Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MADZHAB SUNNI

“Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :Maza<hib Al-Tafsi<r”

Dosen pengampu: Dr. Khaerul Asfar Lc, M.Thi

Disusun oleh kelompok 8 :

Abdurrahmat Ahmad (193042044)

Rifki Julia (193042023)

Marianti Husain (193042011)

Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin dan Dakwah

Institut Agama Islam Sultan Amai Gorontalo

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Salawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan yaitu Nabi Muhammad SAW.
Beserta segenap keluarga dan para sahabatnya, rasa syukur yang mendalam penulis ucapkan
karena penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari
sisi-sisi kelemahan oleh karena itu, penulis akan menerima saran-saran perbaikan untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhir kalam semoga Allah SWT, menyadari setiap perbuatan kecil
yang kita laksanakan dalam mengabdi kepada bangsa dan negara melalui bidang pendidikan dan
pengajaran.

Gorontalo, 29 November 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjalanan tafsir sejak lama sudah mulai berjalan, mulai dari masa risalah sampai masa
generasi sesudah tabi’in denga rules yang sama diambil oleh generasi demi generasi melalui
jalur periwayatan, disetai sedikit ijtihad disetiap generasi sesuai dengan masalah yang
bermunculan. Hal ini dipengaruhi akan semakin jauhnya umat dari masa kenabian, pembukaan
wilayah-wilayah Islam dan masuknya orangorang non Arab ke dalam agama Islam, semakin
kesulitan dalam menafsirkan dan semakin diperlukan penjelasan tafsir yang lebih luas. Semakin
bertambah tahun juga semakin bertambah banyak penafsiran.

Hanya saja dalam masalah ini tidak membuat para imam keluar dri batas-batas rasional.
Keadaan ini teru belangsung sampai muncul aliran-aliran yang beragam dan madzhab-madzhab
yang bermacam-macam. Dari aliran-aliran yang terkenal terdapat lima aliran yaitu Sunni,
Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij. Aliran-aliran terkenal lainnya seperti Jabariyah,
Batiniyah, Musyabbihah dan lain-lain. Oleh karena itu, pada makalah ini penulis lebih
mengkhususkan pembahasan tentang madzhab sunni.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang munculnya madzhab Sunni ?

2. Bagaimana metode madzhab sunni terhadap al-Qur’an ?

3. Bagaimana tafsir dan corak penafsiran Sunni ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui latarbelakang muncul madzhab Sunni

2. Untuk mengetahui metode madzhab sunni terhadap al-Qur’an

3. Untuk mengetahui tafsir dan corak penafsiran Sunni


BAB 2
PEMBAHASAN

A. Latarbelakang Munculnya Madzhab Sunni

Sunni atau sering disebut dengan Ahlussunnah wal Jama>’ah merupakan salah satu dari
beberapa aliran Kalam. Hal ini dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus.
Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah
sebagaimana Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sementara Sunni dalam pengertian khusus
adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan dari
Mu’tazilah.1Ahlussunnah Wal Jama>’ah merupakan gabungan dari kata ahl al-sunnah dan ahl al-
jama’ah. Dalam bahasa Arab, kata ahl berarti “pemeluk aliran/ mazhab” (asha<b al-mazhabi),
jika kata tersebut dikaitkan dengan aliran/ madzhab. Kata al-Sunah sendiri disamping
mempunyai arti al-hadits, juga berarti “perilaku”, baik terpuji maupun tercela. 2 Kata ini berasal
dari kata sannan yang artinya “jalan”. Selanjutnya mengenai definisi al-Sunnah, secara umum
dapat dikatakan bahwa al-Sunnah adalah sebuah istilah yang menunjuk kepada jalan Nabi SAW
dan para shahabatnya, baik ilmu, amal, akhlak, serta segala yang meliputi berbagai segi
kehidupan. Maka, berdasarkan keterangan di atas, ahl al-Sunnah dapat diartikan dengan orang-
orang yang mengikuti sunah dan berpegang teguh padanya dalam segala perkara yang Rasulullah
SAW dan para shahabatnya berada di atasnya (Ma ana ‘alaihi wa asha<bi), dan orang-orang
yang mengikuti mereka sampai hari Qiamat. Seseorang dikatakan mengikuti al-Sunah, jika ia
beramal menurut apa yang diamalkan oleh Nabi SAW berdasarkan dalil syar’i, baik hal itu
terdapat dalam al-Qur’an, dari Nabi SAW, ataupun merupakan ijtihad para shahabat. Adapun al-
Jama>’ah, berasal dari kata jama’a dengan derivasi yajma’u jama’atan yang berarti “menyetujui”
atau “bersepakat”. Dalam hal ini, al-jama’ah juga berarti berpegang teguh pada tali Allah SWT
secara berjama‟ah, tidak berpecah dan berselisih. Pernyataan ini sesuai dengan riwayat Ali bin
Abi Thalib yang mengatakan: “Tetapkanlah oleh kamu sekalian sebagaimana yang kamu
tetapkan, sesungguhnya aku benci perselisihan hingga manusia menjadi berjamaa‟ah”.

