Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

KERANGKA POKOK AQIDAH ISLAM

Disusun oleh :

1. Dewi Mauliyati Sari 20188201021

2. M. Nur Faizin 20188201039

Dosen pengampu :

M. Ma’ruf, S.S., M.PdI

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN PEDAGOGI

UNIVERSITAS PGRI WIRANEGARA

2021

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah serta puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat


Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan
makalah materi Kerangka Pokok Aqidah Islam pada tahun 2021. Tepat pada
waktunya tanpa ada halangan suatu apa pun. Yang akhirnya dengan segala
kerendahan hati izinkanlah penyusun untuk menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyusun
laporan ini, penyusun ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak M. Ma’ruf,
S.S., M.PdI. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat
dibutuhkan. Harapan dari penyusun semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
rekan-rekan Universitas PGRI Wiranegara Pasuruan.

Pasuruan, .... Maret 2021

                                                                                    

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................i
Kata Pengantar.…………………………………........…………..…….….ii
Daftar Isi...……………….……………………….……….......…...….….iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang……………….................…….........….......….1
1.2. Rumusan masalah......................................................................2
1.3. Tujuan.......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Makna dan kedudukan Tuhan……….……...............................3

2.2. Eksistensi Tuhan menurut pandangan Islam.............................5

2.3. Eksistensi Tuhan dalam tinjauan filsafat.................................12

2.4. Pengertian dan karakteristik Akidah........................................15

2.5. Pengertian, tujuan, dan sistem perbandingan agama...............19

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan.........……….……………........……………..…..23

3.2. Saran.....……………...………….......……............................23
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Allah sebagai wujud mutlak yang tidak terbatas, maka hakikat dirinya
tidak akan pernah dicapai, namun pemahaman tentangNya dapat dijangkau
sehingga kita mengenalNyadengan pengenalan secara umum dapat diperoleh,
melalui jejak dan tanda-tanda yang tak terhingga . Imam Ali As dalam hal ini
menjelaskan bahwa : “Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara
menjangkau sifat-sifatNya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal
untuk mengetahuiNya.” (2)

Selain itu, jika kita menyelami diri kita sendiri, maka secara fitrah manusia
memiliki rasa berketuhanan. Fitrah ini tidak dapat dihilangkan, hanya saja dapat
ditekan dan disembunyikan, dengan berbagai tekanan kebudayaan, ilmu dan
lainnya., sehingga terkadang muncul pada saat-saat tertentu seperti pada saat
tertimpa musibah atau dalam kesulitan yang benar-benar tidak mampu ia
mengatasinya. Pada kondisi ini, kita secarah fitrah mengharapkan adanya sosok
lain yang memilki kemampuan lebih dari kita untuk datang dan memberikan
pertolonga kepada kita. Dalil fitrah ini, merupakan perasaan berketuhanan secara
langsung yang tertanam pada diri manusia. Ia menjadi model sekaligus modal
khusus manusia.

Dalam hal ini, ada hubungannya dengan Tauhid. Tauhid adalah dasar
akidah terpenting yang membahas masalah keberadaan (wujud) dan keesaan
Allah. Hal ini memiliki hikmah agar kita dapat dengan benar berterima kasih dan
melakukan penyembahan, sebab secara rasional kita memiliki kewajiban untuk
berterima kasih atas pemberian pihak lain. Tauhid merupakan masalah terpenting
dalam ajaran Islam. Dia bukan hanya merupakan salah satu dasar agama, akan
tetapi satu-satunya prinsip yang menjiwai seluruh ajaran dan amalan agama, baik
yang ushul (pokok) maupun yang furu’ (cabang). Inilah secara sentral atau pusat
yang semua elemen mengkristal di titik fokus keesaanNya. Setiap pelanggaran
akan keesaan Allah adalah kezaliman dan dosa yang besar yang dikenal dengan
syirik. Karena itu, pengenalan Tuhan adalah kondisi tertinggi kemanusiaan dan

1
kesempurnaan spiritual tertinggi yang mampu membawa manusia kepada hakikat
di sisiNya.

1.2 Rumusan masalah

Rumusan masalah kerangka pokok aqidah Islam adalah :

1. Apa makna dan kedudukan Tuhan?


2. Bagaimana eksistensi Tuhan menurut pandangan Islam?
3. Bagaimana eksistensi Tuhan dalam tinjauan filsafat?
4. Bagaimana pengertian dan karakteristik akidah?
5. Bagaimana pengertian, tujuan, dan sistem perbandingan agama?

1.3 Tujuan

Tujuan makalah Kerangka Pokok Akidah Islam adalah :

1. Untuk memahami makna dan eksistensi Tuhan


2. Agar memahami eksistensi Tuhan menurut pandangan Islam
3. Agar memahami dan mengetahui eksistensi Tuhan dalam tinjauan filsafat
4. Agar mengetahui pengertian, tujuan, dan sistem perbandingan agama

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Makna dan kedudukan Tuhan

Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan


Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (Ahad), Maha pengasih dan Maha
Kuasa. Menurut Al-Qur’an terdapat 99 nama Allah (Asmaul husna artinya : nama-
nama yang paling indah) yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang
berbeda.

Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu


tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji
keagunganNya dan menjadi saksi atas keesaanNya. Menurut ajaran islam, Tuhan
muncul di mana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun. Al-quran
menjelaskan, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia tidak
dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.” (Al-‘An’am 6:103).

Beberapa teori mencoba menganalisis etimologi dari kata “Allah”. Salah


satunya mengatakan bahwa kata “Allah” berasal dari gabungan dari kata al-
(sang) dan ‘ilah (Tuhan) sehingga berarti “Sang Tuhan”. Namun teori ini
menyalahi bahasa dan kaidah bahasa Arab. Bentuk ma’rifat (definitif) dari ilah
adalah alilah, bukan Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa
Arab. Dalam bahasa Arab dikenal kaidah, setiap isim (kata benda atau kata sifat)
nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua) dan jamak, maka isim
ma’rifat kata itu pun mempunyai bentuk mutsanna dan jamak. Sedangkan kata
ilah mempunyai bentuk ma’rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahain).
Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan.

3
Teori lain mengatakan kata ini berasal dari kata bahasa Arab Alaha.
Cendekiawan muslim kadang-kadang menerjemahkan Allah menjadi God dalam
bahasa Inggris. Namun, sebagian yang lain mengatakan bahwa Allah tidak untuk
diterjemahkan, dengan berargumen bahwa kata tersebut khusus dan agung
sehingga mesti dijaga., tidak memiliki bentuk jamak dan gender (Berbeda dengan
God yang memiliki bentuk jamak Gods dan bentuk feminim Goddess dalam
bahasa Inggris).

