Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ASWAJA

KONSEP AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH

OLEH :
KELOMPOK 2 KELAS 4A

ANGGOTA KELOMPOK :
1. Hotijah 1130018058
2. Alfiya 1130018093
3. Nur Lailatul M 1130018105

FASILITATOR :
Siti Maimunah.S.Ag.,M.Pd.I

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal
Bedah I yang berjudul “Konsep Ahlusunnah Wal Jama’ah” dapat selesai seperti
waktu yang telah direncanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya ridak lepass
dari peran berbagai pihak yang memberikan bantuan secara materil dan spiritual,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen pengampu mata kuliah Aswaja Siti Maimunah.S.Ag.,M.Pd.I

2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada kami
sehingga laporan ini dapat terselesaikan.

3. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat


agar makalah ini dapat kami selesaikan.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang membalas budi
baik yang tulus dan ikhlas kepada semua pihak yang kami sebutkan di atas. Tak
ada gading yang tak retak, untuk itu kami pun menyadari bahwa makalah yang
telah kami susun dan kami kemas masih memiliki banyak kelemahan serta
kekeliruan baik dari segi teknis maupun non-teknis. Untuk itu penulis membuka
pintu selebar-lebarya kepada semua pihak agar dapat memberikan saran dan kritik
yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan mendatang, dan
apabila di dalam makalah ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak berkenan dihati
pembaca mohon dimaafkan.

Surabaya, 29 Februari 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian ASWAJA 3
2.2 Sejarah ASWAJA 6
2.3 Doktrin ASWAJA 13
2.4 Sumber Doktrin ASWAJA 16
2.5 Tokoh-tokoh ASWAJA 19
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan 23
3.2 Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 24

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak zaman para sahabat sampai sekarang, banyak orang atau
kelompok yang mengaku dirinya termasuk golongan Ahlul-Sunnah wa al-
Jama’ah untuk selanjutnya disingkat aswaja. Mereka menggunakan dalil
Al-qur’an dan Hadist, Walaupun terkadang tidak sesuai proporsinya untuk
menghujat golongan lain yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam
padahal yang sebenarnya hanya tidak sejalan dengan pendapatnya. Dan
fenomena semacam ini biasanya dipicu hasrat untuk menunjukkan
eksistensi diri sebuah golongan tanpa memperdulikan dari ajaran Islam
sendiri yaitu berpegang dengan al-Qur`an dan Hadits dan menyebar
rahmatdi muka bumi. Terlepas dari mana yang salah dan mana yang benar,
sebenarnya sampai sekarang masih banyak yang belum mengerti apa yang
dimaksud dengan ahlul-sunnah wa al-jama'ah tersebut, apakah sebuah
aliran yang di dalamnya terdapat paham-paham tertentu ataukah sekedar
amaliah yang diakui keafsahan dalil-dalilnya bersumber dari Nabi SAW.
Diantara buku yang berbicara tentang aswaja adalah ujjah Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah karangan KH. Ali Maksum wafat tahun 1989 (Abdurrahman
Navis dkk, 2013).
Ahlusunnah wal-jama’ah dalam sejarah merupakan istilah yang
menjadi nama bagi golongan kaum Muslimin yang memiliki kesamaan
dalam beberapa prinsip dan memiliki kesepakatan dalam beberapa
pandangan. Istilah Ahlussunnah Wal-jama’ah ini bukan istilah yang datang
dari Nabi Muhammad sebagai nama bagi kelompok tertentu. Tidak pernah
ada hadist shahih yang menjelaskan bahwa istilah Ahlussunnah Wal-
jama’ah datang dari Nabi Muhammad. Istilah tersebut datangnya dari
kalangan ulama salaf yang saleh, sebagai nama bagi kaum Muslimin yang
mengikuti ajaran Islam yang murni dan asli (Said Aqil Siradj, 2011).

1
Ahlussunnah Wal-jama’ah bukanlah sesuatu paham yang baru bangkit
sebagai reaksi dari munculnya beberapa aliran yang menyimpang dari
ajaran Rasulullah Saw yang murni. Ahlussnunnah Wal-jama’ah sudah ada
sebelum ajaran-ajaran yang menyimpang tersebut muncul. Aliran-aliran
itulah yang merupakan gangguan terhadap kemurnian As-Sunnah Wal-
Jama’ah. Setelah gangguan itu membadai dan berkecamuk, dirasakan
perlunya predikat Ahlussunnah wal-jama’ah, dipopulerkan oleh kaum
muslimin yang tetap setia menegakkan As-sunnah wal-jama’ah,
mempertahankan dari segala macan gangguan yang ditimbulkan oleh
aliran-aliran yang mengganggu itu. Dan mengajak seluruh pemeluk Islam
untuk kembali kepada As-Sunnah Wal-jama’ah (Busyairi Harits, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari Aswaja ?
2. Bagaimana sejarah dari Aswaja?
3. Apa sajakah doktrin dari Aswaja ?
4. Apa sajakah sumber doktrin Aswaja ?
5. Siapa sajakah tokoh-tokoh dari aswaja ?

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian dari Aswaja.
2. Mahasiswa mampu mengetahui sejarah dari Asjawa.
3. Mahasiswa mampu mengetahui doktrin dari Aswaja.
4. Mahasiswa mampu mengetahui sumber doktrin dari Aswaja.
5. Mahasiswa mampu mengetahui tokoh-tokoh dari Aswaja.

