Pendahuluan
Perlu diketahui bahwa dalam literatur agama Islam terdapat beberapa aliran-aliran yang
mempunyai teologi/keyakinan-keyakinan yang bervariasi terhadap konsep ketuhanan, sehingga
hal tersebut tentu menuai beberapa konflik yang muncul di permukaan para penganut teologi itu
sendiri karena hal tersebut bersifat prinsipil dalam agama Islam.
Perbedaan prinsip tersebut merupakan hasil dari pada para tokoh pemikir Islam yang kemudian
di dalam pemikiran tersebut terdapat pengikut yang turut andil untuk menyebarluaskan kepada
masyarakat karena hal tersebut sangat urgen dalam literatur Islam agar tidak tersesat dalam
pemikiran yang lain (antara satu dengan yang lain merasa paling benar). Contoh kongkrit yang
terjadi pada masa sekarang ialah “Mirza Gulam Ahmad” yang dengan mengggunakan ayat
Alqur’an dan Hadist atas kepercayaannya, ia berkeyakinan bahwa dirinya adalah Nabi dan Rasul
setelah nabi Muhammad SAW, yang kemudian kepercayaan itu ditentang keras oleh kaum
Ahlussunnah Wal Jama’ah karena menurut i’itiqad mereka, bahwa Nabi dan Rasul yang paling
akhir adalah Nabi Muhammad SAW. Barang siapa mendakwakan dirinya sebagai Nabi dan
Rasul sesudah Nabi Muhammad SAW maka orang itu pembohong, harus ditolak dan dilawan
habis-habisan.
Sesudah Nabi Muhammad tidak ada lagi Nabi atau Rasul, yang ada hanyalah Khalifah, Ulama-
ulama, Auliya-auliya, Imam-imam, Mujtahid, Guru-guru Agama, Ustadz-ustadz dan Syekh-
syekh.
Kepercayaan kaum Syi’ah yang mirip-mirip menjadikan Sayidina ‘Ali atau Imam-imam mereka
menjadi Nabi juga ditentang oleh kaum Ahlussunnah, karena “ke-Nabi-an” pun sudah habis
sesudah nabi Muhammad SAW, pemahaman Ahlussunnah ini berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Ahzab ayat 40:
""ما كان محمد أبا أحد من رجالكم ولكن رسول هللا وخاتم النبيين وكان هللا بكل شيئ عليما
Artinya: “Nabi Muhammad itu bukan bapak seorang pun diantara-antara laki-laki diantara
kamu, tetapi beliau Rasul-Allah dan Nabi penutup. Dan tuhan maha tahu atas segala ,sesuatu”
Terang dan nyata dalam ayat ini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah “Khataman Nabiyiin”,
yakni Nabi penghabisan.1[1] Dalam hal ini tentu perlu di kita perlu mengetahui bagaimana
1[1] ”I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah” K.H. Siradjuddin Abbas, penerbit pustaka tarbiyah Jakarta, hal
346-347
sepak-terjang Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam menyikapi hal-hal tersebut khususnya dalam
perspektif teologi.
2[2] Buku “Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan dan Reinterpretasi”,Penerbit LkiS yogyakarta,tahun
2000, hal 48
3[3] Ibid I
Ahlusssunnah wal Jama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di
surga dengan kedua mata mereka.
Ahlusssunnah wal Jama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan
Rasulullah.
Ahlusssunnah wal Jama’ah mengimani Qadar Allah dengan segala tingkatnya.
Ahlusssunnah wal Jama’ah berpendapat: iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan
berkurang.
Ahlusssunnah wal Jama’ah menyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang).
Iman seorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan. Oleh karenanya,
mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika
terlepas pokok keimanannya.
Ahlusssunnah wal Jama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antar siksa dan
pahala pada diri seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang
tertentu kecuali dengan dalil khusus.
Ahlusssunnah wal Jama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan istri-istri
Rasul tanpa menyakini adanya kema’shuman terhadap siapa pun kecuali Rasulullah.
Ahlusssunnah wal Jama’ah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian luar biasa yang
dberkan Allah kepada mereka.
Ahlusssunnah wal Jama’ah bersepakat untuk memerangi siapa pun yang keluar dari syari’at
Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ahlusssunnah wal Jama’ah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang
baik maupun durhaka, demi menegakan syari’at Islam.4[4]
Keseluruhan prinsip-prinsip yang telah kami sebutkan dimuka itu adalah merupakan prinsip yang
berasaskan Al-Qur’an sehingga hal tersebut bersifat qoth’i baginya.
4[4] Manhaj dan Aqidah Ahlusssunnah wal Jama’ah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, penerbit Gema
Insani Press, hal 124-136.
b. Qodariyah
c. Murji’ah
Sebagian orang Syiah merupakan aliran Islam yang mempercayai bahwa Tuhan dapat menyatu
dalam diri manusia (wahdatul wujud) dan salah seorang yang menganut keyakinan tersebuut
adalah Husein bin Mansur al Hallaj, ia menyakini bahwa hakikat dari segala sesuatu adalah
tuhan, kalau engkau melihat sesuatu itu adalah tuhan, jadi bagi al Hallaj Tuhan itu bersatu
dengan makhluk-Nya, yang dinamakan Wahdatul Wujud “satu yang ada”.
Pada suatu hari ia ditanya orang: “bagaimana tuan bisa mengetahui Tuhan ?” Jawabnya : “saya
mengetahui Tuhan saya dengan Tuhan saya, kalau tidaklah Tuhan saya maka saya tidak akan
tahu Tuhan saya”.
Jadi, alam ini baginya Tuhan, dan Tuhan juga alam. Itulah faham “Serba Tuhan” dari al Hallaj. 5
[5] Dari itu maka Ahlussunnah menolak “Wahdatul Wujud”, karena perlu diketahui bahwasanya
alam dan Tuhan tidak mungkin bersatu, dan tidak masuk akal pencipta dan yang diciptakan
menjadi satu.
Kaum Qodariyah pada hakikatnya merupakan sebagian dari faham Mu’tazilah, karena Imam-
imamnya merupakan orang-orang Mu’tazilah.
Kaum Qodariyah beri’itiqad bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri dengan
qodrat yang telah diberikan Tuhan kepadanya sedari mereka lahir kedunia. Tuhan sama sekali
tidak ada hubungannya dengan manusia sekarang, dan bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa
yang akan dikerjakan oleh manusia. Hanya setelah manusia mengerjakan perbuatannya barulah
Tuhan mengetahui apa yang dikerjakan manusia itu. Tetapi Tuhan memberi pahala kepada
manusia atas perbuatannya yang baik karena manusia itu memakai qodrat yang diberikan Tuhan
kepadanya dengan baik, dan sebaliknya akan menghukum manusia kalau berbuat dosa karena
memakai qodrat yang diberikan Tuhan kepadanya dengan cara yang tidak baik.
Jadi, seluruh perbuatan manusia, buruk dan baik, diciptakan oleh manusia sendiri, bukan oleh
Tuhan, demikian faham Qadariyah. Dan berikut dalil-dalil yang menjadi dasar bagi Qadariyah :
“kalau segala perbuatan manusia dijadikan oleh Tuhan, mengapa Tuhan memberikan pahala atas
perbuatan manusia yang baik dan mengapa Tuhan meberikan siksa kepada mereka yang berbuat
ma’siyat padahal Tuhan sendiri yang telah menciptakannya maka kalau begitu Tuhan tidak adil”,
5[5] I’itiqod Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Sirajuddin Abbas, Penerbit Pustaka Tarbiyah,hal 137
itu kata kaum Qadariyah, yang kemudian menyandarkan dalil sebagai berikut dengan tafsiran
sendiri tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat dan ahli tafsir ;
إن هللا ال يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
Artinya : “Bahwasanya Allah tidak bisa merubah nasib sesuatu kaum, kalau tidak mereka
sendiri yang merubahnya”(Ar-Ra’d : 11)
Perhatikan ayat ini, kata mereka. Tuhan tidak bisa atau tidak kuasa merubah nasib manusia
kecuali kalau mereka sendiri merubah nasibnya. Kekuasaan Tuhan dalam soal ini tak ada lagi,
karena sudah dikasihkannya kepada manusia, demikian apa yang mereka (Qadariyah) katakan,
Itulah salah satu ayat yang menjadi landasan bagi kaum Qadariyah.
Hal tersebut disangkal oleh kaum Ahlussunnah dengan dalil, baik dari Qur’an maupun Hadits
sebagai berikut:
Artinya : “Allah yang menjadikan segala sesuatu dan dia Maha Esa dan Maha Perkasa”
Nyata dalam ayat ini bahwa yang menjadikan tiap-tiap suatu hanyalah Tuhan. Manusia tak
sanggup menciptakan sesuatu, walaupu yang mereka kerjakan.
Dan berkut keterangan dari hadits :
، عبدهللا بن مسعود رضي هللا عنه قال حدثنا رسول هللا صلى هللا علي ه وس لم: عن أبى عبد الرحمن
ثم تك ون في ذل ك علق ة، إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أم ه أربعين يوم ا: وهو الصادق المصدوق
ويؤمر بأربع كلمات، ثم يرسل الملك فينفخ فيه الروح، ثم تكون في ذلك مضغة مثل ذلك، مثل ذلك
) وشقي أم سعيد (رواه البخاري ومسلم، وأجله وعمله، بكتب رزقه:
Artinya : “Dari Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud Rda., beliau berkata : “Mengabarkan akan
kami Rasulullah saw. Dan ia orang yang benar lagi dibenarkan, “bahwasanya kamu
dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibumu 40 hari masih nut-fah (air), 40 hari lagi a’laqah
(darah), 40 hari lagi mudgah (daging), kemudian diutus malaikat dan ditiupkannya ruh, dan ia
disuruh menuliskan 4 soal, yaitu : Rezkinya, ajalnya, pekerjaanya dan untung jahat atau
baiknya” (Hadist riwayat Imam Bukhori dan Muslim, Sahih Bukhori Juz IV hal 101 dan sahih
Muslim Juz II hal,451 ).
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa nasib baik dan buruk sekalian manusia telah dituliskan dalam
azal sebelum mereka dilahirkan ke dunia.
Jadi, manusia sekarang hanyalah menjalani takdir ilahi yang telah dituliskan sebelumnya untuk
semua orang. Begitulah i’itiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah.
Takdir Ilahi itu menurut Ahlussunnah wal Jama’ah ada 4 yaitu :
1. Takdir dalam ilmu Tuhan. Ini tidak berubah-ubah lagi.
2. Takdir yang dituliskan di Luh mahfuzh. Ini bisa berubah kalau Tuhan menghendaki.
3. Takdir dalam rahim ibu. Ini sesuai dengan Luh mahfuzh.
4. Takdir Ilahi dalam kenyataan, ya’ni dijadikan sesuatu dalam kenyataannya menurut takdir yang
telah ditetapkan.6[6]
Kaum Ahlussunnah wa Jama’ah, mempercayai takdir Ilahi, akan tetapi manusia disuruh oleh
Tuhan supaya bekerja rajin dan berusaha sekuat-kuatnya. Maka apa saja yang dimudahkan
Tuhan bagi kita maka itu suatu pertanda bagi takdir yang telah ditetapkan untuk kita.
Kaum Mu’tazilah adalah suatu kaum yang membikin hebih dunia Islam selama 300 tahun pada
abad-abad permulaan Islam. Kaum Mu’tazilah telah pernah dalam sejarahnya membunuh ribuan
ulama Islam, di antaranya ulama Islam yang terkenal Syeikh Buwaithi, imam pengganti Imam
Syafi’i, dalam suatu peristiwa yang dinamai “Peristiwa Qur’an makhluk”.
Imam Ahmad bin Hanbal, pembangun Madzhab Hanbali, mengalami pula siksaan dalam penjara
selama 15 tahun, akibat peristiwa itu.
Faham Mu’tazilah telah tersebar dan berkuasa pada masa-masa Khalifah Ma’mun bin Harun
Rasyid, Khalifah al Mu’tashim bin Harun Rasyid, dan Khalifah al Watsiq bin al Mu’tashim
sekitar abad-abad ketiga, keempaat dan kelima Hijriyah.
7[7] I’itiqod Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Sirajuddin Abbas, Penerbit Pustaka Tarbiyah, hal 177
8[8] Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. Balukia Syakir, penerbit SINAR BARU bandung, hal 100.
PENUTUP
Demikian makalah yang telah kami susun mudah-mudahan dapat mengantarkan kita kepada
kebenaran yang hakiki, dan semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan yang telah diperbuatnya
demi tegaknya Islam dan kami ucapkan sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
K.H. Siradjuddin Abbas I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, penerbit
pustaka tarbiyah Jakarta.
Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan dan Reinterpretasi”,Penerbit
LkiS yogyakarta,tahun 2000.
Muhammad Abdul Hadi al-Mishri Manhaj dan Aqidah Ahlusssunnah
wal Jama’ah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, penerbit Gema Insani
Press.
KH. Balukia Syakir, Ahlussunnah wal Jama’ah , penerbit SINAR
BARU bandung.