Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

FILSAFAT ISLAM
“PEMIKIRAN MULLA SHADRA TERHADAP METAFISIKA &
ETIKA”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mandiri Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Dr. Aep Wahyudin.M.Ag.M.I.Kom.

Disusun Oleh :

Anis Susana
(1214040011)

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH & KOMUNIKASI
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
2021/2022
Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr, Wb.

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, Sholawat beserta salam
saya haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW juga kepada keluarga,
sahabat serta kita selaku umatnya hingga akhir zaman. Tidak lupa kepada dosen
pengampu Mata Kuliah Filsafat Islam Dr. Aep Wahyudin.M.Ag.M.I.Kom. yang
telah membimbing saya sehingga saya bisa selesaikan makalah mengenai
“Pemikiran mulla sadra”
Makalah ini saya susun atas bantuan dari berbagai sumber sehingga dapat
menyelesaikan pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, saya menyadari
bahwa masih jauh dari kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasa. Oleh karena itu saya terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang
bersifat membangun dari pembaca sehingga saya bisa melakukan perbaikan makalah
ini menjadi makalah yang baik dan benar.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, 20 Juni 2022


PENDAHULUAN

BAB I

A. Latar Belakang
Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qowami Syirazi, yang dikenal dengan
nama Shadr Al-Din Syirazi atau Mulla Shadra, dilahirkan di Syiraz pada 979
H/1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan terhormat. Ayahnya
dikenal sebagai seorang penasehat raja dan bekerja sebagai ahli hokum islam
dipemerintahan Syafawi tepatnya di Provinsi Fars.
Shadr Al- Muta’allihin atau Mulla Shara menyebut filsafanya sebagai
Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (Filsafat Transendental). Penamaan itu dipakai
sebagai sinonim dari istilah filsafat teringgi (Al-Hikmah Al-Ulya), lawan dari
matemaika dan fisika, dalam klasifikasi filsafat tradisional.
Pemikiran yang digeluti oleh mulla shadra adalah persoalan metafisika
yang didasari oleh pertanyaan tentang keberadaan Tuhan, yakni menggunakan
argument rasional.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana riwayat hidup mulla shadra ?
2. Bagaimana pemikiran dari mulla shadra?
3. Bagaimana analisa penulis terhadap pemikiran mulla shadra?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Mulla Shadra


Muhammad ibn Inrahim Yahya Qowami Syirazi, yang terkenal
dengan nama Shadra Al- Din Syirazi atau Mulla Shadra, dilahirkan di Syirazi
pada 979 H/ 157 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan terhomat.
Ayahnya dikenal sebagai seorang penasehat raja dan bekerja sebagai ahli
hokum islam dipemerintahan Syafawi tepatnya di Provinsi Fars.

Seusai menamatkan pendidikan dasarnya di Syiraz, dia berangkat


menuju Isfahan yang pada waku itu menjadi pusat pemerintahan dan pusat
ntelektual Persia. Disana dia bertemu dengan guru-guru terkenal. Dia belajar
ilmu-ilmu agama (naqli) pada Syaikh Baha’ Al Din Al’ Amili dan belajar
ilmu-ilmu rasional (aqli) filsafat dan logika pada Mir Damad. Keduanya
merupakan pelopor utama madzhab Isfahan. Menurut beberapa sumber, dia
juga dikatan pernah belajar pada sufi terkenal Mir Findiriski.

Pembelaan dan usaha Mulla Shadra untuk menyebarkan ajaran-ajaran


gnostic (Irfan) akhirnya membawanya kepda konflik dengan para ahli hokum.
Kalua bukan karena pengaruh ayahnya membawanya kepada konflik dengan
para ahli hokum. Kalua bukan karena pengaruh ayahnya di pengadilan,
barangkali ia akan mengalami nasib yang sama dengan yang menimpa
suwardi. Sebagai komsekuensi dari tekanan-tekanan tersebut, dia
mengasingkan diri dari kehiduoan masyarakat dan berdiaam diri disebuah
dusun kecil di Kahak, dekat Qunun, tempat dia menghabiskan hari-harinya
hingga tujuh atau menurut bebetapa sumber sebelas tahun untuk melakukan
amalan-amalan tasawuf dan asketis.