1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 119
2
Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqih, Cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 9
Satu hal yang perlu dijelaskan adalah walaupun kata al-jama’ah telah menjadi nama dari
kaum yang bersatu, akan tetapi jika kata al-jama’ah tersebut di sandingkan dengan kata al-
sunnah, yaitu Ahl al-Sunah wa al-Jama>’ah, maka yang dimaksud dengan golongan ini adalah
mereka, para pendahulu umat ini yang terdiri dari para shahabat dan tabi’in yang bersatudalam
mengikuti kebenaran yang jelas dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Istilah Ahl al-Sunnah
wa al-Jama>’ah sendiri, sebenarnya baru dikenal setelah adanya sabda Nabi SAW, yakni seperti
pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud. Hadits tersebut yakni, hadits
riwayat Ibnu Majah:

‫ دَى‬6‫رقَتْ َعلَى ِإ ْح‬6 َ 6َ‫ َراِئ ْي َل اِ ْفت‬6 ‫س‬


ْ ‫ ِإنَّ بَنِ ْي ِإ‬:‫لَّ َم‬6 ‫س‬
َ ‫ ِه َو‬6‫لَّى هّللا ُ َعلَ ْي‬6 ‫ص‬ ُ ‫ا َل َر‬66َ‫ ق‬:‫ا َل‬66َ‫س ْب ِن َمالِ ٍك ق‬
َ ِ‫ ْو ُل هللا‬6 ‫س‬ ِ َ‫عَنْ َأن‬
ُ‫ ة‬66َ‫ا فِي النَّا ِر ِإالَّ َواحِ َدةً؛ َو ِه َي ا ْل َج َماع‬66‫ةً ُكلُّ َه‬66َ‫ ْب ِعيْنَ فِ ْرق‬66‫س‬ َ ‫ق َعلَى ثِ ْنتَ ْي ِن َو‬ َ ‫ةً وَِإنَّ ُأ َّمتِ ْي‬66َ‫ ْب ِعيْنَ فِ ْرق‬66‫س‬
ُ ‫تَ ْفتَ ِر‬66‫س‬ َ ‫َو‬

Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, dan sesungguhnya
ummatku akan terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang semuanya berada di
Neraka, kecuali satu golongan, yakni “al-Jami’ah”3

Istilah tersebut bukan Ahlus Sunnah Wal-Jama>’ah tetapi al-jam’ah sebagai komunitas yang
selamat dari api neraka.4 Menurut hemat penulis meskipun secara tersurat penyebutan istilah
dalam hadits tersebut adalah al-jam’ah, tetapi secara tersirat yang dimaksud dalam hadits
tersebut adalah Ahlus Sunnah Wal-Jama>’a Dalam perkembangan selanjutnya, jika Ahl al-
Sunnah adalah penganut sunah Nabi SAW dan al-Jama>’ah adalah penganut paham sahabat-
sahabat Nabi SAW, maka ajaran Nabi SAW dan para sahabatnya yang sudah termaktub dalam
al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Saw secara terpencar-pencar dan belum tersusun secara teratur,
kemudian dikodifikasikan (dikonsepsikan secara sistematis) oleh Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di
Bashrah tahun 324 H dan meninggal pada usia 64 tahun). Pada periode Asha>b al-Asy’ari>
inilah, Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah mulai dikenal sebagai suatu aliran dalam Islam. Hal ini
dipelopori oleh al-Baqillani (w. 403 H), al-Bagdadi (w. $29 H), al-Juwaini (w. 478 H), al-Gazali
3
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Kedudukan Hadits Tujuh Puluh Tiga Golongan Umat Islam”,November
28,2021, https://almanhaj.or.id/13743-kedudukan-hadits-tujuh-puluh-tiga-golongan-ummat-islam.html

4
Nawawi, Ilmu Kalam: dari Teosentris Menuju Antroposentris, (Malang: Genius Media, 2014), hlm. 80-
81
(w. 505 H), al-Syahrastani, dan al-Razi (w. 606 H), meskipun demikian, mereka tidak secara
tegas membawa bendera Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah sebagai mazhab. Dalam sumber lain
diterangkan bahwa, Ahl al-Sunnah dikenal luas dan populer sejak adanya kaum Mu‟tazilah yang
menggagas rasionalisme dan didukung oleh penguasa Bani Abbasiyah. Sebagai madzhab
pemerintah, Mu’tazilah menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi lawan-lawannya.
Aliran ini memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama untuk berpendapat tentang
kemakhlukan al-Qur’an. Akibatnya, aliran ini melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian
akidah kepada para pejabat dan ulama‟. Materi pokok yang diujikan adalah masalah al-Qur‟an.
Tujuan al-Makmun melakukan mihnah adalah membebaskan manusia dari syirik.