Para salafush sholeh atau tiga generasi muslim awal dan terbaik, meyakini
bahwa Allah memiliki wajah, mata, tangan, jari, dan kaki. Hanya saja hal-hal
tersebut sangatlah berbeda berbeda dengan makhluk ciptaanNya. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan : “Wajah (Allah) merupakan
sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil al-kitab, as-sunnah dan
kesepakatan ulama salaf.” Ia menyebutkan ayat ke-27 dalam surah Ar-Rahman. Ia
menjelaskan di dalam kitabnya yang lain : “Nash-nash yang menetapkan wajah
dari al-kitab dan as-sunnah tidak terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil
kaum Mu’tazilah yang menafsirkan wajah dengan arah, pahala atau dzat.
Kemudian mereka meyakini pula Allah berada di atas ‘Arsy, letak ‘Arsy ada di
atas air, dan tidak ada satu pun dari makhluk yang serupa denganNya. Dijelaskan
dalam sebuah hadits, telah dijelaskan bahwa Allah diliputi oleh cahaya yang
sangat terang.

Keagungan dan kebesaran sifat-sifatNya jelas terlampau agung untuk bisa


ditembus oleh akal pikiran manusia yang paling hebat sekalipun. Kerena itu, ada
riwayat hadits yang melarang untuk memikirkan Allah, mengingat semua akal dan
pikiran pasti tidak akan mampu menjangkaunya. Berpikir yang diperintahkan di
sini, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim Rahimullahu, adalah yang bisa
menimbulkan dua pengetahuan dalam hati dan berkembang daripadanya
pengetahuan dalam hati dan berkembang daripadanya pengetahuan ketiga. (Miftah
Dar al-Sa’adah hal 181) hal itu menjadi jelas dengan contoh berikut. Apabila hati
seorang muslim dapat merasakan akan kebesaran makhluk seperti langit, bumi,
tahta kursi, ‘Arsy dan sebagainya, kemudian timbul dalam hatinya rasa
ketidakmampuan memikirkan dan menjangkau semua itu, maka akan muncul
pengetahuan ketiga yakni kebesaran dan keagungan Tuhan yang menciptakan

4
jenis makhluk-makhluk tersebut yang tidak mungkin dapat diliput serta dicerna
oleh akal pikiran.

2.2. Eksistensi Tuhan Menurut Pandangan Islam

Tauhid adalah dasar akidah terpenting yang membahas masalah


keberadaan (wujud) dan ke-Esaan Allah. Hal ini memiliki hikmah agar kita dapat
dengan benar untuk berterima kasih dan melakukan penyembahan, sebab secara
rasional kita memiliki kewajiban untuk berterima kasih atas pemberian pihak lain.
Karena kita dituntut secara akal untuk berterima kasih atas pemberian pihak lain,
maka kita dituntut pula untuk mengetahui pihak lain yang telah memberikan itu.
Dengan keharusan untuk mengetahui si Pemberi agar dapat berterima kasih
(menyembah) secara tepat maka mempelajari Tauhid yang intinya membahas
masalah keberadaan dan ke-Esaan si Pemberi jelaslah sebagai keharusan pula.
Tauhid merupakan masalah terpenting dalam ajaran Islam. Dia bukan
hanya merupakan salah satu dasar agama, akan tetapi satu-satunya prinsip yang
menjiwai seluruh ajaran dan amalan agama, baik yang ushul (pokok) maupun
yang furu’ (cabang). Inilah sentral atau pusat yang semua elemen mengkristal
dititik fokus keesaan-Nya. Esa dalam Dzat-Nya, Esa dalam sifat, dan Esa dalam
perbuatan-Nya. Setiap pelanggaran akan ke-Esan Allah adalah sebuah kezhaliman
dan dosa yang besar yang dikenal dengan syirik. Karena itu pengenalan tentang
Tuhan adalah kondisi tertinggi kemanusiaan dan kesempurnaan spiritual tertinggi
yang mampu membawa manusia kepada hakekat di sisi-Nya. Murtadha Mutahhari
dalam konteks ini menuturkan, “Kemanusiaan manusia terletak pada
pengetahuannya tentang Tuhan, karena pengetahuan manusia tidak bisa terpisah
dari-Nya, bahkan pengetahuan tersebut merupakan hal termulia dan termurni
dalam eksistensi-Nya. Sejauh mana manusia mengetahui eksistensi, sistem, awal
dan sumber eksistensi itu, maka terbentuklah kemanusiaannya yang separuh dari
substansinya adalah ilmu pengetahuan. Menurut perspektif Islam… tanpa
memandang efek praktis dan sosial yang ditimbulkan, mengenal Tuhan
merupakan tujuan dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri”.
Untuk itulah kita semua dituntut untuk mengenal akidah Islam ini secara
jelas dan gamblang serta tidak diperkenankan ikut-ikutan dalam urusan akidah.
Artinya untuk menentukan akidah yang dipegang teguh haruslah berdasarkan dalil

5
dan argumentasi yang kokoh secara akal dan didukung oleh wahyu sebagai
tambahan.
 Argumentasi Keberadaan Tuhan
Allah sebagai wujud mutlak yang tidak terbatas, maka hakikat dirinya
tidak akan pernah dicapai, namun pemahaman tentang-Nya dapat dijangkau
sehingga kita mengenal-Nya dengan pengenalan yang secara umum dapat
diperoleh, malalui jejak dan tanda-tanda yang tak terhingga. Imam `Ali as dalam
hal ini menjelaskan bahwa: “Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara
menjangkau sifat-sifat-Nya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal
untuk mengetahui-Nya.”
Selain itu, jika kita menyelami diri kita sendiri, maka secara fitrah manusia
memiliki rasa berketuhanan. Fitrah ini tidak dapat dihilangkan, hanya saja dapat
ditekan dan disembunyikan, dengan berbagai tekanan kebudayaan, ilmu dan
lainnya, sehingga terkadang muncul pada saat-saat tertentu seperti pada saat
tertimpa musibah atau dalam kesulitan yang benar-benar tidak mampu ia
mengatasinya. Pada kondisi ini, kita secara fitriah mengharapkan adanya sosok
lain yang memiliki kemampuan lebih dari kita untuk datang dan memberikan
pertolongan kepada kita.
Dalil fitrah ini merupakan perasaan berketuhanan secara langsung yang
tertanam pada diri manusia. Ia menjadi model sekaligus modal khusus manusia.
Akan tetapi untuk memperkuat fitrah itu kita memerlukan dalil-dalil yang
argumentatif yang bersandar pada akal dan kemudian wahyu sebagai tambahan
dan penguat argumentasi. Untuk itu di bawah ini akan dijabarkan secara singkat
dan sederhana beberapa argumentasi tentang keberadaan dan ke-Esaan Allah swt.