Hingga akhirnya Allawardi Khan ( Gubernur Fars waktu itu ),


membangun sebuah sekolah yang besar di Syiraz dan memanggil Mulla Sadra
untuk dimintai kesediaan nya menjadi guru besar disekolah tersebut. Dia
menerima tawaran itu dan dibawah pimpinanya sekolah tersebut menjadi
pusat studi yang berpengaruh di Persia, hingga mahasiswa yang datang dari
berbagai penjuru datang untuk belajar disitu. Hal itu kira-kira berjalan hingga
tahun 1050 H hingga akhirnnya dan kembali ketempat kelahirannya untuk
menghabiskan waktu untuk menulis. Mullla Sadra meninggal pada usia 79
tahun di Basrah, sepulangnya dari menunaikan ibadah haji yang ketujuh.

B. Pemikiran Mulla Shadra


Menurut M.M Syarif dalam History Of Muslim Philosophy
mengemukakan bahwa Mulla Shadra disebut-sebut pendiri mazhab ketiga
yang utama. Mazhab utama pertama adalah mazhab Peripatetik dengan
eksponen terbesarnya dalam dunia islam adalah Ibnu Sina, yang lainnya
adalah mazhab Illuminatif (Al-Hikmah Al-khalidah) yang dibangun oleh
Suhwardi Al-Maqtul. Mulla Shadra juga mengadopsi prinsip-prinsip tertentu
dari masing-masing mazhab, seperti hylomorphism dari Peripatetik, gradasi
wujud dan pola-pola surga dari mazhab ilmuminasi. Selain itu, ia mengadopsi
prinsip terntentu dari ajaran-ajaran Ibnu Sina. Keselarasan dan keteraturan
subtansi dunia yang sebelumnya tidak pernah Nampak sebagai prinsip
beberapa mazhab hikmat, dan tidak pernah dibangun secara sistematik dalam
Bahasa yang logis oleh hikmawan sebelum Mulla Shadra. Oleh karena itu,
layak disebut sebagai pendiri hikmah yang orisinil dan relative baru dalam
pergumuln filsafat muslim dengan Al-Hikmah Al-Muta’alliyah yang berbeda
beda dengan Al-hikmah masya’iyyahparepatikaphilosophy serta
alhikmahalisraqiyyah iluminasionistheosohpy.
C. Pemikiran Mulla Shadra terhadap metafisika
Istilah Al-Hikmah AL-Muta’aliyyah terdiri atas dua kata, yaitu Al-
Hikmah yang berarti teosifi atau kearifan, dan Al-Muta’aliyyah yang berarti
transenden, tinggi, atau puncak. Secara Harfiyah, Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah
dapat diterjemahkan sebagai teosofi transenden/kearifan puncak. Secara ahli.
Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah dalam artian tertentu, memang dinilai sebagai
puncak aktifitas intelektual selama seribu tahun dalam dunia Islam.
Sebagaimana terlihat dalam pembahasan terdahulu, secara
metodologis, Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah yang dikembangkan oleh Mulla
Shadra ini sangat dekat atau hamper serupa dengan AL-Hkmah Al- israqiyyh
yang dikembangkang oleh Suhwardi. Namun demikian, dalam beberapa
prinsip dan kesimpulannya terdapat perbedaan, khususnya dalam bidang
metafisika. Dalam bidang metafisika inilah Mulla Shadra banyak
mencuhrahan pemikirannya, sehingga oleh sementara ahli dipandang sebagai
metafisikiawan Muslim terbesar.
Pemikiran metafisika Mulla Shadra didasarkan pada tiga ajaran pokok,
yaitu ashlah al-wujud (keunggulan eksistensi), tasykik (gradasi eksistensi) dan
al- harakah al-jawhariyyah ( gerakan subtansial). Berikut ini akan dijelaskan
secara sekilas masing-masing ajaran tersebut.
Persoalan pertama yang digeluti oleh Mulla Shadra adalah persoalan
Metafisika. Yang didasari oleh pertanyaan tentang Tuhan. Persoalan esensi
dan eksistensi menjadi tema sentral dalam uraian filsafatnya. Filsafat Mulla
Shadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang
berkembang sebelum Mulla Shadra. Aliran-aliran itu secara umum
dieklompokan menjadi: (1) Aliran Parepatetik; (2) Filsafat Iluminasionis; (3)
Irfan(Mistismeislam); dan (4) Kalam (Teologi). Pergelutan Mulla Shadra
