Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad Ilham

NIM : 050120.00021

1 Qadha' dan Qadar (Takdir): NU mengajarkan keyakinan tentang qadha' dan qadar, yaitu takdir
Allah atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Mereka percaya bahwa segala sesuatu
yang terjadi telah ditentukan oleh Allah, dan manusia memiliki kewajiban untuk menerima
takdir tersebut dengan penuh kesabaran dan rasa syukur. Pandangan NU tentang takdir ini
sejalan dengan ajaran mazhab Imam Syafi'i yang mengakui kekuasaan dan kebijaksanaan
Allah dalam segala hal.

Tawassul dan Ziarah Kubur: NU, sebagaimana mazhab Imam Syafi'i secara umum,
mempraktikkan tawassul dan ziarah kubur. Tawassul adalah upaya mencari syafaat atau
pertolongan Allah melalui doa dan permohonan dengan menyebutkan nama atau perbuatan
baik para wali Allah atau orang-orang yang telah meninggal. Ziarah kubur adalah kunjungan
ke makam para wali atau orang-orang shaleh untuk mendapatkan berkah dan berdoa.

Maulid Nabi: NU juga menghormati dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW (kelahiran
Nabi Muhammad) sebagai peringatan penting dalam agama Islam. Perayaan Maulid ini
mencakup pembacaan sejarah kehidupan Nabi Muhammad, kisah-kisah tentang keagungan
beliau, pembacaan maulid, dan berbagai bentuk kegiatan yang mengingatkan umat Muslim
tentang ajaran dan teladan Nabi Muhammad.

Penting untuk diingat bahwa NU, meskipun memiliki basis mazhab Imam Syafi'i, juga
mencakup keragaman pandangan dan praktik keagamaan. Oleh karena itu, tidak semua
anggota NU mungkin sepenuhnya mengamalkan semua hal di atas, dan ada perbedaan
pendapat di dalam organisasi tersebut. Tetapi tiga poin di atas mencerminkan praktik dan
keyakinan yang umum di kalangan anggota NU yang mengikuti mazhab Imam Syafi'i.

Tawassul dan ziarah kubur adalah dua praktik yang berhubungan dengan keyakinan
dan ibadah dalam agama Islam. Di bawah ini, saya akan menjelaskan kedua konsep tersebut:

Tawassul:

Tawassul adalah istilah dalam Islam yang mengacu pada cara atau usaha mendekatkan diri
kepada Allah dengan menyebut, menggunakan, atau merujuk kepada sesuatu yang Dia cintai
atau berkenan. Tujuan tawassul adalah untuk memohon pertolongan, rahmat, atau doa yang
lebih baik, dan bukan menyembah benda atau makhluk sebagai tuhan. Dalam hal ini,
tawassul bisa dilakukan melalui Nabi Muhammad SAW atau orang saleh yang telah meninggal
dunia.

Terdapat beberapa bentuk tawassul yang umum dilakukan dalam Islam:

Tawassul dengan menyebut nama Nabi Muhammad SAW, contohnya dengan doa "Ya Allah,
berikanlah aku pertolongan dengan kekasih-Mu, Nabi Muhammad SAW."

Tawassul dengan amal shalih, di mana seseorang memohon pertolongan Allah berdasarkan
amal baik yang pernah mereka lakukan.
Tawassul melalui doa para sahabat atau orang-orang shalih, dengan menyebut nama mereka
sebagai perantara dalam doa.

‫ۖ َوهّٰلِل ِ ااْل َسْ َم ۤا ُء ْالحُسْ ٰنى َف ْادع ُْوهُ ِب َه ۖا َو َذرُوا الَّ ِذي َْن ي ُْل ِحد ُْو َن ف ِْٓي اَسْ َم ۤا ِٕى ۗ ٖه َسيُجْ َز ْو َن َما َكا ُن ْوا َيعْ َملُ ْو َن‬

Artinya : “Dan Allah memiliki Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebutnya Asma'ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.”

Ziarah Kubur:

Ziarah kubur adalah kunjungan ke makam para sahabat, orang-orang shalih, atau orang-orang
yang dicintai yang telah meninggal dunia. Praktik ini umum dilakukan oleh umat Islam sebagai
bentuk penghormatan, doa, dan pengenangan terhadap orang yang telah meninggalkan
dunia.

Dalam Islam, ziarah kubur tidak dianggap sebagai ibadah wajib, namun dianjurkan untuk
memberikan pengajaran dan mengingatkan umat Islam tentang kematian dan kehidupan
akhirat. Ketika melakukan ziarah kubur, umat Islam biasanya membaca doa-doa untuk orang
yang telah meninggal, memohonkan ampunan untuk mereka, dan berdoa untuk diri sendiri
agar dijauhkan dari siksa kubur.

Dari Buraidah, Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahlah
karena akan bisa mengingatkan kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian
dengan menziarahinya. Barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian
mengatakan 'hujran' (ucapan-ucapan batil)," (HR Muslim).

Penting untuk diingat bahwa ziarah kubur harus dilakukan dengan niat yang ikhlas hanya
untuk mengharapkan keridhaan Allah semata. Tidak boleh ada praktik-praktik syirik atau
penyembahan terhadap makhluk lain, karena hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.

2 Pendapat yang berbeda dalam mazhab-mazhab fiqih sering kali muncul karena perbedaan
dalam interpretasi terhadap sumber-sumber hukum Islam. Berikut adalah tiga sebab
perbedaan pendapat yang dapat terjadi:

Interpretasi terhadap Al-Quran:


Mazhab-mazhab fiqih dapat memiliki pandangan yang berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran. Misalnya, mengenai masalah hukum minum minuman beralkohol, satu mazhab
dapat menganggapnya haram berdasarkan interpretasi ayat-ayat tertentu yang melarang
khamr (minuman keras), sementara mazhab lain dapat memaknai ayat tersebut secara
berbeda sehingga memberikan pengecualian tertentu.

