Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MU’TAZILAH DAN SYI’AH


Makalah ini di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Ilmu kalam
Dosen pengampu : Irman Afandie

Disusun oleh :

Fahmi Falahudin
Hilman
Helmi Fauzi
M. Diki Darmawan
Reza Resly
Lutfi Hakim

FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
TASIKMALAYA 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayat yang telah ia berikan sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Kemudian ucapan
terimakasih kami haturkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalalm penyusunan
makalah ini, baik berupa sarana prasarana maupun berupa ide-ide atau gagasan-gagasan
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat dalam rangka
melengkapi tugas mata kuliah Ilmu Kalam sebagai bahan diskusi mengenai Pemikiran
muktazilah dan pemikiran syiah . Demikianlah yang dapat kami sampaikan, apabila ada
kesalahan dan kekurangan kami mohon maaf. Kritik maupun saran kami buka demi perbaikan
makalah ini untuk selanjutnya. Atas perhatiannya kami haturkan ungkapan terimakasih.

Cipasung ,11 Desember ,2022

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Kalam Mu’tazilah

1. Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah

2. Al-ushul Al-khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah

B. Pemikiran Kalam syi’ah

1. Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan Syi’ah

2. Syi’ah Itsna ‘Asyariah(Syi’ah Dua Belas/Syi’ah Imamiah)

3. Syi’ah Sab’iah (Syi’ah Tujuh)

4. Syi’ah Zaidiah

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Daftar pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belanag

Dikatakan bahwa pesoalan yang pertama-tama kali timbul dalam islam, setelah wafatnya rasulullah,
adalah persoalan politik dan bukan persoalan teologi. Persoalan politik itulah yang kemudian
berkembang menjadi persoalan teologi. Ini adalah titik mula sebuah perjalanan sehingga mengakibatkan
munculnya sekte-sekte dalam islam. Dari sejarah diketahui bahwa dari permaslahan politik muncul tiga
kelompok politik. Masing-masing adalah khawarij, murji’ah dan Syi’ah. Khawarij dan murji’ah segera
jelas menjadi kelompok teologi karena pembicaraan mereka mengenai siapa yang kafir dan siapa yang
tidak kafir mengenai setatus orang yang berbuat dosa besar. Dari sinilah timblnya kelompok lain yang
bernama mu’tazilah, kelompok ini muncul sebagai respon dari kedua kubu tersebut mengenai pelaku
dosa besar, sedangkan mu’tazilah hadir sebagai penengah di antara keduanya.

B.Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan latar belakang munculnya pemikiran pemikiran golongan muktazilah?
2. Apa pengertian dan latar belakang munculnya pemikiran pemikiran golongan syiah?
3. Pembagian dari pada syiah?

C.Tujuan Pembahasan
1. Menambah wawasan tentang pengertian dari mutazilah dan syiah
2. Menambah pengetahuan tentang pemikiran pemikiran mutazilah dan syiah
3. Mengetahui pembagian pembagian syiah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Kalam Mu’tazilah

1. Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah

Secara etimologi kata ku’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti “berpisah” atau “memisahkan
diri” yang berarti juga ”menjauh” atau “menjauhkan diri”.

Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari
Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa
besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan AlBashri.

Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil
bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.

Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah
mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa
besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap
menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua
pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama
terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar
menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di
antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu
dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.

Secara tiknis, istilah mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (disebut
mu’tazilah I). Golongan ini adalah golongan yang netral akan pergolakan politik pada masa itu, khususnya
yang terjadi antara ali bin abi thalib dan lawan-lawannya, seperti muawiyah dan lain-lain. Menurut penulis,
golongan yang netral politik masa inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum mu’tazilah kerena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah.

Golongan kedua disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di
kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka
berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang
berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat
dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat
beberapa versi, di antaranya:

a) Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi
antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika
Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah
seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar.
Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia menjauhkan diri
dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi
pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata:
“Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang
memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
b) Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh
Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar
dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini
dinamakan Mu’tazilah.
c) Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk mesjid Basrah
dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri.
Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan
meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah.

