Abstrak
merupakan kalam Ilahi yang mempunyai untuk memahami bahasa, tak terkecuali
sifat otoritatif (bahasa Tuhan). Gerakan bahasa agama (Al-Qur’an dan Sunnah).
wacana keislaman yang bersumber dari Al- Munculnya wacana dekonstruksi4,
Qur’an tak pernah berhenti bahkan linguistik5, semiotik6, dan hermeneutik
semakin kencang, karena dalam Al-Qur’an semakin menambah kemajuan dalam ilmu
terdapat dua gerak yaitu sentripetal dan memahami bahasa. Di antara sekian
sentrifugal.2 Gerak sentrifugal adalah banyak metode yang ditawarkan, dalam hal
gerak yang membuat teks-teks Al-Qur’an ini penulis memfokuskan pada metode
mempunyai daya dorong yang kuat bagi hermeneutik, karena hermeneutik menjadi
umat Islam untuk melakukan interpretasi sesuatu yang menarik dan menjadi bahan
dan pengembangan makna, yang kajian (discourse) di berbagai kalangan
selanjutnya menyebabkan pengembaraan intelektual. Ada pihak yang pro dan ada
intelektual karena dorongan tersebut. yang kontra. Kajian ini tidak akan
Gerak sentrifugal ini sekaligus membahas tentang pro dan kontranya, tapi
menyebabkan gerak sentripetal. lebih spesifik mengkaji aliran
Maksudnya, Al-Qur’an yang sekian abad hermeneutika dalam pandangan Islam;
mengalami banyak kajian tafsir, baik yang mulai dari sejarah perkembangannya di
rasional maupun tekstual, semuanya dunia Barat, tokoh-tokoh dan
dikembalikan lagi pada kekuatan daya pemikirannya, serta implikasinya dalam
3
tarik Al-Qur’an. pendidikan Islam.
Dalam merespon problem
pemahaman Al-Qur’an, ada keinginan
perlu adanya untuk melakukan ijtihad baru. 4
Dekonstruksi merupakan sebuah tindakan
dari subyek yang hendak membongkar sebuah
Dalam melakukan ijtihad ini, di samping obyek yang tersusun dari berbagai unsur,
menumbangkan susunan hierarki yang
menggunakan metode klasik, juga perlu
menstrukturkan teks. Inyiak Ridwan Muzir,
melihat beberapa metode yang ditawarkan Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida,
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003, hlm. 5-15.
5
di era kontemporer ini. Lebih-lebih dengan Model kajian linguistik ini terfokus pada teks
sebagai fenomena kebahasaan tanpa memper-
maraknya wacana kritik sastra yang talikannya dengan realitas -realitas tertentu secara
konkret. Aminudin, et.al., Analisis Wacana Dari
kemudian menghadirkan seabrek metode Linguitik Sampai Dekonstruksi, Yogyakarta: Kanal,
2002, hlm. 2.
6
Semiotik adalah teori tentang tanda dan
penandaan, yaitu bagaimana tanda melakukan
penandaan dalam naskah sastra konvensional dan
2
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik dokumen-dokumen hukum, atau dalam iklan dan
Teks Keagamaan, Yogjakarta: eLSAQ Press, 2003, perilaku ragawi. John Lechte, 50 Filsuf
hlm. 25 Kontemporer:Dari Strukturalisme Sampai Post
3
Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Modernitas, Terj. A. Gunawan Admiranto,
Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004, hlm. 17-18. Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 191.
14
hermeneutika menjadi sesuatu yang sangat
Khaled M. Aboe el Fadl, Atas Nama Tuhan
Dari Fikih Otoriter Ke Fiqih Otoritatif, terj. R.
Cecep Lukman Yasin, Jakarta: PT Serambi Ilmu Islam Emansipatoris, Jakarta, P3M, Jakarta, 19 –
Semesta, 2004, hlm. 179. 24 Mei 2003, hlm, 5.
