Anda di halaman 1dari 13

Tafsir Sektarian

Haidin Ali1, Isna Laila Rahma2, Deden Nurdin Hidayat3, Yesi Yunita Prihatini4, Intan
Fitri Susanti5, M. Alwi Fikri6
1,2,3,4,5,6
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
1
201320047.haidin@uinbanten.ac.id, 2201320048.isna@uinbanten.ac.id,
3
201320057.deden@uinbanten.ac.id, 4201320060.yesi@uinbanten.ac.id,
5
201320071.intan@uinbanten.ac.id, 6201320080.muhammad@uinbanten.ac.id

Article History: Abstract: Gejolak politik yang pernah terjadi di


Received: dalam kehidupan masyarakat terdahulu
Revised: melahirkan beberapa bentuk kelompok atau
Accepted: aliran tertentu. Akibatnya pandangan mereka
terhadap sesuatu ikut mengalami perubahan,
terutama dalam memandang Al-Qur’an. Antara
kubu masih tetap menganggap Al-Qur’an
sebagai sumber pengetahuan, hanya saja cara
menafsirkan ayat yang mereka gunakan telah
berbeda. Meski adanya perbedaan di dalam
penafsiran tersebut, namun ada satu kesamaan
di sana. Yaitu penafsiran para kubu atau
kelompok sama-sama memiliki tujuan untuk
mencari legitimasi Al-Qur’an terhadap
keyakinan dan kelompok yang mereka anut.
Dengan kata lain, mereke manjadikan Al-
Qur’an sebagai media, agar orang-orang
membenarkan kubu mereka. Hal ini disebut
dengan tafsir sektarian. Sebuah tafsir yang
muncul pada masa afirmatif (abad
pertangahan) dengan basis nalar ideologis.
Yang melibatkan takwil di dalam prosesnya.

Keywords: Tafsir Sektarian, Ideologi, Sektarianisme

1
A. Pendahuluan
Kajian terhadap Al-Qur’an bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Sejarah Islam
mengatakan bahwa kajian ini terus-menerus mengalami perkembangan yang sangat pesat
di setiap masanya. Dengan melihat hadirnya tafsir-tafsir dari berbagai macam corak,
metode, bahkan sumbernya, saat ini, telah menjadi bukti konkret akan benarnya penyataan
tersebut.
Tafsir lahir dari keinginan mufassir dalam mengungkap kandungan Al-Qur’an yang
bertujuan untuk menjawab berbagai macam persoalan di dalam kehidupan. Dalam upaya
ini, ada beberapa mufassir yang memaksa Al-Qur’an untuk melegitimasi pendapat dan
kelompok tertentu. Agar tujuannya tercapai, mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan menggunakan nalar ideologis (takwil) agar sesuai dengan golongan dan madzhab
yang dianut. Sehingga membuat orang-orang menyatakan kebenaran akan golongan
mereka.
Sejarah Islam mengatakan ada banyak aliran atau sekte yang muncul karena
perbedaan perspektif sehingga melahirkan gagasan yang berbeda-beda. Penyebab utama
timbulnya aliran-aliran ini adalah upaya untuk melakukan pembaharuan pada aliran yang
sebelumnya telah berlaku sejak lama. Adanya pembaharuan ini menghasilkan hal-hal baru
terhadap ajaran klasik yang bagi sebagian kelompok menenjadi sebuah masalah.
Disamping itu, ada pula kelompok yang setuju dan mengikutinya. Hal ini kemudian
mengakibatkan terbentuknya sebuah ajaran atau aliran baru dalam masyarakat.
B. Pembahasan
1. Istilah Tafsir Sektarian
Mengenai tafsir sektarian, bermakna menilik pada efek subjektivitas mufassir
dalam memahami dan menafsirkan sesuatu. Sang mufassir sudah dipengaruhi oleh
latarbelakang keilmuan dan ideologi tertentu, jauh sebelum ia memulai untuk
menafsirkan dan memahami teks Al-Qur’an. Yang kemudian kondisi ini dituangkan
pada usahanya dalam kegiatan penafsiran ayat Al-Qur’an. Pada saat itulah, istilah
terkenalnya disebut dengan sektarian dalam menelaah sesuatu.1
Istilah sektarianisme bukanlah hal baru dalam ilmu tafsir, penggunaannnya sudah
sangat banyak, terutama dalam ilmu-ilmu sosial dan keterpengaruhannya terhadap

1
Mawardi, “SUBJEKTIVITAS DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN: Fenomena Tafsir Bercorak Sektarian,” Jurnal At-
Tibyan, Vol. 3 (2018), hal. 126 <http://journal.isinlangsa.ac.id/index.php/tibyan>.