Namun ada teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (1886-1994 m) menerangkan bahwa
nama mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa washil dan hasan al basri, dan sebelum
timbul pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama mu’tazilah diberikan kepada golongan
orang-orang yang yang tidak mau intervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Ustman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian di sana, yaitu satu golongan mengikuti
pertikaian itu, sedangkan golongan lainn menjauhkan diri ke kharbita (i’tazalat ila kharbita). Oleh karena
itu dalam surat yang dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamakan golongan yang menjauhkan
diri tersebut dengan mu’tazilin, sedangkan Abu Al-fida’ menamakan dengan mu’tazilah.Dengan
demikian, kata i’tazala dan mu’tazilah telah digunakan kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Washil
dan Hasan Al-basri, yaitu dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang
terjadi.

2 . Al-ushul Al-khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah

Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-Ushul Al-Khamsah adalah At-Tauhid
(pengesaan tuhan), Al-Adl (keadilan tuhan), Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (janji dan ancaman tuhan),
AlManzilah bain Al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an
AlMunkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran).

a. At-tauhid

Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang
tunggal tanpa sifat. Mereka menganut pendapat yang meniadakan sifat-sifat yang Qadim itu. Sebab,
kalau seandainya memang ada sifat-sifat yang Qadim, tentulah akan ada beberapa “Yang Qadim”. Dan
ini adalah kepercayaan syirik. Mereka berkata bahwa Allah adalah ‘Alim (Mengetahui) dengan dzat-Nya,
Qadir (Kuasa) dengan dzat-Nya, Haiyun (Hidup) dengan dzat-Nya, Mutakallim (Berbicara) dengan dzat-
Nya. Bardasarkan keterangan tersebut maka mereka berkata, bahwa Al Qur’an adalah “makhluk”,
karena tak ada Yang Qadim kecuali Allah.Atau dengan kata lain mutazilah tidak mengakui adanya sifat
maknawiyah yang 7 .

Doktrin mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang menyamai tuhan, atau
dalam kata lain Mu’tazilah menolak antropomorfisme dengan cara memalingkan arti kata-kata tersebut.
contoh kata “tangan” (Q.S. shad [38]: 75) diartikan kekuasaan dan pada konteks lain “tangan” (Q.S. Al-
ma’idah[5]: 64) dapat diartikan nikmat. Kata “wajah” (Q.S. Arrahman [55]: 27) diartikan esensi dan dzat,
sedangkan Al-arsy (Q.S. thoha [20]: 5) diartikan kekuasaan.

Mu’tazilah juga meolak paham bahwa allah dapat dilihat oleh mata karena ini konsekuensi logis dari
dari penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak
terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Andai tuhan dapat dilihat di akhirat tentu di dunia
pun dapat dilihat oleh mata kepala. Oleh karena itu, kata melihat (Q.S. Al-qiyamah [75]: 22-23)
ditakwilkan dengan “mengetahui” (know).

Kesimpulannya, dalam ajaran tauhid Mu’tazilah ini, mereka memegang teguh tauhid bahwa allah
tidak bersifat, Al-qur’an adalah makhluk, penolakan terhadap paham antropomorfisme, dan penolakann
bahwa allah dapat dilihat oleh mata.

Kita mengetahui bahwa setiap nama-nama Allah pasti bergandengan dengan sifatnya, sebagai contoh
Alah memiliki nama “Arrahman” yang berarti “maha pengasih”, sehingga Allah mempunyai sifat
“mengasihi”. Begitu juga mengenai Al-qur’an adalah makhluk, ini tidak sesuai karena Al-qur’an itu
firman atau perkataan tuhan dan bukan makhluk. Dan Mu’tazilah juga melarang
mempermisalkan jissimnya allah dengan sesuatu yang lain sehingga mereka memalingkan arti kata yang
ada dalam Al-qur’an dengan kata lain, contoh kata “tangan” (Q.S. shad [38]: 75) diartikan kekuasaan. Ini
tidak tepat. Memang Allah tidak sama dengan sesuatu apapun tapi bukan berarti kata tangan diartikan
dengan kekuasaan. Tangan tetap diartikan dengan tahan tuhan, akan tetapi tangan tuhan tidak sama
dengan sesuatu apapun, apalagi dengan tangan manusia. Yang terakhir Mu’tazilah menolak bahwa
manusia dapat melihat tuhan, ini tidak tepat karena Allah telah sampaikan bahwa nanti para penduduk
surga diberi kenikmatan yang melebihi kenikmatan surga itu sendiri yaitu melihat Allah SWT.

b. Al-Adl

Ajaraan dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti tuhan maha adil.[8] Ajaran tentang
keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:

1) Perbuatan manusia

Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari
kehendak dan kekuasaannya tuhan. Baik secara langsung maupun tidak.

