Anda di halaman 1dari 19

ALUE CEK DOI, JULOK, ACEH TIMUR, 06 NOVEMBER 2022

TEMA: PENINGKATAN PEMAHAMAN UMMAT ISLAM


TERHADAP PERMASALAHAN FIQH DAN TAUHID

MUZAKARAH ULAMA SE-ACEH 2022


Menimbang: a. Bahwa telah terjadi dalam pelaksanaan hukum fiqh dan tauhid
memiliki indikasi ke arah yang menyimpang dari ketentuan fiqh
mazhab Syafi’ie dan aqidah Ahlussunnah waljamaah.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang
dimaksud
dalam huruf (a) para Nasumber Muzakarah Ulama perlu
memberikan berbagai dalil hukum tentang permasalahan
berdasarkan fiqh mazhab Syafi’ie dan aqidah Ahlussunnah
waljamaah.

Mengingat : a. Al-Qur’anul Karim;


b. Al-Hadits;
c. Ijma’ Ulama;
d. Qiyas;
e. Qawa’id Fiqhiyah;
f. Aqidah Ahlussunnah waljamaah

Memperhatikan: a. Khutbah Iftitah Pimpinan Dayah Bustanul Huda


b. Himpunan makalah narasumber dalam kegiatan Muzakarah

DENGAN BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH SWT


BERDASARKAN PERSETUJUAN PARA NARASUMBER MUZAKARAH
MEMUTUSKAN:

MENETAPKAN: HASIL MUZAKARAH ULAMA SE-ACEH 2022

1. Dalam ilmu Tasawuf terdapat istilah Tasawuf Sunni, Tasawuf Falasafi,


Tasawuf Syi’i dan lainnya. Bagaimana pengertiannya masing-masing dan
siapa tokoh ulama didalamnya?
Jawaban:
1. Tasawuf Sunni adalah yaitu tasawuf yang pengamalannya bertumpu pada Al
Quran dan sunnah-sunnah Nabi SAW. Dalam pengamalannya, ayat-ayat Al
Quran dan segala perkataan dan ketetapan Nabi SAW senantiasa menjadi
acuan. Dengan kata lain tasawuf sunni merupakan perjuangan bertasawuf
dengan menjadikan Al Quran dan sunnah Nabi SAW sebagai pusat perhatian
dan pola amaliahnya.
Kata tasawuf juga diyakini berasal dari kata shafah yang artinya bersih dan
jernih, dengan kata lain tasawuf sendiri merupakan bentuk ilmu yang
mengedepankan kejernihan dan kebersihan hati serta akal sehat, selain itu
para sufi juga menyeru kepada umat islam lainnya untuk senantiasa menta’ati
Allah SWT sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT berikut
ini

ْْۖ‫ِيُْيرِيدُونَْوَجْهَْهُْْۖوَلَْاْتَ ْع ْدُْعَيْنَا ْكَْعَنْ ُهمُْْترِي ْدُْزِينَْةَْالْحَيَاةِْالدُّنْيَا‬ ْ ‫وَاصِْبرْْنَفْسَكَْ َمعَْْاَّلذِينََْيدْعُونَْرَبَّ ُهمْْبِالْ َغدَاةِْوَالْعَش‬


‫وَلَْاُْت ِطعْْ َمنْْأَغْفَلْنَْاْقَلْبَْهُْ َعنْْذِ ْكرِنَاْوَاتََّبعَْهَوَاهُْوَكَانَْْأَ ْم ُرهُُْفرُطًْا‬

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru


Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas. (QS Al Kahfi :28)

Dengan kata lain para penganut tasawuf sunni cenderung menjauhi hal-hal
yang bersiafat keduniaan seperti jabatan, kekayaan dan hal lain yang bisa
menggangu ibadahnya kepada Allah SWT.
Dalam prakteknya contoh tasawuf sunni adalah ketika mengadakan suatu
acara kenduri dirumah tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja tetapi
juga mengundang orang-orang miskin. Apabila kita hanya mengundang
orang-orang kaya saja karena mengharapkan amplob tebal dikasih nanti atau
banyak dibawa oleh-oleh dan tidak mengundang orang miskin karena tipis
amplob yang dibawa ini bukan praktek tasawuf sunni.
Diantara para penganut tasawuf saat itu antara lain adalah para sahabat dan
tabiin seperti halnya Para Khulafaurrasyidin, Salman Al Farisi, Ammar bin
Yasir, Abu Dzar Al ghifarn Hudzaifah bin Al Yaman, Hasan Al Bashri,
Rabi’ah ‘Adawiyah, Zun Nun Al Misri dan Abu Yazid Al Bustami.
Selanjutnya pada ketiga dan keempat hijriyah, ilmu tasawuf pun berkembang
dan pada abad ini tasawuf lebih fokus pada perbaikan akhlak atau tasawuf
akhlak dimana akhlak terpuji menjadi salah satu hal utama yang harus
dimiliki umat muslim. Diantara tokoh-tokoh tasawuf sunni setelahnya adalah
Imam Al Ghazali pengarang kitab Ihya Ulumuddin yang sangat terkenal.
Sebagian Ulama mengomentari Kitab Ihya Ulumddin “Seandaiya Al Qur’an
dan hadist Nabi tidak ada lagi yang ada Kitab Ihya Ulumddin maka dia bisa
mewakili Al Quran dan hadist Nabi”
2. Tasawwuf Falsafy adalah apa yang baik dalam hati juga baik dalam
perkataan yang diucapkan dengan lisan.

Tasawuf Falsafi secara bahasa bisa kita bagi menjadi dua, yaitu antara Tasawuf
dan Filsafat. Tasawuf artinya kecintaan terhadap tuhan, sedangkan ilmu Filsafat
Islam adalah yang berkenaan dengan akal atau fikiran. Falsafi disini adalah cara
yang digunakan dalam bertasawuf. Tasawuf Falsafi adalah sebuah aliran dalam
bertasawuf yang menggabungkan antara visi mistik dan visi yang rasional.
Tasawuf ini merupakan hasil dari pemikiran-peminkiran para tokoh-tokoh yang
diungkapkan dengan bahasa filosofis. Tasawuf ini tidak bisa dikatakan sebagai
Tasawuf yang murni karena telah menggunakan pendekatan fikiran dan rasio,
namun juga tidak bisa dikatakan filsafat seutuhnya karena didasarkan pada rasa.
Dengan kata lain Tasawuf Falsafi merupakan penggabungan antara rasa dan
rasio.

Secara istilah dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari Tasawuf Falsafi
adalah, kajian terhadap Tuhan, manusia dan sebagainya yang menggunakan
motode rasio atau akal. Aliran dalam Tasawuf Falsafi terkesan tidak jelas,
karena banyaknya istilah-istilah yang diungkapkan oleh tokoh-tokkohnya
dalam aliran ini yang tidak bisa dimengerti, lantaran menggunakan istilah
Filsafat.

Tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi pada umumnya mengerti dan akrab


dengan ilmu Filsafat. Mereka mempelajari Filsafat Barat, Yunani Kuno,dan
Filsafat Islam, serta mengenal para filosof barat seperti, Socrates, Aristoteles
serta pemikiran-pemikiran filosof Islam seperti Al Farabi dan Ibnu Sina.

