Anda di halaman 1dari 15

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Perspektif Teologi

Pendahuluan
Perlu diketahui bahwa dalam literatur agama Islam terdapat beberapa aliran-aliran yang
mempunyai teologi/keyakinan-keyakinan yang bervariasi terhadap konsep ketuhanan, sehingga
hal tersebut tentu menuai beberapa konflik yang muncul di permukaan para penganut teologi itu
sendiri karena hal tersebut bersifat prinsipil dalam agama Islam.
Perbedaan prinsip tersebut merupakan hasil dari pada para tokoh pemikir Islam yang kemudian
di dalam pemikiran tersebut terdapat pengikut yang turut andil untuk menyebarluaskan kepada
masyarakat karena hal tersebut sangat urgen dalam literatur Islam agar tidak tersesat dalam
pemikiran yang lain (antara satu dengan yang lain merasa paling benar). Contoh kongkrit yang
terjadi pada masa sekarang ialah “Mirza Gulam Ahmad” yang dengan mengggunakan ayat
Alqur’an dan Hadist atas kepercayaannya, ia berkeyakinan bahwa dirinya adalah Nabi dan Rasul
setelah nabi Muhammad SAW, yang kemudian kepercayaan itu ditentang keras oleh kaum
Ahlussunnah Wal Jama’ah karena menurut i’itiqad mereka, bahwa Nabi dan Rasul yang paling
akhir adalah Nabi Muhammad SAW. Barang siapa mendakwakan dirinya sebagai Nabi dan
Rasul sesudah Nabi Muhammad SAW maka orang itu pembohong, harus ditolak dan dilawan
habis-habisan.
Sesudah Nabi Muhammad tidak ada lagi Nabi atau Rasul, yang ada hanyalah Khalifah, Ulama-
ulama, Auliya-auliya, Imam-imam, Mujtahid, Guru-guru Agama, Ustadz-ustadz dan Syekh-
syekh.
Kepercayaan kaum Syi’ah yang mirip-mirip menjadikan Sayidina ‘Ali atau Imam-imam mereka
menjadi Nabi juga ditentang oleh kaum Ahlussunnah, karena “ke-Nabi-an” pun sudah habis
sesudah nabi Muhammad SAW, pemahaman Ahlussunnah ini berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Ahzab ayat 40:

"‫"ما كان محمد أبا أحد من رجالكم ولكن رسول هللا وخاتم النبيين وكان هللا بكل شيئ عليما‬
Artinya: “Nabi Muhammad itu bukan bapak seorang pun diantara-antara laki-laki diantara
kamu, tetapi beliau Rasul-Allah dan Nabi penutup. Dan tuhan maha tahu atas segala ,sesuatu”
Terang dan nyata dalam ayat ini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah “Khataman Nabiyiin”,
yakni Nabi penghabisan.1[1] Dalam hal ini tentu perlu di kita perlu mengetahui bagaimana
1[1] ”I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah” K.H. Siradjuddin Abbas, penerbit pustaka tarbiyah Jakarta, hal
346-347
sepak-terjang Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam menyikapi hal-hal tersebut khususnya dalam
perspektif teologi.

