Anda di halaman 1dari 65

KEMENTRIAN AGAMA RI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
FAKULTAS USHULUDDIN
Jl. A. H. Nasution No. 105 Cibiru Telp. 022-7802275 Fax. 022-7803936 web: www. uin-sgd. net
Bandung 40614

KISI-KISI UJIAN KOMPREHENSIF KEJURUSANAN


PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN
UIN BANDUNG

I. Penjelasan Asas-asas Aqidah :

1. Jelaskan pengertian aqiah sebagai sistem dalam kontek Al-Qur’an ?

Aqidah imam Empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh
al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dgn apa yg menjadi pegangan para sahabat dan tabiin.
Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat
untuk beriman kpd sifat-sifat Allah, bahwa al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk
dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yg
terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu
Taimiyyah menuturkan, Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para
imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka
mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah al-Qur’an, dan
tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.

Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dpt
dilihat di akhirat, al-Qur’an ialah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu
memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

1
Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yg masyhur itu juga menetapkan tentang
ada sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an ialah kalam Allah bukan makhluk.
Dan bahwa Allah itu dpt dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabiin, baik yg
termasuk Ahlul Bait dan yg lain. Dan ini juga madzhab para imam yg banyak penganutnya,
seperti Imam Malik bin Anas, Imam ats-Tsauri, Imam al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Auza’i,
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.

Imam Ibnu Taimiyyah pernah dita tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, Aqidah Imam
Syafi’i dan aqidah para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam al-Auza’i,
Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih ialah
seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al-Fudhal, Imam Abu
Sulaiman ad-Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tdk berbeda penddpt
dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau
dalam masalah tauhid, qadar dan sebagai ialah sama dgn aqidah para imam tersebut di atas.
Dan aqidah para imam itu ialah sama dgn aqidah para sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai dgn apa
yg dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.

Aqidah inilah yg dipilih oleh al-Allamah Shidq Hasan Khan, dimana beliau berkata : Madzhab
kami ialah mazhab ulama salaf, yaitu menetapkan ada sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-
Nya dgn sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil
(meniadakan makna dari ayat-ayat yg berkaitan dgn sifat-sifat Allah). Mazdhab tersebut ialah
madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ats-
Tsauri, Imam Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tdk berbeda pendpt
mengenai ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidah dgn para imam
diatas, yaitu aqidah yg sesuai dgn apa yg dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.

2. Jelaskan pengertian aqidah sebagai system epistemology dalam kontek pemikiran para
teolog, sufi dan filosuf muslim ?

Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah/sekte selain Ahlus Sunnah sebagai nama
dari ilmu Al-Aqidah, dan yang paling terkenal di antara ialah:

2
[1]. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin, seperti aliran
Mu’tazilah, Asy-Ariah dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh
dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan
mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah degan tidak dilandasi
ilmu. Dan larangan tdk boleh nama tersebut dipakai juga ka-rena bertentangan dgn metodologi
ulama Salaf di dalam mene-tapkan masalah-masalah Al-Aqidah.

[2]. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yg sejalan dgn mereka. Ini ialah nama yg tdk
boleh dipakai dalam Al-Aqidah, karena dasar filsafat itu ialah khayalan, rasionalitas, fiktif dan
pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yg ghaib.

[3]. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yg sejalan
dgn mereka. Ini ialah nama yg tdk boleh dipakai dalam Al-Aqidah, karena merupakan pena-
maan yang baru lagi diada-adakan. Di dalam terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan
pengakuan-pengakuan khurafat mereka dijadikan sebagai rujukan di dalam Al-Aqidah.

Kata Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada) setelah itu atau
masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa


Maslakan: Aqidah jelas bahwa Tashawwuf me-miliki pengaruh dari kehidupan para pendeta
Nashrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini
banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dgn
tauhid. Islam memberikan pe-ngaruh yg baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara
ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) Rahimahullah berkata di dalam buku at-
Tashawwuf al-Mansya’wal Mashaadir: Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang
ajaran Shufi yang per-tama dan terakhir (belakangan) serta pendpt-pendpt yg di-nukil dan

3
diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yg lama maupun yg baru, maka kita akan
melihat dgn jelas per-bedaan yg jauh antara Shufi dgn ajaran al-Qur-an dan as-Sunnah. Begitu
juga kita tdk pernah melihat ada bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sllam dan para Shahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum, yg mereka ialah (sebaik-baik)
pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul).
Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran tasawwuf diambil dari para pendeta Kristen,
Brahmana, Hindu, Yahudi, serta kezuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yg mrpk
Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yg
dilaku-kan oleh orang-orang Shufi belakangan.

Syaikh Abdurrahman al-Wakil Rahimahullah berkata di dalam kitab-nya, Mashra’ut


Tashawwuf: “Sesungguh Tashawwuf itu ialah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaitan
telah memuntuk hamba Allah tertipu atas dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguh Tashawwuf ialah (sebagai) kedok Majusi agar ia
terlihat sebagai seorang yg ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila
diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran
Brahmanisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nashranisme dan Paganisme.

[4]. Ilahiyyat (Teologi)


Ini ialah nama yg dipakai oleh Mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para
pengikutnya. Ini juga mrpk penamaan yg salah sehingga nama ini tdk boleh dipakai, krn yg
mereka maksud ialah filsafat kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum Mutakallimin
tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka.

[5]. Kekuatan di Balik Alam MetafisikaSebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis
Barat serta orang-orang yg sejalan dgn mereka. Nama ini tdk boleh dipakai, krn ha berdasar
pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dgn al-Qur-an dan as-Sunnah.

Banyak orang yg menamakan apa yg mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yg
mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tdk mempunyai dasar
(dalil) Aqli maupun naqli.

4
Sesungguh Ãqidah yg mempunyai penger-tian yg benar yaitu Ãqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah yang bersumber dari al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang shahih serta Ijma Salafush Shalih.

3. Jelaskan pengertian aqidah sebagai sistem ideologis dalam berpikir, bersikap dan
bertingkahlaku dalam proses pencarian kebenaran ?

Perlu dipahami di awal bahwa istilah aqidah tidak pernah digunakan dalam teks Al Qur’an
maupun sunnah Rasul Saw. Istilah aqidah baru dikenal dan digunakan oleh para ulama
ushuluddin. M. Husain Abdullah dalam Dirasat fi al-Fikr al-Islami menyampaikan bahwa
ditinjau dari bahasa
arab, aqidah berasal dari kata kerja 'aqada yang bermakna syadda (menguatkan atau
mengikatkan). Kata 'aqada ini dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai pengertian yang
intinya mengandung makna ikatan atau penguatan, misalnya ‘aqdu al-habl (mengikatkan tali),
‘aqdu al-bai’ (mengadakan ikatan atau akad jual-beli), ‘aqd al’ahdi (mengadakan ikatan atau
akad perjanjian) dan sebagainya. Masih secara bahasa, aqidah dapat pula bermakna ma
in’aqada ‘alaihi al-qalbu, yaitu sesuatu yang hati itu terikat padanya. Adapun pengertian
in’aqada adalah jazama bihi (hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan (hati itu
membenarkan secara yakin atau pasti). Jadi, menurut bahasa, aqidah adalah segala pemikiran
yang dibenarkan secara pasti oleh hati, sedemikian hingga hati itu terikat kepadanya dan
memberi pengaruh nyata pada manusia.

Ditinjau dari istilah, aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia,
dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan
dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan
dunia tersebut Hafidz Abdurrahman dalam Diskursus Islam, Politik dan Spiritual memberikan
definisiaqidah secara global sebagai aqidah pemikiran yang menyeluruh mengenai manusia,
kehidupanserta hubungan diantara semuanya dengan apa yang ada sebelum kehidupan
(Pencipta) dansetelah kehidupan (Hari Kiamat), serta mengenai hubungan semuanya dengan
apa yang adasebelum dan setelah kehidupan (syariat dan hisab), yang diyakini oleh qalbu

5
(wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai
dengan realitas (yang diimani), dan bersumber dari dalil.
Dalam konteks Islam, aqidah Islam bisa didefinisikan dengan iman kepada Allah,
Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha dan Qadar dimana baik dan buruknya semata-
mata dari Allah, yang diyakini oleh qalbu (wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi
pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil.
Sedangkan makna iman itu sendiri adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an
aldaliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan dalil/bukti).
Pembenaran pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan (dzann)
sedikitpun. Sesuai dengan kenyataan artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya,
bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah). Ditunjang dengan suatu dalil artinya keimanan
tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran
yang bersifat pasti. Imam al-Ghazali menyatakan: "Iman adalah pembenaran pasti yang tidak
ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya. ”Aqidah dibangun
atas dasar pemikiran rasional (aqliyah) Aqidah Islam bukanlah suatu keyakinan yang dibangun
atas dasar doktrin atau taklid semata. Namun, aqidah Islam haruslah muncul dari proses
berfikir secara rasional. Imam Syafi'I dalam kitab Fiqhul Akbar berkata:
"Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil
untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan
qalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan
cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari
pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu
kewajiban dalam bidang ushuluddin."

Pemikiran rasional yang membangun sebuah aqidah juga pernah ditunjukkan oleh seorang
arab baduy yang suatu ketika ditanyakan kepadanya "Dengan apa engkau mengenal Rabbmu
?" Dia menjawab :
"Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang
yang berjalan. Bukankah gugusan bintang yang ada di langit dan ombak yang bergelombang
di laut menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa."
Allah SWT berfirman:

6
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-
nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS.Al-Baqarah: 164]
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” [QS. Ali Imran: 190]

Ayat di atas dan masih banyak lagi ayat yang serupa mengajak manusia untuk memperhatikan
segenap kandungan alam semesta dengan seksama dan memperhatikan apa yang ada di dalam
diri dan sekelilingnya. Semua itu merupakan bukti nyata adanya Pencipta yang Maha
Mengatur. Dengan cara itu, imannya kepada Allah SWT merupakan keyakinan yang ma ntap
karena berdasarkan bukti yang nyata dan rasional. Islam memperingatkan manusia untuk tidak
mengikuti begitu saja keyakinan dan jalan hidup yang ditempuh oleh nenek moyangnya tanpa
meneliti sejauh mana kebenaran pilihan tersebut. Dengan kata lain, Islam telah melarang
seorang muslim bertaqlid dalam masalah keyakinan atau aqidahnya. Allah SWT berfirman :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,’ mereka
menjawab,‘(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS. Al-
Baqarah: 170]
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan
mengikuti Rasul. ’mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-
bapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat
petunjuk?” [QS. Al-Maidah: 104]

7
Ayat-ayat di atas menunjukkan secara tegas larangan pada setiap manusia untuk mengikuti
begitu saja (taqlid) kepada nenek moyangnya dalam masalah aqidah. Keyakinan atau aqidah
yang diperoleh dengan jalan taqlid adalah keimanan yang rapuh, mudah sekali digoncang oleh
berbagai cobaan dan tantangan. Abdul Majid Az-Zindani menyatakan :
“Kalau manusia ingin memiliki iman yang benar, ia harus berilmu (menggunakan akalnya)...
sebab iman yang didapat dan dipertahankan dengan jalan taqlid kepada orang lain akan segera
goncang justru di awal menghadapi cobaan dan serangan.”

Inilah proses membangun aqidah yang diajarkan Islam. Aqidah yang dibangun berlandaskan
pemikiran yang jernih hasil proses pengamatan atas bukti-bukti yang nyata yang terhampar di
alam semesta ini. Melalui pengamatan dan pemikiran inilah seseorang akan sampai kepada
keyakinan tentang eksistensi Allah SWT. Walaupun wajib atas manusia menggunakan akalnya
dalam membangun aqidahnya, namun tidak mungkin akal tersebut akan menjangkau semua
hal. Akal hanya mampu menjangkau sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera (al-waqi’ al-
mahsus), yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Mengenai keterbatasan akal ini, Syaikh
Taqiyuddin An Nabhani menetapkan sebuah kaidah dalam kitabnya Ma’lumat li Asy Syabab :
Ma la yudriku al-hissu la yudrikuhu al-‘aqlu (Segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau
indera, pasti tidak dapat dijangkau akal.)

Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung
tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah berada diluar jangkauan indera dan pastinya juga tidak
terjangkau oleh akal. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya
menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu
makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
"Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Dzat Allah.
Sebab, kamu
tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya." (HR Abu Nu'aim
dalam "Al-Hilyah"; sifatnya marfu', sanadnya dhoif tetapi isinya shahih) Akal manusia yang
terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya;
bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas 'Arsy-Nya, dan
seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa, tidak dapat

8
dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan
sepuluh, dan sebagainya. Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya
melalui wahyu. Bila kita menghadapi suatu ayat/hadits yang menceritakan tentang
menyerupakan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-
ayat/hadits tersebut dan menta'wilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan
kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh
para sahabat, tabi'in, dan ulama salaf. Imam Ibnul Qoyyim berkata:
"Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat
yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat
bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan
Allah, dan sifatsifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al Qur'an dengan suara
bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya." Ketika Imam
Malik ditanya tentang makna "persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau lama tertunduk dan
bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata :
"Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal
yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal
tersebut adalah bid'ah/ salah."
Al Muzani – salah seorang murid Imam Syafii – pernah mengalami keragu-raguan dalam
masalah tauhid. Maka Imam Syafii mengatakan kepadanya, “Sekarang kembalilah saja kepada
firman Allah SWT :
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna
bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia
hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan,
dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS. Al
Baqarah :163-164]

Setelah membacakan ayat tersebut, Imam Syafii berkata kepada Al Muzani : “Maka
jadikanlah makhluk ciptaan Allah sebagai dalil atas adanya Al Khalik jangan menyusahkan

9
dirimu dengan sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh akalmu.” Jadi, jelaslah bahwa kendati
akal menjadi dalil atas adanya Allah SWT (karena keberadaan-Nya masih dalam jangkauan
akal dengan jalan mengindera makhluk-Nya) tetapi tetap saja akal manusia tidak mungkin
membahas sesuatu yang berada di luar jangkauannya, seperti bagaimana Dzat Allah, ‘asma wa
sifat (nama-nama dan sifat-sifat) Allah. Dalil aqli dan Dalil naqli Karena tidak semua perkara
aqidah dapat dijangkau dengan akal, maka dalam pembahasan aqidah dikenal apa yang disebut
dengan dalil aqli dan dalil naqli. Dalil aqli adalah bukti (burhan) yang digunakan oleh akal
untuk mencapai pembenaran yang pasti (tasdiiq jazim) terhadap satu perkara di antara perkara
perkara aqidah Islam. Dalil naqli (disebut juga dalil sam’i) adalah berita (khabar) yang
bersifat pasti (qath’i) dalam hal ini al-Qur’an dan al-Hadits yang memberitakan kepada kita
mengenai satu rukun di antara rukun-rukun aqidah Islam.
Yang menentukan apakah dalil yang digunakan dalam satu perkara aqidah adalah dalil aqli
atau dalil naqli, adalah perkara aqidah atau keimanan itu sendiri. Jika perkara keimanan
berupa fakta terindera atau terdapat fakta indera yang menunjukkan adanya suatu perkara
keimanan misalnya mengenai keberadaan (eksistensi) Allah SWT, al-Quran sebagai
kalamullah, Muhammad sebagai Rasulullah, maka dapat dipastikan dalilnya adalah dalil aqli,
bukan dalil naqli. Jika perkara keimanannya bukan merupakan fakta terindera, misalnya
‘asma wa sifat Allah, malaikat, hari kiamat dan sebagainya, maka dalilnya adalah dalil naqli.
Sementara karena dalil naqli itu sendiri adalah suatu fakta terindera, maka penilaian terhadapt
suatu dalil naqli – apakah dia layak atau tidak untuk menjadi dasar keimanan – tergantung
pada dalil aqli. Dari segi inilah, dapat dikatakan bahwa aqidah Islam adalah sebuah aqidah a
qliyah, yaitu aqidah yang pembenarannya dibangun atas dasar akal (mabdiyatun ‘ala al-aql).

