Anda di halaman 1dari 26

TUGAS MAKALAH ILMU KALAM

ALIRAN MU’TAZILAH DAN SYI’AH


DOSEN : Dr. AGUS SUSANTO, SE,MA

DI SUSUN OLEH :

1. Muhamad Diaz Ilyasa (22.04.01.0003)


2. Ikhsan Maulana (22.04.01.0007)
3. Ramadhan Adi Nugraha (22.04.01.0012)
4. Muchsinan Fazid (22.04.01.0009)
5. Andiani Herlina (22.04.01.0010)

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NIDA EL ADABI
Jl. Raya Dago, Kabasiran, Kec. Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16360
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah Nabi, diyakini oleh
umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh perputaran
zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataanya bahwa tampilan Islam itu
beragam, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam serta
pandangan oleh beberapa tokoh yang membuat statemen tentang apa itu islam.

Awal mula tumbuhnya aliran-aliran dalam Islam adalah karena masalah politik
yang terus meningkat dan menjadi persoalan teologi. Hal ini sebenarnya sudah terjadi
pada saat wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai permasalahan siapakah
yang nantinya pantas menjadi pengganti beliau. Disinilah awal mulanya benih aliran
Syi’ah itu muncul dan masalah ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib, tepatnya pada saat perang Shiffin. Syi’ah mengikuti Islam
sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan ahl bait-nya. Menurut terminologi
Syi’ah berarti, mereka menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara
para sahabat dan lebih baik berhak untuk memegang kepemimpinan kaum muslimim,
demikian anak cucu sepeninggal beliau.

Persoalan lain tentang seseorang yang berbuat dosa pun memicu tumbuhnya
aliran-aliran teologi lainnya. Aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar itu bukanlah kafir tetapi bukan pula mukmin.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu aliran Mu’tazilah ?
2. Apa itu aliran Syi’ah ?
3. Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Mu’tazilah dan aliran Syi’ah ?
4. Apa sajakah bentuk pemikiran dari aliran-aliran tersebut ?
1.3 Tujuan
1. Dapat memahami dan mengerti apa yang di maksud aliran Mu’tazilah dan aliran
Syi’ah.
2. Dapat mengetahui pengertian dan sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah dan
Syi’ah.
3. Dapat mengetahui pokok-pokok dasar Pemikiran Mu’tazilah dan Syi’ah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tizal yang artinya memisahkan diri.
Sedangkan Mu’tazilah adalah orang-orang yang memisahkan diri. Mu’tazilah yang
lahir abad ke-2 Hijrah membawa dimensi baru dalam pemikiran Islam. Ia membawa
masalah-masalah teologi lebih mendalam bila dibanding dengan teologi lain.
Pembahasan teologis yang dilakukan Mu’tazilah lebih banyak menggunakan rasional,
karena kaum Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal dalam pembahasannya. Jika
arti ayat yang tidak dapat ditangkap oleh akal, maka mereka melakukan ta’wil hingga
ada kesejajaran antara arti ayat Al-Quran dengan akal. Sehingga golongan ini disebut
dengan “Kaum rasionalis Islam”(Harun Nasution,1972:36).

Aliran ini lahir kurang lebih tahun 120 H, di kota Basrah. Aliran Mu’tazilah
pernah menjadi mazhab penguasa pada beberapa masa, yakni pada zaman khalifah Al-
Ma’mun dan Mu’tazim.

Nama Mu’tazilah adalah suatu nama yang di berikan oleh orang di luar
golongan Mu’tazilah karena orang-orang Mu’tazilah mengklaim dirinya dengan sebutan
Ahlut Tauhid wal’Adl. Istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.

Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon


politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya bersikap
lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Ali Thalib dan lawan-lawannya,
terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan
inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari
pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa sigma teologis
seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.

Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon


persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawariz dan Murjiah akibat adanya
peristiwa takhim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian kasus kafir kepada orang yang
berbuat dosa besar. Berikut ini adalah penjelasan mengapa mereka dinamai dengan
sebutan Mu’tazilah.

Pertama, di Baghdad terdapat seorang ulama besar bernama Syekh Hasan Basri
(wafat 110 H). Orang-orang sesat banyak berguru kepadanya dan diantara muridnya
adalah Wasil bin ‘Ata (8-131 H). Pada suatu hari Hasan Basri (699-748) menerangkan
masalah kedudukan mukmin dan kafir di akhirat nanti, dan mengatakan, ”Setiap orang
Islam yang telah beriman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi
mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap sebagai muslim, tetapi tergolong muslim
yang durhaka. Kalau ia wafat sebelum bertobat dari dosanya, ia di akhirat nanti akan
dimasukkan ke dalam neraka untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi
sesudah menjalankan hukuman ia akan dikeluarakan lagi dari neraka dan kemudian
dimasukkan ke dalam surga sebagai mukmin.

Mendengar pendapat tersebut, Wasil bin ‘Ata menjawab dengan dengan suara
keras, “Tidak….tidak demikian” hal itu dikatakannya sambil keluar dari majelis lain
yang bertempat di Basrah. Dia ditemani oleh Umar bin Ubaid (145 H), karena itulah
Wasil bin ‘Ata dinamai Kaum Mu’tazilah karena ia mengasingkan diri atau
memisahkan diri dari gurunya. Sedangkan berkuasa pada saat itu adalah Kalifah
Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Ummayah, yaitu tahun 100-125 H.

Kedua, ada orang yang mengatakan bahwa penyebab mereka dinamakan


Mu’tazilah karena mereka mengasingkan diri dari masyarakat. Pada asalnya mereka
adalah penganut Syi’ah yang putus asa akibat menyerahnya Khalifah Mu’awiyyah dari
Bani Ummayah.

Ketiga, ada juga yang menyatakan bahwa ini adalah kaum yang suka memakai
pakaian jelek-jelek dan kasar-kasar yang hidupnya minta-minta (Darawisy) dan
bertempat tinggal jauh dari keramaian orang.

Adapun para tokoh aliran Mu’tazilah dan pemikiran-pemikirannya adalah


sebagai berikut:

a. Wasil bin ‘Ata


Wasil bin ‘Ata dilahirkan di Madinah tahun 70 H. Ia pindah ke Basrah untuk
belajar. Di sana ia berguru kepada seorang tokoh dan ulama besar yang masyhur yaitu
Hasan Al-Basri.
Wasil bin ‘Ata termasuk murid yang pandai, cerdas tekun belajar. Ia berani
mengeluarkan pendapatnya yang berbeda dengan gurunya sehingga ia kemudian
bersama pengikutnya dinamakan golongan Mu’tazilah.

