Aswaja/ Ke- NU an
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
FAKULTAS TARBIYAH
2021
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ..................................................................................... 12
B. Saran ............................................................................................... 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ahlussunnah Waljama’ah merupakan ajaran yang diajarkan oleh nabi
Muhammad kepada para sahabatnya. Pada saat nabi Muhammad SAW masih
hidup umat Islam belum terpecah karena masih ada Nabi, jadi segala persoalan
yang muncul selalu ditanyakan langsung kepada Nabi. Setelah Nabi wafat,
mulailah Islam terbagi-bagi dalam beberapa kelompok, seperti: khawarij, syiah,
mu’tazilah dan masih banyak lagi. Karena perbedaan pendapat seperti itu Nabi
Muhammad saw sudah mengungkapkannya dalam sebuah hadis, yang artinya:
Diriwayatkan dari Abu Dawud, Imam Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu
Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Telah terpecah umat
yahudi menjadi 71 golongan, umat Nashrani benar-benar terpecah menjadi 72
golongan, dan umatku terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk
neraka kecuali satu golongan. “Para sahabat bertanya: Siapakah mereka wahai
Rasulullah? Nabi Menjawab: Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalanku
dan para sahabatku. (Anwar, 2018: 1)
Dalam tinjauan historis, kemunculan aswaja lebih identik sebagai bagian atau
faksi dari sebuah firqah. Pada awalnya Istilah aswaja digunakan oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari untuk orang Islam yang akidahnya lebih berdasarkan sunnah Rasul
ketimbang akal. Namun dalam perjalanannya, aswaja tidak hanya digunakan
untuk menyebut firqah tapi juga sering dikaitkan dengan madzhab dalam fiqih.
Jadi, pada masa awal munculnya dan pada masa pertengahan dari munculnya
aswaja lebih dikenal sebagai sebuah firqah, aliran, madzhab, sekte, ideologi dan
sejenisnya. Dengan kata lain, aswaja lebih dikenal sebagai doktrin keagamaan.
Namun pada era kontemporer, khususnya di Indonesia aswaja tidak hanya
digunakan untuk menyebut firqah atau madzhab tertentu tapi aswaja juga
dijadikan sebagai manhaj fikr atau metode dalam berpikir. Bahkan tidak hanya
sebagai metode berpikir, aswaja juga dijadikan sebagai manhaj al-taghayyur al-
ijtima’i dan manhajul harakah (metode gerakan). (Fadeli, 2012: 31)
Dengan demikian maka aswaja bukan hanya sebagai doktrin ajaran tapi juga
merupakan salah satu trand mark pemikiran keagamaan yang dianut oleh
mayoritas umat Islam dari dulu sampai sekarang. Secara subtantif, aswaja
merupakan kristalisasi dari ajaran Rasulullah SAW. Aswaja bukanlah ajaran baru,
bukan juga kelompok baru dan bukan juga arus pemikiran baru. Ia sudah ada
sejak masa Rasulullah. Oleh karena itu, Aswaja sebagai ajaran dan kelompok
adalah Islam dan umat Islam itu sendiri. Sedangkan aswaja sebagai metode
bepikir dan sebagai metode gerakan sudah dipraktekkan oleh Rasulullah, sahabat-
sahabatnya dan ulama-ulama pewaris terbaiknya. (Arifin, 2019: 246)
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui tentang pengertian ahlusunnah waljama’ah.
4. Untuk mengetahui terkait sumber pokok dalam ajaran ahlusunnah
waljama’ah.
