Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ILMU KALAM
“ALIRAN MU’TAZILAH”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4 :


Tajudin Ahmad
Sena Herlangga
Muhammad Dzaki Nurullah

Program Studi Ilmu Al – Qur’an Tafsir


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ASY SYUKRIYYAH
Jl. KH. Hasyim Ashari No.003 KM Kel.Poris Plawad Indah Kec. Cipondoh Kota Tanggerang 15141

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan
puji dan sukur kehdirat Allah SWT , yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta
inayah-nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyesaikan laporan Makalah Ilmu
Kalam kami yang berjudul “Mu’tazilah”

Makalah ilmiah ini telah kami susun secara maksimal, atas kerja samanya dari tim,
sehingga laporan makalah ini bisa selesai dengan lancar. Untuk itu, kami selaku penyusun,
banyak berterimakah kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu atas
segala bantuan dan supportnya selama ini.

Kami menyadari, makalah yang kami buat jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca, guna menghasilkan laporan makalah yang lebih baik.

Kami berharap, makalah ilmiah tentang Aliran Mu’tazilah yang kami susun bisa
memberikan manfaat dan inpirasi bagi pembaca.

Tangerang, 4 Nopember 2021

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, terdapat berbagai aliran pemikiran


kalam. Diawali oleh pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah bin Abi
Sufyan, yang berujung pada peristiwa tahkim, munculah pertentangan-pertentangan teologis
di kalangan umat Islam. Sebagai akibat adanya kesepakatan tahkim tersebut, muncullah
aliran teologi yang pertama dalam sejarah Islam, yaitu Khawarij.

Dalam pandangan Khawarij, penyelesaian sengketa antara Ali bin Abi Thalib dengan
Mu‘awiyah yang berakhir dengan tahkim tersebut bukanlah penyelesaian yang sesuai dengan
tuntunan Allah dalam al-Qur’an. Dengan berpijak pada {QS. Al-Maidah : 44} mereka
menganggap orang-orang yang menerima tahkim, sebagai pelaku dosa besar dan dihukumi
telah kafir. Atas pernyataan aliran Khawarij tersebut, kemudian muncul aliran kedua, yaitu
Murji‘ah, sebagai antitesa bagi Khawarij. Aliran ini berpendapat bahwa orang mukmin yang
melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir melainkan tetap mukmin, karena ia masih
memiliki harapan mendapatkan ampunan dari Allah, dan pembicaraan mengenai statusnya
pun ditangguhkan sampai hari akhir.

Disebabkan perdebatan kedua aliran tersebut, kemudian muncul aliran Mu‘tazilah


dengan paham posisi tengah. Aliran ini tidak menyebut pelaku dosa besar sebagai kafir
sebagaimana aliran Khawarij, juga tidak menyebut mukmin sebagaimana golongan Murji‘ah.
Namun, mereka memberikan predikat kepada pelaku dosa besar sebagai fasiq.

Perbedaan pendapat yang bermula dari status dan tempat bagi pelaku dosa besar,
kemudian berkembang pada aspek-aspek teologi yang lain. Pembahasan tentang sifat-sifat
Allah, rasul, al-Qur’an dan lain-lain menjadi perdebatan tajam, hingga menelan banyak
korban. Hal ini terjadi setelah aliran Mu‘tazilah ditetapkan menjadi faham resmi negara pada
permulaan kekuasaan Daulah Bani Ab-Basiyah, yaitu masa pemerintahan Khalifah al-
Ma’mun. Kejadian yang memakan banyak korban ini berlangsung hingga masa kekuasaan al-

3
Mu‘tashin dan al-Watsiq, dengan adanya “mihnah” atau yang populer dengan sebutan mihnat
al-Qur’an.

Setelah berkuasa selama tiga periode khalifah, aliran ini pun mulai redup dan tergeser
dari pusat pemerintahan. Sebagai aliran yang paling rasional, dan kerasionalan tersebut
dianggap melampaui batas kemampuan akal manusia, Mu‘tazilah pun mendapat pertentangan
banyak kalangan. Hal ini kemudian memunculkan aliran Ash‘ariyah, yang didirikan oleh
seorang ulama besar yang merupakan “anak intelektual” Mu‘tazilah, Abu Musa al-Ash‘ari.
Dalam waktu yang hampir bersamaan muncul pula aliran Maturidiyah, yang keduanya
menjadi antitesis terhadap pandangan-pandangan rasional yang dikembangkan oleh
Mu‘tazilah.

Di atas pondasi tauhid atau teologi inilah segala ajaran dan syariat agama dibangun
dan diletakkan untuk dijalankan pemeluknya dalam rangka mencapai kehidupan yang baik
dan bahagia, di dunia dan di akhirat. Artinya, apabila tauhid seseorang atau sebuah
komunitas, itu lurus dan benar, niscaya akan menghasilkan bangunan syariat yang lurus di
atasnya. Demikian pula sebaliknya, jika tauhid yang menjadi pondasi tersebut bengkok dan
rapuh, maka bangunan di atasnya tidak akan dapat berdiri tegak dan lurus, bahkan mudah
roboh.

Semua ajaran Islam, khususnya tauhid yang dibahas dalam ilmu kalam tersebut
bersumber dari al-Qur’an dan al-hadits. Seluruh aliran kalam, baik Khawarij, Murji‘ah,
Mu‘tazilah, maupun Ash‘ariyah dan Maturidiyah, mendasarkan pandangan dan pendapat-
pendapat mereka kepada kedua sumber ajaran Islam tersebut. Namun demikian, pandangan
dan pendapat-pendapat mereka berpijak dan berdasar atas sumber yang sama, disebabkan
oleh perbedaan interpretasi dan pemahaman terhadap kedua sumber tersebut, menghasilkan
pemahaman yang berbeda, yang kemudian menimbulkan aliran kalam yang berbeda pula.

Dikarenakan bersumber dari al-Qur’an dan al-hadits, diperlukan pengkajian yang


mendalam untuk dapat menggali pesan dari kedua sumber pokok Islam tersebut. Sudah
barang tentu yang demikian bertujuan untuk mendapatkan hasil interpretasi yang benar, yang

4
dapat dijadikan pegangan dan tuntunan dalam melaksanakan ajaran agama secara benar dan
menyeluruh. Ini berarti, al-Qur’an membutuhkan perhatian yang serius dari para pemeluknya
untuk dapat diketahui dan dipahami kandungannya, yang tentu memerlukan peran besar para
mufasir dan pengkaji al-Qur’an. Walaupun tidak menutup kemungkinan setiap penafsiran
mendapatkan hasil yang berbeda. Pembatasan Masalah

Dalam sejarah perkembangan peradaban Islam, telah dikenal secara luas bahkan
kemudian diikuti sebagai idiolgi para pemeluknya, dua corak aliran pemikiran kalam, yaitu
corak aliran kalam tradisionalis dan rasionalis. Pemikiran kalam bercorak tradisionalis adalah
pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat bagi manusia,
memberikan porsi daya yang kecil kepada akal, serta kekuasaan kehendak Tuhan semutlak-
mutlaknya. Di samping itu, juga terikat pada makna harfiah teks dalam memberikan
interpretasi dan memahami ayat-ayat al-Qur’an.

Adapun pemikiran kalam bercorak rasional adalah pemikiran kalam yang


memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada
akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas. Di samping itu, juga tidak terikat
kepada makna harfiyah teks dan banyak memakai makna metafor atau majazi dalam
memberi interpretasi ayat-ayat al-Qur’an.

Tema kalam merupakan tema yang luas. Banyak topik yang dibahas di dalamnya, dari
pembahasan tentang Tuhan, wahyu, rasul, manusia dan takdirnya, hingga hari akhir.
Disebabkan hal itu, penelitian ini akan menfokuskan pada beberapa aspek dari kajian kalam
yang paling dominan dalam mempengaruhi pola hidup dan cara seseorang (masyarakat)
menghadapi dan menjalani kehidupannya, dalam dua aspek, yaitu problem Ketuhanan dan
problem Kemanusiaan.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa pengertian Mu’tazilah
b) Latar belakang aliran Mu’tazilah
c) Siapa sajakah tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah

5
d) Seperti apakah ajaran-ajaran pokok aliran Mu’tazilah

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui Pengertian Mu’tazilah.
2. Mengetahui awal mula lahirnya aliran Mu’tazilah.
3. Mengenal tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah.
4. Memahami ajaran-ajaran pokok aliran Mu’tazilah.

6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aliran Mu’tazilah
2.2 Latar belakang kemunculan mu’tazilah
Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari I’tazal yang berarti “berpisah” atau
“memisahkan diri” yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan diri” secara teknis
mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan . Golongan pertama di (sebut Mu’tazilah I),
muncul sebagai respons politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum enteral politik,
khususnya dalam arti sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi
Thalib dan lawan-lawannya terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut
beberapa kalangan , ggolongan yang netral politik masa inilah yang sesungguhnya di sebut
dengan kaum Mu’tazilah, karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah Khilafah.
Kelompok yang menjauhkan diri ini bersifat netral politik tanfa stigma teologis seperti yang
ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh kemudian hari.
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respons
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah karena peristiwa
Tahkim. Golongan Mu’tazilah ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan
Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian setatus kafir kepada orang yang berbuat dosa
besar.
Mu’tazilah II inilah yang akan di kaji dalam makalah ini, yang sejarahnya timbulnya
memiliki banayak versi. Beberapa versi analisis tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada
golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi pada Washil dan Atha (…-131 H),
serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid, dan Hasan Al Basri (30-110 H) di Basrah. Pada saat
Washil mengikuti pelajaran yang di berikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah, datang
seseorang yang bertanya mengenai pendapatnnya tentang orang yang berbuat besar. Ketika
Hasan Al Basri masih berpiikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan, “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan
bukan pula Kafir, melainkan berada pada posisi di antara keduanya, tidak mukmin dan tidak
kafir. “Kemudian Washil menjaukan diri dari Hasan Al-Basri, pergi ke tempat lain di
lingkungan Mesjid. Disana, Washil mengulangi pendapatnya pendapatnya di hadapan para
pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al Basri, Berkata “Washil menjauhkann
diri dari kita (I’tazala ‘Anna).” Menurut Asy-Syahratani (474-548 H), Kelompok yang
memisahkan diri dari peristiwa di atas di sebut kaum Mu’tazilah.
Versi lai yang di kemukakan oleh Al Bhagdadi (w. 409 H) menyatakan bahwa Washil
dan temannya, ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab, di usir oleh Hasan Al-Basri dari mejlisnya karena
ada pertikaian di antara mereka tentang masalah kadar dan orang-orang berdosa besar.
Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berbuat

7
dosa besar itu Mukmin dan tidak Kafar. Oleh krena itu, golongan itu di namakan golongan
Mu’tazilah
Versi lain di temukan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin
Da’amah (w. 118 H) pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan Majelis
‘Amr bin ‘Ubaid yang di kira adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah Qatadah
mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan Majelis Hasan Al-Basri, iya berdiri dan
meninggalkan tempat sambal berkata , “ini kaum Mu’tazilah” Sejak itulah kaum tersebut di
namakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi (w. 956 M) memberikan keterangan tentang asal usul kemunculan
Mu’tazilah dengan tidak menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Washil dan Hasan
Al-Basri . mereka di beri nama Mu’tazilah karena berpendapat bahwa orang yang berdosa
bukan orang mukmin dan bukan pula kafir, melainkan menduduki tempat di antara Mukmin
dan Kafir (Al-Manzilah bain Al-MAnzilatain). Dalam arti memberi status orang yang berbuat
dosa besar jauh dari golongan Mukmin dan Kafir.
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin(1886-1954 M). Menerangkan
bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Washil dan Hasan Al-
Basri, dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama Mu’tazilah
di berikan kepada golongan orang-orang yang tidak mau intervensi dalam pertikaian politik
yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian
disana, yaitu satu golongan yang mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain
menjaukan diri ke Kharbita. (‘Itazalat Ila Kharbita). Oleh karean itu, dalam surat yang di
kirimkan kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamakan golongan yang menjauhkan diri
tersebut dengan Mu’tazilin, sedangngkan Abu Al-Fida’ (1273-1331 M). Menamakan dengan
Mu’tazilah.
Dengan demikian, kata I’tazala dan Mu’tazilah telah digunakan kira-kira setelah
seratus Tahun sebelum peristiwa Washil dan Hasan Al-Basri, yaitu dalam arti golongan yang
tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.
Carlo Alfonso (CA) Nallino seseorang orientalis italia mengemukakan pendapat yang
hamper sama Ahamad Amin dan selaras dengan Mas’udi, Ia berpendapat bahwa nama
Mu’tazilah sebenernya bukan Berarti “Memisahkan diri dari umat islam lainnya”
Sebagaimana pendapat Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, dan Tsyi Qurba Zadah. Nama
Mu’tazilah di berikan kepada mereka karena berdiri netral antara Khawarij dan Murjia’ah
oleh karena itu, golongan mu’tazilah II, Mempunyai hubungan erat dengan Mu’tazilah I.
Pendapat Nallino tersebut dibantah oleh ‘Ali Sami An-Nasysyar yang mengatakan
bahwa golongan Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu
pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah I yang disebut kaum netral politik.
Golongan mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain, seperti Ahl Al-Adl yang
berarti golongan yang mempertahankan keadilan tuhan dan Ahl At-Tauhid wa Al-‘Adl yang
berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan tuhan. Adapun lawan

8
Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan nama Al-Qodariah , dengan alas an mereka
menganut faham Free will and free act, yaitu manusia bebas berkehendak dan bebas
berbuat; Menanamkan juga Al-mutahilah, karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa
tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud diluar dzat tuhan ;
Menanamkan juga Wa’diyyah, karena mereka berpendapat ancaman tuhan tuhan itu pasti
menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum tuhan.
2.3 Al-Ushul Al-Khamsah : Lima Ajaran dasar Teologi Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam Al-Ushul Al-Khamsah adalah
At-Tauhid (Pengesaan Allah), Al-adl (Keadilan Tuhan), Al-Wa’d wa Al Wa’id (Janji dan
Ancaman tuhan), Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi), dan Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar (Menyeru pada kebaikan dan mencegah pada
kemungkaran).
1. At-Tauhid
At-Tauhid (Pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran
Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Akan
tetapi, bagi Mu’tazilah Tauhid memiliki arti yang spesipik. Tuhan harus di sucikan dari
segala sesuatu yang dapat arti kemahaesaannya. Tuhan satu-satunya Esa, yang unik, dan
tidak satupun menyamainnya. Oleh karena itu, hanya dialah yang Qadim. Apabila ada yang
Qadim lebih dari satu, telah terjadi Ta-‘Addud Al-Qudama’ (Berbilangan dzat yang tidak
berpermulaan).
Untuk memurnikan keesaan tuhan (Tanzih) , Mu’tazilah menolak konsep tuhan
memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan(Antropomorfisme/tajassum), dan tuhan dapat
dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu Esa, tidak ada stupun
yang menyerupai-nya. Dia maha melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya.
Itu bukan sifat, melainkan dzat-Nya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat.
Apabila sifat Tuhan yang qadim, ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat Nya. Washil bin
Atha' seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani berkata, "Siapa yang mengatakan sifat yang qadim
berarti telah menduakan Tuhan."¹3 Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan
syirik.
Apa yang bisa disebut sebagai sifat menurut Mu'tazilah adalah dzat Tuhan. Abu Al-
Hudzail (w. 89 H)¹4 pernah berkata, "Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah
Tuhan, berkuasa dengan kekuasaaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan. 15 Dengan demikian,
pengetahuan dan ke kuasaan Tuhan adalah Tuhan, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat
yang menempel pada dzat-Nya.
Mu'tazilah berpendapat bahwa Al-Quran itu baru (diciptakan); Al Quran adalah
manifestasi kalam Tuhan; Al-Quran terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang antara
satu mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat ada sedikit perbedaan antara Al-Jubba'i (w. 321 H/933 M)
16 dan Abu Hasyim" atas pernyataan, "Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya." Menurut Al-

