Anda di halaman 1dari 20

PERDEBATAN ASPEK-ASPEK KETUHANAN DALAM

TEOLOGI ISLAM DAN KAITANNYA DENGAN KALIMAT


TAUHID (ANALISIS TERHADAP TIGA MAZHAB
BESAR TEOLOGI KLASIK; MU’TAZILAH,
ASYARIYAH DAN AL-MATURIDIYAH)

KAHAR
80100321167

KONSENTRASI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS DIRASAH ISLAMIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................................. iii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................1
A. Latar belakang ........................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................3
PEMBAHASAN ....................................................................................................................3
A. Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi dan Kaitannya dengan
Kalimat Tauhid ...............................................................................................................3
1. Tentang Sifat Tuhan ...............................................................................................3
2. Tentang Keadilan Tuhan .........................................................................................6
3. Tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan ................................................12
BAB III...............................................................................................................................15
PENUTUP..........................................................................................................................15
A. Kesimpulan ...........................................................................................................15
B. Kritik dan Saran ....................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................17

i
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Warahmatulllahi Wabarakatuh


Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji dan syukur kita panjatkan kehadirat

Allah SWT karena berkat rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis

mampu menyelesaikan makalah yang sangat sederhana ini dengan baik meskipun

banyak kekurangan di dalamnya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan

kepada sang revolusioner sejati Islam yaitu RasulullahMuhammad SAW, beserta

semua keluarganya dan para sahabatnya serta para pengikut Sunnahnya sampai

akhir zaman. Dan juga saya berterima kasih pada dosen mata kuliah Studi Kritis

Pemikiran Islam yang telah membimbing dan memberikan tugas pembuatan

makalah ini.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dalam

rangka menambah hasanah kelimuan kita semua, terkhusus mengenai hal-hal yang

sangat penting yang perlu kita ketahui terkait segala sesuatu yang menyangkut

Aliran Teologi Islam. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah

ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis

berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah

penulis buat di masa yang akan datang.

Makassar, 23 Maret 2022

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Islam adalah agama yang sempurna daan mengajarkan konsep


ketuhanan sebagai pondasi dasar keimanan, bahkan menjadi sumber segala
macam kepercayaan. Kecelakaan besar sebagai seorang manusia jika
mempunyai keyakinan/kepercayaan yang salah tentang Tuhan, atau yang
menganggap Tuhan apa yang sebenarnya bukan Tuhan, atau yang menyangka
perbuatan dan kehendak Tuhan terhadap kejadian yang justru menjadi
konsekuensi perbuatan manusia itu sendiri. Dalam perkembangan kepercayaan
umat Islam, terjadi proses perdebatan tentang zat Tuhan, sifat-Nya, kejisiman-
Nya, kekuasaan- Nya, kehendak-Nya bahkan perbuatan-perbuatan lain-Nya,
menyertai perkembangan kemampuan daya pikir umat Islam dalam
menyingkap tabir dibalik keajaiban alam berserta isinya sebagai bukti
kebenaran ayat-ayat-Nya. Ibnu al-Arabi, mengkritik orang yang memutlakkan
kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu adalah
Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai
dianggapnya salah. Perbedaan cara pandang dan interpretasi bahkan apresiasi
kepercayaan di atas melahirkan timbulnya aliran-aliran Teologi dalam Islam.
Dalam sejarah perkembangan teologi Islam tercatat sebanyak 10 aliran
besar yang berkembang dari sejak masa pasca khullafaurrasyidin, yaitu;
Syi‟ah, Khawarij, Murji‟ah, Mu‟tazilah, Dhirariyyah, Huseiniyyah,
Bakriyyah, Ammah, Asy‟ariyyah, Maturidyyah dan Kullabiyah (Yusuf,
Diningrat: 1998: 62). Setiap aliran telah mengembangkan prinsip-prinsip
ajaran dan doktrin-doktrin keyakinan kepada pengikutnya, sehingga
melahirkan klaim-klaim kebenaran menurut keyakinan yang diperpeganginya
atau dengan kata lain terjadi perdebatan yang diantaranya tentang ketuhanan,
hal inilah yang kemudian akan dikaji melalui tulisan makalah ini. Imam Ali
Jumuah dalam Khasyiah Baijuri ‘ala Jauharah Tauhid menjelaskan bahwa
akar permasalahan dari teologi Islam dilacak dari perbedaan pendapat

