Anda di halaman 1dari 12

PERDEBATAN ASPEK KETUHANAN DALAM TEOLOGI

ISLAM DAN KAITANNYA DENGAN KALIMAT TAUHID


(Analisis Terhadap Tiga Mazhab Besar Teologi Klasik;
Mu’tazilah, Asyariyah Dan Al-Maturidiyah)
Kahar
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
kahargalesong91@gmail.com
Abdullah Thalib
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Moch. Qasim Mathar
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Abstrak
Tujuan penelitian ini yaitu untuk memberikan gambaran tentang perdebatan
aspek ketuhanan dalam teologi Islam dan kaitannya dengan kalimat tauhid.
Penelitian ini membahas tiga mazhab besar Teologi Klasik yakni Mu’tazilah,
Asyariyah dan Al-Maturidiyah. Penelitian menggunakan jenis penelitian library
research. Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini yaitu kata Al-Qardh ditemukan
di dalam Al-Qur’an sejumlah 4 kali yakni terdapat di dalam Surah Al-Baqarah ayat
245, Surah Al Hadiid ayat 11, surah At-Taghabun ayat 17, dan surah Al-
Muzzammil ayat 20, semua kata dalam ayat tersebut bermakna pinjaman yang baik.
Mu’tazilah dalam memahami sifat tuhan sangat bertolak belakang dengan
Asy`ariyah dan Maturidiyah dikarenakan kaum Mu’tazilah dalam manifestasi men-
tauhidikan Tuhan menolak paham Anthropomorphisme (menyerupai sifat
makhluk), sedangkan Asy`ariyah dan Maturidiyah memahami bahwa Tuhan
memiliki sifat. Keadilan tuhan menurut Mu’tazilah dipahami bahwa Tuhan tidak
mungkin berbuat buruk dikarenakan Tuhan adalah zat yang sempurna yang
memiliki kewajiban mendatangkan yang baik dan segala bentuk perbuatan buruk
adalah ciptaan manusia dan bukan ciptaan Tuhan (Free Will), berbeda halnya
dengan Asy`ariyah yang memahami bahwa segala bentuk perbuatan yang baik
ataupun buruk adalah ciptaan Tuhan. Di sisi lain Maturidiyah berada pada posisi
pemahaman bahwa keadilan Tuhan di manifestasikan dengan memposisikan di
antara kehendak mutlak Tuhan (al Asy’ari) dan kebebasan penuh manusia
(Mu’tazilah).