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Aswaja


Dalam istilah masyarakat indonesia, aswaja merupakan singkatan dari
ahlussunnah wal jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut,
yaitu:
1. Ahl, berarti keluarga, golongan, atau pengikut
2. Al-sunnah, secara etimologis (lughawi) kata al-sunnah memiliki arti al-
thariqah (jalan atau perilaku), baik jalan dan perilaku tersebut benar atau
keliru. Sedangkan secara tereminologis, para ulama berbeda pendapat
tentang pengertian al-sunnah sesuai dengan disiplin keilmuan masig-
masing.
Ulama ushul fiqih mengartikan sunnah dengan pengertian yang
berbeda. Menurut mereka, sunnah ialah, sesuatu yang secara khusus
datang dari Nabi, bukan Al-Qur’an dan layak menjadi dalil menetapkan
hukum-hukum agama.
Ulama ahli fiqih mengartikan sunnah dengan pengertian yang
berbeda pula. Menurut mereka, sunnah ialah, sesuatu yang dianjurkan
oleh agama, tanpa diwajibkan dan tanpa difardhukan. Demikianlah
istilah al-sunnah menurut pakar, memiliki pengertian yang berbeda
sesuai dengan perbedaan disiplin keilmuan masing-masing.
Sudah barang tentu pengertian di atas bukanlah pengertian
sunnah yang menjadi maksud dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Sekarang, apabila pengertian diatas bukan pengertian yang menjadi
maksud dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, lalu apakah pengertian
sunnah yang menjadi maksud dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah
berkaitan dengan perpecahan umat islam menjadi beberapa golongan,
yang antara lain adalah golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah ? menjawab
pertanyaan ini, al-Imam Ibn al-Hanbali mengatakan, “ Yang dimaksud
dengan kata as-sunnah oleh para ulama yang menjadi panutan adalah

3
jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya yang selamat dari
kesurupan (syubhat) dan syahwat”.
Pernyataan Ibn Rajab tersebut memberikan kesimpulan bahwa
Ahlussunnah itu adalah golongan yang mengikuti ajaran Nabi dan ajaran
sahabatnya. Pengertian ini sebenarnya merupakan pengertian yang baku
dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dikalangan ulama. Hal ini dapat
dilihat dengan memperlihatkan pernyataan beberapa ulama, seperti
pernyataan pakar bahasa, al-Imam Abu al-Baqa’ Ayyub bin Musa al-
Husaini al-Hanafi (w. 1094 H/1683 M), yang dikutip oleh
Hadhratusysyaikh Kiai Hasyim Asy’ari berikut ini, “sunnah seperti
dikatakan oleh Abu al-Baqa’ dalam kitab al-Kulliyyat, karangannya
secara kebahasan adalah jalan, meskipun tidak ridai. Sedangkan al-
Sunnah menurut istilah syara’ ialah nama bagi jalan dan perilaku yang
diridai dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah atau orang-orang
yang dapat menjadi teladan dalam beragama seperti para sahabat-
radhiyallahu ‘anhum-, berdasarkan sabda nabi “ Ikutilah sunnahku dan
sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”.
3. Al-jama’ah, secara etimologis kata al-Jama’ah ialah orang-orang yang
memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai suatu tujuan,
sebagai kebalikan dari kata al-Furqah, yaitu orang-orang yang bercerai-
berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara
terminologis, para ulama berbeda pendapat tentang maksud al-Jama’ah
dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Pendapat tersebut ada lima
macam dan diuraikan oleh al-Syathibi dalam al-I’tisham. Berikut ini
rangkuman dari uraian al-Syathibi tersebut.
Pendapat pertama mengatakan, bahwa maksud al-Jama’ah dalam
istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah mayoritas kaum muslimin (al-
sawad al-a’zham). Pendapat ini diriwayatkan dari sahabat Abu Mas’ud al-
Anshari dan Abdullah bin Mas’ud. Berdasarkan pendapat ini, pendapat
yang diikuti oleh mayoritas kaum muslimin berarti pendapat yang benar.

4
Sedangkan pendapat yang menyalahi mereka, berarti menyalahi
kebenaran.
Pendapat kedua mengatakan bahwa maksud al-Jama’ah adalah
para ulama dan imam yang mencapai tingkatan mujtahid, karena Allah
menjadikan mereka sebagai rujukan dan sandaran kaum muslimin dalam
beragama sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadist:
Dari Ibn Umar-radhiyallahu ‘anhuma-, dia berkata, “Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku pada
kesesatan.”
Kata “umat” dalam hadist diatas maksudnya adalah para ulama
mujtahid, bukan orang-orang awam, karena para ulama mujtahid yang
berkompeten dalam menetapkan hukum-hukum dalam ijma’. Meski
demikian, bukan berarti orang-orang awam tidak bisa masuk dalam
golongan al-Jama’ah tersebut dengan syarat mengikuti ajaran-ajaran para
ulama mujtahid. Diantara ulama yang berpendapat bahwa maksud kata al-
Jama’ah dalam istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah, adalah para ulama
mujtahid, adalah Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Ahmad
bin Hanbal, Ali bin al-Madini, al-Tirmidzi dan lain-lain. Sedangkan orang-
orang ahli Bid’ah, tidak dapat masuk dalam kelompok al-Jama’ah,
meskipun mereka banyak ilmunya, karena kebid’ahannya menjadikan
mereka tidak boleh diikuti. Sudah barang tentu, ahli Bid’ah itu tidak
termasuk dalam golongan al-Sawad al-A’zham (kelompok mayoritas),
karena sebab bid’ahnya, mereka keluar dari ijma’ ulama.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa maksud al-Jama’ah adalah
para sahabat Nabi saja, bukan generasi sesudah mereka. Pendapat ini
diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain. Pendapat diperkuat
dengan hadist :
Dari Abdullah bin Amr, berkata : “Rasulullah bersabda, “Umatku
akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan
masuk neraka kecuali satu golongan yang akan selamat.” Para sahabat
bertanya, “ siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?”

