Istilah Ahlus Sunnah wa al Jama’ah terdiri dari 3 kata, yaitu Ahlun, Al Sunnah, dan al
Jama’ah. Secara etimologi, Ahlu berarti keluarga, penduduk, orang yang berilmu, atau
pendukung.[1] Al Sunnah, menurut bahasa Arab, adalah al Thariqah, yang berarti metode,
kebiasaan, perjalanan hidup, atau perilaku, baik terpuji maupun tercela.[2] Lebih jelas lagi adalah
definisi yang disampaikan oleh Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H) yang
menyatakan bahwa As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, yang mencakup di dalamnya berpegang
teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah
as-Sunnah yang sempurna. Selanjutnya dia menambahkan bahwa generasi Salaf terdahulu tidak
menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Inilah yang
diriwayatkan oleh Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H)
Sedangkan al Jama’ah menurut Ibn Taimiyah adalah persatuan. Ada juga yang
mengartikannya sebagai ahlul Islam yang bersepakat dalam masalah syara’. Selain itu juga ada
yang mengartikannya al Sawadul A’zham (kelompok mayoritas).[4] Ada juga yang mengatakan
bahwa al-Jama'ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang mengelompok. Tetapi, yang
dimaksud dengan al-Jama'ah dalam pembahasan aqidah adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini
dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya
seorang yang berdiri di atas kebenaran yang telah dianut oleh jama 'ah tersebut.[5]
Jama'ah adalah istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama
menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'.[6] Menurutnya, kata “ahlus
sunnah” mempunyai dua makna: Pertama, mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar yang yang
datangnya dari Rasulullah SAW dan para sahabat, menekuninya, memisahkan yang shahih
dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam
masalah aqidah dan ahkam. Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh
sebagian ulama’, dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama as sunnah, seperti Abu
Ashim, al Imam Ahmad Ibn Hanbal, al Imam, al Khalal, dan lain-lain. Mereka mengartikan as
sunnah sebagai i’tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma’. [7]
merupakan kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Adapun penamaan ahlussunnah wa al jama’ah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal
munculnya firqah-firqah.
Menarik untuk dicatat, bahwa dulu Imam Malik pernah ditanya: “siapakah ahlussunnah
itu ?” Beliau menjawab bahwa ahlus sunnah adalah mereka yang tidak
mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal, yakni bukan jahmi, qadari, dan bukan pula
Rafidli. Imam Ahmad Ibn Hanbal pun pernah disebut-sebut sebagai Imam Ahlussunnah karena
tindakan beliau yang gigih mempertahankan keyakinannya ketika Khalifah al Makmun dengan
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal
dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah
Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum. Selain itu dapat pula
dipahami bahwa Ahlus Sunnah wa al Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-
firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain.
nama dua orang tokoh yang begitu disegani di kalangan faham ini. Mereka adalah Abu al
Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi. Bahkan beberapa ulama’ mengatakan
bahwa ahlus sunnah wa al jama’ah adalah pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah. Contoh
misalnya, al Zubaidi yang pernah mengatakan: “Jika dikatakan ahlus sunnah, maka yang
dimaksud dengan mereka adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah”. Senada dengan al Zubaidi adalah
Hasan Ayyub yang mengatakan: “Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur
Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas
petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid”.[9]
Tokoh yang pertama bernama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Bishri Ishaq Ibn Salim
Ibn Ismail Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Bardah Ibn Abi Musa al Asy’ari (260 H –
330 H).[10] Dia dikenal sebagai pendiri teologi sunni, meskipun sebelumnya dia adalah pengikut
yang berpegang teguh pada akal dan keadilan Tuhan serta kemerdekaan berkehendak manusia.[11]
Seperti diketahui bahwa kaum Mu’tazilah begitu mangagungkan akal (rasio), bahkan
membawanya sedemikian jauh sehingga mensejajarkan kemampuan akal (rasio) dengan wahyu
dalam menemukan kebenaran agama. Mereka tidak puas hanya dengan pernyataan superioritas
akal atas tradisi, tetapi lebih jauh lagi menyamakan derajatnya dengan Firman Tuhan sebagai
petunjuk agama.
