Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MU’TAZILAH

( konsep as-saiah wa al ashlah, konsep Al-Qu’an adalah mahluk dan ketidak kekalanya,
konsep mu’jizat Al- Qur’an hanya pada isinya, konsep hukum alam naturalisme atau
sunnatulloh, konsep ketidak kekalan surga dan neraka, doktrrin lima ajaran dasar atau al-
Ushul al-Khomsah)
Dosen pengampu :

Muhammad Endy fadlullah, M.Fil.I

Kelompok VI

Hikmatul khasanah (2022390101595)


Dewi nur laily (2022390101577)
Awaliatul hikmah (2022390101675)

FAKULTAS TARBIYAH PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY GENTENG BANYUWANGI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Membaca perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi
perpecahan mulai dari munculnya khawarij dan syiah kemudian munculah aliran Jabariyah
Qodariyah. Satu syiar yang menipu dan mengelabui orang-orang yang tidak mengerti
bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum
muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya
terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah
dan para shahabat-shahabatnya.
Tidak ada kesepakatan di antara para ahli tentang asal nama Muktazilah. Tetapi nama itu
sering dinisbahkan kepada sekelompok orang yang menganut paham teologi rasional yang
muncul setelah peristiwa perdebatan antara Hasan Al-Bashri dan Washil bin Atha‟. Di sisi
lain, masih diperdebatkan tentang siapa yang memberikan nama Muktazilah kepada Washil
dan pengikutnya, dari orang yang menentang mereka, atau mereka sendiri yang mengambil
nama itu
Banyak aliran yang muncul di sepanjang umat islam Mulai darimunculnya aliran yang
berlatar belakang politik, aliran teologi, hingga bermacam-macamaliran keilmuan Islam yang
lainnya. Beragamnya aliran ini
menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang memiliki banyak corak pemikiran, dan um
at yangdinamis; bukan umat yang bodoh dan statis yang tidak pernah mau berpikir.Dari
semua aliran yang muncul di kalangan umat Islam,banyak yang memunculkansebuah konflik
dan kontroversi dalam umat Islam sendiri. Di antaranya adalah aliran yang berkonsentrasi
dalam membahas teologi agama Islam. Salah satunya adalah Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep As-Saiah Wa Al Ashlah


Salah satu prinsip utama dalam teologi ajaran Mu'tazilah di Al-Hudzailiyah dan pengikut
Sayid Al-Murtadha, adalah ajaran tentang Al-Ashlah wal-Shalah. Konsep ini, sebagaimana
ditinjau oleh Syaikh Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun dan Goldhizer, berkaitan erat dengan
sentimen anti-pemerintah Bani Umayyah yang dianggap represif yang menggunakan ayat-
ayat Syariah di bidang aqidah seperti masalah ketuhanan. dan masalah Kalam (hermeneutika)
Al-Quran yang dianggap tidak mencerminkan kepercayaan rasional (ma'qul) dan muhtasib
(akuntabel), di mana pemahaman praktis dan idealis seperti ini umumnya menilai teks-teks
agama bukanlah tauqifi (instruksi) sebagai jalan (indikator) menuju kemakmuran yang
dicapai oleh umat Islam, kadang-kadang bahkan prinsip ini meragukan pendapat atau
pemahaman yang telah sah, dengan alasan bahwa pendapat tersebut tidak relevan untuk
mencapai nilai-nilai maslahah di antara umat Islam.
Tulisan ini hanya titik terang bagi para Mundazilah dari kelompok mana pun,
pemahaman di kalangan umat Islam umumnya didasarkan pada tradisi kenabian (as-Sunnah)
tidak selalu relevan dengan prinsip-prinsip manfaat realistis. Dalam pandangan Mu'tazilah,
ketentuan al-mashadir ash-syari'ah tidak termasuk tanggung jawab sebagai cadangan dalam
proses Istidlal di antara fuqaha (ulama syariah) dalam mencari mashlahah (masalik al-
mashlahah). Oleh karena itu, kadang-kadang didalam kalangan Muktazilah menasihati umat
Islam untuk menentukan kebajikan kebajikan dan kebenaran (al-haqq wal khhairat) tidak
hanya terpaku pada teks-teks kitab suci dan tradisi salaf tetapi juga dengan bertumpu pada
pendekatan rasionalitas ('aqliyat) dan pada saat yang sama menolak aturan hukum syariah
berdasarkan pada khitab syar'i yang tsabit (permanen)
Secara praktis, pandangan Muktazilah ini tetap merupakan aturan yang relevan ketika
berbicara dalam konteks diskusi dan wacana dinamika Islam modern. Ini merupakan
semangat penting untuk melakukan reformasi (reformasi) di mana setidaknya salah satu kubu
reformis Muslim berkisar sebagai rasionalis yang pada umumnya anti sumber yang dianggap
tradisi otoratif dan cendekiawan qaul Khalaf. Kelompok ini menganggap bahwa pendapat
para ulama mu'tazilah untuk menafsirkan Mashadir Syari'ah telah menghalangi dan menjadi
perisai bagi para ulama dan filsuf yang mencari solusi yang lebih praktis dan memenuhi
tujuan maslahah, meskipun harus menyimpang dari hukum dan aturan adat yang berasal dari
pedoman syari'ah '.
Perlu dicatat bahwa konsep Al-Ashlah wal Shalah untuk kalangan Muktazilah sebenarnya
dinilai dari kebenaran yang tidak tergantung pada teks dan tradisi kenabian, tetapi hanya
terbatas pada mekanisme narsis dan akal sehat, sehingga ketika pasal dalam agama
menganggap keberadaan ') dan kerusakan, maka itu tidak berarti secara rasional (ra'yi) yang
mutlak merupakan nilai dari sebuah kebenaran. Karena itu, bagi kalangan Muktazilah, nilai
kebenaran ditemukan dalam aturan akal sebagai rujukan dan hukum, sedangkan Al Quran
dan as-Sunnah tidak memiliki relevansi praktis dalam hal ini untuk dianggap sebagai rujukan
hukum.
Kedua, prinsip Al-Ashlah wal Shalah menilai pemahaman mayoritas Muslim tentang
kewajiban dan pedoman Islam yang tidak selalu relevan dengan prinsip nazhari, Mu'tazilah
telah keliru dalam memperlakukan hukum hanya terbatas pada artinya-apa yang tekstual dan
menjadikannya sebagai khitab dalam penentuan hukum Islam. Muktazilah menilai bahwa
bentuk pembentukan hukum Islam di kalangan kelompok tradisionalis seperti Ashab Al-
Hadits dan Atsariyah yang mengandalkan sumber-sumber kenabian tidak selalu relevan
dengan verifikasi rasional dan dapat diterima oleh hukum. Pandangan Muktazilah inilah yang
menyebabkan kontradiksi dengan konstruksi hukum syari'at di antara para ulama Hadits dan
ulama Atsariyah berdasarkan pada sumber nash otentik dan syarih.
Pandangan Al-Ashlah wal Shalah dalam pandangan Muktazilah sebagai bagian dari
paradigma Ushul telah ditentang oleh Muhammad ibn Al-Fudhali dalam buku Kifayatnya dan
'ilm Al-Kalam yang menjelaskan bahwa konsep teori ini sangatlah bertentangan. Penentuan
Al-Ashlah adalah kewajiban al-syari 'untuk menetapkan hukum syari'at yang didasarkan pada
kriteria narasi (nazhari) dan kecerdasan (' aql) dari tashih (pernyataan kebenaran) dan taqbih
(mengungkapkan kesalahan), pada dasarnya bertentangan dengan kriteria Shalah (baik) yang
tidak memerlukan hal yang lebih baik pada hal yang baik.
Ibn Qutaybah Al-Dainuri dalam buku Mukhtalifah Al-Hadits Takwil Al-Hadits juga
mengkritik konsep Al-Ashlah wal Shalah di kalangan Muktazilah dengan berpendapat bahwa
pendapat Mu'tazilah berdasarkan aturan yang mengakibatkan hal-hal yang bertentangan
dengan Ijma '), sedangkan apa yang merupakan konsesi di antara umat Islam adalah masalah
mutawatir tentang esensi Allah Swt., 'ishmah (kemaksuman) Nabi, mukjizat dan karamah,
surga neraka, hukuman mati dan sebagainya adalah hal yang penting dan didukung oleh
hukum yang otentik.
Ini menunjukkan kepada kita bahwa pandangan Muktazilah tentang Al-Ashlah wal
Shalah pada dasarnya tidak berdasarkan pada manhaj (metode) penalaran hukum yang benar
dan bahkan menghasilkan relativitas dan kontradiktif dengan syariah, sedangkan kasus-kasus
hukum Syariah yang saat ini berkembang tidak diizinkan berdasarkan pada ketidakpastian
baik dalam hal makna lafazh atau dilalah (pendalilan), selain itu beberapa di antaranya juga
bertentangan dengan Nash.

