Anda di halaman 1dari 19

PEMIKIRAN MULLA SADRA TENTANG

AL-HIKMAH AL-MUTA’ALIYAH

Eva Lailatul Fadilah

201002049

Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Siliwangi

Jl. Siliwangi No. 24, Kahuripan, Kec. Tawang, Tasimalaya, Jawa Barat 46115

E-mail : 201002049@student.unsil.ac.id

ABSTRAK

Setelah konflik filsafat bergerak (hikmah al-masysya'i) dan Filsafat iluminasialis


(hikmah isyroqi), muncullah aliran filsafat baru yang lahir di Persia, dikenal dengan
filsafat transendental (Hikmah al-Muta'aliyah). Hikmah al- Muta'aliyah dibawakan
oleh Mulla Sadra, sintesa dari aliran kedua sebelumnya,dan filosofi Filsafat yang
mencerahkan. Dalam hal ini, Hikmah al-Muta'aliyah telah memberikan terobosan
baru, dengan konsep ashalah al-wujud, wahdatul wujud, tasykik al-wujud wujud az-
zihni, wahid laa yashduru minhu illa al-wahid dan al- harakah al-jauhariyyah dan juga
digambarkan dengan proses pengampunan Allah melalui konsep yang ditulisnya. dalam
karya monumentalnya empat perjalanan menuju Tuhan yaitu; Al-Hikmah al-
Muta'aliyah fi al-Asfar al-'Aqliyah al-Arba'ah. Al-Hikmah Muta'aliyah Al-Sadra adalah
sintesis dari pencerahan intelektual (isyroqi), hukuman dan rasional Dalil ('aql, burhan
atau istidlal) serta agama dan wahyu. Sadra setuju itu pengetahuan yang sempurna
adalah pengetahuan rasional yang dipadukan dengan pengalaman spiritual yang dapat
diperoleh oleh mereka yang mengikuti teks Al-Qur'an dan al-Hadits. sumber dari

1
Pengetahuan adalah teks Al-Qur'an, al-Hadits dan perkataan para imam dan sarjana
dikombinasikan dengan pengalaman intuisi dan hukuman. dalam menerima
pengetahuan, metode yang paling tepat adalah Kasf yang didukung oleh alasan dan
interpretasi teks agama. Hikmah al-Muta'aliyah dianggap paling penting bagi filsafat
Islam, Islam yang memberikan filsafat tertinggi, yaitu didukung oleh Bayani, ‘Irfani
dan Burhani dalam analisisnya.

Kata Kunci : Mulla Sadra, al-hikmah al-muta’aliyah.

PENDAHULUAN
Mengaktualisasikan konsep, ide serta gagasan-gagasan pemikiran terdahulu
dengan sintesa baru adalah usaha yang tidak mudah yang tidak sembarang orang dapat
melakukannya. Proses dialektika bukan sekedar terlihat sebagai tumpukan tesis dan anti
tesis lalu menghasilkan sebuah sintesa. Namun adalah sebuah proses yang terjadi dikala
stagnasi paradigma terdahulu tidak dapat memberikan jalan keluar untuk sebuah
permasalahan penting dan baru.
Mulla Sadra dalam hal ini sebagai seorang filosof yang ciri utama pemikirannya
adalah “sintesis”, berupaya mengatasi ketegangan-ketegangan pemikiran terdahulu
dalam merespon berbagai diskursus pemikiran manusia. Ia menyadari bahwa tidak
semua jalan keluar harus dengan solusi yang mutlak baru, yang steril dari konstruksi
lama. Kedalaman analisa dan kajiannya terhadap seluruh warisan pemikiran Islam
secara harmonis berhasil menyerap dan telah memadukan Kalam yang pada saat itu
sudah memasuki tahap filosofisnya melalui figur Nars ad-Din ath-Thusi, tradisi filsafat
paripatetik yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, dan sufisme Ibnu ‘Arabi dan Isyraqiyah
Suhrawardi. Selain mempertemukan keempat aliran tersebut, Sadra juga
mempertemukan dengan kebenaran al-Quran dan Hadits. Harmonisasi yang dilakukan
Sadra menghasilkan sebuah sintesa yaitu dengan mengintegrasikannya melalui tiga
jalan al-Qur’an (al-wahy), burhan (demonstrasi), dan irfan (visi spiritual). Karena
memang ketiganya tidak bertentangan dalam tujuan mencapai kebenaran. Kesatuan tiga
jalan utama pengetahuan tersebut diyakini Sadra sebagai pandangan dunia “worldview”

2
yang menyatu dan menciptakan sudut pandang intelektual baru yang dikenal sebagai al-
hikmah almuta’aliyah, salah satu tema penting yang menjadi sumber sekaligus pusat
dari seluruh pemikiran Mulla Sadra, khususnya dalam metafsika yaitu konsep wujud.
Menurutnya, barang siapa yang buta terhadap masalah wujud berarti buta pula terhadap
permasalahan metafsika yang mendasar. Namun, dia juga menegaskan bahwa
pengetahuan tentang wujud hanya bisa diperoleh melalui observasi yang tajam dan
pandangan intuitif serta pengambilan kesimpulan dari akibat-akibat, tanda-tanda dan
simbol-simbolnya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji bagaimana
pemikiran Mulla Sadra tentang al-Hikmah al-Muta’aliyah yang dibangun berdasarkan
konsep ashalah al-wujud, wahdatul wujud, tasykik al-wujud, wujud az-zihni, wahid laa
yashduru minhu illa alwahid dan al-Harakah al-jauhariyyah yang mana hal tersebut
terbentuk dalam pola pemikiran Mulla Sadra berdasarkan periode perjalanan kehidupan
yang dia lalui dengan proses 4 (perjalanan) menuju Tuhan yang disebut dengan al-
Hikmah alMuta’aliyah fil al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah: 1. Perjalanan dari dunia
penciptaan menuju dunia pencipta (kebenaran sejati), 2. Perjalanan dalam kebenaran
yang sejati melalui pengetahuan yang sejati, 3. Perjalanan dari Yang Maha Sejati
menuju ke dunia ciptaan melalui pengetahuan sejati, 4. Perjalanan bersama dengan
Yang Maha Sejati dalam dunia ciptaan (Agung, 2019).1

