Anda di halaman 1dari 15

🔰 Hukum Belajar Di Jami'ah Islamiyyah Madinah 🔰

“Menyingkap Hakikat Jami’ah Islamiyyah Madinah”


Judul Asli:
“Kasyful Haqoiqid Dafinah Fii Jami’atil Islamiyyah Bil
Madinah”
Disusun dan diterjemahkan Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsy
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
Kata Pengantar
  : ‫الحمد هلل وأشهد أن ال إله إال هللا وأن محمدا عبده ورسوله صلى هللا‬
‫ أما بعد‬،‫عليه وآله وسلم‬
    Sesungguhnya telah datang surat dari seorang saudara yang
mulia meminta saya untuk menjelaskan HUKUM BELAJAR DI JAMI’AH
ISLAMIYYAH DI MADINAH.
    Dan saya memang telah mendapati para hizbiyyun menghasung
para pemuda untuk belajar ke universitas tersebut.
    Dan saya juga telah mendapati sebagian saudara kita
Salafiyyun bersemangat untuk belajar ke situ dan tidak peduli
dengan nasihat-nasihat orang-orang yang jujur agar jangan
sampai mereka terperosok ke dalam jaringan para ahli bid’ah
di sana.
    Maka dalam rangka memberikan nasihat dan kesetiaan pada
umat Islam dan larangan untuk menyembunyikan kebenaran, saya
menjawab dengan memohon pertolongan kepada Alloh ta’ala.
-lanjutan-
👇👇👇
Dan Syaikh kami An Nashihul Amin Yahya Al Hajuri
hafizhohulloh berkata:
“Bahkan ini diketahui oleh banyak Ahlussunnah, jika bukan
mayoritasnya, sama saja apakah mereka sedang belajar di
Jami’ah Islamiyyah ataukah orang yang pernah belajar di situ
di zaman terakhir, ataukah diuji lalu ditolak dikarenakan
jawabannya tidak cocok tentang keadaan sebagian hizbiyyin
yang para pelajar dites dengan ditanya tentang mereka. Jika
dia memujinya, mereka akan menerimanya. Tapi jika dia
mengingkari tokoh tadi, maka mereka menolaknya. Atau di sela-
sela banyaknya tazkiyah Az Zindaniy dan yang lainnya dari
kalangan Ikhwanul Muslimin dan yang lainnya dari kalangan
pengikut Jam’iyyatul Hikmah, Al Ihsan, At Turots, dan
Anshorus Sunnah di Sudan, serta Abul Hasan Al Mishriy dan
yang lainnya.
Berikut ini adalah contoh kejadian di Jami’ah Islamiyyah
tersebut.
Saudara kita salah seorang pelajar yang hapal Al Qur’an, dai
yang yang mulia berkata sebagai berikut:
    “Saya adalah Muhammad bin Mahdi Zhofir, ditetapkan oleh
Alloh bahwasanya saya bertekad untuk bergabung belajar di
Jami’ah Islamiyyah untuk memenuhi permintaan kedua orang
tuaku yang mulia.
    Maka saya berangkat pada tahun 1422 H pada bulan Romadhon
ke Jami’ah, dan saat itu saya telah memenuhi syarat-syarat
penerimaan yang sangat bagus, yang mana barangsiapa
memeriksanya dia akan memastikan setelah taufiq dari Alloh
bahwasanya saya akan diterima dengan segera tanpa
kebimbangan, berupa hapalan Al Qur’an, pengambilan faidah
yang bagus dari markiz-markiz salafiyyah di Yaman, ijazah
ilmiyyah Tsanawiyyah sebagaimana yang dituntut, nilai di atas
delapan puluh, dan syarat-syarat penerimanaan yang lainnya
yang disebutkan secara lahiriyyah.
Kemudian dilangsungkanlah ujian penerimaan. Ternyata hasilnya
mengejutkan!!
Sang doktor mengajukan sembilan pertanyaan.
Enam soal bersifat ilmiyyah: soal tentang Al Qur’an, soal
tentang aqidah, soal tentang tauhid, soal tentang fiqh, soal
tentang pelajaran-pelajaran yang saya pelajari di markiz-
markiz salafiyyah di Yaman, serta soal umum seperti yang
mereka katakan.
Dan soal-soal inilah yang seorang pelajar harus dinilai dari
sela-sela itu. Dan dari sela-sela pertanyaan itu sang pelajar
diterima ataukah ditolak.
    Seandainya Jami’ah ini salafiyyah murni dan bersih dari
hizbiyyin dan lain-lain. Akan tetapi manakala Jami’ah tadi
tidak seperti yang diberitakan, dan saudara kita sang doktor
yang mengujiku termasuk dari kalangan hizbiyyin yang ada di
dalam Jami’ah, dia tidak menganggap jawaban-jawabanku itu
lurus semua. Dia melemparkannya ke dinding dan mengarahkan
padaku soal-soal yang terpandang di sisinya, sehingga soal-
soal pertama tadi hanyalah sebagai bentuk persiapan,
sementara dari sela-sela soal yang terpandang menurutnya
itulah si murid dinilai.
Setelah jawabanku terhadap enam soal pertama, sang doktor
menampakkan rasa senang dan penyambutan yang aku menyangka
dengan itu aku berhasil meraih peringkat pertama dalam ujian
penerimaan tahun itu.
    Akan tetapi dia mengajukan tiga soal kepadaku yang dari
sela-sela itu dia akan mengetahui apakah aku sehati dengan
mereka ataukah tidak.
   Maka dia bertanya: “Apa majalah terakhir yang engkau
baca?” Dan termasuk bagianku yang bagus –segala pujian hanya
bagi Alloh- adalah bahwasanya aku membaca majalah As
Salafiyyah edisi ketujuh tahun 1422 H. maka aku menjawab:
“Majalah As Salafiyyah.” Dia bertanya: “Apa kandungannya?”
aku menjawab: “Di dalamnya ada penjelasan tentang keadaan
sebagian ahli batil seperti Sayyid Quthb dan Hasan Al Banna,
dari fatwa-fatwa Al Albaniy dan Ibnu Baz rohimahumalloh dan
pengingkaran terhadap pemikiran-pemikiran yang menyeleweng
seperti pemikiran hizbiy dengan tulisan sang muhaddits Asy
Syaikh Ahmad An Najmiy hafizhohulloh dan yang lainnya.”
bersambung
👇👇👇
Sesungguhnya Jami’ah Islamiyyah di Madinah sekarang ini 
penuh dengan hizbiyyun (para ahli bid’ah yang suka
bergolongan-golongan), dan dikuasai oleh para ahli bid’ah.
alaupun sebagian Salafiyyun (Ahlussunnah) didapati di sana,
maka mereka itu amat sedikit, dan mereka itu kaum yang lemah
di sana. Dan hukum itu dibangun berdasarkan kondisi yang
dominan.
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata:
“Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku pada kondisi yang
dominan yang banyak. Sementara perkara yang jarang terjadi
itu dihukumi bagaikan tidak ada.”  [“Zadul Ma’ad”/5/hal.