2) Berbuat baik dan terbaik

Dalam istilah arab disebut ash-shalah wa al-ashlah. Maksudnya kewajiban tuhan untuk berbuat baik,
bahkan terbaik untuk manusia.

3) Mengutus rasul

Mengutus asul adalah kewajiban tuhan karena beberapa alasan. Salah satunya, Tujuan diciptakannya
manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasail, tidak ada jalan lain selain
mengutus rasul.

c. Al-Wa’d wa Al-Wa’id
Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman.[9] Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan
melanggar janji-Nya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya. Janji tuhan untuk memberi
pahala masuk surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka bagi yang berbuat
durhaka pasti terjadi, begitu pula janji tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertaubat
nasuha pasti benar adanya.

d. Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain

Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya madzhab mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan
status orang mukmin yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap
sebagai kafir, bahkan musyrik. Menurut murji’ah tetap mukmin dan dosanya diserahkan kepada tuhan.
Mungkin dosa tersebut dianpunu oleh tuhan. Pendapat Washil bin Atha’ (pendiri madzhab mu’tazilah)
lain lagi. Orang tersebut berada di antara dua posisi (Al-manzilah Bain Al-manzilatain) atau dengan kata
lain di antara surga dan neraka.

e. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ’an Al-Mungkar

Ajaran dasar yang kelima adalah meyeru kebajikan dan melarang dari kemungkaran (Al-Amr bi AlMa’ruf
wa An-Nahy ’an Al-Mungkar). Perbedaan madzhab Mu’tazilah dengan madzhab lain terletak pada
tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh
untuk mewujudkan ajaran tersebut.

B. Pemikiran Kalam syi’ah

1. Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan Syi’ah

Secara bahasa Syi’ah berasal dari kata syayya’a ataupun tasyayya’a menunjukkan pengertian:
pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum
muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi
Muhammad SAW atau orang yang disebut ahl al bait. Point penting dalam doktrin Syi’ah adalah
pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait. Mereka menolak
petunjukpetunjuk keagamman dari para sahabat yang bukan ahlul bait atau para pengikutnya.[10]

Tentang sejarah kemunculan Syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli.
Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul kepermukaan sejarah pada akhir pemerintahan Ustman bin
Affan. Selanjutnya, aliran ini tumnbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib. Sedangkan Watt menyatakan bahwa Syi’ah muncul ketika belangsung peperangan antara Ali
dan Muawiyah yang dikenal dengan perang shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai repon atas penerimaan
ali terhadap arbritase yang ditawarkan muawiyah, pasukan ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap ali –disebut Syi’ah- dan kelompok lain menolak sikap ali disebut Khawarij.[11]

Berbeda dengan pandangan diatas, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan
dengan masalah pengganti (khilafah.) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar,
Umar bin Khatab, dan Ustman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang
berhak mengantikan nabi SAW. Ketokohan Ali dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat yang
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad
SAW. Diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali
bin Abi Thalib. Pada saat itu Nabi mengatakan bahwa orang yang peratama-tama memenuhi ajakannya
akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang
yang menunjukan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.