‘AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH


Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah sebuah Enseklopedi ringkas, memberikan
definisi Ahlussunnah sebagai berikut :
“Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang
berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang
masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Sebagai bandingan
Syi’ah. Diantara mereka ada yang disebut “salaf”, yakni generasi awal dari mulai para sahabat,
Tabi’in, dan ada juga yang disebut “khalaf”, yaitu generasi yang datng kemudian. Diantara
mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal
secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujaddidun) dan dan
diantaranya lagi bersikap konservatif (mukhafidun). Golongan ini merupakan mayoritas umat
Islam”.
Dari definisi diatas jelas, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari satu
kelompok aliran, tapi da beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi didalamnya. Karenanya Dr.
Jalal M. Musa mengatakan, bahwa istilah Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi rebutan banyak
kelompok, masing-masing membuat klaim bahwa dialah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan
dimasukkannya kata “ al-Jama’ah” dalam istilah ini oleh Abul Mudhoffar al-Isfarayani
diberikan alasan karena mereka menggunakan “Ijma’” dan “Qiyas” sebagai dalil-dalil syar’iyah
yang fundamental, disamping Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul.
Dalam kajian Ilmu Kalam, Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak
masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Penyebutan Ahlussunnah wal Jama’ah ini
juga digunakan untuk membedakan kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan
Mu’tazilah. Dan para Imam Madzhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah (w.150 H), Imam Malik
Bin Anas (w.179 H), Imam As-Syafi’I (w. 204 H) dan Imam Ibnu Hambal (w. 241 H) dikenal
sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah sebelum munculnya Imam Al-Asyari, Imam Al-Maturidi dan
Imam At-Thohawi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli ilmu kalam) dari kalangan Ahlussunnah
pada abad ke-3 H. sumber dari istilah tersebut oleh sebagian banyak para ahli diambil dari hadist
Nabi s.a.w. yang menerangkan akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi :
‫ الناجية منها واح دة والب اقون‬.‫أخبر النبي صلى هللا عليه وسلم ستفترق أمتي على ثالث وسبعين فرقة‬
‫ ما أن ا‬: ‫ ومن أهل السنة والجماعة ؟ قال‬: ‫ قيل‬.‫ أهل السنة والجماعة‬:‫ ومن الناجية ؟ قال‬: ‫ قيل‬.‫هلكي‬
.‫عليه وأصحابى‬
Artinya: “Nabi s.a.w. memberitahu : Bahwa umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, yang
selamat hanya satu, lainnya binasa. Beliau ditanya: Siapa yang selamat ? Beliau menjawab:
Ahlussunnah wal Jama’ah. Ditanya lagi : Siapa itu Ahlussunnah wal Jama’ah ? Beliau
menjawab : Yang mengikkuti apa yyang saya lakukan beserta para sahabatku”.
Menanggapi hadist ini, para ulama berbeda pendapat, baik terhadap kekuatan hadits itu sendiri,
maupun pengertian substansi dari apa yang terungkap dalam hadits tersebut.
Pertama : Apakah hadist tersebut cukup kuat digunakan sebagai dasar kriteria umat Islam, baik
yang selamat maupun yang binasa ?
Sebagaian besar ulama Ahlussunnah menilai hadits tersebut cukup kuat, mengingat sumber
sanadnya banyak dan dapat dinilai sebagai hadist mutawatir (banyak yang meriwayatkannya).
Diantara mereka adalah Imam Abdul Qohir Al-Baghdadi, dengan kitabnya Al-Farqu Baina al-
Firoq. Juga Imam Mudhaffar al-Isyfarayini, penulis kitab At-Tabhsir fi ad-Din. Juga Al-Qodli
‘Adluddin Abdur Rahman Al-Iji dengan tulisannya Maqalat al-Firqah an-Najiah.
Kelompok kedua, tidak menolak tapi juga tidak menggunakan hadits dalam karya-karya
tulisannya, seperti Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, penulis Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-
Mushallin. Beliau tidak menyebut-nyebut hadits tersebut. Juga Imam Abul Abdillah Muhammad
bin Umar Ar-Rozi, yang terkenal dengan Imam Ibnul Khothib, penulis kitab I’tiqadat Firaq al-
Muslimin wa al-Musyrikin, juga tidak merujuk ke hadits tersebut.
Kelompok ketiga, menganggap hadits tersebut lemah, meskipun sumber sanadnya banyak tetapi
semuanya mengandung kelemahan, jadi tidak sahih. Oleh karenanya menolak menggunakan
hadits tersebut sebagai dasar dan acuan. Diantara yang jelas-jelas menolak itu adalah Ibnu Hazm,
tokoh madzhab Dhohiri dalam masalah fiqh, penulis kitab Al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa
an-Nihal.
Umumnya ulama dan kaun Nahdliyin, berpendapat sebagaimana kelompok pertama, yakni
menerima hadits itu dan menggunakannya sebagai dasar dan rujukan.
Namun Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, dalam At-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam, mengatakan
bahwa ada hal yang lebih menyejukan dari hadits Nabi Muhammad s.a.w., antara lain yang
diriwayatkan oleh Imam As-Sya’roni dalam al-Mizan-nya dari hadits Ibnu Najjar, yang dinilai
sahih oleh Imam Hakim, sebagai berikut ;
.‫ كلها فى الجنة إال واحدة‬.‫ستفترق امتي على نيف وسبعين فرقة‬
“Umatku akan terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan, semuanya masuk dalam surga
kecuali satu”.
Dalam riwayat yang lain dari Imam Ad-Dailami, teks hadits tersebut adalah :
‫ألها لك منها واحدة‬
“Yang binasa diantaranya ada satu (golongan)”.
Ada riwayat-riwayat lain yang serupa yang dikutip oleh Imam As-Sya’roni, dari hadits sahabat
Anas bin Malik r.a. dengan menunujuk golongan Az-Zanadiqah (golongan zindiq) yang akan
rusak dan tidak ada harapan masuk surga.
Kedua : Apakah yang dimaksud dengan kata “Ummatiy” dalam hadits tersebut itu “Umat
Da’wah” , artinya semua orang yang hidup sesudah Nabi Muhammad s.a.w. diutus sebagai
Rasul Allah, baik ia menerima ajakan Nabi atau tidak setelah menerima dakwahnya. Atau yang
dimaksud disitu adalah “Umat Ijabah” , yakni orang yang hidup setelah kerasulan Nabi
Muhammad s.a.w. dan dia menerima ajakan / dakwahnya, apapun kualitas penerimaan itu.
Dalam pengertian “Umat Da’wah”, sama kedudukannya antara Abu Bakar as-Siddiq r.a. , Umar
bin Khattab r.a. dengan Abu Jahal maupun Abu Tholib, karena mereka sama-sama hidup setalah
Nabi Muhammad s.a.w. mendakwahkan Islam, dan sama-sama mendengarkan atau mendapatkan
dakwah tersebut. Bedanya, Abu Bakar as-Siddiq r.a. dan Umar bin Khattab r.a. menerima ajakan
Nabi saw menjadi mukmin dan muslim, sedangkan Abu Jahal dan Abu Tholib tidak
menerimanya. Maka Abu Bakar as-Siddiq r.a. dan Umar bin Khattab r.a. masuk sebagai “Umat
Ijabah” , sedangkan Abu Jahal dan Abu Tholib tidak masuk didalamnya.
Ulama-ulama Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah) termasuk dari kalangan Nahdliyin, lebih
cenderung mengartikan kata “Ummatiy” dalam hadits tersebut sebagai “Umat Ijabah”.
Ketiga : Apakah Iftiraq (perpecahan atau pengelompokan) disini berkaitan dengan ushuluddin
(masalah Aqidah) atau dalam masalah furu’uddin, yakni masalah fiqhiyah (hukum-hukum fiqh),
atau masalah ijtima’iyah (masalah sosial) ?.
Umumnya para ulama berpendapat bahwa dalam kajian Ilmu Kalam, masalah firqah
(pengelompokan) yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah dalam masalah aqidah atau
masalah ushuluddin, bukan masalah dalam fiqhiyah (furu’iyah) maupun masalah ijtimaiyah.
Meskipun demikian ada implikasinya (keterkaitannya) dengan masalah diluar aqidah. Sebagai
contoh, Syi’ah yang menyakini supremasi kepemimpinan pada keturunan Nabi Muhammad
s.a.w. menganggap bahwa para imam mereka itu ma’shum (tidak bisa salah), ini jelas dapat
berpangaruh dalam masalah ijtima’iyah, utamanya masalah politik dan pemerintahan. Juga
mereka hanya menerima hadits-hadits yang sanadnya bersumber dari “ahlul bait” (lingkungan
interrnal keluarga Nabi s.a.w.), padahal sebagian besar hadits justru dari sumber-sumber diluar
ahlul abit. Akibatnya akan berpengaruh dalam pandangan fiqihnya.
Tapi seringkali dilingkungan para Nahdliyin, terdapat pernyataan-pernyataan yang menggunakan
masalah khilafiyah fiqhiyah (perbedaan masalah fiqih) sebagai ukuran orang itu Ahlussunnah
atau bukan. Misalnya mengatakan : orang yang qunut pada shalat subuh itu Ahlussunnah, dan
kalau tidak membaca qunut itu bukan Ahlussunnah. Atau mengatakan : orang yang tarawih 20
raka’at itu Ahlussunnah, sedangkan yang terawihnya 8 raka’at itu bukan. Pernyataan-pernyataan
seperti itu, jelas tidak valid (tidak tepat) dan diluar konteks Ahlussunnah, karena hal tersebut
masu dalam “madzhab fiqhiyah” , bukan masalah ushuluddin.
Dalam definisi Ahlussunnah yang sudah dipaparkan dimuka, dikalangan Ahlussunnah wal
Jama’ah ada yang disebut “salaf” (generasi pendahulu) dan “khalaf” (generasi kemudian).
Diantara kedua generasi tersebut memang terdapa visi (pandangan) yang berbeda, disamping
persamaan-persamaannya. Perbedaan diantara kedua visi tersebut antara lain yang menyikapi
ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang mengandung arti ganda) yang ada didalam Al-Qur’an,
utamanya yang berkaitan dengan sifat Allah, seperti kata “yad” (tangan) “ain” (mata) “istawa”
(bersemayam).
Generasi Salaf, mempercayai kebenaran ayat-ayat tersebut dan membenarkannya, tanpa mau
banyak mendiskusikan dan memperdebatkannya arti sebenarnya, mereka memahami ayat-ayat
secara umum saja, dan mereka menganggap adanya perdebatan sekitar hakikat makna ayat-ayat
tersebut tidak memberi mashlahat bagi umumnya umat Islam. Dan bagi kalangan pemikir dan
cendikiawan yang memiliki keluasan dan ketajaman nalar dipersilakan melakukan pendalaman
untuk diri sendiri bukan untuk dikonsumsi masyarakat awam. Diriwayatkan, bahwa Walin bin
Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, Imam Sofyan al-Tsuri, dan Imam Laits
bin Saad, tentang ayat-ayat yang berisi tentang sifat-sifat Allah. Mereka menjawab : Artikan
seperti apa adanya, dan jangan tanya bagaimana ! Imam Malik pernah ditanya tentang arti kata
“istawa” (bersemayam) bagi Allah. Pertanyaan itu di jawab :
.‫ والسؤال عنه بدعة‬،‫ واإليمان به واجب‬،‫ والكيف مجهول‬،‫اإلستواء معلوم‬
“Kata istiwa itu sudah dimaklumi artinya. Adapun bagaimana caranya tidak ada yang tahu.
Iman terhadapnya kebenaran ayat tersebut wajib. Sedangkan mempertanyakan masalah tersebut
termasuk bid’ah”.
Sikap menyerahkan arti yang hakiki dari ayat-ayat mutasyabihat kepada Allah sendiri, dan
memberikan makna ayat-ayat tersebut secara harfiyah, dengan istilah “bila kaifa wa la lima”
(tanpa bagaimana dan mengapa), disebut “at-Tafwidl” (penyerahan total). Sikap ini dipilih para
salaf dengan alasan :
Pertama : Semua masalah yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya itu diluar jangkauan
otorita dan kesanggupan akal, yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia.
Kedua : Pembicaraan yang spekulatif dalam pemberian makna ayat-ayat tersebut tidak memberi
keuntungan (mashlahat) kepada kaum Islam. Tindakan itu dipandang seperti orang yang
ambisius ingin menimbang sebuah bukuit dengan alat timbangan yang biasa dipakai menimbang
emas. Meskipun demikian, ada satu catatan, bahwa semua pemaknaan sifat-sifat Allah secara
harfiyah tersebut, sama sekali berbeda dengan sifat-sifat makhluk, dan mereka menolak pendapat
golongan “Musyabbihah” (menyerupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat makhluk) atau
“Mujassimah” (mencitrakan Tuhan seperti makhluk secara ragawi).
Generasi Kholaf, yang muncul pada abad ke-3 hijriyah, di tengah-tengah maraknya pergolakan
kehidupan intelektual umat Islam karena beberapa hal, antara lain heterogenitas (beraneka
macam) masyarakat Islam, yang terdiri dari berbagai macam kebangsaan, kebudayaan dan latar
belakang tradisi dan keyakinan (seperti Arab, Persia, Mesir, Turki, India, Romawi dan lain-lain),
yang memabaur menjadi satu komunitas Muslim, mereka saling mempengaruhi dan saling
beradaptasi. Disamping itu terjadi elaborasi budaya keilmuan Islam, karena masuknya pengaruh
rasionalitas melalui studi filsafat dari berbagai aliran yang didukug oleh penguasa pemerintah
(Bani Abbas/Abbasiyah) dan mendapatkan fasilitas yang sangat memadai sehingga lahir ilmu-
ilmu baru dalam studi ke-Islaman, seperti Ilmu Kalam, Ilmu Tashawwuf dan lain-lain yang
sebelumnya tidak dikenal sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Dan lahir pula tokoh-tokoh ahli
dalam bidangnya masing-masing, seperti Abu Abdillah bin Said Al-kullab (wafat 240 H) yang
dikenal dengan sebutan Ibnu Kullab dan Abul Abbas Al-Qolanisi (wafat 255 H) masing-masing
sebagai tokoh Ilmu Kalam dikalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, sebelum Al-Asy’ari dan Al-
Maturidi. Berbeda dengan generasi salaf, yang membatasi diri didalam memberikan arti ayat-
ayat mutasyabihat dengan dalil-dalil naqli (argumentasi skriptural) saja, sebagaimana
diutarakan dimuka, maka generasi kholaf, menerima penggunaan dali-dalil ‘aqli (argumentasi
rasional) disamping dalil naqli,dan itu yang menjadi kajian sentral Ilmu Kalam. Dengan kata
lain, Ilmu Kalam adalah kajian tentang masalah-masalah aqidah Islam, yang mendasarkan diri
pada dalil-dalil naqli dan dalil-dalil ‘aqli.
Khusus mengahadapi ayat-ayat mutasyabihat, golongan ini (Kholaf) tidak terbatas melakukan
pendekatan “Tafwidl” (penyerahan total) tetapi menggunakan penafsiran yang dipandang lebih
sesuai dengan ke-Maha Sucian Allah,dan ke-Maha Agungan-Nya dan lebih menjauhkan dari
sikap penyerupaan (tasybih) terhadap Allah dengan sifat-sifat makhluk. Penafsiran ini disebut
dengan “Ta’wil”, seperti kata “yadullah” diartikan dengan “kekuasaan Allah”, “ainullah”
diartikan “pengawasan Allah” , kata “istiwa’ atau “istawa” diartikan “mengatur”. Disini jelas
Ahlussunnah wal Jama’ah yang selalu mengambil jalan tengah (At-Tawassuth) dalam metode
dan pola pikir. Tidak over-rationalist seperti Mu’tazilah yang seringkali mengabaikan peran
wahyu dan sunnah, dan juga tidak over-letteralist seperti kelompok Musyabihah dan
Mujassimah. Dalam membandingkan dua model pendekatan ini (Salaf dan Kholaf) Syekh Hasan
Mansur, Syekh Abdul Wahab dan Syekh Musthafa ‘Anani, para penulis kitab Ad-Dien Al-Islami
menyimpulkan bahwa :
.‫طريقة السلف أسلم وطريقة الخلف أحكم‬
”Cara salaf lebih selamat,dan cara kholaf lebih kuat “
Dikalangan Nahdliyin, kedua pendekatan salaf maupun Kholaf ini dipakai, dan itu terlihat dalam
kitab-kitab kuning yang di baca di Pondok-pondok Pesantren, atau ceramah-ceramah yang
disampaikan dalam majlis-majlis ta’lim atau pengajian-pengajian umum. Hanya saja, kajian-
kajian ilmu Kalam di lingkungan Nahdliyin tidak seluas kajian dalam ilmu Fiqh atau Tashawuf.
Kitab-kitab Al-Ibanah, Al-Lumma’, Maqalat al-Islamiyin karangan Imam Al-Asy’ari atau As-
Syamil, Al-Irsyad, karangan Imam Haramain Al-Juwaini, atau Al-Inshaf, Al-Bayan, karangan Al-
Baqillani, Al-Farqu Baina Al-Firaq tulisan Al-Baghdadi, Qonun at-Ta’wil, Faishal At-Tafriqah
Baina al-Islam wa az-Zindiqah, karya Al-Ghazali, sangat sedikit dipelajari oleh warga bahkan
Ulama Nahdliyin, padahal dari kitab-kitab tersebut kita dapat memahami Aqidah Ahlussunnah
wal Jama’ah secara memadai.
Pemikiran –pemikiran Asy’ariyah dan Mathuridiyah pada umumnya merupakan reaksi terhadap
ajaran-ajaran Mu’tazilah, yang berpangkal pada lima ajaran dasar (al-ushulul khamsah = ajaran
pokok yang lima), yaitu : al-Tauhid, al-Adlu, al-Wa’du, al-Wa’id, al-Manzilah bain al-
Manzilatain, al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar).
Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Jika Tuhan mempunyai
sifat pastilah ada sifat yang menyifati dan yang disifati tentu adalah dzat, maka didalamnya
terdapat unsur-unsur yang kekal pula, oleh karena itu Mu’tazilah menolak Tuhan bersifat, karena
akan membawa kepada paham syirik atau politeisme, masuk pada golongan Mujassimah dan
Hawasyiyah.2[2]dalam hal ini, al-Asy’ari dapat dianggap mengambil jalan tengah dengan
mengemukakan : Tuhan mempunyai sifat melihat, mendengar, berbicara, mempunyai wajah,
tangan, duduk diatas “arasy” dan sebagainya, seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi
dengan tidak diketahui bagaimana bentuknya (bila kaif). Sifat Tuhan bukan esensi Tuhan itu
sendiri, sifat Tuhan dan dzat Tuhan adalah berbeda, “ma huwa wa la ghairuhu”.3[3]