2
suatu kondisi. Dalam Kamus bahasa Indonesia "sektarian" atau "partisan" diartikan
dengan pengikut suatu partai.2 Dalam dunia sosial, sektarian dikenal dengan istilah
ideologi.
Kata ideologi sendiri banyak pengertiannya, tergantung pada penggunaan
tujuannya. Namun dalam pengertian yang paling umum ideologi adalah pikiran yang
terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi
sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkap melalui komunikasi.
Karl Marx3 (1818-1883) dan Fredrich Engels4 (1820-1895) memandang ideologi
sebagai fabrikasi5 yang digunakan oleh sekelompok orang untuk membenarkan diri
mereka sendiri. Karenanya, konsep ideologi tersebut jelas sangat subjektif dan
keberadaannya hanya untuk melegitimasi kelas penguasa di tengah keberadaan
masyarakat. Sementara Karl Mennheim menggunakan hal ini untuk menunjuk kepada
seperangkat kepercayaan.6
Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an, istilah “sektarian” menurut Ignaz
Goldziher diartikan sebagai upaya umat Islam mencari legitimasi Al-Qur’an terhadap
keyakinan dan kelompok yang dianutnya.7 Hasan Hanafi menyebut istilah tersebut
dengan tafsir dogmatis. Corak tafsir ini muncul sebagai bagian dari gerakan-gerakan
politik dan bercirikan dogmatis.8 Nasr Hamid mengistilah tafsir sektarian dengan
tafsir talwin, yaitu memberi warna pada teks sesuai dengan pemahaman awal.9
Meskipun pengistilahan mengenai tafsir sektarian yang disampaikan oleh para
intelektual itu terlihat berbeda, namun pada dasarnya definisi mereka sama-sama

2
Tim Prima Pena, KAMUS ILMIAH POPULER Edisi Lengkap: Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi,
Sosial, Budaya & Sains (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), hal. 361.
3
Karl Marx adalah seorang filsuf, ekonom, dan jurnalis kelas menengah (yang majikan utamanya adalah surat
kabar New York). Lihat Mary Gabriel, “Who Was Karl Marx?,” CNN, 2011
<https://edition.cnn.com/2011/10/29/opinion/gabriel-karl-marx/index.html>.
4
Ia keturunan Inggris dan Jerman yang dikenal dengan sosok yang mempunyai banyak profesi selama
hidupnya. Ia pernah menjadi seorang industrialis, ilmuwan sosial, penulis, teoreyikus politik, ahli filsafat, dan
juga bapak Marxisme. Lihat Mamor Adi P, “Profil - Friedrich Engels,” Merdeka
<https://www.merdeka.com/friedrich-engels/profil>.
5
Pada KBBI fabrikasi merupakan pernyataan atau cerita yang dibuat untuk menipu.
6
Lorens Bagus, KAMUS FILSAFAT, Cet. 4 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 306.
7
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2006), hal. 4.
8
Hasan Hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat (Yogyakarta: Nawesea, 2007), hal. 37.
9
Nashr Hamid Abu Zayd, Kritik Wacana Agama, terj. Khoiron Nadhiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003), hal. 120–21.