Berdasarkan realitas itulah, mucul sikap dikalangansebagian kaum muslimin yang menentang
kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap
berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan adalah Ali. Mereka berkayakinan bahwa
semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya searta mengajak mansyarakat untuk
mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut Syi’ah. Namun, lebih dari itu, seperti dikatan Nasr, sebab
utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri,
sehingga mesti diwujudkan. Adapun siah itu terbagi kedalam beberapa bagian diantaranya :

 Syi’ah Itsna ‘Asyaroh(Syi’ah Dua Belas/Syi’ah Imamiah)

Asal-usul Penyebutan Imamah dan Syi’ah Itsna Asyaroh dan Sejarahnya dinamakan Syi’ah imamiah
karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dan arti pemimpi religio-politik, yaitu
yaitu bahwa Ali berhak menjadi Khalifah bukan hanya kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi ia
telah ditunjuk dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi SAW. Ide tentang hak Ali dan
keturunannya untuk menduduki jabatan imam atau khalifah telah ada semenjak nabi wafat.[12]

Dalam jsejarahnya Syi’ah terpecah dalam beberapa golongan. Munculnya golongan –golongan
dalam aliran ini dimulai ketika wafatnya imam husain, anak Ali bin Abi Thalib atau cucu Nabi. Perbedaan
pokok dalam golongan-golongan ini berkisar pada imam dan urutan mereka. Namun kemudian
perbedaan ini berimbas pula terhadap masalah terhadap masalah teologi dan hukum.[13]

Syi’ah Itsna Asyaroh dan Sab’iah pada awalnya merupakan satu kelompok. Namun setelah wafatnya
imam keenam yang bernama Ja’far As-shidiq, mereka terpecah menjadi dua kelompok. Perselisihan itu
diawali siapa pengganti imam tersebut, Itsna Asyariyah berpendapat Musa Alkazimlah penggantinya.
Karena ismail anak tertua Ja’far telah meninggal sewaktu Imam Ja’far masih hidup. Sab’iah menolak
pengangkatan musa al-kazim dan tetap setia kepada ismail meski ia telah wafat.

Adapun urut-urutan imam dua belas itu adalah: Ali, Hasan, Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-
Baqir, Abdullah Ja’far As-Shidiq, Musa Al-Kazim, Ali Ar-Ridha, Muhammad Al-Jawwad, Ali Al-Hadi, Hasan
Al-Askari, dan terakhir Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas.

 Syi’ah Sab’iah (Syi’ah Tujuh)

Asal-usul Penyebutan Syi’ah Sab’iah dan Sejarah Kelahirannya Istilah Syi’ah Sab’iah “Syi’ah tujuh”
dianalogikan dengan Syi’ah Istna Asyariah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah yang ini
hanya mengakui tujuh imam. Tujuh imam itu ialah Ali, Hasan, Husain, Ali zainal abidin, Muhammad Al-
baqiir, Ja’far As-shadiq, dan Ismail bin Ja’far. Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far As-
shadiq, Syi’ah Sab’iah disebut juga Syi’ah ismailiah.

Mengenai sejarah kemunculan Syi’ah, teori yang banyak beredar, dan bisa jadi yang cukup kuat
adalah yang dikaitkan dengan pertempuran shiffin dan peristiwa tahkim. Alasan logis yang timbul ialah
karena dengan peristiwa tahkim itu, ada kelompok yang menentang ali, yang disebut kemudian sebagai
kelompok khawarij, tentu ada orang-orang yang masih setia dan mendukung ali yang kemudian disebut
Syi’ah Ali. Namun, terlepasa dari pendapat mana yang paling kuat, jelaslah dari keempatnya didapat
petunjuk kuat adanya motif politik bagi kelahirannya. Tetapi tidak diperoleh kejelasan mengenai kapan
persilangan itu terjadi. Jadi, tidak jelas Sab’iah itu muncul.

a. Doktrin Imamah Dalam Pandangan Syi’ah Sab’iah

Para pengikut Syi’ah Sab’iah percaya bahwa imam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijeaskan Alqadhi
An-nu’man dalam Da’aim Al-islam. Tujuh pilar tersebut adalah:

1) Iman

2) Thaharah

3) Shalat

4) Zakat

5) Shoum

6) Menunaikan haji

7) Zakat

Berkaitan dengan pilar (rukun), pertama, yaitu Iman, Al-qadhi An-nu’man (974 M) merincinya sebagai
berikut: iman kepada allah, tiada tuhan selain allah dan muhammad selain allah; iman kepada surga;
iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman kepada hari pengadilan; iman kepada para
nabi dan para rasul; iman kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.[18]

Mengenai Imam, yang pertama adalah Ali, imamah itu dilanjutkan oleh imam berikutnya. Imamiyah
mengariskan bahwa “seorang imam memperoleh imamah dengan jalan wiratsah dan seharusnya imam
merupakan anak paling tua.” Jadi anaknya yang menjadi ayahnya itulah yang menunjuk anaknya yang
paling besar. Sedangkan penggarisan imamah ditetapkan hanya dari keturunan Ali dan Fatimah binti
Nabi yang kemudian dikenal dengan istilah Ahlul Bait.