5
beliau menjawab, “ Golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran
sahabatku.”
Pendapat keempat mengatakan bahwa al-Jama’ah adalah ijma’
kaum Muslimin terhadap suatu hukuman dan prinsip, yang harus diikuti
oleh pengikut agama lain, karena ijma’ mereka dijamin oleh Allah tidak
akan tersesat, sebagaimana dalam hadist-hadist Nabi. Namun apabila di
kalangan mereka terjadi perbedaan pendapat, maka harus dicari pendapat
yang benar diantara pendapat tersebut. Dalam hal ini, al-Imam al-Syafi’i
berkata, “Tidak akan terjadi kelalaian dari tujuan al-Qur’an, sunnah dan
qiyas dalam hukum yang menjadi kesepakatan umat. Kelalaian hanya
akan terjadi dalam perpecahan.”
Pendapat kelima adalah pendapat al-Imam al-Thabari, bahwa
maksud al-Jama’ah tersebut adalah jama’ah kaum Muslimin apabila
bersepakat dalam memilih seorang pemimpin, maka pemimpin itu harus
dibai’at dan disetujui oleh kaum Muslimin yang lain, dan barang siapa
yang melepaskan diri dari kepemimpinannya maka dia keluar dari jamaah
kaum Muslimin.

2.2 Sejarah Aswaja


Ketika nabi SAW wafat, kaum muslimin masih bersatu dalam
agama islam kecuali orang-orang yang luarnya menyatakan islam, sedangkan
hatinya munafik. Klasifikasi sosial saat itu terdiri dari tiga golongan, yaitu
orang Muslim, orang kafir, dan Munafik. Namun begitu nabi SAW wafat,
perselisihan terjadi tentang pemimpin pengganti Nabi SAW. Kaum anshar
menginginkan kepemimpinan berada di tangan pemimpin mereka yaitu Sa’ad
bin Ubadah. Sedangkan kaum muhajirin menginginkan kepemimpinan
berada ditangan Abu bakar. Sementara kalangan Bani Hasyim dan Abu
Sufyan bi Harb, menginginkan kepemimpinan berada di tangan Ali bin Abi
Thalib. Namun akhirnya kekuatan kepemimpinan para sahabat Nabi SAW
mengalahkan semua ambisi dan fanatisme kesekuan, sehingga menggiring
mereka untuk memilih Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah.

6
Melalui persatuan yang kokoh, antara sahabat Nabi SAW yang
mendahulukan nilai keimanan dan keislaman dari jiwa mereka yang bersih
dan tulus, dibawah komando Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, mereka
memperjuangkan islam dengan menumpas suku arab yang menolak untuk
menyerahkan zakat kepada Khalifah. Kemudian memerangi Thulaihah bin
Khuwailid al-Asadi yang menyatakan murtad dan mengaku sebagai Nabi
di Yaman, hingga Thulaihah mengalami kekalahan dan melarikan diri ke
Syam. Dia kembali masuk islam pada masa Khalifah Umar dan mengikuti
perang al-Qadisiyah bersama sa’ad bin abi waqqash, kemudian mengikuti
perang di Nahawand serta ,meninggal sebagai syahid.
Selesai memerangi Thulaihah, kaum muslimin memerangi
Musailimah al-Kadzdzab dan Sajah binti al-Harirs suami istri yang
mengaku sebagai Nabi di negri Yamamah. Memerangi al-Aswad bin zaid
al-Ansi yang mengaku Nabi di Sanaa, Yaman.
Setelah Abu Bakar al-Shiddiq wafat, Khilafah berpindah ke tangan
umar bin al-Khattab. Pada masa pemerintahannya islam semakin kuat dan
berhasil menaklukkan 2 negara terbesar didunia yaitu Persia dan Romawi.
Kemudian ditaklukkan negri di sekitarnya ke bawah naungan Daulah
Islamiyah dalam proses sejarah yang disebut al-futuhat al-islamiyah
(penaklukkan islam), hingga akhirnya khalifah Umar menemui ajalnya
karna ditikam budak persia, yaitu Abu Lu’lu’ah al-Majusi.
Setelah Umar wafat, khilafah berpindah ke Utsman bin Affan,
menantu nabi SAW yang memiliki gelar Dzun Nurain (pemilik dua
cahaya), yaitu orang yang menikahi dua putri Nabi, Ruqayya dan Ummu
Kultsum. Utsman merupakan keponakan Nabi SAW dari jalur Nasab,
melalui jalur ibunya Arwa binti Quraiz sebagai sepupu nabi SAW, serta
sebagai sahabat terbaik Nabi SAW.
Utsman dibai’at sebagai khalifah berdasar hasil rapat Tim
Formatur yang beranggotakan 6 orang, Utsman bin Affan, Thalhah bin
Ubaidilah, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin abi
Waqqash, dan Zubair bin al-Awwam, melalui rapat formatur

