DI SUSUN OLEH :
PENDAHULUAN
Ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah Nabi, diyakini oleh
umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh perputaran
zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataanya bahwa tampilan Islam itu
beragam, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam serta
pandangan oleh beberapa tokoh yang membuat statemen tentang apa itu islam.
Awal mula tumbuhnya aliran-aliran dalam Islam adalah karena masalah politik
yang terus meningkat dan menjadi persoalan teologi. Hal ini sebenarnya sudah terjadi
pada saat wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai permasalahan siapakah
yang nantinya pantas menjadi pengganti beliau. Disinilah awal mulanya benih aliran
Syi’ah itu muncul dan masalah ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib, tepatnya pada saat perang Shiffin. Syi’ah mengikuti Islam
sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan ahl bait-nya. Menurut terminologi
Syi’ah berarti, mereka menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara
para sahabat dan lebih baik berhak untuk memegang kepemimpinan kaum muslimim,
demikian anak cucu sepeninggal beliau.
Persoalan lain tentang seseorang yang berbuat dosa pun memicu tumbuhnya
aliran-aliran teologi lainnya. Aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar itu bukanlah kafir tetapi bukan pula mukmin.
2.1 Mu’tazilah
Kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tizal yang artinya memisahkan diri.
Sedangkan Mu’tazilah adalah orang-orang yang memisahkan diri. Mu’tazilah yang
lahir abad ke-2 Hijrah membawa dimensi baru dalam pemikiran Islam. Ia membawa
masalah-masalah teologi lebih mendalam bila dibanding dengan teologi lain.
Pembahasan teologis yang dilakukan Mu’tazilah lebih banyak menggunakan rasional,
karena kaum Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal dalam pembahasannya. Jika
arti ayat yang tidak dapat ditangkap oleh akal, maka mereka melakukan ta’wil hingga
ada kesejajaran antara arti ayat Al-Quran dengan akal. Sehingga golongan ini disebut
dengan “Kaum rasionalis Islam”(Harun Nasution,1972:36).
Aliran ini lahir kurang lebih tahun 120 H, di kota Basrah. Aliran Mu’tazilah
pernah menjadi mazhab penguasa pada beberapa masa, yakni pada zaman khalifah Al-
Ma’mun dan Mu’tazim.
Nama Mu’tazilah adalah suatu nama yang di berikan oleh orang di luar
golongan Mu’tazilah karena orang-orang Mu’tazilah mengklaim dirinya dengan sebutan
Ahlut Tauhid wal’Adl. Istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Pertama, di Baghdad terdapat seorang ulama besar bernama Syekh Hasan Basri
(wafat 110 H). Orang-orang sesat banyak berguru kepadanya dan diantara muridnya
adalah Wasil bin ‘Ata (8-131 H). Pada suatu hari Hasan Basri (699-748) menerangkan
masalah kedudukan mukmin dan kafir di akhirat nanti, dan mengatakan, ”Setiap orang
Islam yang telah beriman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi
mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap sebagai muslim, tetapi tergolong muslim
yang durhaka. Kalau ia wafat sebelum bertobat dari dosanya, ia di akhirat nanti akan
dimasukkan ke dalam neraka untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi
sesudah menjalankan hukuman ia akan dikeluarakan lagi dari neraka dan kemudian
dimasukkan ke dalam surga sebagai mukmin.
Mendengar pendapat tersebut, Wasil bin ‘Ata menjawab dengan dengan suara
keras, “Tidak….tidak demikian” hal itu dikatakannya sambil keluar dari majelis lain
yang bertempat di Basrah. Dia ditemani oleh Umar bin Ubaid (145 H), karena itulah
Wasil bin ‘Ata dinamai Kaum Mu’tazilah karena ia mengasingkan diri atau
memisahkan diri dari gurunya. Sedangkan berkuasa pada saat itu adalah Kalifah
Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Ummayah, yaitu tahun 100-125 H.
Ketiga, ada juga yang menyatakan bahwa ini adalah kaum yang suka memakai
pakaian jelek-jelek dan kasar-kasar yang hidupnya minta-minta (Darawisy) dan
bertempat tinggal jauh dari keramaian orang.
Tentang sifat Allah, Wasil menolak paham bahwa Tuhan memiliki sifat.
Menurut Wasil, Tuhan tidak mempunyai sifat. Apa yang dianggap orang sebagai sifat
tidak lain Zat Allah SWT itu sendiri. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
pengetahuan-Nya itu adalah Zat-Nya. Tuhan mendengar dengan pendengaan-Nya, dan
seterusnya. Jadi, Tuhan mendengar bukan dengan sifat sama-Nya, Tuhan melihat bukan
dengan dengan sifat bashar-Nya, dan seterusnya; tapi dengan Zat-Nya.
c. Al –Jubai
Ia mempunyai nama Abu Ali bin Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir tahun
25 H/849 M di Jubai. Al-Jubai berguru kepada Al-Syahham, salah seorang murid Abu
Huzailah.