Banyak orang mengaku bertasawuf falsafi dan mengajak orang berbuat baik
kepada manusia tetapi dalam prakteknya dia sendiri suka memaki-maki
orang diatas mimbar. Ada orang yang mengkritik Imam Al Ghazali karena
mencantumkan hadist dhaif dalam kitab Ihya Ulumiddin. Dalam catatan
sejarah setelah Imam Al Ghazali selesai mengarang Ihya Ulumuddin beliau
pergi ke pantai lalu beliau berkata “Ya Allah kalau seandainya isi kitab yang
saya tulis ini tidak benar maka tenggalamkanlah dia supaya tidak tersesat
manusia“. Kemudian beliau melempar kitab Ihya Ulumuddin yang telah
diikat dengan batu ke laut, ternyata kitab tersebut tidak tenggelam tetapi
mengapung-ngapung. Ini adalah bukti bahwa isi Ihya Ulumddin benar dan
bisa dijadikan pegangan walaupun didalamnya ada hadist-hadist dhaif.
Dalam ilmu ulumul hadist disebutkan bahwa hadist dhaif menjadi kuat bila
banyak jalurnya.
Diantara tokoh-tokoh pengembang tasawuf falsafi adalah Ibnu ‘Arabi yang
dikenal dengan karyanya: Wahdah Al Wujut (wahdatulwujud), Hakikat
Muhammadiyah dan Wahdah Al Adyan, Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili
yang dikenal dengan karyanya: Insan Kamil dan Maqamat, kemudian Ibnu
Sab’in yang dikenal dengan karyanya: Kesatuan Mutlak dan Menolak Faham
Aristotelian.
3. Tasawuf Syi’i adalah tasawuf yang dinisbahkan kepada paham syiah yaitu
suatu kelompok yang terlalu membesar-besarkan Imam Ali. Syiah
merupakan salah satu aliran, mahdzab, yang sangat berkaitan erat dengan
masalah perpolitikan juga sejarah islam di masa lalu. Pada dasarnya syiah
menolak dan tidak mengakui kekhalifahan yang dipegang oleh sahabat-
sahabat terdahulu nabi, yaitu Abu bakar, Umar Bin Khattab, dan Usman Bin
Affan. Mereka lebih mengakui akan keimaman keluarga Nabi, salah satunya
yang dianggap sebagai pengganti nabi adalah Ali. Untuk itu, Ali dianggap
sebagai imam besar dalam syi’ah.
Dalam sejarah, syiah dilatarbelakangi oleh para pengikut Ali, walaupun Ali
tak berkehendak seperti apa yang akan terjadi di zaman ini. Mereka meyakini
bahwa Nabi memilih Ali sebagai penggantinya dan bukan sahabat-sahabat
yang lain. Mereka menganggap bahwa keturuan dan keluarga Nabi adalah
orang-orang yang suci dan terpilih. Mereka disebut dengan Ahlul Bait.

Konsep Ajaran Syiah

Ajaran syiah dan pemikirannya memiliki karakteristik tersendiri dengan


beberapa point-point penting. Syiah memiliki banyak sekali sekte dan satu
sama lain juga sangat berbeda. Namun ada beberapa yang menjadi poin
penting dan kesamaan di beberapa sekte yang ada tersebut. Berikut adalah
penjelasan mengenai pemikiran syiah secara substantif.

1. Ahlul Bait adalah Yang Layak Melanjutkan Kepemimpinan Nabi.


Kelompok syiah meyakini bahwa keluarga Nabi atau keturunan Nabi
adalah orang yang paling pantas untuk menjadi imam umat muslim.
Mereka yakin bahwa ahlul bait dijaa kesuciannya oleh Allah, untuk itu
sangat pantas jika menggantikan Nabi. Mereka menggap juga bahwa
Nabi adalah guru terbaik yang keturunannya juga akan mewarisi hal
tersebut.
2. Imam Ali adalah Pemimpin Pengganti Nabi
Kelompok syiah berpendapat bahwa Ali Bin Abi Thalib yang menjadi
sepupu dari Rasulullah dan ahlul bait lainnya merupakan penerus nabi
yang paling cocok. Untuk itu dalam hal ini syiah mengalami konflik
politik sejak dulu kala dengan orang-orang sunni. Orang-orang syiah
tidak sepakat bahwa sahabat-sahabat Rasul layak menggantikan
kepemimpinan Nabi Muhammad. Selain itu, orang Syiah meyakini
bahwa sebelum meninggal, Nabi Muhammad menunjuk Ali untuk
menjadi pemimpin. Hal ini berdasar hadist yang juga masih dalam
perdebatan dengan orang-orang sunni. Akhirnya permasalahan ini
tidak kunjung selesai dan berakhir konflik panjang dengan orang-
orang sunni.
3. Imamah – Kepemimpinan Illahi
Masalah imamah atau kepemimpinan adalah hal yang paling sering
dibahas dan cukup penting bagi pemeluk syiah. Hal ini juga yang
menjadikan syiah menjadi berbagai macam sekte atau aliran. Tentunya
perbedaan pandangan ini juga berakibat pada konflik yang tajam
terutama ketika sudah masuk pada masalah penafsiran Al-Quran,
Sunnah, Sahabat, dan segala hal yang berkenaan dengan dasar atau
sumber pemahaman islam (epistemologi islam).

Perbedaan dengan sunni lainnya adalah persoalan mengenai fiqh. Salah satu
fiqh yang menjadi perdebatan dan pertentangan adalah kawin mut’ah atau
kawin kontrak. Namun, tidak semua syi’ah menyepakatinya dan ada banyak
juga yang menolak. Fiqh Ja’fari memberikan peluang untuk hal tersebut,
namun dengan syarat yang pastinya sangat berat. Tentu tidak mudah untuk
dilakukan. Hanya kasus darurat istimewa saja kawin mut’ah ini
diperbolehkan oleh islam atau para ulama.
Suatu ketika pada musim haji orang-orang Syiah mengatakan “Lailahaillah
Khumainy Rasulullah, Lailahaillah Amrika ‘Aduwullah” karena mereka
meyakini bahwa Malaikat Jibril AS telah keliru menurunkan wahyu kepada
Nabi Muhammad SAW, seharusnya wahyu itu diturunkan kepada Imam Ali.
Kelompok Syiah menuduh Saidina Abu Bakar RA dan Saidina Umar RA
sebagai perampok jabatan khalifah milik Imam Ali. Diantara tokoh tasawuf
ini adalah Imam Khoemaini.

2. Sudah kita maklumi bahwa bila tanah atau lainnya yang sudah diwaqafkan
maka sudah hilang kepemilikan padanya, sehingga tanah tersebut tidak
boleh ditasarrufkan lagi, baik dengan dijual atau lainnya, kecuali pada hal
dharurah. Lalu bagaimana hukumnya bila hal ini Pemerintah yang
melakukannya? Bolehkan atau tidak?

Jawaban:
Persoalan harta waqaf merupakan salah satu ibadah dalam bentuk harta.
Pengertiannya adalah menahan harta (tidak bisa ditasarruf lagi) yang bisa
diambi manfaatnya secara syara’ serta kekal (tidak hilang) a’innya ketika
digunakan. Contoh barang yang kekal a’innya adalah tanah, maka tanah tidak
akan habis dan tidak akan hilang saat digunakan, dan contoh barang yang tidak
kekal a’innya ketika digunakan seperti kue untuk dimakan maka kue tersebut
akan habis saat dimakan, contoh lagi adalah uang untuk membeli maka uang
akan berpindah kepemilikan saat digunakan untuk membeli. Maka tidak sah
diwaqafkan uang untuk membagun dayah misalnya karena tidak kekal ainnya
ketika digunakan, namun bisa dengan jalan sedekah atau lainnya.