Pemikiran-pemikiran beliau bahwa seorang muslim yang berbuat dosa besar


dihukumi tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi fasik. Keberadaan orang tersebut di
antara kafir dan mukmin.

Mengenai perbuatan manusia, Wasil berpendapat, manusia memiliki kebebasan,


kemampuan, dan kekuasaan untuk melakukan suatu perbuatan. Kebebasan memilih,
kekuasaan, dan kemampuan berbuat yang ada pada manusia itu merupakan pemberian
Tuhan kepada-Nya. Karena itu, manusialah yang menciptakan perbuatannya dan harus
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan itu. Jika perbuatannya baik, di akhirat
akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika jahat, ia akan mendapat siksa.

Tentang sifat Allah, Wasil menolak paham bahwa Tuhan memiliki sifat.
Menurut Wasil, Tuhan tidak mempunyai sifat. Apa yang dianggap orang sebagai sifat
tidak lain Zat Allah SWT itu sendiri. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
pengetahuan-Nya itu adalah Zat-Nya. Tuhan mendengar dengan pendengaan-Nya, dan
seterusnya. Jadi, Tuhan mendengar bukan dengan sifat sama-Nya, Tuhan melihat bukan
dengan dengan sifat bashar-Nya, dan seterusnya; tapi dengan Zat-Nya.

b. Abu Huzailah Al-Allaf


Abu Huzaillah dilahirkan tahun 135 H/751 M. Ia berguru kepada Usman At-
Tawil (murid Wail bin‘Ata). Ia hidup dimana zaman pengetahuan seperti filsafat dan
ilmu-ilmu lain dari Yunani telah berkembang pesat di bagian dunia Arab. Ia wafat tahun
235 H/849 M.

Pengaruh ilmu-ilmu tauhid sedikit banyak mempengaruhi pemikiran-


pemikirannya dalam masalah teologi. Abu Huzailah merupakan generasi kedua
Mu’tazilah yang disebut Usulul Khambah.

c. Al –Jubai
Ia mempunyai nama Abu Ali bin Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir tahun
25 H/849 M di Jubai. Al-Jubai berguru kepada Al-Syahham, salah seorang murid Abu
Huzailah.
Ia hidup dam situasi yang kedaan politiknya tidak stabil. Namun demikian, ilmu
pengetahuan tetap berkembang pesat karena para ilmuwan tidak banyak tutur campur
dalam pergolakan politik yang waktu itu terjadi. Ia wafat pada tahun 303 H/915 M di
Basrah.

Ia mempunyai pola pikir yang tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh


Mu’tazilah lainnya, yakni mereka mengutamakan akal dalam memahami dan
memecahkan persoalan teologi.

d. Az-Zamakhsyari
Az-Zamakhsyari lahir pada tahun 467 H. Ia belajar di beberapa negeri. Az-
Zamakhsyari pernah bermukin di tanah suci dalam rangka belajar agama.

Selama di tanah suci, ia menggunakan waktunya untuk menyusun kitab tafsir Al-
Kasysyaf yang berorientasi pada paham Mu’tazilah. Namun demikian, kitab tafsir karya
beliau tidak digunakan oleh kalangan Mu’tazilah saja. Di samping menyusun kitab
tafsir Al-Kasysyaf beliau banyak menyusun buku tentang balagah, bahasa, dan lainnya.
Az-Zamakhsyari wafat tahun 538 H.

2.2 Usulul Khamsah


Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan Usulul
Khamsah.
a. Tauhid (Ke-Esaan)
Tauhid di sini artinya meng-Esa-Kan Tuhan dari segala sifat yang menjadi
pegangan bagi akidah Islam. Orang-orang Mu’tazilah dikatakan ahli Tauhid karena
mereka berusaha semaksimal mungkin mempertahankan prinsip ketauhidannya dari
serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Jisim dan bisa
menghindari juga dari serangan agama Dualisme dan Trinitas.

Ketauhidan dari golongan Mu’tazilah adalah :


1. Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan qadim berarti Allah berbilang-
bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal Allah
adalah Maha Esa.
2. Mereka meniadakan sifat-sifat Allah sebab Allah bersifat dan sifatnya itu
macam-macam pasti Allah itu terbilang.
3. Allah bersifat Aliman, Qodiran, Samanian, Basyiran dan sebagainya adalah
dengan zat-Nya, tetapi ia bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
4. Allah tidak dapat di terka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
5. Mereka menolak aliran Mujassimah, Musyabihah, Dualisme, dan Trinitas.
6. Tuhan itu Esa bukan benda dan bukan Arrad serta tidak berlaku tempat (arah)
pada-Nya.

b. Al- ‘Adl (keadilan Tuhan)


Ada hubungannya denga At-Tuuhid, kalau dengan At-Tauhid kaum Mu’tazilah
ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan mahluk, maka dengan Al-‘Adl mereka
ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan mahluk. Hanya
Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Pada mahluk terdapat
perbuatan zalim.

c. Al- Wa’d wa Al-Wai’d (Janji dan Ancaman)


Tuhan dapat disebut adil jika Dia tidak memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan
menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi hukuman dan orang yang berbuat
baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan Tuhan.

d. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain


Posisi diantara 2 posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang
yang berdosa besar bukan kafir bukan pula mukmin. Kata mu’min dalam pendapat
Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada orang
fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tak pula dapat diberikan kepadanya,
karena dibalik dosa besar dia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan-
perbuatan baik. Orang serupa ini jika meninggal tanpa tobat, akan kekal dalam neraka,
hanya siksaan yang di terimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.

e. Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai kewajiban
bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh golongan umat Islam lainnya. Perbedaan
yang terdapat antara golona-golongan itu adalah pelaksanaannya. Kaum Mu’tazilah
berpendapat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan.
Sejarah membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan
ajaran-ajaran mereka.
Menurut Al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut Mu’tazilah, hanyalah
orang yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Orang yang menerima hanya
sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar
ma’ruf nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-
Jabbar, yaitu berikut ini.
a. Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan dilarang itu
memang munkar.
b. Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyatadilakukan orang.
c. Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan
membawa madarat yang lebih besar.
d. Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan
membahayakan dirinya atau hartanya.

2.3 Syi’ah

Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok,
sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang
spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW,
atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah
pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl bait. Mereka menolak
petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl-al-bait atau para
pengikutnya (Sahilun A Nasir,2010:77).

Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam yang beranggapan


bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang yang berhak sebagai khalifah
pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah Abu Bakar Ash-
Shidiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan adalah penggasab (perampas)
kedudukan khalifah (A Rozak, R Anwar,2001:78).
2.4 Masalah Khalifah

Nabi Muhammad SAW setelah selesai menunaikan tugas risalah Islam selama
hampir 23 tahun, beliau wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 Hijriyah, bertepatan
dengan 8 Juni 632 M.

Beliau tidak pernah berwasiat siapakah yang menjadi penggantinya (khalifah)


sesudah beliau wafat nanti dan demikian pula tidak memberikan petunjuk pedoman-
pedoman cara pemilihan khalifah. Hal ini tentunya diserahkan kepada kebijakan umat,
sesuai dengan keadaan dan tempat. Dan ternyata kalau diperhatikan cara pemilihan dari
keempat Khulafaur Rasyidin adalah berbeda-beda (A Rozak, R Anwar,2001:80).

Memang Nabi Muhammad SAW itu menyuruh sahabat Abu Bakar menjadi
imam shalat pada waktu beliau sakit menjelang hari wafatnya. Demikian pula Nabi
Muhammad SAW pernah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk menjaga
rumahnya ketika beliau pergi berperang. Namun demikian, beliau tidak pernah
menyebut-nyebut penggantinya.

Maka tatkala nyata-nyata beliau wafat, pada hari itu juga sahabat-sahabat
terkemuka dari kalangan Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah,
suatu balai pertemuan untuk bermusyawarah tentang khalifah.

Golongan Anshar menghendaki Sa’ad bin Ubadah sebagai Khalifah. Usul


tersebut tidak dapat diterima oleh golongan Muhajirin, maka terjadilah perdebatan-
perdebatan yang cukup sengit, sehingga hampir-hampir saja menimbulkan perpecahan.

Sedangkan golongan Muhajirin mencalonkan Abu Bakar Ash-Shiddiq.


Sayyidina Ali sendiri waktu itu tidak hadir di balai Saqifah Bani Sa’idah karena sibuk
mengurus jenazah Rasulullah SAW yang belum dimakamkan. Waktu itu tidak ada
pihak yang menyebut-nyebut Sayyidina Ali sebagai calon Khalifah. Untuk mengakhiri
perdebatan, maka sahabat Umar bin Khattab tampil, membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq
sebagai khalifah pertama. Baiat Umar itu kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat yang
hadir secara aklamasi.

Memang Sayyidina Ali dan istrinya Fatimah Zahroh binti Rasulullah SAW
sedikit kurang enak terhadap musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah. Karena menurut
pendapatnya, pengurusan jenazah Nabi SAW (pemakaman) harus didahulukan daripada
musyawarah pemilihan khalifah. Sedangkan sahabat-sahabat lain berpendapat bahwa
pemilihan khalifah harus didahulukan, karena menyangkut kepentingan umum. Namun
pada akhirnya Sayyidina Ali juga ikut membaiat (A Rozak, R Anwar,2001:82).

Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintah selama 2 tahun 3 bulan 10 hari


(11-13 H/632-634 M). Dia meninggal pada 13 Hijriyah. Ketika beliau mulai sakit-
sakitan, mengusulkan Sayyidina Umar bin Khatab sebagai calon khalifah ke dua. Usul
tersebut disetujui oleh para sahabat termasuk Sayyidina Ali.

Khalifah Umar pernah ke Baitul Maqdis (8 H/639 M) untuk menyaksikan


penyerahan kota tersebut dari kerajaan Romawi Timur kepada orang Islam. Sebagai
pengganti sementara, beliau menunjuk Sayyidina Ali sebagai penguasa kota Madinah
selama bepergian. Kejadian tersebut merupakan bukti kepatuhan Sayyidina Ali kepada
khalifah Umar.

Sayyidina Umar bin Khattab berkuasa selama 10 tahun 6 bulan (13-23 H/634-
644 M). Dia meninggal 16 Dzul Qa’dah dibunuh oleh Abu Lu’lu’, seorang sahaya dari
Persia, yang amat dendam melihat kerajaan Persia ditaklukan (16 H/636 M). Sebelum
wafat, dia telah menunjuk sebuah panitia untuk memilih khalifah penggantinya, terdiri
dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam,
Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurahman nin ‘Auf, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdullah
bin Umar. Sayyidina Umar berpesan agar panitia ini nanti memilih khalifah dan jangan
memilih Abdullah bin Umar putranya sendiri.

Panitia akhirnya memilih Sayyidina Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga,
memerintah selama 13 tahun kurang sehari (23-35 H/644-656 M). Dia meninggal
dibunuh para pemberontak dari negeri yang terkena hasutan Abdullah bin Saba’.

Kaum muslimin yang tidak terlibat pemberontakan sepakat mengangkat


Sayyidina Ali menjadi khalifah ke empat. Akan tetapi, orang-orang Syi’ah menganggap
Sayyidina Ali itu sebagai khalifah pertama, karena mereka tidak mengakui khalifah-
khalifah sebelumnya yang dianggapnya sebagai penyerobot.

Pada masa pemerintahan Sayyidina Ali ini timbul hal-hal yang mengecewakan
masyarakat sehingga terpecah belah menjadi beberapa golongan :

1. Golongan Syi’ah sendiri sebagai jumhur yang menyokong dan mengangkat


Sayyidina Ali sebagai khalifah.
2. Golongan yang menuntut bela kematian Sayyidina Utsman, dipelopori oleh
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syiria yang diangkat pada masa khalifah
Utsman. Mu’awiyah tidak mau mengakui khalifah Ali karena diangkat oleh
kaum pemberontak dan menuduhnya sebagai orang yang terlibat dan harus
bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Utsman. Disamping itu,
Mu’awiyah diangkat oleh penduduknya sebagai khalifah pengganti khalifah
Utsman, berkedudukan di Syiria (Damaskus). Dengan demikian, ada dua
khalifah dalam pemerintahan Islam waktu itu, yaitu Sayyidina Ali bin Abi
Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
3. Golongan yang dipimpin oleh Siti Aisyah ra. dan diikuti oleh Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, tidak mengakui khalifah Ali, karena
baiatnya secara terpaksa, karena pedang terhunus di atas kepala mereka.
4. Golongan yang dipimpin oleh Abdullah bin Umar, didukung oleh antara lain
Muhammad bin Salamah, Utsman bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqas, Hasan bin
Tsabit, Abdullah bin Salam. Golongan ini bersikap pasif, tidak ikut mengangkat
khalifah Ali, tidak ikut menyalahkannya dalam peristiwa pembunuhan terhadap
khalifah Utsman dan juga tidak ikut menyokong Mu’awiyah yang menyatakan
diri sebagai khalifah di Syiria. Mereka tidak ingin terlibat masalah-masalah
politik.

