Anda di halaman 1dari 22

ogo

“Sejarah Mu’tazilah dan Perkembangannya”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampuh :

Dr. Muhammad Idris, S.Ag, M.Ag

Disusun Oleh :

Muhammad Haikal Agus

NIM :20123061

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aliran mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi
yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa
kaum khawarij dan murjia‟ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal
sehingga mereka mendapat nama “kaum Rasionalis Islam”. Aliran ini muncul di kota
Bashrah (Iraq) pada abad ke 2H tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan
Khalifah Abdul Malik Bin Mrwan dan Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Sebagaimana
tercatat dalam sejarah, zaman keemasan dalam Islam terjadi pada abad pertengahan.
Daerah kekuasaan Islam berkembang dengan pesatnya, disamping itu kemajuan
perkembangan inteletual juga pesat. Suatu yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa Islam
pernah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada zaman inilah yang
menghasilkan ulama’-ulama’ besar seperti imam malik, Imam Abu Hanifah. Imam As
Syafi’I dan Imam Abu Hambal dalam bidang hukum, Imam Al Asy’ari, Imam Al
Maturabi dan pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam bidang Theologi.1
Bermula terjadinya Mu’tazilah ini adalah dari tindakan seorang murid dari Imam
Hasan Al- Bashri yang bernama Washil Bin Atha Al- Makhzumi Al- Ghozzal yang lahir
di madinah tahun 700 M. Dengan kemunculan ini karena Washil bin Atha’ berpendapat
orang Muslim yang melakukan dosa besar bukanlah seorang mukmin dan juga bukan
kafir semantara Imam Hasan Al- Bashri berpendapat mukmin yang berdosa besar masih
berstatus mukmin. Dari sinilah muncul pemikiran aliran mu’tazilah ini yang berpendapat
bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam
menentukan kehndak dan perbuatannya, karena Tuhan tidak absolut dalam kehendak-
Nya, dan Tuhan mempunyai kewajiban berlaku adil, menempati janji dan memberikan
rezeki.
Secara umum, alrian mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasyiah
(100 H- 237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H). Pada generasi pertama hidup dibawah
pemerintahan Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. 2 Kemudian memenuhi
zaman awal Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan
1
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1992
2
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (Bengkulu, El-Afkar vol 7, 2018) h. 9
terhadap agama, dalam suasana yang terpenuhi oleh pemikiran baru. Diawali di Basrah
kemudian berdirilah cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang mu’tazilah di Basrah
mereka bersikap berhati-hati dalam menghadapi masalah politik.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan singkat tentang Sejarah Mu’tazilah dan perkembangannya,
penulis mengangkat masalah:
1. Bagaimana Sejarah munculnya Mu’tazilah?
2. Bagaimana perkembangan aliran Mu’tazilah sebagai aliran teologi?
3. Darimana Asal-usul nama Mu’tazilah?
4. Siapa saja tokoh-tokoh dan pemikirannya?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini agar saya selaku penyusun dan juga pembaca dapat
mengetahui bagaimana sejarah munculnya aliran Mu’tazilah, perkembangannya sebagai
alian teologi, asal usul nama daripada aliran Mu’tazilah, dan juga tokoh-tokoh
pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Aliran Mu’Tazilah


Kaum Mu’tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan
dunia Islam selama Lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebokan,
selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin
terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka 3. Sejarah
munculnya aliran M’utazilah ini yakni di kota Bashra (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah,
tahun 105 – 110 H, pada masa pemerintahan khalifa Hisyam Bin Abdul Malik,
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashra mantan murid Al- Hasan Al- Bashari yang
bernama Washil bin Atha’ Al- Makhzumi Al- Ghozzal yang lahir di madinah tahun 700
M. Dengan kemunculan ini karena Washil bin Atha’ berpendapat orang Muslim yang
bersdosa besartapi juga bukan kafir. Imam Hasan Al- Bashri berpendapat mukmin yang
berdosa besar masih berstatus mukmin. Disinilah awal munculnya perbedaan paham
karena perselisihan antara murid dan guru, dan pada akhirnya golongan mu’tazilah pun
dinisbatkan kepadanya. Sehingga kelompok mu’tazilah ini semakin berkembang dengan
sekian banyak sektenya.Kemudian petinggi mereka mendalami buku-buku filsafat yang
banyak tersebar di masa khalifa Al- Makmum. Maka sejak saat itulah manhaj mereka
benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang beroreintasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al-Quran dan As Sunnah.4
Mu’tazilah sendiri berasal dari kata i’tazala yang berarti mengasingkan diri atau
memisahkan diri, sedangkan secara etimologis bermakna. Orang-orang yang memisahkan
diri. Kata ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-
Hasan Al- Bashari, yakni salah seorang imam di kalangan tabi’in, seperti kata Asy-
Syihiristani yakni, suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Al- Hasan Al- Bashari
yang berkata “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang
mengkafirkan pelaku dosa besar. Dan dosa tersebut diyakini sebagai kekafiran yang dapat
mengeluarkan orangnya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan
kelompok yang lainnya sangat toleran dengan orang yang berbuat dosa besar, dan
menganggap dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan.Karena pada mazhab
mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan yang tidak

3
Rohidin,Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (Bengkulu, El-Afkar vol 7, 2018) h. 2
4
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (UI Press, 1986) jilid II, h. 36
berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekafiran,
mereka inilah murji’ah umat ini.5
Mu’tazilah juga mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”, dalam Al-
quran sunnatullah dapat diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia dijadikan
sebagi tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian. Menurut Ibn
al-Abbad salah seorang tokoh sentral mu’tazilah yang berpendapat bahwa yang
diciptakan Tuhan hanyalah benda-benda materi saja, adapun “al-‘arad” atau “accidens”
adalah kreasi benda-benda materi itu sendiri dalam bentuk “nature” seperti, pembakaran
oleh api dan pemanasan oleh materi atau dalam bentuk pilihan (ikhtiar) seperti, antara
gerak dan diam, berkumpul atau berpisahnya yang dilakukan binatang. Ini
menggambarkan paham naturalis atau kepercayaan pada hukum alam yang terdapat
dalam paham mu’tazilah.6

B. Perkembangan Aliran Mu’tazilah sebagai aliran Teologi


Secara umum, alrian mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase
Abbasyiah (100 H- 237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H). Pada generasi pertama hidup
dibawah pemerintahan Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. 7 Kemudian
memenuhi zaman awal Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan
pembelaan terhadap agama, dalam suasana yang terpenuhi oleh pemikiran baru. Diawali
di Basrah kemudian berdirilah cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang mu’tazilah di
Basrah mereka bersikap berhati-hati dalam menghadapi masalah politik. Akan tetapi
kelompok mu’tazilah di baghdad justru sangat terlibat jauh terhadap politik.
Dan mengambil bagian untuk menyalut dan mengatakan bahwa Al-quran adalah
makhluk. Dikatakan mu’tazilah pada awalnya menghabiskan waktu sekitar dua abad
untuk tidak bermazhab, namun mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan.
Inilah salah satu sebab mengapa mereka disebut mu’tazilah, tidak mengisolir diri dalam
menanggapi problematika imamah sebagai sumber perpecahan pertama dan mereka
mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al manzilah bainal manzilatain”.
Akan tetapi dibawah tekanan Asy’asariah nampaknya mereka berlindung kepada Bani
Buwaihi.8

5
Rohidin,Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, h. 3
6
Zulhemi, “Epistimologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran
di Indonesia”, (Palembang, Dosen tetap Fakultas Ushuludin IAIN Raden Fatah Palembang, 2013) h.2
7
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (Bengkulu, El-Afkar vol 7, 2018) h. 9
8
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam ( Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2009) h. 40
Golongan pertama disebut Mu’tazilah I muncul sebagai respon politk murni.
Golongan ini sebagai respon politik murni. Dan tumbuh sebagai kaum netral politik,
terkhususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Ai
Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair
golongan inilah yang semula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan
diri dari pertikaian maslah khalifah. Golongan kedua disebut Mu’tazilah II yang muncul
sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawrij dan Mur’jiah
karena adanya peristiwa tahkim. Munculnya golongan ini karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada
pelaku yang berbuat dosa besar.
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu’tazilah berpegang pada
premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat dijangkau akal.
Mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap masalah yang timbul
mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal maka akan mereka terima, dan
tidak dapat diterima akal mereka tolak.9 Mu’tazilah sendiri banyak dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat Yunani dan logika dalam menemukan landasan-landasan paham
mereka. Penyebabnya ada dua yaitu:
a) Mereka menemukan didalam filsafat Yunani keserisian dengan kecenderungan
pikiran mereka. Kemudian dijadikan sebagai metode berpikir yang membuat mereka
lebih lancar dan kuat dalam berargumentasi.
b) Ketika para filsof dan pihak lain berusaha meruntuhkan dasar-dasar ajaran Islam
dengan argumentasi-argumentasi logis, Mu’tazilah dengan gigih menolak mereka
dengan menggunakan metode diskusi dan debat mereka. Kaum mu’tazilah banyak
mempelajari filsafat untuk dijadikan senjata mengalahkan serangan para filsuf dan
pihak yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kaum Mu’tazilah alah
filsuf-filsuf Islam.10
Kaum mu’tazilah mempunyai lima doktrin pokok yang populer dengan sebutan al-Ushul
al-Khamsah. Kelima doktrin itu adalah:
1. At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran
mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini.

9
Abu Zahrah, Tarikh Mazhabib al- Islamiyah (Cairo Mesir. Dar al Fikr al Araby, t.th) h. 144
10
Abu Zahrah, Tarikh Mazhabib al- Islamiyah, h. 145
Namun bagi mu‟tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya. Untuk memurnikan keesaan
Tuhan, Mu‟tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Konsep ini bermula dari
founding father aliran ini, yakni Washil bin Atho. Ia mengingkari bahwa mengetahui,
berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah termasuk esensi Allah. Menurutnya, jika sifat-
sifat ini diakui sebagai kekal-azali, itu berarti terdapat “pluralitas yang kekal” dan berarti
bahwa kepercayaan kepada Allah adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak
mudah diterima. Pada umumnya Mu’tazilah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua,
yakni ilmu dan kuasa, Selanjutnya mereka mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi
satu saja, yakni keesaan.11 Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Juga, keyakinan tidak ada satupun yang dapat
menyamai Tuhan, begitupula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Tegasnya Mu‟tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadap paham
antropomorfistik bukan semat-mata atas pertimbanagan akal, melainkan memiliki
rujukan yang yang sangat kuat di dalam Al-qur’an yang berbunyi (artinya) : “ tidak ada
satupun yang menyamainya. ( Q.S.Assyura : 9 )
2. Al-Adl
Ajaran dasar Mu‟tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil.
Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan,
karena Tuhan Maha sempurna dia pasti adil. Faham ini bertujuan ingin menempatkan
Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang adil apabila
bertindak hanya yang baik dan terbaik. Begitupula Tuhan itu adil bila tidak melanggar
janjinya. Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya. Merekalah golongan yang
mensucikan Allah daripada pendapat lawannya yang mengatakan: bahwa Allah telah
mentaqdirkan seseorang itu berbuat maksiat, lalu mereka di azab Allah, sedang
Mu‟tazialah berpendapat, bahwa manusia adalah merdeka dalam segala perbuatan dan
bebas bertindak, sebab itu mereka di azab atas perbuatan dan tindakannya. Inilah yang
mereka maksud keadilan itu. 12Ajaran tentang keadilan berkaitan dengan beberapa hal,
antara lain :
a. Perbuatan manusia. Manusia menurut Mu‟tazilah melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Manusia benar-
benar bebas untuk menentukan pilihannya.Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki

11
Sharif (ed). Aliran-aliran Filsafat Islam. (Bandung : Nuansa Cendekia2004), h. 21
12
Thahir Taib, Abd.Mu‟in. Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Widjaya. 1986), h.103
yang baik. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu
apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di
dunia.
b. Berbuat baik dan terbaik Maksudnya adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat baik,
bahkan terbaik bagimanusia. Tuhan tidak mungkin jahat atau aniaya karena itu akan
menimbulkan persepsi bahwa Tuhan tidak maha sempurna. Bahkan menurut
Annazam, salah satu tokoh mu‟tazilah konsep ini berkaiatan dengan El-Afkar Vol. 7
Nomor II, Juli- Desember 2018 8 kebijaksanaaan, kemurahan dan kepengasihan
Tuhan.
c. Mengutus Rasul. Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiaban Tuhan
karena alasan berikut ini : Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia dan hal itu tidak
dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka. Al qur‟an secara
tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk belas kasih kepada manusia .Cara terbaik
untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul. Tujuan di ciptakannya
manusia adalah untuk beribadah kepadaNya dengan jalan mengutus rasul.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id
Ajaran ini berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan
melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya sendiri. Ini
sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan
selain menunaikan janjinya yaitu memberi pahala orang yang ta’at dan menyiksa orang
yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik
dan tidak melakukan perbuatan dosa. Kaum Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan
ancaman Tuhan untuk membalas perbuatan hamba-Nya pasti akan terlaksana. Ini bagian
dari keadilan Tuhan.
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu‟tazilah. Ajaran ini
terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar, seperti dalam sejarah,
khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan menurut
pandangan Mu’tazilah orang islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai matinya
belum taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara
keduanya. Mereka itu dinamakan orang fasiq, jadi mereka di tempatkan di suatu tempat
diantara keduanya. Al Amr bi Al Ma’ruf. 13Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang
mukmin yang berdosa besar, statusnya tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir, ia berada
13
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (Bengkulu, El-Afkar vol 7, 2018) h. 8
di antara keduanya. Doktrin inilah yang kemudian melahirkan aliran Mu’tazilah yang
digagas oleh Washil ibn Atha.
5. Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimananan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan
dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan
mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain
mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu’tazilah jika
memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
perintah melaksanakan perbuatan baik dan larangan perbuatan munkar. Ini merupakan
kewajiban dakwah bagi setiap orang Mu’tazilah. Menurut salah seorang pemuka
Mu’tazilah, Abu al-Husain alKhayyat, seseorang belum bisa diakui sebagai anggota
Mu’tazilah kecuali jika sudah menganut kelima doktrin tersebut.14
C. Asal- usul Nama Mu’tazilah
Kalangan para ahli masih terjadi perdebatan tentang asal-usul sebutan nama
Mu’tazilah. Perdebatan mereka terutama terjadi pada kisaran pertanyaan “apakah sebutan
itu berasal dari kalangan luar atau bahkan lawan Mu’tazilah, atau mungkin sebaliknya
sebutan ini berasal dari kalangan orang-oranng Mu’tazilah sendiri”.15 Berkaitan dengan
masalah ini, ditemukan adanya beberapa teori yang dapat disampaikan dan diajukan
sebagai alternatif jawaban.Hanya saja dapat dipastikan, bahwa sesungguhnya Mu’tazilah
sendiri, dengan klaim subjektifnya,ternyata telah memproklamirkan dirinya sebagai Ahl
at-Tauhid wa al-‘Adl (Penegak tauhid dan keadian Tuhan), dan oleh karena itu kemudian
Mu’tazilah lebih suka dipanggil dan diapresiasi dengan sebutan tersebut. Adapun
beragam teori yang dimaksudkan adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.

a) Sebutan Mu’tazilah yang diberikan kepada mereka ditengarai berasal dari kata i’tazala.

