Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama'ah

13.05 Muhammad Zainudin

Istilah Ahlus Sunnah wa al Jama’ah terdiri dari 3 kata, yaitu Ahlun, Al Sunnah, dan al

Jama’ah. Secara etimologi, Ahlu berarti keluarga, penduduk, orang yang berilmu, atau

pendukung.[1] Al Sunnah, menurut bahasa Arab, adalah al Thariqah, yang berarti metode,

kebiasaan, perjalanan hidup, atau perilaku, baik terpuji maupun tercela.[2] Lebih jelas lagi adalah

definisi yang disampaikan oleh Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H) yang

menyatakan bahwa As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, yang mencakup di dalamnya berpegang

teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para

khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah

as-Sunnah yang sempurna. Selanjutnya dia menambahkan bahwa generasi Salaf terdahulu tidak

menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Inilah yang

diriwayatkan oleh Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H)

dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).[3]

Sedangkan al Jama’ah menurut Ibn Taimiyah adalah persatuan. Ada juga yang

mengartikannya sebagai ahlul Islam yang bersepakat dalam masalah syara’. Selain itu juga ada

yang mengartikannya al Sawadul A’zham (kelompok mayoritas).[4] Ada juga yang mengatakan

bahwa al-Jama'ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang mengelompok. Tetapi, yang
dimaksud dengan al-Jama'ah dalam pembahasan aqidah adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini

dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya

seorang yang berdiri di atas kebenaran yang telah dianut oleh jama 'ah tersebut.[5]

Menurut Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi, istilah Ahlus Sunnah wa al

Jama'ah adalah istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama

menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'.[6] Menurutnya, kata “ahlus
sunnah” mempunyai dua makna: Pertama, mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar yang yang
datangnya dari Rasulullah SAW dan para sahabat, menekuninya, memisahkan yang shahih

dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam

masalah aqidah dan ahkam. Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh

sebagian ulama’, dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama as sunnah, seperti Abu

Ashim, al Imam Ahmad Ibn Hanbal, al Imam, al Khalal, dan lain-lain. Mereka mengartikan as

sunnah sebagai i’tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma’. [7]

Dengan demikian dapat dipahami bahwa madzhab ahlussunnah wa al jama’ah itu

merupakan kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Adapun penamaan ahlussunnah wa al jama’ah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal

munculnya firqah-firqah.

Menarik untuk dicatat, bahwa dulu Imam Malik pernah ditanya: “siapakah ahlussunnah

itu ?” Beliau menjawab bahwa ahlus sunnah adalah mereka yang tidak

mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal, yakni bukan jahmi, qadari, dan bukan pula

Rafidli. Imam Ahmad Ibn Hanbal pun pernah disebut-sebut sebagai Imam Ahlussunnah karena

tindakan beliau yang gigih mempertahankan keyakinannya ketika Khalifah al Makmun dengan

faham Mu’tazilahnya gencar mengkampanyekan bahwa Qur’an adalah makhluk.[8]

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal

dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah

Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain.

Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum. Selain itu dapat pula

dipahami bahwa Ahlus Sunnah wa al Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-

firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain.

Gambaran Umum Ahlus Sunnah Wa Al Jama’ah


Berbicara tentang Ahlus Sunnah wa al Jama’ah, kiranya tak lengkap tanpa menyebut

nama dua orang tokoh yang begitu disegani di kalangan faham ini. Mereka adalah Abu al

Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi. Bahkan beberapa ulama’ mengatakan

bahwa ahlus sunnah wa al jama’ah adalah pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah. Contoh

misalnya, al Zubaidi yang pernah mengatakan: “Jika dikatakan ahlus sunnah, maka yang

dimaksud dengan mereka adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah”. Senada dengan al Zubaidi adalah

Hasan Ayyub yang mengatakan: “Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur

Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas
petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid”.[9]

Tokoh yang pertama bernama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Bishri Ishaq Ibn Salim

Ibn Ismail Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Bardah Ibn Abi Musa al Asy’ari (260 H –

330 H).[10] Dia dikenal sebagai pendiri teologi sunni, meskipun sebelumnya dia adalah pengikut

Mu’tazilah dan pernah menjadi murid al Jubba’i.