1. Argumentasi Kesempurnaan. Semua manusia mendambakan


kesempurnaan dirinya. Saat manusia melihat kesekelilingnya, maka ia
menemukan tingkat-tingkat kesempurnaan, dan merasa bahwa dirinyalah
yang paling sempurna dari sekelilingnya. Akan tetapi, ia melihat dirinya
memiliki banyak kekurangan. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa
ada suatu wujud yang lebih sempurna dari manusia, yang tidak memiliki
kekurangan apapun. Wujud itulah yang kita sebut dengan Tuhan.

2. Argumentasi Keteraturan (nizham). Keteraturan adalah


berkumpulnya bagian-bagian beragam dalam sebuah tatanan dengan

6
kualitas dan kuantitas khusus, yang berjalan seiring menuju sebuah tujuan
tertentu. Secara jelas kita dapat menyaksikan adanya sebuah sistem
harmonis dan teratur di dunia ini. Setiap sesuatu yang harmonis dan teratur
pasti memiliki pengatur. Dengan demikian, keteraturan dan keharmonisan
alam pasti memiliki pengatur. Pengatur tersebut mestilah memiliki
kemampuan dan kebijaksanaan agar sistem yang mengatur alam tersebut
berjalan dengan baik.

3. Argumentasi Keterbatasan atau Kebermulaan (huduts). Jika kita


melihat diri dan sekeliling kita maka kita menemukan berbagai
keterbatasan. Ada yang terbatas oleh ruang dan waktu, seperti wujud-
wujud material (benda-benda), atau keterbatasan dalam esensinya
(hakikat) seperti manusia bukanlah kambing, bukan kuda, bukan
batu. Kita ketahui bahwa secara prinsipil setiap yang terbatas mempunyai
batasan, dan setiap yang mempunyai batasan berarti memiliki rangkapan,
dan setiap yang mempunyai rangkapan berarti keberadaanya adalah
akibat dari bersatunya bagian-bagian, dan setiap akibat pasti
membutuhkan sebab untuk menjadi ada. Dengan demikian, setiap yang
terbatas berarti membutuhkan sebab. Artinya, setiap yang terbatas adalah
berawal, dan sesuatu yang berawal maka ia diadakan— karena sebelum
awal dia tidak ada— dan setiap yang diadakan berarti ada yang
mengadakan. Persoalannya, bagaimanakah wujud yang mengadakan itu,
terbatas atau tidak terbatas?

Jika dijawab yang mengadakan adalah wujud terbatas, maka argumen


di atas akan terulang lagi yaitu bahwa yang terbatas adalah berawal, dan
yang berawal berarti diadakan oleh sesuatu yang lain. Karena hanya ada
dua jenis wujud, maka selain wujud terbatas adalah wujud tidak terbatas,
dengan demikian maka yang mengadakan segala wujud yang terbatas
pastilah wujud yang tidak terbatas yang selalu ada dan tidak pernah tidak
ada. Wujud seperti ini kita sebut dengan Allah swt.

4. Argumentasi Kemungkinan (Imkan). Dalil ini membicarakan posisi


keberadaan (wujud). Keberadaan sesuatu (wujud) itu dapat kita bagi pada
dua: 1). Sesuatu yang selalu ada dan tidak pernah tidak ada yang disebut
dengan wajib al-wujud; 2) Sesuatu yang bisa diandaikan ada dan bisa

7
diandaikan tidak ada yang disebut mungkin wujud (mumkin al-wujud).
Karena mungkin wujud bersifat netral, yaitu menempati posisi ada dan
tidak ada secara seimbang, maka, keberadaan wujud mungkin disebabkan
oleh wujud lain. Dan wujud lain yang menyebabkan keberadaan wujud
mungkin tersebut pasti bukanlah bersifat wujud mungkin juga, karena hal
ini akan menghasilkan tasalsul  (rentetan tiada akhir) yang menurut hukum
akal adalah mustahil. Artinya, seandainya yang menciptakan alam yang
‘mungkin’ ini adalah sesuatu yang ‘mungkin’ juga, maka berarti Pencipta
tersebut juga butuh kepada selainnya, dan begitulah seterusnya, akan
terjadi saling membutuhkan jika yang menciptakan masih bersifat ‘wujud
mungkin’. Karena selain wujud mungkin adalah wujud wajib, maka, mau
tidak mau, kita harus menghentikan rentetan sebab tersebut pada wajib al-
wujud dan pasti dialah yang menjadi penyebab keberadaan wujud
mungkin tersebut. Dan wajib wujud merupakan suatu wujud yang
senantiasa ada, yang keberadaan tidak membutuhkan dan tidak disebabkan
oleh apa pun. Wajib wujud inilah yang disebut dengan Tuhan.

5. Argumentasi Wujud. wujud memiliki satu makna yaitu wujud (ada


adalah ada) dan menjadi lawan dari adam atau ketiadaan (ada bukanlah
tiada). Karena ada memiliki satu makna, maka ia tidak bisa diandaikan
tidak ada, serta tidak bisa pula dikatakan bercampur dengan ketiadaan,
sebab ketiadaan adalah tidak ada, maka tidak mungkin bisa bercampur
dengan ada (ada tidak bercampur dengan tiada). Dengan demikian ada
adalah sebuah keniscayaan. Ada yang senantiasa murni dari ketiadaan
inilah yang dikenal dengan Tuhan.

Maksudnya : Wujud (ada) itu tunggal dan berlaku pada semua realitas.
Selain itu, ‘wujud’ juga bersifat murni, makanya mustahil untuk dikatakan
tidak ada. Sebab, hal itu akan menghasilkan kontradiksi yakni “ada adalah
tidak ada”, dan sesuai dengan hukum akal, kontradiksi tersebut tidak dapat
dibenarkan. Oleh karenanya, Tuhan (sebagai ada murni) haruslah ada
secara niscaya (wajib al-wujud) dan tidak mungkin untuk dikatakan tidak
ada.
Argumentasi di atas telah mengukuhkan prinsip ketuhanan (teisme) sekaligus
meruntuhkan pandangan anti Tuhan (ateisme).

8
 Karakteristik Tuhan
Ada beberapa karakter yang harus dikenali dari wajib al-wujud (Tuhan) sehingga
dapat dibedakan dengan mumkin al-wujud (makhluk). Diantara karakter
pentingnya adalah :

1. Sederhana. Wujudnya merupakan wujud murni yang tidak meiliki


rangkapan apapun secara esensi. Tidak merupakan susunan, dan tidak
merupakan bagian, karena semua itu merupakan karakter wujud mungkin.
2. Tidak mengalami perubahan dalam semua kondisi, karena perubahan
meniscayakan ketersusunan.
3. Keberadaannya tidak bergantung dengan apapun selain diri-Nya, karena
ketergantungan meniscayakan kebutuhan dan kebutuhan berarti
kelemahan, sedangkan kelemahan menunjukkan karakter wujud mungkin.

Amirul Mukminin al-Imam Ali bin Abi Thalib dengan indah melukiskan
karakteristik Tuhan dengan sempurna dalam lembaran-lembaran Nahj al-
Balaghah sebagai berikut:
“Dia adalah satu, tapi bukan dalam arti jumlah. Dia tidak dibatasi oleh batasan-
batasan ataupun tidak di hitung oleh angka-angka. siapa yang menunjuk-Nya
berarti mengakui batas-batas-Nya, dan yang mengakui batas-batas-Nya berarti
telah menghitung-Nya. Siapa yang menggambarkan-Nya, berarti membatasi-Nya,
memberikan jumlah kepada-Nya, menolak keazalian-Nya. Segala sesuatu yang
disebut satu adalah kurang, kecuali Dia.”
 Ke-Esaan Tuhan
Jika kita melihat perkembangan agama-agama di dunia maka berbagai
pandangan tentang jumlah Tuhan ini sangat beragam, mulai dari
yang monoteis (satu Tuhan), diteis atau dualisme (dua
Tuhan), triteis atau tirinitas (tiga tuhan), hingga politeis (banyak Tuhan) dalam
berbagai bentuknya. Untuk itu, kita perlu menentukan pilihan kita dari berbagai
pandangan tersebut dengan argumentasi yang kokoh dan utuh. Kajian ini akan
difokuskan untuk membuktikan kebenaran pandangan keesaan Tuhan di antara
pandangan-pandangan lainnya.
Islam meyakini bahwa Allah swt adalah Esa secara mutlak, tidak berbilang
dan tidak bersekutu dalam hal apapun. Siapa saja yang meyakini sebaliknya,maka
ia telah jatuh pada kezhaliman dan dosa yang besar (syirk). Dimensi terpenting

9
dari persoalan tauhid adalah masalah keesaan Allah ini, karena itu ushuluddin
pertama ini di sebut at-tauhid yang berakar kata dari ahad berarti esa (tunggal).
Jika kita memahami dalil-dalil pembuktian keberadaan Tuhan sebelumnya,
seperti dalil kesempurnaan, keterbatasan, keteraturan, kemungkinan, bahkan
argumentasi ontologis (wujud), maka jelas bahwa tidak mungkin Tuhan lebih dari
satu. Hal ini karena, kesempurnaan, ketidakterbatasan, kepengaturan, kepastian,
dan keberadaan puncak, hanyalah satu (esa). Di bawah ini, akan diuraikan
argumentasi pembuktian keesaan Tuhan berdasarkan pada lima argumentasi
keberadaan Tuhan sebelumnya, sebagai berikut :

1. Argumentasi Kesempurnaan menyebutkan bahwa wujud tertinggi


mestilah sempurna dari segala sisinya. Wujud seperti ini mestilah tunggal,
karena jika tidak, maka akan menghasilkan kekurangan pada tiap wujud.
Misalnya, jika ada dua wujud yang sempurna yaitu : wujud sempurna A
dan wujud sempurna B. Ini berarti, kedua wujud itu menjadi saling
berkekurangan, karena wujud sempurna A tidak memiliki kesempurnaan
B, dan sebaliknya pula, wujud sempurna B, tidak memiliki kesempurnaan
A. Dan wujud yang tidak sempurna tidak layak menjadi Tuhan. Jika
dikatakan bahwa wujud sempurna A dan B masing-masing memiliki
kesempurnaan yang sama, maka itu berarti, wujud A dan B sebenarnya
adalah satu dalam realitasnya. Ini berarti, wujud sempurna hanyalah satu.

2. Pada Argumentasi keteratutan menegaskan bahwa alam ini dikuasai


oleh sistem yang harmois dan teratur bersumber dari wujud yang
berkemampuan dan bijaksana. Wujud yang mengatur semesta tidak
mungkin lebih dari satu, karena, akan mengakibatkan sistem yang bekerja
pada semesta juga menjadi lebih dari satu, dan hal ini mustahil. Artinya,
jika ada dua pengatur, yaitu Pengatur A dan Pengatur B, maka ini berarti
Pengatur A dan seluruh sistemnya tidak diatur oleh Pengatur B, dan
sebaliknya juga, Pengatur B dengan seluruh sistemnya tidak diatur oleh
Pengatur A. Jika demikian, berarti Pengatur A dan Pengatur B, tidak layak
disebut sebagai Pengatur Sempurna, karena ia masih lemah dan tidak
memiliki kemampuan, sebab masih ada yang tidak diaturnya. Wujud yang
lemah tidak layak menjadi Tuhan.

10
3. Pada argumentasi keterbatasan dan kebermulaan
(huduts) ditegaskan bahwa wujud terbatas berasal dari wujud yang tak
terbatas dalam hal apapun, maka membuktikan ke-Esaan Tuhan adalah hal
yang mudah. Yaitu bahwa sesuatu yang tidak terbatas tidak mungkin
lebih dari satu, karena jika lebih dari satu maka akan terjadi
keterbatasan. Misalnya ada dua wujud tidak terbatas yaitu : wujud tidak
terbatas A dan wujud tidak terbatas B. Jika kita cermati maka keduanya
akan menjadi terbatas, karena, ‘wujud tidak terbatas’ A akan dibatasi oleh
‘wujud tidak terbatas’ B. Dan begitu pula sebaliknya, wujud tidak terbatas
B akan dibatasi wujud tidak terbatas A. Oleh karena itu wujud yang tidak
terbatas dari segala seginya mestilah satu (Esa).

4. Argumentasi kemungkinan telah menyatakan bahwa wajib al-


wujud merupakan wujud menjadi sebab bagi semua keberadaan yang
keberadaan dirinya tidak disebabkan oleh apapun. Statemen ini dengan
jelas menekankan bahwa wajib al-wujud hanyalah satu, sebab jika lebih
dari satu, maka semua wujud akan menjadi wujud mungkin. Misalnya, kita
asumsikan ada dua wujud wajib yaitu Wujud Wajib A dan Wujud Wajib
B, jika demikian, maka wujud wajib A bukan merupakan wujud wajib
yang mutlak karena ada wujud yang tidak disebabkan darinya yaitu wujud
wajib B dengan semua akibat-akibatnya. Begitu pula, wujud wajib B juga
bukan wujud wajib (yang mutlak) karena ada wujud lain yang tidak
berasal darinya yaitu wujud wajib A dengan semua akibat-akibatnya.
Dengn demikian, wujud wajib A dan wujud wajib B memiliki kekurangan,
keterbatasan, rangkapan dan kelemahan, dan wujud yang seperti itu adalah
karakter wujud mungkin yang tidak layak menjadi Tuhan. Jadi, wujud
wajib haruslah satu.