Implikasi dari tindakan ini bahkan lebih jauh lagi, karena mereka tidak bisa menerima
Firman Tuhan sebagai sifat-Nya, maka mereka menyatakan bahwa al Qur’an adalah “kata yang
diciptakan”.[12] Sebelum ini, faham Mu’tazilah juga beranggapan bahwa Tuhan tidak
bisa melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan tak adil. Menurut mereka, pernyataan-
pernyataan al Qur’an tentang janji pahala dan ancaman hukuman sebagai pernyataan-pernyataan
kategoris mengenai fakta-fakta di masa yang akan datang. Dengan ini, mereka berkesimpulan
bahwa Tuhan bukan saja akan menjadi tidak adil bila Ia tidak melaksanakan janji-janji dan
mengenai rahmat dan kemurahan Tuhan mereka tafsirkan dalam batas-batas kemestian dan
kewajiban: Tuhan harus berbuat sebaik-baiknya bagi manusia; Ia harus mengutus Nabi-nabi dan
menurunkan wahyu kepada manusia. Apabila Ia tidak melakukannya berarti Ia tidak adil dan
bukan Tuhan.[13]
pendapatnya bahwa keadilan Tuhan tidak dapat ditentukan batas-batasnya. Dia berkata:
“Marilah kita andaikan bahwa ada seorang anak kecil dan seorang dewasa di sorga yang kedua-
duanya dulu meninggal dalam iman. Akan tetapi, orang dewasa tersebut menduduki tempat yang
lebih tinggi di sorga daripada anak kecil tersebut. Anak kecil itu akan bertanya kepada Tuhan:
‘Mengapa Engkau berikan tempat yang lebih tinggi kepada orang itu?’ Tuhan akan menjawab: ‘Ia
telah banyak mengerjakan perbuatan baik’. Maka anak itu akan berkata: ‘Mengapa Engkau
matikan aku cepat-cepat sehingga aku tidak punya kesempatan untuk berbuat banyak kebaikan?’
Tuhan akan menjawabnya: ‘Aku tahu bahwa engkau akan tumbuh menjadi orang yang durhaka
kepada-Ku; karena itu lebih baik engkau mati sebagai anak kecil’. Mendengar hal itu penghuni-
penghuni neraka akan berteriak: ‘Wahai Tuhan! Mengapa Engkau tidak mematikan kami saja
sebelum kami menjadi orang-orang yang durhaka kepada-Mu?”[14]
Sistem teologi lain yang tumbuh hampir bersamaan waktunya dengan sistem al Asy’ari
adalah sitem Abu Manshur al Maturidi (w. 333 H / 945 M) dari daerah Samarkand. Maturidiyah
adalah serupa dengan Asy’ariyah dalam pandangan pokoknya, namun berbeda dalam hal-hal
tertentu yang penting. Al Maturidi, sebagaimana halnya al Asy’ari, berpendapat bahwa semua
perbuatan manusia adalah dikehendaki oleh Tuhan, tetapi berbeda dengan al Asy’ari, ia
berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang jahat tidaklah diiringi oleh “ridlo Tuhan”. Lebih
mengakui effikasi (kekuatan) kehendak manusia. Dan dalam beberapa perkembangan selanjutnya
Meskipun ada beberapa perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah, namun secara
teguh kepada kemurnian Islam yang dibawa Nabi SAW dan dipelihara oleh para sahabat;
2. Mempersatukan al Din secara menyeluruh dan menegakkan ajarannya. Hal ini karena al
Jama’ah merupakan sebab dan akibat sekaligus ketaatan dan rahmat, maka
3. Merupakan golongan tengah, yakni diantara berbagai kelompok umat antara melebihkan dan
mengabaikan. Juga merupakan “jalan” yang lurus, yakni dinul islam yang bersih, sebagaimana
6. Merupakan ahli syari’at yang mengikuti Sunnah Rasul, meliputi seluruh aspek ajaran Islam,
7. Hanya mengambil sumber hukum yang kuat ketetapannya dari Rasul dan Salaf al Shalih; dan lain-
lain.[16]
Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, maka tidak heran jika Syaikhul Islam Ibn
Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Majmu' Fatawa 3/129 berkata bahwa inilah aqidah Al-
Firqatun Najiyah Al-Manshurah sampai tegaknya hari kiamat. Dalam tempat yang lain (3/159) dia
menjelaskan bahwa jalan mereka (Ahlus Sunnah) adalah agama Islam yang Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah mengutus dengannya Muhammad SAW. Menurut dia, ketika Nabi meng-khabar-kan
bahwa Umatnya akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka
kecuali satu yaitu Al-Jama'ah. Dalam hadits yang lain Beliau bersabda : mereka (al
