Abstrak
Artikel ini dilatarbelakangi dari pemikiran bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam
sangatlah terbuka untuk ditafsirkan (multi interpertable). Masing-masing mufasir biasanya
dipengaruhi oleh ideologi, kondisi sosio-kultural di mana ia tinggaldan situasi politik yang
melingkupinya ketika menafsirkan al-Qur’an. Di samping itu, adanya kecenderungan dalam
diri seseorang mufasir untuk memahami al-Qur’an sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni,
menjadikan hasil penafsiran al-Qur’an menjadi beragam dan plural, meskipun obyek
kajiannya sebenarnya tunggal (yaitu teks al-Qur’an). Ideologi (maz\hab) keagamaan, sangat
mempengaruhi tafsir al-Qur’an. Para pengkaji al-Qur’an berusaha mencari dalil untuk
mendukung mazhabnya masing-masing, meskipun dengan cara memadukan secara terpaksa
teks (nas) alQur’an dengan pandangan mazhabnya. Mereka menafsirkannya sesuai jalan
pikirannya. Akibatnya, tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara tidak
proporsional dan disimpangkan dari makna yang sebenarnya dalam rangka mendukung
ideologi yang diyakininya. Sehingga al-Qur’an seringkali diperlakukan hanya sebagai
legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tersebut. Posisi al-Qur’an di sini sebagai obyek,
sedangkan realitas dan mufasirnya sebagai subyek sering sering terjadi pemaksaan gagasan
non qur’ani dalam penafsiran, dan sektarianisme begitu kuat mewarnai produk-produk tafsir.
Abstract
This article is motivated from the thinking that the Qur’an as the Muslim holy book is open to
be interpreted (multi interpertable). Each commentator is often influenced by the ideology,
socio-cultural conditions in which he lived dan political situation that surrounded him when
interpreting the Kor’an. In addition, there is a tendency for commentators to understand the
Qur’an in accordance with the disciplines he elaborated, making the results of the
interpretation of the Koran to be diverse and plural, though the object is actually a single
1
study (text of al-Qur ‘ an). Researchers of the Qur’an seeks to support the arguments of each
sect, although by combining involuntary text (nass) of the Qur’an with a view sect. They
interpret it his way of thinking. As a result, some verses of the Koran were interpreted
disproportionately and deviated from its true meaning in order to support the ideology he
believed. So the Kor’an are often treated as legitimacy for these interests. The position of al-
Qur’an here as an object, whereas the reality and mufassir as subjects often make frequent
imposition of non qur’ani idea in the interpretation, and sectarianism was so powerful in
coloring products of interpretations
Pendahuluan
Perhatian resmi dari pemerintah dalam hal ini menjadi stimulus yang sangat
signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri. 2 Bahkan dengan adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi hingga saat ini tafsir ayat-ayat Al-Qur’an
dapat diakses bukan hanya memalui media cetak seperti kitab tafsir, namun juga dapat
diakses dalam bentuk media sosial. Adanya keberagaman tafsir media online
1
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 60
2
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi tafsir: Dari Nalar Mitis-Ideologis Hingga Nalar Kritis, Jurnal
Tashwirul Afkar. Edisi No. 18 Tahun 2004, hlm. 97.
2
mengidentikasikan bahwa masing-masing media tafsir memiliki ciri khas model dalam
penyajian tafsirnya. Adapun tulisan ini kami fokuskan pada salah satu website yang fokus
kajiannya pada dikursus Ilmu Al-qur’an dan Tafsir, yakni website tafsiralqur’an.id.
Pembahasan
3
riwayat, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi Saw. atau sahabat untuk dijadikan
legitimasi bagi tendensi buruk mereka. Kedua, sebagaian mufasir sudah meyakini
makna tertentu dalam suatu ayat, kemudian membawanya kepada suatu penafsiran
yang sesuai dengan ideologi atau madzhab mereka. Ketiga, sebagian mufasir hanya
berpegang kepada pengertian atau makna lughawi (bahasa), tanpa memperhatikan
wacana (discourse) dan konteks kalimat pada ayat yang ditafsirkan. Keempat, relasi
kuasa (power relation), di mana penguasa tertentu melakukan intervensi terhadap
tafsir-tafsir yang dapat mem-back up legitimasi kekuasaannya.3
3
Khalid Abdurrahmanal-‘Akk, Usul at-Tafsir wa Qawa’iduh,(Beirut: Dar an Nafa’is, 1986), hlm. 227-
228.