B. Metode Madzhab Sunni terhadap al-Qur’an

Dalam menafsirkan al-Qur’an, Mahmud Basuni Fudah berpendapat bahwa golongan Ahl
al-Sunnh berpegang pada dalil yang dikutip dari Rasulullah SAW., riwayat dari sahabat atau
yang disepakati oleh tabi’in, kemudian riwayat dari tabi’in dan ijtihad generasi sesudah mereka
yang tidak keluar dari kaidah-kaidah kebahasaan Arab yang dengannya al-Qur’an turun dan
kaidah-kaidah syariah yang digali dari al-qur’an dan al-Sunnah. Itulah yang dikenal dengan
sebutan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi.5

Ahlus Sunnah juga menggunakan akal. Aka n tetapi jika dalam sebuah ayat sudah ada
nashyang shahih dan terkonfirmasi datang dari Rasulullah, maka mereka akanpenggunaan akal.
Mahmud Basuni Faudah juga menambahkan bahwa golongan Ahlus Sunnah tetap
memperhatikan kaidah bahasa Arab dalammengawasi ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian apabila
terdapat kontradiksi antaraakal dan naqal, mereka menyesuaikan diri tanpa keluar dari kaidah-
kaidah syar'i dan lughawy.

Sementara itu Rohimin berpendapat bahwa, dalam tradisi Sunni terdapat tiga aliran tafsir,
yaitu ittijah salafi, ittijah kalami dan ittijah shufi. Kemudiania memberi contoh, yang termasuk
aliran yang pertama adalah tafsir Ibnu Katsir. Sementara yang termasuk dalam aliran yang kedua
adalah At-Tafsir al-Kabirkarya Fakhrur Razi. Adapun yang termasuk dalam aliran yang ketiga
adalahLathaiful Isyarat karya Imam Al-Qusyairi. Kemudian dari tiga aliran ini,semuanya
memiliki garis besar metode yang sama. Metode-metode tersebut misalnya, menafsirkan al-

5
Yunus Hasan Abidu, “Tafsir al-Qur’an”, (Tangerang: Gaya Media Pratama), hlm 135.
Qur’an dengan al-Qur'an, menafsirkan al-Qur'an dengan hadis, menafsirkan al-Qur'an dengan
hadits sahabat, mengawasi al-Qur'an menggunakan perkataan tabi'in, dan yang terakhir
menafsirkan al-Qur'an dengan memperhatikan aspek bahasa.

Selain itu, golongan Ahlus Sunnah dalam menafsirkan al-Qur’an juga memperhatikan
hal-hal berikut :

1. Al-Qur’an harus ditaafsirkan dengan yang umum dalam bahasa.

2. Dalam menentukan makna harus sesuai dengan konteks.

3. Dalam menafsirkan harus memperhatikan asbab an-nuzul dan alur cerita.

4. Dalam memberikan makna mendahulukan makna syar’i ketimbang makna ‘urfi

B. Tafsir Sunni dan Coraknya

Dalam golongan Ahlus Sunnah atau Sunni, terdapat banyak sekali kitab tafsir
yangmuncul dari generasi ke generasi. Contoh kitab tafsir yang muncul dari golongan Ahl al-
Sunnah antara lain :

1. Jâmi‘ al -Bayân ‘an Ta’wîl Ay al -Qur’ân,karya Abu Jafar al-Tabarî,

2.Tafsîr al-Qur’ân al ‘Azîm, karya Abû al-Fidâ‟ Ismâ„îl b. Kathîr

3. al- Jâmi‘ li Ahkâm al Qur’ân karya al-Qurtubî

4.al-Durr al-Manthûr fi al-Tafsîr bi al-Ma’thûr, karya Jalâl al-Dîn al-Suyûtî

5.Mafâtîh al-Ghayb, karya Fakhruddin al-Râzî

6. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, karya al-Qâdî al-Baydâwî

7.al-Bahr al-Muhît, karya Abû Hayyân

8. Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al Ta’wîl karya Abû al-Barakât Abd Allâh b. Ahmad al-Nasafî

9. Rûh al-Ma‘ânî, karya al-Alûsî

10. Fî Zilâl al-Qur’ân, karya Sayyid Qutub.


Seluruh karya tafsir yang telah disebutkan diatas lahir pada tradisi yang berbeda-beda,
sehingga memiliki corak penafsiran yang berbeda pula. Contohcorak penafsiran tersebut antara
lain tafsir fiqhi, tafsir lughowi, tafsir adabi, tafsir ijtima’i-huda’i,dan tafsir‘ilmi.Diantara corak-
corak tersebut, meskipunsama-sama berasal dari golongan Ahlus Sunnah, terkadang masih
terdapat perbedaan diantara tafsir satu dengan yang lain. Misalnya, sebagian tafsir fiqhi lebih
identik bahkan membela salah satu madzhab fikih, seperti tafsir al-Qurtubhi yang condong pada
fikih Maliki, dan tafsir Al-Jassas yang condong pada fikih Hanafi.