METODE PENELITIAN

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penyusunan Jurnal ini, maka
digunakan metode pengumpulan data yaitu Studi Pustaka. Yang mana Studi Pustaka ini
menggunakan kajian teks yang menjadikan karya-karya Mulla Sadra sebagai objek
kajiannya didukung juga dengan literatur-literatur lain yang relevan dengan kajian ini
dengan dilakukan dengan cara mempelajari referensi-referensi buku, artikel, dan
browsing internet, serta literature review yang berhubungan dengan analisis sistem.
Pengumpulan data dengan memanfaatkan daftar Pustaka ini adalah agar dapat lebih
mendukung objek suatu penelitian dengan melakukan perbandingan teori-teori yang
sudah ada dengan praktek yang ada di lokasi sumber data.
1
Agung Gunawan, “PEMIKIRAN MULLA SADRA TENTANG AL-HIKMAH AL-
MUTA’ALIYAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN”, Tsamratul -Fikri (Vol. 13, No. 2,
2019), 165.

3
PEMBAHASAN

1. Biografi Mulla Shadra

Mulla Shadara nama Lengkapnya adalah Sadru al-Dien Muhammad ibn Ibrahim
al-Syirazi1 al-Qawami sebagai tokoh filsuf Islam yang berhasil mengintegrasikan
empat aliran filsafat seperti filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, ‘irfan (mistisme
Islam) dan trdaisi Islam. Ia lebih terkenal dengan sebutan Mullâ Shadrâ, putra dari
ayah yang bernama Ibrahim ibn Yahya al-Qawami adalah seorang cendekiawan dan
politisi yang sangat beriman, kaya dan memegang posisi tinggi di pemerintahan
Persia. Dikatakan ia seorang menteri di daulah (negara) Persia pada masa Dinasti
Safawi. Kelahiran Shadrâ bagi kedua orang tuanya merupakan sebuah penantian
yang panjang sekaligus menjadi putera semata wayang. Cukup lama mereka belum
mendapatkan keturunan hingga pada saatnya permohonan dan do’a-do’a mereka
dikabulkan Allah dengan kehadiran bayi laki-laki di tengah-tengah kerinduan
mereka terhadap sang bayi. Tidak banyak yang tahu dari kalangan penerjemah
tepatnya kapan Shadra al-Muta’alihin dilahirkan (Sadra, 1990: 7), namun diketahui
bahwa ia wafat pada tahun 1050 H saat keberangkatan (dan atau masa kepulangan
dari ) menunaikan ibadah haji yang ke tujuh kali dengan berjalan kaki. al-Muhaqiq
al-Sayyid Jalal al-Dien al-Asytiyani menyebutkan dalam muqadimah
(pendahuluan) bukunya yang berjudul Syarh hal wa ara’ falsafi Mulla Sadra, bahwa
kelahiran Mulla Sadra pada tahun 979 H/1571 M, dengan dasar tersebut maka ia
wafat berusia 71 tahun (al-Haydari, 1426: 225).2

Karena berasal dari keluarga terpandang, Mulla Shadra selalu mendapatkan


perhatian dan pendidikan yang terbaik, apalagi sahabat sebelumnya, Shiraz
merupakan pusat ilmu, baik filsafat maupun ilmu tradisional lainnya. Kondisi ini
membuat Mulla Shadra cepat menguasai beragam ilmu baik bahasa Arab maupun
Persia, Alquran hadis, serta bidang ilmu lainnya. Meski demikian, hal itu tidak
membuat Mulla Shadra merasa puas. oleh karena itu, untuk memuaskan rasa

2
Agung Gunawan, “PEMIKIRAN MULLA SADRA TENTANG AL-HIKMAH AL-
MUTA’ALIYAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN”, Tsamratul -Fikri (Vol. 13, No. 2,
2019), 166-167.

4
dahaga nya akan ilmu ia meninggalkan kota kelahirannya menuju isfahan titik di
sana ia mendapatkan bimbingan dari 2 orang guru, yakni syekh Bahauddin Al amili
(syekh Baha'i) seorang teolog, ahli hukum, filsuf juga penyair; serta Sayyid
Muhammad baqir (mir damad) , yang menguasai ilmu-ilmu intelektual.

Selanjutnya, ia meninggalkan isfahan untuk menuju Desa kahak. Ia menjalani


kehidupan menyendiri untuk memenuhi dahaga spiritualnya. Hal tersebut juga
merupakan upaya untuk menghindari tekanan dari kalangan intelektual terhadap
doktrin gnostik (aliran agama yang meyakini pengetahuan sebagai jalan menuju)
dan metafisik yang ia lontarkan. Jalan yang ia tempuh ternyata bertolak dari
kesadaran dalam dirinya. Sebelumnya, ia begitu mengandalkan kemampuan
intelektualnya. Namun, Mulla Shadra tersadar, seharusnya ia berserah diri kepada
Allah dengan jiwa yang suci dan ikhlas. Hal tersebut ia lakukan kurang lebih 15
tahun (Dimitri, 2003:24)

Sikap spiritual yang ia tempuh ternyata memberikan pencerahan diri. Ia


menyatakan bahwa kebenaran mistik pada dasarnya adalah kebenaran intelektual.
Pengalaman mistik merupakan pengalaman kognitif. Pemikirannya itu ia tuangkan
dalam karyanya, Al Hikmah Al muta'aliyah fi al-asfar al-aqliyyah al-arba'ah (4
perjalanan intelektual).3