PRINSIP-PRINSIP AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH


Ahlusssunnah wal Jama’ah menyepakati prinsip-prinsip penting yang kemudian menjadi ciri dan
inti dari aqidah mereka. Setiap kelompok yang bertentangan dengan mereka berbeda dalam satu
atau beberapa prinsip, seperti yang akan kami bahas satu persatu.
  Aqidah Ahlusssunnah wal Jama’ah tentang sifat-sifat Allah: itsbat bilaa takyif (membenarkan
tanpa mempersoalkan bentuknya) dan mensucikan-Nya tanpa mengingkari-Nya.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-Qur’an : Al Qur’an
Kalamullah, bukan makhluk.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah menyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapa pun di dalam
kehidupan dunia.

2[2] Buku “Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan dan Reinterpretasi”,Penerbit LkiS yogyakarta,tahun
2000, hal 48

3[3] Ibid I
  Ahlusssunnah wal Jama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di
surga dengan kedua mata mereka.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan
Rasulullah.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah mengimani Qadar Allah dengan segala tingkatnya.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah berpendapat: iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan
berkurang.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah menyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang).
Iman seorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan. Oleh karenanya,
mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika
terlepas pokok keimanannya.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antar siksa dan
pahala pada diri seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang
tertentu kecuali dengan dalil khusus.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan istri-istri
Rasul tanpa menyakini adanya kema’shuman terhadap siapa pun kecuali Rasulullah.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian luar biasa yang
dberkan Allah kepada mereka.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah bersepakat untuk memerangi siapa pun yang keluar dari syari’at
Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
  Ahlusssunnah wal Jama’ah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang
baik maupun durhaka, demi menegakan syari’at Islam.4[4]
Keseluruhan prinsip-prinsip yang telah kami sebutkan dimuka itu adalah merupakan prinsip yang
berasaskan Al-Qur’an sehingga hal tersebut bersifat qoth’i baginya.

BEBERAPA I’ITIQAD YANG BERBEDA DENGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH


Dalam hal ini kami akan sedikit mengupas beberapa saja kaum-kaum yang berbeda secara
teologis antara lain ialah:
a.      Syi’ah

4[4] Manhaj dan Aqidah Ahlusssunnah wal Jama’ah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, penerbit Gema
Insani Press, hal 124-136.
b.      Qodariyah
c.       Murji’ah
Sebagian orang Syiah merupakan aliran Islam yang mempercayai bahwa Tuhan dapat menyatu
dalam diri manusia (wahdatul wujud) dan salah seorang yang menganut keyakinan tersebuut
adalah Husein bin Mansur al Hallaj, ia menyakini bahwa hakikat dari segala sesuatu adalah
tuhan, kalau engkau melihat sesuatu itu adalah tuhan, jadi bagi al Hallaj Tuhan itu bersatu
dengan makhluk-Nya, yang dinamakan Wahdatul Wujud “satu yang ada”.
Pada suatu hari ia ditanya orang: “bagaimana tuan bisa mengetahui Tuhan ?” Jawabnya : “saya
mengetahui Tuhan saya dengan Tuhan saya, kalau tidaklah Tuhan saya maka saya tidak akan
tahu Tuhan saya”.
Jadi, alam ini baginya Tuhan, dan Tuhan juga alam. Itulah faham “Serba Tuhan” dari al Hallaj. 5
[5] Dari itu maka Ahlussunnah menolak “Wahdatul Wujud”, karena perlu diketahui bahwasanya
alam dan Tuhan tidak mungkin bersatu, dan tidak masuk akal pencipta dan yang diciptakan
menjadi satu.

Kaum Qodariyah pada hakikatnya merupakan sebagian dari faham Mu’tazilah, karena Imam-
imamnya merupakan orang-orang Mu’tazilah.
Kaum Qodariyah beri’itiqad bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri dengan
qodrat yang telah diberikan Tuhan kepadanya sedari mereka lahir kedunia. Tuhan sama sekali
tidak ada hubungannya dengan manusia sekarang, dan bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa
yang akan dikerjakan oleh manusia. Hanya setelah manusia mengerjakan perbuatannya barulah
Tuhan mengetahui apa yang dikerjakan manusia itu. Tetapi Tuhan memberi pahala kepada
manusia atas perbuatannya yang baik karena manusia itu memakai qodrat yang diberikan Tuhan
kepadanya dengan baik, dan sebaliknya akan menghukum manusia kalau berbuat dosa karena
memakai qodrat yang diberikan Tuhan kepadanya dengan cara yang tidak baik.
Jadi, seluruh perbuatan manusia, buruk dan baik, diciptakan oleh manusia sendiri, bukan oleh
Tuhan, demikian faham Qadariyah. Dan berikut dalil-dalil yang menjadi dasar bagi Qadariyah :
“kalau segala perbuatan manusia dijadikan oleh Tuhan, mengapa Tuhan memberikan pahala atas
perbuatan manusia yang baik dan mengapa Tuhan meberikan siksa kepada mereka yang berbuat
ma’siyat padahal Tuhan sendiri yang telah menciptakannya maka kalau begitu Tuhan tidak adil”,

5[5] I’itiqod Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Sirajuddin Abbas, Penerbit Pustaka Tarbiyah,hal 137
itu kata kaum Qadariyah, yang kemudian menyandarkan dalil sebagai berikut dengan tafsiran
sendiri tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat dan ahli tafsir ;
‫إن هللا ال يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم‬

Artinya : “Bahwasanya Allah tidak bisa merubah nasib sesuatu kaum, kalau tidak mereka
sendiri yang merubahnya”(Ar-Ra’d : 11)