Yang berarti mengasingkan (memisahkan) diri. Menurut teori ini, sebutan


Mu’tazilah, yang diciptakan oleh orang yang tidak sefaham dengan doktrin teologis
mereka, diberikan atas dasar ucapan Hasan al-Bashri, setelah dia menyaksikan Washil bin
Atha’ melakukan pemisahan diri dari kelompoknya. Hasan al-Bashri diriwayatkan
memberikan komentar sebagai berikut: i’tazala ‘anna (dia Washil bin Atha’ mengasingkan

14
Ahmad Amin, Dhuba al- Islam, Juz III (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966) h.22
15
M Muniron, Ilmu Kalam: Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisis Perbandingan (Jawa Timur,
STAIN Jember Press, 2015) h.77
atau memisahkan diri dari kita). Orang-orang yang mengasingkan diri itulah yang
kemudian disebut Mu’tazilah, dan sejak peristiwa itu pula sebutan Mu’tazilah mulai
dipergunakan dan dipopulerkan. Tindakan mengasingkan diri di sini bisa bermakna ganda:
memisahkan diri dalam artian dari forum (majlis) Hasan al-Bashri, atau mengasingkan diri
dari pandangan umum yang berkembang pada saat itu yakni Khawarij yang menjustifikasi
Muslim pelaku dosa besar sebagai kafir dan Murji’ah yang tetap mengapresiasi Muslim
pelaku dosa besar sebagai tetap menjadi orang mukmin.16

b) Sebutan Mu’tazilah bukan berasal dan diturunkan dari ucapan Hasan al-Bashri.
Melainkan dari kata i’tazala yang dipakaikan terhadap kelompok netralis (politik)
dalam mensikapi pertikaian politik di kalangan umat Islam. Istilah Mu’tazilah dalam
konteks ini dikatakan sudah muncul jauh sebelum kemunculan Washil dengan doktrin al-
manzilah bain al-manzilatain-nya. Yaitu golongan netralis politis yang tidak mau ikut
terlibat dalam pertikaian politik, dan sebaliknya mereka mengasingkan diri dan
memusatkan perhatiannya pada pelaksanaan ibadah dan pendalaman ilmu pengetahuan.
Diantara orang-orang yang berwatak mulia semacam ini adalah cucu nabi Muhamad Abu
Husain, Abdulah dan Hasan bin Muhamad bin al-Hanafi. Dalam bingkai teori ini, Washil
bin Atha’ disebut Mu’tazilah lebih dikarenakan selain dia mempunyai hubungan yang
erat dengan Abu Husain, juga karena ia mempunyai sikap hidup yang relatif identik
dengan kelompok tersebut yakni lebih memusatkan aktivitasnya pada pelaksaan ibadah
dan pengembangan ilmu pengetahuan, tanpa melibatkan diri dalam pertikaian politik
pada masa itu.17
c) Kata Mu’tazilah mengandung konotasi negatif dengan arti “tergelincir”, dan karena
ketergelinciran orang-orang Mu’tazilah dari jalan yang benar.
Maka kemudian mereka diberi sebutan Mu’tazilah yakni golongan yang
tergelincir dari kebenaran. Harun Nasution menolak pandangan semacam ini, karena
menurutnya pemaknaan yang seperti ini, yang mensinonimkan kata ‘azala dengan zalla,
jelas-jelas tidak dapat dibenarkan terutama dari tinjauan kebahasaan (etimologi). Kata
yang dipakai dalam bahasa Arab untuk arti tergelincir, sebagai dikatakan oleh Harun
Nasution, memang relatif berdekatan bunyinya dengan ‘azala (kata asal dari i’tazala)
yakni zalla. Akan tetapi bagaimanapun nama Mu’tazilah—lanjut Harun Nasution—tentu
saja tetap tidak boleh dinyatakan berasal dari kata zalla.18