Adapun untuk melihat bagaimana penafsiran golongan Ahlus Sunnah,salah satu hal yang
dapat diperhatikan adalah penafsiran mereka terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Sebagai contoh
Ibnu Katsir menafsirkan ayat tentang ru’yatullah, yakni Q.S. Al-Qiyamah ayat 22-23 berikut.6

٢٢ – ٌ‫اض َر ۙة‬ ِ َ‫اِ ٰلى َربِّ َها ن‬


ِ َّ‫ ُو ُج ْوهٌ يَّ ْو َم ِٕى ٍذ ن‬٢٣ – ۚ ٌ‫اظ َرة‬

Terjemahan :

“Wajah-wajah (orang mukmin) [ada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka
melihat.”

Mengenai ayat ini, Ibnu Katsir menasirkan bahwa yang dimaksud dengan adalah melihat
dengan kasatmata. Ia kemudian mendasarkan pendapat ini dengan hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari yang artinya sebagai berikut. “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan
kasatmata.”12Kemudian beliau juga mengutip hadis Abu Sa’id dan Abu Hurairah yang
keduanya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut.

“Ada beberapa orang yang bertanya ‘Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb
kita pada hari Kiamat kelak ?’ Beliau menjawab:‘Apakah kalian merasa sakit saat melihat
matahari dan bulan yangtidak dihalangi oleh awan?’ Mereka menjawab: ‘Tidak’ Beliau
punbersabda: ‘Sesungguhnya seperti itulah kalian akan melihat Rabb kalian.”

Selain itu, masih terdapat beberapa hadis yang dikutip oleh Ibnu Katsiruntuk menguatkan
pendapatnya tersebut. Adapun pendapat yang serupa jugadisebutkan dalam Tafsir Ath-Thabari
bahwa yang dimaksud ayat tersebutadalah melihat Tuhan secara langsung.
6
Kementrian Agama, al-Qur’an dan Terjemahan (Surah al-Qiyamah 22-23)
https://quran.kemenag.go.id/sura/75
BAB 3

PENUTUP
A. Kesimpulan

Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah salafnya umat ini dari kalangan sahabat dan tabi’in dan
orang yang berkumpul di atas kebenaran yang jelas dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah yang
imamnya Rasul itu sendiri, dan setiap orangyang menyerukan kepada segala yang diserukan oleh
Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in dengan cara yang baik. Kemudian dari golongan ini, muncul
berbagaikitab tafsir yang memiliki corak penafsiran yang berbeda-beda. Hal yang
dapatdisimpulkan secara umum bahwa golongan Ahlus Sunnah dalam menafsirkan al-Qur’an
berpegang berpegang pada dalil yang dikutip dari Nabi Muhammadsaw, para sahabat, dan juga
para tabi’in. Kemudian, Ahlus Sunnah dalam menafsirkan al-Qur’an juga menggunakan akal.
Akan tetapi jika dalam sebuahayat sudah terdapat nash yang shahih dan terkonfirmasi datang
dari Rasulullah, maka mereka akan menyisihkan penggunaan akal. Selain itu, golongan
AhlusSunnah tetap memperhatikan kaidah bahsa Arab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Kemudian apabila terdapat kontradiksi antara akal dan naqal, mereka berupaya menyesuaikan
keduanya tanpa keluar dari kaidah-kaidah syar’i dan lughawy.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Jawas, Yahya 2021.“Kedudukan Hadits Tujuh Puluh Tiga Golongan Umat Islam”,
https://almanhaj.or.id/13743-kedudukan-hadits-tujuh-puluh-tiga-golongan-ummat-islam.html,
diakses pada 28 November 2021 pukul 17.00.

Anwar, Rosihon. “Ilmu Kalam”, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010

Abidu, Yunus Hasan. “Tafsir al-Qur’an”, Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007

Alhafidz, Ahsin W. “Kamus Fiqih”, Jakarta: Amzah, 2013.

Kementrian Agama, al-Qur’an dan Terjemahan. “Surah al-Qiyamah 22-23”,


https://quran.kemenag.go.id/sura/75, diakses pada 28 November 2021 pukul 18.40.

Nawawi. “Ilmu Kalam: dari Teosentris Menuju Antroposentris”, Malang: Genius Media, 2014.

Anda mungkin juga menyukai