2. Untuk mendeskripsikan mengenai prinsip-prinsip dalam ajaran
ahlusunnah waljama’ah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
perkumpulan lawan dari kata tafarruq (perceraian) dan lawan dari kata furqah
(perpecahan). Jika dikaitkan dengan madzhab mempunyai arti sekumpulan orang
yang berpegang teguh pada salah satu imam madzhab dengan tujuan
mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat Makna lain dari jamaah adalah
kaum yang bersepakat dalam suatu masalah, atau orang-orang yang memelihara
kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai suatu tujuan. Dari tiga kata yang
membentuk istilah aswaja di atas, nampaknya kata al-jamaah merupakan kata
yang paling banyak mempunyai arti dan definisi. (Santoso, 2012:168)
4
saluran yang dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, yaitu melalui
Khulafâ` ar-Râsyidûn sebagai tokoh paling dekat dengan Rasulullah, para
sahabat pada umumnya, dan beberapa generasi sesudahnya.
Kedua, Al-Qur`an dan sunnah yang sangat luhur disampaikan secara
berangsur-angsur harus dipahami:
a. Menurut metode yang dapat dipertanggungjawabkan kekuatannya,
diukur dengan prinsip-prinsip ajaran Islam sendiri dan dengan logika
yang benar.
b. Dengan bekal perbendaharaan ilmu yang cukup jumlah dan jenisnya.
c. Dengan landasan mental (akhlak) dan niat semata-mata mencari
kebenaran yang diridhai oleh Allah.
d. Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarananya, tersedia
satu-satunya cara memahami dan mengamalkan ajaran AlQur`an dan
sunnah, yaitu dengan mengikuti pendapat hasil daya pikir tokoh-tokoh
agama yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Dari sini, NU menyadari bahwa tidak semua umat Islam memiliki
kapabilitas dalam memahami dan menyimpulkan hukum suatu masalah
langsung dari Al-Qur`an. Oleh sebab itu, NU menawarkan sistem yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam memahami ajaran agama. Pertama, bagi yang
memenuhi syarat untuk ijtihâd dapat melakukan istinbâṭ al-aḣkâm langsung
dari Al-Qur`an dan hadis.
5
berita yang marfu’ (disandarkan kepada nabi Muhammad saw), yang mauquf
( disandarkan kepada sahabat) dan yang maqtu’ (disandarkan kepada tabi’in).
(Hadna, 2017: 108)
3. Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi
Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah
wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para
Mujtahid. Kemudian ijma’ ada 2 macam :
a. Ijma’ Bayani (انيQQQاع البيQQQ ) االجمialah apabila semua Mujtahid
mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan
yang menunjukan kesepakatannya.
b. Ijma’ Sukuti (كوتيQQQاع السQQQ )االجمialah apabila sebagian Mujtahid
mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang
diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu. Dalam
ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena
setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59 yang artinya
“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil
Amri di antara kamu”. Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila
terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah
Saw. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah
sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh umat Islam.
4. Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu
berasal dari kata Qasa maka, Qiyas artinya menyamakan hukum sesuatu
kasus yan tidak disebutkan dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
sesuatu yang hukumnya telah disebutkan dalam nash secara tegas, karena ada
persamaan illat.
6
Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam
suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras
(tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum
gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan
pokok. Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya,
sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan
zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena
beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok.
Disinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syariat Islam.
Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil
Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah
wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil
nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
7
Kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul sebagai utusannya. Dalam
doktrin ini umat manusia harus meyakini bahwa Muhammad SAW adalah
utusan Allah SWT. Yang membawa risalah (wahyu) untuk umat seluruh
alam.
Ketiga Adalah al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan
dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia mendapatkan
imbalan sesuai amalan dan perbuatannya.
Jadi, dalam menjalani kehidupan atau mengahadapi persoalan-persoalan,
orang NU tidak boleh hanya bergantung kepada kekuasaan Allah (pasrah)
atau sebaliknya hanya mengandalkan kemampuan akal (teori atau ilmu
pengetahuan) keduanya harus seimbang secara bersamaan.
