Anda di halaman 1dari 16

PENGARUH TRANSENDENTALISME DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM;

STUDI TOKOH MULLA SHADRA

Oleh :

Mhd Noor Sitorus

Dosen Pembimbing :

Dr. Dja’far, MA

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

2
BAB I

PENDAHULUAN

Pemikiran dalam dunia pendidikan Islam adalah suatu hal yang terus berkembang dari

masa ke masa. Di masa Rasulullah hidup, beliau adalah sumber pemikiran yang dijadikan

rujukan oleh umat manakala menghadapi persoalan ataupun perihal yang tak diketahui mereka.

Di masa berikutnya, ketika rasul telah wafat maka para sahabat yang mewarisi ilmu nabi

dijadikan sebagai pengganti Rasulullah. Keadaan ini berlanjut terus menerus hingga berlalu

berabad-abad setelahnya.

Setelah masa jauh berlalu, Islam berkembang di penjuru dan pelosok dunia, umat Islam

yang dahulunya adalah satu rumpun dari bangsa Arab telah berubah menjadi sedemikian

majemuknya. Islam masuk ke Afrika, Asia bahkan sebagian Eropa. Ini menyebabkan

kebudayaan Islam masuk dan menyublim ke dalam berbagai variasi kebudayaan yang ada. Lalu

umat Islam mulai menjumpai persoalan yang mungkin dulu tak dijumpai mereka. Dalam

keadaan ini, ulama telah memainkan peran sebagaimana yang dititahkan nabi bahwa al ulama

warasati al anbiya ulama adalah pewaris para nabi.

Pada abad ke 17 Masehi, masa di mana kehidupan Rasulullah telah berlalu hampir 1000

tahun, kehidupan umat Islam sudah sedemikian kompleksnya. Adanya mazhab fiqh yang

bervariasi, terjadinya perang sesama umat Islam, sinkretisme Islam dengan berbagai ajaran dan

aliran, telah menjadi fakta yang menghiasi sejarah dan perkembangan Islam di seantero jagat

dunia. Timbul banyak pendapat dan pemikiran yang kadang saling melengkapi, namun tak jarang

juga saling menyalahkan bahkan mengkafirkan.

3
Dalam perjalanan intelektualisme Islam, terdapat empat aliran pemikiran yang

mengambil banyak perhatian, yaitu Teologi, Peripatetisme, Gnosisme, Illuminasionisme, dan

Transendentalisme. Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam, transendentalisme

adalah aliran termuda yang ikut mewarnai pendidikan Islam.

Tokoh yang terkenal dari aliran transendentalisme ini adalah Muhammad bin Ibrahim bin

Yahya al-Qawarni al-Syirazi yang popular dengan nama Mulla Shadra. Ketika tradisi intelektual

mengalami kehancuran di dunia Arab dan Barat, Shadra mampu membangkitkan kembali tradisi

filsafat Islam, bahkan memberikan wajah baru bagi dunia intelektual Islam, dan menjadikan

Persia sebagai ladang tradisi ini.1 Sebab itu, makalah ini akan membahas tentang periode

kehidupan Mulla Shadra serta pengaruhnya terhadap pemikiran pendidikan Islam.

1
J. Spence Trimingham, The Sufi Order in Islam (London-New York: Oxford University Press, 1973), h.
128

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. APA ITU TRANSENDENTALISME?

Transendentalisme adalah sebuah paham filsafat yang berpengaruh pada abad 18 di

Barat. Meskipun begitu, pada abad ke 17, transendentalisme dalam dunia Islam telah jauh

berkembang di Persia. Secara etimologi, kata transenden punya beberapa arti, yakni: lebih

unggul, agung, melampaui, superlatif, serta dimaksudkan untuk menjelaskan sesuatu yang

melampaui pengalaman manusia2.

Secara sederhana, paham filsafat transendentalisme maksudnya adalah bahwa

pengetahuan yang bisa didapati manusia tidak hanya berasal dari pengamatan ataupun

pengalamannya saja, akan tetapi manusia dapat melampaui itu. Manusia bisa mendapatkan

pengetahuan dengan memaksimalkan potensi spiritualitasnya. Oleh karena itu, transendetalisme

lebih banyak bekerja pada dimensi kerohanian manusia. Dengan penalaran yang mendalam,

transendentalisme meyakini bahwa apapun yang tampak oleh mata manusia sesungguhnya

merupakan wujud atau representasi dari dunia rohani atau transenden.