378/cet. Ar Risalah].
Dan kebanyakan di Jami’ah Islamiyyah di Madinah adalah para
penyeleweng (orang-orang yang menyimpang dari kebenaran).
Dan janganlah engkau lupa akan keberadaan Abul Hasan An
Nadwiy Al Jisytiy sebagai anggota di Jami’ah Islamiyyah di
Madinah juga termasuk penyusupan!
Asy Syaikh Hamud At Tuwaijiriy ‫ رحمه هللا‬berkata:  “Dan termasuk
dari syaikh besar Tablighiyyin adalah Abul Hasan An Nadwiy.
Muhammad Aslam telah menulis biografinya pada hal. 22-26
dalam kitabnya yang berjudul “Jama’ah Tabligh ‘Aqidatuha Wa
Afkaru Masyayikhuha” dan dia menyebutkan bahwasanya Abul
Hasan ini merupakan termasuk pengganti dan pengiring serta
murid dari Asy Syaikh Muhammad Ilyas pendiri Jama’ah Tabligh.
Kemudian dia menyebutkan: “Al Ustadz Abul Hasan Ali An Nadwiy
Al Jisytiy Ash Shufiy, dan beliau adalah termasuk pembesar
ulama Jama’ah Tabligh, dan pimpinan Darul Ulum Li Nadwatil
Ulama di Kahnawiy India, dan anggota Robithotul ‘Alamil
Islamiy, juga anggota majelis Jami’ah Islamiyyah di Madinah
Munawwaroh.” -Selesai penukilan-.
[“Al Qoulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’atit Tabligh”/hal.
137/ cet. Darush Shumai’iy].
Syaikh kami Al Muhaddits Al Mujahid Abu Abdirrohman Yahya bin
Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬berkata:
“Dan ini ada surat dari saudara kita syaikh yang mulia
Muhammad bin Hadi Al Madkholiy, salah seorang pengajar di
Jami’ah Islamiyyah yang ditujukan kepada saudara kita syaikh
Hasan bin Qosim Ar Roimiy ‫ حفظهما هللا‬, kepada saikh kami Muqbil
bin Hadi Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬. Saudara kita Hasan dalam
risalahnya yang di situ beliau mendebat sejumlah ucapan Asy
Syaikh Ubaid tentang Jami’ah Islamiyyah, dan menetapkan
dengan sifatnya salah seorang lulusan Jami’ah Islamiyyah
bahwasanya mayoritas dan kekuasaan di Jami’ah Islamiyyah
adalah milik hizbiyyin.
Dan ini adalah apa yang dinukilkannya dari Fadhilatusy Syaikh
Muhammad bin Hadi bahwasanya beliau berkata padanya:
‫ْبر الشيخ مقبال بأن الجامعة اإلسالمية ليست بأيدي السلفيين‬‫أخ‬
“Kabarilah Asy Syaikh Muqbil bahwasanya Jami’ah Islamiyyah
bukan di tangan Salafiyyin.”
[selesai penukilan dari “At Taudhih”/hal. 7/karya Asy Syaikh
Yahya Al Hajuriy].
Dan di dalam Jami’ah Islamiyyah di Madinah ada salah satu
mantan pengajar yang bernama: Doktor Abdul ‘Aziz Al Qoriy.
Dan dia adalah orang yang menggambarkan pada masyarakat
bahwasanya Ahlussunnah itu menzholimi sufiyyah.
[sebagaimana dalam kitab “Kasyfu Zaifish Shufiyyah”/Syaikh
Robi’ hadahulloh/hal. 13-14].
Dan termasuk yang menunjukkan kekuasaan mubtadi’ah terhadap
Jami’ah Islamiyyah tersebut adalah:
Bahwasanya para calon murid yang baru tidak diizinkan belajar
di situ kecuali dengan tazkiyyah dari Abdul Majid Az Zindaniy
(Ikhwanul Muslimin), atau Abul Hasan Al Mishriy (pembelas
besar Ikhwaniyyin), atau beberapa pimpinan Jam’iyyah Anshorus
Sunnah dan tokoh hizbiyyin yang lain. Adapun tazkiyyah dari
Al Imam Al Wadi’iy atau Al ‘Allamah Al Hajuriy atau ulama
Salafiyyin yang lain tidaklah diterima.
Beberapa tokoh mulia yang masuk dalam proses seleksi
mahasiswa baru di sana mengabari kami bahwasanya manakala
mereka tidak memuji Az Zindaniy dan tokoh-tokoh Ikhwanul
Muslimin yang lainnya, mereka diusir dari Jami’ah.
-lanjutan-
👇👇👇
Maka mulailah si doktor itu berubah terhadapku. Lalu dia
bertanya: “Apa pandanganmu terhadap Jama’ah-jama’ah
Islamiyyah?”
Aku bertanya: “Apa yang Anda maksudkan? Jama’ah-jama’ah yang
saya hidup bersama mereka di negri saya?”
Dia menjawab: “Iya.”
Saya menjawab: “Demi Alloh, di tempat kami ada jama’ah
Ikhwanul Muslimin, Syi’ah, Jama’ah Tabligh, Shufiyyah. Kami
mohon perlindungan pada Alloh. Dan juga di tempat kami ada
dakwah salafiyyah –segala pujian hanya bagi Alloh-.”
Dia bertanya: “Maka jama’ah yang manakah yang engkau pandang
ada di atas kebenaran?”
Aku berkata: “Sebelum saya jawab, kita jadikan Al Kitab dan
As Sunnah sebagai timbangan.”
Dia menjawab: “Baik.”
Saya menjawab: “Demi Alloh, tidak ada jama’ah yang saya lihat
berangkat berdasarkan Al Kitab dan As Sunnah, juga kembalinya
kepada Al Kitab dan As Sunnah selain dakwah salafiyyah.”
   Kemudian dia mengarahkan padaku soal ketiga yang menjadi
pemutus: “Lalu apa pandanganmu terhadap Asy Syaikh Az
Zindaniy?”
aka aku tersenyum di hadapannya sambil menampilkan keheranan
atas soal itu. Aku menjawab: “Demi Alloh, orang ini punya
kekeliruan dan ketergelinciran.”
Maka si doktor membentakku dan adabnya memburuk terhadapku,
seakan-akan jawabanku tentang Az Zindaniy adalah ruqyah
syar’iyyah yang aku bacakan pada orang yang kesurupan.
Lalu si doktor bangkit dan melompat dari kursinya sambil
menudingkan tangannya kepadaku dan berkata: “Ha! Ha! Apakah
engkah mencaci ulama!? Apakah engkau men-jarh ulama umat!?”
aka aku tersenyum di hadapannya dengan mata kesabaran –segala
pujian dan karunia hanya milik Alloh-, karena kebenaran punya
ketenangan bagi hati dan kekokohan di lidah. Dan aku katakan:
“Wahai doktor yang mulia, jika orang yang Anda kabarkan tadi
adalah termasuk dari ulama umat ini, tidak ada halangan untuk
dia punya kekeliruan dan ketergelinciran, karena sesungguhnya
‘ishmah (keterjagaan dari kesalahan) hanyalah untuk para
Nabi. Kedua: ini tadi bukan ucapan saya, saya hanyalah
pelajar. Tapi ini tadi adalah ucapan syaikh kami Muqbil, Asy
Syaikh Fulan dan Fulan,” aku sebutkan pada sejumlah ulama
sunnah.”
Kemudian aku hendak menjelaskan sebagian kekeliruan teman
kita ini: Az Zindani, yang terkait dengan sisi tauhid dan
aqidah, hanya saja si doktor menghardikku dengan kasar dan
berkata: “Cukup! cukup!! Dan dia mengisyaratkan pengusiran
dengan tangannya ke pintu dan berkata: “Silakan, silakan.”
Maka aku berdiri dengan senang –segala pujian hanya bagi
Alloh- dengan merasa mulia dengan aqidah dan manhajku yang
memutihkan wajah-wajah dan mengangkat kepala-kepala.
﴿ ﴾ٍ
‫ِيم‬
‫َق‬‫مسْت‬
ُ ٍ ‫ِر‬
‫َاط‬ ‫َى ص‬‫ً ع‬
‫َل‬ ‫يا‬ ‫ِي سَو‬
ِّ ‫مش‬ْ‫ي‬ ‫من‬
َ ْ ََّ
‫دى أ‬
َ‫ه‬َْ
‫ِ أ‬
‫ِه‬‫ْه‬
‫َج‬‫َى و‬‫ً ع‬
‫َل‬ ‫ّا‬‫ِب‬
‫مك‬ُ ‫ِي‬
‫مش‬ْ‫ي‬ ‫َن‬
َ ْ ‫َف‬
‫َم‬ ‫أ‬
]22:‫[الملك‬.
“Maka apakah orang yang berjalan terbalik di atas wajahnya
itu lebih terbimbing daripada orang yang berjalan dengan
lurus di atas shiroth mustaqim?” (QS.Al-Mulk:22)
Kemudian si doktor mengejarkan ke pintu dan berkata: “Hah,
hah, Az Zindaniy termasuk dari ulama Al Ikhwan.” Maka aku
jawab: “Iya.” Lalu aku diam dan berjalan, setelah aku melihat
dia mencoret nilai jawabanku yang benar.
Kemudian aku berusaha mengeluarkan kisah ujian penerimaan ini
untuk aku perlihatkan pada para saudaraku salafiyyin, tentang
Jami’ah yang telah dirubah dan diganti sepeninggal
pendirinya, sang ayah yang penyayang, Al Imam Abdul Aziz Ibnu
Baz –semoga Alloh merohmatinya dan orang yang berjalan
sepeninggal beliau di atas jalan itu- .
Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam. Dan Alloh ada di
belakang maksud, dan Dia Maha Menyaksikan segala sesuatu.”
Selesai
bersambung
👇👇👇
📚 *Nasehat Untuk Yang Mendapatkan Bea Siswa Di Jami'ah
Islamiyyah* 📚
📮Pertanyaan :
_Berkata penanya: Dia telah memperoleh beasiswa untuk belajar
pada universitas islamiyah (madinah), maka apakah kita
nasehatkan untuk pergi ke sana (JAMI'AH ISLAMIYAH)?_
📮 Jawaban Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad bin Hizam
hafidzohulloh :
Kami tidak menasihatkan engkau untuk pergi kesana, dan kami
nasehatkan untuk senantiasa (menghadiri) majelis ulama di
Masjid,
*Dan ini lebih baik bagimu daripada belajar
disana(universitas)*
🔻 Pertama; Disana engkau akan terikat dg manhaj(metode),
Dan menuntut ilmu itu baik ketika seseorang berjalan di atas
keinginannya yg dia inginkan dalam menuntut ilmu, tidak
mengharuskan ketetapan dan bukan karena ijazah,
Namun kebanyakan orang orang yg belajar pada universitas
menjadikan dunia sebagai cita citanya kecuali yang di rohmati
oleh Alloh..
Tujuan mereka hanya ijazah, doktor(gelar) serta pekerjaan
kecuali yg di rohmati  oleh Alloh..
🔻 Yang kedua; engkau bercampur dengan sebagian pengajar yg
mereka berada di atas kebid'ahan dan penyimpangan terhadap
manhaj salaf kemudian engkau tidak mengetahuinya, dan bisa
jadi orang yg mengajarimu dia berada di atas manhajnya Hasan
albanna (ikhwaaniy) dan sayyid quthb (ikhwaaniy) sementara
engkau adalah seorang siswa di hadapannya, dan dgnnya engkau
diarahkan, Maka yg seperti ini tidaklah pantas...Dan bisa
jadi hal ini akan menghantarkan engkau untuk belajar disisi
ahli bid'ah dlm keadaan engkau ramah/mujamalah dengan nya,
dan mengalah pada sesuatu dari urusan agamamu krn untuk
mendapatkan ijazah, engkau mengalah (tunduk di hadapan
mereka,) dan terus mengambil ilmu sementara  engkau tidak
mampu untuk menghindar/menentangnya, disana ada aturan yg
apabila engkau berbicara dg suatu kalimat maka mereka akan
mengeluarkanmu /mengusirmu dari universitas, bagaimanapun
juga akan didapati pada mereka orang orang yg memiliki
kebid'ahan, maka kami tidak menasehatkan kepadamu (untuk
belajar di universitas islamiyah).
Dan orang yang betul betul menginginkan ilmu tidaklah akan
pergi ke universitas (akan tetapi) dia memfokuskan menuntut
ilmu disisi ulama di masjid masjid, bahkan sekiranya ada
orang orang yang senantiasa (menghadiri) majelis para ulama
pada dua masjid yaitu masjid annabawi dan makkah, kemudian
mereka mengambil faidah dari perpustakaan-perpustakaan maka
hal itu itu lebih baik bg mereka daripada belajar di jami'ah
al islamiyah (madinah).
allohu musta'an....
-lanjutan-
👇👇👇
Aku -Asy Syaikh Yahya Al Hajuri- katakan:
berapa banyaknyakah salafiyyun selain orang ini mengalami
kejadian yang semisal dengan itu, seandainya ucapan (kisah)
mereka dikumpulkan dalam acara itu (proses penerimaan
mahasiswa baru) pastilah terbentuk satu juz tersendiri.
Akh Abdul Basith As Sufiy Al Jazairiy berkata:
“Segala pujian bagi Alloh Robb semesta alam.
    Kemudian setelah itu: Aku bersaksi bahwasanya aku ketika
maju untuk masuk ke Jami’ah Islamiyyah pada tahun 1423 H, aku
ingin minta syafaat pada doktor Abdulloh Al Muthrofiy –
pengajar bidang hadits di Jami’ah- karena beliau dulu adalah
kepala Lajnah Ifriqiyyah yang khusus menangani perlombaan di
Jami’ah kemudian beliau dilepas.
aka beliau berkata padaku:
“Lajnah (Ifriqiyyah) sekarang semuanya adalah hizbiyyah,
kecuali satu orang, bukan muta’ashshib (fanatik), tapi dia
termasuk dari mereka.”