Harta boleh diwaqafkan kepada jalan tertentu seperti masjid dan dayah tertentu,
dan boleh juga kepada jalan yang umum dan tidak tertakyin/tertentu seperti
untuk dayah secara mutlak, fakir miskin, anak yatim dan lainnya.
Kesimpulannya adalah Ketika suatu harta telah diwaqafkan maka hilanglah
kepemilikan manusia terhadap harta tersebut misalnya tanah, maka tanah ini
tidak boleh lagi diperjualbelikan, ditukar, dijadikan harta warisan dan lainnya,
dan kepemilikan harta tersebut cuma milik Allah. Kalaupun dijual, ditukar atau
diwariskan maka hukumnya tidak sah. Yang dibolehkan cuma menikmati
manfaatnya, seperti membangun masjid diatasnya, makan hasil tanaman
diatasnya dan lain sebagainya.

Sepakat ulama mengatakan bahwa boleh si waqif (orang pewaqaf) menentukan


dirinya sebagai nazir (pengelola) bagi harta waqaf dan ditasarrufkan (diberikan
hasilnya) kepada mauquf ‘alaihi (pihak yang berhak menikmati hasil harta
waqaf). Seperti katanya: “Aku waqafkan tanah ini untuk Masjid Jami’ dan saya
sendiri sebagai nazirnya”. Bila si waqif tidak menentukan nazirnya kepada
orang tertentu maka yang menjadi nazir bagi harta waqaf tersebut adalah
Mauquf ‘alaihi.

Kewajiban terhadap nazir harta waqaf untuk mengurus, memelihara dan


menjaga harta waqah supaya berkembang dan punya hasil yang diharapkan, dan
supaya tidak rusak dan binasa. Kemudian membagikan hasilnya kepada mauquf
‘alaihi. Seperti ini terjadi pada masa Rasulullah memerintahkan kepada Saidina
Umar bin Khattab untuk menjaga harta waqaf di Tanah Khaibar agar tidak
diperjualbelikan, tidak dihibahkan dan tidak dijadikan harta warisan dan Rasul
juga memerintahkan agar hasilnya dibagikan kepada mauquf ‘alaihi (tanah
waqaf itu) yaitu fakir miskin dan lainnya.

Terkait dengan pertanyaan tentang Pemerintah yang ingin menjual atau menukar
harta waqaf karena adanya suatu perencanaan tertentu, misalnya akan dibangun
jalan, kantor atau lainnya. Maka dalam hal ini Pemerintah sama juga hukum
seperti pihak lain dan tidak ada keistimewaan tertentu, yaitu tidak boleh
menukar ‘ain harta waqaf dengan lainnya selama tidak ada hal dharurah
yang mendesak, seperti akan kena longsong dan lainnya. Demikian disebutkan
dalam Kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu Karangan Wahbah Zuhaili dengan
Sepakat seluruh Mazhab Fiqh.
Untuk menentukan dharurah atau tidaknya, ini perlu diperhatikan
dengan seksama oleh semua pihak terkait dengan memperhatikan segala
aspek kemaslahatan dan ditinjak lanjut dengan sebaik-baiknya.

3. Pada zaman sekarang, semua masjid menggunakan pengeras suara untuk


seluruh kegiatan di masjid, mulai dari azan sampai kepada khutbah jumat.
Bagaimana hukumnya menggunakan alat pengeras suara tersebut pada
ketika membaca rukun khutbah supaya terdengar kepada ahli jum’at,
sedangkan bila tidak digunakan pengeras suara maka suara khatib tidak
terdengar oleh mereka ahli jumat?

Jawaban:
Masalah ini adalah masalah ikhtilaf diantara para ulama semenjak dulu sampai
sekarang. Ada ulama yang mengharamkan pakai Mic/pengeras suara karena
menghilangkan keaslian suara dan ada ulama yang membolehkannya karena
suara mic membantu dan memudahkan untuk menyampaikan suara kepada para
pendengar yang tidak terdengar dengan suara asli tanpa mic. Melihat
perkembangan zaman yang begitu cepat dan pemakaian mic yang begitu
mengumumi dalam setiap kegiatan di masjid dan lainnya, baik digunakan untuk
zikir, azan, shalat, baca khutbah dan lainnya, maka memakai mic menjadi
sesuatu yang disepakati dan dibolehkan, dan pendapat yang mengatakan tidak
boleh pakai mic seakan-akan hilang/gharib.

Adapun masalah pakai mic saat baca khutbah, hukumnya wajib bagi khatib
untuk memperdengarkan bacaan rukun-rukun khutbah kepada ahli jumat yang
40 (empat puluh) orang yang memenuhi syarat ahli jumat dan wajib bagi ahli
jumat untuk mendengarnya. Menurut Syech Ibnu Hajar al-Haitsami bahwa
wajib disini pengertiannya adalah bil fi’il, yaitu wajib bagi khatib untuk
mengangkat suaranya dan memperdengarkannya bacaan rukun khutbah kepada
mereka secara kejadian/pasti dan wajib menghilangkan perkara-perkara yang
menghalangi sampainya suara kepada ahli jum’at tersebut, seperti
menghilangkan suara keributan dan lainnya, dan wajib terhadap ahli jum’at
untuk mendengarkannya. Adapun menurut Imam Ramli bahwa memadai
memperdengarkan kepada mereka dan didengar oleh mereka bil quwwah, yaitu
wajib bagi khatib untuk mengangkat suaranya supaya terdengar suaranya oleh
mereka seandainya tidak ada kegaduhan dan lainnya, dan wajib bagi ahli jum’at
untuk mendangarnya walau disela-sela kegaduhan. Maka bila mereka tidak
mendengar suara khatib karena adanya suara lain yang lebih besar dari suara
khatib, hukumnya sah menurut Imam Ramli dan tidak sah menurut Syech Ibnu
Hajar.

Dalam hal menyampaikan suara bacaan rukun khutbah kepada ahli jum’at
dengan memakai pengeras suara (mic) maka suara yang terdengar melalui
pengeras suara (mic) itu bukan lagi suara yang asli khatib karena suara asli telah
menyatu dengan suara mic. Maka ketentuannya adalah sebagai berikut:
1. Bila khatib membaca rukun-rukun khutbah tidak memakai mic maka wajib
atasnya mengangkat suara sehingga bisa didengar oleh ahli jum’at.
2. Bila khatib membaca rukun-rukun khutbah dengan memakai mic maka wajib
baginya mengangkat suaranya supaya didengar oleh ahli jumat seandainya
tidak memakai mic (mengangkat suara seperti tidak memakai mic), walau
yang terdengar pada saat itu adalah suara melalui mic dan bukan lagi suara
asli. Ini adalah sesuatu yang ihtiyath (mengambil yang lebih pasti).
3. Wajib menjawab azan yang didengar melalui suara mic dan boleh mengikuti
zikir melalui suara mic. Ini juga adalah sesuatu yang ihtiyath (mengambil
yang lebih pasti).

4. Bagaimana pengertian sihir dan tandanya?

Jawaban:
Sihir secara Bahasa adalah sesuatu barang khariqul adat yang tersembunyi
sebabnya. Secara syarak adalah sesuatu barang yang tersembunyi sebabnya dan
dikhayalkan itu bukan seperti hakikatnya, seperti tali menjadi ular pada tangan
pesulap zaman Fir’aun dan Nabi Musa
Menurut Imam Nawawi sihir adalah perkataan atau perbuatan yang berbekas
sebab (bukan bekasan hakikat) pada orang yang disihir yang dilakukan oleh
orang fasik, seperti sakit seseorang karena dimanterai atau karena ditusuk kain
dengan jarum, hal ini tersebut dalam Kitab Ziyadah Raudhah.

