Anda di halaman 1dari 32

Aliran Mu’tazilah (Asal-usul, Pandangan, Pendapat dan ajaran Pokok )

Aliran Mu’tazilah
Aliran m’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan sebagai
kaum rasionalis islam, disamping maturidiyah samarkand. Aliran ini muncul sekitar abad pertama
hijriyah, di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan
islam. disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam agama bertemu dikota ini.
dengan demikian luas dan banyaknya penganut islam, semakin banyak pula musuh-musuh yang
ingin menghancurkannya, baik dari internal umat islam secara politis maupun dari eksternal umat
islam secara dogmatis.

mereka yang non islam merasa iri melihat perkembangan islam begitu pesat sehingga berupaya
untuk menghancurkannya. adapaun hasarat untuk menghancurkan islam dikalangan peneluk islam
sendiri,

dalam sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan
temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang
yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah
seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang
berbuat dosa besar (murtakib al-kabair). mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir,
sedangkan murjiah menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak
setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia
berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian
baru. atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah
nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.

untuk mengetahui corak rasional kaum mu’tazilah ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran pokok yang
berasal darinya, yakni al-ushul al-khamsah. Ajaran ini berisi at-tauhid, al-’adlu, al-wa’du dan al-
wa’idu, al-manzilah baina al-manzilataini dan amar ma’ruf nahyi munkar.

dalam hal attauhid (kemahaesaan Tuhan), merupakan jaran dasar terpenting bagi kaum mu’tazilah,
bagi mereka, tuhan dikatakan Maha Esa jika ia merupakan dzat yang unik, tiada sesuatupun yang
serupa dengan Dia. oleh karena itu, mu’tazilah menolak paham Antropomorphisme/al-tajassum,
yaitu paham yang menggambarkan tuhan menyerupai makhluknya, misalnya Tuhan Bertangan dsb.
untuk menghindari paham ini, mu’tazilah melakukan interpretasi metaforis terhadap ayat-ayat al-
Qur’an yang Dzonni : yadullah (Tangan Allah), berarti kekuasaan Allah, Wajhullah (Wajah Allah),
Berarti keridhaa-Nya Dsb.

mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat dai akhirat
nanti (dengan mata kepala). satu satunya sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada
makhluk-Nya adalah sifat qadim. paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat
Tuhan yang mempunyai wujud sendiri diluar dzat Tuhan.

pandangan rasional mu’tazilah.

( Dalam Makalah )

MAKALAH ILMU KALAM TENTANG ALIRAN MU’TAZILAH DALAM PANDANGAN ILMU KALAM

BAB I

PENDAHULUAN

Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran
Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan
penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain
yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu
dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada
porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran
kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah
diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-
kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan
kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan
dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih
mendahulukan akal dan

Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar
tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh
penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para
kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup
menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah…
Modernisasi pemikiran. Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat
untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka
usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu
perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam,
maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut
muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin
Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa
muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini
dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun
dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian
banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak
tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai
oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah).

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang
berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua
golongan.

Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh
sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma
teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.

Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status
kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang
sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.

B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah

Wasil bin Atha.

Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga
ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah
(yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-
sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah
bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

Abu Huzail al-Allaf.

Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah
Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan
dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran
dan hukum Islam.

Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah
sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan
dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme
dalam Islam ini.

Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain
membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui
dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha
Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau
dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim.
Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan
menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh
wa al-aslah.

Al-Jubba’i.

Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur
adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai
sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui
melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke
dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah
‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan
nabi (wãjibah syar’iah).

An-Nazzam

An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu
Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya,
al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka
an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh
orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga
mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada
kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi
penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-
huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim. [1]

Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia
itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.

Mu’ammar bin Abbad

Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad.
pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-
jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau
accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika
sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu
adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

Bisyr al-Mu’tamir

Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia.


Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia
belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.

Abu Musa al-Mudrar

Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim,
karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir
semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat
Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.

Hisyam bin Amr al-Fuwati

Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka
hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada
gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga
dan neraka.

C. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah


Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di
basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah.,
datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang
berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.”
Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid.
Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini,
Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani,
kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.

Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin
Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka
tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al
Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh
karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.

Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya
adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan
Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah
kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.

Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-


pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah,
katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian
mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.

C. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah

Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan).
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari
Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah
adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak
meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan
merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap
kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena
itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-
Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi
janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan
ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke
dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena
inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.

Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan
murji’ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama
“kaum rasionalis Islam”.

Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah
memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari
filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah
menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah, bukan oleh mereka yang lazim
disebut filosof-filosof Islam.

Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak), pusat
ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan
bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari
segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.

BAB III

KESIMPULAN

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah
(memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil
bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat.
Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia
fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak
pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah
kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain
al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam
beragama.

Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari
kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal
al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan
berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun
856 M.

Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian
membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang
semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.

Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-
Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-
Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya
aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan
aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman
lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu
menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam
adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang
mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak
atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah
Mu’tazilah.
1

Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan aliran sesat, cenderug merusak tatanan agama
Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap
Mu’tazilah sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa
umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian
dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong
kontroversial.
Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan
usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam
di setiap sisinya. Karena itu penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang
Mu’tazilah dalam makalah ini tentang apa, siapa, dan bagaimana kaum Mu’tazilah itu?
B. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan penulis akan membatasi pembahasan materi yaitu:
1. Dari mana Asal Usul Mu’tazilah?
2. Apa saja Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah?
3. Siapa Tokoh-tokoh Mu’tazilah?
4. Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Asal Usul Mu’tazilah dan Latar Belakang Munculnya
2. Mengetahui Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah
3. Mengetahui Tokoh-tokoh Mu’tazilah
4. Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu

BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun
105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin
Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat
pada tahun 131 H.
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari Washil Bin Atha` atas
pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan kefasikan (dosa besar),
maka di akhirat nanti akan disiksa lebih dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke
jannah sebagai rahmat Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat tersebut. Sebaliknya dia
mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi mukmin dan tidak juga
kafir. Sehingga kedudukannya tidak di neraka dan tidak pula di surga. namun dia berada dalam satu
posisi antara iman dan kufur. Antara surga dan neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong
Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu
mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah[1].
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian
banyak sektenya. Hingga kemudian para tokoh mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak
tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai
oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mengabaikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah)[2].
Oleh karena itu, tidak aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan
daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal.
Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut
harus dibuang atau ditakwil[3].
Secara etimologis, kata “Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan atau
memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi di kala pertikaian
antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat itu terdapat beberapa
orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan terlibat dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak
ikut membaiat Ali, namun mereka memilih bersikap netral. Beberapa tokoh yang memiliki sikap
semacam ini adalah: Sa’d bin Abi Waqqasy, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid.
Orang-orang itu disebut kelompok Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari keterlibatan dalam
pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan Mu’awiyah[4].
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran-aliran teologi, maka Mu’tazilah
adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan
Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini sering
disebut kaum rasionalis Islam[5].
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang-orang Mu’tazilah sendiri, melainkan
gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya, ketika Hasan al- Basri mendengar kebid`ahan Washil Ibn
Atha`, maka dia mengusirnya dari majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh
para sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah orang-orang menyebut mereka
telah memisahkan diri dari pendapat umat. Sejak itulah pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah.