7
Abdurrahman bin Auf, selaku ketua tim, menjatuhkan keputusan memilih
Utsman sebagai khalifah berdasar masukan dari kalangan Muhajirin dan
Anshar serta para perwira tentara yang menunaikan ibadah haji bersama
Khalifah Umar.
Setelah dibai’at sebagai khalifah, Utsman bin Affan menjalankan
roda pemerintahannya dengan melanjutkan ekspansi Daulah Islamiyah
hingga menaklukkan Armenia di arah timur dan Maroko di arah barat.
Sampai saat itu kaum Muslimin masih dalam keadaan harmonis dan
bersatu dalam bidang ideologi seperti menyangkut soal keadilan (al-adlu),
al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman allah). Perbedaan yang terjadi
hanya seputar hukum amaliah seperti tentang warisan, halal/haram, dll
yang tidak berakibat pada penilaian sesat dan fasik terhadap pihak yang
berbeda pendapat. Hal ini berjalan hingga 18 tahun sejak wafatnya nabi,
yaitu sejak pemerintahan Abu Bakar, Umar, dan 6 tahun pertama
pemerintahan Utsman.
Setelah 6 tahun masa pemerintahan Utsman, friksi internal dan
gejolak politik seputar kebijakan Utsman mulai muncul menjadi sasaran
kritik masyarakat, termasuk unusl Majusi dan Yahudi yang ikut dalam
mengeruhkan suasana, hingga lahirlah kekacauan dan beragam
propaganda yang menginginkan berakhirnya masa pemerintahan Utsman,
lahir dengan gerakan amar ma’ruf dan nahi munkari. Hingga berakhir
dengan terbunuhnya Utsman oleh kaum pemberontak.
Kemudian khalifah berpindah ke tangan Ali bin Abi Thalib,
menantu dan sepupu Nabi SAW, serta sahabat terbaik setellah utsman.
Namun beragam kekacauan pada masa Utsman berpengaruh pada
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Terjadinya perang saudara besar antara
Ali dengan kelompok Aisyah, Thalhah, dan Zubair alam perang Jamal.
Kemudian terjadi perang shiffin dengan kelompok Muawwiyah bin abi
Sufyan, Gubernur Syam pada masa dua Khalifah sebelumnya. Dan
akhirnya Ali bin Thalib terbunuh oleh Abdurrahman Bin Muljam Al-
Muradi tahun 40H. Kemudian kekhalifaan berpindah tangan ke Muawiyah

8
bin Abu Sufyan, setelah Sayidina Hasan bin Ali menyerahkan Khalifah
kepada Muawiyah, untuk melindungi darah kaum Muslimin dan
terciptanya persatuan umat.
Saat masa pemerintahan Ali bin Thalib, muncul kelompok dari
pengikut Ali yang memisahkan diri (Khawarij). Khawarij berpandangan
bahwa seorang khalifah harus dipilih secara bebas oleh kaum muslimin,
khalifah tidak harus seorang yang berasal dari kalangan suku Quraish saja.
Khalifah tidak boleh mengundurkan diri atau melakukan proses arbitrase
(tahkim). Mereka mendefinisikan iman dengan keyakinan yang disertai
pengalaman. Oleh karena itu, Khawarij mengkafirkan pelaku dosa. Mereka
berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair, Muawiyah
dan pengikut mereka dalam perang Jamal dan Shiffin adalah Kafir
Khawarij hanya mengakui Khalifah Abu Bakar dan Umar.
Pada Masa Sayyidina Ali lahir pula aliran Sabaiyah dari kalangan
Rafidhah (Syiah) yang dipimpin Abdullah bin Saba’ yang berkeyakinan
bahwa Ali adalah Tuhan. Hal ini mengakibatkan Sayidina Ali membakar
hidup-hidup sebagian dari dideportasi ke Sabath di Madain. Kemudian
ajaran Abdullah bin Saba’ ini dilanjutkan golongan Syiah yang terpecah
menjadi tiga golongan besar yaitu, Imamiyah, Zaidiyah, dan Islamailiyah,
sebenarnya Syiah ini berawal dari persoalan politik yang menyatakan
bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunanya lebih berhak menjadi Khalifah
dari pada yang lain dengan adanya nash dari Nabi SAW. kelompok yang
ekstrem seperti Imamiyah dan Ismailiyah mengkafirkan seluru Sahabat
Nabi kecuali empat orang.
Adanya pertikaian golongan Syiah dan Khawarij memicu
munculnya golongan Murji’ah, yaitu golongan yang memiliki identitas
pandangan sendiri tidak memihak sana sini dan menyatakan bahwa ketika
kita tidak dapat menentukan mana pihak yang salah dan yang benar, maka
kita harus mengembalikan persoalan itu kepada Allah SWT. Aliran
Murji’ah ini menjadi musnah karena runtuhnya Bani Umayah, aliran ini
lebih cenderung toleran terhadap penguasa bani Umayah dan Abbasiyah.

9
Termasuk golongan Murji’ah, sekte Jabariyah dan Jahmiyah yang
dipimpin oleh Jahm bin Shafwan (w. 128/ 746 M), sekte Bakriyah
dipimpin Bakar keponakan Amr al-Kufi (w. 230 H/845 M). Ketiga sekte
ini lahir bersamaan lahirnya sekte Mu’tazilah yang dipimpin Washil bin
Atha’.
Pada Masa al-Imam al-hasan al-basri lahir kelompok Mu’tazilah
yang dirintis oleh Washil bin Atha’ al-Ghazali yang membawa faham
Qadariyah dan Imanzilah Baina al-Manzilatain (tempat antara dua
tempat). Ajaran Washil bin Atha’ diikuti Amr bin Ubaid bin Bab, sehingga
kedua orang ini diusir oleh al-hasan al-basri dan majlisnya. Aliran ini
berpendapat seorang muslim yang fisik tidak dikatakan mukmin dan tidak
dikatakan kafir, dan diakhirat akan kekal dineraka bersama orang kafir.
Pada masa gubernur Muhammad bin Thahir, di khurasan muncul
aliran Karramiyah al-Sijistani (w. 255 H/ 814 M) yang didirikan oleh
muhammad bin karram al-sijistani menyebarkan ideologi tajsim (faham
bahwa tuhan itu memiliki organ tubuh seperti manusia) dan tasybih (faham
bahwa tuhan itu menyerupai makhluk). Berikut orang-orang yang sangat
ekstrem dalam faham tersebut :
1) Abdullah bin Saba’
2) Sekte Bayyaniyah, pengikut Bayyan bin Sam’an al-Tamimi (w. 199
H/737 M) yang berpandangan bahwa tuhan berupa cahaya, bentuk
seperti manusia, memiliki organ tubuh seperti manusia dan semua
tubuhnya akan fana kecuali wajahnya.
3) Sekte Mughiriyah, pengikut Mughirah bin sa’id al-Ijli (w. 119 H/737
M).
4) Sekte Manshuriyah, pengikut abu Manshur al-Ijli.
5) Sekte hululiyah (Faham injamasi) yang berpandangan bahwa tuhan
menempati setiap bentuk yang indah. Pengikut ini apabila melihat
benda yang indah akan bersujud kepadanya.

Pada akhir pemerintahan Daulah Utsmaniyah, lahir aliran Wahhabi


yang dirintis oleh muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi (1115-1206 H/

10
1703-1791 M). Aliran ini mengadopsi ajaran Ibn Taimiyah al-harrani
(661-728H/ 1263-1328M) yang keluar dari mainstream seperti larangan
ziarah ke makam Nabi SAW, larangan tawassul dengan para nabi dan
wali, pengkafiran kaum Muslimin selain golongannya, dll. Selain itu,
aliran ini juga mengadopsi radikalisme aliran Khawarij pada masa awal
Islam.
Berdasarkan data sejaran setelah terjadinya fitnah pada masa Khalifah
Utsman bin Affan, kemudian aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran
islam yang murni dan asli bermunculan satu demi satu, seperti aliran
Khawarij, Murjiah, Saba’iyah, (Syiah) dan Qadariyah, maka pada periode
akhir generasi sahabat Nabi SAW istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah mulai
diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai nama bagi kaum Muslimin
yang masih setia kepada ajaran Islam yang murni dan tidak terpengaruh
dengan ajaran baru yang keluar dari mainstream. Dalam hal tersebut Ibn
Abbas (2SH-68H/ 619-688 M), sahabat Nabi yang terkenal alim dan pakar
dalam tafsir al-Qur’an al-Karim mengatakan, “Ibn Abbas berkata ketika
menafsirkan firman Allah: "pada hari yang diwaktu itu ada muka yang
putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram” (QS. Ali imran:
106)” adapun orang yang wajahnya putih berseri, adalah pengikut
Ahlusunnah Wal-Jama’ah dan orang yang berilmu. Sedangkan yang
wajahnya hitam adalah pengikut Bid’ah dan kesesatan”.
Pada masa generasi tabi’in dan ulama salaf sesudahnya, istilah
Ahlussunnah Wal-Jama’ah semakin populer dan diperbincangkan oleh
ulama-ulama terkemuka, seperti Khalifah yang saleh, Umar bin Abdul
Aziz (61-101 H/681-720 M), al-Imam al-Hasan bin Yasar al-Bashri (21-
110 H/642-729 M), al-Imam Muhammad bin Sirin (33-110 H/654-729 M),
al-Imam Sufyan bin Sa’ad al-Tsauri (97-161 H/715-778 M), al-Imam
Imam Malik bin Anas (93-179 H/712-795 M), pendiri madzab Maliki, dll.
Beberapa ulama Salaf mengatakan bahwa Ahlussunnah Wal-
Jama’ah adalah mereka yang hanya memiliki hubungan dengan sunnah

11
Nabi SAW. Mereka bukan pengikut Jahiliyah, Qadariyah, Rafidhah
(Syiah), dan aliran sesat lainnya.
Al-imam Malik bin Anas, ketika ditanya tentang Ahlussunnah
mengatakan “Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah golongan yang tidak
memiliki nama khusus seperti nama Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah dan
sesamanya”.
Pernyataan Imam Malik diatas dan pernyataan ulama salaf yang
lain memberikan kesimpulan bahwa pada masa periode salaf istilah
Ahlussunnah Wal-Jama’ah merupakan nama bagi umat islam yang
mengikuti ajaran Nabi dan Sahabatnya. Istilah tersebut menjadi nama bagi
kaum muslimin yang bersih dari ajaran baru yang menjadi atribut aliran-
aliran sempalan seperti Syi’ah, Khawarij, Qadariyah, Jahmiyah, Murji’ah,
dll.
Dari disini apa dikatakan, bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah
merupakan kelangsungan yang dialami dari kaum muslimin generasi
pertama yang mengikuti dan menerapkan ajaran nabi dalam prinsip dan
hukum keagamaan. Kita tidak akan mampu memastikan sejak kapan titik
permulaan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu, kecuali apabila kita
mengatakan bahwa titik permulaan ajarannya adalah titik permulaan ajaran
islam itu sendiri. Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah aliran yang asli dan
murni dalam islam, sedangkan aliran lain adalah sempalan yang
menyimpang dari aliran yang asli tersebut.
Disisi lain, istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah memiliki dua sasaran
objek yang berbeda. Pertama, istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam
konteks yang bersifat umum, yaitu menjadi nama bagi mereka yang bukan
pengikut aliran Syi’ah. Dalam konteks ini aliran-aliran yang bersebrangan
dengan Syi’ah dapat dikatakan sebagai pengikut Ahlussunnah Wal-
Jama’ah seperti aliran Mu’tazilah, Murji’ah, Karrawiyah, Wahabi, dll.
Kedua, istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam konteks yang bersifat
khusus, yaitu menjadi nama bagi mereka yang mengikuti ajaran Nabi dan
sahabat secara penuh. Dalam konteks ini, aliran yang menyimpang dari

