Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ILMU KALAM

{PENGARUH AJARAN ASWAJA TERHADAP MASYARAKAT ISLAM }

Dosen : Winarto, S.Pd, MM,Pd.

Di Susun Oleh :

1. Angggun Putri Relita

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


BABUNNAJAH
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT, pemilik segala sifat kesempurnaan,
yang hanya kepada-Nya lah kita bersandar, melimpahkan segala keluh kesah dan resah
di dada hingga Ia berkenan memberikan kelapangan dalam dada sanubari. Shalawat
serta salam, selalu terhujani untuk pemimpin para Nabi dan Rosul, pemutus tali
kejahilan yang tengah mengakar pada masyakarat kala itu, hingga terbitlah cahaya terag
benderang penuh hidayah, Ialah Muhammad SAW.

Alhamdulillah telah rangkum jua makalah kami yang berjudul “ PENGARUH AJARAN
ASWAJA TERHADAP MASYARAKAT ISLAM”. Penulis mengucapkan terima kasih yang
teramat dalam kepada Bapak yang rela mengorbankan waktu berharganya untuk
membimbing kami semua agar dapat menjadi mahasiswa yang terbaik.

Penulis memohon maaf yang sedalam – dalamnya, jika ada kekurangan dan kesalahan
yang luput dari indrawi kami. Oleh sebab itu mohon ketersediaan pembaca sekalian
untuk menberikan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan penulisan makalah
kami selanjutnya.

Penulis,
DAFTAR ISI

Halaman Judul …………….………………………………….……………………………………………….…....... i


Kata Pengantar …………………………………………………………………………….………………..…........ ii
Daftar Isi …………………………….....………………………………………………………………..…………..…. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………………………..……… 1


B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………..……………………. 2
C. Tujuan Masalah ………………………………..……………………………………..….……….…..2

BAB II PEMBAHASAN ASWAJA (AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH)

A. Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah) ……………………………..…….... 3


B. Hakikat dan Dinamika Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)………..…………..…5
C. Pengaruh aswaja terhadap masyarakat islam. ……………………………………..…... 8

BAB III PENUTUP Kesimpulan ………………………………………………………………………..……. 14

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………….…… 15


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada tetapi tidak
menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlus sunnah
wal Jama‟ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan. Ada sebuah hadits yang mungkin
perlu dikutipkan telebih dahulu, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi
73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para Shohabat bertanya :
Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab : yaitu golongan dimana Aku dan
Shahabatku berada.”

Ahlus sunnah wal jama‟ah adalah suatu golongan yang menganut syariat islam yang
berdasarkan pada al qur`an dan al hadis dan beri`tikad apabila tidak ada dasar hukum pada
alqur`an dan hadis Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja. Pertama kalau kita
melihat ijtihadnya para ulama-ulama merasionalkan dan memecahkan masalah jika didalam
alqur`an dan hadis tidak menerangkanya.

Definisi kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang bertentangan);
orangorang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup aspek kehidupan yang
berlandaskan atas dasar moderasi menjaga keseimbangan dan toleransi. Ahlus sunnah wal
Jama‟ah ini tidak mengecam Jabariyah, Qodariyah maupun Mu‟tazilah akan tetapi berada di
tengah-tengah dengan mengembalikan pada ma anna alaihi wa ashabihi. Nah itulah latar
belakang sosial dan latar belakang politik munculnya paham Aswaja.

Jadi tidak muncul tiba-tiba tetapi karena ada sebab, ada ekstrim mu‟tazilah yang serba akal,
ada ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di tengah-tengah. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun 2 sebagai aliran
pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial
politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan
sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.

Ahli sunnah wal jamaah pemikiranya menggunakan pemikiran al asyari dan hukum fiqihnya
menggunakan imam madzhab sehingga golongan aswaja inilah golongan yang sifatnya luas.
Dari uraian diatas maka penulis tertarik mengangkat tema (Pengaruh ajaran aswaja terhada
masyarakat).
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)?

2. Apa Hakikat dan Dinamika Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)?

3 Pengaruh aswaja terhadap masyarakat islam?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah).

2. Untuk Mengetahui Hakikat dan Dinamika Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah

3. Untuk Mengetahui Pengaruh aswaja terhadap masyarakat islam.


BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Aswaja

(Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) Pengertian Ahlu Sunnah wal Jama„ah (Aswaja) dapat dilihat dari
dua aspek penting, pertama dari segi bahasa atau etimologi, kedua dari segi peristilahan atau
terminologi. Secara etimologi, Aswaja berasal dari bahasa Arab ahl artinya keluarga. Al-sunnah,
berarti jalan, tabi„at dan perilaku kehidupan. Sedangkan al-jama„ah, berarti sekumpulan.1
ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “Ahlus sunnah wal jama‟ah”. Ahlus sunnah berarti
orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan Wal Jama‟ah
berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW.

