Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ASWAJA (AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH)

Dosen pengampu:

MIFTAHUDIN KHAIRI, M.A

OLEH KELOMPOK 2:

AMANDA SALSABILA (2208060072)

ADITYA MAHENDRA (2208060064)

EDA ADHA UL KHOLIK (2208060039)

RAHMATUL MAULINDA (2208060048)

CINDARA NAKIA SALIM (2208060041)

MUHAMAD SURURI (2208060042)

SUCI MURNI (2208060067)

S1 FARMASI B
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDATUL ULAMA NUSA TENGGARA BARAT
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah tentang pengertian
Aswaja dan sejarah Aswaja.

Makalah ini telah kami susun semaksimal mungkin dengan berdiskusi dengan seluruh
anggota kelompok dan mencari informasi dari berbagai sumber.

Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susun kalimat maupun tata bahasa yang kami gunakan. Oleh karena itu kami
menerima segala kritik agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang pengertian Aswaja dan sejarah
Aswaja , ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi.

Mataram, 2 September 2022


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i

KATA PENGANTAR................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................2

C. Tujuan Masalah.....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah).................................................................3

B. Sejarah Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)......................................................................4

C. Pokok-Pokok Ajaran Aswaja................................................................................................9

D. Tokoh Aswaja......................................................................................................................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................13

BAB I
PENDAHULAN

A. Latar Belakang
Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Ahlusunnah Wal Jama’ah
sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu.
Yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang Islam secara
keseluruhan. Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu,
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya bani Israil akan terpecah
menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya
masuk neraka kecuali satu golongan". Para Sahabat bertanya : Siapa yang satu
golongan itu? Rasulullah SAW menjawab :”yaitu golongan dimana Aku dan
Sahabatku berada”.Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah suatu golongan yang menganut
syariat islam yang berdasarkan pada Al-Qur`an dan Al-hadis dan beri`tikad apabila
tidak ada dasar hukum pada Al-Qur`an dan hadis Inilah kemudian kita sampai pada
pengertian Aswaja.1

Pertama kalau kita melihat ijtihadnya para Ulama-ulama merasionalkan dan


memecahkan masalah jika didalam Al-Qur`an dan hadis tidak menerangkanya.
Definisi kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang
bertentangan); orang orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang
mencakup aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga
keseimbangan dan toleransi. Ahlus Sunnah Wal Jama'ah ini tidak mengecam
Jabariyah, Qodariyah maupun Mu'tazilah akan tetapi berada di tengah-tengah dengan
mengembalikan pada”ma anna alaihi wa ashabihi.” Nah itulah latar belakang sosial
dan latar belakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi tidak muncul tiba-tiba
tetapi karena ada sebab, ada ekstrim mu'tazilah yang serba akal, ada ekstrim jabariyah
yang serba taqdir, Aswaja ini di tengah-tengah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham


keagamaan (ajaran) maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih
khusus sejak peristiwa Tahqim yang melibatkan sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah
sekitar akhir tahun 40 H. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah pemikiranya menggunakan
pemikiran al asyaridan hukum fiqihnya menggunakan imam madzhab sehingga
golongan Aswaja inilah golongan yang sifatnya luas. Dari uraian diatas maka penulis
tertarik mengangkat tema Aswaja (Ahlu Sunnah Wal Jama'h).

Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah (ASWAJA) merupakan salah satu aliran


pemahaman teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain
seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi
Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang
telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian
secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-
Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya

1
Ramli Muhammad Idrus. 2011. Pengantar Sejarah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Surabaya: Khalista. Hlm 53
sehingga sampai kepada kita. Hal ini tentu dapat dibuktikan melalui kajian-kajian
literier keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh
banyak ulama dan pakar/ahli.

Rumusan Masalah
1. Pengertian Aswaja (Assunnah Wal Jama’ah)?
2. Sejarah Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) ?

Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Aswaja ( Ahlusunnah Wal Jama;ah)

2. Untuk Mengetahui Sejarah-Sejarah Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah)

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ASWAJA (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)


Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) dapat dilihat dari dua aspek
penting, pertama dari segi bahasa atau etimologi, kedua dari segi peristilahan atau
terminologi. Secara etimologi, Aswaja berasal dari bahasa Arab Ahl artinya keluarga.
Al-sunnah, berarti jalan, tabi'at dan perilaku kehidupan. Sedangkan Al-jama'ah,
berarti sekumpulan.
2
Aswaja adalah kepanjangan kata dari “Ahlus Sunnah Wal Jama'ah”. Ahlus
Sunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad
SAW, dan Wal Jama'ah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi

2
Ahmad Warson Munawwir’ Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka progressif’ 1997’cet.
14). Hlm. 46
Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yaitu; “ Orang-orang
yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi
waashhabi), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan
tasawuf".Definisi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah ada dua bagian yaitu: definisi secara
umum dan definisi secara khusus:

1. Definisi Aswaja secara umum adalah satu kelompok atau golongan yang
senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para
sahabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat (Tasawwuf dan
Akhlaq).
2. Definisi Aswaja secara khusus adalah Golongan yang mempunyai I'tikad/
keyakinan yang searah dengan keyakinan jama’ah Asya'iroh dan Maturidiyah.
Menurut pengertian istilah (terminologi) Al-sunnah, berarti penganut sunnah
Nabi Muhammad SAW, yaitu mengikuti apa-apa yang datang dari Nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan (taqri'r).
Sedangkan Al-jama'ah berarti penganut I’tiqad para sahabat Nabi, yakni apa yang
telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa khulafaur,al-
rashidin (Abu Bakr al-Siddiq, ,Umar, Ustman, dan ,Ali). Jadi, yang dimaksud
dengan Aswaja adalah kaum yang mengikuti amaliah Nabi Muhammad SAW
dan para sahabatnya.

Adapun menurut tokoh- tokoh besar sebagai berikut :

a. Menurut Imam Asy'ari :


Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah golongan yang berpegang teguh kepada
al-Qur'an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi'in, imam-imam hadis,
dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad . ibn Muhammad ibn
Hanbal.

b. Menurut KH. M. Hasyim Asy'ari :


Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada
sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara
spesifik, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang berkembang di Jawa adalah mereka
yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi'i, dalam akidah mengikuti Imam Abu Al-
Hasan al-Asy'ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam Al-Ghazali dan Imam Abu
Al-Hasan al-Syadzili.
c. Menurut Muhammad Khalifah Al-Tamimy :
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah para sahabat, tabi'in, tabi'n tabi'in dan siapa
saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan
orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.

Shayh ‘abd al-qadir al-Jaylani 9471-561 H/1077-1166 M) seorang tokoh supi


legendaris menjelaskan ‘Al-Sunnah adalah apa yang telah dianjurkan oleh
Rasulullah SAW. (meliputi ucapan’ perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan Al-
Jama’ah adalah segala sesutau yang telah terjadi keepakatan.

B. Sejarah ASWAJA (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)


Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham
kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim.
Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis
(aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau
freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan
berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu
diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan.

Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha mengatasi


suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum
Mu’tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia
tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak
(iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan kehendak mutlak Tuhan.

3
Abi al-haa ali ibn Ismail al-Asy’ari. Al-Ibanah an Ushul Al-Diyanah (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), hlm.
14.
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi Keumatan Dan Kebangsaan (Jakarta: Kompas, 2010,
cet. 1), hlm. 107.
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: Rajawali
Pres s, 2010, cet. 1), hlm. 190.
Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan terpaksa (mujbar).
Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok ini cenderung berfikir
skriptualistik sementara kelompo k Mu’tazilah berfikir rasionalistik.

Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (W. 333 H)
merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Mereka
berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil jalan tengah antara kedua
faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu diketahui bahwa selama 40 tahun
Al-Asy’ar i adalah pengikut faham Mu’tazilah.

4
Karena adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambah dengan
hasil mimpinya bertemu Rasulullah SAW; di mana Rasulullah SAW berkata
kepadanya

bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukan mazhab
Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham Mu’tazilah. Keduanya akhirnya ingin
mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil
naqliyah (nash-nash Al-Qur’an dan Hadits) dan dalil-dalil aqliyah (argumentasi
rasional). Karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal dengan
istilah Al-Asy’ariyyun dan Al-Maturidiyyun.