9
Jubba'i, arti pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat pada sifat
dalam bentuk penge tahuan atau keadaan mengetahui. Menurut Abu Hasyim, Tuhan
memiliki keadaan mengetahui. Meskipun demikian, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat.
Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu Al-Hudzail mengambil konsep nafy ash-
shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles, 19 agaknya beralasan apabila para
pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut paham
keadilan dan keesaan Tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah
dan menempatkan-Nya benar-benar adil.
Doktrin tauhid Mu'tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang
dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala
yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu'tazilah tidak dapat diterima oleh akal
dan itu adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya.
Tegasnya, Mu'tazilah menolak antropomorfisme.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan atas pertimbang an akal,
melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Quran. Mereka berangkat dari
pernyataan Al-Quran yang berbunyi:
{Qs, Asy-Syura :11}
.. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia....."
(Q.S. Asy-Syura [42]: 11) Tidak dapat dipungkiri bahwa Mu'tazilah, sebagaimana
aliran lain- telah terkena pengaruh filsafat Yunani. Akan tetapi, hal itu tidak menjadikannya
sebagai pengikut buta Hellenisme. Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak
waktu dan energi telah membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang
kuat, pemikiran Hellenistik yang telah mereka pelajari dijadikannya senjata mematikan
terhadap serangan para penentangnya, yaitu para muhadditsin, rafidhah, dan berbagai aliran
keagamaan India.
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu'tazilah memberi
takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu dengan
cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti lain sehingga hilang kejisiman Tuhan. Tentu,
pemindahan arti ini tidak dilakukan dengan semema-mena, tetapi merujuk pada konteks
kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan
di sini. Misalnya, kata tangan (Q.S. Shad [38]: 75) diartikan kekuasaan dan pada konteks
yang lain tangan (Q.S. Al-Ma'idah [5]: 64) dapat diartikan nikmat. Kata wajah (Q.S. Ar-
Rahmän [55]: 27) diartikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy (Q.S.Thähä (20):5) diartikan
kekuasaan.22
Penolakan Mu'tazilah terhadap pendapat bahwa Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala
merupakan konsekuensi logis dari penolakannya ter hadap antropormofisme. Tuhan adalah
immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk.