12
Nabi dan sahabat, tidak bisa dikatakan sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah
seperti Mu’tazilah, Murji’ah, Karrawiyah, Wahabi, Syiah, dll. Aliran yang
dapat dikatakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dewasa ini adalah, aliran yang
dalam bidang fiqih mengikuti salah madzab yang empat dan dalam bidang
aqidah mengikuti madzab Al-Asy’ari dan Al-Maturidzi.

2.3 Doktrin Aswaja


Islam, iman, dan ihsan adalah triologi agama (addim) yang
membentuk tiga dimensi keaagamaan meliputi syari’ah sebagai realitas
hukum, tariqah sebagai jembatan menuju haqiqah yang merupakan puncak
kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan
risalah yang dibawa Rosulullah SAW. Yang menghadirkan kesatuan aspek
eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin).
1 Doktrin Keimanan (Aqidah)
Pada fase awal ketika ahl al-sunnah waljama’ah dipresentasikan
oleh kelompok ahl al-hadith atau salafiyyun, pemikiran-pemikiran
dibidang aqidah diperoleh berdasarkan elaborasi ayat-ayat Al-Qur’an
secara tekstual. Secara ringkas, pemikiran mereka dibidang aqidah adalah;
bahwa Allah itu satu (Esa), dia tempat meminta, tida tuhan selain Dia,
tiada sesembahan selain-Nya, Dia tidak memerlukan anak maupun
pemdamping, maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha
mendengar, maha melihat, berkehendak dan berfirman. Menurut mereka
Al-Qu’an adalah firman Allah, bukan makhluk.
Pada fase berikutnya, perkembangan aswaja ditandai dengan
integrasi filsafat dalam masalah ketuhanan (uluhiyyah). Periode ini
dipelopori oleh ibn kulab (w.240 H-854 M) yang kemudian diikut oleh al-
ash ari ( W.324 H-935 M). Diantara pandangan-pandangan mereka yang
berbeda dengan periode sebelumnya adalah dalam persoalan sifat (sifah)
dan nama (asma) Allah. Secara filosofis, al-ash ari berpendapat bahwa
nama (ism) bukanlah yang dinamai (musamma). Sifat bukanlah yang
disifati (mawsuf), sifat bukanlah substansi (dhat). Sifat-sifat Allah adalah

13
nama-namanya tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula
selainnya.
2 Doktrin Keislaman ( Syariah)
Doktrin keislaman, yang selanjutnya memanifestasi ke dalam
bidang fiqh yang meliputi hokum-hukum legal-formal (ubudiyah,
mu’amalah, munakahah, jinayah, siyasah, dll), aswaja perpedoman pada
salah satu dari empat madzhab fiqh : hanafiyah, malikiyah, syafi’iyah dan
hanabilah.
Ada alasan mendasar mengenai pembatasan aswaja hanya pada
empat madhzab ini. Disamping alasan otentisitas madhzab yang terpecaya
melalui konsep-konsep madhzab yang terkodifikasi secara rapi,
sistematis, metodologi pola pikir dari empat madhzab ini relatif tawazun
(berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan dalil
naql (teks-teks keagamaan). Empat madhzab ini yang dinilai paling
moderat dibanding madhzab Dawud Adhdhahiriyah cenderung
tekstualitas dan madhzab Mu’tazilah yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawasuth) yang ditempuh Aswaja diantara dua kutub
ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah
atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat diantara yang selamat,
jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Saw.
Dalam sabdanya :

Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.


Dengan prinsip inilah Aswaja mengakui bahwa empat madzhab
yang memadukan dalil Alqur;an, hadist, ijma’ dan qiyas (analogi),
diakuinya mengandung kemungkinanlebih besar berada dijalur kebenaran
yang diikuti dan diyakini oleh Aswaja hanya bersifat kemungkinan dan
bukan kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar.

14
Empat dalil (Alqur’an, hadist, ijma’, dan qiyas) ini dirumuskan dari ayat;

Hai orang-orang yang beriman, ta;atilah Allah dan Rasul (Nya),


dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alqur;an) dan
Rasul (sunnashnya) (QS Annisa;59).
Dalam ayat ini secara implisit ditrgaskan, bahwa ada empat dalil
yang bisa dijadikan tendesi penggalian (istinbath) hokum, yaitu Alqur’an,
hadit, ijma’, qiyas. Perintah taat kepada Allah dan UtusanNya, berarti
perintah berpegang pada Alqur’an dan hadist, perintah taat kepada ulil
amri berarti perintah berpegang pada ijma’ (consensus) umat (mujtahidin),
dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya
berarti perintah berpegangpada qiyas sepanjang tidak ada mash dan ijma’.
Sebab, qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada
hukum Allah dan UtusanNya.