Asep Sulaiman (2018: 137) dalam pendahuluan Al Hikmah Al muta'aliyah,


shadra membahas secara panjang mengenai definisi Hikmah. Menurutnya, hikmah
tidak hanya menekankan sikap teoretis, tetapi juga pelepasan diri dari hawa nafsu
dan penyucian jiwa dari kotoran-kotoran yang bersifat material. Shadra juga
menerima definisi hikmah dari suhrawardi, kemudian memperluasnya. Hikmah
mencakup dimensi iluminasi dan penghayatan langsung dari kaum isyraqi serta
kaum sufi. Shadra juga memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan, karena
berasal dari nabi (Hossen, 1996:151)

Bagi mulla shadra, penggunaan Al Hikmah Al muta'ali yah sebagai aliran


filsafat shadra terpengaruh oleh dua hal. Pertama, secara judul buku shadra, Al

3
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, (Bandung: YRAMA WIDYA), 131-132.

5
Hikmah Al muta'aliyah, menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan
suatu aliran dan pandangan dunia yang didalamnya terdapat doktrin-doktrin
metafisika shadra. Kedua, adanya ajaran moral dari shadra sendiri.shadra menunjuk
Al Hikmah Al muta'aliyah tidak hanya menjadi judul bukunya, melainkan ada
ajaran moral didalamnya. Untuk mengetahui konsep dan pemaknaan sadra tentang
Al Hikmah Al muta'aliyah coma harus melihat definisi shadra mengenai hikmah
atau falsafah. menurut shadra kedua istilah tersebut adalah identik. Hikmah atau
falsafah, dalam perspektif shadra, berarti Al Hikmah Al muta'aliyah itu
sendiri(Hossen, 1996:151)

Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala


sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan
mereka, yang dibangun berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar
prasangka dan sekadar mengikuti orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada
manusia. Jika anda suka, Anda bisa berkata kesempurnaan jiwa manusia terhadap
tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan
yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan.

Berdasarkan definisi tersebut, bisa dilihat bahwa shadra mengombinasikan


berbagai pemikiran dari yang dikemukakan oleh Ibnu Sina maupun yang
dikemukakan oleh suhrawardi . dari definisi ini dapat disimpulkan, bahwa hikmah
dapat digunakan sebagai sarana untuk menuju Tuhan. Tentunya tidak hanya hikmah
yang dapat menjadi sarana mendekat pada sang khalik.

Sebagai sebuah konstruksi, pemikiran Al Hikmah Al muta'aliyah tentu saja tidak


hanya dihasilkan dari konstruksi pemikiran pribadi shadra, tetapi bersumber juga
pada karya-karya sebelumnya. Akan tetapi, tidak dapat digeneralisasi bahwa
pemikiran shadra hanya gabungan dari berbagai karya terdahulu.

Dalam pendahuluan Al Hikmah Al muta'aliyah, shadra membahas secara


panjang mengenai definisi Hikmah. Menurutnya, hikmah tidak hanya menekankan
sikap teoretis, tetapi juga pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian jiwa dari
kotoran-kotoran yang bersifat material. Shadra juga menerima definisi hikmah dari

6
suhrawardi, kemudian memperluasnya. Hikmah mencakup dimensi iluminasi dan
penghayatan langsung dari kaum isyraqi serta kaum sufi. Shadra juga memandang
filsafat sebagai ilmu pengetahuan, karena berasal dari nabi (Hossen, 1996:151)

Bagi mulla shadra, penggunaan Al Hikmah Al muta'ali yah sebagai aliran


filsafat shadra terpengaruh oleh dua hal. Pertama, secara judul buku shadra, Al
Hikmah Al muta'aliyah, menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan
suatu aliran dan pandangan dunia yang didalamnya terdapat doktrin-doktrin
metafisika shadra. Kedua, adanya ajaran moral dari shadra sendiri.shadra menunjuk
Al Hikmah Al muta'aliyah tidak hanya menjadi judul bukunya, melainkan ada
ajaran moral didalamnya. Untuk mengetahui konsep dan pemaknaan sadra tentang
Al Hikmah Al muta'aliyah coma harus melihat definisi shadra mengenai hikmah
atau falsafah. menurut shadra kedua istilah tersebut adalah identik. Hikmah atau
falsafah, dalam perspektif shadra, berarti Al Hikmah Al muta'aliyah itu
sendiri(Hossen, 1996:151)

Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala


sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan
mereka, yang dibangun berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar
prasangka dan sekadar mengikuti orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada
manusia. Jika anda suka, Anda bisa berkata kesempurnaan jiwa manusia terhadap
tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan
yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan.

Berdasarkan definisi tersebut, bisa dilihat bahwa shadra mengombinasikan


berbagai pemikiran dari yang dikemukakan oleh Ibnu Sina maupun yang
dikemukakan oleh suhrawardi . dari definisi ini dapat disimpulkan, bahwa hikmah
dapat digunakan sebagai sarana untuk menuju Tuhan. Tentunya tidak hanya hikmah
yang dapat menjadi sarana mendekat pada sang khalik.