Peperangan antara kaum muslimin tidak dapat dihindari. Terjadilah perang


Jamal (36 H/657 M) antara pihak khalifah Ali dengan pihak Siti Aisyah, Thalhah, dan
Zubair yang berkedudukan di Makkah. Perang ini dinamakan perang Jamal, karena Siti
Aisyah sebagai pemimpin pasukan dengan mengendarai unta. Kemenangan peperangan
ini di pihak khalifah Ali dengan korban Thalhah dan Zubair mati terbunuh. Sedangkan
Siti Aisyah ditawan yang akhirnya diantar pulang kembali ke Makkah dengan segala
penghormatan sebagai ibu mertua khalifah Ali.

Orang-orang Syi’ah Imamiyah beranggapan, sekalian orang yang terlibat dalam


perang Jamal melawan khalifah Ali adalah kafir, termasuk Siti Aisyah (Allahu
Yarhamuha) (A Rozak, R Anwar,2001:84).

Sebulan kemudian setelah perang Jamal, terjadilah perang Shiffin (37 H/658 M),
antara pihak khalifah Ali dengan pihak Mu’awiyah, di suatu tempat daerah negeri Irak
yang bernama Shiffin. Pertempuran perang Shiffin ini terjadi 90 kali sehinggga
menimbulkan banyak korban. Di pihak lasykar Ali, gugur 25.000 orang dan di pihak
lasykar Mu’awiyah gugur lebih banyak lagi, 45.000 orang.

Jalannya pertempuran menguntungkan lasykar Ali dan kemenangan hampir saja


di tangannya. Lasykar Mu’awiyah lari berantakan, bahkan pembawa bendera panji-panji
Mu’awiyah pun mati terbunuh.

Pada mulanya Sayyidina Ali tidak mau menerima ajakan berdamai karena dia
beranggapan bahwa hal itu hanya tipu muslihat belaka dari orang-orang yang hampir
kalah guna menyusun kekuatan kembali. Akan tetapi, sebagian lasykar Sayyidina Ali
mendesaknya, agar mau menerima ajakan damai tersebut, sambil berkata : Mengapa
kita tidak menerima hukum Al-Qur’an ? Akhirnya Sayyidina Ali menerima gencatan
senjata itu. Setelah kedua lasykar sepakat mengadakan tahkim yang akan memutuskan
perselisihan itu, mundurlah Sayyidina Ali beserta lasykarnya pulang ke Kufah, dan
Mu’awiyah beserta lasykarnya pulang ke Syiria.

Sebagian lasykar Ali ada yang tidak menerima rencana tahkim, tidak ikut pulang
ke Kufah, tetapi mereka pergi ke Harur dekat Kufah. Jumlah merka sekitar 12.000
orang. Mereka ke luar dari Sayyidina Ali dan juga ke luar dari Mu’awiyyah. Mereka
membenci kedua-duanya. Inilah asal-usul timbulnya golongan Khawarij.

Mereka bersemboyan Laa hukma illaa lillah tiada berhukum kecuali hanya
kepada Allah SWT.

Setelah tiba waktunya tahkim menurut perjanjian, maka berkumpul wakil-wakil


dari kedua pihak di Jaumatul Jandal (antara Irak dan Syiria). Pihak Ali mengirim 100
orang di bawah pimpinan Abu Musa Al-Asy’ari. Sayyidina Ali sendiri tidak ikut hadir
dan Mu’awiyah mengirim 100 orang yang dipimpin Amr bin Ash yang mana
Mu’awiyah juga ikut hadir. Dengan tipu daya yang lihai, Amr bin Ash mengalahkan
Abu Musa Al-Asy’ari dalam sidang tahkim tersebut.

Amr mengajukan dasar perundingan, yaitu terlebih dahulu Ali dan Mu’awiyah
sama-sama diberhentikan dari jabatan khalifah. Sesudah itu persoalan khalifah
diserahkan sepenuhnya kepada umat Islam untuk menetapkannya. Usul Amr tersebut
diterima oleh Abu Musa secara tulus hati dan jujur sebagai dasar perundingan.

Karena menghormati usia yang lebih tua dan derajatnya, Amr mempersilahkan
Abu Musa Al-Asy’ari untuk naik ke mimbar. Dengan hati yang jujur, maka naiklah Abu
Musa ke atas mimbar lalu berpidato bahwa demi kemaslahatan umat Islam, dia (Abu
Musa) dan Amr telah sepakat akan memberhentikan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan
khalifah. Sedangkan pengangkatan khalifah baru diserahkan kepada musyawarah nanti.
Abu Musa menyatakan : ‘Aku sebagai wakil dari pihak Ali dengan ini menyatakan
secara ikhlas memberhentikan Ali dari jabatan khalifah.”

Selanjutnya tiba giliran Amr bin Ash naik ke mimbar. Bahwa dia menerima dan
memperkuat pemberhentian Ali itu, oleh utusannya sendiri dan selanjutnya dia
menetapkan Mu’awiyah sebagai khalifah.

Majelis tahkim ternyata tidak dapat mengakhiri persengketaan selama ini, di


mana pihak Ali ra. merasa tertipu. Permusuhan dan peperangan pun timbul kembali.
Keadaan Sayyidina Ali semakin lemah, sedangkan Mu’awiyah justru semakin kuat.

Mendengar penyelesaian tahkim yang mengecewakan itu, maka orang-orang


Khawarij bertambah marah, menyalahkan Sayyidina Ali yang mau menerima gencatan
senjata dan mengutuk Mu’awiyah.

Pada tahun 40 H/661 M, orang-orang Khawarij merencanakan pembunuhan Ali,


Mu’awiyah, dan Amr bin Ash, yang dianggapnya sebagai sumber perpecahan uamt
Islam. Mereka menugaskan Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Ali, Al-Barak
untuk membunuh Mu’awiyah, dan Umar bin Bakir untuk membunuh Amr bin Ash.