10
Yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan memiliki ruang. Andai Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala di akhirat, tentu di dunia pun dapat dilihat oleh mata kepala.23 Oleh
karena itu, kata melihat (Q.S. Al-Qiyamah [75]: 22-23) ditakwilkan dengan mengetahui
(know).24
2. AL-ADL
Ajaran dasar Mu'tazilah yang kedua adalah al-adi yang berarti Tuhan Mahaadil.
Adil adalah suatu atribut yang paling jelas untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena
Tuhan Mahasempurna, sudah pasti Dia adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan
Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Hal ini karena alam semesta
diciptakan untuk ke pentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya
yang baik (ash-shalah) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula
Tuhan itu adil apabila tidak melanggar janji-Nya.25 Dengan demikian, Tuhan terikat
dengan janji-Nya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut.
a) Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu'tazilah, melakukan dan menciptakan perbuat annya
sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secaralangsung maupun
tidak. 26 Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik
atau buruk. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Tuhan hanya menyuruh dan
menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik
dan yang dilarang-Nya tentu lah buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk.
Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apa pun nanti
yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia, yaitu
kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan. Itulah keadilan
karena ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa.
b) Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah Arab, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah wa al ashlah.
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia.
Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan
penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku
jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti la tidak adil. Dengan
sendirinya, Tuhan juga tidak Mahasempurna.27 Bahkan, menurut An-Nazzam, salah
satu tokoh Mu'tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat.28 Konsep ini berkaitan dengan
kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-
Nya. Artinya, apabila Tuhan tidak bertindak seperti itu, berarti la tidak bijaksana, pelit,
dan kasar/kejam.29
c) Mengutus Rasul

11
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-
alasan berikut ini.
1) Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapatterwujud, kecuali
dengan mengutus Rasul kepada mereka.
2) Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk mem berikan belas
kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Syu'ara' [26]: 29). Cara yang terbaik untuk
maksud tersebut adalah dengan pengutusan Rasul.
3) Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus Rasul.30

3. AL-WA'D WA AL-WA'ID
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa'd
wa al-wa'id berati janji dan ancaman. Tuhan yang Mahaadil dan Mahabijaksana,
demikian kata Mu'tazilah, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan
dibatasi oleh janji-Nya. Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk surga bagi yang
berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka
(al-'ashi) pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang
yang bertobat nasuha pasti benar adanya,31
Memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan dosa bagi orang yang
durhaka tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh Tuhan karena sudah dijanjikan. Ini sesuai
dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapa pun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan;
siapa pun berbuat jahat akan dibalas dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunai kan janji-
Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat,
kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali
yang telah tobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabakan pelakunya masuk
neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar. Terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin
mengampuninya.32 Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik
dan tidak main-main dengan perbuatan dosa.

4. AL-MANZILAH BAIN AL-MANZILATAIN


Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu'tazilah. Ajaran
ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti
tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir, bahkan
musyrik. Menurut Murji'ah, orang itu tetap mukmin dan dosanya diserahkan kepada
Tuhan. Mungkin dosa tersebut diampuni Tuhan. Pendapat Washil bin Atha' (pendiri
mazhab Mu'tazilah) lain lagi. Orang tersebut berada di antaradua posisi (al-manzilah bain
al-manzilatain), Karena ajaran inilah, Wash bin Atha' dan 'Amr bin Ubaid harus
12
memisahkan diri (l'tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al-Bisri. Berawal dari ajaran itulah
dia membangun mazhabnya,

Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan meninggal
sebelum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu (1914-1993 M) dengan
mengutip Ibn Hazm (w. 456 H), meng uraikan pandangan Mu'tazilah sebagai berikut,
"Orang yang melaku kan dosa besar disebut fasiq. la bukan mukmin, bukan kafir, bukan
pula munafik (hiporkit), "Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan bahwa
sikap Mu'tazilah adalah membolehkan hubungan pernikahan dan warisan antara mukmin
pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.³4

Menurut pandangan Mu'tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai
mukmin secara mutlak karena iman menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak
cukup hanya pengakuan dan pembenaran, Berdosa besar bukanlah kepatuhan, melainkan
kedurhakaan. Orang ini tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena masih percaya
kepada Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya, jika meninggal
sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya karena di akhirat
hanya terdapat dua pilihan, yaitu surga dan neraka. Orang mukmin masuk surga dan
orang kafir masuk neraka. Orang fasiq dimasukkan ke neraka hanya siksaannya lebih
ringan daripada orang kafir.35 Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan "kelas"
yang lebih rendah dari mukmin sejati? Tampaknya Mu'tazilah ingin mendorong agar
manusia tidak menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.

5. AL-AMR BI AL-MA'RUF WA AN-NAHY'AN AL-MUNKAR


Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran
(al-amr bi al-ma'ruf wa an-nahyu an al-munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan
pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang.
Pengakuan keimanan harusdibuktikan dengan perbuatan baik, di antaranya dengan
menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma'ruf dan nahi munkar, seperti yang
dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar (w. 1024), yaitu:
a) ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu ma'ruf dan yang dilarang itu munkar.
b) ia mengetahui bahwa kemungkaran telah dilakukan orang,
c) ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma'ruf atau nahi munkar tidak akan membawa
madharat yang lebih besar,
d) ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
diri dan hartanya.

13
Al-amr bi al-ma'ruf wa an-nahy 'an al-munkar bukan monopoli konsep Mu'tazilah.
Frase tersebut sering digunakan di dalam Al-Quran. Arti asal al-ma'ruf adalah yang telah
diakui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih
spesifik lagi, al-ma'ruf adalah yang diterima dan diakui Allah.37 Adapun al-munkar adalah
sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti
seruan untuk berbuat sesuatu yang muncul dari dan sesuai dengan keyakinan yang sebenar-
benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan
dengan norma Tuhan.
Perbedaan mazhab Mu'tazilah dengan mazhab lain mengenal ajaran kelima ini
terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu'tazilah, jika memang diperlukan,
kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Lalu, sejarah telah
mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN

Mu’tazilah berasal dari kata “I’tizal” yang artinya memisahkan diri. Mu’tazilah
adalah salah satu aliran pemikiran dalam islam yang banyak terpengaruh dengan filsafat
barat sehingga berkecenderungan menggunakan pemikiran sebagai dasar argumentasi.
Aliran Mu’tazilah mucul kira-kira pada permulaan abad pertama Hijriyah, di kota Basrah
( Irak). Menurut Almas’udi,sebutan Mu’tazilah berasal dari pendapat mereka yang
mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan mukmin,juga bukan kafir,tetapi
mengambil posisi diantara keduanya (Almanzilah bainal manzilatain).
Sedangkan Menurut Ahmad Amin,sebutan Mu’tazilah sudah ada kurang lebih 100
tahun sebelum terjadinya perselisihan pendapat antara Wasil bin Atha dengan Hasan
Basri  di mesjid Basrah. . Golongan yang disebut Mu’tazilah pada waktu itu adalah
mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam pertikaian. Golongan yang tidak ikut
pertikaian itu mengatan,”Kebenaran tidak mesti berada pada salah satu pihak yang
bertikai, melainkan kedua-duanya bisa salah, sekurang-kurangnya tidak jelas siapa yang
benar.Sedangkan agama hanya memerintahkan memerangi orang-orang yang
menyeleweng. kalau kedua golongan menyeleweng, maka kami harus menjauhkan diri
(I’tazalna).
Ajaran-Ajaran pokok Aliran Mu’tazilah adalah: At-Tauhid (Kemaha Esaan
Allah), Al-Adl  (Keadilan), Al-Wa’d wal al-Wa’id (Posisi diantara dua posisi), Al-
Manzilah bainal Manzilatain (Posisi diantara dua posisi), Amar Ma’ruf Nahi
Munkar  (Menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk)

3. KERITIK DAN SARAN

14
Menyadari bahwa penulisan jauh dari kata sempurna, kedepannya penulisan akan
lebih Fokus dan delail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-
sumber yang lebih bnyakyang tentu dapat di pertanggung jawabkan. Untuk saran bisa
berupa kritik atau saran yang membangun, juga bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan. Untuk bagian terakhirdari
makahal adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar
pustaka makalah.

4. DAFTAR PUSTAKA

Ilmu Kalam
karya Prof. Dr. H. abdul Rozak, M.Ag. dan Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag.

15

Anda mungkin juga menyukai