Abstrak
Tujuan penelitian ini yaitu untuk memberikan gambaran tentang perdebatan
aspek ketuhanan dalam teologi Islam dan kaitannya dengan kalimat tauhid.
Penelitian ini membahas tiga mazhab besar Teologi Klasik yakni Mu’tazilah,
Asyariyah dan Al-Maturidiyah. Penelitian menggunakan jenis penelitian library
research. Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini yaitu kata Al-Qardh ditemukan
di dalam Al-Qur’an sejumlah 4 kali yakni terdapat di dalam Surah Al-Baqarah ayat
245, Surah Al Hadiid ayat 11, surah At-Taghabun ayat 17, dan surah Al-
Muzzammil ayat 20, semua kata dalam ayat tersebut bermakna pinjaman yang baik.
Mu’tazilah dalam memahami sifat tuhan sangat bertolak belakang dengan
Asy`ariyah dan Maturidiyah dikarenakan kaum Mu’tazilah dalam manifestasi men-
tauhidikan Tuhan menolak paham Anthropomorphisme (menyerupai sifat
makhluk), sedangkan Asy`ariyah dan Maturidiyah memahami bahwa Tuhan
memiliki sifat. Keadilan tuhan menurut Mu’tazilah dipahami bahwa Tuhan tidak
mungkin berbuat buruk dikarenakan Tuhan adalah zat yang sempurna yang
memiliki kewajiban mendatangkan yang baik dan segala bentuk perbuatan buruk
adalah ciptaan manusia dan bukan ciptaan Tuhan (Free Will), berbeda halnya
dengan Asy`ariyah yang memahami bahwa segala bentuk perbuatan yang baik
ataupun buruk adalah ciptaan Tuhan. Di sisi lain Maturidiyah berada pada posisi
pemahaman bahwa keadilan Tuhan di manifestasikan dengan memposisikan di
antara kehendak mutlak Tuhan (al Asy’ari) dan kebebasan penuh manusia
(Mu’tazilah).
1
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Jilid I (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h.
292.
pendirinya, Abu Hasan al-Asy’ari. Aliran ini muncul pada awal Abad ke-9 ketika
aliran Mu’tazilah berada dalam tahap kemunduran.
Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (Basrah, 260 H/873 M - Baghdad, 324
H/935 M). Seorang ahli hukum Islam terkenal, pemuka kaum teolog dan pendiri
aliran Asy’ariyah. Ia memiliki hubungan keturunan dengan Abu Musa al-Asy'ari,
seorang sahabat Nabi SAW yang juga periwayat hadis. Pada mulanya ia adalah
murid Abu Ali al-Jubba'i (salah seorang terkemuka dalam golongan Mu'tazilah)
sehingga, menurut Husain bin Muhammad al-Askari, al-Jubba'i berani
mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.
Empat puluh tahun al-Asy'ari menganut paham Mu'tazilah, dan pada
akhirnya ia meninggalkan paham tersebut. Faktor penyebabnya, menurut pendapat
yang berasal dari as- Subki dan Ibnu Asakir, ialah pada suatu malam al-Asy'ari
bermimpi; dalam mimpinya itu ia mendengar Nabi Muhammad SAW mengatakan
bahwa mazhab ahli hadislah yang benar, sedangkan mazhab Mu'tazilah adalah
salah. Sebab lain, al-Asy'ari pernah berdebat dengan gurunya, al-Jubba'i dan dalam
perdebatan itu guru tidak dapat menjawab tantangan muridnya itu.
Bagi al-Asy’ari, orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya
masih ada, tetapi dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi fasik. Sekiranya orang
yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya
tidak didapati kufur atau iman; dengan demikian bukanlah ia ateis dan bukan pula
monoteis, bukan teman dan bukan pula musuh. Ini tidaklah mungkin. Pengikut di
antara mereka yang terkenal adalah; Abu Bakar Muhammad al-Baqillani, al-
Isfirayaini, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan al-Ghazali. Di antara pengikutnya yang
paling berpengaruh adalah al-Ghazali yang menyebarluaskan ajaran Islam yang
lebih khusus ahlusunnah waljamaah.
Sebagaimana layaknya pengikut Hambali, al-Asy’ari berpendapat bahwa
Alquran sepenuhnya bukan makhluk, termasuk suara dan hurufnya. Sebagian
kalangan Asy’ariyah menetapkan bahwa hanya esensi Alquran bersifat Qadim,
sedang perwujudannya dalam bentuk suara dan huruf adalah makhluk. Namun,
sekalipun menolak doktrin-doktrin Mu’tazilah, al- Asy’ari telah menggunakan
metode dialektik rasional Mu’tazilah terhadap dogma-dogma ortodoksi Islam. Di
samping ia menggunakanya dalam hal-hal keduniaan juga berpegang teguh terhadap
aspek-aspek dengan ketuhanan dengan memberikan batas yang tegas untuk
menghindari spekulasi dengan menggunakan kaimat “bila kaifa” (tanpa bertanya
bagaimana).
Al-Asy’ari juga dikenal karena doktrin kasab (lih. perolehan) kaitannya
dengan perbuatan manusia. Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya
mengangkat ujung jari, adalah ciptaan Tuhan, namun ia diperoleh untuk
dipertanggungjawabkan.
2
Snyder, H., (2019). Literature review as a research methodology: An overview and guidelines.
Journal of Business Research, 104, pp.333-339.
a. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat
zatiyah, yang dimaksud dengan sifat esensi umpamanya, wujud
(al-wujud), kekekalan di masa lampau (al-qidam), hidup (al-
hayah), kekuasaan (al-qudrah);
b. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan yang
disebut sifat fi`liyah. Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat
yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhluk-
Nya, seperti kehendak (al-iradah), sabda (kalam), keadilan (al-
`adl) dan sebagainya.
Sedangkan kaum Asy`ariyah, sebagaimana yang dinyatakan al-
Asy`ari bahwa Tuhan mempunyai sifat, Mustahil, kata al-Asy`ari Tuhan
mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah
pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan
pengetahuan (`ilm) tetapi Yang Mengetahui (`alim). Tuhan mengetahui
dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian
pula dengan sifat-sifat seperti hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Selanjutnya aliran ini berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di Akhirat.
Alasannya ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan
hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan.
Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini, karena apa
yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat
diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak
mesti berarti bahwa Tuhan bersifat diciptakan.
Pendapat aliran Maturidiyah mengenai sifat tuhan sama dengan
pendapat Asy'ariyah yang menyatakan bahwa tuhan memiliki sifat.
Maturidiyah berpendapat bahwa sifat sifat tuhan itu mulazamah (ada
bersama; inhern) zat tanpa terpisah (innaha lam takun ain al-zat wa la hiya
ghairuhu). Maturidiyah menetapkan sifat bagi Allah Swt tidak harus
membawa kepada pengertian anthropomorphisme, karena sifat tidak
berwujud yang terpisah dari zat, sehingga berbilang sifat tidak akan
membawa pada berbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama). Tampaknya
paham Maturidiyah tentang makna sifat tuhan cenderung mendekati paham
mu’tazilah. Perbedaannya, al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat tuhan,
sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat tuhan.
Daftar Pustaka