Dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam 6 yang
diampu oleh Asep Ahmad Siddiq, Drs., M. Si.
Disusun Oleh :
Kelas B
FAKULTAS PSIKOLOGI
2021 / 2022
PEMIKIRAN DAN PERBANDINGAN ALIRAN
MU’TAZILAH DAN AHLUSUNNAH WALJAMAAH
A. Aliran Mu’tazilah
a) Sejarah dan Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah adalah aliran yang membawa persoalan – persoalan
teologi, lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan – persoalan
yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka
banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "Kaum Rasionalitas
Islam”. Nama Mu’tazilah, sebagai designate bagi aliran teologi rasional dan
liberal Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan Al – Basri di
Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu, telah pula
terdapat kata – kata I’tazala al – Mu’tazilah. Tetapi kalau kembali ke ucapan
– ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri, akan di jumpai keterangan –
keterangan yang dapat memberi kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang
memberikan nama itu kepada golongan mereka.
Berdasarkan Hadist Nabi yang mengatakan bahwa umat akan terpecah
menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik seluruhnya dari
golongan Mu’tazilah. Bahkan menurut Al – Murtada kaum Mu’tazilah
sendirilah, dan bukan orang yang memberikan nama itu kepada golongan
mereka. Ahmad Amin mengemukakan tiga pendapat mengenai sebab – sebab
dinamakan Mu’tazilah yaitu :
1) Dinamakan Mu’tazilah karena Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid
memisahkan diri dari majelis taklim yang di pimpin oleh Hasan Al –
Basri di masjid Basrah.
2) Wasil bin Atha memisahkan diri secara fisik (I’tazala) dari pengajian
Hasan Al – Basri.
3) Orang yang memisahkan diri dinamakan Mu’tazilah.
Dinamakan Mu’tazilah karena pendapat mereka menjauhi pendapat
lain yang berkembang waktu itu. Pendapat Wasil bin Atha, bahwa pelaku
dosa besar tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir (al – manzilah bain al –
manzilatain) telah menjauhi atau memisahkan dengan pendapat golongan –
golongan lainnya. Jumhur ulama mengatakan tetap mukmin, Khawarij
mengatakan kafir, dan Hasan Al – Basri berpendapat tetap mukmin, namun
fasik.
Dinamakan Mu’tazilah adalah karena pelaku dosa besar berada antara
mukmin dan kafir, sama halnya memisahkan diri atau menjauhkan diri dari
orang mukmin yang sempurna. Ketiga pendapat di atas mengacu kepada
sebuah peristiwa yang melibatkan Wasil bin Atha dan Hasan Al -Basri dalam
pengajian di masjid Basrah. Peristiwa tersebut menurut Ahmad Amin semata
– mata bertema agama, bukan bertema politik.
b) Doktrin-Doktrim Mu’Tazilah
1) Al-Tauhid (Kemaja Esa-an Tuhan)
Tuhan dalam faham mereka, akan betul betul Maha Esa, hanya
kalau merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan
Dia. Mu'tazilah membagi sifat-sifat Tuhan kedalam 2 golongan:
Sifat Zatiah (Esensi Tuhan). Sifat-sifat ini seperti wujud,
kekekalan dimasa lampau (Al-qidam), hidup (al-hayat),
kekuasaan (al-qudroh).
Sifat Fi’liyah (Perbuatan Tuhan). Sifat-sifat perbuatan terdiri
dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara Tuhan
dengan Mahluk-Nya, seperti kehendak (Al-Iradah), sabda
(kalam), keadilan (Al-'Adl), dst.
2) Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan
dengan perbuatan mahluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan
tidak bisa berbuat Zalim. Pada mahluk terdapat perbuatan zalim.
3) Al-Wa’d wa Al-Wal’d (Janji dan Ancaman)
Keadilan menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi
hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana
dijanjikan tuhan.
4) Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain
Ajaran ini beranggapan bahwa seorang yang berdosa besar
bukanlah orang mukmin maupun kafir karena ia bukan orang terpuji
namun dibaliknya masih mengucapkan syahadat dan berbuat baik.
5) Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap
sebagai kewajiban. Menurut mereka, mereka memperbolehkan
kekerasakan dalam menyiarkan ajaran ajaran mereka.
c) Corak Pemikiran Mu’Tazilah
1) Menunjuk dan menetapkan seorang imam (menegakkan suatu negara)
wajib menurut sya’riat. Namun, ada yg berpendapat pula bahwa tidak
diperlukannya imam karena umat dapat menegakan dasar-dasar
keadilan sendiri.
2) Pemilihan umum diserahkan kepada umat, dan imamah tidak sah
kecuali dengan pemilihan umat.
3) Umat dapat memilih seseorang dari kalangan kaum muslimin yang
dianggap paling baik an paling memiliki keahlian tanpa terikat
dengan persyaratan.
4) Tidak dibolehkan bershalat dibelakang seorang imam yang fajir.
5) Amr bil-ma’ruf dan nahi ‘anil munkar termasuk pada prinsip-prinsip
asasi mereka juga.