Pada usia 40 tahun, dia meninggalkan Mu’tazilah dan memulai serangan-serangannya

terhadap pandangan-pandangan faham Mu’tazilah. Dia menjungkirbalikkan dialektika Mu’tazilah

yang berpegang teguh pada akal dan keadilan Tuhan serta kemerdekaan berkehendak manusia.[11]

Seperti diketahui bahwa kaum Mu’tazilah begitu mangagungkan akal (rasio), bahkan

membawanya sedemikian jauh sehingga mensejajarkan kemampuan akal (rasio) dengan wahyu

dalam menemukan kebenaran agama. Mereka tidak puas hanya dengan pernyataan superioritas

akal atas tradisi, tetapi lebih jauh lagi menyamakan derajatnya dengan Firman Tuhan sebagai

petunjuk agama.

Implikasi dari tindakan ini bahkan lebih jauh lagi, karena mereka tidak bisa menerima

Firman Tuhan sebagai sifat-Nya, maka mereka menyatakan bahwa al Qur’an adalah “kata yang

diciptakan”.[12] Sebelum ini, faham Mu’tazilah juga beranggapan bahwa Tuhan tidak

bisa melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan tak adil. Menurut mereka, pernyataan-
pernyataan al Qur’an tentang janji pahala dan ancaman hukuman sebagai pernyataan-pernyataan

kategoris mengenai fakta-fakta di masa yang akan datang. Dengan ini, mereka berkesimpulan
bahwa Tuhan bukan saja akan menjadi tidak adil bila Ia tidak melaksanakan janji-janji dan

ancaman-Nya, bahkan Ia akan menjadi pembohong. Konsekuensinya, diktum Qur’an

mengenai rahmat dan kemurahan Tuhan mereka tafsirkan dalam batas-batas kemestian dan

kewajiban: Tuhan harus berbuat sebaik-baiknya bagi manusia; Ia harus mengutus Nabi-nabi dan

menurunkan wahyu kepada manusia. Apabila Ia tidak melakukannya berarti Ia tidak adil dan

bukan Tuhan.[13]

Kaitannya dengan hal tersebut di atas, Abu al Hasan al Asy’ari mempertahankan

pendapatnya bahwa keadilan Tuhan tidak dapat ditentukan batas-batasnya. Dia berkata:
“Marilah kita andaikan bahwa ada seorang anak kecil dan seorang dewasa di sorga yang kedua-
duanya dulu meninggal dalam iman. Akan tetapi, orang dewasa tersebut menduduki tempat yang
lebih tinggi di sorga daripada anak kecil tersebut. Anak kecil itu akan bertanya kepada Tuhan:
‘Mengapa Engkau berikan tempat yang lebih tinggi kepada orang itu?’ Tuhan akan menjawab: ‘Ia
telah banyak mengerjakan perbuatan baik’. Maka anak itu akan berkata: ‘Mengapa Engkau
matikan aku cepat-cepat sehingga aku tidak punya kesempatan untuk berbuat banyak kebaikan?’
Tuhan akan menjawabnya: ‘Aku tahu bahwa engkau akan tumbuh menjadi orang yang durhaka
kepada-Ku; karena itu lebih baik engkau mati sebagai anak kecil’. Mendengar hal itu penghuni-
penghuni neraka akan berteriak: ‘Wahai Tuhan! Mengapa Engkau tidak mematikan kami saja
sebelum kami menjadi orang-orang yang durhaka kepada-Mu?”[14]

Sistem teologi lain yang tumbuh hampir bersamaan waktunya dengan sistem al Asy’ari

adalah sitem Abu Manshur al Maturidi (w. 333 H / 945 M) dari daerah Samarkand. Maturidiyah

adalah serupa dengan Asy’ariyah dalam pandangan pokoknya, namun berbeda dalam hal-hal

tertentu yang penting. Al Maturidi, sebagaimana halnya al Asy’ari, berpendapat bahwa semua

perbuatan manusia adalah dikehendaki oleh Tuhan, tetapi berbeda dengan al Asy’ari, ia

berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang jahat tidaklah diiringi oleh “ridlo Tuhan”. Lebih

penting lagi, meskipun Maturidiyah menekankan Kekuasaan Tuhan, namun masih

mengakui effikasi (kekuatan) kehendak manusia. Dan dalam beberapa perkembangan selanjutnya

juga menyatakan dengan tegas kemerdekaan mutlak manusia dalam perbuatan-perbuatannya.[15]

Meskipun ada beberapa perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah, namun secara

umum Ahlus Sunnah wa al Jama’ah dapat digambarkan sebagai berikut:


1. Mempersatukan al Din (agama) melalui ilmu dan amalan,lahir dan batin dengan selalu berpegang

teguh kepada kemurnian Islam yang dibawa Nabi SAW dan dipelihara oleh para sahabat;

2. Mempersatukan al Din secara menyeluruh dan menegakkan ajarannya. Hal ini karena al

Jama’ah merupakan sebab dan akibat sekaligus ketaatan dan rahmat, maka

memelihara Jama’ah merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah;

3. Merupakan golongan tengah, yakni diantara berbagai kelompok umat antara melebihkan dan

mengabaikan. Juga merupakan “jalan” yang lurus, yakni dinul islam yang bersih, sebagaimana

termaktub dalam Kitabullah;


4. Berpegang teguh kepada al Qur’an, Sunnah dan Ijma’;

5. Merupakan penerus sejarah bagi penganut agama Islam;

6. Merupakan ahli syari’at yang mengikuti Sunnah Rasul, meliputi seluruh aspek ajaran Islam,

baik aqidah, manhaj-manhaj tinjauan, perbuatan-perbuatan, tujuan-tujuan essensi, ibadah-ibadah,

siasat syari’ah, maupun yang lainnya;

7. Hanya mengambil sumber hukum yang kuat ketetapannya dari Rasul dan Salaf al Shalih; dan lain-

lain.[16]

Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, maka tidak heran jika Syaikhul Islam Ibn

Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Majmu' Fatawa 3/129 berkata bahwa inilah aqidah Al-

Firqatun Najiyah Al-Manshurah sampai tegaknya hari kiamat. Dalam tempat yang lain (3/159) dia

menjelaskan bahwa jalan mereka (Ahlus Sunnah) adalah agama Islam yang Allah Subhanahu wa

Ta'ala telah mengutus dengannya Muhammad SAW. Menurut dia, ketika Nabi meng-khabar-kan

bahwa Umatnya akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka

kecuali satu yaitu Al-Jama'ah. Dalam hadits yang lain Beliau bersabda : mereka (al

Jama’ah) adalah yang berada seperti yang aku dan para sahabatku ada sekarang. Dengan alasan

inilah, maka orang-orang yang berpegang teguh kepada Islam yang murni dan bersih dari

campuran adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dimana diantara mereka terdapat orang-
orang Shiddiq, Syuhada dan orang-orang Shalih. Dan dari mereka-mereka ini terdapat para tokoh-

tokoh Ulama dan pelita umat yang memiliki kebesaran dan keutamaan yang terkenal serta ada
pada mereka Al-Abdaal yaitu para imam yang telah disepakati kaum muslimin dalam petunjuk dan

ilmu mereka. Merekalah Ath-Thaifah Al-Manshurah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu

'alaihi wa sallam.[17]

Selanjutnya Ibn Taimiyah menambahkan bahwa orang yang paling berhak dijadikan

sebagai Al-Firqatun Najiyah adalah Ahlul Hadits dan As-Sunnah yang tidak memiliki satu

tokohpun yang diikuti secara fanatik kecuali Rasulullah, sedangkan mereka adalah orang-orang

yang paling mengetahui ucapan dan perbuatan Rasulullah, yang paling dapat membedakan yang

shahih dan yang lemah dari hal tersebut sehingga para imam mereka adalah orang-orang
yang faqih dan paling mengenal makna hadits-hadits tersebut dan paling mengikutinya secara

keyakinan, amalan, kecintaan dan memberi loyalitas kepada orang-orang yang memiliki loyalitas

kepadanya dan membenci orang yang membencinya, merekalah orang-orang yang

mengembalikan perkataan-perkataan yang tidak pasti kepada apa yang ada didalam Al-