1
Mu’tazilah dan Asy’ariyah dalam hal ini dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari
dan aliran Maturidiyah yang disandarkan kepada imam Abu Mansur al-
Maturudi dan pengikutnya

Oleh karena itu, makalah ini memfokuskan kepada tiga aliran yang
secara teologis sangat besar pengaruhnya dan mewarnai sejarah perkembangan
pemikiran islam klasik sampai dengan saat ini dan begitu menarik
perdebatannya pada aspek ketuhanan yaitu Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan
Maturidiyah. Selanjutnya, makalah ini juga akan membahas hubungan
pemikiran aliran tersebut dengan kalimat Tauhid (‫) َل ِإلَ َه ِإ َل للاه‬, dikarenakan
perdebatan mutakkallimin dalam hal aspek ketuhanan yang memunculkan
perdebatan dalam sejarah teologi Islam dalam kaitannya dengan kalimat tauhid
tersebut memacu pada paradigma umat Islam dalam menyikapi berbagai
perkembangan, dan menjadi sebuah bangunan kokoh dalam memahami esensi
ketuhanan dan mengesakan Tuhan. Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas
tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat
yang boleh disifatkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali
wajib dilenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang para rasul Allah,
meyakinkan kerasulan mereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada diri
mereka, apa yang boleh dihubungkan (nisbah) kepada diri mereka dan apa
yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka. Dalam teologi Islam,
tentang wujud Allah tidak menjadi persoalan tetapi penafsiran tentang sifat-
sifat-Nya, kalam-Nya, intinya perdebatan lebih memfokuskan tentang sifat-
sifat Allah, keadilan Tuhan, hubungan wahyu dan akal dan perbuatan manusia
(Giling. 2014: 1). Munculnya firqah-firqah ini ini seakan terlahir dalam
atmosfer dialektika yang begitu tajam, yang muncul dari proses tesa, antitesa,
dan sintesa, atau timbul dan berkembang secara alami dalam dinamika aksi,
reaksi, dan kompromi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi dan Kaitannya


dengan Kalimat Tauhid

1. Tentang Sifat Tuhan

Kaum Mu`tazilah berpendapat bahwa Allah itu qadim, qidam adalah


sifat khusus bagi zat-Nya. Mereka mengatakan bahwa Allah Maha Mengetahui
dengan zat-Nya, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan dan kehidupan, karena
semua ini adalah sifat sedangkan sifat adalah sesuatu di luar zat. Karena kalau
sifat berada pada zat yang qadim, sedang sifat qadim adalah sifat yang lebih
khusus, niscaya akan terjadi dualisme yakni zat dan sifat. Abu al-Huzail (135
H.-235 H.) menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan nafyu al-shifat
atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurutnya bahwa Allah Maha Mengetahui
dengan ilmu-Nya. Hayat Allah dengan hayat-Nya dan hayat adalah zat-Nya.
Pendapat ini diambilnya dari pendapat para filosof yang mengakui zat Allah
Maha Esa yang tidak terbilang. Sifat bukan sifat yang berdiri sendiri pada zat,
bahkan sifat adalah zat itu sendiri melalui ketentuan kausalitas. Ada perbedaan
antara orang yang mengatakan ilmu Allah dengan zat-Nya bukan dengan sifat
ilmu-Nya, dan antara pendapat yang mengatakan sifat ialah zat-Nya. Menurut
Abu Huzail kalau mengakui sifat itu ada pada zat, sama saja mengakui oknum-
oknum ketuhanan dalam ajaran Nasrani atau sekurangnya dikatakan sifat itu
adalah hal yang tidak dapat dikatakan ada dan tidak ada (Syahrastani: 44).
Menurut Washil, kepada Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai
wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena bersifat
qadim, maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim pula. Dengan
demikian sifat bersifat qadim pula. Menurut Washil akan membawa pada
adanya dua Tuhan, karena yang boleh bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan
kata lain, kalau ada sesuatu yang bersifat qadim, maka itu mestilah Tuhan.