-sampai ucapan Asy Syaikh:-
Dan akh Adil As Siyaghiy berkata:
“Segala pujian bagi Alloh Robb semesta alam. Kemudian setelah
itu:
Sebagian saudara kita dari mahasiswa telah menerima kami
sebagai tamu di Jami’ah Islamiyyah, dan ke tempat tempat
tinggalnya secara khusus. Di tengah-tengah kunjunganku ke
tempat tinggal Jami’ah aku ingin mengetahui syarat belajar di
tempat mereka, dan aku saat itu tidak ragu bahwasanya mereka
memerangi para pelajar, terutama yang datang dari Darul
Hadits di Dammaj.
Akan tetapi aku berkata dalam hati:
“Berita itu tidak sama dengan melihat langsung.” Maka
mulailah aku bertanya tentang tempat panitia pencatatan.
Ketika aku masuk ke tempat penantian tiba-tiba saja ada anak
muda Yaman yang menjumpaiku sambil membawa kertas-kertas dan
tazkiyah. Maka aku tanya dia tentang syarat-syarat mereka.
Maka dia menjawab:
“Yang paling penting adalah tazkiyah dari dua orang alim yang
terkenal.”
Aku bertanya:
“Seperti siapa?”
Dia menjawab: “Seperti Abdul Majid Az Zindaniy –yang mana dia
itu adalah pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yaman- dan Abul
Hasan Al Mishriy.”
Maka kukatakan padanya:
“Jika engkau punya tazkiyah dari Asy Syaikh Muqbil
rohimahulloh atau asy Syaikh Muhammad Al Imam?”
Dia menjawab: “Mereka akan mengambil kertas-kertasmu dan
berkata: “Kami akan menelponmu.” Tapi kapan? Alloh tahu. Bisa
jadi mereka akan menolakmu seketika itu juga. Jika engkau
ingin diterima dengan cepat, datanglah dengan tazkiyah salah
seorang Ikhwanul Muslimin yang terkenal di sisi mereka, …”
[selesai penukilan dari “At Taudhih”/Asy Syaikh Yahya Al
Hajuri/hal. 3-4].
Sudah dikenal oleh para salafiyyin di negri kami bahwasanya
panitia penerimaan mahasiswa Jami’ah Islamiyyah itu
mayoritasnya –jika saya tidak berkata: semuanya- dari
hizbiyyin, dan mereka singgahnya di markiz-markiz hizbiyyin,
dan tidak ada yang diterima kecuali oleh orang yang
ditazkiyah oleh hizbiyyun negri kami, kecuali jarang sekali
yang bukati hizbiyyin. Dan perkara yang jarang itu tidaklah
dibangun di atasnya hukum. Ini semua menunjukkan kekuasaan
Jami’ah memang dipegang oleh hizbiyyun, bukan di tangan
salafiyyun seperti di permulaannya.
Syaikh kami Abdul Hakim Ar Roimiy hafizhohulloh mengabari
saya bahwsanya manakala beliau mengunjungi Jami’ah Islamiyyah
di Madinah dan masuk ke dalam asrama para pelajar, beliau
mendapati bahwasanya mayoritas dari mereka para Ikhwaniyyun
dan para mubtadi’ah yang lain.
Penjelasan yang sederhana ini cukup untuk menghukumi jami’ah
tadi bahwasanya dia itu penuh dengan mubtadi’ah dan dikuasai
oleh mereka.
-lanjutan-
👇👇👇
*BAB DUA :*
*Tidak Boleh Mengambil Ilmu Dari Mubtadi’ah.*
    Jika Anda telah mengetahui kondisi Jami’ah Islamiyyah di
Madinah sekarang ini adalah demikian, maka tidaklah
disyariatkan untuk belajar di situ jika kondisinya masih
seperti itu.
Alloh -ta’ala- berfirman:
( َ‫ِك‬ ‫َل‬‫َا * ذ‬ ‫ني‬
ْ‫الد‬
ُّ ‫ة‬
َ‫َا‬ ‫َي‬‫الح‬ ‫د إ‬
ْ ‫ِاَّل‬ ِْ‫ير‬
ُ ْ‫ََلم‬
‫َا و‬‫ِن‬ ‫ِك‬
‫ْر‬ ‫ْ ذ‬ ‫َن‬
‫ََّلى ع‬‫تو‬َ ْ‫من‬
َ ْ‫َن‬‫ِضْ ع‬
‫ْر‬ ‫َع‬
‫َأ‬‫ف‬
ِ‫َن‬‫ِم‬‫ُ ب‬‫لم‬‫َع‬
َْ ‫َ أ‬‫هو‬
َُ‫ِ و‬‫ِه‬‫ِيل‬‫ْ سَب‬ ‫َن‬
‫َّ ع‬
‫َل‬‫ْ ض‬‫َن‬‫ِم‬
‫ُ ب‬‫لم‬ ‫َع‬
َْ ‫َ أ‬
‫هو‬ُ َ‫بك‬
ََّ ‫ن ر‬ ‫ِ إ‬
َِّ ‫ْم‬‫ِل‬
‫الع‬
ْ َ ‫ِن‬‫ْ م‬‫هم‬
ُُ َْ
‫لغ‬ ‫مب‬َ
‫دى‬ََ‫هت‬ْ‫﴾ا‬
[30-29 : ‫]النجم‬
“Maka berpalinglah, (hai Muhammad) dari orang yang berpaling
dari peringatan Kami dan tidak menginginkan kecuali kehidupan
duniawi. Yang demikian itu adalah puncak pengetahuan mereka.
Sesungguhnya Robbmu lebih mengetahui orang yang tersesat dari
jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui orang yang mengikuti
petunjuk.”  [QS. An Najm:29-30]
Alloh ta’ala juga berfirman:
ُ
‫َأ‬‫هز‬ ‫يسْت‬
َْ ‫ها و‬
َُ َِ
‫ُ ب‬ ‫َر‬
‫ْف‬ ُ ‫ياتِ هللا‬
‫يك‬ َ‫ْ آ‬ ‫ُم‬
‫ْت‬ ‫َا سَم‬
‫ِع‬ ‫ِذ‬ َْ
‫ن إ‬ ‫َابِ أ‬ ‫ِت‬
‫الك‬
ْ ‫ِي‬ ‫ْ ف‬‫ُم‬
‫ْك‬ ََ
‫لي‬ ‫ل ع‬ ‫َز‬
ََّ ‫د ن‬َْ‫َق‬
‫و‬
‫ن‬ ‫ْ إ‬
َِّ ‫هم‬ ُْ
ُ‫ل‬‫ِث‬ ‫ًا م‬‫ِذ‬‫ْ إ‬‫ُم‬‫نك‬ ‫ِ إ‬
َِّ ‫ِه‬ ‫َي‬
‫ْر‬ ‫ِيثٍ غ‬‫َد‬‫ِي ح‬‫ُوا ف‬ ‫يخُوض‬
َ ‫َّى‬ ‫َت‬
‫ْ ح‬ ‫هم‬ ‫مع‬
َُ َ ‫دوا‬ ‫ْع‬
ُُ ‫تق‬
َ ‫َاَل‬‫ها ف‬ َِ
‫ب‬
‫ًا‬‫ِيع‬ ‫َم‬
‫َ ج‬‫َّم‬
‫هن‬ ‫ِي ج‬
ََ ‫َ ف‬‫ِين‬‫ِر‬‫َاف‬ ‫الك‬
ْ َ‫َ و‬‫ِين‬‫ِق‬‫َاف‬‫ُن‬
‫الم‬
ْ ُ ‫ِع‬
‫َام‬‫هللا ج‬
[140 :‫]النساء‬.
“Dan sungguh telah Alloh turunkan kepada kalian di dalam
kitab ini bahwasanya jika kalian mendengar ayat-ayat Alloh
dikufuri dan diejek, maka janganlah kalian duduk bersama
mereka sampai mereka memperbincangkan pembicaraan yang lain.
Sesungguhnya kalian jika tetap duduk dengan mereka akan
semisal dengan mereka. Sesungguhnya Alloh akan mengumpulkan
munafiqin dan kafirin ke dalam jahannam semuanya.”  [QS.An
Nisaa’:140].
    Al Imam Al Qurthubiy ‫ رحمه هللا‬berkata:
“Maka dengan ini menunjukkan akan wajibnya menjauhi pelaku
maksiat jika nampak dari mereka kemungkaran, karena orang
yang tidak menjauhi mereka berarti dia ridho dengan perbuatan
mereka. Dan ridho dengan kekufuran adalah kekufuran juga.
Alloh ‘azza wajalla berfirman: “Sesungguhnya kalian jika
tetap duduk dengan mereka akan semisal dengan mereka.”
    Maka setiap orang yang duduk di majelis maksiat dan tidak
mengingkari mereka, berarti dia sama-sama mereka dalam dosa.
Maka dia harus mengingkari mereka jika mereka berbicara
dengan maksiat dan mengerjakannya.
Jika dia tak sanggup mengingkari mereka, dia harus bangkit
meninggalkan mereka hingga tidak termasuk orang yang terkena
ayat ini.
    Dan telah diriwayatkan dari Umar bin Abdil ‘Aziz
rodhiyallohu ‘anh bahwasanya beliau pernah menangkap
sekelompok orang yang sedang minum khomr. Maka dikatakan pada
beliau tentang salah seorang yang hadir saat ditangkap:
“Orang ini puasa”, maka beliau menimpakan padanya hukuman
juga dan membaca ayat ini: “Sesungguhnya kalian jika tetap
duduk dengan mereka akan semisal dengan mereka.”() yaitu
sesungguhnya ridho dengan kemaksiatan merupakan kemaksiatan
juga. Karena itulah pelaku dan orang yang meridhoinya dihukum
dengan hukuman kemaksiatan hingga mereka binasa semuanya.
Keserupaan ini bukanlah di seluruh sifat, tapi dalam bab
pengharusan kemiripan untuk dihukumi secara zhohir dengan
penggabungan, sebagaimana ucapan seseorang: “Maka setiap
orang itu mencontoh orang yang disertainya.”
[“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/5/hal.418].
Jika kita telah tahu bahwasanya bersahabat dengan mubtadi’ah
adalah harom, dan menjauhi mereka adalah, wajib berarti
belajar kepada mubtadi’ah adalah lebih wajib untuk diharomkan
juga.
Al Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata:
“Dan para ulama telah bersepakat bahwasanya tidak boleh bagi
seorang muslim untuk menghajr (memboikot/menjauhi) saudaranya
melebihi tiga hari kecuali jika takut bahwasanya berbincang-
bincangnya dia dan berhubungannya dia dengan orang tadi akan
merusak dirinya atau menyebabkan bahaya terhadap agamanya
atau dunianya. Jika hal itulah yang ada, sungguh dia
diperbolehkan untuk menjauhinya. Dan bisa jadi pemutusan
hubungan dengan cara yang bagus itu lebih baik daripada
pergaulan yang mengganggu.” [“At Tamhid”/6/hal. 127].
-lanjutan-
👇👇👇
Al Imam Ibnu Baththoh rohimahulloh berkata:
“… Termasuk dari perkara yang kami jelaskan yang telah
disepakati oleh seluruh muslimin dan umat ini adalah –lalu
beliau menyebutkannya sampai pada ucapan beliau:- dan
termasuk dari As Sunnah adalah: menjauhi dan memboikot setiap
orang yang meyakini suatu perkara yang kami sebutkan tadi,
membenci pelakunya, dan memboikot orang yang loyal kepada
orang tadi, orang yang menolongnya, orang yang membelanya dan
membela sahabatnya, sekalipun pelaku penyimpangan tadi
menampakkan sunnah.” [“Asy Syarh Wal Ibanah”/Ibnu
Bathhthoh/hal. 65/cet. Darul Atsar].
    Al Imam Abu Utsman Ash Shobuniy rohimahulloh menukilkan
madzhab Salaf:
“Dan mereka bersepakat untuk menundukkan Ahlul Bida`,
menghinakan dan merendahkan mereka, dan menjauhkan mereka,
dan menjauh dari mereka, dan menghindari persahabatan dengan
mereka dan pergaulan dengan mereka, dan mendekatkan diri
kepada Alloh dengan cara menjauhi mereka dan meninggalkan
mereka.” [“Aqidatis Salaf Ashabil Hadits” hal. 114/Darul
Minhaj].
    Abul Hasan Al Asy’ariy rohimahulloh berkata:
“Dan Ahlussunnah bersepakat untuk mencela seluruh ahli bida’
dan berlepas diri dari mereka. Dan mereka adalah rofidhoh,
khowarij, murjiah dan qodariyyah. Dan bersepakat untuk tidak
bercampur dengan mereka, berdasarkan apa yang diriwayatkan
dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam tentang masalah itu,
dan perintah untuk berpaling dari mereka, di dalam firman
ta’ala berfirman:
‫هم‬
ْ ‫َن‬
ُْ ‫ِضْ ع‬
‫ْر‬‫َع‬
‫َأ‬ ‫ِن‬
‫َا ف‬ ‫يات‬
َ‫ِي آ‬
‫ن ف‬
َ‫ُو‬
‫يخُوض‬ ‫ِين‬
َ َ ‫الذ‬
َّ َ
‫يت‬َْ
‫َأ‬‫َا ر‬
‫ِذ‬‫َإ‬
‫و‬،
“Dan jika engkau melihat orang-orang yang memperbincangkan
ayat-ayat Kami (dengan pendustaan, bantahan dan ejekan), maka
berpalinglah dari mereka”Hingga akhirnya.
“Risalah Ila Ahlits Tsaghr”/Abul Hasan Al Asy’ariy/hal. 307-
309/cet. Maktabatul ‘Ulum Wal Hikam].