Berkait dengan hal tersebut perlu diketahui bahwa mayoritas umat Islam di negeri
kita, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan wilayah-wilayah Asia Tenggara
lainnya, adalah Asy’ariyyun. Sebagai catatan buat kita, bahwa meskipun kedua ulama
tersebut dikenal sebagai pencetus dan sekaligus pembela faham Aswaja, namun di
antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah (cabang), bukan
dalam masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih condong ke faham Jabariyah
sementara Al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah. (Alangkah baiknya bila
mana kita dapat mempelajari konsep pemikiran Al-Maturidi juga sehingga kita dapat
memiliki pemahaman teologi Aswaja secara lebih luas). Secara ideologi politik
penganut Aswaja juga sering disebut dengan “kaum Sunni”. Istilah ini sering
diantonimkan dengan “kaum Syi’ah”.
4
Ramli, M. i. (2010). Pengantar Sejarah AHLUSSUNNAH WAL-JAMAAH. Jakarta: Khalista
Hal ini pada awalnya terjadi karena adanya perbedaan pandangan di kalangan para
sahabat Nabi mengenai kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Setelah itu persoalannya berlanjut menjadi persoalan yang bersifat politik. Dari ranah
yang terpolitisasikan inilah akhirnya persoalannya berkembang ke dalam berbagai
perbedaan pada aspek-aspek yang lain, terutama pada aspek teologi dan fiqih. Inilah
realitas sejarah perjalanan umat Islam.

Dan perlu untuk diketahui bahwa mayoritas umat Islam di dunia ini adalah
berfaham Aswaja (kaum Sunni). Dalam berfiqih mereka (kaum Sunni) menjadikan
empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali
RA sebagai rujukan utamanya. Karena mayoritas ulama Asia Tenggara bermazhab
Syafi’i, maka umat Islam di Indonesia, termasuk kaum Nahdliyyin, mengikuti mazhab
Syafi’i. Telah disebut di atas bahwa secara teologis kaum Nahdliyyin (warga NU)
adalah bermazhab Aswaja. Artinya, mereka adalah bagian dari kaum Sunni.

Dengan demikian maka secara otomatis faham teologi mereka tidaklah bersifat
ekstrim, akan tetapi bersifat moderat (tengah-tengah). Jadi tidak ada warga NU,
misalnya, yang terlibat kegiatan melawan Pemerintah yang sah, seperti teroris.
Melalui kecerdasan-kecerdasan intelektualitas dan spiritualitas para ulama NU,
terumuskanlah beberapa nilai ajaran yang luhur yang diyakini dapat membawa
umatnya baik secara individual maupun komunal ke jalan yang benar, sejahtera lahir
dan batin, selamat di dunia dan di akherat serta diridhoi Allah SWT, termasuk cara
kebersamaan hidup berbangsa dan bernegara yang diliputi dengan kedamaian.

Di antara nilai-nilai penting yang diajarkan adalah sikap At-tawassuth, Al-


i’tidal, At-tawazun, At-tasamuh dan amar ma’ruf nahi mungkar. Kata At-tawassuth
mempunyai arti mengambil posisi di pertengahan, kata Al-i’tidal berarti tegak lurus,
tidak memihak, karena kata ini berasal dari kata Al-'adl yang berarti keadilan, kata At-
tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, yakni tidak melebihkan sesuatu
dan tidak menguranginya dan kata At-tasamuh mempunyai arti toleransi, yakni
menghormati perbedaan pendapat dan keyakinan.