Kata Kunci: Mu’tazilah, Asyariyah Dan Al-Maturidiyah


Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna daan mengajarkan konsep ketuhanan
sebagai pondasi dasar keimanan, bahkan menjadi sumber segala macam
kepercayaan. Kecelakaan besar sebagai seorang manusia jika mempunyai
keyakinan/kepercayaan yang salah tentang Tuhan, atau yang menganggap Tuhan
apa yang sebenarnya bukan Tuhan, atau yang menyangka perbuatan dan kehendak
Tuhan terhadap kejadian yang justru menjadi konsekuensi perbuatan manusia itu
sendiri.
Dalam perkembangan kepercayaan umat Islam, terjadi proses perdebatan
tentang zat Tuhan, sifat-Nya, kejisiman-Nya, kekuasaan- Nya, kehendak-Nya
bahkan perbuatan-perbuatan lain-Nya, menyertai perkembangan kemampuan daya
pikir umat Islam dalam menyingkap tabir dibalik keajaiban alam berserta isinya
sebagai bukti kebenaran ayat-ayat-Nya. Ibnu al-Arabi, mengkritik orang yang
memutlakkan kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya
itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai
dianggapnya salah. Perbedaan cara pandang dan interpretasi bahkan apresiasi
kepercayaan di atas melahirkan timbulnya aliran-aliran Teologi dalam Islam.
Dalam sejarah perkembangan teologi Islam tercatat sebanyak 10 aliran
besar yang berkembang dari sejak masa pasca khullafaurrasyidin, yaitu; Syi‟ah,
Khawarij, Murji‟ah, Mu‟tazilah, Dhirariyyah, Huseiniyyah, Bakriyyah, Ammah,
Asy‟ariyyah, Maturidyyah dan Kullabiyah (Yusuf, Diningrat: 1998: 62). Setiap
aliran telah mengembangkan prinsip-prinsip ajaran dan doktrin-doktrin keyakinan
kepada pengikutnya, sehingga melahirkan klaim-klaim kebenaran menurut
keyakinan yang diperpeganginya atau dengan kata lain terjadi perdebatan yang
diantaranya tentang ketuhanan, hal inilah yang kemudian akan dikaji melalui tulisan
makalah ini. Imam Ali Jumuah dalam Khasyiah Baijuri ‘ala Jauharah Tauhid
menjelaskan bahwa akar permasalahan dari teologi Islam dilacak dari perbedaan
pendapat Mu’tazilah dan Asy’ariyah dalam hal ini dipelopori oleh Abu Hasan al-
Asy’ari dan aliran Maturidiyah yang disandarkan kepada imam Abu Mansur al-
Maturudi dan pengikutnya.
Oleh sebab itu, tulisan ini memfokuskan kepada tiga aliran yang secara
teologis sangat besar pengaruhnya dan mewarnai sejarah perkembangan pemikiran
islam klasik sampai dengan saat ini dan begitu menarik perdebatannya pada aspek
ketuhanan yaitu Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah. Selain itu, tulisan ini juga
akan membahas hubungan pemikiran aliran tersebut dengan kalimat Tauhid (َ‫َل إِلَه‬
‫) ِإ َل للاه‬, dikarenakan perdebatan mutakkallimin dalam hal aspek ketuhanan yang
memunculkan perdebatan dalam sejarah teologi Islam dalam kaitannya dengan
kalimat tauhid tersebut memacu pada paradigma umat Islam dalam menyikapi
berbagai perkembangan, dan menjadi sebuah bangunan kokoh dalam memahami
esensi ketuhanan dan mengesakan Tuhan. Dalam teologi Islam, tentang wujud
Allah tidak menjadi persoalan tetapi penafsiran tentang sifat-sifat-Nya, kalam-Nya,
intinya perdebatan lebih memfokuskan tentang sifat-sifat Allah, keadilan Tuhan,
hubungan wahyu dan akal dan perbuatan manusia (Giling. 2014: 1). Munculnya
firqah-firqah ini ini seakan terlahir dalam atmosfer dialektika yang begitu tajam,
yang muncul dari proses tesa, antitesa, dan sintesa, atau timbul dan berkembang
secara alami dalam dinamika aksi, reaksi, dan kompromi.
Mengenal Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah (dari kata Arab a’tazalah, mengambil jarak, memisahkan diri,
mengundurkan diri). Sebuah aliran pemikiran yang muncul akibat konversi setelah
perang saudara antara pihak Ali bin Abi Thalib dan pihak Zubayr dan Thalhah, dan
sebagai reaksi terhadap keabsolutan pandangan hitam di atas putih gerakan
Kharijiyyah. Menghadapi konflik antara dua kelompok yang saling bertentangan di
mana tidak satupun dari keduanya tidak membawakan kebenaran pandangan secara
komprehensif yang dapat diterima oleh pemikiran rasional, maka muncullah
kebutuhan terhadap nuansa dogmatis.1
Salah satu respon atau solusi yang ditawarkan aliran Mu’tazilah adalah
konsep al- Manzilat Baynal-Manzilatain (sebuah posisi di antara dua posisi)
konsep ini merupakan jawaban terhadap sebuah pertanyaan yang muncul di tengah-
tengah majelis Hasan al-Bashari, yakni “apakah muslim yang melakukan dosa besar
tetap sebagai mukmin atau tidak”. Terhadap permasalahan ini, pihak Kharijiyyah
berpendapat bahwa orang tersebut tidak lagi berkedudukan sebagai orang beriman
sehingga ia harus dihukum bunuh.
Jawaban Hasan Al-Basri mengenai permasalahan ini adalah bahwasanya
orang tersebut tetap berkedudukan sebagai seorang muslim yang berperilaku
munafik, sedang pandangan Washil Ibnu Atho (W.131/748) menegaskan bahwa
kedudukan orang tersebut tidak sebagai mukmin juga bukan sebagai kafir,
melainkan berada di antara kedua kedudukan tersebut, dan pandangan ini
merupakan awal lahirnya kelompok Mu’tazilah, yakni orang-orang yang
memisahkan diri dari Hasan Al-Bashri sebagai guru besar yang terpercaya
perkataannya.
Tokoh lain dari aliran ini adalah Amr Ibnu Ubayd (W.145/762) dan
berikutknya adalah Abu Huday (W.235/849). Mereka ini adalah tokoh-tokoh
perumus ajaran Mu’tazilah. Aliran ini mengambil cara pemikiran filsafat
Helenistik, dan menerapkan rasio atau pemikiran akal untuk menyelesaikan
problema kefilsafatan, karenanya aliran ini mendorong munculnya disiplin kalam,
yakni sebuah teologi yang khas Islam. Paham Mu’tazilah mensuplai berbagai
ideologi tertentu yang berkembang di Persia, dan melalui posisi sejarahnya berada
antara pihak Umayyah dan Syiah. Sehingga selama periode tertentu aliran ini
dengan mudah menjadi pandangan filsafat yang dominan dalam pemerintahan
Abbasyiah.
Doktrin Mu’tazilah mengenai kebebasan berkehendak, dan doktrin
lainnya, dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk melawan pihak penguasa Umayyah
di mana pihak Umayyah mempertahankan regimnya dengan argumentasi takdir
Tuhan sebagaimana yang dikemukakan oleh kalangan Tradisionalis (Ahl al-Hadis).

Mengenal Aliran Asyariyah


Salah satu aliran teologi yang terpenting dalam Teologi Islam disebut juga
aliran Ahlusunnah wal Jamaah yang berarti golongan yang mayoritas yang sangat
teguh berpegang pada sunnah Nabi SAW. Nama aliran ini dinisbatkan kepada

1
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Jilid I (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h.
292.
pendirinya, Abu Hasan al-Asy’ari. Aliran ini muncul pada awal Abad ke-9 ketika
aliran Mu’tazilah berada dalam tahap kemunduran.
Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (Basrah, 260 H/873 M - Baghdad, 324
H/935 M). Seorang ahli hukum Islam terkenal, pemuka kaum teolog dan pendiri
aliran Asy’ariyah. Ia memiliki hubungan keturunan dengan Abu Musa al-Asy'ari,
seorang sahabat Nabi SAW yang juga periwayat hadis. Pada mulanya ia adalah
murid Abu Ali al-Jubba'i (salah seorang terkemuka dalam golongan Mu'tazilah)
sehingga, menurut Husain bin Muhammad al-Askari, al-Jubba'i berani
mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.
Empat puluh tahun al-Asy'ari menganut paham Mu'tazilah, dan pada
akhirnya ia meninggalkan paham tersebut. Faktor penyebabnya, menurut pendapat
yang berasal dari as- Subki dan Ibnu Asakir, ialah pada suatu malam al-Asy'ari
bermimpi; dalam mimpinya itu ia mendengar Nabi Muhammad SAW mengatakan
bahwa mazhab ahli hadislah yang benar, sedangkan mazhab Mu'tazilah adalah
salah. Sebab lain, al-Asy'ari pernah berdebat dengan gurunya, al-Jubba'i dan dalam
perdebatan itu guru tidak dapat menjawab tantangan muridnya itu.
Bagi al-Asy’ari, orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya
masih ada, tetapi dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi fasik. Sekiranya orang
yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya
tidak didapati kufur atau iman; dengan demikian bukanlah ia ateis dan bukan pula
monoteis, bukan teman dan bukan pula musuh. Ini tidaklah mungkin. Pengikut di
antara mereka yang terkenal adalah; Abu Bakar Muhammad al-Baqillani, al-
Isfirayaini, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan al-Ghazali. Di antara pengikutnya yang
paling berpengaruh adalah al-Ghazali yang menyebarluaskan ajaran Islam yang
lebih khusus ahlusunnah waljamaah.
Sebagaimana layaknya pengikut Hambali, al-Asy’ari berpendapat bahwa
Alquran sepenuhnya bukan makhluk, termasuk suara dan hurufnya. Sebagian
kalangan Asy’ariyah menetapkan bahwa hanya esensi Alquran bersifat Qadim,
sedang perwujudannya dalam bentuk suara dan huruf adalah makhluk. Namun,
sekalipun menolak doktrin-doktrin Mu’tazilah, al- Asy’ari telah menggunakan
metode dialektik rasional Mu’tazilah terhadap dogma-dogma ortodoksi Islam. Di
samping ia menggunakanya dalam hal-hal keduniaan juga berpegang teguh terhadap
aspek-aspek dengan ketuhanan dengan memberikan batas yang tegas untuk
menghindari spekulasi dengan menggunakan kaimat “bila kaifa” (tanpa bertanya
bagaimana).
Al-Asy’ari juga dikenal karena doktrin kasab (lih. perolehan) kaitannya
dengan perbuatan manusia. Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya
mengangkat ujung jari, adalah ciptaan Tuhan, namun ia diperoleh untuk
dipertanggungjawabkan.

Mengenal Aliran Al-Maturidiyah


AL-MATURIDI, (Abu Mansyur) (859-944), adalah seorang teolog
terkemuka. Nama lengkap Abu Mansyur Al-Maturidi ialah Abu Mansyur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Maturidi
as-Samarkandi. Ia lahir di Maturid dekat Samarkand wilayah Transoxiana Asia
Tengah (sekarang termasuk daerah Uzbeskistan Uni Sovyet). Oleh sebagian
penulis, Al-Maturidi dinyatakan keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari, seorang
sahabat Rasulullah di Madinah. Hal ini, menurut mereka diperkuat oleh fakta bahwa
sebagian kaum kerabat Al-Maturidi yang tingal di Samarkand adalah orang-orang
yang berasal dari Arab Madinah. Meskipun Al-Maturidi termasuk salah seorang
tokoh di bidang teologi Islam yang terkenal dan cukup banyak pengikutnya, tetapi
riwayat hidupnya secara lengkap tidak banyak diketahui orang.
Menurut Ayyub Ali, penyebabnya ialah karena seluruh penulis biografi,
hanya memberikan gambaran kehidupannya secara singkat saja. Tahun kelahiran
Al-Maturidi tidak diketahui dengan pasti. Ayyub Ali memperkirakan ia lahir
sekitar tahun 238 H/ 853 M. Dasar pertimbangannya antara lain: salah seorang guru
Al-Maturidi, yaitu Muhammad al-Muqatil ar- Razi, meninggal dunia tahun 248
H/862 M, Al-Maturidi hidup masa Khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada
tahun 232-247 H/847-816 M. Walaupun perkiraan Abu Ayyub Ali tersebut
mempunyai dasar pertimbangan historis, namun angka pasti tentang tahun
kelahiran Al-Maturidi tersebut masih perlu penelitian lebih lanjut.
Al-Maturidi wafat pada tahun 333 H/944 M, di kota Samarkand.
Berdasarkan perkiraan Ayyub Ali di atas, dapat diduga Al-Maturidi tidak hanya
lebih tua usianya dari Abu Hasan Al- Asy’ari (lahir 873 M, tetapi juga dapat
diperkirakan bahwa gerakan Al-Maturidi dalam menentang golongan Mu’tazilah,
dimulai lebih dahulu dari gerakan Al-Asy’ari. Karena Al- Asy’ari sampai usia 40
tahun aktif mengembangkan faham Mu’tazilah, sedangkan Al-Maturidi ketika itu
telah berusia 60 tahun.
Aliran Fiqh yang dianut Al-Maturidi, sebagaimana yang dianut oleh para
gurunya yaitu aliran Fiqh Hanafi. Sebagaimana ulama mengatakan bahwa di bidang
teologi pun sesungguhnya Al-Maturidi merupakan penerus dan pengembang
pikiran Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio dan beraliran Murji’ah
moderat. Atas dasar keahlian Al-Maturidi yang mendalam di bidang teologi Islam,
masyarakat telah memberikan gelar kepadanya dengan sebutan “Imamul Huda” dan
“Imamul Mutakallim”. Mahmud al-Kuwafi menyebut Al- Maturidi sebagai:
“Pemimpinnya pembimbing, cerminan kaum Sunni dan pembimbingnya, pembawa
standar Ahlus-Sunnah wal Jamaah, pembongkar kesesatan yang lahir dari
kekacauan dan bid’ah, pemimpin skolastik dan ahli perbaikan keimanan umat
Islam”. Al-Maturidi telah menulis beberapa karya ilmiah yang kesemuanya masih
dalam bentuk manuskripts atau makhtutah antara lain: Kitabutta’wilil Qur’an,
Kitabun Na’Khazisy syara’I, Kitabul Jadal. Kitabul Ushulu fi Ushuluddin, Kitabul
Maqalatifil Kalam, Kitabul Tauhid, Kitabul Raddi ‘alal Karamitah, Kitabul Bayani
Wahmil Mu’tazilah, Kitabur Raddi Wa’idil Fussaqi, dan Syarhul Fiqhil Akbar.
Sumbangan pikiran tentang Teologi Islam Al-Maturidi: Menurut Al-