3
mengacu pada tujuan penafsiran yang berupaya untuk mencari legalitas mazhab dan
ideologi sang mufassir.10
Dari uraian di atas, dipahami bahwa tafsir sektarian memberikan dua artian.
Secara positif tujuannya sebagai gambaran dunia (world view) yang menyatakan
kelompok-kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-
kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif tujuannya sebagai kesadaran palsu,
berupa kebutuhan untuk melakukan fabrikasi dengan cara memutarbalikkan
pemahaman terhadap Alquran yang ditafsirkan.11
2. Historia Tafsir Sektarian
Umumnya, perkembangan tafsir sektarian dalam mata penafsiran Al-Qur’an tidak
terlepas dari kehadiran mazhab dalam Islam. Yang mulanya terjadi saat pergolakan
antara Ali dan Muawiyah yang berakhir dengan perang Shiffin dan mencapai
puncaknya pada masa afirmatif.12
Pada era ini perkembangan tafsir berbasiskan nalar ideologis dan terjadi pada
abad pertengahan.13 Di masa ini tafsir hadir dalam situasi ketegangan antar disiplin
ilmu sebagai konsekuensi dari zaman keemasan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Dengan kata lain, pada periode ini penafsiran dilatarbelakangi oleh ‘kepentingan’ sang
mufassir yang notabenenya sebagai pendukung atau peminat disiplin ilmu atau pola
berpikir tertentu dalam masing-masing disiplin ilmu.14
Pada periode ini juga kecenderungan madzhab dalam menafsirkan Al-Qur’an
tercipta, karena banyaknya mazhab-mazhab yang berkembang. Yang
melatarbelakangi munculnya madzhab al-tafsir, lantaran hadirnya sebuah keniscayaan
sejarah, sebab setiap generasi ingin selalu ‘mengkonsumsi’ dan menjadikan Al-
Qur’an sebagai pedoman hidup, bahkan menetapkannya sebagai legitimasi bagi
tindakan dan perilakunya. Ignaz Goldziher menyatakan bahwa setiap aliran pemikiran
yang muncul dalam sejarah umat Islam selalu cenderung untuk mencari legitimasi dan

10
Mawardi, hal. 127.
11
Mawardi, hal. 127.
12
Abdul Mustaqim mengatakan bahwa sejarah perkembangan tafsir terbagi menjadi tiga masa, yaitu: formatif,
afirmatif, dan reformatif. Lihat Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik Hingga Kontemporer
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 32.
13
Mustaqim, hal. 59.
14
Mustaqim, hal. 75.

4
justifikasi dari kitab sucinya (Al-Quran).15 Dengan begitu, pemikiran tersebut akan
mendapat posisi yang kuat di hati para pengikutnya dalam sistem keberagamaan
mereka.
Dikatakan oleh Hamim Ilyas dalam kata pengantar buku ‘Studi Tafsir’ bahwa
masa afirmasi merupakan masa berkembangnya teori yang dibangun di atas
paradigma legitimasi Al-Qur’an.16 Oleh karena itu, bermunculan tafsir bercorak
partisan.17 Jika dikaitkan perkembangan tafsir era afirmasi dengan legitimasi mazhab,
maka dapat dipastikan tafsir bercorak partisan muncul dikalangan para fanatisme.
Sedemikian tingginya fanatisme salah satu golongan terhadap mazhabnya, hingga
lahirlah kecenderungan taqlid yang menghapuskan toleransi, dan cara berpikir kritis
generasi tertentu.
Karenanya, produk tafsir yang dihasilkan di periode ini memiliki karakter khusus
sebagai akibat dari paradigma sektarian yang mengikat mufassimya. Hal ini sangat
mungkin terjadi, lantaran sebelum memulai menafsirkan Al-Qur’an sang mufassir
terlebih dahulu memilih untuk menekuni disiplin ilmu-ilmu tertentu atau untuk
mendukung mazhab-mazhab tertentu. Seperti al-Fara’ yang merupakan seorang ahli
bahasa dan guru beberapa pangeran Abbasiyyah pendukung Mu’tazilah. Ibn Jarir al-
Thabari, disamping sebagai tokoh sejarawan muslim, secara teologis beliau posisinya
mirip al-Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan
rasionalis Mu’tazilah. Kemudian al-Zamakhsyari, adalah ahli bahasa dan sastra yang
terlahir di daerah basis Mu’tazilah sehingga ikatan emosionalnya dengan Mu’tazilah
terlihat sangat jelas.18 Masih dalam wilayah tafsir bergenre teologis tetapi dari aliran
lain, ada seorang mutakallimin Asy’ariah yang ahli juga dalam bidang filsafat yaitu
Fakhruddin ar-Razi. Ada juga al-Baidawi yang berusaha merespon capaian az-
Zamakhsyari dari ar-Razi. Ada al-Kiya’ al-Harasi dari madzhab Syafi’i dari
pendukung fiqih beserta madzhab-madzhabnya. Di kalangan tasawuf juga ada tokoh
tasawuf praktis seperti al-Alusi, seorang pendukung tarikat Naqsyabandiah. Dari
kelompok Syi’ah Zaidiyah ada Mulla Muhsin al-Rasyi, Abu Ali at-Tabarsi, juga al-
Syaukani. Dari para ahli kisah atau ahli atsar ada Ibnu Katsir dan al-Tsa’labi.