Pendapat mengenai Hadis Nabi:


Mazhab-mazhab fiqih juga dapat berbeda dalam menerima atau menolak hadis-hadis Nabi
sebagai sumber hukum. Misalnya, dalam masalah shalat, satu mazhab mungkin menganggap
hadis tertentu sebagai sahih dan mengambil hukum dari hadis tersebut, sementara mazhab
lain dapat meragukan hadis tersebut atau menganggapnya lemah, sehingga tidak
memasukkan hadis itu dalam pertimbangan hukum fiqihnya.
Metodologi Ijtihad:
Setiap mazhab memiliki metode ijtihad (penarikan hukum) yang berbeda, sehingga dapat
menyebabkan perbedaan pendapat dalam menyelesaikan masalah hukum tertentu.
Contohnya, dalam masalah perceraian, satu mazhab mungkin menggunakan ijtihad yang
lebih luas dan memandang perceraian dapat terjadi atas beberapa sebab tertentu, sedangkan
mazhab lain mungkin memiliki batasan ijtihad yang lebih ketat dan membatasi sebab
perceraian.
Contoh Kasus:
Misalnya, kita bisa mengambil contoh masalah hukum waris. Dalam suatu kasus, seorang
lelaki meninggal dan meninggalkan harta yang akan diwariskan kepada ahli warisnya, yaitu
istri dan dua anak laki-laki.

Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat antara mazhab-mazhab fiqih tentang
bagaimana pembagian waris dilakukan. Salah satu mazhab dapat memandang bahwa istri
mendapatkan sepertiga dari seluruh harta warisan, sedangkan anak laki-laki masing-masing
mendapatkan dua per tiga. Sedangkan, mazhab lain mungkin menganggap bahwa istri
mendapatkan satu per delapan dari seluruh harta warisan, sedangkan dua anak laki-laki
masing-masing mendapatkan sisanya.

Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh interpretasi ayat-ayat Al-Quran dan hadis-
hadis Nabi yang berkaitan dengan pembagian waris. Selain itu, metode ijtihad yang berbeda
juga berpengaruh pada penyelesaian masalah hukum ini.

3 Mazhab Ibadiyyah adalah salah satu dari empat mazhab Sunni dalam Islam. Mazhab ini
berbeda dengan tiga mazhab lainnya (Hanafi, Maliki, dan Syafi'i) karena memiliki pemahaman
dan hukum fiqih yang lebih konservatif. Ibadiyyah didirikan oleh Abdullah bin Ibadh, seorang
ulama dari Oman pada abad ke-7 Masehi. Dia adalah tokoh utama yang menyebarkan ajaran
dan pemikiran Ibadiyyah di wilayah Arab.

Salah satu literatur fiqih yang menjadi referensi utama dalam mazhab Ibadiyyah adalah "Al-
Risalah" karya Ibnu Ibadh. Buku ini membahas berbagai aspek hukum Islam, termasuk
ibadah, muamalah (transaksi ekonomi), dan hukum pidana. Al-Risalah menjadi sumber utama
bagi para pengikut Ibadiyyah untuk memahami dan mengamalkan ajaran mazhab mereka.

Analisis terkait sebab dari tidak berkembangnya mazhab Ibadiyyah meliputi beberapa faktor
berikut:

Keterbatasan geografis: Mazhab Ibadiyyah secara historis berkembang terutama di wilayah


Oman dan beberapa bagian Afrika Utara seperti Aljazair, Tunisia, dan Libya. Wilayah yang
terbatas ini membuat pengaruh mazhab ini tidak begitu meluas dibandingkan dengan
mazhab-mazhab Sunni lainnya yang memiliki pengikut di wilayah yang lebih luas seperti
Timur Tengah dan Asia.

Tidak memiliki dukungan penguasa: Mazhab-mazhab lain seperti Hanafi, Maliki, dan Syafi'i
mendapatkan dukungan dan perlindungan dari penguasa atau dinasti yang berkuasa pada
masa itu. Namun, Ibadiyyah tidak mendapatkan dukungan serupa secara luas, sehingga
ajaran dan pemahaman mazhab ini tidak dapat berkembang secara signifikan di bawah
kekuasaan politik yang dominan.

Kurangnya penyebaran aktif: Selain tidak memiliki dukungan penguasa, kurangnya upaya aktif
dari para ulama Ibadiyyah untuk menyebarkan dan mempromosikan ajaran mazhab ini juga
mempengaruhi perkembangannya. Sementara mazhab-mazhab Sunni lainnya memiliki
jaringan pengajaran dan pemuka agama yang aktif dalam menyebarkan pemikiran mereka,
Ibadiyyah tidak memiliki upaya serupa.

Kurangnya dialog dan interaksi: Kurangnya dialog dan interaksi antara mazhab Ibadiyyah
dengan mazhab-mazhab Sunni lainnya juga berkontribusi pada keterbatasan pengaruh dan
perkembangannya. Ketika ada perbedaan pandangan atau perdebatan fiqih, interaksi dan
dialog yang intens bisa membantu mazhab tersebut mendapatkan pengakuan dan eksposur
lebih luas.

Meskipun mazhab Ibadiyyah tidak berkembang secara luas seperti mazhab-mazhab Sunni
lainnya, tetap ada komunitas yang setia mengikutinya, terutama di wilayah-wilayah yang
tradisional menjadi basis mazhab ini. Setiap mazhab dalam Islam memiliki kontribusi uniknya,
dan perbedaan tersebut merupakan kekayaan dalam ragam pemahaman agama dalam tradisi
Islam.

Anda mungkin juga menyukai