Beda sihir dengan keramat adalah sihir ada perbuatan atau perkataan yang luar
biasa yang disengaja oleh penyihir dan fasik, sedangkan keramah tidak ada
unsur kesengajaan oleh orang yang punya keramat atau aulia Allah. Perbedaan
lainnya adalah kalau sihir dilakukan oleh orang fasik dan keramah dilakukan
oleh para aulia Allah dan orang alim.
5. Kita sering mendengar ungkapan bahwa orang yang tidak melakukan
shalat maka do’anya tidak diterima Allah, sehingga mereka tidak diizinkan
bergabung dengan orang yang ada shalat untuk melakukan shamadiyah
dan tahlil pada tempat musibah. Bahkan ada yang melarang mereka untuk
ikut serta. Bagaimana kita menyikapinya?

Jawaban:
Orang beriman yang beri’tiqad tidak wajib shalat lima waktu dikatakan mukmin
‘ashi (maksiat), dan orang yang beri’tiqad tidak wajib shalat lima waktu adalah
murtad. Shalat yang tinggal baik secara sengaja atau tidak sengaja maka wajib di
kadha.
Orang yang tinggal shalat baik sengaja atau tidak sengaja maka tidak tertutup
kemungkinan do’anya diterima Allah, bahkan seorang kafir ada kemungkinan
do’anya diterima Allah untuk perkara dunia walaupun untuk istidraj
(peulurong/untuk mendapatkan azab yang lebih berat) dan walaupun tidak ada
fahala baginya.
Maka orang yang tidak shalat jangan dilarang untuk menghadiri tempat-tempat
zikir dan shamadiah, bahkan mereka diajak ketempat tersebut supaya mereka
mengambil iktibar (pelajaran) dengan kematian, terkadang mereka bertaubat dan
kembali rutin melakukan shalat. Rahmat Allah sangat besar, apalagi mereka
masih termasuk orang yang mentauhidkan Allah.

6. Benarkah Ulama Salaf tidak mentakwil Ayat-Ayat mutasyabihat dan


bagaimanakah pengertian Ayat Tersebut?

Jawaban:
A. Pengertian Mutasyabihat
Di dalam Kitab Ghayal Wushul karangan Syaikh Zakaria Al Anshari dan
Jam’ul Jawami’ karangan Imam Tajjus Subki dan Kitab Jam’ul Jawami’
disebutkan “bahwa tidak boleh didalam Al-Quran dan Hadist terdapat
sesuatu yang sama sekali tidak mempunyai makna”. Maka pembahasan
tentang ayat-ayat mutasyabihat bukan membahas ayat-ayat yang tidak
mempunyai makna atau arti, tetapi pembahasan tentang ayat-ayat
mutasyabihat adalah pembahasan tentang ayat-ayat yang maknanya tidak
diketahui bagaimana sebenarnya yang dimaksudkan oleh Allah ‫ ﷻ‬pada waqi’
atau kenyataan yang sebenarnya. Setelah kita tidak tahu makna yang Allah ‫ﷻ‬
maksudkan pada waqi’ adakah ayat-ayat tersebut mempunyai makna yang
sahih yang sah disandarkan kepada ayat-ayat tersebut walaupun makna
tersebut bukan makna yang Allah ‫ ﷻ‬maksudkan pada waqi’? Kalau ada
sahkan ayat itu kita maknakan dengan makna tersebut atau tidak? Kalau sah
wajibkah atau tidak wajib?
Pengertian nash mutasyabihat adalah ayat-ayat Al Qur’an atau hadits Nabi ‫ﷺ‬
yang secara dhahirnya mengindikasikan tasybih (penyerupaan Allah ‫ﷻ‬
dengan makhluk).
Di dalam kitab Aunul Murid Syarah Jauhar Al Tauhid disebutkan: “Imam
Subki berkata bahwa setiap sesuatu yang terdapat dalam Al Qur’an dan
hadits yang secara dhahir maknanya mengindikasikan Allah ‫ﷻ‬menyerupai
makhluk maka telah ijma’ (sepakat) ulama salaf dan khalaf bahwa ayat dan
hadist tersebut wajib ditakwilkan secara ijmali.
B. Definisi Takwil
Takwil yang berkenaan dengan nash mutasyabihat ini ada 2:
1. Takwil ijmali
Takwil ijmali adalah memalingkan lafaz dari makna dhahir/hakikat (tidak
memberi makna hakikat) dan tidak juga memberi/menentukan makna
murad (makna yang dimaksud) tetapi meyerahkan makna yang di
maksudkan kepada Allah ‫(ﷻ‬tafwidh ).
2. Takwil Tafsili.
Takwil tafsili adalah memalingkan lafaz dari makna dhahir/hakikat (tidak
memberi makna hakikat) dan kemudian memberi/menentukan makna
murad (makna yang dimaksud).
Takwil ijmali adalah metode Takwil sebagian Salaf dan takwil Tafsili
adalah metode takwil mayoritas Ulama khalaf dan sebagian ulama Salaf
seperti Ibnu Abbas, Sayyidina Mu’awiyah, Sayyidina ‘Ali dll.
Hal ini sesuai dengan yang tersebut dalam kitab Al Itqan Fi Ulumil Qur’an
karya Imam Jalaluddin As Sayuthi disebutkan: “Imam Maturidy berkata
bahwa takwil adalah mentarjihkan salah satu makna yang ihtimal dengan
ketiadaan qatha’ dan syahadah atas Allah, artinya tanpa mengatakan bahwa
inilah makna yang Allah ‫ﷻ‬maksudkan dari lafadz ini”
Juga dalam Burhan Fi Ulumil Qur’an karangan Imam Zarkasyi disebutkan:
“Telah berkata Abu Qasim bin Habib An Naisabury, Imam Bughuwy, Imam
Qawasyi dan yang lainya bahwa yang dimaksud dengan takwil tafsili itu
adalah memaknai ayat dengan makna yang sesuai dan yang sah disandarkan
kepadanya yang sesuai makna tersebut sebelumnya dan sesudahnya, dimana
makna tersebut diterima oleh ayat yang tidak menentang dengan Al Qur’an
dan Sunnah melalui metode istinbath”.
Kesimpulannya takwil tafsili adalah memaknai ayat-ayat dan hadits
mutasyabihat dengan makna yang sah makna tersebut disandarkan kepada
ayat-ayat dan hadits mutasyabihat tersebut dengan cara atau metode
istinbath. Istinbath merupakan sesuatu yang dhanni (dugaan kuat) bukan
qath’i (pasti) tanpa mengatakan itulah makna yang dimaksudkan oleh Allah.
C. Hukum Takwil
Setelah kita mengetahui bahwa telah terjadi ijma’ ulama salaf dan khalaf
untuk mentakwilkan ayat-ayat atau hadits mutasyabihat secara ijmali dan
hukumnya adalah wajib, maka mentakwilkan makna nash mutasyabihat
secara tafsili hukumnya adalah boleh dan tidak wajib. Hal ini seperti tertulis
dalam Kitab Manarul Huda Fi Bayanil Waqfi Wal Iqtida karangan Syaikh
Ahmad Bin Muhammad bin Abdul Karim Al Asymuny: “Memaknakan atau
mentakwil dengan makna yang sah walaupun itu bukan makna yang
dimaksudkan oleh Allah ‫ﷻ‬pada waqi’ hukumnya tidak wajib”.
Dan Imam Sayuthi juga menjelaskan di dalam Kitab Burhan Fi Ulumil
Qur’an: “Melakukan takwil tafsili tidak dilarang menurut para Ulama”.
Dari perkataan Imam Sayuthi tersebut dapat kita pahami bahwa boleh
melakukan takwil tafsili yaitu memaknai ayat-ayat mutasyabihat dengan
makna yang sah kita sandarkan kepada ayat-ayat tersebut walaupun tidak
pasti itu adalah makna yang dimaksudkan oleh Allah ‫ﷻ‬pada waqi’ karena
kita tidak tahu makna yang Allah ‫ﷻ‬maksudkan pada waqi’, namun hal ini
menjauhkan dari menyerupakan Allah ‫ﷻ‬dengan segala yang baharu.