2. Bidang fiqih
Fiqih berasal dari bahasa arab yaitu faqiha-yafqohu-faqihun yang artinya
mengetahui, memahami sesuatu. Senada dengan arti fiqih menurut Mahmud
Yunus yaitu "mengerti, memahami, pintar". (Yunus, 2010:321)
Sedangkan secara istilah, fiqih adalah sekelompok hukum syari’at yang
berpautan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash al-Qur’an
dan as-Sunnah, bila ada nash dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang berhubungan
dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber lain,
bila tidak ada nash dari al-Qur’an dan as-Sunnah. (Yahya dan Fatturachman,
1983:15)
Fiqih merupakan cabang ilmu yang bersifat ilmiah, logis dan memiliki
obyek dan kaidah tertentu. Ketika mengkaji tentang Islam aspek yang
didalamnya tidak lepas mengenai pembicaraan tentang hukum (peraturan)
yang ada pada Islam itu sendiri, aspek hukum didalam Islam biasa disebut
dengan hukum fiqih yang mempunyai konsep dasar dan hukumnya telah
ditetapkan oleh Allah SWT, yang kemudian terdapat didalam Al-qur’an dan
As-sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang
8
telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum
Islam.
Periode keemasan ijtihad dalam hukum Islam terjadi pada abad kedua
sampai pertengahan abad keempat hijriyah. Pada masa ini muncul empat imam
besar yang nama nya amat terkenal dikalangan kaum muslimin yaitu Abu
Hanifah (w. 150 H/ 768 M), Malik bin Anas (w. 179 H/ 795 M), Muhammad
bin Idris asy-Syafi’I (w 204 H/ 820 M), dan Ahmad bin Hanbal (w 240 H/ 855
M). Madzhab mereka kemudian dikenal dengan sebutan madzhab Hanafi,
Maliki, Syafi’I, Hambali. Mereka terkenal sebagai mujtahid besar dibidang
hukum Islam.
Jadi, dalam memegangi hukum fiqih, NU tidak boleh "HANYA"
berpegang/berlandaskan pada pendapat-pendapat yang ada, tetapi juga harus
memperhatikan dan mengetahui perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
9
Imam Al Ghazali lahir di wajah pada tahun 450 Hijriyah atau 1058
Masehi dan wafat di sana pada tahun 505 Hijriyah atau 1111 Masehi. Beliau
memperoleh gelar Hujjatul Islam sebab mampu dan merupakan tokoh utama
yang menyatukan sufisme dengan syariat. Beliau juga perumus tasawuf dan
membersihkannya dari unsur yang tidak Islami dan mengabdikannya kepada
paham sunni atau Ahlussunnah Wal Jamaah serta tasawufnya telah
memperoleh restu dari ijma' atau kesepakatan para ulama.
Jalan untuk mencapai proses tersbut sangatlah panjang, yang disebut
dengan al-maqamat. Adapun macam-macam dari al-maqamat itu sendiri
yaitu:
a. Maqam taubat, yaitu meninggalkan dan tidak mengulangi lagi suatu
perbuatan dosa yang pernah dilakukan, demi menjunjung tinggi
ajaran-ajaran Allah dan menghindari murkanya.
b. Maqam Wara’, yaitu menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu
guna menjunjung tinggi perintah Allah atau meninggalkan sesuatu
yang bersifat subhat.
c. Maqam Zuhud, yaitu lepasnya pandangan kedunian atau usaha
memperolehnya dari orang yang sebetulnya mampu memperolehnya.
d. Maqam Sabar, yaitu ketabahan karena dorongan agama dalam
menghadapi atau melawan hawa nafsu.
e. Maqam Fakir, yaitu perasaan tenang dan tabah di kala miskin harta
dan mengutamakan kepentingan orang lain di kala kaya.
f. Maqam Syukur, yaitu pengakuan atas nikmat yang telah diberikan
oleh Allah swt.
g. Maqam Khauf, yaitu rasa ketakutan dalam menghadapi siksa dan
azab Allah.
h. Maqam Raja’, yaitu rasa gembira karena mengetahui adanya
kemurahan dzat yang Maha Kuasa.
i. Maqam Tawakal, yaitu pasrah dan bergantung kepada Allah dalam
kondisi apapun.