15 16
F. Budi Hardiman, “Teori-Teori Josef Bleicher, Hermeneutika
Hermeneutika”, Makalah Pelatihan Pendidikan Kontemporer…, hlm. 6
18
F. Budi Hardiman, “Teori-Teori
17
Cholis Akbar, ed., “Hermeneutika dan Hermeneutika”…, hlm, 12.
19
Infiltrasi Kristen”, http://www.hidayatullah.com F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme
diakses tanggal 1 Oktober 2016. dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang
sisi negatifnya adalah, karena tidak tiap individu itu unik, tetapi keunikan itu
berpegang pada kaidah bahasa, bisa jadi tidak bisa berdiri sendiri, karena juga
bahasa yang dipakai oleh pengarang tidak mengambil keunikan orang lain. Jadi,
ada artinya, juga ada kemungkinan devinasi yang melihat keunikan individu
pemahaman sang interpreter berbeda sebagai bagian dari keunikan orang lain,
dengan yang dimaksud oleh pengarang. juga sekaligus melakukan perbandingan.
Karena masing-masing interpretasi Secara sederhana dapat dipahami bahwa
mempunyai kelemahan, maka perlu adanya pemikiran seseorang tidak bisa lepas dari
kritik. Kritik untuk interpretasi gramatika pengaruh pemikiran orang lain.24
dilakukan dengan meneliti aturan-aturan Kedua, hermeneutika reproduktif-
(aturan gramatika atau aturan kebudayaan). empatis-epistemologis yang dipelopori
Kalau terjadi ketidaksesuaian antara aturan oleh Wilhem Dilthey (1833-1911). Ini
dan apa yang hendak dipahami maka merupakan kelanjutan dari konsepnya
disana terjadi error. Sedangkan kritik Schleirmacher yang mereproduksi
untuk interpretasi psikologik tidak pemikiran pengarang. Namun, Dilthey
mungkin terjadi error karena hubungan memfokuskan pada kondisi makna, bukan
yang terjadi berbeda. Kalau interpretasi kondisi psikologis. Peristiwa-peristiwa
gramatik terjadi hubungan fungsional; yang termuat dalam teks harus dipahami
kalau tidak sesuai aturan maka error. Pada sebagai ekspresi kehidupan sejarah, maka
interpretasi psikologik hubungan yang yang direproduksi bukanlah kondisi psikis
terjadi adalah melingkar, kritiknya ada pengarang, melainkan makna peristiwa-
dalam bentuk dialektika, yang tidak peristiwa sejarah itu. Empati epistemologi
mungkin terjadi error.23 Dilthey ini, penafsir memahami makna
Lingkar hermeneutik dalam simbol-simbol yang dihasilkan pengarang
interpretasi psikologik bekerja dengan dua dan sedekat mungkin menafsirkan sesuai
cara, yang menurut Schleiermacher disebut dengan intensi penghasilnya.25
dengan metode divinasi (divinatory) dan Ketiga, hermeneutika ontologis yang
metode perbandingan (comparison). dipelopori Martin Heidegger. Menurut
Divinasi melihat penulis sebagai individu, Heidegger, hermeneutika merupakan
sedangkan perbandingan dapat meletakkan bagian dari eksistensi manusia yang
penulis ke dalam suatu tipe tertentu. melekat pada dirinya. Dalam memahami
Divinasi didasarkan pada asumsi bahwa
24
Ibid.
25
F. Budi Hardiman, Melampaui
23
Ibid., hlm. 10. Positivisme…, hlm. 44.
dari bahasa, bahkan sudah ada sebelum metode kritik Bibel umat Kristiani.33
ucapan oral. Tulisan adalah bentuk Namun, ada juga pemikir Islam yang
permainan bebas unsur-unsur bahasa dan menaruh perhatian serius kepada
komunikasi. Dia merupakan proses hermeneutika di antaranya adalah Nasr
perubahan makna terus-menerus dan Hamid Abu Zaid, Mohammad Arkoun,
perubahan ini menempatkan dirinya di luar Farid Esack, Ali Asghar Engineer, dan
jangkauan kebenaran mutlak. Fazlur Rahman. Mereka ini merupakan
Hermeneutika dekonstruksi ini, masuk tokoh-tokoh pemikir Islam yang
dalam rumpun hermeneutika radikal yang menggunakan metode hermeneutik dalam
tidak merehabilitasi makna asli. Makna asli memahami Al-Qur’an.
tidak dihadirkan kembali, bahkan sudah Secara umum, aliran hermeneutik
hilang, maka tak ada lagi tolok ukur dalam Islam dibagi menjadi dua kelompok,
interpretasi.32 yaitu kelompok objektivis dan non-
objektivis. Pertama kelompok objektif
d. Islam dan Aliran Hermeneutika dipelopori Fazlur Rahman, Mohammed
Hermeneutika sebagai sebuah Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid. Kedua,
metode merupakan cara untuk menafsirkan kelompok non-objektif dipelopori Farid
simbol-simbol yang terwujud dalam teks Esack dan Ali Asghar Engineer.34
atau bentuk lainnya. Awalnya memang Jika dilihat dari pemetaan yang
hanya digunakan untuk menafsirkan kitab dilakukan oleh Moqsith, bahwa
suci saja, namun semenjak Dilthey (1833- hermeneutik objektif cenderung dilabelkan
1911) metode ini mulai digunakan untuk pada tokoh yang menggunakan
ilmu-ilmu kemanusiaan seperti sejarah, hermeneutik untuk kepentingan intelektual
psikologi, hukum sastra seni dan an sich, sedangkan hermenutik non-
sebagainya. objektif, diidentikkan dengan tokoh yang
Di kalangan intelektual Islam, menggunakan hermeneutik untuk
wacana hermeneutik masih menjadi membaca Al-Qur’an sebagai bentuk
sesuatu yang menakutkan dan banyak yang perlawanan terhadap penindasan yang
melakukan penolakan. Ini disebabkan berkembang dalam masyarakat setempat.
munculnya teori hermeneutik berasal dari 33
Khaled M. Aboe el Fadl, Atas Nama
Tuhan…, hlm. 179.
34
Abd Moqsith Ghazali, “Mempertimbangkan
Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir”, makalah
disampaikan dalam acara Seminar Pendidikan
32
Christopher Norris, Membongkar Teori Islam Emansipatoris, kerjasama P3M Jakarta dan
Dekonstruksi Jacques Derrida, terj. Inyiak Ridwan Ma’had Aliy Sukorejo Situbondo, tanggal 5-7
Muzir, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003, hlm. 10-11. April, 2003, hlm. 4.
Hermeneutik tidak mungkin bisa lepas dari penafsir dari setiap generasi. Dengan
gagasan-gagasan atau pemikiran sang demikian, hermeneutika Arkoun hendak
interpreter, sehingga subjektivitas mencari bagaimana wacana qur’anik
interpreter tidak bisa dihindarkan. Jadi, berlangsung di tengah masyarakat Arab
seobjektif apapun hasil pembacaan waktu itu.36
menggunakan hermeneutik, subjektivitas Zaid menawarkan hermeneutika
pasti akan muncul. harus berpijak pada pemilahan yang tegas
Menurut Rahman bahwa bertafsir antara makna kesejarahan teks (al-ma’na
adalah upaya untuk menemukan pesan- al-tarikhi) dan pengertian atau interpretasi
pesan moral universal Al-Qur’an dengan baru (al-maghza) yang ditarik dari makna
melihat kondisi objektif Arab, sebagai kesejarahan tersebut. Menurut Zaid, makna
tempat Al-Qur’an turun. Setelah pesan historislah yang pertama-tama harus
moral sebuah teks diperoleh, baru dipahami oleh penafsir dengan terlebih
kemudian ditransformasikan dalam dahulu melakukan pembacaan pada
konteks kekinian. Proses penafsiran struktur internal teks dan dimensi historis
Rahman melibatkan dua pergerakan (a (al-bu’d al-tarikh) teks tersebut. Baru
double movement); dari masa kini ke kemudian dilakukan penafsiran yang
periode Al-Qur’an dan kembali lagi ke memungkinkan untuk konteks saat ini.
masa kini.35 Dengan demikian menurut Zaid, Al-
Sedangkan menurut Arkoun, titik Qur’an sebagai sebuah teks selalu terbuka
pijak dalam membaca Al-Qur’an adalah bagi munculnya makna-makna baru
pada tahap wacana (khitab qur’aniy, (qabilatun li tajaddud al-fahm).37
safahy) bukan pada tahap teks (mushaf). Zaid, dalam pendekatan
Arkoun membagi penahapan Al-Qur’an hermeneutiknya, melakukan melalui dua
menjadi lima tingkatan, yaitu:. (1) Ketika momen yang berdialektika secara terus
Al-Qur’an masih sebagai kalamullah (2) menerus satu sama lain. Pertama, perlu
Al-Qur’an sebagai wacana (khitab menemukan kembali makna asli (dalalatuh
qur’aniy, safahy) (3) Al-Qur’an sebagai al-ashliyyat) dari teks dan sekaligus dari
korpus resmi tertutup (4) Al-Qur’an artefak budaya dengan menempatkannya di
menjadi korpus tertafsir (mudawwanah dalam konteks sosio-historis
nashshiyah tafsiriyyah) (5) masyarakat kemunculannya. Kedua, untuk
36
Abd Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan
35
Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Hermeneutika…, hlm. 4.
37
Perspektif Neo-Modernis, Yogyakarta: Tiara Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khithab al-
Wacana, 2000, hlm. 81-83. Diny, Kairo: Maktabah Madbuliy, 1995, hlm. 118.
38 40
Ibid., hlm. 114. Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi
39
Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme…, Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta:
hlm. 82. Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 178.
sebuah teks, agar teks tersebut tidak penting untuk memahami konteks sosial
menjadi “tubuh mati”. pada saat teks turun.
Pertanyaan pokok dalam Dalam hermeneutika sangat mungkin
hermeneutika adalah bagaimana menimbulkan pemaknaan yang berbeda
sebenarnya hubungan antara teks (text) dalam teks yang sama. Ini dikarenakan
atau nash, penulis atau pengarang (author), kondisi pembaca yang sangat terkait
dan pembaca (reader) dalam memahami dengan ruang dan waktu serta kondisi
sebuah makna teks. budaya masyarakat. Dalam bahasa ushul
Dalam memperdebatkan hubungan fiqh kita mengenal istilah “taghayyur al-
antara teks, pengarang dan pembaca, el ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-
Fadl menjelaskan bahwa penentuan makna amkinah” (hukum bisa berubah seiring
tidaklah hanya ditentukan oleh pembaca dengan perubahan zaman dan lokasi).
saja, atau teks saja, tetapi ditentukan oleh Jadi, hermeneutika hendak
interaksi antara objektivitas teks dengan memproduk makna baru dari teks yang
subjektivitas pembaca. Proses negosiasi telah ada. Bisa dibilang, bahwa
makna antara kekuatan teks dengan hermeneutika ingin memproduk hukum
kekuatan akal pembaca dengan tujuan baru yang diambil langsung dari Al-Qur’an
menghasilkan makna yang sesuai dengan dan Hadits sesuai dengan kebutuhan saat
kehendak tuhan. Meski tidak ada ini. Ijtihad yang dilakukan adalah
standarisasi yang jelas untuk bisa berangkat dari teks-teks keagamaan.
mencapai makna sebagaimana yang
dikehendaki tuhan.41 3. IMPLIKASI ALIRAN HERME-
Untuk mendapatkan makna teks NEUTIK DALAM PENDIDIKAN
yang sesuai kehendak pengarangnya ISLAM
amatlah sulit. Apalagi teks yang ada Hermeneutika sebagai sebuah
bersifat otoritatif dan ada rentang waktu metode berpikir tidak dapat dipisahkan
yang sedemikian lama antara kemunculan dari hidup dan kehidupan manusia.
teks dengan tantangan yang dihadapi. Oleh Permasalahan sosial, politik, sastra, dan
karena itu tidak cukup hanya memahami sebagainya tidak pernah lepas dari unsur
kaidah-kaidah gramatika saja, tetapi juga bahasa sebagai medianya, sebab bahasa
merupakan sarana seseorang
41
Khaled M. Aboe el Fadl, Melawan mengungkapkan ide, berpikir, menulis,
“Tentara Tuhan” Yang Berwenang dan Yang
Sewenang-Wenang dalam Wacana Islam, terj. berbicara, mengapresiasi karya.