dengan esensi dan eksistensi Allah melahiran sebuah system filsafat yang
tertata. Shdra Menggunakan Isltilaj Al-Hikmah AL-Muta’aliyyah (Filsafat
transcendental) yang merupakan sinonim dari Istilah Filsafat tertinggu atau
lebih dikenal dengan filsafat hikmah.
Filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan
spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional,
yakni menggukan argument rasional. Secara ontologies, hikmah didasarkan
pada tiga hal:
1) Ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi).
Seperti filosof-filosof muslim sebelumnya, sadra berusaha menjawab masalah
mahiyyah(kuiditas/esensi), dan wujud (eksistensi). Perbandingan antara
eksistensi-esensi sadramenyatakan eksistensi bersifat positif, pasti, tertentu
dan nyata. Sedangkan esensi bersifat samar,gelap, tidak tertentu,negative, dan
tidak nyata. Esensi tidak memiliki dirinya sendiri dan apapun yang ada pada-
Nya adalah karena hubungan dengan eksistensi, sedang eksistensi bersifat
nyata berkat manivestasi dan hubungannya dengan eksistensi mutlak, yakni
Tuhan. Bagi shadra, Tuhanadalah wujud mutlak dan apa yang disebut sebagai
akal terpisah oleh para filosof atau ide-idetetap (a‟yan al-tsabithah oleh ibnu
arabi, tidak mempunyai wujud eksternal tetapi hanyamerupakan kandungan
dalam fikiran Tuhan, yakni ide-idenya. Selanjutnya jenis-jenis wujud
ataueksistensi ini memperlihatkan karakteristik esensial tertentu dalam fikiran.
Ini persis denganmatahari yang sebagai sumber cahaya, identik dengan cahaya
yang dipancarkan, tetapi cahaya tersebut bisa memunculkan karakteristik yang
berbeda seperti yang tampak dalam prisma.
2) Tasyik (gradasi wujud)
Jika para filosof parepatetik itu menganggap wujud setiap benda
berbeda dari wujud yang lain, walaupun principial dalam hubungannya
dengan mahiyah, maka bagi Mulla Shadra wujud adalah Suhwardi, kita dapat
membandingkan berbagai wujud cahaya. Semuanya cahaya, tetapi dengan
predikat yang berbeda artinya. Begitu pula, ada Tuhan, ada manusia, ada
binatang, ada batu. Semuanya satu wujud, satu realitas, tetapi dengan berbagai
tingkat intensitas dan manisfestasi, Gradasi ini bekan pada mahiyah, tetapi
pada wujud, bukan pada kuiditas, tetapi pada eksistensi. Tahap paling tinggi
dalam hierarki wujud ini adalah Tuhan yang Mahatinggi dan tahap yang
paling rendah adalah Materi Awal, yang menjadi bahan segala bahan.
3) Gerak Substansial
Disini Mulla Shadra berpendapat bahwa gerak tidak hanya terjadi pada
empat kategori aksiden: kuantitas, kualitas, posisi dan tempat. Kita melihat
kedalam dunia eksternal perubahan benda metrial dari keadaan yang satu ke
keadaan yang lain. Buah apel berubah dari hijau, kemudian kuning kemudin
merah. Ukuran , rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena
keberadaan aksiden bergantung pada keberadaan substansi, maka peruabahan
aksiden terkait dengan perubahan susbtansi juga. Seua benda material
berubah. Dalam hubungan ini Shadra mempertahankan sifat dunia fisik, sifat
tidak permanen dari segi esensii materi, dan waktu sebagai diemensi keempat.
Mulla Shadra menyebut filsafatnya sebagai AL-Hikmah Al-
Muta’aliyyah. Karena penamaan itu dipakai sebagai sinonim dari istislah
filsafat Tertinggi, lawan dari matematika dan fisika, dalam klasifikasi filsafat
tradisional. Dengan begitu, Al-Hikmah Al-muta’aliyyah sama persis dengan
filsafat pertama yang tak lain adalah filsafat umum dan mahzab pemikirannya
dalam metafisika. Urutan dalam hal pembahasan yang mendasari Al-Hikmah
Muta’aliyyah adalah mahzab pemikirannya alam metafisika.