15
Ignaz Goldziher, Mazhab-Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah, dkk (Yogyakarta: Elsaq, 2006), hal. 3.
16
Muhammad Yusuf, dkk, Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu) (Yogyakarta: Teras, 2004), hal. ix.
17
Merupakan cara menafsiran Al-Qur'an untuk kepentingan kelompok. Lihat Yusuf, dkk, hal. x.
18
Mustaqim, hal. 76.

5
Demikian dengan ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin al-Mahalli, al-Naisaiburi,
al-Qadi Abdul Jabbar. Tentunya masih banyak lagi mufasir yang memiliki disiplin
ilmu tertentu.19
Meskipun Al-Qur’an ditafsirkan oleh kelompok sektarianisme tanpa
mengindahkan teks, namun mereka mempunyai suatu metode memahami Al-Qur’an
agar sesuai dengan pemahaman dan keinginannya. Metode yang mereka gunakan
adalah takwil. Pengunaan takwil sebagai metode dilatarbelangi oleh suatu asumsi
‘apabila ada ayat yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka ayat itu
ditakwilkan’.20
3. Macam-Macam Sektarianisme
Gejolak politik yang terjadi di dalam masyarakat melahirkan beberapa bentuk
sektarianisme atau aliran, diantaranya sebagai berikut:
a. Syi’ah
Syiah adalah sekte politik pertama dalam sejarah Islam.21 Kata Syiah berasal
dari kata sya’a yang berarti tersiar, menyiarkan, mengisi, mengikuti, dan
menemani.22 Istilah Syi’ah digunakan untuk penyebutan kelompok yang
menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai penyokongnya dan lebih
mengutamakannya dibanding para sahabat Nabi yang lain.23 Syahrastani
mengatakan Syiah mempercayai bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang
telah dipilih oleh Nabi dan dipesankan untuk menggantikan posisinya sebagai
kepala negara. Mereka menganggap bahwa seorang pemimpin harus berasal dari
garis nasab keturunan Ali bin Abi Thalib.24
Aliran ini tidak menunjukkan pergerakan apapun pada masa kepemimpinan
khalifah Abu Bakar dan Umar. Penyokong Ali baru mulai tersebar pada masa
Utsman bin Affan dengan tujuan untuk melengserkan kekuasaannya. Kelompok

19
Mawardi, hal. 129–30.
20
Mawardi, hal. 131.
21
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad
Qarib (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hal. 34.
22
Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif, 2007),
hal. 756.
23
Abu Hasan al-Asy’ari, Maqallat al-Islamiyyin wa Ikhtilafu al-Mushallin (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-
Misriyyah, 1969), hal. 65.
24
Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam, terj. Asywadi Syukur
(Surabaya: Bina Ilmu, tt), hal. 124.

