Anda di halaman 1dari 12

Ideologi Tafsir Di Media Sosial

Yassirli Rohmatika (2130110104)


Ahmad Noor Miftachuddin (2130110116)
Institut Agama Islam Negeri Kudus, Jl. Conge Ngembalrejo, Bae, Kudus 59322
Email: yassirly.... miftachudincrew@gmail.com

Abstrak
Artikel ini dilatarbelakangi dari pemikiran bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam
sangatlah terbuka untuk ditafsirkan (multi interpertable). Masing-masing mufasir biasanya
dipengaruhi oleh ideologi, kondisi sosio-kultural di mana ia tinggaldan situasi politik yang
melingkupinya ketika menafsirkan al-Qur’an. Di samping itu, adanya kecenderungan dalam
diri seseorang mufasir untuk memahami al-Qur’an sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni,
menjadikan hasil penafsiran al-Qur’an menjadi beragam dan plural, meskipun obyek
kajiannya sebenarnya tunggal (yaitu teks al-Qur’an). Ideologi (maz\hab) keagamaan, sangat
mempengaruhi tafsir al-Qur’an. Para pengkaji al-Qur’an berusaha mencari dalil untuk
mendukung mazhabnya masing-masing, meskipun dengan cara memadukan secara terpaksa
teks (nas) alQur’an dengan pandangan mazhabnya. Mereka menafsirkannya sesuai jalan
pikirannya. Akibatnya, tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara tidak
proporsional dan disimpangkan dari makna yang sebenarnya dalam rangka mendukung
ideologi yang diyakininya. Sehingga al-Qur’an seringkali diperlakukan hanya sebagai
legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tersebut. Posisi al-Qur’an di sini sebagai obyek,
sedangkan realitas dan mufasirnya sebagai subyek sering sering terjadi pemaksaan gagasan
non qur’ani dalam penafsiran, dan sektarianisme begitu kuat mewarnai produk-produk tafsir.

Kata kunci : ideologi, penafsiran, madzhab

Abstract

This article is motivated from the thinking that the Qur’an as the Muslim holy book is open to
be interpreted (multi interpertable). Each commentator is often influenced by the ideology,
socio-cultural conditions in which he lived dan political situation that surrounded him when
interpreting the Kor’an. In addition, there is a tendency for commentators to understand the
Qur’an in accordance with the disciplines he elaborated, making the results of the
interpretation of the Koran to be diverse and plural, though the object is actually a single

1
study (text of al-Qur ‘ an). Researchers of the Qur’an seeks to support the arguments of each
sect, although by combining involuntary text (nass) of the Qur’an with a view sect. They
interpret it his way of thinking. As a result, some verses of the Koran were interpreted
disproportionately and deviated from its true meaning in order to support the ideology he
believed. So the Kor’an are often treated as legitimacy for these interests. The position of al-
Qur’an here as an object, whereas the reality and mufassir as subjects often make frequent
imposition of non qur’ani idea in the interpretation, and sectarianism was so powerful in
coloring products of interpretations

Keywords: Ideology, explanation, madzhab

Pendahuluan

Al-Qur’an sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpertable), dan masing-masing


mufasir ketika menafsirkan alQur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di
mana ia tinggal, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya.
Di samping itu, ada kecenderungan dalam diri seseorang mufasir untuk memahami al-Qur’an
sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga meskipun obyek kajiannya tunggal
(yaitu teks al-Qur’an), namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural.
Oleh karenanya, munculnya corak-corak penafsiran yang tidak dapat dihindari dalam sejarah
pemikiran umat Islam.1 Bahkan tafsir merupakan disiplin ilmu yang mendapat perhatian
khusus dari para sarjana muslim selama berabad-abad. Berbagai corak dan ragam penafsiran
mulai muncul terutama pada akhir Dinasti Umayyah dan awal Daulah Bani Abbasiyah.
Dalam sejarah peta pemikiran Islam, periode ini dikenal dengan zaman keemasan (the golden
age) Terutama pada masa khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyah, Harun ar-Rasyid (785-809 M)
yang kemudian dilanjutkan oleh al Makmun (813-830 M).