Di Barat, Hikmah Muta’aliyah diartikan sebagai The Transcendent Theosophy. Hikmah

Muta’aliyah dikenal sebagai sebuah aliran elaboris yang didirikan oleh Shadr al-Din al-Syirazi,

yang lebih akrab dikenal sebagai Mulla Shadra (w. 1640 M). Kata Hikmah Muta’aliyah terdiri

atas dua suku kata, yaitu kata Hikmah dan kata Muta’aliyah.

2
Robert Audi., The Cambridge Dicitonary of Philosophy. (Edinburg: Cambridge University Press) h. 807-
808

5
Kata hikmah semaksud dengan kata falsafah. Kata falsafah berasal dari bahasa Yunani,

yaitu kata philosophia. Kata philosophia adalah gabungan dari dua kata, yakni philo yang artinya

cinta, dan kata sophia yang berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Jadi, kata falsafah ini

maksudnya adalah cinta kebijaksanaan.3 Kata falsafah berarti sebuah kata hasil Arabisasi dari

kata philosophia, sebagai bahasa Yunani, ke bahasa Arab. Kata ini pun memiliki arti sebagai

usaha yang dilakukan oleh seorang filosof. Dalam bahasa Arab, kata ini menjadi sinonim bagi

kata hikmah yang juga berarti kebijaksanaan.4

Sementara itu, menurut Hasan Bakti, kata muta’aliyah memiliki sejumlah pengertian,

sesuai dengan tinjauan dan sudut pandang yang digunakan. Pertama, apabila diambil dari kata

‘ta’ala’, maka muta’aliyah menjadi bermakna ‘yang tinggi’. Berdasarkan makna ini, maka

muta’aliyah diartikan sebagai sistem filsafat yang melebihi wacana sebelumnya, seperti wacana

Peripatetisme, Illuminasionisme, Gnosisme, dan Teologi. Aliran Hikmah Muta’aliyah ini

menggabungkan pelbagai aliran pemikiran sebelumnya yang direlevansikan dengan syari’at.

Inilah yang membuat aliran ini sebagai aliran filsafat tertinggi. Kedua, dari segi tujuan, Hikmah

Muta’aliyah berupaya mengenal Allah sebagai yang Muta’aliyah. Muta’aliyah dalam konteks ini

dapat diartikan sebagai ‘yang tertinggi’ ‘yang tersempurna’, dan ‘yang berada di luar jangkauan

alam (trancendent)’. Berdasarkan kedua makna tersebut, maka Hikmah Muta’aliyah dapat

diartikan sebagai metode filsafat Islam yang berupaya mengenal Allah sebagai ‘Yang

Trancendent’, dengan menggunakan segala metode, yang dikelompokkan kepada metode

diskursif, intuitif, dan syari’ah.5

3
A. R. Lacy, A Dictionary of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 2000), h. 252.
4
Bernard Lewis (ed.), The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Briil, 1971), h. 377
5
Hasan Bakti Nasution, Hikmah Muta’aliyah: Pengantar Filsafat Islam Kontemporer (Bandung:
Citapustaka Media, 2006), h. 37-40.

6
B. BIOGRAFI MULLA SHADRA

Aliran filsafat Hikmah Mutaaliyah yang digagas oleh Mulla Shadra adalah aliran filsafat

yang tidak hanya bersinar pada masa sang pendirinya hidup dan terlibat dalam banyak

perdebatan, akan tetapi, aliran filsafaat ini menjadi diskursus ilmiah yang secara terus menerus

dibahas dan banyak memberi pengaruh ke dalam aliran pemikiran sesudahnya. Sehingga, tak

heran asal-usul sang pendirinya banyak dibahas dan dipelajari.

Menurut Sayyid Muhsin Miri, mempelajari biografi Mulla Shadra dapat dikelompokkan

ke dalam tiga periode; yakni periode sebelum atau pra kontemplasi, periode kontemplasi dan

periode sesudah atau pasca kontemplasi.6 Hal ini diduga disebabkan bahwa masa uzlah atau

perenungan (kontemplasi) adalah masa yang sangat menentukan dalam kehidupan Mulla Shadra.

Corak kehidupan Shadra begitu berubah atau bertingkat pada saat pra kontemplasi, masa

kontemplasi dan pasca kontemplasi.

A. Periode Sebelum Kontemplasi.

Periode pra-kontemplasi adalah periode di mana Mulla Shadra belum melakukan uzlah

atau kontemplasi dalam hidupnya. Masa periode ini dimulai dari kelahiran Mulla Shadra dan

masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak Mulla Shadra juga dapat dikelompokkan menjadi dua

bagian; yakni masa anak-anak dan masa ketika ia menjadi pelajar.

1. Masa anak-anak.

6
Seyyed Mohsen Miri, Mulla Shadra: Kehidupan dan Pemikirannya, (Al-Huda, Vol. III, No. 8, 2002) h.
124.

7
Mulla Shadra terlahir dengan nama lengkap Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-

Qawarni al-Syirazi.7 Ia dilahirkan di kota Syiraz, sebuah kota yang terletak di bagian Iran

Selatan. Kelahiran Mulla Shadra adalah kelahiran yang ditunggu-tunggu oleh ayahnya, Mirza

Ibrahim Yahya Syirazi. Saking besarnya harapan orang tuanya untuk mendapatkan anak lelaki,

orangtuanya bernazar akan memberi sedekah fakir miskin manakala mereka mendapatkan anak

laki-laki. Hingga pada tahun 1571 M atau 1572, Mulla Shadra lahir.

Ibrahim Yahya Syirazi adalah termasuk orang dari kalangan terpandang. Selain ia adalah

anggota keluarga Haji Qawam al-Din Syirazi, ia juga salah satu pejabat di kota Syiraz serta

memiliki hubungan politis dengan penguasa Safawi yang berkuasa di sana saat itu. Ibrahim

Yahya Syirazi juga pernah menjabat sebagai gubernur Kota Fars (Syiraz)8. Dengan begitu, Mulla

Shadra bisa hidup berkecukupan dikarenakan status ayahnya tersebut.

Di masa kecilnya, Mulla Shadra hidup dalam lingkungan keagamaan yang kental.

Sebagai anak seorang ulama dan pejabat, Mulla Shadra amat terpengaruh dengan mazhab Syiah

Imamiyah yang memang menjadi mazhab resmi di sana saat itu. Sebagai seorang anak ulama

pula, Mulla Shadra memang menunjukkan kepintaran yang luar biasa di masa kanak-kanaknya.

Hal tersebut terlihat dari dirinya sendiri serta ditunjang dengan berbagai fasilitas belajar yang

mencukupi segala kebutuhannya.

Di bawah kekuasaan dinasti Safawi (1501-1736 M), dinasti yang didirikan oleh Shah

Ismail (1501-1524), Mulla Shadra mengenyam pendidikan secara layak. Mulla Shadra hidup di

Persia ketika para penguasa Persia memang mengampanyekan mazhab Syiah Imamiyah secara

7
Hossein Ziai, Mulla Shadra: His Life and Works, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Olive Leamen (Ed),
History of Islamic Philosiphy, VOL. I (London-New York: Routledge, 2003), h. 635
8
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 43

8
besar-besaran Di kala itu, beberapa penguasa dinasti Safawi yang meletakkan madzhab Syi‟ah

Imamiyah sebagai madzhab resmi negara adalah:

 Shah Tahmasp (1524-1576 M),

 Shah Haidar II (1576-1576 M),

 Shah Ismail II (1576-1577 M),

 Shah Muhammad Khuda Banda (1577-1587 M),

 Shah Abbas (1587-1629 M),

 Shah Sam Mirza(1629-1642 M), dan

 Sham Abbas II (1642- 1667 M).

Kampanye mazhab Syiah Imamiyah oleh para penguasaa di saat itu memang begitu

masif. Kebijakan pen-syiah-an tersebut menjurus kepada pemusatan mazhab di Persia.

Bersamaan dengan itu, pengikut mazhab Sunni semakin lama semakin habis di wilayah ini.

Maka sejak abad ke 18 M, mayoritas penduduk Persia telah memeluk madzhab Syiah

Imamiyah9.

2. Masa Sekolah

Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawarni al-Syirazi atau Mulla Shadra adalah

seorang anak yang secara fisik kuat, sehat dan berakal cerdas. Mulla Shadra masuk ke lembaga

pendidikan formal di sebuah madrasah di Kota Syiraz. Kota Syiraz saat itu adalah kota yang

dikenal dengan pendidikan dan kebudayaan yang maju. Dalam pendidikan dasarnya, ia

9
William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Taufik Adnan Amal (Jakarta:
Raja Grafindo, 1997), h. 264-268

9
mempelajari berbagai ilmu seperti alQuran, hadis, bahasa Arab, bahasa Persia, logika, gramatika,

dan kaligrafi10.

Selain mengenyam pendidikan formal, Mulla Shadra juga belajar dari guru-guru terbaik

yang ada di kota Syiraz yang didatangkan oleh ayahnya ke rumah mereka untuk mengajar

Shadra. Saat berumur dua puluh tahun, Mulla Shadra telah dikenal sebagai anak yang memiliki

kemampuan intelektual yang mumpuni, bahkan melebihi kepintaran para gurunya. Lalu, timbul

niat Shadra untuk belajar ke Qazwin.

Ketika Muhammad Khuda Banda diangkat sebagai raja dinasti Safawi, ia memindahkan

ibukota Persia ke Qazwin. Khuda Banda menjadikan Qazwin sebagai pusat pemerintahan. Oleh

sebab keluarga Mulla Shadra adalah keluarga terpandang dan berkedudukan, maka keluarga

Mulla Shadra juga ikut pindah ke ibukota Qazwin. Di kota Qazwin ini pula Mulla Shadra belajar

kepada banyak ahli filsafat yang ahli Peripatetisme, Illuminasionisme dan Gnosisme. Diantara

guru-gurunya antara lain:

 Mir Damad (w. 1631 M)

 Syaikh Baha al-Din al-Amili (w. 1622 M)

 Mir Findiriski (w. 1641 M)

Pada saat usia Mulla Shadra mencapai tiga puluh tahun, ia telah memiliki

perpustakaannya sendiri. Perpustakaannya menyimpan koleksi buku dari berbagai cabang ilmu

seperti Tafsir, Filsafat, Gnosis, dan Hadis. Perpustakaan Mulla Shadra juga banyak mengoleksi

10
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 44

10
buku-buku berkualitas dan langka. Latarbelakang keluarga yang terpandang dan kaya membuat

Shadra amat mudah untuk mendapatkan koleksi buku-buku mahal sekalipun11.

Pada tahun 1628, ketika Abbas I diangkat sebagai raja dinasti Safawi, ibukota kerajaan

dipindahkan dari kota Qazwin ke kota Isfahan. Hal ini mengakibatkan banyak guru-guru Mulla

Shadra pindah ke kota Isfahan. Di kota tersebut berbagai kajian pemikiran seperti ilmu kalam,

Illuminasionisme, Peripatetisme, dan Gnosisme dibahas. Pada gilirannya, maju dan

berkembangnya diskusi akademik di kota Isfahan ini melahirkan apa yang disebut dengan

mazhab Isfahan. Mir Damad, salah satu guru Mulla Shadra dianggap sebagai filsuf pendiri

madzhab Isfahan ini. Selain Mir Damad, beberapa filsuf yang menyokong mazhab ini adalah Mir

Findiriski yang wafat pada 1641 M dan Baha al-Din al- Amili yang wafat pada 1622 M.

Ketika Mulla Shadra dan keluarganya pindah ke Isfahan. Ia ikut dalam pembangunan

lembaga pendidikan Islam di kota tersebut. Di sana ia juga mempelajari berbagai jenis ilmu, baik

aqliyah maupun naqliyah. Mulla Shadra mempelajari filsafat, teologi dan gnosis di bawah asuhan

Mir Damad. Di masa itu, Mir Damad adalah orang yang dianggap sebagai ahli dalam teologi,

sufi dan sastrawan yang mulai memadukan Peripatetisme, Illuminasionisme dan mazhab Syiah12.

Dalam ilmu-ilmu naqliyah, Mulla Shadra berguru kepada Syaikh Baha al-Din al-Amili.

Al-Amili adalah seorang saintis, ahli fikih, teolog, juga arsitek dan pujangga. Shadra juga

menimba ilmu-ilmu komparatif dan ilmu perbandingan agama kepada Mir Findiriski. Di mana

Mir Findiriski adalah seorang ahli filsafat komparatif dan perbandingan agama, terutama filsafat

dan agama Hindu.

11
Khalid al-Walid, Tasawuf Mulla Shadra (Bandung: Mutahhari Press, t. t.), h. 14-15
12
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama dalam Filsafat Islam (IRCiSoD, 2014) h. 142

11
Pada periode berikutnya, Mulla Shadra berhasil menyintesa baik filsafat parepatetik,

filsafat iluminasi, gnosis, hadis, astronomi, tafsir, logika, kalam, matematika dan kedokteran.