6
ini semakin berbangga menampakkan diri pada saat munculnya pertikaian antara
Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berujung pada
arbitrase.25
b. Khawarij
Khawarij menurut Bahasa jama’ dari isim fail Kharij, artinya sesuatu yang
keluar. Dijelaskan juga bahwa setiap orang yang keluar dari imam yang telah
disepakati bersama dinamakan Kharijiy.26 Khawarij merupakan sebutan satu
kelompok yang menolak arbitrase yang digunakan oleh Muawiyah dalam perang
Shiffin. Khawarij menyebut diri mereka dengan sebutan kaum Syurah, yang
berasal dari kata yasyri (menjual), bermakna sekelompok orang yang
mengorbankan dirinya demi keridhaan Allah.27 Ada pula pendapat yang
menyatakan bahwa Khawarij juga disebut sebagai Haruriyah. Kata ‘Harura’
merupakan nama sebuah tempat di kota Raqqah yang berlokasi di sekitar Kuffah,
yang dikatakan bahwa tempat tersebut menjadi basecam mereka yang telah
memisahkan diri dari barisan Ali.
c. Murji’ah
Secara etimologis, Murjiah berasal dari bahasa Arab irja’, yang bermakna
menunda atau memberi pengharapan.28 Murjiah merupakan sekelompok
masyarakat yang memiliki harapan besar akan ampunan Allah.
Terlahirnya sekte ini pada saat aliran Syi’ah dan Khawarij tengah
menghadapi pertikaian. Di mana kedua kubu tersebut pada akhirnya saling
mengkafirkan satu sama lain. Pada saat itu jugalah aliran Murji’ah tercipta,
menjadi sekelompok orang yang tidak menentukan keberpihakannya pada salah
satu kubu yang tengah bersengketa tersebut.
d. Qadariyah
Qadariyah berakar kata ‘qadara’ yang berarti memutuskan dan memiliki
kekuatan atau kemampuan. Harun Nasution menyatakan bahwa Qadariyah ialah
sebutan untuk kelompok yang menganggap bahwa semua orang memiliki

25
Humaira Azzahra, “Sektarianisme dalam Sejarah Islam,” Indo-Islamika, Vol. 9 (2019), hal. 184.
26
Abu al-Fath Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), hal. 150.
27
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), hal. 124.
28
Ummu Tamim, Menyingkap Aliran dan Paham Sesat, trans. oleh Sufyan bin Zaidin Sinaga Abu Yazid (Jakarta:
Pustaka Imam Ahmad, 2010), hal. 127.

7
kebebasan dalam menjalankan hidupnya. Semua perbuatan baik dan perbuatan
buruk yang manusia lakukan pada dasarnya adalah atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri. Secara tidak langsung, aliran ini menafikan adanya peran
takdir yang telah tertulis bagi setiap manusia sejak zaman azali 29 dan meyakini
bahwa hidup manusia tidak serta merta dipaksa untuk patuh pada apa yang telah
ditakdirkan Allah.
Kemunculan aliran Qadariyah dipelopori oleh Ghilan ad-Dimasyqi, seorang
pemuka aliran Murji’ah. Beberapa kalangan meyakini keberadaan aliran
Qadariyah sebagai siasat politik untuk melawaan kebijakan pemerintahan Bani
Umayah yang dirasa telah melampaui batas.30
e. Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari ‘Jabar’ yang berarti memaksa. Aliran ini pertama
kali dipelopori oleh al-Ja’ad bin Dirham. Aliran Jabariyah meyakini bahwa
sebagai seorang manusia, segala perbuatan baik dan buruk yang dilakukan telah
ditakdirkan dan diciptakan oleh Tuhan. Manusia sama sekali tidak memiliki daya,
pilihan, dan kehendak sendiri. Dengan arti lain, segala perbuatan manusia timbul
bukan karena kemauannya sendiri, namun perbuatan yang dipaksakan atas
dirinya.
Pemahaman ini tersebar luas berkat kerja keras Jahm bin Safwan, seorang
pemuka Jabariyah yang berasal dari Khurasan.31 Abu Zahrah bercerita bahwa
aliran ini telah ada sejak zaman Bani Umayah menyatakan bahwa aliran ini telah
tumbuh dan mulai menyebar sejak masa sahabat dan masa bani Umayyah. Kala
itu berbagai persoalan mengenai qada dan qadar sering menjadi bahan diskusi
oleh para tokoh agama.
f. Mu’tazilah
Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam tertua yang dibangun oleh Wasil
bin Atha.32 Mu’tazilah secara etimologis berasal dari kata i’tazala dalam bahasa
Arab yang memiliki arti memisahkan diri, menjauhkan diri, menyalahi pendapat
orang lain. Mu’tazilah merupakan penyebutan bagi sekelompok orang yang

29
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 35.
30
Nasir, hal. 139.
31
Nasution, hal. 36.
32
Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Aqidah dalam Islam (Padang: IAIN IB Press, 2001), hal. 75.