Ia hidup dam situasi yang kedaan politiknya tidak stabil. Namun demikian, ilmu
pengetahuan tetap berkembang pesat karena para ilmuwan tidak banyak tutur campur
dalam pergolakan politik yang waktu itu terjadi. Ia wafat pada tahun 303 H/915 M di
Basrah.
d. Az-Zamakhsyari
Az-Zamakhsyari lahir pada tahun 467 H. Ia belajar di beberapa negeri. Az-
Zamakhsyari pernah bermukin di tanah suci dalam rangka belajar agama.
Selama di tanah suci, ia menggunakan waktunya untuk menyusun kitab tafsir Al-
Kasysyaf yang berorientasi pada paham Mu’tazilah. Namun demikian, kitab tafsir karya
beliau tidak digunakan oleh kalangan Mu’tazilah saja. Di samping menyusun kitab
tafsir Al-Kasysyaf beliau banyak menyusun buku tentang balagah, bahasa, dan lainnya.
Az-Zamakhsyari wafat tahun 538 H.
2.3 Syi’ah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok,
sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang
spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW,
atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah
pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl bait. Mereka menolak
petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl-al-bait atau para
pengikutnya (Sahilun A Nasir,2010:77).
Nabi Muhammad SAW setelah selesai menunaikan tugas risalah Islam selama
hampir 23 tahun, beliau wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 Hijriyah, bertepatan
dengan 8 Juni 632 M.
Memang Nabi Muhammad SAW itu menyuruh sahabat Abu Bakar menjadi
imam shalat pada waktu beliau sakit menjelang hari wafatnya. Demikian pula Nabi
Muhammad SAW pernah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk menjaga
rumahnya ketika beliau pergi berperang. Namun demikian, beliau tidak pernah
menyebut-nyebut penggantinya.
Maka tatkala nyata-nyata beliau wafat, pada hari itu juga sahabat-sahabat
terkemuka dari kalangan Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah,
suatu balai pertemuan untuk bermusyawarah tentang khalifah.
Memang Sayyidina Ali dan istrinya Fatimah Zahroh binti Rasulullah SAW
sedikit kurang enak terhadap musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah. Karena menurut
pendapatnya, pengurusan jenazah Nabi SAW (pemakaman) harus didahulukan daripada
musyawarah pemilihan khalifah. Sedangkan sahabat-sahabat lain berpendapat bahwa
pemilihan khalifah harus didahulukan, karena menyangkut kepentingan umum. Namun
pada akhirnya Sayyidina Ali juga ikut membaiat (A Rozak, R Anwar,2001:82).
Sayyidina Umar bin Khattab berkuasa selama 10 tahun 6 bulan (13-23 H/634-
644 M). Dia meninggal 16 Dzul Qa’dah dibunuh oleh Abu Lu’lu’, seorang sahaya dari
Persia, yang amat dendam melihat kerajaan Persia ditaklukan (16 H/636 M). Sebelum
wafat, dia telah menunjuk sebuah panitia untuk memilih khalifah penggantinya, terdiri
dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam,
Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurahman nin ‘Auf, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdullah
bin Umar. Sayyidina Umar berpesan agar panitia ini nanti memilih khalifah dan jangan
memilih Abdullah bin Umar putranya sendiri.
Panitia akhirnya memilih Sayyidina Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga,
memerintah selama 13 tahun kurang sehari (23-35 H/644-656 M). Dia meninggal
dibunuh para pemberontak dari negeri yang terkena hasutan Abdullah bin Saba’.
Pada masa pemerintahan Sayyidina Ali ini timbul hal-hal yang mengecewakan
masyarakat sehingga terpecah belah menjadi beberapa golongan :
Sebulan kemudian setelah perang Jamal, terjadilah perang Shiffin (37 H/658 M),
antara pihak khalifah Ali dengan pihak Mu’awiyah, di suatu tempat daerah negeri Irak
yang bernama Shiffin. Pertempuran perang Shiffin ini terjadi 90 kali sehinggga
menimbulkan banyak korban. Di pihak lasykar Ali, gugur 25.000 orang dan di pihak
lasykar Mu’awiyah gugur lebih banyak lagi, 45.000 orang.