Berdasarkan uraian tersebut, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa masalah keimanan
dalam aqidah Islam yang dalilnya aqli ada 3 yaitu iman kepada Allah, iman bahwa Al-Qur’an
adalah kalamullah, dan iman bahwa Muhammad adalah Rasul (utusan) Allah. Berdasarkan
ketiga perkara keimanan inilah diperoleh keimanan kepada Al-Qur’an dan al-Hadits yang
kemudian menjadi dalil naqli bagi perkara -perkara keimanan lainnya yang tidak dapat
dijangkau akal seperti iman kepada kitab-kitab Allah, Rasul-rasulNya, malaikatNya, hari
akhir, surga, neraka, hisab, dansebagainya. Namun demikian, perlu dipahami bahwa karena
aqidah Islam termasuk masalah ushul (dasar) dalam Islam, maka dalilnya harus bersifat pasti

10
(qath’i), baik qath’i tsubut (pasti sumbernya dari Rasulullah saw) maupun qath’i dhalalah
(pasti pengertiannya). Karena itu, dalil naqli yang menjadi dasar aqidah haruslah berupa al-
Qur’an dan hadits mutawatir yang mempunyai pengertian yang qath’i. Apa saja yang tidak
terbukti oleh kedua jalan tadi, haram bagi seorang muslim membenarkannya secara pasti
(tasdiiq jazim). Tetapi tidak boleh dia mengingkarinya (takdzib), meskipun tetap dibolehkan
baginya membenarkan secara dugaan kuat (tasdiiq zhanni).

Oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil naqli untuk perkara aqidah. Prinsip di
atas didasarkan pada larangan dalam al-Qur’an untuk mengikuti sesuatu yang bersifat
dugaan/persangkaan (zhan) dalam masalah aqidah atau sesuatu yang bukan merupakan
pengetahuan yang pasti (al-‘ilm).
“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.” [QS. Al-Isra’: 36]
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [QS. Yunus: 36]

Aqidah Ruhiyyah dan Aqidah Siyasiyah yang dimaksud aqidah siyasiyah adalah aqidah yang
menjadi dasar pengaturan urusanurusan keduniaan. Sedang aqidah ruhiyah adalah aqidah yang
menjadi dasar pengaturan urusanurusan keakhiratan. Urusan keduniaan (syu’un al-dunya)
adalah segala urusan manusia sepanjang kehidupan di dunia sampai mati, misalnya urusan
keluarga, ekonomi, pendidikan, politik dan sebagainya. Sementara yang dimaksud dengan
urusan akhirat (syu’un al-akhirah) adalah segala urusan manusia yang ada pada fase sebelum
dan sesudah hidupnya di dunia. Yakni, apa yang ada sebelum lahirnya manusia dan sesudah
matinya manusia, misalnya urusan penciptaan alam semesta dan kebangkitan pada hari
kiamat. Termasuk juga urusan akhirat, adalah urusan yang sebenarnya ada pada fase
kehidupan di dunia saat ini, tapi tidak berkaitan dengan interaksi sesame manusia, melainkan
hanya berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhannya dalam
ibadah ritual. Jadi, aqidah ruhiyah adalah aqidah yang melahirkan beberapa pemikiran dan
hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah akhirat, semisal hari kiamat, pahala siksa, dan

11
juga masalahmasalah ibadah ritual (seperti doa), termasuk pemikiran-pemikiran dan hukum-
hukum lain yang berkaitan dengan pemeliharaan masalah-masalah tersebut, seperti pemberian
nasihat dan petunjuk, atau penyampaian ancaman dengan adanya adzab Allah serta pemberian
dorongan untuk mendapatkan sebesar-besarnya pahala Allah. Sedangkan aqidah siyasiah
adalah aqidah yang melahirkan berbagai pemikiran dan hukum yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan keduniaan seperti aspek pemerintahan, perdagangan, sewa menyewa
(ijarah), perkawinan, perseroan (syirkah), warisan, atau yang masih berkaitan dengan
persoalan tersebut, seperti kewajiban mengangkat pemimpin jamaah atau kelompok, ketaatan
pada pemimpin serta kewajiban mengontrolnya, juga anksi-sanksi pidana dan hukum-hukum
perang.

Dilihat dari pengertian di atas, maka aqidah Islam adalah aqidah ruhiyah dan sekaligus
siyasiyah. Aqidah agama nasrani hanyalah aqidah ruhiyah, karena pemikiran dan hukum yang
terakhir hanya berkaitan dengan persoalan keakhiratan. Sementara aqidah kapitalisme adalah
aqidah siasiyah semata karena pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari aqidah ini,
berkaitan dengan persoalan dunia saja, seperti kebebasan (liberalisme/fredoom) dan asas
manfaat (utilitarianisme). Begitu juga dengan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan
pemeliharaan persoalan keduniaan tersebut dan yang lahir dari aqidah kapitalisme tersebut
berkitan dengan urusan dunia seperti demokrasi dan peperangan. Demikian juga dengan
aqidah sosialisme, juga merupakan aqidah siyasiyah karena pemikiran-pemikiran serta produk
hukum-hukum yang lahir dari aqidah tersebut hanya berkaitan dengan persoalan kehidupan
dunia seperti pembatasan dan pelarangan kepemilikan. Demikian juga dengan pemikiran dan
hukum-hukum yang berkaitan dengan pengaturan urusan kehidupan dunia seperti membatasi
demokratisasi di kelas buruh dan diktaktor proletariat. Dalam kedudukan sebagai aqidah
ruhiyah aqidah Islam menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan akhirat
dan urusan ibadah. Mengenai urusan akhirat, firman Allah SWT:
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kamu, Kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, Kemudian kepada-Nya-lah
kamu dikembalikan?” [QS. Al- Baqarah: 28]

12
Mengenai urusan ibadah; seperti shalat, Allah SWT berfirman:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada
sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan
bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.” [QS. Al-
Isra’: 78-79]
Sebagai aqidah siyasiyah, aqidah Islam menjelaskan berbagai pemikiran dan hukum yang
menyangkut bagaimana kita mengatur kehidupan dunia. Di bidang ekonomi, misalnya, Islam
mengatur bolehnya jual beli dan larangan riba. “Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.” [QS. Al-Baqarah: 275]
Dalam masalah sosial kemasayarakatan, misalnya aqidah Islam menjelaskan perlunya
keluarga sebagai jalan untuk melahirkan generasi penerus demi kelangsungan jenis manusia.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan lakilaki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama –Nya kamu saling meminta satu sama lain[264],
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”. [QS. An-Nisa: 1]

Pemahaman tentang suatu aqidah sebagai aqidah ruhiyah dan atau aqidah siyasiyah
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan manusia. Aqidah ruhiyah tidak
bisa membentuk pandangan hidup (wijhatun nazhar) atau gambaran hidup (taswiru al-hayah),
karena aqidah ruhiyah tidak memiliki pemikiran dan hukum yang menjadi standar untuk
menilai mana perbuatan yang benar dan mana yang salah. Aqidah ruhiyah hanya berbicara

13
tentang kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Dengan kata lain, aqidah ruhiyah
tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dunia. Maka, terhadapa masyarakat yang
memeluk suatu aqidah ruhiyah terntentu, misalnya Jepang yang memeluk aqidah Hindu atau
Kong Hucu, bisa diterapkan aqidah siyasiyah apa saja (dalam hal ini kapitalisme) tanpa ada
kekhawatiran akan menghilangkan agama-agama yang dipeluk masyarakat yang dipeluk di
sana. Berbeda dengan aqidah ruhiyah, aqidah siyasiyah bisa membentuk pandangan hidup
karena darinya terlahir pemikiran dan hukum-hukum tentang pengaturan kehidupan dunia.
Maka, suatu masyarakat yang telah menganut aqidah siyasiyah tertentu, misalnya kapitalisme
atau Islam, sangat sulit menerima kehadiran aqidah siyasiayh lain. Aqidah siyasiyah asing itu
dinilai akan membahayakan eksistensi masyarakat itu. Langkah pemaksaan akan mengundang
perlawanan dari masyarakat. Dari sini bisa dimengerti mengapa Indonesia, misalnya yang
kendati mayoritas penduduknya muslim tapi terlanjur sudah memeluk aqidah siyasiyah
kapitalisme sangat sulit menerima gagasan penerapan syariat Islam. Penerapan aqidah
siyasiyah baru hanya mungkin dilakukan dengan tangan besi atau setelah masyarakat
mengetahui kebobrokan aqidah siyasiyah yang dipeluknya selama ini dan keunggulan aqidah
siyasiyah baru yang ditawarkan. Maka, mereka akan meninggalkan aqidah yang lama untuk
mengambil aqidah yang baru. Aqidah siyasiyah akan membentuk pandangan hidup. Dan
pandangan hidup akan mempengaruhi perilaku manusia. Maka, perbedaan aqidah akan
melahirkan perbedaan pandangan hidup, dan akhirnya melahirkan perbedaan perilaku.
Pandangan hidup yang diajarkan aqidah kapitalisme adalah kemanfaatan (utilitaliarisme).
Metode operasional untuk merealisasikan pandangan hidup ini adalah dengan menerapkan
prinsip kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan individu,
dan kebebasan berpendapat.

Pandangan hidup yang diajarkan aqidah sosialisme adalah evolusi materi yaitu perubahan dari
suatu kondisi ke dalam kondisi lain yang lahir karena adanya kontradiksi-kontradiksi di tengah
masyarakat. Aqidah operasional untuk merealisasikan pandangan ini adalah dengan membuat
kontradiksi-kontradiksi di tengah-tengah masyarakat. Aqidah sosialisme menggambarkan
kehidupan yang terus bergerak yaitu berubah menuju suatu kondisi lain yang lebih baik. Untuk
perubahan menuju suatu kondisi yang lebih baik tersebut, atau disebut juga dengan evolusi,
maka harus ada upaya menggalakkan kontradiksi. Jika sudah ada, harus ditingkatkan. Jika

14
belum, harus diadakan. Adapun pandangan hidup yang diajarkan aqidah Islam bahwa hidup
adalah untuk beribah kepada Allah. Intinya terikat pada ketentuan halal dan haram. Dan
metode operasional untuk merealisasikan pandangan halal-haram tersebut dengan membangun
keterikatan terhadap hokum syara’. Apa saja yang halal, diambil tanpa ragu-ragu. Sesuatu
yang makruh akan diambil dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Sedangkan yang haram,
tidak akan diambil sama sekali. Melalui perang kebudayaan (al-ghazwu al-tsaqafy), Barat
ingin mengubah pandangan hidup kaum muslimin. Di antaranya adalah dengan menciptakan
keragu-raguan dalam beberapa masalah.

II. Asas-asas Filsafat:

1. Jelaskan Pengertian Agama, Filsafat dan Ilmu ?

Dalam Tahshîl al-sa'âfidah AI-Fârâbi dengan jelas menyatakan pandangannya tentang sifat
agama dan filsafat serta hubungan antara keduanya:

Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya,
jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan
pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka
ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat .Tetapi jika gagasan-
gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan
tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan
oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terdahulu menyebut sesuatu yang
membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika pengetahuan-pegetahuan itu sendiri
diadopsi, dan metode-metode persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut
filsafat populer, yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal.

Al-Fârâbî menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama adalah tiruan
dari filsafat. Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang
sama. Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsip-
prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip Pertama dan esensi dari prinsip-prinsip kedua
nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi manusia

15
yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak dari wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan Al-
Fârâbî, filsafat memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama
memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh
filsafat, agama memakai metode-metode persuasif untuk menjelaskannya.

Tujuan dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan lambang telah
dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan pembahasan
lebih lanjut. Menurut Al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran transenden dari dunia
alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang lingkup lembaga sosio-politik. Sebagai
contoh, pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya sempurna, seperti Sebab Pertama, wujud-
wujud malakut atau lelangit dilambangkan dengan benda-benda terindra yang utama,
sempuma, dan indah dipandang. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, matahari
melambangkan Tuhan, bulan melambangkan nabi, dan bintang melambangkan sahabat nabi.

Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya berikut
fungsi-fungsi kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman akan hierarki
wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam semesta. Karya-
karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan gerakan kekuatan dan
prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek alami. Sebagai contoh, empat
sebab Aristotelian yang disebut Al-Fârâbî sebagai empat prinsip wujud, dapat dijelaskan
dengan merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni. Secara umum, menurut Al-
Fârâbî, agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan
esensi mereka.

Dalam Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama (millah) dan filsafat (falsafah)
umumnya diidentifikasi dengan mazhab masysyâ'î ilmuwan filosof di mana Al-Fârâbî
termasuk di dalamnya. Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini diikuti rumusan
terinci menyangkut filsafat agama Yunani-Romawi dalam perkembangan-perkembangan
berikutnya. Namun, gagasan mendasar yang ingin disampaikan melalui perbedaan ini bukan
sesuatu yang asing bagi perspektif wahyu Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi
dalam kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi demikian: kebenaran atau
realitas adalah satu namun pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai derajat

16
kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi, Al-Farabi di sini
berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis.

Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju
pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang
dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara
bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas tampak
dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang digunakannya untuk
menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah; bukan dîn. Ini menunjukkan
kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam
totalitasnya, melainkan dengan dimensi eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka
menggunakan istilah millah daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada
komunitas religius di bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang
atau perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari
tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik
komunitas religius ini.

Dalam wacana yang dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya berpendapat ada dua jenis filsafat.
Jenis pertama, filsafat yang disebutnya filsafat populer, diterima secara umum dan eksternal.
Dari paparannya tentang karakteristik filsafat tersebut dan kalâm, khususnya penjelasan dalam
Ihshâ' al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî menganggap kalâm sebagai contoh dari
filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik yang ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu
filsafat yang hanya diperkenalkan pada mereka yang telah siap secara intelektual dan spiritual.
Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode
demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân al-yaqînî), suatu metode yang merupakan gabungan
dari intuisi intelektual dan putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah
sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena millah didasarkan atas
metode persuasif (al-iqnâ').

Kemudian, bagi Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi atau kebijaksaaan (al-
hikmah) yang terletak pada jantung setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan philosophia
perennis yang diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan dalam abad ini oleh

17
Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik kebijaksanaan tradisional ini. Al-
Fârâbî menulis:

Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang Kaldea, yang merupakan bangsa
Irak, kemudian bangsa Mesir, dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan di
situ hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa Arab. Segala sesuatu yang
terkandung dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani, kemudian Syria, dan
akhirnya Arab.

Dikatakan Al-Fârâbî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan tentang kebenaran abadi ini
kebijaksanaan "paripuma" sekaligus kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut perolehan
pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan keadaan ilmiah pikiran sebagai
filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir ini adalah tidak lain pencarian dan kecintaan
pada kebijaksanaan tertinggi. Menurut Al-Fârâbî, orang-orang Yunani juga berpendapat
bahwa secara potensial kebijaksanaan ini memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan
alasan ini, filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu,
kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari segala seni. Maksud mereka
sebenarnya, tutur Al-Fârâbî, adalah seni yang memanfaatkan segala kesenian, kebajikan yang
memanfaatkan segala kebajikan, dan kebijaksanaan yang memanfaatkan segala kebijaksanaan.

Al-Fârâbî agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut: sementara esensi dari kebijaksanaan
abadi ini satu dan sama dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan model pengungkapan
yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-Fârâbî tidak menjelaskan deskripsi cara
pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia menyebut filosof-filosof Yunani,
tepatnya plato dan Aristoteles, khususnya lagi Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk
pengungkapan dan penjelasan baru dari kebijaksanaan kuno ini, berupa pengungkapan
dialektis atau logis. Pengetahuan tentang bentuk-bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui
orang-orang Kristen Syria.