16
Madjid (Ed), Khazanah Intelektual Islam, 20; Nasution, Teologi Islam, h.128
17
Nasution, Teologi Islam, h.128
18
Nasution, Teologi Islam, h. 128-129
d) Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut dirinya dengan Ahl at-
Tauhid wa al-‘Adl.
Namun mereka tidak menolak sebutan Mu’tazilah itu untuk dirinya. Bahkan dari
ucapan-ucapan sejumlah pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka
sendirilah yang sebenarnya menetapkan nama itu. Menurut al-Qadli Abdul Jabbar, salah
seorang pemuka Mu’tazilah yang karya-karyanya relatif banyak bisa ditemukan kembali
pada abad ke-20 M ini, di dalam teologi memang terdapat kata i’tazala yang mengandung
arti mengasingkan diri dari yang salah atau tidak benar dan dengan demikian kata
Mu’tazilah mengandung arti sebagai pujian. 19
Dan menurut keterangan seorang
Mu’tazilah lain, Ibn Murtadla, bahwa sebutan Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang
lain dari kalangan outsider, melainkan kalangan internal orang-orang Mu’tazilah
sendirilah yang menciptakan sebutan itu.20
Memperhatikan sejumlah pandangan alternasi di atas, dalam prekteknya teori yang
pertama adalah yang paling dipegangi oleh banyak orang.33 Pendapat ini menyebutkan
bahwa kata Mu’tazilah berasal dari ungkapan Hasan al-Bashri “i’tazala ‘anna” (dia
Washil bin Atha’ memisahkan diri dari kita), setelah melihat Washil bin Atha’
memisahkan diri darinya. Hal ini berarti sebutan Mu’tazilah tersebut memang bukan
berasal dari orang Mu’tazilah sendiri, melainkan dari kalangan out sider, yang bahkan
kurang sefaham dengan mereka. Menurut Fazlur Rahman, teori semacam inilah yang
umumnya telah dipegangi di kalangan komunitas umat Islam kaum Suni.21
Dengan dasar pamahaman semacam ini, maka Mu’tazilah berarti orang-orang
yang mengasingkan diri, baik dalam artian memisahkan dari forum (tempat) Hasan al-
Bashri maupun dari pandangan umum yang sudah berkembang masa itu—Khawarij yang
menjustifikasi kafir seorang Muslim pendosa besar, Murji’ah yang tetap memandangnya
mukmin pelaku maksiat—sehingga pandangan seperti itu bisa dikatakan bersifat unik.
Meskipun nama Mu’tazilah itu diberikan oleh orang luar, namun pemaknaan seperti itu
sama sekali tidak mengandung ejekan, sehingga pemaknaan kata Mu’tazilah sebagai
orang-orang tergelincir sudah pasti salah dan harus ditolak.
Hanya saja pada perkembangan selanjutnya, lebih-lebih di lingkungan masyarakat
yang mayoritas penduduknya berideologi Suni, tampaknya penmbelokan makna kata
Mu’tazilah ke arah yang negatif (ejekan) tidak mungkin dihindarkan. Kenyataan ini
mendorong para tokoh teras Mu’tazilah generasi belakangan memberikan interpretasi
19
M Muniron, Ilmu Kalam: Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisis Perbandingan, h.78-79
20
Shubhi, Fi Ilm al- Kalam, h.75-76
21
Rahman, Islam, h. 136-137
kata Mu’tazilah dengan pengertian yang berkonotasi positif. Al-Qadli Abdul Jabbar,
misalnya, sebagaimana diuraikan di atas, mengatakan bahwa arti kata Mu’tazilah adalah
golongan yang mengasingkan diri dari kelompok yang salah, sehingga term Mu’tazilah
secara ontologism mengandung makana pujian, bukan merupakan suatu ejekan. Dalam
rangka mendasari pandangannya ini, Mu’tazilah mengemukakan dalil berupa Qs. al-
Muzammil ayat 10.
Sebab-sebab dinamakan Mu’tazilah
Mengenai sebeb-sebab dinamakan Mu’tazilah, Ahmad Amin mengemukakan tiga
pendapat yaitu :
1. Dinamakan Mu’tazilah karena Washil ibn Atha dan Amr ibn Ubaid memisahkan diri
dari majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan al- Bashri dimasjid Bashrah. Washil
bin Atha memisahkan diri secara fisik (I’tazala) dari pengajian Hasan al- Bashri.
Orang yang memisahkan diri dinamakan Mu’tazilah.
2. Dinamakan Mu’tazilah karena pendapat mereka menjauhi pendapat lain yang
berkembang pada waktu itu. Pendapat Washil bin Atha bahwa pelaku dosa besar
tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir (al-manzilah ban al-manzilatain) telah
menjauhi atau memisahkan dengan pendapat golongan-golongan lainnya. Jumhur
ulama mengatakan tetap mukmin, Khawarij mengatakan kafir, dan Hasan al- Bashri
berpendapat tetap mukmin namun fasik.
3. Dinamakan Mu’tazilah adalah karena pelaku dosa besar berada antara mukmin dan
kafir, sama halnya memisahkan diri dari orang mukmin yang sempuna.22
Pengaruh Pemikiran Mu’tazilah di Indonesia

Intelektual Muslim Indonesia memperhatikan ajaran Islam yang cocok untuk


pembangunan negara, dan nilai-nilai Islam dapat dipadukan dengan rasionalisme.
Persoalan rutinitas dalam teologi dan hukum Islam atau Fiqih masih diperdebatkan,
tetapitidak menjadi perhatian utama intelektual. Yang lebih penting bagi mereka adalah
teologi pembangunan, isitilah Nurcholis Madjid “Gerakan pembahruan pemikiran
Islam”.23
Sumbangan yang paling penting dari Nurkholis Madjid untuk pengembangan
wacana islam indonesia adalah usaha beliau untuk memisahkan modernisme dan

22
Mawardy Hatta, Aliran Mu’tazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin :
IAIN Antasari Banjarmasin), h. 91
23
Zulhemi, “Epistimologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran
di Indonesia”, (Palembang, Dosen tetap Fakultas Ushuludin IAIN Raden Fatah Palembang, 2013) h.133
skriptualisme. Nurcholis Madjid memberikan penilaian yang lebih tentang bagaimana
muslim harus mendekati kemoderenan. Menurut Nurcholis Madjid, Muslim Indonesia
kembali mengalami kelambanan dalam pemikiran dan perkembangan pendidikan Islam.
Beliau menerangkan bahwa kebutuhan terhadap pembaharuan pemikiran lebih memaksa
ketimbang kebutuhan untuk mempertahankan kesepakatan intelektual umat.
Dalam pidatonya beliau menggambarkan organisasi modernis seperti
Muhammadiyah telah kaku, mungkin tidak mampu menangkap semangat dinamis dan
progresif dari gagasan perbaikan itu sendiri. Ia menghimbau untuk mengakhiri
perdebatan antar aliran dan beralih untuk memperjuangkan sebuah metode penalaran.
Muslim Indonesia yang tergabung gerakan Muhammadiyah dan gerakan organisasi
modernisme Islam lainnyamenekankan rasionalitas dalam usaha menghilangkan praktek-
praktek keagamaan tradisional, dan menegaskan bahwa Islam tidak hanya sekedar
mengizinkan, tetapi membutuhkan kemoderenan.
Tentang wacana di indonesia, diam-diam kemoderenan di pertegas dalam istilah
teknologi dan ilmu pengetahuan. Karena moderenisasi sebelumnya menggabungkan
rasionalitas teknologi serta ilmu pengetahuan dengan skritualisme Islam, maka persoalan
agama dikeluarkan dari wilayah kerja rasionalitas. Ini berarti konsep kaum modernis
tentang masyarakat Islam terbatas pada pemahaman literal ajaran sosial dari Al-Qur’an
dan Hadits.24

D. Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Pemikirnya


Mu’tazilah Basrah: Al-Ghurabi membagi golongan Mu’tazilah Basrah menjadi tiga
masa, yakni:25
a. Masa awal Mu’tazilah, yakni Mu’tazilah pada masa Wasil bin ‘Ata’ dan ‘Amru bin
‘Ubaid.
b. Masa pertengahan, yakni pada masa Abu al-Hudhail al-‘Allaf dan Al-Nazzam.
c. Masa akhir, yakni pada masa Abu ‘Ali al-Jubba’i dan Abu Hashim bin al-Jubba’i
Sebelum lebih jauh membahas tentang masa-masa Mu’tazilah, sebaiknya penulis
lebih dahulu mengungkapkan asal mula bibit ajaran Mu’tazilah. Beberapa peneliti,
seperti Al-Ghurabi secara eksplisit menyinggung Al-Hasan al-Basri sebagai pembawa
bibit ajaran Mu’tazilah.26 Walaupun dari beberapa ajaran Mu’tazilah tidak bermuara dari

24
Zulhemi, “Epistemologi pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran di
Indonesia”, .33-134
25
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 54
26
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 46.
ajaran Al-Hasan al-Basri, tetapi setidaknya Al-Hasan al-Basri mempunyai andil yang
amat besar bagi pengembangan ajaran Mu’tazilah.Untuk lebih jelasnya, penulis
membahas Al-Hasan al-Basri dan beberapa ajarannya yang kemudian ada yang diadopsi
oleh ajaran Mu’tazilah.

1. Al-Hasan Al-Basri
Namanya Al-Hasan bin Abi al-Hasan bin Yasar. Ayahnya seorang hamba sahaya
Ansar yang berasal dari sebuah daerah yang bernama Sabi Maisan.Ibunya bernama
Khairah, hamba sahaya Umm Salamah, isteri Rasul Allah.27Ketika Al-Hasan dilahirkan,
kedua orang tuanya masih menjadi hamba sahaya, sehingga iapun berkembang menjadi
seorang sahaya. Setelah dewasa, ia mengabdi kepada Zaid bin Thabit. 28Menurut Abu al-
Mahasin, ia seorang sahaya Hamid bin Qahtabah.29Perselisihan pendapat mengenai siapa
tuan Al-Hasan, tidak terlalu penting karena pada dasarnya, Al-Hasan memang seorang
sahaya. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. pada masa pemerintahan ‘Umar bin
al-Khattab. Dia terkenal dengan julukan Abu Sa’id dan dia tidak hanya mendapat gelar
sebagai Imam Ahl Basrah bahkan juga Imam pada masanya.30
Dia dilahirkan di Madinah sebuah kota pusat ilmu pengetahuan agama, karena di
sanalah Rasul dan para sahabatnya berada.. Dia dipelihara di rumah Umm .Salamah,
salah seorang isteri Nabi Muhammad saw. Ketika ibunya tidak di rumah, ia menyusu
pada Umm Salamah. Suatu ketika ia diajak keluar Umm Salamah menemui para sahabat
Nabi dan mereka mendoakannya dengan baik. Kemudian ia berkembang dewasa di
sebuah desa, lalu mengabdi pada Zaid bin Thabit. Dia banyak bergaul dengan para
sahabat Nabi, sehingga ia banyak menimba ilmu agama dan sering mendengar hadis
Rasul Allah dari mereka.31
Al-Hasan al-Basri hidup dalam lingkungan tempat ilmu dan pengetahuan
berkembang.Karena itulah lingkungannya menjadikannya seorang ilmuwan. Di samping
ilmu yang diperolehnya di Madinah, ia juga sempat mengenyam kehidupan di masa
pemerintahan ‘Umar bin al-Khattab, menyaksikan pemberontakan terhadap ‘Uthman bin
‘Affan dan melihat pertikaian politik antara ‘Ali bin Abi Talib dan ‘A’isah binti Abu
Bakar al-Siddiq, Talhah bin alKhuwailid dan Zubair bin ‘Awwam pada perang Jamal

27
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 41.
28
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 41.
29
Al-Ghurabi, Tarikh alFiraq, h. 41
30
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 41.
31
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 42.
dan antara ‘Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada perang Siffin,
kemudian ia tinggal di Basrah. Ia wafat pada masa pemerintahan Bani Umayah pada
tahun 110 H.4.32
Pengalaman hidupnya yang panjang dan penuh dengan peristiwa-peristiwa penting,
memberi pengaruh yang amat besar bagi perkembangan intelektual Al-Hasan al-Basri,
sehingga ia tumbuh menjadi seorang pakar intelektual yang banyak dijadikan rujukan
bagi pencari ilmu di masanya. Ia pandai dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fikih,
sastera, hadis, tafsir, nasihat, ilmu politik, hukum dan ilmu akidah yang kesemuanya
merupakan sumber ilmu pengetahuan agama Islam.

Pemikiran Al-Hasan al-Basri: 33


1. Iman:
Menurut Al-Hasan al-Basri, seseorang tidak dinamakan seorang mukmin jika
tidak mencerminkan keimanannya dalam bentuk perbuatan. Seseorang yang
meninggalkan kewajiban salat tidak dapat disebut sebagai seorang mukmin, karena ia
telah melanggar kewajiban. Ia juga tidak disebut sebagai seorang kafir, karena jika tidak
ada kewajiban melakukan salat, sebenarnya ia masih mukmin, sebab ia pernah
mengucapkan shahadat. Demikian pula halnya seseorang yang tidak melaksanakan rukun
Islam lainnya seperti zakat, puasa dan haji.Sama halnya dengan orang yang melanggar
larangan Tuhan seperti melakukan zina, minum minuman keras, mencuri, membunuh dan
lain-lainnya, dia tidak disebut orang mukmin karena adanya kewajiban untuk
menjauhinya.
2. Pelaku dosa besar:
Berkaitan dengan konsepnya tentang iman, seseorang yang melakukan dosa besar
juga tidak disebut sebagai seorang mukmin, tetapi seorang munafik, dalam arti ia bukan
seorang mukmin murni juga bukan seorang kafir murni. Kedua pendapatnya di atas
merupakan bibit ajaran Mu,tazilah tentang konsep iman yang harus meliputi tiga inti
iman, yakni membenarkan adanya Tuhan di dalam hati, mengucapkanpengakuan atas
eksistensinya dengan lisan dan mengapresiasikan keimanannya dalam bentuk perbuatan.
Sedangkan pendapatnya mengenai pelaku dosa besar yang dikatakan bukan mukmin dan
juga bukan kafir, juga memberi inspirasi pada ajaran Mu’tazilah tentang almanzilah bain
al-manzilatain (berada di antara dua posisi) Akan tetapi bedanya, jika Al-Hasan

32
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, hl. 42.
33
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, hl. 44 – 47.
menyebut posisi pelaku dosa besar ini sebagai seorang munafik dalam arti bukan mukmin
murni dan bukan kafir murni, tetapi dalam ajaran Mu’tazilah menyebutnya dengan tidak
mukmin dan tidak kafir ini sebagai berada di antara dua posisi.
3. Perbuatan manusia:
Menurut Al-Hasan al-Basri, perbuatan maksiyat dan kejahatan manusia itu berasal
dari dirinya sendiri, tetapi perbuatan baiknya berasal dari Tuhan, tetapi di saat lain,
AlHasan al-Basri mengatakan bahwa perbuatan jahat dan perbuatan baik manusia
semuanya merupakan usaha manusia itu sendiri dan tidak ada campur tangan Tuhan di
dalam perbuatan manusia.Dalam hal ini, seolah-olah Al-Hasan al-Basri mempunyai
pendapat yang berubahubah. Keadaan seperti ini menurut Al-Ghurabi bisa dimaklumi,
karena pada saat itu, ajaran Islam belum dikodifikasi secara sistematis dan akidah Islam
belum ditulis secara baku. Tidak ada hadis yang secara jelas menyebut salah
satunya.Pendapat ini hanya didasarkan pada beberapa teks ayat al-Qur’an yang sekali
tempo secara tekstual menyatakan bahwa perbuatan baik manusia dari Allah, sedangkan
perbuatan jahatnya dari dirinya sendiri.

Tetapi di lain ayat juga menyebutkan bahwa semua perbuatan manusia yang baik
atau yang jahat berasal dari Allah, dan di ayat lain menyebutkan bahwa manusia itu
sendirilah yang menentukan perbuatannya, baik atau jahat merupakan pilihannya dan
diserahkan kepadanya sepenuhnya, sebab Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang,
bila ia tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri.

2. Al-Nazam
Nama lengkapnya Ibrahim bin Sayyar bin Hani AlNazam adalah tokoh
Mu’tazilah terkemuka, lancar berbicara, banyak mendalami filsafat dan banyak pula
karyanya.Ketika kecil ia banyak bergaul dengan filosof-filosof pada masanya. 34 Al-
Nahzam, demikian ahli-ahli sejarah pada zamannya mencatat, adalah perlambang
ketajaman ingatan, keluasan, tinjauan, kebebasan berpikir, kemurnian ungkapan dan
berlebih lebih lagi perlambang pengertian-pengertian yang teramat halus.

Di dalam bidang sastra Al-Nazham meninggalkan sekian banyak bait sajak


dengan ungkapan-ungkapan amat terkenal sekali. Kalimatnya pendek-pendek tetapi
pengertiannya halus dan dalam.Disamping ahli sastra yang dikagumi para penyair masa
34
A.Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta Pustaka Al-Husna, 1989), h. 65
itu, maka iapun seorang ahli pikir yang tajam.Disitu sengaja digunakan kata tajam
didalam pengertian yang seluas-luasnya, bahkan gurunya sendiri, Abu Huzail Al-Allaf,
lumer didepannya bagaikan salju didepan kehangatan. Juga Al-Syahrastani didalam
karyanya Milal dan Nahal menyatakan Al-Nazham itu sangat kuat mendalami filsafatgrik
dan titik berat pemikirannya ialah membatah paham kaum naturalis, bukan paham-paham
Theologis.

An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.