3
Oleh karena itu, untuk memelihara murninya tauhid atau ke-Maha-Esaan
Tuhan, Tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti di atas.
Oleh karena itu ajaran-ajaran dasar yang terpenting bagi Mu`tazilah ialah al
tauhid atau ke-Maha-Esaan Tuhan. Tuhan dalam paham mereka akan betul-
betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada
yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu mereka menolak paham
Anthropomorphisme, (Anthropomorphisme sebagaimana diketahui
menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya.
Selanjutnya mereka juga menolak beatific vision, yaitu Tuhan dapat
dilihat manusia dengan mata kepalanya. Tentang apakah dapat melihat zat
Allah pada hari Akhirat, kaum Mu`tazilah menolak kemungkinan melihat zat
Allah dengan mata kepala pada hari Akhirat, karena menurutnya apabila zat
Allah dapat dilihat, berarti zat-Nya sama dengan zat yang lain, padahal zat
Allah tidak berada pada arah tertentu, tidak mempunyai tempat, tidak
berbentuk, tidak mempunyai rupa, tidak terdiri dari materi, tidak menempati
ruang, tidak berpindah-pindah, tidak dapat dibilang, tidak berubah dan tidak
terpengaruh. Karena mereka ayat-ayat mutasyabihat itu wajib ditakwil-kan,
pendirian yang seperti itu, mereka namakan tauhid. Selanjutnya kaum
Mu`tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan :
1. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiyah, yang
dimaksud dengan sifat esensi umpamanya, wujud (al-wujud), kekekalan di
masa lampau (al-qidam), hidup (al-hayah), kekuasaan (al-qudrah);
2. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan yang disebut sifat
fi`liyah. Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti
hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya, seperti kehendak (al-iradah),
sabda (kalam), keadilan (al-`adl) dan sebagainya.
Sedangkan kaum Asy`ariyah, sebagaimana yang dinyatakan al-Asy`ari
bahwa Tuhan mempunyai sifat, Mustahil, kata al-Asy`ari Tuhan mengetahui
dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan
Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (`ilm) tetapi
Yang Mengetahui (`alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan

4
pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti
hidup, berkuasa, mendengar dan melihat. Selanjutnya aliran ini berpendapat
bahwa Tuhan dapat dilihat di Akhirat. Alasannya ialah bahwa sifat-sifat yang
tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa
kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa
kepada hal ini, karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti
bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan
dapat dilihat, itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan bersifat diciptakan.
Pendapat aliran Maturidiyah mengenai sifat tuhan sama dengan
pendapat Asy'ariyah yang menyatakan bahwa tuhan memiliki sifat.
Maturidiyah berpendapat bahwa sifat sifat tuhan itu mulazamah (ada bersama;
inhern) zat tanpa terpisah (innaha lam takun ain al-zat wa la hiya ghairuhu).
Maturidiyah menetapkan sifat bagi Allah Swt tidak harus membawa kepada
pengertian anthropomorphisme, karena sifat tidak berwujud yang terpisah dari
zat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang
qadim (taaddud al-qudama). Tampaknya paham Maturidiyah tentang makna
sifat tuhan cenderung mendekati paham mu’tazilah. Perbedaannya, al-Maturidi
mengakui adanya sifat-sifat tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya
sifat-sifat tuhan. Menurut maturidi samarkand, dalam menghadapi ayat-ayat
yang memberi gambaran tuhan memiliki sifat jasmani, mereka mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata dan kaki adalah kekuasaan
tuhan. Pendapat aliran samarkand ini kelihatannya tidak sepaham dengan
mu’tazilah karena al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah tuhan, akan
tetapi juga tidak lain dari tuhan. Aliran Maturidiyah bukhara sependapat
dengan Asy'ariyah dan maturidi samarkand bahwa tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala. Al-Bazdawi tokoh Maturidiyah bukhara mengatakan bahwa tuhan
kelak memperlihatkan diriNya untuk kita lihat dengan mata kepala, sesuai
dengan apa yang tuhan kehendaki. (Taslim: 2021)

