Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN SEJARAH PEYIMPANGAN DALAM TAFSIR, MACAM-

MACAM DAN SEBAB-SEBAB PENYIMPANGAN DALAM TAFSIR

Annisa Fhaudhila Khairi


Manajemen Pendidikan Islam-Istitut PTIQ Jakarta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membahas mengenai pengertian


peyimpangan, macam-macam, dan sebab-sebab peyimpangan dalam tafsir. Metode
penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif melalui
analisis teori serta studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa
penyimpangan tafsir Al-Qura’n merupakan aturan-aturan yang salah serta
menyimpang yang tidak sesuai dengan kaidah tafsir. Sebab adanya peyimpangan
dalam menafsirkan al-Qur’an, terlalu mendalami ayat mutasyabihat, menafsirkan al-
quran dengan hawa nafsu atau dengan dugaan semata, berlandasan mazhab yang
rusak. Macam dari penyimpangan menafsirkan al-Qur’an, penyimpangan dalam
tafsir historis, dalam tafsir teologis, dalam tafsir sufi, dalam tafsir linguistik al-
Quran, dalam tafsir ilmi, dan dalam tafsir modern.

ABSTRACT

This study aims to discuss the meaning of deviations, types, and causes of deviations
in interpretation. This research method is qualitative by using descriptive method
through theoretical analysis and literature study. The results of this study conclude
that deviations in the interpretation of the Qur'an are wrong and deviant rules that
are not in accordance with the rules of interpretation. This is because there are
deviations in interpreting the Qur'an, too deep in the mutasyabihat verse,
interpreting the Qur'an with lust or with mere guesswork, based on a corrupted
school of thought. There are various kinds of deviations in interpreting the Qur'an,
deviations in historical interpretations, in theological interpretations, in Sufi
interpretations, in linguistic interpretations of the Koran, in scientific interpretations,
and in modern interpretations.

Keywords: Deviations in interpretation, causes and types of deviations in


interpretation.

1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam di seluruh dunia.
Kedudukannya memiliki posisi yang sangat sakral bagi mereka. Di dalamnya
terkandung aspek-aspek yang universal, sehingga tidak semua ayatnya mudah
dipahami oleh umat Islam. Hal ini yang kemudian menurut Quraish Shihab,

1
terdapat ayat-ayat yang sulit untuk dimengerti dan diperlukanlah sebuah
tafsiran, bahkan diharuskan untuk menelitinya.1Dari situlah kemudian muncul
ilmu tafsir, yaitu ilmu yang digunakan untuk memahami maksud Allah Swt di
dalam Al-Qur’an melalui petunjuk-petunjuknya sesuai kemampuan manusia. 2
Dalam tafsir sendiri berarti dengan metode-metode tersebut membebaskan
suatu penafsiran lepas dari penyimpangan dan kesalahan dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an.
Ozi Setiady dalam penelitiannya, menyebutkan bahwa penyimpangan-
penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur’an disebabkan oleh faktor yang berasal
dari intern pribadi Mufasirnya. Selain itu, faktor eksternal juga mewarnai tafsir-
tafsir Al-Qur’an yang dianggap menyimpang, seperti faktor politik, kisah-kisah
orang Yahudi-Nasrani, dan perbedaan mazhab teologi.
Tentu saja, melihat kedudukan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia
(hudan linnas), melakukan penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur’an secara
otomatis akan menyimpangkan umat manusia dari petunjuk yang sebenarnya.
Bahkan bisa jadi, dapat menyesatkan pemahaman mereka terhadap ayat-ayat
suci Al-Qur’an.
Adanya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan
dalam tafsir Al-Qur’an, membuat penulis tergerak untuk melakukan kajian
secara khusus terkait hal di atas. Dalam makalah ini akan dikaji apa makna
penyimpangan dalam tafsir; faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan; dan macam-macam bentuk penyimpangan dalam penafsiran al-
Quran.

2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.3 Penelitian
kualitatif dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan
data berupa deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku
manusia yang dapat diamati.4 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori
dan studi kepustakaan. Analisis teori adalah salah satu teknik dalam penelitian
yang menjadikan teori sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek
yang diteliti. Analisis teori digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang
kemudian dikonstruksikan menjadi deskripsi yang argumentatif. 5 Studi
kepustakaan dipakai untuk memperkaya literatur penelitian, agar kemudian
dapat ditarik sebuah kesimpulan.

1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Al-Quran, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 5.
2
Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ilmu Tafsir, (Kairo: Dar al-Ma‟arif, t.th), h. 6.
3
Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,” Pre-
Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6,
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
4
L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 8.
5
Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
2
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu menggunakan
pendekatan Perspektif Antropologi. Pendekatan Perspektif Antropologi adalah
pendekatan yang bergerak pada kerangka konseptual, perangkat asumsi,
perangkat nilai, dan perangkat gagasan yang mengidentifikasi kebudayaan yang
berkembang didalam tatanan kehidupan masyarakat. Antropologi adalah ilmu
yang mempelajari berbagai macam ragam manusia secara holistik yang
meliputi, aspek sosial budaya, biologis, kebahasaan, dan lingkungannya dalam
dimensi waktu lampau, sekarang, dan dimasa yang akan datang. Jenis
penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang tergolong penelitian kepustakaan
(library research) dan merupakan penelitian kajian sejarah.6

3. HASIL PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Penyimpangan dalam Tafsir
Kata Tafsir bersal dari kata fassara yang berarti menjelaskan,
membuka serta menjelaskan yang ma’qul. Pengertian tafsir mempunyai
kelaziman tersendiri dalam bahasa Arab, dimana bentuk masdar sering
diberi bentuk isim maf’ul dengan arti yang dihasilkan. Oleh karena itu
pengertian tafsir dibedakan atas dua macam:
a. Tafsir sebagai masdar berarti menguraikan dan menjelaskan apa-apa
yang terkandung dalam Al-Quran berupa makna-makna, rahasia-
rahasia dan hukumhukum.
b. Tafsir sebagai maf’ul berarti ilmu yang membahas koleksi sistematis
dari natijah penelitian terhadap Al-Quran dari segi dilalah-nya yang
dikehendaki Allah sesuai dengan kadar kemampuan manusia.7
Tafsir dapat dirumuskan melalui pendapat para cendekiawan yang di
dalam penjelasannya terdapat kesepahaman dalam mendefinisikan tafsir,
seperti Jalaluddin AsSuyuthi, Imam Abu Hayyan, Hasbie Ash-Shiddiqie,
dan Az-Zarkasyi. Mereka menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu tentang
Al-Quran yang di dalamnya terdapat sebab turun Al-Quran, letak
turunnya ayat Al-Quran (makkiyah dan madaniyyah), lafadz, hukum,
redaksional, makna dan segala hal yang terkait dengan Al-Quran.

Syarat-Syarat Penafsir al-Quran (Mufassir)

Secara sederhana, Mufasir adalah orang atau ulama yang


melakukan aktivitas penafsiran Al-Qur’an. Terkait dengan pengertian ini,
Husain ibn Ali Ibn Husain al-Harby menyatakan bahwa Mufasir adalah
orang yang memiliki kapabilitas yang sempurna yang dengannya ia dapat
memahami maksud Allah Swt di dalam Al-Qur’an; ia juga mampu
memahami manhaj-manhaj Mufasir sebelumnya, sehingga ia mengetahui
6
Amir Hamzah, Metode Penelitian Kepustakaan (Libarary Research), (Batu, Malang: Literasi
Nusantara, 2020), Cet. Ke-1, h. 26.
7
Hasby Ashiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1999), h. 122.
3
akan keberagaman tafsir itu sendiri; dan ia mengajarkannya pada yang
lain serta mengamalkannya.8
Quraish Shihab mengkategorikan syarat-syarat seseorang
dikatakan sebagai Mufassir9 , yaitu: mengetahui bahasa Arab dan segala
bidangnya; mengetahui ilmu-ilmu Al-Qur’an, asbab an-nuzul, hadis-hadis
dan juga ushul al-fiqh; mengetahui tentang ilmu keagamaan; mengetahui
ilmu-ilmu yang akan menjadi pembahasan dalam tafsir. Sedangkan
Manna Khalil Qhathtan menjelaskan syarat-syarat bagi seseorang yang
hendak menjadi Mufassir10 , yaitu sebagai berikut:
a. Aqidah yang benar, aqidah akan memberi efek bagi seseorang yang
membuat sebuah karya tafsir. Ketika aqidah seseorang tidak benar
maka akan menyesatkan umat. Tafsir yang ia buat ditujukan hanya
untuk kepentingan kelompoknya saja.
b. Membuang hawa nafsu, hawa nafsu juga menjadikan seseorang akan
mementingkan mazhabnya sendiri. Sebagaimana tafsir-tafsir dari
kalangan Syiah Rafidzah dan Mu’tazilah.
c. Mendahulukan tafsir Al-Qur’an bi Quran, satu ayat dengan ayat
lainnya saling berkaitan, oleh sebab itu menafsirkan Al-Qur’an harus
mengutamakan penafsiran dengan ayat Al-Qur’an lainnya.
d. Menafsirkan dengan Sunnah Ketika di dalam Al-Qur’an tidak
ditemukan penafsiran bagi ayat lain, maka digunakanlah Sunnah Nabi
Muhammad Saw. Hal itu sebab apa yang diucapkan Nabi ialah al-
Qur’an itu sendiri (al-Qur’an nathiq). Sebagaimana Imam Syafi’I juga
menyatakan bahwa apa-apa yang difaham dri Nabi adalah penafsiran
al-Qur’an.
e. Menafsirkan dengan Qaul Sahabat, jika dalam al-Quran dan Sunnah
tidak menemukan, maka selanjutnya menafsirkan dengan ungkapan
para sahabat. Sebab mereka mengetahui kehidupan nabi dan juga
memiliki ilmu yang tidak dapat diragukan.
f. Menafsirkan dengan Qaul tabi’n dan tabi’it tabi’in ketika tidak
ditemukan isyarat dari qaul sahabat, maka langkah selanjutnya adalah
menafsirkan dengan pernyataan-pernyataan dari tabi’it tabi’in, seperti
Imam Mujahid Ibn Jubair, Sa’id Ibn Jubair dan Ikrimah yang
merupakan budak Ibn Abbas.
g. Menafsirkan dengan perangkat kebahasaan karena al-Quran
merupakan bahasa Arab, maka memahami bahasa Arab bagi seorang
Mufasir adalah suatu keharusan. Imam Mujahid, menyatakan bahwa
tidaklah diperbolehkan siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari

8
Husain ibn Ali Ibn Husain al-Harby, Qawa‟id at-Tarjih „Inda al-Mufassir: Dirasah Nazhariyyah Tahtbiqiyyah,
(Riyadh: Dar al-Qashim, 1996), juz 1, h. 29.
9
M. Quraish Shihab, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera, 2007), h. 79.
10
Manna Khalil Qhaththan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, (Mesir: Maktabah Wahbiyyah, t.th), h.
4
akhir, yaitu untu menafsirkan al-Quarn, sedang ia tidak menguasai
bahasa Arab.
h. Memahami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Quran, ilmu-ilmu
tersebut seperti ilmu-ilmu tafsir, ilmu tauhid dan ilmu-ilmu qira’at.
Dengan begitu seorang Mufasir tida kana menyelewengkan wujud
Allah dengan sifat-sifat yang melekat padanya. Ia pun dengan ilmu-
ilmu tafsir akan melakukan proses penafsirannya sesuai dengan
kaidah-kaidah tafsir yang benar.
i. Pemahaman yang kuat, melalui pemahaman agama yang kuat,
khususnya terkait ilmu-ilmu agama, akan menjadikan seorang
Mufassir mampu untu mmebandingkan dan menganalisa pendapat-
pendapat lain dari dirinya.
Shabur Hasan Muhammad Abu Sulaiman, dalam kitabnya Maurid
ad-Dham’an fi Ulum al-Quran, menyebutkan syarat-syarat seorang
Mufassir sama dengan apa yang 8M. disebutkan oleh Manna Khalil
Qhaththan. Akan tetapi ia merinci maksud dari pemahaman yang kuat
ialah menguasai ilmu-ilmu sebagai berikut, yaitu ilmu bahasa, nahwu,
sharf, isytiqaq, ma’ani, badi’, bayan, ilmu qira’at, ushuluddin, ushul al-
syari‟ah, ushul al-fiqh, asbab an-nuzul, nasikh mansukh, fiqh, ilmu hadis
dan ilmu wahbiyyah (pemberian langsung dari Allah atau Rasul-Nya).11
Dari penjelasan di atas, dua kategorisasi yang dibuat oleh Quraish
Shihab dan Manna Khalil Qhaththan pada dasarnya adalah sama,
sehingga, hemat penulis, pendapat keduanya secara bersamaan menjadi
ketentuan umum bagi seorang yang hendak menafsirkan al-Quran.

Memahami Penyimpangan Tafsir

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan, ada


beberapa arti kata menyimpang antara lain adalah: 1). Membelok atau
menempuh jalan yang lain, 2). Membelok supaya jangan melanggar atau
terlanggar, 3). Tidak menurut apa yang sudah ditentukan, 4). Menyalahi
kebiasaan, 5) Menyeleweng (dari hukum, kebenaran agama dll). 12
Adapun yang sesuai dengan masalah ini adalah mengambil makna yang
ketiga atau kelima yakni tidak menurut aturan-aturan yang ada sehingga
melanggar hukum agama.

Penyimpangan terjemahan dari bahasa Arab yang asalnya adalah


al-Inḥirāf (‫ )االحنراف‬bentuk jama’nya adalah al-Inḥirāfāt. Jika kembali pada
kamus bahasa Arab, maka kata al-Inḥirāf mempunyai banyak makna yang
di antaranya adalah, “Berpaling, pola berpikir menyimpang, keluar dari
11
Shabur Hasan Muhammad Abu Sulaiman, Maurid ad-Dham‟an Fi „Ulum al-Quran, (India: Dar as-
Salafiyyah, 1982), cet I, , h. 192-194.
12
Nurdyanto, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, 2016), edisi V, h. 155.
5
jalur yang lurus dan menjauh darinya. Sementara dalam ilmu sosial dapat
diartikan keluar dari sesuatu yang telah menjadi tradisi dan umum, dan
dari sudut geografis berarti melenceng dari Katulistiwa”. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kata al-Inḥirāf adalah
keberpalingan dari garis yang sudah ditetapkan.13

Adapun para ulama mengatakan bahwa penyimpangan dalam


bahasa Arab adalah Syadz. Sedangkan ahli bahasa sepakat bahwa lafadz
Syudzudz secara bahasa berarti menyendiri dan berpisah.14 Jika kita
mengatakan Syadzdza Arrajulu artinya adalah seseorang menyendiri dari
teman-temannya.