Setelah itu kita dapat memahami apa yang tertulis dalam kitab Hasyiah Al
Bannany: “Apabila terdapat dalam Al Quran atau hadits sesuatu yang
nampaknya mengindikasikan tasybih, maka wajib dipalingkan maknanya
secara takwil ijmali, kemudian setelah itu maka boleh kita menentukan salah
satu makna murad yang shahih yang sah kita sandarkan kepadanya walaupun
itu bukan makna yang dimaksudkan pada waqi’, hal ini sebagaimana mazhab
ulama salaf, atau tidak kita tentukan makna murad artinya tidak dimaknai
dengan makna yang sahih yang sah kita sandarkan kepadanya sebagaimana
mazhab salaf”

Contoh mentakwilkan nash mutasyabihat adalah seperti kata ‫أيد‬, dipalingkan


dari makna dhahirnya yaitu bermakna tangan tetapi tidak di beri makna yang
di maksudkan dan hanya menyerahkan kepada Allah ‫ﷻ‬bagaimana maksud
dengan makna yad tersebut dengan tetap meyakini bahwa di sisi Allah ‫ﷻ‬ada
satu makna yang shahih dan layak dengan kebesaranNya, sedangkan makna
dhahir (tangan/jisim) dari yad tersebut merupakan makna yang mustahil bagi
Allah ‫ﷻ‬. Hal yang seperti demikian dikenal dengan tafwidh ba’da ta’wil
ijmaly. Dan ketika kata ‫ أيد‬ditentukan makna kepadanya bukan bermakna
tangan tapi maknanya Quwwah ( kekuasaan), maka ini dikatakan takwil
tafsili.

D. Alasan Takwil
Kenapa Ulama khalaf mentawilkan ayat-ayat mutasyabihat dengan takwil
tafsili?
Imam Alauddin Al Bukhari dalam kitab Kasyful Asrar menyebutkan:
“disamping ulama salaf, jalan yang mereka tempuh lebih aslam/selamat dan
mereka lebih tahu, tetapi Ulama khalaf berpaling dari jalan yang ditempuh
oleh ulama salaf dengan cara mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat (takwil
tafsili) karena pada masa ulama khalaf sudah mucul ahli bid’ah dan orang-
orang pengikut hawa nafsu yang menjadikan ayat-ayat mutasyabihat alat
untuk mengokohkan Mazhab mereka yang batil. Maka menjadi kebutuhan
bagi ulama khalaf untuk mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk
menghancurkan mazhab ahli bid’ah dan ahli ahwa’. Walaupun pada dasarkan
tidak wajib melakukan takwil tafsili tetapi karena faktor untuk
menghancurkan mazhab ahli bid’ah dan ahli ahwa’ maka hukumnya menjadi
wajib.

E. Adakah ulama salaf yang melakukan takwil tafsili?


Tersebut didalam Ittihaf Saadatul Muttaqin dan kitab Burhan Fi Ulumil
Qur’an: “Dalam mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat ulama salaf terbagi
dua golongan:
1. Ulama yang tidak mentakwilkan secara tafsili setelah mentakwilkan
secara ijmali, kemudian mereka menyerahkan maknanya kepada Allah ‫ﷻ‬.
2. Ulama yang mentakwilkan secara tafsili setelah mentakwilkan secara
ijmali. Diantaranya adalah Saidina Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan beberapa sahabat yang lain

F. Kesimpulan
Ulama salaf dan khalaf sepakat untuk memalingkan lafadh mutasyabihat
tersebut dari makna dhahirnya, ini merupakan keyakinan bahwa Allah ‫ﷻ‬
bersih dari sifat-sifat yang khusus pada makhluk (tanzih).
Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah di berikan makna
maksudnya ataupun tidak diberi makna tetapi diserahkan maksudnya kepada
Allah ‫ ﷻ‬sendiri. Ulama salaf lebih memilih untuk tidak menentukan salah
satu dari beberapa makna yang mungkin diterapkan pada nash tersebut.
Sedangkan para ulama khalaf, dikarenakan pada masa mereka sudah
berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah ‫ ﷻ‬dengan sifat makhluk, maka
mereka menafsirkan nash mutasyabihat tersebut dengan makna yang layak
bagi Allah ‫ ﷻ‬yang sesuai dengan qaedah bahasa Arab sendiri.
Sikap yang di lakukan oleh para ulama khalaf ini bukanlah satu perkara
bid’ah, karena kenyatannya takwil tafshily juga pernah di lakukan oleh
sebagian ulama salaf seperti Saidina Ali, Saidina Mu’awwiyah, Ibnu Abbas
dll sebagaimana di sebutkan oleh Imam ath-Thabari dalam tafsir beliau
ketika menafsirkan ayat 47 surat az-Zariyat:
ْ‫ْحدثين‬:ْ‫ْذكرْمنْقالْذلك‬.‫ْوبنحوْالذيْقلناْيفْذلكْقالْأهلْالتأويل‬.‫ْوالسماءْرفعناهاْسقفاْبقوة‬:‫يقولْتعاىلْذكره‬
.‫ْبقوْة‬:‫َالسمَاءَْبَنَيْنَاهَاْبِأَْيدٍ)ْيقول‬
َّ ‫ْقولهْ(و‬،‫ْعنْابنْعباس‬،ّ‫ْعنْعلي‬،‫ْثينْمعاوية‬:‫ْقال‬،‫ْثناْأبوْصاحل‬:‫ْقال‬،ّ‫علي‬

Artinya: Berkatalah Allah ‫ﷻ‬yang maha tinggilah perkataanNya; demi langit


yang kami tinggikan atapnya dengan kekuatan (kami). penafsiran seumpama
ini di sebutkan oleh ahli takwil. Golongan yang berpendapat demikian
meriwayatkan; memberi hadits padaku oleh Ali, ...memberi hadits oleh
Mu`awwiyah dari Saidina Ali dari Saidina Ibnu Abbas, firman Allah ‫ﷻ‬
‫ َوالسَّ َما َء بَ َن ْي َنا َها ب ِ َأيْد‬, beliau berkata; maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).

(Tafsir Thabari, Jilid 22 Hal 438, Muassis ar-Risalah Th 2000)

Dari nash Imam ath-Thabari tersebut jelas bahwa Saidina Ibnu Abbas juga
melakukan takwil tafshily.
Adapun golongan yang sama sekali tidak mentakwilkannya tetapi
menfsirkannya dengan makna dhahirnya maka mereka adalah golongan
Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk)
sebagaimana di jelaskan oleh Imam Zarkasyi dalam al-Burhan:

ْ‫ْأنهْالمدخل‬:ْ‫ أحدها‬:‫ق‬ ْ ‫وقدْْاختلفْالناسْىفْالواردْمنها ْ– ْيعىنْاملتشاهبات ْ– ْ ىفْاآلياتْواألحاديثْعلىْثالثْفر‬


ْ‫ْأنْهلاْتأويالْولكناْمنسكْعنهْمعْتنزيه‬:ْ‫ الثانية‬.‫ْبلْجترىْعلىْظاهرهاْوالنؤولْشيئاْمنهاْوهم ْاملشبهْة‬,‫للتأويلْفيها‬
‫ْ أهناْ مؤولةْ وأولوهاْعلىْ ماْيليقْبْه‬:ْ‫ والثالثة‬. ‫ف‬
ْ ‫اعتقادناْعنْالشبهْ والتعطيلْ ونقولْاليعلمهْ إال ْاهللْ وهوْ قولْالسل‬
ْ‫ واألولْباطلْيعينْمذهبْاملشبهةْواألخرانْمنقوالنْعنْالصحبة‬.

Artinya : Sungguh berbedalah pendapat para ulama tentang ayat dan hadits
mutasyabihat mejadi tiga pendapat :
1. Tidak ada takwil sama sekali pada ayat tersebut, tetapi di berlakukan
sebagaimana makna dhahirnya dan tidak di takwilkan sama sekali,
mereka adalah kaum MUSYABIHAH (kaum yang menyerupakan Allah
dengan makhluk).
2. Ada takwil tetapi kami menahan diri darinya (tidak menentukan makna
yang di maksudkan) serta meyakini bersihnya Allah SWT dari serupa dan
ta’thil (meniadakan sifat bagi Allah) dan kami berkata hanya Allah SWT
yang mengetahui maknanya, ini pendapat Salafi.
3. Ayat dan hadits tersebut di takwil dan para ulama mentakwilnya (diberi
makna) berdasarkan makna layak dengan Allah SWT.
Yang pertama BATHIL yaitu mazhab MUSYABIHAH sedangkan dua
pendapat yang akhir juga di riwayatkan dari sahabat. (Imam Zarkasyi, al-
Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 4 Hal 78, Beirut, Dar Ma’rifah th 1391 H)
7. Ada sebahagian daerah di Aceh melakukan zikir atau shalawat Nabi pada
acara maulid dengan cara mengoyang-goyangkan badan sambil memukul
pelepah pinang (peh situek) dengan alasan itu merupakan sebuah seni atau
kesenian. Bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Suatu gerakan/lingiek yang terjadi ketika seseorang melakukan zikir,
bershalawat atau lainnya terbagi kepada 3 (tiga) bahagian:
1. Raqash/lingiek yang dilakukan oleh arbabul ahwal (orang yang sudah
zuq/lezat dengan zikir) berupa gerak kepala atau badan secara tidak sengaja
(ketiadaan ikhtiar) dan raqash itu terjadi karena semata-mata tabi’at, maka
gerakan tersebut tidak makruh hukumnya dan juga tidak haram. Hal ini
seperti gerakan ketika berzikir dan tahlil bagi yang melakukannya.

2. Gerakan secara berirama dan berwazan yang dilakukan karena mengikuti


irama, wazan, kasidah atau zikir-zikir tersebut dengan tetap tempat duduk
kalau dia melakukannya sambil duduk dan tetap pada tempat berdiri kalua
dia melakukannya sambil berdiri dan tidak ada takassur (menari) dan
tatsannin (bergoyang), sebagaimana tersebut didalam kitab Bughyatul
Mustarsyidin bahwa berkata Ibnu Hajar bahwa hukumnya adalah makruh.
Dan tersebut dalam Kitab Kafful Ru’ak bahwa makruh adalah hukum yang
muktamat (kuat).
Tersebut dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj juz 10 hal. 235 (maktabah syamilah)
dan Kitab lainnya bahwa sekali melakukan gerakan raqash dengan tetap
pada kedudukannya bagi orang yang tidak layak melakukannya dapat
menghilangkan marwahnya, dan memperbanyak atau berulang-ulang
mengerjakannya bagi orang yang layak melakukannya dapat menghilangkan
marwah orang tersebut,
‫ْأماْغريهْْفيسقطهاْمنهْمرةْكماْهوْظاهرْمنْقولهْواألمرْإىلْآخرْه‬،‫ْممنْيليقْبه‬:‫(وإدامةْرقص)ْأي‬

Kemudian tersebut dalam Kitab Hasyiah Bujairimi:


ْ‫وهلْتعاطيْخارمْاملروءةْحرامْمطلقاْأوْمكروهْمطلقاْأوْيفصلْأقوالْوالراجحْأنهْإنْتعلقتْبهْشهادةْحرمْبأنْكان‬
ْ‫ْوعبارةْشرحْمْرْاعلمْأنهْقدْاختلفْيفْتعاطيْخارمْاملروءةْعلى‬،ْ‫شهادةْوإالْفالْبابليْوينبغي ْ الكراهة‬ْ ‫متحمالْال‬
ْ‫أوجهْأوجههاْحرمتهْإنْترتبْعليهاْردْشهادةْتعلقتْبهْوقصدْ؛ْذلكْألنهْحيرمْعليهْالتسببْيفْإسقاطْماْحتمله‬
ْ .ْْ‫وصارْأمانةْعندهْلغريهْوإالْفالْاْهـْحبروفه‬

Melakukan suatu perbuatan yang dapat merusak marwah terdapat 3 (tiga)


pendapat ulama:
1. Haram muthlak.
2. Makruh muthlak.
3. Terdapat tafsil/pembagian hukumnya yaitu: bila orang ini telah
ta’alluq/terikat syahadah atasnya (pernah menjadi saksi, baik saksi nikah
dan lainnya) atau tertentu syahadah atasnya karena tidak ada orang lain
untuk menjadi saksi maka hukumnya haram, namun bila belum pernah
menjadi seorang saksi atau ada saksi lain selain dia maka patut baginya
dihukumkan makruh.
Maka memperhatikan hal ini, sangat ditekankan kepada para guru-
guru, santri-santri dan pimpinan-pimpinan Dayah untuk melarang
para santri dan masyarakat berzikir/meudikee yang berirama dengan
cara raqash (lingiek) walaupun lingiek masih tetap kedudukannya
(tidak takassur atau takhannus), karena hal ini dapat menghilangkan
marwah dan sehingga hukumnya haram. Sangat besar harapan
masyarakat kepada kita orang Dayah untuk menjadi saksi, jangan
sampai kita tidak sah lagi menjadi saksi.

3. Raqash yang ada padanya takassur, tastannin atau takhannuts (goyang


seperti perempuan), maka tersebut dalam Kitab Kafful Ru’ak bahwa
melakukan hal itu hukumnya haram secara muthlak.

Menyangkut masalah zikir peh situek atau peh kipah.

Tersebut dalam Kitab Hawi al-Kabir karangan Imam Mawardi bahwa memakai
alat lahwin/permainan yang padanya terdapat irama dan dapat menenangkan
hati terdapat 3 (tiga) hukum ketentuannya:
a. Boleh, memakai alat lahwin yang hukumnya boleh adalah dipakai untuk
maksud inzar (menakuti musuh) seperti memukul genderang perang bagi
pasukan, memukul rebana saat pesta perkawinan untuk mempromosikan
perkawinannya kepada orang lain, memukul tambur karena ada orang
meninggal, dan lain-lain.
b. Makruh, yaitu alat yang tidak punya irama yang menyenangkan pada dirinya,
namun jika dipukul disertai dengan nyanyian akan menimbulkan irama yang
menyenangkan hati. Dan jika dipukul dengan tidak disertai nyanyian maka
tidak makruh karena padanya tidak terdapat irama atau suara yang
menyenangkan hati.
c. Haram, seperti seruling, gitar, piano dan lainnya. Pada semua alat lahwin
golongan ini terdapat irama yang menggoda dan menyenangkan hati
walaupun tidak disertai dengan nyanyian.
Tersebut dalam Kitab Iqna’ Bujairimi dan Azzawajir bagi Ibnu Hajar bahwa
termasuk dalam bahagian alat lahwin yang haram dipakai adalah:
- Sanjun atau Shifaqataini: dua piring yang terbuat dari tembaga
diletakkan berdempet, saat dipukul maka keduanya berbenturan dan
mengeluarkan suara yang indah dan menyenangkan hati.
- Qathian: dua talam walaupun bukan terbuat dari tembaga
- Khasybataini: dua kayu yang dibuat seperti sanjun dan digunakan juga
seperti penggunaan sanjun, maka hukumnya juga haram.