D. Pemikiran Mulla Shadra terhadap etika


Berfikir adalah sebuah aktivitas awal yang menggerakan seluruh
aktivitas kemanusiaan. Para filosof adalah manusia-manusia pilihan yang
mengabdikan dirinya pada pergaulan keilmuan dan pemikiran yang tiada
henti. Kehadiran para filosof telah memberikan warna tersendiri bagi
kehidupan di sunia ini. Setidaknya mereka mampu mengabtraksikan realitas
yang dilihat utamanya dalam konsep-konsepnya tentang etika.
Salah seorang filosof besar yakni Mulla Shadra sangat memiliki peran
penting bagi dunia intelektual Islam setelah Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd
dan Suhrawardi. Pada era Mulla Shadra ini, telah melahirkan sebuah nuansa
filsafat aru yang dipeajari secara intensif dengan berbagai analisis serta
memberikan sintesis dan integrase dari filsafat-filsafat sebeumnya. Pola
pemikiran Mulla Shadra, seperti halnya para filosof dan sufi yang
mengembangkan pemikiran sebelumnya, baik dari guru maupun tokoh yang
berpengaruh pada waktu itu.
Etika, ersama politik dan ekonomi, dalam khazanah pemikiran islam
biasa dimasukan dalam apa yang disebut sebagai filsafat praktis (al- hikmah
al-amal1iyyah). Filsafat praktis berbicara tentang segala sesuatu segaimana
seharusnya. Namun demikian tetap harus didasarkan pada filsafat teoritis,
yakini pembahasa sesuatu sebagaimana adanya, termasuk di dalamnya
metafisika.
Dalam pandangan berbagai pemikir dan filosof Muslim, ada beberapa
prinsip utama etika Islam diantaranya, pertama, etika bersifat universal dan
fitri, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw bahwa perbuatan baik adalah
yang membuat hatimu tentram, sedangkan perbuatan buruk adalah yang
membuat hatimu gelisah. Dalam pandangan atau teori etika dari filosof
Yunani klasik, Sokrates yang dipromosikan oleh Plato menyantakan bahwa
moralitas itu bersifat fitri, yaitu pengetahuan baik dan buruk atau dorongan
untuk berbuat baik seseungguhnya telah ada pada sifat manusia pembawaan
manusia. Kedua, Moralitas dalam Islam didasarkan kepada keadilan. Ketiga,
tindakan etis pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya

1
Haidar Bagir, 2005: 193
bag Aristoteles bahwa pada puncaknya tujuan dari tindakan-tindakan etis
adalah kebahagaan yang bersifat intelektual.

Anda mungkin juga menyukai