8
memutuskan untuk memisahkan diri dari jamaah yang telah ada. Yang
melatarbelakangi diri berpisah ialah karena rasa kecewa mereka pada keputusan
Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang memberikan tampuk kekhalifahan kepada
Muawiyah.33
g. Asy-‘ariyah
Nama Asy’ariyah diambil dari Abu al-Hasan al-Asy’ari yang menjadi
pelopor aliran ini. Beliau merupakan salah seorang keturunan Abu Musa Al-
Asy’ari yang cukup tajam menyelisihi pandangan Mu’tazilah.34 Pada mulanya,
Al-Asy’ari yang merupakan anak tiri dari Al-Jubai menganut aliran Mu’tazilah
sebelum akhirnya mencetuskan ideologi barunya. Para sejarawan meyakini
beberapa asumsi terkait penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari Mu’tazilah, salah
satunya disebabkan oleh kelumpuhan Mu’tazilah dalam menjawab beberapa
persoalan yang diajukan oleh Al-Asy’ari. Ajaran Asy’ariyah yang bercorak
konvensional dengan mengedepankan al-Quran dan sunah di atas akal pikiran
cukup berkembang pesat, terutama di wilayah Basrah.
Pada awalnya, Asy’ari merasa mendapatkan ilham dari Allah melalui sebuah
mimpi. Didalam mimpi tersebut ia bertatapmuka langsung dengan Rasulullah.
Sejak saat itu Asy’ari mulai memisahkan diri dari ajaran Mu’tazilah dan
memperkokoh aqidahnya pada Al-Quran dan Sunnah. Mimpi tersebut merupakan
jawaban dari permasalahan pelik yang belum ia dapati solusinya bahkan tidak
dari gurunya sendiri, Al-Jubai. Seiring dengan kelemahan Mu’tazilah yang
lambat laun membawanya pada kehancuran, Al-Asyari muncul sebagai sebuah
aliran yang memiliki nilai-nilai pembaharuan sehingga mampu menarik massa
cukup banyak dalam waktu yang relatif singkat.
h. Maturidiyah
Abu Mansur al-Maturidi merupakan pelopor dari aliran Maturidiyah. Aliran
ini dilahirkan di wilayah Samarkand dengan dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor35, diantaranya ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap ideologi
Mu’tazilah yang dianggap berlebihan dalam memberikan otoritas pada akal. Di

33
Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal. 208.
34
al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Taarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-’Aqaaidi wa at-Tarikh
al-Madzahib al-Fiqhiyah (Kairo: Daar al-Fikr al-Arabiy, 1996), hal. 163.
35
Hamka, “Maturidiyah: Kelahiran dan Perkembangannya,” Jurnal Hunafa 4, Vol. 3 (2007), hal. 261.

9
sisi lain, prinsip-prinsip ulama salaf juga tidak dapat diterima seutuhnya karena
mengabaikan penggunaan logika. Faktor meluasnya ajaran Qaramithah yang
dengan keras menentang ulama salaf juga membuat kekhawatiran yang cukup
besar bagi kaum muslimin. Untuk itu, Maturidiyah hadir dengan mengembangkan
sebuah metode pemikiran melalui sinkronisasi dalil Naql dan ‘Aql, dalam hal ini
mempertemukan prinsip Mu’tazilah yang rasional dengan Hambali yang
tradisional. Sebagian ulama lain memandang titik temu Mu’tazilah dan Ahl al-
Hadits ada pada golongan Asy’ariyah, sedangkan titik temu antara Asy’ariyah
dan Mu’tazilah didapatkan di golongan Maturidiyah.36 Namun pada prakteknya,
Maturidiyah lebih banyak memberikan porsi pada akal jika dibandingkan dengan
Asy‘ariyah.
4. Contoh Penafsiran yang Tergolong Sektarian
Telah disebutkan sebelumnya bahwa takwil menjadi metode yang sangat
mendukung tercipta tafsir partisan. Takwil pada dasarnya bukanlah metode yang harus
dihindari dan ditakutkan. Penggunaan takwil dalam memahami ayat terkadang sangat
diperlukan, sebab ada ayat yang tidak terjawab hanya menggunakan tafsir. Terlebih
pada ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.
Namun untuk mendukung takwil agar diterima dalam penafsiran Al-Qur’an
ulama tafsir mensyaratkan pentakwilan ayat Al-Qur’an harus didukung oleh ayat-ayat
yang lain.37 Di samping itu, sang mufassir harus memahami dengan benar ketentuan-
ketentuan Ulumul Qur’an, seperti nasikh wa al-mansukh, asbab al-nuzül, dan lainnya.
Jika seorang mufassir tidak mengindahkan persyaratan tersebut, maka tafsir yang
dihasilkan ialah bercorak partisan.
Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya, tafsir partisan dilatarbekalangi oleh
upaya mufassir yang membenarkan mazhab atau gagasannya. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa tafsir bercorak partisan muncul dikalangan para pengikut
mazhab-mazhab yang fanatik, baik mazhab kalam, mazhab fiqh, maupun para sufi.
Untuk lebih jelasnya tentang cara mereka menafsirkan Al-Qur’an sehingga timbulnya
tafsir partisan dapat dilihat dari beberapa mazhab berikut:

36
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah wa al-Islamiyyah al-Mu’ashirah (Beirut: Daar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hal. 167.
37
Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 71.

10
Contohnya dalam mazhab kalam. Mazhab ini merupakan kelompok yang lahir
dari perdebatan-perdebatan dalam membahas tentang ketuhanan. Seperti dalam tafsir
al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari yang didominasi oleh pendapat Mu’tazilah
menafsirkan QS. Al-An’am ayat 103:

َ ْ ‫ط يفُُُال‬
ُ‫خ ب ِ ير‬ ِ َّ ‫ُاْل َب ْ صَ ا َر ُُ ُ َو ه َوُُُال ل‬
ْ ‫ُاْل َب ْ صَ ار ُ َو ه َو ُي د ِْر ك‬
ْ ‫ََل ُت د ِْر ك ه‬
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”
Menurut al-Zamakhsyari, ayat ini sebagai penjelasan bahwa Tuhan tidak dapat
dilihat dengan mata kepala sampai kapanpun. Lafaz nafi (la) yang terdapat pada ayat
tersebut berlaku umum, tidak terkait waktu dan tempat tertentu, baik di dunia maupun
di akhirat. Seperti dalam QS. al-Qiyamah: 22-23 yang artinya “Wajah-wajah (orang-
orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan nya lah mereka melihat”.
Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa karena Tuhan bersifat immateri, maka tidak
dapat dilihat dengan mata kepala. Kata nadirah diartikan oleh al-Zamakhsyari dengan
al-tawaqqu wa al-raja’ (penantian dan pengharapan). Allah adalah Esa, dan tidak ada
sesuatu apapun yang menyerupainya. Dia bukan jisim (materi), tidak bertubuh, tidak
berbentuk, tidak berdaging, tidak berdarah, tidak adanya warna, rasa, panas, dingin,
dan lain-lain yang merupakan sifat makhluk. Semua pendapat al-Zamakhsyari
tersebut sesuai dengan pendapat Muktazilah, karena Muktazilah menolak paham
beautific vision pada sifat Tuhan. Menurut Muktazilah Tuhan bersifat immateri,
sedangkan mata manusia adalah bersifat materi. Berbeda dengan tafsir al-
Zamakhsyari, dalam tafsir Jalalain dikatakan bahwa pada hari kiamat Allah dapat
dilihat. Pendapat yang ada dalam tafsir Jalalain itu juga didominasi terhadap mazhab
yang dianutnya, yaitu mazhab Asy-‘Ariyah, karena menurutnya Tuhan tidak dapat
dilihat di dunia, tapi bisa dilihat di akhirat.38

C. Penutup
Kesimpulan yang dapat saya sampaikan di sini ialah dengan mengatakan bahwa tafsir
sektarian merupakan salah satu bentuk tafsir yang terlahir dari latarbelakang sang mufassir
dalam menetapkan diri untuk fokus pada salah satu baik disiplin ilmu maupun aliran-lairan
tertentu. Metode yang digunakan pada proses penafsiran bergenre sektarian ialah dengan

