Anda di halaman 1dari 2

Telaah Jejak Pergerakan Rasulullah dan Para Ulama Dalam Merealisasikan Islam Rahmatan lil Alamin

Berbasis Ahlussunnah Wal Jamaah

Nama : Muhammad Ikrom Fidausi

Aswaja adalah singkatan dari Ahlussunnah wa al-Jama'ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah
tersebut, yaitu: Ahl, yang berarti keluarga, kelompok pengikut. Al-Sunnah secara bahasa berarti al-
tariqah-wa-law-ghira mardhiyah (jalan atau cara meskipun tidak di ridhoi). Al-Jama'ah berasal dari kata
jama'ah yang berarti mengumpulkan sesuatu dan mendekatkan bagian yang satu dengan yang lainnya.
Jama'ah dari kata ijtima' (berserikat), lawan kata dari tafarruq (pemisahan) dan furqah (pembagian).
Jama'ah adalah sekelompok orang dan dikatakan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan
satu tujuan.

Menurut istilah "sunnah" adalah jalan nama yang dianut dan diridhoi dalam agama, yang berasal dari
gambaran nabi Muhammad SAW dan orang orang mukmin seperti para sahabat Nabi. Secara
terminologi, Aswaja atau Ahlusunnah wal Jama'ah, merupakan kelompok yang mengikuti ajaran
Rasulullah dan para sahabatnya.

Ahl al-Sunnah wal-Jama'ah merupakan salah satu mazhab pemahaman agama Islam (akidah). Selain
Aswaja, ada ideologi agama lain seperti Khawarij, Murji'ah, Qadarisme, Jabbariah, dan Syi'ah. Sebagian
besar umat Islam menganggap pemahaman doktrin Aswaja ini sebagai pemahaman yang benar yang
diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Jadi dari generasi ke generasi, ideologi
Aswajah diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi'in tabi'n) dan kemudian diteruskan lagi ke generasi
berikutnya hingga sampai kepada kita. Hal ini tentu saja dapat dibuktikan dengan studi literatur agama.
Dalam hal ini, ribuan buku dan jurnal telah ditulis oleh banyak sarjana, pakar/ahli dan para ulama.

Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu’tazilah,
yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman
teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau
freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas
perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan
diciptakan Tuhan. Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha mengatasi suatu
faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham
kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau
kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan
kehendak mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan terpaksa (mujbar).
Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok ini cenderung berfikir skriptualistik
sementara kelompok Mu’tazilah berfikir rasionalistik.

Menghadapi dua pandangan ekstrim tersebut, Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (W.324H) dan Imam Abu
Mansur al-Maturidi (W.333H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut agar
sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah. Muhammad dalam menuntun para sahabatnya. Keduanya
memunculkan kembali pola pikir bersifat tengah tengah yang terletak di antara dua ekstrem dari teologi
tersebur. Perlu dicatat bahwa al-Asy'ari adalah pengikut ideologi Mu'tazilah selama 40 tahun. Karena
dalil Mu'tazilah yang tidak benar dan berkaitan dengan hasil mimpinya bertemu Nabi SAW; dimana
Rasulullah SAW membimbingnya dalam mimpi bahwa yang benar adalah mazhab ahli hadits (al-
Sunnah), bukan mazhab Mu'tazilah, maka ideologi Mu'tazilah ditinggalkan. Keduanya pada akhirnya
ingin mengembalikan pemahaman aqidah Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad
SAW kepada para sahabatnya, dengan dalil naqliyah (nash-nash al-Qur'an dan Hadits) dan dalil aqliyah
(argumen rasional). Karena faktor kedua tokoh tersebut, Aswaja disebut juga dengan al-Asy'ariyyun dan
al-Maturidiyyun. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diketahui bahwa mayoritas umat Islam di negara
kita, khususnya Nahdliyyin (NU), dan kawasan Asia Tenggara lainnya adalah Asy'ariyyun. Sebagaimana
kita ketahui, meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencipta dan pembela ideologi Aswaja,
namun terdapat perbedaan far'iyyah (cabang) di antara keduanya, bukan pada pokok-pokok aqidahnya;
Al-Asy'ari lebih condong memahami Jabariyah sedangkan al-Maturidi lebih condong memahami
Qadariyah. (Alangkah baiknya jika kita juga dapat mempelajari konsep pemikiran al-Maturidi sehingga
kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang teologi Aswaja.)

Merumuskan melalui kecerdasan intelektual dan spiritual para ulama NU, maka terumuskanlah
beberapa ajaran mulia yang diyakini dapat menempatkan umatnya - baik secara individu maupun
kolektif - di jalan yang benar, untuk berkembang secara fisik dan mental, aman di dunia dan akhirat serta
di ridhoi oleh Allah SWT. termasuk cara hidup bersama sebagai bangsa dan penuh kedamaian. Diantara
nilai-nilai penting yang diajarkan adalah sikap at-tawasuth, al-i'tidal, at-tawazun, at-tasamuh dan amar
ma'ruf nahi munkar. Kata at-tawasuth memiliki arti mengambil posisi di tengah, kata al-i'tidal berarti
tegak lurus, tidak memihak, karena kata ini berasal dari kata al-'adl yang berarti keadilan, kata at-
tawazun berarti tidak memihak. keseimbangan, yaitu tidak melebih-lebihkan atau memperkecil sesuatu,
dan kata at-tasamuh memiliki arti toleransi, yaitu menghargai perbedaan pendapat dan keyakinan.
Semuanya diambil dari Al-Qur'an dan Hadist/Sunnah. Nilai-nilai tersebut diamalkan dalam pelaksanaan
amar ma'ruf dan nahi munkar, semangat hidup masyarakat untuk meninggikan kalam Allah. Ini adalah
karakteristik penting yang melekat dalam kehidupan Sunni. Dan nilai-nilai tersebut selalu dibawa oleh
para ulama NU sejak lahir hingga sekarang. Semua ini tidak lain adalah warisan para wali (pendakwah
Islam) yang turut andil dalam penyebaran Islam di negara kita Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai