Anda di halaman 1dari 13

Accelerat ing t he world's research.

PEMIKIRAN ALIRAN MU'TAZILAH


Hilda Putri Rahmawati UIN Walisongo Semarang

Nurul Awwaliyah

Cite this paper Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Pemikiran Teologi Mu't azilah


Hilda Put ri Rahmawat i UIN Walisongo Semarang

Teologi islam
helen sagit a

Buku Ilmu Kalam


Rahmad Hidayat
PEMIKIRAN ALIRAN MU’TAZILAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Kalam

Dosen Pengampu : Dr. H. Nasihun Amin, M. Ag

Oleh : Nurul Awwaliyah (1904026060)

PROGRAM STUDI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aliran Mutazilah merupakan aliran fikiran Islam yang terbesar dan tertua. Pada
aliran ini melahirkan pemikiran teologi. Ada dua factor yang menyebabkan munculnya
teologi tersebut.1 Pertama, factor internal yang muncul karena konflik politik yang terjadi
antara umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad yang telah memecah menjadi dua
kubu (sunni dan syiah). Peristiwa ini semakin menjadi jadi setelah tragedi terbunuhnnya
Khalifah Utsman bin Affan , yang semula teologisnya tidak begitu kental namun semakin
hari semakin jelas pendapat teologinya. Kedua, factor eksternal yaitu pertarungan dan
perdebatan teologi antar umat Islam diantaranya permasalahan tentang teologi itu sendiri,
mengenai sifat-sifat Tuhan. Pada aliran mutazilah ini mempunyai pengikut yang cukup
besar dan mempunyai cara pandang yang saling berhadapan secara diametral. Aliran
mutazilah ini sebagai representasi kelompok rasial.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya aliran mutazilah?
2. Siapa saja tokoh-tokoh mutazilah?
3. Apa saja ajaran pokok aliran mutazilah?
4. Apa saja fakta tentang mutazilah?
5. Bagaimana penyandaran Mutazilah kepada filsafat Yunani?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah lahirnya aliran mutazilah
2. Mengetahui tokoh-tokoh mutazilah
3. Mengetahui ajaran pokok aliran mutazilah
4. Mengetahui fakta tentang mutazilah
5. Mengetahui penyandaran Mutazilah kepada filsafat yunani

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Lahirnya Aliran Mutazilah


Lahirnya aliran Mutazilah tidak dapat dipisahkan dengan suasana pada waktu itu,
yang merupakan factor pendorongnya yaitu :

1 Dr. Nasihun Amin, M. Ag, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, hlm. 98.
1. Kota Basrah merupakan pusat ilmu dan peradaban Islam dan tempat bertemunya
aneka budaya dan agama.
2. Banyak orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah.
3. Perguruan di masjid Basrah yang berbentuk halaqoh di bawah asuhan Hasan Basri
(21-110 H).
Aliran ini cepat berkembang menjadi aliran yang membahas persoalan-persoalan ilmu
kalam lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada yang dibahas aliran-aliran
sebelumnya. Dalam pembahasan masalah banyak menggunakan akal, sehingga terkenal
dengan sebutan ”Aliran Rasional Islam”.
Kata Mutazilah berasal dari kata I’tazala (memisalkan). Dalam referensi imlu kalam,
nama itu berpusat dari peristiwa diri Wasil ibn ‘Ata’ dan temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid dari
gurunya yang bernama Hasan al-Basri di Basrah.2 Wasil selalu mengikuti pelajaran-
pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di masjid Basrah. Pada suatu hari datang
seseorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar.
Sebagaimana telah diketahui, bahwasanya aliran Khawarij yang memandang kafir bagi
seseorang yang melakukan dosa besar. Berbeda juga dengan aliran Murjiah, yang
memangdang orang yang berdosa besar tetap mukmin.
Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri
dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah
mukmin dan bukan juga kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya. “Kemudian ia
berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid (di sana ia
mengulang-ulangi pendapatnya). Atas peristiwa tersebut, Hasan al-Basri mengatakan
“Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala anna)”. Dengan demikian, ia bersama teman-
temanya kata al-Syahrastani disebut kaum Mutazilah.
Menurut al-Bgdadi, Wasil dan teman-temanya ‘Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Bab diusir oleh
Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertakaian antara mereka mengenai
persoalan qodar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-
Basri dan mereka serta pengikutnya disebut kaum Mutazilah karena mereka menjauhkan
diri dari paham umat pemahaman Islam tentang dosa besar. Menurut mereka ini bukan
kafir dan bukan pula mukmin. Demikian keterangan al-Bagdadi tentang pemberian nama
Mutazilah kepada golongan ini. 3 Tentang penamaan Mutazilah ini terdapat beberapa
versi, namun sebagai tanda bagi aliran Ilmu Kalam yang rasional dan liberal setelah
peristiwa Wasil Ibn Ata, dan jauh sebelum itu telah terdapat kata I’tazala, Mutazilah.
Wasil disebut Syaikhul Mutazilah wa qadimuha. 4
Disamping alasan-alasan klasik tersebut, ada teori maju yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin.5 Nama Mutazilah sudah ada ebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan

2 Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 40.


3
Lihat al-Farq, hlm. 20-21.
4
Ahmad Mahmud Subhi, Fi Ilmil Kalam, Kairo : Darul Kutbh al-Jam’iyah, 1969, hlm. 75-78.
5
Lihat Fajr al-Islam, hlm. 290 dst.
al-Basri.dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Kalua itu,
dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tak mau turut ikut
campur dalam pertakaian-pertakaian politik yang terjadi di zaman Utsman ibn Affan dan
Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhi dari golongan yang sering bertikai. Al-Tabari
impamanya menyebut bahwa mereka sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai
Gubernur dari Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertakaian di sana, satu golongan turut
padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Khartiba (I’tazalat ila Khartiba).
Dalam suratnya kepada Khalifah, Qais menamai mereka “mutazilin”. Jadi, kata
mutazilah dan I’tazalat sudah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa Wasil
dengan Hasan al-Basri , dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam
pertakaian politik yang ada di zaman mereka.
Dengan demikian golongan Mutazilah pertama ini memiliki corak politik. 6 Dan
dalam pendapat Ahmad Amin, Mutazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil,
juga memiliki corak politik, karena mereka sebagai kaum Khawarij dan Murjiah juga
membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Utsman , Ali, Muawiyah, dan
sebagainya. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mutazilah kedua menambahkan
persoalan-persoalanya teologi dan filsafat ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.
Dari sisi geografis, Mutazilah dibagi menjadi dua, yaitu Mutazilah Basrah dan
Mutazilah Bagdad.7 Perbedaan antara keduanya pada umumnya disebabkan karena situasi
geografis dan kultural. Kota Basrah lebih dahulu mendirikan daripada kota Bagdadad,
sehingga lebih dahulu mengenal berbagai budaya dan agama. Sementara itu, meskipun
Bagdad merupakan kota yang belakang didirikan, namun ia menjadi ibukota Abasiyyah.
Tokoh-tokoh Mutazilah Basrah antar lain, bin ‘Ata, Abu Huzail al-Allaf, al-Nazzham,
dan al-Jubba’i. sementara tokoh Mutazilah di Bagdad antar lain, Bisyr ibn al-Mu’tamir,
al-Khayyat, al-Qadhi Abd al-Jabbar dan a;-Zamakhsyari.
Salah seorang pemuka Mutazilah Bagdad ialah Abu Musa al-Murdar (w. 226 H).
menurut al-Syahrastani ia dengan kuat mempertahankan pendapat bahwa al Quran tidak
bersifat qadim, tetami diciptakan Tuhan dan memandang orang yang mengatakan al
Quran qadim menjadi kafir, karena dengan demikian orang tersebut telah membuat yang
qadim menjadi dua. Dengan demikian, menurut al-Murdar telah menduakan Tuhan.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diciptakan
Tuhan tetapi diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan tak
dapat dilihan dengan mata kepalanya. 8
Pada dasarnya, Mutazilah membangun kerangka pemikiranya secara rasional dengan
bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang bisa menodai keesaan dan
kebaikanNya. Untuk itu, jika ada sebuah teks al-Quran atau Sunnah yang dianggap bisa

6
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 42.
7
Dr. Nasihun Amin, M. Ag, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, hlm. 102.
8 Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 52.
memberikan pengertian yang menodaai keesaan dan kebaikanNya, mereka menakwilkan
sehingga sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalil-dalil akal.
Hisyam ibn Amr al-Fuwah, seorang pemimpin lain dari cabang Bagdad mengatakan
bahwa surge dan neraka belum mempunyai wujud sekarang karena masa memasuki surge
atau neraka belum tiba. Dengan demikian, adanya surge dan neraka sekarang tidak ada
faedahnya.
Al khayat dalam membahas soal sifat, mengatakan bahwa kehendak bukanlah sifat
yang melekat pada zat Tuhan dan Tuhan berkehendak bukan melalui zatNya. Jika
dikatakan Tuhan berkehendak berarti itu ia mengetahui, berkuasa, dan tidak dipaksa
melakukan perbuatan-perbuatanNya. Dan kalua disebut Tuhan menghendaki perbuatan-
perbuatan itu seuai dengan pengetahuanNya. Dan jika selanjutnya disebut bahwa Tuhan
menghendaki perbuatan-perbuiatan hambaNya, maka yang dimaksud ialah
Tuhanmemerintahkan supaya perbuatanperbuatan itu dilakukan. Dan arti Tuhan
mendengar adalah Tuhan mengetahui apa yang didengar, demikian pula Tuhan
mengetahui apa yang dilihat. Inilah intopeksi al-Khayyat tentang peniadaan sifat Tuhan.
Beberapa pemimpin-pemimpin Mutazilah serta pendapat-pendapat mereka mengenai
persoalan-persoalan teologi. Seolah-olah dapat dirasakan, pemikiran-pemikiran yang
mereka keluarkan banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. 9
Menurut al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut atau penganut Mutazilah,
hanyalah orang yang mengakui danmenerima kelima dasar itu. Orang yang menerima
hanya sebagian dasardasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang MUtazilah. Al-
Ushul al Khamsah sebagai dijelaskan oleh pemuka-pemuka Mutazilah sendiri, diberi
urutan pentingnya kedudukan tiap dasar tersebut. Golongan lain menamakan Mutazilah
dengan golongan Mu’attilah karena menafikan sifat-sifat Tuhan, tetapi mereka sendiri
menamakan dirinya dengan ahli keadilan dan keesaan (ahlu al adl wa al tauhid)

B. Tokoh-Tokoh pada Aliran Mutazilah


Banyak pengemuka tokoh-tokoh yang terlibat dalam aliran ini, diantaranya 10 :
1. Wasil Ibn ‘Ata’ (80-131 H/ 699-748 M)
2. Al-‘Allaf (135-226 H/ 752-840 M)
3. An-Nazzam (w. 231 H/ 845 M)
4. Al-Jubba’I (w. 303 H/ 915 M)
5. Bisyr ibn al-Mu’tamir (w. 226 H/ 840 M)
6. Al-Khayyath (w. 300 H/ 912 M)
7. Al-Qadli Abdul Jabbar (w. 1024 M di Ray)
8. Az-Zamakhsyari (467-538 H/ 1075-1144 M)

9 Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 53.


10 Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A., Ilmu Kalam, Aliran-Aliran, dan Pemikiran, hlm. 60
C. Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Mutazilah
Pada golongan ini, mengajarkan ajaran pokok diantaranya :
1. al-Adl (keadilan Tuhan)
Semua orang Muslim dan golonganya mempercayai terhadap keadilan
Tuhan. Tetapi,karena Mutazilah memperdalam arti keadilan dan menentukan
batas-batasnya, sehingga menimbulkan permasalahan. Bagi Mutazilah, keadilan
Tuhan adalah meletakan pertanggung jawaban manusia atas segala perbuatanya.
Selanjutnya disebutkan :
a. Tuhan menciptakan makhluk berdasarkan tujuan dan hikmah kebijakan
b. Tuhan tidak menghendaki keburukan dan tidak memerintahkannya
c. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatan. Sebab
dengan cara demikian, dapat dipahami adanya perintah , janji dan
ancaman, pengutus Rasul, tidak ada kedzaliman bagi Tuhan.
d. Tuhan mesti mengerjakan yang baik dan terbaik. Sebab, itu menjadi
kewajiban Tuhan untuk menciptakan manusia, memerintahkan dan
membangkitkan kembali manusia.

2. at-Tauhid (keesaan Tuhan)


Sebagai pokok dan ajaran pertama dalam Islam. Namun, karena Mutazilah
telah menafsirkan dan mempertahankan sedemikian jauh. Maka prinsip ini
dipertalikan kepadanya. Mungkin mereka maksudkan untuk menghadapi
golongan Rafidlah yang ekstrim dan menggambarkan Tuhan dalam bentuk jisim,
bisa diindera, dan golongan-golongan agama yang dualism serta trinitas.
Kelanjutan dari prinsip ini mereka nyatakan :
a. Tidak menyukai sifat-sifat Tuhan sebagai suatu yang qadim yang lain dari
pada zatNya.
b. Al Quran adalah makhluk, Kalamullah juga makhluk, yang dijadikan
Tuhan saat dibutuhkan. Kalamullah tidak pada zat Tuhan, tetapi di
luarNya.
c. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akherat.
d. Mengingkari arah bagi Tuhan, dan menakwilkan ayat-ayat yang
mengesankan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.

3. al-Manzilah bain al-Manzilatain (tempat diantara dua tempat)


Prinsip ini yang menyebabkan Wasil ibn ‘Ata’memisalkan diri dari
gurunya, Hasan Al-Basri . Menurutnya orang Islam yang melakukan dosa besar
(selain syirik), bukan lagi mukmin dan juga tidak menjadi kafir. Adapun tempat di
akherat tetap di neraka, tetapi lebih ringan siksanya daripada orang kafir.
Prinsip al manzilah bainal manzilatain ini, mereka mengambil dalil
berdasarkan QS. Al-Isra ayat 31 dan ayat 110, serta ayat 137 surat al-Baqoroh,
dan hadist “Khairul umur ausatuha, serta kata hukuma’ : kun fiddunya wasatan.
Sumber lain dari filsafat Yunani, Aristotales yang menyatakan teori ”jalan tengah
emas” (the golden means) yang menyatakan tiap-tiap keutamaan merupakan jalan
tengah antara dua ujung yang ekstrim. 11 Ini merupakan suatu jalan tengah antara
gegabah dan penakut.

4. al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)


Prinsip ini merupakan kelanjutan dari prinsip teentang keadilan Tuhan.
Mutazilah meyakini bahwa janji Tuhan memberi pahala kepada orang yang taat
pasti terjadi, dan siksa bagi orang yang maksiat pasti dilaksanakan. Pendapat
Mutazilah,berbeda dengan Murjiah yang menyatakan bahwa kemaksiatan tidak
memperngaruhi keimanan. Jika ini dibenarkan, berate ancaman Tuhan tidak ada
artinya, dan ini mustahil. Sebab, Tuhan tidak akan menyalahi janjiNya. Dari
sinilah Mutazilah mengingkari adanya syafaat pada hari kiamat. Sebab, menyalahi
adanya prinsip janji dan ancaman. Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi
pahala kepada orang yang berbuat kebaikan dan menghukum kepada orang yang
berbuat buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh Tuhan, sebagaimana tertera
dalam QS. Al Zalzalah ayat 7-8 :
‫فَ َمن يَ ْع َملْ مِ ثْقَا َل ذَ َّرة َخي ًْرا يَ َرهُ َو َمن يَ ْع َملْ مِ ثْقَا َل ذَ َّرة ش ًَّرا يَ َرهُۥ‬

Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya


dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

5. al-Amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar (memerintahkan kebaikan dan
melarang keburukan)
Prinsip ini lebih banyak berkaitan dengan amalan lahir dan bidang fiqh
daripada lapangan aqidah serta ketauhidan. Seperti yang terdapat dalam Qs. Ali
Imran ayat 104 dan surat Lukman ayat 17. Pada prinsip ini wajib dilakukan orang
Muslim, tetapi sejarah mencatat bahwa betapa gigihnya orang-orang Mutazilah
memperjuangkan prinsip ini. Bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan
dalam melaksanakan prinsip tersebut meskipun terhadap umat Islam sendiri,
seperti yang terjadi pada ahli hadist dalam masalah kemakhlukan al-Quran yang
terkenal dengan istilah al-mihnab.12 Dalam pelaksanaan ajaran ini diperlukam
syarat-syarat, antara lain13:
a) pengetahuan yang pasti bahwa yang diperintahkan adalah sesuatu yang
baik dan dicegah adalah sesuatu yang jelek.
b) Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa perbuatan yang tidak baik
tersebut telah benar-benar ada atau telah gterjadi. Contohnya, telah

11
Prof. Dr. H. Ghazali Munir, MA., Ilmu Kalam Aliran-Aliran dan Pemikiran, hlm. 62.
12
Ibid, hlm. 73-78. Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 52-56.
13 Dr. Nasihun Amin, M. Ag, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, hlm. 108.
tersedia alat-alat minum (minuman keras), alat-alat judi dan lainya.
Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa pencegahan tersebut tidak
bakal menimbulkan kerugian yang besar. Misalnya, jika dilakukan
pencegahan minuman keras maka akan menimbulkan hura-hura atau
pembunuhan dikalangan kaum muslimin, maka pencegahan tersebut tidak
wajib dilakukan.
c) Pengetahuan atausangkaan yang kuat, bahwa tindakan itu akan
menimbulkan pengaruh. Jika sadar bahwa kata-katanya bakal
menimbulkan pengaruh, maka tidak wajib.
d) Pengetahuan atau sangkaan yang kuat, bahwa tindakanya tidak bakal
menimbulkan kerugian pada harta atau dirinya.

D. Fakta Tentang Aliran Mutazilah


• Orang yang berdosa besar tidak mukmin dn tidak kafir tetapi ia fasiq
• Orang Mutazilah menganut paham qodariyah
• Orang Mutazilah tidak mengakui adanya sifat Tuhan
• Orang Mutazilah berpendapat bahwa manusia dengan akalnya wajib dan dapat
mengetahui Tuhanya.
• Mereka berpendapat bahwa Tuhan menciptakan makhluknya bukan karena
Tuhannya berhajat terhadap mereka tetapi karena hikmah lain. Dan Tuhan tidak
menghendaki kecuali hal yang bermanfaat bagi manusia, maka Tuhan wajib
mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia dan ini
disebut paham as-Sholah wa ashlah.
• Mutazilah berpendapat bahwa al Quran dalam gaya dan bahasanya bukanlah
mujizat.
• Mutazilah juga berpendapat manusia tanpa perantara wahyu dapat mengetahui
Tuhan baik dan buruk.
• Mutazilah juga berpendapat bahwa al Quran bukan qodim tetapi hadis (baru) dan
diciptakan karena quran adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat
didengar.
• Menurut Mutazilah, bahwa Tuhan mendengar dengan pendengaranya, bukan
karena sifatnya.

E. Penyandaran Mutazilah kepada Filsafat Yunani


Mutazilah adalah aliran yang pertama kali menyandarkan kekuatanya kepada
filsafat Yunani.dimana dengan menguatkan argument-argumenya. Cukup banyak
perkataan Nidlam, Abu Hudzail, Zahidz, dan sebagainyayang mengutip ungkapan-
ungkapan Yunani. Sedangkan tokoh lainya menjadikan sebagai metode ilmu dan dialog
mereka dengan rivalnya. Mereka menuduh pada teolog, khususnya yang bermadzhab
Ahlu Sunnah Wal Jamaah bersikap ta’ashub (fanatic) taklid, dan memusuhi,
pintukeyakinan telah tertutup dari mereka dan bukan merupakan takdir Allah terlahirnya
seorang tokoh dalam agama yang terpercaya dalam keadaan sunyi maupun dalam
keadaan ramai, yang berpegang teguh pada al Quran dan Sunnah rasulNya sahabat-
sahabat yang suci dan baik terhadap hal yang menjadi pegangan para pendahulu yang
shaleh (Salaf As-Shaleh), seperti tokoh-tokoh alhi hadist, orang yang menguasai ilmu
debat dan diskusi, memahami penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam agama
Islam yang mampu melepaskan diri dari cengkraman dan orang-orang yang berada di
jalur yang batil serta mampu keluar tipu daya mereka. Yang dimaksud mereka disini
adalah Abu Hasan Asy’ary.
Asy’ary tampil di depan public seraya memproklamasikan teolog yang mereka
anut dengan pidatonya “Sandaran otoritas pendapat kami dan keyakinan keagamaan yang
kami anut adalah berpegang teguh kepada al Quran dan as-Sunnah, atsar sahabat,
perkataan tabi’in , para pembela hdist serta apa yang dikatakan Ahmad bin Hambal,
“Semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, dan melipat gandakan
pahalanya. Barangsiapa yang menyalahi perkataan, makai a jauh dari agama yang benar
karena dia adalah seorang imam yang paripurna, lewatnya lah Allah menampakan
kebenaran diatas kebatilan.
Penegasan lebih lanjut mengenai masalah yang dapat kita temukan buku karyanya
yang berjudul Maqalat al-Islamiyyah. Setelah itu membahas tentang ahlu sunnah dan
hadist, dimana ia menulis dengan ilmu yang telah disebutkan itulah kami berkata dan
bermadzhab. Tak ada yang memberikan pertolongan kecuali Allah.
Sebenarnya, ahlu hadist pada awalnya tidak mengakui dan menerima usaha
Asy’ary untuk memadukan madhab ahlusunnah dengan mazhab rasionalis. Dengan
alasan prasangka bahwa sia-sia paham I’tizali belum sirna dalam jiwa Asy’ary maupun
dengan alasan penolakan mereka terhadap metode berfikir. Kalami yang pada giliranya
melahirkan keengganan mereka untuk menggunakan idom-idom dan jargon yang
digunakan para teolog. Bukti penolakan Ahlu Hahist terhadap ini bisa ditemukan dalam
tulisan Ibn al-Jauzi. “Asy’ary hidup dalam paham Mutazilah dalam rentan waktu yang
cukup lama, kemudian ia menawarkan paham baru terhadap masyarakat”.
Seiring berjalanya waktu, banyak masyarakat yang menerima paham Asy’ariyh
ysng berdasarkan motif baik yang dibuktikan dari komentarnya Ibn Thaimiyah dalam
buku Muwafaqat shahih al-Manqul ”Ia berkata ketika Asy’ariyah konversi dari mazhab
Mutazilah, ia menempuh cra Ibn Kullab, membela sunnah dan hadist dan menyandarkan
pendapat-pendapatnya kepada Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana dikemukaan
dalam karanganya seperti : al-Ibanah, al-Mujaz, al-Maqalat dan lainnya.
Ia bergaul pada pembela sunnah dan hadist sebagaimana halnya ia bergaul dengan
para teolog seperti Ibnu Aqil seorang ulama mutaakhir penganut mazhab Hanbali. Akan
tetapi Asy’ary dan imam-imam sahabatnya mengokuti mazhab Hambali lewat imam-
imam sunnah dan hadist, seperti Ibn Aqil dan murid-muridnya, diantaranya Ibn al-Faraj
al-Jauzi. Sedang para pendahulu pengikut Ahmad ibn Hambal seperti Abu Bakar at-
Thaimiyah dalam karya-karya mereka secara keseluruhan mengungkapkan dalil-dalil
hayyan yang sesuai dengan sunnah dan apa yang dikatakan asy’ary merupakan
pertentangan iktijali.
Sedangkan Ibnu Thaimiyah mengungkapkan sebab-sebab berpalingnya sebagian
ahli hadist paham asy’ary. Tentang hal ini mengatakan, “Adapun dalam masalah
ikhtiyariyah maka Ibn Kullab dan Asy’ary serta orang yang bersependapat denganya
menafikan juga membangun pendapat berbeda dengan menyikapi masalah al Quran. Oleh
sebab itu, merka menjadi perbincangan masyarakat karena bertentangan dengan mereka
apa yang di dapatkanya dalam buku-buku yang dipelajari dari tulisan ulama terdahulu.
Bukan hanya itu, Asy’ary juga dituduh melakukan bid’ah dan masih adanya sisa-sisa
kemutazilahan. Pendapat ini tersebah dikalangan pengikut mazhab Hambali dan mazhab
lainya. Oleh karena itu, perbedaan pendapat antara Asy’ariyah bukanlah bid’ah dan
bukan sisa-sisa itizali (mutazilah) dalam dirinya. Hal ini semata-mata terdorong oleh
kecintaanya yang tulus dan jujur untuk memadukan antara penganut rasionalis dan
penganut sunnah.14