5. Dalam argumentasi ontologis (wujud), secara tegas dinyatakan bahwa


wujud murni hanyalah satu, karena jika tidak diakui, berarti ada wujud
selain wujud atau ada wujud yang bukan wujud. Artinya, jika wujud lebih
dari satu, maka akan menghasilkan kesimpulan kontradiksi, yaitu wujud
adalah bukan wujud (ada = tidak ada), dan hal itu adalah mustahil. Itulah
sebabnya mengapa dikatakan bahwa wujud hanya satu dan selain wujud
adalah katiadaan.

11
Dengan kelima argumentasi di atas, maka dapat dengan kokoh dan utuh
kita menerima keyakinan bahwa Tuhan mestilah Esa (tauhid). Maha benar Allah
yang mengabarkan melalui firman-Nya “Katakan, Dia (Allah) Maha Esa” (Q.S.
Al-Ikhlas: 1).

2.3. Eksistensi Tuhan dalam Tinjauan Filsafat


Bagaimana membuktikan keberadaan, eksistensi atau wujud Tuhan?
Pertanyaan tersebut dapat ditanggapi dengan berbagai tanggapan. Ada yang
mengatakan Tuhan itu ada di hati, cukup diyakini, jangan dipertanyakan. Seorang
atheis tentu menertawakan tanggapan semacam itu. Selain jawabannya tersebut
tidak metodologis, hati berfungsi untuk menetralisir racun. Eksistensi Tuhan tentu
tidak sedangkal itu. Adapula yang menjawab dengan dukungan teks kitab suci.
Jawaban inipun belum kuat. Jangankan kitab suci, agama saja tidak diyakini oleh
kaum atheis. Lagian, kitab suci agama yang satu tidak menutup kemungkinan
memberikan jawaban berbeda dengan kitab suci agama yang lain. Diperlukan
sebuah jawaban yang dapat diterima akal sehat manusia secara universal, mutlak
dan obyektif.

Argumentasi tentang Keberadaan Tuhan. Secara garis besar terdapat tiga


argumentasi atau pembuktian logis tentang keberadaan tuhan, di antaranya:

1)Argumen Ontologis
Dipelopori oleh plato dan al farabi. Plato berkata bahwa terdapat ide
tertinggi yang diberi nama ide kebaikan atau The Absolute Good; Yang Mutlak
Baik. Sementara al Farabi berkata bahwa hanya ada satu yang Wajib Ada. Selain
wajib ada ini, pastilah mustahil ada. Kecuali, Wajib Ada memberikan keberadaan
kepada Mustahil Ada. Sehingga yang Mustahil Ada menjadi Mungkin Ada karena
diberikan keberadaan oleh yang Wajib Ada. Keberadaan yang Mungkin Ada
bergantung pada yang Wajib Ada. Jika yang Wajib Ada mencabut keberadaan
pada yang Mungkin Ada, maka yang Mungkin Ada menjadi Mustahil Ada.
Kesimpulannya, tidak ada Yang Ada kecuali Yang Ada itu sendiri. Wajib ada
yang dimaksud di sini disebut sebagai Tuhan.
Bagaimana bisa gagasan nonmateri, empiris atau tidak dapat diinderai
seperti Tuhan dapat hadir di akal? Jika tidak mempunyai realitas, tentulah Tuhan
tidak dapat dihukumi kebenaraan eksistensinya. Seperti kata Karl Marx; bukan

12
Tuhan yang menciptakan manusia, tapi manusialah yang menciptakan Tuhan.
Maka, diperlukan kerangka berpikir yang tepat untuk membuktikan eksistensi
Tuhan. Adapun metode yang dimaksud adalah prinsip niscaya lagi rasional yaitu;
Prinsip Kausalitas dan Prinsip Identitas. Kausalitas adalah suatu hubungan yang
dimana setiap akibat pastilah bergantung pada sebab. Kausalitas mendahui
pengalaman inderawi (Arianto Ahmad; Landasan Dan Kerangka Berpikir Ilmiah
dan Filosofis; hal 175).
Sementara Prinsip Identitas atau Non-Kontradiksi adalah suatu hukum
berpikir yang menyatakan bahwa sesuatu hanya identik dengan dirinya sendiri.
Maka, sesuatu mustahil identik dengan yang lain. Argumen Ontologis sejalan
dengan prinsip identitas bahwa hanya terdapat satu yang Ada (Tuhan). Jika ada
dua yang ada (Tuhan), tentu tertolak di akal. Karena kita tidak dapat membedakan
mana Tuhan yang sesungguhnya dan bisa saja terdapat tumpang tindih kekuasaan
antara dua tuhan tersebut. Secara ontologis dan sejalan dengan hukum berpikir
prinsip Identitas, Tuhan haruslah Esa.

2)Argumen Kosmologis
Argumen ini dipelopori oleh Aristoteles. Lebih lanjut, Aristoteles
menyatakan bahwa setiap yang bergerak pasti digerakkan oleh penggerak.
Penggerak tersebut juga digerakkan oleh penggerak lainnya. Begitu seterusnya
hingga berujung pada Penggerak Pertama yang tidak digerakkan. Karena jika
Penggerak Pertama tidak ada, maka tidak ada pula yang menggerakkan gerak.
Dan jika Penggerak Pertama juga digerakkan, maka ia tidak dapat dikatakan
Penggerak Pertama. Gerak adalah berpindahnya titik potensi menuju titik aktual
yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Titik potensi berupa materi yang terus
bergerak. Sementara titik aktual berupa bentuk yang kekal. Tidak ada bentuk yang
belum teraktual. Sebagaimana tidak ada materi yang tidak berpotensi. Potensi
menuju aktual seperti materi menuju bentuk. Penggerak Pertama tidak boleh
bergerak. Karena jika Penggerak Pertama bergerak, maka ia adalah potensi yang
tentunya materi. Penggerak Pertama yang tidak digerakkan dan tidak bergerak
inilah yang disebut sebagai Tuhan.
Argumen ontologis dan kosmologis dikritisi oleh Immanuel Kant karena
dipandangnya merupakan argumen yang lemah. Kant kemudian mempertanyakan
mengapa Wajib Ada memberikan keberadaan pada yang Mungkin Ada. Dengan
kata lain, mengapa Tuhan menciptakan makhluk? Jika kita menjawab pertanyaan

13
Kant, maka Tuhan menjadi memiliki tujuan dalam menciptakan makhluk.
Sementara jika Tuhan memiliki tujuan, berarti ada yang belum dimiliki oleh
Tuhan dan otomatis Tuhan menjadi tidak sempurna. Tentulah, Tuhan tidak dapat
disebut Tuhan jika Ia tidak sempurna. Jawabannya adalah makhluk diciptakan
oleh Tuhan demi eksistensi makluk, bukan Tuhan. Tanpa makhluk, Tuhan tetap
eksis. Makhluk dicipta karena Tuhan Maha Baik dan Maha Pemberi. Si kaya tetap
kaya walaupun ia tidak memberi hartanya pada fakir. Tapi si kaya semakin
dikenal lagi dengan sebutan penderma jika ia mendermakan atau memberikan
sebagian hartanya. Jadi, penciptaan makhluk demi penyempurnaan makhluk itu
sendiri (Mutadha Muthahhari, Mengapa Kita Diciptakan; hal 43).

3)Argumen Moral
Dipelopori oleh Immanuel Kant. Kant menyatakan bahwa sejak lahir
manusia dibekali oleh perangkat bawaan yang bernama moral untuk membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk. Perintah moral mengharuskan manusia
melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Melakukan yang baik
tinggalkan yang buruk merupakan perintah moral bukanlah perintah agama.
Manusia melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk bukan untuk
mendapatkan hadiah dan menghindari hukuman. Karena hadiah dan hukuman
sangatlah bersifat materi, sementara yang bersifat materi membutuhkan
pengalaman inderawi. Buktinya, terkadang manusia melakukan yang baik tetapi
diperlakukan buruk oleh orang lain. Terkadang pula manusia melakukan yang
buruk tetapi tidak diganjar oleh hukuman yang setimpal.
Pernyataan pertama bahwa perintah moral tidak berkaitan dengan
pengalaman inderawi ataupun agama. Pernyataan kedua adalah jika dunia materi
bukanlah tempat menguji obyektivitas perintah moral maka harus ada dunia lain
sebagai tempat menguji obyektivitas perintah moral tersebut. Karena dunia ini
sangatlah bersifat materi yang khas harus diukur pengalaman inderawi. Moral
yang nonmateri tersebut tentu tidak mendapatkan validitasnya di dunia materi ini.
Harus ada dunia lain sebagai tempat menguji obyektivitas dan validitas perintah
moral. Dimana tempat tersebut merupakan tempat pemberian hadiah bagi yang
melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan serta pemberian hukuman bagian
menjahui kebaikan dan melakukan keburukan. Dan tempat atau dunia tersebut
haruslah memberikan hadiah atau hukuman yang adil, tidak seperti di dunia
materi. Maka lahir pernyataan ketiga, bahwa harus ada yang menilai validitas

14
moral tersebut. Dimana penilaiannya adalah penilaian yang paling benar dan
paling adil. Sang Penilai tersebut dinamakan Tuhan. (Amsal Bahtiar, Filsafat
Agama; 193)

Berlaku Adil dalam Berpengetahuan


Argumen Ontologis, Kosmologis dan Moral di atas merupakan jawaban
yang segar bagi akal dan hati manusia di tengah keringnya pertanyaan filsafat
mengenai eksistensi Tuhan. Perlu diperhatikan, bahwa jawaban dari teks kitab
suci dari kaum agamawan bukan berarti tidak obyektif. Hanya saja, kita perlu
berlaku adil dalam berpengetahuan. Baik bagi subyek pengetahuan (manusia),
maupun obyek pengetahuan (pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan). Pertama,
dengan menjawab pertanyaan si atheis berdasarkan akal sehat yang dapat diterima
secara universal, obyektif dan mutlak oleh seluruh manusia. Karena seluruh
manusia berakal, termasuk si atheist ado. Kedua, dengan menjawab pertanyaan
sesuai dengan kategori pertanyaan. Pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan adalah
kategori pertanyaan filsafat, maka harus dijawab dengan jawaban khas filsafat
pula. Izinkan saya menutupnya dengan kutipan dari Dostoyevski dalam buku
Revolusi Harapannya Erich Fromm; Jika Tuhan tidak ada, maka segalanya
menjadi tidak mungkin.

2.4. Pengertian dan Karakteristik Akidah


 Pengertian Akidah Islam
Secara etimilogis (lughatan), akidah berakar dari kata
‘aqadaya’qidu-‘aqdan-‘aqidatan.‘Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian, dan
kokoh.Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.Relevansi antara arti
kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam
hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Sedangkan menurut istiah terminalogi `aqidah adalah iman yang teguh dan
pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Jadi,
`Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman
kepada Malaikat-malaikat-Nya. Rasul–rasulnya kitab-kitab-Nya, hari Akhir,
takdir baik dan buruk dan mengimanai seluruh apa apa yang telah shahih tentang
Prinsip-prinsip Agama, perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang
menjadi Ijman' dari Salafush Shalih, serta seturuh berita-berita qath'i (pasti), baik

15
secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah datetapkan menurut A!-Qur'an
dan AsSunnah yang shahih serta ijma' Salafush Shalih.
Karakteristik (Khashaish) adalah sebuah sifat baik yang sesuatu menjadi
istimewa dengannya dan tidak ada sesuatu pun selainnya yang mempunyai sifat
tersebut.
Karakteristik aqidah islamiah sangatlah banyak, di sini kami hanya akan
menyebutkan sebagiannya:
1. Dia adalah aqidah ghaibiah (berkenaan dengan masalah ghaib).
Allah Ta’ala berfirman, “Alif Lam Mim.Inilah kitab yang tidak ada
keraguan di dalamnya, merupakan hidayah bagi orang-orang yang bertakwa.Yaitu
orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.”(QS. Al-Baqarah: 1-3). Hampir
seluruh permasalahan aqidah islamiah yang wajib diimani oleh seorang hamba
adalah bersifat ghaib, seperti rukun iman yang enam beserta rinciannya yang telah
kita singgung di atas.
2. Dia adalah aqidah yang bersifat menyeluruh dan universal.
Hal itu karena Allah Ta’ala menyifatkan agama dan kitab-Nya dengan
sifat sempurna, tibyan (penjelas) terhadap segala sesuatu dan pemberi hidayah
bagi seluruh makhluk.Maka ketiga sifat ini melazimkan bahwa agama dan kitab-
Nya itu telah menjelaskan dan mengatus segala sesuatu yang berkenaan dengan
kehidupan para makhluk di dunia dan di akhirat.
Keuniversalannya bisa dilihat dari ketiga perkara berikut:
a.) Dia mencakup semua jenis ibadah. Karena ibadah itu adalah semua
nama untuk semua perkara yang Allah cintai dan ridhai, baik berupa
ucapan maupun amalan, yang lahir maupun yang batin.
Maka ibadah mencakup ibadah hati seperti cinta kepada Allah, ibadah
lisan seperti membaca Al-Qur`an, ibadah badan seperti shalat serta
ibadah harta seperti semua jenis sedekah.Dan dia juga mencakup
meninggalkan semua perkara yang dilarang dalam agama dengan
syarat dia meninggalkannya karena Allah.
b.) Dia mencakup hubungan antara hamba dengan Rabbnya dan hubungan
antara sesama manusia.
c.) Dia mencakup kehidupan manusia ketika dia masih hidup di dunia,
ketika dia hidup di alam barzakh dan ketika dia hidup di negeri
akhirat.

