( konsep as-saiah wa al ashlah, konsep Al-Qu’an adalah mahluk dan ketidak kekalanya,
konsep mu’jizat Al- Qur’an hanya pada isinya, konsep hukum alam naturalisme atau
sunnatulloh, konsep ketidak kekalan surga dan neraka, doktrrin lima ajaran dasar atau al-
Ushul al-Khomsah)
Dosen pengampu :
Kelompok VI
1
Salah satu dari dialog yang terjadi antara Gubernur Irak Ishaq ibn Ibrahim dengan Ahmad ibn
Hambal sebagai berikut:
Ishaq ibn Ibrahim : Apakah Alquran itu suatu makhluk?
Ahmad ibn Hambal : Alquran itu Kalam Allah.
Ishaq ibn Ibrahim : Apakah suatu makhluk?
Ahmad ibn Hambal : Kalam Allah, dan saya tidak hendak menambah
lebih dari itu.
Ishaq ibn Ibrahim : Apakah pengertian Allah Maha Mendengar dan
Maha Melihat
Ahmad ibn Hambal : Seperti yang dimaksudkan Allah dengan sifat
diri-Nya Itu
Ishaq ibn Ibrahim : Apa pengertiannya?
Ahmad ibn Hambal : Saya tidak tahu. Allah lebih Maha Tahu akan
sifat diri-Nya2
Demikianlah bahwa Ahmad ibn Hambal dan beberapa yang lainnya tidak mengakui
kemakhlukan Alquran dan akhirnya dijebloskan ke penjara masa al-Makmun. Sampai pergantian
pemerintahan masa al-Mu’tasim (833-842 M) beliau masih mendekam di penjara. Kemudian
Ahmad ibn Hambal dibebaskan ketika pemerintahan al-Mu’tasim mulai goyah dan mengalami
kekacauan di dalam negeri sekaligus dihapuskannya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.
Menurut Mu’tazilah
Persaoalan mengenai apakah Alquran itu makhluk atau tidak bermula dari pendapat
Mu’tazilah tentang apakah Allah itu memiliki sifat atau tidak. Sedangkan pendapat tentang
apakah Allah itu memiliki sifat atau tidak berawal dari pemahaman tentang ke-tauhid-an (ke-
Esa-an) Allah. Sebab itu penulis di sini secara singkat akan menguraikannya satu per satu,
sebelum sampai kepada pemahaman Mu’tazilah tentang kemakhlukan Alquran.
2
Keesaan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah dalam pandangan al-Qadi Abd. Al-Jabbar,
adalah pengetahuan dan pengakuan terhadap Tuhan bahwa tidak satupun yang mampu
menyerupai sifat-sifat-Nya. Pengetahuan dan pengakuan ini merupakan dua syarat yang tidak
dapat dipisahkan dan harus benar-benar muwahhid (menyatu). Seseorang mengetahui Tuhan
dalam hal yang bersamaan ia tidak mengakuinya, maka ia belum dapat digolongkan kepada
orang yang mentauhidkan Tuhan dalam pengertian yang sesungguhnya. Dalam prinsip al-
tauhid menurut Mu’tazilah, Tuhan merupakan zat yang unik, tiada yang setara dengan-Nya.
Faham-faham yang membuat Tuhan tidak unik lagi seperti adanya antropomorphisme,
adanya yang qadim selain Tuhan, mereka menolaknya dengan keras.
Secara spesifik interpretasi Mu’tazilah dalam memahami prinsip ajaran al-Tauhid
adalah sebagai berikut:
a. Tauhid tidak mungkin (mustahil) dapat dilihat dengan mata kepala di dunia maupun di
akhirat, sebab apabila Tuhan dapat dilihat, tentu Tuhan mempunyai suatu tempat tertentu
dan arah yang jelas. . (Abd. Al-Jabbar ibn Ahmad, 1965:128 )
b. Sifat Tuhan berada di dalam esensi-Nya. Dengan kata lain, bahwa sifat Tuhan adalah sifat
yang melekat pada esensi-Nya (zat-Nya) sebagai suatu yang qadim.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Abu Huzail al-Allaf, bahwa sesungguhnya Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan-Nya, akan tetapi pengetahuan itu merupakan esensi-Nya
sendiri (zat-Nya sendiri). Tuhan Maha Kuasa dengan Kemahakuasaan-Nya dan
Kemahakuasaan-Nya itu adalah di dalam esensi-Nya. (Imam Muhammad Abu Jahrah,:141)
Dengan demikian maka semua sifat-sifat Tuhan melekat dengan esensi-Nya. Pendapat
yang memahami bahwa sifat Tuhan di luar esensi-Nya akan menimbulkan pemahaman
ta’addud al-qudama (ada beberapa yang qadim) dan pemahaman seperti ini aakn membawa
kepada kemusyrikan. (Al-Syahrastany, 1987:64)
Tentang sifat Tuhan, al-Jubbai berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, jadi
apabila Tuhan mendengar, melihat atau mengetahui adalah melalui zat-Nya, bukan dengan
selain sat ataupun sesuatu yang disebut sifat oleh kebanyakan ulama. (Harun Nasutio,
1989:45) Inilah yang dimaksud Mu’tazilah dengan nafy al-sifat.
Selanjutnya Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan:
1. Sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiyah, dan
2. Sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’liah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara
Tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak (al-iradah), Alquran (kalam), keadilan
(al-‘adl), dan sebagainya. yang disebut esensi umpamanya, wujud (al-wujud), kekekalan di
masa lampau (al-qidam), hidup (al-hayah), kekuasan (al-qudrah). Dengan demikian yang
dimaksud nafy al-sifat ialah memandang sebahagian dari apa yang disebut golongan lain
sifat, sebagai esensi Tuhan dan sebagian lagi sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan.
Sesuai dengan konsep yang menyebutkan bahwa hanya Allah yang maha qadim dan
azali, karena sifat-Nya dan esensi-Nya. Maka kelanjutan dari konsep tersebut, mereka
berpendapat bahwa Alquran itu makhluk, sesuatu yang baru (hadis) yang menempati ruang,
(Al-Syahrastany: 82) dan Alquran bukan merupakan esensi-Nya
Seperti yang telah diungkapkan di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa Alquran yang
dalam istilah teologi sering disebut kalam Allah, bukan qadim atau kekal, tetapi hadis dalam
arti baharu dan diciptakan Tuhan. Sebab, kalam adalah perkataan. Kalam atau perkataan
adalah jiwa yang membutuhkan gerakan, sementara gerakan adalah sesuatu yang baru, dan
sesuatu yang baru tidak bisa beraktifitas kecuali melalui media badan. (Al-Syahrastany:45)
Al-Nazzam memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Kalam.
Katanya, kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. (Ibnu
Taimiyah:169) Di sini, suara bersifat baharu, bukan bersifat kekal dan adalah ciptaan
Tuhan.
Dengan demikian, Mu’tazilah berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa kalam Tuhan bukanlah sifat tetapi merupakan perbuatan Tuhan. Maka
Alquran bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan. Alasan Mu’tazilah,
Alquran tersusun dari bagian-bagian yang bersifat berpermulaan tidak bisa bersifat qadim.
(Abu al-Hasan ibn Ismail al-As’ary:245)
1. Keesaan Tuhan
(At-Tauhid) Al-Quran menurut Muktazilah kedudukannya sebagai pelengkap dari
kekuatan akal manusia, menurut mereka akal mempunyai kekuatan luar biasa yang
memungkinkan melakukan empat hal penting dalam kehidupan meskipun tidak mendapatkan
bimbingan wahyu, yaitu 1) akal manusia dapat mengetahui Tuhan, 2) akal manusia bisa
berterima kasih kepada Tuhan atas apa yang diberikan Tuhan, 3) akal manusia dapat
mengetahui mana yang baik dan mana yang burukk, 4) dengan akal manusia bisa
mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan.27(Khaitunnas Jamal,2015:241)
Imam Al Asy‟ari dalam kitabnya: Maqolat al Islamiyyin, menyebutkan pengertian Tauhid
menurut Mu'tazilah sebagai berikut : Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan
jisim (benda) bukan pribadi (syahs), bukan jauhar (substansi), bukan aradl (non essential
property), tidak berlaku padanya masa. Tiada tempat baginya, tiada bisa disifati dengan sifat-
sifat yang ada pada makhluk yang menunjukkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya,
tiada melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa
digambarkan dengan akal pikiran.
Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada
yang Qodim selain- Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.28(Imam Al-
Asy‟ari,1980:156)
Dari pengertian di atas, nampak jelas bahwa pikiran-pikiran Mu'tazilah mengambil
istilah-istilah filsafat seperti syahs, jauhar, aradl, teladan (contah/idea) dan sebagainya.
Prinsip Tauhid ini dipertahankan dan diberi argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul
betul murni.
Pemahaman Tauhid di atas juga berimplkasi pada pernyataan kemakhlukan Al-Quran
sebagai konsekuensi peniadaan tajsim dan nafyus shifat karena dianggap mengotori keesaan
Allah.
Beberapa contoh pendapat Mu‟tazilah terkait konsep Tauhid pendapat Muktazilah tentang
ayat yang menunjukkan Tuhan punya tangan, tangan di sini diartikan kekuasaan dan dalam
ayat yang menunjukkan Tuhan bertempat dalam Arsy‟ diartikan bahwa Tuhan menguasai
dan sebagainya. Alasan Mu'tazilah menta‟wilkan ayat-ayat tersebut, karena apabila diartikan
secara harfiah tidak masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan
mengurangi kesucian Tuhan sendiri. oleh sebab itu di dalam menjabarkan Tuhan Yang Maha
Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif) seperti tidak berjisim, tidak berarah,
tidak berupa, tidak dan sebagainya yang pada prinsipnya tidak sama dengan sifat makhluk.
Contoh lainnya dalam masalah melihat Tuhan. dikatakan bahwa Tuhan tidak berjisim, maka
juga tidak berarah. Jika Tuhan tidak berarah, maka manusia tidak dapat melihat-Nya karena
setiap sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada pada suatu tempat atau arah, disamping
dibutuhkan beberapa syarat seperti adanya cahaya, warna dan sebagainya, dan yang demikian
itu mustahil bagi Allah. (Analiansyah,,2013:92)
5. Doktrrin lima ajaran dasar atau al-Ushul al-Khomsah, Menurut pemuka Mu‟tazilah,
Abu al-Husain al-Khayyat, seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Mu‟tazilah
kecuali jika sudah mengakui dan menerima lima dasar ajaran Mu‟tazilah (al-ushul al-
khamsah). Sehingga Mu‟tazilah adalah aliran yang mendasarkan faham keagamaan
mereka pada lima ajaran ini.
DAFTAR PUSTAKA
www.bahtiar.net
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 208 .
Yoesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, (Jakarta:
.........Pustaka Alhusna, 1982), h. 151
Abd. Al-Jabbar ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1965, h.
.........128.
Imam Muhammad Abu Jahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Dar al-Fikr, Kairo, t.t., h.
.........141.
Harun Nasution, Teologi Islam: Sejarah, Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press,
.........1986), h. 45.
Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnahj al-Nabawiyyah, (Maktabah Dar al-‘Arubah, t.t.), h. 169
Abu al-Hasan ibn Ismail al-As’ary, Maqalat al-Islamiyin wa al-Ikhtilaf al-Musallin, .........
(Costantinopel: Matba’ah al-Dawlah, 1930), h. 245
Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi, Kitab al-Ushul al-Din, (Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi,
..........1963), h. 90.
Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtisad fi al-I’tiqad, (Ankara: Ankara Universiti, 1962), h.
138-.........139.
Nizzar al-adn al-husyan ibn muhammad husayyn al-qummi al-naysaburri, tafsir ghoroib
al-........qur’an wa-raghaib al-furqon (beirud dar al-kutub al-ilmiyah,1996), 97.
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, (Jurnal Ilmu
.......Ushuluddin, Vol.12 No.1), Januari 2013.
Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN (Jakarta Press, Ciputat, Cet. 1
.......tanpa tahun.)
Syamsul Anwar, Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid Edisi Pertama,
.......September- Desember 1993, hal. 13.
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan Muktazilah,
........Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 92.
Imam Al-Asy‟ari, Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushalliin, (Dar Faraznir, 1980, cet.3),
........hal.156.
Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal An-Nur, Vol.4
........No.2, 2015, hal. 241.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966), h.22.
Zuhelmi, Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan
........Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal LIA, No.2, Desember 2013, Th XIV, hal. 128.