3. Doktrin Keihsanan (Tasawuf)


Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan
melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan
antara imu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhalli) baju kenistaan
(akhlaq madzmumah) dan mengenakan (tahalli) jubbah keagungan
(akhlaq mahmudah), sehingga Allah hadir (tajalli) dalam setiap gerak-
gerik dan perilakunya.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi kedalam
bidang tasawuf atau akhlaq ini, Aswaja berpedoman pada konsep tasawuf
akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam AlJunaid Albaghdadi
dan Alghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada dua tokoh ini, tidak
berarti menafikan tokoh-tokoh sufi kontroversial lainnya.

15
Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk
kategori Aswaja meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli
tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadits (muhadditsin).

2.4 Sumber Doktrin Aswaja


Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal
Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok yaitu, Al-Qur’an,
Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai
berikut;
1. Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan
hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan
petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan
kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2 dan Al-
Maidah Ayat 44 - 45, 47 :
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang
kafir”.
Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.
2. Al-Hadits/Sunnah.
Al-Hadits/Sunnah sumber kedua dalam menentukan hukum ialah
sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan
menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua

16
setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44
dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya
mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44). Dan
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7).
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah
menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.
3. Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya
Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau.
Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya
dan para Mujtahid. Kemudian ijma’ ada 2 macam yaitu :
1) Ijma’ Bayani ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang
menunjukan kesepakatannya.
2) Ijma’ Sukuti ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya
menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.

Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk


diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun
ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk
mengikuti dan menta’ati. Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk
orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-
Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59 “Hai
orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil
Amri di antara kamu”. Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’

17
apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a
jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam.
Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hukum,
seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466. “Sesungguhnya
Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah
beserta orang banyak”. Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal
431 “Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka
apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak
kepada golongan yang terbanyak”.
4. Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu
berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara
keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam yaitu, al-ashlu, al-far’u, al-hukmu
dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti
disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-
far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits),
al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan
hukumnya karena makanan pokok. Dengan demikian, hasil gandum itu
wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun
dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak
dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-
duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber
hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang
mempunyai pandangan” (Al-Hasyr : 2). Dan “Dari sahabat Mu’adz
berkata; tatkala Rasulullah  SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah
bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu
ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan
kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw,

18
kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah
Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan
berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata:
maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata;
Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan
Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya”.
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an : “Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram,
barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara
kamu”. (Al-Maidah: 95). Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal
Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada
akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan
Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas)
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2.5 Tokoh-tokoh Aswaja


Sebelumnya perlu kita pahami, bahwa ahlusunnah wal jamaah
dalam realita sekarang dalam bidang fiqih mengikuti salah satu madzhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali), dalam bidang akidah
mengikuti madhzab Al-Asy’ari dan Al-Maturidzi, dan dalam bidang tasawuf
mengikuti madhzab Al-Junaialbagdadi.
Al- imam al-Asy’ari dan al-imam marturidzi, tidak membuat
ajaran-ajaran baru dalam islam. Keduanya hanya sebatas pelopor suatu
gerakan untuk kembali kepada ajaran-ajaran sahabat dan generasi salaf yang
shaleh dalam bidang akidah. Dari sini berkembang sebuah pertanyaan,
siapakah tokoh-tokoh aswaja generasi salf yang shaleh yang menjadi pijakan
madhzab yang dirintis al-imam al-Asy’ari dan al-marturidzi.
Diantara tokoh-tokoh aswaja generasi salaf adalah:

19
1. Ali bin Abi Thalib (23 SH- 40 H/ 600-661 Masehi) dia pernah berdebat
dengan Khawarij seputar al-wa’du wa al-wa’id ( janji dan ancaman allah) dan
berdebat dengan qodariah seputar qodo’ dan qadar (kepastian Allah Swt), dan
kebebasan manusia.
2. Abdullah bin umar ( w. 37 H /657 M). dia pernah membicarakan soal
qadariyah dan menyatakan memutus hubungan dengan pemimpin Qadariyah,
Ma’bad al-Juhani.
3. Abdullah bin Abbas (3 SH-68 H/619-687 M). dia pernah berdebat dengan
khawarij dan berhasil mengembalikan 4000 orang dari mereka ke Aswaja.
4. Umar bin Abdul Aziz (61-101 H/681-720 M). dia telah menulis risalah
khusus tentang ajaran Aswaja dalam membantah Qadariyah.
5. Amir bin Syaharil al- Sya’bi (19-103 H/640-721 M). Dia ulama yang paling
keras terhadap Qadariyah dan Rafidhah (syiah)
6. Al- Hasan bin Yasar al-Basri (21-110 H/642-728 M). dia menulis surat
kepada Umar bin Abdul Aziz yang isinya mengecam Qadariyah. Dia juga
mengusir Washil bin Atha’ dari majlisnya setelah menampakkan
kebid’ahannya.
7. Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (79-122 H/698-740 M). dia
menulis kitab bantahan terhadap Qadariyah berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an.
8. Muhammad bin Muslim bin Abdullah bin Syihab al-Zuhri (48-124 H/678-
742 M). dia berfatwa kepada khalifah Abdul malik bin Marwan tentang
halalnya darah kaum Qadariyah)
9. Ja’far bin Muhammad al-Shadiq (80-148 H/699-765 M). dia menulis
bantahan terhadap Qadariyah, khawarij dan Rafidhah (syiah).
10. Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit (80-150 H/699-767 M) dia menulis
bantahan terhadap Qadariyah dalam kitab al-fiqh al-Akbar
11. Sufyan bin sa’id al-tsauri (97-161 H/716-778 M)
12. Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/712-795 M)
13. Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari (113-182 H/731-798 M). dia
murid Abu Hanifah yang pernah berfatwa bahwa Mu’tazilah itu termasuk
golongan zindiq