10
j. Maqam Ridha, yaitu sikap tenang dan tabah tatkala menerima
musibah sebagaimana di saat menerima nikmat.
Prinsip dasar dari aspek tasawuf adalah adanya keseimbangan
kepentingan ukhrawi dan selalu mendekatkan diri kepada Allah, dengan jalan
spiritual yang bertujuan untuk memperoleh hakekat dan kesempurnaan hidup
manusia. Akan tetapi tidak boleh meninggalkan garis-garis syariat yang telah
ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jalan sufi yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah jalan yang
tetap serta teguh memegang perintah-perintah Allah. Karena itu umat Islam
tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban syariat,
seperti perilaku tasawuf yang dilakukan oleh al-Hallaj (al-Hulul) dengan
pernyataannya “ana al-Haq”, Ibnu Araby (al-Ittihad, manunggaling kawula
gusti).
Jadi, dalam menjalankan ibadah, warga NU juga harus menggabungkan
antara hakikat dan syari’at. Aturan-aturan fiqih (syarat dan rukun) tetap harus
dipenuhi, namun disisi lain penghayatan terhadap isi, makna, hakikat, tetap
harus diperhatikan. Dengan demikian, dalam bertasawuf tidak boleh
melipakan urusan umat dan keluarga.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahlussunnah Waljama’ah merupakan ajaran yang diajarkan oleh nabi
Muhammad kepada para sahabatnya. Kata ahlu mempunyai beberapa arti,
diantaranya adalah keluarga, pengikut dan penduduk. Kata As-sunnah juga
diartikan petunjuk yang telah ditempuh oleh Rasulllah dan para sahabatnya
baik berkenaan dengan ilmu, aqidah, perkataan, perbuatan maupun
ketetapan. Kata Al-Jamaah mempunyai arti mengumpulkan sesuatu, dengan
mendekatkan sebagian ke sebagian lain atau mengumpulkan yang bercerai
berai. Maka jika digabungkan dengan ketiganya akan bermakna para
pengikut yang berada dijalan Nabi dan para Shahabat dan tabi‟in
Seperti halnya apa yang kita ketahui bahwa NU menganut ajaran
Ahlusunnah waljama’ah, dimana ajaran Ahlusunnah waljama’ah merupakan
ajaran yang menganut dengan empat sumber hukum, antara lain: Alqur’an,
Al- hadist/ As-sunnah, ijma’ dan qiyas.
Faham ahlusunnah waljamaa’ah dalam bidang aqidah mengikuti faham Imam
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al- Maturidi. Dalam bidang
fiqih mengikuti faham 4 madzab, yaitu: madzhab Hanafi, madzhab Maliki,
madzhab Syafi’I, madzhab Hambali. Sedangkan dalam bidang tasawuf
mengikuti faham Imam Abul Qosim Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al
Ghazali.
B. Saran
Semoga kita warga NU selalu istiqomah dalam menjalankan amaliyah-
amaliyah tanpa keluar dari syariat maupun hakikat ajaran ahlusunnah
waljama’ah yang sebenarnya, tetapi dalam menjalankan suatu hal warga NU
harus memperhatikan serta mempertimbangkan dari segala aspek terutama
yang sudah termaktub dalam sumber hukum islam.
12
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Siful & Achmad Saiful. 2019. Urgensi Mata Kuliah Aswaja Di Perguruan
Tinggi Islam: Jurnal Kariman, 7(2), 242-243.
Santoso, Nursayid & Kristeva. 2012. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran
Aswaja. Yogyakarta: LKSD.
Siradj, Said Aqil. 2018. Aswaja Sebuah Kritik Historis. Jakarta: Pustaka
Cendekia.
Hadna, Musthofa. 2017. Ayo Mengkaji Al- qur’an Dan Al-hadist untuk MA Kelas
X. Semarang: PT Gelora Aksara Pratama.
13
14