Sedangkan secara istilah ulama berbeda pendapat, di antaranya


sebagai berikut:

a. Menurut ahli qira’at, Syadz adalah qiroat yang tidak memenuhi satu
syarat dari syarat qiroat shahih.
b. Menurut ulama ahli hadits, Syadz ialah:

‫ما رؤاه الثقة خالفا لغريه‬

Periwayatan orang tsiqoh yang menyalahi periwayatan orang lain.

c. Menurut Mufassir, Syadz adalah Penafsiran yang menyimpang dari


metode yang diakui atau mengikuti sekte akidah yang batil atau
menyalahi ijma’ yang ditetapkan.15
Adapun yang dimaksud dengan penyimpangan tafsir Al-Quran
adalah aturan-aturan yang salah serta menyimpang yang tidak sesuai
dengan kaidah tafsir dalam usaha memahami atau mempelajari ilmu-ilmu
yang terkandung dalam Al-Quran yang didasarkan pada nafsu bukan
karena ilmu. Penyimpangan dalam penafsiran lahir dari adanya hawa
nafsu sang penafsir untuk mengalihkan makna satu ayat ke makna yang
sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Dengan kata lain, adanya
prakonsepsi yang dibenarkan melalui penafsiran. Mengabaikan ketentuan-
ketentuan yang disepakati oleh yang memiliki otoritas dalam satu disiplin
ilmu juga dapat dinilai sebagai penyimpangan walaupun hasilnya benar.
Ini serupa dengan sikap guru mata pelajaran Matematika yang
mempersalahkan siswa yang mengambil teori yang beda yang belum
diajarkan oleh sang guru kendati angka yang dihasilkan adalah benar.

13
Salman Parisi, “Penyimpangan dalam Tafsir Al-Qur’an”, Jurnal Hikmah 25, no. 2 (2019):302.
14
Abu al-Hasan Ali Ibn Hasan al-Wahidi, Al-Wasith FI Tafsir al-Quran wal Majid, (Kairo: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, t.th), jilid II, h. 313.
15
Abdurrahman Ibn Salih Ibn Sulaiman, al-Ahwal al-Syaddah fi-Tafsir, (Saudi: Silsilah Ishdariyyat,
t.th), h. 21-26
6
Dalam konteks ini harus dipahami sebuah riwayat yang dinisbatkan
kepada Rasulullah Saw: “Barang siapa yang berbicara tentang Al-Quran
dengan pendapatnya sendiri kemudian ternyata benar dalam
penafsirannya, maka ses ungguhnya dia telah bersalah”. Maksudnya siapa
yang menafsirkan Al-Quran pada pendapatnya sendiri yang tidak
didasarkan pada ketentuan keilmuan dalam penafsiran dan tidak
berlandaskan dalil yang sudah ditetapkan, dan sekalipun hasilnya benar,
maka dia bersalah. Sebaliknya, orang yang menyimpulkan maknanya
berlandaskan ilmu dan dasar-dasar yang kuat maka orang tersebut
mendapatkan pujian dan pahala dari Allah Swt.

3.2 Sebab-sebab Terjadinya Penyimpangan

Berbicara tentang penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur’an merupakan


hal yang tidak mudah. Sebab sejak meninggalnya Nabi Muhammad S.a.w,
tidak ada lagi sesesorang yang dipandang memiliki otoritas untuk
menentukan mana tafsir yang dikatakan benar atau salah. Maka, pertanyaan
yang muncul adalah siapa yang berhak menilai bahwa sesuatu tafsir
dikatakan benar atau salah? Namun, bukan berarti tidak ada jalan untuk
menemukan kesalahan-kesalahan dalam tafsir. Langkah-langkah yang bisa
ditempuh adalah dengan melihat Ijma’ ulama-ulama tafsir ketika berbicara
tentang sebab-sebab kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Al-Zahabi mengatakan bahwa agar seorang mufassir tidak terjatuh dalam


kesalahan, maka ia harus meninggalkan hal-hal berikut:

a. Terburu-buru menafsirkan Al-Qur’an tampa mengetahui aturan-aturan


kebahasaan dan ushul al-syari’ah.
b. Terlalu mendalami sesuatu yang dirahasiakan oleh Allah seperti ayat-
ayat Mutasyabihat.
c. Menafsirkan Al-Qur’an dengan hawa nafsu dan dugaan-dugaan semata.
d. Penafsiran yang ditundukkan pada madzhab yang rusak (mazhab al-fasid).
e. Tafsir yang dipotong-potong (parsial) tampa adanya dasar argument
yang jelas.

Yusuf Al-Qardawi juga menyinggung tentang ketergelinciran (al-


mazalik wa al-mahazir) seorang dalam menafsirkan Al-Qur’an. Setidaknya ada
delapan point, diantaranya adalah:

a. Mengikuti ayat-ayat Mutasyabih dan meninggalkan ayat-ayat yang


muhkam.
b. Ta’wil yang rusak (ta’wil al-fasid).
c. Meletakkan Nash Al-Qur’an secara tidak proposional.
d. Menentukan ayat-ayat Nasikh-Mansukh tampa argument yang jelas.