Maka kita tidak boleh menyepelekan masalah ini dan bersandar
pada perasaan bahwa keimanan kita kuat, karena hati itu
lemah, sementara syubuhat itu menyambar-nyambar.
    Dari Imron bin Hushoin rodhiyallohu ‘anhuma yang berkata:
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
« ‫من سمع بالدجال فلينأ عنه فوهللا إن الرجل ليأتيه وهو يحسب أنه‬
‫مؤمن فيتبعه مما يبعث به من الشبهات أو لما يبعث به من الشبهات‬
».
“Barangsiapa mendengar datangnya dajjal maka hendaknya dia
menjauh darinya. Karena demi Alloh, sesungguhnya ada orang
yang mendatangi dajjal dalam keadaan dia mengira dirinya itu
mukmin, lalu dia mengikuti dajjal itu dikarenakan syubhat-
syubhat yang dibangkitkan oleh dajjal.”
[HR. Abu Dawud (4311) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy
rohimahulloh dalam “Ash Shohihul Musnad” (1019)].
    Setelah menyebutkan hadits ini Al Imam Ibnu Baththoh
rohimahulloh berkata:
“Ini adalah sabda Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dan
beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan.
Maka demi Alloh wahai kaum Muslimin, jangan sampai baik
sangka salah seorang dari kalian terhadap dirinya sendiri dan
terhadap keshohihan madzhabnya yang diketahuinya membawa
dirinya untuk melakukan taruhan dengan agamanya, dengan
duduk-duduk dengan para pengekor hawa nafsu, lalu berkata:
“Aku akan masuk kepadanya untuk melakukan diskusi dengannya,
atau akan kukeluarkan darinya madzhabnya.”
Karena sesungguhnya ahli hawa itu lebih besar fitnahnya
daripada dajjal. Ucapan mereka lebih lengket daripada kurap,
dan lebih membakar hati daripada gejolak api. Sungguh aku
telah melihat sekelompok orang yang dulunya melaknati ahli
hawa, mencaci mereka. Lalu mereka duduk-duduk dengan mereka
untuk mengingkari mereka dan membantah mereka. Terus-menerus
berlangsung ramah-tamah di antara mereka, makar tersembunyi,
dan halusnya kekufuran tersamarkan hingga akhirnya orang-
orang tadi masuk ke madzhab ahli hawa tadi.”  [“Al Ibanatul
Kubro”/di bawah no.480].
-lanjutan-
👇👇👇
Maka penjagaan agama dan keselamatan aqidah adalah perkara
yang amat penting.
    Dan tidak setiap orang yang membacakan dalil itu pantas
untuk dipercaya begitu saja.
   Asma bin Khorijah rohimahulloh berkata : «Ada dua orang
dari kalangan ahli ahwa masuk menemui Muhammad bin Sirin
seraya berkata :
“Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan pada Anda satu
hadits ?”
Maka beliau menjawab:
“Tidak boleh.”
Lalu keduanya berkata:
“Jika demikian, bolehkah kami menyampaikan pada Anda satu
ayat dari Kitabulloh ‘azza wajalla?”
Maka beliau menjawab:
“Tidak boleh. Kalian meninggalkan aku atau aku yang akan
pergi.”»
[Diriwayatkan Al Ajurriy dalam “Asy Syari’ah” (114)/cet.
Darul Kitabil ‘Arobiy/dishohihkan oleh Syaikhuna Abu ‘Amr Al
Hajuriy hafizhohulloh].
    Dan pencampuran Ahlissunnah dengan ahli bid’ah itu
membahayakan agama si Ahlissunnah.
    Pemimpin kaum muslimin di zamannya: Abu Abdillah Malik
bin Anas rohimahulloh  ketika ditanya tentang bagaimana
istiwa Alloh, beliau menjawab:
“Istiwa itu telah diketahui.
Gambarannya itu tidak diketahui.
Beriman dengan itu adalah wajib.
Bertanya tentang itu adalah bid’ah.
Dan aku mengira bahwasanya engkau adalah seorang zindiq.
Keluarkanlah dia dari masjid.”
[“Thobaqotusy Syafi’iyyatil Kubro”/4/hal. 163].
Dan terhadap kisah ini: ucapan Al Imam Malik:
“Dan aku tidak mengira dirimu kecuali seorang mubtadi'” lalu
beliau memerintahkan agar orang ini dikeluarkan, Al Imam Ibnu
Utsaimin rohimahulloh berkomentar:
“Dan demikianlah seharusnya para ulama jika melihat di dalam
barisan mereka ada seorang mubtadi’ hendaknya mereka
mengusirnya dari barisan mereka, karena mubtadi’ itu
keberadaannya di tengah Ahlussunnah merupakan kejelekan,
karena bid’ah itu penyakit seperti kanker, tidak diharapkan
kesembuhannya kecuali jika Alloh menghendaki. Ucapan beliau
“Kecuali seorang mubtadi'” bisa jadi beliau memaksudkan
ucapan ini “Kecuali seorang mubtadi'” dengan sebab pertanyaan
tadi atau “Kecuali seorang mubtadi'” yaitu (maksudnya):
kecuali karena engkau itu termasuk dari ahli bida’, karena
ahli bida’ itulah yang agama mereka itu bersumber dari
perkara yang samar-samar demi membikin percampuran terhadap
orang-orang. Dan makna manapun yang dimaukan, maka hal itu
menunjukkan bahwasanya jalan Salaf adalah mengusir para
mubtadi’un dari barisan para pelajar.
Dan demikianlah seharusnya: mereka itu diusir dari seluruh
masyarakat, dan area mereka dipersempit sehingga kebid’ahan
mereka tidak tersebar.
Dan tak boleh dikatakan:
“Sesungguhnya manusia itu merdeka.”
Iya dia merdeka akan tetapi dalam batasan syariat. Adapun
jika dia menyelisihi syariat maka sungguh dia wajib untuk
dipersempit dan dijelaskan untuknya kebenaran, jika dia mau
rujuk pada kebenaran maka itulah yang dikehendaki, tapi jika
tidak, maka dia diperlakukan sesuai dengan apa yang dituntut
oleh kebid’ahannya, berupa pengkafiran atau pemfasiqan.”
*BAB TIGA :*
*Untuk Orang Yang Berkata: “Sesungguhnya di Jami’ah Itu
Diajarkan Al Qur’an dan As Sunnah.”*
Adapun orang yang berkata: “Sesungguhnya di Jami’ah
Islamiyyah Madinah itu diajarkan Al Qur’an dan As Sunnah,
maka kita belajar di sana untuk mengambil dalil, dan tidak
akan terpengaruh dengan kesalahan mereka.”
Maka saya menjawab dengan memohon pertolongan pada Alloh :
Janganlah kalian mengira bahwasanya para mubtadi’ah itu akan
langsung menampakkan kejelekan mereka. Bahkan mereka punya
metode untuk menyesatkan manusia dari arah yang tidak
disadari.
