ceramah dan tilawah direkam, jilid pokok
selesai pada tahun 1375 H/1957 M dan selesai seluruhnya pada tahun 1392 H ke atas 20
jilid.
A. Biografi Thabathabai
Sayyid Muhammad Husayn al-Tabataba’i lahir di kota Tabriz, 29 Zulhijjah 1321
H dalam keluarga ulama dan keturunan Nabi Muhammad saw. yang banyak melahirkan
ulama-ulama terkemuka. Yatim piatu pada umur sembilan tahun, al-Tabataba’i
memperoleh pendidikan pada sekolah resmi, kemudian belajar melalui guru-guru privat
sehingga menguasai bahasa Parsi dan pelajaran lainnya. Mendalami al-Qur’an dan karya
klasik seperti sastra dan sejarah dari buku-buku Gulistan dan Bustan karya Sa’di.
Menginjak dewasa ia belajar di Universitas Syi’ah di Najaf, belajar fiqh dan ushul fiqh
kepada al-Na’ini dan al-Isfahani.
Amat berpengaruh dalam bidang politik dan sosial, di bidang lain al-Tabataba’i
belajar matematika dari al-Khawansari, dan filsafat Islam dengan buku asy-Syifa karya
Ibn Sina, Tahzib alAkhlaq karya Ibn Miskawaih. Ia juga mempelajari gramatika,
sintaksis, retorika, mantiq (logika), theologi yang kebanyakan melalui karya-karya
sumber bacaan Islam tradisional Syi’ah. Bersama Mirza ‘Ali al-Qadir, al-Tabataba’i juga
berusaha mencapai wahana praktek kezuhudan dan kerohanian.
Tahun 1935, al-Tabataba’i kembali ke Tabriz, perang dunia II tahun 1945 menjadi
alasan al-Tabataba’i pindah ke Qum (pusat keagamaan Persia) dan mengajarkan tafsir al-
Qur’an kepada ratusan mahasiswa dan melakukan pembaharuan di bidang pemikiran.
Usaha pembaharuannya terlihat dari keteguhannya mengedepankan gagasan filosofis
Islam dan menentang pemikiran materialistik dengan penuh komitmen memegang nilai
Islam. Ia menggencarkan pemikiran filsafat dan spiritual Islam, serta menyibukkan diri
dalam pengajaran tafsir al-Qur’an untuk waktu yang lama.
Selain menulis, membimbing masyarakat, mengajarkan alQur’an dan filsafat
dengan melakukan kunjungan di beberapa kota, ia juga mengajarkan pengetahuan dan
pemikiran keislaman kepada tiga kelompok masyarakat yaitu: murid-murid tradisional
yang menyebar ke seluruh dan luar negeri Iran; kelompok mahasiswa pilihan tentang
ilmu ma’rifat dan tasawuf; dan orang-orang Iran berpendidikan dan modern.
Al-Tabataba’i berkepribadian luhur dengan ilmu, perjuangan, kerja keras dan
menulis, kemuliaan intelektualnya memberikan pengaruh mendalam di kalangan
tradisional dan modern. Ia melahirkan elite intelektual baru di antara kelompok Islam
modern pembawa perubahan dan kemajuan Iran semisal Murtadha Muthahhari, Ayatullah
Muntaziri, Muhammad Mufatih, ‘Ali Quddusi, Javadi Amuli, Nasr Makarim Syirazi,
Ja’far Subhani dan lain-lain dengan memberikan teladan kehalusan budi, serta
kerendahan hati dalam pencarian kebenaran.
Sebagian dari sekian banyak karya al-Tabataba’i (sekitar 50 buah) antara lain:
Risalah fi al-Burhan (penalaran); Risalah fi alMugalatah (sofistri); Risalah fi al-Tahlil
(analisis); Risalah fi alTarkib (gramatika); Ushul al-Falsafah (dasar filsafat); dan
AlMizan fi Tafsir al-Qur’an. Karya terakhir tersebut di atas merupakan kitab tafsir yang
terdiri dari 20 jilid, karya paling besar dan monumental bagi al-Tabataba’i.
Al-Tabataba’i wafat dan dimakamkan di kota Qum pada 15 November 1981,
ratusan ribu orang termasuk ulama, pembesar, dan tokoh pejuang keagamaan hadir
dipemakamannya.