Sebagaimana telah kita lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi sebagai


"pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari setiap
eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari setiap kebenaran".

18
Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah filsafat untuk merujuk pada
pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional serta ilmu-ilmu,yang
dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang didasarkan pada metode demonstrasi yang
meyakinkan. Karena itu, filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu matematis,
fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat (politik). Perbedaan filsafat-
agama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi
perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu.
Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis menjadi filsafat dan
agama, Al-Farabi memberikan teori untuk menjelaskan fenomena, keragaman agama.
Menurutnya, agama berbeda itu satu sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan
spiritual yang sama bisa jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang berlainan.
Kendati demikian, terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena
pengetahuan filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa
dan masyarakat.

Pada saat yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan relatif satu lambang religius
atas lambang lainnya, dalam pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra yang dipakai
dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak disampaikan-lebih tepat
dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama lainnya. renting dicatat, Al-Farabi
diketahui tidak pernah mencela agama tertentu, meskipun dia berpendapat bahwa sebagian
dari lambang dan citra religius agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan.
Tulisnya:

Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam keutamaannya; penggambaran


imajinatif sebagian dari mereka lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang
baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh.
Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-diketahui, atau
malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir
pandangannya banyak atau mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat tentang
mereka atau untuk menolak mereka.

19
Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus
pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada
dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan sebelumnya, kita akan
sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu religius
dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmu-
ilmu religius yang muncul dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau
eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî)
dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-turut merupakan mitra filosofisnya

2. Jelaskan secara detil objek kajian filsafat ?


Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah
segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali.
“Objek filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala
pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Oleh karena itu
manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya,
cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal
pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.

Objek filsafat ada dua yaitu Objek Materia dan Objek Forma, tentang objek materia ini
banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang empiris;
filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang
abstrak. Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalam-
dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).

Dari uraian tertera di atas jelaslah, bahwa:


1. Objek materia filsafat ialah Sarwa-yang-ada, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas
tiga persoalan pokok:
a. Hakekat Tuhan;
b. Hakekat Alam dan
c. Hakekat Manusia.

20
2. Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya
sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada)

Dalam buku Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu karangan Dr. H. Hamzah
Ya’qub dikatakan bahwa objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya. Di sinilah
diketahui bahwa sesuatu yang ada atau yang berwujud inilah yang menjadi penyelidikan dan
menjadi pembagian filsafat menurut objeknya ialah:
1. Ada Umum yakni menyelidiki apa yang ditinjau secara umum. Dalam realitanya terdapat
bermacam-macam yang kesemuanya mungkin adanya. Dalam bahasa Eropa, ADA UMUM
ini disebut “Ontologia” yang berasal dari perkataan Yunani “Onontos” yang berarti “ada”,
dalam Bahasa Arab sering menggunakan Untulujia dan Ilmu Kainat.
2. Ada Mutlak, sesuatu yang ada secara mutlak yakni zat yang wajib adanya, tidak tergantung
kepada apa dan siapapun juga. Adanya tidak berpermulaan dan tidak berpenghabisan ia
harus terus menerus ada, karena adanya dengan pasti. Ia merupakan asal adanya segala
sesuatu. Ini disebut orang “Tuhan” dalam Bahasa Yunani disebut “Theodicea” dan dalam
Bahasa Arab disebut “Ilah” atau “Allah”.
3. Comologia, yaitu filsafat yang mencari hakekat alam dipelajari apakah sebenarnya alam dan
bagaimanakah hubungannya dengan Ada Mutlak. Cosmologia ini ialah filsafat alam yang
menerangkan bahwa adanya alam adalah tidak mutlak, alam dan isinya adanya itu karena
dimungkinkan Allah. “Ada tidak mutlak”, mungkin “ada” dan mungkin “lenyep sewaktu-
waktu” pada suatu masa.
4. Antropologia (Filsafat Manusia), karena manusia termasuk “ada yang tidak mutlak” maka
juga menjadi objek pembahasan. Apakah manusia itu sebenarnya, apakah kemampuan-
kemampuannya dan apakah pendorong tindakannya? Semua ini diselidiki dan dibahas
dalam Antropologia.
5. Etika: filsafat yang menyelidiki tingkah laku manusia. Betapakah tingkah laku manusia
yang dipandang baik dan buruk serta tingkah laku manusia mana yang membedakannya
dengan lain-lain makhluk.
6. Logika: filsafat akal budi dan biasanya juga disebut mantiq. Akal budi adalah akal yang
terpenting dalam penyelidikan manusia untuk mengetahui kebenaran. Tanpa kepastian
tentang logika, maka semua penyelidikan tidak mempunyai kekuatan dasar. Tegasnya

21
tanpa akal budi takkan ada penyelidikan. Oleh karena itu dipersoalkan adakah manusia
mempunyai akal budi dan dapatkah akal budi itu mencari kebenaran? Dengan segera
timbul pula soal, apakah kebenaran itu dan sampai dimanakah kebenaran dapat ditangkap
oleh akal budi manusia. Maka penyelidikan tentang akal budi itu disebut Filsafat Akal
Budi atau Logika.
Penyelidikan tentang bahan dan aturan berpikir disebut logica minor, adapun yang
menyelidiki isi berpikir disebut logica mayor. Filsafat akal budi ini disebut Epistimologi
dan adapula yang menyebut Critica, sebab akal yang menyelidiki akal.

Adapun objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas, baik yang
material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak pada subjek yang mempunyai komitmen
Qur’anik. Dalam hubungan ini objek kajian Filsafat Islam dalam tema besar adalah Tuhan,
alam, manusia dan kebudayaan. Tema besar itu hendaknya dapat dijabarkan lebih spesifik
sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga dapat ditarik benang merah dari perkembangan
sejarah pemikiran kefilsafatan yang hingga sekarang. Setiap zaman mempunyai semangatnya
sendiri-sendiri.

Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa objek filsafat itu sama dengan objek ilmu
pengetahuan bila ditinjau secara materia dan berbeda bila secara forma. Sedangkan objek
kajian Filsafat Islam itu sendiri mencakup Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan.

3. Sebutkan cabang-cabang filsafat ?

Cabang-cabang filsafat menurut Aristoteles ada empat cabang yang ia kemukakan, yaitu :
1. Logika adalah ilmu pendahuluan bagi terbentuknya filsafat;
2. Filsafat teoritis (filsafat nazariah) yang mencakup tiga macam ilmu dalam kajiannya, yaitu:
a. Ilmu Fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini.
b. Ilmu Matematika yang membahas benda-benda alam dalam kuantitasnya.
c. Ilmu Metafisika yang membahas tentang hakikat segala sesuatu.
3. Filsafat Praktis (Falsafah Amaliah), dalam kajiannya ada beberapa macam cabangya, yaitu:
a. Ilmu Etika yang mengatur tentang kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup seseorang

22
b. Ilmu Ekonomi yang mengatur tentang kesusilaan dan kemakmuran dalam Negara.
c. Ilmu Politik yang mengatur tentang kesusilaan dan berkehidupan dalam Negara.
4. Ilmu Peotika (Kesenian) dalam cabang ilmu ini diatur tentang masalah hubungan filsafat
dengan seni dan ditinjau aspek cara mempelajarinya.
Dari kajian diatas dapat dilihat bahwa kajian filsafat bukan hanya masalah pemikiran
semata yang berkaitan dengan teori yang besar, akan tetapi sangatlah berkaitan dengan
kehidupan kita sehari-hari.

4. Jelaskan apa yang dimaksud metode filsafat ?

Sebelumnya sudah kita bicarakan tentang dua metode filsafat yang paling berpengaruh, yaitu
filsafat iluminasi dan peripatetik, yang mana satu sama lain mempunyai ciri khas dan
perbedaan tersendiri.

Metode Iluminasi sangat bertumpu kepada kemampuan kita untuk menahan hawa nafsu dan
pencerahanan batin sebagai upaya untuk mencapai hakikat selain argumen dan penalaran.
Sedangkan metode peripatetik sangat mengandalkan argumen sebagai tumpuan utama dalam
mencari hakikat.
Kedua metode ini pada perkembangan berikutnya diakui sangat mempengaruhi kebudayaan
Islam. Pendukung dari kedua paham ini diantaranya adalah tokoh-tokoh besar didalam dunia
Islam. Namun terlepas dari itu semua, didunia Islam sendiri dikenal juga beberapa metode
lainnya yang juga sangat berpengaruh seperti metode tasawuf (irfan) dan metode kalam
(teologi) .

Sekarang mari kita lihat lebih kedalam lagi, mari kita perhatikan beberapa metode penting
lainnya yang juga mempengaruhi corak filsafat dan yang berada langsung dibawah Pengaruh
ajaran Islam. Setidaknya sekara kita bisa melihat ada 4 metode penting yang digunakan dalam
pemikiran filsafat Islam, yaitu :
1. Metode Filsafat Argumentatif Peripatetik.
Metode ini sangat mengutamakan silogisme (qiyas) , argumentasi rasional (istidlal aqli) dan
demonstrasi rasional (burhan aqli) . Metode argumentatif peripatetik ini pada dikenal

23
memiliki banyak pengikut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Mir Damad, Al Kindi , Ibnu Sina
dan lain-lainnya. Tokoh paham ini yang paling menonjol adalah Ibnu Sina.
2. Metode Filsafat Iluminatif
Metode ini seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sangat bertumpu kepada argumentasi
rasional, demonstrasi rasional dan serta berjuang melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa.
3. Metode Pengembaran Rohani (tasawuf)
Metode tasawuf (irfan) semata-mata hanya bertumpu kepada penyucian jiwa dan mengadakan
perjalanan guna mendekatkan diri kepada Allah sehingga mampu mengetahui dan sampai
kepada berbagai hakikat. Beda dengan filsafat Iluminatif, metode irfan ini sama sekali tidak
bertumpu kepada argumentasi rasional ataupun demonstarsi rasional. Berdasarkan metode ini
tujuan bukan hanya untuk menyingkap hakikat TETAPI sampai kepada hakikat itu sendiri.
Metode irfan memilik satu persamaan dan dua sisi perbedaan dengan metode iluminasi. Sisi
persamaannya adalah bertumpu kepada penyucian jiwa. Sedangkan perbedaannya adalah
tentang penggunaan argumentasi dan demonstrasi rasional.
4. Metode Teologi Argumentatif (kalam)
Para teolog Islam (Mutakallimin) , seperti halnya para filsuf peripatetik bertumpu pada
argumentasi penalaran dan demonstrasi rasional, namun demikian terdapat dua perbedaan
yang mendasar didalam pengunaannya.
Yang pertama, para teolog muslim khususnya kaum mu`tazilah menggunakan penalaran
rasional ‘baik dan buruk’ berdasarkan kemampuan akal. Dan berdasarkan dengan prinsip ini
maka kaum mu`tazilah mewujudkan berbagai prinsip yang lain seperti prinsip kelembutan,
kewajiban atas Allah untuk mendahulukan yang baik dan sebagainya. Sedangkan para filsuf
berkeyakinan bahwa prinsip ‘baik dan buruk’ merupakan prinsip yang relatif dan klaim
manusia.
Yang kedua, para teolog muslim mengklaim bahwa mereka lebih konsisten dalam membela
Islam daripada filsuf, mereka berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan
yang bebas, mereka tidak menentukan tujuan ideologinya. Sementara teolog muslim jelas
telah menentukan tujuan ideologinya.

24
5. Jelaskan pula apa yang dimaksud dengan metodologi penelitian filsafat ?

Penelitian Ilmiah Metodologi ini adalah jenis metodologi penelitian yang digunakan oleh para
peneliti berbasis pendidikan resmi ala filsafat barat. Penekanannya adalah mencocokan asumsi
yang sudah ada, yang diperoleh dari literature,teori-teori, untuk menilai ke-ilmiahan suatu
ilmu atau metodologi. Kebanyakan peneliti model ini membutuhkansuatu ilmu atau
metodologi atau asumsi yang sudah ada bentuknya sebelumnya, untuk dinilai dengan cara
membandingkannya dengan asumsi yang diyakininya. Ketertarikan peneliti ilmiah untuk
membakukan suatu kebenaran ilmiah menyebabkan penelitian ilmiah sering tergoda oleh
hasrat / ego untuk menggeneralisasi, karena eksistensi suatu kebenaran ilmiah ditentukan oleh
range/ jangkauan area dimana kebenaran tsb tetap terbukti berlaku. Meskipun di psikologi
misalnya, bersemboyan understanding individual differences, tetapi dalam kenyataannya
semakin seseorang mengusahakan keilmiahan suatu ilmu, maka secara sadar-tidak-sadar hal
ini semakin terabaikan, masalahnya psikologi adalah ilmu yang memahami jiwa yang bersifat
individual.

Masalah selanjutnya ketika psikologi yang individual berkembang ke psikologi sosial yang
ilmiah; Dalam hal ini asumsi adalah norma yang dianggap berlaku di masyarakat.
Understanding individual differences-nya yang mengharuskan adanya alat ‘kalibrasi’ (alat
penyesuaian) menjadi terbatasi diantara asumsi norma masyarakat yang sudah ada saja. Maka
dari itu psikologi tetap meyakini ‘judgement keberbakatan’ (normal / tidak normal, waras /
tidak waras, ego / tidak ego, sakit / sembuh, genius / bodo, IQ, personality, motivasi, dlsb).
Kompatiologi melakukan penelitian untuk menghadapi masalah ini, tetapi penelitian untuk
masalah ini tidak bisa disusun dengan menggunakan asumsi yang sudah ada seperti pada
penelitian ilmiah, mau tidak mau harus memulai penelitian dengan orientasi metodologi
penelitian ‘pencarian dari nol’.

Orientasi metodologi penelitian pencarian dari nol memungkinkan usaha untuk merancang
suatu alat kalibrasi yang jangkauan kalibrasinya mampu mencapai understanding individual
differences-nya sehingga dalam kompatiologi yang ada saat ini tidak terdapat judgement-
judgement keberbakatan. Asalkan seseorang memiliki kelengkapan tubuh yang sama (tidak

25
mengalami cacat otak), dan di-instalasi software yang sama (sistem kompatiologi), maka
tingkat kemampuan juga akan menunjukkan nilai kemampuan yang cukup standart atau mirip,
yang berbeda hanya minat saja, yang dipengaruhi oleh individual differences-nyamasing-
masing.

III. Perkembangan Sejarah Filsafat.

1. Sebutkan munculnya pemikiran filsafat Yunani ke duni Islam ?

Seperti yang pernah saya singgung pada bagian penjelasan yang lalu, bahwa Ranah Filsafat
pada peta Intelektual Dunia Islam dimulai dengan keberhasilan dan upaya serius dari sang
Maestro besar dan seorang ilmuan sejati Abu Yusuf Ya'kub al-Kindi yang biasa dikenal
dengan sebutan al-Kindi dengan menerjemahkan dan menyunting buku-buku filsafat karya
Filosof Yunani kedalam bahasa Arab lebih dari seribu tahun yang lalu. Penguasaan yang
mendalam terhadap literature dan gramatika Arab, Syami dan Yunani menjadikan karya dan
hasil terjemahan beliau menjadi sangat bernilai dan dikenal sebagai karya terjemahan yang
paling akurat dan Prestisius.