16
3. Dia adalah aqidah yang bersifat tauqifiah (terbatas pada wahyu), tidak
ada tempat untuk pandapat dan ijtihad di dalamnya.
Hal itu karena aqidah yang benar haruslah terdapat keyakinan yang pasti di
dalamnya, karenanya rujukan dan asalnya juga harus sesuatu yang bisa dipastikan
kebenarannya, dan sifat seperti ini (dipastikan kebenarannya) tidak bisa
ditemukan kecuali pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu alaihi
wasallam- yang shahih.
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau kelak datang kepada kalian hidayah dari-
Ku, maka barangsiapa yang mengikuti hidayah-Ku niscaya dia tidak akan tersesat
dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 23) Maka Allah menjadikan keselamatan dan
kebahagiaan -dalam aqidah dan selainnya- hanya pada apa yang Dia datangkan
berupa Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan barangsiapa yang mengikuti selain
keduanya maka baginya kecelakaan yang nyata.
Karenanya semua perkara yang bersifat dugaan -seperti kias, akal,
anggapan baik, eksperimen- tidak bisa dijadikan rujukan dalam aqidah, apalagi
kalau dia hanyalah khayalan dan khurafat seperti mimpi-mimpi dan ucapan
seseorang yang jahil.
Akal bukanlah sumber aqidah, bahkan dia adalah sesuatu yang dipakai
untuk memahami dan mentadabburi sumber aqidah sebenarnya -yaitu Al-Kitab
dan As-Sunnah yang shahih-. Karenanya akal yang sehat lagi bersih dari semua
kotoran tidak akan mungkin bertentangan dengan wahyu. Semoga Allah Ta’ala
merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiah tatkala beliau mengomentari para ahli
kalam, “Cukuplah yang menjadi dalil akan rusaknya mazhab mereka (yang
mendahulukan akal) adalah: Tidak ada seorang pun di antara mereka yang
mempunyai sebuah kaidah yang bersifat baku dalam masalah apa saja yang
dianggap mustahil oleh akal. Bahkan di antara mereka ada yang menyangka
bahwa akal membolehkan dan mewajibkan sesuatu yang dianggap oleh selainnya
bahwa akal menghukumi itu mustahil.Wahai betapa kasihannya, dengan akal yang
manakah Al-Kitab dan As-Sunnah akan ditimbang?”
Akidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih
dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Akidah Islam memiliki
karakteristik berikut ini :
1. Al Wudhuh wa al Basathah ( jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di
dalamnya

17
2. Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara
aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah : “Fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan
pada fitrah Allah..” QS. 30:30
3. Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan
dari siapapun. Firman Allah :”Apakah mereka mempunyai sembahan-
sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah ?“ QS. 42:21
4. Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan
pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep akidah lainnya.
Aqidah Islam selalu menegakkan : “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu
jika kamu adalah orang yang benar” QS 2:111
5. Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan
maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang
mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Akidah Islam
menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu
agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan mengikuti jejak mereka” QS.43:22.
Sedangkan Ahli Sunnah Waljama’ah menyepakati prinsip-prinsip penting
yang kemudian menjadi ciri dan inti aqidah mereka, yaitu:
1) Aqidah Ahli Sunnah Waljama’ah tentang sifat-sifat Allah: itsbat bilaa
takyif (membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya) dan
mensucikan-Nya tanpa mengingkarinya
2) Ahli Sunnah Waljama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-
Qur’an: Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk
3) Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat
melihat Rabbnya di surga dengan kedua mata mereka
4) Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati
yang disampaikan Rasulullah
5) Ahli Sunnah Waljama’ah memikul amanat ilmu dan memelihara
jama’ah
6) Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani qadar dengansegala tingkatannya
7) Ahli Sunnah Waljama’ah berpendapat: iman adalah ucapan dan
perbuatan, dapat bertambah dan berkurang

18
8) Ahli Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa iman mempunyai ashl
(pokok) dan furu’ (cabang), iman seseorang tidak terlepas kecuali
dengan pokok keimanannya. Oleh karenanya, mereka tidak
mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya,
kecuali jika telah terlepas pokok keimanannya
9) Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat terhadap kemungkinan
berkumpulnya antara siksaan dan pahala dalam diri seseorang. Namun
mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu
kecuali dengan dalil khusus
10) Ahli Sunnah Waljama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul,
ahlul bait, dan istri-istri Rasulullah tanpa ada kema’shuman terhadap
siapapun kecuali Rasulullah
11) Ahli Sunnah Waljama’ah membenarkan adanya karomah pada wali
dan kejadian-kejadian luar biasa yang dibenarkan Allah kepada
mereka
12) Ahli Sunnah Waljama’ah berpegang bersama pemimpin-pemimpin
mereka, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang durhaka.

2.5. pengertian, tujuan, dan sistem perbandingan agama


 Pengertian Perbandingan Agama
Perbandingan agama adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari
agama-agama (Religions-Wisseschaft). Adapun ilmu perbandingan agama
memahami dan mempelajari fenomena keagamaan dari sudut kajian ilmiah yang
mendalam.
Kata “perbandingan” bukan berarti membanding-bandingkan agama, sebagaimana
yang banyak dibayangkan orang , melainkan mempunyai pengetian bahwa yang
dipelajari adalah berbagai agama atau banyak agama. Begitupula kata “agama”
dalam ilmu perbandingan agama mengandung pengertian universal. Artinya
agama tersebut tidak ditujukan kepada salah satu agama yang diyakini oleh
seseorang atau sekelompok orang, seperti Islam dan Kristen saja, melainkan
semua agama yang ada di dunia ini, baik local, nasional ataupun multi nasional ,
yang masih ada dan berkembang maupun yang pernah ada, yang dianut oleh
manusia primitif maupun yang dianut oleh masyarakat modern. [1]
Disiplin ilmu perbandingan agama bukanlah bertugas untuk mempelajari
agama dari sudut kajian teologis atau dari sudut kepercayaan atau keyakinan, dan