5
2. Tentang Keadilan Tuhan

Tentang keadilan, kaum Mu`tazilah berpendapat sebagaimana yang


diungkapkan oleh `Abd al-Jabbar, bahwa semua perbuatan Tuhan bersifat
baik, Tuhan tidak berbuat buruk, dan tidak melupakan apa yang wajib
dikerjakan-Nya. Dengan demikian Tuhan tidak berdusta, tidak bersikap
dzalim, tidak menyiksa anak-anak orang-orang polytheist lantaran dosa orang
tua mereka, tidak menurunkan mukjizat bagi pendusta dan tidak memberi
beban yang tidak dapat dipikul oleh manusia. Selanjutnya itu berarti bahwa
Tuhan memberi daya kepada manusia untuk dapat memikul beban-beban yang
diletakkan Tuhan atas dirinya, menerangkan hakikat beban-beban itu, dan
memberi upah atau hukuman atas perbuatan-perbuatan manusia. Dan kalau
Tuhan memberi siksaan, maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan
maslahat manusia, karena kalau siksaan diturunkan bukan untuk kepentingan
dan maslahat manusia, Tuhan dengan demikian akan melalaikan salah satu
kewajiban-Nya (Nasution, 2006: 69).
Tuhan, dalam pandangan kaum Mu`tazilah, tidak berbuat buruk,
bahkan menurut salah satu golongan, tidak bisa (laa yaqdir) berbuat buruk
(dzalim) karena perbuatan yang demikian timbul hanya dari orang yang tidak
bersifat sempurna, dan Tuhan bersifat Maha Sempurna. Oleh karena itu,
menurut kaum Mu`tazilah bahwa wajib bagi Tuhan untuk mendatangkan yang
baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Selanjutnya soal keadilan Tuhan
menimbulkan persoalan tentang perbuatan manusia. Apakah perbuatan
manusia diwujudkan Tuhan atau diwujudkan manusia itu sendiri ? Tentang
perbuatan manusia, kaum Mu`tazilah menganut paham qadariyah, yang
berpendapat bahwa mansia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham ini, manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan perbuatannya.
Maka tidaklah Tuhan disebut adil, sekiranya Ia menghukum orang berbuat
buruk bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas paksaan dari luar dirinya.
Kaum Mu`tazilah, karena sistem teologi mereka, manusia dipandang
mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu menganut paham

6
qadariyah atau free will. Al-Jubba`I menerangkan bahwa manusialah yang
menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh
dan tidak kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (al-
istitha`ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia
sebelum adanya perbuatan. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan
pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan.
Perbuatan ialah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat bahari.
Manusia adalah makhluk yang dapat memilih (Nasution, 2006: 70).
Dalam kitabnya, al-Jabbar menjelaskan bahwa Tuhan membuat
manusia sanggup mewujudkan perbuatannya ialah bahwa Tuhan menciptakan
daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah bergantung wujud perbuatan
itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah
dinuat manusia. Tidaklah mungkin bahwa Tuhan dapat mewujudkan
perbuatan yang telah diwujudkan manusia. Dalil-dalil ayat yang mereka pakai
adalah surat (32: 7):
‫ين‬ ِ ۡ َ‫سنَ ُك َّل ش َۡيءٍ َخ َلقَهُۥۖ َوبَ َدأَ خ َۡلق‬
َ َٰ ‫ٱۡلن‬
ٖ ‫س ِن ِمن ِط‬ َ ‫ِي أَ ۡح‬
ٓ ‫َّٱلذ‬
Artinya: Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan
yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Ayat ini kata `Abd al-Jabbar mengandung dua arti, pertama: ahsana
berarti “berbuat baik” dan dengan demikian, semua perbuatan Tuhan
merupakan kebajikan kepada manusia. Oleh karena itu yang dimaksud dengan
ahsana di sini ialah arti kedua yaitu “baik”. Semua perbuatan Tuhan adalah
baik. Dengan demikian perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena
di antara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.
Dalil lain adalah surah al-Sajdah (32: 17):
َ‫ي َل ُهم ِمن قُ َّر ِة أَ ۡعي ُٖن َجزَ آ َۢ َء ِب َما كَانُو ْا َيعۡ َملُون‬ ُ
َ ‫س َّما ٓ أ ۡخ ِف‬ٞ ‫فَ ََل تَعۡ َل ُم ن َۡف‬
Artinya: … balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.
Menurut al-Jabbar sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan
Tuhan dan bukan perbuatan manusia, pemberian balasan dari Tuhan atas
perbuatan manusia seperti disebut dalam ayat di atas, tidak ada artinya. Agar

7
ayat ini tidak mengandung dusta, perbuatan-perbuatan manusia haruslah betul-
betul perbuatan manusia.
Argumentasi ini juga didukung dengan berdasarkan surah al-Kahf (18:
29) :
‫س َرا ِدقُ َه ۚۡا َو ِإن يَ ۡستَ ِغيثُو ْا‬
ُ ‫ط بِ ِه ۡم‬َ ‫َارا أَ َحا‬
ً ‫ظلِمِينَ ن‬ َّ َٰ ‫شا ٓ َء فَ ۡليَ ۡكفُ ۡۚۡر ِإنَّا ٓ أَ ۡعت َۡدنَا ِلل‬
َ ‫شا ٓ َء فَ ۡلي ُۡؤ ِمن َو َمن‬
َ ‫فَ َمن‬
‫سا ٓ َء ۡت ُم ۡرتَفَقًا‬
َ ‫اب َو‬
ُ ‫ش َر‬ َّ ‫س ٱل‬ َ ‫يُغَاثُو ْا بِ َما ٓ ٖء ك َۡٱل ُمهۡ ِل يَ ۡش ِوي ۡٱل ُو ُجو ۚۡهَ بِ ۡئ‬
Artinya: …Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". …
Ayat ini memberi manusia kebebasan untuk percaya atau tidak
percaya. Sekiranya perbuatan manusia bukanlah sebenarnya perbuatan
manusia, ayat ini tidak ada artinya.
Dapatlah disimpulkan bahwa bagi kaum Mu`tazilah perbuatan
manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi adalah perbuatan manusia itu
sendiri. Dengan kata lain manusia adalah pencipta (khaliq) perbuatan-
perbuatan-Nya. Pendapat kaum Mu`tazilah ini ditentang oleh al-Ghazali,
karena menurut pendapatnya hal itu bertentangan dengan ijma` atau konsensus
alim ulama tentang tidak adanya pencipta kecuali Allah (laa khaaliqa illa
Allah).
Tentang perbuatan-perbuatan manusia, bagi al-Asy`ari bukanlah
diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan
kufur adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufur itu
sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki oleh orang kafir ini tidak
dapat diwujudkannya. Perbuatan iman yang bersifat baik, tetapi berat dan sulit.
Orang mukmin ingin supaya perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit, tetapi
apa yang dikehendaki-Nya itu tidak dapat diwujudkannya. Dengan demikian
yang mewujudkan perbuatan kufur itu bukanlah orang kafir yang tak sanggup
membuat kufur bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan
memang berkehendak supaya kufur bersifat buruk. Demikian pula yang
menciptakan pekerjaan iman bukanlah orang mukmin yang tidak sanggup
membuat iman bersifat tidak berat dan sulit, tetapi Tuhanlah yang
menciptakannya dan Tuhan memang menghendakinya supaya iman bersifat

8
berat dan sulit. Istilah yang dipakai al-Asy`ari untuk perbuatan manusia yang
diciptakan Tuhan ialah al-kasb. Arti iktisab menurut al-Asy`ari ialah bahwa
sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian
menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu
timbul. Tentang kasb berdasarkan surah al-Shaffat (37: 96) :
َ‫ٱَّلل َخ َلقَ ُك ۡم َو َما تَعۡ َملُون‬
ُ َّ ‫َو‬
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".

Al-Asy`ari mengartikan kata wa maa ta`maluun dengan “apa yang


kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Dengan demikian ayat ini
mengandung arti bahwa Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan
kamu. Jadi dalam paham al-Asy`ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah
diciptakan Tuhan, dan tidak ada pembuat (fa`il) bagi kasb kecuali Allah.
Dengan perkataan lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Tentang perbuatan-perbuatan dari manusia, menurut al-Asy`ari
terdapat dua unsur, penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang
bergerak. Penggerak yaitu pembuat gerak yang sebenarnya (al-fa`ill aha
haqiqatiha) adalah Tuhan dan yang yang bergerak adalah manusia. Yang
bergerak tidaklah Tuhan karena gerak menghendaki tempat yang bersifat
jasmani. Tuhan tidak mungkin mempunyai bentuk jasmani. Al-Kasb serupa
dengan gerak involunter ini, juga mempunyai dua unsur, pembuat dan yang
memperoleh perbuatan. Pembuat yang sebenarnya adalah manusia. Tuhan
tidak menjadi yang memperoleh perbuatan, karena al-kasb terjadi hanya
dengan daya yang diciptakan, dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang
diciptakan (Nasution, 2006: 108-109).
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa arti Tuhan
menciptakan perbuatan-perbuatan manusia adalah Tuhanlah yang menjadi
pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia, dan arti timbulnya
perbuatan-perbuatan dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan

9
adalah manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan adalah manusia
sebenarnya merupakan tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan. Oleh karena
itu dalam teori al-kasb sebenarnya tidaklah ada perbedaan antara al-kasb
dengan perbuatan involunter dari manusia. Pembuat dalam kedua hal ini,
seperti ditegaskan al-Asy`ari sendiri adalah Tuhan, selanjutnya dalam kedua
hal itu manusia hanya merupakan tempat berlakunya perbuatanperbuatan
Tuhan.
Kaum Asy`ariyah dalam hal perbuatan manusia lebih dekat kepada
paham jabariyah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung pada
kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dalil yang diajukan adalah surah al-Insan
(76: 30) :
‫ع ِلي ًما َح ِك ٗيما‬ َ َّ ‫ٱَّلل ِإ َّن‬
َ َ‫ٱَّلل َكان‬ َ َ‫َّل أَن ي‬
ُ ۡۚ َّ ‫شا ٓ َء‬ ٓ َّ ‫شا ٓ ُءونَ ِإ‬
َ َ‫َو َما ت‬
Artinya: Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Ayat ini memberi pengertian bahwa manusia tidak bisa menghendaki
sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia mengehendaki sesuatu itu.
Sedangkan menurut Asy`ariyah, menentang paham keadilan Tuhan
yang dimiliki kaum Mu’tazilah, menurutnya Tuhan berkusa mutlak dan tak ada
satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga Dia
memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Dia bersifat tidak adil
dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah Dia bersifat
dzalim.
Sedangkan paham keadilan bagi kaum Mu`tazilah mengandung arti
kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan bukanlah hanya
berarti memberi upah kepada yang berbuat baik dan memberi hukuman bagi
orang yang berbuat salah. Paham Tuhan berkewajiban membuat apa yang
terbaik bagi manusia saja mengandung arti yang luas sekali, seperti tidak
memberi beban yang terlalu berat bagi manusia, pengiriman rasul dan nabi-
nabi, memberi manusia daya untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya
dan sebagainya. Semua ini merupakan kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap

10
manusia. Keadilan menghendaki supaya Tuhan melaksanakan kewajiban-
kewajibannya.
Kaum Asy`ariyah memberikan interpretasi berlainan sekali dengan
interpretasi kaum Mu`tazilah, sesuai dengan tendensi mereka untuk meninjau
segala-galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan,
mereka artikan
“menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta
mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.
Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan berbuat
sekehendak-Nya dalam kerajaan-Nya”
Menurut Harun Nasution, kebesaran dan keperkasaan-Nya tidaklah
menyebabkan Tuhan bertindak sewenang-wenang sekalipun kalau Ia mau tentu
tidak akan ada yang bisa menghalangi-Nya. Di sinilah letak kebijaksanaan-
Nya. Sebaliknya Dia malah sangat kasih sayang terhadap makhluk-makhluk-
Nya termasuk manusia (Nasution, 2006: 99).
Di sis lain, kaum Maturidiyah memiliki pandangan terhadap keadilan
Tuhan dengan memanifestasikan sifat-sifat Allah (asmaul husna) yang salah
satunya adalah al-adl yang memiliki arti Maha Adil yang disematkan kepada
Tuhan yang menjadi karakteristik yang tidak boleh tidak ada pada Tuhan. Oleh
sebab itu,konsepsi keadilan Tuhan al-Maturidi didasarkan atas keyakinan
bahwa Tuhan adalah adil dan karenanya menjadi mustahil bagi-Nya untuk
melakukan apa yang dikenal dengan sebutan ketidak-adilan (zalim).
Hanya saja, apa yang perlu digarisbawahi di sini bahwa nilai adil dalam
pikiran al-Maturidi tampak diposisikan di antara kehendak mutlak Tuhan (al
Asy’ari) dan kebebasan penuhmanusia (Mu’tazilah), selain memang
paradigma berpikirnya tentang iman didirikan di atas pembuktian logis (logical
proofs) berdasarkan pengaruh gurunya, Abu Hanifah (Akimkhanov , 2016).
Penolakan al-Maturidi terhadap konsep “posisi pertengahan” (al-
manzilah baina almanzilatain) antara Mukmin dan Kafir bagi pelaku dosa besar