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkataan mutazilah berasal dari kata Bahasa Arab yaitu I’tazala yang artinya
“meninggalkan” atau “menjauhkan diri”. Mutazilah adalaha salah satu aliran teologi
dalam agama Islam. Kelahiran Mutazilah oleh lawan-lawanya, biasanya dikaitkan dengan
keluarnya Washil ibn Atha dari halaqoh gurunya yaitu Hasan Basri karena perbedaan
status orang Islam dalam melakukan dosa besar.
Diantara dokrin aliran Mutazilah yang sering muncul oleh mereka mengenai lima
prinsip pokok yang disebut al-ushul al-khamsah yaitu :
1. Tauhid
2. Keadilan Tuhan
3. Al-wa’du wal wa’id (janji dan ancaman)
4. Manzilah bainal manzilatain (tempat antara dua tempat)
5. Amar ma’ruf dan nahi munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)

B. Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Sekiranya dalam penulisan ada kekeliruan, kami berharap pembaca dapat meluruskanya

14 Abu Hasan Asy’ary, Aliran Teologi Islam, buku I.


dengan kritikan dan masukan yang membangun. Semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan pembaca, terkhusus mengenai aliran teologi mu’tazilah.

DAFTAR PUSTAKA

Munir, Ghazali. 2010. Ilmu Kalam, Aliran-Aliran, dan Pemikiran, Semarang: RaSAIL
Media Group.
Dr. Nasihun Amin, M. Ag, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI
Press, 1986.
Lihat al-Farq, hlm. 20-21.
Subhi, Ahmad Mahmud. 1969 Fi Ilmil Kalam, Kairo : Darul Kutbh al-Jam’iyah
Lihat Fajr al-Islam.
Asy’ary, Abu Hasan, Aliran Teologi Islam, buku I.

Anda mungkin juga menyukai