Anda di halaman 1dari 10

MADZHAB TAFSIR MU’TAZILI

Ida Lailatin1, Salma Khoirunnisa2, Tegar Sanjaya3

2204026024@student.walisongo.ac.id1, 2204026091@student.walisongo.ac.id2,
2204026200@student.walisongo.ac.id3
ABSTRAK

Al-Qur’an adalah mu’jizat yang masih terpelihara keasliannya dampai detik ini. Al-
Qur’an mustahil bisa difahami tanpa penjelasan dari hadis dan kemudian ditafsirkan oleh
para ulama, terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat untuk menghasilkan
sebuah pemahaman yang tidak bertentangan dengan syariat. Tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui dan menjelaskan mengenai tafsir mu’tazilah yaitu pendekatan penting dalam
tradisi penafsiran al-Qur’an yang berasal dari aliran Mu’tazilah dalam Islam pada abad ke-8
Masehi. Madzhab ini menonjolkan penggunaan akal dan rasio dalam memahami teks suci al-
Qur’an, mengutamakan analisis kritis terhadap konteks historis, linguistik, dan sosial budaya.
Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas salah satu metode dalam penafsiran yang
selalu mengunggulkan akal diatas wahyu. Metode yang digunakan adalah metode analisis isi.
Melalui pemahaman lebih dalam tentang pendekatan ini, kita dapat memperluas perspektif
tentang keragaman tradisi tafsir al-Qur’an dalam Islam, serta memahami bagaimana konteks
filosofis dan sejarah memengaruhi proses penafsiran teks suci bagi umat Muslim.

Kata Kunci: tafsir, mu’tazilah, ayat al-Qur’an

PENDAHULUAN

Al-Qur'an, sebagai sumber utama ajaran Islam, telah menjadi subjek penelitian,
refleksi, dan interpretasi sepanjang sejarah Islam. Salah satu pendekatan yang menarik dalam
memahami dan menafsirkan teks suci ini adalah melalui lensa Madzhab Tafsir Mu'tazilah.
Madzhab ini, yang berasal dari aliran Mu'tazilah dalam teologi Islam pada abad ke-8 Masehi,
menawarkan pendekatan yang unik dan berbeda dalam menafsirkan Al-Qur'an.

Madzhab Tafsir Mu'tazilah menonjolkan akal dan rasio dalam proses penafsiran Al-
Qur'an, berusaha untuk menyelaraskan pesan-pesan ilahi dengan prinsip-prinsip rasionalitas
manusia. Dalam kerangka ini, penafsiran Al-Qur'an tidak hanya dipahami secara literal, tetapi
juga melalui analisis kritis terhadap konteks historis, linguistik, dan sosial budaya.
Pendekatan ini bertujuan untuk menghindari kesalahan penafsiran yang mungkin muncul
akibat ketidaktahuan terhadap konteks asli teks suci tersebut.
Melalui makalah ini, akan diperkenalkan lebih dalam tentang Madzhab Tafsir
Mu’tazilah, sejarahnya, beberapa contoh kitab dan tokoh-tokoh yang dikenal melalui tafsir
tersebut beserta corak kitabnya, contoh penafsiran, kelebihan dan kelemahan madzhab tafsir
mu’tazilah, serta kontribusinya dalam pemahaman Al-Qur'an secara umum. Dengan
mengeksplorasi pendekatan ini, kita dapat memperluas wawasan kita tentang keragaman
tradisi interpretasi Al-Qur'an dalam Islam, serta memahami bagaimana konteks historis dan
filosofis dapat memengaruhi proses penafsiran teks suci bagi umat Muslim.

METODE PENELITIAN
Peneliti menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan sifat
kualitatif, yaitu perpustakaan merupakan sumber utama, dan objek utama penelitian adalah
buku-buku, literatur-literatur lain baik itu berupa catatan maupun laporan-laporan hasil
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian dan melakukan penelitian lebih
dari beberapa hasil membaca jurnal dan artikel. Peneliti menggunakan pendekatan historis
dengan gambaran mengomunikasikan pola penting dalam data, dengan upaya menyampaikan
isi dan pembahasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Mu’tazilah dan Cara Penafsiran
Dari segi bahasa, Mu’tazilah berasal dari akar kata "i’tizal", yang mengindikasikan
suatu kondisi kesendirian, kelemahan, keputusasaan, atau isolasi. Dalam Al-Qur'an, kata-kata
tersebut disebutkan sebanyak sepuluh kali, semuanya merujuk pada konsep menjauhi sesuatu,
yang dikenal dengan istilah al ibti’âd ‘ani al syai-i.

Secara terminologi atau istilah, sebagian ulama menjelaskan Mu'tazilah sebagai


sebuah kelompok dalam aliran Qodariyah yang bertentangan dengan pandangan umat Islam
lainnya mengenai hukum terhadap pelaku dosa besar. Kelompok ini dipimpin oleh Washil bin
Atho’ dan Amr bin Ubaid pada masa Al Hasan Al-Bashri. Mereka berasal dari kota Bashrah
di Irak pada abad ke-2 Hijriyah, berkembang sekitar tahun 105-110 H, pada masa
pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Pendiri kelompok ini adalah Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, yang dulunya
merupakan murid dari Al-Hasan Al-Bashri.1

1
A Zabidi, “Metode, Corak Dan Pendekatan Muktazilah Dalam Penafsiran Al-Qur’an,” Falsafah: Jurnal Kajian
Filsafat, Teologi dan Humaniora 6, no. 1 (2020): 16–27,
http://journal.iaisambas.ac.id/index.php/Falsafah/article/view/266.
Dalam pemikiran tafsirnya, Mu’tazilah selalu mengacu pada lima prinsip dasar yang
menjadi ciri khas mereka. Mereka menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dianggap sebagai
Mu’tazilah jika tidak mematuhi kelima prinsip tersebut. Mereka menetapkan prinsip-prinsip
dasar ini sebagai fondasi, kemudian mengembangkan doktrin Mu’tazilah di atasnya.
Selanjutnya, mereka berupaya untuk menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur'an secara
konsisten dengan prinsip-prinsip dasar tersebut. Mereka menggunakan akal secara maksimal
untuk memperkuat argumen mereka dengan dalil-dalil Al-Qur'an yang mendukung lima
prinsip dasar tersebut.2

Lima prinsip dasar atau pokok ajaran mu’tazilah tersebut dikenal dengan Al-Ushul Al-
Khamsah.

1. Al-Tauhid (Keesaan Tuhan)

Inti ajaran Mu’tazilah adalah konsep tauhid (pengesaan Tuhan), yang merupakan
prinsip utama dalam teologi Islam. Mereka menekankan bahwa Tuhan harus dianggap
sebagai satu-satunya yang sempurna dan bebas dari segala sifat yang dapat mengurangi
kemuliaan-Nya. Mu’tazilah menolak ide bahwa Tuhan memiliki atribut-atribut tertentu.
Pemikiran ini berasal dari Washil bin Atho, pendiri aliran ini, yang menolak gagasan bahwa
Tuhan memiliki sifat-sifat seperti pengetahuan, kekuasaan, kehendak, dan kehidupan, karena
menurutnya, hal itu akan menimbulkan pluralitas yang bertentangan dengan keesaan Tuhan.
Meskipun pandangan Washil ini tidak sepenuhnya diterima, sebagian besar Mu’tazilah
mengurangi atribut Tuhan menjadi dua, yaitu pengetahuan dan kekuasaan, yang kemudian
dianggap sebagai inti dari keesaan Tuhan.

Mu’tazilah menolak ide bahwa Al-Qur'an bersifat qadim. Bagi mereka, Al-Qur'an
adalah sesuatu yang baru. Mereka berpendapat bahwa jika Al-Qur'an juga bersifat qadim,
maka akan ada dua entitas yang qadim: Allah dan Al-Qur'an. Pandangan ini bertentangan
dengan keyakinan Mu’tazilah.3

2. Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)

Mu'tazilah meyakini bahwa Allah harus adil dan tidak akan bertindak tidak adil. Mereka
meyakini bahwa Allah harus membedakan antara yang benar dan yang salah, dan bahwa tidak
mungkin seseorang lolos dari hukuman atau tidak mendapatkan pahala yang seharusnya di

2
Khairunnas Jamal “Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Qur'an” An-Nur 4, no. 2 (2015): 241–259.
3
Rohidin Rohidin, “Mu’Tazilah; Sejarah Dan Perkembangannya,” EL-AFKAR : Jurnal Pemikiran Keislaman
dan Tafsir Hadis 7, no. 2 (2018): 1.
hari kiamat. Menurut Mu'tazilah, jika Allah bertindak tidak adil, itu tidak sesuai dengan sifat-
Nya yang adil.

3. Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)

Janji dan ancaman adalah konsep yang terkait erat dengan keadilan. Allah harus
memenuhi janji-Nya untuk memberikan pahala kepada hamba yang berbuat baik dan
menghukum hamba yang berbuat jahat. Melalui prinsip ini, Mu’tazilah menolak konsep
syafa'at karena dianggap dapat membahayakan prinsip keadilan Allah.

4. Al-manzilah bayn al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)

Ini adalah konsep yang menjadi dasar ajaran Mu'tazilah. Konsep ini berhubungan dengan
seorang mukmin yang melakukan dosa besar. Meskipun pendosa besar tetap beriman dan
mengakui Allah dan Nabi Muhammad, mereka tidak bisa dianggap sebagai mukmin karena
melakukan dosa besar. Namun, karena tidak mencapai status kafir, mereka tidak pantas
dihukum di neraka, tetapi juga tidak layak masuk surga karena keimanannya yang terganggu.
Konsep ini sering dikaitkan dengan orang fasiq, yang bukan mukmin namun juga bukan kafir.
Menurut Mu'tazilah, fasiq berada di antara keimanan dan kekafiran. Oleh karena itu, mereka
harus ditempatkan di luar surga dan neraka.

5. Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar (Menganjurkan Kebaikan dan


Mencegah Kemungkaran)

Mu'tazilah percaya bahwa mengajak kepada kebaikan dan melarang kemungkaran adalah
kewajiban Islam. Mereka menganggap bahwa syariat bukan satu-satunya cara untuk
menentukan kebaikan dan kemungkaran, karena sebagian akal manusia dapat mengenali baik
dan buruk secara alami.

Para pemuka dan ulama Mu’tazilah juga menggunakan berbagai metode untuk
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an agar sesuai dengan doktrin dan pemikiran mereka. Mereka
mempunyai beragam pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut. Terkadang, mereka
menggunakan pendekatan linguistik karena banyak di antara mereka yang ahli dalam bahasa,
seperti Imam Zamahkshari. Di beberapa kesempatan, mereka bahkan mengubah bacaan Al-
Qur'an yang telah diakui secara luas atau mutawatir. Namun, di antara semua metode
tersebut, konsep al-Ushul al-Khamsah tetap menjadi pijakan utama dalam setiap penafsiran.
Mu’tazilah juga dikenal sebagai kelompok yang lebih mengandalkan pemikiran rasional
dalam penafsiran mereka. Oleh karena itu, beberapa ulama mengklasifikasikan tafsir mereka
sebagai tafsir bi al-Ra'yi.4

Tafsir Mu’tazilah menampilkan pendekatan interpretatif yang tercermin dalam corak


teologisnya. Secara khusus, istilah "teologi" merujuk pada teori atau pengkajian tentang
Tuhan. Namun demikian, dalam penafsiran, Mu’tazilah mempergunakan pendekatan yang
lebih subjektif, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan identitas kelompok atau madzhab
mereka. Dengan kata lain, penafsiran mereka cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor
internal golongan atau madzhab mereka.5

Beberapa karakteristik dari tafsir Mu’tazilah adalah:


1. Menggunakan pentakwilan dan pendekatan ra’yi dalam proses penafsiran.
2. Lebih memperhatikan aspek kebahasaan dalam menghadapi ayat-ayat yang
mutasyabihat atau berkaitan dengan kedudukan Tuhan.
3. Cenderung menyimpang dari prinsip-prinsip penafsiran yang dianggap benar.
4. Menunjukkan fanatisme yang kuat terhadap keyakinan doktrin Mu’tazilah.
5. Mengandalkan pandangan ulama Mu’tazilah dalam memahami ayat-ayat Al-
Qur'an.
6. Menolak hadis Nabi yang tidak sesuai dengan doktrin mereka.
7. Bertujuan untuk memperkuat dan melegitimasi aliran teologinya sendiri.6

Di antara tokoh-tokoh utama dalam kalangan penafsir Mu’tazilah adalah:

a) Al-Qadli ‘Abdul Jabbar Bin Ahmad Al-Hamdani (meninggal tahun 415). Salah satu
karyanya yang terkenal adalah "Tanzih Al-Qur’an ‘Anil Matha’in," yang lebih dikenal
dengan nama tafsir Al-Hamdani.
b) Al-Syarif Al-Murtadha Ali Bin al-Husayn (wafat tahun 436). Karyanya yang terkenal
adalah "Amali al-Murtadah," yang lebih dikenal dengan nama tafsir Al-Murtadah.
c) Abul Qasim Muhammad bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmiy al-Hanafiy al-
Mu'taziliy (wafat tahun 538). Salah satu karyanya yang terkenal adalah "Al-Kasyaf’an

4
Muhammad Sugianto, Lukmanul Hakim, dan Khairunnas Jamal, “Metode Tafsir Mu’tazilah Terhadap Ayat-
Ayat Aqidah,” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir 5, no. 2 (2022): 201–216.

5
Zabidi, “Metode, Corak Dan Pendekatan Muktazilah Dalam Penafsiran Al-Qur’an.”

6
Wildah Nurul Islami, “Esensi dan Signifikansi Studi Tafsir Madzhabi bagi Civitas Akademika Muslim,” Risda:
Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam 6, no. 1 (2022): 17–34.
Haqa’iq Tanzil," yang lebih dikenal dengan nama tafsir Al-Zamakhsyari atau Tafsir
Al-Kasyaf.7

Tafsir Al-Kasyaf

Imam az-Zamakhsyari, yang memiliki nama lengkap Abul Qasim Muhammad bin
Muhammad bin Umar al-Khawarizmiy al-Hanafiy al-Mu'taziliy, yang disebut juga dengan
gelar Jarullah (tetangga Allah) dan Taj al-Islam (mahkota Islam), lahir pada tahun 467 H di
sebuah dusun bernama Zamakhsyar di wilayah Khurasan Turkistan. Ia menempuh pendidikan
di Bagdad dan belajar dari ulama-ulama terkemuka di sana sebelum kemudian pergi ke
Khurasan. Di sana, reputasinya semakin terkenal dan banyak ulama yang menjadi muridnya,
sehingga ia menjadi pemuka dalam berbagai cabang ilmu pada masanya.
Az-Zamakhsyari merupakan tokoh besar dalam bidang tafsir, hadits, nahwu, bahasa, dan
sastra. Di antara karyanya yang terkenal adalah Asraru al-Balagah (mengenai bahasa), al-
Mufassal (mengenai nahwu), dan Ru'usu al-Masa'il (mengenai fiqh). Namun, karyanya yang
paling monumental adalah Tafsir al-Kasysyaf an Haqa'iqit Tanzil wa Uyuni al-aqawil fi
Wujuhi at-Ta’wil, yang ditulisnya ketika tinggal di Mekkah.8

Dalam penyusunan karyanya, tafsir al-Kasyaf disusun sesuai Al-Qur'an dengan urutan
surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surah an-Nas. Pada setiap awal surahnya diawali
dengan basmallah terkecuali dalam surah at-Taubah. Dalam hal penyampaian tafsirnya,
secara garis besar bahwasanya tafsir Mu’tazilah bercirikhas teologis sebab Mu'tazilah
merupakan salah satu aliran terbesar dalam penguasaan ilmu kalam pada masanya. Metode
linguistik (ilmu tata bahasa) juga menjadi gambaran yang sering ditemui dalam tafsir
Mu’tazilah, seperti halanya tafsir al-Kasyaf, sebab imam Zamahksyari dikenal sangat
menguasai ilmu bahasa. Beliau juga menggunakan metode dialog dalam penafsiranya,
misalnya kata-kata in qulta (ketika kamu bertanya) qultu (saya menjawab) selalu dipakai
dalam hal menjawab dan menjelaskann kandungan yang terdapat di dalam ayat tersebut.
Seakan-akan terjadi pembicaraan antara sang imam dan murid-muridnya. 9 Pendapat tentang
bagaimana melihat Allah menjadi suatu masalah yang sangat nyata antara Mu’tazilah dengan
golongan yang lainnya. Pada bagian ini bisa mengetahui bahwa Mu’tazilah menggunakan
tafsir bi al-ma’sur dan penguasaan ilmu bahasa untuk keperluan suatu golongan. Secara

7
Hardivizon, Busra Febriyani, dan Hasep Saputra, “Mazahib At-Tafsir” (2019): 1–169.
8
Mu’min, Ma’mun. “Model Pemikiran Tafsir Al-Kasysyaf Karya Imam Az-
Zamakhsyari.” Hermeneutik, 2017.
9
Ma’mun Mu’min, “Model Pemikiran Tafsir Al-Kasysyaf Karya Imam Az-Zamakhsyari,” Hermeneutik, 2017.
universal Mu’tazilah menggunakan kemampuan akal fikiran sebagai sumber tafsirnya, oleh
sebabnya tafsir mereka bercirikhas dengan tafsir bi al-Ra’yi.10

Contoh penafsiran nya :

Untuk contoh penafsirannya mengambil dalam Q.S. al-An'am (6; 103) yaitu:

‫اَل ُتْد ِر ُك ُه اَاْلْبَص اُر َو ُهَو ُيْد ِر ُك اَاْلْبَص اَۚر َو ُهَو الَّلِط ْيُف اْلَخ ِبْيُر‬

"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Teliti."(Q.S Al-An'am (6): 103)11

Imam al-Zamakhsyari menerangkan didalam karyanya Tafsir Al-Kasyaf: “(Dia tidak


dapat melihat dengan mata) mata tidak mempunyai hubungannya dengan dia, dan juga tidak
dapat mencapainya, karena dia Maha Tinggi dari apa yang terlihat, dan juga karena
penglihatan hanya terkait dengan sesuatu, yang mempunyai arah seperti tubuh dan bentuk.
(Meskipun dia dapat melihat semua penglihatan itu) dialah yang melihat segala sesuatu
dengan penglihatan yang Maha Halus, dan mampu mengetahui semua sifat halus yang tidak
diketahui oleh siapa pun".12

Sedangkan contoh lain terdapat dalam QS Al-baqarah (2) :2 yaitu:

‫ٰذ ِلَك اْلِكٰت ُب اَل َر ْيَب ۛ ِفْيِهۛ ُهًدى ِّلْلُم َّتِقْيَۙن‬

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
(Q.S. AlBaqarah (2): 2)13

Penurut pemikiran Imam Al-Zamakhsyari pada ayat tersebut, bahwasanya Al-Qur'an


bukanlan sebagai hidayah bagi orang-orang yang sudah mengetahui tentang segala sesuatu,
namun yang dimaksud dengan petunjuk (hudan) di sini adalah bahwa Allah SWT
memberikan suatu petunjuk yang dimasukkan ke dalam hati-hati hamba-Nya. Apabila
memperoleh makna yang pertama, maka keharusan Allah SWT hanya akan memberikan al-
kitab (risalah), sehingga di antara mereka ada yang memperoleh suatu hidayah itu dan ada
juga di antaranya mereka yang jatuh pada suatu kedzaliman.14

10
Ahmad Zabidi, Metode, Corak dan Pendekatan Mu’tazilah dalam Penafsiran al-Qur’an, Jurnal Kajian Filsafat,
Teologi dan Humaniora, Vol. 6 No. 1 Juni 2020, hlm. 23
11
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Toha Putra Semarang, 1989), hlm. 204
12
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, (Beirut : Dar al-Marefah, 2009) hlm. 340-341
13
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Toha Putra Semarang, 1989), hlm. 8
14
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, (Beirut : Dar al-Marefah, 2009) hlm. 36
Yang telah dijekaskan diatas, menggambarkan bahwa Al-Qur'an adalah Wahyu atau
Mu'jizat yang di turunkan oleh Allah untuk diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk
umat manusia serta pedoman ke dalam hati-hati hamba-hambaNya. Seperti yang dijelaskan
oleh Imam Al-Zamakhsyari "Dan keraguan: sumber Rabbani, jika kamu ragu. Dan kebenaran
dari kecurigaan: kekhawatiran dan kekacauan diri sendiri".15
Kelebihan dan Kelemahan Madzhab Tafsir Mu’tazilah
Kelebihan tafsir mu’tazilah adalah penafsiran mu’tazilah merupakan ayat al-Qur’an
yang ditafsirkan oleh golongan yang sangat yakin akan kemampuan akalnya. Hal ini
membantu dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an secara lebih rasional dan kontekstual.
Mu’tazilah adalah golongan yang selalu menggunakan aka dan filsafat dalam masalah
teologi. Kelebihan tokoh-tokoh mu’tazilah dalam menafsirkan menggunakan pendekatan
bahasa karena sebagian dari mereka merupakan ahli dalam bidang bahasa, namun terkadang
mereka merubah bacaan al-Qur’an yang riwayatnya sudah mutawatir.16 Madzhab ini juga
cenderung melakukan analisis terhadap konteks historis, linguistik, dan sosial budaya dibalik
ayat-ayat al-Qur’an. Pendekatan ini membantu menghindari kesalahan penafsiran yang
mungkin muncul akibat ketidaktahuan terhadap konteks asli teks suci tersebut.

Sedangkan kelemahan tafsir mu’tazilah menurut imam al-Asy’ari bahwa tafsir


mu’tazilah adalah tafsir yang sesat. Menurut sang imam mu’tazilah adalah golongan yang
sangat yakin akan kemampuan akalnya, dan berusaha menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan
akal mereka.17 Karena meskipun menonjolkan penggunaan akal, manusia memiliki
keterbatasan dalam pemahaman dan penafsiran. Dan juga pendekatan yang terlalu
mengandalkan akal dan rasio saja dapat mengurangi keberadaan unsur-unsur spiritual dalam
pemahaman teks suci.

KESIMPULAN
Sejarah Madzhab Tafsir Mu’tazilah mencatat bahwa aliran ini berkembang seiring
dengan perkenbangan aliran Mu’tazilah dalam dunia Islam. Munculnya aliran ini dipiscu oleh
semangat untuk menegaskan penggunaan akal dan rasio dalam pemahaman ajaran agama,
termasuk al-Qur’an. Dalam pemikiran tafsirnya juga sudah dijelaskan bahwa mu’tazilah
memiliki 5 prinsip dasar yang menjadi ciri khas mereka. Lima prinsip dasar tersebut dikenal
dengan Al-Ushul Al-Khamsah yaitu, at-Tauhid (keesaan tuhan), al-‘Adl (Keadilan Tuhan), al-
15
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, (Beirut : Dar al-Marefah, 2009) hlm. 36
16
Sugianto, Hakim, dan Jamal, “Metode Tafsir Mu’tazilah Terhadap Ayat-Ayat Aqidah.”

17
Muhammad Husain az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Darul Hadist: 2012), Cet. 1, hlm. 320
Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), al-Manzilah bayn al-Manzilatin (tempat diantara
dua tempat), al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahwu ‘an al-Munkar (menganjurkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran.

Berdasarkan karakteristik-karakteristik yang telah disebutkan, tafsir Mu’tazilah


menunjukkan pendekatan interpretatif yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal golongan
atau madzhab mereka. Mereka menggunakan pendekatan pentakwilan dan ra’yi dalam proses
penafsiran, lebih memperhatikan aspek kebahasaan, dan cenderung menyimpang dari prinsip-
prinsip penafsiran yang dianggap benar. Dengan demikian tafsir Mu’tazilah menampilkan
pendekatan subjektif yang khas dalam menafsirkan al-Qur’an,yang lebih terkait dengan
identitas dan kebutuhan kelompok atau madzhab mereka daripada dengan pendekatan
teologis yang netral.

Kemudian dengan adanya makalah ini kita bisa mengetahui beberapa tokoh-tokoh
terkenal dengan madzhab mu’tazilah ini yaitu, Al-Qadli ‘Abdul Jabbar bin Ahmad Al-
Hamdani dengan karyanya yang terkenal adalah tafsir Al-Hamdani, Ali bin Ahmad al-Husayn
dengan karyanya tafsir Al-Murtadah, dan Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari dengan
karyanya yang terkenal adalah tafsir al-Zamakhsyari atau lebih dikenal dengan tafsir al-
Kasyaf.

Tafsir mu’tazilah memiliki kelebihan dalam pendekatan yang sangat yakin terhadap
kemampuan akal, memungkinkan pemahaman al-Qur’an secara lebih rasional dan
konstektual. Kelompok mu’tazilah menggunakan akal dan filsafat dalam penafsiran teologi,
dengan beberapa tokohnya yang membantu dalam analisis linguistik. Namun, kelemahan
tafsir mu’tazilah terletak pada kritik dari beberapa ulama yang menganggapnya sesat karena
mengandalkan terlalu banyak pada akal dan mereduksi unsur spiritual dalam pemahaman teks
suci. Meskipun menonjolkan akal, keterbatasan manusia dalam pemahaman dan penafsiran
juga menjadi kelemahan yang signifikan

DAFTAR PUSTAKA
Al-Zamakhsyari. (2009). Tafsir Al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Ma'rifah.
az-Zahabi, M. H. ( 2012). at-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Darul Hadist.
Hardivizon, Busra Febriyani, dan Hasep Saputra. “Mazahib At-Tafsir” (2019): 1–169.
Khairunnas Jamal “Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Qur'an” An-Nur 4, no. 2 (2015):
241–259.
Mu’min, Ma’mun. “Model Pemikiran Tafsir Al-Kasysyaf Karya Imam Az-Zamakhsyari.”
Hermeneutik, 2017.
Nurul Islami, Wildah. “Esensi dan Signifikansi Studi Tafsir Madzhabi bagi Civitas
Akademika Muslim.” Risda: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam 6, no. 1 (2022):
17–34.
BIBLIOGRAPHY

RI, D. A. (1989). al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Toha Putra Semarang.

Rohidin, Rohidin. “Mu’Tazilah; Sejarah Dan Perkembangannya.” EL-AFKAR : Jurnal


Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis 7, no. 2 (2018): 1.
Sugianto, Muhammad, Lukmanul Hakim, dan Khairunnas Jamal. “Metode Tafsir Mu’tazilah
Terhadap Ayat-Ayat Aqidah.” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir 5, no. 2
(2022): 201–216.
Zabidi, A. “Metode, Corak Dan Pendekatan Muktazilah Dalam Penafsiran Al-Qur’an.”
Falsafah: Jurnal Kajian Filsafat, Teologi dan Humaniora 6, no. 1 (2020): 16–27.
http://journal.iaisambas.ac.id/index.php/Falsafah/article/view/266.

Anda mungkin juga menyukai