11
seperti disuarakan Mu’tazilah, juga tidak secara eksplisitnya ia dalam
mengamin-kan pandangan al-Asy’ariyah sehubungan dengan masalah ini,
nyatanya memunculkan pendapat tersendiri al-Maturidi dan sekiranya tampak
berada di antara argumentasi keduanya. Agaknya terkait hal ini, ia lebih
condong kepada pendapat kaum Murji’ah dengan mengedepankan sikap arja
(memberi harapan adanya kema’afan Tuhan). Asumsi ini didasarkan pada
pernyataannya bahwa soal dosa besar seseorang biarlah menjadi urusan Tuhan,
begitu pula halnya dengan balasan siksanya (Nasir, 2005)
Argumentasi yang dibangun alMaturidi di atas, tampaknya berupaya
mengingatkan manusia akan kausalitas (konsep sebabakibat). Artinya, sekali
lagi, sikap bijaksana dan adil bagi Tuhan seperti tercemin dari keyakinan
alMaturidi berdiri di atas nilai-nilaipertimbangan. Oleh karena adanya iman
itulah, Tuhan dimungkinkan meringankan balasan atas perbuatan buruk
manusia. Adapun tidak dimasukkannya perbuatan dosa selain syirik sebagai
kesalahan yang tidak terampuni, adalahbermuara pada keyakinan alMaturidi
tentang kebenaran AlQur’an. Pada saat bersamaan, berbedanya balasan
kejahatan (siksa) di antara Mukmin dan kafir yang dikemukakan al-Maturidi,
adalah dalam rangka menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin tidak
mempertimbangkan keberadaan iman sebagai kebaikan terbesar manusia (Zar,
2014).

3. Tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan,


Mu`tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat
mutlak lagi. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang telah
diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.
Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan.
Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak Nya. Tuhan telah terikat pada
norma-norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan tidak bersifat adil
bahkan dzalim. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan juga dibatasi oleh
kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia. Kekuasaan dan kehendak

12
mutlak Tuhan ini juga dibatasi oleh nature atau hukum alam (sunnah Allah)
yang tidak mengalami perubahan., sebagaimana al-qur`an menyatakan dalam
surah al-Ahzab (33: 62)
‫ٱَّلل ت َۡبد ِٗيَل‬ ُ ‫ٱَّلل فِي ٱ َّلذِينَ َخ َل ۡو ْا ِمن قَ ۡب ۖ ُل َو َلن ت َِج َد ِل‬
ِ َّ ‫سنَّ ِة‬ ِ َّ َ‫سنَّة‬
ُ
Artinya: Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang
Telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati
peubahan pada sunnah Allah.
Berbeda halnya dengan kaum Asy`ariyah dalam menjelaskan
kemutlakan dan kehendak Tuhan ini, Asy`ari mengatakan bahwa Tuhan tidak
tunduk kepada siapapun, di atas Tuhan tidak ada satu zat lain yang dapat
membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang
tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan
kekuasaan-Nya. Tuhan adalah Maha Pemilik (al-Malik) yang bersifat absolut
dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak
seorangpun yang dapat mencelah perbuatan-Nya, sungguhpun perbuatan-
perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
(Nasution, 2006: 118).
Sedangkan kaum Maturidiyah memahami kekuasaan dan kehendak
Tuhan menunjukkan sikap yang berupaya melerai ekstremisme Mu’tazilah dan
pihak Asy’ariyah dalam masalah ini. Jika kelompok pertama dengan tidak
mengakui adanya peranan Tuhan sedikitpun pada perbuatan manusia,
sementara faksi kedua menyatakan bahwa manusia hanya menjalani takdir
sebagaimana telah digariskan oleh Tuhan, maka al-Maturidi menjadikan
kesepaduan tindakan manusia dan ridha Tuhan sebagai alternatif demi sebuah
usaha untuk tidak mengesampingkan peranan salah satunya. Sikap demikian
itu dalam pikiran al-Maturidi dikenal dengan kemauan manusia untuk
menggunakan daya (masyi’ah) yang diberikan Tuhan. Baginya, Tuhan
memberinya kapasitas, daya, kemampuan (istita’a) yang oleh al-Maturidi
dibagi kepada dua arti, yaitu kapasitas yang memungkinkan (al-qudra
almumakkina) dan memfasilitasi kapasitas (al-qudra al-muyassira). Pengertian
pertama sifatnya mendahului tindakan, sedangkan yang kedua berjalan

13
bersamaan dengan perbuatan. kapasitas yang memungkinkan tindakan itu
seperti adanya tangan, mata, telinga, kaki dan lain semisalnya (Omar, 1974).