Ketika kita perhatikan bentuk situek atau kipah yang dibuat oleh orang
zikir peh situek maka bentuknya sangat mirip dengan sanjun, qathian dan
khasybataini, demikian juga dalam penggunaan saat sipukul pada paha,
tangan atau lantai maka akan mengeluarkan suara yang indah mengikuti
irama, maka hukumnya adalah haram dan termasuk dalam golongan
ketiga (haram).
Kalaupun kita golongkan kedalam golongan kedua (yaitu makruh),
namun mengekalkan dan berulang-ulang melakukannya akan
menghilangkan marwah dan hukumnya telah dibicarakan diatas pada
poin kedua hukum menghilangkan marwah.

8. Bagaimana penjelasan tentang perkara ‘adiy (adat) dan bekasannya seperti


api membakar dan air menghilangkan dahaga, yang berhubungan dengan
wahdaniyah Allah? Mohon penjelasan yang lengkap dengan bahagiannya
masing-masing agar masyarakat terlepas dari aqidah yang dapat
menyebabkan kafir.

Jawaban:
A. Perbuatan Makhluk
1. Perbuatan Iktiariyah
Telah dimaklumi bahwa tidak ada sama sekali bekasan qudrah makhluk
dalam mewujudkan dan menciptakan perbuatan dan pekerjaan yang
dilakukannya tetapi semua itu adalah ciptaan Allah Swt, karena jika diikut
sertakan bekasan qudrah makhluk tentu akan dibayangkan terwujudnya 2
(dua) ta’stir (pemberi hasil) pada satu objek kerja, hal demikian adalah
mustahil yang tidak diterima akal. Sementara itu qudrah makhluk dalam
kaitan terhadap suatu aktifitas yang dilakukannya ditinjau pada asal
masalah adalah merupakan sifat wujudi (‘aradh) yang diciptakan pula
oleh Allah Swt seiring dengan diciptakan perbuatan dan pekerjaan
ikhtiariah. Qudrah makhluk tersentuh dan terkait dengan perbuatan dan
pekerjaannya tidaklah berfungsi sebagai alat (sifat) ta’stir, tetapi
hanyasanya Allah memberlakukannya secara adat agar dapat dipandang
dan mudah dicerna oleh imajinasi manusia dan tergerak untuk
menganalisanya secara mendalam, akan tetapi bahwa hakikatnya adalah
sesungguhnya Allah menciptkan qudrah seiring dengan diciptakan objek
kerja qudrah tersebut, bukan dalam artian Allah menciptakan objek kerja
makhluk dengan qudrah makhluk itu sendiri, Allah menjadikan wujud
qudrah makhluk tersebut seiring dengan diciptakan perbuatan dan
pekerjaan makhluk agar memenuhi syarat untuk taklif makhluk dengan
semua objek kerja yang ternisbah kepadanya sehingga membuka peluang
yang lebar untuk dituntut mereka atas usaha mereka terhadap segala
sesuatu, baik dalam bentuk pemberian pahala ataupun pemberian
hukuman dan siksa.
Iringan (iqtiran) dan kaitan (ta’alluq) qudrah baharu (makhluk) dengan
objek perbuatan dan pekerjaannya tanpa wujudnya ta’stir tersebut dinamai
dalam istilah ‘uruf dan syara’ dengan “al-Kasb” dan “al-Iktisab”. Al-kasb
(juga al-iktisab) adalah diithlakkan/diistilahkan maknanya keatas segala
sesuatu yang dikuasakan (al-maqduur adalah gerakan dan diam yang ada
pada makhluk) terhadap sesuatu yang lain dan juga diithlakkan pula
keatas iqtiran qudrah dengan sesuatu yang dikuasakan (al-maqduur).
Dalam kitab Syarah al-Aqidah al-Kubraa Imam Sanusie karangan Syaikh
al-Allamah Ahmad bin al-‘Aqil al-Diimanie, disebutkan bahwa : “hakikat
al-kasb adalah ta’luk qudrah hadistah dengan sesuatu yang
ditakdir(gerakan dan diam) pada tempat qudrah hadistah tersebut tanpa
memberi bekas, dengan demikian berbedalah dengan ta’luk qudrah
qadim, karena qudrah qadim terkait dengan perbuatan, dari itu ta’luk
qudrah hadistah disebut kasb dan iktisab sedangkan ta'luk qudrah qadim
dinamai dengan ikhtira’ dan iijaad, maka dapatlah dikatakan bahwa
insan itu dengan sebutan “muktasib ghairu khaliq, sedangkan Allah Allah
disebut dengan “Khaliq ghairu muktasib”
2. Perbuatan Ikhtira’iyah
Perbuatan dan pekerjaan ikhtira’iyah adalah suatu perbuatan dan
pekerjaan makhluk yang diciptakan Allah tetapi tidak diciptakan qudrah
seiring dengan diciptakan perbuatan dan pekerjaan tersebut, maka
perbuatan dan pekerjaan tersebut khas dengan Allah Swt, akan tetapi
tidak juga dinisbahkan kepada Allah.
Terlihat jelaslah perbedaan antara dua sifat perbuatan dan pekerjaan
tersebut, maka jika perbuatan dan pekerjaan makhluk diciptakan seiring
dengan diciptakan qudrah baharu disebut dengan “ikhtiariah” dan jika
perbuatan dan pekerjaan makhluk diciptakan tidak seiring dan tidak
terkait dengan qudrah (dalam arti tidak diciptakan qudrah baharu) maka
dinamakanlah dengan “ikhtira’iyah”.
Sementara makhluk yang diciptakan qudrah seiring dengan diciptakan
perbuatan dan pekerjaannya disebutlah dengan “mukhtar” karena wujud
perbuatan dan pekerjaan beriringan dengan wujud qudrah sebagai
pertanda bahwa wujud ikhtiar (diciptakan ikhtiar) itu beriringan pula
dengan penciptaan qudrah hadistah dan wujud (diciptakan) perbuatan dan
pekerjaan, untuk itu diketahuilah bahwa ikhtiar (keinginan dan pilihan)
makhluk terhadap suatu perbuatan dan pekerjaannya merupakan sebab
‘ady (adat) untuk Allah ciptakan perbuatan/pekerjaan dan qudrah
sekaligus.
Sedangkan orang (makhluk) yang diciptakan perbuatan dan pekerjaan
tidak disertai dengan diciptakan qudrah (tentunya tidak diciptakan pula
ikhtiar) disebutlah dengan “majbur dan mudhthar (terpaksa)”, seperti
gerakan gemetaran ketika sakit atau sangat dingin, tidak terlalu sukar
untuk membedakan antara perbuatan dan pekerjaan ikhtiariah dan
ikhtira’iah (ijbar dan idhthar) bagi mereka yang telah memahaminya.
B. Lima Kelompok Dalam Menyikapi Perbuatan Manusia
1. Falasafah, mereka adalah kelompok yang menafikan sifat pada zat Allah
dengan alasan kemurnian zat Allah, sehingga dengan wujudnya akan
wujud sesuatu selain Allah maka mereka menafikan hak penciptaan
Allah. Wujud makhluk itu melalui ta’lil dan thab’i. Orang-orang falsafah
juga berpandangan bahwa alam semesta adalah Qadim seperti Allah.
2. Jabbariyah, mereka mengatakan bahwa semua perbuatan dan pekerjaan
makhluk adalah sama statusnya, yaitu tidak diciptakan qudrah seiring
dengan diciptakan perbuatan dan pekerjaan, dengan demikian semua
perbuatan dan pekerjaan makhluk adalah ijbar (paksaan) dan idhthar dan
pelakunya disebut dengan mujbar dan mudhthar.
3. Qadariyah, mereka menyakini bahwa semua perbuatan dan pekerjaan
makhluk adalah hasil kerja (ta’stir) qudrah (hadistah) sesuai dengan
ketentuan iradah pelakunya (makhluk), iradah juga merupakan kekuatan
yang tersimpan pada makhluk sebagai bagian ciptaan Allah juga.
Sementara makhluk punya hak ta’sir dan Allah hanya cukup menciptakan
kudrah dan makhluk sendiri yang akan menciptakan perbuatan sendri.
4. Mu’tazilah, mereka menyakini bahwa dengan kekuatan qudrah baharu
yang telah dicipta dan disimpan pada makhluk itulah sebagai penta’stir
pada perbuatan dan pekerjaan makhluk model ikhtiariah.
Adapun perbedaan antara Qadariah dan Mu’tazilah adalah: Qadariah
berkata qudrah baharu tersebut yang menciptakan kekuatan dirinya
sendiri sehingga mampu menciptakan perbuatan dan pekerjaan dirinya
sendiri, sementara Mu’tazilah menyatakan pada qudrah tersebut Allah
ciptakan dan menyimpan suatu kekuatan, dengan kekuatan tersebutlah
makhluk akan mewujudkan perbuatan dan pekerjaannya.