Pada mulanya Sayyidina Ali tidak mau menerima ajakan berdamai karena dia
beranggapan bahwa hal itu hanya tipu muslihat belaka dari orang-orang yang hampir
kalah guna menyusun kekuatan kembali. Akan tetapi, sebagian lasykar Sayyidina Ali
mendesaknya, agar mau menerima ajakan damai tersebut, sambil berkata : Mengapa
kita tidak menerima hukum Al-Qur’an ? Akhirnya Sayyidina Ali menerima gencatan
senjata itu. Setelah kedua lasykar sepakat mengadakan tahkim yang akan memutuskan
perselisihan itu, mundurlah Sayyidina Ali beserta lasykarnya pulang ke Kufah, dan
Mu’awiyah beserta lasykarnya pulang ke Syiria.
Sebagian lasykar Ali ada yang tidak menerima rencana tahkim, tidak ikut pulang
ke Kufah, tetapi mereka pergi ke Harur dekat Kufah. Jumlah merka sekitar 12.000
orang. Mereka ke luar dari Sayyidina Ali dan juga ke luar dari Mu’awiyyah. Mereka
membenci kedua-duanya. Inilah asal-usul timbulnya golongan Khawarij.
Mereka bersemboyan Laa hukma illaa lillah tiada berhukum kecuali hanya
kepada Allah SWT.
Amr mengajukan dasar perundingan, yaitu terlebih dahulu Ali dan Mu’awiyah
sama-sama diberhentikan dari jabatan khalifah. Sesudah itu persoalan khalifah
diserahkan sepenuhnya kepada umat Islam untuk menetapkannya. Usul Amr tersebut
diterima oleh Abu Musa secara tulus hati dan jujur sebagai dasar perundingan.
Karena menghormati usia yang lebih tua dan derajatnya, Amr mempersilahkan
Abu Musa Al-Asy’ari untuk naik ke mimbar. Dengan hati yang jujur, maka naiklah Abu
Musa ke atas mimbar lalu berpidato bahwa demi kemaslahatan umat Islam, dia (Abu
Musa) dan Amr telah sepakat akan memberhentikan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan
khalifah. Sedangkan pengangkatan khalifah baru diserahkan kepada musyawarah nanti.
Abu Musa menyatakan : ‘Aku sebagai wakil dari pihak Ali dengan ini menyatakan
secara ikhlas memberhentikan Ali dari jabatan khalifah.”
Selanjutnya tiba giliran Amr bin Ash naik ke mimbar. Bahwa dia menerima dan
memperkuat pemberhentian Ali itu, oleh utusannya sendiri dan selanjutnya dia
menetapkan Mu’awiyah sebagai khalifah.
Rencana pembunuhan telah diatur, yaitu pada waktu subuh yang sama, tanggal
17 Ramadhan 40 H, sewaktu ketiga korban itu ke luar rumah hendak shalat subuh ke
masjid. Abdurrahman bin Muljam berhasil membuhuh Sayyidina Ali dengan pedang
beracun ketika hendak shalat subuh di masjid Kufah, tetapi rencana kedua temannya
gagal, karena Mu’awiyah dan Amr bin Ash sangat berhati-hati menjaga diri. Sayyidina
Ali dimakamkan di Najaf, Bagdad. Beliau memerintah selama 4 tahun 9 bulan, masa
yang tidak sunyi dari peperangan.
Husein, putra Ali ra. yang kedua, mewarisi watak dan keutamaan ayahnya yang
bersifat kesatria. Dia telah berjuang dengan terhormat melawan orang-orang Kristen
waktu mengepung Konstantinopel. Ia menyatukan dalam dirinya hak keturunan dari Ali
ra. dengan sifat suci seorang cucu Rasulullah SAW.
Apabila berpadu pada kekuasaan khalifah urusan agama dan politik, maka
perselisihan antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya adalah bercorak
agama dan politik. Meurut anggapan mereka bahwa Nabi Muhammad SAW telah
menentukan Ali ra. sebagai penggantinya, sesudah beliau wafat. Maka Abu Bakar ra.
Umar ra. dan Utsman ra. telah merebut haknya Ali ra. demikian pula khalifah-khalifah
Bani Umayah dan Bani Abbasiyah, mereka telah sengaja merampas kedudukan
khalifah. Adalah menjadi kewajiban dari golongan Syi’ah mengembalikan hak tersebut
kepada yang berhak, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Paham Syi’ah ini mendapat dukungan dari orang-orang Persia yang mana
menurut ajaran agama majusi yang merka peluk sebelum beragama Islam, megajarkan
bahwa raja itu suci dan mempunyai sifat-sifat ketuhanan, dan mereka sangat
menghormati kepada keluarganya.
Golongan Syi’ah ini berpecah belah menjadi beberapa aliran yang disebabkan
karena :
a. Syi’ah Imamiyah
Syi’ah Itsna Asyariyah sepakat bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi
Muhammad seperti yang ditunjukan nas. Adapun Al-ausiya (penerima wasiat) setelah
Ali bin Abi Thalib adalah keturunan dari garis Fatimah, yaitu Hasan bin Ali kemudian
Husein bin Ali sebagaimana yang mereka sepakati. Setelah Husein adalah Ali Zaenal
Abidin, kemudian secara berturut-turut, Muhammad Al-Baqir, Abdullah Ja’far Ash-
Shadiq, Musa Al-Kahzim, Ali Ar-Rida, Muhammad Al-Jawwad, Ali Al Hadi, Hasan
Al-Askari dan terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas.