4
5. Amar ma’ruf nahi munkar, dalam memastikan terlaksananya prinsip ini,
mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih pandangan dengan mayoritas
umat. Mereka mengatakan bahwa amar ma’ru>f nahi munkar itu dilakukan
dengan hati saja bila itu cukup; jika tidak cukup, maka dengan lisan; jika
dengan lisan saja juga tidak cukup (tidak memberikan hasil), maka dengan
tangan;dan jika dengan tangan juga tidak cukup, maka prinsip tersebut
haruslah dilaksanakan dengan senjata. Dalam hal ini mereka tidak pandang
bulu antara penguasa dengan rakyat biasa.
Lima prinsip inilah yang telah disepakati oleh para ulama’ Mu’tazilah dan
para pendukung madzhabnya. Maka barangsiapa yang tidak berpegang pada lima
prinsip tersebut, maka dia bukanlah seorang Mu’tazilah.4
Berikut ini adalah contoh penafsiran yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu:
Nadzar itu bermacam-macam, antara lain (1) menggerakkan biji mata ke arah
suatu benda untuk melihatnya, (2) menunggu, (3) simpati dan berbaik hati dan (4)
berfikir dan merenung. Mereka mengatakan: “Bila ru’yah itu tidak merupakan
4
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir (Bandung:
Pustaka, 1987), hlm. 102
5
salah satu bagian dari nadzar, berarti pendapat yang mempersamakan arti nadzar
dengan ru’yah tidak relevan dengan arti lahiriah ayat tersebut. Oleh karena itu,
kami semua berpendapat bahwa perlu dicari ta’wil ayat dengan arti lain ru’yah itu.
Sebagian diantara kami memberi pena’wilan dengan menunggu pahala meskipun
kenyataannya pahala yang ditungu itu tidak disebut dalam ayat di atas, tetapi yang
menunggu disebutkan, dan dalam adat istiadat Arab hal itu sudah biasa. Dalam
usahanya untuk membuat agar ayat itu tidak mendukung kelompok Sunni yang
mengakui adanya ru’yah, sekelompok orang Mu’tazilah memberi pena’wilan lain
yang dapat dibenarkan; bahwa nadzar yang disebut dalam ayat di atas bisa berarti
menunggu dalam hati atau melihat dengan mata kepala. Di sini ila rabbiha berarti
nikmat Tuhannya, karena ila juga berarti nikmat. Dengan demikian, ayat itu
berarti “menunggu nikmat Tuhannya” (intadzara ila ni’matillah), agar sesuai
dengan ideologi madhab Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa di akhirat Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata.5
6
serta ideologi yang ada.7 Penafsiran yang didasarkan pada nalar ideologis dan
fanatisme mazhab ini disebut oleh Nashr Hamid Abu Zayd yang dikutip oleh Yusuf
Fajar sebagai tafsir ideologis-tendensius. Di mana kerangka ideologi lebih
dikedepankan daripada pijakan epistemologis yang kuat terhadap kitab suci Al-
Qur’an.8 Penafsiran yang didasarkan pada nalar ideologis itu mengakibatkan Al-
Qur’an seolah-olah diperkosa menjadi objek kepentingan dan kepuasan sesaat untuk
membela kepentingan si penafsir.9
Mengutip dari tirto.id, Savic Ali selaku founder islami.co mengatakan bahwa
situs muslim.or.id masuk dalam kategori web yang berideologi ultra konservatif. Situs
web dengan kategori ini mengikuti paham salafi-wahabi yang menghendaki
pemurnian Islam. Sesuai dengan moto yang digunakan muslim.or.id yakni
‘Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah’. Untuk mengetahui apakah muslim.or.id
memang termasuk situs dengan ideologi ultra konservatif yang identik dengan paham
salafi-wahabi dapat dilihat dalam setiap postingan yang diterbitkan, Termasuk dalam
kajian tafsirnya. Dilihat dari bidang kajian tafsirnya, kebanyakan kajian tafsir di
muslim.or.id adalah kajian akidah. Dari lima belas postingan kajian tafsir akidah,
delapan di antaranya membahas tentang masalah tawasul dan syirik, tiga artikel
tentang interaksi muslim dengan non-muslim dan sisanya campur. Dilihat dari
banyaknya postingan yang membahas tentang tawasul dan bid’ah, serta interaksi
muslim dan non-muslim, nampaknya situs muslim.or.id memang memasukkan
ideologi atau manhaj salafi-wahabi dalam kajiannya. Sesuai dengan motonya
‘Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah’, manhaj salafi-wahabi juga identik
dengan pemahaman yang menebarkan ajaran pembersihan Islam dari bid’ah dan
memurnikan Islam.10
7
salafi menjadi sumber ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan merujuk pada
karya Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, kitab al ‘Aqdul Wasati, at-
Tauhid dan Ushul al-Thalatsah. Paham ini dilarang melakukan ijitihad sendiri
melainkan merujuk pada sumber yang bersifat tauqifi.11
(19) Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Laata dan
al-Uzza,
(20) dan Manah yang ketiga (terakhir) lagi hina (sebagai anak perempuan Allah)?