Rencana pembunuhan telah diatur, yaitu pada waktu subuh yang sama, tanggal
17 Ramadhan 40 H, sewaktu ketiga korban itu ke luar rumah hendak shalat subuh ke
masjid. Abdurrahman bin Muljam berhasil membuhuh Sayyidina Ali dengan pedang
beracun ketika hendak shalat subuh di masjid Kufah, tetapi rencana kedua temannya
gagal, karena Mu’awiyah dan Amr bin Ash sangat berhati-hati menjaga diri. Sayyidina
Ali dimakamkan di Najaf, Bagdad. Beliau memerintah selama 4 tahun 9 bulan, masa
yang tidak sunyi dari peperangan.

Setelah Sayyidina Ali meninggal, Hasan putranya yang sulung, diangkat


menjadi khalifah. Karena tidak suka susah-susah dan mau aman saja, ia segera berdamai
dengan musuh keluarganya dan hidup mengasingkan diri sebagai orang biasa. Tapi
kaum Umayah yang memusuhinya itu terus memburunya juga dan beberapa bulan
kemudian ia mati kena racun. Penyerahan kekuasaan dari Hasan kepada Mu’awiyah
merupakan pukulan berat bagi golongan Syi’ah. Akan tetapi apa boleh buat, karena
imamnya berpendirian demikian.

Mu’awiyah pendiri daulat Bani Umayah, berkedudukan di Damaskus,


memerintah tahun 40-60 H/660-680 M. Pada masa pemerintahannya orang-orang
Syi’ah dan Khawarij diburu-buru, ditindas dan ditangkap. Mu’awiyah sewaktu akan
meninggal, dia telah mewariskan jabatan khalifah kepada anaknya, Yazid bin
Mu’awiyah.

Husein, putra Ali ra. yang kedua, mewarisi watak dan keutamaan ayahnya yang
bersifat kesatria. Dia telah berjuang dengan terhormat melawan orang-orang Kristen
waktu mengepung Konstantinopel. Ia menyatukan dalam dirinya hak keturunan dari Ali
ra. dengan sifat suci seorang cucu Rasulullah SAW.

Dalam syarat-syarat perdamaian yang ditandatangani Mu’awiyah dan Hasan,


haknya (Husein) atas kedudukan khalifah dengan jelas disebutkan. Husein tidak pernah
bersedia mengakui gelar raja zolim (Yazid bin Mu’awiyah).

Pada tahun 61 H/681 M, Yazid memerintahkan panglimanya Ubaidillah bin


Ziyad untuk memerangi Sayyidina Husein. Mereka berjumpa di Padang Karbela, dekat
tepi barat Sungai Efrat. Pertempuran tidak dapat dielakkan lagi antara Sayyidina husein
dengan 80 orang pasukannya, melawan pasukan Yazid yang berpuluh-puluh kali lipat
ganda banyaknya. Sayyidina husein dan kawan-kawannya mati dibunuh semuanya.
Kepala Sayyidina Husein dipenggal dibawa beriring-iringan oleh Ubaidillah bin Ziyad
sebagai tanda bakti kepada khalifah Yazid. Kejadian ini terjadi pada 10 Muharram.

Peristiwa Karbela ini sampai sekarang masih diperingati orang-orang Syi’ah di


seluruh dunia sebagai tanda bela sungkawa atas terbunuhnya Sayyidina Husein. Wanita-
wanita Syi’ah Persia sampai sekarang, bila bulan Muharram tiba mereka berbaju warna
hitam, guna mengenang tragedi Karbela.

2.5 Bermula dari Soal Politik Berubah Menjadi Soal Agama

Sebagaimana diketahui bahwa golongan Syi’ah adalah suatu golongan dalam


Islam yang mempunyai pendirian bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan keturunan-
keturunannya itu lebih berhak menjadi khalifah daripada orang lain. Ali ra. lebih berhak
daripada Abu Bakar ra. Umar ra. dan Utsman ra. sebab menurut anggapan mereka, Nabi
Muhammad SAW sendiri telah menjanjikan demikian. Perbedaan yang terpenting
antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya ialah mengenai masalah
khalifah.

Apabila berpadu pada kekuasaan khalifah urusan agama dan politik, maka
perselisihan antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya adalah bercorak
agama dan politik. Meurut anggapan mereka bahwa Nabi Muhammad SAW telah
menentukan Ali ra. sebagai penggantinya, sesudah beliau wafat. Maka Abu Bakar ra.
Umar ra. dan Utsman ra. telah merebut haknya Ali ra. demikian pula khalifah-khalifah
Bani Umayah dan Bani Abbasiyah, mereka telah sengaja merampas kedudukan
khalifah. Adalah menjadi kewajiban dari golongan Syi’ah mengembalikan hak tersebut
kepada yang berhak, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Orang-orang Syi’ah membenci khalifah-khalifah Bani Umayah maupun Bani


Abbasiyah, sebab mereka sangat fanatik kepada Ali ra. dan keturunannya dan
menganggap bahwa pemerintahannya merupakan pemerintah Aristokrasi Arab.

Paham Syi’ah ini mendapat dukungan dari orang-orang Persia yang mana
menurut ajaran agama majusi yang merka peluk sebelum beragama Islam, megajarkan
bahwa raja itu suci dan mempunyai sifat-sifat ketuhanan, dan mereka sangat
menghormati kepada keluarganya.

Golongan Syi’ah ini berpecah belah menjadi beberapa aliran yang disebabkan
karena :

1.) Perbedaan pendapat dalam prinsip-prinsip ajaran. Di antara mereka berpendapat


bahwa khalifah itu dianggap suci dan barangsiapa menentangnya dianggap
kufur. Sebagian yang lain jalan tengah, yaitu orang yang menentang kepada
khalifah itu tidak sampai kepada kufur, tetapi merupakan kesalahan saja.
2.) Perbedaan pendapat tentang menentukan imam. Anak keturunan Ali ra. telah
beranak pinak dan orang-orang Syiah berselisih pendapat siapa imam mereka.
Sebagian berpendapat ini dan sebagian lain mengatakan yang lain.
2.6 Pokok Ajaran Syi’ah

a. Syi’ah Imamiyah

Dinamakan Syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah


persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik. Yakni Ali berhak menjadi khalifah
bukan hanya karena kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi juga karena ia telah
ditunjuk nas dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW. Ide tentang hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan khalifah telah
ada sejak Nabi wafat, yaitu dalam perbincangan politik di Saqifah Bani Sa’idah.