Maturidi, untuk mencapai suatu pengetahuan yang benar, diperlukan adanya tiga
macam sumber, yaitu: panca indra (ala’yan), berita (al-Akhbar) dan akal (al-nazar).
Akal merupakan sumber terpenting antara ketiga sumber tersebut. Sebab tanpa
adanya akal, panca indra dan berita tidak dapat memberikan kepastian tentang suatu
pengetahuan. Selanjutnya, menurut Al-Maturidi bahwa akal sebagai panca indra
memiliki keterbatasan yang tidak dapat dielakkan. Karenanya, manusia masih
memerlukan bimbingan berupa wahyu Allah.
Menurut Al-Maturidi, wahyu Allah tidak terbatas hanya berisi tentang
masalah- masalah dunia. Dalam Alquran tidak terdapat ayat-ayat yang berlawanan
antara satu dengan yang lainnya. Kalaupun ada, ayat-ayat tersebut haruslah diberi
ta’wil atau diserahkan pengertiannya kepada Allah sendiri. Jika akal bertentangan
dengan hokum syara’, akal harus tunduk pada hokum syara’, bukan sebaliknya.
Akal tidak berstatus sebagai penguasa terakhir untuk menetapkan kewajiban
manusia dan agama. Dasar kewajiban haruslah berasal dari wahyu dan bukan
dari akal.
Metodologi
Metode yang dipakai dalam penelitian ini ialah metode penelitian
kepustakaan (library research) atau studi Pustaka. Ciri khusus yang dipakai sebagai
dasar untuk mengembangkan pengetahuan penelitian antara lain: penelitian ini
dihadapkan langsung dengan data atau teks yang disajikan, bukan dengan data
lapangan atau melalui saksi mata berupa kejadian, penelitian hanya berhadapan
langsung dengan sumber yang sudah ada di perpustakaan atau data bersifat siap
pakai, serta data-data sekunder yang digunakan2
Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi dan Kaitannya dengan
Kalimat Tauhid
1. Tentang Sifat Tuhan
Kaum Mu`tazilah berpendapat bahwa Allah itu qadim, qidam adalah
sifat khusus bagi zat-Nya. Mereka mengatakan bahwa Allah Maha
Mengetahui dengan zat-Nya, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan dan
kehidupan, karena semua ini adalah sifat sedangkan sifat adalah sesuatu di
luar zat. Karena kalau sifat berada pada zat yang qadim, sedang sifat qadim
adalah sifat yang lebih khusus, niscaya akan terjadi dualisme yakni zat dan
sifat.
Oleh karena itu ajaran-ajaran dasar yang terpenting bagi Mu`tazilah
ialah al tauhid atau ke-Maha-Esaan Tuhan. Tuhan dalam paham mereka
akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang
unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu mereka menolak
paham Anthropomorphisme, (Anthropomorphisme sebagaimana diketahui
menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya.
Selanjutnya mereka juga menolak beatific vision, yaitu Tuhan dapat
dilihat manusia dengan mata kepalanya. Tentang apakah dapat melihat zat
Allah pada hari Akhirat, kaum Mu`tazilah menolak kemungkinan melihat
zat Allah dengan mata kepala pada hari Akhirat, karena menurutnya apabila
zat Allah dapat dilihat, berarti zat-Nya sama dengan zat yang lain, padahal
zat Allah tidak berada pada arah tertentu, tidak mempunyai tempat, tidak
berbentuk, tidak mempunyai rupa, tidak terdiri dari materi, tidak menempati
ruang, tidak berpindah-pindah, tidak dapat dibilang, tidak berubah dan tidak
terpengaruh.
Selanjutnya kaum Mu`tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam
dua golongan :