Perhatian resmi dari pemerintah dalam hal ini menjadi stimulus yang sangat
signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri. 2 Bahkan dengan adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi hingga saat ini tafsir ayat-ayat Al-Qur’an
dapat diakses bukan hanya memalui media cetak seperti kitab tafsir, namun juga dapat
diakses dalam bentuk media sosial. Adanya keberagaman tafsir media online

1
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 60
2
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi tafsir: Dari Nalar Mitis-Ideologis Hingga Nalar Kritis, Jurnal
Tashwirul Afkar. Edisi No. 18 Tahun 2004, hlm. 97.

2
mengidentikasikan bahwa masing-masing media tafsir memiliki ciri khas model dalam
penyajian tafsirnya. Adapun tulisan ini kami fokuskan pada salah satu website yang fokus
kajiannya pada dikursus Ilmu Al-qur’an dan Tafsir, yakni website tafsiralqur’an.id.

Pembahasan

A. Munculnya Ideologi dalam Penafsiran


Munculnya berbagai ideologi atau madzhab keagamaan, sangat mempengaruhi
tafsir al-Qur’an. Hal itu terjadi karena alQur’an merupakan acuan pertama bagi kaum
muslimin pendukung madzhab-madzhab tersebut. Mereka berusaha mencari dalil
untuk mendukung madzhabnya masing-masing, meskipun dengan cara memaksakan
teks (nash) al-Qur’an dengan pandangan madzhabnya. Mereka menafsirkannya sesuai
dengan jalan pikiran dan keinginan serta mena’wilkan ayat yang berbeda dengan
pendapat madzhabnya sehingga tidak tampak berlawanan dan bertentangan dengan
madzhab serta kepercayaannya. Para penganut madzhab-madzhab itu berusaha keras
untuk mempertahankan dan menyebarluaskan madzhab-madzhab itu keluar
lingkungannya sendiri dengan menggunakan berbagai macam penafsiran yang
cenderung menyimpangkan makna firman Allah sesuai dengan keinginan dan
madzhab yang mereka anut.
Di antara kelompok-kelompok madzhab itu, Mu’tazilah merupakan kelompok
yang banyak mena’wilkan ayat-ayat al-Qur’an secara tidak proporsional dan
menyimpangkan makna teks-teks al-Qur’an dari makna yang sebenarnya dalam
rangka mendukung prinsip-prinsip yang diyakininya. Sehingga al-Qur’an seringkali
diperlakukan hanya sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tersebut. Posisi
al-Qur’an di sini sebagai obyek, sedangkan realitas dan mufasirnya sebagai subyek
akibatnya sering terjadi pemaksaan gagasan non qur’ani dalam penafsiran. Pada
waktu itu telah terjadi penafsiran yang mencerminkan bias-bias ideologi tertentu,
karena masing-masing mufasir dengan latar belakang ideologi madzhab, keilmuan
dan politik, berusaha mencari justifikasi melalui ayat-ayat yang ditafsirkan. Apalagi
ketika pemerintah al-Ma’mun menjadikan madzhab teologi Mu’tazilah sebagai
madzhab resmi negara, perdebatan internal dalam satu bidang ilmu menambah
semaraknya suasana “keberpihakan” atas ide-ide tertentu.
Menurut Abdurrahman al-Akk, paling tidak ada beberapa faktor, mengapa
sebagian mufasir terjebak pada ideologis, hingga mereka tergelincir ke dalam
penyimpangan penafsiran. Pertama, tendensi yang buruk dari sebagian pemalsu

3
riwayat, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi Saw. atau sahabat untuk dijadikan
legitimasi bagi tendensi buruk mereka. Kedua, sebagaian mufasir sudah meyakini
makna tertentu dalam suatu ayat, kemudian membawanya kepada suatu penafsiran
yang sesuai dengan ideologi atau madzhab mereka. Ketiga, sebagian mufasir hanya
berpegang kepada pengertian atau makna lughawi (bahasa), tanpa memperhatikan
wacana (discourse) dan konteks kalimat pada ayat yang ditafsirkan. Keempat, relasi
kuasa (power relation), di mana penguasa tertentu melakukan intervensi terhadap
tafsir-tafsir yang dapat mem-back up legitimasi kekuasaannya.3

B. Pengaruh Idiologi atau madzhab dalam Penafsiran


Jika kita mengkaji kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para mufassir Mu’tazilah kita
dapat mengungkapkan banyak pena’wilan untuk mendukung lima prinsip yang telah
mereka sepakati dan mereka yakini:
1. Tauhid; Tauhid adalah merupakan inti akidah madzhab mereka. Mereka
membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan
sifat-sifat Allah itu adalah substansi dzat-Nya sendiri dan bahwa al-Qur’an
adalah makhluk.
2. Keadilan; Berdasarkan prinsip ini mereka membina keyakinan bahwa Allah
bukanlah yang menciptakan semua makhluk yang ada di alam ini
3. Janji dan ancaman (al-Wa’ad wa al-wa’id); Menurut keyakinan mereka, Allah
akan memberikan balasan kepada orang yang melakukan kebaikan dan
hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan yang buruk, bahwa Allah
berkewajiban memberi pahala kepada orang yang taat dan menyiksa orang
yang melakukan dosa besar. Dia tidak boleh mengampuni pelaku dosa-dosa
besar, jika dia mati sebelum bertaubat. Pemberian balasan pahaladan siksa
bersifat wajib bagi Allah.
4. Tempat di antara surga dan neraka (manzilah baina almanzilatain); mereka
berpendirian bahwa seorang muslim yang berbuat dosa besar itu bukan
mukmin dan bukan kafir, tetapi berada di suatu tempat (fasiq) dan apabila
meninggal dunia sampai belum bertaubat, maka akan masuk neraka selama-
lamanya, karena di akhirat kelak hanya terdapat dua golongan; golongan yang
masuk surga dan golongan yang masuk neraka.

3
Khalid Abdurrahmanal-‘Akk, Usul at-Tafsir wa Qawa’iduh,(Beirut: Dar an Nafa’is, 1986), hlm. 227-
228.

4
5. Amar ma’ruf nahi munkar, dalam memastikan terlaksananya prinsip ini,
mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih pandangan dengan mayoritas
umat. Mereka mengatakan bahwa amar ma’ru>f nahi munkar itu dilakukan
dengan hati saja bila itu cukup; jika tidak cukup, maka dengan lisan; jika
dengan lisan saja juga tidak cukup (tidak memberikan hasil), maka dengan
tangan;dan jika dengan tangan juga tidak cukup, maka prinsip tersebut
haruslah dilaksanakan dengan senjata. Dalam hal ini mereka tidak pandang
bulu antara penguasa dengan rakyat biasa.

Lima prinsip inilah yang telah disepakati oleh para ulama’ Mu’tazilah dan
para pendukung madzhabnya. Maka barangsiapa yang tidak berpegang pada lima
prinsip tersebut, maka dia bukanlah seorang Mu’tazilah.4

Berikut ini adalah contoh penafsiran yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu:

Penafsiran tentang ru’yatullah (melihat Tuhan) Dalam al-Qur’an terdapat dalam


QS. al-Qiyamah [75]: 22- 23 :

 ۚ‫ُو ُج ۡو ٌه َّيۡو َم ِٕٮٍذ َّناِضَر ٌةۙ  ِاٰل ى َر ِّبَها َناِظ َر ٌة‬

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada


Tuhannyalah mereka melihat”