Syi’ah Itsna Asyariyah sepakat bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi
Muhammad seperti yang ditunjukan nas. Adapun Al-ausiya (penerima wasiat) setelah
Ali bin Abi Thalib adalah keturunan dari garis Fatimah, yaitu Hasan bin Ali kemudian
Husein bin Ali sebagaimana yang mereka sepakati. Setelah Husein adalah Ali Zaenal
Abidin, kemudian secara berturut-turut, Muhammad Al-Baqir, Abdullah Ja’far Ash-
Shadiq, Musa Al-Kahzim, Ali Ar-Rida, Muhammad Al-Jawwad, Ali Al Hadi, Hasan
Al-Askari dan terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas.
Demikianlah, karena berbaiat di bawah imamah dua belas imam, mereka dikenal
dengan sebutan Syiah Itsna Asyariyah (Itsna Asyariyah)

Nama dua belas (Itsna Asyariyah) ini mengandung pesan penting dalam tinjauan
sejarah, yaitu golongan ini terbentuk setelah lahirnya kedua belas imam yaitu kira-kira
pada tahun 260 H/878 M. Pengikut sekte ini menganggap bahwa imam kedua belas,
Muhammad Al-Mahdi, dinyatakan gaibah (occultation). Muhammad Al-Mahdi ini
selalu ditunggu-tunngu pengikut sekte Syi’ah Itsna Asyariyah. Ciri khas kehadirannya
adalah sebagai Ratu Adil yang akan turun di akhir zaman. Oleh karena itu, Muhammad
Al-Mahdi dijuluki sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar (yang ditunggu).

Doktrin-doktrin Syiah Itsna Asyariyah

Di dalam sekte Syi’ah Itsna Asyariyah dikenal konsep Usul Ad-Din. Konsep ini
menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Usuluddin mempunyai lima
akar.

a. Tauhid (The Devine Unity)


Tuhan adalah Esa baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah
mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah qadim. Maksudnya,
Tuhan bereksistensi dengan sendirinya sebelum ada ruang dan waktu. Ruang
dan waktu diciptakan oleh Tuhan. Tuhan Mahatahu, Maha Mendengar, selalu
hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar dan bebas berkehendak. Keesaan
Tuhan tidak murakkab (tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu. Ia berdiri
sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata
biasa.
b. Keadilan (The Devine Justice)
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan keadilan. Ia tidak
pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan
kelaliman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan
dan sifat jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan.
Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui perkara yang benar
atau salah melalui perasan. Manusia dapat menggunakan penglihatan,
pendengaran dan indera lainnya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan
baik maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan potensi
berkehendak sebagai anugerah Tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung
jawab atas perbuatannya.
c. Nubuwwah (Apostleship)
Setiap makhluk sekalipun telah diberi insting, masih membutuhkan petunjuk,
baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk
hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus untuk memberikan acuan
dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam
keyakinan Syi’ah Itsna Asyariyah, Tuhan telah mengutus 124.000 rasul untuk
memberikan petunjuk kepada manusia.
Syi’ah Itsna Asyariyah percaya mutlak tentang ajaran tauhid dengan kerasulah
sejak Adam hingga Muhammad dan tidak ada nabi atau rasul setelah
Muhammad. Mereka percaya adanya kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-
Qur’an jauh dari tahrif, perubahan, atau tambahan.
d. Ma’ad (The Last Day)
Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat.
Setiap muslim harus yakin akan keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah
dinyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit
dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
e. Imamah (The Devine Guidance)
Imamah adalah instusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk
manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada
keturunan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.

Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdah, Syiah Itsna Asyariyah berpijak
kepada delapan cabang agama yang disebut dengan furu ad-din. Delapan cabang
tersebut terdiri atas salat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima dari
penghasilan, jihad, al-amr bi al-ma’ruf, dan a-nahyu an-al-munkar.

b. Syi’ah Ismailiyah

Istilah Syi’ah Sab’iyah disebut juga Syi’ah Ismailiyah, dianalogikan dengan


Syi’ah Itsna Asyariyah. Istilah itu meberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah Sab’iyah
hanya mengikuti tujuh imam, yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad
Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq dan Ismail bin Ja’far. Karena dinisbatkan pada imam
ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq, Syi’ah Sab’iyah disebut juga Syi’ah Ismailiyah.

Berbeda dengan Syi’ah Sab’iyah, Syi’ah Itsna Asyariyah membatalkan Ismail


bin Ja’far sebagai imam ketujuh karena di samping memiliki kebiasaan tidak terpuji
juga karena dia wafat (143 H/760 M) mendahului ayahnya, Ja’far (w. 765). Sebagai
penggantinya adalah Musa Al-Kadzim, adik Ismail. Syi’ah Sab’iyah menolak
pembatalan tersebut, berdasarkan sistem pengangkatan imam dalam Syi’ah dan
menganggap Ismail sebagai imam ketujuh dan sepeninggalnya diganti oleh putranya
yang tertua, Muhammad bin Ismail.

Para pengikut Syi’ah Sab’iyah percaya bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar
seperti dijelaskan Al-Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut
adalah iman, taharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Berkaitan dengan pilar
(rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M) memerincinya sebagai berikut.

Iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah ;
iman kepada surga ; iman kepada neraka ; iman kepada hari kebangkitan ; iman kepada
hari pengadilan ; iman kepada para nabi dan rasul ; iman kepada imam, percaya,
mengetahui, dan membenarkan imam zaman.

Dalam pandangan kelompok Syi’ah Sab’iyah, keimanan hanya dapat diterima


bila sesuai dengan keyakinan mereka, yakni melalui walayah (kesetiaan) kepada imam
zaman. Imam adalah seseorang yang menuntun umatnya kepada pengetahuan (ma’rifat).
Dengan pengetahuan tersebut, seorang muslim akan menajdi seorang mukmin yang
sebenar-benarnya. Untuk itu, mereka beragumen bahwa manusia akan memasuki
kehidupan spiritual, kehidupan formal-materil sebagai individu dan kehidupan sosial
yang semuanya memerlukan aturan. Manusia tidak dapat melalui kehidupan itu, kecuali
dengan bimbingan, yang meliputi kepemimpinan dan pembaharuan kehidupan,
pengetahuan, aturan-aturan dan bimbingan pemerintahan yang berdasarkan Islam.
Pribadi yang dapat melakukan bimbingan seperti itu adalah pribadi yang ditunjuk oleh
Allah dan rasul-Nya dan rasul pun menunjuknya atas perintah Allah. Imam adalah
penunjukan mealalui wasiat.

Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan Syi’ah Sab’iyah adalah :

a. Imam harus berasal dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan


Fatimah yang kemudian dikenal dengan ahlul bait.
b. Berbeda dengan aliran Kaisaniyah, pengikut Mukhtar Ats-Tsaqafi,
mempropagandakan bahwa keimanan harus dari keturunan Ali melalui
pernikahannya dengan seorang wanita dari Bani Hanifah dan mempunyai
anak yang bernama Muhammad bin Al-Hanafiyah.
c. Imam harus berdasarkan penunjukan atau nas. Syi’ah Sab’iyah meyakini
bahwa setelah Nabi wafat, Ali menjadi imam berdasarkan penunjukkan
khusus yang dilakukan Nabi sebelum beliau wafat. Suksesi keimanan
menurut doktrin dan tradisi Syi’ah harus berdasarkan nas oleh imam
terdahulu.
d. Keimanan jatuh pada anak tertua. Syi’ah Sab’iyah menggariskan bahwa
seorang imam memperoleh keimanan dengan jalan wiratsah (heredity) jadi,
ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paling tua.
e. Imam harus maksum (immunity from sin an error). Sebagaimana sekte
Syi’ah lainnya, Syi’ah Sab’iyah menggariskan bahwa seorang imam harus
terjaga dari salah satu dosa. Bahkan lebih dari itu. Syi’ah Sab’iyah
berpendapat bahwa sungguh pun imam berbuat salah, perbuatannya itu tidak
salah. Keharusan maksum bagi imam dapat ditelusuri dengan pendekatan
sejarah. Pada sejarah Iran pra-Islam terdapat ajaran yang menyatakan bahwa
raja itu merupakan keturunan Tuhan ; atau seorang raja adalah penguasa
yang mendapat tetesan ilahi (Devine Grace) . oleh sebba itu seorang raja
haruslah maksum.
f. Dalam pandangan Syi’ah Sab’iyah, perbuatan dan ucapan imam tidak boleh
betentangan dengan syari’at. Sifat dan kekuasaan seorang imam hampir
sama dengan nabi. Perbedaannya terletak apda kenyataan bahwa nabi
mendapatkan wahyu, sedangkan imam tidak mendapatkannya.

Disamping syarat-syarat di atas. Syi’ah Sab’iyah berpendapat bahwa seorang


imam harus mempunyai pengetahuan (ilmu) dan juga harus mempunyai pengetahuan
walayah. Pengetahuan di sini adalah ilmu lahir (eksotrik) maupun ilmu batin (esoterik).
Dengan ilmu tersebut, seorang imam mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui
orang biasa. Apa yang salah dalam pandangan manusia biasa, tidak mesti salah dalam
pandangan imam.

Kedua, seorang imam harus mempunyai sifat walayah, yaitu kemampuan


esoterik untuk menuntun manusia ke dalam rahasia-rahasia Tuhan.

Sepeninggal Ismail, imam-imam selanjutnya merupakan imam tersembunyi


sampai berdiri Daulah Fatimah (tahun 909 M). Tersembunyinya imam tidak
menghalanginya untuk menjadi imam dan ia tetap harus dipatuhi. Tatkala imma
bersembunyi, para dai’nya harus zahir (tampak). Sebaliknya apabila imamnya zahir,
da’inya tersembunyi. Sab’iyah meyakini bilangan tujuh dan mereka meyakini bahwa
setiap nabi mempunyai tujuh pelaksana.

Aliran Ismailiyah hanya mempercayai tujuh orang imam saja. Yaitu Sayyidina
Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far As Sodiq dan
Ismail. Pengikut aliran Ismailiyah ialah daulat Fathimiyah di Mesir, dan pengikutnya
sekarang, Agha Khan di Pakistan.

Di Irak, Ismailiyah disebut Bathiniyah, Qaramithah, dan Mudzahiyah. Di


Khurasan disebut Ta’limiyah dan Mulhidah.

Syi’ah Ismailiyah mempunyai tiga pokok kepercayaan sebagai berikut.


1.) Pertama ; Ilmu al-Faidh al-Ilahi, yang Allah melimpahkannya pada imam.
Maka dengan ilmu itu imam-imam, mempunyai kedudukan di atas manusia
pada umumnya dan berilmu melebihi manusia lainnya. Mereka secara
khusus mempunyai ilmu yang tidak dimiliki orang lain. Baginya mengetahui
ilmu syariat melebihi apa yang diketahui orang lain.
2.) Kedua ; Sesungguhnya imam tidak harus tampak dan dikenal masyarakat,
tetapi boleh jadi samar bersembunyi. Namun demikian tetap harus ditaati.
Dialah al-Mahdi yang memberi petunjuk kepada manusia, sekalipun dia
tidak tampak pada beberapa waktu. Dia tentu muncul, dan hari kiamat tidak
akan datang sampai al-Mahdi itu muncul, memenuhi bumi ini dengan
keadilan, sebagaimana kejahatan dan kezaliman telah merajalela.
3.) Ketiga ; Sesungguhnya imam itu tidak bertanggung jawab di hadapan siapa
pun. Seorang pun tidak boleh menyalahkannya, apa pun yang diperbuatnya.
Masyarakat harus membenarkan bahwa apa yang diperbuatnya adalah baik,
tidak ada kejelekan sedikit pun. Sebab imam mempunyai ilmu yang tidak
dapat dicapai orang lain. Karena itulah mereka menetapkan bahwa imam itu
ma’shum. Hal itu bukan berarti mereka tidak pernah melakukan kesalahan
yang kita ketahui. Bahkan kadang-kadang sesuatu kita menganggapnya
sebagai kesalahan, baginya ilmu yang menerangi jalan perjuangannya.
Kadang-kadang sesuatu yang menurut anggapannya layak baginya, tetapi
tidak layak bagi masyarakat.

c. Syiah Zaidiyah

Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengaku Zaid bin Ali sebagai imam kelima,
putra imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain
yang mengakui Muhammad Al-Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai imam
kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah diambil. Syiah Zaidiyah
merupakan sekte Syi’ah yang moderat. Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini
merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni.