7
e. Tidak memahami Hadits dan Asar.
f. Berpegang teguh pada ayat-ayat Israiliyyat.
g. Meninggalkan kesepakatan Umat (Ijma’)
h. Lemah ilmunya, baik dalam bahasa Arab maupun ilmu Syari’at.16

Maka sangat penting sekali kalau seorang mufasir harus betul-betul


memenuhi syarat-syarat menjadi seorang mufasir. Hampir sama dengan apa
yang dikemukakan oleh Al-Zahabi, Rachmat Syafei yang dikutip Ghazali dan
Gunawan, Syafei menyebutkan secara umum terdapat beberapa kesalahan
atau kekeliruan dalam menafsirkan Al-Quran. Di antaranya oleh hal-hal
berikut:

a. Mufasir menyalahi beberapa persyaratan sebagaimana telah disebutkan


di atas. Misalnya, seorang mufasir tidak mengetahui nasikh mansukh,
tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu lainnya;
b. Seorang mufasir berbicara tentang suatu masalah, tetapi ia sendiri tidak
mengerti masalah tersebut. Misalnya, ketika menafsirkan ayat "kaanan
Naasu Ummatan Waadidatan" ayat ini sangat berkaitan dengan masalah
sosiologi. Dengan demikian, penafsirannya tidak cukup dengan satu
pendekatan saja, tetapi dilakukan dengan berbagai macam pendekatan
(multi approach), dan tidak mungkin dilakukan dengan seorang mufasir
saja;
c. Adanya unsur subjektivitas dari orang yang menafsirkan al-Quran;
d. Kesalahan dalam metode pendektan (al-Khata fi al-Manhaj), ini diakui
oleh Ibn Rusyd bahwa ada masalah dalam al-Quran yang didekati oleh
pendekatan yang tidak pada tempatnya;
e. Kesalahan dalam melihat mutakalim (yang berbicara) dan mukhatab
(yang diajak bicara).

Lebih lanjut Ghazali dan Gunawan menjelaskan pangkal kesalahan


biasanya terletak pada pemahaman lafadz atau kalam hal tersebut memiliki
dua bentuk seperti berikut:

a. Menafsrikan makna dari pengertian-pengertian di mana lafadz-lafadz al-


Quran itu dibawanya pada pengertian yang sesuai dengan keyakinannya;
b. Penafsiran al-Quran semata-mata menurut bahasa (orang Arab) tanpa
memerhatikan pembicaraan al-Quran yang kepadanya al-Quran itu
diturunkan, serta berbicara kepadanya dengan memakai al-Quran itu
juga.

Baidan secara tersirat menjelaskan dalam bukunya mengenai faktor-


faktor penyebab terjadi kesalahan dalam penafsiran al-Quran. Baidan

Abd. Halim, M. Hum, Sebab-sebab Kesalahan dalam Tafsir, Peneliti pada Pusat Studi al-Qur’an dan
16

Hadits (PSQH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol, No. 1, April 2014, hal. 77,78.
8
berargumen hal ini disebabkan kepribadian mufasir, sehingga sikap subjektif
terjadi. Sebagaimana yang saya kemukakan menganai pendapat Baidan
menganai kepribadian mufasir ada empat, maka Baidan mengemukakan
bahwa penyebab kesalahan dalam penafsiran adalah antonim dari keempat
hal tersebut.

Pertama, yaitu orang yang tidak ikhlas dalam beramal, maka itu
artinya mencari keuntungan pribadi atau golongan ataupun yang lain, sikap
seperti ini jelas akan menghasilkan penafsiran yang tendensius merusak
tatanan yang sudah baik atau malah menimbulkan kegaduhan ditengah
masyarakat. Baidan menegaskan terjadinya berbagai penyimpangan dalam
penafsiran berawal dari tidak adanya keikhlasan dan ketulusan seseorang
dalam penafsiran.

Kedua, Kuatnya pengaruh aliran yang mendominasi pemikiran


mufasir sehingga ia senantiasa berusaha mengerahkan seluruh kemampuan
dan daya pikirnya dalam menafsirkan ayat al-Quran supaya cocok dengan
paham yang dianutnya. Dalam ungkapan lain, para penganut suatu aliran
tertentu cenderung berupaya menundukkan al-Quran dibawah pemikiran
mereka; bukan sebaliknya.17 Sebagaimana tafsir bir-Ra’yi, yang bermakan
menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu (rasio) dan ijtihad semata tampa ada
dasar yang shahih dan hukumnya haram (tidak boleh dilakukan.18 Dari itu
kelompok seperti ini tidak segan-segan memanipulasi makna yang
dikandung oleh suatu ayat, bahkan tanpa malu sedikitpun mereka
memberikan makna atas suatu ayat berdasarkan aliran yang dianut oleh
mereka.

Ketiga, Mufasir tidak sadar bahwa yang dikajinya adalah firman Allah,
bahkan menyamakannya dengan kalam manusia. Jika kondisi ini terjadi
maka kemungkinan keliru dalam memahami dan menafsirkan al-Quran
semakin besar.