B. Ajararan-Ajaran Dasar Mu’tazilah


Ajaran-ajaran dasar golonga Mu’tazilah berasal dair Ibn Atha, pokok-pokok pikiran itu
dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau Lima ajaran dasar yaitu :
1. Al-Tauhid
2. Al-‘adl
3. Al-wa’d wa al-wa’id
4. Al-manzilah bain al-manzilatain
5. Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar
1. At-Tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik golongan
Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan
sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia
Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan
dengan sesuatu apapun, itu saja – bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga
dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-
ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-
Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-
Qur’an mengakui hal tersebut.
Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama, sifat yang
berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan dengan
tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak
mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-
dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asya’irah.
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) . Karena jika
sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah
yang Qadim (ta’addud al-qudama’)[6], yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah,
Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu
hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:
‫ و قادر بذاته ال بقدرته و مريد بذاته ال بارادته‬,‫هللا عالم بذاته ال بعلمه‬
“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya,
bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan
Dzat-Nya bukan dengan Kehendak-Nya”.
b. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Mu’tazilah mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah
(Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang
jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun
dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT
sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu.
Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa
kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-
Qur’an sebagai Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab
“bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka berhadapan
dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
]١٦٤:‫وكللم هللا موسى تكليما [النساء‬
“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”
Mu’tazilah mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan
Kalam pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar dari pohon tersebut, lalu Musa as.
mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan kemampuan bagi pohon untuk
mengeluarkan kalam yang akan disampaikan-Nya kepada Musa, lalu Musa as. mendengar Kalamullah
melalui perantaraan pohon itu.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa
perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam
itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c. Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata
telanjang di akhirat, membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih,
menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak
sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat
agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan
dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka
mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang
menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
‫وجوه يوميذ نا ضرة – إلى ربها ناظره‬
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)
Mereka mengatakan bahwa kata (‫ )ناظرة‬di sana tidak berarti melihat (‫ )رؤية‬malainkan
menunggu (‫ )انتظر‬dan kata (‫ )إلى‬bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari
kata (‫ )اآلالء‬yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat
dari Tuhannya”[7].
Mereka juga mentakwil ayat:
‫هللا نور السموت و االرض‬
“Allah cahaya langit dan bumi” (QS. Al-Nur: 35)
Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat, melainkan
Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi.Sedangkan terhadap hadits yang menyatakan orang
mukmin di sorga bisa melihat Allah bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan
purnama, hadits ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang
memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang dan tidak dibatasi
oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau
membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan
tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan
berkuasa penuh (istila’) dan lain sebagainya.
e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan
manusia.
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki
anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat Allah itu
sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan atas pertimbangan akal, melainkan memiliki
rujukan yang sangat kuatdi dalam Al Quran. Mereka berpegang pada ayat:
]١١:‫[الشورى‬ .....‫ليس كمثله شئ‬......
Artinya: “...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia....”
(QS. Asy Syura; 11)
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil
terhadap ayat-ayat secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu dengan cara memalingkan arti
kata-kata tersebut ke arti yang lain sehingga hilang kejisiman Tuhan. Misalnya kata tangan (QS.
Shad:75)di artikan kekuasaan dan pada kontek yang lain tangan (QS. Al Maidah: 64) diartikan nikmat.
Kata wajah (QS. Ar Rahman:27) diartikan esensi dan zat, sedangkan al arsy (QS. Thaha: 5) diartikan
kekuasaan[8]
2. Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Kalau dengan al-tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari persamaan dengan makhluk,
maka dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhan
yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat
dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-
tauhid wa al-‘adl.
Dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam
semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak dari ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan
mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban
seperti memberikan rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada
manusia, untuk membantu manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Tujuan diciptakannya
manusia untuk beribadah kepada Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, maka harus diutus Rasul [9]
3. Al-wa’d wa al-wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah
yakni bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi orang yang berbuat baik, dan
memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai
dengan janji dan ancaman Tuhan. Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat
baik (al Muthi’) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al ‘ashi)pasti terjadi,
begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar
adanya[10]
4. Al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yagn
timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah. Yaitu persoalan orang yang berdosa
besar, ia mati belum sempat bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq,
suatu posisi diantara dua posisi.
Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir dan akan kekal di
neraka. Golongan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, tidak kekal di neraka dan
mengharapkan rahmat dan ampunan dari Allah. Dan golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang
tersebut tidak mukmin dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih
ringan dari orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan pendapat
Murjiah.
5. Al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahi ‘an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik
dan larangan berbuat jahat).
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja, tetapi juga dimiliki
oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran tersebut menurut
Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang
golongan lain cukup dengan penjelasan saja.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat kaitannya dengan
usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat baik dan melarang
berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya
pendidikan akhlak, sebagai bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan
tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin dengan seluruh daya
upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan
Nabi SAW dalam sabdanya.
Perbedaan paham mu’tazilah dengan yang lainnya mengenai ajaran kelima ini terletak pada
tatana pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan , kekerasan dapat ditempuh
untuk mewujudkan ajaran tersebut[11].
C. Tokoh- Tokoh Mu’tazilah
1. Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah.
Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham
Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-
manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah
Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan.
Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah).
Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin
mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab
rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain
membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui
dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa
dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan
oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat
(dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa
kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar
digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang
baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada
pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang
masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau
dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan
mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui
akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa
para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4. An-Nazzam
Pendapat An Nazzam yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha
Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-
Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-
Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang
yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran
terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga
memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari
huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
[1]
5. Al- Jahiz
Al- jahiz dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu
sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang
kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa
Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang
pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam
air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu,
bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia.
Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia
belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya
yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang
mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat
dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum
ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan
neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
D. Pemikiran Mu’tazilah tentang Akal dan Wahyu
Dalam teologi Islam masalah pokok yang dibahas adalah masalah ke-Tuhanan dan
kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Akal yanga da pada manusia dan wahyu dari
Tuhan merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut. Akal,
dengan daya yang ada pada manusia berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan dengan rahmat
dan kasih sayang Tuhan, wahyu diturunkan melalui para Rasul untuk menolong manusia dari
kelemahan dan kekurangannya. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagi Tuhan Maha Tinggi di
puncak alam wujud, dan manusia yang lemah berada di bawah.
Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran teologi
yang berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Tetapi yang menjadi
persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia etrhadap Tuhan. Dan sampai seberapa jauh persoalan wahyu dalam kedua
tersebut di atas.
Sou’yb, Joesoef ( 1997: 52 ) berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu bertitik-tolak pada
kemestian memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Mu’tazilah memahamkannya