Berbeda dengan doktrin Imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah


Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum Zaidiyah menolak
pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan nabi
SAW telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya ditentukan sifat-
sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi SAW
telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas menjabat sebagai imam setelah Nabi
wafat karena Ali memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, seperti
keturunan bani hasyim, wara (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik,
dan membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai
imam.

Selanjutnya menurut Zaidiyah, seorang imam paling tidak harus memiliki ciri-
ciri sebagai berikut.

Pertama, ia merupakan keturunan ahl al bait, baik melalui garis Hasan maupun
Husein. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nas
kepemimpinan.

Kedua, memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya


mempertahankan diri atau menyerang. Atas dasar ini, mereka menolak Mahdiisme yang
merupakan salah satu ciri sekte Syiah lainnya, baik yang gaib maupun yang masih di
bawah umur. Bagi mereka, pemimpin yang menegakkan kebenaran dan keadilan adalah
Mahdi.

Ketiga, memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan melalui


ide dan karya dalam bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman iman, bahkan
mengembangkan doktrin imamat al-mafdul. Artinya, seseorang dapat dipilih menjadi
imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan pada saat yang sama ada yang
afdal.

Syi’ah Zaidiyah memang mencita-citakan keimanan aktif, bukan keimanan


pasif, seperti Mahdi yang gaib, menurut mereka, imam bukan saja memiliki kekuatan
rohani yang diperlukan bagi seorang pemimpin keagamaan, tetapi juga bersedia
melakukan perlawanan demi cita-cita suci sehingga dihormati oleh umatnya. Selain
menolak berbagai dongeng tentang kekuatan adikodrati para imam, mereka juga
mengingkari sifat keilahian para imam. Imam bagi mereka adalah pemimpin dan guru
bagi kaum muslim, aktif di tengah kehidupan, dan berjuang terang-terangan demi cita-
citanya. Dengan demikian, iman dapat berfungsi sebagai pemimpin politik dan
keagamaan yang secara kongkret berjuang demi umat, daripada sebagai tokoh
adikodrati yang suci tanpa dosa.

Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdul, Syi’ah Zaidiyah berpendapat


bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar adalah sah dari sudut pandang Islam. Mereka
tidak merampas kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Dalam pandangan mereka,
jika ahl al-hall wa al- ‘aqd telah memilih seorang imam dari kalangan kaum muslim,
meskipun ia tidak memnuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh Zaidiyah dan
telah dibaiat oleh mereka, keimanannya menjadi sah dan rakyat wajib berbaiat
kepadanya. Selain itu, mereka juga tidak mengkafirkan seorang pun sahabat. Prinsip
inilah, menurut Abu Zahrah, yang menyebabkan banyak orang keluar dari Syiah
Zaidiyah. Salah satu implikasinya adalah berkurangnya dukungan terhadap Zaid ketika
ia berperang melawan pasukan Hisyam bin Abdul Malik. Hal ini wajar mengingat salah
satu doktrin Syi’ah yang cukup mendasar adalah menolak kekhalifahan Abu Bakar dan
Umar dan menuduh mereka sebagai perampas hak kekhalifahan dari tangan Ali.

Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar
akan kekal dalam neraka jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu
yang aneh mengingat Wasil bin Atha, salah seorang pemimpim Mu’tazilah, mempunyai
hubungan dengan Zaid.

Berbeda dengan Syi’ah lain, Zaidiyah menolak nikah mut’ah. Tampaknya ini
merupakan implikasi dari pengakuan mereka atas kekhalifahan Umar bin Khaththab.
Seperti diketahui, nikah mut’ah merupakan salah satu jenis pernikahan yang dihapuskan
pada masa Nabi Muhammad SAW. Pada perkembangannya, jenis pernikahan ini
dihapuskan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Penghapusan ini jelas ditolak oleh sekte
Syi’ah selain Zaidiyah. Oleh karena itu hingga sekarang-kecuali kalangan Zaidiyah-
kaum Syi’ah tetap mempraktekan nikah mut’ah. Selanjutnya, kaum Zaidiyah juga
menolak doktrin taqiyah. Padahal menurut Thabathaba’i, taqiyah merupakan salah satu
doktrin yang penting dalan Syi’ah.

Meskipun demikian, dalam bidang ibadah, Zaidiyah tetap cenderung


menunjukkan simbol dan amalan Syi’ah pada umumnya. Dalam azan misalnya, mereka
memberikan selingan ungkapan hayya ‘ala khair al-amal, takbir sebanyak lima kali
dalam shalat jenazah, menolak sahnya mengusap kaus kaki (maskh al-Khuffaini),
menolak imam shalat yang tidak saleh dan menolak binatang sembelihan bukan muslim.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Golongan Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan persoalan


teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang
dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal
sehingga mereka mendapat nama “ Kaum Rasionalitas Islam”.
Adapun doktrin-doktrin Aliran Mu’tazilah ada 5 yang disebut dengan Al- Usul
Al-Khomsah atau pancasila Mu’tazilah yaitu at-Tauhid, al-‘Adl, al-wa’d wa al-wa’id,
al-Manzilah bainal Manzilatain dan al-Ma’ruf wa an-Nahi Munkar.
Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau
“kelompok”, sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum
muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi
Muhammad SAW. Atau di sebut sebagai Ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah
adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama bersumber dari Ahl al-bait . mereka
menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan Ahl al-bait atau
para pengikutnya.

3.2 Saran

Perkembangan aliran-aliran seperti Mu’tazilah maupun Syi’ah menuntut kita


untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang mungkin
berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasannya ke negara-negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia. Oleh karena itu,
sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan
mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain.
Daftar Pustaka

Amin, Ahmad. 1955. Fajr al-Islam, Cet. VII. Kairo: An-Nahdhah al-Misriyah.

Amin, Ahmad. 1955. Dhuha al Islam. Juz III. Kairo: Maktabah al-Misriyah.

Madkour, Ibrahim. 1988. Filsafat Islam Metode Dan Penerapan. Jakarta, Rajawali
Prers.

M.Ag., Anwar, Rosihan, DR; M.Ag., Rozak, Abdul, Drs. 2010. Ilmu Kalam. Bandung:
CV Pustaka Setia.

Abu Zahrah, Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta:
Logos Publishing House.

M.Pd.I., A. Nasir, K.H. Sahilun. 2010. Pemikiran Kalam(Teologi Islam). Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.

copy right by : http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/makalah-Aliran-syiah

Anda mungkin juga menyukai