Kitab dan As-Sunnah sehingga mereka tidak menetapkan satu perkataan lalu menjadikannya

termasuk pokok-pokok agama dan pendapat mereka jika tidak ada ketetapannya pada apa yang

telah dibawa Rasulullah bahkan menjadikan semua yang dibawa Rasullullah dari Al-Kitab dan As-

Sunnah sebagai pokok (sumber) yang mereka yakini dan sandari.[18]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hilaaly, Abu Usamah Salim bin 'Ied, “Ahlus Sunnah wal Jama'ah Adalah Al-Firqatun Najiyah Dan
Ath-Thaifah Al-Manshurah Serta Ahlil Hadits”, dalam al Manhaj. or.id., 2004
Al Juwaini, Imam Haramain al Imam, Kitab al Luma’ fi Raddi ‘ala Ahli al Ahwa’ wa al Badi li
Asy’ariyah Imam Abi Hasan Ali Ibn Ismail al Asy’ari, Beirut: Daar Libanon li Thoba’ah wa al
Nasyr, 1987
Al Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wa al Jama’ah Menurut
Pemahaman Ulama’ Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1998
Al Wuhaibi, Muhammad bin Abdullah, “Ahulussunnah wal Jama’ah; Kategori Manhaj” dalam al
Manhaj.or.id, 2004
Ibn Abdul Qadir, Yazid, “Makna Ahlu Sunnah wa al Jama’ah; Kategori Aqidah Ahlus Sunnah”, dalam
al Manhaj. or.id., 2004
Projodikoro, Suyatno, Redefinisi Konsep Aqidah Ahlussunnah wa al Jama’ah; Suatu Telaah
Historis, Teologia, Vol. 12 No. 02, 2001
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997

[1]
Suyatno Projodikoro, Redefinisi Konsep Aqidah Ahlussunnah wa al Jama’ah; Suatu Telaah
Historis, Teologia, Vol. 12 No. 02, 2001, hlm. 171
[2]
Muhammad Abdul Hadi al Mishri, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wa al Jama’ah Menurut Pemahaman
Ulama’ Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1998,, hlm. 67
[3]
Yazid Ibn Abdul Qadir, “Makna Ahlu Sunnah wa al Jama’ah; Kategori Aqidah Ahlus Sunnah”, dalam al
Manhaj. or.id., 2004
[4]
Muhammad Abdul Hadi, Op. Cit., hlm. 69-72
[5]
Yazid Ibn Abdul Qadir, Loc. Cit.
[6]
Lihat Muhammad bin Abdullah al Wuhaibi, “Ahulussunnah wal Jama’ah; Kategori Manhaj” dalam al
Manhaj.or.id, 2004
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10]
Imam Haramain al Imam al Juwaini, Kitab al Luma’ fi Raddi ‘ala Ahli al Ahwa’ wa al Badi li Asy’ariyah
Imam Abi Hasan Ali Ibn Ismail al Asy’ari, Beirut: Daar Libanon li Thoba’ah wa al Nasyr, 1987, hlm. 15
[11]
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997, hlm. 124
[12]
Lihat Ibid., hlm. 123 et.seq.
[13]
Ibid., hlm. 122
[14]
Ibid., hlm. 126
[15]
Ibid., hlm. 128
[16]
Muhammad Abdul hadi al Mishri, Op. Cit., hlm. 103-108
[17]
Lihat Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly, “Ahlus Sunnah wal Jama'ah Adalah Al-Firqatun Najiyah Dan
Ath-Thaifah Al-Manshurah Serta Ahlil Hadits”, dalam al Manhaj. or.id., 2004
[18]
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai