Oleh :
Dosen Pembimbing :
Dr. Dja’far, MA
PASCASARJANA
MEDAN
2019
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran dalam dunia pendidikan Islam adalah suatu hal yang terus berkembang dari
masa ke masa. Di masa Rasulullah hidup, beliau adalah sumber pemikiran yang dijadikan
rujukan oleh umat manakala menghadapi persoalan ataupun perihal yang tak diketahui mereka.
Di masa berikutnya, ketika rasul telah wafat maka para sahabat yang mewarisi ilmu nabi
dijadikan sebagai pengganti Rasulullah. Keadaan ini berlanjut terus menerus hingga berlalu
berabad-abad setelahnya.
Setelah masa jauh berlalu, Islam berkembang di penjuru dan pelosok dunia, umat Islam
yang dahulunya adalah satu rumpun dari bangsa Arab telah berubah menjadi sedemikian
majemuknya. Islam masuk ke Afrika, Asia bahkan sebagian Eropa. Ini menyebabkan
kebudayaan Islam masuk dan menyublim ke dalam berbagai variasi kebudayaan yang ada. Lalu
umat Islam mulai menjumpai persoalan yang mungkin dulu tak dijumpai mereka. Dalam
keadaan ini, ulama telah memainkan peran sebagaimana yang dititahkan nabi bahwa al ulama
Pada abad ke 17 Masehi, masa di mana kehidupan Rasulullah telah berlalu hampir 1000
tahun, kehidupan umat Islam sudah sedemikian kompleksnya. Adanya mazhab fiqh yang
bervariasi, terjadinya perang sesama umat Islam, sinkretisme Islam dengan berbagai ajaran dan
aliran, telah menjadi fakta yang menghiasi sejarah dan perkembangan Islam di seantero jagat
dunia. Timbul banyak pendapat dan pemikiran yang kadang saling melengkapi, namun tak jarang
3
Dalam perjalanan intelektualisme Islam, terdapat empat aliran pemikiran yang
Tokoh yang terkenal dari aliran transendentalisme ini adalah Muhammad bin Ibrahim bin
Yahya al-Qawarni al-Syirazi yang popular dengan nama Mulla Shadra. Ketika tradisi intelektual
mengalami kehancuran di dunia Arab dan Barat, Shadra mampu membangkitkan kembali tradisi
filsafat Islam, bahkan memberikan wajah baru bagi dunia intelektual Islam, dan menjadikan
Persia sebagai ladang tradisi ini.1 Sebab itu, makalah ini akan membahas tentang periode
1
J. Spence Trimingham, The Sufi Order in Islam (London-New York: Oxford University Press, 1973), h.
128
4
BAB II
PEMBAHASAN
Barat. Meskipun begitu, pada abad ke 17, transendentalisme dalam dunia Islam telah jauh
berkembang di Persia. Secara etimologi, kata transenden punya beberapa arti, yakni: lebih
unggul, agung, melampaui, superlatif, serta dimaksudkan untuk menjelaskan sesuatu yang
pengetahuan yang bisa didapati manusia tidak hanya berasal dari pengamatan ataupun
pengalamannya saja, akan tetapi manusia dapat melampaui itu. Manusia bisa mendapatkan
lebih banyak bekerja pada dimensi kerohanian manusia. Dengan penalaran yang mendalam,
transendentalisme meyakini bahwa apapun yang tampak oleh mata manusia sesungguhnya
Muta’aliyah dikenal sebagai sebuah aliran elaboris yang didirikan oleh Shadr al-Din al-Syirazi,
yang lebih akrab dikenal sebagai Mulla Shadra (w. 1640 M). Kata Hikmah Muta’aliyah terdiri
atas dua suku kata, yaitu kata Hikmah dan kata Muta’aliyah.
2
Robert Audi., The Cambridge Dicitonary of Philosophy. (Edinburg: Cambridge University Press) h. 807-
808
5
Kata hikmah semaksud dengan kata falsafah. Kata falsafah berasal dari bahasa Yunani,
yaitu kata philosophia. Kata philosophia adalah gabungan dari dua kata, yakni philo yang artinya
cinta, dan kata sophia yang berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Jadi, kata falsafah ini
maksudnya adalah cinta kebijaksanaan.3 Kata falsafah berarti sebuah kata hasil Arabisasi dari
kata philosophia, sebagai bahasa Yunani, ke bahasa Arab. Kata ini pun memiliki arti sebagai
usaha yang dilakukan oleh seorang filosof. Dalam bahasa Arab, kata ini menjadi sinonim bagi
Sementara itu, menurut Hasan Bakti, kata muta’aliyah memiliki sejumlah pengertian,
sesuai dengan tinjauan dan sudut pandang yang digunakan. Pertama, apabila diambil dari kata
‘ta’ala’, maka muta’aliyah menjadi bermakna ‘yang tinggi’. Berdasarkan makna ini, maka
muta’aliyah diartikan sebagai sistem filsafat yang melebihi wacana sebelumnya, seperti wacana
Inilah yang membuat aliran ini sebagai aliran filsafat tertinggi. Kedua, dari segi tujuan, Hikmah
Muta’aliyah berupaya mengenal Allah sebagai yang Muta’aliyah. Muta’aliyah dalam konteks ini
dapat diartikan sebagai ‘yang tertinggi’ ‘yang tersempurna’, dan ‘yang berada di luar jangkauan
alam (trancendent)’. Berdasarkan kedua makna tersebut, maka Hikmah Muta’aliyah dapat
diartikan sebagai metode filsafat Islam yang berupaya mengenal Allah sebagai ‘Yang
3
A. R. Lacy, A Dictionary of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 2000), h. 252.
4
Bernard Lewis (ed.), The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Briil, 1971), h. 377
5
Hasan Bakti Nasution, Hikmah Muta’aliyah: Pengantar Filsafat Islam Kontemporer (Bandung:
Citapustaka Media, 2006), h. 37-40.
6
B. BIOGRAFI MULLA SHADRA
Aliran filsafat Hikmah Mutaaliyah yang digagas oleh Mulla Shadra adalah aliran filsafat
yang tidak hanya bersinar pada masa sang pendirinya hidup dan terlibat dalam banyak
perdebatan, akan tetapi, aliran filsafaat ini menjadi diskursus ilmiah yang secara terus menerus
dibahas dan banyak memberi pengaruh ke dalam aliran pemikiran sesudahnya. Sehingga, tak
Menurut Sayyid Muhsin Miri, mempelajari biografi Mulla Shadra dapat dikelompokkan
ke dalam tiga periode; yakni periode sebelum atau pra kontemplasi, periode kontemplasi dan
periode sesudah atau pasca kontemplasi.6 Hal ini diduga disebabkan bahwa masa uzlah atau
perenungan (kontemplasi) adalah masa yang sangat menentukan dalam kehidupan Mulla Shadra.
Corak kehidupan Shadra begitu berubah atau bertingkat pada saat pra kontemplasi, masa
Periode pra-kontemplasi adalah periode di mana Mulla Shadra belum melakukan uzlah
atau kontemplasi dalam hidupnya. Masa periode ini dimulai dari kelahiran Mulla Shadra dan
masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak Mulla Shadra juga dapat dikelompokkan menjadi dua
1. Masa anak-anak.
6
Seyyed Mohsen Miri, Mulla Shadra: Kehidupan dan Pemikirannya, (Al-Huda, Vol. III, No. 8, 2002) h.
124.
7
Mulla Shadra terlahir dengan nama lengkap Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-
Qawarni al-Syirazi.7 Ia dilahirkan di kota Syiraz, sebuah kota yang terletak di bagian Iran
Selatan. Kelahiran Mulla Shadra adalah kelahiran yang ditunggu-tunggu oleh ayahnya, Mirza
Ibrahim Yahya Syirazi. Saking besarnya harapan orang tuanya untuk mendapatkan anak lelaki,
orangtuanya bernazar akan memberi sedekah fakir miskin manakala mereka mendapatkan anak
laki-laki. Hingga pada tahun 1571 M atau 1572, Mulla Shadra lahir.
Ibrahim Yahya Syirazi adalah termasuk orang dari kalangan terpandang. Selain ia adalah
anggota keluarga Haji Qawam al-Din Syirazi, ia juga salah satu pejabat di kota Syiraz serta
memiliki hubungan politis dengan penguasa Safawi yang berkuasa di sana saat itu. Ibrahim
Yahya Syirazi juga pernah menjabat sebagai gubernur Kota Fars (Syiraz)8. Dengan begitu, Mulla
Di masa kecilnya, Mulla Shadra hidup dalam lingkungan keagamaan yang kental.
Sebagai anak seorang ulama dan pejabat, Mulla Shadra amat terpengaruh dengan mazhab Syiah
Imamiyah yang memang menjadi mazhab resmi di sana saat itu. Sebagai seorang anak ulama
pula, Mulla Shadra memang menunjukkan kepintaran yang luar biasa di masa kanak-kanaknya.
Hal tersebut terlihat dari dirinya sendiri serta ditunjang dengan berbagai fasilitas belajar yang
Di bawah kekuasaan dinasti Safawi (1501-1736 M), dinasti yang didirikan oleh Shah
Ismail (1501-1524), Mulla Shadra mengenyam pendidikan secara layak. Mulla Shadra hidup di
Persia ketika para penguasa Persia memang mengampanyekan mazhab Syiah Imamiyah secara
7
Hossein Ziai, Mulla Shadra: His Life and Works, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Olive Leamen (Ed),
History of Islamic Philosiphy, VOL. I (London-New York: Routledge, 2003), h. 635
8
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 43
8
besar-besaran Di kala itu, beberapa penguasa dinasti Safawi yang meletakkan madzhab Syi‟ah
Kampanye mazhab Syiah Imamiyah oleh para penguasaa di saat itu memang begitu
Bersamaan dengan itu, pengikut mazhab Sunni semakin lama semakin habis di wilayah ini.
Maka sejak abad ke 18 M, mayoritas penduduk Persia telah memeluk madzhab Syiah
Imamiyah9.
2. Masa Sekolah
Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawarni al-Syirazi atau Mulla Shadra adalah
seorang anak yang secara fisik kuat, sehat dan berakal cerdas. Mulla Shadra masuk ke lembaga
pendidikan formal di sebuah madrasah di Kota Syiraz. Kota Syiraz saat itu adalah kota yang
dikenal dengan pendidikan dan kebudayaan yang maju. Dalam pendidikan dasarnya, ia
9
William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Taufik Adnan Amal (Jakarta:
Raja Grafindo, 1997), h. 264-268
9
mempelajari berbagai ilmu seperti alQuran, hadis, bahasa Arab, bahasa Persia, logika, gramatika,
dan kaligrafi10.
Selain mengenyam pendidikan formal, Mulla Shadra juga belajar dari guru-guru terbaik
yang ada di kota Syiraz yang didatangkan oleh ayahnya ke rumah mereka untuk mengajar
Shadra. Saat berumur dua puluh tahun, Mulla Shadra telah dikenal sebagai anak yang memiliki
kemampuan intelektual yang mumpuni, bahkan melebihi kepintaran para gurunya. Lalu, timbul
Ketika Muhammad Khuda Banda diangkat sebagai raja dinasti Safawi, ia memindahkan
ibukota Persia ke Qazwin. Khuda Banda menjadikan Qazwin sebagai pusat pemerintahan. Oleh
sebab keluarga Mulla Shadra adalah keluarga terpandang dan berkedudukan, maka keluarga
Mulla Shadra juga ikut pindah ke ibukota Qazwin. Di kota Qazwin ini pula Mulla Shadra belajar
kepada banyak ahli filsafat yang ahli Peripatetisme, Illuminasionisme dan Gnosisme. Diantara
Pada saat usia Mulla Shadra mencapai tiga puluh tahun, ia telah memiliki
perpustakaannya sendiri. Perpustakaannya menyimpan koleksi buku dari berbagai cabang ilmu
seperti Tafsir, Filsafat, Gnosis, dan Hadis. Perpustakaan Mulla Shadra juga banyak mengoleksi
10
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 44
10
buku-buku berkualitas dan langka. Latarbelakang keluarga yang terpandang dan kaya membuat
Pada tahun 1628, ketika Abbas I diangkat sebagai raja dinasti Safawi, ibukota kerajaan
dipindahkan dari kota Qazwin ke kota Isfahan. Hal ini mengakibatkan banyak guru-guru Mulla
Shadra pindah ke kota Isfahan. Di kota tersebut berbagai kajian pemikiran seperti ilmu kalam,
berkembangnya diskusi akademik di kota Isfahan ini melahirkan apa yang disebut dengan
mazhab Isfahan. Mir Damad, salah satu guru Mulla Shadra dianggap sebagai filsuf pendiri
madzhab Isfahan ini. Selain Mir Damad, beberapa filsuf yang menyokong mazhab ini adalah Mir
Findiriski yang wafat pada 1641 M dan Baha al-Din al- Amili yang wafat pada 1622 M.
Ketika Mulla Shadra dan keluarganya pindah ke Isfahan. Ia ikut dalam pembangunan
lembaga pendidikan Islam di kota tersebut. Di sana ia juga mempelajari berbagai jenis ilmu, baik
aqliyah maupun naqliyah. Mulla Shadra mempelajari filsafat, teologi dan gnosis di bawah asuhan
Mir Damad. Di masa itu, Mir Damad adalah orang yang dianggap sebagai ahli dalam teologi,
sufi dan sastrawan yang mulai memadukan Peripatetisme, Illuminasionisme dan mazhab Syiah12.
Dalam ilmu-ilmu naqliyah, Mulla Shadra berguru kepada Syaikh Baha al-Din al-Amili.
Al-Amili adalah seorang saintis, ahli fikih, teolog, juga arsitek dan pujangga. Shadra juga
menimba ilmu-ilmu komparatif dan ilmu perbandingan agama kepada Mir Findiriski. Di mana
Mir Findiriski adalah seorang ahli filsafat komparatif dan perbandingan agama, terutama filsafat
11
Khalid al-Walid, Tasawuf Mulla Shadra (Bandung: Mutahhari Press, t. t.), h. 14-15
12
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama dalam Filsafat Islam (IRCiSoD, 2014) h. 142
11
Pada periode berikutnya, Mulla Shadra berhasil menyintesa baik filsafat parepatetik,
filsafat iluminasi, gnosis, hadis, astronomi, tafsir, logika, kalam, matematika dan kedokteran.
Mulla Shadra mempelajari berbagai khazanah intelektual kepada para guru besar madzhab
Isfahan di sana. Sehingga, dengan kecerdasannya, guru yang mumpuni serta buku-buku yang
tersedia secara lengkap, Mulla Shadra menjadi ahli ilmu yang berwawasan dan unggul dalam
banyak bidang ilmu. Di masa itu, terdapat beberapa teman sejawat Mulla Shadra yang sama-
sama belajar seperti Sayyid Ahmad Alawi, Aqa Husayn Khawansari, dan Mulla Muhammaad
Baqir Sabzawari.
B. Periode Kontemplasi.
Pada tahun 1646, Mulla Shadra kembali ke kota kelahirannya, Syiraz. Di sana Mulla
Shadra mulai mengajar sejumlah murid. Di sana pula ia menikahi wanita pilihannya dan
memiliki beberapa orang anak. Selain menjalani kehidupannya sebagai seorang ahli ilmu, Mulla
Shadra juga menerapkan praktik sufisme dalam kehidupannya. Untuk kepentingan ini, Shadra
melakukan perenungan atau beruzlah ke Kahak. Kahak adalah nama sebuah desa yang berada di
Pada periode ini, walaupun Mulla Shadra telah berhasil menguasai berbagai macam ilmu
yang berkembang di Persia saat itu, akan tetapi ia masih merasa belum puas atas keberhasilannya
itu. Pada periode ini pula ia memulai praktik uzlahnya. Ada beberapa faktor yang menjadi
1. Mulla Shadra merasa kecewa dengan merebaknya sikap buruk di masyarakat serta
hilangnya sifat-sifat mulia. Ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum
12
namun juga para ilmuan di masa itu. Keadaan ini membuat Mulla Shadra untuk
mengasingkan diri.
2. Mulla Shadra merasa bersalah dengan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini
sesungguhnya dapat diperoleh dengan melatih spiritualitas. Untuk itu, ia berniat untuk
pandangan Mulla Shadra dianggap sesat dan bidah. Ia banyak menyulut kontroversi
di kalangan ulama di masa itu. Para agamawan bahkan menggunakan berbagai cara
guna menyingkirkan Mulla Shadra. Akhirnya, karena Shadra tidak ingin terus
Kota Syiraz. Pada masa ini Syah Abbas II (1642-1667 M), salah satu penguasa dinasti Safawi,
meminta kepada Mulla Shadra agar kembali mengajar di kota Syiraz. Ketika itu, kota Syiraz
diperintah oleh seorang gubernur dari dinasti Safawi bernama Allahwirdi Khan. Karena Syah
Abbas II meminta Shadra kembali mengajar, Allahwirdi Khan mendirikan sebuah lembaga
pendidikan untuk Mulla Shadra. Lembaga pendidikan tersebut bernama Madrasah Khan.
13
Fazlur Rahman, filsafat Shandra terj, Munir A. Mu‟in (Bandung Pustaka, 2000), h. 2-9
13
Mulla Shadra mengabiskan sisa umurnya untuk menulis dan mengajar sejumlah murid di
institusi pendidikan ini. Para muridnya tidak hanya berasal dari Persia saja, melainkan berasal
dari berbagai wilayah seperti Afrika utara, dan Tibet. Tidak kurang dari tiga puluh tahun Mulla
Sandra mengahabiskan usianya untuk menulis dan mengajar di lembaga pendidikan tersebut.
1) Mashumah Khatun14
6) Muhammad Ibrahim
14
Mulla Faidz Kasyani, Kitab al-Shafi fi Tafsir alquran (Qom: Dar al-Kitab alIslamiyah, 2000), h. 1-10.
15
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 427.
16
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001), h. 133.
17
Al-Walid, Tasawuf Mulla Shandra, h. 24-26
18
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teolog, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono dan Djamaluddin
MZ (Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 1996), h. 85
14
Para murid dari Mulla Shadra meneruskan pikiran-pikiran Mulla Shadra dan mengajar di
Madrasah Khan yang pernah dipimpinnya. Pendapat dan pikiran Mulla Shadra tidak hanya
dibahas di kalangan mazhab Syiah akan tetapi juga dijadikan bahan diskusi pada kalangan
15
KESIMPULAN
Tokoh yang terkenal dari aliran transendentalisme ini adalah Muhammad bin Ibrahim bin
Yahya al-Qawarni al-Syirazi yang popular dengan nama Mulla Shadra. Ketika tradisi intelektual
mengalami kehancuran di dunia Arab dan Barat, Shadra mampu membangkitkan kembali tradisi
filsafat Islam, bahkan memberikan wajah baru bagi dunia intelektual Islam, dan menjadikan
Barat. Meskipun begitu, pada abad ke 17, transendentalisme dalam dunia Islam telah jauh
berkembang di Persia. Secara etimologi, kata transenden punya beberapa arti, yakni: lebih
unggul, agung, melampaui, superlatif, serta dimaksudkan untuk menjelaskan sesuatu yang
Pada akhirnya, kehidupan dan jejak langkah Mulla Shadra amat banyak menginspirasi
dalam pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam di Persia. Ada banyak murid dan penerus
dari Mulla Shadra. Ini membuktikan bahwa ia sangat berpengaruh dalam pemikiran pendidikan
16
DAFTAR PUSTAKA
Audi Robert, The Cambridge Dicitonary of Philosophy. (Edinburg: Cambridge University Press)
Faidz Kasyani, Mulla Kitab al-Shafi fi Tafsir alquran (Qom: Dar al-Kitab alIslamiyah, 2000)
Fakhry Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986)
Fakhry Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001)
Lewis Bernard, (ed.), The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Briil, 1971)
Mohsen Miri Seyyed, Mulla Shadra: Kehidupan dan Pemikirannya, (Al-Huda, Vol. III, No. 8,
2002)
Nasr Seyyed Hossein, Intelektual Islam: Teolog, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono dan
Nasr Seyyed Hossein, Tiga Mazhab Utama dalam Filsafat Islam (IRCiSoD, 2014)
Nasution Hasan Bakti, Hikmah Muta’aliyah: Pengantar Filsafat Islam Kontemporer (Bandung:
Nur Syaifan, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Trimingham, J. Spence, The Sufi Order in Islam (London-New York: Oxford University Press,
1973)
Rahman Fazlur, filsafat Shandra terj, Munir A. Muin (Bandung Pustaka, 2000)
Watt William Montgomery, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Taufik Adnan Amal
Ziai Hossein, Mulla Shadra: His Life and Works, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Olive Leamen
17