Jama’ah) adalah yang berada seperti yang aku dan para sahabatku ada sekarang. Dengan alasan
inilah, maka orang-orang yang berpegang teguh kepada Islam yang murni dan bersih dari
campuran adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dimana diantara mereka terdapat orang-
orang Shiddiq, Syuhada dan orang-orang Shalih. Dan dari mereka-mereka ini terdapat para tokoh-
tokoh Ulama dan pelita umat yang memiliki kebesaran dan keutamaan yang terkenal serta ada
pada mereka Al-Abdaal yaitu para imam yang telah disepakati kaum muslimin dalam petunjuk dan
ilmu mereka. Merekalah Ath-Thaifah Al-Manshurah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.[17]
Selanjutnya Ibn Taimiyah menambahkan bahwa orang yang paling berhak dijadikan
sebagai Al-Firqatun Najiyah adalah Ahlul Hadits dan As-Sunnah yang tidak memiliki satu
tokohpun yang diikuti secara fanatik kecuali Rasulullah, sedangkan mereka adalah orang-orang
yang paling mengetahui ucapan dan perbuatan Rasulullah, yang paling dapat membedakan yang
shahih dan yang lemah dari hal tersebut sehingga para imam mereka adalah orang-orang
yang faqih dan paling mengenal makna hadits-hadits tersebut dan paling mengikutinya secara
keyakinan, amalan, kecintaan dan memberi loyalitas kepada orang-orang yang memiliki loyalitas
mengembalikan perkataan-perkataan yang tidak pasti kepada apa yang ada didalam Al-
Kitab dan As-Sunnah sehingga mereka tidak menetapkan satu perkataan lalu menjadikannya
termasuk pokok-pokok agama dan pendapat mereka jika tidak ada ketetapannya pada apa yang
telah dibawa Rasulullah bahkan menjadikan semua yang dibawa Rasullullah dari Al-Kitab dan As-
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hilaaly, Abu Usamah Salim bin 'Ied, “Ahlus Sunnah wal Jama'ah Adalah Al-Firqatun Najiyah Dan
Ath-Thaifah Al-Manshurah Serta Ahlil Hadits”, dalam al Manhaj. or.id., 2004
Al Juwaini, Imam Haramain al Imam, Kitab al Luma’ fi Raddi ‘ala Ahli al Ahwa’ wa al Badi li
Asy’ariyah Imam Abi Hasan Ali Ibn Ismail al Asy’ari, Beirut: Daar Libanon li Thoba’ah wa al
Nasyr, 1987
Al Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wa al Jama’ah Menurut
Pemahaman Ulama’ Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1998
Al Wuhaibi, Muhammad bin Abdullah, “Ahulussunnah wal Jama’ah; Kategori Manhaj” dalam al
Manhaj.or.id, 2004
Ibn Abdul Qadir, Yazid, “Makna Ahlu Sunnah wa al Jama’ah; Kategori Aqidah Ahlus Sunnah”, dalam
al Manhaj. or.id., 2004
Projodikoro, Suyatno, Redefinisi Konsep Aqidah Ahlussunnah wa al Jama’ah; Suatu Telaah
Historis, Teologia, Vol. 12 No. 02, 2001
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997
[1]
Suyatno Projodikoro, Redefinisi Konsep Aqidah Ahlussunnah wa al Jama’ah; Suatu Telaah
Historis, Teologia, Vol. 12 No. 02, 2001, hlm. 171
[2]
Muhammad Abdul Hadi al Mishri, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wa al Jama’ah Menurut Pemahaman
Ulama’ Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1998,, hlm. 67
[3]
Yazid Ibn Abdul Qadir, “Makna Ahlu Sunnah wa al Jama’ah; Kategori Aqidah Ahlus Sunnah”, dalam al
Manhaj. or.id., 2004
[4]
Muhammad Abdul Hadi, Op. Cit., hlm. 69-72
[5]
Yazid Ibn Abdul Qadir, Loc. Cit.
[6]
Lihat Muhammad bin Abdullah al Wuhaibi, “Ahulussunnah wal Jama’ah; Kategori Manhaj” dalam al
Manhaj.or.id, 2004
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10]
Imam Haramain al Imam al Juwaini, Kitab al Luma’ fi Raddi ‘ala Ahli al Ahwa’ wa al Badi li Asy’ariyah
Imam Abi Hasan Ali Ibn Ismail al Asy’ari, Beirut: Daar Libanon li Thoba’ah wa al Nasyr, 1987, hlm. 15
[11]
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997, hlm. 124
[12]
Lihat Ibid., hlm. 123 et.seq.
[13]
Ibid., hlm. 122
[14]
Ibid., hlm. 126
[15]
Ibid., hlm. 128
[16]
Muhammad Abdul hadi al Mishri, Op. Cit., hlm. 103-108
[17]
Lihat Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly, “Ahlus Sunnah wal Jama'ah Adalah Al-Firqatun Najiyah Dan
Ath-Thaifah Al-Manshurah Serta Ahlil Hadits”, dalam al Manhaj. or.id., 2004
[18]
Ibid.