Sebagai sebuah konstruksi, pemikiran Al Hikmah Al muta'aliyah tentu saja tidak


hanya dihasilkan dari konstruksi pemikiran pribadi shadra, tetapi bersumber juga

7
pada karya-karya sebelumnya. Akan tetapi, tidak dapat digeneralisasi bahwa
pemikiran shadra hanya gabungan dari berbagai karya terdahulu.4

2. Pengertian Al-Hikmah Al-Muta’aliyah


Berikut ini akan dikemukakan bagaimana pemahaman para filosof Muslim
terhadap istilah Hikmah atau Falsafah yang menurut mereka berasal dari Tuhan.
Dari sinilah muncul Al- Hikmah Al- Ilahiyyah. Abu Ya’cob Al- Kindi
mendefinisikan falsafah sebagai pengetahuan yang realitas atau hakekat segala
sesuatu sebatas yang memungkinkan bagi manusia, karena sesungguhnya tujuan
filosof secara teoritis adalah untuk mencapai kebenaran dan secara praktis adalah
bertingkah laku sesuai kebenaran.
Al- Farabi mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan-pengetahuan tentang
segala yang ada sebagai mana adanya. Adapun menurut Ibnu Sina dalam Uyun Al–
Hikmah, beliau mendefinisikan sebagai kesempurnaan jiwa manusia melalui
konseptualisasi terhadap pelbagai persoalan dan pembenaran terhadap realitas-
realitas teoritis maupun praktis, sesuai dengan kemampuan manusia.
Keterpaduan antara aspek teoritis dan dimensi praktis dari filsafat juga
dikumandangkan oleh kelompok Ikhwan Ash- Shafa’ kelompok pemikir muslim
Syiah Islamiyah yang memiliki tendesi kearah tasawuf atau sufisme. Mereka
menyatakan bahwa awal filsafat adalah kecintaan terhadap pelbagai ilmu,
pertengahannya adalah pengetahuan realitas tentang segala yang ada sesuai dengan
kemampuan manusia, dan akhirnya adalah kata- kata dan tindakan yang sesuai
dengan pengetahuan tersebut.
Kehadiran Suhrawardi tidak saja menjadikan filsafat Islam memasuki periode
baru, tetapi juga dunia baru dengan dibangunnya suatu perspektif intelektual yang
baru, yang disebut sebagai Hikmah Isyraqiyah. Di dalam perspektif ini ditekankan
adanya keterkaaitan yang erat antara agama dan filsafat sebagi dimensi esoterik
wahyu dan praktik asketetisme agama, yang di dalam Islam dikaitkan dengan
tasawuf. Suhrawardi memandang bahwa seorang filosof atau hakim (ahli hikmah)
yang sesungguhnya adalah seorang yang memiliki pengetahuan teoritis dan
sekaligus visi spritual.
4
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, 137.

8
Mulla Shadra Dalam pendahuluan al-Hikmah al-Muta’aliyah dia membahas
secara panjang lebar mengenai hikmah, menurutnya hikmah tidak saja menekan
segi pengetahuan teoritis, tetapi juga pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian
jiwa dari kotoran- kotoran yang bersifat material. Pelbagai pandangan mengenai
pemaknaan terhadap istilah falsafah atau hikmah, penemuan konsep puncaknya
melalui sintesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra yang dinamakan dengan Al-
Hikamah Al- Mut’aliyah.
Ungkapan Al- Hikmah Al-Muta’aliyah terdiri dari dua istilah yaitu hikmah yang
dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari filsafat, iluminasionisme, dan
sifisme. Dan al-muta’aliyah yang berarti tinggi, agung, transenden.
Penyebutan Al-Hikmah Al-Muata’aliyah sebagai aliran filsafat Mulla Shadra
diperkenalkan untuk pertama kali oleh muridnya yang bernama ‘Abdul ar- Razaq
Lahiji. Mulla Shadra memang tidak mengatakan secara ekplesit bahwa Al-Hikmah
Al-Muta’aliyah adalah nama dari aliran filsafatnya, penyebutan istilah tersebut
dalam tulisan-tulisannya. Adapun mengapa istilah ini diidentifikan sebagai ajaran
Shadra oleh murid-muridnya dan oleh masyarakat umumnya kemungkinan sekali
karena dua faktor.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sayyed Hossein Nasr, kedua faktor tersebut
yaitu: (1) judul buku Al-Hikmah Al-Muta’aliyah menyatakan secara tidak langsung
tentang keberadaan suatu aliran dan pandangan dunia, yang didalamnya tergambar
doktrin-doktrin metafisika Mulla Shadra; dan (2) adanya ajaran oral dari Mulla
Shadra sendiri yang menunjukkan bahwa pengertian al-hikmah almuta’aliyah tidak
saja menunjuk kepada judul tulisannya. Meskipun yang terakhir ini tidak didukung
oleh dokumen-dokumen tertulis, namun konfirmasi dari guru-guru tradisional di
Persia, yang menerima tradisi tersebut melalui serangkaian guru yang sampai
kepada Mulla Shadra sendiri, merupakan argumen yang kuat untuk menerima
alasan tersebut.
Pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra tentang Al- Hikmah Al-Muta’aliyah
tidak lain adalah filsafat itu sendiri. Menurutnya istilah hikmah dan filsafat adalah
dua hal identik.

9
Untuk mengetahui pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra tentang Al-Hikmah
Al- Muta’aliyah harus dilihat bagaimana dia mendefinisikan istilah hikmah atau
filsafat. Dalam perspektif ini setelah melakukan sintesis terhadap berbagai
pandangan terdahulu, Mulla Shadra mendefinisikan falsafah sebagai;

“ Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala


sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadadan
mereka, yang dibangun berdasarkan bukti- bukti yang jelas, bukan atas dasar
persangkaan dan sekedar mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan
yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa
manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata
tertib yang bisa di mengerti, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dalam
rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”.

Berdasarkan definisi falsafah atau hikmah di atas, bisa dilihat bagaimana Mulla
Shadra berusaha mengkombinasikan dan mengharmoniskan pelbagai pandangan-
pandangan terdahulu dengan pandangan sendiri, melalui kreatifitas dan kejeniusan
berfikirnya.

Perspektif Mulla Shadra terhadap hikmah adalah sesuatu yang bisa dijadikan
sarana yang membebaskan manusia dari keterkaitannya terhadap hal- hal yang
bersifat materil dan duniawi, dan menghantarkannya kembali kepada asal usul
penciptaannya, yaitu alam Ketuhanan.