Mulla Shadra mempelajari berbagai khazanah intelektual kepada para guru besar madzhab

Isfahan di sana. Sehingga, dengan kecerdasannya, guru yang mumpuni serta buku-buku yang

tersedia secara lengkap, Mulla Shadra menjadi ahli ilmu yang berwawasan dan unggul dalam

banyak bidang ilmu. Di masa itu, terdapat beberapa teman sejawat Mulla Shadra yang sama-

sama belajar seperti Sayyid Ahmad Alawi, Aqa Husayn Khawansari, dan Mulla Muhammaad

Baqir Sabzawari.

B. Periode Kontemplasi.

Pada tahun 1646, Mulla Shadra kembali ke kota kelahirannya, Syiraz. Di sana Mulla

Shadra mulai mengajar sejumlah murid. Di sana pula ia menikahi wanita pilihannya dan

memiliki beberapa orang anak. Selain menjalani kehidupannya sebagai seorang ahli ilmu, Mulla

Shadra juga menerapkan praktik sufisme dalam kehidupannya. Untuk kepentingan ini, Shadra

melakukan perenungan atau beruzlah ke Kahak. Kahak adalah nama sebuah desa yang berada di

antara kota Isfahan dan kota Qom.

Pada periode ini, walaupun Mulla Shadra telah berhasil menguasai berbagai macam ilmu

yang berkembang di Persia saat itu, akan tetapi ia masih merasa belum puas atas keberhasilannya

itu. Pada periode ini pula ia memulai praktik uzlahnya. Ada beberapa faktor yang menjadi

pertimbangan bagi Mulla Shadra untuk melakukan uzlah, diantaranya:

1. Mulla Shadra merasa kecewa dengan merebaknya sikap buruk di masyarakat serta

hilangnya sifat-sifat mulia. Ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum

12
namun juga para ilmuan di masa itu. Keadaan ini membuat Mulla Shadra untuk

mengasingkan diri.

2. Mulla Shadra merasa bersalah dengan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini

ia begitu amat tergantung dengan kemampuan intelektualnya. Ia kurang merasa

menghambakan diri kepada Allah subhanahu wa taala dengan sifat ikhlas.

3. Mulla Shadra menyadari bahwa pencapaiannya selama ini adalah terlalu

mengandalkan metode rasional semata. Sedangkan, hakikat dari pengetahuan itu

sesungguhnya dapat diperoleh dengan melatih spiritualitas. Untuk itu, ia berniat untuk

beruzlah guna melatih spiritualitasnya.

4. Di masa sebelum kontemplasinya, Mulla Shadra terlibat banyak perdebatan dan

diskusi. Tak jarang ia menerima perlakuan buruk dan tuduhan-tuduhan. Sejumlah

pandangan Mulla Shadra dianggap sesat dan bidah. Ia banyak menyulut kontroversi

di kalangan ulama di masa itu. Para agamawan bahkan menggunakan berbagai cara

guna menyingkirkan Mulla Shadra. Akhirnya, karena Shadra tidak ingin terus

berkonfrontasi, maka ia memutuskan untuk ber-uzlah ke Kahak.13

C. Periode Pasca Kontemplasi

Setelah Mulla Shadra telah menyelesaikan kehidupan asketiknya, Shadra kembali ke

Kota Syiraz. Pada masa ini Syah Abbas II (1642-1667 M), salah satu penguasa dinasti Safawi,

meminta kepada Mulla Shadra agar kembali mengajar di kota Syiraz. Ketika itu, kota Syiraz

diperintah oleh seorang gubernur dari dinasti Safawi bernama Allahwirdi Khan. Karena Syah

Abbas II meminta Shadra kembali mengajar, Allahwirdi Khan mendirikan sebuah lembaga

pendidikan untuk Mulla Shadra. Lembaga pendidikan tersebut bernama Madrasah Khan.

13
Fazlur Rahman, filsafat Shandra terj, Munir A. Mu‟in (Bandung Pustaka, 2000), h. 2-9

13
Mulla Shadra mengabiskan sisa umurnya untuk menulis dan mengajar sejumlah murid di

institusi pendidikan ini. Para muridnya tidak hanya berasal dari Persia saja, melainkan berasal

dari berbagai wilayah seperti Afrika utara, dan Tibet. Tidak kurang dari tiga puluh tahun Mulla

Sandra mengahabiskan usianya untuk menulis dan mengajar di lembaga pendidikan tersebut.

Shadra berhasil mendidik sejumlah murid seperti:

Mulla Faiz Kasyani (w. 1680 M)

Mulla Abd al-Razaq Lahiji (w. 1661M)

Syaikh Hussein Tankaboni (w. 1692 M).

C. PENGARUH MULLA SHADRA TERHADAP PEMIKIRAN PEDI

Kehidupan Mulla Shadra banyak menginspirasi para pemikir-pemikir Islam setelahnya.

Terbukti ia banyak memiliki murid-murid yang terkenal, diantaranya:

1) Mashumah Khatun14

2) Muhammad Baqir al-Majlisi 15

3) Mulla Abd al-Razaq Lahiji16

4) Muhammad bin Ali Ridho bin Agha Jhani 17

5) ) Qadhi Said al-Qommi18

6) Muhammad Ibrahim

14
Mulla Faidz Kasyani, Kitab al-Shafi fi Tafsir alquran (Qom: Dar al-Kitab alIslamiyah, 2000), h. 1-10.
15
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 427.
16
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001), h. 133.
17
Al-Walid, Tasawuf Mulla Shandra, h. 24-26
18
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teolog, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono dan Djamaluddin
MZ (Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 1996), h. 85

14
Para murid dari Mulla Shadra meneruskan pikiran-pikiran Mulla Shadra dan mengajar di

Madrasah Khan yang pernah dipimpinnya. Pendapat dan pikiran Mulla Shadra tidak hanya

dibahas di kalangan mazhab Syiah akan tetapi juga dijadikan bahan diskusi pada kalangan

ilmuan muslim Sunni hingga kini.

15
KESIMPULAN

Dalam perjalanan intelektualisme Islam, terdapat empat aliran pemikiran yang

mengambil banyak perhatian, yaitu Teologi, Peripatetisme, Gnosisme, Illuminasionisme, dan

Transendentalisme. Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam, transendentalisme

adalah aliran termuda yang ikut mewarnai pendidikan Islam.

Tokoh yang terkenal dari aliran transendentalisme ini adalah Muhammad bin Ibrahim bin

Yahya al-Qawarni al-Syirazi yang popular dengan nama Mulla Shadra. Ketika tradisi intelektual

mengalami kehancuran di dunia Arab dan Barat, Shadra mampu membangkitkan kembali tradisi

filsafat Islam, bahkan memberikan wajah baru bagi dunia intelektual Islam, dan menjadikan

Persia sebagai ladang tradisi ini.

Transendentalisme adalah sebuah paham filsafat yang berpengaruh pada abad 18 di

Barat. Meskipun begitu, pada abad ke 17, transendentalisme dalam dunia Islam telah jauh

berkembang di Persia. Secara etimologi, kata transenden punya beberapa arti, yakni: lebih

unggul, agung, melampaui, superlatif, serta dimaksudkan untuk menjelaskan sesuatu yang

melampaui pengalaman manusia.

Pada akhirnya, kehidupan dan jejak langkah Mulla Shadra amat banyak menginspirasi

dalam pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam di Persia. Ada banyak murid dan penerus

dari Mulla Shadra. Ini membuktikan bahwa ia sangat berpengaruh dalam pemikiran pendidikan

Islam di dunia intelektualisme muslim.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Walid Khalid, Tasawuf Mulla Shadra (Bandung: Mutahhari Press, t. t.)

Audi Robert, The Cambridge Dicitonary of Philosophy. (Edinburg: Cambridge University Press)

Faidz Kasyani, Mulla Kitab al-Shafi fi Tafsir alquran (Qom: Dar al-Kitab alIslamiyah, 2000)

Fakhry Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986)

Fakhry Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001)

Lewis Bernard, (ed.), The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Briil, 1971)

Mohsen Miri Seyyed, Mulla Shadra: Kehidupan dan Pemikirannya, (Al-Huda, Vol. III, No. 8,

2002)

Nasr Seyyed Hossein, Intelektual Islam: Teolog, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono dan

Djamaluddin MZ (Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 1996)

Nasr Seyyed Hossein, Tiga Mazhab Utama dalam Filsafat Islam (IRCiSoD, 2014)

Nasution Hasan Bakti, Hikmah Muta’aliyah: Pengantar Filsafat Islam Kontemporer (Bandung:

Citapustaka Media, 2006)

Nur Syaifan, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)

R. Lacy, A. A Dictionary of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 2000)

Trimingham, J. Spence, The Sufi Order in Islam (London-New York: Oxford University Press,

1973)

Rahman Fazlur, filsafat Shandra terj, Munir A. Muin (Bandung Pustaka, 2000)

Watt William Montgomery, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Taufik Adnan Amal

(Jakarta: Raja Grafindo, 1997)

Ziai Hossein, Mulla Shadra: His Life and Works, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Olive Leamen

17

Anda mungkin juga menyukai