Anda di halaman 1dari 3

Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah

bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang
menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama’ah
adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan
sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para
sahabatnya.
ASWAJA: DARI MADZHAB MENUJU MANHAJ ASWAJA sebagai Mazhab
Disampaikan oleh : Mohammad Hasan Basri
Aswaja sesungguhnya bukanlah semata-mata suatu aliran dalam
Islam, bukan madzhab mutlak berdiri sendiri. Aswaja dipahami pola
Secara istilah kata Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah bagaimana kita memahami Islam  secara baik dan benar dengan rujukan dan
Wal-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk kata tersebut. persambungan yang jelas sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, dan
tidak terputus. Dari sisi waktu, sunnah itu dari Rasulullah SAW, dilanjutkan
‫أهل‬      Artinya : kelompok, golongan, keluarga oleh Khulafaurrosyidin, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, Ulama’ush Sholihin …. dst. Di
‫السنة‬     Artinya : adalah segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Nusantara sampailah pada rumusan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari,
SAW, atau semua yang datang dari Nabi SAW, baik berupa perbuatan, KH. Achmad Shidiq, dst. Dari sisi persambungan Guru-Murid, sambungannya
ucapan maupun pengakuan nabi Muhammad SAW. sangat jelas alias tidak terputus. Hadratusy Syaikh pernah berfatwa, bahwa
mengambil ilmu itu harus melalui pintu ilmu. Barang siapa mengambil ilmu
 ‫ لجماعه‬         Artinya ; golongan mayoritas. Adalah apa yang telah disepakati tidak melalui pintu ilmu, berararti dia sama dengan mencuri ilmu. Dan
oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah pintunya ilmu adalah guru. Oleh sebab itu persambungan antara murid-guru
Abu Bakar r.a, Umar bin Khatthab r.a, Utsman bin Affan r.a, dan Ali bin Abi menjadi penting untuk menjaga pemahaman yang benar. Meskipun tidak
Thalib KW). Kata al-Jama’ah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW, yang menutup kemungkinan pada proses pembelajarannya terjadi dinamika,
artinya : “Barang siapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di namun dinamika yang terukur. Prinsip ini harus kita pegangi, khususnya
surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama’ah (kelompok yang menjaga dalam memahami Islam. Tidak boleh memahami Islam dikreasi sendiri tanpa
kebersamaan)”. (H.R al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78). dasar dan tidak memiliki kompetensi dalam istimbath.
Lebih jelas lagi, Hadlratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287- 1336 Metode ini memandu kader Aswaja dalam berfikir, bersikap dan
H / 1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Zidayat Ta’liqat (hal, 23-24) bertindak, baik dalam bidang: Aqidah, Fiqih, Tasawuf: Pertama, Bidang
sebagai berikut : Aqidah. Aqidah adalah: keyakinan yang menghunjam dalam hati, dimana
“Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits keyakinan itu  melandasi cara berfikir, bersikap dan bertindak hingga
dan ahi fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan menunjukkan keutuhan pribadi seseorang. Sedang Aqidah Islam adalah:
sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Mereka keyakinan / keimanan yang  kuat dan kokoh terhadap Allah, Kitab2 Allah,
adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, para Malaikat, para Rasul-Nya, Hari Akhir dan Qadla’ – Qadar-Nya, dimana
bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang keyakinan tersebut memandu pribadi Muslim dalam berfikir, bersikap dan
empat, yaitu madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali.” bertindak agar selamat hidupnya di Dunia maupun di Akhirat.
Pada fase awal, Aswaja dibidang Aqidah ini dipresentasikan oleh raya. Sehingga umat Islam, khususnya kader pergerakan harus melihat beliau
para Ahlul Hadits berdasarkan elaborasi Ayat-ayat al-Qur’an secara tekstual. sebagai sosok yang diidolakan, dibanggakan dan diteladani.
Ringkasnya pemikiran mereka adalah: bahwa Allah itu Esa, Dia tempat
Sumber hukum Islam yang ketiga dan keempat adalah ar-Ra’yu 
meminta, tiada Tuhan selain Dia, tiada sesembahan selain Dia, Maha Hidup,
(Ijma’ dan Qiyas). Ijma’ sebagai sumber berikutnya ini didasarkan pada suatu
Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha berkehendak dan Maha Berfirman.
Hadits, dimana Rasulullah SAW pernah menanyakan kepada sahabat Mu’ad
Al Qur’an adalah Firman-Nya dan bukan makhluk. Allah dapat dilihat mata
bin Jabbal mengenai cara memutuskan suatu perkara. Ringkas kata, bahwa
telanjang manusia pada hari qiamat nanti. (Al-Baghdadi, dinukil dari DR.
dasar untuk memutuskan perkara itu adalah al-Qur’an. Jika tidak ditemukan,
Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah
maka dengan al-Hadits. Jika tidak ditemukan lagi, maka diputuskan dengan
Wa Al-Jama’ah, Khalista, Surabaya, 2010, 51).
Ro’yu. Nah, ro’yu ini dalam metodologi fiqih Aswaja adalah dengan cara
Pada fase berikutnya perkembangan Aswaja ditandai dengan ijma’ dan qiyas.
integrasi filsafat dalam masalah ketuhanan. Periode ini dipelopori oleh Ibn
Ketiga, Bidang Tasawuf. Diantara berbagai kecenderungan
Kullab yang kemudian diikuti oleh al-Asy’ari (yang lebih condong
tasawuf, tasawuf Sunni / Aswaja adalah tasawuf yang memiliki karakter
ke Jabbariyah), juga oleh al-Maturidi. (A. Muhibbin Z, 52).
dinamis, karena selalu mendahulukan syari’at. Diyakini bahwa tidak akan
Kedua, Bidang Fiqh. Eksistensi madzhab-madzhab dalam fiqih tidak mencapai hakekat apabila tidak melalui syari’at. Sementara itu proses
secara otomatis mengikuti polarisasi umat Islam dibidang aqidah. pencapaian hakekat harus melalui maqomat (terminal-terminal). (A.
Kenyataannya para teolog, baik dari kalangan Mu’tazilah, Ash’ariyah, Muhibbin Z, 56). Aswaja melihat tasawuf bukan persoalan yang berdiri
Maturidiyah maupun Salafiyun tersebar dalam berbagai madzhab fiqh. sendiri. Antara Aqidah, Fiqih dan Tasawuf atau antara Iman, Islam dan Ihsan
Sehingga pembagiannya yang lebih tepat adalah berada dalam dua kutub, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam kepribadian setiap
yaitu kutub Syi’ah dan Non-Syi’ah/Sunni. Secara umum, sumber hukum yang Muslim maupun dalam kemasyarakatan. Aqidah mempengaruhi cara
dijadikan pijakan dalam fiqih Sunni / Aswaja ada empat yaitu: al-Qur’an, as- berfikir, bersikap dan berakhlak. Fiqih memberikan solusi persoalan syar’i,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. (A. Muhibbin Z, 54). Aswaja memahami yang membuat keyakinan seseorang menjadi mantab, karena terbebas dari
hierarkhisitas  perundang-undangan dalam Islam ini secara proporsional. pemahaman dan keyakinan yang ragu. Tasawuf yang telah didasari dengan
pemahaman syari’at secara benar mampu menselaraskan perilaku seseorang
Aswaja memahami Al-Qur’an adalah Firman Allah, dan bukan
secara seimbang.