2
Snyder, H., (2019). Literature review as a research methodology: An overview and guidelines.
Journal of Business Research, 104, pp.333-339.
a. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat
zatiyah, yang dimaksud dengan sifat esensi umpamanya, wujud
(al-wujud), kekekalan di masa lampau (al-qidam), hidup (al-
hayah), kekuasaan (al-qudrah);
b. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan yang
disebut sifat fi`liyah. Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat
yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhluk-
Nya, seperti kehendak (al-iradah), sabda (kalam), keadilan (al-
`adl) dan sebagainya.
Sedangkan kaum Asy`ariyah, sebagaimana yang dinyatakan al-
Asy`ari bahwa Tuhan mempunyai sifat, Mustahil, kata al-Asy`ari Tuhan
mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah
pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan
pengetahuan (`ilm) tetapi Yang Mengetahui (`alim). Tuhan mengetahui
dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian
pula dengan sifat-sifat seperti hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Selanjutnya aliran ini berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di Akhirat.
Alasannya ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan
hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan.
Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini, karena apa
yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat
diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak
mesti berarti bahwa Tuhan bersifat diciptakan.
Pendapat aliran Maturidiyah mengenai sifat tuhan sama dengan
pendapat Asy'ariyah yang menyatakan bahwa tuhan memiliki sifat.
Maturidiyah berpendapat bahwa sifat sifat tuhan itu mulazamah (ada
bersama; inhern) zat tanpa terpisah (innaha lam takun ain al-zat wa la hiya
ghairuhu). Maturidiyah menetapkan sifat bagi Allah Swt tidak harus
membawa kepada pengertian anthropomorphisme, karena sifat tidak
berwujud yang terpisah dari zat, sehingga berbilang sifat tidak akan
membawa pada berbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama). Tampaknya
paham Maturidiyah tentang makna sifat tuhan cenderung mendekati paham
mu’tazilah. Perbedaannya, al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat tuhan,
sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat tuhan.

2. Tentang keadilan Tuhan


Tentang keadilan, kaum Mu`tazilah berpendapat sebagaimana yang
diungkapkan oleh `Abd al-Jabbar, bahwa semua perbuatan Tuhan bersifat
baik, Tuhan tidak berbuat buruk, dan tidak melupakan apa yang wajib
dikerjakan-Nya. Dengan demikian Tuhan tidak berdusta, tidak bersikap
dzalim, tidak menyiksa anak-anak orang-orang polytheist lantaran dosa
orang tua mereka, tidak menurunkan mukjizat bagi pendusta dan tidak
memberi beban yang tidak dapat dipikul oleh manusia. Selanjutnya itu
berarti bahwa Tuhan memberi daya kepada manusia untuk dapat memikul
beban-beban yang diletakkan Tuhan atas dirinya, menerangkan hakikat
beban-beban itu, dan memberi upah atau hukuman atas perbuatan-perbuatan
manusia.
Tuhan, dalam pandangan kaum Mu`tazilah, tidak berbuat buruk,
bahkan menurut salah satu golongan, tidak bisa (laa yaqdir) berbuat buruk
(dzalim) karena perbuatan yang demikian timbul hanya dari orang yang
tidak bersifat sempurna, dan Tuhan bersifat Maha Sempurna. Oleh karena
itu, menurut kaum Mu`tazilah bahwa wajib bagi Tuhan untuk
mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Selanjutnya
soal keadilan Tuhan menimbulkan persoalan tentang perbuatan manusia.
bagi kaum Mu`tazilah perbuatan manusia bukanlah perbuatan
Tuhan, tetapi adalah perbuatan manusia itu sendiri. Dengan kata lain
manusia adalah pencipta (khaliq) perbuatan-perbuatan-Nya. Pendapat
kaum Mu`tazilah ini ditentang oleh al-Ghazali, karena menurut
pendapatnya hal itu bertentangan dengan ijma` atau konsensus alim ulama
tentang tidak adanya pencipta kecuali Allah (laa khaaliqa illa Allah).
Tentang perbuatan-perbuatan manusia, bagi al-Asy`ari bukanlah
diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan
kufur adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufur itu
sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki oleh orang kafir ini tidak
dapat diwujudkannya. Perbuatan iman yang bersifat baik, tetapi berat dan
sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan iman itu janganlah berat dan
sulit, tetapi apa yang dikehendaki-Nya itu tidak dapat diwujudkannya.
Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufur itu bukanlah orang
kafir yang tak sanggup membuat kufur bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang
mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak supaya kufur bersifat
buruk. Demikian pula yang menciptakan pekerjaan iman bukanlah orang
mukmin yang tidak sanggup membuat iman bersifat tidak berat dan sulit,
tetapi Tuhanlah yang menciptakannya dan Tuhan memang
menghendakinya supaya iman bersifat berat dan sulit. Istilah yang dipakai
al-Asy`ari untuk perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan ialah al-kasb.
Arti iktisab menurut al-Asy`ari ialah bahwa sesuatu terjadi dengan
perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan
atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. Tentang
kasb berdasarkan surah al-Shaffat (37: 96) :
ُُ َ‫ُو َماُتَعۡ َملهون‬
َ ‫ٱّللُ َخ َلقَ هك ۡم‬
ُ‫َو َه‬
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu".
Al-Asy`ari mengartikan kata wa maa ta`maluun dengan “apa yang
kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Dengan demikian ayat ini
mengandung arti bahwa Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan
kamu. Jadi dalam paham al-Asy`ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah
diciptakan Tuhan, dan tidak ada pembuat (fa`il) bagi kasb kecuali Allah.
Dengan perkataan lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Tentang perbuatan-perbuatan dari manusia, menurut al-Asy`ari
terdapat dua unsur, penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang
bergerak. Penggerak yaitu pembuat gerak yang sebenarnya (al-fa`ill aha
haqiqatiha) adalah Tuhan dan yang yang bergerak adalah manusia. Yang
bergerak tidaklah Tuhan karena gerak menghendaki tempat yang bersifat
jasmani. Tuhan tidak mungkin mempunyai bentuk jasmani. Al-Kasb serupa
dengan gerak involunter ini, juga mempunyai dua unsur, pembuat dan yang
memperoleh perbuatan.
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa arti Tuhan
menciptakan perbuatan-perbuatan manusia adalah Tuhanlah yang menjadi
pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia, dan arti timbulnya
perbuatan-perbuatan dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan
adalah manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan adalah manusia
sebenarnya merupakan tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan. Oleh
karena itu dalam teori al-kasb sebenarnya tidaklah ada perbedaan antara al-
kasb dengan perbuatan involunter dari manusia. Pembuat dalam kedua hal
ini, seperti ditegaskan al-Asy`ari sendiri adalah Tuhan, selanjutnya dalam
kedua hal itu manusia hanya merupakan tempat berlakunya
perbuatanperbuatan Tuhan.
Sedangkan menurut Asy`ariyah, menentang paham keadilan Tuhan
yang dimiliki kaum Mu’tazilah, menurutnya Tuhan berkusa mutlak dan tak
ada satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya,
sehingga Dia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Dia
bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka
tidaklah Dia bersifat dzalim.
Sedangkan paham keadilan bagi kaum Mu`tazilah mengandung arti
kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan bukanlah
hanya berarti memberi upah kepada yang berbuat baik dan memberi
hukuman bagi orang yang berbuat salah. Paham Tuhan berkewajiban
membuat apa yang terbaik bagi manusia saja mengandung arti yang luas
sekali, seperti tidak memberi beban yang terlalu berat bagi manusia,
pengiriman rasul dan nabi-nabi, memberi manusia daya untuk
melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan sebagainya. Semua ini
merupakan kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia. Keadilan
menghendaki supaya Tuhan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

3. Tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan


Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan,
Mu`tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat
mutlak lagi. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang
telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.
Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan.
Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak Nya. Tuhan telah terikat pada
norma-norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan tidak bersifat
adil bahkan dzalim. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan juga dibatasi
oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia. Kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan ini juga dibatasi oleh nature atau hukum alam
(sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan., sebagaimana al-qur`an
menyatakan dalam surah al-Ahzab (33: 62)

‫ُٱّللُِت َۡبد ا‬ ‫ُو َلنُت َِج َدُ ِل ه‬


َ ‫سنَ ِة‬ ُۖ ِ ‫ُٱّللُِفِيُٱ َلذِينَ ُ َخ َل ۡو ْا‬
َ َ‫سنَة‬
ُ ُُ‫ِيٗل‬ َ ‫ُمنُقَ ۡب هل‬ ‫ه‬

Artinya: Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang


Telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati
peubahan pada sunnah Allah.
Berbeda halnya dengan kaum Asy`ariyah dalam menjelaskan
kemutlakan dan kehendak Tuhan ini, Asy`ari mengatakan bahwa Tuhan
tidak tunduk kepada siapapun, di atas Tuhan tidak ada satu zat lain yang
dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan
apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak
dan kekuasaan-Nya. Tuhan adalah Maha Pemilik (al-Malik) yang bersifat
absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya
dan tak seorangpun yang dapat mencelah perbuatan-Nya, sungguhpun
perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan
tidak adil. (Nasution, 2006: 118).
Sedangkan kaum Maturidiyah memahami kekuasaan dan kehendak
Tuhan menunjukkan sikap yang berupaya melerai ekstremisme Mu’tazilah
dan pihak Asy’ariyah dalam masalah ini. Jika kelompok pertama dengan
tidak mengakui adanya peranan Tuhan sedikitpun pada perbuatan manusia,
sementara faksi kedua menyatakan bahwa manusia hanya menjalani takdir
sebagaimana telah digariskan oleh Tuhan, maka al-Maturidi menjadikan
kesepaduan tindakan manusia dan ridha Tuhan sebagai alternatif demi
sebuah usaha untuk tidak mengesampingkan peranan salah satunya. Sikap
demikian itu dalam pikiran al-Maturidi dikenal dengan kemauan manusia
untuk menggunakan daya (masyi’ah) yang diberikan Tuhan. Baginya,
Tuhan memberinya kapasitas, daya, kemampuan (istita’a) yang oleh al-
Maturidi dibagi kepada dua arti, yaitu kapasitas yang memungkinkan (al-
qudra almumakkina) dan memfasilitasi kapasitas (al-qudra al-muyassira).
Pengertian pertama sifatnya mendahului tindakan, sedangkan yang kedua
berjalan bersamaan dengan perbuatan. kapasitas yang memungkinkan
tindakan itu seperti adanya tangan, mata, telinga, kaki dan lain semisalnya
(Omar, 1974).
Penutup
Mu’tazilah dalam memahami sifat tuhan sangat bertolak belakang dengan
Asy`ariyah dan Maturidiyah dikarenakan kaum Mu’tazilah dalam manifestasi men-
tauhidikan Tuhan menolak paham Anthropomorphisme (menyerupai sifat
makhluk), sedangkan Asy`ariyah dan Maturidiyah memahami bahwa Tuhan
memiliki sifat. Keadilan tuhan menurut Mu’tazilah dipahami bahwa Tuhan tidak
mungkin berbuat buruk dikarenakan Tuhan adalah zat yang sempurna yang
memiliki kewajiban mendatangkan yang baik dan segala bentuk perbuatan buruk
adalah ciptaan manusia dan bukan ciptaan Tuhan (Free Will), berbeda halnya
dengan Asy`ariyah yang memahami bahwa segala bentuk perbuatan yang baik
ataupun buruk adalah ciptaan Tuhan. Di sisi lain Maturidiyah berada pada posisi
pemahaman bahwa keadilan Tuhan di manifestasikan dengan memposisikan di
antara kehendak mutlak Tuhan (al Asy’ari) dan kebebasan penuh manusia
(Mu’tazilah).
Jika menyimak beberapa literatur tentang teologi Islam setidaknya kita bisa
menyimpulkan bahwa banyaknya aliran teologi Islam yang muncul disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama pemahaman yang beragam tentang satu ayat dalam al-
Quran maupun hadits Rasulullah saw. Kedua adalah ekspansi umat Islam yang
menyebabkan terjadinya campur baur antara Islam dan ideologi lainnya. Ketiga
proses penerjemahan karya-karya filsafat kedalam bahasa Arab, dan terakhir
keempat memanasnya suhu politik dan ekonomi dikalangan umat Islam. Semua
runtutan perdebatan yang ada dalam khazanah keilmuan Islam akan mengarah pada
faktor-faktor tersebut. Ini membawa dampak negatif di satu sisi akan tetapi lebih
banyak memberikan manfaat yang baik bagi perkembangan sejarah dan peradaban
umat Islam. Dalam teologi sendiri misalnya, dengan munculnya perdebatan tersebut
umat Islam bisa membuktikan bahwa kebertuhanan dalam agama Islam tidak hanya
sebuah konteks dan taklid buta terhadap doktrin agama melainkan mampu di dekati
melalui pendekatan rasio dan berfikir yang sistematis. Berkaitan dengan perdebatan
ketuhanan yang ada kaitannya dengan kalimat tauhid, setidaknya Islam mengacu
pada beberapa aliran yang secara konstan menjadi rujukan perdebatan ini. Yaitu
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturudiyah.

Daftar Pustaka

Akimkhanov, Askar Bolatbekovich, dkk, vol. 12 no. 6 2016. “Principles of Abu


Mansur al-Maturidi, Central Asian Islamic Theologian Preoccupied with
the Question of the Relation between the Iman/Credo and the Action in
Islam”, European Journal of Science and Theology.
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Jilid I (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1999), h. 292.
Giling, Hamzah: “Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan Dalam Teologi dan
Kaitannya Dengan Kalimat Tauhid.”, vol. 2 no. 1 (2016).
http://journal.iain-ternate.ac.id/index.php/altadabbur/article/view/14
(Diakses 20 Maret 2022).
Harun Nasution, Teologi Islam rasional Apreasi Terhadap Wacana dan Praktis
Harun Nasution (ed.), Abdul Halim, cet. II, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, cet.
V, Jakarta: UI Press, 2006.
Mansur, Afrizal. Saputra, Andi: “Konsep Keadilan Tuhan: Studi Pemikiran Teologi
Abu Mansur Al-Maturidi.”, vol. 7 no. 2 (2018). http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/view/6373 (Diakses 20 Maret 2022).
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta,
Universitas Indonesia, 1986.
Taslim, Bagaimana Sifat-sifat Tuhan dalam Aliran Teologi Islam? Kompasiana 9
Januari2021,https://www.kompasiana.com/taslim160799/5ff91beed541df
235f276b02/bagaimana-sifat-sifat-tuhan-dalam-aliran-teologi-
islam?page=2 (Diakses 20 Maret 2022)
Zar, Abu, “Pemikiran alMaturidiyah dalam Pemikiran Islam”, Jurnal Adabiyah,
vol. 14, no. 2 (2014).

Anda mungkin juga menyukai