(21) Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?
(22) Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.
ِإْن ِهَي ِإاَّل َأْس َم اٌء َسَّم ْيُتُم وَها َأْنُتْم َو آَباُؤ ُك ْم َم ا َأْنَز َل ُهَّللا ِبَها ِم ْن ُس ْلَطاٍن ۚ ِإْن َيَّتِبُعوَن ِإاَّل الَّظَّن َو َم ا َتْهَو ى اَأْلْنُفُس ۖ َو َلَقْد
َج اَء ُهْم ِم ْن َر ِّبِهُم اْلُهَد ٰى
(23) Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu adakan;
Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak
11
Tipologi salafi di Indonesia dibagi menjadi tiga. Pertama, Salafi Puris yang menyuarakan kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dengan menghindari praktik-praktik keagamaan yang berbau syirik, bid’ah,
khurafat dan tahayul. Tipe pertama ini masih dibagi lagi menjadi tiga, Rijeksionis: menegasikan diri untuk
berorganisasi atau berpartai, Kooperatif yang terbuka dan mau bergabung dengan partai serta menerima
kebijakan pemerintah danTanzimi yang membentuk kelompok sendiri atau organisasi untuk menyurakan
dakwahnya. Kedua, Salafi Haraki. Tipe ini tidak sepaham dengan ideologi negara, namun tidak melakukan
penyerangan. Ketiga, Salafi jihadi: tipe ini tidak setuju dengan dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Paham
ini menolak dan memerangi pemerintah, seperti pemboman atas nama jihad. Lihat Irham, “Bentuk Islam
Faktual: Karakter dan Tipologi Islam Indonesia”, Jurnal el-Harakah, (Vol. 18 No. 2 tahun 2016).
8
lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu
mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka
(QS. An-Najm: 19-23).
Selain artikel di atas, ada lagi postingan yang ditulis oleh Sa’id dan diterbitkan
lebih dari satu kali secara serial. Postingan itu berjudul ‘Tafsir Az-Zumar 38
Memutus Kesyirikan’. Postingan tersebut diterbitkan sebanyak tiga kali. Pada
postingan awal, judulnya adalah ‘Tafsir Az-Zumar 38: Tidak Boleh Berbuat Syirik’,
namun pada artikel kedua dan ketiga, judulnya berubah menjadi Tafsir Az-Zumar 38
Memutus Kesyirikan. Pada artikel ini, Sa’id ingin menjelaskan bahwa tidak ada yang
wajib disembah dan dimintai pertolongan selain Allah SWT. Mendatangkan
kemanfaatan atau menolak bahaya merupakan kekhususan Allah yang tidak ada
satupun mampu melakukannya. Barang siapa yang meminta dan mengharapkan
kepada mereka yang tidak dapat memberi kemanfaatan atau menolaknya, maka hal itu
termasuk dalam bentuk kesyirikan.