Jadi definisi Ahlus sunnah wal jama‟ah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi
Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi waashhabi), baik di dalam syariat
(hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf. Definisi Ahlus sunnah Wal jama‟ah ada dua bagian
yaitu: definisi secara umum dan definisi secara khusus:

1. Definisi Aswaja Secara umum adalah satu kelompok atau golongan yang senantiasa
komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah,
amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat (Tasawwuf dan Akhlaq).

2. Definisi Aswaja secara khusus adalah Golongan yang mempunyai I‟tikad/ keyakinan yang
searah dengan keyakinan jamaah Asya‟iroh dan Maturidiyah.

Menurut pengertian istilah (terminologi) al-sunnah, berarti penganut sunnah Nabi Muhammad
saw, yaitu mengikuti apa-apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan,
perbuatan, dan pengakuan (taqri‟r). Sedangkan al-jama„ah berarti penganut i„tiqad para
sahabat Nabi, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah pada masa
khulafaur‟ al-rashidin (Abu Bakr al-Siddiq, „Umar, Ustman, dan „Ali). Jadi, yang dimaksud
dengan Aswaja adalah kaum yang mengikuti amaliah Nabi Muhammad saw dan para
sahabatny:

1.Menurut Imam Asy‟ari, Ahlus sunnah Wal Jama‟ah adalah golongan yang berpegang teguh
kepada al-Qur‟an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi‟in, imam-imam hadis, dan
apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.

2 Menurut KH. M. Hasyim Asy‟ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang
teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara
spesifik, Ahlus sunnah Wal Jama‟ah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih
mengikuti Imam Syafi‟i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy‟ari, dan dalam
tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.

3 Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlus sunnah Wal Jama‟ah adalah para sahabat,
tabi‟in, tabi‟ut tabi‟in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang
memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.

4 Shaykh „Abd al-Qadir al-Jaylani (471-561 H/1077-1166 M) seorang tokoh besar sufi legendaris
menjelaskan “Al-Sunnah adalah apa yang telah dianjurkan oleh Rasulullah saw. (meliputi
ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama„ah adalah segala sesuatu yang
telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi saw. pada masa khulafaur ar-rashidin yang
empat, yang telah diberi hidayah (mudah mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka
semua)”

Dengan demikian yang dimaksud dengan Aswaja adalah kaum yang konsisten mengikuti
amaliah Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya, tidak mendistorsi ajaran Nabi Muhammad
saw. dan tidak mendiskreditkan sebagian sahabat atau seluruh sahabat Nabi. Pengertian ini
dapat diperkuat dengan beberapa hadisth Nabi yang diriwayatkan beberapa perawi dengan
redaksi hadisth. Secara substantif, Ahlus sunnah wal Jama'ah itu meliputi tiga aspek Islam, yakni
aspek akidah, fikih dan akhlak. Meskipun diskursus para ulama sering hanya membicarakan
aspek akidah dan syari'ah (fiqh), hal itu bukan berarti tidak ada aspek akhlak. Menurut
pandangan ini, pengalaman (practice) dari dua aspek (yang disebut pertama) itu mengandung
aspek akhlak atau tashawu.

B. Hakikat dan Dinamika Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)

Pada hakikatnya, Ahlus sunnah wal Jama‟ah, adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana
diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya. Ketika Rasulullah saw.
menerangkan bahwa umatnya akan tergolong menjadi banyak sekali (73) golongan, beliau
menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian banyak golongan itu hanyalah Ahlus
sunnah wa Jama‟ah. Ahlus sunnah wal Jama‟ah adalah golongan pengikut setia pada al-Sunnah
wa alJamaah, yaitu ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan Oleh Rasulullah saw. bersama
para sahabatnya pada zamanya itu.