Menurut penafsiran az-Zamakhsyari (w.1144 M), penulis tafsir al-Kasysyaf an


Haqa’iq al-Qur’an yang bercorak ideologi Mu’tazilah. Mereka menafsirkan ayat
tersebut, sesuai dengan pendapat mereka, bahwa kita tidak mungkin bisa melihat
Allah. Mereka mengatakan: “Ketahuilah, bahwa saudara-saudara kami dengan
tegas menyangkal apa yang diduga oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan
melihat Allah dengan alasan firman Allah tersebut, dengan mengajukan beberapa
alasan yang jelas. Mereka menjelaskan bahwa memandang (nadzar) itu tidak
berarti melihat, dan melihat (ru’yah) tidak merupakan salah satu maksud dari
nadzar itu.

Nadzar itu bermacam-macam, antara lain (1) menggerakkan biji mata ke arah
suatu benda untuk melihatnya, (2) menunggu, (3) simpati dan berbaik hati dan (4)
berfikir dan merenung. Mereka mengatakan: “Bila ru’yah itu tidak merupakan

4
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir (Bandung:
Pustaka, 1987), hlm. 102

5
salah satu bagian dari nadzar, berarti pendapat yang mempersamakan arti nadzar
dengan ru’yah tidak relevan dengan arti lahiriah ayat tersebut. Oleh karena itu,
kami semua berpendapat bahwa perlu dicari ta’wil ayat dengan arti lain ru’yah itu.
Sebagian diantara kami memberi pena’wilan dengan menunggu pahala meskipun
kenyataannya pahala yang ditungu itu tidak disebut dalam ayat di atas, tetapi yang
menunggu disebutkan, dan dalam adat istiadat Arab hal itu sudah biasa. Dalam
usahanya untuk membuat agar ayat itu tidak mendukung kelompok Sunni yang
mengakui adanya ru’yah, sekelompok orang Mu’tazilah memberi pena’wilan lain
yang dapat dibenarkan; bahwa nadzar yang disebut dalam ayat di atas bisa berarti
menunggu dalam hati atau melihat dengan mata kepala. Di sini ila rabbiha berarti
nikmat Tuhannya, karena ila juga berarti nikmat. Dengan demikian, ayat itu
berarti “menunggu nikmat Tuhannya” (intadzara ila ni’matillah), agar sesuai
dengan ideologi madhab Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa di akhirat Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata.5

Sementara itu, dalam teologi Sunni menyandarkan keyakinannya, bahwa


orang yang bertakwa dan berbahagia akan melihat Allah dengan mata kepala di
akhirat nanti ini sebagaimana dijelaskan dalam tafsir as-Sa’labi bahwa: firman
Allah “ila rabbiha nadzirah” diartikan oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah
bahwa ayat tersebut mencakup kemungkinan orang-orang mukmin melihat Tuhan,
tanpa perlu membayangkan bagaimana caranya, sebagaimana Allah itu diketahui
bahwa Dia itu wujud. Tidak ada yang menyerupaiNya. Demikian halnya kalau
Dia itu dapat terlihat nanti di akhirat, maka Dia tidak menyerupai makhluk yang
dapat dilihat. Sebab sesungguhnya tidak ada satupun yang menyerupai-Nya, tidak
ada Tuhan selain Dia.6

C. Ideologi Tafsir Di Situs Muslim.Or.Id Dan Islami.Co

Islah Gusmian dalam bukunya Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika


hingga Ideologi menjelaskan bahwa setiap karya tafsir jika dilihat secara
epistemologis dan arah geraknya, tidak bisa lepas dari ruang sosial di mana dan siapa
yang menulis. Disadari atau tidak, ruang sosial dengan segala problematika dan
dinamikanya akan selalu memengaruhi penafsiran dan merepresentasikan kepentingan
5
Muhammad Husein Az-Zahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an, ( Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 54-55.
6
Abdurrahman as-Sa’labi, Tafsir as-Sa’labi atau al-Jawahir al-Hisan dalam CD Maktabah Ulum al-
Qur’an wa at-Tafsir Syirkah al-Aris lil Kombuter, 2002.

6
serta ideologi yang ada.7 Penafsiran yang didasarkan pada nalar ideologis dan
fanatisme mazhab ini disebut oleh Nashr Hamid Abu Zayd yang dikutip oleh Yusuf
Fajar sebagai tafsir ideologis-tendensius. Di mana kerangka ideologi lebih
dikedepankan daripada pijakan epistemologis yang kuat terhadap kitab suci Al-
Qur’an.8 Penafsiran yang didasarkan pada nalar ideologis itu mengakibatkan Al-
Qur’an seolah-olah diperkosa menjadi objek kepentingan dan kepuasan sesaat untuk
membela kepentingan si penafsir.9

Mengutip dari tirto.id, Savic Ali selaku founder islami.co mengatakan bahwa
situs muslim.or.id masuk dalam kategori web yang berideologi ultra konservatif. Situs
web dengan kategori ini mengikuti paham salafi-wahabi yang menghendaki
pemurnian Islam. Sesuai dengan moto yang digunakan muslim.or.id yakni
‘Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah’. Untuk mengetahui apakah muslim.or.id
memang termasuk situs dengan ideologi ultra konservatif yang identik dengan paham
salafi-wahabi dapat dilihat dalam setiap postingan yang diterbitkan, Termasuk dalam
kajian tafsirnya. Dilihat dari bidang kajian tafsirnya, kebanyakan kajian tafsir di
muslim.or.id adalah kajian akidah. Dari lima belas postingan kajian tafsir akidah,
delapan di antaranya membahas tentang masalah tawasul dan syirik, tiga artikel
tentang interaksi muslim dengan non-muslim dan sisanya campur. Dilihat dari
banyaknya postingan yang membahas tentang tawasul dan bid’ah, serta interaksi
muslim dan non-muslim, nampaknya situs muslim.or.id memang memasukkan
ideologi atau manhaj salafi-wahabi dalam kajiannya. Sesuai dengan motonya
‘Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah’, manhaj salafi-wahabi juga identik
dengan pemahaman yang menebarkan ajaran pembersihan Islam dari bid’ah dan
memurnikan Islam.10

Manhaj salafi menjadi corak baru keberagamaan masyarakat Indonesia dalam


tiga dekade terakhir. Corak atau ideologi ini muncul karena pengaruh arus globalisasi
Islam dari Timur Tengah. Secara praktik dan keyakinan, ideologi ini melakukan
gerakan purifikasi Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Manhaj
7
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Dari … hlm. 293 22 Yusuf Fajar, Relasi Tafsir dan Ideologi
(Studi atas Penafsiran Ayat-Ayat Teologi dalam Tafsir Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari), Skripsi (Bandung:
UIN Sunan Gunung Djati, 2010), hlm. 9.
8
Yusuf Fajar, “Relasi Tafsir dan Ideologi (Studi atas Penafsiran Ayat-Ayat Teologi dalam Tafsir Al-
Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari), Skripsi (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2010), hlm. 9
9
Abdul Mustaqim, Episemologi Tafsir Kontemporer … hlm. 46.
10
Asep Muhamad Iqbal, “Agama dan Adopsi Media Baru: Penggunaan Internet oleh Gerakan
Salafisme di Indonesia”, Jurnal Komunikasi Indonesia, (Vol. 2, No. 2, tahun 2013), hlm. 81

7
salafi menjadi sumber ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan merujuk pada
karya Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, kitab al ‘Aqdul Wasati, at-
Tauhid dan Ushul al-Thalatsah. Paham ini dilarang melakukan ijitihad sendiri
melainkan merujuk pada sumber yang bersifat tauqifi.11

Kajian tafsir di muslim.or.id didominasi oleh pembahasan bidang akidah,


terutama dalam hal kesyirikan, bid’ah, tawasul dan interaksi dengan non-muslim.
Salah satunya terdapat pada postingan berjudul “Tafsir Surat An-Najm 19-23:
Ngalap Berkah yang Salah”. Postingan yang ditulis oleh Sa’id Abu Ukasyah tersebut
diterbitkan secara serial sebanyak lima kali. Penulis artikel tersebut seolah ingin
memberikan peringatan akan banyaknya praktik ngalap berkah yang dianggapnya
salah. Ayat tersebut berbunyi:

‫َفَر َأْيُتُم الاَّل َت َو اْلُع َّز ٰى‬

(19) Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Laata dan
al-Uzza,

‫َو َم َناَة الَّثاِلَثَة اُأْلْخ َر ٰى‬

(20) dan Manah yang ketiga (terakhir) lagi hina (sebagai anak perempuan Allah)?

‫َأَلُك ُم الَّذ َك ُر َو َلُه اُأْلْنَثٰى‬

(21) Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?

‫ِتْلَك ِإًذ ا ِقْس َم ٌة ِض يَز ٰى‬

(22) Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.

‫ِإْن ِهَي ِإاَّل َأْس َم اٌء َسَّم ْيُتُم وَها َأْنُتْم َو آَباُؤ ُك ْم َم ا َأْنَز َل ُهَّللا ِبَها ِم ْن ُس ْلَطاٍن ۚ ِإْن َيَّتِبُعوَن ِإاَّل الَّظَّن َو َم ا َتْهَو ى اَأْلْنُفُس ۖ َو َلَقْد‬
‫َج اَء ُهْم ِم ْن َر ِّبِهُم اْلُهَد ٰى‬

(23) Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu adakan;
Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak
11
Tipologi salafi di Indonesia dibagi menjadi tiga. Pertama, Salafi Puris yang menyuarakan kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dengan menghindari praktik-praktik keagamaan yang berbau syirik, bid’ah,
khurafat dan tahayul. Tipe pertama ini masih dibagi lagi menjadi tiga, Rijeksionis: menegasikan diri untuk
berorganisasi atau berpartai, Kooperatif yang terbuka dan mau bergabung dengan partai serta menerima
kebijakan pemerintah danTanzimi yang membentuk kelompok sendiri atau organisasi untuk menyurakan
dakwahnya. Kedua, Salafi Haraki. Tipe ini tidak sepaham dengan ideologi negara, namun tidak melakukan
penyerangan. Ketiga, Salafi jihadi: tipe ini tidak setuju dengan dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Paham
ini menolak dan memerangi pemerintah, seperti pemboman atas nama jihad. Lihat Irham, “Bentuk Islam
Faktual: Karakter dan Tipologi Islam Indonesia”, Jurnal el-Harakah, (Vol. 18 No. 2 tahun 2016).

8
lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu
mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka
(QS. An-Najm: 19-23).

Dalam memahami surat An-Najm ayat 19-23 tersebut, Sa’id menyebutkan


kesalahan yang dilakukan kaum musyrikin, seperti menyembah kepada selain Allah
dan menganggap ketiga sesembahan (al laata, uzza, manaah) sebagai anak-anak
perempuan Allah SWT. Tidak hanya menyebutkan kesalahan yang dilakukan kaum
musyrikin, situs ini juga memberikan pendapat terkait kesalahan ngalap berkah yang
terjadi di zaman sekarang. Muslim.or.id menuliskan pendapatnya dengan tulisan

Barang siapa bertabarruk (ngalap berkah) kepada kuburan yang dikeramatkan,


maka perbuatannya seperti orang yang bertabarruk kepada al-Laata. Barang siapa
yang bertabarruk kepada pohon yang dikeramatkan, maka perbuatannya seperti
orang yang bertabarruk kepada al-Uzza. Barang siapa yang bertabarruk kepada
batu yang dikeramatkan (patung), maka perbuatannya seperti orang yang
bertabarruk kepada Manaah.12

Selain artikel di atas, ada lagi postingan yang ditulis oleh Sa’id dan diterbitkan
lebih dari satu kali secara serial. Postingan itu berjudul ‘Tafsir Az-Zumar 38
Memutus Kesyirikan’. Postingan tersebut diterbitkan sebanyak tiga kali. Pada
postingan awal, judulnya adalah ‘Tafsir Az-Zumar 38: Tidak Boleh Berbuat Syirik’,
namun pada artikel kedua dan ketiga, judulnya berubah menjadi Tafsir Az-Zumar 38
Memutus Kesyirikan. Pada artikel ini, Sa’id ingin menjelaskan bahwa tidak ada yang
wajib disembah dan dimintai pertolongan selain Allah SWT. Mendatangkan
kemanfaatan atau menolak bahaya merupakan kekhususan Allah yang tidak ada
satupun mampu melakukannya. Barang siapa yang meminta dan mengharapkan
kepada mereka yang tidak dapat memberi kemanfaatan atau menolaknya, maka hal itu
termasuk dalam bentuk kesyirikan.

Sa’id memberikan contoh bahwa orang yang memakai jimat dan meyakininya
bahwa itu sebab yang benar, maka itu termasuk dalam bentuk kesyirirkan. Hal
tersebut dikarenakan hatinya bersandar kepada selain Allah SWT. Bahkan penulis
juga memberikan analogi dengan tulisan

12
https://muslim.or.id/29532-tafsir-surat-an-najm-19-23-ngalap-berkah-yang-salah-5.html, diakses
pada 16 Desember 2019

9
Jika ketergantungan hati kepada sebagian Nabi, Rasul dan orang-orang saleh saja
adalah sebuah kebatilan, maka lebih-lebih lagi ketergantungan dengan hati kepada
jimat, benda-benda mati, yang tidak bernyawa dan rendahan itu.13

Bukti bahwa ideologi yang muslim.or.id pegang adalah manhaj salafi-wahabi


dapat dilihat pada beberapa postingannya yang sering menuliskan tentang paham
salafi-wahabi. Salah satunya dapat dilihat pada postingan yang berjudul ‘Apa itu
Wahabi?’ yang diterbitkan pada awal-awal perkembangannya tahun 2008 lalu. Dalam
postingan tersebut, muslim.or.id menjunjung tinggi sosok Muhammad bin Abdul
Wahhab yang menjadi penggagas paham wahabi. Meski begitu, postingan tersebut
membantah bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah pembawa aliran atau
ajaran baru yang melenceng dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Justru sebaliknya, si
penulis menganggap sosok Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai orang yang
berpegang teguh dengan akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Karena buku-buku
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah
terlebih-lebih pada muslim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa
beliau tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang
dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk
beramal sesuai kitab Allah dan Sunnah Rasulnya-Nya sesuai dengan mazhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi
terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.14

KESIMPULAN

Menurut Abdurrahman al-Akk, paling tidak ada beberapa faktor, mengapa sebagian
mufasir terjebak pada ideologis, hingga mereka tergelincir ke dalam penyimpangan

13
https://muslim.or.id/29321-tafsir-az-zumar-38-3-memutus-kesyirikan.html diakses pada 16
Desember 2019.
14
https://muslim.or.id/10-apa-itu-wahabi-1.html, diakses pada 16 Desember 2019.

10
penafsiran. Pertama, tendensi yang buruk dari sebagian pemalsu riwayat, yang kemudian
dinisbatkan kepada Nabi Saw. atau sahabat untuk dijadikan legitimasi bagi tendensi buruk
mereka. Kedua, sebagaian mufasir sudah meyakini makna tertentu dalam suatu ayat,
kemudian membawanya kepada suatu penafsiran yang sesuai dengan ideologi atau madzhab
mereka. Ketiga, sebagian mufasir hanya berpegang kepada pengertian atau makna lughawi
(bahasa), tanpa memperhatikan wacana (discourse) dan konteks kalimat pada ayat yang
ditafsirkan. Keempat, relasi kuasa (power relation), di mana penguasa tertentu melakukan
intervensi terhadap tafsir-tafsir yang dapat mem-back up legitimasi kekuasaannya.

Islah Gusmian dalam bukunya Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga
Ideologi menjelaskan bahwa setiap karya tafsir jika dilihat secara epistemologis dan arah
penafsiran dan merepresentasikan kepentingan serta ideologi yang ada. Penafsiran yang
didasarkan pada nalar ideologis dan fanatisme mazhab ini disebut oleh Nashr Hamid Abu
Zayd yang dikutip oleh Yusuf Fajar sebagai tafsir ideologis-tendensius. Di mana kerangka
ideologi lebih dikedepankan daripada pijakan epistemologis yang kuat terhadap kitab suci Al-
Qur’an. Penafsiran yang didasarkan pada nalar ideologis itu mengakibatkan Al-Qur’an
seolah-olah diperkosa menjadi objek kepentingan dan kepuasan sesaat untuk membela
kepentingan si penafsir.

Mengutip dari tirto.id, Savic Ali selaku founder islami.co mengatakan bahwa situs
muslim.or.id masuk dalam kategori web yang berideologi ultra konservatif. Situs web dengan
kategori ini mengikuti paham salafi-wahabi yang menghendaki pemurnian Islam. Sesuai
dengan moto yang digunakan muslim.or.id yakni ‘Memurnikan Aqidah Menebarkan
Sunnah’geraknya, tidak bisa lepas dari ruang sosial di mana dan siapa yang menulis. Disadari
atau tidak, ruang sosial dengan segala problematika dan dinamikanya akan selalu
memengaruhi

DAFTAR PUSTAKA

11
Abdurrahman, K. (1986). Ushul At Tafsir wa Qawa'iduh . Beirut: Dar An Nafa'is.
Dzahabi, M. H. (1996). penyimpangan penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur'an . Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Dzahabi, M. H. (1996). Penyimpangan Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur'an . Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Fajar, Y. (2010). Relasi Tafsir dan Ideologi (Studi atas penafsiran ayat ayat teologi dalam
tafsir Al Kasyaf. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.
Faudah, M. B. (1987). Tafsir Tafsir Al-Qur'an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir.
Bandung: Pustaka.
Gusmian, I. (n.d.). Khazanah Tafsir dan Ideologi.
https://muslim.or.id/10-apa-itu-wahabi-1.html, diakses pada 16 Desember 2019
https://muslim.or.id/29532-tafsir-surat-an-najm-19-23-ngalap-berkah-yang-salah-5.html,
diakses pada 16 Desember 2019

https://muslim.or.id/29321-tafsir-az-zumar-38-3-memutus-kesyirikan.html diakses pada 16


Desember 2019.
Iqbal, A. M. (2013). Agama dan Adopsi Media Baru : Penggunaan Internet Oleh Gerakan
Salafisme di Indonesia . Jurnal Komunikasi Indonesia , 81.
Irham. (2016). Bentuk Islam Faktual : Karakter dan Tipologi Islam Indonesia . Jurnal el
Harakah.
Mustaqim, A. (2004). Pergeseran Epistemologi Tafsir : Dari Nalar Mitis-Ideologi Hingga
Nalar Kritis. Jurnal Tashwirul Afkar, 97.
Mustaqim, A. (2008). Pergeseran Epistemologi . Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Mustaqim, A. (n.d.). Epistemologi Tafsir Kontemporer.
Sa'labi, A. A. (2002). Tafsir As Sa'labi atau Jawahir Al Hisan .

12

Anda mungkin juga menyukai