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mu’tazilah dalam memahami sifat tuhan sangat bertolak belakang


dengan Asy`ariyah dan Maturidiyah dikarenakan kaum Mu’tazilah dalam
manifestasi men-tauhidikan Tuhan menolak paham Anthropomorphisme
(menyerupai sifat makhluk), sedangkan Asy`ariyah dan Maturidiyah memahami
bahwa Tuhan memiliki sifat. Keadilan tuhan menurut Mu’tazilah dipahami bahwa
Tuhan tidak mungkin berbuat buruk dikarenakan Tuhan adalah zat yang sempurna
yang memiliki kewajiban mendatangkan yang baik dan segala bentuk perbuatan
buruk adalah ciptaan manusia dan bukan ciptaan Tuhan (Free Will), berbeda halnya
dengan Asy`ariyah yang memahami bahwa segala bentuk perbuatan yang baik
ataupun buruk adalah ciptaan Tuhan. Di sisi lain Maturidiyah berada pada posisi
pemahaman bahwa keadilan Tuhan di manifestasikan dengan memposisikan di
antara kehendak mutlak Tuhan (al Asy’ari) dan kebebasan penuh manusia
(Mu’tazilah).
Jika menyimak beberapa literatur tentang teologi Islam setidaknya kita bisa
menyimpulkan bahwa banyaknya aliran teologi Islam yang muncul disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama pemahaman yang beragam tentang satu ayat dalam al-
Quran maupun hadits Rasulullah saw. Kedua adalah ekspansi umat Islam yang
menyebabkan terjadinya campur baur antara Islam dan ideologi lainnya. Ketiga
proses penerjemahan karya-karya filsafat kedalam bahasa Arab, dan terakhir
keempat memanasnya suhu politik dan ekonomi dikalangan umat Islam. Semua
runtutan perdebatan yang ada dalam khazanah keilmuan Islam akan mengarah pada
faktor-faktor tersebut. Ini membawa dampak negatif di satu sisi akan tetapi lebih
banyak memberikan manfaat yang baik bagi perkembangan sejarah dan peradaban
umat Islam. Dalam teologi sendiri misalnya, dengan munculnya perdebatan tersebut
umat Islam bisa membuktikan bahwa kebertuhanan dalam agama Islam tidak hanya
sebuah konteks dan taklid buta terhadap doktrin agama melainkan mampu di dekati
melalui pendekatan rasio dan berfikir yang sistematis. Berkaitan dengan perdebatan

15
ketuhanan yang ada kaitannya dengan kalimat tauhid, setidaknya Islam mengacu
pada beberapa aliran yang secara konstan menjadi rujukan perdebatan ini. Yaitu
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturudiyah.

B. Kritik dan Saran

Dalam penulisan makalah ini tentunya begitu banyak kelemahan yang di


sebabkan oleh keterbatasan pengetahuan penulis, oleh karena itu penulis memohon
kritik dan saran yang membangun untuk penulisan makalah yang lebih baik di masa
yang akan datang

16
DAFTAR PUSTAKA

Akimkhanov, Askar Bolatbekovich, dkk,. vol. 12 no. 6 2016. “Principles of Abu


Mansur al-Maturidi, Central Asian Islamic Theologian Preoccupied with
the Question of the Relation between the Iman/Credo and the Action in
Islam”, European Journal of Science and Theology.

Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Giling, Hamzah : “Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan Dalam Teologi dan


Kaitannya Dengan Kalimat Tauhid.”, vol. 2 no. 1 (2016).
http://journal.iain-ternate.ac.id/index.php/altadabbur/article/view/14
(Diakses 20 Maret 2022).

Harun Nasution, Teologi Islam rasional Apreasi Terhadap Wacana dan Praktis
Harun Nasution (ed.), Abdul Halim, cet. II, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, cet.
V, Jakarta: UI Press, 2006.
Mansur, Afrizal. Saputra, Andi : “Konsep Keadilan Tuhan: Studi Pemikiran
Teologi Abu Mansur Al-Maturidi.”, vol. 7 no. 2 (2018).
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/view/6373
(Diakses 20 Maret 2022).
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta,
Universitas Indonesia, 1986.
Taslim, Bagaimana Sifat-sifat Tuhan dalam Aliran Teologi Islam? Kompasiana 9
Januari2021,https://www.kompasiana.com/taslim160799/5ff91beed541df
235f276b02/bagaimana-sifat-sifat-tuhan-dalam-aliran-teologi-
islam?page=2 (Diakses 20 Maret 2022)
Zar, Abu, “Pemikiran alMaturidiyah dalam Pemikiran Islam”, Jurnal Adabiyah,
vol. 14, no. 2 (2014).

17

Anda mungkin juga menyukai