DISUSUN OLEH :
1. MUHAMAD MAELANI
2021/2022
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahnya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang Pengertian dan sejarah Ahlussunnah wal
Jama’ah. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Aswaja.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen pengampu guna menjadi acuan dalam
bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Aswaja sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi “Ma Ana Alaihi wa Ashhabi”
seperti yang dijelaskan sendiri oleh rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Tirmidzi, Ibnu Majjah, dan Abu Dawud bahwa ;”Bani Isroil terpecah belah menjadi 72
golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka
kecuali satu golongan”. Kemudian para sahabat bertanya “siapakah mereka wahai
rasulullah?” lalu rasul menjawab “mereka itu adalah maa ana alaihi wa ashhabi, Yakni
mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan para sahabatku”.
Istilah “ Ahlusunnah wal jama’ah” adalah sebuah istilah yang di Indonesiakan dan kata
Istilah“ Ahlusunnah wal jama’ah” ia merupakan rangkaian kata-kata “Ahl” berarti
golongan,”Al-sunnah” berarti perilaku jalan hidup atau perbuatan yang mencakup ucapan
dan tindakan Rasulullah SAW.”Al jamaah” berarti jamaah yakni para sahabat rasulullah
SAW.Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat. Dengan demikian maka secara
etimologis istilah Ahlusunnah wal jama’ah” atau golongan yang senantiasa mengikuti jalan
hidup Rasulullah SAW dan jalan hidup para sahabatnya atau golongan yang berpegang teguh
pada sunnah rosul dan sunah (tariqah) para sahabat,lebih khusus lagi ( Abu bakar,Umar bin
khatab,Usman bin affan,Ali bin abi thalib).
2. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas maka didapat beberapa hal yang menjadi rumusan masalah pada
makalah ini, yaitu:
Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wal Jamaah. Ada tiga kata yang
membentuk istilah tersebut, yaitu:
1. Ahl, berarti keluarga, golongan, atau pengikut.
2. Al-Sunnah, bermakna al-thariqoh wa law ghaira mardhiyah (jalan atau cara walaupun tidak
diridhoi)
3. Al-Jamaah, berasal dari kata jama’a artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan
sebagian ke sebagian lain. Kata “jama’ah” juga berasal dari kata ijtima’ (perkumpulan), yang
merupakan lawan kata dari tafarruq (perceraian) dan juga lawan kata dari furqah
(perpecahan). Jadi jama’ah adalah sekelompok orang banyak dan dikatakan juga sekelompok
manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Selain itu, jama’ah juga berarti kaum yang
bersepakat dalam suatu masalah.
Maka Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan Aswaja adalah sebagai metode berfikir
(manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas
dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah
dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai
tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.
3. Sejarah Munculnya Aswaja
Kini ada Aswaja An-Nahdliyah yang terdiri dari dua kata. Aswaja singkatan dari Ahlus-
Sunnah wal-Jama’ah, sedang An-Nahdliyah merupakan penisbatan dari jam’iyah Nahdlatul
Ulama (NU). Jadi, Aswaja An-Nahdhiyah adalah Islam Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang
lahir 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya dengan nama Nahdlatul Ulama.
Secara ideologi, ia bagian dari Aswaja sedunia, salah satu dari tiga ideologi genuine,
yaitu Khawarij, Aswaja, dan Syi’ah. Dalam pandangan Abid al-Jabiri, ketiga-tiganya adalah
partai politik, meskipun kadar kepolitikannya tidak sama. Khawarij dan Syi’ah lebih kental
porsi kepolitikannya ketimbang Aswaja.
Term “sunnah” dan “jamaah” memang sudah ada dalam hadis sahih pada konteks dan redaksi
lain, yang bukan nama sebuah sekte Islam. Ulama pertama menggaungkan nomenklatur
Aswaja adalah Al-Baqilani (w. 403); Al-Baghdadi (w. 429); Al-Juwaini (w. 478); Al-Ghazali
(w. 505), As-Syahrastani (w. 548) dan Ar-Razi (w. 606).
Mereka pengikut Imam Madzhab dalam fikih dan mengikuti Abu Hasan Asy’ari (269 – 323
H), Imam Abu Manshur al-Ma’turidi (238 – 333 H) dalam akidah serta Al-Ghazali dan Al-
Junaid dalam tasawuf.
Mereka merupakan perumus akidah, fikih dan tasawuf Aswaja, yang mengambil dari al-
Quran, Hadis dan tradisi Salafus shalih. Mereka diakui saling berkonvergensi secara baik (Dr
Abu Zahrah, I/2008).
Karakter rumusannya yaitu: 1). Dalil naqli (al-Quran – Hadis) dan aqli (Ijma’ – Qiyas); 2).
Menjumbuhkan hal yang bertentangan seperti antara free act-free will Qadariyah-
Mu’tazilah dengan determinisme Murji’ah-Jabariyah; 3). Tasamuh (toleran) atau tidak
gampang mengafirkan sekte lain; 4). Tawazun (berkesimbangan); 5). I’tidal (menegakkan
keadilan); 6). Tawassut (moderat).
Waktu itu, yang sejatinya parpol diagamakan. Contoh, ada Qadariyah yang anti Mu’awiyah
dan memegangi de yure khalifah Ali Bin Abi Thalib. Menanggapi sikap Murji’ah yang
pasrah kepada Mu’awiyah yang mereka pandang bughat, Qadariyah berdalil: “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu mengubah nasib mereka
sendiri.” (QS. 13; 11)
Selanjutnya, Qadariyah bersimbiosa dengan Mu’tazilah. Sesungguhnya Murji’ah itu netral,
tetapi atas dasar dar’ul mafaasid mereka mendukung de facto Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ia
menggelontori uang dan amalan zikir yang artinya: “Ya Allah, Engkaulah Rajanya seluruh
raja. Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki” (baca=Muawiyah)
…” (QS 3; 26-7).
Pada era dinasti Amawiyah yang menjadikan orang non Arab sebagai warga kelas dua dalam
sektor politik, sosial dan ekonomi (Prof Syamruddin Nasution, 2019). Maka doktrin Aswaja
yang dipegangi Al-Amin (Arab) kemudian digantikan oleh adiknya, Al-Makmun (Ibu dari
Iran) yang Mu’tazilah, langsung didelegitimasi oleh Imam Ahmad bin Hanbal via doktrin
Makmun tentang kemakhlukan al-Quran-nya.
Itulah sebabnya, sisa kaum Nashibi (fanatis Mu’awiyah) di Saudi Wahabi yang sangat anti
Rafidhi (kaum fanatis Sayidina Ali-Syi’ah-Iran), melanjutkan permusuhan itu hingga abad
ke-15 H, yang kini ingin berdamai.
Kaum Salafi-Wahabi yang tidak diakui oleh Muktamar Aswaja Internasional di Chechnya
2016 karena doktrin takfirnya yang neo khawarij, tetap mengklaim sebagai Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah sebagai perang terminologis. Para pendakwah Salafi-Wahabi Indonesia juga tak
malu mengklaim Aswaja, meskipun nomenklatur itu bias dengan Aswaja yang eksis di
Indonesia dan dunia.
Dengan adanya klaim dari Ja’far Umar Talib, Dr Firanda Adirja, Yazid Jawas dan lainnya,
maka Aswaja kuno dari Salafus-Shalih yang hidup di seluruh dunia, untuk Indonesia
menamakan diri Aswaja An-Nahdhiyah. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)