    Dari Mufadhdhol bin Muhalhil rohimahulloh yang berkata :
“Andaikata pelaku kebid’ahan jika engkau duduk di sisinya,
dia menyampaikan kebid‘ahannya, pastilah engkau akan
menghindar darinya dan lari darinya. Akan tetapi dia akan
menyampaikan hadits-hadits sunnah di permulaan majelisnya,
lalu memasukkan kepadamu kebid’ahannya. Maka bisa jadi
kebid’ahan itu akan bercokol di hatimu. Maka kapankah
kebid’ahan itu akan keluar dari hatimu ?”
[“Al Ibanatul Kubro”/karya Al Imam Ibnu Baththoh 
rohimahulloh/no. (399)/cet. Al Faruqul Haditsiyyah/sanad
hasan].
    Al Imam Al Barbahariy rohimahulloh:
“Permisalan pemilik bid’ah itu seperti kalajengking-
kalajengking yang mengubur kepala dan badannya di dalam
tanah, dan mengeluarkan ekor-ekornya. Ketika dia merasa mampu
maka saat itu dia menyengat. Maka demikianlah ahlul bid’ah:
mereka bersembunyi di antara manusia kemudian di saat punya
kemampuan, mereka mengeluarkan apa-apa yang mereka inginkan.”
[“Tobaqot Hanabilah”/2/hal. 44/tentang terjemah Al Imam Hasan
bin ‘Ali Al Barbahariy/ cetakan Darul Ma’rifah].
    Maka wahai orang yang menghormati dirinya sendiri dan
mencintai keselamatannya, larilah engkau dari para penyesat
sebagaimana engkau lari dari singa, karena sesungguhnya
perkara ini adalah agama, dan sesungguhnya kesudahan urusan
ini adalah ke Jannatun Na’im (Surga yang penuh kenikmatan)
atau ke Narul Jahim (Neraka yang apinya amat bergejolak).
    Al Imam Al Hasan Al Bashriy rohimahulloh berkata:
“Wahai Anak Adam, jagalah agamamu, jagalah agamamu, karena
sesungguhnya dia itulah daging dan darahmu. Jika engkau
selamat, maka alangkah besarnya ketentraman, dan alangkah
agungnya kenikmatan itu. Tapi jika yang terjadi adalah yang
lainnya, maka itu hanyalah api yang tidak padam, dan batu
yang tidak dingin, serta jiwa yang tidak mati.”
Diriwayatkan oleh Al Imam Al Firyabiy dalam “Shifatun
Nifaq”/no. (49) dengan sanad shohih].
-lanjutan-
👇👇👇
*BAB EMPAT :*
*Ahlussunnah Wal Jama’ah Tidak Memerlukan Ilmu Para
Mubtadi’ah*
Sekarang tinggal melengkapi jawaban terhadap syubhat sebagian
ahli bid’ah yang mengatakan: “Mengambil ilmu dari ahli bid’ah
itu boleh sebagaimana dulu Al Imam Al Bukhoriy mengambil
riwayat dari mubtadi’ah.”
Sesungguhnya jawaban-jawaban di atas itu cukup untuk
membantah syubhat tadi.
Kemudian kita tambahkan:
bahwasanya kami Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak memerlukan ilmu
dari para mubtadi’ah, karena ilmu mereka tercampuri oleh
kotoran-kotoran. Dan juga dikarenakan para ulama sunnah itu
ada di setiap zaman.
Dari Tsauban rodhiyallohu ‘anhu yang berkata:
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
« ‫ حتى‬،‫ ال يضرهم من خذلهم‬،‫ال تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق‬
‫»يأتي أمر هللا وهم كذلك‬.
“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang tampil
di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang
menelantarkan mereka hingga datangnya urusan Alloh dalam
keadaan mereka seperti itu.” [HR. Muslim (1920)].
Hadits ini juga datang dari Al Mughiroh bin Syu’bah
rodhiyallohu ‘anh.
[HR. Al Buhoriy (7311) dan Muslim (1921)].
Hadits ini juga datang dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan
rodhiyallohu ‘anhuma.
[HR. Al Buhoriy (7312) dan Muslim (7031)].
Hadits ini juga datang dari ‘Imron bin Hushoin rodhiyallohu
‘anhuma.
[HR. Abu Dawud (2484) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy
rohimahulloh dalam “Ash Shohihul Musnad Mimma Laisa Fish
Shohihain” (1025)].
Al Imam An Nawawiy rohimahulloh berkata dalam menjelaskan
hadits ini:
“Dan di dalam hadits ini ada mu’jizat yang nyata, karena
sifat ini dengan pujian untuk Alloh ta’ala terus-menerus ada
dari zaman Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam sampai sekarang
dan sampai datangnya urusan Alloh tersebut –yaitu datangnya
angin yang mencabut nyawa-nyawa kaum Mukminin.”
[“Syarh Shohih Muslim”/13/hal.67].
Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rohimahulloh dalam “Syarh Khuthbah
Al Ilmam” berkata:
Dan bumi ini tidak kosong dari orang yang menegakkan hujjah
Alloh. Dan umat yang mulia ini pasti selalu ada di dalamnya
orang yang menempuh jalan kepada kebenaran, di atas jalan
yang jelas, sampai datangnya urusan Alloh pada tanda-tanda
Kiamat yang besar.”
[sebagaimana dalam kitab “Al Ghoitsul Hami’”/karya Abu Zur’ah
Al ‘Iroqiy/3/hal.902/ cet. Al Faruq].
  Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata:
“Karena sesungguhnya umat ini adalah umat yang paling
sempurna, dan umat yang paling baik yang dikeluarkan untuk
manusia, dan Nabinya adalah penutup para Nabi, tiada nabi
setelah beliau. Maka Alloh jadikan para ulama di dalam umat
ini setiap kali seorang alim meninggal, dia digantikan oleh
orang alim yang lain agar alamat-alamat agama ini tidak pupus
dan tidak tersamarkan tanda-tandanya.”  [“Miftah Daris
Sa’adah”/1/hal.143].
  Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata:
“… dan ini dikarenakan Alloh subhanah telah menjamin
penjagaan hujjah-hujjah-Nya dan bayyinah-bayyinah-Nya, dan
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam mengabarkan
bahwasanya akan senantiasa ada sekelompok dari umat beliau
yang tegak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang
yang menelantarkan mereka, ataupun orang yang menyelisihi
mereka, sampai hari Kiamat. Maka senantiasa Alloh menanam
orang-orang yang ditanam-Nya di dalam agama-Nya, mereka
menanamkan ilmu di dalam hati-hati orang-orang yang Alloh
beri kemampuan untuk itu dan diridhoi-Nya untuk itu, maka
jadilah mereka itu pewaris bagi para ulama sebelumnya,
sebagaimana para ulama sebelumnya pewaris bagi para ulama
sebelumnya lagi, maka hujjah-hujjah Alloh tidak terputus. Dan
yang menegakkannya juga tidak terputus di bumi.
    Dan di dalam atsar yang terkenal:
«‫»ال يزال هللا يغرس في هذا الدين غرسا يستعملهم بطاعته‬
“Senantiasa Alloh menanam di dalam agama ini tanaman yang
mereka itu Alloh jadikan beramal dengan ketaatan pada-Nya.”