Kemunculan pemikiran Aswaja tidak lepas dari dinamika pendapat umat Islam itu sendiri.
Dimulai ketika zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib, adalah Muawiyah bin Abi Sufyan,
Gubernur Syiria waktu itu melakukan manuver untuk menggoyang pemerintahan Ali. Alhasil,
perang pun terjadi. Beberapa kali perang kubu Muawiyah mengalami kekalahan. Hingga pada
akhirnya diputuskan mengakhiri perselisihan dengan melakukan suatu kesepakatan. Kubu
Muawiyah mendelegasikan Amru bin Ash dan kubu Ali diwakili Abu Musa al Asy'ari. Amru bin
Ash adalah seorang politisi, pada saat forum ia menyarankan agar perundingan dimulai dengan
pemerintahan yang kosong. Maksud dari Amru bin Ash ia menginginkan kubu Ali secara
simbolik meletakkan jabatannya terlebih dahulu. Abu musa yang notabene adalah ulama
langsung mengiyakan tawaran dari Amru bin Ash. Dengan cerdik Amru bin Ash
mempersilahkan Abu Musa untuk mendeklarasikan peletakan jabatan karena dirasa ia lebih tua
dan alim. Setelah Abu Musa memproklamirkan peletakan jabatan Ali, Amru bin Ash bukannya
malah bergantian mengatakan sama, tetapi malah menyatakan jabatan yang dilepas dari kubu
Ali kini menjadi milik Muawiyah. "Saudara-saudara kaum muslimin yang berbahagia, Abu Musa
al Asyari mewakili khalifah Ali telah meletakan jabatan. Maka dengan ini jabatan khalifah saya
ambil untuk diserahkan pada Muawiyah bin Abu Sofyan". Maka pada detik itu Muawiyah yang
kalah perang fisik dengan kubu Ali, giliran menang ketika taktik politik. Kekhalifahan Ali pun
berpindah ke tangan Muawiyah. Efek dari peristiwa itu umat islam terpecah menjadi 3 kubu.
Kubu Ali terbelah menjadi 2; kubu Syiah dan Khawarij. Dan satu lagi adalah kubu Muawiyah.
Kelompok Syiah adalah pendukung Ali, kelompok Muawiyah pendukung Muawiyah, dan
kelompok Khawarij yakni kubu yang tidak pada pihak Ali maupun Muawiyah. Kelompok menilai
kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak sah karena tidak menggunakan hukum
Allah atau Al-Qur'an sehingga mereka memutuskan Khawarij (Kharaja: keluar).

Kemunculan aliran ini dalam rangka melegitimasi kekuasaan Muawiyah yang menyatakan
bahwa manusia tidak punya kekuasaan untuk berkehendak. Inti dari aliran Jabariyah, semua
yang dilakukan oleh manusia sudah dikehendaki oleh Allah. Termasuk ketika Muawiyah dapat
mengambil kekuasaan dari tangan Ali itu juga kehendak Allah. Setelah itu selama masa
pemerintahan Bani Umayah muncul aliran bernama Qodariyah yang diusung oleh Muhammad
bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (cucu Ali bin Abi Thalib). Aliran ini mengajarkan
sebaliknya dari aliran Jabariyah. Bahwa ketika manusia berkehendak, Allah tidak ikut campur,
maka manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Ketika masa Bani Umayah paham
ini hanya sebagai kritik atas paham Jabariyah. Namun ketika memasuki pemerintahan Bani
Abasiyah, paham Qadariyah dijadikan spirit pembangunan. Kemudian turunan dari paham ini
dengan sedikit modifikasi mengatasnamakan paham Mu'tazilah. Pada akhirnya lahirlah ulama
bernama Abu Hasan al Asyari. Ia sebelumnya pengikut Mu'tazilah setelah itu keluar. Abu Hasan
menyatakan tidak mengikuti kedua kubu ekstrem dan berdiri di tengah-tengah. Ia
memproklamirkan paham dimana rasulullah dan sahabat berada di dalamnya, dan menyebut
paham dengan sebutan Ahlus sunnah wal Jama‟ah. Titik tekan pada paham ini yakni manusia
berkehendak tetapi kehendak itu diketahui Allah. Manusia mempunyai kehendak tapi
kehendak itu dibatasi dengan takdir Allah.
C .Pengaruh Aswaja Terhadap Masyarakat Islam