Keempat, Baidan berargument dengan berlandaskan QS. al-A'raf ayat


146, sebagai berikut:
‫َس َاْص ُف َع ْن ٰا ٰي ِتَي اَّلِذ ْيَن َيَتَك َّبُرْو َن ِفى اَاْلْر ِبَغْي اْلَح ِّۗق َو ِاْن َّيَر ْو ا ُك َّل ٰا َيٍة اَّل ُيْؤ ِم ُنْو ا ِبَهۚا‬
‫ِض ِر‬ ‫ِر‬
‫َو ِاْن َّيَر ْو ا َس ِبْيَل الُّر ْش ِد اَل َيَّتِخ ُذ ْو ُه َس ِبْيۚاًل َو ِاْن َّيَر ْو ا َس ِبْيَل اْلَغ ِّي َيَّتِخ ُذ ْو ُه َس ِبْيۗاًل ٰذ ِلَك ِبَاَّنُهْم َك َّذ ُبْو ا ِبٰا ٰي ِتَنا‬
‫َو َك اُنْو ا َع ْنَها ٰغ ِفِلْيَن‬
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi
tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-
17
Noblana Adib, Faktor-Faktor penyimpangan dalam Penafsiran AL-Qur’an, Jurnal Dakwah dan
Pengembangan Sosial Kemanusiaan, Vol. 8, no. 1, 2017, hal.13.
18
Syekh Manna Al-Qaththan, “Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an” (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005),
hlm .441.
9
tiap ayat (Ku), mereka tidak beriman kepadanya dan jika mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka
melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya, yang demikian itu adalah
karena mereka mendustakan ayat-ayat kami dan mereka selalu lalai dari padanya.”

Baidan menjelakan maksud ayat ini kata Sufyan bin 'Uyaynat: "Tuhan
mencabut pemahaman al-Quran dari mereka yang sombong itu". Apakah ciri
ciri orang yang takabur atau sembong dalam lanjutan ayat ini Allah STW,
menerangkan ciri-ciri mereka sebagai berikut:

a. Tidak percaya kepada ayat-ayat Allah


b. Mereka tahu jalan yang benar tapi masih menempuh jalan yang sesat
c. Disamping mendustakan ayat-ayat Allah, mereka tak mempercayai
akhirat.19
3.3 Macam-macam Penyimpangan dalam Tafsir
Diantara beragam bentuk penyimpangan dalam tafsir, penulis
mengelompokkannya sebagai berikut, yakni penyimpangan dalam tafsir
historis; penyimpangan dalam tafsir teologis; penyimpangan dalam tafsir
sufi; penyimpangan dalam tafsir linguistik; penyimpangan dalam tafsir ilmi
dan penyimpangan dalam tafsir modern. Berikut pembahasannya:
a. Penyimpangan dalam Tafsir Historis Sosio naratif yang dijelaskan di
dalam al-Quran bersifat ringkas dalam menuturkan kisah-kisah. Al-
Quran tidak menuturkan kisah secara rinci dan detail. Karena yang
ditekankan di dalam al-Quran bukanlah alur cerita, akan tetapi subtansi
dalam setiap ayat. Al-Quran bukan menitik-beratkan kepada alur
ceritanya, akan tetapi pada pesan moral yang dikandungnya. Contoh
perihal ini ialah tentang penafsiran di masa Sahabat Nabi tentang kisah
Adam As. Menurut Ad-Dzahabi, di dalam al-Quran saat menjelaskan
kisah Nabi Adam As tidak rinci dan sedetail dalam Taurat dan Injil.
Seperti misalnya tidak disebutkan terkait nama Surga; letak pohon; dan
nama pohon. Ketika itu para sahabat menanyakan kepada orang-orang
yang baru memeluk Islam, yaitu orang-orang Ahlul Kitab, seperti
Abdullah Ibn Salam dan Ka‟ab Ibn Akbar. Sehingga ia menjelaskan
tentang kejadian Adam. Yaitu bahwa nama Surganya ialah „And; letak
pohon ada di tengah-tengah Surga; dan Pohonnya bernama pohon
kesedihan, dan pohon kesenangan.
b. Penyimpangan dalam Tafsir Teologis Lahirnya berbagai aliran teologi
yang mewarnai dunia Islam bukan menjadi pelerai perbedaan
pandangan dalam pemahaman agama, akan tetapi di sisi lain, justru
menjadi kesempatan bagi kelompok-kelompok teologis untuk
memanfaatkan al-Quran sebagai justifikasi bagi mazhabnya masing-

Noblana Adib, Faktor-Faktor penyimpangan dalam Penafsiran AL-Qur’an, Jurnal Dakwah dan
19

Pengembangan Sosial Kemanusiaan, Vol. 8, no. 1, 2017, hal.14.