  Dan dulu termasuk doa sebagian orang terdahulu adalah:
(‫)اللهم اجعلني من غرسك الذين تستعملهم بطاعتك‬.
“Ya Alloh jadikanlah saya termasuk dari tanaman-Mu yang
Engkau jadikan mereka beramal dengan ketaatan pada-Mu.”
-lanjutan-
👇👇👇
Dan karena itulah tidaklah Alloh tegakkan untuk agama ini
orang yang menjaganya kemudian Dia mengambilnya kepada-Nya
(mewafatkannya) kecuali dalam keadaan Alloh telah menanamkan
apa yang diketahuinya dari ilmu dan hikmah, bisa jadi dalam
hati-hati orang yang semisal dengannya, dan bisa jadi di
dalam kitab-kitab yang dimanfaatkan oleh manusia
sepeninggalnya.”
[selesai dari “Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 147-148].
Tentang hadits tadi, maka dia itu diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dalam «Sunan» (8) dan Ibnu Hibban dalam «Shohih» (236)
dari Abu ‘Anbah Al Khoulaniy rodhiyallohu ‘anhu. Di dalam
sanadnya adalah Al Jarroh bin Malih, dan dia punya kelemahan
hapalan. Tapi hadits ini dengan pendukung-pendukungnya dalam
bab ini menjadi hasan. Alloh a’lam.
Sampai bahkan dalam ilmu Bahasa Arobpun kita tidak boleh
mengambilnya dari mubtadi’ah, karena bahaya dan kerusakan
yang ditimbulkan sebab belajar kepada mubtadi’ah itu lebih
besar daripada kemaslahatan dengan dihasilkannya ilmu dari
mereka.
Al ‘Allamah Muhammad Az Zarkasyiy rohimahulloh berkata:
“Menolak kerusakan itu lebih diutamakan daripada mengambil
kemaslahatan.”  [“Al Bahrul Muhith Fi Ushulil
Fiqh”/7/hal.281].
Al ‘Allamah Ali Al Mardawiy rohimahulloh berkata:
“Dan perhatian Sang Pembuat Syari’at terhadap penolakan
kerusakan itu lebih besar daripada penarikan (pengambilan;
edt) kemaslahatan.”  [“At Tahbir Syarhut Tahrir”/5/hal.2258].
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata:
“Kami berpendapat bahwasanya manusia itu jangan duduk-duduk
dengan ahlul bida’ wal ahwa secara mutlak, sampai bahkan
kalaupun dia tidak mendapati ilmu Bahasa Arob dan Balaghoh
serta Shorf kecuali pada mereka.
Maka Alloh akan memberikan padanya yang lebih baik baik
daripada orang tadi.
Hal ini dikarenakan jika kita 0000p mereka dan kita berbolak-
balik mengunjungi mereka, tidak ada keraguan lagi, pastilah
mereka akan tertipu dengan diri mereka sendiri, dan orang-
orang akan tertipu dengan mereka”
[“Syarh Hilyah Tholibil ‘Ilm”/Al ‘Utsaimin/0. 90/cet. Darul
‘Aqidah].
Dan kalaupun kita anggap zaman ini kosong dari seorang alim
sunniy, maka kita mencukupkan diri dengan kaset-kaset ulama,
kitab-kitab mereka dan para murid mereka yang istiqomah yang
ada.
Maka di dalam yang demikian itu ada kecukupan dan kebaikan
yang banyak.
Dan hanya bagi Alloh sajalah segala pujian.
Kemudian sesungguhnya Al Imam Al Bukhoriy rohimahulloh itu
memiliki kecukupan ilmu, iman dan kewaspadaan sehingga aqidah
beliau tidak tertimpa bahaya kalaupun mengambil riwayat-
riwayat dari mubtadi’ah.
    Maka apakah para pelajar pada hari ini memiliki kecukupan
ilmu, iman dan kewaspadaan?
ahkan banyak dari mereka yang terjerumus ke dalam perangkap
mubtadi’ah.
bersambung
👇👇👇
https://t.me/Kajian_Syaikh_Abu_Fairuz/716
[29/5 14:32] ULTRA~CAT: 🔰 *Hukum Belajar Di Jami'ah
Islamiyyah Madinah* 🔰
“Menyingkap Hakikat Jami’ah Islamiyyah Madinah”
Judul Asli:
“Kasyful Haqoiqid Dafinah Fii Jami’atil Islamiyyah Bil
Madinah”
-lanjutan-
👇👇👇
Kemudian sesungguhnya Al Imam Al Bukhoriy dan para imam yang
lain rohimahumulloh itu mengambil riwayat-riwayat dari
sebagian mubtadi’ah demi memelihara sunnah-sunnah agar tidak
luntur, karena sebagian hadits ketika itu tidak didapati
kecuali dari sebagian mubtadi’ah.
Maka ketika berbenturan dua maslahat :
Yakni maslahat menghinakan mubtadi’ah dan maslahat
menghindari hilangnya hadits dari muka bumi, maka
kemaslahatan yang kedua tentunya harus diutamakan.
Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rohimahulloh berkata:
“Kami berpandangan bahwasanya orang yang menjadi da’i kepada
madzhabnya yang bid’ah itu, fanatik kepada bid’ahnya tadi,
terang-terangan dengan kebatilannya tadi, hendaknya
ditinggalkan saja periwayatan darinya, sebagai bentuk
penghinaan untuknya dan untuk mematikan kebid’ahannya, karena
sesungguhnya pengagungan terhadap mubtadi’ah merupakan suatu
iklan untuk madzhab dia itu. Allohuma, kecuali jika hadits
tadi tidak tidak kita dapati kecuali dari jalur dia, maka
ketika itu maslahat penjagaan hadits, lebih diutamakan
daripada maslahat penghinaan terhadap mubtadi’.” [“Al
Iqtiroh”/hal.59].
Maka hadits apa lagi yang manusia memerlukannya pada hari ini
yang tidak didapati kecuali dari jalur mubtadi’ah. (?)
    Kemudian, sesungguhnya Al Imam Al Bukhoriy tidak
mengambil riwayat dari para pendusta. Bahkan beliau menyaring
para masyayikh beliau. Barangsiapa diketahui dari mereka
kejujurannya dan kesholihannya, beliau mengambil riwayat
darinya. Adapun pada hari ini, maka kita tidak mendapati dari
kalangan mubtadi’ah yang jujur dan sholih sebagaimana
mestinya kecuali sedikit sekali.
Maka pada hakikatnya tidaklah tersisa hajat manusia untuk
mengambil ilmu dari mubtadi’ah pada hari ini.
‫ والحمد هلل رب العالمين‬،‫وهللا تعالى أعلم بالصواب‬.
[Selesai disusun dan diterjemahkan di Shon’a, Yaman 20
Jumadal Ula 1436 H]
🌐 https://t.me/Kajian_Syaikh_Abu_Fairuz/716

Anda mungkin juga menyukai