itu merupakan kekuatan yang tertahankan.
Persoalan-persoalan yang dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai berikut
:
a. Masalah mengetahui Tuhan;
b. Masalah kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;
c. Masalah mengetahui baik dan jahat;
d. Masalah kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai
melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi secara garis besar
akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu yang dibawa
oleh para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya
bersifat menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap
pengetahuan yang telah dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui
kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima
kasih kepada Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya.
Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.
Sehubungan dengan besar kecilnya peranan akal dalam masalah mengetahui Tuhan,
kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang buruk seperti tersebut di atas, bahkan menurut Mu’tazilah keempat masalah
tersebut dapat dicapai dengan akal, maka timbullah pertanyaan apakah fungsi wahyu?
Sudah barang tentu bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai peranan
yang sangat besar, fungsi wahyu sangat kecil, sebaliknya aliran yang berpendapat peranan akal
sangat kecil, fungsi wahyu menjadi sangat besar.
Bagi kaum Mu’tazilah semua pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan kewajiban-
kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam[12].
Menurut Mu’tazilah, karena keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai dengan akal,
maka fungsi wahyu menjadi sangat kecil. Untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu
dalam pendapat Mu’tazilah tidak mempunyai fungsi apa-apa; tetapi untuk mengetahui bagaiman
cara melaksanakan ibadah kepada Tuhan dalam hal ini wahyu diperlukan, karena akal tidak
sanggup mengetahui bagaimana cara ibadah tersebut.
M. Afif ( 2004: 107) berpendapat bahwa sikap Mu’tazilah yang memberi porsi sangat
besar kepada akal dalam memahami agama terlihat dari pandangannya yang mengatakan bahwa
akal dapat mengetahui yang baik dan buruk, serta dapat pula mengetahui kewajiban melakukan
yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurut Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja,
adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki kesanggupan untuk
itu, karena itu wahyu diperlukan.
Demikian pula menurut Mu’tazilah manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang baik
dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu, untuk
menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
1. Menyempurnakan pengetahuan manusia tentang baik dan buruk sehingga ada wajib al-
aqliyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui melalui akal, dan ada wajib al-
syarfiyyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang hanya diketahui melalui wahyu. Demikian pula ada
manakir al-aqliyah, yaitu larangan-larangan yang dapat diketahui melalui akal, dan ada pula
manakir al-syar’iyyah, yaitu larangan-larangan yang hanya diketahui melalui wahyu.
2. Memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima di akhirat nanti.
Kedua fungsi tersebut di atas dapat dikatakan sebagai informasi, yaitu memberikan hal-
hal yang belum diketahui akal. Dan sebagai konfirmasi, yaitu memperkuat apa yang telah
diketahui oleh akal.
3. Mengingatkan manusia dari kelalaian dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk
mengetahui Tuhan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah
(memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin
Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin
Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam
Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-
pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan
pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi
di antara dua posisi).
2. Mu’tazilah adalah aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’
dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya
berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
3. Mu’tazilah merupakan aliran teologis dalam Islam yang bercorak rasional, dan berpandangan
bahwa nash (wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan sejarahnya,
mereka banyak terpengaruh dengan metode-metode filsafat asing, sehingga hampir saja
membawa mereka kepada sikap “ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap “nyaris ekstrim”
ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka, dan sampai pada titik
klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam, yang diistilahkan
Mihnah.
4. Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai
diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir
dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat
maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan
dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi lain dalam perkembangannya mereka juga
masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan
manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
5. Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan
pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam
beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl
(Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain
(Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar
(Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran)
6. Dengan memahami lima hal pokok tersebut, penulis nilai kita tidak bisa menghukum kafir kaum
Mu’tazilah. Dan memang kita tidak bisa menggeneralisasi hukum terhadap Mu’tazilah, tapi
harus dilihat di setiap permasalahan yang diangkatkannya, sehingga kita pun tidak terjebak ke
dalam sikap “nyaris ekstrim” ketika menghukum sebuah kelompok, yang penulis yakini akan
membawa dampak negatif.
7. Dengan kekayaan pembahasan logikanya, Mu’tazilah telah memberikan banyak masukan
terhadap kekayaan khazanah keislaman. Artinya kita tidak bisa menutup mata rapat-rapat
terhadap kontribusi mereka itu, tapi juga bukan berarti menghilangkan nalar kritis terhadap ide-
ide pemikirannya. Sebagaimana yang dilakukan Imam Syatibi dalam metode Maqashid Syari’ah,
atau Muhammad Abduh dalam ide-ide pembaharuannya, dan tokoh-tokoh lainnya.
3
BAB I
PENDAHULUAN

Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran
Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan
penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain
yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu
dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada
porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran
kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah
diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-
kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan
kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan
dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih
mendahulukan akal dan
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar
tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh
penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para
kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup
menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah…
Modernisasi pemikiran. Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat
untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka
usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu
perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam,
maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut
muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin
Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa
muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini
dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun
dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian
banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak
tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai
oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang
berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua
golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh
sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma
teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status
kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang
sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.

B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah

1. Wasil bin Atha.


Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga
ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah
(yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-
sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah
bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

2. Abu Huzail al-Allaf.


Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah
Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan
dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran
dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah
sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan
dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme
dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain
membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui
dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha
Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau
dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim.
Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan
menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh
wa al-aslah.

3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur
adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai
sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui
melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke
dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah
‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan
nabi (wãjibah syar’iah).

4. An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu
Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya,
al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka
an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh
orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga
mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada
kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi
penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-
huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.

5. Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia
itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.

6. Mu’ammar bin Abbad


Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad.
pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-
jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau
accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika
sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu
adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

7. Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia.
Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia
belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.

8. Abu Musa al-Mudrar


Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim,
karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir
semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat
Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.

9. Hisyam bin Amr al-Fuwati


Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka
hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada
gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga
dan neraka.

C. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah

Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di
basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah.,
datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang
berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.”
Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid.
Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini,
Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani,
kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin
Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka
tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al
Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh
karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya
adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan
Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah
kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-
pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah,
katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian
mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.

C. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah

Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan).
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari
Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah
adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak
meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan
merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap
kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena
itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-
Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi
janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan
ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke
dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena
inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan
murji’ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama
“kaum rasionalis Islam”.
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah
memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari
filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah
menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah, bukan oleh mereka yang lazim
disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak), pusat
ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan
bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari
segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.

D. Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah

Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang
dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan
pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-
konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari
takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi
pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis
yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-
mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang
(mubtadi’), yaitu:

1. Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan
dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.

2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir,
melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun
baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-
pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh
sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub
sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang
ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi
menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain
duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi
digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut
adalah: al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari
duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal
tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati,
pemikiran-pemikiran tersebut adalah:

– Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu,
qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.

– Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa
Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.

– Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-
Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk-Nya.

– Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan.
Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya
sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh
prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.

– Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah -
mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.

– Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh Allah atau
dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.

Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai
sebuah sekte pemikiran. Seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka
berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu
kalam.
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang
disebutnya Imam ‘Abdullah ibn Mubarak. Menurut ibn Taymiyyah, sarjana itu mengatakan demikian:
“Agama adalah kepunyaan ahli hadist, kebohongan kepunyaan kaum Rafidla, (ilmu) kalam
kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte Mu’tazilah di atas
mereka merangkum kembali menjadi lima dasar (ushul) pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhid, al-a’dl (keadilan Allah), al-wa’d wa’lwa’id (janji
dan ancaman Allah), al-manzilatu baina ‘lmanzilataini, al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’munkar.
Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini di jelaskan dalam mausu’ah WAMY, berikut
kutipannya dengan sedikit perubahan:
(1) Al-Tauhid
Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamislihi syai-un)
dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang
berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka menghasilkan
konklusi yang bathil: kemustahilan melihat Allah sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat
(yang menyerupai manusia); dan keyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagai konsekwensi
dari penegasian Allah memiliki sifat kalam.

(2) Al ‘adl (keadilan Allah)


Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-
hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-
apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan
(qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali dari yang
dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan
tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya.

(3) Al-manzilatu bainalmanzilataini


Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak berada
dalam kedudukan mukmin juga kafir.

(4) Al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar


Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar) adalah kewajiban
seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah islam; penyampaian hidayah bagi mereka
yang tersesat; dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai
kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan
pedang maka dengan pedang.
Dari pemaparan tentang pemikiran mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya
sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung
teolagi nasionalitas. Teologi nasionalitas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
Pertama, kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah
dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiyah. Mereka tinggalkan arti
harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash
wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami
wahyu.

Kedua, Akal menunjukan kekkuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang
kuat, yaitu manusia dewasa, manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri,
mempunyhaio kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berpikir secara mendalam.
Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di barat dikenal dengan istilah free-will and
free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
maupun pemikiran.
Ketiga, Pemikiran filisofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil.
Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan
membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-
Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
menurut peraturan tertentu, danperaturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia
ini.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan
manusia dalam berpikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan tuhan, yang membawa pada
perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan XIII
M.

BAB III
KESIMPULAN

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah
(memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil
bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat.
Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia
fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak
pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah
kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain
al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam
beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari
kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal
al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan
berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun
856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian
membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang
semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkan muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-
Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-
Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.

Anda mungkin juga menyukai