Semuanya itu diintisarikan dari Al-Qur’an dan Hadits/Sunnah. Nilai-nilai


tersebut diamalkan dalam pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar yang
merupakan ruh kehidupan umat dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Inilah ciri-
ciri penting yang melekat pada kehidupan kaum Sunni. Dan nilai-nilai inilah yang
senantiasa disandang oleh para ulama NU semenjak kelahirannya hingga kini. Semua
itu tiada lain adalah merupakan warisan para wali (pendakwah Islam) yang telah
berjasa dalam penyebaran Islam di Tanah Air kita ini.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, pola pikir NU yang didasari dengan nilai-nilai


tersebut dapat dinilai sebagai suatu cara yang paling efektif, feasible, akurat dan tepat.
Hal ini dimaksudkan bahwa eksistensi NU, baik secara kelembagaan
(jam’iyyah/organisasi), perkumpulan (jama’ah-jama’ah), ajaran (pemahaman
keagamaan) maupun kultur keagamaan dan kemasyarakatannya dapat diterima bahkan
didukung dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.

Hal ini terbukti dengan penilaian positif dari para pemimpin pemerintahan
Republik Indonesia. Berita terakhir yang patut dikemukakan di sini adalah tawaran
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di saat kunjungan Rais Am dan
Ketua Umum PBNU di Istana Negara, 2 Juni 2010, kepada PBNU untuk bekerjasama
(MoU) dalam 5 bidang. Pertama, adalah masalah penanggulangan gerakan
radikalisasi. Menurut penilaian beliau pendekatan kultural dan keagamaan yang
dilakukan NU sangatlah efektif. Kedua, adalah di bidang peningkatan ekonomi,
terutama dalam peningkatan ketahanan pangan, pengembangan usaha ekonomi mikro
dan ketahanan energi.

Program ini perlu dilakukan secara luas agar bisa menjangkau lapisan rakyat
yang paling bawah. Ketiga, kerjasama dalam bidang pendidikan, terutama dengan
pendidikan moral dan penguatan character building. Dikatakan, agenda ini sangat
penting mengingat saat ini pendidikan telah kehilangan aturan dan tata nilai. Kita bisa
kembali menata moral bangsa dengan pendidikan moral dan dengan penguatan
character building. Demikian kata Said Aqil, Ketua Umum PBNU. Keempat, adalah
penanggulangan climate change. Peran ulama dalam masalah ini sangat penting

. Sebab hal ini amat berkaitan dengan pembinaan moral bangsa. Dengan
penanaman nilai-nilai moral yang luhur diharapkan masyarakat akan lebih bisa
menghormati lingkungan dan menjaga kelestariannya. Kelima, adalah pengembangan
dialog peradaban untuk mewujudkan perdamaian dunia. Saat ini Indonesia dan NU
diminta lebih aktif dalam forum internasional dan diharapkan menjadi leader
dalam semua bidang.
a. Perselisihan pada masa kekhalifahan ke-1
Ketika Rasulullah SAW wafat, maka terjadilah salah pahaman antara golongan
Muhajirin dan Anshar siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin.
Para sahabat melihat hal ini akan mengakibatkan perselisihan antar kaum muslimin
Muhajirin dan Anshar. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk
menentukan siapa Khalifah pengganti Rasulullah SAW. Akhirnya disepakati oleh
kaum muslimin untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah..

b. Fitnah pada masa kekhalifahan ke-3

Utsman bin Affan, terjadi fitnah yang cukup serius di tubuh Islam pada saat itu,
yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman. Pembunuhnya ialah suatu
rombongan delegasi yang didirikan oleh Abdullah bin Saba' dari Mesir yang hendak
memberontak kepada Khalifah dan hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba'
berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk mengadu domba umat Islam
untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Kemudian masyarakat banyak saat itu, terutama disponsori oleh para bekas
pelaku pembunuhan terhadap Utsman, berhasil membunuh dia dengan sadis ketika
dia Segera setelah bai'at Khalifah Ali mengalami kesulitan bertubi-tubi.
Orang-orang yang terpengaruh Abdullah bin Saba' terus menerus mengadu domba
para sahabat. Usaha mereka berhasil. Para sahabat salah paham mengenai kasus
hukum pembunuhan Utsman. Yang pertama berasal dari istri Rasulullah SAW
sedang membaca Al- Qur'an.