Ajaran Syi’ah Sab’iah lainnya dalam ajaran Syi’ah ini, mereka berpendapat bahwa seorang imam itu
maksum. Syi’ah Sab’iah Berpendapat bahwa walaupun terlihat melakuka kesalahan dan menyimpang
dari syariat, seorang imam sesungguhnya tidak menyimpang karena mempunyai pengetahuan yang
tidak dimiliki manusia biasa.

Mengenai sifat Allah, Syi’ah Sab’iah sebagaimana halnya Mu’tazilah meniadakan sifat dari dzat
Allah.penetapan sifat menurutnya merupakan penyamaan terhadap makhluk. Selanjutnya, orangorang
awam tidak dapat mempelajari syari’at tanpa tuntunan seorang guru, dalam hal ini adalah imam.
Demikian juda Sab’iah mempunyai keyakinan bahwa wahyu itu tidak berhenti karena itu merupakan
penjelmaan atau pancaran dari nabi kepada imam.

 Syi’ah Zaidiah

Asal-usul penamaan Syi’ah Zaidiah Sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam V, putra imam IV, Ali
Zainal Abidin. Ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-baqir, anak Zainal
Abidin yang lain, sebagai imam V. Dari nama Zaid bin Ali inilah nama Zaidiah diambil. Abu Zahrah
menyatakan bahwa Syi’ah Zaidiah merupakan sekte yang paling dekat dengan sunni.
Adapun doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiah berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan
oleh Syi’ah yang lain, Syi’ah Zaidiah mengembangkan idoktrin imamah yang tipikal. Kaum zaidiah
menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW. Telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanhya ditentukan sifat-
sifatnya. Selanjutnya, menurut Zaidiah, seorang imam harus memiliki ciri-ciri berikut:

 Merupakan ahlul bait, baik dari keturunan hasan maupun husain. Hal ini mengimplikasikan
penolakan mereka atas pewarisan.
 Memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau menyerang.
 Kecenderungan intelektualisme yang dibuktikan denghan ide dan karya dalam bidang keagamaan.
 Mereka menolak kemaksuman imam.

Doktrin-doktri Syi’ah Zaidiah Yang Lainnya Bertolak dengan Syi’ah yang lain mengenai Khalifah
sebelum Ali, Zaidiah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar dan Umar adalah KeKhalifahan yang sah
dari sudut pandang islam. Dalam pandangan mereka, jika ahlul halli wal aqdi telah memilih seorang
imam dari kalangan kaum muslim meskipun orafirkan seorang yang terpilih itu tidak memenuhi sifat-
sifat keimanan yang ditetapkan oleh zaidiah, padahal mereka telah membaiatnya, keimanannya
menjadi sah dan rakyat wajib mwmbaiatnya. Selain itu mereka juga tidak mengkafirkan seorangpun
sahabat. Kemudian Zaidiah juga menolak nikah Muth’ah serta doktrin Taqiyah.
BAB III
PENUTUP
A . Kesimpulan

Pemikiran Kalam Mu’tazilah adalah ada lima yaitu:

1. Al-Tauhid (pengesaan tuhan)

2. Al-Adlu (keadilan Allah)

3. Al-Wa’du wal Wa’id (Janji dan ancaman)

4. Al-manzilah bainal manzilataini (tempat diantara dua tempat)

5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar


DAFTAR PUSTAKA

Ø Muhammad Syak’ah, Musthafa. 2008. Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu
Zahrah Al-Jawi, Solo: Tiga Serangkai

Ø Nurdin, Amin dan Fauzi Abbas, Afifi. 2014. Sejarah Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah, Cet. Ke-5

Anda mungkin juga menyukai