Filsafat sendiri bukanlah barang baru dalam khasanah Islam, setidaknya itu bisa dikenali lewat
system berfikir yang di'pertontonkan' oleh Ayat-ayat al-Quran pada banyak kesempatan.
`irama' ayat yang tersebar luas pada halaman demi halaman al-Quran kiranya bisa dijadikan
bukti akan klaim diatas. Benar bahwa kitab ini bukanlah kitab Filsafat, kumpulan Sejarah,
ataupun prolog tentang sederet aturan belaka tapi lebih dari itu bahwa al-Quran adalah sebuah
`kitab besar' yang merangkum dan merekam `sejarah keabadian' antara Pencipta dan
Makhluknya Filsafat didunia Islam dikenal dengan nama Falsafah yang berasal dari Isim
masdar Ja'li yang memiliki makna setiap ilmu yang bersandar pada kaidah akliah meliputi
ilmu Saraf, Maani, Bayan, Badi', Arudz, Tafsir, Ilmu Khadis, Figh, dan Uusul-figh, Kata
Hikmah sering pula dipilih untuk menggantikan kata falsafah yang dipergunakan secara luas
didalam tradisi intelektual Islam.

26
Mengikuti Aristo filosof Muslim membagi Filsafat menjadi dua katagori, yaitu Falsafah
Nadzari yang berbicara tentang Wujud dan Eksistensi, serta Falsafah A'mali yang
membincangkan tentang ke-Salehan dan perilaku social. Falsafah Nadzari mencakup Falsafah
Ilahiyat ( metaphysics ) Primary philosophy, Riyadziyat ( mathematics ), yang disebut dengan
Falsafah Wustha, dan yang terakhir Falsafah Thabiiyat ( physics, natural philosophy ).
Falsafah Ilahiyat sendiri mengambil dua bentuk katogori yang pertama disebut dengan
Falsafah Ilahiyat-Aam dan yang kedua dengan Falsafah-Khas. Sementara falsafah Wustha
meliputi ilmu Matematik, Ilmu hitung dan Dunia seni musik. dan Falsafah Sughla atau
Thabiiyat merangkum pelbagai tema seperti Etika, Etika sosial, keluarga dan Ilmu politik.
Namun tak lama kemudian Filsafat didunia Islam mengambil bentuk dan tema khusus
dibawah Falsafah Ilahiyat atau Methaphysics yang diterjemahkan mejadi Maa ba'da
Thabiiyat, yang memuat didalamnya tema sentra, Maujud ma Huwa Maujud atau Eksistensi.
Ditangan para filosuf Muslim tema ini menjadi begitu bersinar, kokoh dan berhasil
mengukuhkan dirinya sebagai Ibu dari segala ilmu, mengingat sifatnya yang universal dan
fundamental, dengan bersandar pada tataran argumentasi yang Badhihi dan aksiomatis.

Sebagaimana yang ditulis oleh para ilmuan bahwa tema eksistensi pertama kali muncul di
tangan Aristoteles dengan tema yang diletakkan setelah pembahasan ilmu Physics, Aristo
sendiri tidak memberikan nama khusus pada tema baru yang diperkenalkannya, baru
kemudian ditangan filosof setelahnya kata Metaphysics dipilih untuk memberikan identitas
baru bagi kajian ini, yang bermakna sesuatu yang melampaui dunia fisik dan materi. Agaknya
Ibnu Sina keberatan dengan istilah tersebut dan lebih memilih menggunakan kata Praphysics -
maa qabl-maujud- yang dianggap lebih tepat dan sesuai dengan tema-tema yang ada yang
berbicara tentang alam Non materi Maujud al- Mujarrad.

Singkatnya Filsafat didunia Islam terus bergulir dan pada akhirnya melahirkan dua aliran besar
yang memiliki ikatan tradisi dengan dua filosuf terkemuka Yunani yaitu Aristo dan Plato, Ibn
Sina adalah tokoh paling penting dan paling berpengaruh pada warisan tradisi Peripattetic
sementara Shihabuddin syuhrawardi adalah pelanjut guru yang sangat dihormatinya,Plato.

27
2. Jelaskan hubungan filsafat yunani dengan filsafat islam ?

Filsafat merupakan ilmu yang didasarkan pada pemikiran, pencarian dan penelaahan yang
mendalam dengan menggunakan nash-nash aqliah dan tidak berdasarkan teks-teks klasik
maupun kontemporer. Sebelum kedatangan Islam, filsafat telah berkembang di Barat. Hal ini
dapat kita tinjau dari kemunculan sejumlah nama filosof besar yang berasal dari Yunani kala
itu, seperti Plato dan Aristoteles. Perkembangan filsafat ini memicu perkembangan ilmu
pengetahuan, seperti halnya Galileo Galilei dengan buah pemikirannya tentang keadaan bumi
yang mengelilingi matahari, meskipun mendapat penentangan hebat dari kalangan gereja
hingga membuat Galileo Galileo sendiri harus merelakan nyawanya melayang karena
mempertahankan penemuannya tersebut. Tatkala Islam datang, Ilmu filsafat juga banyak
diintegrasikan ke dalam ilmu-ilmu Islam sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran Islam dari
tokoh cendekia Islam sendiri.

Pada masa –masa awal berkembangnya Islam, filsafat Yunani banyak mempengaruhi wilayah
pemikiran tentang keberadaan Sang Khaliq. Pada saat itu lahirlah ilmu kalam sebagai ilmu
yang didasarkan pada pemikiran yang berdiri sendiri yang dikembangkan oleh para
mutakallimin. Pada abad ke-7, Islam berkembang pesat dan kehidupan umat pada saat itu juga
sudah mulai tenteram, tidak terjadi lagi pergolakan-pergolakan hebat seperti halnya pada
masa-masa awal lahirnya Islam. Keadaan ini membuat para cerdik cendekia muslim pada saat
itu memanfaatkannya untuk menelaah karya-karya besar filsafat Yunani dan
mengintegrasikannya dengan nilai-nilai yang dibawa Islam bersumber dai al-Quran dan hadits.
Sebagai dampak dari proses ini, timbullah ilmu filsafat Islam. Dengan adanya hubungan
historis antara filsafat Yunani (Barat) dengan filsafat Islam, menciptakan kemiripan-kemiripan
dan juga pebedaan antara keduanya.

Filsafat Yunani hanya dikembangkan hanya berdasarkan akal pikiran, sedangkan filsafat Islam
mengintegrasikannya dengan al-Quran dan hadits, disamping juga ada argumen-argumen
filsafat baru yang muncul dari filosof muslim sendiri kala itu yang belum ada sebelumnya.
Jadi, tidak bisa dikatakan filsafat Islam itu adalah filsafat Barat, karena filsafat barat sendiri
tidak ada menghubungkannya dengan Islam. Namun jika dari sejarah, filsafat Islam memang
ada kaitannya dengan filsafat Yunani.

28
3. Jelaskan hubungan filsafat Islam dengan filsafat Barat ?

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab
‫ﻔﺔ‬ ‫ﻓﻠﺴ‬, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini,
kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.)
dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia.
Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling
tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] ini didalami tidak dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem
secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik.
Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi
falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.

Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal
itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di
samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat
juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak
tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut
tema tertentu.

Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan
dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau
tata surya.

29
Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”).
Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta
kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berbagai cabang ilmu
pengetahuan (sains) yang dikenal sekarang.

Aksiologi membahas masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia.
Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika
dan estetika.

Etika (tidak sama dengan etiket!) membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik. Di
dalamnya dibahas aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.

Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika
lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil
budaya.

Filsafat Islam bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama
Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah
muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama,
meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama
Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua,
Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam
filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan. sangat besar pada sejarah filsafat.

Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di
Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang
Yunani kuno. Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes,
Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich
Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.

30
4. Jelaskan sejarah pemikiran filsafat Islam sesudah ibn Rusyd ?

Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana filosof-filosof Islam lain, menegaskan bahwa antara
agama dan falsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan
kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal bertentangan dengan teks
wahyu dalam al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil ada1ah
meninggalkan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan arti
tersurat dan mengambil arti tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum
awam, karena mereka tak dapat memahaminya.

Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini aka1
mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1 dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di
sana dikenal dengan averroisme. Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah kebenaran ganda, yang
mengatakan bahwa pendapat falsafat benar sungguhpun menurut agama sa1ah. Agama
mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran
rasiona1 dan ilmiah di Eropa.

Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan
kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tingga1 di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada
tahun 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia. Dengan
hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulaah pemikiran rasional dan ilmiah
dari dunia Islam bagian barat.

Di dunia Islam bagian timur, kecuali di ka1angan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan
pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan
dari pada ja1an falsafat, terus berkembang. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah
dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan
Eropa dalam bidang pemikiran, falsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di
Barat atas pengaruh metode berfikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu
pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti al-Afghani,
Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan,dan lain-lain.

31
5. Jelaskan pengaruh pemikiran filsafat Islam di dunia Barat ?

Perkembangan Pemikiran filsafat Islam di dunia Barat

Tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam berkembang cukup pesat dengan dimulainya
aktivitas penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini Dar
al-Hikmah yang dibangun Harun al-Rasyid menjadi pusat kegiatannya, yang sekaligus sebagai
pintu masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno ke dalam tradisi Islam. Tampilnya para
filosof dan saintis muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Khawarizmi dan Ibn Sina tidak bisa
dilepaskan dari keuntungan yang mereka peroleh dari aktivitas penerjemahan dan
membludaknya literatur-literatur Yunani. Terlebih lagi Dar al-Hikmah juga melengkapi diri
dengan fasilitas laboratorium dan peralatan-peralatan penelitian yang sangat canggih di
zamannya untuk menguji dan mengembangkan teori-teori saintifik Yunani.

Aktivitas keilmuan ini kian marak dengan dibangunnya pusat pengajian terkenal di Baghdad,
Basrah, Kufah dan Andalus. Begitu juga perkembangan perpustakaan yang menjadi pusat
penyelidikan para ilmuan Islam. Pada mulanya masjid dijadikan pusat penyebaran ilmu
sebelum berdirinya kuttab, madrasah (sekolah) dan Jami’ah (universitas). Dalam tradisi
skolastik Islam, madrasah menjadi lembaga pendidikan yang sangat penting. Dari sudut
sejarah pendidikan, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari masjid yang menjadi
pusat pendidikan tinggi untuk mempersiapkan ahli-ahli hukum Islam, yang eksklusif bagi
setiap madzab. Dari sudut politik, madrasah adalah media yang sangat efektif untuk
memenangkan pengaruh ulama. Sedangkan dari sudut pembentukan ortodoksi Islam,
madrasah mewakili gerakan kaum tradisionalis untuk mengkristalkan pandangan dan
ajarannya yang bebas dari pengaruh pemikiran kaum rasionalis, seperti Asy’ariyah dan
Mu’tazilah, begitu juga bebas dari pemikiran Syi’ah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tradisi keilmuan Islam ini berkembang pesat kala itu
salah satunya adalah keinginan pihak khalifah mendirikan institusi pendidikan, toko-toko buku
dan perpustakaan berkembang pesat, guru-guru yang mengajar dengan penuh keikhlasan serta
kegiatan pembukuan dan penjilidan yang demikian pesat. Artinya bahwa tradisi keilmuan

32
tidak hanya dimiliki oleh kalangan elit tapi hampir seluruh lapisan masyarakat berlomba
membekali diri dengan keilmuan yang memadai. Sungguh satu hal yang mengagumkan
apabila kita membaca sejarah umat Islam dahulu yang begitu berminat membaca, mengajar
serta megembangkan ilmu. Masing-masing berlomba-lomba memberikan kontribusinya dalam
memajukan institusi pendidikan dengan mewakafkan sebagian harta mereka untuk kebutuhan
kemajuan pendidikan.

Dalam tradisi keilmuan Islam, kita temukan tiga jenis perpustakaan yaitu perpustakaan umum,
perpustakaan khas (khusus) dan perpustakaan khas-umum. Perpustakaan umum yaitu
perpustakaan yang dibuka untuk orang awam seperti perpustakaan di masjid-masjid.
Perpustakaan ini dapat dipergunakan oleh siapapun juga dari beragam kalangan. Diantaranya
adalah perpustakaan Basrah dan Perpustakaan al-Azhar. Di Baghdad saja terdapat 38 buah
perpustakaan umum dan di Cordova terdapat 70 buah perpustakaan.

Perpustakaan khas (khusus) ialah perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh para pembesar dan
ulama, seperti perpustakaan Fatah bin Haqân (w. 247 H) dan perpustakaan Ibn Khasyab (567
M). Perpustakaan umum-khas yaitu perpustakaan yang khusus untuk para ulama, sarjana dan
pelajar. Perpustakaan ini tidak dibuka kepada umum tetapi diperuntukan bagi para akademisi
dan ilmuwan saja. Diantaranya Perpustakaan Baitul Hikmah yang didirikan oleh Harun al-
Rasyid di Baghdad, Perpustakaan Dar al-Hikmah yang didirikan oleh Hakam Amrillah pada
tahun 395 H di Kaherah dan Perpustakaan Cordova.

Nuh ibnu Mansur adalah salah seorang yang bangga dengan dirinya karena menjadi salah
seorang yang memiliki perpustakaan terbaik. Ia meminta ibnu Abbad untuk menjadi ketua
penanggung jawabnya, kemudian ia menolak pegawai kerajaan karena harus membutuhkan
400 ekor onta untuk mengangkut buku-bukunya tersebut ke ibukota, katalog perpustakaan
pribadinya terdiri dari sepuluh volume. Perpustakaan Adun Dawlah (wafat 982) memiliki dua
cabang, disamping satu perpustakaan miliknya di Basrah, ia membangun sebuah perpustakaan
yang luas di pekarangan istananya di Shiraz, dipimpin oleh seorang pustakawan, seorang
pengawas dan seorang direktur (Hazin, Matsrif dan Wakil). Perpustakaan tersebut berisi
banyak buku-buku literature ilmiah. Cyril Elgood menggambarkan buku-buku Adun Dawlah
tersimpan memanjang (dalam garis bujur) ruang (hall) yang melengkung dengan banyak

33
kamar di semua sudutnya. Pada dinding ruang tersebut ditempatkan rak buku setinggi enam
kaki dan lebar tiga yard, terbuat dari kayu berukir, dengan pintu-pintu yang tertutup dari atas.
Setiap cabang ilmu pengetahuan memiliki kotak-kotak buku dan katalog yang terpisah.

Perpustakaan Baitul Hikmah (rumah pengetahuan) yang didirikan pada tahun 998, oleh
Khalifah fathimiyah, al-Aziz (975-996). Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, kurang
lebih sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak
disimpan di ruang terpisah. Di Spanyol dan Sisilia ada lebih dari tujuh puluh perpustakaan
muslim Spanyol, dua terbesar diantaranya adalah perpustakaan Khalifah al-Hakim (wafat 976)
di Cordova, berisi sekitar 600.000 volume yang secara hati-hati diseleksi oleh para penyalur
buku masa itu yang ahli dari semua pasar buku Islam. Perpustakaannya dipimpin oleh sebuah
staf yang cukup besar, terdiri dari para pustakawan, penyalin dan penjilid di dalam
scriptorium. Perpustakaan Abdul Mutrif, seorang hakim Cordova, kebanyakan berisi buku-
buku langka, masterpiece-masterpiece kaligrafi, mempekerjakan enam orang penyalin yang
bekerja penuh waktu. Perpustakaan ini terjual dalam lelang sebesar 40.000 dinar setelah ia
wafat tahun 1011. Perpustakaan Sabor di Baghdad yang didirikan oleh Sabor bin Ardashir
seorang menteri Ibn Buwaih pada tahun 383 H. Perpustakaan ini juga berisi seribu al-Qur’an
tulisan tangan dan 10,400 buah buku dalam pelbagai bidang. Di Baghdad terdapat seratus
buah toko buku dan ulama yang tinggal di situ tidak kurang dari delapan ribu orang..

Begitulah maraknya kegiatan tradisi keilmuan Islam pada masa itu. Semua orang berlomba
memperkaya diri dengan ilmu. Sedangkan pada saat yang sama dunia Eropa masih berada
dalam masa kegelapan. Bangsa Eropa dalam keadaan kekurangan buku dan perpustakaan.
Dalam abad ke-9 Masehi, Perpustakan Katedral di Bandar Kensington hanya menyimpan 356
buah buku saja dan Perpustakaan di Hamburg mempunyai 96 buah buku saja. Ini
menunjukkan umat Islam saat itu sangat unggul dalam kecintaan dan penghargaannya
terhadap buku dan ilmu. Bahkan bangsa Eropa kala itu menjadikan peradaban Islam sebagai
acuan gaya hidupnya sebagaimana sekarang bangsa Timur menjadikan Barat sebagai ukuran
kemajuan. Umat Islam kala itu berusaha menyalin semua salinan-salinan manuskrip terutama
al-Qur’an, hadis, sastra dan sains. Ibn Ishaq Nadim telah menulis buku yang berjudul al-Fihrist
(Katalog) yang membicarakan buku-buku serta pengarangnya hingga abad-10 masehi. Buku

34
ini merupakan karya bibliografi dan katalog yang paling lengkap tentang manuskrip-
manuskrip yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana muslim. Walaupun begitu, banyak
buku-buku tersebut telah hilang akibat peperangan dan pemusnahan perpustakaan. Kegigihan
Imam al-Ghazali dalam menuntut ilmu patut pula dijadikan contoh. Walaupun dia telah
menjadi ulama besar dan mendapat gelar hujjat al-Islam tetapi ia masih berguru dalam bidang
hadis pada detik-detik terakhir kehidupannya.

Kegiatan keilmuan ini membuktikan bahwa tradisi keilmuan Islam berkembang pesat pada
zaman tersebut bersama dengan kegemilangan peradaban Islam. Peradaban yang maju tidak
dapat dibangun dan dipertahankan tanpa tradisi keilmuan yang kuat. Dengan kata lain,
peradaban Islam berkembang seiring dengan kuatnya perkembangan tradisi keilmuan. Oleh
sebab itu, membangun peradaban Islam mesti mengikutsertakan pembangunan tradisi
keilmuan dengan mewujudkan dan memperbanyak institusi pendidikan yang berkualitas dan
jaringannya menembus batas negara. Demikian juga, umat Islam perlu melahirkan ulama,
sarjana dan pemikir yang berkualitas yang mampu menghadirkan kegiatan kajian, penelitian
dan penterjemahan yang semarak. Tanpa unsur-unsur tersebut institusi pendidikan dan
keilmuan akan nampak sepi dan tidak berkembang.

Tradisi Pemikiran Islam Peradaban Islam pernah memimpin dunia selama lebih kurang 600-
800 tahun, dimana kaum Muslim dengan sungguh-sungguh mengemban amanah ilmu
pengetahuan. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih
lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini sejak masa renaissance.
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah
kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti
dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal dari para
ilmuan Muslim. Secara historis, dunia Islamlah yang pertama kali melakukan
internationalization of knowledge di mana karya-karya ilmuwannya dibaca oleh ilmuwan lain
dari berbagai negara. Sebelum munculnya peradaban Islam, peradaban di dunia ini masih
bersifat lokalistik-nasionalistik. Misalnya, ilmu logika hanya berkembang di sekitar peradaban
Yunani, ilmu yang terkait pengadaan bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan lain-
lain.

35
Pada abad pertengahan Islam, penemuan perhitungan differensial dan integral, geometri
analitik, yaitu transformasi dari geometri menjadi aljabar di dalam matematika, atau bahkan
arabesque di dalam seni, semua ini berhubungan dengan konsep ketakterbatasan yang berada
pada jantung kebudayaan, yang merupakan akibat dari Tauhid sebagai sistem keyakinan.
Industri jam dan astronomi disebabkan analisis waktu sebagai “tempat” untuk tindakan dan
kejadian seperti yang ditentukan dalam Al-Qur’an. Penemuan alat-alat optik berhubungan
dengan konsep cahaya yang disingkap oleh para mistik, yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
sebagai pengalaman spiritual. Teori atom merupakan perkembangan dari salah satu bukti
keberadaan Tuhan, didasarkan atas pembagian monad sampai monad yang tak terbagi.
Contoh-contoh lain dapat diberikan oleh mekanik, dinamik atau fisika dan lainnya.
Kemajuan pemikiran yang demikian pesat dan mengagumkan ini seiring dengan kebebasan
mengeksplorasi pemikiran yang secara spesifik banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat
Yunani. Sampai akhirnya perannya bergeser dengan digantikan oleh tradisi sufistik yang
dimotori oleh al-Ghazali yang sebenarnya juga berangkat dari pijakan pemikiran filsafat. Pada
masa ini dunia Islam mengalami kemandekan pemikiran filsafat yang cukup panjang. Telah
banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menghidupkan kembali tradisi pemikiran filsafat
dalam dunia Islam pasca kejayaan pemikiran Islam.

Salah satu upaya menghidupkan kembali tradisi filsafat dilakukan kurang dari satu abad
setelah kembalinya Tahtawi dari Paris. Dimulai oleh Mushthafa ‘Abd al-Raziq (1885-1946) --
kakak kandung ‘Ali ‘Abd al-Raziq-- dengan usaha gigihnya menghidupkan kembali tradisi
filsafat Islam, kemudian Yusuf Karam (w.1955) yang sebagian besar hidupnya dicurahkan
untuk mengenalkan filsafat Barat modern ke dalam masyarakat Arab. Lewat kedua tokoh ini
tradisi filsafat perlahan berkembang dan hidup kembali meskipun tidak secemerlang era
kejayaan Arab dulu. Munculnya sikap positif dan akomodatif terhadap tradisi filsafat (filsafat
Islam khususnya), baik dari individu masyarakat atau penguasa-penguasa Arab, didorong oleh
beberapa faktor, diantaranya, adanya slogan dan kampanye untuk menghidupkan kembali
tradisi dan nilai-nilai budaya Arab klasik, di mana pencapaian filsafat merupakan elemen
penting dalam budaya tersebut.

36
Disamping itu, sejalan dengan spirit modernisme yang sedang digemborkan di negeri-negeri
Arab, aspek rasionalitas merupakan bagian penting dari modernitas. Usaha untuk mencari
contoh dari tradisi sendiri yang memuat pesan rasionalitas hanya dapat dijumpai dalam tradisi
filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Faktor lain adalah adanya interaksi harmonis baik secara langsung ataupun tidak dengan
peradaban Barat modern. Masyarakat Arab saat ini selalu menyamakan posisi mereka dengan
zaman kejayaan mereka dulu, ketika mereka berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian
Yunani. Terlebih kini, ketika mereka --sadar atau tidak--dikejutkan oleh banyaknya studi
tentang filsafat Islam yang dilakukan oleh orang Barat. Hal ini, untuk selanjutnya menjadi
cambuk pemicu bagi mereka untuk mengkaji sendiri tradisi dan warisan intelektual mereka,
karena seharusnya merekalah yang lebih mengetahui tradisi sendiri.

Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat dalam masyarakat Arab kontemporer


dilakukan dengan berbagai cara, beberapa diantaranya adalah pertama, melakukan
penyuntingan buku-buku filsafat yang ditulis oleh para filosof muslim klasik. Kemudian
sedikit memberi kajian dan memperdalam pembahasannya. Termasuk sebagian diterjemahkan
ke dalam bahasa-bahasa asing untuk disebarluaskan dan menjadi kajian masyarakat
internasional, Kedua, menerjemahkan karya-karya filosof barat ke dalam bahasa Arab untuk
diperkenalkan kepada masyarakat Arab khususnya serta melakukan kajian mendalam terhadap
karya-karya tersebut. Ketiga, menciptakan isyu-isyu filsafat sendiri dan menulisnya,
khususnya isyu-isyu berkaitan dengan realitas kekinian ataupun sebagai reaksi dari isyu-isyu
filsafat yang telah ada lebih dulu.

Dalam konteks keindonesiaan sejarah pemikiran Islam mempunyai tradisi yang cukup
beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang hidup dan berkembang buah inspirasi dari pemikiran
Barat. Mereka ini adalah orang-orang yang dididik di dalam pendidikan Barat, dalam
pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran Islam yang berkembang di dalam
tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren atau tradisi yang terkait dengan sejarah intelektual di
Timur Tengah. Di dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada perdebatan kecil antara
para ilmuwan yang pernah mengenyam studi di Barat dan ilmuwan yang pernah studi di Timur
Tengah. Meskipun polarisasi yang terjadi tidak sedahsyat yang dibayangkan, tetapi tetap ada

37
perbedaan atau semacam garis pemisah di antara mereka. Termasuk adanya asumsi bahwa
orang yang belajar Islam di Barat dianggap tidak valid dan layak dicurigai ketulusan dan
keobyektivannya dalam melakukan kajian keislaman. Pengetahuan Islam di Barat bukan
pengetahuan Islam yang sesungguhnya karena diajar oleh kaum orientalis yang memiliki misi-
misi khusus, atau paling tidak, mereka bukan muslim practicing. Sebaliknya, mereka yang
belajar ke Timur Tengah merasa unggul karena merasa telah belajar langsung di pusat
pengetahuan Islam yang lebih murni yang kecil kemungkinan melakukan penyimpangan atas
ajaran ataupun sejarah Islam. Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia disamping
dihadapkan berbagai hal di atas juga mempertimbangkan berbagai hal terkait kondisi
masyarakat Indonesia yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah
realitas masyarakat yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak
mau harus memecahkan secara strategis persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap
syari’ah dan keyakinan-keyakinan keagamaan normatif yang selama ini diyakininya.

Kembali pada persoalan umum yang kini sedang dihadapi oleh bangsa-bangsa yang mayoritas
berpenduduk Islam adalah ketertinggalan dari negara-negara maju dalam memproduksi naskah
dan mengakses perkembangan-perkembangan baru dunia keilmuan. Bahkan negara-negara
berpenduduk mayoritas Islam cenderung hanya menjadi konsumen dari produk-produk
keilmuan yang dihasilkan oleh negara maju. Ironisnya lagi, ritme keilmuan yang
berkembangpun mengikuti irama yang dikendalikan oleh negara-negara maju tersebut. Kini
sudah saatnya membangkitkan kembali tradisi kelimuan yang dulu pernah berkembang di
dunia Islam. Dengan demikian dapat mengimbangi produktivitas negara-negara maju dalam
memproduksi berbagai kebutuhan keilmuan dan teknologi sendiri tanpa menggantungkan
kepada mereka.

Untuk mencapai impian tersebut maka para sarjana dan intelektual Islam perlu bekerja keras
dalam mewujudkan tradisi keilmuan yang dinamis dan harmonis. Permasalahan mendasar
seperti pengadaan buku referensi perlu diperbanyak, aktivitas penelitian perlu digalakkan dan
buku-buku yang ada di perpustakaan perlu dimaksimalisasi disertai dengan aktivitas-aktivitas
diskusi di setiap ruang dan sudut-sudut perpustakaan. Menggairahkan kembali tradisi menulis
di kalangan para sarjana dan ulama. Banyak para ulama kita yang secara keilmuan sangat

38
memadai namun sayang sebagian mereka memiliki kesulitan dalam menuangkan gagasan-
gagasannya dalam bentuk tulisan. Demikian pula karya-karya buku yang dihasilkan sudah
waktunya diterjemahkan ke dalam bahasa asing supaya menyebar dan dapat dibaca oleh dunia
internasional.

Meskipun dari sisi financial akan mengalami banyak kendala namun perlu dipikirkan bersama
agar pemikiran-pemikiran para ilmuan kita tetap dapat diakses oleh masyarakat terlebih
masyarakat internasional. Kita banyak mendengar kisah para ilmuwan Barat yang rela
menghabiskan uang bagitu banyak hanya untuk mencari sebuah manuskrip atau buku. Mereka
tidak terlalu berhitung seberapa besar uang yang ia keluarkan demi memenuhi kebutuhan
kelimuannya. Kegigihan dan kesungguhan dalam memenuhi kebutuhan keilmuan seperti ini
mesti kita tumbuhkan di kalangan sarjana-sarjana muslim. Dengan demikian, harapan untuk
membangkitkan kembali tradisi keilmuan dalam dunia Islam tidak lagi menjadi impian tetapi
dapat kita nikmati hasilnya.

Ungkapan Abu Hasan Ali al-Nadwi patut kita renungkan, baginya ilmuwan yang baik adalah
yang menulis untuk generasinya dan generasi kemudian. Para ulama dan ilmuwan menulis
buku bukan untuk dirinya atau meraup keuntungan sesaat tetapi untuk generasi kini dan
generasi mendatang. Proses regenerasi dan transformasi keimuan ini mungkin memakan
waktu yang cukup lama daripada usia seseorang atau ratusan tahun. Oleh karena itu, sudah
saatnya ilmuwan Islam menyemarakkan sekaligus mewariskan tradisi keilmuan kepada
generasi mendatang supaya mereka dapat meneruskan langkah besar ini.

Dalam membangkitkan tradisi keilmuan, tidak cukup hanya membangun aspek fisik bangunan
lembaga pendidikan dengan segala fasilitasnya semata, tapi yang tak kalah pentingnya adalah
membangun sikap mental individu. Upaya penting yang mesti segera dilakukan adalah
membangkitkan kesadaran masyarakat secara umum dalam menghargai ilmu dan budaya
membaca yang tinggi, sebab dalam membaca buku inilah pintu pengetahuan itu terbuka.
Beragam informasi-informasi baru bisa didapat. Persoalannya saat ini minat baca masyarakat
kita masih rendah. Hal ini dapat kita lihat dari kebiasaan sehari-hari masyarakat kita yang
kerapkali menghabiskan waktu kosongnya untuk hal-hal yang tidak produktif. Seperti
kebiasaan menunggu kendaraan hanya untuk melamun. Mengisi waktu dalam perjalanan

39
untuk tidur dalam kendaraan, dan sebagainya. Waktu-waktu kosong seperti ini dapat
dimanfaatkan untuk membaca majalah, Koran, ataupun buku.

Disamping itu perkembangan teknologi sudah selayaknya dapat dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya khususnya dalam meningkatkan tradisi keilmuan. Melalui media internet, kita dapat
memperoleh beragam ilmu dan bahan-bahan kajian dari para ilmuwan seluruh dunia dengan
mudah dan cepat. Karenanya sudah seharusnya lembaga-lembaga pendidikan melengkapi
fasilitas pendidikannya dengan fasilitas internet agar sarjana-sarjana kita tidak tertinggal
dengan sarjana-sarjana di negara-negara lain.

Sistem Pendidikan yang Terpadu Umat Islam sudah waktunya kembali kepada semangat
pendidikan seumur hidup yang telah dicanangkan oleh Rasulullah saw., sejak empat belas
abad silam. Banyak titah Rasulullah saw. yang menyemangati umat Islam akan pentingnya
hidup bergelimang pengetahuan. Titah Rasul yang cukup dikenal adalah perintah menuntut
ilmu bagi setiap Muslim dan Muslimah sejak saat dalam buaian sampai masuk ke liang lahat.
Demikian pula al-Qur’an telah dengan jelas-jelas mengingatkan kita supaya jangan
meninggalkan generasi yang lemah baik dalam keimanan, materi, kesehatan, maupun
pendidikan (QS. 4:9). Hal ini sudah sewajarnya memicu kaum Muslim untuk bersikap dengan
dimensi yang lebih luas dalam beragama, terutama dalam menghadapi masalah pendidikan.
Artinya, pendidikan harus dirajut sebagai bagian dari ibadah-ibadah utama yang mahdlah
walaupun status hukumnya ghair mahdlah. Dengan demikian, misalnya, seseorang yang telah
pernah melaksanakan ibadah haji tidak perlu ngotot pergi haji lagi sementara di sekitarnya
masih banyak anak-anak usia sekolah atau lembaga pendidikan yang tak terurus. Biaya
perjalanan hajinya akan lebih baik ditanamkan dalam membenahi sistem pendidikan di
lingkungannya. Untuk itu memang dibutuhkan cakrawala keberagamaan yang lebih lebar,
yang mewujud dalam keyakinan bahwa kemuliaan seseorang sebagai hamba Allah akan pula
diraih tidak hanya melalui ketekunan menjalankan ibadah individual namun dapat pula diraih
dengan ibadah komunal.

Dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw. juga terdapat berbagai aspek yang mendorong umat
Islam untuk selalu belajar sehingga pendidikan selalu mendapat perhatian umat Islam. Dalam
rangka mengambil manfaat efek sinergitas dalam dunia pendidikan, para peminat pendidikan -

40
khususnya para orang tua Muslim- perlu mengembangkan pula paradigma mafhum
muwaafaqah terhadap upaya sinergitas para penyelenggara pendidikan, yaitu bersedia seiring
sejalan karena tidak mungkin keunggulan pendidikan kaum Muslim diraih hanya
mengandalkan keringat lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan saja tanpa keikutsertaan
mereka. Artinya, setiap orang berani memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang nota
bene dibawah standar dengan mengedepankan rasa memiliki dan tekad perolehan keunggulan
bersama jangka panjang. Masing-masing bahu membahu membangun pendidikan yang
berkualitas. Justru kualitas dan keunggulan pendidikan, baru akan diperoleh jika dipompakan
ke dalam lembaga tersebut baik melalui pasokan anak didik yang unggul maupun dana dan
kepedulian. Dengan kata lain, untuk memasukan anak ke dalam lembaga pendidikan tidak
perlu menunggu sampai lembaga tersebut mapan karena hanya akan menjadi mimpi jika tak
ada dukungan yang sinergis dari berbagai pihak.

Antara masyarakat modern dan tradisional terdapat perbedaan tekanan dalam pendidikan.
Dalam masyarakat tradisional, penekanan kepada orientasi normatif merupakan aspek utama.
Lembaga pendidikan merupakan sumber signifikansi bagi pengajaran moral dan mengekalkan
tradisi. Dalam masyarakat modern, seiring dengan peningkatan pengajaran normatif semakin
menurun, dan lebih menekankan kepada ilmu dan teknologi atau keterampilan yang bermakna.
Dengan demikian tingkat kompleksitas dan kondisi masyarakat mempunyai korelasi dengan
tingkat diversifikasi lembaga-lembaga pendidikan. Dalam masyarakat yang belum begitu
komplek, bentuk dan jenis lembaga pendidikan masih sederhana. Setelah masyarakat
mengalami perkembangan, setelah pendidikan berlanjut, mulai muncul bentuk-bentuk
lembaga pendidikan baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Di sisi lainnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak cukup tampil hanya mengandalkan
eksistensi fisiknya saja, lebih dari itu harus mengedepankan pola-pola penyelenggaraan yang
terpercaya, profesional dan menomorduakan unsur bisnis dalam pelaksanaannya. Transparansi
pengelolaan dan manajemen yang profesional adalah suatu keniscayaan guna memperoleh
tingkat kepercayaan tinggi masyarakat, khususnya para orang tua murid. Model pengelolaan
pendidikan yang egaliter, namun tetap elegant dalam memandang kualitas adalah tuntutan-
tuntutan lainnya untuk memperkokoh keberadaannya. Lembaga pendidikan harus tampil

41
sebagai napas kehidupan komunitas muslim yang jika keadaannya megap-megap dapat
membangkitkan kepedulian mereka untuk peduli memulihkannya. Rasa memiliki harus
ditumbuhkan pada semua kalangan umat sehingga pada gilirannya bukan saja mereka percaya,
namun berkeinginan kuat membesarkannya. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut harus
dapat menjadi agen-agen keunggulan sekaligus sebagai jembatan dalam menjelajahi dunia
sampai akhiratnya. Tentu saja, upaya-upaya ini harus digarap bersama dengan tekad
memajukan kualitas pendidikan di lingkungannya.

Sistem pendidikan yang terpadu akan membantu melahirkan out put pendidikan yang
berkualitas dan menghasilkan SDM yang sesuai harapan. Artinya, pendidikan tidak hanya
terkonsentrasi pada satu aspek saja sebagai panyokong lahirnya SDM-SDM berkualitas.
Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan
yang unggul. Dalam hal ini, setidaknya ada 3 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama,
sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan
tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif
pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-
masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.

Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan
menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran
pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang
buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga
dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang diterima di
sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan
Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan
pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Hal ini berpengaruh pada model
pembinaan yang mesti diberikan kepada anak. Selain muatan penunjang proses pembentukan
kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT,
dasar-dasar ilmu keagamaan dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan)

42
diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik
berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.

Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum
sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang
mengikutinya. Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada
gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang
dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang
baik.” Ada tahap-tahap yang mesti dilalui sebagai bagian dari proses pembentukan
kepribadian anak menuju kemandirian.

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya,
“Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya.
Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya
mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Qur’an, kemudian suruh dia
menghafalkan al-Qur’an…”.

Ketiga, pendidikan yang diberikan berorientasi pada pembentukan kepribadian Islam, dan
penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target standar yang
harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi
pelaksanaan pendidikan Islam yang umum diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan
Islam.

Dalam mempertahankan eksistensinya, Madrasah juga lembaga pendidikan Islam lainnya di


Indonesia menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara pemenuhan kebutuhan
keagamaan dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi
meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam.
Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik
dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama.
Selama ini, umat Islam meyakini, ajaran Islam telah selesai disusun tuntas dalam ilmu agama
sebagai panduan penyelesaian seluruh persoalan kehidupan duniawi. Sementara, ilmu-ilmu
umum (non-agama) dipandang bertentangan dengan ilmu agama yang hanya akan membuat

43
kesengsaraan umat Islam. Namun kenyataannya, persoalan kehidupan duniawi terus
berkembang, ternyata tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu-ilmu agama.

Intergrasi Keilmuan Ilmuwan Prancis Bruno ‘Abdul Haqq’ Guiderdoni mengatakan ada
persamaan epistemologi antara sains dan agama, yakni merupakan proses pencarian kebenaran
yang terbuka. Di antara keduanya tak ada yang absolut. Keduanya memiliki integritas yang
harus dicarikan jembatannya. Keduanya bisa sampai pada kebenaran hakiki. Namun,
kebenaran akan lebih cepat terkuak jika keduanya bisa bersatu dan bekerja sama. Meskipun
berbeda, sains dan agama tidak bisa dipertentangkan. Justru keduanya bisa bersatu dalam
mencari kesempurnaan yang esensial.

Ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam sepanjang
didukung bukti kebenarannya. Ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang selama
ini disebut dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri tanpa
pemberian label ilmu agama. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui studi sejarah, fisika,
dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola penuturan Al-Qur’an, bukan hanya dengan
menguasai teori tentang Tuhan seperti tersusun dalam ilmu tauhid.

Persoalannya apakah umat Islam bersedia dan berani membebaskan diri dari ideologisasi
ilmu-ilmu Islam yang selama ini ditempatkan sebagai satu-satunya ilmu yang benar secara
teologis. Jika seluruh realitas diyakini sebagai ciptaan Tuhan, maka semua ilmu adalah Islam
karena ilmu adalah konsep tentang realitas alam, sosial dan humaniora. Al-Qur’an berisi
berbagai hal yang berkaitan dengan semua yang ada di alam ini, agama, sosial, ekonomi,
politik, budaya, ilmu pengetahuan alam, kedokteran dan sebagainya. Hanya saja al-Qur’an
tidak memuat hal-hal rigid yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut. Ini artinya bahwa
pada dasarnya tidak ada dikotomi ilmu islam dan ilmu umum, karena semua tercakup dalam
al-Qur’an.

Risiko dari pandangan ini ialah tidak mungkinnya lagi umat Islam melakukan klaim sepihak,
ilmu tertentu sebagai Islam, sistem pendidikan tertentu sebagai sistem pendidikan Islam, dan
sistem sosial tertentu sebagai Islam, sementara yang lain bukan Islam. Melalui cara ini, justru
Islam akan benar-benar ditempatkan sebagai akar semua ilmu, sistem pendidikan, dan sistem

44
sosial. Islam ditempatkan sebagai induk dari semua akar ilmu pengetahuan, yang memang
sudah selayaknya diterima oleh Islam, bukan malah memilah-milah keilmuan yang justru akan
memperkecil posisi Islam itu sendiri.

Penyebutan madrasah sebagai sekolah umum berciri khusus agama, oleh karenanya, bisa
dijadikan dasar untuk mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif.
Penyebutan demikian merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis yang tidak lagi
meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer nilai, tetapi media belajar hidup
yang terus dikembangkan dan didaur ulang. Madrasah yang didalamnya ilmu-ilmu agama
banyak dipelajari tidak lagi berada terpisah diantara deretan lembaga-lembaga pendidikan
yang lain, tapi ia berada membaur bersama dalam aktivitas pendidikan.

Ilmu umum, baru meluas dipelajari di madrasah, terutama sejak kemerdekaan tahun 1945
meskipun prosentasenya masih sangat kecil. Posisi ilmu umum terus menguat searah
perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Upaya menjadikan madrasah
setara dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum baru terwujud dengan keluarnya
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989 yang diikuti
Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 dan 29 tahun 1990 dan Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional dan Kebudayaan No. 054/U/11993 tentang MI, MTs, dan MA wajib memberikan
bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD, SLTP dan SMU dan ketentuan yang
menyatakan bahwa MI, MTs, dan MA adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam
yang diselenggarakan Departemen Agama.

Dalam pelaksanaan pendidikan kurikulum harus disusun dengan baik dan harus jelas bagi
semua fihak yang berkepentingan, karena berkaitan dengan out put yang ingin dihasilkan dari
keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan. Dalam kasus perguruan tinggi adalah Tri
Civitas akademika dan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
kurikulum kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia masih tidak demikian. Banyak di antara
perguruan tinggi yang kurikulumnya menjiplak perguruan tinggi lain yang sejenis tanpa
mengerti landasan filosofis yang ada di balik kurikulum tersebut. Demikian pula halnya
dengan IAIN dan STAIN, ataupun PTAIS. Kurikulum nasional mereka dibuat oleh
Departemen Agama di Jakarta dan hanya berupa daftar matakuliah. Silabusnya pun dibuat

45
seragam dan berupa deretan topik inti yang kadang-kadang tumpang tindih (over laping) satu
sama lain. Ironisnya lagi kurikulum dan silabus buatan orang lain ini dianggap sakral
(untouchables) dan tak dapat diubah lagi. Padahal sebagai lembaga pendidikan tinggi
seharusnya mereka menyadari sifat otonomi keilmuan yang mereka miliki. Dengan demikian
PTAI memiliki kebebasan untuk melakukan eksplorasi atas kurikulum dan out put pendidikan
yang ingin dihasilkan. Dengan membaca kurikulum yang tertulis dalam buku pedoman
kebanyakan PTAI, masyarakat masih belum dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang
hal-hal penting. Gambaran tersebut antara lain berisi apakah yang akan dibentuk oleh PTAI
melalui kurikulum itu? Bagaimana cara PTAI untuk mewujudkan lulusan seperti itu? Aspek-
aspek apakah yang akan dikembangkan melalui kurikulum itu? Dan sebagainya. Yang lebih
memprihatinkan lagi adalah bahwa kurikulum tersebut bukan saja tidak jelas bagi masyarakat
yang ingin mengetahui apa isi kurikulum PTAI, melainkan juga tidak jelas (setidaknya tidak
ada jaminan bahwa hal itu sudah jelas) bagi sebagian (mungkin sebagian besar) dosen yang
secara langsung mendidik mahasiswa di ruang kuliah. Sehingga ada ketidakterkaitan antara
keinginan pemerintah, pihak rektorat dan dosen yang mengajar di kelas. Masing-masing
berjalan sendiri sesuai dengan apa yang mereka pahami dari matakuliah yang menjadi
tanggungjawabnya. Masing-masing fihak memiliki visi masing-masing mengenai kualitas
lulusan dan apa yang seharusnya dilakukan untuk menghasilkan lulusan seperti itu.

Transformasi Pemikiran dan Tanggung Jawab Negara Pendidikan hingga saat ini masih
menjadi satu-satunya alat yang paling efektif untuk melakukan transformasi gagasan.
Perubahan pemikiran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat banyak dilakukan melalui jalur
ini. Isue-isue demokrasi, pluralisme, multikulturalisme, kerukunan beragama dan sebagainya
kerapkali disampaikan kepada masyarakat melalui jalur pendidikan. Pendidikan dalam konteks
ini tidak semata pendidikan formal yang selama ini terjadi di ruang-ruang kelas. Tetapi proses
pendidikan yang dijalankan banyak melalui forum-forum non-formal, seperti dialog, seminar,
majlis-majlis taklim di mana gagasan-gagasan yang dibawa disusupkan secara perlahan.
Selama ini model transformasi gagasan seperti ini sangat efektif dan cukup memberikan
dampak signifikan terlebih dengan dukung teknologi informasi dan komunikasi yang mampu
menyebarkan gagasan tersebut secara masih kepada masyarakat luas dalam waktu yang sangat
cepat.

46
Pendidikan jalur formal yang selama ini diselenggarakan secara resmi oleh lembaga-lembaga
pendidikan dapat pula, bahkan memiliki potensi yang cukup besar, untuk mentransformasikan
gagasan dalam sebuah desain besar perubahan masyarakat. Karena itu utnuk mengetahui
seberapa kualitas SDM dalam sebuah negara dapat diketahui dari kualitas pendidikan yang
diselenggrakan, lebih khusus dapat diketahui dari kurikulum yang dipergunakan dalam
lembaga pendidikan tersebut. Sebab dalam kurikulum itulah berisi nilai-nilai ataupun gagasan-
gagasan yang hendak ditularkan kepada peserta didik. Jika gagasan-gagasan yang ditularkan
bermasalah maka out putnya pun akan bermasalah.

Kurikulum sebuah lembaga pendidikan setidaknya harus mencerminkan identitas lembaga


tersebut sebagai lembaga pendidikan yang bermutu. Di samping juga dilengkapi dengan
tenaga-tenaga pengajar yang kompeten dan sarana dan prasarana yang memadai. Setidaknya ia
harus mencerminkan misi dan visi lembaga pendidikan tersebut. Kurikulum juga harus
memberikan gambaran yang jelas tentang lulusan yang ingin dihasilkan dan bagaimana
lembaga pendidikan tersebut akan mewujudkan lulusan yang diharapkan itu melalui berbagai
program dan mata pelajaran.

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia telah terjadi berkali-kali pergantian kurikulum


nasional. Yang terakhir dan masih banyak menjadi bahan diskusi berbagai kalangan adalah
kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini berusaha menjawab persoalan tidak hanya
persoalan dalam dunia pendidikan semata, namun persoalan SDM bangsa Indonesia secara
umum yang dianggap bermaslaah dalam berbagai aspek, baik itu moralitas maupun daya saing
dengan dunia internasional. Sayangnya kurikulum berbasis kompetensi ini tidak cukup
dipahami oleh pelaksana pendidikan khususnya para guru dan penyelenggara pendidikan
lainnya di level bawah. Artinya gerak sinergis antar berbagai kalangan belum terjadi dalam
proses pembentukan kualitas pendidikan dan SDM nasional.

Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan nampak jelas ketika beliau menetapkan
para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh
orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang
tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan
pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya

47
pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal.
Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (tawanan perang) dengan
harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai,
bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk
pendidikan.

Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah)
berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji
untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat
begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula
perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah
riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga
orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji
kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).

Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana
pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan
Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan josul didirikan oleh Ja‘far bin
Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca
atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara
gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di
perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji
para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman
sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam
abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para
penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.