c. Fitnah pada masa kekhalifahan ke-4

Aisyah, yang bersama dengan Thalhah dan yang kedua ialah bersama dengan
Zubair. Mereka berhasil di adu domba hingga terjadilah Perang Jamal atau
Perang Unta. Dan kemudian Muawiyah yang diangkat oleh Utsman sebagai
Gubernur di Syam, mengakibatkan terjadinya Perang Shiffin. Melihat banyaknya
korban dari kaum muslimin, maka pihak yang berselisih mengadakan ishlah
atau perdamaian.
Dari peristiwa inilah umat islam terpecah menjadi dua golongan yaitu syi’ah
dan khawarij. Syi’ah adalah golongan pendukung Ali RA, sedangkan khawarij
(kharaja, keluar) adalah golongan dimana tidak memihak kepada Ali RA atau
muawiyah, dengan alasan hukum Allah atau Al-Qur'an. Sehingga pada masa
pemerintahan Muawiyah terpecah menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah
pengikut setia Ali RA, golongan ke-dua penolak Ali RA dan yang ke-tiga adalah
pendukung muawiyah. Sekitar pada akhir tahun 40- an hijjriyah, Muawiyah
membuat ajaran baru yang disebut jabariyah.

Ajaran jabariyah mengambil dasar “segala yang terjadi adalah atas kehendak
Allah”, seperti yang tertulis dalam al-quran surah al-anfal:17. “ Dan bukan engkau
memanah ketika engkau memanah melainkan Allah yang memanah”. Itu adalah
salah satu ayat yang digunakan para kiyai untuk mendukung jabariyah. Mungkin
para ulama, kyai yang ingin dekat dengan kekuasaan kemudian menyebarkan paham
jabariyah tersebut. Akibatnya muncul pengemis-pengemis, ekonomi hancur,
manusia banyak yang tidak berusaha mencari rezeki, karena memandang rezeki
telah diatur oleh Allah.

d. Muncul Faham Qodariyah

Cucu Ali RA (muhammad bin ali muhammad binn abi talib) membuat aliran
bernama qodariyah Faham ini memiliki kehendak mutlak, Allah tidak ikut campur
dengan apa yang dilakukan manusia seperti yang tertulis dalam Al-quran surah Ar-
ra’du:11 yang berarti “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu
kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya”. Disinilah mulai ada reformasi
dan dapat menggatikan kekuasaan dinasti Umayyah digantikan dengan dinasehati
Abasyiah. kemudian muncul faham mu’tazilah yang menjadi spirit pembangunan
negara. Paham ini yang mulanya memberikan semangat pada manusia bahwa
manusia memiliki hak mutlak, dan dengan perinsip akal. Segala sesuatu yang masuk
akal adalah segala sesuatu yang harus dirasionalkan.

Sehingga kelewatan, karena semua serba akal dan semua kehendak manusia
(akal mutlak). Hingga terjadi sebuah peristiwa ketika salah satu keturunan abbasiyah
menggunakan paham mu’tazilah sebagai paham resmi negara sehingga timbul
korban yang tidak mengikuti paham mu’tazilah akan diberikan panismen berupa
hukuman mati dan lain sebagainya.
2. Lahirnya Aswaja
Akhirnya lahir seorang ulama yang dulunya adalah aktifis mu’tazilah yang
bernama Abu Hasan Al-Asy'ari menyatakan keluar dari paham mu’tazilah, beliau
tidak berada dalam paham ekstrim jabariyah ataupun qodariyah melainkan berada
di tengah-tengah, beliau meproklamasikan kembali “ma ana ilaihi wa ashabihi”
sebuah kelompok di mana Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya berada. Paham
yang dideklarasikan oleh Abu hasan inilah yang disebut dengan Aswaja.

Teologi Aswaja yang dirumuskan oleh Abu Hasan ini menyatakan bahwa
manusia itu memiliki kehendak namun kehendak tersebut terbatasi oleh takdir
Allah SWT. Paham Awaja konteksnya kembali pada semangat akal islam “ma
ana ilaihi waashabihi” yang dipelopori oleh dua ulama besar Abu Hasan Al-
Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi ini dalam bidang tauhid atau teologi
kemudian mendasar pada Ahlusunnah atau kebiasaan-kebiasaan Nabi SAW.

Dan para sahabat-sahabatnya artinya wal jama'ah. Kemudian lahir Imam


Hanbali, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Safi’i. Imam Hanbali inilah yang
menjadi korban dari kekuasaan Bani Abassiyah, ketika mengharuskan warganya
menggunakan aliran yang dikembangkan mu’tazilah dalam bidang fiqih.

Dan masih banyak yang lain, tapi yang kita sering dengar atau kita kenal
adalah ini. Yang kita sebut dengan empat mazhab.

1. Sejarah Perkembangan Aswaja


Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih
dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat
mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup
pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah. Terdapat empat
mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam keyakinan
sunni empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti. Perbedaan yang ada
pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental.

Perbedaan mazhab bukan pada hal Aqidah (pokok keimanan) tapi lebih
pada tata cara ibadah. Para Imam mengatakan bahwa mereka hanya ber-ijtihad
dalam hal yang memang tida ada keterangan tegas dan jelas dalam Al-Qur’an
atau untuk menentukan kapan suatu hadis bisa diamalkan dan bagaimana
hubungannya dengan hadis-hadis lain dalam tema yang sama. Mengikuti hasil
ijtihad tanpa mengetahui dasarnya adalah terlarang dalam hal akidah, tetapi dalam
tata cara ibadah masih

dibolehkan, karena rujukan kita adalah Rasulullah SAW. dan beliau memang
tidak pernah memerintahkan untuk beribadah dengan terlebih dahulu mencari
dalil-dalilnya secara langsung, karena jika hal itu wajib bagi setiap muslim maka
tidak cukup waktu sekaligus berarti agama itu tidak lagi bersifat mudah fiqih.
5

B. Pokok-Pokok Ajaran Aswaja


1. AQIDAH
Aqidah dalam Islam bisa dikelompokan menjadi 6 pembahasan, yaitu : tentang
Ketuhanan, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir dan Qada’ qadar.
a. .Ketuhanan (Tauhid)
Dalam masalah teologi ketuhanan, Ahlussunah Wal Jama’ah meyakini
bahwa Tuhan memiliki banyak sifat
b. Malaikat
Paham ASWAJA (Ahlussunah Wal Jama’ah) meyakini bahwa ada makhluk
yang tidak bisa dilihat manusia, ia diciptakan dari cahaya, makhluk tersebut
bernama malaikat. Malaikat merupakan ciptaan Allah yang ditugaskan
mengatur seluruh jagat raya dengan tugas masing-masing yang diberikan
Tuhanya, dan ia terhindar dari perbuatan salah.
c. Kitab Allah
Aliran aswaja meyakini bahwa Allah menurunkan mukjizat
kepada .sebagian Nabi yang berupa kitab, sebaga i tuntunan hidup manusia.

d. Nabi Dan Rasul

Dalam menyampaikan syari’at kepada hambanya, Allah memilih sebagian


manusia untuk mengabarkan dan mengajak manusia agar melaksanakan
syari’at yang dibawanya, orang tersebutlah yang dinamakan Rasul (Utusan

5
Nasir sahilun A. 2010, cet 1. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya.
Jakarta:Rajawali Pre
Allah). Sedangkan yang hanya mendapatkan wahyu tetapi tidak diperintahkan
untuk menyampaikan syariat tersebut kepada manusia disebu t nabi.
d. Hari Kiamat
Umat Islam wajib meyakini bahwa setelah kehidupan di dunia ada
kehidupan lain, yaitu kehidupan akhirat. Dimana semua manusia dihidupkan
kembali dan dimintai pertanggung jawaban atas semua perbuatanya di dunia,
kemudian menerima balasanya, berupa surga dan neraka.
1.Qadha dan Qadar
Qadha ialah rencana Allah yang telah ditetapkan terhadap sesuatu
sebelum menciptakanya, sedangkan Qadar ialah pelaksanaan dari ketetapan
tersebut. Contoh: Allah menetapkan Fulan dilahirkan di Indonesia sebelum
Allah menciptakanya, inilah yang dinamakan Qadha. Kemudian Fulan
dilahirkan di Indonesia, inilah yang dinamakan Qadar.