makhluk-Nya. Al-Qur’an adalah pemandu bagi kehidupan umat manusia. Ia
adalah sumber utama dan paling utama dari hukum Islam. Meskipun  
kedalamannya tidak seorangpun yang mampu menjajakinya. Pada
Aswaja sebagai manhaj Al Fikr : Prinsip Dasar dan Metodologi
kenyataannya, digali sampai kapanpun tidak akan pernah mampu fikiran
manusia menuntaskan rahasia-rahasia yang terkandung dalam samudra  al- Aswaja bahkan bukan hanya metoda dan pola berfikir saja, namun
Qur’an yang autentisitasnya telah dijamin oleh Allah ini. Sumber kedua dari juga pola dalam berkeyakinan, bersikap dan bertindak sebagai suatu
hukum Islam adalah as-Sunnah. Ia merupakan apa saja yang datang dari kesatuan sistem kepribadian. Di beberapa kesempatan, Prof. DR. KH. Sa’id
Rasulullah SAW yang memiliki sifat maksum  (terjaga dari perbuatan salah Aqil Siraj (Ketua Umum PBNU) menyatakan, bahwa  Aswaja adalah
dan dosa). Rasulullah dihadirkan kemuka bumi ini bertugas menyampaikan “Manhajul Fikri wal Fi’li Wat Taqrir”.  Aswaja adalah Manhajul Fikr wal
ajaran Allah, implementasi al-Qur’an dalam kehidupan nyata dan menjadi Harakah (sebagai metode yang memandu cara berfikir dan bergerak) bagi
contoh tauladan yang sempurna bagi kehidupan manusia dan alam jagat segenap kader berdasarkan ajaran Islam (Al Qur an dan As Sunnah) secara
baik dan benar.
Ada tiga prinsip dasar dalam berfikir secara aswaja. Tiga prinsip itu Dari penggabungan ketiga prinsip diatas melahirkan sebuah konsep
diambil dari benang merah dari proses konstruksi Aswaja sebagai Madzhab umum, bahwa “Setiap muslim substantif seharusnya memiliki pemikiran,
dalam bidang aqidah, fiqih, tasawuf. sikap dan perilaku tegak-lurus, adil dan seimbang dalam menegakkan
kebenaran di tengah-tengah kehidupan masyarakat, namun tetap dengan
Tiga prinsip itu adalah: At-Tawasuth wal i’tidal, At- Tawazun dan At-
tampilan yang toleran”.
Tasamuh.
SEKIAN
Pertama, Tawasuth wal i’tidal adalah suatu pola mengambil jalan
tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrim (tatorruf); misalnya Semoga Bermanfaat, Amiin
antar qodariyah dengan jabbariyah, antara skriptualisme ortodoks
salaf dengan rasionalisme mu’tazilah, antara sufisme salafi dengan sufisme
falsafi. Pengambilan jalan tengah  bagi kedua ekstrimitas ini juga diikuti
dengan sikap al-Iqtisad (moderat). (A. Muhibbin Z, 62). Sedang prinsip I’tidal 
berarti bersikap tegak lurus atau tidak condong ke kanan maupun ke kiri
didalam menggapai suatu kebenaran.
Dengan demikian prinsip At-Tawasuth  wal  i’tidal  adalah pola
berfikir, bersikap dan bertindak yang mengambil jalan tengah (tidak ekstrim
dan tidak mudah memfonis) dengan penuh kesadaran dan dilakukan secara
tegak lurus.
Kedua, At-Tawazun berarti keseimbangan atau tidak berat sebelah.
Seimbang ini baik dalam kontek HablumminAllah – Hablumminannas,
kepentingan Pribadi – kepentingan Masyarakat, dalam hal urusan Agama-
urusan Negara, urusan Syari’at dan Tasawuf, antara Upaya Batin – Usaha
Lahiriyah, maupun urusan Dunia – urusan Akhirat, dst.
Dengan prinsip at-Tawazun ini diharapkan seorang muslim selalu
hidup dalam keseimbangan, keadilan dan dalam kesadaran penuh.
Mengingat hanya dengan adanya kesadaran dan keseimbangan-lah,
seseorang mampu berfikir dengan jernih.
Ketiga,  At-Tasamuh berarti toleran. Secara apresiatif, dengan
prinsip toleran ini kaum Aswaja memberikan pengakuan dan tempat bagi
berbagai pemikiran yang pernah tumbuh dalam perjalanan sejarah umat
Islam. Demikian pula dalam diskursus sosial-budaya, Aswaja sangat toleran
dengan tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat. Sikap toleran ini pula
telah memberikan nuansa khusus`dalam hubungannya dengan dimensi
kemanusiaan dalam kehidupan yang lebih universal.

Anda mungkin juga menyukai