Al-Hikmah Al-Muta'aliyah epistemologis di dasarkan pada tiga prinsip: intuisi


intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktiaan rasional (aql atau istidlal), dan
syari’at. Sehingga hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat
pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk rasional
dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Hikmah ini bukan hanya
memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud
penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi
wujud hanya dicapai dengan mengikuti syari’at. Sementara itu, dari sisi ontologis,

10
Al-Hikmah Al-Muta'aliyah didasarkan atas tiga hal: prinsip wujud, gradasi wujud,
dan gerak subtansial.

Dalam mazhab Isfahan, Mulla Shadra tercatat sebagai tokoh filosof yang sangat
tersohor, kepopulerannya ditandai oleh kepiawaiannya dalam menguasai ringkasan
pemikiran filsafat Islam yang berkembang dalam rentang waktu 900 tahun dengan
pendekatan sintesis akhir berbagai mazhab filsafat dan teologi Islam (kalam).
Bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapanucapan para penguasa
sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif, kalam sunni dan syi’i serta
mazhab gnosis, Mulla Shadra membuat sistesis secara menyeluruh yang selanjutnya
dikenal dengan teosofi transenden (Al-hikmah Al-muta’aliyah). Mulla Shadra
merasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh
pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual (‘Aql) dan visi batin atau pencerahan
(kasyf). Dia berusaha merumuskan sebuah ‘kebijaksanaan’ sehingga manusia
mampu mengambil manfaat dari ketiga sumber tersebut.5

3. Empat Perjalanan Manusia dalam memperoleh yang Kebenaran


Diantara pembahasan yang menarik dalam al - hikmah al - muta’aliya h adalah
tertang empat perjalanan manusia bila ingin memperoleh kebenaran dari tuhan.
Empat perjalanan tersebut yaitu;
a. Perjalanan dari dunia ciptaan ( al - Khalq ), dunia kasat mata, menuju kepada
dunia pencipta, dunia kebenaran sejati ( al Haqq ). Perjalanan ini ditempuh
dengan cara melakukan semacam ‚observasi empirik‛ terhadap fenomena
natural. Melalui observasi terhadap dunia natural yang serba beragam, akal
sampai kepada sesuatu yang mempersatukan keragaman itu. Sebut saja, ini
adalah empirisme rohaniah ala Mulla Sadra. Dengan kata lain, pada perjalanan
pertama ini, orang melihat dirinya dari sisi dunia fisik dan diri jasmaniahnya
sambil berusaha menggapai peleburan diri pada diri yang suci (Tuhan).
b. Perjalanan dalam kebenaran yang sejati ( al - Haqq ) melalui pengetahuan yang
sejati ( al Haqq ). Inilah fase transendensi: tahap melampaui keragaman alam
natural, dan tenggelam dalam Ketunggalan Mutlak yang tak mengenai
5
Aina Salsabila, “Kajian Islam: Al-Hikmah Al-Muta’aliyah”,
https://ejournal.iainlhokseumawe.ac.id/index.php/sarwah/article/download/20/18, 6 Desember 2021.

11
kepelbagaian aksidental (‘ aradl ), atau dapat dikatakan pada perjalanan kedua
ini, seseorang dapat mencapai tingkat keselarasan dengan nama dan sifat yang
suci, atau dalam bahasa sederhana disebut wali. Pada kondisi ini dia melihat,
mendengar dan berbuat melalui Tuhan.
c. Perjalanan dari Yang Maha Sejati menuju kepada dunia ciptaan, melalaui
pengetahuan sejati yang diperoleh pada tahap kedua di atas. Ini adalah
empirisme kedua yang sudah mengalami transformasi radikal. Sebab,
keragaman dilihat bukan sebagai keragaman pada dirinya sendiri, tetapi
sebagai manifestasi dari Ketunggalan Mutlak. Bisa jadi pada perjalanan
ketiga ini puncak peleburan diri yang disebut fana’.
d. Perjalanan bersama dengan Yang Maha Sejati dalam dunia ciptaan.
Perbedaan antara tahap keempat dan ketiga ialah: pada tahap ke-3, yang kita
jumpai adalah perjalanan menuju ( ila ) kepada dunia ciptaan, sementara
pada tahap keempat, kita berjumpa dengan perjalanan di dalam ( fi ) dunia
ciptaan itu sendiri. Dengan kata lain, pada tahap keempat inilah terdapat
puncak petualangan, di mana akal tenggelam di dalam alam ciptaan, tetapi
memandangnya dengan ilmu sejati ( al Haqq ). Akal menjadi bagian dari
dunia, tetapi juga sekaligus berjarak dari dunia. Ambiguitas tahap keempat
ini menjelaskan secara ringkas semacam ‚kosmologi‛ dan ‚ontologi‛
Sadrian. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan, seseorang tersebut,
kembali ke dunia ( al - khalq ) dan membawa petunjuk bagi sesama. Hal itu
sebagaimana diungkapkan oleh Mulla Shadra.6
4. Konsep al-Hikmah al-Muta’aliyah Mulla Sadra
Ungkapan hikmah muta’aliyah terdiri dari dua istilah, al-hikmah (teosofi) dan
al-muta’aliyah (tinggi atau transenden). Adapun secara epistomologis,
hikmahmuta’aliyah berarti kebijaksanaan yang didsarkan pada tiga prinsip, yaitu
intuisi intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional (‘aql atau istidlal), dan
syariat.denan demikian, hikmah muta’aliyah adalah kebijaksanaan (widom) yang

6
Muhammad Aziz, MULLA SHADRA [1571 M - 1636 M] (STUDY TENTANG PEMIKIRAN AL -
HIKMAH AL - MUTA’ALIYAH DAN AL - ASFAR AL - ARBA’AH )”, Portal Jurnal Online Kopertais
Wilyah IV (EKIV)-Cluster PANTURA, AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, Volume 5, Nomor 1,
Maret 2015.

12
diperoleh lewat pencerahan rohaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam
bentuk yang rasional dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional.
Hikmah muta’aliyah bukan hanya memberikan pencerahan kognitif, tetapi juga
realisasi, yang mengubah ujud penerima pencerahan untuk merealisasikan
pengetahuan sehingga transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti
syariat. 7
Sadra adalah penggagas aliran baru dalam filsafat Islam yang berbeda dengan
aliran filsafat sebelumnya, yaitu diantaranya ada aliran Masysyaiyah (paripatetik)
dan aliran isyraqiyah (illuminasi) yang dikenal dengan al-Hikmah al-Muta'aliyah.
Ungkapan Hikmah Muta’aliyah, terdiri atas dua istilah, yaitu al-hikmah dan
almuta’aliyah (tinggi atau transenden). Mengenai pengertian hikmah, para ahli
memiliki definisi yang bervariasi. Kata hikmah, setelah kurun waktu tertentu juga
dikaitkan dengan falsafah (Arifa, 2017: 69). Di dalam al-Qur’an istilah al-Hikmah
disebutkan sebanyak 20 kali dan ayat yang paling sering digunakan oleh para
filosof adalah surat al-Baqarah ayat 269: “Dia Memberikan hikmah kepada siapa
yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi
kebaikan yang banyak dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali
orang-orang yang mempunyai akal sehat” (Nur, 2002: 98).
Demikian pula keterangan dalam al-Hadist, yang artinya “engkau berkewajiban
memperoleh hikmah, karena sesungguhnya kebajikan itu terdapat di dalam
ُّ ِ‫ ْال ِح ْك َمةَل‬: “jangan berbicara hikmah kepada orang-orang
ُ ‫ د‬S‫فَهَا ِء اَل تُ َح‬S ‫لس‬
hikmah”, dan ‫ِّث‬
bodoh” (Nur, 2002: 98). Dalam muqadimah al-Hikmah al-Muta’aliyah, Mulla
Sadra menjelaskan bagaimana mengenai Hikmah, dia berasumsi Hikmah itu tidak
hanya menekan pada segi pengetahuan secara teoritis saja, tetapi juga sebagai
pembebasan diri seseorang dari hawa nafsu, sebagai proses penyucian jiwa dari
berbagai kotoran materi duniawi. Berbagai pandangan mengenai pemaknaan
terhadap istilah falsafah atau hikmah penemuan konsep puncaknya melalui sentesis
yang dilakukan oleh Mulla Sadra yang dinamakan dengan al-Hikamah al-
Mut’aliyah (Dhiauddin, 2013: 50). Mulla Shadra sendiri sesungguhnya tidak
pernah menyebut secara eksplisit mazhabnya sebagai al-hikmah al-muta’âliyyah

7
Asep sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, 136.

13
dalam karya-karyanya. Istilah ini ia gunakan untuk menunjuk judul dua buah
karyanya yang merupakan magnum opusnya, yakni al-Hikmah al-Muta’âliyyah fî
al-Asfar al-Arba’ah dan salah satu karyanya yang terakhir al-Hikmah al-
Muta’âliyyah, bukan mazhab pemikirannya. Al-Hikmah almuta’âliyyah sebagai
istilah menjadi terkenal ketika murid-murid Mulla Sadra, baik secara langsung atau
tidak langsung, menggunakannya untuk menyebut mazhabnya. ‘Abd al-Râziq
Lahîjî misalnya, menantu Mulla Sadra dan salah seorang muridnya yang cemerlang,
menyebut filsafat Mulla Sadra sebagai al-hikmah al-muta’âliyyah. Pada masa
Qajar, penggunaan istilah ini sudah begitu lazim, sehingga Sabzawari dalam Syarh
al-Manzhumah tidak merasa perlu untuk menjelaskan alasan penggunaan istilah itu
sebagai nama mazhab gurunya, yang ajaran-ajarannya ingin ia jelaskan dalam
karyakaryanya (Sholihan, 2010: 29-30). Mulla Shadra mendefinisikan istilah
hikmah dengan ungkapan berikut;

Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala


sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan
mereka, yang dibangunkan berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar
sangkaan dan sekedar mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang
ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa
manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata
tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka
mencapai keserupaan dengan Tuhan (Arifa, 2017: 69).

Berdasarkan definisi hikmah di atas, dapat dipahami bagaimana Mulla Sadra


berusaha menggabungkan dan mengharmoniskan berbagai pandangan terdahulu
dan pandangannya sendiri, melalui kreatifitasnya serta kejeniusannya dalam
berpikir. Semua unsur penting yang telah dikemukakan oleh pemikir sebelumnya,
Ibnu Sina, Ikhwan al-Safa, maupun Suhrawardi, ia sintesiskan menjadi satu yang
utuh, sehingga terlihat menjadi suatu yang baru. Sebagaimana para pendahulunya,
Mulla Sadra juga memandang hikmah dalam dua aspek, yaitu teoretis dan praktis
(pengetahuan dan tindakan). Secara teoretis tujuan hikmah adalah mewarnai jiwa

14
dengan gambaran realitas sebagai dunia yang bisa dimengerti, yang menyerupai
dunia obyektif. Hal inilah yang dikehendaki Rasul Saw, : ِّ‫ا َرب‬SSَ‫يَا َء َك َما ِه َي اَ ِرن‬S‫“ ااْل َ ْش‬Oh
Tuhan, tunjukkanlah kepada kami segala sesuatu sebagaimana adanya”, dan hal ini
juga pernah diminta oleh Nabi Ibrahim kepada Allah ketika ia berdoa, َ:
ِّ‫ا لِي هَبْ َرب‬SSS‫“ ِح ْك ًم‬Oh Tuhan, anugerahkan kepadaku hikmah”. Hikmah yang
dimaksud disini ialah pembenaran terhadap realita segala sesuatu yang
mensyaratkan adanya pemahaman konseptual. Sedangkan secara praktis, hikmah
ialah melakukan perbuatan baik dengan tujuan agar tercapai superioritas jiwa
terhadap badan dan tunduk kepada jiwa. Inilah yang dikabarkan dari hadis Nabi, :
“berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”, dan seperti yang didoakan oleh Nabi
Ibrahim, ‫ب َواَ ْل ِح ْقنِ ْي‬
ِ َ‫“ الصَّالِ ِح ْين‬masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang
saleh”.
Pemahaman ini bisa dilihat ketika Mulla Sadra menafsirkan firman Allah dalam
surat at-Tin (95) ayat 4-6: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ketempat yang
serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh”.
Mulla Sadra berpendapat, yang dimaksud dengan ‘bentuk sebaik-baiknya’
adalah jiwa manusia yang bersifat sepiritual, sedangkan ‘tempat yang serendah-
rendahnya’ menunjukkan kepada manusia yang bersifat material. Orang-orang yang
beriman merupakan isyarat untuk hikmah yang teoretis dan mengerjakan amal saleh
mengacu pada hikmah praktis. Dari sudut pandang yang seperti ini, mudah bagi
orang lain untuk memahaminya bahwa hikmah dapat dijadikan sarana untuk
membebaskan manusia dari keterikatannya dan terjebaknya terhadap sesuatu yang
bersifat materi dan duniawi. Serta mengantarkan mereka kembali kepada asal usul
penciptaannya yakni kembali kepada kesucian Tuhan. Dengan demikian sudah jelas
bahwa hikmah dalam perspektif ini sangat terkait dengan agama dan kehidupan
spiritual serta jauh dari sekedar aktivitas mental semata. Sebagaimana yang muncul
di dunia Barat setelah Renesans yang hanya memahamai filsafat/hikmah dari segi
rasionalitas mereka, sehingga mereka berada dalam kesesatan berpikir yang sangat
nyata (Nur, 2002: 104-106).

15
Pemikiran al-Hikmah al-Muta’aliyah yang dibangun oleh Mulla Sadra tidaklah
berasal sepenuhnya dari bangunan pemikiran dirinya, melainkan berdasarkan
sumber dari berbagai karya pemikiran sebelumnya. Tetapi, tidak dapat dikatakan
pula bahwa pemikiran Mulla Sadra adalah hasil dari menyatukan dan
mengkolaborasikan pemikiran karya filsuf terdahulu. Penelitian yang mendalam,
menyeluruh dan terintegrasi dengan baik terhadap fakta dan kebenaran agama
dengan cara intuisi intelektual yang disertai pembuktian rasional, telah memberikan
Mulla Sadra fondasi-fondasi, persoalan-persoalan dan berkemungkinan membahas
hal-hal yang baru tentang filosofis.. Dari sinilah kemudian dia menciptakan
persoalan-persoalan baru, menemukan pandangan-pandangan yang baru dan
mendalam, yang tidak pernah bisa ditemukan melalui pemikiran saja. Oleh sebab
itu, semangat filsafat telah diperbarui dengan ditambahkan pembahasan al-Hikmah
al-Muta’aliyah. Gambaran pemikiran filsafat Hikmah yang seperti ini tidak mudah
didapatkan kecuali dengan pengalaman langsung dan caranya pun terkait sekali
dengan agama melalui proses ilham dan wahyu. Jelaslah sudah, pada prinsipnya al-
Hikmah al-Muta’aliyah memiliki tiga hal, yaitu: 1) Intuisi yang berupa kasyf, dzauq
atau isyraqi; 2) pembuktian rasional dan penalaran yang berupa ‘aql, istidal atau
burhan; 3) wahyu atau ilham (syar’i).
5. Metode dan karakteristik tentang Al Hikmah Al muta'aliyah.
Penyelidikan yang menyeluruh dan mendalam terhadap kebenaran kebenaran
agama melalui intuisi intelektual dan harmonisasinya telah memberikan mulla
shadra berbagai pondasi. Penyelidikan tersebut tentunya dengan disertai
pembuktian-pembuktian yang rasional. Pondasi yang didapatkan berupa persoalan
dan kemungkinan baru untuk memperluas pembahasan pembahasan filosofis. Dari
sinilah kemudian dia menciptakan persoalan-persoalan baru, menemukan
pandangan-pandangan baru yang mendalam, yang tidak pernah bisa ditemukan
melalui pemikiran semata. Itulah sebabnya mengapa dalam Al Hikmah Al
muta'aliyah, semangat filsafat diperbaharui kembali dan sejumlah pembahasan
ditambahkan ke dalamnya. Diantara pembahasan yang menarik dalam Al Hikmah

16
Al muta'aliyah adalah tentang empat perjalanan manusia bila ingin memperoleh
kebenaran dari Tuhan.8
Empat perjalanan tersebut adalah perjalanan dari dunia ciptaan (Al-khalq), dunia
kasat mata, menuju kepada dunia pencipta, lalu dunia kebenaran sejati (al-haqq).
Perjalanan ini ditempuh dengan cara melakukan semacam"observasi empirik"
terhadap fenomena natural. Melalui observasi terhadap dunia natural yang serba
beragam akan sampai kepada sesuatu yang mempersatukan keragaman tersebut.
Sebut saja, ini adalah empirisme rohaniah ala mulla shadra. Dengan kata lain, pada
perjalanan pertama ini, orang melihat dirinya dari sisi dunia fisik dan diri
jasmaniahnya nya sambil berusaha menggapai peleburan diri pada diri yang suci
(Tuhan).
1) Perjalanan dalam kebenaran yang sejati (Al Haqq) melalui pengetahuan yang
sejati (Al Haqq) titik inilah fase transendensi, yaitu tahap melampaui keragaman
alam natural, dan tenggelam dalam ketunggalan mutlak yang tak mengenal
keberbagaian aksidental ('aradl) . Dapat dikatakan juga bahwa pada perjalanan
kedua ini seseorang dapat mencapai tingkat keselarasan dengan nama dan sifat
yang suci, atau dalam bahasa sederhana disebut wali titik pada kondisi ini dia
melihat ,mendengar, dan berbuat melalui Tuhan.
2) Perjalanan dari yang maha sejati menuju kepada dunia ciptaan, melalui
pengetahuan sejati yang diperoleh pada tahap kedua diatas titik ini adalah
empirisme kedua yang sudah mengalami transformasi radikal. Hal ini karena
keragaman dilihat bukan sebagai keragaman pada dirinya sendiri tetapi sebagai
manifestasi dari ketunggalan mutlak titik bisa jadi Pada perjalanan ketiga ini
puncak peleburan diri yang disebut fana. (Saepullah, 2004:108)

Perjalanan bersama dengan yang maha sejati dalam dunia ciptaan, perbedaan
antara tahap ke-4 dan ke-3 ialah: pada tahap ketiga, yang kita jumpai adalah
perjalanan menuju (ila) kepada dunia ciptaan, sedangkan pada tahap keempat, kita
berjumpa dengan perjalanan di dalam (fi) dunia ciptaan itu sendiri titik dengan kata

8
Asep sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, 136.

17
lain, pada tahap keempat inilah terdapat puncak petualangan, yang mana akal
tenggelam di dalam alam ciptaan, tetapi memandangnya dengan ilmu sejati (Al
Haqq). Akal menjadi bagian dari dunia, tetapi juga berjarak dari dunia. Ambiguitas
tahap keempat ini menjelaskan secara ringkas semacam "kosmologi" dan "ontologi"
sadrian. Dalam bahasa yang sederhana, dapat dikatakan bahwa seseorang kembali
ke dunia (Al khalaq) dan membawa petunjuk bagi sesama.9

KESIMPULAN

Dalam kajian pemikiran Mulla Sadra tentang al-Hikmah al-Muta’aliyah. Ia


berusaha mengkombinasikan dan memperbaiki berbagai pandangan para pendahulunya
tentang Hikmah kemudian disintesiskan olehnya sebagai suatu yang baru. Menurutnya
Hikmah itu adalah kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan pada realita
(logika) berdasarkan dalil-dalil pembenaran sebagai bukti yang jelas. Bukan sekedar
persangkaan dan mengikuti pendapat orang lain. Dalam rangka mencapai kesamaan
dengan Tuhan Yang Maha Sejati (Allah).

Istilah al-Hikmah al-Muta’aliyah bukanlah dari pernyataan Mulla Sadra secara


eksplisit ada dua faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya ialah dari judul
buku karnyanya yang bernama al-Hikmah al-Muta’aliyah dan adanya ajaran oral dari
Mulla Sadra bahwa pengertian al-Hikmah al-Muta’aliyah tidah saja tertuju pada judul
bukunya.

Dapat dilihat bahwa pemikiran Mulla Sadra adalah sebuah sintesis untuk
mensinergikan antara pengetahuan yang kita dapatkan secara intuitif/mukasyafah, dan
secara akal/burhan, serta ajaran agama Islam yang didapatkan melalui wahyu dan
cahaya kenabian yang pasti kebenarannya. Pengetahuan tersingkap secara intuitif
(mukasysyafah) dijelaskan serta dibuktikan secara argumentasi/burhan dan disinergikan
dengan keinginan-keinginan wahyu Ilahi sebagai dalil pasti. Mulla Sadra memberikan
identitas baru filsafat Islam, sehingga filsafat Islam menjadi otonom dan solid.

Dalam kajian yang penulis lakukan, ada beberapa konsep dari al-Hikmah
alMuta’aliyah yang telah digagaskan oleh Mulla Sadra yang menjadi sorotan bagi para
9
Ibid, 136.

18
kalangan pemikir modern baik dibidang filsafat maupun di bidang pendidikan, yakni:
ashalah al-wujud, wahdatul wujud, tasykik al-wujud, wujud az-zihni, wahid laa
yashduru minhu illa al-wahid, dan al-Harakah al-jauhariyyah serta di gambarkan
dengan proses perjalan dirinya menuju kebenaran yang sesunguhnya dalam memahami
Tuhan melalui konsep yang ia tuliskan dalam karya monumentalnya empat perjalan
menuju Tuhan yakni; al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah
diantaranya ialah sebagai berikut: 1) Perjalanan dari ciptaan menuju Tuhan atau sang
Pencipta; 2) Perjalanan dari Tuhan menuju Tuhan bersama Tuhan; 3) Perjalanan dari
Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan; 4) Perjalanan dari makhluk menuju makhluk
bersama Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, M. (2015). MULLA SHADRA [1571 M - 1636 M] (STUDY TENTANG


PEMIKIRAN AL - HIKMAH AL - MUTA’ALIYAH DAN AL - ASFAR AL -
ARBA’AH. AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, Volume 5, Nomor 1, Maret
2015, 127-128.
Gunawan , A. (2019). PEMIKIRAN MULLA SADRA TENTANG AL-HIKMAH AL-
MUTA’ALIYAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN .
Tsamratul -Fikri , 165-183.

Salsabila, A. (2018). Kajian Islam Filosofis: Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Karya Mulla


Shadra. Retrieved Desember 06, 2021, from
https://ejurnal.iainlhokseumawe.ac.id/index.php/sarwah/article/download/20/18

Soleh, A. K. (2016). FILSAFAT ISLAM Dari Klasik Hingga Kontemporer .


Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA.

Sulaiman , A. (2018). Mengenal Filsafat Islam. Bandung: YRAMA WIDYA.

19

Anda mungkin juga menyukai