2. Fiqih
Dalam bidang fiqih dan amaliyah faham Aswaja mengikuti pola bermadzhab
dengan mengikuti salah satu madzhab fiqih yang di deklarasikan oleh para ulama
yang mencapai tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab yang digunakan oleh
aliran Aswaja, yaitu madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
3. Tassawuf
Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman
bagi kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja
mengambil posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya. Manusia
diciptakan Allah SWT semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti
meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan
ketimbang kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga tidak boleh
disepelekan.
Dalam memenuhi urusan dunia dan akhirat mesti seimbang dan
proporsional. Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan
Sunnah.
Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat
Makrifat namun meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia bukan termasuk
golongan Aswaja. Meski Aswaja mengakui tingkatan-tingkatan kehidupan rohani
para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. 6

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kosep Aswaja ada 4 yaitu, Tawassuth (mengambil jalan tengah), Tasamuh
(toleran), Tawazun (Keseimbangan), dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Aqidah, fiqih, dan Aklak merupakan pokok ajaran Aswaja. . Walisongo
merupakan salah satu tokoh penyebar Aswaja.
Dari uraian singkat di atas, dapat diambil beberapa simpulan. Di antaranya :

a) Faham Aswaja adalah faham yang benar karena didasari dengan dalil-dalil naqli
(al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW) dan ‘aqli, maka faham Aswaja wajib
dipertahankan dan dilestarikan,
b) At-tawassuth, al-i’tidal, at-tawazun dan at-tasamuh adalah nilai-nilai ajaran luhur
yang ternyata sangat efektif dalam mendakwahkan Islam di mana saja, termasuk di
Indonesia, maka kita kaum Nahdliyyin, terutama kaum mudanya, berkewajiban
mengaplikasikannya dalam memperjuangkan faham Aswaja yang sebenarnya
sehingga eksistensi NU dapat menjadi rahmatan lil-‘alamien.

DAFTAR PUSTAKA

Aic, Miftahudin. Peranan Aswaja Dalam Melestarikan Nilai Nilai Pendidikan, dalam
http://miftahudinaic.blogspot.co.id/2015/06/peran-aswaja-dalam-
melestarikan-nilai.

Al-Hâzimî, Khâlid Bin Hâmid. 1420 H/2000 M. Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah.Madinah


Munawwaroh: Dâr „Âlam al-Kutub.

6
Darmanto, Ahlussunnah Waljamaah dan Peranan, dalam
http://sahabalit.blogspot.co.id/2012/05/ahlussunnah-waljamaah-dan-
peranan.html

Farid, Ahmad. 2011. Pendidikan Berbasis Metode Ahlus Sunnah wal Jama‟ah. Surabaya:
Pustaka Elba.

Misrawi, Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari. 2010, cet. 1. Moderasi Keumatan Dan
Kebangsaan. Jakarta: Kompas.

Mousir, Kang. Resume Aswaja, dalam


http://lifeonthemotivation.blogspot.co.id/2014/11/resume-aswaja.

Munawwir, Ahmad Warson. 1997, cet. 14. Al-Munawwir: Kamus Arab–Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif.

Nasichuddin. Moch. Ari. Aswaja Sejarah Dinamika Umat Islam Dan Analisis Sosial
http://www.kmnu.or.id/konten-291-aswaja-sejarah-dinamika-umat-islam-
dan-analisis-sosial.

Nasir, Sahilun A. 2010, cet. 1. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pre

Marzuqi, H. Ahmad dkk.2016. ”Pendidikan Ahlussunnah wal Jama’ah dan Ke-NU-an”.


Surabaya:Tim LP Maarif NU.

Muchtar, Masyhudi.2007.” Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang


Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama”. Surabaya: Khalista Surabaya.

Nurliadin, Rochmat, S., Zubaedah, dan Purnama, S. 2017. “Ke-NU-an, Ahlussunnah Wal
Jama`ah”. Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Ma`arif Nahdlatul Ulama.

Ramli, Muhammad Idrus. 2011. Pengantar Sejarah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Surabaya:


Khalista. hlm 53

Anda mungkin juga menyukai