Kondisi ini akan berbeda jika dikaitkan dengan kondisi sesungguhnya di Indonesia di mana
masih banyak kita temui anak-anak usia sekolah yang masih berada di jalanan atau tidak
mampu bersekolah karena ketiadaan biaya, Meski pada dasarnya pemerintah memiliki
kewajiban untuk membuat mereka mendapatkan pendidikan karena itu adalah bagian dari hak
mereka. Ketika hak pendidikan itu tidak mereka dapatkan, pada akhirnya memicu lahirnya

48
lembaga-lembaga non pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun
yayasan-yayasan sosial yang berupaya menolong mereka dari ketertinggalan pendidikan.

Kondisi yang berlangsung terus menerus tersebut membuat masyarakat sendiri yang
memperkuat basis-basis pendidikan “alternatif”, sebagai jawaban konkret atas
ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan semua persoalan pelik pendidikan di negeri ini.
Kekuatan-kekuatan sosial masyarakat sendiri yang mesti menawarkan konsep pendidikan
yang terjangkau mayoritas rakyat, ketika lembaga pendidikan formal berperilaku layaknya
saudagar.

Tak usah lagi silau oleh deretan gelar dari lembaga pendidikan formal, sudah saatnya pula
menghentikan praktik mencari koneksi, kasuk-kusuk sana-sini, demi diterima bersekolah atau
berkuliah di lembaga pendidikan favorit. Hentikan semua praktik kontraproduktif yang
sebetulnya justru menjadi bagian dari penyakit dan persoalan rumit pendidikan di negeri ini.
Sudah saatnya segenap elemen masyarakat memikirkan lebih serius masa depan pendidikan di
Indonesia, karena pendidikan berkaitan erat dengan nasib bangsa yang nantinya akan beralih
kepada generasi berikutnya. Jika generasi yang akan mewarisi bangsa ini tidak mendapatkan
pendidikan yang selayaknya maka kita pun akan dapat memprediksikan gambaran masa depan
bangsa Indonesia.

6. Jelaskan pula sejarah pemikiran filsafat Islam kontemporer ?

Perdebatan akhir-akhir ini antara kalangan Islam “liberal” dengan Islam fundamentalis,
sesungguhnya mengulang pertarungan wacana lama antara kelompok Mu’tazilah dengan
kelompok yang menolak rasionalisme sebagai titik pusat dalam pencarian kebenaran –hal ini
bisa diwakili oleh pemikiran kelompok Asy’ariyah dan Khawarij. Di tengah arus global
modernitas, di mana agama dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman maka
pemikiran rasionalisme menjadi keharusan sejarah (historical necessity) dalam
mengintepretasikan kembali wacana agama, pada setiap wilayah kajian keagamaan. Hubungan
antara agama dan filsafat tidak lagi perlu diperdebatkan karena --sebenarnya, jika kita mau
jujur-- pendekatan filosofis-rasional sangat membantu kita untuk memahami agama secara

49
kontekstual dan sebagai pandangan dunia (world view) menuju (mendekati) Kebenaran, secara
arif dan bertanggung jawab.

Pemikiran Islam kritis dan rasional pasca-Ibnu Rusyd terasa mati karena memang pintu ijtihad
dan rasionalisme tidak berkembang sejak abad pertengahan, dikunci oleh arus deras pemikiran
konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan
sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfir) karena dianggap filsafat
adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam. Banyak referensi mencatat bahwa hal
demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M) mengugat dan mempertanyakan kaum
filosof dalam bukunya, Tahafut al-Falasifa (Kerancuan atas Para Filosof). Ia mempersoalkan
penggunaan Aristotelianisme (sebagai dasar pijakan paripatetisme) dalam filsafat Islam. Ibnu
Sina (980-1037 M) dan Al-Farabi (257 H/870 M), adalah dua filosof muslim yang menjadi
obyek kritikan keras Al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan kesalahan dalam logika
pemikiran metafisika (ketuhanan).

Menurut Ibnu Sina, alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa
yang ditentukan dan dipastikan. Hanya Tuhan sajalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan
oleh sesuatu di luar diri-Nya. Tuhan adalah sebab pertama yang dari serangkaian sebab-akibat
yang membentuk struktur realitas. Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan adalah
pengetahuan ipso facto tentang segala sesuatu di luar diri-Nya, dan dengan mengetahui diri-
Nya maka tidak pelak lagi mengetahui segala maujud di luar diri-Nya. Bagi Ibnu Sina, Tuhan
hanya tahu terhadap esensi-esensi (universal-univesal), bukan pada maujud-maujud khusus
karena yang khusus secara pasti diketahui secara inderawi –ini didasarkan pada tradisi falsafat
helenisme. Hal demikian dikritik oleh Al-Ghazali karena pemaknaan yang dilakukan oleh Ibnu
Sina ini mengingkari setiap pemahamaan tentang keagungan ilahi, artinya mendekatkan
keadaan Tuhan kepada keadaan sebuah benda yang tidak hidup, yang tidak membutuhkan
kabar berita tentang alam semesta.i[4] Melalui bukunya itu, Al-Ghazali menyerang dua hal
utama. Pertama, filsafat menentang prinsip-prinsipnya sendiri. Kedua, filsafat tidak
bersesuaian dengan agama dan filsafat tidak memberi ruang pada agama. Hal ini berarti bahwa

50
apa yang dipikirkan oleh kaum filosof tentang Tuhan, mereka hanya memperlakukan-Nya
sebagai nama (nominal) sehingga Tuhan tidak diberi ruang untuk bertindak apa-apa.

Anggapan bahwa Al-Ghazali telah mengakhiri riwayat filsafat dalam dunia Islam
dipersalahkan oleh Oliver Leaman. Penulis berpendapat, sesungguhnya Al-Ghazali berusaha
untuk memberikan “rem kendali” bagi kaum filosof untuk tidak secara bebas berfikiran
filosofis-rasional. Dan Al-Ghazali sendiri telah memberikan contoh bagi sebuah perdebatan
intelektual yang mencerdaskan. Tapi, ternyata gaya kafir-mengkafirkan pemikiran para filosof
yang dikritiknya memberikan citra buruk tersendiri, sehingga para ulama konservatif yang
tidak suka filsafat kemudian menjadikan landasan argumen Al-Ghazali sebagai penguat basis
penolakan. Al-Ghazali, ketika mengkritik filsafat sesuangguhnya dia menggunakan logika dan
pemikiran filsafat, walaupun dia sendiri kemudian menganggap filsafat bertentangan dengan
agama. Dan Ibnu Rusyd (1126-1198 M), mengkritisi pandangan Al-Ghazali dalam bukunya,
Tahafut at-Tahafut, yang isinya setebal 1006 halaman.

Ibnu Rusyd membangkitkan gairah intelektual dengan pendekatan filosofis-rasional, yang


kemudian diadopsi oleh Barat sebagai jalan menuju pencerahan. Aspek rasionalitas filsafat
Aristoteles mencapai puncaknya pada Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd membidas balik kritik Al-
Ghazali, dan mencoba mensucikan filsafat. Beliau diakui sebagai murid Aristoteles termurni
di antara para filosof muslim. Kontribusi utamanya Ibnu Rusyd terhadap filsafat Islam adalah,
pertama, tesisnya tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur
yang dipakai sama-sama bisa diterima, dan didasarkan pada teori makna (the theory of
meaning) yang sangat rasional dan kaya pemikiran. Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan
antara filsafat dan agama setelah Al-Kindi, filosof pertama yang memadukan keduanya.
Bahkan dia berpendapat bahwa agama Islam secara inherent adalah agama yang filosofis
karena agama mewajibkan kita berfilsafat. Kedua filosof muslim di atas berserta filosof
lainnya membalikkan pandangan Al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan filsafat
bertentangan.

Pemikiran filsafat di belahan barat Dunia Islam mengalami kemunduran setelah serangan Al-
Ghazali. Tapi, di sebelah timur, filsafat terus berkembang sampai sekarang dalam penjelasan

51
(syarah) dan penambahan (hasyiyah). Figurnya adalah Syuhrawardi (1154-1191 M) dan Ibn
Al-‘Arabi (1164-1240 M), dan mencapai puncak pada Mulla Shadra (1571-1572 M).
Syuhrawardi adalah konseptor aliran isyraqi atau filsafat iluminasi, dan dia mencoba
memadukan antara tradisi mistis dan filsafat Paripatetik. Dia melihat pengetahuan sejati terjadi
ketika kita diiluminasi oleh Sumber Cahaya dan Sumber Realitas itu. Menurutnya, hal ini
tidak bertolak-belakang dengan filsafat Paripatetik yang juga dianggap sebagai pemikiran
shahih dalam terhadap pengetahuan konseptual. Hanya saja, bagi dia, filsafat iluminasi
sanggup bergerak lebih jauh melebihi filsafat Paripatetik dengan menyodorkan pembuktian
dan penerimaan pengetahuan secara lebih sempurna.ii[10] Suhrawardi menganggap metode
definisi Parepatetik sebagai cara yang tidak valid untuk memperoleh pengetahuan. Bagi
Suhrawardi, tujuan yang ingin dicapai dalam epistemologi illuminasi adalah jenis pengetahuan
yang unqualified, yaitu yang diketahui melalui kepastian (yaqin), dengan menggabungkan
antara pengetahuan dengan esensi semata dan pengetahuan dengan Bentuk-bentuk abadi yang
tidak berubah.

Ibn Al-‘Araby, dengan pendekatan filsafat illuminasi berusaha menginternalisasikan


mistisisme ke dalam filsafat, setelah Al-Ghazali mempeloporinya. Al-Ghazali telah
melakukansejumlah hal penting untuk membuat sufisme lebih bertanggung jawab, kerja
seperti ini kemudian disistematisasikan oleh Ibn Al-‘Araby. Kalau dimasukkan ke dalam
empat kelompok pencari kebenaran model Al-Ghazali, maka Ibn Al-‘Araby masuk pada
golongan kaum sufi. Ibn Al-‘Araby dikenal dengan doktrin wahdatul al-wujud (ketunggalan
wujud), yang mengidentikkan Tuhan dan alam, dengan argumentasi bahwa jika keduanya
dipisah maka tidak akan menangkap inti realitas sebenarnya. Pandangan ini ditandingi oleh
Ahmad Sirhindi (1564-1624 M) dengan doktrin wahdah al-syuhud (ketunggalan penyaksian),
dengan argumen bahwa alam adalah refleksi dari Tuhan.

Ada empat sumber utama yang dilakukan para filosof dalam mencari kebenaran, dan ini
sangat membantu dalam memahami pemikiran Mulla Shadra.iii[14] Pertama, filsafat Paripatetik
Islami, yang dimulai dari Al-Kindi sampai Ibnu Rusyd, dan utamanya adalah Ibnu Sina.
Kedua, filsafat illuminasionisme (teosofi isyarqi), yang dilakukan oleh Suhrawardi, dan diikuti
oleh para pensyarahnya, seperti Quthb al-Din Syirazi dan Jalal al-Din Dawani. Ketiga, ajaran

52
tasawuf yang dipopulerkan oleh Ibn al-‘Araby dan pembahas ajarannya, seperti ‘Ayn al-
Qudhat al-Hamdani dan Mahmud Syabistari. Keempat, pemikiran syariat Islam yang telah
menjadi pemikiran sentral dalam dunia Islam sampai saat ini.

Menurut Mulla Shadra, secara umum, memperoleh ilmu pengetahuan melalui dua metode,
yaitu metode Hushuli dan metode Hudhuri. Metode hushuli ialah metode memperoleh ilmu
melalui upaya sengaja, sesuai alat yang digunakan manusia. Metode ini dibagi lagi menjadi
dua macam, yaitu wahyu (naqly) dan akal (‘aqly). Sedangkan metode hudhuri ialah metode
memperoleh ilmu dengan cara perenungan dan penghayatan terhadap sebuah obyek, sehingga
ia hadir dalam kesadaran seseorang tanpa abstraksi rasional. Metode ini adalah bagaimana hati
(qalb) ditempelkan dengan obyek (ma’qul). Konsep hudhuri Mulla Shadra adalah
kemamppuan manusia menangkap totalitas wujud, baik materi maupun maknanya, yang
diperoleh melalui mukasyafah dan musyahadah dengan kesadaran penuh manusia setelah
memperoleh cahaya dari Tuhan. Mulla Shadra mensintesiskan kedua metode di atas.

Pemikiran Ibnu Rusyd di bagian barat dunia muslim dan pemikiran Mulla Shadra di bagian
timur, telah kehilangan elan vital dalam menumbuhkan kesadaran berfikir masyarakat Islam.
Apalagi, sejak penjajahan Barat, baik melalui pemikiran dan kekuatan ideologi (Kapitalisme
dan Sosialisme) yang menguasai kawasan muslim, lambat laun membangkitkan umat dari
tidur panjang sejarah peradaban. Modernitas telah menjadi realitas yang tidak bisa lagi ditolak
kemunculannya, dan menjadi tantangan besar agama-agama (termasuk Islam) dalam
menjawabnya. Lalu, dalam dunia Muslim diperhadapkan pada dua masalah besar, yaitu
melawan hegemoni Barat (dalam bentuk ideologisasi dan orientalisme) dan menumbuhkan
tradisi pemikiran dengan pendekatan ijtihad dan rasionalisme dalam metode berfikir umat
menuju peradaban Islam.

Dalam filsafat kontemporer Arab, berbagai madzhab kemudian banyak bermunculan setelah
dibangunkannya umat dari kesadaran melawan kolonialisme Barat. Muncul pemikir besar,
semisal Jalaluddin Al-Afghani (1838-1879 M) dan Muhammad Abduh (1848-1905 M), yang
mencoba menjalankan agenda modernis untuk menghubungkan Islam dengan bentuk
kehidupan yang sesuai dengan masyarakat ilmiah modern.iv[15] Dari sini kemudian diskusi

53
seputar konfontrasi Islam dan modernitas menjadi perbincangan yang menarik. Terjadi dua
kubu yang berlawanan dalam memahami modernitas, ada yang cenderung fundamentalis dan
ada yang berupaya berfikir secara “liberal”, dan mencari pola hubungan yang rasional antara
Isam dan Barat.

Tradisi dan Modernitas: Perspektif M. Abed Al-Jabiri


Dalam tulisan ini, sengaja penulis paparkan tentang pemikiran Islam masa klasik karena
sebenarnya apa yang sedang dilakukan oleh para pemikir Islam (Arab) kontemporer berusaha
untuk menghidupkan tradisi ijtihad dan rasionalisme berfikir dalam memahami agama agar
terjadi keterhubungan wacana dan praksis dengan realitas modernitas masa kini. Muhammad
Abduh adalah pemikir pembaharu Islam yang telah membuka jalan bagi pendobrakan pintu
ijtihad dari ketertinggalan umat dalam merespon zaman. Tulisan ini mencoba memaparkan
pemikiran intelektual muslim kritis kontemporer yang tergabung dalam kubu “Post
Tradisionalisme Islam”.v[16] Disebabkan karena terbatasnya ruang untuk membedah seluruh
pemikiran intelektual yang tergabung dalam kubu ini, maka hanya dibatasi pada tela’ah
pemikiran M. Abed Al-Jabiry (asal Maroko) dan Hassan Hanafi (asal Mesir).

Apa yang disebut dengan tradisi (turats)? Dan bagaimana kita memperlakukan tradisi agar
bisa menjawab modernitas? Tradisi, dalam pandangan M. Abed Al-Jabiri adalah “sesuatu
yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang
lain, ataukah masa lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat.” Tradisi
adalah titik temu antara masa lalu dan masa kini.vi[17] Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari
keadaan kita saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan kekinian kita. Jadi, dalam pandangan
Al-Jabiri, semuanya adalah tradisi, bila berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di tengah
kita dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal dari masa lalu.vii[18] Persoalannya, adalah
bagaimana kemudian membaca tradisi itu agar bisa relevan dengan masa kini. Dalam kaidah
Postra atau NU liberal dikenal kaidah : “al-muhafadhatu bil-qadim as-shalih wal-akhdzu bil-
jadid al-ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Artinya, tradisi itu direkonstruksi dengan menginternalisasikan pemikiran-pemikiran
kontemporer.