Karena Tuhan itu Maha Adil, ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini
berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mengatakan bahwa Tuhan
mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu
bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat
zalim. Ia berpendapat bahwa perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh
dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga
mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat Al-Qur’an. Menurutnya, mukjizat al-qur’an
terletak pada kandungannya, bukan pada usulub atau gaya bahasa dan balagah (retorika)-
Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya
sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah
sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.35

3. Wasil bin Atha


Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Mu’tazilah. Adanya ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-
manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran
Kadariyah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.36 Dua dari tiga ajaran itu kemudian
menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Washil bin Atha, nama lengkapnya Abi Hudfaifah Washil bin Atha al-
Ghazzal, lahir pada tahun 80 H./700 M, di Madinah dan wafat pada tahun 131 H./750 di
Bashra.37

35
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, h. 5
36
Zulhemi, “Epistemologi pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran di
Indonesia”(Palembang, Dosen tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang, 2013) h. 4
37
Udi Mufradi Mawardi, Teologi Washil Ibn ‘Atha (Banten, Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat IAIN SMH Banten, 2017) h. 19
4. Abu Huzail al- Allaf
Abu Huzail al- Allaf wafat 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashra. Dari sekolah ini, pemikiran
Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang
rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya
pada masa Khalifah AL-Makmun (Dinasti Abbasyiyah). Mu’tazilah sempat menjadi
mazhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengkokohkan dominasi
mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng mazhab rasionalisme
dalam Islam ini. Abu Huzail al- Allaf adalah seorang filsuf Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah Yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang
bercorak Filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat.38

Ia menjelaskan bahwa Tuhan maha mengetahui dengan pengetahuan-Nya dengan


segala pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya; Tuhan maha kuasa dengan
kekuasaan-Nya adalah zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan yang dimaksud oleh Abu
Huzail itu untuk mengetahui adanya kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat
dalam arti sesuatu yang melekat di luar zar Tuhan, berartu sifat-Nya itu kadim. Ini akan
membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan
menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik
dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi
perbuatan yang buruk.
Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya
Tuhan dan tentang kewajiban berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-
dasar dari ajaran as-salah wa al-aslah.

5. Al- Jubba’i
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa
tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan
mengetahui, berarti ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, melalui esensi-Nya,
bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya kedalam dua
kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah
38
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, h. 4
‘aqilah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para
rasul dan nabi (wajibah syar’iah).
6. Al-Jahiz
Dalam tulisan-tulisan Al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism
atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum mu’tazilah disebut Sunnah Allah. Ia
antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya
diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada pengaruh hukum alam.39

7. Mu’ammar bin Abbad


Mu‟ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya
tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz.
Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-„arad
atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam.
Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan
oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
8. Bisyr al-Mu’tamir Bisyr
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia.
Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat
kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu
mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah
bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
9. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena
pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir
semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa
di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala40.

10. Hisyam bin Amr al-Fuwati


Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah
ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya
menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga
dan neraka.

39
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, h. 5
40
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, h. 6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aliran Mu’tazilah muncul sebagai tokoh-tokoh muslimyang membela aqidah Islam
dari pengaruh-pengaruh dari luar dan dari dalam kalangan Islam sendiri. Walaupun pada
awalnya gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan belaka timbulnya dipelopori
oleh orang-orang shaleh yan merasa terpanggil untuk meluruskan keesaan dan keadilan
Tuhan yang telah tercemar dan rusak. Keaadaan Tuhan dikemukakan oleh al-Nazham
berkaitan erat dengan iradat (kehendak Allah) dan qudrot (kekuasaan Allah). Sejalan
dengan dengan prinsip As-Salah wa Al-Aslah bahwa Tuhan harus melakukan yang baik
dan yang terbaik bagi manusia.
B. Saran
Pada esensinya manusia hidup didunia ini selalu dihadapkan pada suatu kenyataan
yang bersifat riil. Bahwa segala persoalan yang terjadi diantara manusia secara nyata
hanya dapat diselesaikan dan diatasi melalui realitas yang ada pada manusia, bahwa ia
bisa mengamati dengan panca indera dan mengetahui serta berpikir dengan kal yang
diberikan Tuhan padanya.
Namun kenyataan bahwa tak semua persoalan manusia itu terselesaikan hanya dengan
melalui realitas yang ada, akan tetapi suatu kekuatan yang bersifat metafisik sangat
mempengaruhi segalanya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin (1966), Dhuba al- Islam, Juz III, Al- Nahdhah al- Mishriyah, Cairo
Ahmad Hanafi (1980). Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna.
Ali Sami al-Nasysyar (1966). Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fil Islam I. Cairo: Darul
Ma’arif.
Harun Nasution (1986). Teologi Islam,Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Harun Nasution (1992). Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Bulan Bintang Jakarta
Harun Nasution (2019). Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Asa Riau (CV. Asa
Riau).
Kiswati Tsuroya (2012). Ilmu Kalam Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran dan Analisa
Perbandingan, IAIN Sunan Ampel Surabaya
Mawardy Hatta (2013). Aliran Mu’tazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran
Islam. Jurusan Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN
Antasari Banjarmasin.
Nurul Fatihah (1997). Ajaran Ushulul Khamsah Aliran Mu’tazilah, Fakultas
Ushuluddin Surabaya IAIN Sunan Ampel
Rohidin (2018). Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, SDN 60 Benteng/
Mahasiswa Pasca IAIN Bengkulu.
Thahir Thaib, Add. Mu’in (1986). Ilmu Kalam, Penerbit Widjaya, Jakarta
Udi M. Mawardi (2017). Teologi Washil Ibn ‘Atha. Banten Lembaga Penelitian dan
Pengabdian KepadaMasyarakat.
Zulhemi (2013). Epistemologi pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap
perkembangan pemikiran di Indonesia. Palembang Fakultas Ushuluddin
IAIN Raden Fatah.

Anda mungkin juga menyukai