10
masing. Tentu saja ini merupakan penyimpangan yang nyata, misalnya
ialah terkait Qs. Al-Maidah Ayat 55, yang berbunyi: “Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah)”.
Menurut Sayyid Abdullah al-Alawi - salah satu tokoh Syiah Itsna
„Asy‟ariyyah – dalam tafsirnya At-Tafsir li Al-Qur‟an al-„Azhim,
menyatakan bahwa ayat di atas turun kepada Ali Ibn Abi Thalib.
Sewaktu itu ia sedang shalat dan kemudian datang orang yang
meminta-minta. Kemudian Ali memberi isyarat dengan tangannya
setelah ia melepaskan cincinnya dengan tujuan diberikan kepada
peminta tersebut.
c. Penyimpangan dalam Tafsir Sufi Penyimpangan selanjutnya ialah pada
tafsir-tafsir yang menggunakan esoterik dalam memahami ayat-ayat Al-
Qur’an. Pendekatan itu kemudian dikuatkan dengan isyarat-isyarat
yang didapatkan dari suluk seorang sufi. Salah satu bentuk penafsiran
sufi ialah apa yang ditafsirkan oleh Ibn Arabi dalam menafsirkan QS.
Al-Baqarah: 67, terkait wahdah al-wujud. Allah Swt berfirman: “Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaum-nya, “Allah
Memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka
bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia
(Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk
orang-orang yang bodoh.” Ibn Arabi menyatakan bahwa sapi yang
disembelih itu merupakan manifestasi dari wujud Allah dan sebagai
tempat-Nya. Tentu saja menimbulkan pemahaman yang
membingungkan bagi orang awam. Selain itu, jauhnya makna al-
Baqarah (Sapi) dengan disepadankan dengan nama Allah SWt sebagai
Tuhan. Sehingga al-Farmawi – sebagaimana dikutip oleh Agus Arifin –
menyaratkan beberapa syarat terkait kebolehan tafsir sufi. Yaitu
pertama, tidak bertentangan dengan dhahir ayat. Kedua, diperkuat dalil
syara‟ yang lain. Ketiga, tidak bertentangan dengan syariat dan akal
sehat. Dan keempat, tidak menganggap penafsirannya sebagai satu-
satunya yang benar.
d. Penyimpanyan dalam Tafsir Linguistik Al-Quran adalah wahyu yang
sarat akan makna. Keberadaannya tidak dapat dipahami secara benar
sebelum seseorang memahami bahasa Arab dengan baik. Hal Ini berarti
bahwa bahasa Arab memiliki peran yang cukup penting dalam
memahami pola-pola kalimat al-Quran guna menafsirkannya. Perihal
ini, Muhammad Chirzin menyontohkannya dalam penafsiran Imam
Zamakh Syari dala Tafsir al-Kasyaf, yaitu pada QS. Al Isra [17]: 71:
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya..” Menurutnya, Zamakhsyari ketika menafsirkan kata
“imamihim” maksudnya ialah “ibu-ibu” mereka. Dengan alasan kata
11
tersebut merupakan bentuk jama‟ dari kata “umm”. Penafsiran
demikian menurut Chirzin dianggap menyimpang sebab
menyelewengkan kaidah bahasa Arab. Dimana pada hakikatnya, kata
“umm” sebagai bentuk mufrad memiliki bentuk jama‟ “ummahat”,
bukan “imam”.
e. Penyimpangan dalam Tafsir Ilmi Betul klaim mufaisir ilmi bahwa Al-
Qur’an merupakan wahyu yang memuat segala persoalan. Setidaknya
Al-Qur’an mendukungnya, sebagaimana dalam Qs. Al-An’am ayat 3843.
Namun yang menjadi persoalan ialah manakala Al-Qur’an dijadikan
sebagai buku ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai justifikasi
kebenaran empirik ilmu-ilmu alam. Karena Al-Qur’an mengandung
prinsip-prinsip yang mandiri yang manusia dapat mengembangkannya.
Dalam artian, tidak mencocok-cocokan semaunya pembaca Al-Qur’an.
Perihal ini, AdDzahabi menjelaskan bahwa salah satu dari tafsir ilmi
yang diklaim sebagai menyimpang, ialah Tafsir Tanthawi Jauhari, ketika
menafsirkan Qs. Al-Baqarah Ayat Dan (ingatlah), ketika kamu berkata:
"Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja.
Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan
bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya,
ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya".
Masih menurut Adz-Dzahabi, ketika Tanthawi Jauhari menafsirkan ayat
di atas ialah menjelskan tentang faidah-faidah dan manfaat sayur-
sayuran di atas dalam kaitannya dengan kesehatan. Kemudian ia
sambung dengan penjelasan tentang kedokteran Eropa, dan ia
kemudian menyatakan bahwa kedokteran di Eropa ketika menentukan
sayuran-sayuran sebagai obat dan kesehatan, itu sesuai dengan Al-
Qur’an.
f. Penyimpangan dalam Tafsir Modern Modernasi dalam Islam
merupakan suatu keharusan jika Islam tidak ingin dianggap sebagai
agama yang out to date. Akan tetapi tidak berarti kemudian
menciptakan bentuk-bentuk penafsiran yang tidak sesuai prosedur dan
proposional. Perihal ini sebagaiaman salah satu penafsiran Tanthawi
Jauhari ketika menafsirkan Qs. Al-Anbiya Ayat 81: artinya: Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah
Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan. Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin
yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri
yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala
sesuatu. Menurutnya, negeri yang dimaksudkan di atas ialah Negeri-
negeri di Eropa, yang diibaratkan perintahnya itu dengan menggunakan
Telegram dan atau Telpon

12
Efek-Efek Negatif Bagi Aqidah Islam
Sebagaimana di atas telah disebutkan bahwa penyimpangan-
penyimpangan tafsir Al-Qur’an bisa terjadi di dalam corak-corak tafsir itu
sendiri, termasuk ialah di dalam tafsir-tafsir teologis yang bermuara kepada
keyakinan umat Islam atas agamanya sendiri. Dari penjelasan-penjelasan
sebelumnya, penyimpanganpenyimpangan tafsir Al-Qur’an dapat memberikan
efek-efek negatif kepada aqidah umat Islam, yaitu sebagai berikut:
a. Menganggap ajaran Islam tidak otentik
Jika kita telaah kembali penjelasan di atas, maka beberapa tafsir yang
menyimpang ialah menjadkan kisah-kisah orang Yahudi dan Nashrani
sebagai penafsiran Al-Qur’an. Selain itu, terdapat pemalsuan di dalam
muatan-muatan hadis yang tidak menyertakan sanad-sanadnya secara
lengkap. Hemat penulis, hal tersebut demikian berakibat negatif kepada
ajaran-ajaran Islam, yaitu akan muncul anggapan bahwa ajaran Islam tidak
otentik dari Allah Swt, melainkan saduran dan atau refleksi dari ajaran-
ajaran Yahudi dan Nashrani, serta bersumber dari nash-nash yang tidak
sama sekali diambil dari Nabi Muhammad Saw yang asli (hadis sahih).
b. Mencampuradukan agama Islam dengan non-Islam
Dengan adanya penyimpangan-penyimpangan di dalam tafsir Al-
Qur’an yang menjadikan ajaran dan atau inspirasi dari orang non-Islam,
secara otomatis hal itu akan mencampuradukan ajaran Islam dengan ajaran
nonIslam. Dengan begitu, aqidah umat Islam menjadi tidak murni. Aqidah
umat Islam hanya menjadi bahan pelengkap dari ajaran-ajaran non-Islam.
Tentu saja hal ini merupakan efek yang sangat berbahaya bagi umat Islam.
Sedangkan Islam sendiri ajaran-ajarannya semua datang dari Allah Swt,
bukan jiplakan.
c. Sesat memahami kandungan Al-Qur’an
Ketika penyimpangan Al-Qur’an dilakukan, dalam bentuk tafsir
apapun, secara tidak langsung Mufassirnya melakukan pembelokan makna
Al-Qur’an kepada makna yang seharusnya. Karena Al-Qur’an di dalamnya
juga terdapat ayat-ayat akidah, maka melakukan penyimpangan dalam
ayat-ayat akidah akan berdampak negatif kepada akidah umat Islam, yang
bisa jadi salah. Hal ini sangat berbahaya bagi akidahnya umat Islam yang
padahal sudah digarisbawahi dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan melalui tafsir
yang sesuai.
d. Merendahkan ulama salaf (Mufassir terdahulu)
Kita yakini bahwa dari mulai Nabi Muhammad Saw hingga para
sahabtnya semuanya menafsirkan Al-Qur’an dengan benar. Sebab para
Sahabat juga mendengar langsung apa yang dijelaskan Nabi melalui firman
Allah Swt tersebut. Ketika penyimpangan dalam tafsir dilakukan, berarti
secara tidak langsung juga merendahkan para ulama bahkan nabi, yang
telah melakukan penafsiran dengan baik dan benar. Tentu saja,
13
merendahkan Nabi, sahabatNya dan ulama-ulama setelahnya adalah suatu
hal yang dilarang dalam agama Islam itu sendiri. Akidah umat pun akan
berbelok kepada ulama-ulama yang melakukan penyimpangan tafsir Al-
Qur’an. Sehingga kesimpulannya, akidahakidah Nabi tidak akan murni lagi
ketika tafsir-tafsir yang menyimpang menggerogoti tafsir-tafsir terdahulu
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dzahabi ,Muhammad Husain. Ilmu Tafsir. Kairo: Dar al-Ma‟arif, t.th.

Adib, Noblana. Faktor-Faktor penyimpangan dalam Penafsiran AL-Qur’an, Jurnal


Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, Vol. 8, no. 1, 2017.

14
Al-Qaththan, Syekh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005.

al-Wahidi , Abu al-Hasan Ali Ibn Hasan. Al-Wasith Fi Tafsir al-Quran wal Majid,
Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ashiddiqy, Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1999.

Darmalaksana, Wahyudin. Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi


Lapangan. Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2020.

Halim, abd, M. Hum, Sebab-sebab Kesalahan dalam Tafsir, Peneliti pada Pusat Studi al-
Qur’an dan Hadits (PSQH). UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol, No. 1, April
2014.

Hamad, Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana. Jurnal Komunikasi, 2007.

Husain ibn Ali Ibn Husain al-Harby, Qawa‟id at-Tarjih Inda al-Mufassir: Dirasah
Nazhariyyah Tahtbiqiyyah. Riyadh: Dar al-Qashim, 1996..

L. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Nurdyanto, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa. 2016.

Parisi, Salman. Penyimpangan dalam Tafsir Al-Qur’an. Jurnal Hikmah 25, no. 2. 2019.

Qhaththan , Manna Khalil. Mabahis Fi Ulum al-Quran. Mesir: Maktabah Wahbiyyah.

Shihab, M. Quraih. Kaidah-Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera, 2007.

Shihab,M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Quran. Tangerang: Lentera Hati, 2013.

Sulaiman , Abdurrahman Ibn Salih Ibn. al-Ahwal al-Syaddah fi-Tafsir. Saudi: Silsilah
Ishdariyyat.

Sulaiman, Shabur Hasan Muhammad Abu. Maurid ad-Dham‟an Fi Ulum al-Quran,


India: Dar as-Salafiyyah, 1982.

15

Anda mungkin juga menyukai