Islam sebagai agama yang memuat ajaran-ajaran untuk menjadi pegangan hidup manusia
termaktub dalam al-Qur'an dan al-Hadis atau Sunnah Rasul. Al-Qur'an sebagai wahyu yang
memuat ajaran-ajaran tidak dapat dipahami dengan baik tanpa melalui pemahaman yang baik
pula. Di sini yang bisa menjelaskan dan menterjemahkan al-Qur'an secara tepat adalah Rasul itu
sendiri. Karena itu pada saat Rasul masih hidup segala persoalan yang berkaitan dengan agama
dapat dijelaskan oleh beliau, sebab apa yang diucapkan oleh Rasul adalah wahyu juga. Hadis
atau sunnah sendiri berfungsi sebagai penjelas dan petunjuk-petunjuk yang belum termaktub
dalam al-Qur'an. Tetapi begitu Rasul meninggal maka persoalan agama menjadi pekerjaan
rumah umat untuk bisa memahami sendiri melalui ijtihadnya masing-masing.nash al-Qur'an
maupun al-Hadis atau al-Sunnah. Di sinilah peran ijtihad sangat penting. Tetapi karena tidak
semua orang mampu melakukan ijtihad, maka yang lain bisa mengikuti imam mujtahid
atau aimmat al - mazhab , yaitu mengiuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh imam
mujtahid atau mazhab tersebut.

Dalam tradisi NU, bermazhab itu ada dua kategori, yaitu bermazhab secara qauli dan bermazhab
secara manhaji . Bermazhab seara qauli adalah mengikuti mazhab dari segi hukum yang sudah
jadi (produk) dan bermazhab secara manhaji adalah mengikuti mazhab dari segi pola pikir
( manhaj al-fikr ), sebagai sebuah proses bukan produk.

Bermazhab scara qauli tidak selalu bisa dipertahankan sebab pengambilan keputusan hukum


(produk hukum) oleh seorang imam atau sekelompok imam mujtahid tidak lepas dari situasi dan
kondisi yang melatarbelakanginya (sosial, budaya, geografi, politik dst), sementara zaman terus
berubah dari tahun ke tahun dan dari waktu ke waktu.
Dalam era modern seperti sekarang ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin
canggih, perubahan sosial begitu cepat dan problem-problem sosial pun semakin kompleks,
maka ketentuan-ketentuan hukum (baca: doktrin) yang telah dirumuskan ASWAJA yang
bersifat qaul atau aqwal tidak selamanya menjawab masalah dan tantangan zaman tersebut,
maka yang harus segera dilakukan adalah merujuk mazhab secara manhaji , atau harus berani
mencari alternatif lain dari ketentuan-ketentuan mazhab yang selama ini dijadikan kerangka
acuan , sebab kalau tidak yang terjadi adalah kemandekan berpikir dan tidak berani
mengeluarkan putusan-keputusan hukum baru yang menjadi tuntutan masyarakat. Tradisi
me- mauquf -kan masalah hukum menjadi trend jam'iyah NU karena regiditas --untuk tidak
mengatakan fanatik-- dalam mengikuti salah satu mazhab. Ini yang menyangkut masalah fiqih.

Di bidang teologi, banyak doktrin-doktrin yang kadang-kadang juga perlu kita tinjau ulang. Oleh
sebab itu yang berlu kita sadari, bahwa ASWAJA itu merupakan pola pikir ( manhaj al-fikr ) yang
sebagian relevan dan sebagian lain mungkin perlu ditinjau ulang (baca: rekonstruksi). Kita tidak
bisa memaksakan ASWAJA sebagai teologi kemapanan ( mapan ), tetapi ia
merupakan khazanah , turats yang tidak selalu benar adanya. Dengan begitu, maka ASWAJA
sebagai manhaj al-fikr tidak lain adalah proses dinamika pemikiran yang terus berkembang dan
tidak pernah selesai.

Kini saatnya kita mengembangkan pemikiran-pemikiran teologis yang menyentuh persoalan-


persoalan praktis yang terjadi di masyarakat dan kepentingan umat manusia. Pemikir-pemikir
teologi yang bersifat idealis dan cenderug mengusik Zat Tuhan perlu segera dibalik untuk lebih
cenderung antroposentris dan populis ( at-tafkir fi khalqillah la fi dzatillah). Pemikiran-pemikiran
teologis klasik (Hassan Hanafi memakai istilah tradisional), baik pemikiran teologis Mu'tazilah
maupun Asy'ariyah banyak pencerahan oleh pemikir-pemikir kontemporer seperti Iqbal, Abduh,
Arkoun dan Hassan Hanafi. Misalnya konsep al-Ghazali dianggap tidak relevan lagi dengan
realitas keilmuan yang berkembang dewasa ini. Pemikiran kausalitas kalam al-Asy'ari tidak
kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan baik dalam wilayah kosmologi maupun
humaniora (lihat, Amin Abdullah 1994: al-Baghdadi: 330). Seperti yang dikatakan Tolchah Hasan
(1994: 6), setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian bagi pengikut mazhab, yaitu :
mengikuti kebenaran ajaran, mengetahui hakikat realitas yang terjadi, dan mengadaptasikan
yang satu dengan yang lain secara proporsional.

