Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH MU’TAZILAH DAN QODARIYAH

Makalah
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Aswaja

Dosen Pengampu:
Ahmad Syakir S.Pd.I

Oleh:
Ahmad Triyana khoirun ni’am NIM 2022010182233
Muhammad Faqih Khafidzuddin NIM 2022010182302

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2022
A. Pendahuluan
Sejarah menyatakan bahwa ada berbagai banyak corak dalam islam
dimana hal tersebut bermula ketika Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy
wa Sallam wafat adapun corak dalam Islam itu yang bermunculan tentang
faham tradisional, liberal, dan lain lain. Dimana hal tersebut bermula
ketika perbedaan pendapat tentang siapakah yang akan menjadi pengganti
Rasullullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam dan kemudian muncullah
persoalan persoalan tentang berbagai kelompok kelompok yang
menyakinkan tentang tuhan atau disebut dengan “predikat kebenaran”

Dengan mengajarkan Rahmatan lil Alamin, dan menjadikan tauhid


sebagai landasan Islam. Hal tersebut merupakan akan keesaan Tuhan.
Adapun sesuatu yang mendasar pada agama harus dibangun sesuai dengan
pola pikir yang benar sehingga dapat diterima oleh akal manusia baik
secara tradisional maupun modern.

Namun, dengan label demikian tidak menutup kemungkinan bahwa


sebenarnya di dalam internal islam itu sendiri juga terjadi berbagai macam
problematika, salah satunya adalah terjadinyabperpecahan antara umat
islam itu sendiri. Banyak sekali faktor-faktor yang kemudian menjadi
penyebab munculnya perpecahan di dalam islam yang akan diuraikan di
dalam makalah ini.

B. Aliran Mu’tazilah
1. Sejarah Mu’tazilah
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar aliran
Khawarij dan aliran Murjiah mengenai orang mukmin yang melakukan
dosa besar.menurut Khawarij pelaku dosa bersar tidak dapat di katakan
mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, Murjiah
menganggap pelaku dosa besar sebagai mukmin yang sempurna.
Menanggapi dua pandangan yang ekstrem ini, Washil bin atha’
yang saat itu menjadi murid imam Hasan al-Bashri, menentang beliau
dengan mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar
menempati posisi antara mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara
keduanya. Demikianlah pendapat Washil yang kemudian menjadi salah
satu doktrin Mu’tazilah, yakni al-Manzilah bainal-Manzilatain(posisi
diantara dua posisi).
Setelah menyatakan pendapatnya itu, Washil bin Atha’
meninggalkan majlis Hasan al-Bashri, lalu membentuk kelompok sendiri.
Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal Mu’tazilah. Setelah Washil
memisahkan diri, Hasan al-Bashri berkata,”I’tazala anna washil”(Washil
telah memisahkan diri dari kita).”1 Menurut as-Syahrastani dari kata
I’tazala anna itulah lahirnya istilah Mu’tazilah yang artinya orang yang
memisahkan diri.
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati
umat islam, khususnya di kalangan msayarakat awal karena mereka sulit
memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional-filosofis itu.
Mereka baru memperoleh dukungan yang luas, terutama
dikalangan intelektual, pada masa pemerintahan kholifah al
Ma’mun(Abdullah bin Harun ar-Rasyid),penguasa Abasiah(192-218
H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin kokoh setelah al
Ma’mun menetapkannya sebagi madzhab resmi negara.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang
mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok
lain. Pemaksaan ajaran ini di kenal dalam sejarah dengan peristiwa
mihnah (inkuisisi). Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham
khaqul-Qurân (al Quran adalah makhluk). Mereka berpendapat bahwa al
Quran tidak qodim tapi di ciptakan oleh Allah. Karena di ciptakan berarti
ia adalah sesuatu yang bermula, tidak qodim. Sebab, jika al Quran itu
qodim, maka ada yang qodim selain Allah. Menurut mereka meyakini
adanya sesuatu yang qodim selain Allah adalah musyrik.
Khalifah al-Ma’mun mengeluarkan instruksi supaya diadakan
pengujian terhadap aparat pemerintahan(mihnah makna asalnya adalah
pengujian)2tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-
Ma’mun, orang yang mempunyai keyakinan bahwa al Quran adalah
1
Adhuddin al-Iji, al Mawaqif, vol.III, Hal. 652
2
Abdurrahman as-suyuti, Tarikh al-khlulafa’ , vol. hal. 168
qodim tidak tepat dipakai untuk menempati posisi penting dalam
pemerintahan, terutama dalam jabatan Qodhi(hakim).
Di masa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan
menjadi semakin tidak simpatik di mata masyarakat. Keadaan ini semakin
memburuk setelah al Mutawakkil membatalkan pemakaian madzhad
Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara dan menggantinya dengan
madzhad Asy’ariah. Al-Mutawakkil bahkan memerintahkan untuk
meriwayatkan Hadist-Hadist yang menolak pemikiran Mu’tazilah dan
Jahmiyah.3 Selama berabad-abad kemudian Mu’tazilah tersisih dari
panggung sejarah, tergerser oleh aliran Asy’ariyah yang dikenal dengan
Ahlusuunah Waljamaah.
2. Ajaran-Ajaran Mu;tazilah

Doktrin Mu’tazilah ini dikenal dengan lima ajaran dasar yang


populer dengan istilah al-Ushul al-Khomsah.4 Meski ajaran-ajaran ini
disepakati oleh seluruh aliran Mu’tazilah, namun dalam memberikan
penjelasan,seringkali terdapat perbedaan diantara sesama tokoh
Mu’tazilah. Kelima ajaran dasar tersebut adalah:
1) At-Tauhid(pengesaan Tuhan)
Mu’tazilah menganggap konsep tauhid merekalah yang paling
murni, sehingga mereka merebut dirinya sebagi Ahlut-Tauhid(pembela
tauhid). Berangkat dari prinsip inilah, Mu’tazilah menyatakan bahwa
Allah tidak memiliki sifat. Paham ini dikenal dengan istilah Mu’atthilah
atau Nafyus-Shifah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat, maka
ada sesuatu yang Qadim selain Dzat Allah.
Sebagai konsekuensi dari peniagaan sifat Allah, Mu’tazilah
menyatakan bahwa Kalam bukanlah sifat Allah yang Qadim, melainkan
sesuatu yang di ciptakan dan memiliki permulaan(hadist). Menurut
mereka, Kalam terdiri dari deretan huruf dan bunyi suara yang
menunjukkan bahwa Kalam d ciptakan di suatu tempat.

3
Syamsuddin adz-Dzahabi, Tarikh al-Islam, vol. 17 , hal. 230.
4
Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, Firaq Mu’asiroh Tantasibu ila al-Islam wa Bayan Mauqif al-Islam ‘anha,
hal.526.
Selanjutnya, konsep tauhid ala Mu’tazilah kini di kembangkan untuk
menolak pendapat yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat dengan
mata kepala di akhirat nanti, sebagai mana dijelaskan dalam QS al-
Qiyamah ayat 22. Menurut mereka itu tidak mungkin, karena jika Allah
dapat dilihat berate Allah adalah benda. Sebab, jika Tuhan berpua benda,
maka Tuhan sama dengan makhluk. Kalua meyakini ada sesuatu yang
menyamai Tuhan, berarti sudah tidak tauhid.
2) Al-Wa’ad wal-wa’id ( janji dan ancaman )

Menurut Mu’tazilah Tuhan wajib menepati janjinya memasukan


orang mukmin kedalam surga dan menempatkan ancamanya kepada orang
kafir dan orang yang berdosa besar kedalam neraka.

Paham ini erat kaitanya dengan pandangan bahwa manusia


berkuasa penuh terhadap prilaku baik dan buruk yang muncul dari dirinya.
Dan dia jugalah yang menciptakan perbuatan tersebut. Karena itulah
manusia mendapat pahala dan siksa yang setimpal di akhirat nanti.
Menurut mereka penisbatan kejelekan terhadap Tuhan tidak boleh terjadi.

Keyakinan ini menimbulkan keyakinan lain bahwa Tuhan memiliki


keharusan menciptakan yang terbaik untuk makhluknya. Tuhan tidak bisa
mengelak, dengan tidak memberi pahala pada orang yang telah berbuat
baik atau tidak menyiksa pelaku dosa, sebab itu akan membuat dia
menjadi tidak adil.

3) Al-‘Adl (paham keadilan Tuhan)


Tuhan wajib berprilaku adil dan mustahil berbuat zalim kepada
hambanya. Namun ,menurut Mu’tazilah keadilan Tuhan harus berbentuk
as-shalah wal-ashlah, atau memberikan yang baik, bahkan yang terbaik
untuk hambanya.
Diantaranya ,Tuhan tidak boleh memberikan beban terlalu berat
kepada hambanya. Tuhan wajib mengirimkan Rasul dan Nabi untuk
menuntuk manusia dimuka bumi ini, dan Tuhan wajib memberikan daya
pada manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan perbuatanya,tanpa
intervensi dari takdir.
4) Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (satu tempat diantara dua
tempat)

Paham ini merupakan paham yang paling dasar diantara kalangan


mu’tazilah. Paham ini terjadi setelah peristiwa antara washil bin atha’ dan
hasan al-bashri di basrah. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar
bukan termasuk kafir dan bukan pula mukmin, melainkan berada diantara
keduanya, menempati antara mu’min dan kafir, yang termasuk fasik
didunia dan kekal dineraka akhirat. Orang berdosa besar tidak bisa
dikatakan mu’min lagi karena telah menyimpang dari ajaran Islam,
sementara itu masih belum bisa dikatakan kafir karena masih mempercayai
Allah dan Rasullullah. Jika orang orang mendapat predikat fasik
meninggal tanpa sempat bertobat, maka mereka akan dicampakkan
kedalam neraka dan kekal didalamnya, hanya saja siksaan mereka lebih
ringan dari pada orang kafir.

5) Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Dalam memandang kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Mu’tazilah


hampir sepakat dengan ahlusunnah waljamaah, hal itu hukumnya fardu
kifayah. Perbedaanya Mu’tazilah menyakini bahwa kemungkaran pada
awalnya harus diberantas dengan cara yang paling halus. Bila tidak
mempan, maka dengan cara yang lebih keras, dan demikian seterusnya.

Selain itu mereka juga menyakini keharusan berpaling dan memerangi


penguasa yang alim.5 Berpegang pada ajaran ini, kaum Mu’tazilah pernah
melakukan pemaksaan ajaran kepada golongan lain. Pemakssan itu dikenal
dengan peristiwa mihnah (inkuisisi), yaitu emaksakan pendapatnya bahwa
al Qur’an adalah bukan makhluk yang diciptakan Allah. Orang yang
menentang ini wajib dihukum. Demikianlah antara lain cara mereka dalam
memahami Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

C. Qodariyah
1. Sejarah Munculnya Aliran Qodariyah

5
Ibid.
Qodariah diambil dari akar kata Qodaro yang memiliki arti
mampu atau berkuasa. Adapun pengertian Qodariah berdasarkan
terminologi adalah suatu aliran yang percaya bahwa manusia memiliki
kekuatan penuh atas tindakannya sendiri tanpa intervensi Tuhan.
Sejarah Qodariyah pertama di timbulkan oleh seseorang yang
bernama Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan bin Muslim Ad-Dimasyiqi
yang merupakan murid Ma’bad Al-Juhani6. Ma’bad mempelajari
paham Qodariah ini dari seorang yang berasal dari Irak bernama
Susan(Sus). Semula, Sus beragama Kristen kemudian masuk Islam
dan akhirnya kembali lagi ke agama Kristen.
2. Ajaran Qoadriah
Ajaran Qodariyah ini berpendapat bahwasanya manusia mempunya
kemerdekaan dan kebebasanya tersendiri dalam menentukan hidupnya
atau perbuatan perbuatanya tersebut atas kehendaknya sendiri. Allah
tidak mempunyai hubungan dengan perbuatan manusia. Allah hanya
melihat dan memperhatikannya saja apa yang di perbuat oleh manusia,
jika manusia berbuat baik maka ia akan diberi pahala, karena ia telah
memakai qudrat yang diberikan Allah dengan sebaik baiknya. Akan
tetapibila qudrat itu tidak dijalankan sebaik-baiknya, maka ia akan
mendapatkan hukuman yang setimpal.
Namun demikian, secara alamiah manusia tetap mempunyai takdir
yang tidak dapat diubah. Misalnya, dia tidak akan pernah diberikan
sayap untuk terbang. Manusia hanya dibekali daya untuk untuk
mengembangkan pemikiran sehingga dapat menghasilkan hukum
alam tersebut dengan membuat pesawat terbang. Seperti ayat al
Qur’an dalam surat Ar-Ra;d ayat 11:

‫اِ َّن ال ٰلّهَ اَل يُغَِّيُر َما بَِق ْوٍم َحىّٰت يُغَِّيُر ْوا َما بِاَْن ُف ِس ِه ۗ ْم‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu


kaum sehingga mereka mengubah sesuatu yang ada pada diri mereka".

6
Lihat al-A’lam, az-Zarkali, vol. V, hal. 124.
Dalam paham ini manusia bebas atas tingkah lakunya, ia berbuat
atas tingkah lakunya sendiri dan kehendaknya sendiri, perbuatan baik
maupun buruk. Paham qodariyah ini telah mengetahui bahwasannya
manusia telah di tentukan dalam perbuatan perbuatan Nya sejak
zaman Azali.
D. Kesimpulan
Kedua paham ini mempunyai perbedaan dari setiap
golongan, Mu’tazilah menyatakan bahwa perbuatan manusia yang
baik diciptakan Allah, sedangkan yang buruk diciptakan manusia
sendiri. Sedangkan menurut Qodariah, perbuatan baik atau buruk
tidak diciptakan oleh Allah, melainkan perbuatan manusia itu sendiri.
Meski begitu, sebagian golongan Qodariah juga ada yang mengikuti
pemikiran Mu’tazilah.

Anda mungkin juga menyukai