Perhatikan ayat ini, kata mereka. Tuhan tidak bisa atau tidak kuasa merubah nasib manusia
kecuali kalau mereka sendiri merubah nasibnya. Kekuasaan Tuhan dalam soal ini tak ada lagi,
karena sudah dikasihkannya kepada manusia, demikian apa yang mereka (Qadariyah) katakan,
Itulah salah satu ayat yang menjadi landasan bagi kaum Qadariyah.
Hal tersebut disangkal oleh kaum Ahlussunnah dengan dalil, baik dari Qur’an maupun Hadits
sebagai berikut:

16: ‫ الرعد‬.‫قل هللا خالق كل شئ وهو الواحد القهار‬

Artinya : “Allah yang menjadikan segala sesuatu dan dia Maha Esa dan Maha Perkasa”

Nyata dalam ayat ini bahwa yang menjadikan tiap-tiap suatu hanyalah Tuhan. Manusia tak
sanggup menciptakan sesuatu, walaupu yang mereka kerjakan.
Dan berkut keterangan dari hadits :

، ‫ عبدهللا بن مسعود رضي هللا عنه قال حدثنا رسول هللا صلى هللا علي ه وس لم‬: ‫عن أبى عبد الرحمن‬
‫ ثم تك ون في ذل ك علق ة‬، ‫ إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أم ه أربعين يوم ا‬: ‫وهو الصادق المصدوق‬
‫ ويؤمر بأربع كلمات‬، ‫ ثم يرسل الملك فينفخ فيه الروح‬، ‫ ثم تكون في ذلك مضغة مثل ذلك‬، ‫مثل ذلك‬
)‫ وشقي أم سعيد (رواه البخاري ومسلم‬، ‫ وأجله وعمله‬، ‫ بكتب رزقه‬:

Artinya : “Dari Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud Rda., beliau berkata : “Mengabarkan akan
kami Rasulullah saw. Dan ia orang yang benar lagi dibenarkan, “bahwasanya kamu
dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibumu 40 hari masih nut-fah (air), 40 hari lagi a’laqah
(darah), 40 hari lagi mudgah (daging), kemudian diutus malaikat dan ditiupkannya ruh, dan ia
disuruh menuliskan 4 soal, yaitu : Rezkinya, ajalnya, pekerjaanya dan untung jahat atau
baiknya” (Hadist riwayat Imam Bukhori dan Muslim, Sahih Bukhori Juz IV hal 101 dan sahih
Muslim Juz II hal,451 ).
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa nasib baik dan buruk sekalian manusia telah dituliskan dalam
azal sebelum mereka dilahirkan ke dunia.
Jadi, manusia sekarang hanyalah menjalani takdir ilahi yang telah dituliskan sebelumnya untuk
semua orang. Begitulah i’itiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah.
Takdir Ilahi itu menurut Ahlussunnah wal Jama’ah ada 4 yaitu :
1.      Takdir dalam ilmu Tuhan. Ini tidak berubah-ubah lagi.
2.      Takdir yang dituliskan di Luh mahfuzh. Ini bisa berubah kalau Tuhan menghendaki.
3.      Takdir dalam rahim ibu. Ini sesuai dengan Luh mahfuzh.
4.      Takdir Ilahi dalam kenyataan, ya’ni dijadikan sesuatu dalam kenyataannya menurut takdir yang
telah ditetapkan.6[6]
Kaum Ahlussunnah wa Jama’ah, mempercayai takdir Ilahi, akan tetapi manusia disuruh oleh
Tuhan supaya bekerja rajin dan berusaha sekuat-kuatnya. Maka apa saja yang dimudahkan
Tuhan bagi kita maka itu suatu pertanda bagi takdir yang telah ditetapkan untuk kita.

Kaum Mu’tazilah adalah suatu kaum yang membikin hebih dunia Islam selama 300 tahun pada
abad-abad permulaan Islam. Kaum Mu’tazilah telah pernah dalam sejarahnya membunuh ribuan
ulama Islam, di antaranya ulama Islam yang terkenal Syeikh Buwaithi, imam pengganti Imam
Syafi’i, dalam suatu peristiwa yang dinamai “Peristiwa Qur’an makhluk”.
Imam Ahmad bin Hanbal, pembangun Madzhab Hanbali, mengalami pula siksaan dalam penjara
selama 15 tahun, akibat peristiwa itu.
Faham Mu’tazilah telah tersebar dan berkuasa pada masa-masa Khalifah Ma’mun bin Harun
Rasyid, Khalifah al Mu’tashim bin Harun Rasyid, dan Khalifah al Watsiq bin al Mu’tashim
sekitar abad-abad ketiga, keempaat dan kelima Hijriyah.