Harap maklum jika pemikiran teologis klasik begitu melambung jauh dan bersifat metafisik-
spekulatif. Karena memang sumber inspirasinya berasal dari Platonis dan Neo-Platonis baik
pemikiran Asy'ariyah maupun Mu'tazilah. Oleh karena itu, Hassan Hanafi (1999:7) berbeda
dengan para pemkir Islam pada umumnya, memberikan pengertian teologis bukan ilmu tentang
ketuhanan yang menurut pengertian epistemologisnya terdiri dari logos dan theos , namun ia
merupakan ilmu kata kunci (ilmu kalam). Karena menurutnya Tuhan tidak tunduk pada
ilmu. Teologi dimaknai sebagai antropologi yang berarti ilmu tentang manusia, ilmu yang
menyelesaikan konflik-konflik sosial politik dan masyarakat yang berkepercayaan.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan

1. Pengertian Aswaja (Ahlu Sunnah Wal Jama‟ah), Secara etimologi, Aswaja berasal dari bahasa
Arab ahl artinya keluarga. Al-sunnah, berarti jalan, tabi„at dan perilaku kehidupan. Sedangkan
al-jama„ah, berarti sekumpulan. Secara istilah (terminologi) yang dimaksud dengan Aswaja
adalah kaum yang mengikuti amaliah Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya.

2. Pada hakikatnya, Ahlus sunnah wal Jama‟ah, adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana
diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya. Dinamika Aswaja,
pada akhirnya karena lahirnya ulama bernama Abu Hasan al Asyari. Ia sebelumnya pengikut
Mu'tazilah setelah itu keluar. Ia memproklamirkan paham dimana rasulullah dan sahabat
berada di dalamnya, dan menyebut paham dengan sebutan Ahlus sunnah wal Jama‟ah.

3. Pengaruh aswaja dalam masyarakat islam Di sinilah peran ijtihad sangat penting. Tetapi
karena tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, maka yang lain bisa mengikuti imam
mujtahid atau aimmat al - mazhab , yaitu mengiuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh
imam mujtahid atau mazhab tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Aic, Miftahudin. Peranan Aswaja Dalam Melestarikan Nilai Nilai Pendidikan, dalam
http://miftahudinaic.blogspot.co.id/2015/06/peran-aswaja-dalammelestarikan-nilai.html,
diunggah pada Jumat, 12 Juni 2015 pukul 07.35 WIB Al-Hâzimî,

Khâlid Bin Hâmid. 1420 H/2000 M. Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah. Madinah Munawwaroh:
Dâr „Âlam al-Kutub. Darmanto, Ahlussunnah Waljamaah dan Peranan, dalam

http://sahabalit.blogspot.co.id/2012/05/ahlussunnah-waljamaah-danperanan.html, diunggah pada


Jum‟at, 11 Mei 2012 pukul 11.33 WIB Farid, Ahmad. 2011. Pendidikan Berbasis Metode Ahlus
Sunnah wal Jama‟ah

. Surabaya: Pustaka Elba. Misrawi, Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari. 2010, cet. 1.
Moderasi Keumatan Dan Kebangsaan. Jakarta: Kompas. Mousir, Kang. Resume Aswaja, dalam
http://lifeonthemotivation.blogspot.co.id/2014/11/resume-aswaja.html, diunggah pada Senin,

10 November 2014, pukul 11.05 WIB Munawwir, Ahmad Warson. 1997, cet. 14. Al-
Munawwir: Kamus Arab– Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. Nasichuddin. Moch. Ari.

Aswaja Sejarah Dinamika Umat Islam Dan Analisis Sosial http://www.kmnu.or.id/konten-291-


aswaja-sejarah-dinamika-umatislam-dan-analisis-sosial.html, diunggah pada Sabtu, 23 April
2016 pukul 08.47 WIB Nasir, Sahilun A. 2010, cet. 1.

Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali
Press.

Anda mungkin juga menyukai