38
Mawardi, hal. 132–133.

11
menggunakan takwil. Banyak para sarjana yang ikut memberikan pengertian terkait tafsir
sektarian ini. Hampir semuanya pendapat dari mereka terlihat berbeda. Namun jika dilihat
dari konteksnya, pendapat yang mereka lontarkan semuanya mengacu pada tujuan
interpretasi mereka yang berupaya untuk mencari legalitas mazhab dan ideologi sang
mufassir. Meski begitu, tidak ada salahnya bagi kita yang notebenenya sebagai mahasiswa
untuk mempelajari tafsir-tafsir dengan genre sektarian ini. Selama iman kita kuat akan
kepercayaan yang kita pegang, maka cobalah untuk mempelajarinya lebih dalam lagi,
karena ini juga termasuk ke dalam pengetahuan umum. Cukup sekian penutup yang dapat
kami sampaikan, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga
kedepannya kami dapat kembali menuliskan sesuatu yang lebih bermanfaat lagi.

Daftar Pustaka

al-Asy’ari, Abu Hasan, Maqallat al-Islamiyyin wa Ikhtilafu al-Mushallin (Kairo: Maktabah


an-Nahdhah al-Misriyyah, 1969)
Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam,
trans. oleh Asywadi Syukur (Surabaya: Bina Ilmu)
Asy-Syahrastani, Abu al-Fath, al-Milal wa an-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah)
Azzahra, Humaira, “Sektarianisme dalam Sejarah Islam,” Indo-Islamika, Vol. 9 (2019)
Bagus, Lorens, KAMUS FILSAFAT, Cet. 4 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005)
Baidan, Nasruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Dahlan, Abdul Aziz, Teologi dan Aqidah dalam Islam (Padang: IAIN IB Press, 2001)
Gabriel, Mary, “Who Was Karl Marx?,” CNN, 2011
<https://edition.cnn.com/2011/10/29/opinion/gabriel-karl-marx/index.html>
Goldziher, Ignaz, Mazhab-Mazhab Tafsir, trans. oleh M. Alaika Salamullah Dkk
(Yogyakarta: Elsaq, 2006)
———, Mazhab Tafsir; dari Klasik hingga Modern, trans. oleh M. Alaika Salamullah dan
dkk (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006)
Hamka, “Maturidiyah: Kelahiran dan Perkembangannya,” Jurnal Hunafa 4, Vol. 3 (2007)
Hanafi, Hasan, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat (Yogyakarta: Nawesea, 2007)
Mawardi, “SUBJEKTIVITAS DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN: Fenomena Tafsir

12
Bercorak Sektarian,” Jurnal At-Tibyan, Vol. 3 (2018)
<http://journal.isinlangsa.ac.id/index.php/tibyan>
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2007)
Mustaqim, Abdul, Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik Hingga Kontemporer
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)
Nasir, Sahilun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010)
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1986)
P, Mamor Adi, “Profil - Friedrich Engels,” Merdeka <https://www.merdeka.com/friedrich-
engels/profil>
Pena, Tim Prima, KAMUS ILMIAH POPULER Edisi Lengkap: Referensi Ilmiah, Ideologi,
Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya & Sains (Surabaya: Gitamedia Press, 2006)
Rahman, Taufik, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013)
Tamim, Ummu, Menyingkap Aliran dan Paham Sesat, trans. oleh Sufyan bin Zaidin Sinaga
Abu Yazid (Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010)
Yusuf, Muhammad, dan dkk, Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu) (Yogyakarta:
Teras, 2004)
Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, Taarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-
’Aqaaidi wa at-Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah (Kairo: Daar al-Fikr al-Arabiy, 1996)
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, trans. oleh Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib (Jakarta: Logos Publishing House, 1996)
Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah wa al-Islamiyyah al-Mu’ashirah
(Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992)
Zayd, Nashr Hamid Abu, Kritik Wacana Agama, trans. oleh Khoiron Nadhiyyin (Yogyakarta:
LKiS, 2003)

13

Anda mungkin juga menyukai