Kurniawan Abdullah, Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta 2003, hlm. 209.
Metode, Filsafat, dan Kritik, Terj. Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid:
Ahmad Norma Permata, Yogyakarta: Kritik Teks Keagamaan, Yogjakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2003. eLSAQ Press, 2003.
el Fadl, Khaled M. Aboe, Melawan Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer: Dari
“Tentara Tuhan” Yang Berwenang Strukturalisme Sampai Post
dan Yang Sewenang-Wenang dalam Modernitas, Terj. A. Gunawan
Wacana Islam, terj. Kurniawan Admiranto, Yogyakarta: Kanisius,
Abdullah, Jakarta: PT Serambi Ilmu 2001.
Semesta 2003. Muzir, Inyiak Ridwan, Membongkar Teori
______, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Dekonstruksi Jacques Derrida,
Otoriter Ke Fiqih Otoritatif, terj. R. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003.
Cecep Lukman Yasin, Jakarta: PT Norris, Christopher, Membongkar Teori
Serambi Ilmu Semesta, 2004. Dekonstruksi Jacques Derrida, terj.
Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta:
Pembebasan, Terj. Agung Ar-Ruzz, 2003.
Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Palmer, Richard E., Hermeneutika: Teori
Pelajar, 2000. Baru Mengenai Interpretasi, terj.
Esack, Farid, Al-Qur’an, Liberalisme, Musnur Hery & Damanhuri
Pluralisme: Membebaskan Yang Muhammad, Yogyakarta: Pustaka
Tertindas, terj. Watung A. Budiman, Pelajar, 2003.
Bandung: Mizan, 2000. Probonegoro, Ninuk Kleden, “Seni
Ghazali, Abd Moqsith, Memahami sebagai Metode
“Mempertimbangkan Hermeneutika Humaniora”, Masyarakat Indonesia,
Sebagai Metode Tafsir”, makalah Edisi Juni 1994, Jilid XXI No. 1.
disampaikan dalam acara Seminar Ricoeur, Paul, Filsafat Wacana: Membelah
Pendidikan Islam Emansipatoris, Makna Dalam Anatomi Bahasa,
kerjasama P3M Jakarta dan Ma’had Terj. Musnur Hery, Yogyakarta:
Aliy Sukorejo Situbondo, tanggal 5-7 IRCISoD, 2003.
April, 2003.
Saenong, Ilham B., Hermeneutika
Hardiman, F. Budi, Melampaui Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-
Positivisme dan Modernitas: Qur’an Menurut Hassan Hanafi,
Diskursus Filosofis Tentang Metode Jakarta: Teraju, 2002.
Ilmiah dan Problem Modernitas,
Yogyakarta: Kanisius, 2003. Shihab, M. Quraish, “Membumikan” Al-
Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
______, “Teori-Teori Hermeneutika”, dalam Kehidupan Masyarakat,
Makalah Pelatihan Pendidikan Islam Bandung, Mizan, 2004.
Emansipatoris, Jakarta, P3M,
Jakarta, 19 – 24 Mei 2003. Sumaryono, E., Hermeneutika; Sebuah
Metode Filsafat, Yogyakarta:
Hidayat, Komarudin, Menafsirkan Kanisius, 1999.
Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju,
2004. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Hidayatullah, Syarif, Intelektualisme
dalam Perspektif Neo-Modernis, Zaid, Nasr Hamid Abu, Naqd al-Khithab
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. al-Diny, Kairo: Maktabah Madbuliy,
1995.