20
14. Muhammad bin al-Hasan al-syaibani (131-189 H/ 748-804 M). dia murid
Abu Hanafi dan pernah berfatwa bahwa shalat dibelakang orang qadariyah
yang berpendapat al-Qur’an itu makhluk, tidak sah dan harus diulangi.
15. Sufyan bin Uyainah (107-198 H/725-814 M)
16. Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150-240 H/ 767-820 M). dia menulis kitab
berjudul Tashih al-Nubuwwah wa al-radd ‘ala al-barahimah (pembenaran
adanya kenabian dan bantahan terhadap ajaran Hindu) dan kitab al-Radd’ala
ahl al-Ahwa’.
17. Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (164-241H/ 780-855 M), panutan Aswaja dan
permah berdebat dengan Mu’tazilah.
18. Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-251 H/ 810-870 M), pengarang
Shahih al-bukhari. Dalam bidang teologi, al-bukhari mengikuti jejak
IbnKullab dan al-Karabisi.
19. Muhammad bin Jarir al-Thabiri (224-310 H/839-923 M)
20. Al-Harits bin Asad al-muhasibi (w.234 H/857 M). dia menulis banyak
karangan dalam bidang teologi, hokum, hadits. Dan tashawuf yang menjadi
rujukan kaum teolog, ahli hokum dan tasawuf aswaja.
21. Abu Ali al-husain bin Ali al-Karabisi 9w. 284 H/862 M). murid al-imam al-
Syafi’I dan pakar dalam ilmu fiqih dan teolog. Karyanya dalam bidang
maqalat (studi perbandingan aliran-aliran), menjadi rujukan para teolog
dalam mengetahui madzhab khawarij dan lain-lain.
22. Dawud bin Sulaiman al-Ashbihani (201-270 H/816-884 M). pendiri madhzab
Zhahiri. Dia banyak menlis karangan dalam bidang teologi. Sedangkan
anaknya, Abu Bakar bin Dawud pakar dalam fiqih, teologi ushul sastra dan
sya’ir
23. Abdullah bin sa’id bin Kullab al- Qathhan al-tamimi (w. 245 H/860 M). dia
mempermalukan Mu’tazilah dalam perdebatan dihadapan Khalifah al-
Makmum dengan argumentasinya. Dia juga banyak menulis kitab-kitab
teologi
24. Abdullah Aziz bin yahya al-makki al-kinani (w. 240 H/854 M) murid ibn
kullab dan pernah mempermalukan mu’tazilah dalam perdebatan dihadapan

21
khlifah al-makmum
25. Al-husain bin al-fadhl al-bajali (178-282 H/794-895 M), murid Ibnm Kullab,
pakar teologi, tafsir, ushul dan ta’wuil .
26. Abu al-Qasim al-Junaid al- Baghdadi (w. 297H/910M), perumus madzhab
tasawuf madhzab kaum sunni, dan termasuk murid Ibn Kullab. Dia menulis
risalah seputar tauhid metodologi mutakallimin dan kaum shufi.
27. Muhammad bin Jarir al-Thabari (224-320 H/ 839-923 M) yang memiliki
karangan shahih. Pada umumnya ib Khuzaiamahanti terhadap ulama
mutakallimin (teolog), tetapi setelah akhirnya dia setuju dengan mereka.

22
BAB 3
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Paham ahlusunnah wal jama’ah terbentuk melalui proses yang
tidak sederhana. Disamping membutuhkan waktu yang panjang dalam
proses dalam pembekuannya, paham ini juga mengalami beberapa kali
benturan dengan paham lain sebelum sampai pada bentuknya. Walaupun
paham ini telah berhasil mengatasi tantangan yang di hadapinya dalam
proses sampai kepada formatnya yang baku, ahlusunnah wal jama’ah
mulai di uji kembali dari kelompok modelnis untuk menghendaki adanya
revisi terhadap beberapa ajarannya yang dianggap perlu diubah agar sesuai
dengan tutunan jaman. Namun, keliatannya keberadaan ahlisunnah wal
jama’ah masih tetap di butuhkan sekurang kurangnya dalam masa
sekarang ini karena tantangan dari kaum modernis terbukti menjadi
konceproduktif meskipun demikian ahlisunnah wal jama’ah tetap harus
terbuka untuk berubah sebab akikat keberadaannya memang hasil dari
perubahan-perubahan yang dilakukan oleh ulama’ sunni di masa lalu.

4.2 Saran
Perlu adanya bimbingan khusus untuk masyarakat pada umumnya
dan pelajar maupun mahasiswa pada khususnya untuk lebih mempelajari
seluk beluk maupun sejaran tentang Nahdlatul Ulama.Selain itu, peran
tokoh masyarakat yang mendukung untuk lebih meningkatkan Nahdlatul
Ulama dimata masyarakat.

23
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Muhibbin Z. 2010. Pemikiran KH.M.Hasyim Asy’ari tentang Ahl-


Sunnah Wa Al-Jama’ah. Surabaya: Khalista.
KH A Nuril Huda Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/9215/4-sumber-hukum-dalam-
aswaja.
Kh. Shirojuddin A. 2010. Iqtiqod Ahlusunnah Wal jamaah. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah.
Harits, Busyairi. 2010. Islam NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia.
Surabaya: Khalista.
Navis, Abdurrahman, dkk. 2013. Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Surabaya: Khalista.
Nasution, Harum. 2006. Sejarah Teknologi Islam. Jakarta: UI-Press.
Ramli, Muhammad I. 2011. Pengantar Sejarah Ahlussunnah Wal-jama’ah.
Suarabaya: Khalista.

24

Anda mungkin juga menyukai