B. Konsep Al-Qu’an adalah mahluk dan ketidak kekalanya


Minhat secara bahasa berarti menguji, memeriksa, mengadili dan sebagainya. Menurut istilah,
mihnat merupakan sinonim kata “inquisition” dalam bahasa Inggris atau inkuisisi dalam bahasa
Indonesia yang berarti pemeriksaan (terhadap paham) pribadi-pribadi. (Nurcholish
Madjid,1999:208).
Sedang Mihnat Alquran dalam hal ini dihubungkan dengan pemeriksaan terhadap paham
masing-masing orang yang diperiksa (dilakukan) oleh pemerintahan al-Makmun (Daulah
Abbasiyah) pada tahun 218 H yakni memeriksa pendirian para ahli-ahli di bidang agama
mengenai masalah kalam Allah di dalam kaitannya dengan kitab suci Alquran. (Nurcholish
Madjid: 207) Atau, secara sederhana disebutkan bahwa Mihnat Alquran berbicara tentang
“Apakah Alquran itu qadim atau makhluk (baharu)”.
Peristiwa Mihnat Alqurani dimulai pada masa khalifah al-Makmun (198-218 H / 813-833 M)
dengan adanya surat beliau kepada Gubernur Ibu Kota Baghdad, Emir Ishq ibn Ibrahim ibn
Mush’ab tentang pendirian khalifah lewat mazhab resmi pemerintah (Mu’tazilah) yang
menyebutkan bahwa Alquran itu adalah makhluq dan sama sekali bukan qadim. (Yoesoef
Sou’yb, 1982: 151)
Ibnu Jarir al-Thabari (wafat 311 H / 923 M) di dalam karyanya 1. Selain menyebutkan sebagai
pendirian mazhab pemerintah yang resmi ketika itu, surat tersebut juga memerintahkan untuk
melakukan al-mihnat (pemeriksaan) terhadap keyakinan yang dianut oleh setiap pejabat dan
perubahan pemerintahan, terutama ahli hukum dan peradilan, serta tokoh-tokoh agama maupun
tokoh-tokoh masyarakat.
Instruksi itu menjelaskan bahwa orang yang mengakui Alquran bersifat qadim, dan
dengan demikian menjadi musyrik, tidak berhak mendapatkan jabatan dalam pemerintahan.
Tidak saja kepada para pejabat, kepada ahli agama, seperti Ahmad ibn Hambal juga dipaksa
untuk mengakui bahwa Alquran itu diciptakan atau makhluk.

1
Salah satu dari dialog yang terjadi antara Gubernur Irak Ishaq ibn Ibrahim dengan Ahmad ibn
Hambal sebagai berikut:
Ishaq ibn Ibrahim : Apakah Alquran itu suatu makhluk?
Ahmad ibn Hambal : Alquran itu Kalam Allah.
Ishaq ibn Ibrahim : Apakah suatu makhluk?
Ahmad ibn Hambal : Kalam Allah, dan saya tidak hendak menambah
lebih dari itu.
Ishaq ibn Ibrahim : Apakah pengertian Allah Maha Mendengar dan
Maha Melihat
Ahmad ibn Hambal : Seperti yang dimaksudkan Allah dengan sifat
diri-Nya Itu
Ishaq ibn Ibrahim : Apa pengertiannya?
Ahmad ibn Hambal : Saya tidak tahu. Allah lebih Maha Tahu akan
sifat diri-Nya2

Demikianlah bahwa Ahmad ibn Hambal dan beberapa yang lainnya tidak mengakui
kemakhlukan Alquran dan akhirnya dijebloskan ke penjara masa al-Makmun. Sampai pergantian
pemerintahan masa al-Mu’tasim (833-842 M) beliau masih mendekam di penjara. Kemudian
Ahmad ibn Hambal dibebaskan ketika pemerintahan al-Mu’tasim mulai goyah dan mengalami
kekacauan di dalam negeri sekaligus dihapuskannya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.

Pemahaman terhadap Kalam Allah


Setiap muslim mengakui bahwa Alquran itu adalah kalam Allah. Hal ini memiliki
landasan dalam Q.S. al-Taubah:6 yang berbunyi: “Jika seseorang dari kalangan musyrik itu
meminta perlindunganmu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengarkan Kalam Allah,
kemudian antarlah ia ke tempat yang aman baginya.
Tetapi keyakinan umat tersebut berhadapan dengan pertanyaan yang “sukar” untuk
dijawab, yaitu apakah Alquran itu kalam qadim atau huduts. Dalam hal ini para teolog secara
umum terbagi kepada dua pandangan besar, yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

Menurut Mu’tazilah
Persaoalan mengenai apakah Alquran itu makhluk atau tidak bermula dari pendapat
Mu’tazilah tentang apakah Allah itu memiliki sifat atau tidak. Sedangkan pendapat tentang
apakah Allah itu memiliki sifat atau tidak berawal dari pemahaman tentang ke-tauhid-an (ke-
Esa-an) Allah. Sebab itu penulis di sini secara singkat akan menguraikannya satu per satu,
sebelum sampai kepada pemahaman Mu’tazilah tentang kemakhlukan Alquran.

2
Keesaan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah dalam pandangan al-Qadi Abd. Al-Jabbar,
adalah pengetahuan dan pengakuan terhadap Tuhan bahwa tidak satupun yang mampu
menyerupai sifat-sifat-Nya. Pengetahuan dan pengakuan ini merupakan dua syarat yang tidak
dapat dipisahkan dan harus benar-benar muwahhid (menyatu). Seseorang mengetahui Tuhan
dalam hal yang bersamaan ia tidak mengakuinya, maka ia belum dapat digolongkan kepada
orang yang mentauhidkan Tuhan dalam pengertian yang sesungguhnya. Dalam prinsip al-
tauhid menurut Mu’tazilah, Tuhan merupakan zat yang unik, tiada yang setara dengan-Nya.
Faham-faham yang membuat Tuhan tidak unik lagi seperti adanya antropomorphisme,
adanya yang qadim selain Tuhan, mereka menolaknya dengan keras.
Secara spesifik interpretasi Mu’tazilah dalam memahami prinsip ajaran al-Tauhid
adalah sebagai berikut:
a. Tauhid tidak mungkin (mustahil) dapat dilihat dengan mata kepala di dunia maupun di
akhirat, sebab apabila Tuhan dapat dilihat, tentu Tuhan mempunyai suatu tempat tertentu
dan arah yang jelas. . (Abd. Al-Jabbar ibn Ahmad, 1965:128 )
b. Sifat Tuhan berada di dalam esensi-Nya. Dengan kata lain, bahwa sifat Tuhan adalah sifat
yang melekat pada esensi-Nya (zat-Nya) sebagai suatu yang qadim.

Hal ini pernah diungkapkan oleh Abu Huzail al-Allaf, bahwa sesungguhnya Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan-Nya, akan tetapi pengetahuan itu merupakan esensi-Nya
sendiri (zat-Nya sendiri). Tuhan Maha Kuasa dengan Kemahakuasaan-Nya dan
Kemahakuasaan-Nya itu adalah di dalam esensi-Nya. (Imam Muhammad Abu Jahrah,:141)
Dengan demikian maka semua sifat-sifat Tuhan melekat dengan esensi-Nya. Pendapat
yang memahami bahwa sifat Tuhan di luar esensi-Nya akan menimbulkan pemahaman
ta’addud al-qudama (ada beberapa yang qadim) dan pemahaman seperti ini aakn membawa
kepada kemusyrikan. (Al-Syahrastany, 1987:64)
Tentang sifat Tuhan, al-Jubbai berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, jadi
apabila Tuhan mendengar, melihat atau mengetahui adalah melalui zat-Nya, bukan dengan
selain sat ataupun sesuatu yang disebut sifat oleh kebanyakan ulama. (Harun Nasutio,
1989:45) Inilah yang dimaksud Mu’tazilah dengan nafy al-sifat.
Selanjutnya Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan:
1. Sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiyah, dan
2. Sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’liah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara
Tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak (al-iradah), Alquran (kalam), keadilan
(al-‘adl), dan sebagainya. yang disebut esensi umpamanya, wujud (al-wujud), kekekalan di
masa lampau (al-qidam), hidup (al-hayah), kekuasan (al-qudrah). Dengan demikian yang
dimaksud nafy al-sifat ialah memandang sebahagian dari apa yang disebut golongan lain
sifat, sebagai esensi Tuhan dan sebagian lagi sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan.
Sesuai dengan konsep yang menyebutkan bahwa hanya Allah yang maha qadim dan
azali, karena sifat-Nya dan esensi-Nya. Maka kelanjutan dari konsep tersebut, mereka
berpendapat bahwa Alquran itu makhluk, sesuatu yang baru (hadis) yang menempati ruang,
(Al-Syahrastany: 82) dan Alquran bukan merupakan esensi-Nya
Seperti yang telah diungkapkan di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa Alquran yang
dalam istilah teologi sering disebut kalam Allah, bukan qadim atau kekal, tetapi hadis dalam
arti baharu dan diciptakan Tuhan. Sebab, kalam adalah perkataan. Kalam atau perkataan
adalah jiwa yang membutuhkan gerakan, sementara gerakan adalah sesuatu yang baru, dan
sesuatu yang baru tidak bisa beraktifitas kecuali melalui media badan. (Al-Syahrastany:45)
Al-Nazzam memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Kalam.
Katanya, kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. (Ibnu
Taimiyah:169) Di sini, suara bersifat baharu, bukan bersifat kekal dan adalah ciptaan
Tuhan.
Dengan demikian, Mu’tazilah berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa kalam Tuhan bukanlah sifat tetapi merupakan perbuatan Tuhan. Maka
Alquran bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan. Alasan Mu’tazilah,
Alquran tersusun dari bagian-bagian yang bersifat berpermulaan tidak bisa bersifat qadim.
(Abu al-Hasan ibn Ismail al-As’ary:245)

C. Konsep muk’jizat al-Quran hanya pada isinnya


Kata i’jaz diambil dari kata kerja ajaza-i’jaz yang berarti melemahkan atau
menjadikan tidak mampu. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :
‫ى‬َ ‫ُأ ٰ َو ِر‬Pَ‫ب ف‬ َ ‫ َذا ْٱل‬Pَ‫ َل ٰه‬P‫ت َأ ْن َأكُونَ ِم ْث‬
ِ ‫غُرا‬ ُ ‫ ْز‬P‫ َو ْيلَت ٰ َٓى َأع ََج‬Pَ‫ا َل ٰي‬Pَ‫ض لِي ُِريَ ۥهُ َك ْيفَ ي ٰ َُو ِرى َسوْ َءةَ َأ ِخي ِه ۚ ق‬
ِ ْ‫ث فِى ٱَأْلر‬
ُ ‫ث ٱهَّلل ُ ُغ َرا ۭبًا يَ ْب َح‬
َ ‫فَبَ َع‬
ٰ
َ‫َسوْ َءةَ َأ ِخى ۖ فََأصْ بَ َح ِمنَ ٱلنَّ ِد ِمين‬
Artinya: ”….mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini” (Al-Maidah:31)
          
Lebih jauh lagi, Al-Qaththan mendefinisikan i’jaz dengan ”memperlihatkan kebenaran
Nabi SAW atas pengakuan kerasulannya, dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab
dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur’an”. Sedangkan pelakunya
(yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat
menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mukjizat.
 Dalam hal ini mukjizat didefinisikan oleh para pakar agama islam sebagai ”suatu hal
atau peristiwa luara biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti
kenabiannya, sebagai tantangan bagi orang yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan
hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan.
Sedangkan Al-Qathan (dalam Rosihon Anwar, 2000:11) menyimpulkan bahwa
”Mukjizat itu merupakan suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur
tantangan,dantidakakandapatditandingi”.
Jadi menurut Hamzah (2003) mendefinisikan bahwa ”i’jaz Al-Qur’an adalah ilmu Al-Qur’an
yang membahas kekuatan susunan lafal dan kandungan Al-Qur’an, sehingga dapat
mengalahkan ahli-ahli Bahasa Arab, dan ahli-ahli lainnya.”
 Pada hakikatnya ,al-qur’an itu mukjizat dengan segala makna yang dibawakan dan
dikandung oleh lafaz-lafaznya.
Ia mukjizat lafaz-lafaz dan uslubnya. Satu huruf daripadanya yang berada pada
tempatnya merupakan suatu mukjizat ynga diperlukan oleh yang lainnya dalam ikatan kata,
suatu kata yang berada pada tempatnya juga merupakan mukjizat dalam ikatan kalimat, dan
suatu kalimat yang ada ditempatnya pun merupakan mukjizat dalam jalinan surah.
         Ia mukjizat dalam hal bayyan (penjelasan,retorika) dan nazam (jalinan-nya).
Didalamnya seorang pembaca akan menemukan gambaran hidup bagi kehidupan, alam dan
manusia. Ia adalah mukjizat dalm makna-maknanya yang telah menyingkapkan tabir hakikat
kemanusiaan dan misinya di dalam bumi ini.
           Ia mukjizat dengan segala ilmu dan pengetahuan yang sebagian besar haikatnya yang
ghaib telah diakui dan dibutikan oleh ilmu pengetahuan modern.
           Ia mukjizat dalam tasyri’ dan pemeliharaannya terhadap hak-hak asasi manusia serta
dalam pembentukan masyarakat teladan yang ditangannya dunia akan bahagia.[1]
           Dapat disimpulkan dengan keterangan diatas kemukjizatan al-qur’an terus tetap belaku
hingga sepanjang zaman dan apa yang diungkapkan secara global atau diisyaratkan oleh al-
qur’an itu sendiri. Dengan demikian, al-qur’an tetap merupakan mukjizat bagi seluruh umat
manusia.
D. Konsep Hukum Alam Atau Naturalisme / Sunnatulloh
Seluruh yang diciptakan Tuhan disebut makhluk, sedang Tuhan yang menciptakan
disebut dengan Khalik (.khalik) Seluruh agama di dunia meyakini bahwa allah sang maha
pencipta yang berada di luar jangkauan nalar manusia. Allah diyakini sebagai pencipta
seluruh manusia baik fisik maupun non fisik. Dalam konse penciptaan hanya dikenal dua
istilah yaitu alam sebagai yang diciptakan (makhluk) dan Allah sebagai Pencipta (Khalik.)
Alam adalah ciptaan Allah, maka alam merupakan makhluk yang berbeda esensi, sifat dan
karakternya dari Sang Pencipta (Khalik).
Dalam kamus al munjid fi al-lughoh wa al-a’’lam dijelaskan bahwa alam berasal dari
bahasa Arab dengan bentuk singular (mufrad) dari kata a’lam , sedang bentuk pluralnya
(jam‘) dari a’lam adalah awwalin dan alamun . Seluruh kata tersebut memiliki arti yang sama
yaitu seluruh makhluk atau segala sesuatu selain Allah beberapa ensiklopedi menjelaskan
secara etimologis bahwa segala sesuatu selain Pencipta adalah al-a’lam. Label al-a’lam
disematkan kepada seluruh makhluk yang ada tanpa membedakan ciptaan itu berakal atau
tidak.
Nizzamudin al qummi al naysaburri ketika menjelaskan pengertian al-alam memulainya
dengan menjelaskan bahwa al-wujud (sesuatu yang ada) itu terdiri dari dua yaitu :wajib al-
wujud yaitu Allah dan mumkin al-wujud yaitu sesuatu yang ada selain Allah yang disebut
dengan al-alam (alam.) Alam dibagi kepada tiga bagian; yang pertama dapat dibagi yang
disebut dengan al-jism, atau yang tidak dapat dibagi yaitu al-jawhar DOIDUG̟ (atom.) Al-
jism ada yang tinggi dan ada yang rendah; yang tinggi seperti langit yang terdapat di
dalamnya al-arsy, al-qursy, al-sidrah, al-muntaha, al-lawah, al-jannah, sedang yang rendah
seperti bumi dengan air, udara, api, sedang ketiga adalah ruh seperti malaikat dan jin.(nizzam
a-din, 1996:97).
Satu-satunya sumber yang mengatakan bahwa al-alam hanya diperuntukkan bagi
makhluk yang berpikir seperti jin, setan, manusia dan malaikat adalah bersumber dari ,ibn
abbas endapat ibn abbas juga di rujuk kepada ikrimah,sayan al-sawari, mujahid fara’, dan abu
ubaydah.(al-qummi, 135)
Dalam perkembangan pembahasan tentang hukum alam dan naturnya sebagian penulis
teologi Islam di Indonesia menggunakan istilah baru yaitu kaata sunnatullah. Kata
sunnatullah (kata sunnatulloh) oleh sebagian pemikir ini dianggap sebagai entitas yang
similar dengan sistem yang berlaku di alam semesta. Pembahasan tentang sunnatullah seperti
yang dilakukan di Indonesia tidak ditemukan dalam buku-buku teologi klasik. Istilah hukum
alam dan sunnatullah yang menjadi pembahasan penulis teologi di Indonesia merupakan
persoalan khas Indonesia saja. Tetapi menariknya pembahasan tentang hukum alam dan
sunnatullah selalu dikaitkan dengan aliran teologi klasik terutama mu’tazilah dan asyi’ariyah
seakan-akan para teolog klasik terlibat aktif dalam pembahasan tentang sunnatullah.
Berangkat dari ungkapan diketahui bahwa hukum alam disebut oleh penulis teologi di
Indonesia dengan sunnatullah yang sifatnya statis dan tidak akan pernah berubah. Hukum
alam yang statis ini disandarkan kepada ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang sunnatullah
yang memang tidak akan ada perubahannya.(Sirrajudin Jar,163).
Salah satu dampak dari menyamakan pengertian sunnatullah yang disebut dalam Al-
Qur’an dengan hukum alam yang di pahami oleh sains adalah menjadikanya alam denangan
segala atribut yang disandangnya bersifat statis, kaku, stagnan dan tidak berubah seperti yang
disebutkan Al-Qur’an di atas tentang ayat-ayat sunnatullah. Pemahaman seperti ini,
dipastikan akan membentur tiang besar ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang sesuai
perkembangan fenomena alam itu sendiri. .(Sirrajudin Jar,165).
Konsep sunnatullah yang dikembangkan para penulis teologi Indonesia yang dianggap
sama dengan hukum alam, perlu mendapat penjelasan dari berbagai aspeknya. Konsep itu
harus dianalisis dengan pendekatan sains, tafsir, bahasa dan pendapat para teolog klasik, agar
ditemukan kesamaan antara kebenaran ilmu dan Al-Qur’an tanpa adanya usaha seperti ini,
dikhawatirkan terulangnya kasus para teolog Kristen dengan para ilmuwan yang masing-
masing berada di dua tebing yang berjauhan. Para teolog Kristen memertahankan
pengetahuan berdasarkan dogma-teologis, sementara para ilmuwan berusaha memahami dan
menafsirkan alam sesuai dengan realitas dan tabiat alam itu sendiri tanpa terikat dengan
dogma (non faith based.) (Rizal muntasir dan Misnal munir,2 adn 70)
Jika para penulis teologi Islam tidak berusaha mencari titik temu dogma teologisnya dengan
perkembangan sains maka akan terjadi pereduksian universalitas al-qur’an sehingga jauh
dari kebenaran ilmiah. Dengan demikian teologi berubah fungsi dari metode logisanalitis
dalam memahami ajaran pokok aqidah
Menjadi seperangkat dogma transenden yang tidak memiliki akar dan realitas dalam
kehidupan nyata yang profan.
Berangkat dari realitas dan dinamiaka yang ada, tulisan ini akan memberikan pemahaman
yang komprehensif tentang pengertian sunnatullah dan hukum alam baik dari sisi sains
maupun dari informasi al-qur’an kemudian juga akan melihat persamaan atau perbedaan
antara keduanya, apakah sunnatullah yang disebut dalam al-qur’an di maksudkan hukum
alam? Apakah alam dan segala hukum yang melekat dengannya berlaku absolut, statis dan
tidak mengalami perubahan gradual sehingga tidak memungkinkan perkembangan ilmu
pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan di atas membutuhkan jawaban dari para penulis teologi,
terutama di Indonesia agar pembahasan teologi tentang alam sejalan dengan pembahasan
tentang alam itu sendiri yang dilakukan oleh para saintis. Sejauh ini ada indikasi kedua istilah
ini memiliki maksud dan makna yang berbeda. Perbedaan ini pada akhirnya menuntut
reformulasi dan rekonstruksi pemahaman teologi terutama tentang pengertian hukum alam
dan sunnatullah yang selama ini telah menjadi pemahaman elementer para pengaji dan
penulis teologi di Indonesia.(Dar al kutub a-ilmmiyah,1996:52)

E. Doktrrin lima ajaran dasar atau al-Ushul al-Khomsah


Secara umum Muktazilah adalah kelompok yang menolak sifat azali bagi Allah
SWT yang bertujuan untuk mempertahankan konsep Tauhid mutlak bagi Allah SWT. Mereka
berpendapat seperti ini karena: Pertama, Mengcounter golongan Al-Musyabbihah dan Al-
Mujassimah yang meyerupakan Allah dengan makhluk dan menyamakan Allah dengan
makhluk. Kedua, Menolak pendapat agama Thanawi yaitu agama yang menduakan Allah
yang keduanya adalah azali dan qadim. Muktazilah berpendapat bahwa menetapkan ma‟na
(setiap yang ada pada zat dan wajib baginya dari segi hukum) akan menisbahkan dua Tuhan.
Muktazilah menafikan semua sifat Allah SWT, tetapi yang dinafikan adalah ma‟na yang
terkandung di dalam nama-nama itu yang dianggap akan membawakan penisbahan
berbilangnya qadim. Ketiga, Menolak pendapat Kristen yang menganggap bahwa Tuhan ada
oknum oknum yaitu Bapak, Anak dan Ruh Kudus. Keempat, Menolak pendapat Yahudi yang
menggambarkan Allah SWT seperti makhluk.23(syamsul anawar,1993:13)
As-Sahrastani menjelaskan beberapa faktor terjadinya perbedaan pandangan yang
menyebabkan lahirnya sekte atau golongan dalam Islam: Pertama, masalah sifat dan keesaan
Allah SWT, termasuk sifat azali-Nya, sebagian ada yang menerima atau mengakui sifat Allah
dan sebagian ada yang menolaknya.
Begitu juga tentang sifat yang wajib, mustahil dan jaiz. Masalah ini menjadi ajang
perdebatan di antara golongan Asyariyah, Karamiyah, Mujassimah dan Muktazilah. Kedua,
masalah qadha, qadar, keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat dan
masalah yang berada di luar kemampuan manusia. Masalah ini diperdebatkan oleh
Qadariyah, Najariyah, Asyariyah dan Karamiyah. Ketiga, masalah janji (wa’ad), wa’id
(ancaman) dan asma Allah. Masalah ini diperdebatkan oleh Murji‟ah, Wa‟diyah, Muktazilah,
Asyariyah dan Karamiah. Keempat, masalah wahyu, akal, kenabian dan imamah. Sebagian
golongan menyatakan imam sudah ditunjuk oleh Nabi dan sebagian yang lain menyatakan
imam harus dipilih, sementara mengenai cara penggantian imam, ada yang mengatakan
melalui penunjukan dan ada yang mengatakan melalui pemilihan. Masalah ini diperdebatkan
oleh Syiah, Khawarij, Muktazilah, Karmiyah dan Asyariyah.(Zuhelmi,2013:128)
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu‟tazilah berpegang pada premis-premis
logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat dijangkau akal. Mereka
mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap masalah yang timbul mereka hadapkan
kepada akal. Yang dapat diterima akal, mereka terima, dan yang tidak dapat diterima akal
mereka tolak.
Muktazilah sering disebut filosof Islam karena banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat
Yunani dan logika dalam menemukan landasan-landasan paham mereka. Penyebabnya adalah
karena mereka menemukan dalam filsafat Yunani, keserasian dengan kecenderungan
pemikiran mereka, kemudian mereka jadikan sebagai metode berpikir dan berargumentasi.
Dan ketika pihak dari luar Islam berusaha meruntuhkan dasar ajaran Islam dengan
argumentasi logis, Muktazilah dengan gigih menolak mereka dengan menggunakan metode
diskusi dan debat. (Mawardy Hatta,2013:94)
Menurut pemuka Mu‟tazilah, Abu al-Husain al-Khayyat, seseorang belum bisa diakui
sebagai anggota Mu‟tazilah kecuali jika sudah mengakui dan menerima lima dasar ajaran
Mu‟tazilah (al-ushul al-khamsah). (Ahmad Amin,1966:22)
Sehingga Mu‟tazilah adalah aliran yang mendasarkan faham keagamaan mereka pada lima
ajaran ini. Lima ajaran ini adalah : 1) “at-tauhid” keesaan Tuhan, 2) “al-adl” keadilan Tuhan,
3) “al-wa’du wal wa’id” janji dan ancaman 4) “al-manzilah bainal manzilatain” posisi antara
dua posisi dan 5) “amar makruf nahi mungkar” (menyuruh berbuat kebaikan dan melarang
segala kemungkaran).

1. Keesaan Tuhan
(At-Tauhid) Al-Quran menurut Muktazilah kedudukannya sebagai pelengkap dari
kekuatan akal manusia, menurut mereka akal mempunyai kekuatan luar biasa yang
memungkinkan melakukan empat hal penting dalam kehidupan meskipun tidak mendapatkan
bimbingan wahyu, yaitu 1) akal manusia dapat mengetahui Tuhan, 2) akal manusia bisa
berterima kasih kepada Tuhan atas apa yang diberikan Tuhan, 3) akal manusia dapat
mengetahui mana yang baik dan mana yang burukk, 4) dengan akal manusia bisa
mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan.27(Khaitunnas Jamal,2015:241)
Imam Al Asy‟ari dalam kitabnya: Maqolat al Islamiyyin, menyebutkan pengertian Tauhid
menurut Mu'tazilah sebagai berikut : Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan
jisim (benda) bukan pribadi (syahs), bukan jauhar (substansi), bukan aradl (non essential
property), tidak berlaku padanya masa. Tiada tempat baginya, tiada bisa disifati dengan sifat-
sifat yang ada pada makhluk yang menunjukkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya,
tiada melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa
digambarkan dengan akal pikiran.
Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada
yang Qodim selain- Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.28(Imam Al-
Asy‟ari,1980:156)
Dari pengertian di atas, nampak jelas bahwa pikiran-pikiran Mu'tazilah mengambil
istilah-istilah filsafat seperti syahs, jauhar, aradl, teladan (contah/idea) dan sebagainya.
Prinsip Tauhid ini dipertahankan dan diberi argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul
betul murni.
Pemahaman Tauhid di atas juga berimplkasi pada pernyataan kemakhlukan Al-Quran
sebagai konsekuensi peniadaan tajsim dan nafyus shifat karena dianggap mengotori keesaan
Allah.
Beberapa contoh pendapat Mu‟tazilah terkait konsep Tauhid pendapat Muktazilah tentang
ayat yang menunjukkan Tuhan punya tangan, tangan di sini diartikan kekuasaan dan dalam
ayat yang menunjukkan Tuhan bertempat dalam Arsy‟ diartikan bahwa Tuhan menguasai
dan sebagainya. Alasan Mu'tazilah menta‟wilkan ayat-ayat tersebut, karena apabila diartikan
secara harfiah tidak masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan
mengurangi kesucian Tuhan sendiri. oleh sebab itu di dalam menjabarkan Tuhan Yang Maha
Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif) seperti tidak berjisim, tidak berarah,
tidak berupa, tidak dan sebagainya yang pada prinsipnya tidak sama dengan sifat makhluk.
Contoh lainnya dalam masalah melihat Tuhan. dikatakan bahwa Tuhan tidak berjisim, maka
juga tidak berarah. Jika Tuhan tidak berarah, maka manusia tidak dapat melihat-Nya karena
setiap sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada pada suatu tempat atau arah, disamping
dibutuhkan beberapa syarat seperti adanya cahaya, warna dan sebagainya, dan yang demikian
itu mustahil bagi Allah. (Analiansyah,,2013:92)

2. Keadilan Tuhan (Al-Adl)


Keadilan Tuhan bagi Mu'tazilah erat hubungannya dengan keesaan Tuhan (At-Tauhid).
Kalau At-Tauhid adalah mensucikan Tuhan dari adanya persamaan dengan makhluk, maka
Al-Adl adalah mensucikan Tuhan dari perbuatan dhalim. Keadilan Tuhan adalah salah satu
sendi pokok setalah keesaan Tuhan dalam pokok ajaran Muktazilah. Mereka bangga
menamakan diri sebagai ahlul ‘adl wat tauhid. Meskipun seluruh kaum muslimin mengakui
bahwa Allah adalah Maha Adil, namun Muktazilah memberi penekanan khusus pada
keadilan Tuhan
Ada tiga hal pokok yang menjadi penekanan Muktazilah sehubungan dengan prinsip
keadilan yaitu: Pertama, Allah mengarahkan makhluknya kepada suatu tujuan dan bahwa
Allah menghendaki yang terbaik bagi hamba-Nya. Kedua, Allah tidak menghendaki
keburukan, maka dari itu tidak memerintahkan yang buruk. Ketiga, Allah tidak menciptakan
perbuatan hamba-Nya yang baik maupun yang buruk; manusia itu bebas dan ia menciptakan
perbuatannya dan itu menjadi dasar adanya pahala dan hukuman.
Menurut Muktazilah, Tuhan yang Maha Bijaksana tidak akan bertindak secara semena-
mena, akan tetapi dalam tindakan-Nya itu terkandung kebijaksanaan dan tujuan. Orang bijak
mungkin berbuat untuk kepentingan dirinya atau untuk kepentingan orang lain, akan tetapi
Tuhan mustahil berbuat untuk kepentingan diri-Nya sendiri karena mengejar kepentingan diri
sendiri adalah pertanda kekurangan. Oleh karena itu pastilah Tuhan berbuat baik untuk
kepentingan orang lain dalam hal ini makhluk-Nya
Maka kebaikan dan kemaslahatan makhluk adalah tujuan yang terkandung dalam
perbuatan Tuhan. Demi keadilan-Nya Allah tidak akan pernah berbuat buruk atau dzalim
terhadap makluk-Nya. Bahkan menurut suatu pandangan Muktazilah, Tuhan wajib
melakukan yang terbaik bagi hamba-Nya. (Drs. H. Achmad Ghalib, M.A,48)
Konsekuensi lanjut dari keadilan menurut Muktazilah bahwa manusia menciptakan
perbuatannya. Penegasan ini untuk menjelaskan arti tanggung jawab manusia. Menurut
mereka, tidak adil jika manusia tidak menciptakan perbuatannya sehingga Tuhan
menghukumnya atas sesuatu yang ia tidak berdaya apa apa terhadapnya. Konsekuensi
selanjutnya Muktazilah memberikan penghargaam yang tinggi kepada kemampuan manusia
dan kompetensi akalnya untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Menurut Muktazilah
baik dan buruk itu bersifat dzati (objektif), padanya terdapat suatu kualitas yang dapat
dipatoki untuk menentukan baik dan buruk. (syamsul anawar,1993:13)

3. Janji dan Ancaman (Al-Wa’du dan Al-Wa’id)


Janji dan ancaman merupakan kelanjutan dari prinsip keadilan. Mereka yakin bahwa
janji Tuhan akan memberikan pahala berupa syurga dan ancaman akan menjatuhkan siksa
yaitu neraka sebagai yang disebutkan di dalam AlQur‟an, pasti dilaksanakan karena Tuhan
sendiri sudah menjanjikan hal yang demikian itu.
Siapa yang berbuat baik akan dibalas kebaikan dan siapa yang akan berbuat jahat akan
dibalas pula dengan kejahatan. Siapa yang keluar dari dunia penuh dengan ketaatan dan
taubat, ia berhak akan pahala dan mendapatkan tempat di syurga..Sebaliknya siapa yang
keluar dari dunia sebelum taubat dari dosa besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan
diabadikan di dalam neraka. Namun demikian menurut Mu'tazilah, siksa yang diterimanya
akan lebih ringan jika dibandingkan dengan yang kafir sama sekali.

4. Posisi antara dua posisi (Al-Manzilah bainal Manzilatain)


Al-Manzilah baina al-Manzilatain merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan
Muktazilah. Ini adalah satu istilah khusus yang digunakan oleh kaum Mu‟tazilah untuk
merespon fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada masa pemerintahan
Amirul Mukmini Ali bin Abi Thalib. Yakni ketika terjadi selisih paham antara kaum khawarij
dan Murjiah menyangkut perkara kafir dan mengkafirkan orang muslim yang kedapatan telah
melakukan dosa besar (fasik).
Bagi kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa digolongkan kedalam
orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka sama saja dengan orang kafir. Atau tegasnya,
menurut kaum khawarij mereka itu adalah kafir.
Sebaliknya, menurut kelompok murjiah, sepanjang imannya masih utuh walaupun
seseorang telah melakukan kejahatan dan berdosa besar maka dia masih tetap dianggap orang
muslim. Alasan kelompok ini sederhana, bahwa urusan hati siapa yang tahu. Dan iman adalah
urusan hati. Jadi sepanjang hatinya masih beriman maka dia adalah tetap orang muslim.
Kaum Mu‟tazilah tampil ditengah-tengah mereka dengan mengatakan bahwa untuk perkara
seperti itu maka manzilah wal manziltain- lah dia. Orang yang melakukan perbuatan dosa
besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni antara kafir dan muslim. Orang yang
melakukan perbuatan fasik itu bukanlah termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan
bukan pula termasuk kedalam golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.
Doktrin inilah yang kemudian melahirkan aliran Mu‟tazilah yang digagas oleh Washil ibn
Atha. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mukmin
tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman
dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. jalan tengah
ini diambilnya dari:
1. Ayat-ayat Quran dan hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil jalan tengah
dalam segala sesuatu.
2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa ke-utamaan (fadilah) ialah jalan
tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.

5.Amar Makruf Nahi Mungkar


Ajaran ini berhubungan dengan pembinaan moral, dimana dalam membina moral umat,
Muktazilah berpendapat bahwa amar ma‟ruf nahi mungkar sebagai suatu bentuk dari kontrol
sosial wajib dijalankan. Kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau terpaksa dengan
kekerasan.(syamsul anawar,1993:13) Sejarah mencatat, Mu'tazilah pernah memakai
kekerasan dalam menyiarkan ajarannya yang menyangkut seorang ulama besar, yakni Ahmad
ibn Hambal terpaksa masuk penjara karena berbeda pendapatnya mengenai status AlQur‟an,
dalam peristiwa “Mihnah”, semacam ujian monoloyalitas bagi pejabatpejabat negara
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep As-Saiah Wa Al Ashlah Konsep ini, sebagaimana ditinjau oleh Syaikh Hasan
Hanafi, Muhammad Arkoun dan Goldhizer, berkaitan erat dengan sentimen anti-
pemerintah Bani Umayyah yang dianggap represif yang menggunakan ayat-ayat
Syariah di bidang aqidah seperti masalah ketuhanan. . Dalam pandangan Mu'tazilah,
ketentuan al-mashadir ash-syari'ah tidak termasuk tanggung jawab sebagai
cadangan dalam proses Istidlal di antara fuqaha (ulama syariah) dalam mencari
mashlahah (masalik al-mashlahah).
2. Konsep Al-Qu’an adalah mahluk dan ketidak kekalanya, Mu’tazilah berusaha
menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa kalam Tuhan bukanlah sifat
tetapi merupakan perbuatan Tuhan. Maka Alquran bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat
baharu dan diciptakan. Alasan Mu’tazilah, Alquran tersusun dari bagian-bagian yang
bersifat berpermulaan tidak bisa bersifat qadim.
3. Konsep muk’jizat al-Quran hanya pada isinnya, Dapat disimpulkan dengan keterangan
diatas kemukjizatan al-qur’an terus tetap belaku hingga sepanjang zaman dan apa
yang diungkapkan secara global atau diisyaratkan oleh al-qur’an itu sendiri. Dengan
demikian, al-qur’an tetap merupakan mukjizat bagi seluruh umat manusia.
4. Konsep Hukum Alam Atau Naturalisme / Sunnatulloh, Satu-satunya sumber yang
mengatakan bahwa al-alam hanya diperuntukkan bagi makhluk yang berpikir seperti
jin, setan, manusia dan malaikat adalah bersumber dari ,ibn abbas endapat ibn abbas
juga di rujuk kepada ikrimah,sayan al-sawari, mujahid fara’, dan abu ubaydah.

5. Doktrrin lima ajaran dasar atau al-Ushul al-Khomsah, Menurut pemuka Mu‟tazilah,
Abu al-Husain al-Khayyat, seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Mu‟tazilah
kecuali jika sudah mengakui dan menerima lima dasar ajaran Mu‟tazilah (al-ushul al-
khamsah). Sehingga Mu‟tazilah adalah aliran yang mendasarkan faham keagamaan
mereka pada lima ajaran ini.
DAFTAR PUSTAKA
www.bahtiar.net

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 208 .
Yoesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, (Jakarta:
.........Pustaka Alhusna, 1982), h. 151
Abd. Al-Jabbar ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1965, h.
.........128.
Imam Muhammad Abu Jahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Dar al-Fikr, Kairo, t.t., h.
.........141.
Harun Nasution, Teologi Islam: Sejarah, Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press,
.........1986), h. 45.
Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnahj al-Nabawiyyah, (Maktabah Dar al-‘Arubah, t.t.), h. 169
Abu al-Hasan ibn Ismail al-As’ary, Maqalat al-Islamiyin wa al-Ikhtilaf al-Musallin, .........
(Costantinopel: Matba’ah al-Dawlah, 1930), h. 245
Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi, Kitab al-Ushul al-Din, (Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi,
..........1963), h. 90.
Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtisad fi al-I’tiqad, (Ankara: Ankara Universiti, 1962), h.
138-.........139.

Nizzar al-adn al-husyan ibn muhammad husayyn al-qummi al-naysaburri, tafsir ghoroib
al-........qur’an wa-raghaib al-furqon (beirud dar al-kutub al-ilmiyah,1996), 97.

Teori Heliosentris ditemukan oleh Copernicus, sedangkan teori Geosentris dimunculkan


........oleh failasuf yunani ptomeleus. Lih. ( muntasil an misnal munir, filsafat,ilmu cet,2) hal.
.......70.

Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, (Jurnal Ilmu
.......Ushuluddin, Vol.12 No.1), Januari 2013.
Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN (Jakarta Press, Ciputat, Cet. 1
.......tanpa tahun.)
Syamsul Anwar, Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid Edisi Pertama,
.......September- Desember 1993, hal. 13.
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan Muktazilah,
........Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 92.
Imam Al-Asy‟ari, Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushalliin, (Dar Faraznir, 1980, cet.3),
........hal.156.
Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal An-Nur, Vol.4
........No.2, 2015, hal. 241.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966), h.22.
Zuhelmi, Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan
........Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal LIA, No.2, Desember 2013, Th XIV, hal. 128.

Anda mungkin juga menyukai