Sa’id memberikan contoh bahwa orang yang memakai jimat dan meyakininya
bahwa itu sebab yang benar, maka itu termasuk dalam bentuk kesyirirkan. Hal
tersebut dikarenakan hatinya bersandar kepada selain Allah SWT. Bahkan penulis
juga memberikan analogi dengan tulisan
12
https://muslim.or.id/29532-tafsir-surat-an-najm-19-23-ngalap-berkah-yang-salah-5.html, diakses
pada 16 Desember 2019
9
Jika ketergantungan hati kepada sebagian Nabi, Rasul dan orang-orang saleh saja
adalah sebuah kebatilan, maka lebih-lebih lagi ketergantungan dengan hati kepada
jimat, benda-benda mati, yang tidak bernyawa dan rendahan itu.13
KESIMPULAN
Menurut Abdurrahman al-Akk, paling tidak ada beberapa faktor, mengapa sebagian
mufasir terjebak pada ideologis, hingga mereka tergelincir ke dalam penyimpangan
13
https://muslim.or.id/29321-tafsir-az-zumar-38-3-memutus-kesyirikan.html diakses pada 16
Desember 2019.
14
https://muslim.or.id/10-apa-itu-wahabi-1.html, diakses pada 16 Desember 2019.
10
penafsiran. Pertama, tendensi yang buruk dari sebagian pemalsu riwayat, yang kemudian
dinisbatkan kepada Nabi Saw. atau sahabat untuk dijadikan legitimasi bagi tendensi buruk
mereka. Kedua, sebagaian mufasir sudah meyakini makna tertentu dalam suatu ayat,
kemudian membawanya kepada suatu penafsiran yang sesuai dengan ideologi atau madzhab
mereka. Ketiga, sebagian mufasir hanya berpegang kepada pengertian atau makna lughawi
(bahasa), tanpa memperhatikan wacana (discourse) dan konteks kalimat pada ayat yang
ditafsirkan. Keempat, relasi kuasa (power relation), di mana penguasa tertentu melakukan
intervensi terhadap tafsir-tafsir yang dapat mem-back up legitimasi kekuasaannya.
Islah Gusmian dalam bukunya Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga
Ideologi menjelaskan bahwa setiap karya tafsir jika dilihat secara epistemologis dan arah
penafsiran dan merepresentasikan kepentingan serta ideologi yang ada. Penafsiran yang
didasarkan pada nalar ideologis dan fanatisme mazhab ini disebut oleh Nashr Hamid Abu
Zayd yang dikutip oleh Yusuf Fajar sebagai tafsir ideologis-tendensius. Di mana kerangka
ideologi lebih dikedepankan daripada pijakan epistemologis yang kuat terhadap kitab suci Al-
Qur’an. Penafsiran yang didasarkan pada nalar ideologis itu mengakibatkan Al-Qur’an
seolah-olah diperkosa menjadi objek kepentingan dan kepuasan sesaat untuk membela
kepentingan si penafsir.
Mengutip dari tirto.id, Savic Ali selaku founder islami.co mengatakan bahwa situs
muslim.or.id masuk dalam kategori web yang berideologi ultra konservatif. Situs web dengan
kategori ini mengikuti paham salafi-wahabi yang menghendaki pemurnian Islam. Sesuai
dengan moto yang digunakan muslim.or.id yakni ‘Memurnikan Aqidah Menebarkan
Sunnah’geraknya, tidak bisa lepas dari ruang sosial di mana dan siapa yang menulis. Disadari
atau tidak, ruang sosial dengan segala problematika dan dinamikanya akan selalu
memengaruhi
DAFTAR PUSTAKA
11
Abdurrahman, K. (1986). Ushul At Tafsir wa Qawa'iduh . Beirut: Dar An Nafa'is.
Dzahabi, M. H. (1996). penyimpangan penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur'an . Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Dzahabi, M. H. (1996). Penyimpangan Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur'an . Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Fajar, Y. (2010). Relasi Tafsir dan Ideologi (Studi atas penafsiran ayat ayat teologi dalam
tafsir Al Kasyaf. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.
Faudah, M. B. (1987). Tafsir Tafsir Al-Qur'an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir.
Bandung: Pustaka.
Gusmian, I. (n.d.). Khazanah Tafsir dan Ideologi.
https://muslim.or.id/10-apa-itu-wahabi-1.html, diakses pada 16 Desember 2019
https://muslim.or.id/29532-tafsir-surat-an-najm-19-23-ngalap-berkah-yang-salah-5.html,
diakses pada 16 Desember 2019
12