6[6] Ibid hal,234-236


Oleh karena itu sudah selayaknya kalau faham mu’tazilah ini mendapatkan sorotan yang
sedalam-dalamnya dan analisa yang sebaik-baiknya, supaya umat Islam yang baik jangan
terperosok kedalam i’itiqadnya yang sesat lagi menyesatkan itu.
Di dalam sejarahnya kaum Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikepalai oleh Imam Abu Hasan al
Asy’ari muncul untuk melawan pemahaman Mu’tazilah yang sesat itu.
Sepanjang sejarah tersebut bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah ialah cara
mereka membentuk madzhabnya, banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal,
bukan mengutamakan Qur’an atau Hadits. Kalau ditimbang akal dengan hadits Nabi maka akal
lebih berat bagi mereka. Mereka lebih memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan
hadits-hsdits Nabi. Barang sesuatu yang ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya, mana yang
tidak sesuai dengan akalnya dibuangnya, walaupun ada hadits atau ayat Qur’an yang bertalian
dengan masalah itu tetapi berlawanan dengan akalnya.
Akal bagi kaum Mu’tazilah di atas dari Qur’an dan Hadits sebaliknya bagi kaum Ahlussunnah
wa Jama’ah berpendapat bahwa Qur’an dan Hadits lebih tinggi dari akal.
Sebagai contoh, tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Kaum Mu’tazilah tidak menerima
adanya mi’raj walaupun ada ayat Qur’an atau Hadist Nabi yang sahih menyatakan hal itu, karena
hal itu bertentangan dengan akal.7[7]
Mu’tazilah, menyeleweng dari dasar agama Islam terutama dari segi akidah Uluhiyyah atau
tauhid. Oleh karena itu umumnya ulam mujtahid memandang dan mengelompokan mu’tazilah
kepada orang kafir.8[8] Menurut pendapat Syekh Abdul Qadir Jaelani r.a. dalam kitabnya al-
Ghaniyyah dan menurut Syekh Zainuddin al Bahrawi dalam kitabnya al-Barikatul al-
Mahmudiyyah bahwa dasar penyelewengan paham Mu’tazilah tersebut disebabkan Nafyu
Sifatillah yakni, menghilangkan sifat af’al Allah kepada makhluknya.9[9]
Maka Mu’tazilah adalah kaum rasionalis yang menjadikan akal sebagai sumber yang otentik
dalam segala hal tanpa menyapa Qur’an atupun Hadits berbeda dengan kaum Ahlussunnah yang
menyatakan bahwa kedudukan Qur’an dan Hadits adalah sumber yang paling benar.

7[7] I’itiqod Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Sirajuddin Abbas, Penerbit Pustaka Tarbiyah, hal 177

8[8] Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. Balukia Syakir, penerbit SINAR BARU bandung, hal 100.

9[9] Ibid,hal 101.


KESIMPULAN
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan
kaum yang moderat dalam segi teologi/aqidah ketuhan mereka dari pada ‘katakanlah kaum
Mu’tazilah yang berasumsi bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat apapun sehingga kehidupan
manusia di dunia ini tuhan tidak berkuasa untuk mengaturnya, artinya bahwa manusialah yang
mengatur hidupnya sendiri. Ahlussunnah wal Jama’ah mengansumsikan bahwa ada
keseimbangan antara Allah SWT sebagai sang Khaliq dan manusia sebagai Makhluk-Nya dalam
kontribusinya masing-masing. Sehingga manusia berusaha dan Tuhanlah yang menentukan.
Dan kemudian asumsi sebagian kaum Syi’ah bahwa mereka dapat bersatu dengan Tuhan yang
disebut Wahdatul Wujud, “apa yang Tuhan ciptakan hakikatnya adalah Tuhan itu sendiri”, hal
ini di tolak oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa Tuhan tidak mungkin bersatu dengan
penciptanya (Mustakhil).

PENUTUP
Demikian makalah yang telah kami susun mudah-mudahan dapat mengantarkan kita kepada
kebenaran yang hakiki, dan semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan yang telah diperbuatnya
demi tegaknya Islam dan kami ucapkan sekian dan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
K.H. Siradjuddin Abbas I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, penerbit
pustaka tarbiyah Jakarta.
Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan dan Reinterpretasi”,Penerbit
LkiS yogyakarta,tahun 2000.
Muhammad Abdul Hadi al-Mishri Manhaj dan Aqidah Ahlusssunnah
wal Jama’ah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, penerbit Gema Insani
Press.
KH. Balukia Syakir, Ahlussunnah wal Jama’ah , penerbit SINAR
BARU bandung.

Anda mungkin juga menyukai