54
Metodologi yang dipakai Al-Jabiri dalam mengkaji persoalan tradisi adalah dengan
pendekatan “Obyektivisme” (maudlu’iyah) dan “Rasionalitas” (ma’quliyah).viii[19]
Obyektivisme artinya menjadikan tradisi lebih kontektual dengan dirinya, dan berarti
memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Tahap ini adalah dekonstruksi, yaitu
membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan keinginan-keinginan masa
kini, dengan jalan memisahkan antara subyek pengkaji dan obyek yang dikaji. Sebaliknya,
yang dimaksud dengan rasionalitas adalah menjadikan tradisi tersebut lebih kotekstual dengan
kondisi kekinian kita. Tahap kedua adalah merekonstruksi pemikiran baru dengan
menghubungkan antara obyek dan subyek kajian. Maksud Al-Jabiri, hal ini dilakukan agar
didapatkan pembacaan yang holistik terhadap tradisi.

Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk
menghadapi modernitas. Al-Jabiri telah melampaui ideologi dalam proyek peradabannya,
dengan menyusun tetralogi bukunya yang serius digarap.ix[20] Dalam bukunya Nahnu wa at-
Turats : Qira’ah Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi (Kita dan Warisan Pembacaan
Kontemporer terhadap Warisan Filsafat Kita)x[21], Al-Jabiri memetakan perbedaan prosedural
antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan epistemologis filsafat Arab. Menurut Al-
Jabiri, muatan epistemologis filsafat Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia
intelektual berbeda dengan muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua terkait
dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun.xi[22] Kedua istilah itu (epistemologis-
ideologis) sering dipakai Al-Jabiry dalam studinya tentang Akal Arab. Istilah epistemologi
merupakan kumpulan kaidah berfikir yang siap digunakan dalam berbagai kondisi
kemasyarakatan. Sedangkan, istilah ideologi adalah kondisi sosial dan politik yang
mempengaruhi arah pemikiran setiap tokoh pada masa dan tempat dia berada. Seorang tokoh
bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan problematika yang
dihadapinya.

Al-Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur
Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa
lampau (namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu
berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurut Al-Jabiry, dalam

55
membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolok dari realitas, tetapi
berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut Al-Jabiri, tradisi (turats)
dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warusan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian
dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas
doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan.xii[25]
Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga
istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.

Untuk menjawab tantangan modernitas, Al-Jabiri menyerukan untuk membangun


epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema al-Jabiri hingga saat ini
masih beroperasi, yaitu : Pertama, disiplin “eksplikasi” (‘ulum al-bayan) yang didasatkan
pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi
pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui
dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua,
disiplin gnotisisme (‘ulum al’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam”
sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran
esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti
“enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui
observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional,
metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi
umumnya. Yang menarik dalam pemikiran Al-Jabiri dalam upayanya menghubungkan tradisi
dengan modernitas adalah keharusan umat Islam untuk mengembalikan rasionalisme dalam
pembacaan terhadap teks-teks agama.

Pertama, kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam filsafat. Semangat yang mendasari
rasionalisme pemikiran Ibnu Rusyd adalah sikap kritis dan ilmiah, serta berafiliasi kepada
tradisi pemikiran rasionalisme yang menekankan pengetahuan asiomatik. Pengetahuan
asiomatik ini mengulang kembali paradigma Aristoteles, sekaligus mengadopsi sistem
pengetahuan yang berdasar pada ilmu dan filsafat seperti dibangun oleh Aristoteles beberapa
abad sebelumnya. Ada tiga tradisi pemikiran yang dominan pada masa Ibnu Rusyd, yaitu :
tradisi kalam dan filsafat, tradisi fiqh dan ushul fiqih, dan tradisi tasawuf teoretik. Pada ketiga

56
tradisi itu, sama-sama meniadakan pendekatan ilmiah-rasionalisme atau burhani. Ibnu Rusyd
menyerukan untuk mengikuti garis-garis pemikiran rasionalisme dan pembelaannya yang
sangat heroik terhadap argumen kausalitas, sebagai jalan perjuangan demi “pembalikkan” atas
situasi saat itu. Dan proyek besar Ibnu Rusyd adalah merekonstruksi dimensi rasionalitas
dalam agama dan filsafat atas dasar prinsip burhani. Dia melakukan dua langkah untuk
meloloskan proyeknya. Langkah pertama, Ibnu Rusyd memberikan komentar dan ringkasan
atas karya-karya Aristoteles dengan tujuan untuk memudahkan bagi pembaca dalam
memahami pemikiran filsuf Yunani tersebut. Dan langkah kedua adalah membantah dan
melakukan serangan balik terhadap Al-Ghazali, melalui karyanya Tahafut at-Tahafut.

Kedua, kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam syari’ah. Dalam kontribusi ini, Ibnu Rusyd
membuktikan hubungan yang tidak bertentangan antara filsafat dan agama. Menurutnya, sisi
rasionalitas dari perintah-perintah agama berserta larangan-larangannya dibangun atas
landasan moral keutamaan atau fadlilah. Landasan ini sama dengan yang ada pada filsafat.
Maka tidak heran jika Ibnu Rusyd mempersandingkan agama dengan filsafat : “al-hikmah hiya
shahib al-syari’ah wa al-ukht al-radli’ah” (filsafat merupakan kawan akrab syari’at dan teman
sesusuannya). Bagi Ibnu Rusyd, bila dalam permukaan tampak perbedaan atau pertentangan,
maka hal itu merupakan kekeliruan dan kesalahpahaman dalam menafsirkan keduanya. Hal itu
disebabkan tidak dipakainya rasionalisme dalam penafsiran agama. Kata Ibnu Rusyd, agama
tidaklah menafikan metode burhani atau rasionalisme, tapi malah menganjurkannya, agar
menjadi sarana yang efektif bagi kalangan ulama atau kaum rasionalis (ashab al-burhan)
untuk memahami agama secara rasional.

Ketiga, kontribusi rasionalisme al-Syatibi. Apa yang dikemukakan Ibnu Rusyd kemudian
memunculkan pertanyaan : bagaimana mungkin membangun dimensi rasionalitas dalam
disiplin agama, yang atas dasar prinsip “al-qath’i” (kepastian)? Al-Syatibi (w.790 H)
menjawab bahwa semuanya itu bisa saja terjadi. Hal ini dimungkinkan apabila kita mengacu
pada metode rasionalisme atau burhani, sehingga disiplin ushul fiqih pun didasarkan pada
prinsip “kulliyah al-syari’ah” (ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip “maqashid
al-syari’ah”. Prinsip “kulliyah al-syari’ah” berposisi sebagaimana posisi pada “al-kulliyah al-

57
aqliyah” dalam filsafat. Sedangkan “maqashid al-syari’ah” serupa dengan posisi “al-sabab al-
gha’iy” (sebab akhir) yang berfungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran rasional.

Untuk bisa mencapai “al-kulliyah al-aqliyah” itu maka kita menggunakan metode yang
berlaku dalam “al-kulliyah al-‘ilmiyah” atau universalitas-universalitas ilmu-ilmu alam dan
filsafat. Metodenya adalah induksi (istiqra’), sebagai cara untuk meneliti sejumlah kasus-
kasus spesifik atau juz’iyah. Dari sana kemudian ditarik beberapa prinsip universalitas.
Universalitas-universalitas syariat bersifat pasti dan yakin (qath’i) dengan tiga prinsip, yaitu :
(i) prinsip keumuman dan keterjangkauan, (ii) prinsip kepastian dan ketidakberubahan, dan
(iii) prinsip legalitas (al-qanuniyah).

Penjelasan di atas adalah pada konsep universalitas dalam syari’at. Sedangkan dalam prinsip
“maqashid al-syari’ah”, al-Syatibi menyebut empat unsur pokok yang menentukan. Pertama,
sesungguhnya syari’at agama diberlakukan dalam rangka memelihara dan menjaga
kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Kedua, syari’at agama diberlakukan untuk
dipahami dan dihayati oleh umat manusia. Ketiga, adanya unsur taklif, pembebanan hukum-
hukum agama kepada manusia. Pertimbangannya, Allah tidak akan membebani seseorang di
luar kemampuan dan kesanggupannya. Dan keempat, “melepaskan sang mukallaf dari
belenggu dorongan hawa nafsunya”. Kesemua unsur di atas harus melekat pada tujuan dari
diberlakukannya syari’at.

Lalu, kontribusi terakhir yang ditawarkan Al-Jabiri adalah dari rasionalisme Ibnu Khaldun.
Kelebihan Ibnu Khaldun dalam memaparkan sejarah, seperti dalam kitabnya, Muqaddimah,
adalah “penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab-sebab dan latar
belakang terjadinya sesuatu ; juga pengetahuan yang akurat tentang asal-usul, perkembangan,
dan riwayat hidup matinya kisah peradaban manusia”. Menurut Al-Jabiri, dengan metode
semacam ini, displin sejarah menjadi bagian dari tradisi keilmuan rasional. Penulis
menganggap bahwa Al-Jabiri sangat apresiatif terhadap Ibn Khaldun karena ia telah
memberikan jalan bagi empirisisme penelitian sejarah, yang juga rasional. Ukuran validitas
sejarah Ibnu Khaldun adalah pengetahuan “thaba’i al-Umran” (dinamika-dinamika internal
yang umum atau biasa terjadi dalam pengelompokan-pengelompokan sosial manusia).

58
Maka, upaya untuk membangun tingkat rasionalitas dalam ilmu sejarah, yakni rasionalitas
dalam arti kepastian faktualitas suatu kasus atau cerita. Nah, sebab-sebab untuk membangun
derajat rasionalitas sesuatu, yaitu “sebab-sebab yang berlaku secara alami dan lahiriah, dan
mampu dipahami dan dijangkau oleh akal dalam bentuk yang teratur dan apik”. Sebab-sebab
metafisik atau “sebab-sebab esoterik” (asbab khafiyah) tidak masuk dalam pengertian di atas.
Pandangan Ibnu Khaldun nampak empirik sekali, yaitu dengan melihat fakta dan lahiriah
sesuatu obyek pengamatan. Apabila pengamatan itu dimasuki oleh agama maka bagi Ibnu
Khaldun, analisanya seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd dan al-Syatibi, yaitu faktor
kemaslahan (maslahah).

IV. Studi Pemikiran Para Filosof Muslim dan Barat

1. Sebutkan latar belakang pemikirannya ?

Dalam menjawab soal ini mahasiswa dibebaskan untuk memilih salah satu tokoh, mau toh
filosuf Islam ataupun tokoh filosuf Barat.

2. Jelaskan Pemikiran dan pandangan dari tokoh filosof Islam/Barat ?

Dalam menjawab soal ini mahasiswa dibebaskan pula untuk memilih salah satu tokoh,
pemikiran dan pandangan mau toh filosuf Islam ataupun tokoh filosuf Barat.

3. Paparkan analisis dan kritis terhadap pemikiran tokoh filosuf di atas ?

Dalam menjawab soal ini mahasiswa harus pandai menganalisis dan mengkritisi pemikiran
dan pandangan tokoh filosuf Islam ataupun tokoh filosuf Barat yang diangkat.

59
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….. i


DFTAR ISI …………………………………………………………………………… ii
I. Asas-Asas Aqidah ……………………………………………………………. 1

1. Pengertian Aqidah sebagai sistem nilai dalam kontek Al-Quran …………………. 1


2. Pengertian Aqidah sebagai sistem epistemologi dalam kontek pemikiran para
Teolog, Sufi, dan Filosuf Muslim ………………………………………………… 2
3. Pengertian Aqidah sebagai sistem Ideologis dalam berfikir, bersikap, dan
bertingkahlaku dalam proses pencarian kebenaran ………………………………. 5

II. Asas-Asas Filsafat ………………………………………………………. 15


1. Pengertian Agama, Filsafat, dan Ilmu …………………………………………... 15
2. Objek Kajian Filsafat ……………………………………………………………. 20
3. Cabang-cabang Filsafat …………………………………………………………. 22
4. Metode Filsafat …………………………………………………………………. 23
5. Metode Penelitian Filsafat ………………………………………………………. 25

III. Perkembangan Sejarah Filsafat ………………………………………. 26


1. Munculnya Pemikiran Filsafat Yunani ke Dunia Islam ………………………… 26
2. Hubungan Filsafat Yunani dengan Filsafat Islam ……………………………… 28
3. Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Barat ………………………………... 29
4. Sejarah pemikiran filsafat Islam sesudah Ibnu Rusyd …………………………. 31
5. Pengaruh Pemikiran Filsafat Islam di Dunia Barat ……………………………. 32
6. Sejarah pemikiran filsafat Islam kontemporer …………………………………. 49

IV. Studi Pemikiran Para Filosof Muslim dan Barat …………………... 59


1. Latar belakang pemikiran ……………………………………………………… 59
2. Pemikiran dan pandangan ……………………………………………………… 59
3. Analisis dan kritik pemikiran ………………………………………………….. 59

60
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan petunjuk Allah swt serta kerja keras dan ketekunan Tiem, Kisi-
kisi ujian komprehensif kejurusanan Program Studi Aqidah Filsafat (AF) Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Gunung Djati Bandung dapat diselesaikan sesuai jadwal.

Kisi-kisi ujian komprehensif kejurusanan prodi ini berisikan asas-asas aqidah, asas-asas filsafat,
perkembangan sejarah filsafat dan penjelasan studi pemikiran para filosof muslim dan barat
Program Studi Aqidah Filsafat (AF), disusun dengan tujuan memberikan gambaran rinci dan
mengembangkan Program Studi sesuai visi, misi dan tujuan yang telah disepakati.

Sesuai dengan kisi-kisi ujian komprehensif Program Studi, kisis-kisi ujian komprehensif
kejurusanan ini disusun berdasarkan komponen-komponen strategis pendidikan dan kinerja
Program Studi Aqidah Filsafat (AF), kemudian dianalisis dengan analisis SWOT dengan
memperhatikan kemampuan diri dalam mengelola suasana akademik dalam kehidupan pergaulan
kampus.

Kisi-kisi ujian komprehensif kejurusanan terhadap Program Studi Aqidah Filsafat (AF) ini
selanjutnya digunakan sebagai acuan untuk menyusun salah satu Prasyrat kelengkapan Administrasi
Program Studi yang diselenggarakan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama (IRJEN
DEPAG), pada PTAI Departemen Agama Republik Indonesia. Pada periode satu tahun yang lalu,
Program Studi Aqidah Filsafat (AF) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Setelah dilakukan perbaikan dan peningkatan kegiatan, mudah-mudahan proses belajar
mengajarnya dapat diperbaiki masa yang akan datang.

61
Dalam penyusunan kisi-kisi ujian komprehensif kejurusanan ini, kami memperoleh bimbingan dari
Bapak Dekan, Bapak Prof. Dr. Muhtar Solihin, M.Ag. Pembantu Dekan I, II dan III serta pihak-
pihak lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Sehubungan dengan hal itu, kami
menghaturkan terima kasih yang tak terhingga.

Bandung, 19 Agustus 2011

Ketua Program Studi Aqidah Filsafat,

Gustiana Isya Marjani, Ph. D


NIP. 197108312002121002

62
KISI-KISI UJIAN KOMPREHENSIF KEJURUSANAN
TAHUN AKADEMIK 2011/2012

PENYELENGGARA

PROGRAM STUDI : AQIDAH DAN FILSAFAT


FAKULTAS : USHULUDDIN
PERGURUAN TINGGI : UIN SGD BANDUNG

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)


SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG 2 0 1 1

63
64
65

Anda mungkin juga menyukai