Demikianlah, karena berbaiat di bawah imamah dua belas imam, mereka dikenal
dengan sebutan Syiah Itsna Asyariyah (Itsna Asyariyah)
Nama dua belas (Itsna Asyariyah) ini mengandung pesan penting dalam tinjauan
sejarah, yaitu golongan ini terbentuk setelah lahirnya kedua belas imam yaitu kira-kira
pada tahun 260 H/878 M. Pengikut sekte ini menganggap bahwa imam kedua belas,
Muhammad Al-Mahdi, dinyatakan gaibah (occultation). Muhammad Al-Mahdi ini
selalu ditunggu-tunngu pengikut sekte Syi’ah Itsna Asyariyah. Ciri khas kehadirannya
adalah sebagai Ratu Adil yang akan turun di akhir zaman. Oleh karena itu, Muhammad
Al-Mahdi dijuluki sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar (yang ditunggu).
Di dalam sekte Syi’ah Itsna Asyariyah dikenal konsep Usul Ad-Din. Konsep ini
menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Usuluddin mempunyai lima
akar.
Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdah, Syiah Itsna Asyariyah berpijak
kepada delapan cabang agama yang disebut dengan furu ad-din. Delapan cabang
tersebut terdiri atas salat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima dari
penghasilan, jihad, al-amr bi al-ma’ruf, dan a-nahyu an-al-munkar.
b. Syi’ah Ismailiyah
Para pengikut Syi’ah Sab’iyah percaya bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar
seperti dijelaskan Al-Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut
adalah iman, taharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Berkaitan dengan pilar
(rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M) memerincinya sebagai berikut.
Iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah ;
iman kepada surga ; iman kepada neraka ; iman kepada hari kebangkitan ; iman kepada
hari pengadilan ; iman kepada para nabi dan rasul ; iman kepada imam, percaya,
mengetahui, dan membenarkan imam zaman.
Aliran Ismailiyah hanya mempercayai tujuh orang imam saja. Yaitu Sayyidina
Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far As Sodiq dan
Ismail. Pengikut aliran Ismailiyah ialah daulat Fathimiyah di Mesir, dan pengikutnya
sekarang, Agha Khan di Pakistan.
c. Syiah Zaidiyah
Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengaku Zaid bin Ali sebagai imam kelima,
putra imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain
yang mengakui Muhammad Al-Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai imam
kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah diambil. Syiah Zaidiyah
merupakan sekte Syi’ah yang moderat. Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini
merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni.
Selanjutnya menurut Zaidiyah, seorang imam paling tidak harus memiliki ciri-
ciri sebagai berikut.
Pertama, ia merupakan keturunan ahl al bait, baik melalui garis Hasan maupun
Husein. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nas
kepemimpinan.
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar
akan kekal dalam neraka jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu
yang aneh mengingat Wasil bin Atha, salah seorang pemimpim Mu’tazilah, mempunyai
hubungan dengan Zaid.
Berbeda dengan Syi’ah lain, Zaidiyah menolak nikah mut’ah. Tampaknya ini
merupakan implikasi dari pengakuan mereka atas kekhalifahan Umar bin Khaththab.
Seperti diketahui, nikah mut’ah merupakan salah satu jenis pernikahan yang dihapuskan
pada masa Nabi Muhammad SAW. Pada perkembangannya, jenis pernikahan ini
dihapuskan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Penghapusan ini jelas ditolak oleh sekte
Syi’ah selain Zaidiyah. Oleh karena itu hingga sekarang-kecuali kalangan Zaidiyah-
kaum Syi’ah tetap mempraktekan nikah mut’ah. Selanjutnya, kaum Zaidiyah juga
menolak doktrin taqiyah. Padahal menurut Thabathaba’i, taqiyah merupakan salah satu
doktrin yang penting dalan Syi’ah.
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Amin, Ahmad. 1955. Fajr al-Islam, Cet. VII. Kairo: An-Nahdhah al-Misriyah.
Amin, Ahmad. 1955. Dhuha al Islam. Juz III. Kairo: Maktabah al-Misriyah.
Madkour, Ibrahim. 1988. Filsafat Islam Metode Dan Penerapan. Jakarta, Rajawali
Prers.
M.Ag., Anwar, Rosihan, DR; M.Ag., Rozak, Abdul, Drs. 2010. Ilmu Kalam. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Abu Zahrah, Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta:
Logos Publishing House.