19
bukan pula bertujuan untuk mengadakan penilaiaan (judgement ): bahwa satu
agama lebih sah daripada agama lainnya. Ilmu perbandingan agama itu adalah
suatu disiplin ilmu yang mempelajari dan mengkaji agama dari sudut atau
pendekatan ilmu pengetahuan (sainstifik).[2]
Jadi, ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang membandingkan asal
usul, struktur, dan ciri-ciri dari berbagai agama dunia, dengan maksud untuk
menentukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya yang
sebenarnya, sejauh mana hubungan antara satu agama dengan agama yang lain.[3]
 Tujuan Perbandingan Agama
Perbandingan agama tidak bertujuan untuk memperkuat dan mengajarkan
suatu kepercayaan yang dimiliki sekelompok manusia atau masyarakat. Begitu
pula dengan ilmu ini tidak menyebarkan semangat dan gairah bagi
mempertahankan serta mengembangkan kepercayaan tersebut.[4] Tujuan
perbandingan agama, bukanlah untuk membandingkan mana agama yang benar
dan mana agama yang salah, tapi untuk mengungkapkan pengalaman religious-
agama.[5]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa tujuan perbandingan agama antara
lain:
1) Perbandingan agama dapat menimbulkan tenaga dan pikiran untuk
membandingkan ajaran-ajaran setiap agama, kepercayaan, dan aliran-
aliran peribadatan yang ada.
2) Orang dapat membedakan ajaran-ajaran setiap agama, kepercayaan dan
aliran-aliran yang berkembang dalam masyarakat, sehingga mudah
untuk memahami kehidupan bathin, alam pikiran dan kecenderungan
hati bagi umat beragama.
3)Perbandingan agama tidak memberikan atau menambah keimanan
seseorang, akan tetapi orang yang tidak beragama akan dapat
memperoleh suatu kepercayaan atau keimananan dari ilmu tersebut.[6]
4) Untuk pemenuhan (kepuasan) intelek (rasa ingin tahu) yang melekat
pada diri seseorang. Semakin bertambah rasa penasaran terhadap
ideology (agama) orang lain, semakin ingin menjangkau wilayah-
wilayah baru (dari agama) yang belum diketahui.[7]
 Sistem Perbandingan Agama
Secara etimologi, sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang sinkron,
berisi komponen-komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya. Jika

20
demikian penjabaran tentang sistem agama, maka agama dapat dianalogikan
sebagai suatu sistem. Sebagai sebuah sistem, agama tentunya mempunyai
komponen atau unsur yang saling terkait.
Menurut Leight, Keller, dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur
pokok:
1) Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada
keraguan lagi.
2) Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
3) Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya,
dan hubungan horizontal atau hubungan antar umat beragama sesuai dengan
ajaran agama.
4) Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang
dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
5) Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.
Berdasarkan unsur pokok yang telah dipaparkan diatas, sebuah agama
sekurang-kurangnya menyangkut tiga hal pokok yang menjadi ruang lingkup
ajarannya, yaitu sistem kepercayaan, sistem peribadatan, dan sistem perilaku.
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang disebut agama, bahkan menjadi tolok
ukur apakah suatu agama layak disebut agama.
1) Sistem kepercayaan
Sistem ini mengandung ajaran tentang ketuhanan yang menjadi pokok
kepercayaan dalam beragama. Yang dimaksud dengan kepercayaan ialah suatu
keyakinan atau pengakuan terhadap eksistensi Tuhan yang menciptakan dan
menguasai manusia beserta seluruh alam semesta.
Sistem kepercayaan merupakan substansi utama agama, bahkan menjadi
dasar dalam beragama, karenanya kepercayaan dalam agama tanpa perlu
penyelidikan terlebih dahulu akan kebenarannya. Hal inilah yang membedakan
antara keagamaan dan keilmuan. Keagamaan berdasar dari kepercayaan, sedang
keilmuan berdasar dari ketidakpercayaan yang kemudian diteliti kebenarannya.
Oleh karena itulah sistem kepercayaan merupakan unsur utama agama, bahkan
bisa dikatakan bukan agama jika tidak mengajarkan kepercayaan terhadap
eksistensi Yang Maha Agung.
2) Sistem Peribadatan
Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan, karena
didalamnya berisi peraturan dan pedoman tentang tata cara berhubungan dengan

21
Tuhan, seperti peraturan dan tata cara penyembahan, pemujaan, atau doa-doa
kepada-Nya. Jadi sistem peribadatan lebih terfokus pada pengaturan tentang
hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya.
Sistem peribadatan juga merupakan substansi atau unsur agama,
disamping sistem kepercayaan. Karena itu agama juga merupakan sumber dari
segala sumber pengetahuan tentang tata cara peribadatan serta kewajiban lain
yang harus diemban manusia sebagai bentuk pengabdian atau penghambaan
terhadap Sang Maha Pencipta. Dengan demikian, suatu agama tidak layak disebut
sebagai agama jika ajarannya tidak mengandung sistem peribadatan.
3) Sistem Perilaku
Sistem ini mengatur tata hubungan manusia secara horizontal, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan akhlak (ethics). Dalam sistem ini, agama merupakan
sumber pendidikan kemanusiaan, yang mengajarkan norma-norma atau nilai-nilai
tentang baik dan buruk yang menjadi pedoman dalam bertingkah laku yang luhur,
baik terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lain
dan seluruh alam semesta.
Kesimpulannya, sistem perilaku (akhlak) juga merupakan substansi
agama, disamping sistem kepercayaan dan sistem peribadatan. Dengan kata lain,
bukan agama jika ajarannya tidak mengedepankan aspek perilaku (akhlak), sebab
akhlak merupakan pokok ajaran yang paling vital dan fundamental bagi
kehidupan umat manusia, karena dalam sistem perilaku inilah terletak jati diri
manusia.
Dari ketiga substansi agama tersebut dapat dipahami, bahwa agama adalah
totalitas dari sistem kepercayaan, sistem peribadatan, dan sistem perilaku yang
menjadi pedoman hidup untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu
keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Inilah
hakikat agama sebagai sebuah sistem.

22
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Tauhid dan
eksistensi Tuhan sangat berkaitan. Dari beberapa penjelasan mulai dari ahli atau
artikel di atas, Tauhid yang berarti Esa menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan itu
bersifat esa (satu) atau tunggal.

3.2. Saran

Pemahaman kerangka pokok akidah islam perlu diperluas, karena selain dapat
menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari mengenai tauhid dan keberadaan
Tuhan, juga dapat bermanfaat dalam pembinaan kemampuan agama islam.

23
DAFTAR PUSTAKA

https://abuthalib.wordpress.com/2009/06/27/eksistensi-tuhan/
https://www.kompasiana.com/tonton/54f6f530a333114e0a8b4659/eksistensi-
tuhan-dalam-tinjauan-filsafat
http://philosopherscommunity.blogspot.com/2013/01/karakteristik-akidah-
islam.html
http://ristiananisa.blogspot.com/2017/03/perbandingan-agama-pengertian-
tujuan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan

24
25

Anda mungkin juga menyukai