5. Ahlussunah, meyakini bahwa setiap hamba itu dari jenis ikhtiyah disebut
mukhtar dan dari jenis ikhtiri’ disebut majbur. Allah yang menciptakan
semua perbuatan makhluk. Sedangkan terkait taklif dihubungkan dengan
perbuatan ikhtiyar.
Perlu diketahui bahwa antara Ahlussunah dan Mu’tazilah, Jabariah
dan Qadariah terdapat persamaan dalam penamaan jenis perbuatan
dan pekerjaan makhluk, tetapi dari sisi substansi sangat jauh
bedanya, karena dalam pandangan Ahlussunnah bahwa makhluk
berkaitan dengan perbuatan dan pekerjaan ikhtiari disebut dengan
“mukhtar pada lahir tetapi majbuur pada batin” karena pada
hakikatnya ikhtiar itu juga masuk dalam ciptaan Allah Swt,
sementara Mu’tazilah menyebutkannya dengan “mukhtaar lahir dan
batin”, Jabariah menamai dengan “majbur lahir dan batin, dan
Qadariah mengistilahkan dengan“mukhtar lahir dan batin.

C. Hukum Ady (Adat)


Hukum ady (adat) adalah
‫س‬
ْ ‫احلكمْالعادىْاثباتْالربطْبنيْامرْوامرْوجوداْاوْعدماْبواسطةْتكرارْالقرانْبينهماْعلىْاحل‬

Artinya: hukum ‘ady ialah penetapan keterikatan antara dua perkara baik
dibidang wujud atau ‘adam melalui perantaraan berulang kali antara
keduanya, melalui pengamatan indera baik lahir ataupun bathin, seperti
hukum api membakar, parang memutuskan, air atau hujan membasahkan
dan menyuburkan tanah dan lain-lainnya.
D. Pembagian Kelompok Terkait Perbuatan Ady
1. Kufriyah, mereka meyakini sebab itu sendri yang memberi bekas.
Talazum antara keduanya talazum ‘aqly. Akidah semacam ini dihukum
kafir.
2. Bid’ah, orang-orang yang meyakini sebab ady memberi bekas dengan
kekuatan yang Allah ciptakan. Talazum keduanya adalah talazum ‘ady.
Menurut pendapat yang shahih mereka tidak dihukum kafir.
3. Juhalak, orang-orang yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya yang
memberi bekas pada musabbad ady adalah Allah semata Tetapi mereka
berkeyakinan bahwa mulazamah antara sebab dan musabbab adalah
talazum aqliah, tidak mungkin menyalahinya, pandangan semacam ini
adalah akidah orang-orang bodoh, sering terbawa kearah kekafiran,
karena mungkin saja mereka akan mengingkari semua masalah yang
bertentangan dan menyalahi adat, seperti hari kebangkitan dan hidupnya
(menghidupkan) orang-orang mati.
4. Najiyah, orang-orang yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya yang
memberi bekas pada musabbab ‘ady adalah Allah semata, sedangkan
talazum antara sebab dan musabbab adalah talazum ‘adiyah,
memungkinkan wujudnya sebab tanpa wujud musabbab, seperti ada
sentuhan api tetapi tidak menghanguskan, makan tidak mengenyangkan,
akidah dan keyakinan semacam ini adalah akidah dan keyakinan yang
benar dan mendapatkan kemenangan di sisi Allah, yaitu akidah
Ahlussunnah waljama’ah.

9. Bagaimana bila seseorang menyebutkan sahabat Rasul dan para ulama


dengan sifat yang buruk, seperti mensifati Saiyidina Umar bin Khattab dan
Saiyidina Ali bin Abi Thalib dengan “Mantan Pembunuh dan Pemabuk”,
dan sering disebut-sebut dalam khalayak ramai
Jawaban:
Seandainya kita menyebut sahabat Nabi seperti Saidina Umar dan Saidina Ali
yang sudah dijamin masuk syurga oleh Rasullullah dan mendapat gelar
Radhiyallahu ‘Anhu dengan kata “Mantan Pembunuh dan Pemabuk” hukumnya
tidak boleh dan menjadikan orang yang menyebut begitu menjadi fasiq dan
kufur karena seseorang yang telah masuk islam semua dosanya yang dilakukan
sebelum islam diampuni oleh Allah. Sahabat Nabi wajib kita cintai karena cinta
kepada sahabat cinta kepada Nabi. Oleh sebab itu, tidak boleh kita menyebut
sahabat Nabi dengan kata-kata yang tidak pantas.

10. Dan bagaimana hukumnya bila seorang ustadz mengajak muridnya untuk
mengkadha shalat Rasulullah SAW?

Jawaban:
Tidak boleh kita mengkadha shalat Rasulullah SAW karena berbagai alasan,
diantaranya:
a. Rasulullah tidak pernah meninggalkan shalat secara sengaja, baik ketika
Beliau sehat atau sakit, kecuali Ketika terjadi peperangan dan saat itu
belum turun wahyu tentang shalat dalam peperangan dan shalat tersebut
pun telah dilaksakan setelahnya.
b. Meninggalkan shalat adalah termasuk dosa sangat besar bahkan yang
dilakukannya akan dipotong lehernya dengan mengikuti ketentuan-
ketentuannya, dengan demikian kita secara tidak langsung berarti kita
sudah mendakwa dan menuduh Rasul merupakan salah seorang pelaku
dosa besar, padahal Allah SWT tetap menetapkan seluruh rasul ma’shum
(terpelihara) dari dosa.
Demikian hasil Muzakarah ini kami sampaikan, semoga bermanfaat untuk kita
semua. Amin ya Rabbal Alamin.

Aceh Timur, 06 November 2022 M


11 Rabiul Akhir 1444 H

Tim Perumus:

Tgk. Fitriadi Baharuddin, S.H Tgk. Zulfirman T.Ismail, S.Pd

Moderator

Tgk. H. Abdul Manan

Mengetahui Pemateri

Tgk. H. Muhammad Ismi, Lc Tgk. H. Nuruzzahri Tgk. H. Muhammad Amin Daud

Tgk. H. Muhammad Ja’far Sulaiman Tgk. H. Muhammad Sufi Ibrahim

Tgk. Abu Yaziz Al-Yusufi Tgk. H. Muhammad Daud Hasbi, M.Ag

Mengetahui,

Pimpinan Dayah Bustanul Huda

Tgk. H. Muhammad Ali

Anda mungkin juga menyukai