B. Pandangan al-Thabathaba’i tentang Penafsiran al-Qur’an


Sebelum menguraikan tentang apa sumber tafsirnya dan bagaimana al-
Thabathaba’i menggunakan sumber itu¸ perlu diketahui bahwa tafsir dapat dilihat dalam
beberapa cara pandang, yaitu: sumber, metode, dan corak. Ketiganya adalah hal yang
berbeda. Namun, dalam praktik penafsiran, ketiganya terpadu dalam satu kesatuan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pertanyaan “apa” mengacu kepada sumber yang
digunakan oleh al-Thabathaba’i. Pertanyaan “bagaimana” menggunakan sumber itu akan
bersentuhan dengan metode yang digunakan al-Thabathaba’i terkait dengan sumber
penafsirannya itu.
Dalam bukunya Al-Qur`an fi al-Islam, al-Thabathaba’i menyebutkan bahwa untuk
menafsirkan al-Qur`an dapat ditempuh dengan salah satu dari tiga cara berikut:
1. Menafsirkan ayat al-Qur`an tanpa dikaitkan dengan ayat lain, dan hanya
menggunakan bantuan data dan premis ilmiah dan nonilmiah.
2. Menafsirkan ayat al-Qur`an dengan bantuan riwayat dari imam-imam suci.
3. Menafsirkan ayat al-Qur`an dengan bantuan ayat al-Qur`an yang lain dan dengan
hadis-hadis yang relevan.
Menurut al-Thabathaba’i, cara pertama tidak boleh diikuti. Sebab, pada
hakikatnya ia merupakan penafsiran dengan menggunakan pendapat pribadi. Adapun cara
kedua adalah cara yang digunakan oleh mufasir periode awal dan telah dipraktikkan
selama beberapa abad. Cara ini juga telah dipraktikkan oleh para penulis hadis baik dari
kalangan Ahlu Sunnah maupun kalangan Syi’ah. Hanya saja, cara kedua ini terbatas dan
tidak dapat memenuhi ketidakterbatasan kebutuhan, karena lebih dari enam ribu ayat
dalam al-Qur`an menghadapi beratus-ratus ribu pertanyaan ilmiah mapun non ilmiah.
Dari mana akan ditemukan jawaban pertanyaan itu? Bagaimana mungkin untuk lari dan
menghindar – padahal al-Qur`an adalah pedoman – dengan tidak menjawab pertanyaan
itu? Apakah akan mencarinya dalam hadis dan riwayat? Dalam hal ini jumlah hadis dan
riwayat itu sangat terbatas sedangkan jawaban yang akan diberikannya sangat tidak
terbatas.

Berdasarkan kondisi di atas, apa tindakan dan langkah yang akan diambil?
Jawabannya tidak lain adalah merujuk kepada ayat al-Qur`an. Hal ini tidak dilarang.
Mungkin sebagian orang menolak untuk membahas ayat itu dan mengabaikan kebutuhan
kebutuhan ilmiah yang menuntut untuk melakukan pembahasan. Jika demikian, apa yang
akan diperbuat dengan ayatayat berikut yang menganjurkan pengkajian, perenungan dan
pembahasan?

‫ك َش ِه ْي ًدا َع ٰلى ٰ ٓه ُؤ اَل ۤ ۗ ِء‬ ُ ‫َو َي ْو َم َنب َْع‬


َ ‫ث فِيْ كُ ِّل ا ُ َّم ٍة َش ِه ْي ًدا َع َلي ِْه ْم مِّنْ اَ ْنفُ ِس ِه ْم َو ِجْئ نَا ِب‬
َ ‫ك ْالك ِٰت‬
‫ب ِت ْب َيا ًنا لِّ ُك ِّل َشيْ ٍء وَّ ُه ًدى وَّ َرحْ َم ًة َّو ُب ْش ٰرى ل ِْلمُسْ لِ ِمي َْن‬ َ ‫ࣖ و َن َّز ْل َنا َع َل ْي‬
َ
(Dan ingatlah) kepada hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi
saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-
orang yang berserah diri (Q.S. al-Nahl [16]: 89).

Berdasarkan argumentasi di atas, maka menurut al-Thabathaba’i pilihan pertama


dan utama menafsirkan al-Qur`an adalah dengan al-Qur`an. Karena al-Qur`an adalah satu
kesatuan yang saling menjelaskan satu sama lain. Al-Qur`an berisi pedoman, petunjuk,
rahmat, keberkahan yang mesti ditangkap dan dipelajari dengan cara mengkaji,
merenungi dan membahasnya. Sebagai bukti bahwa al-Qur`an itu datang dari Allah,
maka ayatnya tidak saling bertentangan, tapi justru saling menjelaskan satu sama lain.

BAB II

PEMBAHASAN
Penafsiran Q.S. Al-Baqarah ayat 6-7 dalam Tafsir Al-Mizan Larya ‘Allamah Thabathaba’i
BAB III

KESIMPULAN

Makna kekufuran menurut kitab Allah, ada 5 macam :

1. Kekufuran penolakan (menolak posisi tuhan)


2. Kekufuran penolakan (setelah mendapatkan pengetahuan)
3. Kekufuran pengabaian terhada apa yang diperintahkan oleh Allah
4. kekufuran pemungkiran
5. Kekufuran tidak tahu berterima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Amrillah. (2021). Telaah Tafsir al-Mizan Karya Thabathabai. Tafsere, 9 no 2(Telaah
Tafsir Mizan), 249–262.
Irhas, I. (2016). PENERAPAN TAFSIR AL-QUR`AN BI AL-QUR`AN (Studi Atas Kitab Tafsir
al-Mizan Fi Tafsir al-Qur`an Karya Muhammad Husain al-Thabathaba’i). Jurnal
Ushuluddin, 24(2), 150. https://doi.org/10.24014/jush.v24i2.1682
Khairudin, F. (2016). Makna Imam Menurut al-Thabathaba’i dalam Kitab al-Mizan fi Tafsir al-
Qur’an. Syahadah, 5(1), 1–22.
Setianingsih, Y. (2017). Melacak Pemikiran Al-Alûsî Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’Ânî.
Kontemplasi, 05(1), 235–259.

Anda mungkin juga menyukai